artikel 13

Upload: nofa-puspita

Post on 31-Oct-2015

34 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

  • PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN

    BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG

    PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS

    PUTUSAN PENGADILAN AGAMA LUBUK BASUNG NO. 68/ PDT.G/

    2009/ PA. LB).

    ARTIKEL

    Oleh :

    DILA DASRIL 0921211003

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS ANDALAS

    PADANG

    2011

  • ARTIKEL

    PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN BERDASARKAN UNDANG-

    UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM

    ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA LUBUK BASUNG NO. 68/

    PDT.G/ 2009/ PA. LB).

    Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

    perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami

    istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

    kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan

    perkawinan maka timbulah hak dan kewajiban antara suami-istri secara timbal

    balik, demikian juga akan timbul hak dan kewajiban antara orang tua dan anak

    secara timbal balik.1

    Dikarenakan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah

    tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka

    Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mempersulit terjadinya

    perceraian. Ditentukan bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang

    Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan tidak berhasil mendamaikan

    kedua belah pihak. Diisyaratkan juga bahwa untuk melakukan perceraian harus

    ada cukup alasan, yaitu bahwa antara suami istri tersebut tidak akan dapat hidup

    rukun sebagai suami istri. Menurut Pasal 38 Undangundang No.1 tahun 1974

    tentang Perkawinan, putusnya perkawinan disebabkan karena 3 (tiga) hal, yaitu :

    1) Kematian

    2) Perceraian

    3) Atas keputusan Pengadilan

    1 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, Hal. 6

  • Terjdinya peristiwa-peristiwa dalam rumah tangga, yaitu perselisihan,

    pertengkaran atau percekcokkan antara suami istri akan mengakibatkan terjadinya

    perceraian, jika tidak diselesaikan dengan baik.

    Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan

    perceraian, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No.1 tahun

    1974 tentang Perkawinan, dan diulang lagi yang sama bunyinya dalam Pasal 19

    Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 adalah :

    a) Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan

    lain sebagainya serta sukar disembuhkan;

    b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut,

    tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar

    kemampuannya;

    c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang

    lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

    d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

    membahayakan terhadap pihak yang lain;

    e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak

    dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

    f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

    tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

    Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka suami atau istri dapat

    mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama

    setempat, yaitu untuk mengajukan cerai talak atau cerai gugat.2 Cerai talak adalah

    2 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980,

    Hal.38.

  • diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama

    Islam. Sedangkan cerai gugat, adalah diperuntukkan bagi mereka yang

    melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya selain agama

    Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama

    Islam. Kemudian hakim akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada

    pihak suami atau istri setelah diterimanya surat gugatan. Hakim akan menawarkan

    kepada para pihak untuk menghendaki perdamaian atau tidak. Jika tidak

    menghendaki perdamaian, maka hakim akan memutuskan putusan gugatan

    perceraian tersebut yang dilakukan dalam sidang terbuka yang dapat dihadiri oleh

    umum, dihitung sejak saat pendaftaran putusan perceraian itu di Kantor Catatan

    Sipil.

    Putusan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum

    terhadap : 3

    1) Orang tua / anak

    2) Harta benda perkawinan

    1.1. Orang tua / anak

    Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal 41 UU No.1

    tahun 1974 tentang Perkawinan ialah :

    a) Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

    anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada

    perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi

    keputusannya;

    3 Ibid, Hal 34 -35

  • b) Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang

    diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat

    memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu

    ikut memikul biaya tersebut;

    c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

    penghidupan dan/menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

    Mengenai kedudukan anak, apabila anak sudah dewasa dapat mengikuti

    ayahnya dan apabila anak belum dewasa mengikuti ibunya. Apabila anak-anak

    sudah menjadi dewasa, keputusan diserahkan kepada mereka hendak mengikuti

    ayah atau ibunya. Dalam melakukan pembagian harta benda perkawinan harus

    memperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa akan diserahkan tentang

    pemeliharaan, dan pendidikan anak. Mengenai status suami istri yang telah

    bercerai menjadi duda atau janda, dapat melakukan perkawinan kembali dengan

    orang lain, dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh UU

    No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

    2.1. Harta benda perkawinan

    Ketentuan mengenai harta benda perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974

    tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 35, 36, dan 37. Harta benda yang diperoleh

    selama Perkawinan, menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing

    suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau

    warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak

    menentukan lain(Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU No.1 tahun 1974 tentang

    Perkawinan). Harta bawaan suami atau istri kembali kepada para pihak masing-

    masing, yang membawa harta benda tersebut ke dalam perkawinan.

  • Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan

    kedua belah pihak. Harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak

    sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya(Pasal

    36 ayat (1) dan (2) UUP). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama

    diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud menurut

    hukumnya masing-masing yaitu menurut Hukum Agama, Hukum Adat, dan Kitab

    Undang-undang Hukum Perdata(Penjelasan Pasal 37 UUP).

    Para pencari keadilan (justiabelen), tentu mengharapkan agar keadilan dan

    perlindungan hukum yang diperolehnya menjadi kenyataan. Untuk menjamin hak-

    hak pencari keadilan tersebut maka hukum memberi jalan dengan hak baginya

    untuk mengajukan permohonan sita terhadap barangbarang sengketa atau yang

    dijadikan jaminan. Didalam praktek dikenal ada 4 (empat) macam sita yaitu :

    1. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)

    2. Sita Hak Milik (Rivindcatoir Beslag)

    3. Sita Harta Bersama (Marital Beslag)

    4. Sita Eksekusi (Executoir Beslag)

    Setiap sita mempunyai tujuan tertentu (berbeda-beda) namun tujuan akhir

    daripada sita tidak lain untuk menjamin agar :

    a. putusan Hakim secara nyata dapat diwujudkan

    b. putusan Hakim tidak hampa karena barang sengketa telah

    tiada/dipindahtangankan.

    Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu,

    dalam perkawinan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan yang tetap bertahan

    hingga pasangan tersebut dipisahkan oleh keadaan, dimana salah satunya

  • meninggal dunia. Perkawinan dianggap penyatuan antara dua jiwa yang

    sebelumnya hidup sendiri-sendiri, begitu gerbang perkawinan sudah dimasuki,

    masing-masing individu tidak bisa lagi memikirkan diri sendiri akan tetapi harus

    memikirkan orang lain yang bergantung hidup kepadanya.

    Berawal dari perkawinan inilah akan terbentuk sebuah keluarga yang

    beranggotakan ayah, ibu dan anak-anak, di mana seorang ayah bertindak sebagai

    pemimpin keluarga dan memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan semua

    anggota keluarga. Ibu bertindak lebih banyak dalam fungsi pengawasan kepada

    anak-anak dan membantu suami memenuhi kebutuhan yang diperlukan untuk

    menjalankan organisasi kecil yang disebut keluarga ini. Antara semua anggota

    keluarga satu sama lainnya memiliki hubungan timbal balik yang tidak

    terpisahkan.

    Dalam keluarga, suami dan istri merupakan bagian inti, hubungan mereka

    mencerminkan bagaimana satu manusia dengan manusia yang lainnya berbeda

    jenis kelamin bersatu membentuk kesatuan untuk mempertahankan hidup dan

    menciptakan keturunan yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sehingga

    bisa dibayangkan jika tanpa suami ataupun istri keluarga tidak dapat terbentuk dan

    masyarakatpun tidak akan pernah ada untuk membentuk kesatuan yang lebih

    besar yaitu suatu negara. Hal ini memperlihatkan kepada kita betapa pentingnya

    perkawinan dalam tatanan kehidupan manusia.

    Semua individu yang sudah memasuki kehidupan berumah tangga pasti

    mengiginkan terciptanya suatu rumah tangga yang bahagia, sejahtera lahir dan

    batin serta memperoleh keselamatan hidup dunia maupun akhirat nantinya. Tentu

    saja dari keluarga yang bahagia ini akan tercipta suatu masyarakat yang harmonis

  • dan akan tercipta masyarakat rukun, damai, adil dan makmur. Setiap pasangan

    suami istri pasti mendambakan keharmonisan berumah tangga, sehingga

    diperlukan perjuangan untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga sampai ajal

    menjemput nantinya, hal ini dikarenakan dalam keluarga akan selalu muncul

    permasalahan yang sangat bisa mengoyahkan persatuan yang dibina tadi, bahkan

    keutuhan keluarga yang kuat bisa terancam dan berakibat kepada perceraian.

    Prinsip perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga atau rumah

    tangga yang tentram, damai dan kekal untuk selama-lamanya, makanya proses

    untuk menuju perceraian itu tidaklah gampang bahkan dipersulit, suami tidak bisa

    begitu saja menjatuhkan talak kepada istri demikianpun sebaliknya istri tidak bisa

    lansung meminta cerai kepada suaminya. Baik suami ataupun istri diberikan

    kesempatan untuk mencari penyelesaian dengan jalan damai yakni dengan jalan

    musyawarah, jika masih belum terdapat kesepakatan dan merasa tidak bisa

    melanjutkan keutuhan keluarga maka barulah kedua belah pihak bisa membawa

    permasalahan ini ke pengadilan untuk dicari jalan keluar yang terbaik.

    Hal yang paling sering terjadi pada masyarakat Indonesia yang mayoritas

    beragama Islam saat ini adalah setelah terjadinya perceraian, mengenai kedudukan

    atau pembagian harta bersama antara suami dan istri yang bercerai tersebut,

    banyak masyarakat yang memilih Pengadilan Agama untuk menyelesaikan

    pertikaian pembagian harta bersama. Pembagian harta bersama menurut ketentuan

    Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

    ditetapkan secara tegas berapa bagian masing-masing suami atau istri yang

    bercerai baik cerai hidup maupun cerai mati.

  • Harta bersama ada pada saat perkawinan berlangsung sedangkan harta

    bawaan diperoleh sebelum berlangsungnya perkawinan, namun kenyataannya

    dalam keluarga-keluarga di Indonesia banyak yang tidak mencatat tentang harta

    bersama yang mereka miliki. Pada perkawinan yang masih baru pemisahan harta

    bawaan dan harta bersama itu masih nampak, akan tetapi pada usia perkawinan

    yang sudah tua, harta bawaan maupun harta bersama itu sudah sulit untuk

    dijelaskan secara terperinci satu persatu.

    Selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di

    Indonesia juga berlaku Kompilasi Hukum Islam, yang berkaitan dengan

    pembagian harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 96 dan 97 Kompilasi

    Hukum Islam tersebut, yang menyebutkan bahwa pembagian harta bersama baik

    cerai hidup maupun cerai mati ini, masing-masing mendapat setengah dari harta

    bersama tersebut. Selengkapnya Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam berbunyi :

    (1) Apabila terjadi cerai mati, maka separo harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. (2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau mati secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama. Sedangkan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: Janda atau duda yang

    cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak

    ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dari uraian di atas, dapat diambil

    pengertian bahwa pembagian harta bersama karena cerai hidup dapat dilakukan

    secara langsung antara bekas istri dan suami dengan pembagian masing-masing

    separo bagian.

    Perkara yang menyangkut perceraian dan kemudian berlanjut dengan

    pembagian harta bersama ini terjadi di seluruh wilayah Indonesia termasuk di

  • wilayah hukum Pengadilan Agama Lubuk Basung yang mayoritas masyarakatnya

    beragama Islam dan tentunya penyelesaian kasus pembagian harta bersama ini

    berada dalam kewenangan Pengadilan Agama.

    Perkawinan merupakan peristiwa yang sakral bagi pemahaman masyarakat

    Indonesia, suatu perkawinan diharapkan senantiasa dapat berjalan langgeng

    sampai hari tua, namun seperti pepatah melayu klasik menyebutkan,dikira panas

    sampai petang kiranya hujan ditengah hari. Maksud dari petuah klasik ini adalah

    segala sesuatu dapat dan mungkin terjadi dalam kehidupan manusia. Seperti

    perkawinan yang selalu diharapkan berjalan dengan baik dapat saja berakhir

    dengan suatu perceraian. Perceraian dalam kaca mata hukum merupakan suatu

    peristiwa hukum yang tentunya akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat

    hukum, termasuk salah satunya dalam ruang lingkup harta kekayaan dalam

    perkawinan.

    Pembagian harta kekayaan dalam perkawinan senantiasa merupakan

    bagian yang krusial dari suatu perceraian. Hal ini dapat kita cermati dari

    banyaknya kasus yang menarik perhatian publik terhadap pembagian harta

    perkawinan. Tidak setiap putusan perceraian diikuti pembagian harta bersama

    berdasarkan beberapa hal :

    - Mereka tidak bersengketa atau tidak mempermasalahkan harta bersamanya.

    Dalam hal ini biasanya kedua belah pihak bersepakat atau untuk membagi

    harta bersama secara kekeluargaan di luar sidang, cara ini sebetulnya yang

    paling baik karena ringan biaya, singkat waktu dan tidak ada permusuhan.

  • - Ada pula kedua belah pihak bersepakat agar harta bersama itu tidak dibagi

    kepada suami isteri yang bercerai tetapi dengan persetujuan bersama diberikan

    kepada anak-anaknya.

    - Ada pula antara para pihak itu yang tidak mempermasalahkan harta bersama

    yang penting cerai.

    Sedangkan faktor-faktor yang melatar belakangi diajukannya permohonan

    gugatan pembagian harta bersama adalah :

    - Kedua belah pihak atau salah satunya membutuhkan harta bersama tersebut.

    - Salah satu pihak berniat tidak baik atau menguasai harta bersama atau tidak

    membagi kepada pasangannya yang dicerai.4

    Pembagian harta bersama lewat Pengadilan Agama, bisa diajukan

    serempak dengan pengajuan gugatan perceraian (kumulatif) atau dapat pula

    digugat tersendiri setelah putus perceraian baik secara langsung oleh yang

    bersangkutan maupun memakai jasa pengacara. Pemeriksaan pembagian harta

    bersama dalam hal yang kumulatif dilakukan setelah pemeriksaan gugatan cerai.

    Apabila gugatan cerainya ditolak, maka pembagian harta bersamanya biasanya

    juga ditolak. Karena pembagian harta bersama tersebut menginduk pada gugatan

    cerai. Kecuali kalau minta pemisahan harta bersama, karena salah satu pihak

    dikuatirkan atau bahkan terbukti menghilangkan harta bersama dengan

    permohonan tersendiri.5

    Pengaturan tentang pengajuan permohonan pembagian harta bersama dan

    perceraian terdapat dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

    4 Hasil wawancara dengan Drs. Syafri Amrul, selaku Ketua Pengadilan Agama Lubuk

    Basung, tanggal 25 April 2011 5 Hasil wawancara dengan Drs. Syafri Amrul, selaku Ketua Pengadilan Agama Lubuk

    Basung, tanggal 25 april 2011

  • Tentang Pengadilan Agama yang tidak dirubah ketentuannya dalam Undang-

    Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7

    Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Bunyi dari ketentuan pasal tersebut adalah

    Gugatan soal penguasaaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama

    suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun

    sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hokum tetap (Zainal Abidin

    Abubakar, 1993: 267).

    Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengajuan

    permohonan pembagian harta bersama dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

    a. Pengajuan permohonan pembagian harta bersama yang disertakan pada

    gugatan perceraian (dilakukan secara bersamaan)

    Cara ini berarti, bahwa penggugat atau pihak yang mengajukan

    permohonan cerai, dalam gugatannya tersebut juga memohonkan atas

    pembagian harta bersama. Menurut pendapat penulis, pengajuan Permohonan

    pembagian harta bersama yang dijadikan satu dengan gugatan perceraian

    mempunyai kelebihan yaitu bahwa para pihak tidak perlu lagi mengajukan

    gugatan kepada Pengadilan Agama setelah mereka mendapat putusan

    terkabulnya permohonan cerai. Ketika permohonan cerai disetujui oleh hakim,

    dan hakim memutuskan bahwa para pihak telah sah bercerai, dalam putusan

    tersebut juga telah diputus tentang pembagian harta bersama yang diminta

    oleh pihak yang mengajukan gugatan atas harta yang mereka dapat selama

    perkawinan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa gugatan perceraian dan

    gugatan pembagian harta bersama terdapat dalam satu gugatan, para pihak

    tidak perlu mengajukan gugatan lagi.

  • Disamping kelebihan tersebut, pengajuan gugatan perceraian yang

    disertai dengan gugatan harta bersama mempunyai kelemahan. Kelemahan

    tersebut adalah dibutuhkannya banyak waktu yang harus digunakan oleh

    hakim dalam memutus perkara tersebut. Hakim membutuhkan waktu yang

    banyak, karena hakim selain memeriksa gugatan perceraian juga langsung

    memeriksa dan memutus tentang pembagian harta bersama yang dimohonkan

    para pihak.

    Menurut pendapat penulis, selang waktu antara pengajuan gugatan dan

    penjatuhan putusan pada perkara permohonan pembagian harta bersama yang

    dijadikan satu dengan gugatan perceraian dapat dikatakan cukup lama. Hal

    tersebut dapat dikatakan tidak efisiensi waktu dan biaya, dimana para pihak

    harus mengurus persidangan yang membutuhkan waktu yang lama, sehingga

    para pihak masih terikat dengan pihak lain sampai adanya putusan perceraian

    dari hakim.

    b. Pengajuan permohonan pembagian harta bersama tidak disertakan pada

    gugatan perceraian (diajukan secara terpisah)

    Secara umum pembagian harta bersama baru bisa dilakukan setelah

    adanya gugatan cerai. Hal tersebut berarti daftar harta bersama dan bukti-

    buktinya dapat diproses jika harta tersebut diperoleh selama perkawinan dan

    dapat disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (posita), yang

    kemudian disebutkan dalam permintaan pembagian harta bersama dalam

    berkas tuntutan (petitum). Namun gugatan cerai belum menyebutkan tentang

    pembagian harta bersama, untuk itu pihak suami atau istri dapat mengajukan

    gugatan baru yang terpisah setelah adanya putusan cerai yang dikeluarkan

  • oleh pengadilan. Dalam hal ini bagi yang beragama Islam gugatan diajukan ke

    Pengadilan Agama dimana tergugat bertempat tinggal, sedangkan yang

    beragama nonmuslim gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah

    tempat tinggal tergugat.

    Menurut pendapat penulis, pengajuan pembagian harta bersama yang

    dipisahkan atau tidak dijadikan satu dengan gugatan perceraian juga

    mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan tersebut adalah waktu yang

    diperlukan untuk memutus perkara cerai itu sendiri tidak memerlukan waktu

    yang lama, karena hakim hanya memutus tentang permohonana cerai saja.

    Dibalik kelebihan yang berupa efisiensi waktu tersebut, pengajuan dengan

    cara ini mempunyai kekurangan yaitu untuk mendapat kepastian tentang

    pembagian harta bersama memerlukan waktu lagi. Pihak yang ingin

    mengajukan gugatan pembagian harta bersama harus menunggu dahulu

    putusan cerai dari hakim. Apabila hakim sudah menetapkan putusan bahwa

    para pihak telah bercerai. Baru para pihak dapat mengajukan gugatan

    pembagian harta bersama. Pihak yang ingin mengajukan gugatan tentang harta

    bersama, harus membuat gugatan yang ditujukan dan diajukan kepada

    Pengadilan Agama yang berwenang memutus permohonan tersebut. Para

    pihak harus menunggu proses pembagian harta bersama oleh hakim tersebut.

    Setelah mendapat putusan dari hakim, barulah sita marital dapat dilaksanakan.

    Pengaturan lain tentang pengajuan pembagian harta bersama terdapat

    dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

    Pasal tersebut mengatur mengenai suatu perkawinan dimana apabila

    perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya

  • masing-masing pihak yang bercerai. Pasal tersebut tidak menjelaskan suatu

    pengaturan mengenai pengajuan permohonan pembagian harta bersama jika

    dikaitkan dengan pengajuan gugatan perceraian. Pengaturan mengenai

    pengajuan pembagian harta bersama diatur menurut hukum yang berlaku bagi

    para pihak, pihak yang mengajukan permohonan di Pengadilan Agama

    pastinya merupakan orang yang beragama Islam. Tentunya Hukum yang

    dimaksud disini adalah hukum yang berlaku bagi orang Islam yaitu Kompilasi

    Hukum Islam.

    Kompilasi Hukum Islam sendiri dalam Pasal 132 hanya mengatur

    mengenai pengajuan gugatan perceraian, sama sekali tidak menyinggung

    pengajuan gugatan pembagian harta bersama. Mengenai perselisihan atas harta

    bersama, Pasal 88 mengatur bahwa penyelesaian perkara diajukan kepada

    Pengadilan Agama. Ketentuan Pasal 136 Kompilasi Hukum Islam

    menjelaskan mengenai kewenangan Pengadilan Agama menentukan suatu hal

    atas harta bersama dengan permohonan dari penggugat ataupun tergugat bila

    terjadi perceraian. Pasal 136 Kompilasi Hukum Islam ini memang tidak

    mengatur tentang pengajuan permohonan pembagian harta bersama apakah

    dijadikan satu atau tidak dengan gugatan perceraian, tapi pasal-pasal ini

    menjelaskan mengenai penentuan suatu hal akan harta bersama atas

    permohonan penggugat ataupun tergugat kepada Pengadilan Agama baik

    dalam perkara cerai ataupun tidak cerai dengan alasan yang ditetapkan oleh

    undang-undang.

    Perkara perceraian yang terjadi, baik cerai talak maupun cerai gugat,

    biasanya permohonan pengajuan perkara cerai dirangkaikan atau dijadikan

  • satu dengan perkara pembagian harta bersama. Hal tersebut mempunyai akibat

    yaitu seringkali putusan perkara cerai menjadi tertunda dan lama. Putusan

    cerai tersebut menjadi lama karena para pihak sekaligus ingin mendapat

    putusan tentang harta bersama yang akan menjadi hak mereka masing-masing.

    Tidak jarang ketika menyangkut pembagian harta bersama, para pihak yang

    dulu hidup rukun dalam suatu rumah tangga harus beradu pendapat

    mempertahankan keinginannya masing-masing untuk memperebutkan harta

    yang mereka dapat selama perkawinan. Tidak jarang penyelesaian kasusnya

    sampai pada tingkat banding di Provinsi bahkan juga terkadang sampai ke

    tingkat kasasi.

    Pada perkara Nomor 68/Pdt.G/2009/PA. LB tersebut permohonan pembagian

    harta bersama dilakukan dengan cara terpisah. Pihak penggugat dan tergugat

    telah mendapat putusan cerai dari Pengadilan Agama, kemudian untuk

    tindakan lebih lanjut tentang pembagian harta bersama, penggugat

    menagjukan permohonan pembagian harta bersama. Pihak penggugat dan

    tergugat telah mendapat putusan cerai dari Pengadilan Agama Lubuk Basung

    pada tahun 2009 dengan Nomor Putusan 48/Pdt.G/PA.LB dan dituangkan

    dalam akta cerai nomor 46/AC/2009/PA.LB. Putusan perceraian tersebut

    sudah dijatuhkan oleh hakim pada tanggal 26 Mei 2009 oleh Pengadilan

    Agama Lubuk Basung. Penggugat kemudian mengajukan permohonan

    pembagian harta bersama, dimana gugatan pembagian harta bersama tersebut

    diajukan pada tanggal 24 Juni 2009. Terdapat selang waktu dua bulan antara

    jatuhnya putusan cerai dari Pengadilan Agama dan pengajuan permohonan

    pembagian harta bersama oleh penggugat.

  • Menurut pendapat penulis, selang waktu ini dapat dikatakan cukup

    lama. Kemungkinan penggugat mempunyai alasan-alasan tersendiri kenapa

    baru mengajukan permohonan pembagian harta bersama setelah dua bulan.

    Pihak penggugat mengajukan permohonan pembagian harta bersama

    atau gono gini tersebut secara terpisah atau tidak dijadikan satu dengan

    gugatan perceraian karena dengan pertimbangan faktor mendapat kepastian

    hokum yang cepat akan putusnya perkawinan penggugat dan tergugat. Proses

    hokum akan berjalan cepat karena Majelis hakim hanya memeriksa dan

    memutus gugatan perceraian saja tanpa mempermasalahkan mengenai harta

    bersama. Dengan adanya putusan cerai yang terlebih dahulu dijatuhkan, para

    pihak dapat bertindak mandiri tanpa terikat dengan pihak mantan suami atau

    istri sembari menunggu putusan tentang pembagian harta bersama yang

    diajukan. Karena tidak jarang proses peradilan dalam perkara perceraian

    menjadi sangat lama, bahkan tidak jarang menjadi tertunda karena tersangkut

    masalah harta bersama, tidak jarang pula masalah harta bersama sampai pada

    tingkat banding atau kasasi.

    Menurut pendapat penulis, cara yang paling tepat untuk pengajuan

    permohonan pembagian harta bersama adalah secara terpisah dari gugatan

    perceraian. Hal tersebut untuk efisiensiensi waktu, yaitu proses peradilan yang

    cepat sehingga para pihak yang berperkara dapat memperoleh kepastian

    hukum yang tertuang di putusan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama

    akan perceraian, sehingga para pihak tidak terikat dengan pihak lain dalam

    hubungan perkawinan. ketika para pihak sudah bercerai. Pembagian harta

    bersama dapat dilakukan.

  • Pertimbangan Hukum Hakim Yang Mempengaruhi Pembagian Harta

    Bersama Pada Putusan Nomor 68/ Pdt.G/2009/PA.LB Ditinjau Dari Kompilasi

    Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

    Dalam replik yang diajukan oleh penggugat, penggugat menggunakan dasar

    Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu mengenai arti perkawinan.

    Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara suami dan istri dengan tujuan

    membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

    Esa, jadi menurut asasnya seorang suami dan istri bersatu baik dari segi materiil

    ataupun spirituil. Telah dinyatakan jelas dalam Pasal 35 Undang-undang

    Perkawinan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

    bersama, terbukti bahwa dalam objek sengketa adalah pembelian perkawinan oleh

    tergugat sewaktu masih menjadi suami penggugat.

    Putusan tersebut tidak menuangkan secara eksplisit penggunaan Kompilasi

    Hukum Islam dalam pembagian harta bersama. Tetapi secara implisit aturan

    dalam Kompilasi Hukum Islam yang digunakan adalah ketentuan yang terdapat

    dalam Pasal 97 yaitu mengenai presentase pembagian harta bersama, dimana

    masing-masing pihak berhak mendapatkan setengah dari harta bersama.

    Pembagian harta gono gini secara adil akan dapat menentramkan

    kehidupan setelah pasangan suami istri itu berpisah. Islam mengajarkan kepada

    umat manusia agar senantiasa menyelesaikan masalah kehidupan di dunia dengan

    prinsip keadilan, termasuk dalam hal pembagian harta bersama. Masalah

    pembagian harta bersama jika tidak diselesaikan dengan adil hanya akan

    menimbulkan percecokan diantara para pihak (Happy Susanto,2008:72). Pasal 31

    ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur

  • bahwa kedudukan suami dan istri dalam kehidupan rumahtangga dan pergaulan

    masyarakat adalah seimbang. Seimbang yang dimaksud adalah bahwa kedudukan

    antara suami dan istri adalah sama, sederajad, tidak ada yang lebih tinggi salah

    satu pihak. Seimbang disini juga termasuk didalamnya adalah seimbang mengenai

    pembagian harta benda yang di dapat dalam perkawinan, dimana baik suami atau

    istri mendapat bagian yang sama yaitu masing-masing mendapat setengah dari

    harta bersama yang dimiliki berdasarkan prinsip keadilan.

    Menurut pendapat penulis, keadilan yang dimaksud mencakup pada

    pengertian bahwa pembagian tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak.

    Kepentingan masing-masing pihak perlu diakomodasi selama sesuai dengan

    kenyataan yang sesungguhnya. Pembagian harta gono-gini sebaiknya dilakukan

    berdasarkan prinsip keadilan, sehingga diharapkan tidak menimbulkan

    ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan mana yang merupakan

    hak istri. Menurut pendapat penulis, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

    Tentang Perkawinan tidak mengatur tentang pertimbangan hukum yang

    mempengaruhi pembagian harta bersama. Pasal 37 hanya menjelaskan mengenai

    pengaturan pembagian harta bersama bila terjadi perceraian diserahkan kepada

    hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak.

    Hukumnya masing-masing berarti adalah mencakup hukum agama, hukum

    adat, dan sebagainya. Bagi umat Islam ketentuan pembagian harta bersama diatur

    dalam Kompilasi Hukum Islam. Bagi penganut agama lain pengaturan tentang

    harta bersama diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum erdata. Suatu undang-

    undang yang didalamnya tidak mengatur secara rinci tentang suatu masalah, pada

    umumnya diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah atau yang sering

  • disebut dengan PP. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

    diatur dan diperjelas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang

    Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

    Ironisnya, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam pasal-

    pasalnya juga tidak mengatur tentang pertimbangan hukum yang mempengaruhi

    pembagian harta bersama. Peraturan Pemerintah ini dalam isinya malah sama

    sekali tidak mengatur tentang pelaksanaan dari pasal-pasal yang mengatur tentang

    pembagian harta bersama yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

    1974.

    Di Indonesia berlaku suatu asas yaitu asas Lex spesialis derogat Lex

    Generalis, yaitu suatu asas dimana hukum yang bersifat khusus mengesampingkan

    hukum yang bersifat umum. Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu aturan

    yang bersifat khusus yang mengatur mengenai suatu aturan yang mengatur hal-hal

    yang berlaku bagi orang yang beragama Islam. Dalam perkara ini berarti

    Kompilasi Hukum Islam yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-undang

    Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang bersifat umum.

    Menurut pendapat penulis, pengaturan mengenai pertimbangan hukum

    yang mempengaruhi pembagian harta bersama diatur dalam Kompilasi Hukum

    Islam. Salah satu pasal yang mengatur tentang harta bersama adalah Pasal 88 dan

    95. Pasal 88 mengatur bahwa bila terdapat sengketa atas harta bersama, maka

    akan diserahkan kepada Pengadilan Agama yang berwenang. Pasal tersebut

    merupakan pasal dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang

    pembagian harta bersama bila terjadi perselisihan. Kompilasi Hukum Islam

    menyerahkan semua hal yang berkaitan dengan pembagian harta bersama kepada

  • Pengadilan Agama yang berwenang menyelesaikan permohonan sengketa harta

    bersama tersebut. Diserahkan kepada Pengadilan Agama berarti penentuan dari

    perkara yang dihadapi berada ditangan majelis hakim yang memutus perkara

    berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam persidangan dan juga saksi yang diajukan

    masing-masing pihak.

    Menurut pendapat penulis, penyelesaian melalui pengdilan ini merupakan

    sebuah alternatif penyelesaian perkara. Pasangan dapat memilih cara yang lebih

    elegan yaitu dengan cara damai atau musyawarah. Cara ini jauh lebih baik karena

    tidak perlu berbelit-belit, memakan waktu, memakan biaya, dan atau juga

    memakan perasaan para pihak. Cara ini dapat dipergunakan selama dilakukan

    dengan seadil-adilnya. Dalam musyawarah para pihak dapat sepakat mengenai

    presentase pembagian harat bersama, tidak harus setengah-setengah. Istri dapat

    memperoleh presentase sepertiga dan suami dua pertiga atau sebaliknya asalkan

    tidak ada yang mersa dirugikan atau dicurangi. Namun jika memang cara

    penyelesaian sengketa melalui jalur damai tidak dapat terlaksana dan jalur hukum

    (pengadilan) dianggap lebih tepat dalam hal memperoleh keadilan, maka hal

    tersebut dapat dilakukan.

    Pengaturan lebih lanjut tentang pertimbangan hukum yang dijadikan dasar

    pembagian harta bersama terdapat dalam Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam ayat

    (1) yaitu yang berbunyi :

    Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan

    Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau istri

    dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas

    harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu

  • melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama

    seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.

    Pengaturan lain dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam Pasal 97.

    Pasal ini mengatur mengenai hak-hak masing pihak atas harta bersama bila terjadi

    perceraian. Masing-masing pihak berhak setengah dari harta bersama, kecuali

    ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Pembagian harta dengan komposisi

    dibagi dua dengan presentase 50:50 pun belum tentu sepenuhnya dianggap adil

    dan keputusannya juga tidak mutlak. Pada umumnya pembagian dengan

    komposisi tersebut baru sebatas membagi harta secara formal.

    Pihak pengadilan dapat memutuskan pembagian harta bersama dengan

    presentase lain dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Berdasarkan

    ketentuan pasal-pasal tersebut, terdapat beberapa pertimbangan hukum yang

    dianggap dapat mempengaruhi pembagian harta bersama. Pertimbangan hukum

    tersebut adalah : judi, mabuk, boros, peran para pihak dalam keluarga, dan siapa

    yang ternyata mampu membiayai hidup sendiri.

    Suatu pembagian harta bersama dalam pelaksanaannya adalah masing-

    masing pihak mendapat bagian setengah-setengah (50:50) dari harta bersama

    selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Perkara Nomor

    68/Pdt.G/2009/PA.LB tersebut terdapat pembagian harta bersama karena pihak

    penggugat dapat membuktikan tuntutannya bahwa penggugat ikut objek sengketa

    merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan atau harta bersama.

    Menurut pendapat penulis, terdapat perbedaan yang jelas mengenai

    perbedaan harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama merupakan harta yang

    didapat selama perkawinan dan merupakan hasil kerja dari kedua belah pihak atau

  • salah satu satunya. Sedangkan harta bawaan adalah harta yang didapat para pihak

    dari pemberian, warisan, ataupun hadiah. Harta bawaan dapat berubah menjadi

    harta bersama apabila kedua belah pihak telah membuat kesepakatan ataupun

    perjanjian dalam perkawinan mereka.

    Menurut pendapat penulis, bila ditinjau dari Undang-undang Perkawinan

    maka pelaksanaan pembagian harta bersama pada perkara Nomor

    68/Pdt.G/2009/PA.LB telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dikatakan

    sesuai karena harta yang dijadikan objek perkara dapat dibuktikan oleh penggugat

    kalau objek sengketa merupakan harta bersama.

    Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa bila

    perkawinan putus karena perceraian, mengenai harta bersama diatur menurut

    hukumnya masing-masing. Hal tersebut berarti mengenai pelaksanaan pembagian

    harta bersama kembali lagi kepada Kompilasi Hukum Islam yang berisi peraturan

    bagi orang yang beragama Islam. Menurut pendapat penulis, Putusan Pengadilan

    Agama Lubuk Basung Nomor 68/Pdt.G/2009/PA.LB mengenai permohonan harta

    gono gini jika ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam juga dapat dikatakan telah

    sesuai dengan mendasarkan pada ketentuan pasal-pasal yang menyangkut

    mengenai harta bersama. Kompilasi hukum Islam dalam Pasal 86 ayat (2)

    menjelaskan tentang harta milik istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh

    oleh istri dan juga harta milik suami tetap menjadi milik dan penguasaan suami.

    Hak milik tersebut berlaku pula akan harta bawaan, Pasal 87 ayat (1) menjelaskan

    mengenai harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang

    diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan

    masing-masing sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian. Ketentuan pasal

  • tersebut pada intinya sama dengan ketentuan yang berada pada pasal 35 ayat (2)

    Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Kedua pasal tersebut sama-sama mengatur

    bahwa seorang suami atau istri berhak menguasai harta yang didapat sebagai

    hadiah atau warisan, dan harta tersebut tidak dapat dikatakan sebagai harta

    bersama dalam perkawinan.

    Pelaksanaan pembagian harta bersama pada perkara nomor

    68/Pdt.G/2009/PA.LB jika dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun

    1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam maka dapat dikatakan

    telah sesuai. Sesuai dengan peraturan hukum yang ada dan berlaku bagi para

    pihak yang bersengketa. Menurut pendapat penulis, apabila melihat uraian diatas

    maka dapat diketahui bahwa keabsahan secara yuridis yang dalam hal ini adalah

    ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

    Kompilasi Hukum Islam, merupakan hal utama yang dijadikan sebagai dasar

    pembenar mengenai keadilan meskipun tanpa dipungkiri norma etis telah

    memperkuat kekuatan berlakunya hukum positif tersebut. Negara Indonesia yang

    menganut paham positivisme dalam kehidupan hukumnya, menganggap bahwa

    makna keadilan tereduksi menjadi keadilan menurut makna yuridisnya. Jadi,

    keadilan dianggap telah ada apabila subyek hukum telah memperoleh hak-hak

    secara yuridis bukan menurut segi etis

    Perceraian yang terjadi akan berakibat pula terhadap harta bersama yang

    diperoleh semasa dalam perkawinan, ada juga harta benda yang menjadi hak

    sepenuhnya masing-masing sebelum terjadi perkawinan ataupun yang diperoleh

    masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan usaha

    bersama, misalnya menerima warisan, hibah , hadiah dan lainnya dalam hal yang

  • demikian maka harta tersebut tetap dikuasai masing-masing kecuali ditentukan

    menjadi harta bersama. Sesuai Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam bahwa adanya

    harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta

    milik masing-masing suami atau isteri. Masalah harta bersama ini baik suami atau

    isteri dapat mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak.

    Bahkan sepanjang tidak ada perjanjian yang disahkan sebelum perkawinan

    berlangsung maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

    bersama. Tetapi bila saja sebelumnya terdapat suatu perjanjian perkawinan yang

    dibuat dengan persetujuan kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut merupakan

    perjanjian perkawinan yang sah dan berlaku.

    Berdasarkan penelitian penulis terhadap Putusan Nomor

    68/Pdt.G/2009/PA.LB bahwa penyelesaian kasus atau perkara pembagian harta

    bersama sebagai akibat dari perceraian yang telah diputus, Hakim mengalami

    suatu permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

    a. Untuk pembagian harta bersama yang berbentuk tanah yang berbidang-bidang

    dan di tempat yang berbeda-beda, sangat sulit menentukan bagian masing-

    masing, tanah yang berbidang-bidang yang letaknya berbeda-beda tersebut

    sangat sulit, walaupun telah dilakukan pembagian masing-masing 1/2

    (seperdua) tapi para pihak tidak puas terhadap pembagian tersebut.

    b. Dalam kondisi dan keadaan tertentu, terjadi kesulitan dalam membuktikan harta

    bersama tersebut. Sebagai contoh: sebelum perkawinan siistri telah memiliki

    sebidang tanah, maka apabila merujuk kepada Pasal 35 ayat (1) Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini merupakan harta

    bawaan. Namun kemudian dalam perkawinan tanah tersebut dijual dan

  • dibelikan rumah atas nama si suami, maka dalam kasus ini kedudukan harta

    menjadi rumit karena apabila mengacu kepada Pasal 35 ayat (1) Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, harta yang diperoleh dalam

    perkawinan adalah harta bersama, tanpa mempersoalkan asal harta tersebut.

    Apabila hal ini dipermasalahkan oleh si istri sewaktu terjadi pembagian harta

    bersama akan sangat susah untuk melakukan pembuktian atas harta tersebut.

    c. Dalam acara pembuktian dipersidangan diperlukan pemeriksaan setempat

    apabila terdapat barang sengketa yang dilakukan penyitaan dimana barang

    tersebut berada di luar wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Lubuk Basung.

    Sehingga perkara tersebut dalam hal ini memakan waktu lama, tempat dan

    biaya yang tidak sedikit.

    d. Sering sekali para pihak itu tidak punya bukti yang lengkap. Apakah itu hak

    bersama betul atau bukan. Bukti tertulis seperti sertipikat.;

    e. Banyak sekali harta itu tidak lengkap contoh : ukuran luas tidak jelas, kalau

    tanah batas-batas tidak jelas, penjual sudah meninggal.

    Pembagian harta bersama yang berbentuk tanah menurut penulis memang

    akan cukup rumit apabila hanya berupa putusan pengadilan yang menyatakan

    bahwa harta bersama tersebut dibagi menjadi dua bagian yang sama besarnya,

    dalam hal ini masalah penentuan luas tanah yang akan menjadi bagian masing-

    masing pihak. Kondisi ini menurut penulis bisa diatasi dengan 2 (dua) hal, yaitu:

    1. Berdasarkan putusan pengadilan para pihak mengajukan kepada Kantor

    Pertanahan setempat untuk melakukan pemecahan bidang tanah yang semula

    merupakan 1 (satu) bidang menjadi 2 (dua) bidang yang sama besarnya, untuk

    kemudian diterbitkan sertipikat baru atas bidang-bidang tanah tersebut.

  • 2. Menjual bidang tanah tersebut dengan persetujuan kedua belah pihak dan hasil

    penjualan tersebut dibagi untuk bagian yang sama besarnya.

    Pembuktian harta bersama merupakan suatu hal lain yang cukup rumit

    dalam proses pembagian harta bersama. Pembuktian mengenai tanah yang diduga

    merupakan milik pribadi, dapat dilakukan dengan melihat bukti dokumen-

    dokumen penting, keterangan saksi-saksi dan melihat bagaimana proses

    pendaftaran tanah tersebut ke pejabat Badan Pertanahan Nasional, setelah dirasa

    baik maka barulah Hakim memutuskan sesuai dengan rasa keadilan dan

    kemanusiaan. Pembuktian mengenai tanah yang diduga tergugat merupakan milik

    pribadinya, dengan melihat bukti dokumen-dokumen penting, keterangan saksi-

    saksi dan melihat bagaimana proses pendaftaran tanah tersebut ke pejabat Badan

    Pertanahan Nasional, setelah dirasa baik maka barulah Hakim memutuskan sesuai

    dengan rasa keadilan dan kemanusiaan.

    Sistem pembuktian yang dianut di pengadilan Agama menurut penulis

    tidak bisa dilepaskan dari Hukum Acara Perdata, tidak bersifat stelsel negatif

    menurut undang-undang, seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menurut

    pencarian kebenaran yaitu :

    1. Harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal

    pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam arti

    memenuhi syarat formil dam materil.

    2. Harus didukung oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian

    kesalahan terdakwa. Sistem inilah yang dianut oleh Pasal 183 Kitab Undang-

    undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

  • Kebenaran dan yang dicari dan diwujudkan selain berdasakan alat bukti

    yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini

    hakim. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang

    tidak dapat diragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai

    kebenaran yang hakiki.

    Tidak demikian dalam proses peradilan Perdata, kebenaran yang dicari dan

    diwujudkan hakim, cukup kebenaran formil. Dari diri dan sanubari hakim tidak

    dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian

    berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara

    teoritis harus diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak

    perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.

    Dalam kerangka sistem pembuktian yang demikian, sekiranya tergugat

    mengakui dalil penggugat, meskipun hal itu bohong dan palsu, hakim harus

    menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu,

    tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang

    diperkarakan.

    Meskipun hakim berpendapat kebenaran dalam gugatan yang diakui

    tergugat itu setenggah benar dan setengah palsu, secara teoriti dan yuridis, hakim

    tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang diajukan para pihak di

    persidangan. Pengadilan Perdata tidak dilarang mencari dan menemukan

    kebenaran materiil, namun apabila kebenaran materil tidak ditemukan dalam

    peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan

    kebenaran formil. Dalam rangka mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan

  • beberapa prinsip sebagai pegangan bagi hakim maupun para pihak yang

    berperkara.

    Berdasarkan data yang penulis dapatkan di Pengadilan Agama Lubuk

    Basung, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

    1. Pertimbangan hukum hakim yang mempengaruhi pembagian harta bersama

    pada putusan nomor 68/ Pdt.G/ 2009/ PA.LB, secara implisit yang dipakai

    adalah aturan dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu ketentuan yang terdapat

    dalam Pasal 97 yaitu mengenai presentase pembagian harta bersama.

    Pertimbangan lainnya yang dipakai yaitu yang terdapat dalam Pasal 88

    Kompilasi Hukum Islam, mengatur bahwa bila terdapat sengketa atas harta

    bersama, maka akan diserahkan kepada Pengadilan Agama yang berwenang.

    Pihak pengadilan dapat memutuskan pembagian harta bersama dengan

    presentase lain dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Berdasarkan

    ketentuan pasal-pasal tersebut, terdapat beberapa pertimbangan hukum yang

    dianggap dapat mempengaruhi pembagian harta bersama. Pertimbangan

    hukum tersebut adalah : Judi, mabuk, boros, peran para pihak dalam keluarga,

    siapa yang ternyata mampu membiayai hidup sendiri.

    2. Pelaksanaan pembagian harta bersama pada putusan nomor 68/ Pdt.G/ PA.LB

    ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

    1974 Tentang Perkawinan yaitu harta benda yang diperoleh selama

    perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian

    harta bersama tersebut dibagi sama rata antara bekas suami isteri. Jadi untuk

    pelaksanaan pembagian harta bersama ini dimulai dengan pengajuan gugatan

    oleh salah satu pihak, pengajuan gugatan dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara

  • yaitu diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah

    putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Setelah syarat-syarat

    untuk pengajuan gugatan terpenuhi maka proses pembagian harta bersama

    diproses. Sehingga sesuai dengan Putusan Pengadilan Agama Lubuk Basung

    Nomor : 68/Pdt.G/2009/PA.LB menetapkan pembagian harta bersama tersebut

    (seperdua) bagian untuk penggugat dan (seperdua) bagian untuk tergugat.

    3. Kendala-kendala yang sering muncul dalam pelaksanaan

    pembagian harta bersama dan penyelesaiannya, dalam hal dimana tergugat

    merasa bahwa tanah tersebut telah dihibahkan kepadanya yang dianggapnya

    sebagai harta bersama yang diatasnya dibangun rumah, pada hal tanah tersebut

    milik orang tua penggugat, menghadapi perkara tersebut Hakim Pengadilan

    Agama Lubuk Basung menyelesaikan dengan cara mendatangkan saksi-saksi

    pada saat persidangan, antara lain pemberi hibah tanah, BPN (Badan

    Pertanahan Nasional) dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) pada saat

    persidangan guna memperkuat bukti-bukti tentang perkara yang

    disengketakan. Selain itu, sering sekali para pihak itu tidak punya bukti yang

    lengkap. Apakah itu hak bersama betul atau bukan. Bukti tulis (Sertipikat

    SKT).

    Keadilan yang dimaksud mencakup pada pengertian bahwa pembagian

    tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak. Kepentingan masing-masing

    pihak perlu diakomodasi selama sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.

    Pembagian harta gono-gini sebaiknya dilakukan berdasarkan prinsip keadilan,

    sehingga diharapkan tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang

    merupakan hak suami dan mana yang merupakan hak istri. Menurut pendapat

  • penulis, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak

    mengatur tentang pertimbangan hukum yang mempengaruhi pembagian harta

    bersama. Pasal 37 hanya menjelaskan mengenai pengaturan pembagian harta

    bersama bila terjadi perceraian diserahkan kepada hukum yang berlaku bagi

    masing-masing pihak.

    Dalam penyelesaian pelaksanaan pembagian harta bersama dalam

    perkawinan, praktisi hukum dapat berpedoman kepada KUH Perdata sebagai

    dasar hukum penyelesaian pembagian harta perkawinan. Walaupun dalam Pasal

    35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga

    memuat ketentuan yang mengatur harta benda dalam perkawinan, namun

    mengingat sampai saat ini belum ada peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang

    Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang

    pembagian harta kekayaan dalam perkawinan, maka ketentuan-ketentuan yang

    mengatur tentang harta kekayaan perkawinan dalam KUH Perdata masih berlaku.

    Hal ini sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

    tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa apabila terjadi perceraian maka

    harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing

    Perlu adanya penyuluhan hukum yang terjadwal dan terencana agar

    masyarakat awam dapat mengerti akan hak dan kewajibannya, terutama hukum

    keluarga sekaligus mensosialisasikan Kompilasi Hukum Islam agar dapat

    terwujud menjadi penegakan hukum di Pengadilan Agama.