analisis penolakan kua kedu terhadap wali nikah...
TRANSCRIPT
ANALISIS PENOLAKAN KUA KEDU TERHADAP
WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Kedu Kabupaten
Temanggung)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh:
MUHAMMAD RAISUL UMAM
NIM 211 11 036
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
i
ANALISIS PENOLAKAN KUA KEDU TERHADAP
WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Kedu Kabupaten
Temanggung)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh:
MUHAMMAD RAISUL UMAM
NIM 211 11 036
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
MOTTO
“Berbuat baik, Bersyukur, memaafkan serta rendah hati adalah kunci kehidupan”
Baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain dan sebaliknya Baik
menurut orang lain belum tentu baik menurut kita.
ى م ىاأل ص أل ص ص مى ى ص ص ىاال أل ص مى ص نت أل ط ىااألم ص ام ت ص رم ت
“Kebijaksanaan imam/kepala negara terhadap rakyat itu harus dihubungkan
dengan kemaslahatan”(Abu bakar, t.t: 28).
vi
PERSEMBAHAN
Dengan ketulusan hati dan segenap rasa syukur, skripsi ini saya
persembahkan kepada :
Bapak (Kasnan) & Ibuku tersayang (Jazimatul Chasanah) serta adik-adik
ku tersayang (Roki, Difla & Arza) yang telah mencurahkan segala daya dan
upaya, demi kesuksesan putranya. Terima kasih atas cinta dan kasih sayang
yang telah diberikan selama ini, juga untuk setiap do’a dan restu yang
dengan tulus diucapkan, serta materi yang selalu diberikan, Semoga selalu
diberikan kesehatan, kebahagiaan, keberkahan, dan mendapat limpahan
kasih sayang Allah SWT dunia akhirat.
Khusna Maulida & Elia Widyawati, sang Motivator, Penyemangat, sekaligus
sahabat terbaik yang selalu menemani ku dikala suka dan duka hingga kita
mampu berjuang bersama dalam penyusunan skripsi masing-masing,
Semoga Allah Meridhoi.
Bapak Ali Sukron beserta keluarga selaku Pengasuh komplek Al Fadlil
Pondok Pesantren Al I’tihad Poncol Beringin Kab. Semarang yang telah
memberikan ilmu agama dan mengarahkanku dalam kebaikan.
Bapak Mupangat, M.Ag Selaku kepala KUA Kec. Kedu yang
menginspirasikan judul skripsi ini dan Bapak Drs Badwan M.Ag yang telah
sabar dalam mengarahkan, membimbing dan memberikan masukan-
masukan dalam penyusunan skripsi ini.
Teman-teman AS 2011, Sahabat-sahabati PMII dan teman-teman Kampak
Alumni PP. Miftahurrosyidin yang selalu menemani dan memberi semangat
agar skripsi ini cepat terselesaikan.
Sahabat-sahabati GANAS PMII Salatiga yang telah menorehkan tinta emas
dalam hidup ku dan penuh keikhlasan menemaniku.
Tanpa dukungan dan motivasi dari kalian skripsi ini tak kan dapat ku
persembahkan.
vii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah
SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para
pengikutnya.
Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat
guna untuk memperoleh gelar sarjana hukum Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga. Adapun judul skripsi ini adalah ANALISIS PENOLAKAN
KUA KEDU TERHADAP WALI NIKAH BERTATO (STUDI KASUS DI
KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN KEDU KABUPATEN
TEMANGGUNG). Penulisan skripsi ini dapat selesai tidak lepas dari
berbagai pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun materil.
Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga yang
telah banyak berjasa untuk mengasuh penulis dan berkenan memberikan
persetujuan/pengesahan terhadap judul skripsi ini.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag, Selaku Dekan Fakultas Syari’ah.
3. Bapak Sukron Makmun M.Si, Selaku Ketua Jurusan hukum Keluarga
Islam.
4. Bapak Drs. Badwan, M. Ag. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
5. Ibu Heni Satar N, S.H., M.Si. Selaku dosen pembimbing Akademik
6. Bapak Mupangat, M.Ag, Selaku Kepala KUA, Kecamatan Kedu,
Kabupaten Temanggung yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini.
7. Bapak/ibu Dosen dan Karyawan IAIN Salatiga yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini.
8. Bapak, Ibukku serta Saudara-saudara ku dirumah yang telah mendoakan
dan membantu baik moril maupun spiritual dalam menyelesaikan studi di
IAIN Salatiga dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
viii
9. sahabat-sahabatku yang tak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
memberikan bantuan baik berupa tenaga dan motivasi kepada penulis
hingga terselesaikannya skripsi ini.
Semoga amal mereka diterima sebagai Amal Ibadah oleh Allah SWT
serta mendapatkan balasan yang berkah dan berlimpah, Amiin.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, semua itu karena keterbatasan kemampuan serta pengetahuan
penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
oleh penulis untuk penyempurnaan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca pada umumnya serta bermanfaat bagi dunia
pendidikan, agama, nusa dan bangsa. Amiin.
Salatiga, 15 Maret 2017
Penulis
Muhammad Raisul Umam
NIM. 211 11 036
ix
ABSTRAK
Umam, Muhammad Raisul. 2017. “ANALISIS PENOLAKAN KUA KEDU
TERHADAP WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung)”. Skripsi Fakultas
Syari‟ah Jurusan Hukum Keluarga Islam ( Ahwal Al-Syakhsyiyyah ).
Institut Agama Islam Negeri ( IAIN ) Salatiga. Pembimbing Drs. H.
Badwan, M.Ag.
Kata kunci Hukum Bertato, wali
Penelitian ini bertujuan untuk bagaimana status hukum bagi seorang wali
dalam pernikahan yang bertato. Karena pada dasarnya belum ada peraturan yang
mengatur secara detail tentang hal tersebut, baik Undang-undang, Peraturan
Pemerintah (PP), maupun Putusan Pengadilan. Pertanyaan yang ingin di jawab
dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pendapat KUA Kedu terhadap
penolakan wali bertato sebagai wali dalam perkawinan? (2) Bagaimana prosedur
yang dilakukan KUA Kedu dalam penolakan wali nikah bertato?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode pengumpulan datanya
penyusun menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data
yang diperoleh peneliti dari beberapa informan dari pegawai pencatat nikah di
Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung.
Sebagaimana telah disebutkan dalam Hadis Rasulullah Saw hukum
seorang yang bertato adalah haram. Karena tato adalah suatu perbuatan ber lebih-
lebihan dalam berhias hingga merubah ciptaanNya, perbuatan yang seperti itu
adalah perintah syaitan, dan menjadikannya sebagai pelindung selainNya adalah
sesuatu yang merugikan. Sehingga perbuatan yang dilakukan seorang untuk
mentato tersebut menjadikan dosa. Dalam proses pernikahan yang dilakukan di
KUA Kecamatan Kedu pada dasarnya sama dengan yang dilakukan KUA lain,
ketika seorang wali tidak sanggup untuk menikahkan sendiri maka di anjurkan
untuk mewakilkan kepada wali lain ketika tidak ada maka dapat mewakilkan
kepada petuga dari KUA. Dasar hukum dan pertimbangan yang di lakukan KUA
kedu dalam memutuskan pendapatnya bahwa seseoang yang bertato tidak boleh
apabila menjadi wali dalam pernikahan karena wali tersebut tidak memenuhi
syarat sebagai seorang wali yaitu tidak masuk dalam kriteria orang adil. Pernah
melakukan dosa. Karena bertato merupakan perbuatan yang melanggar syariat
Islam. Sehingga wali yang bertato termasuk dihukumi fasik tidak mempunyai
legalitas untuk menikakan dan di anjurkan untuk mengganti kepada wali lain atau
wali hakim.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………....…… i
NOTA PEMBIMBING……………………………………………....………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………...…………………………...……….. iii
HALAMAN PERNYATAAN ……………………….…………....………… iv
MOTTO………………………………………………………………………. v
PERSEMBAHAN…………………………………………………………..... vi
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. Vii
ABSTRAK…………………………………………………………………… ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. x
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………. 9
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………….. 9
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………… 9
E. Penegasan Istilah.....…………………………………………………. 10
F. Metode Penelitian……………………………………………………. 11
G. Sistematika Penulisan………………….…………………………….. 15
BAB II LANDASAN TEORI
A. Perkawinan.............………………………………...…….................... 17
1. Pengertian Perkawinan ...…………………………………………
2. Dasar Hukum Perkawinan………………………………………..
3. Rukun dan Syarat Perkawinan……………………………………
4. Hukum Perkawinan……………………………………………….
5. Tujuan Perkawinan……………………………………………….
17
18
20
22
23
B. Wali Nikah.....………………………………………………………... 24
xi
1. Pengertian Wali…………………………………………………...
2. Dasar Hukum Wali……………………………………………….
3. Macam Macam Wali……………………………………………...
4. Pendapat Ulama Tentang perwalian dalam Perkawinan…………
5. Pengertian Wali Fasiq dalam Perkawinan ……..………………...
C. TATO…………………………………………………………………
1. Pengertian Tato……………………………………...……………
2. Dasar Hukum Tato………………………………………………..
3. Pendapat Ulama Tentang Tato…………………………………....
4. Jenis Jenis Tato……………………………………………………
5. Bahan Tato…………………………………………………..……
24
25
26
29
33
37
37
38
39
41
42
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kedu……………...
1. Kondisi Umum……………………………………………………
2. Tugas dan Fungsi KUA Kecamatan Kedu……………………….
3. Visi dan Misi KUA Kecamatan Kedu……………………………
4. Struktur Organisasi KUA Kecamatan Kedu………………...……
5. Program Kerja KUA Kecamatan Kedu …………………………..
6. Tantangan, Kendala dan Peluang KUA Kecamatan Kedu……….
7. Kode Etik Pegawai Kementrian Agama………………………….
B. Temuan Penelitian …………………………………………………...
1. Kasus Wali Bertato di KUA Kecamatan Kedu …………………..
2. Prosedur Penolakan Wali Bertato ………………………………..
44
44
45
46
47
50
51
53
54
54
55
BAB IV ANALISA
A. Analisa Tinjauan Hukum Islam Tentang Wali Bertato .......................
B. Prosedur Penolakan Wali Nikah Bertato Di KUA Kecamatan Kedu...
57
61
xii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………...…...……………………………….….....…….. 64
B. Kritik dan Saran ……………………………………………....….….. 64
C. Penutup ................................................................................................ 65
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ……………………... 45
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Daftar Riwayat Hidup
Lampiran II : Lembar Konsultasi Skripsi
Lampiran III : Daftar SKK
Lampiran IV : Surat Izin Penelitian
Lampiran V : Keterangan Telah Meneliti
Lampiran VI : Daftar Pertanyaan
Lampiran VII : Transkip Wawancara
Lampiran VIII : Dokumentasi Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dan sangat
sakral dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali bagi seorang muslim.
Seorang muslim melaksanakan perkawinan merupakan sunatullah, dan
mengandung suatu hikmah. Adapun salah satu hikmah yang terkandung di
dalamnya yaitu untuk kelangsungan hidup manusia di dunia melalui
perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah, akan terjalin hubungan yang
terhormat dan harmonis antara laki-laki dan perempuan. pergaulan harmonis
akan menjadikan rumah tangga yang damai dan tenteram.
Perkawinan yang sah menurut Islam adalah akad yang kuat sebagai
bentuk ketaatan kepada Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Mengingat kedudukan hukum perkawinan sangat penting menurut Islam,
maka tidak salah jika Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat
terperinci.
Bukan hanya agama, bahkan negara juga ikut andil dalam menangani
masalah terkait perkawinan. terbukti dari diterbitkannya Undang-Undang No.
1 Tahun 1974. “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” (Sunarso.2012: 1). Jadi perkawinan yaitu suatu ikatan dua
2
orang yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang harmonis sesuai
perintah agama.
Dalam pasal 2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Sunarso.2012:
1). Bahwa ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Tidak sah jika
perkawinan seseorang dilakukan tanpa aturan agama yang dianutnya, karena
masing-masing agama mempunyai aturan-aturan yang berbeda dan pasti
mengandung suatu maksud dan tujuan tertentu.
Pasal 2 (2) disebutkan “Bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pencatatan perkawinan
sebagaimana diatur dalam pasal 2 (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan menurut hukum agama.
Pencatatan ini hanya bersifat administratif guna memperoleh akta nikah
sebagai bukti otentik telah dilakukannya suatu perkawinan. Memiliki akta
nikah berarti pernikahan tersebut secara yuridis telah diakui negara dan
memperoleh perlindungan serta kepastian hukum dari negara.
Pernikahan secara bahasa berarti kumpul atau gabung, sedangkan
menurut istilah adalah akad yang sudah masyhur didalamnya mengandung
syarat dan rukun. Ke asalan nikah di dalam bahasa Arab cenderung pada arti
kawin karena nikah pada dasarnya untuk menghalalkan hubungan suami istri
(Taqiyuddin. 2005: 31). Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2
tentang dasar-dasar perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan menurut
hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholidhan untuk
3
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”
(Abdullah. 2002: 78). Allah berfirman dalam surat ar Rum ayat 21;
ى ى ى ى ىى ىى ى ى ى ى
ى ىى ىى ىى ى ىىى
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Yayasan
Penyelenggara Penterjemah, 1993: 644).
Jelas bahwa Allah telah menciptakan seorang istri dari jenis kita,
merasakan tentram dan tumbuh kasih sayang. Sehingga tidak akan terjadi
suatu hal yang menjadikan permusuhan, hilangnya rasa kasih dan sayang yang
mengakibatkan perpisahan.
Guna memperoleh pernikahan yang sah, dalam pelaksanaannya harus
terpenuhi rukun dan syarat pernikahan. Apabila salah satu dari keduanya tidak
terpenuhi sewaktu melangsungkan perkawinan, maka pernikahan tersebut
tidak sah menurut syara‟. Menurut Abdul Rahman (2003:48) menjelaskan
sebagai berikut: Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam,
yaitu: calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua orang
saksi, sighat akad nikah.
Kemudian menurut Zakaria bin Muhammad beliau berpendapat :
اامى ص ص م ى صزص أل ص جى زص أل جى :أصرأل ص ات تى" ى " م نأل ص جى صى ص ص ام ص
“Rukunnya nikah itu ada lima yaitu: calon suami, calon istri, wali,
dua orang saksi, sighat (ijab kabul)” (Zakaria. 1998: 58).
4
Dalam Kompilasi Hukum Islam, rukun nikah yang terdapat di
Indonesia ada lima, yaitu: calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang
saksi, ijab dan qabul (Abdullah. 2002: 81). Setelah semua rukun nikah
terpenuhi haruslah melihat syarat-syarat yang ada dalam akad pernikahan,
apakah telah lengkap atau belum. Apabila rukun telah dipenuhi akan tetapi
syarat belum terpenuhi, maka pernikahan belum dianggap sah.
Penelitian ini, menekankan syarat yang harus dipenuhi oleh wali dari
mempelai wanita, sebagaimana diterangkan oleh Amir Syarifuddin dalam
buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia sebagai berikut:
1. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak
berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang
melakukan akad. Hal ini mengambil dalil dari hadis Nabi:
ىينصبنأل تغصى ص صنمى ىحصت رم ى ص صنمىاا ربم ظصتنص ألقم ىيصسأل ىحصت ثص طى صنمىاا ءمام ىثصلص رتفمعصىااألقص صمتى صنأل
ى ىيصفم ألقص ىحصت (ح م,ىإ نى ,ىاا س ئ,ىأ ىدا د,ىر اهىأمح )ااأل صجأل نت ألام
“Diangkatkan kalam (tidak diperhitungkan secara hukum)
seseorangyang tertidur sampai ia bangun, seseorang yang masih
kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sehat.(HR.
Ahmad, Abu Dawud, An Nasai, Ibnu Majah, Hakim)”.
(Jalaluddin,2006:273)
2. Laki-laki, tidak boleh seorang wanita menjadi wali.
3. Muslim.
Tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim.
5
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 28:
ى ى ى ى ىىى ىىى ى ى
ى ىىىى ى ى ى ىىى ىىىىى
ى ىى
ى“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah,
kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali(mu)” (Yayasan Penyelenggara
Penterjemah, 1993: 80).
4. Orang merdeka
Orang merdeka adalah bukan budak (hamba) tebusan; orang bebas.
(KBBI. http://kamusbahasaindonesia.org: akses 25 januari 2017). Tidak
berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya adalah bahwa
orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum
dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu
tindakan hukum.
5. Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya
tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan
maslahat dalam perkawinan tersebut.
6. Adil, dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering
terlibat dengan dosa kecil serta tetap memelihara muruah atau sopan
santun.
6
Keharusan wali itu adil berdasarkan kepada sabda Nabi Saw:
ام ص اصى رطى ص أل طى م ص ام ص ألى إم ى ص )ااب هقي ر اه ( ت أل م طى ص ص م
“Tidak sah nikah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi yang
adil” (Baihaqi. 7/112).
Kemudian dalam KHI pasal 107 ayat 4 di jelaskan ”Wali sedapat-
dapatnya di ambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang
sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik,
atau badan hukum” (Abdullah. 2002: 109).
7. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umroh. Hal ini
berdasarkan kepada hadits Nabi dari Usman menurut riwayat Muslim
yang mengatakan:
ينت أل م تى ينت أل ص تى ااأل ت أل ماتى ص ) س م ر اه ( ص ص
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan
tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang.(Muslim, t.t: 560)”.
Orang fasik tidak mempunyai legalitas atau wilayah untuk menikahkan
karena terpaksa atau tidak. Apakah fasiknya disebabkan minum khamr atau
yang lainnya, menampakkan kefasikannya atau menyembunyikannya. Karena
fasik itu sedikit memberi dampak pada syahadah, akibatnya berimbas pada
larangan tidak boleh menikahkan, seperti: budak, maka yang boleh
menikahkan wali yang jauh.
Dewasa ini kehidupan masyarakat semakin beragam, pengaruh media
sosial juga pergaulan bebas membuat perubahan pada pola pikir dan gaya
hidup seseorang, sesuatu yang dianggap buruk pun bisa menjadi tren gaya
hidup bagi sebagian orang dan salah satunya adalah bertato. Ibnu Hajar Al-
'asqalani ( t.t: 567) dalam bukunya Fathul Bari, menjelaskan bahwa yang
7
dimaksud dengan tato (wasym) menurut ahli bahasa adalah menusuk-nusuk
anggota tubuh dengan jarum hingga berdarah, kemudian mengisi lubang di
kulit tubuh tersebut dengan pewarna (tinta) atau sejenisnya hingga menjadi
kehijauan.
Berdasarkan definisi di atas, jelaslah bahwa tato yang dimaksud
bukanlah menggambar anggota tubuh dengan zat pewarna alami misalnya
dengan inai, henna atau sejenisnya, akan tetapi tato adalah menggambar atau
mengukir anggota tubuh dengan cara melukainya dengan jarum, kemudian
memasukkan zat pewarna tersebut ke bawah kulit yang sudah dilukai dengan
jarum. Tato semacam ini bersifat permanen. Tato dalam arti seperti telah
disebutkan di atas haram hukumnya Dalilnya adalah hadits sahih riwayat
Bukhari berikut :
ىام نأل صاام ألمصى ى ص أل ت ألرمى صنأل بنص صاص ى تفأل ص اتى صنأل بنص صاص ى صبأل ت مىأص أل ىأص أل ى تص تى ألنتى تقص م ط ى حص ثص م صنألى تى ص أل تىقص صى ىرصضميص
عت ألدم ىام ألنتى صسأل ى م ألقم ص جى صنأل ى صاا م ص تم ص تمتنص ألشم ى صااأل تسأل ص تم
ى تىااأل صاشم اصعصنصى مى ى ص ألقص ىام أل تسألنمىااأل ت ص مرصاتم ى صااأل تتنصفص مرجص تم ى صااأل تتنص ص مر ص تم ىاصعص ص تىرص ت أل ت ى صىأصاألعصنتى صنأل ى ص لم
ى مى ى متص بم ى م مى ص ى تى ص ص أل مى ص ص مصى صات ص
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil, telah
mengabarkan kepada kami “Abdullah, mengabarkan kepada kami
Sufyan, dari Mansur, dari Ibrahim, dari “lqimah, dari Ibnu Mas’ud r.a
beliau berkata: “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan
minta ditato, yang mencukur alis dan minta dicukur alisnya, serta
yang meregangkan giginya untuk mempercantik diri, wanita-wanita
yang merubah ciptaanNya”. Bagaimana aku tidak melaknat orang
yang dilaknat Rasulullah? Sedang hal itu ada dalam kitabullah
(Bukhari. 1991: 5487).
Saat ini banyak kasus-kasus hukum keluarga yang terjadi di
masyarakat. Karena status orang tua yang akan menikahkan anaknya adalah
8
sebagai seorang wali, untuk menjadi seorang wali terdapat beberapa syarat
sah wali seperti yang sudah peneliti jelaskan di atas. Kemudian bagaiman
setatus seorang wali ketika bertato, padahal bertato jelas sudah dilarang
menurut hukum Islam yang mana telah dijelaskan dalam hadits Nabi di atas
dan di perkuat oleh pendapat Ibnu Hajar Al-'asqalani dalam bukunya Fathul
Bari, menjelaskan bahwaorang yang bertato hukumnya haram. Oleh karena
itu tato tersebut wajib dihilangkan meskipun harus melukai kulit, kecuali jika
dikhawatirkan akan mengakibatkan rusak, cacat atau hilangnya fungsi
anggota tubuh yang ditato tersebut. Dalam kondisi demikian, maka tatonya
boleh tidak dihilangkan, dan cukuplah taubat untuk menghapus dosanya
(Hajar. t.t: 567).
Dari uraian di atas sudah jelas belum ada peraturan yang mengatur
tentang masalah wali yang bertato baik Undang-undang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam, Maupun hukum syariat, sebab kasus ini akan
menyangkut tentang syarat sah wali. Maka dari itu penulis akan menganalisis
maslah tersebut dengan mengangkat judul skripsi “ANALISIS PENOLAKAN
KUA KEDU TERHADAP WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung)”.
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti paparkan di atas,
maka peneliti dapat mengambil suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat KUA Kedu terhadap penolakan wali bertato sebagai
wali dalam perkawinan?
2. Bagaimana prosedur yang dilakukan KUA Kedu dalam penolakan wali
nikah bertato?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian yang telah di rumuskan di atas, maka
penelitian ini bertujuan sebagai berikut
1. Untuk mengetahui bagaimana konsekwensi hukum bagi seseorang wali
yang bertato dalam hukum Islam.
2. Untuk mengetahui boleh atau tidaknya bagi seorang yang bertato untuk
menjadi wali nikah bagi anaknya.
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dibidang hukum Islam,
khususnya fiqih munakahat dan dapat digunakan sebagai acuan bagi
pihak-pihak yang akan melakukan penelitian lanjutan serta dapat
menambah bahan pustaka bagi Institut Agama Islam (IAIN) Salatiga.
2. Secara Praktis
a. Mengetahui status hukum bagi wali yang bertato.
10
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk
memberikan pendidikan Hukum Islam bagi lembaga dan mahasiswa
IAIN Salatiga.
c. Bagi peneliti, untuk memotivasi diri dan menjadikan bekal hidup
dalam bermasyarakat, beribadah kepada Allah SWT dan berharap
menjadi hamba yang beruntung di dunia dan di akhirat.
E. Penegasan Istilah
Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda
dengan maksud peneliti, maka peneliti akan menjelaskan istilah di dalam
judul ini. Istilah yang perlu peneliti jelaskan adalah:
1. Hukum Islam
Hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia,
hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan
manusia dan alam sekitar berdasarkan Al Quran dan hadis
2. Wali
Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah
(yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
(http://kbbi.web.id/wali. akses tgl:26 januari jam 12.00 Wib).
3. Tato
Tato adalah pengindonesiaan dari kata tattoo yang artinya adalah
desain, goresan, gambar, atau lambang yang mana kulit seseoranglah
yang menjadi obyeknya (martanto dan barry,2000:2).
11
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Untuk membantu memudahkan peneliti dalam melakukan
penelitian, peneliti akan menggunakan jenis pendekatan kualitatif dan
menggunakannya sebagai acuan dalam penulisan proposal skripsi.
Pendekatan Kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan
penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan
prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi
pengukuran (Ghani,1997:11). Sedang menurut Taylor, penelitian
kualitatif adalah sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati (Moleong, 2002:3). Dari pengertian tersebut, sudah
tentu sesuai dengan judul yang telah ada ini, peneliti akan berada pada
latar yang alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah dengan
melakukan wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan
dokumen.
Penelitian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang
menghasilkan data tertulis. Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis
adalah diskripsi. Penelitian diskripsi menurut Suryabrata adalah penelitian
yang bermaksud untuk membuat pencandraan uraian, paparan mengenai
situasi kejadian-kejadian (Suryabrata,1998:19).
12
2. Kehadiran Peneliti
Seperti yang telah diterangkan di atas bahwasannya peneliti akan
melaksankan observasi dan wawancara langsung pada obyek kajian
sehingga sudah tentu peneliti barada pada lapangan bersama nara sumber
yang ada. Penelitian akan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung. (sbbnya apa kok di tmg?)
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung.
4. Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah semua data yang diperoleh dari
informan yang dianggap penting dan juga dihasilkan dari dokumentasi
yang menunjang. Data yang peneliti gali berasal dari unsur-unsur yang
terkait dengan judul yang diteliti.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting
dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari peneliti adalah untuk
mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan diperoleh
dengan menggunakan teknik pengumpulan data:
a. Observasi Langsung
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis
terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Menurut Nawawi,
observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
13
sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian
(Nawawi,1990:100).
b. Wawancara
Wawancara dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan wawancara
(interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,
2011:186 ).
c. Dokumen
Dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah direkam
tanpa campur tangan pihak peneliti. Dokumen tersebut tersedia dalam
bentuk tulisan, catatan, suara dan gambar (Daymon, 2008:3). Metode
ini digunakan untuk memperluas pengamatan dan pengumpulan data.
Data yang diambil berasal dari catatan hasil wawancara, foto-foto
dokumentasi.
6. Analisis Data
Menurut Muhadjir, analisis data merupakan upaya untuk mencapai
dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan
lainnya untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang
diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain
(Muhadjir,1994:104). Penulis akan menunjukkan laporan penelitian yang
berisi kutipan-kutipan data dan memberikan gambaran penyajian laporan.
Data yang penulis sajikan seperti naskah wawancara, catatan lapangan,
foto, dokumen pribadi, dan sebagainya.
14
7. Keabsahan Data
Untuk keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam
kriteria kreadibilitas. Hal ini dimaksud untuk membuktikan bahwa apa
yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam
penelitian. Metode yang digunakan dalam pengecekan keabsahan data:
a. Triangulasi Sumber
Trianggulasi Sumber yaitu membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda. Dalam metode ini penulis mengecek
informan satu dengan yang lain yang diwawancara dan dari sini dapat
diukur benar tidaknya kenyataan yang ada.
b. Triangulasi Metode
Triangulasi Metode Yaitu pengecekan derajat kepercayaan
penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan
sumber data dengan metode yang sama (Moleong,2002:178). Dalam
metode ini penulis melakukan kroscek antara wawancara dengan hasil
observasi yang dilakukan.
8. Tahap-tahap Penelitian
Menurut Moloeng, bahwa tahap-tahap penelitian yang digunakan
oleh peneliti sebagai berikut:
a. Tahap Pra Lapangan
1) Mengajukan judul penelitian.
2) Menyusun proposal skripsi.
15
3) Konsultasi penelitian kepada pembimbing.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
1) Persiapan diri untuk memasuki lapangan.
2) Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus
penelitian.
3) Pencatatan data yang telah dikumpulkan.
c. Tahap Analisis Data
1) Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian.
2) pengecekan keabsahan data. (Moloeng, 2002:84-105).
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman pembaca pada penelitian ini,
peneliti menyusun sebuah sistematika penulisan. Sistematika penulisan ini ada
lima bab, yang masing-masing membahas masalah yang berbeda. hal itu
merupakan satu kesatuan yang menyambung. Adapun rincian dari kelima bab
tersebut adalah sebagai berikut:
Bab Satu, bab ini berisi pendahuluan yang bertujuan untuk
memberikan gambaran objek kajian secara umum. Pada bab ini akan memuat
pembahasan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metotode dan sistematika
penulisan.
Bab dua, bab ini membahas perkawinan syarat dan rukunnya yang
menyangkut masalah wali dan juga tinjauan hukum bagi wali yang bertato.
16
Bab tiga, bab ini mendeskripsikan, pertama: tentang data penelitian
yang mencakup seting penelitian yang telah dinarasikan oleh penulis agar
mudah dipahami oleh pembaca. Seting penelitian tersebut berisi tentang letak
geografis, demografis Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Kedu,
sumber data yang diperoleh serta landasan hukum, birokrasi, TUPOKSI, tata
cara nikah, pelaksanaan nikah, dan sikap KUA terkait wali yang bertato.
Bab empat, analisis berisi tentang landasan hukum dan sikap Kantor
Urusan Agama (KUA) terhadap wali yang bertato.
Bab lima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dari hasil
pembahasan secara keseluruhan dan disertai dengan saran-saran, kemudian
diakhiri dengan kata penutup.
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Pernikahan atau perkawinan menurut bahasa berarti kumpul atau
gabung, sedangkan menurut istilah adalah akad yang sudah masyhur
didalamnya mengandung syarat dan rukun. Dan menurut Azzuhri : Ke
asalan nikah di dalam kalam Arab cenderung pada arti kawin karena
nikah pada dasarnya untuk menghalalkan hubungan suami istri”
(Taqiyuddin.2005:36). Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2
menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan
ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya
merupakan ibadah (Zainudin, 2006:7). Kemudian Pengertian perkawinan
menurut ketentuan pasal 1 undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri (Anshary, 1993:74).
Dari beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
pernikahan ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-
laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua
belah pihak dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara’.
Pernikahan harus didasari dengan asas suka sama suka antar kedua belah
pihak mempelai agar tercipta suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang
18
diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara
yang diridhloi Allah SWT.
2. Dasar Hukum Perkawinan
a. Dalam menentukan suatu pendapat atau hujjah para ulama tidak lepas
dasar hukum qhat‟i Al Quran dan Al-hadits. Dalam pembahasan ini
penulis paparkan ayat-ayat Al Quran dan Hadits Nabi yang menjadi
dasar hukum perkawinan, diantarannya:
1) Firman Allah SWT dalam Al Quran surat Ar-Rum Ayat 21 di
jelaskan:
ى ى ى ىىى ى ى ى ى ى
ى ى ىىىى ىى ى ى
ىىىى“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir”,(Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 644).
2) Surat An Nahl ayat 72
ى ى ىىى ى ى ىى ىى
ى ىىىى ى ى ى ى ى
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak
dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah?” (Yayasan Penyelenggara
Penterjemah, 1993: 412).
19
3) Surat At Taubah 9 Ayat 71
ى ى ى ىىىى ى
ىى ىى ى ى ى ى
ى ىى ى ى ىى ىى ىى
ى“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian
yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan
zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Yayasan Penyelenggara
Penterjemah, 1993: 291).
4) Kemudian Hadits Nabi Saw yang diriwatkan oleh Imam Bukhori:
ىى ىاصا بص بم ى!ىيص ى صعأل ص ص تصطص عصى م أل تمتىاصاألبص ءصةصىفنص أل صتنصزص أل ىام ألبص ص مى,ى صنمىا أل ,ىفصإما تىأصغصضلى ى,ى صأصحأل صنتىام ألفص أل م ىفنصعص ص أل مى م ا ألام تصطمعأل ىلصألىيصسأل ى) ر اهىاابخ ر(فصإما تىاص ى م ص ءجىى;ى ص صنأل
“Wahai segenap muda, barangsiapa di antara kamu telah
mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan.
Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat
mengendalikanmu” (Bukhori, t.t: 117).
5) Hadits Nabi Saw
ىاآل ص مى ىاا رم ألفم ى صى م ىدميأل م مىفنص أل صتقم ىام ألفص ىأصحأل صزص ى نصزص ص (ر هىاحل مى ااطه ) صنألى
Barangsiapa kawin (beristri) maka dia telah melindungi
(menguasai) separo agamanya, karena itu hendaklah dia
bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi
(Al Hakim, Aththahawi, 2008: 225)
Dari firman Allah SWT dan Hadits Nabi Saw di atas dapat kita
kita ketahui bahwa begitu jelas dalil yang menjelaskan tentang masalah
20
perkawinan, menjadikan istri dari jenis kita sendiri supaya kita tenram
dan menjadikan darinya anak-anak dan cucu-cucu, juga memberikan rizqi
dan menyempurnakan separuh dari keimanan.
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam
“Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3
disebutkan bahwa : Perkawinan menurut Hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah” (Abdul.2002:78).
c. Menurut Undang – Undang Perkawinan tahun 1974 pasal 2:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan yang
berlaku.”
3. Rukun dan syarat perkawinan
Para ulama’ dan cendekiawan banyak yang menerangkan definisi
tentang rukun dan syarat menurut Abdul Rahman (2003:47), menjelaskan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram
untuk shalat. Atau adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan
dalam perkawinan. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan
sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk
shalat. Atau menurut Islam, calon pengantin laki-laki atau perempuan itu
harus beragama Islam.
21
a. Rukun
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas
5 hal yang harus dipenuhi. Adapun kelima hal tersebut adalah
1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
3) Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau
wakilnya yang akan menikahkannya.
4) Adanya dua orang saksi.
5) Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin
laki-laki (Departemen Agama, 1992:18).
b. Syarat
Syarat-syarat perkawinan seperti yang diisyaratkan oleh para
Ulama’ ada 9. Syarat-syarat tersebut adalah:
1) Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
2) Pria sudah berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun.
3) Izin orang tua/ pengadilan jika belum berumur 21 tahun.
4) Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan.
5) Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami atau istri yang sama
yang akan dinikahi.
6) Bagi janda sudah lewat masa tunggu.
7) Sudah memberitahu kepada pegawai pencatat perkawinan 10 hari
sebelum dilangsungkan perkawinan.
22
8) Tidak ada yang mengajukan pencegahan.
9) Tidak ada larangan perkawinan (Anshary, 1993:76-80).
4. Hukum Perkawinan
Hukum perkawinan seperti yang disebutkan oleh paraulama ada 5.
Adapun pembagian ke 5 hukum perkawinan tersebut adaah sebagai
berikut:
a. Wajib, yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada
perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan
perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Dengan maksud untuk
menjaga diri dari perbuatan maksiat.
b. Sunah, yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak
kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum
melakukan perkawinan bagi orang tersebut menjadi sunah.
c. Haram, yaitu bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan
kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-
kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
perkawinan akan terlantarkan dirinya dan istrinya.
d. Makruh, yaitu bagi orang yang mempunyai kemampuan dan kemauan
untuk meaksanakan perkawinan dan cukup untuk bisa menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya terjerumus berbuat zina
sekiranya tidak kawin.
23
e. Mubah, yaitu bagi Orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak
dikhawatirkan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak
akan menelantarkan istri (Tihami, 2009: 12).
5. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agma dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban
anggotan keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan
batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathinyanya
sehingga timbullah kebahagiannya, yakni kasih sayang antar anggota
keluarga (Darajat, 1995:48).
Sedangkan menurut Imam Ghazali, yang menjadi tujuan
pernikahan adaah sebagai berikut:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
dan kewajiban juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
24
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang (Gazali,2003:50).
B. Wali Nikah
1. Pengertian Wali
Dalam bahasa sehari-hari sering terdengar kata-kata wali, misalkan
wali murid, wali kota, wali nikah, dan sebagainya. Wali dapat diartikan
sebagai orang yang mengurusi, wali murid berarti orang yang mengurusi
murid, wali kota berarti orang yang mengurusi kota, wali nikah berarti
orang yang mengurusi nikah dari pihak mempelai wanita, termasuk
memperhatikan apakah mempelai laki-laki benar-benar cocok atau belum,
misal sesuai nasab atau kafa‟ah. Sedangkan Wali menurut kamus besar
bahasa Indonesia berarti “orang yang menurut hukum agama, adat
diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya selama anak itu
belum dewasa, pengasuh pengantin perempuan pada ketika nikah, yaitu
yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki” (Suharso,
Retnoningsih, 2005: 634).
Dalam keterangan lain menjelaskan perwalian dalam perkawinan
adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar‟i atas segolongan manusia,
yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan
tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri
(Mughniyah, 2001: 345). Kemudian Syarifuddin (2009: 69),
menerangkan pengertian wali sebagai berikut:
“seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak
terhadap dan atas nama orang lain. Kemudian yang dimaksud wali
25
dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama
mempelai perempuan dalam suatu akad nikah”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian wali nikah
yaitu: orang yang bertanggung jawab dari pihak mempelai wanita untuk
melaksanakan ijab dalam akad pernikahan. Oleh karena itu wali harus ada
dan berada ditempat dimana suatu akad pernikahan dilaksanakan.
Sehingga pernikahan tersebut akan menjadikan sah dan sempurna.
2. Dasar Hukum Wali
a. Dasar hukum yang menjelaskan tentang wali yaitu Firman Allah
SWT Dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 232:
ى ى ى ى ىى ى ى ى ى ى ى
ى ىى ى ىىىى ى ى ى ى ىى ى
ى ى ىى ى ى ىى ى
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari
kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui” (Yayasan Penyelenggara
Penterjemah, 1993: 56).
b. Kemudian dasar hukum kewajiban seorang wali untuk menikahkan
yaitu Firman Allah SWT Dalam Al Quran Surat An-nur ayat 32:
ى ى ى ىى ى ىى ى ى ى
ىىىىى ى ى
26
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”
(Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 549 ).
Dan dalam sebuah hadits Riwayat Ibnu Majah dijelaskan juga:
ى ىأص م مىقص ص ى ت ص ى صنأل ى نت ألدصةصى ألنمىأصبم ىأصبم ى:ى ص صنأل ىاصللمى ى ى ى مى ص ىرص ت ت قص صىى رط ى م ص م ىإم )ر اهىا نى (ام ص اص
“Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak sah nikah kecuali dengan wali” ( Ibnu Majah, t.t: 605/1 ).
3. Macam-Macam Wali
Dalam pernikahan wali harus ada dan ikut serta dalam pernikahan,
yang paling berhak menjadi wali adalah ayah dari mempelai wanita,
namun jika ayah tidak ada atau tidak memenuhi syarat maka bisa diganti
dengan yang lain asal masih satu nasab atau jika tidak ada maka bisa
diganti wali hakim. Syarifuddin ( 2009: 75 ) membagi macam-macam
wali sebagai berikut:
a. Wali Nasab, yaitu Wali Nikah karena pertalian nasab atau pertalian
darah dengan calon mempelai perempuan.
b. Wali Mu'tiq, yaitu Wali Nikah karena, memerdekakan, artinya
seorang ditunjuk menjadi wali nikahnya seseorang perempuan, karena
orang tersebut pernah memerdekakannya. Untuk jenis kedua ini di
Indonesia tidak terjadi.
27
c. Wali Hakim, yaitu Wali Nikah yang dilakukan oleh Penguasa, bagi
seorang perempuan yang wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada,
baik karena telah meninggal dunia, menolak menjadi wali nikah atau
sebab-sebab lain.
Di Negara Republik Indonesia, Kepala Negara
adalah Presiden yang telah memberi kuasa kepada pembantunya yaitu
Menteri Agama yang juga telah memberi kuasa kepada para Pegawai
Pencatat Nikah untuk bertindak sebagai Wali Hakim. Yang dimaksud
dengan Wali Hakim adalah hakim pengadilan (dalam hal ini
Pengadilan Agama), yang dimungkinkan dapat bertindak sebagai wali
hakim, apabila memang mendapat kuasa dari Menteri Agama. Hakim
dapat bertindak sebagai wali dari mempelai wanita dalam pernikahan
bilamana :
1) Wali nasab memang tidak ada.
2) Wali nasab berpergian jauh atau tidak di tempat, tetapi tidak
memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat tidak ada di tempat.
3) Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.
4) Wali nasab sedang berihram haji atau umrah.
5) Wali nasab menolak bertindak sebagai wali.
6) Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan di bawah
perwaliannya. Hal ini dapat terjadi jika yang dikawin adalah
seorang perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung
atau seayah.
28
Dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam Penormaan Prinsip
Syari‟ah Dalam Hukum Indonesia Shomad ( 2010: 279 ) As Syafi’i
menjelaskan urutan wali adalah sebagai berikut:
a. Ayah.
b. Kakek.
c. Saudara laki-laki sekandung.
d. Saudara laki-laki seayah.
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
g. Paman sekandung (Saudara laki-laki dari ayah yang seibu-seayah).
h. Paman seayah.
i. Anak laki-laki dari paman sekandung.
j. Anak laki-laki dari paman seayah.
k. Hakim.
Hak menjadi wali nikah terhadap perempuan adalah sedemikian
berurutan, sehingga jika masih terdapat wali nikah yang lebih dekat maka
tidak dibenarkan wali nikah yang lebih jauh itu menikahkannya, jika
masih terdapat wali nasab maka wali hakim tidak berhak menjadi wali
nikah Diterangkan dalam KHI pasal 22.
“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak
memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah
itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak
menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat
berikutnya”.kemudian dalam KHI pasal 23 “Wali hakim baru
dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
29
tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan” (Abdullah, 2002:
84).
Seperti dalam waris wali nikah harus diurutkan berdasarkan nasab.
Dalam urutan wali nasab, wali nikah yang lebih dekat disebut wali aqrab,
sedang yang lebih jauh disebut wali ab'ad, misalnya ayah dan kakek, ayah
disebut Wali aqrab sedang kakek disebut Wali ab'ad, ayah dengan
paman, ayah disebut wali aqrab dan paman disebut wali ab‟ad. Demikian
pula antara kakek dan ayah kakek, antara ayah kakek dan saudara laki-
laki sekandung, antara saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki
seayah dan seterusnya asalkan masih dalam satu nasab (Syarifuddin,
2009: 92).
4. Pendapat Ulama’ Tentang Perwalian Dalam Perkawinan
a. Madzhab Hanafiy
Mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa wanita yang telah
baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri calon mempelai pria
dan boleh melakukan akad dengan sendiri. Menurut madzhab
Hanafiyah maksud kata nikah disandarkan kepada mereka dalam kata
"an yankihna", adalah berarti sah pernikahan mereka tanpa wali (
Helmi, 1994: 332).
Dalil-dalil yang memperkuat pendapat ini antara lain : firman
Allah SWT Surat Al-Baqarah ayat 232
ى ى ى ى ىى ى ى ى ى ى
ى ى ى
30
“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya,
maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin
lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan
di antara mereka dengan cara yang makruf” (Yayasan
Penyelenggara Penterjemah, 1993: 56).
Kemudian surat Al-Baqarah ayat 234
ى ى ى ىى ى ى ى ى
ىى ى ى ىى ى ى ى ىىى
ىى ى ى ى ى
ىىى“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis „iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 56).
Wanita adalah pelaku utama pernikahan, dan pernikahannya
itu sah berdasarkan ayat-ayat di atas tanpa ada ijin dari wali.
،ى صإمذألانتهص ى ت ت نتهص تصأأل ص ت ى تسأل ى صام مرهص ،ى صااألبم أل ت هص ى منأل ى م نصفألسم ىأصحصقل ااث مربت
“Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri
dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin,
dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” (Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1421).
تنتهص ىإمقنأل صارتاص ،ىفص ص أل تصأأل ص ت ىأص أل ج،ى صااأل صتم ص تى تسأل ىام أل ص ممرى صعصىااث مربم ىاص ألسص
“Tidak ada hak/kuasa bagi seorang wali terhadap seorang
janda. Adapun gadis yatim dimintai ijin, dan diamnya adalah
tanda persetujuannya” (Diriwayatkan oleh Ahmad 1/334;
shahih).
31
Kedua hadits di atas menjelaskan bahwa Islam memberikan
hak secara penuh kepada seorang janda untuk menikah dengan
seorang laki-laki yang ia inginkan tanpa ada intervensi dari wali.
Adapun bagi gadis (bukan janda), ia perlu dimintai persetujuannya.
Disebutkan dalam hadits lain bahwa seorang wanita berhak menolak
jika ia dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak ia
suka. Artinya, ijin dari wali bukanlah menjadi satu keharusan atau
syarat sah bagi pernikahan tersebut, karena yang menjadi keharusan
adalah keridlaan/kerelaan dari si wanita. (Al Jauza,
http://www.jurnalmuslim.com/2016/08/bolehkan-janda-menikah-sendiri-
tanpa-wali-ini-dalilnya, akses 05 Maret 2017 ).
b. Madzhab Jumhur Ulama (Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah).
Madzhab Malikiyah, Syafi'iyah, Hambaliyah, serta mayoritas
fuqaha telah sepakat pentingnya keberadaan wali dalam akad
pernikahan. Setiap pernikahan tanpa menghadirkan wali maka
pernikahan tersebut menjadi batal atau tidak sah. Jadi, seorang
perempuan tidak mempunyai hak untuk melangsungkan akad
pernikahan dengan sendirinya secara langsung dalam kondisi
bagaimanapun. Hal ini para ulama mendasarkan pendapatnya pada
hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah:
ىإم ى م ص مطرى صىام ص اص
“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali”
(Jalaluddin, 2006: 586).
32
Dalam Hadits lain Riwayat Thabrani sebagai berikut:
ىإم ى م ص مطرى ص ص ام ص ى ص أل طى صىام ص اص
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi
yang adil” (Jalaluddin, 2006: 586).
Selain itu, berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim dalam
surat Al-Baqarah ayat ke 232. Allah Ta’ala berfirman:
ى ى ى ى ىى ى ى ى ى ى
ى ى ىى ى ىىىى ى ى ى
ى ىى ىىى ىى ى ى ىى ىىى
“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu
sampai masa „iddahnya, maka jangan kamu (para wali)
halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya,
apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan
cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang
di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu
lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui,
sedangkan kamu tidak mengetahui” (Yayasan Penyelenggara
Penterjemah, 1993: 56).
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Telah
menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini
turun berkenaan dengan dirinya. Ia yang berkedudukan sebagai wali
telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang
akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-
sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu
surat Al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi
pernikahan mereka. Jika wali disini bukan syarat utama, tentu bisa
33
saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak” ( Qutaibah,
http://www.jurnalmuslim.com/2016/08/bolehkan-janda-menikah-sendiri-
tanpa-wali-ini-dalilnya.html, akses 05 Maret 2017 ).
Dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama’ berpendapat tidak
sah apabila dalam pernikah tanpa adanya seorang wali. Dengan
demikian maka tidaksah apabila seorang mempelai wanita
menikahkan dirinya sendiri tanpa persetujuan dan didampingi oleh
seorang wali dan harus diwakilkan kepada wali abad atau wali hakim
ketika wali nasab tidak dapat menjadi wali secara langsung baik
dikarenakan udzur maupun fasik.
5. Pengertian Wali Fasik Dalam Perkawinan
Secara bahasa fasik berarti keluar dari jalan yang haq serta
kesalihan (Munawir, 1997: 1055), sedangkan secara istilah menurut
Jalaluddin ( t.t: 262 ).
بم نأل صةطى" ى ص ى م رأل م ص بم ىينصتص صققت ىإم أل صارمى ص ص ى ص م نأل صةطى,ىاصاألفمسألقت "أص أل
“Fasik adalah seorang yang dengan jelas melakukan dosa-dosa
besar atau sering memenuhi dosa-dosa kecil”.
Orang fasik diartikan sebagai orang yang melakukan dosa besar
atau sering berbuat dosa kecil. Kemudian dalam Tafsir Al-Qur’an surat
Al-Maidah ayat 81 (Nawawi, 2007: 239 ) menjelaskan:
ى م امى صاصبم رمهممألى ص متص امممألى" ى ص رم ت ألاصى صنمىاا رميألنمى صااألم ألص ام ىاص أل قت ألاص "ىفص م
“Fasik yaitu orang yang keluar dari agama dan iman kepada
Allah, serta nabi-nabi-Nya dan kitab-kitab-Nya”.
34
Sedangkan dalam tafsir surat Yunus ayat 33:
امى" ى ص ص ت ألاى صنمىحص رمىاا لص قت ألاىأص أل "فصسمى
“Fasik berarti orang yang keluar dari batas kebaikan”.
Orang dikatakan fasik karena ia telah keluar dari batas-batas
kebaikan menurut ukuran syara’. Untuk memberikan batasan atau kriteria
yang pasti tentang kefasikan orang lain tidak mudah, bahkan sulit sekali.
Namun dalam kehidupan sehari-hari fasik sering dihubungkan dengan
tingkah laku atau akhlak seseorang, biasanya orang dinilai fasik jika
sudah melanggar norma-norma dalam masyarakat, misalkan sering
mabuk-mabukan, berjudi, mencuri dan sebagainya. Dalam pembahasan
ini orang yang bertingkah laku demikian tidak sah menikahkan putrinya,
maka hak untuk menikahkan berpindah kepada urutan wali yang telah
diterangkan dalam pembahasan di atas.
Kata fasik muncul di dalam al-Qur’an dalam berbagai konteks,
terkadang kata fasik dihubungkan langsung dengan kekafiran dan
kedurhakaan, seperti dalam surat Al-Hujurat ayat 7:
ى ى ى ى ىى ى ىى ىىى ى ىى
ى ى ىىى ى ى ى ى ى
ىى ى ى ىىى
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah.
Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-
benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan
kamu "cinta" kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu
indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada
35
kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-
orang yang mengikuti jalan yang lurus” (Yayasan Penyelenggara
Penterjemah, 1993: 846).
Terkadang digandengkan dengan kebohongan dan percekcokan,
seperti yang dijelaskan dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 197
berikut:
ىى ىىىى ى ىى ىىى ى
ىى ىى ى ىىى ىىى ى ى ى ى
ىى ى ى
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,
barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa
yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang
berakal” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 48).
Fasik dibagi menjadi dua yaitu fasik besar dan fasik kecil.
a. Fasik besar
Fasik besar yaitu kufur sebagaimana firman Allah dalam surat
As-Sajdah ayat 18-20.
تنص ت اصى ىيصسأل قن ى ص ىفص م ى ص اص ى ت أل م ن ى ص صنأل ى ص اص ىآ ص ت اى ص ص م ت اى, أصفص صنأل أص ىااذمينصى مص ى ص ات اىينصعأل ص ت اصى أأل ص ىانتزت ن ىااأل ص ىفنص صهتمألى ص تت ىفصسصقت اى, اا حلمص تم صأص ىااذمينص
ى ابص ىيصأل ت ت اى م نألهص ىأت م ت اىفم هص ى صقم صىلصتمألىذت قت اى صذص ى ت ص ىأصرصادت اىأصاأل أأل صااتمتىاا رت فص ص اا رمىااذم ى ت ألتتمألى م مى ت صذمر ت اصى
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang
yang fasik? Mereka tidak sama. (18) Adapun orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka
36
jannah tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang
mereka kerjakan. (19) Dan adapun orang-orang yang fasik
(kafir) maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali
mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke
dalamnya dan dikatakan kepada mereka: Rasakanlah siksa
neraka yang dahulu kamu mendustakannya” (QS. As-Sajdah:
18 – 20).
Fasik dalam ayat ini maknanya adalak kekafiran, karena Allah
kontraskan dengan iman dan diberi ancaman dengan siksa abadi di
neraka.
b. Fasik kecil
Sedangkan fasik kecil, adalah perbuatan kefasikan yang tidak
sampai pada derajat kekafiran. Fasik berbeda dengan kafir, fasik lebih
umum dari kafir. Tafsir surat Al-Hujurot ayat 7 ( Nawawi, 2007: 353 )
menjelaskan:
ى م األم ص امى" ذميألبت ىاات أل ىات ص ىاا رمسص امى,ىفص األ تفأل ت بت ى صذأل ىات ص " صااألفتست أل تى
“Orang kafir adalah orang yang tidak percaya terhadap
surga, sedangkan orang fasik adalah orang yang tidak
percaya adanya surga tetapi hanya dengan lisan”.
Fasik mungkin saja terjadi karena dosa kecil dan atau dosa
besar, sedangkan kafir tidak mungkin terjadi apabila hanya
disebabkan oleh dosa-dosa kecil (Baits,
https://konsultasiSyari’ah.com/11768-siapakah-orang-fasik.html.
akses 31 april 2017).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap kafir pasti fasik,
tetapi belum tentu setiap fasik digolongkan kafir. Fasik menurut bahasa
tidak peduli terhadap perintah Tuhan ( berarti: buruk kelakuan, jahat,
37
berdosa besar ). Sedangakan menurut istilah orang yang percaya kepada
Allah Swt, tetapi tidak mengamalkan perintah-Nya, bahkan melakukan
perbuatan dosa.
Bagi orang yang fasik, dia tidak diperbolehkan menjadi wali
dalam pernikahan selama belum bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Maka, jika dia belum bertaubat maka hak perwalian orang tersebut dapat
dicabut. Dijelaskan dalam KHI pasal 109
“Pengadilan Agama dapat mencabut hak seseorang atau badan
hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan
kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila
dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya
sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah
perwaliannya” ( Abdullah, 2002: 109 ).
C. TATO
1. Pengertian Tato
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman kehidupan
manusia semakin beragam. Manusia selalu mempunyai dan menunjukkan
ide, kreatif, hingga rasa sosial, bahkan mengatur bagian tubuh alaminya
dengan berbagai cara seperti halnya bertato. Tatto adalah suatu kegiatan
menggambar pada kulit tubuh dengan menggunakan alat sejenis jarum
atau benda dipertajam yang terbuat dari flora. Gambar tersebut dihias
dengan pikmen berwarna-warni (Olong,2006: 83).
Ibnu Hajar Al-'asqalani ( t.t. jilid 5: 567) dalam bukunya Fathul
Bari, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tato (wasym) menurut
ahli bahasa adalah menusuk-nusuk anggota tubuh dengan jarum hingga
38
berdarah, kemudian mengisi lubang di kulit tubuh tersebut dengan
pewarna (tinta) atau sejenisnya hingga menjadi kehijauan.
Tato adalah membuat sebuah gambar atau lambang pada bagian
tubuh seseorang menggunakan jarum atau alat sejenisnya dengan cara
menusuk-nusukkan kebagian tubuh yang akan digambarnya hingga
berdarah kemudian memasukkan zat pewarna kedalamnya berulang-ulang
sampai menghasilkan sebuah gambar pemanen.
2. Dasar Hukum Tato
Di antara yang diharamkan kepada umat manusia salah satunya
ialah mentato, sebagaimana hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh
Bukhori:
ىام نأل صاام ألمصى ى ص أل ت ألرمى صنأل بنص صاص ى تفأل ص اتى صنأل بنص صاص ى صبأل ت مىأص أل ىأص أل ى تص تى ألنتى تقص م ط ى حص ثص م صنألى تى ص أل تىقص صى ىرصضميص
عت ألدم ىام ألنتى صسأل ى م ألقم ص جى صنأل ص تم تنص ألشم ى صااأل تسأل ص تمى تىااأل صاشم اصعصنص
ى مى ى ص ألقص ىام أل تسألنمىااأل ت ص مرصاتم ى صااأل تتنصفص مرجص تم ى صااأل تتنص ص مر ص تم ى صىأصاألعصنتى صاا م ص تم ى ص لمى مى ى متص بم ى م ى مى ص ى تى ص ص أل مى ص ص مصى صات ص ىاصعص ص تىرص ت أل ت صنأل
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil, telah
mengabarkan kepada kami “Abdullah, mengabarkan kepada kami
Sufyan, dari Mansur, dari Ibrahim, dari “lqimah, dari Ibnu
Mas‟ud r.a beliau berkata: “Allah melaknat wanita-wanita yang
mentato dan minta ditato, yang mencukur alis dan minta dicukur
alisnya, serta yang meregangkan giginya untuk mempercantik diri,
wanita-wanita yang merubah ciptaanNya”. Bagaimana aku tidak
melaknat orang yang dilaknat Rasulullah? Sedang hal itu ada
dalam kitabullah (Bukhari. 1991: 5487).
Hadis di atas sangat kuat kedudukannya karena diriwayatkan oleh
banyak periwayat yang adil dan diketahui bahwa hadis yang membahas
tentang tato ada 76 hadis (kofsoh, skripsi, 2009, 27). jelas bahwa larangan
39
orang yang bertato dan orang yang mentato, karena bertato adalah
perbuatan yang bertujuan untuk merubah dan memper indah tubuh
dengan cara berlebihan. Firman Allah SWT dalam Al Quran surat An
Nisa’ Ayat 119.
ى ى ى ى ىى ى
ى ىىىى ى ى ىىىى ى ى
ى ى
“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan
membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh
mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka
benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka
(mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya".
Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain
Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata”
(Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 160).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT melarang kita ber
lebih-lebihan dalam berhias hingga merubah ciptaanNya, perbuatan yang
seperti itu adalah perintah syaitan dan menjadikannya sebagai pelindung
selainNya adalah sesuatu yang merugikan. Karena sebaik-baik pencipta
hanyalah Allah SWT dan Ia menciptakan manusia sesuai kehendakNya
juga mengandung hikmah didalamnya.
3. Pendapat Ulama’ Tentang Tato
Menurut Syeich Sulaiman (t.t, IV/55) pengarang kitab bujairomi ia
menjelaskan Tato ialah tanda pada tubuh yang dihasilkan dengan cara
menusukkan jarum pada tubuh hingga mengeluarkan darah kemudian
meninggalkan warna membiru atau menghijau dari bekas tusukan jarum
40
tersebut. Hukum menghilangkan tatto bila dilakukan saat seseorang sudah
mukallaf (dewasa dan berakal), tidak dipaksa, tahu keharamannya, tanpa
kepentingan, bisa dihilangkan maka wajib menghilangkannya, bila tidak
maka tidak wajib. Maka bila dilakukan saat ia masih kecil, dipaksa, tidak
tahu keharamannya, karena ada keperluan, khawatir timbul bahaya yang
hingga diperbolehkan baginya tayamum maka tidak wajib
menghilangkannya dan sahlah shalat serta menjadikannya imam.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa orang yang
menjalaninya setelah ia mukallaf atas dasar kerelaan, tidak menimbulkan
bahaya saat menghilangkannya dengan bahaya yang memperkenankan
menjalani tayammum maka terhalanglah hilangnya hadas dari anggata
tubuh yang ditatto karena kenajisannya, bila tidak dalam ketentuan diatas
(mukallaf atas dasar kerelaan, tidak menimbulkan bahaya saat
menghilangkannya dengan bahaya yang memperkenankan menjalani
tayammum) maka dianggap udzur keberadaannya. Keberadaan tatto yang
tidak dianggap udzur bila bertemu dengan air sedikit atau barang cair
lainnya atau sesuatu yang basah dapat menjadikan kenajisannya.
Menurut Syeikh Isma'il Zain, orang yang mentato tubuhnya sah
wudlu dan mandinya namun dia berdosa dengan perbuatan itu, dia wajib
bertaubat, dan wajib menghilangkannya jika memang tidak
mendatangkan bahaya, karena itu termasuk wasym, yang membuatnya
tidak boleh, akan tetapi wudhu dan mandi keduanya sah karena darurat,
karena itu didalam kulit yang telah merapat (tumbuh daging di atasnya),
41
maka tidak menghalang-halangi sahnya wudhu dan mandi karena itu
didalam kulit. Shalatnya sah karena darurat, ( http://www.piss-
ktb.com/p/website-aswaja.html, akses 05 Maret 2017).
4. Jenis Jenis Tato
Ada banyak jenis tato yang dikenal masyarakat. Secara gari besar
tato terbagi menjadi dua:
c. Tato yang sifatnya permanen.
Teknik pembuatan tato jenis ini melalui dua cara pengerjaan.
Yang pertama adalah memasukkan tinta atau pewarna kedalam kulit
dengan menusuk-nusuk jarum pada kult. Kedua, dengan cara
membuat luka sayatan pada kulit yang kemudian diberi pewarna.
Hasilnya pun sangat berbeda. Tato yang menggunakan penulisan
menggunakan jarum hasilnya lebih bagus, sedang tato yang
menggunakan teknik sayatan biasanya berupa tonjolan-tonjolan.
Tato dengan teknik sayatan ini ditemukan pada beberapa suku
di papua, suku-suku dikawasan pasifik dan suku-suku pedalaman
afrika. Awalnya bentuk tato ini masih sangat sederhana, namun
mempunyai arti khusus. Begitu juga alat yang di gunakanpun
tentunya masih sangat sederhana yang biasanya terbuat dari kayu atau
bambu. Proses pembuatannya mirip seperti orang yang memahat kayu
(Marianto, Barry, 2000: 25).
42
d. Tato temporer ( Temporary tatto )
Tato temporer ( Temporary tatto ) adalah body art yang
hasilnya bisa tampak seperti tato, namun tidak menggunakan tusukan-
tusukan jarum untuk menanamkan tinta kulit. Dalam temporary tatto,
tinta hanya ditempelkan di atas kulit. Namun karena temporary,
pastinya untuh hal tahan lama, tato model ini kalah jauh dari tati yang
bisa tahan lama sampai seumur hidup. Temporary tatto paling lama
tahan tiga minggu ( http://www.lalightsindiefest.com, akses 07
februari 2017). Tidak diketahui dengan pasti tahun mulai adanya tato
yang dibuat tanpa proses melikai kulit ini (temporary tatto). Tato
jenis ini berasal dan berkembang dari kebudayaan India yang
kemudian tersebar sampai ke Arab (Marianto, Barry, 2000: 23).
5. Bahan Tato
Awalnya bahan untuk membuat tato berasal dari arang tempurung
yang di campur air tebu. Alat-alat yang di gunakan masih sangat
tradisional. Seperti tangkai kayu, jarum, dam pemukul dari batang.
Orang-orang pedalaman masih menggunakan teknik manual dan dari
bahan-bahan tradisional (http://ngobrolaja.com, akses 07 februari 2017).
Namun, seiring dengan berkembangnya zaman maka semakin
berkembang pula cara berfikir manusia sehingga terciptalah mesin
pembuat tato.
Tinta tato adalah zat pewarna yang berisi pigmen. Sedangkan
pigmen itu sendiri tidak semuanya berasal dari tumbuhan, namun juga
43
sebagian terbuat dari logam dalam bentuk garam-garamnya, dan polimer
tertentu. Pigmen-pigmen inilah yang nantinya akan menentukan warna
pada tato. Karena kandungan tinta yang berupa pigmensintetis inilah tinta
tato diragukan keselamatannya dalam penggunaannya. Selain itu yang
menjadi perhatian penting adalah proses penyuntikan tinta kedalam kulit
yang diragukan kehigienisannya (Dewi, http://www.chem-is-try.org,
akses 08 februari 2017). Namun ada pula pewarna nabati yang dapat di
gunakan sebagai tinta tato dan tentunya tidak berbahaya, pewarna ini
didapat dari bahan tumbuh-tumbuhan dan merupakan pewarna tertua di
dunia yang masih banyak di gunakan hingga saat ini, bahkan banyak
mengandung obat yaitu pewarna henna.
44
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kedu
1. Kondisi Umum
Kementrian Agama adalah instansi yang menyelenggarakan tugas
umum pemerintah dan pembangunan di bidang agama. Kaitannya dengan
tugas Kementerian Agama, dalam hal keluarga maupun dalam
bermasyarakat yang bertujuan mencipatakan manusia yang
berkepribadian luhur, berkualitas tinggi, beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Agama memerintahkan kepada
Kantor Urusan Agama (KUA) yang merupakan bagian dari struktur
Kementerian Agama untuk menyelenggarakan sebagian tugas umum
pemerintahan dan pembangunan di bidang agama.
Kantor Urusan Agama merupakan bagian paling bawah dari
struktur Kementerian Agama yang berhubungan langsung dengan
masyarakat dalam satu wilayah kecamatan, sebagaimana yang ditegaskan
dalam Keputusan Menteri Agama No. 517/2001 bahwa Kantor Urusan
Agama bertugas melaksanakan sebagian tugas kantor Kementerian
Agama kabupaten di bidang urusan Agama Islam di wilayah kecamatan.
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.
Kedu mempunyai wilayah kerja di Kecamatan Kedu mempunyai
luas wilayah 350,74 ha yang terbagi atas 244,87 ha lahan sawah dan
105,87 ha lahan nonsawah dengan batas-batas:
45
a. Sebelah utara : Kecamatan Jumo
b. Sebelah selatan : Kecamatan Bulu
c. Sebelah barat : Kecamatan Parakan
d. Sebelah timur : Kecamatan Temanggung
Kecamatan Kedu terdiri dari 14 desa yang masing - masing
dipimpin oleh seorang kepala desa. Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Kedu telah menempati gedung tersendiri yang terletak di
Jalan Raya kedu, Kedu Temanggung 56252. Dari 14 desa tersebut jumlah
penduduk sebesar 58.729 jiwa, 58.259 jiwa beragama Islam, 207 jiwa
Kristen, 179 jiwa Katolik, 0 jiwa Hindu, 11 jiwa beragama Budha dan
sisanya 73 jiwa Beragama lainnya. Dengan prosentase sebagai berikut:
Tabel 3.1
Data Jumlah Penduduk Kecamatan Kedu
No Agama Jumlah Prosentase
1 Islam 58.259 99,20%
2 Kristen 207 0,36%
3 Katolik 179 0,30%
4 Hindu 0 0%
5 Buda 11 0,1%
6 Lainnya 73 0,12%
Data Arsip KUA Kedu Tahun 2016
2. Tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kedu
Secara garis besar, tugas dan fungsi KUA Kecamatan Kedu
berpedoman pada KMA 45/1981 dan KMA Nomor 517 tahun 2001 yakni
membantu dan melaksanakan sebagian tugas umum pemerintah dengan
46
memberikan bimbingan dan pelayanan pada masyarakat di bidang agama
pada tingkat kecamatan. Di samping tugas tersebut, KUA dalam
melaksanakan tugasnya menerapkan prinsip koordinasi, integritas dan
sinkronisasi dengan Kandepag kota maupun antar unsur KUA kecamatan
di samping juga dengan instansi terkait dalam wilayah kecamatan
Kecamatan Kedu.
Adapun fungsi KUA kecamatan adalah sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan Statistik dan Dokumentasi (berdayakan Penyuluh
dan Pengawas)
b. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan,
pengetikan dan rumah tangga (PMA No. 1 Tahunh 1996 – Tata
Persuratan)
c. Pencatatan NR, mengurus dan membina Masjid, Zakat, Wakaf,
Ibadah Sosial, Pengembangan Keluarga Sakinah, Kependudukan
sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam dan
Perpu yang berlaku (KMA No. 517 Tahun 2001 Pasal 3).
3. Visi dan Misi KUA Kecamatan Kedu
a. Visi
Terwujudnya pelayanan di bidang urusan Agama Islam yang
prima dan berkualiatas di KUA Kecamatan Kedu.
b. Misi
1) Meningkatkan kualitas pelayanan administrasi NR.
47
2) Meningkatkan pelayanan teknis administrasi kependudukan dan
keluarga sakinah.
3) Meningkatkan pelayanan teknis administrasi kemasjidan.
4) Meningkatkan pelayanan dan administrasi zakat, wakaf, sodakoh,
dan ibadah sosial.
5) Meningkatkan pelayanan teknis informasi haji
4. Struktur organisasi KUA Kecamatan Kedu
Berikut ini adalah struktur organisasi KUA Kecamatan Kedu:
Gambar 3.2
Struktur Organisasi KUA Kecamatan Kedu
Berikut ini adalah tugas dan wewenang masing-masing pegawai KUA:
a. Nama : H. Mupangat, M.Ag
NIP : 19671022 198912 1 001
Jabatan : Kepala
Uraian Tugas
1) Menyusun rencana kerja tahunan
2) Membagi tugas
48
3) Membimbing bawahan
4) Memeriksa hasil pekerjaan
5) Melayani dan membina N/R
6) Melaksanakan pelayanan perwakafan
7) Melaksanakan bimbingan keluarga sakinah
8) Mengkoordinasikan kegiatan
9) Mengevaluasi hasil kegiatan
10) Melaporkan hasil kegiatan
11) Melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh atasan
b. Nama : Muhabib, S.Ag
NIP : 119641113 199003 1 001
Jabatan : Penghulu
Uraian Tugas
1) Membuat rencana kerja tahunan kepenghuluan
2) Membuat rencana kerja operasional kepenghuluan
3) Mendaftar dan meneliti kehendak nikah/ rujuk
4) Mengolah dan memverivikasi data calon pengantin
5) Menyiapkan bukti pendaftaran nikah/rujuk
6) Membuat daftar dan mengumumkan pernikahan
7) Memandu pelalaksanaan nikah
8) Menerima taukil wali dan tauliyah
9) Mendata kasus pernikahan
10) Mengidentifikasi keluarga sakinah
49
11) Melaksanakan tugas lain dari atasan
c. Nama : Sri Rahayu N
NIP : 19640812 198503 2 003
Jabatan : Pegawai
Uraian Tugas
1) Membuat rencana anggaran belanja
2) Menerima dan mencatat biaya N/ R
3) Membukukan keluar dan masuknya keuangan
4) Menyetorkan biaya N/R via BRI
5) Menyiapkan bahan/ peralatan untuk mengkonsep SPJ dan laporan
6) Mengetik, menyusun serta menyajikan SPJ dan laporan ke
KANKEMENAG
7) Mengoreksi hasil pekerjaan
8) Melaksanakan tugas lain yang diberi oleh atasan
d. Nama : Fany Herawati, SE
NIP : -
Jabatan : Pegawai
Uraian Tugas
1) Mengagendakan surat masuk dan surat keluar
2) Menyiapkan bahan, peralatan dan mengkonsep surat/ laporan
3) Mengetik, menyusun, menyajikan statistik surat/ laporan
4) Mengoreksi hasil pekerjaan
5) Mengantar surat dan laporan
50
6) Menulis cerai talak cerai gugat
7) Mengupayakan penyeragaman waktu sholat
8) Melaksanakan tugas lain dari atasan
e. Nama : Isroi
NIP : 19610214 198601 1 001
Jabatan : PTT
Uraian Tugas
1) Menyiapakan bahan dan peralatan kantor
2) Melayani permohonan duplikat NR dan T/C
3) Membantu tugas-tugas Administrasi Ketatausahaan
4) Penulisan Model NA
5) Penanggungjawab Pembendelan NB
6) Penanggungjawab Laporan Data Inventarisasi Kantor
7) Pengetikan Administrasi Persuratan
8) Melaporkan Pelaksanaan tugas kepada Kepala KUA
5. Progam Kerja KUA Kecamatan Kedu
a. Terpenuhinya sarana dan prasarana kantor yang representatif dan
berkualitas.
b. Adanya sumber daya manusia yang amanah, professional , cerdas dan
berakhlakul karimah.
c. Tata Administrasi yang tertib, modern dan mudah di akses
d. Meningkatkan pelayanan di bidang :
1) Nikah dan Rujuk
51
2) BP4 dan keluarga sakinah
3) Bimbingan pembinaan Syari’ah
4) Ibadah haji
5) Kemasjidan dan arah kiblat
e. Lintas sektoral
f. Bekerja sama kantor kecamatan dalam pembinaan kerukunan umat
beragama dan penanggulangan paham radikal.
6. Tantangan, Kendala Dan Peluang KUA Kecamatan Kedu
a. Tantangan
Tantangan KUA adalah merupakan seni dan hikmah dalam
menapak romantika pelaksanaan tugas, seni disini mengandung arti
bahwa dengan adanya tantangan merupakan bumbu yang menambah
keindahan dan kenikmatan dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan
hikmah disini mengandung arti bahwa dengan adanya tantangan
merupakan pengalaman yang paling berharga yang akan menambah
wawasan dan kedewasaan para petugas, baik secara pribadi maupun
secara kedinasan.
Adapun tantangan KUA dalam melaksankan tugas antara lain:
Penerangan agama terbatas Hal ini merupakan tantangan KUA, baik
yang berhubungan dengan dakwah masyarakat mengenai penanaman
syari’at serta aqidah Islam maupaun yang berhubungan dengan tugas
dan tanggung jawab KUA dalam melayani masyarakat tentang
perkawinan. Termasuk dalam kasus wali bertato karena banyak
52
masyarakat Awam yang belum paham tentang hukum bertato
menurut Islam.
b. Kendala
Berat sama dipikul ringan sama dijinjing, sesuai dengan
pepatah tersebut, seberat apapun para petugas melaksanakan tugas di
Kantor Urusan Agama (KUA), karena dorongan hati yang ikhlas dan
mantap untuk membuktikan tanggungjawab sebagai abdi masyarakat.
Dari sinilah para petugas berpijak, bahwa sudah hal biasa
setiap pekerjaan ada kendalanya. Demikian pula keberadaan para
petugas dalam melaksanakan tugas juga tidak terlepas dari kendala-
kendala yang timbul. Namun demikian justru dengan adanya kendala
sebagai acuan untuk kesuksesan.
Adapun kendala yang petugas hadapi dalam pelaksanaan
tugas, yaitu antara lain:
1) Padatnya acara dalam nikah bedolan
Sebagai petugas pencatat nikah dituntut untuk melayani
masyarakat sebagus mungkin dan sesuai dengan harapan
masyarakat. Namun demikian kenyataannya terkadang membuat
petugas pencatat nikah kewalahan antara lain keterlambatan catin
khususnya dari pihah mempelai laki-laki.
2) Sulitnya pemeriksaan catin
Sesuai aturan bahwa setiap calon pengantin harus datang
ke Kantor Urusan Agama (KUA) untuk diperiksa. Namun karena
53
suatu alasan dan terkadang calon pengantin masih diperantauan
menjadi kendala bagi petugas. Hal tersebut menjadi dampak
negatif bagi petugas sehingga terkadang terjadi kekeliruan data.
c. Peluang
Untuk menuju keberhasilan dalam pelaksanaan tugas, maka
petugas melihat celah-celah peluang di wilayah kerja, antara lain:
1) Masyarakat yang religius
Kondisi masyarakat yang di wilayah Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan Kedu yang mayoritas penduduknya
beragama Islam dan taat beribadah mempermuda petugas
menyampaikan pesan-pesan pembangunan baik dalam bidang
agama pada khususnya maupun dibidang pemerintahan secara
umum.
2) Kepercayaan Tokoh Masyarakat atau Tokoh Agama
Dengan adanya kepercayaan tokoh masyarakat dan tokoh
agama karena satu arahnya visi maupun misi, hal tersebut yang
membuat KUA dengan mereka saling membutuhkan. Dengan
begitu mempermudah KUA untuk bekerja sama guna
menyampaikan progam.
7. Kode Etik Pegawai Kementerian Agama
“Kami pegawai kementerian agama yang beriman dan bertaqwa
kepada tuhan yang maha esa“
a. Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan
54
b. Mengutamakan pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat
c. Bekerja dengan jujur, adil dan amanah
d. Melaksanakan tugas dengan disiplin, professional dan inovatif
e. Setakawan dan bertanggung jawab atas kesejahteraan korps
B. Temuan Penelitian
Berikut ini adalah data hasil penilitian lapangan yang peneliti
lakukan dengan tema “Tinjauan hukum Islam terhadap wali bertato dan
pelaksanannya studi kasus di KUA kecamatan Kedu”. Dalam
mengumpulkan data, penulis melakukan wawancara dengan Kepala KUA
Kedu Bapak Mupangat, M.Ag, Penghulu KUA Kedu Bapak Muhabib,
S.Ag, dan pegawai KUA Kedu.
Berikut ini adalah hasil wawancara yang telah penulis lakukan:
1. Kasus Wali Bertato di KUA Kedu
Dari hasil wawancara, bahwa di KUA Kedu pernah ada
temuan wali bertato mengajukan permohonan pernikahan. Akan
tetapi belum pernah dari pihak KUA mencatat tentang temuan
tersebut karena belum ada peraturan yang mengaturnya secara khusus
baik dalam hukum Islam maupun hukum perkawinan. Dari temuan
tersebut KUA Kedu pernah menolak wali bertato menjadi wali dalam
pernikahan. Dalam menolaknya, KUA Kedu berdasarkan pada Hadits
Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:
ىام نأل صاام ألمصى ى ص أل ت ألرمى صنأل بنص صاص ى تفأل ص اتى صنأل بنص صاص ى صبأل ت مىأص أل ىأص أل ى تص تى ألنتى تقص م ط حص ثص مى تى ص أل تىقص صى ىرصضميص
عت ألدم ىام ألنتى صسأل ى م ألقم ص جى صنأل ى صنأل ص تم تنص ألشم ى صااأل تسأل ص تمى تىااأل صاشم اصعصنص
55
ى مى ى ص ألقص ىام أل تسألنمىااأل ت ص مرصاتم ى صااأل تتنصفص مرجص تم ى صااأل تتنص ص مر ص تم ى صى صاا م ص تم ى ص لمى مى ى متص بم ى م ى مى ص ى تى ص ص أل مى ص ص مصى صات ص ىاصعص ص تىرص ت أل ت أصاألعصنتى صنأل
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil,
telah mengabarkan kepada kami “Abdullah, mengabarkan
kepada kami Sufyan, dari Mansur, dari Ibrahim, dari “lqimah,
dari Ibnu Mas‟ud r.a beliau berkata: “Allah melaknat wanita-
wanita yang mentato dan minta ditato, yang mencukur alis dan
minta dicukur alisnya, serta yang meregangkan giginya untuk
mempercantik diri, wanita-wanita yang merubah ciptaanNya”.
Bagaimana aku tidak melaknat orang yang dilaknat
Rasulullah? Sedang hal itu ada dalam kitabullah (Bukhari.
1991: 5487).
Bahwa seorang yang bertato berarti pernah melakukan dosa
dan termasuk gugur dari syarat wali yaitu adil, sehingga
menjadikannya Fasik. Dalam menyampaikannya pihak yang
bersangkutan menolak dengan apa yang KUA sampaikan tetapi
dengan pengertian yang santun dan penjelasan yang rinci mengenai
hal tersebut, sehingga pihak bersangkutan dapat menerima dan
sekaligus bersedia memberikan informasi terkait itu kepada saudara,
teman maupun tetangganya agar tidak terjadi kasus serupa lagi.
2. Prosedur penolakan wali bertato
Prosedur yang dilakukan oleh KUA dalam menolak wali
nikah bertato adalah dengan memberikan penjelasan secara langsung
kepada wali yang bersangkutan ketika pemeriksaan catin dan wali.
Bahwa perwaliannya telah gugur karena syarat adil dari wali tidak
terpenuhi dan di berikan saran untuk menunjuk wali nasab lainnya.
Karena wali tidak memberi tanggapan dan tidak menunjuk atau
memberi kuasa kepada wali nasab yang lain (wali Ab‟ad) maka secara
56
langsung di ambil alih oleh wali hakim dari KUA. Sesuai ketentuan
dalam KHI pasal 22.
“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak
memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali
nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur,
maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain
menurut derajat berikutnya”. Kemudian Pasal 23 Ayat (1)
“Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila
wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya
atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal
atau enggan” (Abdullah, 2002: 84).
Maka secara langsung pihak KUA menjadi wali hakim dalam
pernikahan apabila tidak ada kuasa dari wali Akrab kepada wali
Ab’ad atau wali nasab yang lain.
57
BAB IV
ANALISA
A. Analisa Tinjauan Hukum Islam Tentang Wali Bertato
Perkawinan telah diatur secara jelas dalam hukum Islam yang digali
dari sumber-sumbernya baik dari Al-Quran, As sunah dan hasil ijtiad para
ulama. Kehidupan dan peradapan manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya
kesinambungan perkawinan dari setiap generasi manusia. Perkawinan dalam
Islam juga merupakan Sunah Rasul. Tidak sah perkawinan jika syarat dan
rukunnya tidak terpenuhi. Adapun rukun pernikahan itu terdiri atas 5 hal
yaitu:
1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
3. Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau
wakilnya yang akan menikahkannya.
4. Adanya dua orang saksi.
5. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-
laki (Departemen Agama, 1992:18).
Setatus wali dalam pernikahan adalah wajib hukumnya menurut
Undang-undang dan pendapat jumhur ulama‟. Syarat yang harus dipenuhi
oleh wali dari mempelai wanita, sebagaimana diterangkan oleh Amir
Syarifuddin dalam bukunya “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia” sebagai
berikut:
58
1. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila
tidak berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi
seseorang yang melakukan akad. Hal ini mengambil dalil dari hadis
Nabi:
ىينصبنأل تغصى ص صنمى ىحصت رم ى ص صنمىاا ربم ظصتنص ألقم ىيصسأل ىحصت ثص طى صنمىاا ءمام ىثصلص رتفمعصىااألقص صمتى صنأل
ى ىيصفم ألقص ىحصت (ح م,ىإ نى ,ىاا س ئ,ىأ ىدا د,ىر اهىأمح )ااأل صجأل نت ألام
“Diangkatkan kalam (tidak diperhitungkan secara hukum)
seseorangyang tertidur sampai ia bangun, seseorang yang masih
kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sehat.(HR.
Ahmad, Abu Dawud, An Nasai, Ibnu Majah, Hakim)”
(Jalaluddin,2006:273).
2. Laki-laki, tidak boleh seorang perempuan menjadi wali.
3. Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali
untuk muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Ali
Imran ayat 28:
ى ى ى ى ىىى ىىى ى ى
ىىىى ىى ى ى ىىى ىىىى
ىى ىىىى
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali(mu)”.
59
4. Orang merdeka.
Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya adalah
bahwa orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat
hukum dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan
suatu tindakan hukum.
5. Berpikiran baik, orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya
tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan
mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
6. Adil, dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak
sering terlibat dengan dosa kecil serta tetap memelihara muruah atau
sopan santun. Keharusan wali itu adil berdasarkan kepada sabda Nabi
Saw:
ام ص اصى رطى ص أل طى م ص ام ص ألى إم ى ص )ااب هقي ر اه ( ت أل م طى ص ص م
“Tidak sah nikah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi yang
adil (HR. Baihaqi. 7/ 112)
Kemudian dalam KHI pasal 107 ayat 4 di jelaskan ”Wali
sedapat-dapatnya di ambil dari keluarga anak tersebut atau orang
lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan
berkelakuan baik, atau badan hukum” (Abdullah. 2002: 109)
7. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umroh. Hal ini
berdasarkan kepada hadits Nabi dari Usman menurut riwayat Muslim
yang mengatakan:
ينت أل م تى ينت أل ص تى ااأل ت أل ماتى ص ) س م ر اه ( ص ص
60
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang
dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang” (Muslim, t.t:
560).
Apabila syarat menjadi wali tidak terpenuhi, maka wali
tersebut menjadi gugur dan harus diganti oleh wali yang lain. Wali
yang lebih jauh (wali ab‟ad) hanya berhak menjadi wali apabila wali
yang lebih dekat (Wali Akrab) tidak ada atau tidak memenuhi syarat
wali. apabila wali yang lebih dekat sedang bepergian atau tidak di
tempat, wali yang lebih jauh hanya dapat menjadi wali apabila
mendapat kuasa dari wali yang lebih dekat itu, apabila pemberian
kuasa tidak ada, maka perwalian pindah kepada sultan (kepala
Negara) atau yang di beri kuasa oleh kepala negara (Basyir, 1980:
39).
Jadi apabila seorang wali Akrab tidak dapat menikahkan akibat
gugur dari syarat wali atau tidak ada maka harus memberikan kuasa
kepada wali Ab‟ad. Jika wali Ab‟ad tidak di beri kuasa dari wali
Akrab maka perwaliannya pindah kepada wali haki (Penghulu).
Sesuai dengan KHI pasal 22.
“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak
memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali
nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur,
maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain
menurut derajat berikutnya”. Kemudian Pasal 23 ayat (1)
“Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila
wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya
atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal
atau enggan” (Abdullah, 2002: 84).
61
Meskipun demikian tetap saja ada masalah baru yang muncul
dan belum diatur dalam undang-undang secara rinci serta masih
menjadi perdebatan dikalangan ulama. Salah satunya adalah masalah
wali bertato yang terjadi di KUA Kedu, penolakan wali nikah bertato
yang penulis temukan dimana pikah Penghulu menolak wali untuk
menikahkan anaknya sendiri karena tidak memenuhi syarat sebagai
wali. Kemudian dari pihak KUA Menggantikan untuk menjadi wali
hakim, karena kesempatan yang di berikan pihak KUA kepada wali
akrab untuk menunjuk dan memberikan kuasa kepada wali ab‟ad
atau wali nasab lainya tidak dilakukan.
B. Prosedur Penolakan Wali Nikah Bertato di KUA Kecamatan Kedu
Dari hasil wawancara dengan PPN, diketahui bahwa alasan penolakan
wali bertato, KUA Kedu bersandar pada Hadis Nabi Saw yang berbunyi
Allah melaknat seorang yang bertato dan mentatonya. Berikut dasar alasan
yang digunakan :
ىام أل تسألنمى ى صااأل تتنصفص مرجص تم ى صااأل تتنص ص مر ص تم ى صاا م ص تم ص تمتنص ألشم ى صااأل تسأل ص تم
ى تىااأل صاشم ىاصعصنصى مى ى ص ألقص ااأل ت ص مرصاتم
“Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan minta ditato, yang
mencukur alis dan minta dicukur alisnya, serta yang meregangkan
giginya untuk mempercantik diri, wanita-wanita yang merubah
ciptaan Allah” (Bukhari. 1991: 5487).
Dari Hadis di atas, KUA Kedu menyimpulkan bahwa seorang yang
bertato dianggap pernah melakukan dosa. Sedangkan seorang yang berbuat
dosa, menjadikannya gugur dari syarat wali yaitu adil dan dihukumi fasik.
Berdasarkan Undang-undang perkawinan pasal 51 ayat 2 ”Wali sedapat-
62
dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik”.
Sebagaiman pendapat Imam Syafi’i yang telah di kutip oleh Nawawi
dalam kitabnya Tausyih menerangkan tentang syarat wali:
صءم مى:ى صااس دمستى فن ىاملأل لص ى م قط ىفص م رط ىينص نألعصقم تىاا رم ص اتى م ص م قن ى ص ص لىفص م ىيص ت ألاتىااأل ص م ااص تىفصلص اصاألعص صثص مى ىلصتنى ص م ى.ىااثلص ىلألىيص تنأل ى م مىفنص نتزص رم تى نص ص ص تىإماأل ينص نألعصزم ت صا تى ص ىام ص ألظصمم ىااأل ىااألم ص ام ىفمسألقت ىيصضت ل ص صىينتزص رم تى,ىغص نأل تهتى ىفصلص ى.ى صإم ىإملص انألتنصقص صتأل يص تى ص ىااأل م ص ى ت مبص ىاص أل ص ألثت قن ى ص ص اصىبم لىفص م ىااأل ص م ى ص اص صاص أل
ىزص صى قط ىفص م قم مىحص ممط صا تىينتزص رم تى صعصىفمسأل قتىام ىاحلألص ممتىااألفص م
Artinya: Syarat keenam yaitu adil maka tidak ada hak menjadi wali
bagi orang yang fasik, tidak dikatakan nikah dengan wali yang fasik ,
pendapat Imam Syafi‟i berbeda dengan ketiga imam (Hanafi, Maliki,
Hambali). Dan tidak bahaya fasiknya hakim, maka ia bisa menikahkan
anak perempuannya selagi tidak ada wali yang lain (wali aqrob atau
wali ab‟ad), jika ada wali yang lain maka ia tidak bisa menikahkan
anak tersebut. Jika wali fasik maka perwaliannya dicabut dan diganti
oleh hakim meskipun hakim tersebut fasik.
Menurut penulis, keputusan KUA Kedu menolak wali nikah bertato
sudah tepat, hal itu menunjukan sebuah konsistensi KUA Kedu dalam
menentukan hukum Wali nikah bertato. Penulis juga sependapat dengan
Alasan yang digunakan oleh KUA Kedu dalam menolak wali nikah
bertatoyaitu dengan menyanandarkan pada Hadis Nabi Saw yang yaitu “Allah
melaknat wanita-wanita yang mentato dan minta ditato, yang mencukur alis
dan minta dicukur alisnya, serta yang meregangkan giginya untuk
mempercantik diri, wanita-wanita yang merubah ciptaan Allah” dan syarat
adil dari wali berdasarkan hadis nabi “Tidak sah nikah kecuali bila ada wali
dan dua orang saksi yang adil” juga pendapat imam syafi’i terkait wali fasik.
63
Kaidah fikih yang sesuai dengan kebijakan KUA Kedu pada
seorang wali yang bertato adalah sebagai berikut:
ى م ىاأل ص أل ص ص مى ى ص ص ىاال أل ص مى ص نت أل ط ىااألم ص ام ت ص رم ت
“Kebijaksanaan imam/kepala negara terhadap rakyat itu harus
dihubungkan dengan kemaslahatan”(Abu bakar, t.t: 28).
Menurut penulis sesuai kaidah fikih di atas, adanya kasus penolakan
wali nikah bertato pasti ada maksut dan tujuan yang baik bagi pelakunya
sehingga mengandung hikmah bagi pelaku pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan, maka bisa ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukum wali yang bertato permanen ketika menikahkan anaknya menjadi
tidak sah, hal itu karena salah satu syarat adil untuk menjadi wali telah
gugur akibat hukum dari bertato, sehingga wali tersebut di hukumi fasik.
Dengan status hukum tersebut, maka perwaliannya harus di ganti oleh
wali lain (wali Hakim).
2. Keputusan KUA Kedu dalam kasus wali nikah yang bertato ialah dengan
mengganti wali betato dengan wali hakim.
B. Kritik dan Saran
Sehubungan dengan adanya kasus wali nikah bertato, alangkah
baiknya KUA kedu lebih sering memberikan pengarahan dan pengertian
terkait kasus-kasus baru yang terjadi di lingkungan KUA dan Masyarakat
pada umumnya, baik melalui penyuluh Agama maupun Tokoh Masyarakat
sehingga dapat di sampaikan dan di sebar luaskan kepada masyarakat umum.
Kemudian untuk bidang Administrasi KUA Kecamatan Kedu agar bisa
selalu mencatat terkait kasus-kasus baru yang sering terjadi di KUA. Agar
bisa menjadi bahan koreksi bagi KUA pada khususnya dan masyarakat di
lingkungan kerja KUA pada umumnya.
65
C. Penutup
Puji syukur kehadirad Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
serta hidayahNya sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan perjuangan
dan semangat. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis,
mahasiswa Hukum Keliarga Islam dan umumnya bagi pembaca, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Anshary, Muhammad. 1993. Hukum Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Abdullah, Abdul Gani. 2002. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia. Jakarta: Gema Insani Pres.
Basyir, Ahmad A. 1980. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Gadjah Mada
Universiti Press.
Departemen Agama. 1992. Ilmu Fiqh. Jakarta: Departemen Agama.
Darajad, Zakiyah. 1995. Ilmu Fiqh Jilid 2. Yogyakarta: Dana Bhakti.
Departemen Agama. 2006. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Dirjen Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Haji.
Daymon, Cristine. 2008. Metode Riset Kualitatif Dalam Public Relation dan
Marketing Communication. Jakarta: Benteng Pustaka.
Ghani, Djuandi. 1997. Dasar-dasar Pendidikan Kualitatif, Prosedur, Tehnik dan
Teori. Surabaya: PT. Bila Ilmu.
Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Helmi, Masdar. 1994. Terjemah Hadits Bulughul Maram. Bandung: CV. Gema
Risalah Press.
Hajar, Ibnu. T.t. Fathul bari. Darul Fikr.
Ibnu Majah. T.t. Sunan Ibnu Majah Juz I. Maktabah Dahlan Indonesa.
Jalaluddin. 2006. Jami‟ Shogir. Beirut: Darul Kutub Al-Alamiah.
Jalaluddin. T.t. Al-Mahalli.
Kofsoh, dewi. 2009. Hadis Hadis Tentang Tato. Skripsi Sarjana, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri. Jogjakarta.
Muhadjir, Neong. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Ygyakarta: Reka
Sarasin.
Munawir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawir kamus arab-indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif.
Martanto, M. Dwi dan Syamsul Barry. 2000. TATTO. Yogyakarta: Lembaga
penelitian Institut Seni Indonesia.
Mughniyah, Muhammad J. 2001. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera.
Moleong, lexy J. 2002b. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Muhammad, Abdillah. 2006. Shohih Al Bukhori. Semarang: Toha Putra.
Moleong, lexy J. 2011a. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Sosial. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Nawawi, Muhammad. 2007. Marohullabid juz 2. Beirut: Darul Fikr.
Olong, Hatib Abdul K. 2006. TATO. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara.
Suryabrata, Sumadi. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Suharso., Ana Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:
CV. Widya Karya.
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Shomad, Abd. 2010. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syari‟ah Dalam Hukum
Indonesia, Jakarta:Kencana.
Taqiyuddin. 2005. Kifayatul al Akhyar, Beirut: Darul Fikr.
Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: Rajawali Pers.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an. 1993. Al Quran dan
Terjemahannya, Semarang: CV. Alwaah.
Zakaria. 1998. Fathul Wahab. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Zainuddin, Ali. 2006. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Al Jauza. ”Menikah Tanpa Wali”.
http://www.jurnalmuslim.com/2016/08/bolehkan-janda-menikah-sendiri-
tanpa-wali-ini-dalilnya. (akses 05 Maret 2017).
“Hukum Membuat Tato.” http://www.piss-ktb.com/p/website-aswaja.html. (
akses 05 Maret 2017)
Baits, Ammi Nur. “Siapakah Orang
Fasik?”.https://konsultasiSyari’ah.com/11768-siapakah-orang-fasik.html.
(akses 31 Maret 2017).
http://kbbi.web.id/wali. (akses 26 januari 2017).
Qutaibah. “Bolehkan Janda Menikah Sendiri Tanpa Wali?”.
http://www.jurnalmuslim.com/2016/08/bolehkan-janda-menikah-sendiri-
tanpa-wali-ini-dalilnya.html. (akses 05 Maret 2017).
Daftar Riwayat Hidup
Muhammad Raisul Umam, lahir 19 april 1992
di Kab. Temanggung. Bertempat tinggal di
Dusun Sepikul Rt 01 Rw 02 Desa Mojotengah
Kec. Kedu Kab. Temanggung. Adalah putra
dari Bapak H Kasnan dan ibu Hj. Jazimatul
Chasanah. M. Raisul Umam adalah anak
pertama dari empat bersaudara. Saudaranya
yang tiga adalah pertama Muhammad Roqi
Azbar, Kedua Difla Lu’lu’ Atul Mabruroh,
ketiga Fairuza Arza Zariroh.
Setelah lulus SDN 02 Mojotengah Kedu tahun
(2004) melanjutkan pendidikan di MTsN
Parakan Kab. Temanggung (lulus 2007)
kemudian melanjutkan di MAN Parakan Kab. Temanggung (lulus 2010) sekaligus
menempuh pendidikan non formal di Pon-Pes Miftakhurrosyidin Cekelan Kab.
Temanggung asuhan KH. Thohir Muhlasin. Setelah lulus MAN melanjutkan
pendidikan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga tahun 2011 Fakultas
Syari’ah Jurusan Hukum Keluarga Islam (Ahwal Al Syakhsyiyyah) untuk
menempuh gelar S1 Sarjana Hukum. Sambil menempuh pendidikan di Pon-Pes Al
Ittihad Poncol Beringin Komplek Al Fadhlil Asuhan Ny Aminah dan K Ali
Sukron.
Adapun pengalaman organisasi Selama di kampus IAIN Salatiga yaitu:
1. PMII Kota Salatiga (2011-sekarang)
2. Pengurus Dewan Mahasiswa IAIN Salatiga (2013-2016)
3. Pengurus Forum Mahasiswa Temanggung di Salatiga (2012-2016)
DAFTAR NILAI SKK
Nama : Muhammad Raisul Umam Fakultas : Syariah
NIM : 2111 11 036 Jurusan : Hukum Keluarga
Islam
NO WAKTU JENIS KEGIATAN JABATAN NILAI
1 20-22 Agustus 2011 Orientasi Pengenalan Akademik dan
Kemahasiswaan, “Revitalisasi
Gerakan Mahasiswa di Era Modern
untuk Kejayaan Indonesia”, DEMA
STAIN Salatiga
Peserta 3
2 23 Agustus 2011 Achievement Motivation Training
(AMT), “Membangun Mahasiswa
Cerdas Emosi, Spiritual, dan
Intelektualitas ”, STAIN Salatiga
Peserta 2
3 24 Agustus 2011 Orientasi Dasar Keislaman,
“Menemukan Muara sebagai
Mahasiswa Rahmatan Lil Alamin”,
STAIN Salatiga
Peserta 2
4 25 Agustus 2011 Seminar Entrepeneurship dan
Koperasi, STAIN Salatiga Peserta 2
5 20 septenber 2011 User Education UPT Perpustakaan
STAIN Salatiga Peserta 2
6 08-09 Oktober 2011 Malam Keakraban(MAKRAB)
Mahasiswa Syariah Bertajuk Semalam
Sehati
Peserta 3
7 30 Oktober 2011 Seminar nasional “Rahasia Kaya
ilmu,kaya hati sehat dan kaya raya” Peserta 6
8 09 November 2012 Diskusi Publik dan Rujak Party,
“Merefleksi Hari Pahlawan bagi Para
Perempuan Muda(Pemudi)”
Peserta 2
9 10 November 2012 Dialog Public dan Silaturahim
Nasional, “Kemanakah Arah Panitia 6
Kebijakan BBM? Mendorong Subsidi
BBM Untuk Rakyat”
10 13-14 Oktober 2012 Semalam Sehati, “satu Malam
Meningkatkan Integritas Mahasiswa
Syariah”
Peserta 3
11 29 November 2012 Seminar Nasional , “Peran Lembaga
Perbankan Syariah dengan Adanya
Otoritas jasa Keuangan(UU No.21
Tahun 2011 Tentang OJK)”
Panitia 6
12 26 maret 2013 Seminar nasional, “Ahlussunnah
Waljamaah dalam Perspektif Islam
Indonesia”
Panitia 6
13 27 Mei 2013 Seminar Nasional, “Norma Hukum
Serta Kebijakan Pemerintah dalam
Mengendalikan Harga BBM
Bersubsidi”
Panitia 6
14 27 Juni 2013 Seminar Nasional dan Dialog Publik,
“Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi” Peserta 6
15 26-27 Aguatus 2013 OPAK STAIN Salatiga Tahun 2013,
“Rekonstruksi Paradigma Mahasiswa
yang Cerdas, Peka dan Peduli”
Panitia 3
16 29 Agustus 2013 OPAK Syariah 2013, “Revitalisasi
Intelektualitas dan Spiritualitas
Mahasiswa Menuju Kemajuan
Indonesia”
Panitia 3
17 20 Januari 2014 Pelatihan Administrasi, “Penciptakan
Keseragaman dalam Menegement
Administrasi dan Keuangan Demi
Menuju Tata Tertib Organisasi”
Peserta 3
18 17 Februari 2014 SK Pengangkatan Pengurus DEMA
STAIN Salatiga Masa Bakti 2014 Pengurus 4
19 04 Maret 2014 SK Penyelenggara Workshop Leadership
DEMA STAIN Salatiga Tahun 2014 Panitia 2
20 01 April 2014 Dialog Interaktif dan Edukatif, “Diaspora
Politik Indonesia di Tahun 2014, Memilih
untuk Salatiga Hati Beriman”
Peserta 2
21 18-19 Agustus 2014 OPAK STAIN Salatiga Tahun 2014,
“Aktualisasi Gerakan Mahasiswa yang
Beretika, Disiplin dan Berfikir Terbuka”
Panitia 3
22 29 September 2014 Seminar Nasional, ”Peran Mahasiswa
dalam Mengawal Masa Depan Indonesia
Pasca Pilpres 2014”
Panitia 6
23 20-23 Oktober 2014 Peserta Kader Bela Negara Peserta 3
24 20-23 Oktober 2014 Latihan Bela Negara bagi Mahasiswa
PTN/PTS/APTISI Se-Jateng dan DIY Peserta 3
25 17 Maret 2015 SK Pengangkatan Pengurus DEMA IAIN
Salatiga Masa Bakti 2015 Pengurus 4
26 28 Maret 2015 Seminar dan Diskusi Terbuka,
“Mewaspadai Masuknya Ajaran Islam
Radikal pada Jalur Pendiidkan di
Kab.Semarang”
Peserta 2
27 30 Juni 2015 Ngabuburit dan Dialog Lintas Agama
Salatiga Bhineka Tunggal Ika Peserta 2
28 27 Juli 2015 SK Panitia Penyelenggara OPAK IAIN
Salatiga Tahun 2015 Panitia 3
29 30 Juli 2015 Komunikasi Sosial, “Peran Pemuda
sebagai Penerus Bangsa dalam
Mewujudkan Integritas Nasional”
Peserta 2
30 30 Oktober 2015 SK Panitia Penyelenggara IAIN
Bershalawat dan Orasi Kebangsaan
DEMA IAIN Salatiga Tahun 2015
Panitia 2
31 31 Desember 2015 SK Perpanjangan Masa Bakti Pengurus
DEMA IAIN Salatiga Masa Bakti 2015 Pengurus 4
32 02 Februari 2016 SK Panitia Penyelenggara Musyawarah
Kerja BEM/DEMA Se-Indonesia Wilayah
Jawa Tengah IAIN Salatiga Tahun 2016
Panitia 2
33 06 Agustus 2016 Pengurus Cabang PMII Kota Salatiga
Masa Khidmat 2016 Pengurus 4
Jumlah 112
Daftar Pertanyaan
1. Apakah di KUA Kedu pernah terjadi kasus penolakan wali bertato?
2. Ada berapa kasus yang pernah di tolak?
3. Apa landasan hukum yang dipakai untuk menolak wali nikah bertato?
4. Bagaimana prosedur penolakan wali nikah bertato?
5. Apakah ada usaha dari KUA untuk menekan terjadinya kasus berikut?
TRANSKIP WAWANCARA
Wawancara 1
Nama : H. Mupangat, M.Ag
NIP : 19671022 198912 1 001
Jabatan : Kepala
Kode : Wwcr1
Hasil wawancara
1. Apakah di KUA Kedu pernah terjadi kasus penolakan wali bertato?
Wwcr1:”kalau untuk penolakan wali bertato pernah mas. Tapi di
KUA Kedu tidak banyak”.
2. Ada berapa kasus yang pernah di tolak?
Wwcr1: ”untuk kasus wali nikah bertato pernah kami tolah baru
satu kali”.
3. Apa landasan hukum yang dipakai untuk menolak wali nikah bertato??
Wwcr 1: ”kalau untuk wali nikah bertato kami tolak pakai dasar
hadits Nabi Saw tentang larangan bertato dan KHI
tentang syarat wali”.
4. Bagaimana prosedur penolakan wali nikah bertato?
Wwcr1: ”Ya tentunya kita menolak dengan baik-baik mas. Begitu
berkas masuk dari mudin kita cek dan datang dengan
pihak yang akan mengajukan nikah. Ketahuan kalo
walinya bertato, kemudian kami beri pengertian terkait
wali baik rukun dan syaratnya kemudian kami sampaikan
terkait hukum bagi wali bertato. Baru kami sarankan
untuk menunjuk kepada wali nasab yang lain atau
mewakilkan kepada pihak dari KUA mas”.
5. Apakah ada usaha dari KUA untuk menekan terjadinya kasus berikut?
Wwcr 1: ”Ada mas. Akan tetapi karena kehidupan masyarakat
sekarang lebih bebas dan pengaruh pergaulan jadi
sering kita kesulitan untuk memberi pengertian terkait
tato. Apa lagi kalau sudah menyangkut karya seni lebih
sulit lagi mas. Tapi kita berusaha lewat penyuluh mas”.
TRANSKIP WAWANCARA
Wawancara 2
Nama : Muhabib, S.Ag
NIP : 119641113 199003 1 001
Jabatan : Penghulu
Kode : Wwcr2
Hasil wawancara
1. Apakah di KUA Kedu pernah terjadi kasus penolakan wali bertato?
Wwcr 2: ”Pernah mas”.
2. Ada berapa kasus yang pernah di tolak?
Wwcr2: ”baru sekali mas tapi kalo yang tidak di tolak ada
beberapa mas”.
3. Apa landasan hukum yang dipakai untuk menolak wali nikah bertato??
Wwcr2: ”Kalo dasar hukum yang dipakai itu karena perbuatan
wali tersebut suatu yang di larang syariat jadi dosa, jadi
kalo pernah berbuat dosa berarti termasuk gugur dari
syarat wali kan mas”.
4. Bagaimana prosedur penolakan wali nikah bertato?
Wwcr2: ”Kalo untuk prosedur penolakannya dari KUA secara
langsung. Begitu pengecekan dan datang dengan pihak
wali. Ketahuan kalo walinya bertato, kemudian kami beri
pengertian terkait wali baik rukun dan syaratnya
kemudian kami sampaikan terkait hukum bagi wali
bertato. Kami sarankan untuk menunjuk kepada wali
nasab lainnya atau mewakilkan kepada pihak dari KUA
mas”.
5. Apakah ada usaha dari KUA untuk menekan terjadinya kasus berikut?
Wwcr2: ”Kalo untuk itu ya ada mas..kita ada agenda bersama
muspika dan ada undangan dari desa kita sosialisasikan
tetapi kurang bisa maksimal karena belum ada peraturan
yang mengatur tentang wali bertato secara khusus.”
Dari KUA juga sudah ada progam kerja terkait
penyuluhan dan bimbingan Agama mas.
TRANSKIP WAWANCARA
Wawancara 3
Nama : Sri Rahayu N
NIP : 19640812 198503 2 003
Jabatan : Pegawai
Kode : Wwcr3
Hasil wawancara
1. Apakah di KUA Kedu pernah terjadi kasus penolakan wali bertato?
Wwcr 3: ”Pernah ada mas”.
2. Ada berapa kasus yang pernah di tolak?
Wwcr3: “Baru sekali mas”.
3. Apa landasan hukum yang dipakai untuk menolak wali nikah bertato??
Wwcr3: ”Dasar hukumnya ya kan wali tersebut bertato biasanya
kalo orang bertato tidak baik jadi tidak boleh menjadi
wali. setahu saya begitu mas”.
4. Bagaimana prosedur penolakan wali nikah bertato?
Wwcr3: ”Prosedurnya ya langsung disampaikan kepada wali
kalo besuk tidak bisa menjadi wali”.
5. Apakah ada usaha dari KUA untuk menekan terjadinya kasus berikut?
Wwcr3: ”Kalo usaha menekan kasus ya kita lewat sosialisasi
kalo ada pertemuan2 dengan Muspika atau penyuluh
Kecamatan mas”.
Lampiran foto
Foto wawancara dengan petugas KUA Kec. Kedu
Foto gedung KUA Kec. Kedu
Banyaknya Pemeluk Agama Dirinci Per Desa di Kec. Kedu
Tahun 2016
Sumber Data : Kementerian Agama Kab. Temanggung