laporan kasus morbus hansen.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.1,2,3 Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tidak dapat dikultur, Gram-positif,
bersifat intra selular dan tahan asam.2,3,4,5 Bakteri M. leprae tidak dapat dikultur dan
membutuhkan keadaan intraselular untuk berkembang karena mempunyai beberapa
enzim pernapasan untuk bertahan.2,3,5 Selain itu, M. leprae juga menyerang lamina basal
dari unit akson sel Schwann sehingga saraf yang terkena adalah sistem saraf perifer.2
Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis,
bakterioskopik, dan histopatologis.1,23,4 Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus
Hansen menjadi; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil, Borderline
tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB), Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa polar
(LL) yang merupakan bentuk yang stabil.1,2,3,4,5
WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil
pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu –
lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB) dengan
jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.6,7,8
Morbus Hansen mempunyai tiga gejala klinis yang utama disebut Cardinal sign,
yaitu lesi hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plakat)
yang bersifat kurang atau hilangnya sensasi rasa, penebalan saraf perifer antara lain
n.ulnaris, n.medianus, n.auricularis magnus, n.poplitea lateralis, n.tibialis
posterior,1,2,4,7,8,9 ditemukan basil tahan asam pada pemeriksaan bakterioskopik hapusan
kulit cuping telinga dan lesi kulit yang aktif..7,8,9 Untuk menegakkan penyakit kusta,
paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal.1,9 Bila tidak atau belum dapat
ditemukan, maka penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai
diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.9
Laporan Kasus 1
Tujuan dari WHO pada akhir tahun 2015 untuk mengurangi tingkat kasus baru di
seluruh dunia sekurangnya 35%.8 Dari 115 negara, prevalensi terdaftar global kusta
pada akhir kuartal pertama tahun 2013 mencapai 189.018 kasus, sementara jumlah kasus
baru terdeteksi selama 2012 adalah 232.857 kasus.6,8 Dari kasus baru, 95% terdeteksi di
seluruh dunia selama tahun 2010 di negara-negara berikut: Angola, Bangladesh, Brazil,
China, India, Ethiopia, Indonesia, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, Sudan.8,10
Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia, Indonesia menempati
posisi ke-3 setelah India dan Brazil.9 Berdasarkan data epidemiologi, jumlah kasus baru
pada penyakit Morbus Hansen di Indonesia tahun 2012, sebanyak 17.980 kasus, angka
ini turun dari 2011 sebanyak 20.023 kasus.11 Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi
Papua, rata-rata pasien kusta mencapai 1.300 kasus baru tiap tahun.12 Papua menempati
urutan ketiga setelah Papua Barat dan Maluku. Terdapat 17 kabupaten di Papua yang
mempunyai angka kasus Morbus Hansen tertinggi13
WHO merekomendasikan pengobatan Morbus Hansen dengan rejimen kombinasi
MDT (Multi Drug Treatment) yang terdiri atas kombinasi dapson, rifampisin, dan
klofazimin.2,8,9,10,14 Penggunaan MDT dimaksudkan untuk mengurangi ketidaktaatan
penderita, menurunkan angka putus obat, dan mengatasi resistensi dapson sebagai
monoterapi.9,14,15 Namun dalam pelaksanaan program MDT mengalami beberapa
masalah. Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang
berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini.14 Obat baru ini harus
memenuhi syarat antara lain bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, tidak antagonis
dengan obat yang sudah ada, aman, dapat diberikan per oral.9,14 Yang sudah terbukti
efektif antara lain ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.2,3,8,14,15
Prognosis pada Morbus Hansen tergantung pada tipe penyakit. Morbus Hansen
tipe LL mempunyai komplikasi jangka panjang.2,8 Pasien dapat mengalami kerusakan
saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap
terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Jika tidak diobati Morbus
Hansen tipe LL dapat berakibat pada kematian.2,5,8,14,15
Laporan Kasus 2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : An. Y.W
No. RM : 38 58 34
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 14 tahun
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : SD
Pekerjaan : - (tidak ada)
Suku : Depapre
Status Marital : Belum Menikah
Alamat : Desa Yabro – Kentumgresi
Tanggal Pemeriksaan : 08 April 2014
Pemberi Informasi : Ny. B.J (Ibu Kandung Pasien)
II. Anamnesis (Autoanamnesis dan Heteroanamesis)
- Keluhan Utama
Tampak bercak – bercak keputihan pada daerah wajah dan seluruh tubuh.
- Riwayat Penyakit Sekarang
Menurut ibu pasien ± 6 tahun yang lalu sebelum pasien dibawa ke Poliklinik
Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Jayapura, timbul bercak – bercak keputihan
pada daerah wajah dan seluruh tubuh pasien. Bercak keputihan tersebut mulai
timbul pada lengan kanan pasien, kemudian menyebar ke seluruh tubuh pasien.
Selain bercak keputihan, bagian alis mata pasien juga mulai rontok.
Pasien belum pernah dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit untuk
mendapatkan pengobatan, saat di kampung pasien pernah diberikan obat salep
dari saudara ibu pasien, tetapi ibu pasien tidak mengingat nama salep tersebut.
Laporan Kasus 3
Sekitar ± 1 minggu yang lalu pasien mengalami kejang dan dibawa turun dari
kampung dan sempat dirawat di RS. Yowari selama satu hari kemudian dirujuk
ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Jayapura.
- Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
- Riwayat Penyakit Keluarga
Didalam keluarga pasien ada anggota keluarga yang mengalami gejala seperti
pasien.
- Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan dan obat – obatan disangkal keluarga pasien.
- Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak yang aktif dan sering bermain dengan saudara dan teman
– temannya diluar rumah, pasien juga sering tidak menggunakan alas kaki saat
bermain diluar. Selain itu pasien juga senang mandi di sungai bersama dengan
saudara – saudara pasien.
III. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
TTV : TD : 110/70 mmHg
Nadi 84x/menit
Respirasi : 18x/menit
Suhu : 36,7°C
Kepala / Leher : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pembesaran
KGB regional (-/-)
Laporan Kasus 4
Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas vesikuler, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-), bunyi jantung I-II reguler,
Abdomen : cembung, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+), kelainan kulit
(+)
Ekstermitas : Akral hangat, edema (-/-)
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan.
b. Status Dermatologis
Lokasi : Generalisata
Efloresensi : Lesi multipel berupa makula hipopigmentasi berbatas jelas dengan
ukuran lentikular – numular.
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan BTA dari hasil kerokan pada cuping kedua telinga bagian bawah dan
pada lesi lain yang eritematosa dan infiltrat.1,7,8,9
V. Diagnosis Kerja
Morbus Hansen Tipe LL (Lepromatosa polar).
VI. Diagnosis Banding
- Tinea korporis5
- Pitiriasis vesikolor5
- Tuberkulosis kutis1,5
- Birth mark1,5
VII. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa2,5,8,18
- Pengobatan Morbus Hansen tipe MB pada anak (10-14 tahun) dalam
bentuk Multi Drug Treatment (MDT)
Dosis supervisi (Diminum didepan petugas kesehatan – Sekali sebulan
Hari ke 1) :
Laporan Kasus 5
1 kapsul Rifampisin 300mg + 1 kapsul Rifampisin 150mg + 3 kapsul
Klofazimin 50mg + 1 tablet Dapson 50mg.
Dosis Harian (Diminum setiap hari - Hari ke 2-28):
1 kapsul Klofazimin 50mg + 1 tablet Dapson 50mg.
Terapi diberikan selama 12 bulan.3,5,18
b. Non Medikamentosa
Jika terjadi komplikasi neurologis, pasien dengan Morbus Hansen harus
ditawarkan terapi okupasi, mencakup pelatihan tentang cara untuk
menghindari cedera sensitif kulit tangan dan kaki.3,5
VIII. Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Laporan Kasus 6
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosa
Dagnosa ditegakkan jika ditemukan satu atau beberapa tanda kardinal; pasien dari
daerah endemik, lesi kulit karakteristik morbus Hansen dengan berkurang atau hilangnya
sensasi, terdapat pembesaran saraf perifer, ditemukannya M. leprae pada kulit. 1,2,3,7,8,9,17
Diagnosis penyakit morbus Hansen didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis,
dan histopatologis.1,2,3,5 Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting
dan paling sederhana. Diagnosis klinik seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan
kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut.1,4,8,18 Sebaliknya jangan hanya didasarkan
pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah
berbeda dengan di tubuh, lengan, tungkai, dan sebagainya.bahkan pada satu lesi pun
dapat berbeda tipenya.1,2,3,6,8,18
Dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang menggunakan
alat sederhana.18 Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip
penyakit lain, ada tidaknya anastesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis,
meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan
jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan kalu masih belum jelas pula
dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan
dingin.3,8,9,18 Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu
diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus,
N. politea lateralis, dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf
biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1,2,3,9
Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda)
Laporan Kasus 7
untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah tiga
minggu.2,3,5,8
Pada pasien ini ditemukan tanda kardinal dari Morbus Hansen yaitu, pasien
berasal dari daerah endemis, ditemukan lesi karakteristik Morbus Hansen pada kulit
dengan berkurang atau hilangnya sensasi, terdapat pembesaran saraf perifer yaitu n.
auricularis magnus.
Diagnosa pada pasien ini didasarkan pada gambaran klinis yaitu adanya lesi
berupa makula hipopigmentasi berbatas tegas dengan ukuran lentikular sampai
numular yang tersebar di daerah wajah dan seluruh tubuh. Selain itu didapatkan gejala
klinis lain madarosis; penipisan atau hilangnya alis dan bulu mata bagian lateral,
penebalan cuping telinga akibat infiltrat. Selain itu pada pemeriksaan sederhana
membandingkan rasa raba pada bagian lesi dan normal didapatkan berkurangnya
sensasi pada bagian lesi. Pada pasien ini juga ditemukan adanya pembesaran n.
auricularis magnus pada regio coli bilateral.
Pemeriksaan bakterioskopik yang dilakukan adalah pemeriksaan BTA dari hasil
kerokan infiltrat pada kedua cuping telinga bagian bawah pasien.
Berdasarkan teori, anamnesis dan pemeriksaan maka pasien didiagnosis dengan
Morbus Hansen.
Klasifikasi
Penentuan tipe morbus Hansen perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang
sesuai.1,3 Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis,
bakterioskopik, dan histopatologis.2,3,5,8 Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus
Hansen sebagai berikut; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil,
Tuberkuloid indefinite (Ti), Borderline tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB),
Borderline lepromatous (Bl), Lepromatosa indefinite (Li), Lepromatosa polar (LL) yang
merupakan bentuk yang stabil.1.2,3,4,5,8,9
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stanil, jadi berarti tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%,
Laporan Kasus 8
juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara
Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid
dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50%
lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih
banyak lepromatosanya. Tipe – tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat
bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.1,3,5
Lesi pada tuberkuloid polar (TT) biasanya yang solid atau sedikit jumlahnya (lima
atau kurang) dan distribusi asimetris. Lesi dapat hipopigmentasi atau eritematosa, dan
biasanya kering, bersisik, dan berbulu. Lesi khas tuberkuloid adalah besar, plak
eritematosa dengan batas yang jelas. Lesi pada Borderline tuberkuloid (Bt) mirip dengan
lesi pada TT, tetapi lebih kecil dan lebih banyak. Terdapat lesi satelit di sekitar makula
besar atau plak. Lesi pada BB (Mid Borderline) lesi pada kulit banyak (tapi dapat
dihitung) dan terdiri dari plak kemerahan yang tidak teratur. Lesi satelit kecil dapat
mengelilingi plak lebih besar. Pada umumnya distribusinya asimetris.
Lesi pada Bl (Borderline lepromatosa) distribusinya cenderung simetris, multipel dan
dapat berupa makula, papula, plak, dan nodul. Terdapat penebalan saraf yang bersifat
simetris. Tidak terjadi hilangnya sensasi, madarosis, keratitis. Sedangkan lesi kulit pada
lepromatosa polar (LL) terdiri dari makula hipopigmentasi, terdapat infiltrasi difus kulit,
bersifat simetris dengan batas kurang jelas, menunjukkan sedikit perubahan dalam
tekstur kulit, disertai sedikit atau tidak ada hilangnya sensasi pada lesi, hilangnya
progresif rambut pada sepertiga bagian luar alis, bulu mata, dan akhirnya pada tubuh. 3,5
Tempat terjadinya lesi pada awal biasanya tidak jelas dan paling sering terjadi di bagian
telinga, alis mata, hidung, dagu, siku, tangan, bokong, atau lutut. Terjadi penebalan saraf
perifer yang berkembang dengan lambat.2,3,5
WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil
pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu –
lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB) dengan
jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.6,7,8
Laporan Kasus 9
Tabel 1. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)1
PB MB
- Lesi kulit (Makula datar,
papul yang meninggi,
nodus)
- 1-5 lesi
- Hipopigmentasi/eritema,
- Distribusi tidak simetris
- Hilangnya sensasi yang
jelas
- > 5 lesi
- Distribusi lebih simetris
- Hilangnya sensasi
kurang jelas
- Kerusakan saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena
- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang saraf
Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Morbus Hansen Tipe MB1
SIFAT LEPROMATOSA (LL) BORDERLINE
LEPROMATOSA
(BL)
MID BORDERLINE
(BB)
Lesi
- Bentuk
- Jumlah
- Distribusi
- Permukaan
- Batas
- Anastesia
Makula, Infiltrat difus,
Papul, Nodus
Tidak terhitung, praktis
tidak ada kulit sehat
Simetris
Halus berkilat
Tidak jelas
Biasanya tidak jelas
Makula, Plakat, Papul
Sukar dihitung, masih
ada kulit sehat
Hampir simetris
Halus berkilat
Agak jelas
Tak jelas
Plakat, Dome-shaped
(kubah), punched –
out
Dapat dihitung. Kulit
sehat jelas ada
Asimetris
Agak kasar, agak
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
Laporan Kasus 10
- Sekret hidung
Tes Lepromin
Banyak (ada globus)
Negatif
Biasanya negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling pasien ini termasuk dalam tipe Morbus
Hansen tipe LL (Lepromatosa Polar) karena lama riwayat penyakit pasien yaitu enam
tahun. Dimana pasien tidak terlalu menunjukkan perubahan yang cepat atau labil. Lesi
kulit pasien berupa makula hipopigmentasi, terdapat infiltrasi difus kulit pada cuping
telinga, bersifat simetris dengan batas kurang jelas, disertai sedikit hilangnya sensasi
pada lesi, hilangnya progresif rambut pada sepertiga bagian luar alis mata (madarosis)
dan bulu mata. Terjadi penebalan saraf perifer, pada n. auricularis magnus yang
berkembang dengan lambat.
Berdasarkan klasifikasi WHO maka pasien ini dimasukkan kedalam morbus
Hansen tipe Multi Basiler karena jumlah lesi yang multipel dan terletak diseluruh tubuh
pasien (simetris), hilangnya sensasi kurang jelas.
Diagnosis Banding
- Tinea korporis5
Biasanya gatal, tidak terjadi hilangnya sensasi rasa, hasil pemeriksaan kerokan
didapatkan penyebabnya adalah jamur.
- Pitiriasis vesikolor5
Pitiriasis vesikolor dapat berupa makula hipopigmentasi tetapi tidak terjadi hilangnya
sensasi raba, kadang bersisik, dan terasa gatal jika berkeringat.
- Tuberkulosis kutis1,5
TBC kulit dapat menyerupai Morbus Hansen tipe tuberkuloid, memiliki dasar
imunologi yang sama dan sering tidak bisa dibedakan pola histologis. Namun, lesinya
tidak anestesi.
- Birth mark1,5
Tanda lahir (Birth mark) merupakan makula berpigmen yang tidak normal, tetapi
secara fisiologis dapat dikatakan normal, tidak terjadi hilangnya sensasi rasa.
Laporan Kasus 11
Penatalaksanaan
Prinsip - prinsip umum penatalaksanaan Morbus Hansen:3,5,
- Memberantas perkembangan penyakit Morbus Hansen.
- Mencegah dan mengobati reaksi.
- Mengurangi resiko kerusakan saraf.
- Mengobati komplikasi kerusakan saraf.
- Merehabilitasi pasien ke masyarakat.
Medikamentosa2,5,8,18
- Pengobatan Morbus Hansen tipe MB pada anak (10-14 tahun) dalam bentuk Multi
Drug Treatment (MDT)
Dosis supervisi (Diminum didepan petugas kesehatan – Sekali sebulan Hari ke 1) :
1 kapsul Rifampisin 300mg + 1 kapsul Rifampisin 150mg + 3 kapsul Klofazimin
50mg + 1 tablet Dapson 50mg.
Dosis Harian (Diminum sekali setiap hari - Hari ke 2-28):
1 kapsul Klofazimin 50mg + 1 tablet Dapson 50mg.
- Rifampisin
Digunakan dalam terapi kombinasi dengan obat lainnya; bekerja menghambat
bakteri DNA-dependent RNA polymerase, bersifat bakterisida terhadap M
leprae.5,8 Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.1,2
- Dapson
Digunakan dalam terapi kombinasi. Bersifat bakterisida dan bakteriostatik
terhadap mikobakteri; mekanisme kerja menghambat pertumbuhan bakteri.5,8
Resistensi terhadap dapson dapat terjadi primer maupun sekunder. Resistensi
sekunder terjadi oleh karena penggunaan Dapson sebagai monoterapi, dosis
yang terlalu rendah, minum obat tidak teratur, pengobatan yang terlalu lama,
setelah 4-24 tahun. Resistensi hanya terjadi pada Morbus Hansen tipe MB. Efek
Laporan Kasus 12
samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia
hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom Dapson, hepatitis,
hipoalbuminemia.1,2 Sindrom Dapson kadang muncul 6 minggu setelah
dimulainya terapi dengan dapson dan bermanifestasi sebagai dermatitis, terkait
dengan limfadenopati, hepatosplenomegali, demam dan hepatitis, dan dapat
berakibat fatal.5
- Klofazimin (Lamprene)
Digunakan dalam terapi kombinasi. Bersifat menghambat pertumbuhan
mikobakteri, mengikat rantai DNA mikobakteri. Memiliki sifat antimikroba
tetapi mekanisme aksi belum diketahui secara pasti.5,8 Klofazimin juga
mempunyai efek anti inflamasi yang berperan dalam penurunan frekuensi dan
keparahan ENL pada penderita Morbus Hansen tipe MB.8
Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan
pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan klofazimin yang
merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial,
mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering
merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek samping hanya
terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri
abdomen, nausea, diare, anoreksia. Selain itu dapat terjadi penurunan berat
badan. Perubahan kulit akan menghilang setelah tiga bulan obat dihentikan.1
Perubahan warna mulai berkurang terasa dalam enam bulan dan kulit kembali
ke warna normal pada akhir satu tahun setelah berhenti penggunaan obat.5,8
Pasien yang resisten atau menolak mengkonsumsi klofazimin dapat digantikan
dengan Ofloksasin dan Miosiklin.3
Pasien merupakan anak – anak umur 14 tahun sehingga dosis obat MDT yang diberikan
adalah Rifampisin 450 mg/bulan (1 kapsul Rifampisin 300mg dan 1 kapsul Rifampisin
150mg), Dapson 50 mg/bulan, Klofazimin 150 mg/bulan (3 kapsul Klofazimin 50mg);
dilanjutkan dengan 1 kapsul Klofazimin 50 mg, dan 1 tablet Dapson 50mg.Terapi
diberikan selama 12 bulan.
Laporan Kasus 13
Prognosis
Prognosis pada Morbus Hansen tergantung pada tipe penyakit. Morbus Hansen
tipe LL mempunyai komplikasi jangka panjang.2,8 Pasien dapat mengalami kerusakan
saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap
terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Jika tidak diobati Morbus
Hansen tipe LL dapat berakibat pada kematian.2,5,8,14,15
Prognosis pada pasien ini,
Quo ad vitam : Ad bonam.
Pasien dalam pengobatan sehingga pasien dapat tetap hidup.
Quo ad fungtionam : Dubia ad malam.
Dikatakan dubia ad malam karena pasien ini mempunyai riwayat penyakit Morbus
Hansen yang cukup lama (6 tahun) sebelum datang berobat ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin. Kerusakan saraf jangka panjang dapat terjadi, selain itu terdapat tanda
madarosis pada pasien, dapat dicurigai terjadi kompikasi ke daerah mata.
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam.
Jika pasien berobat dengan teratur dan tidak putus obat, kemungkinan sembuh dapat
terjadi.
Laporan Kasus 14
Laporan Kasus 15
Laporan Kasus 16
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kelima. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. h. 73-83.
2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA. Fitzpatrick’s Dermatology In
General Medicine. Volume 1 & 2 Seventh Edition. United States of America:
McGraw-Hill Companies, Inc; 2008. p. 1787-1796.
3. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K. Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. Sixth Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies,
Inc; 2009. p. 665-671.
4. James WD, Elston DM, Berger TG. Andrew’s Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. Eleventh Edition. United States of America: Elsevier; 2011. p. 343-
344, 351-352.
5. Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Eighth
Edition. United Kingdom: Wiley-Blackwell; 2010. p. 1469-1486
6. WHO – Leprosy Today. http://www.who.int/lep/en/
7. Leprosy now: epidemiology, progress, challenges, and research gaps.
http://download.thelancet.com/pdfs/journals/laninf/PIIS1473309911700068.pdf?
id=baapX-P3wb6qX6sZ58bwu
8. Medscape – Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/220455
9. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23780/2/Chapter%20II.pdf
10. WebMD – Leprosy.
http://www.webmd.com/skin-problems-and-treatments/guide/leprosy-symptoms-
treatments-history
11. Program Pengendalian Penyakit Kusta di Indonesia. http://pppl.depkes.go.id/berita?
id=948
12. Kusta Tertinggi di Papua. http://cloud.papua.go.id/id/kesehatan/artikel/Pages/Kusta-
Tertinggi-di-Papua.aspx
Laporan Kasus 17
13. Penyakit Kusta di Papua Urutan Ketiga Nasional.
http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/14/04/01/n3ct6q-penyakit-
kusta-di-papua-urutan-ketiga-nasional
14. Fixed-duration therapy in leprosy: Limitations and opportunities.
http://www.eijd.org/article.asp?
issn=00195154;year=2013;volume=58;issue=2;spage=93;epage=100;aulast=Malath
i
15. Journal of Travel Medicine - The Difficulty in Diagnosis and Treatment of Leprosy.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1708-8305.2010.00419.x/pdf
16. Twelve months fixed duration WHO multidrug therapy for multibacillary leprosy:
incidence of relapses in Agra field based cohort study.
http://icmr.nic.in/ijmr/2013/october/1011.pdf
17. Childhood leprosy in a tertiary-care hospital in Delhi, India: A reappraisal in
thepost-elimination era.
http://www.lepra.org.uk/platforms/lepra/files/lr/Sept11/1619.pdf
18. WHO - Guide to Eliminate Leprosy as a Public Health Problem.
http://www.paho.org/hq/index.php?
option=com_docman&task=doc_view&gid=19771&Itemid=
Laporan Kasus 18