laporan kasus morbus hansen.docx

26
BAB I PENDAHULUAN Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. 1,2,3 Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1 Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tidak dapat dikultur, Gram-positif, bersifat intra selular dan tahan asam. 2,3,4,5 Bakteri M. leprae tidak dapat dikultur dan membutuhkan keadaan intraselular untuk berkembang karena mempunyai beberapa enzim pernapasan untuk bertahan. 2,3,5 Selain itu, M. leprae juga menyerang lamina basal dari unit akson sel Schwann sehingga saraf yang terkena adalah sistem saraf perifer. 2 Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopik, dan histopatologis. 1,23,4 Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus Hansen menjadi; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil, Borderline tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB), Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa polar (LL) yang merupakan bentuk yang stabil. 1,2,3,4,5 Laporan Kasus 1

Upload: rebeka-costantina-weriditi

Post on 18-Jan-2016

172 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.1,2,3 Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke

organ lain kecuali susunan saraf pusat.1

Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tidak dapat dikultur, Gram-positif,

bersifat intra selular dan tahan asam.2,3,4,5 Bakteri M. leprae tidak dapat dikultur dan

membutuhkan keadaan intraselular untuk berkembang karena mempunyai beberapa

enzim pernapasan untuk bertahan.2,3,5 Selain itu, M. leprae juga menyerang lamina basal

dari unit akson sel Schwann sehingga saraf yang terkena adalah sistem saraf perifer.2

Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis,

bakterioskopik, dan histopatologis.1,23,4 Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus

Hansen menjadi; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil, Borderline

tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB), Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa polar

(LL) yang merupakan bentuk yang stabil.1,2,3,4,5

WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil

pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu –

lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB) dengan

jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.6,7,8

Morbus Hansen mempunyai tiga gejala klinis yang utama disebut Cardinal sign,

yaitu lesi hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plakat)

yang bersifat kurang atau hilangnya sensasi rasa, penebalan saraf perifer antara lain

n.ulnaris, n.medianus, n.auricularis magnus, n.poplitea lateralis, n.tibialis

posterior,1,2,4,7,8,9 ditemukan basil tahan asam pada pemeriksaan bakterioskopik hapusan

kulit cuping telinga dan lesi kulit yang aktif..7,8,9 Untuk menegakkan penyakit kusta,

paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal.1,9 Bila tidak atau belum dapat

ditemukan, maka penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai

diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.9

Laporan Kasus 1

Page 2: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

Tujuan dari WHO pada akhir tahun 2015 untuk mengurangi tingkat kasus baru di

seluruh dunia sekurangnya 35%.8 Dari 115 negara, prevalensi terdaftar global kusta

pada akhir kuartal pertama tahun 2013 mencapai 189.018 kasus, sementara jumlah kasus

baru terdeteksi selama 2012 adalah 232.857 kasus.6,8 Dari kasus baru, 95% terdeteksi di

seluruh dunia selama tahun 2010 di negara-negara berikut: Angola, Bangladesh, Brazil,

China, India, Ethiopia, Indonesia, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, Sudan.8,10

Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia, Indonesia menempati

posisi ke-3 setelah India dan Brazil.9 Berdasarkan data epidemiologi, jumlah kasus baru

pada penyakit Morbus Hansen di Indonesia tahun 2012, sebanyak 17.980 kasus, angka

ini turun dari 2011 sebanyak 20.023 kasus.11 Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi

Papua, rata-rata pasien kusta mencapai 1.300 kasus baru tiap tahun.12 Papua menempati

urutan ketiga setelah Papua Barat dan Maluku. Terdapat 17 kabupaten di Papua yang

mempunyai angka kasus Morbus Hansen tertinggi13

WHO merekomendasikan pengobatan Morbus Hansen dengan rejimen kombinasi

MDT (Multi Drug Treatment) yang terdiri atas kombinasi dapson, rifampisin, dan

klofazimin.2,8,9,10,14 Penggunaan MDT dimaksudkan untuk mengurangi ketidaktaatan

penderita, menurunkan angka putus obat, dan mengatasi resistensi dapson sebagai

monoterapi.9,14,15 Namun dalam pelaksanaan program MDT mengalami beberapa

masalah. Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang

berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini.14 Obat baru ini harus

memenuhi syarat antara lain bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, tidak antagonis

dengan obat yang sudah ada, aman, dapat diberikan per oral.9,14 Yang sudah terbukti

efektif antara lain ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.2,3,8,14,15

Prognosis pada Morbus Hansen tergantung pada tipe penyakit. Morbus Hansen

tipe LL mempunyai komplikasi jangka panjang.2,8 Pasien dapat mengalami kerusakan

saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap

terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Jika tidak diobati Morbus

Hansen tipe LL dapat berakibat pada kematian.2,5,8,14,15

Laporan Kasus 2

Page 3: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

BAB II

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : An. Y.W

No. RM : 38 58 34

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 14 tahun

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan : SD

Pekerjaan : - (tidak ada)

Suku : Depapre

Status Marital : Belum Menikah

Alamat : Desa Yabro – Kentumgresi

Tanggal Pemeriksaan : 08 April 2014

Pemberi Informasi : Ny. B.J (Ibu Kandung Pasien)

II. Anamnesis (Autoanamnesis dan Heteroanamesis)

- Keluhan Utama

Tampak bercak – bercak keputihan pada daerah wajah dan seluruh tubuh.

- Riwayat Penyakit Sekarang

Menurut ibu pasien ± 6 tahun yang lalu sebelum pasien dibawa ke Poliklinik

Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Jayapura, timbul bercak – bercak keputihan

pada daerah wajah dan seluruh tubuh pasien. Bercak keputihan tersebut mulai

timbul pada lengan kanan pasien, kemudian menyebar ke seluruh tubuh pasien.

Selain bercak keputihan, bagian alis mata pasien juga mulai rontok.

Pasien belum pernah dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit untuk

mendapatkan pengobatan, saat di kampung pasien pernah diberikan obat salep

dari saudara ibu pasien, tetapi ibu pasien tidak mengingat nama salep tersebut.

Laporan Kasus 3

Page 4: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

Sekitar ± 1 minggu yang lalu pasien mengalami kejang dan dibawa turun dari

kampung dan sempat dirawat di RS. Yowari selama satu hari kemudian dirujuk

ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Jayapura.

- Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

- Riwayat Penyakit Keluarga

Didalam keluarga pasien ada anggota keluarga yang mengalami gejala seperti

pasien.

- Riwayat Alergi

Riwayat alergi makanan dan obat – obatan disangkal keluarga pasien.

- Riwayat Sosial

Pasien merupakan anak yang aktif dan sering bermain dengan saudara dan teman

– temannya diluar rumah, pasien juga sering tidak menggunakan alas kaki saat

bermain diluar. Selain itu pasien juga senang mandi di sungai bersama dengan

saudara – saudara pasien.

III. Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis

TTV : TD : 110/70 mmHg

Nadi 84x/menit

Respirasi : 18x/menit

Suhu : 36,7°C

Kepala / Leher : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pembesaran

KGB regional (-/-)

Laporan Kasus 4

Page 5: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas vesikuler, ronkhi (-/-),

wheezing (-/-), bunyi jantung I-II reguler,

Abdomen : cembung, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+), kelainan kulit

(+)

Ekstermitas : Akral hangat, edema (-/-)

Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan.

b. Status Dermatologis

Lokasi : Generalisata

Efloresensi : Lesi multipel berupa makula hipopigmentasi berbatas jelas dengan

ukuran lentikular – numular.

IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan BTA dari hasil kerokan pada cuping kedua telinga bagian bawah dan

pada lesi lain yang eritematosa dan infiltrat.1,7,8,9

V. Diagnosis Kerja

Morbus Hansen Tipe LL (Lepromatosa polar).

VI. Diagnosis Banding

- Tinea korporis5

- Pitiriasis vesikolor5

- Tuberkulosis kutis1,5

- Birth mark1,5

VII. Penatalaksanaan

a. Medikamentosa2,5,8,18

- Pengobatan Morbus Hansen tipe MB pada anak (10-14 tahun) dalam

bentuk Multi Drug Treatment (MDT)

Dosis supervisi (Diminum didepan petugas kesehatan – Sekali sebulan

Hari ke 1) :

Laporan Kasus 5

Page 6: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

1 kapsul Rifampisin 300mg + 1 kapsul Rifampisin 150mg + 3 kapsul

Klofazimin 50mg + 1 tablet Dapson 50mg.

Dosis Harian (Diminum setiap hari - Hari ke 2-28):

1 kapsul Klofazimin 50mg + 1 tablet Dapson 50mg.

Terapi diberikan selama 12 bulan.3,5,18

b. Non Medikamentosa

Jika terjadi komplikasi neurologis, pasien dengan Morbus Hansen harus

ditawarkan terapi okupasi, mencakup pelatihan tentang cara untuk

menghindari cedera sensitif kulit tangan dan kaki.3,5

VIII. Prognosis

Quo ad vitam : Ad bonam

Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

Laporan Kasus 6

Page 7: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

BAB III

PEMBAHASAN

Diagnosa

Dagnosa ditegakkan jika ditemukan satu atau beberapa tanda kardinal; pasien dari

daerah endemik, lesi kulit karakteristik morbus Hansen dengan berkurang atau hilangnya

sensasi, terdapat pembesaran saraf perifer, ditemukannya M. leprae pada kulit. 1,2,3,7,8,9,17

Diagnosis penyakit morbus Hansen didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis,

dan histopatologis.1,2,3,5 Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting

dan paling sederhana. Diagnosis klinik seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan

kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut.1,4,8,18 Sebaliknya jangan hanya didasarkan

pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah

berbeda dengan di tubuh, lengan, tungkai, dan sebagainya.bahkan pada satu lesi pun

dapat berbeda tipenya.1,2,3,6,8,18

Dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang menggunakan

alat sederhana.18 Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya

berbentuk makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip

penyakit lain, ada tidaknya anastesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis,

meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan

jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan kalu masih belum jelas pula

dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan

dingin.3,8,9,18 Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,

konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu

diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus,

N. politea lateralis, dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf

biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih

terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1,2,3,9

Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan

histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda)

Laporan Kasus 7

Page 8: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah tiga

minggu.2,3,5,8

Pada pasien ini ditemukan tanda kardinal dari Morbus Hansen yaitu, pasien

berasal dari daerah endemis, ditemukan lesi karakteristik Morbus Hansen pada kulit

dengan berkurang atau hilangnya sensasi, terdapat pembesaran saraf perifer yaitu n.

auricularis magnus.

Diagnosa pada pasien ini didasarkan pada gambaran klinis yaitu adanya lesi

berupa makula hipopigmentasi berbatas tegas dengan ukuran lentikular sampai

numular yang tersebar di daerah wajah dan seluruh tubuh. Selain itu didapatkan gejala

klinis lain madarosis; penipisan atau hilangnya alis dan bulu mata bagian lateral,

penebalan cuping telinga akibat infiltrat. Selain itu pada pemeriksaan sederhana

membandingkan rasa raba pada bagian lesi dan normal didapatkan berkurangnya

sensasi pada bagian lesi. Pada pasien ini juga ditemukan adanya pembesaran n.

auricularis magnus pada regio coli bilateral.

Pemeriksaan bakterioskopik yang dilakukan adalah pemeriksaan BTA dari hasil

kerokan infiltrat pada kedua cuping telinga bagian bawah pasien.

Berdasarkan teori, anamnesis dan pemeriksaan maka pasien didiagnosis dengan

Morbus Hansen.

Klasifikasi

Penentuan tipe morbus Hansen perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang

sesuai.1,3 Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis,

bakterioskopik, dan histopatologis.2,3,5,8 Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus

Hansen sebagai berikut; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil,

Tuberkuloid indefinite (Ti), Borderline tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB),

Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa indefinite (Li), Lepromatosa polar (LL) yang

merupakan bentuk yang stabil.1.2,3,4,5,8,9

Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid

polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stanil, jadi berarti tidak mungkin

berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%,

Laporan Kasus 8

Page 9: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara

Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid

dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50%

lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih

banyak lepromatosanya. Tipe – tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat

bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.1,3,5

Lesi pada tuberkuloid polar (TT) biasanya yang solid atau sedikit jumlahnya (lima

atau kurang) dan distribusi asimetris. Lesi dapat hipopigmentasi atau eritematosa, dan

biasanya kering, bersisik, dan berbulu. Lesi khas tuberkuloid adalah besar, plak

eritematosa dengan batas yang jelas. Lesi pada Borderline tuberkuloid (Bt) mirip dengan

lesi pada TT, tetapi lebih kecil dan lebih banyak. Terdapat lesi satelit di sekitar makula

besar atau plak. Lesi pada BB (Mid Borderline) lesi pada kulit banyak (tapi dapat

dihitung) dan terdiri dari plak kemerahan yang tidak teratur. Lesi satelit kecil dapat

mengelilingi plak lebih besar. Pada umumnya distribusinya asimetris.

Lesi pada Bl (Borderline lepromatosa) distribusinya cenderung simetris, multipel dan

dapat berupa makula, papula, plak, dan nodul. Terdapat penebalan saraf yang bersifat

simetris. Tidak terjadi hilangnya sensasi, madarosis, keratitis. Sedangkan lesi kulit pada

lepromatosa polar (LL) terdiri dari makula hipopigmentasi, terdapat infiltrasi difus kulit,

bersifat simetris dengan batas kurang jelas, menunjukkan sedikit perubahan dalam

tekstur kulit, disertai sedikit atau tidak ada hilangnya sensasi pada lesi, hilangnya

progresif rambut pada sepertiga bagian luar alis, bulu mata, dan akhirnya pada tubuh. 3,5

Tempat terjadinya lesi pada awal biasanya tidak jelas dan paling sering terjadi di bagian

telinga, alis mata, hidung, dagu, siku, tangan, bokong, atau lutut. Terjadi penebalan saraf

perifer yang berkembang dengan lambat.2,3,5

WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil

pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu –

lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB) dengan

jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.6,7,8

Laporan Kasus 9

Page 10: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

Tabel 1. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)1

PB MB

- Lesi kulit (Makula datar,

papul yang meninggi,

nodus)

- 1-5 lesi

- Hipopigmentasi/eritema,

- Distribusi tidak simetris

- Hilangnya sensasi yang

jelas

- > 5 lesi

- Distribusi lebih simetris

- Hilangnya sensasi

kurang jelas

- Kerusakan saraf

(menyebabkan hilangnya

sensasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh saraf

yang terkena

- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang saraf

Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Morbus Hansen Tipe MB1

SIFAT LEPROMATOSA (LL) BORDERLINE

LEPROMATOSA

(BL)

MID BORDERLINE

(BB)

Lesi

- Bentuk

- Jumlah

- Distribusi

- Permukaan

- Batas

- Anastesia

Makula, Infiltrat difus,

Papul, Nodus

Tidak terhitung, praktis

tidak ada kulit sehat

Simetris

Halus berkilat

Tidak jelas

Biasanya tidak jelas

Makula, Plakat, Papul

Sukar dihitung, masih

ada kulit sehat

Hampir simetris

Halus berkilat

Agak jelas

Tak jelas

Plakat, Dome-shaped

(kubah), punched –

out

Dapat dihitung. Kulit

sehat jelas ada

Asimetris

Agak kasar, agak

berkilat

Agak jelas

Lebih jelas

BTA

- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak

Laporan Kasus 10

Page 11: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

- Sekret hidung

Tes Lepromin

Banyak (ada globus)

Negatif

Biasanya negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling pasien ini termasuk dalam tipe Morbus

Hansen tipe LL (Lepromatosa Polar) karena lama riwayat penyakit pasien yaitu enam

tahun. Dimana pasien tidak terlalu menunjukkan perubahan yang cepat atau labil. Lesi

kulit pasien berupa makula hipopigmentasi, terdapat infiltrasi difus kulit pada cuping

telinga, bersifat simetris dengan batas kurang jelas, disertai sedikit hilangnya sensasi

pada lesi, hilangnya progresif rambut pada sepertiga bagian luar alis mata (madarosis)

dan bulu mata. Terjadi penebalan saraf perifer, pada n. auricularis magnus yang

berkembang dengan lambat.

Berdasarkan klasifikasi WHO maka pasien ini dimasukkan kedalam morbus

Hansen tipe Multi Basiler karena jumlah lesi yang multipel dan terletak diseluruh tubuh

pasien (simetris), hilangnya sensasi kurang jelas.

Diagnosis Banding

- Tinea korporis5

Biasanya gatal, tidak terjadi hilangnya sensasi rasa, hasil pemeriksaan kerokan

didapatkan penyebabnya adalah jamur.

- Pitiriasis vesikolor5

Pitiriasis vesikolor dapat berupa makula hipopigmentasi tetapi tidak terjadi hilangnya

sensasi raba, kadang bersisik, dan terasa gatal jika berkeringat.

- Tuberkulosis kutis1,5

TBC kulit dapat menyerupai Morbus Hansen tipe tuberkuloid, memiliki dasar

imunologi yang sama dan sering tidak bisa dibedakan pola histologis. Namun, lesinya

tidak anestesi.

- Birth mark1,5

Tanda lahir (Birth mark) merupakan makula berpigmen yang tidak normal, tetapi

secara fisiologis dapat dikatakan normal, tidak terjadi hilangnya sensasi rasa.

Laporan Kasus 11

Page 12: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

Penatalaksanaan

Prinsip - prinsip umum penatalaksanaan Morbus Hansen:3,5,

- Memberantas perkembangan penyakit Morbus Hansen.

- Mencegah dan mengobati reaksi.

- Mengurangi resiko kerusakan saraf.

- Mengobati komplikasi kerusakan saraf.

- Merehabilitasi pasien ke masyarakat.

Medikamentosa2,5,8,18

- Pengobatan Morbus Hansen tipe MB pada anak (10-14 tahun) dalam bentuk Multi

Drug Treatment (MDT)

Dosis supervisi (Diminum didepan petugas kesehatan – Sekali sebulan Hari ke 1) :

1 kapsul Rifampisin 300mg + 1 kapsul Rifampisin 150mg + 3 kapsul Klofazimin

50mg + 1 tablet Dapson 50mg.

Dosis Harian (Diminum sekali setiap hari - Hari ke 2-28):

1 kapsul Klofazimin 50mg + 1 tablet Dapson 50mg.

- Rifampisin

Digunakan dalam terapi kombinasi dengan obat lainnya; bekerja menghambat

bakteri DNA-dependent RNA polymerase, bersifat bakterisida terhadap M

leprae.5,8 Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik,

nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.1,2

- Dapson

Digunakan dalam terapi kombinasi. Bersifat bakterisida dan bakteriostatik

terhadap mikobakteri; mekanisme kerja menghambat pertumbuhan bakteri.5,8

Resistensi terhadap dapson dapat terjadi primer maupun sekunder. Resistensi

sekunder terjadi oleh karena penggunaan Dapson sebagai monoterapi, dosis

yang terlalu rendah, minum obat tidak teratur, pengobatan yang terlalu lama,

setelah 4-24 tahun. Resistensi hanya terjadi pada Morbus Hansen tipe MB. Efek

Laporan Kasus 12

Page 13: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia

hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom Dapson, hepatitis,

hipoalbuminemia.1,2 Sindrom Dapson kadang muncul 6 minggu setelah

dimulainya terapi dengan dapson dan bermanifestasi sebagai dermatitis, terkait

dengan limfadenopati, hepatosplenomegali, demam dan hepatitis, dan dapat

berakibat fatal.5

- Klofazimin (Lamprene)

Digunakan dalam terapi kombinasi. Bersifat menghambat pertumbuhan

mikobakteri, mengikat rantai DNA mikobakteri. Memiliki sifat antimikroba

tetapi mekanisme aksi belum diketahui secara pasti.5,8 Klofazimin juga

mempunyai efek anti inflamasi yang berperan dalam penurunan frekuensi dan

keparahan ENL pada penderita Morbus Hansen tipe MB.8

Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan

pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan klofazimin yang

merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial,

mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering

merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek samping hanya

terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri

abdomen, nausea, diare, anoreksia. Selain itu dapat terjadi penurunan berat

badan. Perubahan kulit akan menghilang setelah tiga bulan obat dihentikan.1

Perubahan warna mulai berkurang terasa dalam enam bulan dan kulit kembali

ke warna normal pada akhir satu tahun setelah berhenti penggunaan obat.5,8

Pasien yang resisten atau menolak mengkonsumsi klofazimin dapat digantikan

dengan Ofloksasin dan Miosiklin.3

Pasien merupakan anak – anak umur 14 tahun sehingga dosis obat MDT yang diberikan

adalah Rifampisin 450 mg/bulan (1 kapsul Rifampisin 300mg dan 1 kapsul Rifampisin

150mg), Dapson 50 mg/bulan, Klofazimin 150 mg/bulan (3 kapsul Klofazimin 50mg);

dilanjutkan dengan 1 kapsul Klofazimin 50 mg, dan 1 tablet Dapson 50mg.Terapi

diberikan selama 12 bulan.

Laporan Kasus 13

Page 14: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

Prognosis

Prognosis pada Morbus Hansen tergantung pada tipe penyakit. Morbus Hansen

tipe LL mempunyai komplikasi jangka panjang.2,8 Pasien dapat mengalami kerusakan

saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap

terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Jika tidak diobati Morbus

Hansen tipe LL dapat berakibat pada kematian.2,5,8,14,15

Prognosis pada pasien ini,

Quo ad vitam : Ad bonam.

Pasien dalam pengobatan sehingga pasien dapat tetap hidup.

Quo ad fungtionam : Dubia ad malam.

Dikatakan dubia ad malam karena pasien ini mempunyai riwayat penyakit Morbus

Hansen yang cukup lama (6 tahun) sebelum datang berobat ke Poliklinik Kulit dan

Kelamin. Kerusakan saraf jangka panjang dapat terjadi, selain itu terdapat tanda

madarosis pada pasien, dapat dicurigai terjadi kompikasi ke daerah mata.

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam.

Jika pasien berobat dengan teratur dan tidak putus obat, kemungkinan sembuh dapat

terjadi.

Laporan Kasus 14

Page 15: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

Laporan Kasus 15

Page 16: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

Laporan Kasus 16

Page 17: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

Kelima. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. h. 73-83.

2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA. Fitzpatrick’s Dermatology In

General Medicine. Volume 1 & 2 Seventh Edition. United States of America:

McGraw-Hill Companies, Inc; 2008. p. 1787-1796.

3. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K. Color Atlas and Synopsis of Clinical

Dermatology. Sixth Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies,

Inc; 2009. p. 665-671.

4. James WD, Elston DM, Berger TG. Andrew’s Diseases of the Skin Clinical

Dermatology. Eleventh Edition. United States of America: Elsevier; 2011. p. 343-

344, 351-352.

5. Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Eighth

Edition. United Kingdom: Wiley-Blackwell; 2010. p. 1469-1486

6. WHO – Leprosy Today. http://www.who.int/lep/en/

7. Leprosy now: epidemiology, progress, challenges, and research gaps.

http://download.thelancet.com/pdfs/journals/laninf/PIIS1473309911700068.pdf?

id=baapX-P3wb6qX6sZ58bwu

8. Medscape – Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/220455

9. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23780/2/Chapter%20II.pdf

10. WebMD – Leprosy.

http://www.webmd.com/skin-problems-and-treatments/guide/leprosy-symptoms-

treatments-history

11. Program Pengendalian Penyakit Kusta di Indonesia. http://pppl.depkes.go.id/berita?

id=948

12. Kusta Tertinggi di Papua. http://cloud.papua.go.id/id/kesehatan/artikel/Pages/Kusta-

Tertinggi-di-Papua.aspx

Laporan Kasus 17

Page 18: LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN.docx

13. Penyakit Kusta di Papua Urutan Ketiga Nasional.

http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/14/04/01/n3ct6q-penyakit-

kusta-di-papua-urutan-ketiga-nasional

14. Fixed-duration therapy in leprosy: Limitations and opportunities.

http://www.eijd.org/article.asp?

issn=00195154;year=2013;volume=58;issue=2;spage=93;epage=100;aulast=Malath

i

15. Journal of Travel Medicine - The Difficulty in Diagnosis and Treatment of Leprosy.

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1708-8305.2010.00419.x/pdf

16. Twelve months fixed duration WHO multidrug therapy for multibacillary leprosy:

incidence of relapses in Agra field based cohort study.

http://icmr.nic.in/ijmr/2013/october/1011.pdf

17. Childhood leprosy in a tertiary-care hospital in Delhi, India: A reappraisal in

thepost-elimination era.

http://www.lepra.org.uk/platforms/lepra/files/lr/Sept11/1619.pdf

18. WHO - Guide to Eliminate Leprosy as a Public Health Problem.

http://www.paho.org/hq/index.php?

option=com_docman&task=doc_view&gid=19771&Itemid=

Laporan Kasus 18