apakah isbal diwajibkan

Download Apakah Isbal Diwajibkan

If you can't read please download the document

Upload: abu-jakaria

Post on 22-Oct-2015

31 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Apakah Isbal Diwajibkan?Publikasi: 10/01/2005 12:46 WIB Ustadz, apakah isbal itu diwajibkan (bagi pria khususnya?). Lalu, pengertian kat a 'sombong' dalam hadist yang berkenaan dengan isbal itu maksudnya apa? Saya jug a pernah mendengar bahwa 'seseorang yang shalat dan kainnya terjulur sampai tana h, maka shalatnya tidak sah'. Bagaimana pandangan ustadz? Sukran Jazakallah. Aa Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du. Semoga Allah SWT memberikan nilai tambahan pahala atas niat baik dan amal mereka yang menaikkan pakaian di atas mata kaki seiring dengan keikhlasannya. Namun bi la kita mengkaji lebih lanjut tentang hukum isbal yang Anda tanyakan, secara juj ur kita akui bahwa para ulama memang berbeda pendapat. Ada yang mewajibkannya se cara mutlak dan ada juga yang tidak. Dalam nash hadits, masalah isbal atau meman jangkan kain melebihi mata kaki ini memang banyak disebutkan. Di antaranya adala h hadits-hadits berikut: "Makan, minum, berpakaian dan bersedekahlah dengan tidak israf (berlebihan) dan makhilah." (HR Bukhari) "Kain yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka." (HR Bukhari) "Orang yang memanjangkan kainnya karena riya', Allah tidak akan melihatnya di ha ri kiamat." (HR Malik, Abu Daud, An-Nasai dan Ibnu Majah). "Siapa yang memanjangkan pakaiannya karena khaila'(karena sombong dan bangga dir i), Allah tidak melihatnya pada hari kiamat." Abu Bakar As-Shiddiq ra berkata, " Ya Rasulullah, kainku ini longgar namun aku tetap menjaganya." Rasulullah SAW be rsabda,"Kamu bukan termasuk orang yang sombong dan bangga diri." (HR Bukhari dan Muslim) Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan hal itu. Namun berkaitan d engan bentuk hukum yang diistimbat, para ulama berbeda pandangan tentang keharam annya. Sebagian ulama mengaitkan hubungan antra isbal dengan motifnya, yaitu som bong dan bangga diri. Sehingga isbal itu menjadi haram bila motvasinya adalah ri ya, sombong dan bangga diri. Sedangkan bila tidak disertai dengan motif tersebut , maka hukumnya boleh. Namun sebagian ulama lainnya menetapkan secara mutlak keharamannya, lepas dari a pa motivasinya. Para ulama yang mengaitkan hubungan antara isbal dengan motif so mbong mendasarkan pendapat mereka dengan hadits Abu Bakar, dimana beliau menanya kan hukum isbal itu. Dan ternyata Rasulullah SAW membolehkan Abu Bakar memanjang kan kainnya karena Rasulullah SAW tahu bahwa motifnya bukan riya dan sombong. Di antara ulama yang mendukung pendapat ini antara lain adalah Al-Imam An-Nawawi dan Al-Hafiz Ibnu Hajar serta banyak lagi diantara para pensyarah hadits. Palin g tidak, hukum isbal itu tidak mutlak satu pendapat, karena masih didapat perbed aan pandangan diantara para ulama salaf sendiri tentang kemutlakan haramnya. Nam un sebagai bentuk keluar dari khilaf, ada baiknya bila seseorang berusaha agar t idak melakukan hal yang akan menimbulkan perbedaan dan kihlaf. Tidak ada masalah dengan keshahihan hadits tentang isbal. Dan kami rasa tidak se orang pun yang menolak kesahihannya. Sebab para perawinya memang tsiqah dan tida k punya cacat. Yang jadi titik perbedaan ulama adalah masalah istidlalnya. Apaka

h hal itu menjadi kewajiban mutlak ataukah terkait dengan motivasinya. Ini bukan upaya untuk menolak hadits, sebab yang mengaitkannya dengan motivasi i tu juga para ulama. Memang kenyataannya, para ulama berbeda pendapat. Semua oran g menerima keshahihhan hadits itu, tetapi tidak berarti semua memahami dengan ha sil yang sama. Terutama tentang istimbath hukumnya. Sebab khusus bagaimana mengambil istimbath hukkum, sebenarnya ini wilayah para f uqaha, bukan ahli hadits. Maka kalau ada yang mengistimbah hukum hadits itu dan mengatakan bahwa isbal itu wajib secara mutlak tanpa terkait dengan motivasi, ti dak salah. Tetapi bahwa ada yang berpendapat bila kewajiban itu terkait dengan m otivasi riya' sebagaimana yang dipahami oleh para sebagian ulama, juga tidak bis a dikatakan salah. Sebab memang demikianlah dinamika dalam berfiqih, selalu ada beda pandangan. Semua itu sehat-sehat saja sampai ada orang yang merasa paling benar sendiri dan menjelekkan orang lain lantaran pendapatnya tidak sama. Padahal para ulama sebe narnya sudah terbiasa dengan perbedaan pandangan di antara mereka. Namun tetap m enghormati perbedaan pandangan dengan orang lain yang juga berhujjah secara bena r dengan metodolgi istimbah yang shahih juga. Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc. Natal, Syafa'at dan Sinkretisme Teologis Beberapa kelompok dari Islam Liberal melakukan usaha rehabilitasi kecurigaan dalam acara Natal yang terjadi tiap tahun. Sayang usaha itu melahirkan sinkretisme teo logis

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi Meski sudah lewat, ada catatan-catatan penting menyangkut perayaan Natal kemarin . Tulisan ini mencermati artikel dua orang aktifis Islam Liberal. Pertama, artik el yang ditulis oleh Mohammad Guntur Romli di www.islamemansipatoris.com (27/12/ 2004) dengan judul Natal dan Pesan Dialog Agama . Kedua, adalah artikel Ulil Abshar -Abdalla yang dimuat di www.islamlib.com (27/12/2004) dengan judul Pendapat Islam Liberal Tentang Perayaan Natal . Guntur, yang juga mahasiswa Al Azhar, saat itu mengatakan, Saya akan memulai mema hami ajaran Kristen dengan pemahaman yang saya miliki. Ada tiga poin ajaran Kris tiani, tetapi bisa dipahami melalui ajaran Islam. Yaitu, mengenai kehadiran Tuha n, penyaliban Yesus, dan ajaran cinta kasih , demikian kutipnya. Ini juga terjadi pada tulisan Ulil Abshar-Abdalla. Ia bahkan ingin menciptakan m odel ta ruf Qur'ani. Hanya saja, ia juga terjebak oleh spirit yang digulirkannya it u. Diantaranya, ia menganjurkan kawin campur antara seorang laki-laki Muslim den gan wanita non-Muslimah, Natal dan bid`ah. Akibatnya, kedua penulis terjebak dal am sinkretisme teologis . Poin penting dari tulisan Mohammad Guntur Romli dan Ulil Abshar yang akan saya t anggapi adalah; (1) Kehadiran Tuhan, (2) Penyaliban Yesus, (3). Al-Qur an bukan Kit ab Pembatal dan (4) bid ah Natal.

Pertama, menyangkut kehadiran Tuhan. Penulis kira adalah hal yang keliru kalau Islam tidak dianggap detail dalam meng gambarkan kehadiran Tuhan. Paham yang menyatakan bahwa Kristen lebih mementingka n kehadiran Tuhan seperti yang diungkapkan oleh Firthjof Schuon dalam bukunya Fil safat Parenial sangat kurang tepat. Kristen dan Islam memiliki same platform (kalimah saw ), bukan common platform (kal imah musytarakah) yang selama ini disalahpahmi oleh beberapa kaum pluralis. Kare na inti ajaran (akidah) Kristen dan Islam pada dasarnya adalah monoteisme (Tauhi d), bukan kehadiran Tuhan. Hal ini dapat kita temukan baik dalam Perjanjilan Lam a (Old Testament) maupun Perjanjian Baru (New Testament). Sebagai contoh dapat dilihat dalam Perjanjian Lama; (1) Tuhan itu Allah, tidak a da yang lain (Ulangan 4: 35); (2) Akulah yang pertama dan yang terakhir, tidak a da tuhan selain Aku (Yesaya 44: 6); (3) Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Tuhan Yang Esa di dalam Taurat (Keluaran 8: 10); (4) Allah melarang membuat pat ung-patung atau berhala-berhala untuk disembah (Lawi 19: 4) dan (5) Nehemia dala m munajatnya berkata: Engkaulah Tuhan yang Maha Esa! (Nehemia 9: 6). Sedangkan dalam Perjanjian Baru, misalnya; (1) Lalu guru agama itu berkata kepad a Yesus, "Tepat sekali, Bapak Guru! Memang benar apa yang Bapak katakan: Tuhanla h Allah yang esa, dan tidak ada lagi Allah yang lain (Markus 12: 32) [Yasir Anwa r, Alm al-Mash 2004: 17]; (2) Allah tidak bisa dilihat (Yohanes 5: 37); (3) Iblis meminta Yesus untuk menyembahnya, kemudian saat itu Yesus menyuruhnya pergi, karena sudah tertulis bahwa hanya Allah saja yang pantas untuk disembah (Matius 4: 10) ; (4) Yesus menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata; Inilah hidup yang keka l, supaya mereka mengenal-Mu, Tuhan yang sesungguhnya dan Yesus yang Engkau utus (Yohanes 17: 3); (5) Di dalam surat Paulus kepada penduduk Roma; Karena Allah i tu satu (Roma 3: 30) dan lainnya (Dr. Muhammad Ahmad al-Hjj, al-Nashrniyah min alTawhd il al-Tatslts, 2002: 69-74). Di samping itu, pendapat yang dikemukakan oleh Firthjof Schuon di atas kurang re presentatif, karena dia seorang filosof, bukan seorang teolog. Tentu saja seoran g teolog lebih mumpuni di dalam memahami ajaran agama tinimbang seorang filosof, meskipun tidak menutup kemungkinan seorang filosof juga merangkap seorang teolo g. Dalam hal ini Leibniz (1646-1716) lebih mumpuni tinimbang Schuon. Sehingga Leibn iz lebih dikenal dengan terma Theodicy-nya. Maka, kesamaan platform (same platfo rm) Kristen dan Islam, terletak pada monoteisme, bukan kehadiran Tuhan. Kedua, Penyaliban Yesus. Adalah hal yang sangat fatal ketika menyatakan bahwa kematian Yesus di tiang sal ib merupakan hal yang sama dengan jihad dalam Islam. Penulis kira itu adalah alqiys ma`a al-friq bthil. Sama halnya dengan pernyataan Said Aqil Siradj ketika meny atakan bahwa makna nuzul dalam Islam sama dengan nuzul dalam Kristen. Aqil yang mengatakan, nuzul dalam Islam dalam bentuk Al-Qur an, sedangkan nuzul dalam Kriste n dalam bentuk Yesus. Tentu saja hal ini tidak bisa diterima bahkan salah total. Mengapa tidak melakukan qiyas antara Al-Qur an dengan Injil. Dan itu lebih rasion al. Penulis kira Injil juga nuzul dari Allah. Atau apakah ada umat Kristen yang menyatakan bahwa Injil tidak nuzul dari Allah? Dalam Islam ada ajaran kurban (al- udlhiyah) pada hari raya `Idul Adlha, bukan jih ad seperti yang ditulis Guntur. Selain itu, jihad bukan sampai darah penghabisan . Dalam Islam dijelaskan bahwa jihad itu sampai target jihad tercapai. Kalau sud ah tercapai tidak perlu sampai darah penghabisan, itu namanya mati konyol. Dalam Al-Qur an hal itu sudah tampak gamblang diterangkan oleh Allah swt (Qs. 2: 19-193 ), belum lagi dalam Hadits Nabi SAW.

Ketika ada yang menyatakan bahwa umat Islam tidak bisa menolak ajaran Penyaliban Yesus, dengan alasan dalam Islam ada syafa at karena dipandang sama-sama berbentu k pengampunan. Jelas wacana seperti ini bisa dikatakan jauh panggang daripada api . Kita tidak boleh hanya mementingkan hal yang sifatnya sekunder, semacam kerukun an beragama, namun terpaksa mengorbankan garis akidah yang jelas. Sumber ajaran (akidah) adalah kitab suci. Karenanya, penyaliban harus dilihat dari kitab suci (Bibel) dan Al-Qur an. Jadi tidak bisa hanya lewat rasio (akal) yang memiliki kema mpuan yang terbatas (limited ability). F. Kenyon dalam bukunya The Bible and The Ancient Manuscripts pada halaman 48 me muat kisah Penyaliban Yesus yang tercatat dalah Injil Markus. Kenyon menyatakan ba hwa dalam pandangan prioritas kronologisnya, Markus harus diletakkan pada sumber pertama episode ini. Tetapi riset modern membuktikan, bahwa dua belas ayat (mulai ayat 9 sampai ang terdapat di bagian terakhir Injil itu adalah palsu dan tidak ditemukan nuskrip-manuskrip tertua. (baca Dr. Hamid Qadri, Dimension of Christianity ) Masyhur Abadi & Lis Amalia R; Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen , 2004: 20) y di ma (Terj 61).

Kiranya sumber doktrin yang sudah mengalami distorsi tidak bisa dijadikan sebaga i landasan ide dan pemikiran. Perlu ditambahkan bahwa dalam Injil sendiri masih terdapat kesimpangsiuran dalam kisah Penyaliban Yesus. Sebagaian mengatakan penyaliban adalah hal yang dilarang. Menurut syariat Yahudi menyebut, "Setiap yang disalib di atas kayu (tiang salib) terlaknat." Dalam tek s dari kitab Ulangan juga menyebutkan, Apabila seseorang telah dihukum mati karen a suatu kejahatan, dan mayatnya digantung pada tiang, mayat itu tidak boleh dibi arkan di situ sepanjang malam, tetapi harus dikubur pada hari itu juga. Mayat ya ng tergantung pada tiang mendatangkan kutuk Allah... (Kitab Ulangan 21: 22-23) Masih banyak kesimpangsiuran yang lain. Di setiap bagian dalam Injil, Al-Masih t idak mengatakan, "Niscaya aku akan disalib." Namun ia senantiasa berbicara denga n menggunakan kata ganti orang ketiga (dhamr al-gh'ib). "Niscaya anak manusia akan disalib, akan dibunuh". Nyata sekali bahwa penggunakan kata ganti 'orang ketiga' di sini bukan secara se rampangan (sembarangan), namun merupakan tujuan yang sudah pasti dalam membicara kan 'seseorang yang tidak hadir namun ada, atau yang ada orangnya namun tidak ha dir (di saat itu)'. Maka sosok yang sebenarnya (Al-Masih) dalam keadaan tidak ad a (al-gh'ib) dan orang yang disalib (al-mashlb) adalah orang yang mirip dengan AlMasih (syabh al-mash) dalam kedaan hadir. Karenanya, tidak mungkin kata ganti yang lain menjelaskan perkara ini, kecuali k ata ganti orang ketiga (dhamr al-gh'ib). Dan satu-satunya perkataan Al-Masih yang menggunakan orang pertama adalah, Wa hna u'allaqu marf'an min al-arhdi, adzdibu aljam' . (Kalau aku sudah ditinggikan di atas atas bumi, aku akan menarik semua orang kepadaku (Yohanes 12: 32). Dalam hal ini, beliau tidak ada sedikitpun menunjukkan tentang salib, sebagaiman a terjemahan dalam bahasa Arab 'u'allaqu tidak benar. Karena dalam bahasa Inggri s 'lifted up', bermakna 'diangkat', bukan digantungkan ('u'allaqu). Maka tidak a da perselisihan diantara kita bahwa Al-Masih telah diangkat ke langit dalam kead aan hidup atau mati. Adalah sesuatu yang bijak jika kita mempelajari sebuah doktrin agama langsung ke pada sumber aslinya (primary refence). Penebusan dosa dalam Islam tidak lewat sy afaat, melainkah lewat istighfar (memohon ampun) kepada Allah. Bukankah Nabi saw mengajarkan umatnya untuk meperbanyak istighfar? Karena syafaat bukan untuk sem ua manusia, melainkan bagi mereka yang berdosa. Sedangkan dalam Kristen, orang s

eluruhnya sudah diampuni dosanya cukup dengan mengakui bahwa Yesus itu adalah Tu han. Menurut Marthin Luther, tidak rasional dan salah fatal menyamakan penebusan dosa dengan Penyaliban Yesus Kristen yang sampai hari ini masih mengandung kont roversial di kalangan Kristen sendiri. Maka cukup beralasan jika Al-Qur an menyatakan wam qatalh wam shalabhu walkin syubbiha ahum. Pernyataan kaul liberal yang mengatakan bila Yesus merupakan kalimat dan ruh Allah a dalah kesalahan fatal yang perlu diluruskan. Al-Qura n tidak pernah menjelaskan ha nya dengan ruh dan kalimat Allah . Allah senantiasa menggandengkan kata ruh dengan kata minhu . Begitu juga dengan kalimat , selalu disandingkan dengan kata ganti (dhamr) hu, sehingga menjadi kalimatuh. Hal ini dapat dibaca dalam QS. 4: 171, Innama al-Mashu `Isa bnu Maryam Raslullhi wa kalimatuh alqh il Maryam wa Rhun minhu (Sesungguhnya Al asih `Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan kalim at-Nya) yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya). J elas berbeda antara ruh Allah dengan ruh dari Allah . Ketiga: Al-Qur an bukan Kitab Pembatal ?

Ulil Abshar Abdalla juga sempat menyinggung bahwa Al-Qur an bukanlah Kitab Pembatal . Benarkah demikian? Dalam sebuah agama, klaim kebenaran (truth claim) merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Hanya saja, salah satu tindakan yang salah adal ah klaim buta (blind claim). Itulah yang tidak dapat diterima. Klaim-klaim buta yang tidak berdasar merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan sa ma sekali. Pernyataan Ulil bahwa Al-Qur an bukan Kitab Pembatal harus dilihat kembal i dengan kritis. Yesus hadir (diutus) ke dunia bukan membawa atau menciptakan hu kum baru. Ia hanya melengkapi (menggenapi) hukum Taurat yang dibawa oleh Musa (M atius 5: 17-18). Maka, Injil pada intinya tidak bisa dianggap sebagai penghapus Taurat, meskipun datangnya belakangan. Ia hanya bisa disebut sebagai mushaddiq (pe mbenar). Lain halnya dengan Al-Qur an, meskipun Al-Qur an turun bukan sebagai Kitab P embatal --namun ia merupakan penghapus beberapa hukum Taurat--, tapi ia (Al-Qur an) turun sebagai pembenar (mushaddiq) sekaligus muhaimin `alaihi (batu ujian). Hal -hal inilah yang sering luput dari pengamatan kaum liberal seperti Guntur dan Ul il. Al-Qur an merupakan filter akidah dan ayat-ayat yang ada dalam kitab yang turun le bih dulu (Taurat dan Injil). Dengan demikian, Al-Qur an pada intinya merupakan kit ab pembatal , meskipun bukan pembatal seratus persen. Sebut saja cara bertobat. Uma t zaman dahulu kalau bertobat harus bunuh diri (Qs. 2: 54), dalam Islam tentu ti dak seperti itu, cukup dengan taubat; tidak perlu sampai membunuh diri. Dan yang tidak dihapus itu adalah doktrin monoteisme (Tauhid). Itulah yang disebut denga n same platform (kalimah saw ). Meskipun tampaknya hanya Islam (saat ini) yang berp egang teguh pada kalimah saw ini. Keempat: bid`ah Natal. Ada hal penting yang harus ketahui dalam masalah bid`ah. Pertama, bid`ah itu ter bagi dua, pertama bid`ah dalam kebiasaan (adat) dan kedua, bid`ah dalam agama (a l-dn). Bid`ah dalam bentuk pertama dibolehkan, karena asal (dasar) dari segala se suatu itu adalah boleh (al-ibhah). Sedangkan bid`ah dalam agama adalah haram, kar ena pada dasarnya adalah al-tawqf (berdasarkan penjelasan Nabi saw berdasarkan wa hyu dari Allah swt). Kata Nabi, "Man ahdatsa fi amrina ma laisa minhu fahuwa raddun," barangsiapa men gadakan sesuatu yang baru dalam perkara (agama) ini maka hal itu akan ditolak. Contohnya adalah menghadiri perayaan Natal. Karena perayaan Natal bersama juga m erupakan bid`ah yang dilarang oleh agama. Karena Natal merupakan salah satu hari

besar dalam agama Kristen, jelas menghadirinya tidak boleh dan dilarang keras o leh agama. Ibnul Qayyim al Jauziyah di dalam bukunya As-Syarhus Syuruth Al Umariyah, mengut ip sebuah sabda Nabi saw, Laa tadkhuluu `alaa ha ulaai al-mal`uuniin illaa antakuun uu baakiina. Fainlam takuunuu bakiina falaa tadkhuluu `alaihim, an yushibakum mi tslu maa ashabahum (Janganlah kalian memasuki rumah-rumah ibadah kaum yang dilak nat oleh Allah kecuali dengan menangis. Jika kalian tidak menangis, maka jangan memasukinnya, karena nanti kamu akan tertimpa (azab) seperti yang diterima merek a). Dalam kitabnya, Iqtidlaa ash Shirathil Mustaqim Mukhaalifata Ashhaabil Jahim , Ibnu Taimiyah menguraikan panjang lebar sikap yang harus dilakukan oleh seorang Musl im dalam menyikapi hari-hari besar agama lain. Diceritakan oleh Ibnu Taimiyah, b ahwa Umar bin Khatthab ra. pernah menyatakan, Ijtanibuu a`daa allaahi fii `idihim ( Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari-hari besar mereka). Kaum non-muslim ketika itu dilarang oleh Umar untuk merayakan hari besar mereka secara mencolok sehingga menarik perhatian masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, ke putusan Umar itu merupakan ijma` sahabat dan disepakai jumhur ulama. Merujuk kepa da ketentuan itu, tentunya dapat dipahami bahwa menghadiri peringatan Natal bers ama apalagi menyiarkan besar-besaran di tengah masayarakat Muslim adalah tindakan t ercela. Umar menyatakan, Janganlah kalian memasuki tempat-tempat ibadah kaum musy rik pada hari besar agama mereka. Sebab, sesungguhnya kemurkaan Allah pada hari itu sedang turun atas mereka . Secara realita, di Indonesia tidak pernah ada pihak yang dirugikan seandainya ag ama-agama lain (Islam, Hindu dan Budha) tidak menghadiri Perayaan Natal Bersama . A pakah dengan tidak hadirnya umat Islam akan dianggap Islam tidak toleran? Atau P erayaan Natal tersebut kurang khidmat dan tidak khusyuk? Sehingga dapat menguran gi makna Natal itu sendiri. Karena umat Islam pun tidak pernah ribut ketika mela ksanakan Idul Fithri dan Idul Adlha meski umat lain tak menghadiri.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, Fakultas UshuluddinJurusan Tafsir Beda Wakaf, Wasiat dan Hibah Pengirim : Alif Pertanyaan : Apakah saya bisa mendapatkan penjelasan soal wakaf, wasiat, dan hibah. Apa beda dinatara ketiganya, sebab saya sering mendengar istilah tersebut namun tidak ban yak mengerti tentang hal tersebut. Demikian atas jawaban pengasuh saya sampaikan terima kasih. Jawaban : Secara harfiah, wakaf berarti al-habsu menahan atau mendiamkan sesuatu (ta rifat h.253 ) sedangkan menurut istilah syar I, wakaf adalah menahan atau mendiamkan sesuatu b enda sehingga tidak bisa dimanfaatkan lagi oleh pemiliknya semula karena telah b erubah status kepemilikannya. Wakaf adalah perbuatan baik yang sangat dianjurkan, bahkan wakaf dapat dikategor ikan sebagai suatu bentuk amal jariah, yaitu amal ibadah yang pahalanya terus me

ngalir selama barang yang diwakafkan masih difungsikan..Karena wakaf diorientasi kan untuk tujuan jangka panjang, maka barang yang diwakafkan sering diidentikkan dengan barang-brang tidak bergerak seperti tanah, rumah, bangunan untuk sarana ibadah dan sosial, dan lainnya. Imam Hanafi memperbolehkan ummat Islam untuk mengubah bentuk harta wakaf, bahkan untuk menjualnya. Berbeda dengan ulama Syafiiyah, Imam hanafi menekankan prinsi p kegunaan harta wakaf. Untuk mengoptimalkan nilai dan fungsi wakaf maka ummat I slam boleh saja menjual tnah wakaf dipusat kota dengan harga mahal, lalu kemudia n dibelikan dengan tanah yang lebih luas dipinggiran kota. Di dunia Islam baik di Timur Tengah maupun negara lain, lembaga wakaf mempunyai peran yang sangat penting dalam mendukung perkembangan dunia Islam. Sementara di Indonesia wakaf belum membudaya, wakag cenderung hanya diidentikan dengan masji d, tanah makam, sekolah, dan fasilitas sosial lainnya. Di Timur Tengah, lembaga wakaf difungsikan untuk menunjang nadi kegiatan ummat. Para pengelola kegiatan k eummatan tersebut diberi hak guna usaha/bangunan untuk memanfaatkan harta wakaf guna menunjang kegiatan Islam yang sangat luas. Bahkan lebih jauh wakaf dapat digunakan untuk menunjang kegiatan ekonomi ummat. Wasiat adalah memberikan kepemilikan sesuatu dari seseorang kepada orang (pihak) lain yang terjadi setelah wafatnya sipemberi. Misalnya A berkata kepada B, Jika saya meninggal dunia maka tanah milik saya yang berada didaerah anu menjadi mili k Anda . Ayat-ayat Al Qur an yang berbicra soal wasiat anatara lain; Surat Al Maidah 106, d an surat An Nisa : 11-12 . Adapun syarat wasiat menurut ajaran Islam antara lain , harta yang diwasiatkan tidak lebih dari sepertiga kecuali atas seizin ahli war isnya. Jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan memiliki wasiat maka wasiatn ya itu harus terlebih dahulu di bayar sebelum hartanya dibagikan kepada ahli war isnya (An Nisa :11) Sedang hibah adalah pemberian seseorang kepada orang lain yang sifatnya mutlak t npa dikaitkan dengan suatu apapun. Hibah adalah pemberian yang sama dengan pembe rian biasa lainnya, yang semata-mata keluar dari keihlasan dan kesadaran. Dasar Hukum Bai'atPublikasi: 06/01/2005 13:20 WIB Assalamu'alaikum ustadz Saya ingin bertanya kepada ustadz, bagaimana hukumnya bai'at itu sendiri, terus apakah ada dasarnya di dalam islam, dan apakah pada zaman sekarang masih ada bai 'at? Kalau masih diperbolehkan, kepada siapa? Afwan kalau panjang, tapi mohon di beri pemahaman sejelas-jelasnya. Jazakumullahu khoir Wassalamu'alaikum Kin Jawaban: Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du. Secara bahasa bai'at bermakna janji untuk taat dan juga bermakna kesepakatan dal am jual beli. Sedangkan makna bai'at secara istilah sebagaimana yang dituliskan oleh Ibn Khald un dalam Muqaddimah-nya adalah janji untuk mentaati. Sehingga seorang yang berba i'at kepada seorang pemimpin seolah-olah berjanji unuk menyerahkan urusannya kep

adanya dan tidak menentangnya dalam segala sesuatu. Termasuk mentaatinya atas be ban yang dipikulkan dipundaknya baik dalam keadaan suka maupun duka. Seseorang m embai'at pemimpinnya adalah menyalami tangannya sebagai penguat janjinya seperti akad yang dilakukan oleh seorang penjual dan pembeli sehingga bai'at itu identi k dengan bersalaman tangan. (Lihat muqaddimah Ibn Khaldun halaman 209) a. Bai'at dalam Al-Qur'an dan AS-Sunnah Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur'an sebagai berikut: "Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berj anji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka rangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya s endiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (al-Fath: 10) Yang dimaksud dalam ayat ini adalah Bai'atur Ridwan yaitu bai'at yang terjadi pa da perjanjian Hudaibiyah. Di dalam nadis nabawi disebutkan bahwa Rasulullah bersabda kepada Majasya' ketika ditanya untuk apa kami dibai'at, beliau s.a.w menjawab untuk Islam dan ji had (HR Bukhari Muslim) b. Hakikat Bai'at Bai'at itu adalah sebuah akad yang bersifat saling ridha dan boleh memilih, tida k boleh diiringi penekanan atau pemaksaan. Bai'at adalah kesepakatan antara kedu a belah pihak. Pihak pertama adalah Ahlul hilli Wal 'Aqdi (semacam majelis syuro , senat, parlemen dan sejenisnya) dan pihak kedua adalah orang yang dipilih menj adi imam, yaitu orang yang memenuhi syarat-syarat dan dipilih oleh Ahlul Hilli W al 'Aqdi. Bila seluruh anggota Ahli Hilli Wal 'Aqdi sepakat untuk memilih seseorang dan me yakini terpenuhinya syarat-syarat pada diri orang itu maka mereka akan membai'at orang tersebut. Bila orang itu menyetujui pembai'atan dirinya dan sudah di bai' at maka wajiblah seluruh umat untuk masuk kedalam bai'at itu dan mentaatinya. Na mun bila orang tadi tidak menerima dirinya diangkat menjadi imam maka harus dica rikan orang lain, ia tidak boleh dipaksa. Para fuqaha sepakat bahwa seorang imam itu baru resmi menduduki jabatanya manaka la telah disepakati oleh seorang anggota Ahlul Hilli Wal 'Aqdi baik yang ada di pusat maupun di daerah. Dalilnya adalah perkataan Umar bin Khatab r.a, "Orang ya ng membai'at seorang imam tanpa bermusyawarah dengan seluruh umat Islam maka bai 'atnya tidak syah". c. Hukum Taklifi Hukum bai'at itu berbeda sesuai dengan orangnya. Ahlul Hilli Wal 'Aqdi diwajibka n untuk membai'at orang yang mereka pilih menjadi pemimpin, yaitu orang-orang ya ng sudah memnuhi syarat-syarat secara syariah. Sedangkan khalayak umum pada dasa rnya juga wajib untuk membai'at sang pemimpin sebagai kewajiban Ahlul Hilli Wal 'Aqdi. Dasarnya adalah sabda Nabi: "Siapa yang meninggal dan di lehernya tidak ada bai'at seorang imam maka matinya mati jahiliyah".(HR Muslim) Namun menurut pandangan mazhab di kalangan al-Malikiyah, cukuplah bagi orang keb anyakan untuk meyakini dalam hati bahwa dirinya berada di bawah kepemimipinan im am yang dibai'at, dan bahwa dirinya terikat untuk mentaatinya. (Lihat Ibn Abidin

1/368, as Syarhul Kabir 4/298, Minhajuth Thalibin 4/173). Dari sisi imam yang dibai'at, wajiblah dia menerima bai'at itu bila telah diputu skan manakala tidak adanya orang lain yang sebanding dengannya dalam hal persyar atan. Namun bila ada orang-orang lain yang juga memenuhi syarat seperti dirinya maka menerima bai'at baginya hanyalah fardu kifayah. d. Teknis Bai'at Cara berbai'at adalah dengan ucapan yang disampaikan oleh masing-masing ggota Ah lul Hilli Wal 'Aqdi kepada seseorang yang dipilih menjadi khalifah dengan contoh lafaz sebagai berikut, "Kami membai'atmu untuk menegakkan keadilan dan segala kewajiban imamah." Secara hukum fiqih sebenarnya tidak disyaratkan harus dengan menyalaminya meskip un bai'at di zaman Rasulullah dan kaumnya bai'at dengan menggunakan jabatan tang an, namun bai'atun nisa' tidak dengan tangan (tidak bersalaman). Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. Ahmad Sarwat, Lc. Lainnya