artikel 13
DESCRIPTION
tugasTRANSCRIPT
-
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA LUBUK BASUNG NO. 68/ PDT.G/
2009/ PA. LB).
ARTIKEL
Oleh :
DILA DASRIL 0921211003
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2011
-
ARTIKEL
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM
ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA LUBUK BASUNG NO. 68/
PDT.G/ 2009/ PA. LB).
Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan
perkawinan maka timbulah hak dan kewajiban antara suami-istri secara timbal
balik, demikian juga akan timbul hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
secara timbal balik.1
Dikarenakan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mempersulit terjadinya
perceraian. Ditentukan bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang
Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. Diisyaratkan juga bahwa untuk melakukan perceraian harus
ada cukup alasan, yaitu bahwa antara suami istri tersebut tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami istri. Menurut Pasal 38 Undangundang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan, putusnya perkawinan disebabkan karena 3 (tiga) hal, yaitu :
1) Kematian
2) Perceraian
3) Atas keputusan Pengadilan
1 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, Hal. 6
-
Terjdinya peristiwa-peristiwa dalam rumah tangga, yaitu perselisihan,
pertengkaran atau percekcokkan antara suami istri akan mengakibatkan terjadinya
perceraian, jika tidak diselesaikan dengan baik.
Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan
perceraian, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan, dan diulang lagi yang sama bunyinya dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 adalah :
a) Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya serta sukar disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut,
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar
kemampuannya;
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka suami atau istri dapat
mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama
setempat, yaitu untuk mengajukan cerai talak atau cerai gugat.2 Cerai talak adalah
2 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980,
Hal.38.
-
diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam. Sedangkan cerai gugat, adalah diperuntukkan bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya selain agama
Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam. Kemudian hakim akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada
pihak suami atau istri setelah diterimanya surat gugatan. Hakim akan menawarkan
kepada para pihak untuk menghendaki perdamaian atau tidak. Jika tidak
menghendaki perdamaian, maka hakim akan memutuskan putusan gugatan
perceraian tersebut yang dilakukan dalam sidang terbuka yang dapat dihadiri oleh
umum, dihitung sejak saat pendaftaran putusan perceraian itu di Kantor Catatan
Sipil.
Putusan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum
terhadap : 3
1) Orang tua / anak
2) Harta benda perkawinan
1.1. Orang tua / anak
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal 41 UU No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan ialah :
a) Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya;
3 Ibid, Hal 34 -35
-
b) Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat
memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut;
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Mengenai kedudukan anak, apabila anak sudah dewasa dapat mengikuti
ayahnya dan apabila anak belum dewasa mengikuti ibunya. Apabila anak-anak
sudah menjadi dewasa, keputusan diserahkan kepada mereka hendak mengikuti
ayah atau ibunya. Dalam melakukan pembagian harta benda perkawinan harus
memperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa akan diserahkan tentang
pemeliharaan, dan pendidikan anak. Mengenai status suami istri yang telah
bercerai menjadi duda atau janda, dapat melakukan perkawinan kembali dengan
orang lain, dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh UU
No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2.1. Harta benda perkawinan
Ketentuan mengenai harta benda perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 35, 36, dan 37. Harta benda yang diperoleh
selama Perkawinan, menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing
suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain(Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan). Harta bawaan suami atau istri kembali kepada para pihak masing-
masing, yang membawa harta benda tersebut ke dalam perkawinan.
-
Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak. Harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya(Pasal
36 ayat (1) dan (2) UUP). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud menurut
hukumnya masing-masing yaitu menurut Hukum Agama, Hukum Adat, dan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata(Penjelasan Pasal 37 UUP).
Para pencari keadilan (justiabelen), tentu mengharapkan agar keadilan dan
perlindungan hukum yang diperolehnya menjadi kenyataan. Untuk menjamin hak-
hak pencari keadilan tersebut maka hukum memberi jalan dengan hak baginya
untuk mengajukan permohonan sita terhadap barangbarang sengketa atau yang
dijadikan jaminan. Didalam praktek dikenal ada 4 (empat) macam sita yaitu :
1. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)
2. Sita Hak Milik (Rivindcatoir Beslag)
3. Sita Harta Bersama (Marital Beslag)
4. Sita Eksekusi (Executoir Beslag)
Setiap sita mempunyai tujuan tertentu (berbeda-beda) namun tujuan akhir
daripada sita tidak lain untuk menjamin agar :
a. putusan Hakim secara nyata dapat diwujudkan
b. putusan Hakim tidak hampa karena barang sengketa telah
tiada/dipindahtangankan.
Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu,
dalam perkawinan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan yang tetap bertahan
hingga pasangan tersebut dipisahkan oleh keadaan, dimana salah satunya
-
meninggal dunia. Perkawinan dianggap penyatuan antara dua jiwa yang
sebelumnya hidup sendiri-sendiri, begitu gerbang perkawinan sudah dimasuki,
masing-masing individu tidak bisa lagi memikirkan diri sendiri akan tetapi harus
memikirkan orang lain yang bergantung hidup kepadanya.
Berawal dari perkawinan inilah akan terbentuk sebuah keluarga yang
beranggotakan ayah, ibu dan anak-anak, di mana seorang ayah bertindak sebagai
pemimpin keluarga dan memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan semua
anggota keluarga. Ibu bertindak lebih banyak dalam fungsi pengawasan kepada
anak-anak dan membantu suami memenuhi kebutuhan yang diperlukan untuk
menjalankan organisasi kecil yang disebut keluarga ini. Antara semua anggota
keluarga satu sama lainnya memiliki hubungan timbal balik yang tidak
terpisahkan.
Dalam keluarga, suami dan istri merupakan bagian inti, hubungan mereka
mencerminkan bagaimana satu manusia dengan manusia yang lainnya berbeda
jenis kelamin bersatu membentuk kesatuan untuk mempertahankan hidup dan
menciptakan keturunan yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sehingga
bisa dibayangkan jika tanpa suami ataupun istri keluarga tidak dapat terbentuk dan
masyarakatpun tidak akan pernah ada untuk membentuk kesatuan yang lebih
besar yaitu suatu negara. Hal ini memperlihatkan kepada kita betapa pentingnya
perkawinan dalam tatanan kehidupan manusia.
Semua individu yang sudah memasuki kehidupan berumah tangga pasti
mengiginkan terciptanya suatu rumah tangga yang bahagia, sejahtera lahir dan
batin serta memperoleh keselamatan hidup dunia maupun akhirat nantinya. Tentu
saja dari keluarga yang bahagia ini akan tercipta suatu masyarakat yang harmonis
-
dan akan tercipta masyarakat rukun, damai, adil dan makmur. Setiap pasangan
suami istri pasti mendambakan keharmonisan berumah tangga, sehingga
diperlukan perjuangan untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga sampai ajal
menjemput nantinya, hal ini dikarenakan dalam keluarga akan selalu muncul
permasalahan yang sangat bisa mengoyahkan persatuan yang dibina tadi, bahkan
keutuhan keluarga yang kuat bisa terancam dan berakibat kepada perceraian.
Prinsip perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga atau rumah
tangga yang tentram, damai dan kekal untuk selama-lamanya, makanya proses
untuk menuju perceraian itu tidaklah gampang bahkan dipersulit, suami tidak bisa
begitu saja menjatuhkan talak kepada istri demikianpun sebaliknya istri tidak bisa
lansung meminta cerai kepada suaminya. Baik suami ataupun istri diberikan
kesempatan untuk mencari penyelesaian dengan jalan damai yakni dengan jalan
musyawarah, jika masih belum terdapat kesepakatan dan merasa tidak bisa
melanjutkan keutuhan keluarga maka barulah kedua belah pihak bisa membawa
permasalahan ini ke pengadilan untuk dicari jalan keluar yang terbaik.
Hal yang paling sering terjadi pada masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam saat ini adalah setelah terjadinya perceraian, mengenai kedudukan
atau pembagian harta bersama antara suami dan istri yang bercerai tersebut,
banyak masyarakat yang memilih Pengadilan Agama untuk menyelesaikan
pertikaian pembagian harta bersama. Pembagian harta bersama menurut ketentuan
Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
ditetapkan secara tegas berapa bagian masing-masing suami atau istri yang
bercerai baik cerai hidup maupun cerai mati.
-
Harta bersama ada pada saat perkawinan berlangsung sedangkan harta
bawaan diperoleh sebelum berlangsungnya perkawinan, namun kenyataannya
dalam keluarga-keluarga di Indonesia banyak yang tidak mencatat tentang harta
bersama yang mereka miliki. Pada perkawinan yang masih baru pemisahan harta
bawaan dan harta bersama itu masih nampak, akan tetapi pada usia perkawinan
yang sudah tua, harta bawaan maupun harta bersama itu sudah sulit untuk
dijelaskan secara terperinci satu persatu.
Selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di
Indonesia juga berlaku Kompilasi Hukum Islam, yang berkaitan dengan
pembagian harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 96 dan 97 Kompilasi
Hukum Islam tersebut, yang menyebutkan bahwa pembagian harta bersama baik
cerai hidup maupun cerai mati ini, masing-masing mendapat setengah dari harta
bersama tersebut. Selengkapnya Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam berbunyi :
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separo harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. (2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau mati secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama. Sedangkan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: Janda atau duda yang
cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dari uraian di atas, dapat diambil
pengertian bahwa pembagian harta bersama karena cerai hidup dapat dilakukan
secara langsung antara bekas istri dan suami dengan pembagian masing-masing
separo bagian.
Perkara yang menyangkut perceraian dan kemudian berlanjut dengan
pembagian harta bersama ini terjadi di seluruh wilayah Indonesia termasuk di
-
wilayah hukum Pengadilan Agama Lubuk Basung yang mayoritas masyarakatnya
beragama Islam dan tentunya penyelesaian kasus pembagian harta bersama ini
berada dalam kewenangan Pengadilan Agama.
Perkawinan merupakan peristiwa yang sakral bagi pemahaman masyarakat
Indonesia, suatu perkawinan diharapkan senantiasa dapat berjalan langgeng
sampai hari tua, namun seperti pepatah melayu klasik menyebutkan,dikira panas
sampai petang kiranya hujan ditengah hari. Maksud dari petuah klasik ini adalah
segala sesuatu dapat dan mungkin terjadi dalam kehidupan manusia. Seperti
perkawinan yang selalu diharapkan berjalan dengan baik dapat saja berakhir
dengan suatu perceraian. Perceraian dalam kaca mata hukum merupakan suatu
peristiwa hukum yang tentunya akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat
hukum, termasuk salah satunya dalam ruang lingkup harta kekayaan dalam
perkawinan.
Pembagian harta kekayaan dalam perkawinan senantiasa merupakan
bagian yang krusial dari suatu perceraian. Hal ini dapat kita cermati dari
banyaknya kasus yang menarik perhatian publik terhadap pembagian harta
perkawinan. Tidak setiap putusan perceraian diikuti pembagian harta bersama
berdasarkan beberapa hal :
- Mereka tidak bersengketa atau tidak mempermasalahkan harta bersamanya.
Dalam hal ini biasanya kedua belah pihak bersepakat atau untuk membagi
harta bersama secara kekeluargaan di luar sidang, cara ini sebetulnya yang
paling baik karena ringan biaya, singkat waktu dan tidak ada permusuhan.
-
- Ada pula kedua belah pihak bersepakat agar harta bersama itu tidak dibagi
kepada suami isteri yang bercerai tetapi dengan persetujuan bersama diberikan
kepada anak-anaknya.
- Ada pula antara para pihak itu yang tidak mempermasalahkan harta bersama
yang penting cerai.
Sedangkan faktor-faktor yang melatar belakangi diajukannya permohonan
gugatan pembagian harta bersama adalah :
- Kedua belah pihak atau salah satunya membutuhkan harta bersama tersebut.
- Salah satu pihak berniat tidak baik atau menguasai harta bersama atau tidak
membagi kepada pasangannya yang dicerai.4
Pembagian harta bersama lewat Pengadilan Agama, bisa diajukan
serempak dengan pengajuan gugatan perceraian (kumulatif) atau dapat pula
digugat tersendiri setelah putus perceraian baik secara langsung oleh yang
bersangkutan maupun memakai jasa pengacara. Pemeriksaan pembagian harta
bersama dalam hal yang kumulatif dilakukan setelah pemeriksaan gugatan cerai.
Apabila gugatan cerainya ditolak, maka pembagian harta bersamanya biasanya
juga ditolak. Karena pembagian harta bersama tersebut menginduk pada gugatan
cerai. Kecuali kalau minta pemisahan harta bersama, karena salah satu pihak
dikuatirkan atau bahkan terbukti menghilangkan harta bersama dengan
permohonan tersendiri.5
Pengaturan tentang pengajuan permohonan pembagian harta bersama dan
perceraian terdapat dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
4 Hasil wawancara dengan Drs. Syafri Amrul, selaku Ketua Pengadilan Agama Lubuk
Basung, tanggal 25 April 2011 5 Hasil wawancara dengan Drs. Syafri Amrul, selaku Ketua Pengadilan Agama Lubuk
Basung, tanggal 25 april 2011
-
Tentang Pengadilan Agama yang tidak dirubah ketentuannya dalam Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Bunyi dari ketentuan pasal tersebut adalah
Gugatan soal penguasaaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama
suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun
sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hokum tetap (Zainal Abidin
Abubakar, 1993: 267).
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengajuan
permohonan pembagian harta bersama dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a. Pengajuan permohonan pembagian harta bersama yang disertakan pada
gugatan perceraian (dilakukan secara bersamaan)
Cara ini berarti, bahwa penggugat atau pihak yang mengajukan
permohonan cerai, dalam gugatannya tersebut juga memohonkan atas
pembagian harta bersama. Menurut pendapat penulis, pengajuan Permohonan
pembagian harta bersama yang dijadikan satu dengan gugatan perceraian
mempunyai kelebihan yaitu bahwa para pihak tidak perlu lagi mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama setelah mereka mendapat putusan
terkabulnya permohonan cerai. Ketika permohonan cerai disetujui oleh hakim,
dan hakim memutuskan bahwa para pihak telah sah bercerai, dalam putusan
tersebut juga telah diputus tentang pembagian harta bersama yang diminta
oleh pihak yang mengajukan gugatan atas harta yang mereka dapat selama
perkawinan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa gugatan perceraian dan
gugatan pembagian harta bersama terdapat dalam satu gugatan, para pihak
tidak perlu mengajukan gugatan lagi.
-
Disamping kelebihan tersebut, pengajuan gugatan perceraian yang
disertai dengan gugatan harta bersama mempunyai kelemahan. Kelemahan
tersebut adalah dibutuhkannya banyak waktu yang harus digunakan oleh
hakim dalam memutus perkara tersebut. Hakim membutuhkan waktu yang
banyak, karena hakim selain memeriksa gugatan perceraian juga langsung
memeriksa dan memutus tentang pembagian harta bersama yang dimohonkan
para pihak.
Menurut pendapat penulis, selang waktu antara pengajuan gugatan dan
penjatuhan putusan pada perkara permohonan pembagian harta bersama yang
dijadikan satu dengan gugatan perceraian dapat dikatakan cukup lama. Hal
tersebut dapat dikatakan tidak efisiensi waktu dan biaya, dimana para pihak
harus mengurus persidangan yang membutuhkan waktu yang lama, sehingga
para pihak masih terikat dengan pihak lain sampai adanya putusan perceraian
dari hakim.
b. Pengajuan permohonan pembagian harta bersama tidak disertakan pada
gugatan perceraian (diajukan secara terpisah)
Secara umum pembagian harta bersama baru bisa dilakukan setelah
adanya gugatan cerai. Hal tersebut berarti daftar harta bersama dan bukti-
buktinya dapat diproses jika harta tersebut diperoleh selama perkawinan dan
dapat disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (posita), yang
kemudian disebutkan dalam permintaan pembagian harta bersama dalam
berkas tuntutan (petitum). Namun gugatan cerai belum menyebutkan tentang
pembagian harta bersama, untuk itu pihak suami atau istri dapat mengajukan
gugatan baru yang terpisah setelah adanya putusan cerai yang dikeluarkan
-
oleh pengadilan. Dalam hal ini bagi yang beragama Islam gugatan diajukan ke
Pengadilan Agama dimana tergugat bertempat tinggal, sedangkan yang
beragama nonmuslim gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah
tempat tinggal tergugat.
Menurut pendapat penulis, pengajuan pembagian harta bersama yang
dipisahkan atau tidak dijadikan satu dengan gugatan perceraian juga
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan tersebut adalah waktu yang
diperlukan untuk memutus perkara cerai itu sendiri tidak memerlukan waktu
yang lama, karena hakim hanya memutus tentang permohonana cerai saja.
Dibalik kelebihan yang berupa efisiensi waktu tersebut, pengajuan dengan
cara ini mempunyai kekurangan yaitu untuk mendapat kepastian tentang
pembagian harta bersama memerlukan waktu lagi. Pihak yang ingin
mengajukan gugatan pembagian harta bersama harus menunggu dahulu
putusan cerai dari hakim. Apabila hakim sudah menetapkan putusan bahwa
para pihak telah bercerai. Baru para pihak dapat mengajukan gugatan
pembagian harta bersama. Pihak yang ingin mengajukan gugatan tentang harta
bersama, harus membuat gugatan yang ditujukan dan diajukan kepada
Pengadilan Agama yang berwenang memutus permohonan tersebut. Para
pihak harus menunggu proses pembagian harta bersama oleh hakim tersebut.
Setelah mendapat putusan dari hakim, barulah sita marital dapat dilaksanakan.
Pengaturan lain tentang pengajuan pembagian harta bersama terdapat
dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pasal tersebut mengatur mengenai suatu perkawinan dimana apabila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
-
masing-masing pihak yang bercerai. Pasal tersebut tidak menjelaskan suatu
pengaturan mengenai pengajuan permohonan pembagian harta bersama jika
dikaitkan dengan pengajuan gugatan perceraian. Pengaturan mengenai
pengajuan pembagian harta bersama diatur menurut hukum yang berlaku bagi
para pihak, pihak yang mengajukan permohonan di Pengadilan Agama
pastinya merupakan orang yang beragama Islam. Tentunya Hukum yang
dimaksud disini adalah hukum yang berlaku bagi orang Islam yaitu Kompilasi
Hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam sendiri dalam Pasal 132 hanya mengatur
mengenai pengajuan gugatan perceraian, sama sekali tidak menyinggung
pengajuan gugatan pembagian harta bersama. Mengenai perselisihan atas harta
bersama, Pasal 88 mengatur bahwa penyelesaian perkara diajukan kepada
Pengadilan Agama. Ketentuan Pasal 136 Kompilasi Hukum Islam
menjelaskan mengenai kewenangan Pengadilan Agama menentukan suatu hal
atas harta bersama dengan permohonan dari penggugat ataupun tergugat bila
terjadi perceraian. Pasal 136 Kompilasi Hukum Islam ini memang tidak
mengatur tentang pengajuan permohonan pembagian harta bersama apakah
dijadikan satu atau tidak dengan gugatan perceraian, tapi pasal-pasal ini
menjelaskan mengenai penentuan suatu hal akan harta bersama atas
permohonan penggugat ataupun tergugat kepada Pengadilan Agama baik
dalam perkara cerai ataupun tidak cerai dengan alasan yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Perkara perceraian yang terjadi, baik cerai talak maupun cerai gugat,
biasanya permohonan pengajuan perkara cerai dirangkaikan atau dijadikan
-
satu dengan perkara pembagian harta bersama. Hal tersebut mempunyai akibat
yaitu seringkali putusan perkara cerai menjadi tertunda dan lama. Putusan
cerai tersebut menjadi lama karena para pihak sekaligus ingin mendapat
putusan tentang harta bersama yang akan menjadi hak mereka masing-masing.
Tidak jarang ketika menyangkut pembagian harta bersama, para pihak yang
dulu hidup rukun dalam suatu rumah tangga harus beradu pendapat
mempertahankan keinginannya masing-masing untuk memperebutkan harta
yang mereka dapat selama perkawinan. Tidak jarang penyelesaian kasusnya
sampai pada tingkat banding di Provinsi bahkan juga terkadang sampai ke
tingkat kasasi.
Pada perkara Nomor 68/Pdt.G/2009/PA. LB tersebut permohonan pembagian
harta bersama dilakukan dengan cara terpisah. Pihak penggugat dan tergugat
telah mendapat putusan cerai dari Pengadilan Agama, kemudian untuk
tindakan lebih lanjut tentang pembagian harta bersama, penggugat
menagjukan permohonan pembagian harta bersama. Pihak penggugat dan
tergugat telah mendapat putusan cerai dari Pengadilan Agama Lubuk Basung
pada tahun 2009 dengan Nomor Putusan 48/Pdt.G/PA.LB dan dituangkan
dalam akta cerai nomor 46/AC/2009/PA.LB. Putusan perceraian tersebut
sudah dijatuhkan oleh hakim pada tanggal 26 Mei 2009 oleh Pengadilan
Agama Lubuk Basung. Penggugat kemudian mengajukan permohonan
pembagian harta bersama, dimana gugatan pembagian harta bersama tersebut
diajukan pada tanggal 24 Juni 2009. Terdapat selang waktu dua bulan antara
jatuhnya putusan cerai dari Pengadilan Agama dan pengajuan permohonan
pembagian harta bersama oleh penggugat.
-
Menurut pendapat penulis, selang waktu ini dapat dikatakan cukup
lama. Kemungkinan penggugat mempunyai alasan-alasan tersendiri kenapa
baru mengajukan permohonan pembagian harta bersama setelah dua bulan.
Pihak penggugat mengajukan permohonan pembagian harta bersama
atau gono gini tersebut secara terpisah atau tidak dijadikan satu dengan
gugatan perceraian karena dengan pertimbangan faktor mendapat kepastian
hokum yang cepat akan putusnya perkawinan penggugat dan tergugat. Proses
hokum akan berjalan cepat karena Majelis hakim hanya memeriksa dan
memutus gugatan perceraian saja tanpa mempermasalahkan mengenai harta
bersama. Dengan adanya putusan cerai yang terlebih dahulu dijatuhkan, para
pihak dapat bertindak mandiri tanpa terikat dengan pihak mantan suami atau
istri sembari menunggu putusan tentang pembagian harta bersama yang
diajukan. Karena tidak jarang proses peradilan dalam perkara perceraian
menjadi sangat lama, bahkan tidak jarang menjadi tertunda karena tersangkut
masalah harta bersama, tidak jarang pula masalah harta bersama sampai pada
tingkat banding atau kasasi.
Menurut pendapat penulis, cara yang paling tepat untuk pengajuan
permohonan pembagian harta bersama adalah secara terpisah dari gugatan
perceraian. Hal tersebut untuk efisiensiensi waktu, yaitu proses peradilan yang
cepat sehingga para pihak yang berperkara dapat memperoleh kepastian
hukum yang tertuang di putusan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama
akan perceraian, sehingga para pihak tidak terikat dengan pihak lain dalam
hubungan perkawinan. ketika para pihak sudah bercerai. Pembagian harta
bersama dapat dilakukan.
-
Pertimbangan Hukum Hakim Yang Mempengaruhi Pembagian Harta
Bersama Pada Putusan Nomor 68/ Pdt.G/2009/PA.LB Ditinjau Dari Kompilasi
Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam replik yang diajukan oleh penggugat, penggugat menggunakan dasar
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu mengenai arti perkawinan.
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara suami dan istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, jadi menurut asasnya seorang suami dan istri bersatu baik dari segi materiil
ataupun spirituil. Telah dinyatakan jelas dalam Pasal 35 Undang-undang
Perkawinan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama, terbukti bahwa dalam objek sengketa adalah pembelian perkawinan oleh
tergugat sewaktu masih menjadi suami penggugat.
Putusan tersebut tidak menuangkan secara eksplisit penggunaan Kompilasi
Hukum Islam dalam pembagian harta bersama. Tetapi secara implisit aturan
dalam Kompilasi Hukum Islam yang digunakan adalah ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 97 yaitu mengenai presentase pembagian harta bersama, dimana
masing-masing pihak berhak mendapatkan setengah dari harta bersama.
Pembagian harta gono gini secara adil akan dapat menentramkan
kehidupan setelah pasangan suami istri itu berpisah. Islam mengajarkan kepada
umat manusia agar senantiasa menyelesaikan masalah kehidupan di dunia dengan
prinsip keadilan, termasuk dalam hal pembagian harta bersama. Masalah
pembagian harta bersama jika tidak diselesaikan dengan adil hanya akan
menimbulkan percecokan diantara para pihak (Happy Susanto,2008:72). Pasal 31
ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur
-
bahwa kedudukan suami dan istri dalam kehidupan rumahtangga dan pergaulan
masyarakat adalah seimbang. Seimbang yang dimaksud adalah bahwa kedudukan
antara suami dan istri adalah sama, sederajad, tidak ada yang lebih tinggi salah
satu pihak. Seimbang disini juga termasuk didalamnya adalah seimbang mengenai
pembagian harta benda yang di dapat dalam perkawinan, dimana baik suami atau
istri mendapat bagian yang sama yaitu masing-masing mendapat setengah dari
harta bersama yang dimiliki berdasarkan prinsip keadilan.
Menurut pendapat penulis, keadilan yang dimaksud mencakup pada
pengertian bahwa pembagian tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak.
Kepentingan masing-masing pihak perlu diakomodasi selama sesuai dengan
kenyataan yang sesungguhnya. Pembagian harta gono-gini sebaiknya dilakukan
berdasarkan prinsip keadilan, sehingga diharapkan tidak menimbulkan
ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan mana yang merupakan
hak istri. Menurut pendapat penulis, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tidak mengatur tentang pertimbangan hukum yang
mempengaruhi pembagian harta bersama. Pasal 37 hanya menjelaskan mengenai
pengaturan pembagian harta bersama bila terjadi perceraian diserahkan kepada
hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak.
Hukumnya masing-masing berarti adalah mencakup hukum agama, hukum
adat, dan sebagainya. Bagi umat Islam ketentuan pembagian harta bersama diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam. Bagi penganut agama lain pengaturan tentang
harta bersama diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum erdata. Suatu undang-
undang yang didalamnya tidak mengatur secara rinci tentang suatu masalah, pada
umumnya diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah atau yang sering
-
disebut dengan PP. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
diatur dan diperjelas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Ironisnya, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam pasal-
pasalnya juga tidak mengatur tentang pertimbangan hukum yang mempengaruhi
pembagian harta bersama. Peraturan Pemerintah ini dalam isinya malah sama
sekali tidak mengatur tentang pelaksanaan dari pasal-pasal yang mengatur tentang
pembagian harta bersama yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974.
Di Indonesia berlaku suatu asas yaitu asas Lex spesialis derogat Lex
Generalis, yaitu suatu asas dimana hukum yang bersifat khusus mengesampingkan
hukum yang bersifat umum. Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu aturan
yang bersifat khusus yang mengatur mengenai suatu aturan yang mengatur hal-hal
yang berlaku bagi orang yang beragama Islam. Dalam perkara ini berarti
Kompilasi Hukum Islam yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang bersifat umum.
Menurut pendapat penulis, pengaturan mengenai pertimbangan hukum
yang mempengaruhi pembagian harta bersama diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam. Salah satu pasal yang mengatur tentang harta bersama adalah Pasal 88 dan
95. Pasal 88 mengatur bahwa bila terdapat sengketa atas harta bersama, maka
akan diserahkan kepada Pengadilan Agama yang berwenang. Pasal tersebut
merupakan pasal dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang
pembagian harta bersama bila terjadi perselisihan. Kompilasi Hukum Islam
menyerahkan semua hal yang berkaitan dengan pembagian harta bersama kepada
-
Pengadilan Agama yang berwenang menyelesaikan permohonan sengketa harta
bersama tersebut. Diserahkan kepada Pengadilan Agama berarti penentuan dari
perkara yang dihadapi berada ditangan majelis hakim yang memutus perkara
berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam persidangan dan juga saksi yang diajukan
masing-masing pihak.
Menurut pendapat penulis, penyelesaian melalui pengdilan ini merupakan
sebuah alternatif penyelesaian perkara. Pasangan dapat memilih cara yang lebih
elegan yaitu dengan cara damai atau musyawarah. Cara ini jauh lebih baik karena
tidak perlu berbelit-belit, memakan waktu, memakan biaya, dan atau juga
memakan perasaan para pihak. Cara ini dapat dipergunakan selama dilakukan
dengan seadil-adilnya. Dalam musyawarah para pihak dapat sepakat mengenai
presentase pembagian harat bersama, tidak harus setengah-setengah. Istri dapat
memperoleh presentase sepertiga dan suami dua pertiga atau sebaliknya asalkan
tidak ada yang mersa dirugikan atau dicurangi. Namun jika memang cara
penyelesaian sengketa melalui jalur damai tidak dapat terlaksana dan jalur hukum
(pengadilan) dianggap lebih tepat dalam hal memperoleh keadilan, maka hal
tersebut dapat dilakukan.
Pengaturan lebih lanjut tentang pertimbangan hukum yang dijadikan dasar
pembagian harta bersama terdapat dalam Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam ayat
(1) yaitu yang berbunyi :
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau istri
dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas
harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu
-
melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.
Pengaturan lain dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam Pasal 97.
Pasal ini mengatur mengenai hak-hak masing pihak atas harta bersama bila terjadi
perceraian. Masing-masing pihak berhak setengah dari harta bersama, kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Pembagian harta dengan komposisi
dibagi dua dengan presentase 50:50 pun belum tentu sepenuhnya dianggap adil
dan keputusannya juga tidak mutlak. Pada umumnya pembagian dengan
komposisi tersebut baru sebatas membagi harta secara formal.
Pihak pengadilan dapat memutuskan pembagian harta bersama dengan
presentase lain dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Berdasarkan
ketentuan pasal-pasal tersebut, terdapat beberapa pertimbangan hukum yang
dianggap dapat mempengaruhi pembagian harta bersama. Pertimbangan hukum
tersebut adalah : judi, mabuk, boros, peran para pihak dalam keluarga, dan siapa
yang ternyata mampu membiayai hidup sendiri.
Suatu pembagian harta bersama dalam pelaksanaannya adalah masing-
masing pihak mendapat bagian setengah-setengah (50:50) dari harta bersama
selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Perkara Nomor
68/Pdt.G/2009/PA.LB tersebut terdapat pembagian harta bersama karena pihak
penggugat dapat membuktikan tuntutannya bahwa penggugat ikut objek sengketa
merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan atau harta bersama.
Menurut pendapat penulis, terdapat perbedaan yang jelas mengenai
perbedaan harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama merupakan harta yang
didapat selama perkawinan dan merupakan hasil kerja dari kedua belah pihak atau
-
salah satu satunya. Sedangkan harta bawaan adalah harta yang didapat para pihak
dari pemberian, warisan, ataupun hadiah. Harta bawaan dapat berubah menjadi
harta bersama apabila kedua belah pihak telah membuat kesepakatan ataupun
perjanjian dalam perkawinan mereka.
Menurut pendapat penulis, bila ditinjau dari Undang-undang Perkawinan
maka pelaksanaan pembagian harta bersama pada perkara Nomor
68/Pdt.G/2009/PA.LB telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dikatakan
sesuai karena harta yang dijadikan objek perkara dapat dibuktikan oleh penggugat
kalau objek sengketa merupakan harta bersama.
Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa bila
perkawinan putus karena perceraian, mengenai harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing. Hal tersebut berarti mengenai pelaksanaan pembagian
harta bersama kembali lagi kepada Kompilasi Hukum Islam yang berisi peraturan
bagi orang yang beragama Islam. Menurut pendapat penulis, Putusan Pengadilan
Agama Lubuk Basung Nomor 68/Pdt.G/2009/PA.LB mengenai permohonan harta
gono gini jika ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam juga dapat dikatakan telah
sesuai dengan mendasarkan pada ketentuan pasal-pasal yang menyangkut
mengenai harta bersama. Kompilasi hukum Islam dalam Pasal 86 ayat (2)
menjelaskan tentang harta milik istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh
oleh istri dan juga harta milik suami tetap menjadi milik dan penguasaan suami.
Hak milik tersebut berlaku pula akan harta bawaan, Pasal 87 ayat (1) menjelaskan
mengenai harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian. Ketentuan pasal
-
tersebut pada intinya sama dengan ketentuan yang berada pada pasal 35 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Kedua pasal tersebut sama-sama mengatur
bahwa seorang suami atau istri berhak menguasai harta yang didapat sebagai
hadiah atau warisan, dan harta tersebut tidak dapat dikatakan sebagai harta
bersama dalam perkawinan.
Pelaksanaan pembagian harta bersama pada perkara nomor
68/Pdt.G/2009/PA.LB jika dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam maka dapat dikatakan
telah sesuai. Sesuai dengan peraturan hukum yang ada dan berlaku bagi para
pihak yang bersengketa. Menurut pendapat penulis, apabila melihat uraian diatas
maka dapat diketahui bahwa keabsahan secara yuridis yang dalam hal ini adalah
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, merupakan hal utama yang dijadikan sebagai dasar
pembenar mengenai keadilan meskipun tanpa dipungkiri norma etis telah
memperkuat kekuatan berlakunya hukum positif tersebut. Negara Indonesia yang
menganut paham positivisme dalam kehidupan hukumnya, menganggap bahwa
makna keadilan tereduksi menjadi keadilan menurut makna yuridisnya. Jadi,
keadilan dianggap telah ada apabila subyek hukum telah memperoleh hak-hak
secara yuridis bukan menurut segi etis
Perceraian yang terjadi akan berakibat pula terhadap harta bersama yang
diperoleh semasa dalam perkawinan, ada juga harta benda yang menjadi hak
sepenuhnya masing-masing sebelum terjadi perkawinan ataupun yang diperoleh
masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan usaha
bersama, misalnya menerima warisan, hibah , hadiah dan lainnya dalam hal yang
-
demikian maka harta tersebut tetap dikuasai masing-masing kecuali ditentukan
menjadi harta bersama. Sesuai Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam bahwa adanya
harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta
milik masing-masing suami atau isteri. Masalah harta bersama ini baik suami atau
isteri dapat mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak.
Bahkan sepanjang tidak ada perjanjian yang disahkan sebelum perkawinan
berlangsung maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Tetapi bila saja sebelumnya terdapat suatu perjanjian perkawinan yang
dibuat dengan persetujuan kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut merupakan
perjanjian perkawinan yang sah dan berlaku.
Berdasarkan penelitian penulis terhadap Putusan Nomor
68/Pdt.G/2009/PA.LB bahwa penyelesaian kasus atau perkara pembagian harta
bersama sebagai akibat dari perceraian yang telah diputus, Hakim mengalami
suatu permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
a. Untuk pembagian harta bersama yang berbentuk tanah yang berbidang-bidang
dan di tempat yang berbeda-beda, sangat sulit menentukan bagian masing-
masing, tanah yang berbidang-bidang yang letaknya berbeda-beda tersebut
sangat sulit, walaupun telah dilakukan pembagian masing-masing 1/2
(seperdua) tapi para pihak tidak puas terhadap pembagian tersebut.
b. Dalam kondisi dan keadaan tertentu, terjadi kesulitan dalam membuktikan harta
bersama tersebut. Sebagai contoh: sebelum perkawinan siistri telah memiliki
sebidang tanah, maka apabila merujuk kepada Pasal 35 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini merupakan harta
bawaan. Namun kemudian dalam perkawinan tanah tersebut dijual dan
-
dibelikan rumah atas nama si suami, maka dalam kasus ini kedudukan harta
menjadi rumit karena apabila mengacu kepada Pasal 35 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, harta yang diperoleh dalam
perkawinan adalah harta bersama, tanpa mempersoalkan asal harta tersebut.
Apabila hal ini dipermasalahkan oleh si istri sewaktu terjadi pembagian harta
bersama akan sangat susah untuk melakukan pembuktian atas harta tersebut.
c. Dalam acara pembuktian dipersidangan diperlukan pemeriksaan setempat
apabila terdapat barang sengketa yang dilakukan penyitaan dimana barang
tersebut berada di luar wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Lubuk Basung.
Sehingga perkara tersebut dalam hal ini memakan waktu lama, tempat dan
biaya yang tidak sedikit.
d. Sering sekali para pihak itu tidak punya bukti yang lengkap. Apakah itu hak
bersama betul atau bukan. Bukti tertulis seperti sertipikat.;
e. Banyak sekali harta itu tidak lengkap contoh : ukuran luas tidak jelas, kalau
tanah batas-batas tidak jelas, penjual sudah meninggal.
Pembagian harta bersama yang berbentuk tanah menurut penulis memang
akan cukup rumit apabila hanya berupa putusan pengadilan yang menyatakan
bahwa harta bersama tersebut dibagi menjadi dua bagian yang sama besarnya,
dalam hal ini masalah penentuan luas tanah yang akan menjadi bagian masing-
masing pihak. Kondisi ini menurut penulis bisa diatasi dengan 2 (dua) hal, yaitu:
1. Berdasarkan putusan pengadilan para pihak mengajukan kepada Kantor
Pertanahan setempat untuk melakukan pemecahan bidang tanah yang semula
merupakan 1 (satu) bidang menjadi 2 (dua) bidang yang sama besarnya, untuk
kemudian diterbitkan sertipikat baru atas bidang-bidang tanah tersebut.
-
2. Menjual bidang tanah tersebut dengan persetujuan kedua belah pihak dan hasil
penjualan tersebut dibagi untuk bagian yang sama besarnya.
Pembuktian harta bersama merupakan suatu hal lain yang cukup rumit
dalam proses pembagian harta bersama. Pembuktian mengenai tanah yang diduga
merupakan milik pribadi, dapat dilakukan dengan melihat bukti dokumen-
dokumen penting, keterangan saksi-saksi dan melihat bagaimana proses
pendaftaran tanah tersebut ke pejabat Badan Pertanahan Nasional, setelah dirasa
baik maka barulah Hakim memutuskan sesuai dengan rasa keadilan dan
kemanusiaan. Pembuktian mengenai tanah yang diduga tergugat merupakan milik
pribadinya, dengan melihat bukti dokumen-dokumen penting, keterangan saksi-
saksi dan melihat bagaimana proses pendaftaran tanah tersebut ke pejabat Badan
Pertanahan Nasional, setelah dirasa baik maka barulah Hakim memutuskan sesuai
dengan rasa keadilan dan kemanusiaan.
Sistem pembuktian yang dianut di pengadilan Agama menurut penulis
tidak bisa dilepaskan dari Hukum Acara Perdata, tidak bersifat stelsel negatif
menurut undang-undang, seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menurut
pencarian kebenaran yaitu :
1. Harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal
pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam arti
memenuhi syarat formil dam materil.
2. Harus didukung oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian
kesalahan terdakwa. Sistem inilah yang dianut oleh Pasal 183 Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
-
Kebenaran dan yang dicari dan diwujudkan selain berdasakan alat bukti
yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini
hakim. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang
tidak dapat diragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai
kebenaran yang hakiki.
Tidak demikian dalam proses peradilan Perdata, kebenaran yang dicari dan
diwujudkan hakim, cukup kebenaran formil. Dari diri dan sanubari hakim tidak
dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian
berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara
teoritis harus diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak
perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.
Dalam kerangka sistem pembuktian yang demikian, sekiranya tergugat
mengakui dalil penggugat, meskipun hal itu bohong dan palsu, hakim harus
menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu,
tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang
diperkarakan.
Meskipun hakim berpendapat kebenaran dalam gugatan yang diakui
tergugat itu setenggah benar dan setengah palsu, secara teoriti dan yuridis, hakim
tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang diajukan para pihak di
persidangan. Pengadilan Perdata tidak dilarang mencari dan menemukan
kebenaran materiil, namun apabila kebenaran materil tidak ditemukan dalam
peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan
kebenaran formil. Dalam rangka mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan
-
beberapa prinsip sebagai pegangan bagi hakim maupun para pihak yang
berperkara.
Berdasarkan data yang penulis dapatkan di Pengadilan Agama Lubuk
Basung, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pertimbangan hukum hakim yang mempengaruhi pembagian harta bersama
pada putusan nomor 68/ Pdt.G/ 2009/ PA.LB, secara implisit yang dipakai
adalah aturan dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 97 yaitu mengenai presentase pembagian harta bersama.
Pertimbangan lainnya yang dipakai yaitu yang terdapat dalam Pasal 88
Kompilasi Hukum Islam, mengatur bahwa bila terdapat sengketa atas harta
bersama, maka akan diserahkan kepada Pengadilan Agama yang berwenang.
Pihak pengadilan dapat memutuskan pembagian harta bersama dengan
presentase lain dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Berdasarkan
ketentuan pasal-pasal tersebut, terdapat beberapa pertimbangan hukum yang
dianggap dapat mempengaruhi pembagian harta bersama. Pertimbangan
hukum tersebut adalah : Judi, mabuk, boros, peran para pihak dalam keluarga,
siapa yang ternyata mampu membiayai hidup sendiri.
2. Pelaksanaan pembagian harta bersama pada putusan nomor 68/ Pdt.G/ PA.LB
ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan yaitu harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian
harta bersama tersebut dibagi sama rata antara bekas suami isteri. Jadi untuk
pelaksanaan pembagian harta bersama ini dimulai dengan pengajuan gugatan
oleh salah satu pihak, pengajuan gugatan dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara
-
yaitu diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah
putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Setelah syarat-syarat
untuk pengajuan gugatan terpenuhi maka proses pembagian harta bersama
diproses. Sehingga sesuai dengan Putusan Pengadilan Agama Lubuk Basung
Nomor : 68/Pdt.G/2009/PA.LB menetapkan pembagian harta bersama tersebut
(seperdua) bagian untuk penggugat dan (seperdua) bagian untuk tergugat.
3. Kendala-kendala yang sering muncul dalam pelaksanaan
pembagian harta bersama dan penyelesaiannya, dalam hal dimana tergugat
merasa bahwa tanah tersebut telah dihibahkan kepadanya yang dianggapnya
sebagai harta bersama yang diatasnya dibangun rumah, pada hal tanah tersebut
milik orang tua penggugat, menghadapi perkara tersebut Hakim Pengadilan
Agama Lubuk Basung menyelesaikan dengan cara mendatangkan saksi-saksi
pada saat persidangan, antara lain pemberi hibah tanah, BPN (Badan
Pertanahan Nasional) dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) pada saat
persidangan guna memperkuat bukti-bukti tentang perkara yang
disengketakan. Selain itu, sering sekali para pihak itu tidak punya bukti yang
lengkap. Apakah itu hak bersama betul atau bukan. Bukti tulis (Sertipikat
SKT).
Keadilan yang dimaksud mencakup pada pengertian bahwa pembagian
tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak. Kepentingan masing-masing
pihak perlu diakomodasi selama sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Pembagian harta gono-gini sebaiknya dilakukan berdasarkan prinsip keadilan,
sehingga diharapkan tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang
merupakan hak suami dan mana yang merupakan hak istri. Menurut pendapat
-
penulis, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak
mengatur tentang pertimbangan hukum yang mempengaruhi pembagian harta
bersama. Pasal 37 hanya menjelaskan mengenai pengaturan pembagian harta
bersama bila terjadi perceraian diserahkan kepada hukum yang berlaku bagi
masing-masing pihak.
Dalam penyelesaian pelaksanaan pembagian harta bersama dalam
perkawinan, praktisi hukum dapat berpedoman kepada KUH Perdata sebagai
dasar hukum penyelesaian pembagian harta perkawinan. Walaupun dalam Pasal
35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga
memuat ketentuan yang mengatur harta benda dalam perkawinan, namun
mengingat sampai saat ini belum ada peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang
pembagian harta kekayaan dalam perkawinan, maka ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang harta kekayaan perkawinan dalam KUH Perdata masih berlaku.
Hal ini sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa apabila terjadi perceraian maka
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing
Perlu adanya penyuluhan hukum yang terjadwal dan terencana agar
masyarakat awam dapat mengerti akan hak dan kewajibannya, terutama hukum
keluarga sekaligus mensosialisasikan Kompilasi Hukum Islam agar dapat
terwujud menjadi penegakan hukum di Pengadilan Agama.