asuhan keperawatan morbus hansen kusta.doc

22

Click here to load reader

Upload: fernanda-rudeboys

Post on 10-Jul-2016

158 views

Category:

Documents


69 download

TRANSCRIPT

Page 1: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

ASUHAN KEPERAWATAN

MORBUS HANSEN

DISUSUN OLEH :

1. Achmad Dovan

2. Desi Rahmawati

3. Ike Puji Rahayu

4. Zumrotul

S1 KEPERAWATAN / 6B

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA

JOMBANG

2014

Page 2: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul

“Asuhan Keperwatan Morbus Hansen” dan selesai tepat pada waktunya tanpa halangan suatu

apapun.

Makalah ini disusun dengan harapan agar tiap mahasiswa mampu berfikir kritis, rasional

dan kreatif dalam menanggapi isu dan trend dalam dunia Kesehatan saat ini, serta mampu

memberikan pelayanan yang tepat dan profesional kepada pasien.

Dalam penyusunan makalah ini kami tidak luput dari berbagai pihak yang terkait. Oleh

karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada:

a) Direktur STIKES ICME Jombang, Drs.M.Zainal Arifin,M.Kes yang menyediakan sarana dan

prasarana dalam menyediakan bahan ajar atau sumber, sehingga kami dapat memiliki sumber-

sumber acuan dalam pengajaran makalah ini.

b) Wali kelas 5B S1 Keperawatan,

c) Bu.hindiyah ike S.kep.Ns. selaku dosen pembimbing dari mata kuliah sistem integumen dalam

keperawatan yang telah memberikan tugas kepada kami sehingga kami dapat mengerti dan

memahamai bab yang kami bahas.

d) Teman-teman satu kelas yang telah membantu dan mendukung kami sehingga kami dapat

menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.

Kami dari kelompok menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat

kekurangan, dalam bahasa maupun materi. Sehingga kami berharap semoga makalah ini dapat

berguna bagi para pembaca khususnya di bidang kesehatan.Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun dalam rangka

penyempurnaan makalah ini.

Jombang, maret 2014

Penulis

Page 3: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

BAB I

PENDAHULUAN

A. KONSEP TEORI

1.1 Latar belakang

Kusta telah menyerang manusia sejak 300 sm, dan telah dikenal oleh peradaban tiongkok kuna, mesir kuna, dan india. Pada 1995, organisasi kesehatan dunia (who) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti india dan vietnam.

Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940 dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980 penyakit ini pun mampu ditangani kembali.

Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah. 

Oleh karena itu penulis membuat makalah tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen. 

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui pengertian, tanda dan gejala dari morbus hansen

Untuk mengetahui bagaimana proses perjalanan penyakit morbus hansen

Untuk menambah pemahaman tentang asuhan keperawatan pada penyakit morbus hansen

1.3 Manfaat

Agar dapat mengetahui pengertian, tanda dan gejala pada dari morbus hansen

Agar dapat mengetahui bagaimana proses perjalanan penyakit morbus hansen.

Agar dapat menambah pemahaman tentang asuhan keperawatan pada penyakit morbus hansen

Page 4: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh mycobacterium leprae, pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat.

Morbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI, 2000)

Penyakit  Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Departeman Kesehatan, Dit. Jen PPM & PL, 2002)

Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Myrobacterium Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

2.2. ETIOLOGI

Mycobacterium Leprae yg ditemukan pertama kali oleh akmuer Hasen di norwegia GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.

FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA PENYAKIT

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti, namun hal ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu

a. Patogenesis kuman Mycobacterium leprae, kuman Kusta tersebut masih utuh bentuknya maka memiliki kemungkinan penularan lebih besar daripada bentuk kuman yang telah hancur akibat pengobatan.

b. Cara penularan, melalui kontak langsung dengan daerah yang terdapat lesi basah, berganti-gantian baju, handuk, melalui sekret serta udara.

c. Keadaan sosial ekonomi yang terbatas sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti makanan yang bergizi, tempat tinggal yang kumuh.

d. Higiene dan sanitasi berhubungan dengan keadaan sosial juga dimana orang-orang yang mengalami keadaan sosial rendah tidak bisa memenuhi kebutuhan hygienenya seperti membeli sabun, kebersihan air tidak terjamin akibat permukiman padat penduduk, ventilasi rumah yang tidak bagus, pencahayaan yang

Page 5: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

e. Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam masuk dan berkembangnya virus M.Leprae.

2.3. PATOFISIOLOGI

Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serPengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang, ta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis. M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.

Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen  diawali dari  kuman Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai sifat tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan.

Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindungi di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag  bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor)  yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional.  Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa (anestasi). Kerusakan

Page 6: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok. Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya  gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si penderita cacat seumur hidup.

Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi (semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.

Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.

Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan  pada otot mata  mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan

2.4. INSIDEN

         Insiden Morbus Hansen antara lain :

1. Dapat terjadi pada semua umur, tapi jarang ditemukan pada bayi2. Laki-laki lebih banyak dibanding wanita3. Diperkirakan penderita didunia ± 10.596.000 dan di Indonesia ± 121.473         Orang (data th

1992)

2.5. PENULARAN

Cara penularannya belum diketahui dengan jelas, tapi diduga menular melalui salura pernapasan (droplet infection), pendapat lain mengatakan bahwa penularannya melalui kontak langsung, erat dan berlangsung lama.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan penyakit morbus hansen adalah

1. Umur2. Jenis kelamin3. Ras4. Genetik

Page 7: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

5. Iklim6. Lingkungan/sosio ekonomi7. Kekebalan –> (± 93 – 95 % kekebalan pada penyakit lepra)

2.6. KLASIFIKASI MORBUS HANSEN

Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :

1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan+ kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.

2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering  bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )

3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.

4. sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).5. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris,

gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).6. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat

banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :

a. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BTb. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

Tujuan Kalsifikasi adalah:

a. penentuan prognosisb. penentuan terapic. penentuan kriteria bebas dari obat dan pengawasand. mengantisipsi terjadinya reaksie. penyeragaman secara internasional –> kepentingan epidemiologis

Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:

1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar

uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat,

Page 8: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi

Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi

2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)

Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga

Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies l KLASIFIKASI LEPRA

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)

Page 9: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

eonina)

2.7.  GAMBARAN KLINIS

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling

a. Tipe Tuberkoloid ( TT )1. Mengenai kulit dan saraf.2. Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau,

kontrol healing ( + ).3. Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis

atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

4. Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

b. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )1. Hampir sama dengan tipe tuberkoloid2. Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.3. Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.4. Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

c. Tipe Mid Borderline ( BB )

Page 10: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate. Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

d. Tipe Borderline Lepromatosus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi.

e. Tipe Lepromatosa ( LL )1. Lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas

atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.2. Distribusi lesi khas:

a) Wajah: dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.b) Badan: bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

3. Stadium lanjutan:a) Penebalan kulit progresifb) Cuping telinga menebalc) Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis

dan keratitis.

4. Lebih lanjuta) Deformitas hidungb) Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testisc) Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.d) Penyakit progresif, makula dan popul baru.e) Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

5. Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.

6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal. Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf. Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta. Sebagian sembuh spontan.

Page 11: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

2.8.  PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Bakteriologis

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:

1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi

ditempat lain.3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan

lesi kulit yang baru timbul.4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:5) Cuping telinga kiri atau kanan6) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain7) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:8) Tidak menyenangkan pasien9) Positif palsu karena ada mikobakterium lain10) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian

apus kulit negatif.11) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari

pada sediaan kulit ditempat lain.12) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:13) Semua orang yang dicurigai menderita kusta14) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta15) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersang

2. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).

3. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).

4. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus, n. ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.

5. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta.

Konsep Asuhan Keperawatan

1.      Pengkajian

Page 12: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

a)      Biodata

Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.

b)      Riwayat Penyakit Sekarang

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.

c)      Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi

d)     Riwayat Kesehatan Keluarga

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

e)      Riwayat Psikososial

Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan

f)       Pola Aktivitas Sehari-hari

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan

2.Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.

a. Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.

Page 13: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

b. Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.

c. Sistem persarafan:1. Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

2. Kerusakan fungsi motorikKekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

3. Kerusakan fungsi otonomTerjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

d. Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

e. Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak

3. Diagnosa

1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan3. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan

fungsi tubuh4. Intervensi Keperawatan

1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan respon peradangan

Tujuan : Integritas kulit kembali normal

Kriteria hasil : lesi dan peradangan teratasi.

Intervensi :

a. Beri pelembab.

b. Gunakan handuk yang lembut saat mengeringkan tubuh.

c. Anjurkan untuk tidak menggaruk saat gatal jika terpaksa ingin menggaruk, menggunakan telapak tangan saat menggaruk.

2.       Resiko tinggi terjadinya gangguan konsep diri/body image berhubungan dengan perubahan fisik dan respon orang lain .

Page 14: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

Tujuan : Gangguan konsep diri/ body image tidak terjadi.

Kriteria hasil : Pasien mampu menerima terjadinya perubahan fisik, keterbatasan karena kondisi.

Intervensi :

a. Jalin hubungan saling percaya.

b. Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaan.

c. Hindari pemajanan lama dibawah sinar matahari.

d. Anjurkan memakai baju lengan panjang dan celana/rok panjang untuk perlindungan.

3. Perubahan kenyamanan berhubungan dengan terjadinya lesi / erupsi dermal.

Tujuan : Terpenuhinya kenyamanan.

Kriteria hasil : Lesi/erupsi dermal berkurang/hilang

Intervensi :

a. Jaga kebersihan lingkungan dan kebersihan kulit.

b. Ciptakan lingkungan yang nyaman.

c. Hindari sabun berlemak / yang mengandung deterjen.

d. Hindari perubahan cuaca yang mendadak/ekstrem.

e. Hindari faktor pencetus gatal/lesi.

Page 15: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

BAB III

PENUTUP

3.1 KesimpulanMorbus Hansen adalah penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh

mycobacterium leprae, pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat.

Mycobacterium Leprae yg ditemukan pertama kali oleh akmuer Hasen di norwegia GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.

3.2 Saran Kita sebagai perawat harus lebih mengerti dan memahami tentang morbus hansen. Agar kita bisa memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk lebih bisa mengerti tentang penyakit morbus hansen

Page 16: ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN KUSTA.doc

DAFTAR PUSTAKA

1.      Hinchliff, Sue. 1999. Kamus Keperawatan, Edisi 17. Jakarta : EGC

2.      Johnson, Marion, dkk. 2000. IOWA Intervention Project Nursing Outcomes

Classifcation (NOC), Second edition. USA : Mosby.

3.      McCloskey, Joanne C. dkk. 1996. IOWA Intervention Project Nursing Intervention

Classifcation (NIC), Second edition. USA : Mosby.

4.      Ramali, Ahmad. 2005. Kamus Kedokteran: Arti dan Keterangan Istilah., cetakan 26. Jakarta :

EGC