skripsi fix dini pdf
Post on 24-Nov-2015
118 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
i
DERAJAT PARASITEMIA MENCIT GALUR BALB/c
YANG DIVAKSINASI KELENJAR SALIVA Anopheles sundaicus
SEBAGAI MODEL Transmission Blocking Vaccine (TBV)
MELAWAN MALARIA
SKRIPSI
Oleh
Windradini Rahvian Aridama
NIM 092010101026
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
-
ii
DERAJAT PARASITEMIA MENCIT GALUR BALB/c
YANG DIVAKSINASI KELENJAR SALIVA Anopheles sundaicus
SEBAGAI MODEL Transmission Blocking Vaccine (TBV)
MELAWAN MALARIA
SKRIPSI
diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Studi Pendidikan Dokter (S1) dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran
Oleh
Windradini Rahvian Aridama
NIM 092010101026
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
-
iii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta, ayahanda Wijiono Arianto dan ibunda Anis Tri
Ubaidiati. Terima kasih atas segala doa, dukungan, perhatian, kasih sayang
dan semua pengorbanan yang telah diberikan demi meraih cita-citaku;
2. Adikku Naksa Garnida Arfie yang telah memberikan dukungan dan
semangat untuk terus maju;
3. Guru-guruku yang telah mendidik dengan penuh kesabaran dari taman
kanak-kanak hingga perguruan tinggi;
4. Almamater Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
-
iv
MOTTO
pemalas, pesimis, dan penunda tidak mungkin dipercaya untuk pekerjaan besar
di tempat baik dan dibayar besar.
Kualitas perilaku menentukan kualitas nasib.
(Mario Teguh)
-
v
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
nama : Windradini Rahvian Aridama
NIM : 092010101026
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya tulis ilmiah yang berjudul Derajat
Parasitemia Mencit Galur BALB/c yang Divaksinasi Kelenjar Saliva Anopheles
sundaicus sebagai Model Transmission Blocking Vaccine (TBV) Melawan
Malaria adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali kutipan yang sudah saya
sebutkan sumbernya, belum pernah diajukan pada institusi mana pun, dan bukan
karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai
dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan
dan paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika
ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.
Jember, 25 February 2013
Yang menyatakan,
Windradini Rahvian Aridama
NIM 092010101026
-
vi
SKRIPSI
DERAJAT PARASITEMIA MENCIT GALUR BALB/c
YANG DIVAKSINASI KELENJAR SALIVA Anopheles sundaicus
SEBAGAI MODEL Transmission Blocking Vaccine (TBV)
MELAWAN MALARIA
Oleh
Windradini Rahvian Aridama
NIM 092010101026
Pembimbing
Dosen Pembimbing Utama : Dr. rer. nat. Kartika Senjarini S.Si., M.Si.
Dosen Pembimbing Anggota : dr. Sugiyanta, M.Ked.
-
vii
PENGESAHAN
Skripsi berjudul Derajat Parasitemia Mencit Galur BALB/c yang Divaksinasi
Kelenjar Saliva Anopheles sundaicus sebagai Model Transmission Blocking
Vaccine (TBV) Melawan Malaria telah diuji dan disahkan oleh Fakultas
Kedokteran Universitas Jember pada:
hari, tanggal : Senin, 25 Februari 2013
tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Jember
Tim Penguji
Mengesahkan
Dekan Fakultas Kedokteran
dr. Enny Suswati, M.Kes
NIP 197002141999032001
Penguji I
dr. Yudha Nurdian, M.Kes
NIP. 197110191999031001
Penguji II
dr. Diana Chusna Mufida, M.Kes
NIP 197203182003122001
Penguji III
Dr. rer. nat. Kartika Senjarini S.Si., M.Si
NIP 197509132000032001
Penguji IV
dr. Sugiyanta, M.Ked
NIP 197902072005011001
-
viii
RINGKASAN
Derajat Parasitemia Mencit Galur BALB/c yang Divaksinasi Kelenjar Saliva
Anopheles sundaicus sebagai Model Transmission Blocking Vaccine (TBV)
Melawan Malaria; Windradini Rahvian Aridama; 092010101026; 2013; 50
halaman; Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Malaria merupakan penyakit infeksi yang menjadi salah satu masalah
kesehatan utama di dunia. Di Asia Tenggara, sepuluh dari sebelas negara
merupakan negara endemis malaria termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan
oleh Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.
Anopheles sundaicus (An. sundaicus) merupakan salah satu vektor malaria di
Indonesia. Sampai saat ini berbagai upaya yang telah dilakukan untuk memberantas
malaria namun belum memberikan hasil yang optimal sehingga diperlukan suatu
terobosan baru untuk mengatasi penyakit tersebut. Transmission Blocking Vaccine
(TBV) berbasis kelenjar saliva vektor merupakan salah satu vaksin yang sedang
dikembangkan untuk memberantas malaria.
Protein imunomodulator dalam kelenjar saliva vektor diduga mampu
mempengaruhi respon imun serta memberi efek proteksi pada inang. Penelitian
terdahulu menyebutkan bahwa pajanan pertama dari saliva vektor menyebabkan
pergeseran respon imun dari Th1 ke Th2 yang menguntungkan vektor. Pajanan
berulang dari saliva vektor menyebabkan pergeseran respon imun yang berlawanan
dari sebelumnya yaitu dari Th2 ke Th1 yang menguntungkan hospes. Sel Th1
menghasilkan sitokin IFN- untuk mengaktivasi makrofag sehingga mampu
menghambat pertumbuhan parasit malaria. Dalam penelitian ini diamati potensi
kelenjar saliva vektor malaria An. sundaicus dalam menghambat pertumbuhan
parasit malaria yang ditunjukkan dengan derajat parasitemia hewan coba.
Hewan coba yang digunakan adalah mencit betina galur BALB/c berusia 6-
8 minggu sebanyak 45 ekor yang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok
kontrol, kelompok perlakuan pellet dan kelompok perlakuan supernatan. Masing-
masing kelompok terdiri dari 15 ekor mencit. Kelompok kontrol divaksinasi dengan
campuran adjuvan aluminum hidroksida dan larutan PBS, kelompok perlakuan
-
ix
pellet divaksinasi dengan vaksin model pellet kelenjar saliva An. sundaicus, dan
kelompok perlakuan supernatan divaksinasi dengan vaksin model supernatan
kelenjar saliva An. sundaicus. Vaksinasi diberikan secara subkutan pada femur
bagian luar. Vaksinasi dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu 2 minggu.
Dua minggu pasca vaksinasi terakhir, hewan coba diinjeksi Plasmodium berghei
secara intraperitonial. Empat puluh delapan jam kemudian dilakukan pembuatan
hapusan darah tepi dari ekor mencit untuk pengamatan derajat parasitemia.
Hasil penelitian menggunakan kelenjar saliva An. sundaicus menunjukkan
bahwa mencit perlakuan yang divaksinasi vaksin model kelenjar saliva An.
sundaicus memiliki derajat parasitemia yang lebih rendah dibandingkan kelompok
kontrol yang tidak divaksinasi. Kelompok perlakuan pellet memiliki derajat
parasitemia yang lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan supernatan
sedangkan kelompok perlakuan supernatan memiliki derajat parasitemia yang lebih
rendah dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini dimungkinkan protein
imunomodulator lebih dominan terdapat pada fraksi insoluble pellet. Rendahnya
derajat parasitemia pada kelompok perlakuan supernatan mengindikasikan bahwa
komponen protein imunomodulator juga terdapat di bagian supernatan dan bersifat
soluble. Dengan demikian fraksi insoluble pellet dan fraksi soluble supernatan
sama-sama berperan dalam menekan pertumbuhan parasit malaria pada hewan coba
yang ditunjukkan dengan derajat parasitemia mencit kelompok perlakuan yang
cenderung lebih rendah dibandingkan dengan mencit kelompok kontrol.
-
x
PRAKATA
Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Derajat Parasitemia
Mencit Galur BALB/c yang Divaksinasi Kelenjar Saliva Anopheles sundaicus
sebagai Model Transmission Blocking Vaccine (TBV) Melawan Malaria. Skripsi
ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
strata satu (S1) pada Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Penyusunan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Enny Suswati, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Jember;
2. Dr. rer. nat. Kartika Senjarini S.Si., M.Si selaku Dosen Pembimbing I dan dr.
Sugiyanta, M.Ked. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu
dan meluangkan waktu, pikiran, dan perhatian untuk membimbing penulisan
skripsi hingga akhir;
3. dr. Yunita Armiyanti, M.Kes. yang sudah memberikan kesempatan untuk
masuk ke dalam kelompok TBV Research Group dan juga telah banyak
membantu serta meluangkan waktu, pikiran, perhatiannya untuk membimbing
penulisan skripsi ini;
4. dr. Yudha Nurdian, M.Kes dan dr. Diana Chusna Mufida, M.Kes selaku dosen
penguji atas kesediaannya untuk turut memberikan saran dan penilaian
terhadap skripsi ini;
5. Kepala Laboratorium beserta staf Laboratorium Mikrobiologi, Biologi Dasar,
dan Zoologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA) Universitas Jember atas bantuan dan kerjasamanya;
6. Mama dan Papa, serta Adikku yang selalu berdoa untuk kesuksesan dan
keberhasilanku;
7. Rekan kerja seperjuangan Dani, Harmas, Pak Ali, Pak Adrial, kakak-kakak
Jurusan Biologi Fakultas MIPA Mbak Esti, Mbak Dina, Mbak Riska, Mbak
-
xi
Ika, Mas Imam, Mas Syubanul, Mas Arif, Mbak Dewi, Mbak Mada, Mba
Azizah, Mbak Niear, Mbak Lupink, dkk. atas kebaikan dan bantuan yang
kalian berikan;
8. Kakak-kakak Fakultas Kedokteran Mbak Lina, Mbak Vinny, Mbak Ina, Mbak
Thania, dan Mbak Wiwik atas bantuan dan motivasi yang diberikan;
9. Sahabat-sahabatku Ira, Wulan, Roat, dan Aulia, yang selalu membantu dan
memberikan semangat;
10. Rekan-rekan angkatan 2009 Avicenna atas motivasi, dukungan dan bantuan
dalam pengerjaan skripsi ini;
11. Dan akhirnya kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
atas bantuannya dalam menyelesaikan peneitian ini dan telah mendoakan demi
suksesnya ujian skripsi ini.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat.
Jember, Februari 2013 Penulis
-
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................. v
HALAMAN PEMBIMBINGAN ............................................................................. vi
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. vii
RINGKASAN .......................................................................................................... viii
PRAKATA .............................................................................................................. x
DAFTAR ISI ........................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xv
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan masalah ............................................................................. 3
1.3. Tujuan penelitian ............................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................ 3
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 3
BAB 2. Tinjauan pustaka ....................................................................................... 5
2.1. Malaria .............................................................................................. 5
2.1.1 Definisi ...................................................................................... 5
2.1.2 Etiologi ...................................................................................... 5
2.1.3 Distribusi dan Insiden ................................................................. 6
2.1.4 Siklus Hidup Plasmodium .......................................................... 6
2.1.5 Patogenesis ................................................................................ 8
2.1.6 Manifestasi Klinis ...................................................................... 9
2.1.7 Diagnosis ................................................................................... 10
2.1.8 Penatalaksanaan ......................................................................... 12
2.2 Anopheles sundaicus sebagai Vektor Malaria .................................... 13
2.3 Peran Saliva Nyamuk dalam Transmisi Patogen ............................. 15
-
xiii
2.3.1 Morfologi Kelenjar Saliva Nyamuk ............................................ 15
2.3.2 Respon Imun Saliva Vektor ........................................................ 16
2.4 Perkembangan Vaksin Malaria ........................................................ 18
2.5 Transmission Blocking Vaccine sebagai Penanggulangan -
Malaria ............................................................................................. 19
2.6 Kerangka Konseptual ......................................................................... 23
2.7 Hipotesis ............................................................................................. 24
BAB 3. Metode Penelitian ....................................................................................... 25
3.1 Jenis Penelitian ................................................................................... 25
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 25
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ......................................................... 25
3.3.1 Populasi Penelitian ..................................................................... 25
3.3.2 Sampel Penelitian ....................................................................... 25
3.4 Variabel Penelitian ............................................................................. 26
3.5 Definisi Operasional ........................................................................... 26
3.5.1 Kelenjar saliva Anopheles sundaicus ......................................... 26
3.5.2 Derajat Parasitemia .................................................................. 26
3.5.3 Vaksin Model Pellet ................................................................. 26
3.5.4 Vaksin Model Supernatan ......................................................... 27
3.6 Rancangan Penelitian ........................................................................ 27
3.7 Instrumen Penelitian .......................................................................... 28
3.7.1 Alat Penelitian ............................................................................ 28
3.7.2 Bahan Penelitian ......................................................................... 28
3.8 Prosedur Penelitian ............................................................................ 28
3.8.1 Preparasi Kelenjar Saliva .......................................................... 28
3.8.2 Preparasi Hewan Coba ............................................................. 28
3.8.3 Preparasi Vaksin Model Kelenjar Saliva An. sundaicus dan
Vaksinasi ................................................................................. 29
3.8.4 Preparasi Plasmodium berghei ................................................. 30
3.8.5 Inokulasi Plasmodium berghei pada Hewan Coba .................... 30
3.8.6 Penghitungan Derajat Parasitemia ............................................ 31
3.9 Alur Penelitian ................................................................................. 32
3.10 Penyajian Data .................................................................................. 33
-
xiv
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 34
4.1 HASIL PENELITIAN ...................................................................... 34
4.1.1 Isolasi Kelenjar Anopheles sundaicus ........................................ 34
4.1.2 Preparasi Vaksin dan Vaksinasi .................................................. 34
4.1.3 Derajat Parasitemia .................................................................... 35
4.2 PEMBAHASAN ................................................................................. 38
4.2.1 Kelenjar Saliva Anopheles sundaicus .......................................... 38
4.2.2 Preparasi Model Vaksin dan Vaksinasi ....................................... 39
4.2.3 Pengaruh Injeksi Model Vaksin Kelenjar Saliva
terhadap Hitungan Derajat Parasitemia Hewan Coba ................. 42
BAB 5. PENUTUP .................................................................................................. 44
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 44
5.2 Saran ................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 45
-
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Siklus hidup Plasmodium .......................................................... 7
Gambar 2.2 Anopheles sundaicus ................................................................. 14
Gambar 2.3 Kelenjar saliva nyamuk ............................................................. 15
Gambar 2.4 Peran protein saliva vektor arthropoda dalam memodulasi
respon hemostasis pada hospes................................................. 17
Gambar 2.5 Skema hipotesis mekanisme kerja TBV .................................... 20
Gambar 4.1 Hasil isolasi kelenjar saliva An. sundaicus................................ 34
Gambar 4.2 Hapusan darah mencit pasca inokulasi Plasmodium berghei ... 36
Gambar 4.3 Grafik perkembangan derajat parasitemia (%) pada populasi (n=3)
dalam kelompok ......................................................................... 36
Gambar 4.4 Grafik perkembangan derajat parasitemia (%) dengan ulangan
individu......................................................................... 37
Gambar 4.5 Kelenjar saliva Anopheles betina .................................................. 38
-
1BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malaria merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi salah satu
masalah kesehatan utama di dunia. Penyakit ini telah menyebabkan kematian
hampir sekitar satu juta penduduk dunia setiap tahunnya. Infeksi malaria tersebar
pada 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika (bagian selatan), daerah Oceania
dan Kepulauan Karibia (Harijanto, 2007). Di Asia Tenggara, sepuluh dari sebelas
negara merupakan negara endemis malaria, termasuk Indonesia (WHO, 2011).
Pada tahun 2009, Kejadian Luar Biasa (KLB) dilaporkan terjadi di Pulau Jawa
(Jawa tengah, Jawa Timur, dan Banten), Kalimantan (Kalimantan Selatan),
Sulawesi (Sulawesi Barat), NAD dan Sumatera (Sumatera Barat, Lampung)
dengan total jumlah penderita adalah 1.869 orang dan meninggal sebanyak 11
orang (Kemenkes, 2011).
Beberapa upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian telah
dilakukan melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain
meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans, dan pengendalian
vektor yang kesemuanya ditujukan untuk memutuskan mata rantai penularan
malaria (Kemenkes, 2011). Namun saat ini telah terjadi resistensi terhadap obat
antimalaria dan resistensi nyamuk yang menjadi vektor malaria terhadap
insektisida. Maka dari itu, diperlukan suatu terobosan baru untuk mengatasi
masalah tersebut dimana salah satunya adalah pembuatan vaksin malaria
(Greenwood dan Motabingwa, 2002)
Arah pengembangan vaksin dilakukan dengan beberapa pendekatan yang
berbeda. Hal ini disebabkan siklus hidup parasit malaria yang sifatnya kompleks
(Lavazec et al., 2007). Pada prinsipnya terdapat tiga jenis vaksin yang
dikembangkan berdasarkan stadium perkembangan parasit, yaitu vaksin stadium
pre-eritrositik, vaksin stadium eritrositik (stadium aseksual) dan Transmission
Blocking Vaccine (TBV) (Sharma dan Pathak, 2008). Jenis vaksin terakhir
-
2merupakan salah satu jenis vaksin yang menghambat siklus hidup parasit dengan
menginduksi antibodi yang akan menghalangi parasit untuk berkembang di dalam
tubuh nyamuk sesaat setelah menghisap darah orang yang telah divaksinasi
(Ambarita, 2010). Salah satu kandidat TBV yang dikembangkan adalah berbasis
parasit dengan target diantaranya adalah gametocytes antigen yang diekspresikan
pada gametosit jantan dan betina dan ookinets antigen (Brennan et al., 2000; Titus
et al., 2006; Chattopadhyay dan Kumar, 2009; Ramirez et al., 2009). Beberapa
tahun terakhir perkembangan TBV menunjukkan konsep TBV berbasis vektor
atau vaksin stadium nyamuk (mosquitos stage vaccine) dimana salah satu target
yang digunakan adalah kelenjar saliva vektor (Chattopadhyay dan Kumar, 2009)
Saat nyamuk menghisap darah secara bersamaan saliva nyamuk masuk
dalam sirkulasi inang. Protein imunomodulator dalam saliva nyamuk merupakan
salah satu komponen yang bersifat imunosupresif. Protein ini bekerja dengan cara
mempengaruhi pergeseran respon imun inang ke arah Th2 yang menguntungkan
vektor (Titus et al., 2006). Paparan berulang dari saliva ternyata menunjukkan
pergeseran respon imun dari Th2 ke arah Th1 yang bersifat protektif pada inang.
Penelitian yang dilakukan oleh Donovan et al. (2007) menunjukkan bahwa
paparan berulang dari saliva vektor malaria Anopheles stephensi dapat membatasi
perkembangan pertumbuhan Plasmodium yoelii di dalam tubuh hewan coba
dengan cara mempengaruhi respon imun sistemik maupun lokal. Penelitian lain
yang menggunakan kelenjar saliva vektor sand flies pada Leishmaniasis juga
menunjukkan adanya hambatan pertumbuhan patogen pada hewan coba
(Kamhawi et al., 2000). Penelitian ini mendasari hipotesis bahwa kelenjar saliva
vektor malaria dapat mencegah terjadinya penyebaran parasit sehingga dapat
dijadikan sebagai salah satu kandidat untuk pengembangan TBV melawan
malaria.
Vektor yang berperan dalam penyebaran malaria adalah nyamuk
Anopheles betina. Jumlah spesies Anopheles di Indonesia mencapai 80 species, 24
diantaranya merupakan vektor malaria. Salah satu dari vektor malaria tersebut
adalah Anopheles sundaicus (Dale, 2005). Anopheles sundaicus merupakan salah
satu vektor utama penyebaran malaria di Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan
-
3Nusa Tenggara (Natadisastra, 2009). Berdasarkan uraian di atas diperlukan adanya
penelitian untuk mengetahui potensi kelenjar saliva vektor malaria Anopheles
sundaicus sebagai salah satu model Transmission Blocking Vaccine (TBV)
melawan malaria.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah derajat
parasitemia mencit galur BALB/c yang divaksinasi dengan vaksin model kelenjar
saliva (fraksi pellet dan supernatan) Anopheles sundaicus?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini diuraikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus:
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui potensi kelenjar saliva Anopheles sundaicus sebagai
salah satu kandidat target dalam pengembangan Transmission Blocking
Vaccine (TBV) berbasis kelenjar saliva vektor melawan malaria.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Membandingkan derajat parasitemia mencit BALB/c yang divaksinasi
dengan vaksin model kelenjar saliva Anopheles sundaicus dengan
kelompok kontrol yang tidak divaksinasi.
2. Membandingkan derajat parasitemia mencit BALB/c pada kelompok
perlakuan pellet dengan kelompok perlakuan supernatan.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini akan memberikan informasi baru mengenai potensi kelenjar
saliva Anopheles sundaicus sebagai salah satu kandidat target dalam
pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV) berbasis kelenjar
saliva vektor melawan malaria.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan harapan baru bagi penanggulangan
malaria di Indonesia.
-
4c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk
penelitian lebih lanjut tentang TBV berbasis kelenjar saliva vektor malaria
Anopheles sundaicus.
-
5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria
2.1.1 Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium
yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di
dalam darah. Demam intermitten, splenomegali dan anemia merupakan
manifestasi klinis dari penyakit ini yang dikenal dengan trias malaria (Harijanto,
2007).
2.1.2 Etiologi
Malaria yang menyerang manusia diakibatkan oleh protozoa dengan genus
Plasmodium, famili Plasmodiiae, ordo Cocidiidaae, subordo Haemosporodiidae,
kelas Aconoidasida dan filum Apicomplexa (Leids Universitair Medisch Centrum,
2008). Plasmodium tidak hanya menginfeksi manusia, tetapi juga menginfeksi
binatang seperti burung, reptil, dan mamalia (Gandahusada, 2006). Empat dari
seratus spesies Plasmodium bersifat infeksius pada manusia yaitu Plasmodium
falciparum (P. falciparum), Plasmodium vivax (P. vivax), Plasmodium ovale
(P.ovale) dan Plasmodium malariae (P. malariae) (Suh et al., 2005). Dalam
beberapa tahun terakhir, kasus malaria pada manusia juga disebabkan oleh
Plasmodium knowlesi. Jenis Plasmodium ini awalnya menyerang beberapa spesies
kera yang terdapat di kawasan hutan tertentu di Asia Tenggara (Malaysia,
Vietnam, Indonesia) (WHO, 2012).
Plasmodium malaria yang sering dijumpai adalah P. falciparum yang
menyebabkan malaria tropika (malignant malaria) dan P. vivax yang
menyebabkan malaria tertiana (benign malaria). Untuk P. ovale dan P. malariae
kasusnya sangat jarang ditemukan di Indonesia (Harijanto, 2007). 86,4 %
penyebab kasus malaria di Indonesia adalah P. falciparum dan 6,9 % disebabkan
oleh P. vivax (Kemenkes, 2010). Plasmodium menginfeksi eritrosit (sel darah
-
6
merah) yang selanjutnya mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan di
eritrosit. Pembiakan seksual terjadi dalam tubuh nyamuk Anopheles betina yang
berperan sebagai vektor utama malaria (Harijanto, 2007).
2.1.3 Distribusi dan Insiden
Malaria ditemukan pada 60o Lintang Utara sampai 32
o Lintang Selatan,
dari ketinggian 2.666 m sampai 433 m di bawah permukaan laut. Daerah yang
sejak semula bebas malaria adalah kawasan Pasifik tengah dan Selatan (Hawaii
dan Selandia Baru) karena di kawasan tersebut tidak terdapat vektor malaria.
Penyakit malaria dikatakan endemi jika secara konstan angka kejadian penyakit
dapat diketahui serta penularan secara alami berlangsung sepanjang tahun.
Dikatakan epidemi jika angka kejadian kasus malaria pada suatu daerah naik
degan cepat di atas level biasa atau jika penyakit secara tiba-tiba terjadi pada suatu
daerah yang sebelumnya bebas malaria. Jika suatu epidemi tersebar pada daerah
luas di luar daerah yang biasa disebut pandemi (Natadisastra, 2009)
Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia,
Amerika, daerah Oceania, dan kepulauan Caribia. Lebih dari 1, 6 triliun manusia
terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200 300 juta dan mortalitas
lebih dari 1 juta pertahun. P. falcifarum dan P. malariae di jumpai pada semua
negara dengan malaria; di Afrika, Haiti, dan Papua Nugini. P. falcifarum dan P.
vivax banyak terdapat di Amerika Latin. Di Amerika selatan, Asia Tenggara,
daerah Oceania, dan India umumnya P. falcifarum dan P. vivax. P. ovale biasanya
hanya terdapat di Afrika. Di Indonesia kawasan timur mulai dari Kalimantan,
Sulawesi Tengah sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya, dan dari Lombok sampai
NTT serta Timor Timur merupakan daerah endemis malaria dengan P. falcifarum
dan P. vivax (Harijanto, 2007)
2.1.4 Siklus Hidup Plasmodium
Infeksi parasit malaria pada manusia dimulai ketika nyamuk Anopheles
betina menggigit manusia dan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah.
Empat puluh lima menit kemudian sebagian besar sporozoit menuju hati dan
-
7
sebagian kecil sisanya mati. Di dalam sel parenkim hati inilah dimulai
perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony atau pre-erithrocytes
schizogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5 hari untuk P. falciparum dan
15 hari untuk P. malariae.
Gambar 2.1 Siklus hidup plasmodium (Sumber : CDC)
Sporozoit dalam sel parenkim hati selanjutnya berkembang menjadi
skizon. Apabila skizon pecah maka merozoit-merozoit dikeluarkan ke sirkulasi.
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan masuk ke dalam eritrosit
melalui reseptor pada permukaan sel eritrosit. Dalam waktu kurang dari 2 jam
parasit berubah menjadi bentuk ring (cincin). Di dalam eritrosit parasit tumbuh
dengan cara memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk
pigmen yang disebut hemozoit serta dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit
berparasit menjadi lebih elastik dan dindingnya berubah menjadi lonjong. Setelah
36 jam invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah menjadi sizon yang apabila pecah
akan mengeluarkan 6-36 merozoit dan siap untuk menginfeksieritrosit yang lain.
-
8
Siklus aseksual pada P. falciparum, P. vivax dan P.ovale adalah 48 jam dan pada
P. malariae adalah 72 jam (Harijanto, 2007).
Di dalam darah, sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan
betina. Apabila nyamuk menghisap darah orang yang sakit maka dimulailah siklus
seksual dalam tubuh nyamuk. Setelah terjadi perkawinan maka akan terbentuk
zygote lalu menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk kemudian
menjadi bentuk ookist. Ookist yang masak mengeluarkan sporozoit yang
bermigrasi ke kelenjar saliva nyamuk dan siap untuk menginfeksi manusia
(Harijanto, 2007).
2.1.5 Patogenesis
Infeksi penyakit malaria dimulai saat nyamuk Anopheles menghisap darah
dan secara bersamaan nyamuk mengeluarkan saliva yang mengandung sporozoit
Plasmodium. Sporozoit masuk ke pembuluh darah akan ikut bersama aliran darah
dan menuju hati. Di hati, sporozoit kemudian membentuk skizon dan jika pecah
akan melepaskan merozoit ke aliran darah. Merozoit yang lepas siap menginfeksi
eritrosit dan membentuk skizon. Skizon yang matang berisi merozoit-merozoit
yang terlepas ke sirkulasi dan siap menginfeksi eritrosit lain. Demam timbul
karena skizon yang pecah mengeluarkan berbagai macam antigen untuk
merangsang sel makrofag, monosit atau limfosit untuk mengeluarkan TNF yang
selanjutnya merangsang hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh untuk
menaikkan suhu tubuh dan terjadilah demam. Selanjutnya merozoit masuk ke
limpa (lien), mengalami infiltrasi dan fagositosis, peningkatan dari kerja lien
menyebabkan terjadinya splenomegali yang merupakan gejala khas pada malaria
kronis (Gandahusada, 2006). Perusakan eritrosit oleh parasit, retikulosit
terhambat, hemolisis akibat kompleks imun, dan eritrofagositosis akan
menyebabkan jumlah eritrosit menurun drastis, dan menimbulkan gejala klinis
anemia (Harijanto, 2007). Parasit dalam eritrosit (EP) mengalami 2 stadium, yaitu
stadium cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam selanjutnya.
Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring
Erytrhrocyte surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium
-
9
matur. Permukaan membran EP akan mengalami penonjolan dan membentuk
knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya.
Selanjutnya bila EP mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa
GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF- dan IL-1
dari makrofag, perlekatan EP stadium matur ke endotel pembuluh darah disebut
sitoadherensi dan membuat penggumpalan atau pengelompokan EP matur yang
diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit disebut rosetting membuat
obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh kapiler yang menyebabkan terjadinya
iskemi jaringan (Harijanto, 2007; Departemen Kesehatan RI, 2008).
2.1.6 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik pada penyakit malaria tergantung dari jenis Plasmodium
yang menginfeksi. Pada umumnya manifestasi klinis yang disebabkan P.
falciparum lebih berat dan lebih akut dibandingkan dengan jenis Plasmodium
yang lain, sedangkan gejala yang disebabkan oleh P. malariae dan P. ovale adalah
yang paling ringan. Penyakit malaria diawali dengan gejala prodromal yang tidak
spesifik, diantaranya lesu, sakit kepala, anoreksia, nausea, dan vomitus.
Gejala khas yang terjadi pada malaria dikenal dengan Trias Malaria
yang meliputi demam intermitten, anemia, dan splenomegali. Demam pada
malaria terjadi karena hancurnya eritrosit pada pembuluh darah dan menghasilkan
pirogen-pirogen. Pirogen-pirogen ini ketika memasuki otak akan merubah set poin
suhu tubuh. Perubahan ini menyebabkan suhu tubuh penderita menjadi berubah-
ubah sesuai tipe malarianya (Fauci et al., 2008). Pada malaria vivax, falciparum,
dan ovale tipe demamnya adalah demam paroksismal tertiana yaitu demam yang
berulang tiap 48 jam atau tiap hari ketiga, terjadi. Sedangkan demam pada malaria
malariae tipe demam yang terjadi adalah demam paroksismal kuartana yaitu
demam yang berulang tiap 72 jam atau tiap hari keempat. Menurut puncak
demamnya jenis demam pada dibedakan menjadi demam intermitten dan demam
remitten. Demam intermitten terjadi jika di antara serangan demam terdapat
periode suhu normal sedangkan demam remitten merupakan demam berulang
tanpa ditemukan periode suhu normal. Serangan demam malaria terjadi selama 2-
-
10
12 jam. Stadium demam terdiri dari 3 stadium yaitu stadium menggigil, stadium
puncak demam, dan stadium sudoris. Pada stadium menggigil, penderita
menggigil kedinginan dan berlangsung selama 15-60 menit. Stadium puncak
demam ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi bisa mencapai 41oC dan
berlangsung selama 2-6 jam. Sedangkan pada stadium sudoris, suhu mulai turun
disertai banyak berkeringat. Suhu tubuh berangsur-angsur kembali normal dan
berlangsung selam 2-4 jam. Dua atau tiga hari kemudian terulang stadium
kembali stadium demam dengan stadium seperti di atas. Lamanya demam untuk
spesies Plasmodium tidak sama. Anemia yang terjadi pada malaria disebabkan
karena perusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoiesis sementara,
hemolisis oleh karena proses complement mediated immune complex,
eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit dan pengaruh sitokin.
Anemia pada malaria memiliki tipe hemolitik, normokrom, normositer. Pada
penderita malaria, sebagian besar eritrosit mengandung parasit. Eritrosit berparasit
ini memiliki bentuk yang berbeda normalnya, sehingga ketika melewati limpa
akan dihancurkan. Splenomegali terjadi karena kongesti aliran darah serta
hipertrofi dan hiperplasi sistem retikuloendotelial yang disebabkan peningkatan
penghancuran eritrosit (Natadisastra, 2009).
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan
pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau menggunakan Rapid
Diagnostic Test (RDT) yang juga disebut tes diagnostik cepat.
Pemeriksaan darah secara mikroskopik bertujuan untuk menentukan ada
tidaknya parasit malaria, spesies dan stadium Plasmodium serta kepadatan parasit
secara semi kuantitatif dan kuantitatif pada preparat yang dibuat. Beberapa
pemeriksaan darah secara mikroskopik yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adalah sebagai berikut:
-
11
a. Tetesan preparat darah tebal.
Pembuatan preparat darah tebal merupakan cara terbaik untuk menemukan
parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah
tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam
membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan
parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan
perbesaran kuat). Preparat dinyatakan negatif bila setelah diperiksa 200 lapang
pandangan dengan perbesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung
parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200
leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit
dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah.
b. Tetesan darah tipis.
Digunakan untuk identifikasi jenis dan stadium plasmodium, bila dengan
preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung
parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang
mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah prasit > 100.000/ul
darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk menentukan
prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan
jumlah parasit normal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leshmans,
atau Fields dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada
beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang
cukup baik.
Pemeriksaan dengan tes diagnostic cepat (Rapid Diagnostic Test)
dilakukan berdasarkan deteksi antigen parasit malaria dengan menggunakan
metode imunokromatografi, dalam bentuk dipstick. Tes ini sangat bermanfaat
pada unit gawat darurat, saat terjadi KLB, dan di daerah terpencil yang tidak
tersedia fasilitas laboratorium (Depkes RI, 2008).
-
12
2.1.8 Penatalaksanaan
Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria
dengan memakai obat ACT (Artemicyn base Combination Therapy). Golongan
Artemisin telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi
Plasmodium yang resisten dengan pengobatan lain seperti Klorokuin,
Sulfadoksin-Pirimetamin (SP), Kina Sulfat, Primakuin, dll. (Harijanto, 2007).
Selain itu hal-hal lain yang menyebabkan Artemisin dipilih sebagai basis terapi
kombinasi pada malaria adalah:
- Kemampuan menurunkan parasitemia lebih cepat 10 kali daripada obat-
obat antimalaria lainnya.
- Mempunyai efek samping yang minimal.
- 2 juta kasus dilaporkan telah diobati dengan basis artemisin tanpa adanya
efek toksik.
- Artemisin diabsorbsi cepat melalui oral.
- Dapat diberi melalui intravena maupun intramuskuler, dengan pemberian 1
kali sehari.
- Belum ada laporan resistensi terhadap artemisin, walaupun sudah lama
digunakan di China (Zein, 2005)
Penggunaan Artemisin secara monoterapi akan mengakibatkan terjadinya
rekrudensi. Maka dari itu WHO memberikan petunjuk untuk mengkombinasikan
Artemisin dengan obat antimalaria yang lain. Kombinasi obat ini dapat berupa
kombinasi dosis tetap (fixed dose combination) atau kombinasi tidak tetap (non-
fixed dose) (Harijanto, 2007). Pada wilayah Indonesia kombinasi obat yang
dianjurkan terdapat pada tabel 2.2
Tabel 2.2. Kombinasi obat malaria
Plasmodium falciparum P. vivax
Tanpa Komplikasi Terapi
Gagal
Malaria
Berat
Hamil Terapi
Tidak Lab-
-
13
terkonfirmasi Konfirmasi
CQ+PQ AS+AQ+P
Q
QN+D+PQ QN/AM QN;
(AS+A
Q-
2nd
+3rd
Trimer
ster)
CQ+PQ
(14d)
AQ: Amodiaquin; AL: Artemehter-Lumefantrin; AS: Artesunat; CQ: Chloroquin; D:
Doksisiklin; PQ: Primaquin; QN: Quinin.
Sumber: WHO (2006)
2.2 Anopheles sundaicus sebagai Vektor Malaria
Vektor penyakit infeksi malaria adalah nyamuk dari genus Anopheles.
Terdapat 80 macam spesies nyamuk Anopheles yang ditemukan di Indonesia, 24
diantaranya berpotensi sebagai vektor dalam penyebaran penyakit malaria. Salah
satu nyamuk Anopheles yang menjadi vektor malaria di Indonesia adalah
Anopheles sundaicus (An.sundaicus) (Dale et al., 2005). Sebaran geografik dari
vektor malaria An. sundaicus di Indonesia adalah di kawasan Sumatera, Jawa,
Sulawesi, dan Nusa Tenggara (Natadisastra, 2009).
An. sundaicus pertama kali ditemukan oleh Rodenwelt pada tahun 1925.
Nyamuk ini umumnya lebih sering menghisap darah manusia daripada darah
binatang. Nyamuk ini aktif menggigit sepanjang malam tetapi paling sering antara
pukul 22.00 01.00 dini hari. Pada waktu malam hari nyamuk masuk ke dalam
rumah untuk mencari darah, hinggap di dinding baik sebelum maupun setelah
menghisap darah (Hiswani, 2004). Ciri morfologi dari nyamuk ini adalah adanya
bercak pada bagian tibia dan femur nyamuk (speck-led), sisik hitam yang terdapat
pada sayap serta persambungan tarsus dan tibia tanpa ada warna putih panjang
seperti pita yang terlihat seperti pada gambar 2.2 (Natadisastra, 2009).
-
14
Gambar 2.2: Anopheles sundaicus (Sumber: boldsystems.org)
Perilaku istirahat nyamuk ini sangat berbeda antara lokasi satu dengan
lokasi yang lainnya. Di pantai selatan pulau Jawa dan pantai Timur Sumatera
Utara, pada pagi hari sedangkan di daerah Cilacap dan lapangan dijumpai mulai
pagi hingga siang hari. Jarak terbang An. sundaicus betina cukup jauh. Pada
musim densitas tinggi masih dijumpai nyamuk betina dalam jumlah cukup banyak
di suatu tempat yang berjarak kurang lebih 3 km dari tempat perindukan nyamuk
tersebut (Hiswani, 2004)
Vektor An. sundaicus umumnya berkembangbiak di air payau yaitu
campuran antara air tawar dan air asin, dengan kadar garam optimum antara 12%-
18%. Penyebaran jentik di tempat perindukan tidak merata di permukaan air,
tetapi terkumpul di tempat-tempat tertutup seperti diantara tanaman air yang
mengapung, sampah dan rumput-rumput di pinggir sungai atau parit (Hiswani,
2004)
Tidak hanya di Indonesia, An. sundaicus merupakan salah satu vektor
utama malaria di kawasan Asia Tenggara dan Selatan, diantaranya adalah di India,
Indonesia, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Mnyanmar, dan Thailand. Nyamuk ini
berperan dalam beberapa kasus malaria di Orissa, India (1930-1940), Vietnam
(1965-1985) dan di Indonesia pada tahun 1985. Nyamuk ini juga berperan dalam
transmisi malaria pada spesies kera di kawasan Kepulauan Andaman (Dusfour et
al., 2004).
-
15
Penelitian mengenai vektor dan kontrol malaria di kawasan Asia tenggara
cenderung difokuskan pada tiga spesies utama vektor malaria, yaitu An. dirus, An.
minimus, dan An. sundaicus. Banyak penelitian telah dilakukan pada spesies An.
dirus dan An. minimus disebabkan nyamuk tersebut tersebar luas di kawasan Asia
tenggara sedangkan belum banyak penelitian untuk spesies An. sundaicus karena
sebagian besar spesies nyamuk ini ditemukan di kawasan pantai (coastal areas)
(Dusfour et al., 2004).
2.3 Peran Saliva Nyamuk dalam Transmisi Patogen
2.3.1 Morfologi Kelenjar Saliva Nyamuk
Saliva nyamuk disekresikan oleh sepasang kelenjar saliva nyamuk yang
terletak di bagian thorax mengapit bagian esofagus nyamuk. Masing-masing
kelenjar terdiri dari 3 lobus, dua lobus terletak di bagian lateral dan satu lobus
terletak di bagian medial.
Gambar 2.3:Kelenjar saliva nyamuk. a. posisi kelenjar saliva nyamuk dari saluran cerna
b. Kelenjar saliva nyamuk Anopheles stephensi dewasa. (A) Tampak seluruh bagian dari kelenjar saliva nyamuk dan (B-F) merupakan regio yang tampak
dari berbagai macam bentuk diseksi (Clements, 2000; Dhar dan Kumar,
2003)
-
16
Pada nyamuk betina lobus lateral dibagi menjadi regio proximal, intermediet dan
distal. Lobus medial nyamuk terdiri dari regio distal dan bagian pendek dari leher
nyamuk. Bagian depan (anterior) dari masing-masing kelenjar telah dipersarafi
dan terletak pada persambungan fore-gut dan midgut. Masing-masing lobus
memiliki central ductus yang disusun oleh satu lapis sel epitel yang melekat
dengan lamina basal externa. Bagian apikal dari regio posterior kelenjar saliva
nyamuk betina berperan penting dalam proses sekresi saliva. Pada nyamuk jantan
kelenjar saliva berukuran lebih kecil daripada nyamuk betina (Dhar dan Kumar,
2003)
2.3.2 Respon Imun Saliva Vektor
Infeksi malaria dimulai ketika nyamuk Anopheles betina menghisap darah
dan disaat yang sama saliva nyamuk juga ikut masuk bersama sporozoit ke dalam
tubuh inang (Brennan et al., 2000). Saliva nyamuk mengandung komponen
protein imunomodulator dan vasomodulator yang berguna untuk memperlancar
transmisi patogen dari vektor ke tubuh hospes selama proses blood feeding (Dhar
dan Kumar, 2003).
Kerusakan pembuluh darah saat nyamuk menghisap darah menyebabkan
terjadinya respon hemostasis yang terdiri dari vasokonstriksi, agregrasi platelet,
dan serangkaian proses kaskade koagolasi seperti yang terlihat pada gambar 2.4
(Andrade et al., 2005). Serangkaian reaksi tersebut dapat dihambat oleh adanya
komponen vasomodulator yang terdapat dalam saliva nyamuk. Komponen
vasomodulator dalam saliva diantaranya adalah peroksidase, anophelin, dan
hamdarin. Faktor peroksidase menghambat vasokonstriksi, faktor anopheline
berfungsi sebagai alpha thrombin inhibitor yang menghambat agregasi platelet,
dan faktor hamdarin berfungsi dalam menghambat kaskade koagulasi (Fontaine
et al., 2011). Selain menimbulkan respon hemostasis, kerusakan pembuluh darah
juga mampu membangkitkan respon imun hospes berupa aktivasi respon imun
nonspesifik (innate immunity) untuk perbaikan jaringan dan mengeliminasi
patogen dan respon imun spesifik (adaptive immunity) menghasilkan antibodi
melawan patogen spesifik (Andrade et al., 2005).
-
17
Gambar 2.4 Peran protein saliva vektor arthropoda dalam memodulasi respon hemostasis pada hospes (Sumber: Fontaine et al., 2011)
Pengaruh protein imunomodulator dalam saliva nyamuk terhadap respon
imun inang adalah menyebabkan pergeseran respon imun selular dari Th1 ke arah
Th2 yang lebih menguntungkan vektor (Titus et al., 2006). Paparan berulang
saliva nyamuk menyebabkan perubahan respon imun inang dengan adanya
peningkatan respon imun dari Th2 ke arah Th1 yang lebih menguntungkan inang
dan memberikan respon protektif pada inang (Donovan et al., 2007). Sel Th1
menghasilkan sitokin IFN- dan IL-2 yang akan menstimulasi sel sitotoksik dan
makrofag dalam imunitas seluler. Sebaliknya sel Th 2 menghasilkan sitokin IL-4,
IL-10 dan sitokin lain (IL-3, IL-5, IL-13) yang menstimulasi sel B untuk
menghasilkan imunoglobulin. Hubungan sitokin yang dihasilkan sel Th 1 dan sel
Th 2 ini bersifat timbal balik, IFN- menghambat perkembangan sel Th 2 sedang
IL-4 menghambat perkembangan dan aktivitas sel Th 1 (Baratawidjaja dan
Rengganis, 2009).
-
18
2.4 Perkembangan Vaksin Malaria
Salah satu upaya strategis pengendalian malaria yang saat ini sedang
intensif dikembangkan adalah pengembangan vaksin malaria. Tantangan utama
dalam pengembangn vaksin malaria yang efektif adalah kemampuan memberikan
perlindungan terhadap berbagai macam bentuk parasit malaria. Oleh karena
parasit malaria bersifat sangat kompleks, maka arah pengembangan vaksin
dilakukan dengan beberapa pendekatan yang berbeda (Ambarita, 2010).
Pada awal pengembangan vaksin, upaya yang dilakukan pada fase pra-
eritrosit, yaitu periode parasit dalam bentuk sporozoit yang masuk ke dalam
pembuluh darah dan masuk ke dalam organ hati, yang selanjutnya mengalami
perkembangan hingga matang dan memulai proses multiplikasi. Saat ini,
dikembangkan tiga jenis kandidat vaksin untuk malaria, yaitu;
a. Vaksin pre-eritrositik (pre-erytrhocytic vaccine)
Kandidat vaksin pra-eritrositik ditujukan untuk melindungi terjadinya
infeksi awal malaria, yaitu masa dimana parasit masuk atau berkembang dalam
sel-sel hati penderita. Vaksin ini akan merangsang respon imun yang tidak hanya
mencegah terjadinya infeksi namun juga mampu menyerang sel hati yang
terinfeksi jika memang telah terjadi penularan. Kandidat vaksin ini mencakup:
- Rekombinan ataupun protein hasil rekayasa genetika ataupun antigen
yang berasal dari permukaan parasit ataupun yang berasal dari sel hati
yang terinfeksi
- DNA vaksin yang mengandung informasi genetik untuk memproduksi
antigen di dalam resipien vaksin
- Vaksin berupa parasit hidup yang telah dilemahkan dalam bentuk
sporozoit dan merupakan komponen utama vaksin (Ambarita, 2010).
b. Vaksin fase darah (blood stage vaccine)
Kandidat vaksin fase-darah ditujukan pada parasit malaria dalam bentuk
yang paling destruktif, yaitu masa terjadinya replikasi parasit dalam eritrosit.
Vaksin ini tidak ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi namun diharapkan
dapat menurunkan jumlah parasit dalam darah sehingga bisa mengurangi tingkat
-
19
keparahan penyakit. Bukti-bukti sebelumnya mengindikasikan bahwa seseorang
yang sering terkena malaria maka dalam tubuhnya akan terbentuk imunitas alami
dalam kurun waktu tertentu. Target vaksin yang mengandung antigen ataupun
protein yang berasal dari permukaan parasit (fase darah/merozoit) adalah
merangsang tubuh untuk membentuk imunitas alami sehingga meminimalisir
resiko terkena sakit (Ambarita, 2010).
c. Vaksin penghambat penularan Transmission Blocking Vaccine (TBV).
Vaksin penghambat penularan mencegah transmisi malaria dengan
menginduksi antibodi dari antigen stadium seksual parasit, yang berkembang
dalam midgut nyamuk. Antibodi yang dihasilkan akan menghambat pertumbuhan
parasit dalam tubuh nyamuk (Carter et al., 2000). Vaksin ini tidak dapat
mencegah seseorang untuk tertular malaria serta tidak juga mengurangi gejala
penyakit. Peran krusialnya adalah membatasi penyebaran infeksi oleh nyamuk
terhadap orang yang sehat (Ambarita, 2010). Beberapa tahun terakhir
perkembangan TBV menunjukkan berkembangnya konsep TBV berbasis vektor
atau vaksin stadium nyamuk (mosquitos stage vaccine) dengan target midgut atau
kelenjar saliva nyamuk yang mampu menghasilkan antibodi dan membatasi
pertumbuhan parasit pada host (Chattopadhyay dan Kumar, 2009).
2.5 Transmission Blocking Vaccine sebagai Penanggulangan Malaria
Transmission Blocking Vaccine (TBV) merupakan satu strategi dalam
penanggulangan penyakit malaria karena dapat digunakan sebagai pembangkit
antibodi host guna melawan vektor yang terlibat dalam pengembangan patogen
(Kubler-Kielb et al.,2007). TBV berbasis parasit mampu menghambat transmisi
malaria dari manusia ke vektor malaria melalui pencegahan pertumbuhan parasit
dalam midgut nyamuk. Antibodi yang terbentuk dalam tubuh host sebagai hasil
dari pengaruh vaksinasi diduga kuat mampu membunuh gametosit dalam tubuh
host atau membuhuh saat gametosit dan antibodi tertelan masuk ke midgut
nyamuk. Tidak seperti jenis vaksin lainnya, antibodi yang ditimbulkan oleh TBV
membunuh parasit di luar tubuh orang yang divaksinasi (Gambar 2.3). Oleh
-
20
karena itu vaksin ini tidak dibuat untuk melindungi individu yang telah
divaksinasi akan tetapi melindungi individu yang belum terinfeksi oleh malaria
(Sharma dan Pathak, 2008)
Gambar 2.5 Skema hipotesis mekanisme kerja TBV. I: Individu sehat (biru) dan
terinfeksi (merah) diimunisasi antigen TBV; II: vektor menghisap darah
yang terinfeksi yang mengandung ikatan spesifik antigen-antibodi TBV; III: Antibodi spesifik diproduksi untuk melawan pathogen dalam tubuh;
IV: Pencegahan transmisi ke inang yang belum terinfeksi (Sumber:
Coutinho-Abreu dan Ramalho-Ortigao, 2010)
Salah satu kandidat TBV yang dikembangkan adalah berbasis parasit
dengan target diantaranya adalah gametocytes antigen yang diekspresikan pada
gametosit jantan dan betina dan ookinets antigen (Brennan et al., 2000; Titus et
al., 2006; Chattopadhyay dan Kumar, 2009; Ramirez et al., 2009). Gametocytes
antigen atau prefertilization antigens yang telah ditemukan antara lain protein
antigen Psf48/45 dan Psf230. Antigen ini terletak pada permukaan gametosit
jantan dan gametosit betina. Ookinets antigens atau postfertilization antigens
merupakan protein-protein yang diekspresikan pada permukaan zygot dan ookinet
parasit. Psf25 dan Psf28 merupakan beberapa protein ookinet yang sudah berhasil
diklon dari spesies Plasmodium. Protein-protein tersebut berpotensial sebagai
-
21
kandidat TBV yang menghasilkan antibodi untuk menghambat pertumbuhan
ookist dalam midgut nyamuk (Saxena et al., 2007).
Strategi baru yang potensial dikembangkan adalah pengembangan TBV
berbasis vektor atau vaksin stadium nyamuk (mosquito vaccine stadium) dengan
target midgut atau kelenjar saliva nyamuk. Kandidat untuk vaksin ini merupakan
protein yang diekspresikan oleh midgut maupun enzim midut yang berperan
dalam mencerna darah dan reseptor parasit yang diekspresikan oleh sel epitel
midgut atau kelenjar saliva (Coutinho-abreau dan Ramalho-ortigao, 2010).
Contoh protein midgut atau kelenjar saliva yang digunakan sebagai kandidat TBV
antara lain tripsin, CPBAg1, N1(AgAPN1), saglin, dan lain-lain (Chattopadhyay
dan Kumar, 2009). Perkembangan TBV berbasis vektor tidak hanya mengarah
pada menghambat pertumbuhan parasit dalam tubuh nyamuk tetapi juga
mengurangi morbiditas dan mortalitas individu yang terpapar. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Donovan et al. (2007) menunjukkan bahwa paparan berulang
dari saliva nyamuk Anopheles stephensi ternyata dapat membatasi perkembangan
parasit P.yoelli di dalam tubuh hewan coba dengan cara mempengaruhi respon
imun sistemik maupun lokal. Respon tubuh berupa peningkatan aktivitas Th1
yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan IFN-, IL-12 dan iNOS dan
penurunan kadar IL-4. Adanya pergeseran respon imun ke arah Th-1 lebih efektif
untuk melawan malaria (Donovan et al., 2007). Pada penelitian lain, paparan
saliva vektor sand flies pada Leishmaniasis juga menunjukkan adanya hambatan
pertumbuhan patogen pada hewan coba (Kamhawi et al., 2000). Hal ini
menimbulkan hipotesa bahwa saliva nyamuk mampu memberikan efek proteksi
pada hewan coba dengan mempengaruhi respon imun inang.
Jenis molekul yang berperan dalam kandidat TBV sebagai vaksin
malaria yang efektif harus memiliki beberapa sifat-sifat yang penting untuk
diperhatikan. Molekul antigen pada vaksin mampu untuk menginduksi kenaikan
antibodi host sebagai respon terhadap patogen yang masuk dalam tubuh (Kubler-
Kielb et al., 2007). Di samping itu, vaksin yang terdiri dari kombinasi antigen dan
adjuvan harus cukup aman digunakan sehingga terhindar dari efek samping yang
terjadi sesaat setelah imunisasi (Saul et al., 2007). Molekul antigen untuk kandidat
-
22
vaksin TBV juga harus memiliki sifat polimorfisme yang rendah. Vaksin TBV
yang efektif juga bisa dibuat dari kombinasi antigen berbeda karena respon
antibodi terhadap antigen kombinasi tersebut diduga dapat menghasilkan respon
yang lebih baik (Coutinho-Abreu dan Ramalho-Ortigao, 2010).
-
23
2.6 Kerangka Konseptual
Keterangan :
Diteliti :
Tidak diteliti :
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium.
Siklus hidup Plasmodium memerlukan Anopheles sebagai vektornya. Anopheles
sundaicus (An. sundaicus) merupakan satu diantara banyaknya spesies Anopheles
Plasmodium
Vektor Malaria
An. sundaicus
Terinfeksi Tidak terinfeksi
Kelenjar saliva
An. sundaicus
Protein imunomodulator Vasomodulator
Vaksin: TBV
Derajat Parasitemia host
malaria
-
24
yang berperan sebagai vektor malaria. Salah satu target potensial TBV berasal
dari kelenjar saliva nyamuk An. sundaicus yaitu protein imunomodulator dan
vasomodulator. Diharapkan paparan berulang ekstrak kelenjar saliva nyamuk An.
sundaicus sebagai model vaksin TBV dapat membangkitkan respon imun pada
hewan coba sehingga mampu menghambat pertumbuhan parasit malaria.
Perbedaan ini dapat ditunjukkan dengan membandingkan derajat parasitemia
kelompok perlakuan yang divaksinasi ekstrak kelenjar saliva An. sundaicus
dengan kelompok kontrol yang tidak divaksinasi.
2.7 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah adanya perbedaan derajat parasitemia
mencit galur BALB/c yang divaksinasi dengan vaksin model kelenjar saliva An.
sundaicus pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol
yang tidak divaksinasi.
-
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris. Penelitian
eksperimental merupakan kegiatan percobaan (experiment) yang bertujuan untuk
mengetahui suatu pengaruh yang timbul akibat perlakuan tertentu (Notoatmodjo,
2002)
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Dasar, Laboratorium
Mikrobiologi, dan Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Jember. Waktu penelitian
dilakukan selama bulan Oktober Desember 2012.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah mencit betina galur BALB/c berusia 6-8
minggu.
3.3.2 Sampel Penelitian
Besar sampel penelitian ditentukan berdasarkan rumus Federer: (t-1)(n-1)
15, dimana t adalah banyaknya kelompok perlakuan, dan n adalah jumlah
sampel per kelompok perlakuan. Jumlah perlakuan yang digunakan sebanyak tiga
kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok pellet, dan kelompok supernatan.
Dari rumus tersebut didapatkan jumlah minimal mencit yang digunakan sebanyak
9 ekor mencit. Untuk menghindari adanya mencit ulangan yang mati, maka
digunakan 15 ekor untuk masing-masing kelompok sehingga jumlah total sampel
adalah 45 ekor mencit. Kelompok Kontrol (K): diinjeksi Phosphate Buffer Saline
(PBS) yang dicampur dengan adjuvan aluminum hidroksida. Kelompok Pellet (P):
divaksinasi dengan vaksin model pellet kelenjar saliva An. sundaicus yang
-
26
dicampur dengan adjuvan aluminum hidroksida. Kelompok Supernatan (S):
divaksinasi dengan vaksin model supernatan kelenjar saliva An. sundaicus yang
dicampur dengan adjuvan aluminum hidroksida.
3.4 Variabel Penelitian
Variabel-variabel dari penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas yaitu kelenjar saliva nyamuk An. sundaicus.
2. Variabel kontrol yaitu jenis kelamin, galur, usia, perlakuan, lama waktu
pemeliharaan hewan coba dan Plasmodium berghei.
3. Variabel terikat yaitu derajat parasitemia mencit galur BALB/c yang
diamati dengan menggunakan mikroskop perbesaran objektif 100x.
3.5 Definisi Operasional
3.5.1 Kelenjar saliva An. sundaicus merupakan salah satu organ tubuh nyamuk
yang berfungsi untuk menghasilkan saliva. Kelenjar saliva ini juga
berperan dalam transmisi parasit dan merupakan perantara penting bagi
nyamuk selama proses blood feeding. Isolasi kelenjar saliva untuk
preparasi vaksin dilakukan dengan metode microdissection.
3.5.2 Derajat parasitemia adalah jumlah kuantitatif parasit Plasmodium berghei
dalam darah mencit yang dihitung dari ratio jumlah eritrosit terinfeksi tiap
seribu eritrosit dan dinyatakan dalam persen (%). Derajat parasitemia
dilihat dari hapusan darah berasal dari ekor mencit yang diwarnai dengan
pengecatan Giemsa. Penghitungan derajat parasitemia dilakukan di bawah
mikroskop Olympus dengan perbesaran objektif 100x menggunakan
minyak emersi.
3.5.3 Vaksin model pellet adalah vaksin yang didapatkan dari isolat kelenjar
saliva An. sundaicus yang diproses dengan metode freez and thaw,
homogenisasi, water sonication, dan sentrifugasi. Endapan hasil dari
sentrifugasi dicampur dengan adjuvan alumunium hidroksida dan
digunakan sebagai vaksin model pellet. Pembuatan vaksin ini dilakukan di
ruangan steril (laminar)
-
27
3.5.4 Vaksin model supernatan adalah vaksin yang didapatkan dari isolat
kelenjar saliva An. sundaicus yang diproses dengan metode freez and
thaw, homogenisasi, water sonication, dan sentrifugasi. supernatan hasil
dari sentrifugasi dicampur adjuvan aluminum hidroksida dan digunakan
sebagai vaksin model supernatan. Pembuatan vaksin ini dilakukan di
ruangan steril (laminar).
3.6 Rancangan Penelitian
Keterangan:
S : Sampel
K : Kelompok Kontrol
PP : Kelompok Perlakuan Pellet
PS : Kelompok Perlakuan Supernatan
IM 1 : Imunisasi I
IM 2 : Imunisasi II
IM 3 : Imunisasi III
IN : Inokulasi Plasmodium berghei
DP 2 : Derajat Parasitemia pada hari ke-2
DP 3 : Derajat parasitemia pada hari ke-3
DP 4 : Derajat Parasitemia pada hari ke-4
DP 5 : Derajat parasitemia pada hari ke-5
DP 6 : Derajat parasitemia pada hari ke-6
S
K
Pp IM 1 IM 2 IM 3 IN
DP 2
DP 3
DP 4
DP 5
DP 6
DP 7
PS
-
28
DP 7 : Derajat parasitemia pada hari ke-7
3.7 Instrumen Penelitian
3.7.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang mencit,
tempat untuk pembedahan mencit, gunting bedah, pinset, jarum pentul, disposible
syringe 1 cc, tabung eppendorf, pipet, mikropistil, satu set mikropipet, Yellow tip,
Blue tip, White tip, vacutainer heparin, ice bag, ice pack, lemari es, autoclave,
vortex, laminar air flow, api bunsen, tabung valcon, pH meter, magnetic stirrer,
hemositometer, mikroskop cahaya, stereoscopic microscope, object glass, cover
glass, label, beaker glass, alumunium foil, toples tertutup, steroform, tissue, kapas,
masker, hand scone.
3.7.2 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah salivary gland
Anopheles sundaicus, isolat Plasmodium berghei, darah intrakardial mencit donor
terinfeksi Plasmodium berghei, Phosphate Buffer Saline (PBS), adjuvan
aluminum hidroksida, freezing solution, medium plus, medium complete,
chloroform, alkohol 70%, cat Giemsa, Buffer Giemsa, methanol, aquades, dan
minyak emersi.
3.8 Prosedur Penelitian
3.8.1 Preparasi Kelenjar Saliva
Pengambilan kelenjar saliva dari nyamuk betina Anopheles sundaicus
dilakukan dengan metode microdissection di bawah mikroskop. Jumlah kelenjar
saliva sebanyak 1.500 pasang kelenjar saliva dalam larutan Phosphate Buffer
Saline (PBS) disimpan pada suhu -20oC.
3.8.2 Preparasi Hewan Coba
Empat puluh lima mencit galur BALB/c berusia 6-8 minggu dibagi
menjadi tiga kelompok. Sebelumnya mencit tersebut diaklimatisasi dahulu selama
-
29
1 minggu di kandang mencit Laboratoratorium Zoologi Fakultas MIPA
Universitas Jember. Masing-masing kelompok berisi 15 ekor mencit. Kelompok
pertama berperan sebagai kelompok kontrol dan divaksinasi dengan Phosphate
Buffer Saline (PBS) dicampur dengan adjuvan aluminum hidroksida. Kelompok
kedua merupakan kelompok perlakuan pellet yang divaksinasi dengan vaksin
model pelet kelenjar saliva An. sundaicus dicampur dengan adjuvan aluminum
hidroksida. Kelompok ketiga merupakan kelompok perlakuan supernatan yang
divaksinasi dengan vaksin model supernatan kelenjar saliva An. sundaicus
dicampur dengan adjuvan aluminum hidroksida.
3.8.3 Preparasi Vaksin Model Kelenjar Saliva An. sundaicus dan Vaksinasi
Isolat kelenjar saliva nyamuk An. sundaicus dalam larutan PBS yang
sebelumnya disimpan pada suhu -20oC. Melalui proses freez and thaw, isolat
beku tersebut dicairkan dengan cara dimasukkan ke dalam air mendidih selama 3
menit. Setelah melalui proses freez and thaw sampel dihomogenisasi dengan
menggunakan mikropistil sampai homogen. Sampel dikatakan telah homogen
apabila sudah tampak jernih saat dilihat di bawah mikroskop. Sampel kemudian
dihomogenisasi untuk kedua kalinya dengan water sonication selama 30 menit.
Sampel selanjutnya disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 14.000 rpm
pada suhu 4oC untuk memisahkan bagian pellet dan supernatan kelenjar saliva An.
sundaicus. Pellet dan supernatan hasil sentrifugasi kemudian diambil dengan
mikropipet dan dimasukkan dalam tabung falcon yang berbeda kemudian
disimpan pada suhu -20oC. Sebelum vaksinasi masing-masing pellet dan
supernatan ditambah dengan adjuvan aluminum hidroksida
Vaksinasi pada mencit dilakukan 3 kali, yaitu Imunisasi I, II, dan III dengan
interval 2 minggu. Setiap kali vaksinasi, mencit diinjeksi 100 l vaksin dengan
menggunakan disposible syringe 1 cc secara subkutan di femur bagian luar tepat
di bawah lapisan kutaneus mencit.
-
30
3.8.4 Preparasi Plasmodium berghei
Isolat Plasmodium berghei (P. berghei) diperoleh dari mencit donor
melalui proses pasase. Mencit donor ini sebelumnya telah diukur derajat
parasitemianya hingga mencapai 15 %. Darah dari mencit donor diambil melalui
proses pembedahan dibagian thorax dilanjutkan dengan pengambilan darah secara
intrakardial. Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan disposible
syringe 1 cc yang ditusukkan di jantung. Darah yang diambil kemudian
dimasukkan dalam vacutainer heparin supaya darah tidak membeku. Darah yang
diperoleh dicampur dengan larutan PBS sampai diperoleh pengenceran 104.
Larutan tersebut lalu dimasukkan dalam hemositometer kemudian dihitung jumlah
eritrositnya (n) di bawah mikroskop dengan perbesaran objektif 40x.
Karena terdapat pengenceran, maka didapatkan hasil perhitungan jumlah
eritrosit (a) = n x 104 x 10
4 . Setelah diperoleh jumlah eritrosit, dihitung
pengencerannya dengan rumus sebagai berikut:
Selanjutnya dihitung jumlah darah yang akan diambil dengan rumus:
Darah yang diperoleh kemudian ditambah dengan medium plus. Campuran
tersebut tersebut dimasukkan dalam disposable syringe 1 cc dan siap untuk
diinjeksikan.
3.8.5 Inokulasi Plasmodium berghei pada Hewan Coba
Inokulasi (infeksi) P. berghei pada masing-masing kelompok mencit
donor dilakukan 2 minggu pasca Imunisasi III. Setiap mencit diinjeksi isolat P.
berghei yang telah diencerkan sebanyak 200 l secara intraperitonial.
Jumlah Pengenceran =
Jumlah darah yang diambil =
-
31
3.8.6 Penghitungan Derajat Parasitemia
Penghitungan derajat parasitemia pada mencit BALB/c yang telah
diinfeksi P. berghei dilakukan 48 jam pasca infeksi yang dilanjutkan dengan
penghitungan pada hari ke-2 sampai hari ke-7. Sebelum penghitungan, dilakukan
pembuatan preparat hapusan darah tepi yang berasal dari ekor mencit dengan
pewarnaan Giemsa. Hapusan darah yang sudah kering kemudian diamati di bawah
mikroskop Olympus dengan perbesaran objektif 100x menggunakan minyak
emersi. Derajat parasitemia diukur dengan menghitung jumlah eritrosit terinfeksi
P. berghei setiap 1000 eritrosit. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:
Derajat Parasitemia= x 100 %
-
32
3.9 Alur Penelitian
Preparasi Vaksin
Imunisasi I
Imunisasi II
Interval 2 minggu
Imunisasi III
Inokulasi P. berghei
Pengamatan Derajat Parasitemi
(Hari 2-7)
Data
Interval 2 minggu
Interval 48 jam
Isolasi kelenjar saliva Anopheles sundaicus
Interval 2 minggu
Adjuvan aluminum
hidroksida + PBS Vaksin Model
Supernatan Kelenjar
Saliva An. sundaicus
Vaksin Model Pellet
Kelenjar Saliva An.
sundaicus
Kelompok
Kontrol
Kelompok
Pellet
Kelompok
Supernatan
-
33
3.10 Penyajian Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dicatat dalam buku catatan (log
book) dan disimpan dalam komputer. Data ditampilkan dalam bentuk diagram
kemudian dijelaskan secara diskriptif.
-
34
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil penelitian
4.1.1 Isolasi Kelenjar Saliva Anopheles sundaicus
Seribu lima ratus pasang kelenjar saliva diisolasi dari nyamuk An.
sundaicus betina yang didapatkan dari kawasan pantai Kenagarian Sungai Pinang,
Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Isolasi dilakukan dengan metode
microdissection menggunakan entomological needles. Setiap 50 pasang kelenjar
saliva dalam larutan PBS dimasukkan dalam tabung eppendorf kemudian
disimpan pada suhu -20oC. An. sundaicus memiliki sepasang kelenjar saliva yang
terletak di bagian depan thorax dimana masing-masing kelenjar saliva terdiri atas
tiga lobus dengan duktus yang bermuara pada salivary pump seperti pada gambar
4.1. Masing-masing kelenjar saliva terdiri dari 2 lobus lateral dan 1 lobus medial.
Lobus lateral terdiri dari bagian proksimal dan distal sedangkan lobus medial
hanya terdiri dari satu bagian.
Gambar 4.1 Hasil isolasi kelenjar saliva An. sundaicus. PL: proksimal lateral lobe , DL: distal lateral lobe, ML: medial lobe. Mikroskop: KYOWA No.701113
(perbesaran 100x)
4.1.2 Preparasi Vaksin dan Vaksinasi
Isolat kelenjar saliva beku dalam larutan PBS dicairkan dengan cara freez
and thaw, dihomogenisasi dengan mikropistil dan selanjutnya disonikasi
Lobus
Lateral
Lobus
Lateral
Lobus
Medial
-
35
menggunakan water sonication. Sampel selanjutnya disentrifugasi sehingga
bagian pellet dan supernatan terpisah. Volume pellet hasil sentrifugasi yang
didapatkan sebanyak 3000 l. Volume supernatan yang didapatkan sebanyak 23,5
ml. Jumlah supernatan tersebut kemudian disentrifugasi lagi sehingga didapatkan
volume akhir supernatan sebanyak 3000 l. Sebelum vaksinasi, pellet dan
supernatan masing-masing ditambah adjuvan aluminum hidroksida dengan
perbandingan volume 1:1. Vaksin model pellet terdiri dari 800l pellet kelenjar
saliva ditambah dengan 800l adjuvan aluminum hidroksida untuk setiap kali
vaksinasi dan selanjutnya diinjeksi pada mencit kelompok perlakuan pellet.
Vaksin model supernatan terdiri dari 800l supernatan kelenjar saliva ditambah
dengan 800l adjuvan aluminum hidroksida untuk setiap kali vaksinasi. dan
selanjutnya diinjeksi pada mencit kelompok perlakuan supernatan. Kelompok
kontrol diberikan campuran larutan PBS dengan adjuvan aluminum hidroksida.
Campuran terdiri 800l larutan PBS ditambah dengan 800l adjuvan aluminum
hidroksida. Proses pembuatan vaksin dilakukan di ruangan steril (laminar).
Vaksinasi dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu untuk setiap
kali vaksinasi adalah 2 minggu. Vaksin diinjeksi secara subkutan di femur bagian
luar mencit. Masing-masing volume vaksin model untuk tiap mencit adalah 100l.
4.1.3 Derajat Parasitemia
Derajat parasitemia ditentukan dengan cara menghitung jumlah eritrosit
terinfeksi setiap 1000 eritrosit dan dinyatakan dalam persen (%). Eritrosit
terinfeksi mengandung satu atau lebih ringform, memiliki dinding yang lebih
elastis serta ukuran sel yang lebih besar daripada eritrosit normal (Gambar 4.2).
Penghitungan derajat parasitemia dilakukan 2 kali yaitu dengan ulangan populasi
dan ulangan individu. Hasil penghitungan persentase derajat parasitemia tiap
populasi dan tiap individu ditampilkan dalam gambar 4.4 dan 4.5.
-
36
Gambar 4.2 Hapusan darah mencit pasca inokulasi Plasmodium berghei. Anak panah
menunjukkan eritrosit yang terinfeksi parasit.
Gambar 4.3 Grafik perkembangan derajat parasitemia (%) pada populasi (n=3) dalam
kelompok. K: Kelompok kontrol; P: Kelompok perlakuan pellet; S: Kelompok perlakuan supernatan.
-2.00
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
2 3 4 5 6
Der
aja
t P
ara
site
mia
(%
)
Hari ke-
K
P
S
-
37
Gambar 4.4 Grafik perkembangan derajat parasitemia (%) dengan ulangan individu. K: individu pada kelompok kontrol; P: individu pada kelompok perlakuan
pellet; S: individu pada kelompok perlakuan supernatan.
Berdasarkan kedua grafik di atas semakin hari derajat parasitemia semakin
meningkat. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada hari ke-6 kelompok
perlakuan pellet memiliki kecenderungan derajat parasitemia yang lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok perlakuan supernatan dan kelompok kontrol.
Sedangkan kelompok perlakuan supernatan mengalami kecenderungan lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Besarnya persentase derajat parasitemia kedua grafik diatas cenderung
tidak sama. Hal ini karena pada grafik ulangan individu data diperoleh dari
perkembangan derajat parasitemia 1 mencit dari tiap kelompok. Preparat hapusan
darah dari 1 sampel tersebut dihitung sebanyak 3 kali kemudian dihitung nilai
rata-ratanya. Penghitungan ulang sebanyak 3 kali pada tiap sampel (individu)
dilakukan untuk mengoreksi distribusi parasit pada sediaan hapusan darah yang
cenderung tidak merata. Nilai derajat parasitemia pada ulangan populasi
merupakan akumulasi dari nilai rata-rata pada 3 individu pada satu kelompok.
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
18.0
20.0
2 3 4 5 6
Der
aja
t P
ara
site
mia
(%
)
Hari ke-
K
P
S
-
38
Grafik ulangan populasi juga menampilkan nilai standar deviasi yang
menunjukkan ukuran penyebaran data antar sampel tiap kelompok.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Kelenjar saliva Anopheles sundaicus.
Isolasi kelenjar saliva dilakukan dengan metode microdissection
menggunakan entomological needles dibawah mikroskop stereo (Jariyapan et al.,
2008). Kelenjar saliva yang diisolasi disimpan dalam tabung eppendorf yang
berisi larutan Phosphat Buffer Saline (PBS). Penggunaan buffer pada
penyimpanan isolat kelenjar saliva ini berfungsi untuk menjaga agar sel-sel
kelenjar saliva tidak mengalami destrukturisasi sehingga komponen yang terdapat
didalamnya tidak mengalami malfungsi dan larut (Desmarais et al., 2002;
Ghalanbor et al., 2008).
Anopheles betina mempunyai sepasang kelenjar saliva dan masing-masing
mempunyai 3 lobus yaitu 2 lobus lateral dan satu lobus medial (Gambar 4.5)
(Jariyapan et al., 2007).
Gambar 4.5 Kelenjar saliva Anopheles betina. A: Hasil isolasi kelenjar saliva Anopheles
sundaicus, B: Hasil isolasi kelenjar saliva Anopheles dirus. PL: proksimal lateral lobe , DL: distal lateral lobe, ML: medial lobe (Sumber: Jariyapan et
al., 2007)
Lobus lateral dibagi lagi menjadi regio proksimal dan distal. Setiap lobus
memiliki duktus di bagian tengah yang dindingnya dilapisi oleh selapis sel epitel
dan bagian luarnya merupakan lapisan lamina basalis. Duktus dari masing-masing
B A
Lobus
Lateral
Lobus
Medial
Lobus
Lateral
-
39
lobus menyatu dan bermuara di hipofaring. Bagian anterior dari tiap lobus
diinervasi oleh ganglia ingluvial yang terletak di pertemuan foregut dan midgut
yang mengatur pengeluaran saliva (Dhar dan Kumar, 2003).
Saliva Anopheles betina mengandung dua enzim, apyrase dan alfa-
glocosidase. Enzim ini terakumulasi pada regio distal dan proksimal dari lobus
lateral. Regio distal dari lobus lateral dibutuhkan nyamuk untuk blood feeding.
Enzim Apyrase disintesis dan diakumulasi pada regio spesifik tersebut, dari
kelenjar saliva nyamuk Anopheles betina dan dikaitkan dengan penghambatan
agregasi platelet yang memfasilitasi blood feeding nyamuk. Enzim ini disekresi
oleh kelenjar saliva hanya pada saat blood feeding. Sedangkan untuk alfa-
glucosidase disekresikan hanya pada saat sugar feeding sebagai sugar stablization
(Jariyapan et al., 2007; James, 2003).
4.2.2 Vaksin Model Vaksin dan Vaksinasi
Preparasi model vaksin diawali dengan proses freez and thaw. Freeze and
Thaw merupakan suatu metode untuk melisiskan sel dengan adanya perubahan
suhu secara mendadak sehingga membran sel bengkak (swelling) dan kemudian
pecah menyebabkan protein keluar dari sel (Termo Scientific, 2009). Dalam
penelitian ini, isolat kelenjar saliva beku dalam suhu -20oC dicairkan dengan cara
dimasukkan dalam air mendidih selama 3 menit (Hajipirloo et al., 2005). Untuk
memaksimalkan sel yang lisis guna pengeluaran protein dilakukan homogenisasi.
Mikropistil merupakan hemogenisator mekanik dimana gerakan memutar pistil
secara manual menghasilkan gaya mekanik untuk memecah sel-sel tersebut
sehingga unsur di dalamnya keluar (Murray, 2003). Proses selanjutnya adalah
sonikasi dengan water sonication. Sonikasi merupakan metode untuk melisiskan
sel dengan gelombang suara frekuensi tinggi (20-50 kHz). Gelombang suara ini
menghasilkan energi mekanik yang dapat melisiskan sel. Sampel dalam probe
direndam dalam air dengan suhu yang rendah untuk mencegah denaturasi protein
(Thermo Scientific, 2009). Tujuan dari sonikasi menggunakan water sonicator
adalah untuk menyempurnakan proses homogenisasi kelenjar saliva Anopheles
sundaicus. Sampel yang telah homogen disentrifugasi untuk memisahkan pellet
-
40
dan supernatan. Supernatan yang didapat dari sentrifugasi sebanyak 23,5 ml.
Volume tersebut mengandung terlalu banyak larutan PBS sehingga perlu
dipekatkan lagi. Semakin pekat larutan berarti jumlah protein ekstrak kelenjar
saliva terlarut akan lebih banyak dibandingkan dengan larutan sehingga bisa
memaksimalkan efek vaksin supernatan yang dibuat. Pemekatan dilakukan
dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 2 menit pada
suhu 4oC. Volume akhir supernatan yang didapatkan dari hasil sentrifugasi
sebanyak 3000 l. Volume pellet yang didapatkan sebanyak 3000 l.
Jenis model vaksin yang digunakan dalam penelitian adalah vaksin pellet
dan vaksin supernatan dari ekstrak kelenjar saliva An. sundaicus dimana keduanya
mengandung adjuvan aluminum hidroksida. Adjuvan berasal dari bahasa latin
adjuvare yang berarti membantu atau meningkatkan (Vogel, 1998). Adjuvan
merupakan substansi bukan antigen yang ditambahkan dalam vaksin (Harold dan
Stills, 2005). Penambahan adjuvan dalam vaksin berfungsi untuk membantu
meningkatkan respon imun sehingga meningkatkan efikasi dari vaksin. Sampai
saat ini banyak adjuvan yang telah ditemukan dan diklasifikasikan dalam
beberapa golongan diantaranya adalah mineral salt adjuvants (aluminum
hidroksida dan aluminum phospat), tensoactive adjuvants, bacteria derived
adjuvants, adjuvants emultions (FIA, FCA, Montanide, Adjuvan 65, Lipovant),
liposome adjuvant , polymericmicrosphere adjuvants, cytokines as adjuvants, dan
carbohydrates adjuvants (Petrovsky et al., 2004). Aluminum hidroksida
merupakan adjuvan yang paling banyak digunakan dalam vaksinasi pada manusia
maupun hewan selama lebih dari 60 tahun dan menginduksi respon imun ke arah
Th2. Penggunaan adjuvan ini terutama digunakan dalam vaksinasi pada penyakit
tetanus, difteri, pertusis, hepatitis A, hepatitis B dan poliomyelitis (Linbland,
2004). Adjuvan ini bekerja dengan cara merangsang pembentukan granuloma
kecil yang menyimpan antigen kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit
untuk memperpanjang proses pajanan antigen dengan sistem imun non spesifik
(innate immunity (Coffmann et al., 2010).
Pemisahan bagian pellet dan supernatan kelenjar saliva sebagai komponen
dalam pembuatan vaksin model kelenjar saliva An. sundaicus berhubungan
-
41
dengan kandungan protein pada masing-masing bagian pellet dan supernatan.
Pemisahan kedua bagian tersebut dilakukan dengan cara sentrifugasi yang
memanfaatkan gaya sentrifugal dan gaya gravitasi. Kecepatan proses
pengendapan dipengaruhi oleh berat molekul dan bentuk partikel. Semakin besar
berat molekul yang disentrifuge maka semakin mudah partikel tersebut akan
mengendap (Yuwono, 2005). Bentuk partikel protein berhubungan dengan
kelarutan protein tersebut. Protein globular merupakan protein berbentuk bulat
dengan rantai peptide yang melipat padat dan jenis protein larut dalam air dan
larutan garam, misalnya albumin, globulin, antibodi, dan hampir semua enzim.
Protein fibrosa merupakan bentuk protein yang menyerupai serabut dengan rantai
polipeptida yang memanjang, misalnya kolagen, keratin, fibroin. Umumnya
protein ini tidak larut dalam air dan larutan garam (Sumardjo, 2009). Sentrifugasi
mengakibatkan partikel-partikel yang berbeda ukurannya terpisah pada lapisan
(zone) yang berbeda pada tabung (Yuwono, 2009). Sentrifugasi homogenate sel
dengan kecepatan antara 10.000-20.000 rpm selama 10 menit menghasilkan
bagian pellet yang terdiri dari nukleus, komponen tidak larut (insoluble),
mitokondria, lisosom, peroksisom dan debris sel. Sedangkan bagian supernatan
mengandung garam, mikromolekul, dan komponen terlarut (soluble) dari
sitoplasma (Carprette, 1995). Dengan demikian pemisahan bagian pellet dan
supernatan bertujuan untuk mengetahui potensi dari komponen protein insoluble
pada pellet dan komponen protein soluble pada supernatan.
Vaksinasi (imunisasi) yang dilakukan dalam penelitian ini sebanyak 3 kali
dengan interval setiap kali vaksinasi adalah 2 minggu. Imunisasi I berperan
sebagai pemicu awal, kemudian diperkuat dengan Imunisasi II dan Imunisasi III
(booster) untuk memaksimalkan respon imun terhadap antigen dalam vaksin.
Pada imunisasi I (vaksinasi primer) tubuh akan membentuk respon imun untuk
mengaktivasi sel B dan sel T. Sel B akan bereplikasi membentuk sel memori yang
menghasilkan antibodi. Paparan berulang dari antigen vaksin menyebabkan sel
memori yang dihasilkan lebih banyak sehingga respon imun humoral yang
terbentuk menjadi lebih kuat (Baratawidjaja, 2009).
-
42
Rute vaksinasi pada mencit diberikan secara subkutan di femur bagian
luar. Pemberian secara subkutan dan intramuskular merupakan rute tersering dan
terbaik dalam vaksinasi aktif atau pasif. Suntikan secara intravena dapat
mengurangi respons imun (Baratawidjadja, 2009). Selain itu, injeksi subkutan
direkomendasikan untuk penggunaan aluminum hidroksida sebagai adjuvan
karena efek samping yang timbul apabila diberikan secara subkutan sangat
minimal dibandingkan dengan rute lain (Linbland, 2004). Metode injeksi secara
subkutan juga didasarkan pada cara nyamuk menggigit inang untuk menghisap
darah. Saat proses blood feeding nyamuk akan menempelkan probosisnya pada
kulit inang, menembus connective tissue yang terletak tepat diatas lapisan
subkutan (Fontaine et al., 2011). Hal ini menyebabkan antigen terpajan oleh sel
fagosit Langerhans yang berada pada lapisan subkutan sehingga meningkatkan
interaksi dengan sel-sel kekebalan nonspesifik (Harold dan Stills, 2005).
Volume vaksin model yang diinjeksikan pada masing-masing mencit
sebanyak 100L. Hal ini berkaitan dengan rute pemberian vaksin tersebut. 100
L adalah dosis campuran imunogen dan adjuvan yang direkomend
top related