makalah isi.docx
Post on 30-Nov-2015
121 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Tinjauan Pustaka
MULTIPLE MYELOMA
Oleh:
Adhitya Fajar Prasetya, S. Ked
NIM. I1A006072
Pembimbing:
dr. Muhammad Darwin Prenggono, SpPD K-HOM
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Februari, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
DAFTAR TABEL....................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5
1.1. Latar belakang...........................................................................................5
1.2. Tujuan........................................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................8
2.1. Definisi......................................................................................................8
2.2. Epidemiologi.............................................................................................8
2.3. Etiologi......................................................................................................9
2.4. Patogenesis................................................................................................9
2.4.1. Asal-usul sel plasma ganas................................................................9
2.4.2. Meningkatnya ketidakstabilan kariotipe..........................................11
2.4.3. Lingkungan mikro sumsum tulang pada mieloma...........................11
2.4.4. Gangguan fungsi ginjal....................................................................13
2.4.3. Anemia.............................................................................................14
2.5. Manifestasi klinis....................................................................................16
2.5.1. Anamnesis........................................................................................16
2
2.5.2. Pemeriksaan fisik.............................................................................19
2.6. Pemeriksaan penunjang...........................................................................21
2.6.1. Laboratorium....................................................................................22
2.6.2. Radiologis........................................................................................22
2.7. Penatalaksanaan.......................................................................................25
2.8. Prognosis.................................................................................................27
BAB III PENUTUP...............................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA
3
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel 1. Faktor risiko terjadinya multiple myeloma................................................9
Gambar I. Amiloidosis yang menginfiltrasi lidah pada multiple myeloma...........21
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Multiple myeloma, dikenal pula dengan nama mieloma sel plasma atau
penyakit Kahler, merupakan kanker sel plasma, sejenis sel darah putih yang
normalnya bertanggung jawab untuk produksi antibodi. Kumpulan sel abnormal
tertumpuk di tulang, dan menyebabkan lesi tulang (daerah jaringan abnormal) dan
di sumsum tulang, yang di situ sel-sel tersebut mengganggu produksi sel darah
normal. Sebagian besar kasus myeloma juga memperlihatkan produksi
paraprotein, antibodi abnormal yang dapat menyebabkan masalah ginjal dan
mengganggu produksi antibodi normal yang menyebabkan imunodefisiensi.
Hiperkalsemia (peningkatan kadar kalsium) juga terjadi.1
Di seluruh dunia, multiple myeloma terjadi pada sekitar ±0,8% dari semua
diagnosis kanker dan ±0,9% kematian akibat kanker pada tahun. Insidensi
penyakit ini lebih besar pada pria dibandingkan wanita, dan lebih tinggi di antara
orang Afrika Amerika. Tingkat kejadian pada di antara orang kulit putih Amerika
Serikat, Kanada, dan di sebagian besar negara Eropa hampir sama, sementara di
negara-negara Asia dan orang-orang Tionghoa yang tinggal di Los Angeles dan
Hawaii cenderung lebih rendah daripada penduduk Eropa dan/atau Kaukasia,
kecuali Israel.2-4
Multiple myeloma seringkali didahului oleh masa tanpa keluhan
(asimtomatik). Keluhan yang sering muncul berupa gejala-gejala yang
5
berhubungan dengan anemia, nyeri tulang, dan infeksi. Nyeri tulang yang timbul
dapatg disebabkan oleh gejala-gejala akibat kerusakan pada rangka tulang tubuh,
berupa pembengkakan, nyeri setempat, nyeri hebat yang terus-menerus, dan
fraktur patologis yang dapat terjadi di tulang-tulang tengkorak, vertebra, sternum,
iga, ileum, sakrum, dan pangkal sendi bahu dan panggul, Nyeri bersifat hilang-
timbul, berpindah-pindah, dan menyerupai reumatik, paling sering pada tulang
punggung. Fraktur patologis di tulang punggung menyerupai nyeri pada pleuritis,
gangguan neurologis, deformitas dinding dada, dan berkurangnya tinggi badan
bila kerusakan terjadi pada tulang punggung bagian pinggang, dada, serta bawah.
Dalam perjalanan penyakit yang lanjut, dapat terjadi gagal ginjal kronik. Kadang-
kadang pasien didiagnosis multiple myeloma karena penemuan laboratorium yang
menunjukkan hiperkalsemia, proteinuria, peningkatan kecepatan sedimentasi, atau
abnormalitas pada elektroforesis serum.5
Multiple myeloma didiagnosis dengan tes darah (elektroforesis protein,
hapusan darah tepi), pemeriksaan mikroskopis sumsun tulang (biopsi), dan foto
tulang yang umum terlibat. Multiple myeloma umumnya dianggap tak dapat
disembuhkan, namun pemulihan dapat terjadi dengan steroid, kemoterapi,
talidomid dan pencangkokan stem cell. Obat-obatan baru seperti lenalidomid dan
bortezomib sering digunakan pada multiple myeloma yang mencapai stadium
lanjut. Radioterapi terkadang digunakan untuk menangani lesi tulang yang
menimbulkan gejala.
6
1.2. Tujuan
Makalah tinjauan pustaka ini bertujuan untuk menjelaskan tentang definisi,
klasifikasi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan dan prognosis multiple myeloma.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Multiple myeloma adalah penyakit yang timbul karena transformasi ganas
bentuk terminal limfosit B, yaitu sel plasma. Meskipun tergolong tumor ganas
(hanya 1% dari seluruh keganasan, atau 10% dari seluruh keganasan
hematologis), multiple myeloma merupakan keganasan hematologis kedua setelah
limfoma non-Hodgkin.6
2.2. Epidemiologi
Multiple myeloma merupakan 1% dari semua keganasan dan 10% dari
keganasan hematologis. Multiple myeloma merupakan keganasan hematologis
paling sering kedua di Amerika Serikat. Umur rata-rata pasien berkisar pada 65
tahun, meskipun kadang-kadang multiple myeloma terjadi pada umur dekade
kedua. Penyakit ini menyebabkan kematian rata-rata 12.000 orang/tahun di
Amerika Serikat. Di Inggris, terdapat angka kematian tahunan rata-rata 9
orang/100 juta penduduk. Kejadian multiple myeloma adalah 2/3 lebih tinggi pada
pria kulit hitam daripada perempuan kulit hitam, dengan kejadian yang lebih
tinggi secara signifikan pada laki-laki pada setiap populasi di Amerika Serikat. Di
Poliklinik Hematologi-Onkologi RSCM Jakarta, usia pasien rata-rata 52 tahun,
berkisar dari 15 hingga 72 tahun, yang pada kasus ini pria lebih sering daripada
wanita.7
8
2.3. Etiologi
Etiologi multiple myeloma tidak diketahui. Pajanan radiologis
meningkatkan risiko, seperti yang dibuktikan dengan lebih tingginya tingkat
kesakitan daripada yang diperkirakan pada orang-orang yang selamat dari bom
atom, pekerja radiasi, dan pasien-pasien pasca-iradiasi dengan spondilitis
ankilosa. Asal mula sel plasma ganas itu masih misteri. Data dari studi kloning
dan sekuensi gen mengesankan dengan kuat bahwa pada klon ganas, multiple
myeloma muncul dari sel akhir pada perkembangan sel B.8
Tabel 1. Faktor risiko terjadinya multiple myeloma7
Ras Afrika-AmerikaLaki-lakiUsia tuaMonoclonal gammopathy of undetermined significance (MGUS)Rangsangan imun kronisPaparan radiasiPaparan dari pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida, industri cat, metal,
kayu, kulit, tekstil, asbes, bensin, dan pelarutPredisposisi genetik
2.4. Patogenesis
2.4.1. Asal usul sel plasma ganas
Sel mieloma merupakan sel plasma berumur panjang, yang terpajan pada
antigen yang mengalami proses maturasi sel B. Maturasi prekursor sel B normal
menjadi sel plasma matang melibatkan penyusunan kembali gen Ig dengan mutasi
somatik region variabel berikutnya. Sel mieloma adalah sel plasma pusat pasca-
germinal, yang telah mengalami rekombinasi gen imunoglobulin, pertukaran
kelas, hipermutasi somatik, dan tempat beradanya sumsum tulang. Analisis
9
molekuler sel mononuklir darah tepi pada meloma telah menunjukkan adanya sel
B klonal yang beredar dengan penyusunan kembali gen imunoglobulin yang sama
dan dengan hipermutasi somatik yang sama seperti sel plasma ganas sumsum
tulang. Sel-sel mieloma berproliferasi dengan kecepatan rendah. Indeks label sel
plasma biasanya mendeteksi <1% sel tumor yang mensintesis DNA secara aktif
hingga akhir perjalanan penyakit, dan menjadi indikator prognosis yang lebih baik
daripada infiltrasi sel plasma di sumsum tulang.9,10
2.4.2. Meningkatnya ketidakstabilan kariotipe
Semakin banyak bukti yang mengesankan bahwa perkembangan mieloma
merupakan proses multilangkah yang termasuk berbagai kejadian perubahan
kromosom struktural yang progresif. Kariotipe mieloma lebih mirip tumor epitel
dan fase blast leukemia myeloid kronis daripada keganasan hemopoietik lainnya.
Akan tetapi, jumlah translokasi yang tak seimbang [translokasi yang
memunculkan kromosom derivat yang kehilangan sekuens dari kromosom yang
terlibat] banyak meningkat pada mieloma dibandingkan dengan tumor epitel,
seperti yang diungkapkan oleh hibridisasi genomik komparatif. Sehingga,
beberapa subtype penyakit itu telah diidentifikasi pada tingkatan genetik dan
molekuler. Subtipe genetik tersebut dihubungkan dengan manifestasi
klinikopatologis yang unik dan hasil yang tak serupa. Pada tingkatan teratas,
mieloma dapat dibagi menjadi subtype hiperdiploid dan non-hiperdiploid. Yang
terakhir terutama terdiri atas kasus-kasus yang mengandung translokasi IgH, yang
umumnya dikaitkan dengan manifestasi klinis dan tingkat kesembuhan yang lebih
pendek with. 3 translokasi IgH utama pada mieloma adalah t(11;14)(q13;q32),
10
t(4;14)(p16;q32) dan t(14;16)(q32;q23). Trisomi dan bentuk penyakit yang lebih
lambat memiliki ciri mieloma hiperdiploid. Sejumlah faktor progresi genetik telah
dikenali, termasuk delesi kromosom 13 dan 17 serta abnormalitas kromosom 1
(delesi 1p dan amplifikasi 1q). Translokasi t(4;14), t(14;16) dan del 17p yang
dideteksi dengan hibridisasi in situ fluoresens (FISH), dan hipodiploidi dan del
13q yang dideteksi oleh sitogenetika konvensional dianggap sebagai faktor risiko
sampingan dan menandakan multiple myeloma yang berisiko tinggi. Penggerak
penting lain dari kelangsungan hidup dan proliferasi sel juga telah diidentifikasi
seperti mutasi aktivasi faktor nuklear jB (NF-jB) dan faktor deregulasi lain untuk
regulator jalur yang bergantung siklin.11
2.4.3. Lingkungan mikro sumsum tulang pada mieloma
Patogenesis multiple myeloma amat kompleks dan termasuk interaksi
bersama yang mempengaruhi jumlah dan fungsi sel ganas dan sel stroma sumsum
tulang normal (BMSCs). Kejadian sel mieloma memasuki sumsum tulang
nampaknya melibatkan adhesi selektif pada sel endotel sumsum tulang, migrasi
trans-endotel, dan adhesi pada sel stroma melalui produksi faktor turunan stroma
1 (SDF-1) dan faktor pertumbuhan mirip insulin 1 (IGF-1), yang disekresikan
oleh sel endotel sumsum tulang dan stroma dan berefek kemoatraktan pada sel
mieloma. Adhesi sel mieloma pada BMSCs, melalui interaksi integrin a4b1–
molekul adhesi sel vaskular 1 (VCAM-1), menyebabkan sekresi parakrin sitokin
seperti interleukin-6 (IL-6), IL-1b, IL-11, faktor nekrosis tumor (TNFs),
transforming growth factor-b (TGF-b) dan aktivator reseptor ligan NF-κB
(RANKL) oleh BMSCs. Produksi IL-6 oleh BMSCs, yang terjadi melalui aktivasi
11
NF-jB, menyebabkan proliferasi sel mieloma, dan melindunginya dari apoptosis
yang disebabkan oleh deksametason. Aktivasi NF-jB, yang merupakan faktor
transkripsional, bertanggung jawab untuk produksi faktor pertumbuhan lain dan
molekul adhesi, seperti faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), VCAM-1
dan selektin-E, oleh BMSCs dan sel mieloma.9
Angiogenesis juga meningkat pada mieloma dan berhubungan dengan
aktivitas dan kesembuhan penyakit. VEGF yang disekresikan dari sel mieloma
berinteraksi dengan reseptor di sel endotel untuk meningkatkan migrasi dan
proliferasinya. Faktor tambahan, seperti faktor pertumbuhan fibroblast dasar
(bFGF), yang diproduksi oleh mieloma maupun sel stroma, juga menyebabkan
angiogenesis. Pada mieloma juga didapatkan penghambatan fungsi limfosit T
melalui mekanisme yang tidak jelas namun bisa juga termasuk produksi molekul
inhibitor, seperti interferon-a (IFN-a) pada konsentrasi tinggi, dan reduksi IFN-c12.
Destruksi tulang adalah ciri khas multiple myeloma. Hal tersebut
berhubungan dengan meningkatnya akvitias osteoklas, yang tidak diimbangi
dengan peningkatan pembentukan osteoblas. Pembuangan resorpsi dan formasi itu
menimbulkan kehilangan tulang yang cepat, osteoporosis, lesi litik dan fraktur.
Sejumlah sitokin dan faktor pertumbuhan yang diproduksi baik oleh sel mieloma
maupun BMSCs menimbulkan peningkatan dan akvitas pembentukan osteoklas
pada mieloma. Sitokin tersebut IL-6, IL-1b, IL-11, TNF-a, TNF-b, bFGF, IGF
dan, yang baru-baru ini dilaporkan, protein inflamasi makrofag-1a (MIP-1α),
faktor pertumbuhan hepatosit dan yang lebih penting lagi jalur RANKL. Sel
mieloma juga memproduksi inhibitor diferensiasi osteoblas yang dimediasi oleh
12
Wnt yang menyebabkan berkurangnya pembentukan tulang, seperti dickkopf-1
dan soluble frizzled-related protein-213,14.
Akibat peningkatan resorpsi tulang osteoklastik yang disebabkan oleh
sitokin poten yang diekspresikan atau disekresikan secara lokal oleh sel-sel
mieloma (RANKL, MIP-1α, dan TNF) maupun yang mengalami over-ekspresi
pada sel lain pada lingkungan mikro setempat, akan terjadi resorpsi tulang,
sehingga pada gilirannya akan mengakibatkan efluks kalsium ke cairan
ekstraselular, dan akan mengakibatkan hiperkalsemia. Patogenesis hiperkalsemia
pada penderita multiple myeloma diduga lebih kompleks daripada yang dijelaskan
di atas, karena tidak semua pasien yang menderita penyakit tulang mieloma
menjadi hiperkalsemia, dan pada pasien yang menunjukkan hiperkalsemia secara
nyata, fenomena tersebut sering muncul pada akhir perjalanan penyakitnya.15,16
2.4.4. Gangguan fungsi ginjal
Cast nephropathy merupakan komplikasi ginjal yang khas ditemukan pada
pasien mieloma. Diketahui bahwa bahwa protein rantai ringan bebas memainkan
peranan penting dalam menyebabkan kerusakan ginjal seperti itu. Studi
eksperimental pada tikus telah menunjukkan bahwa penginfusan rantai ringan
yang dibersihkan dari pasien dengan gagal ginjal dapat menyebabkan cast
nephropathy pada tubulus. Insidensi kerusakan ginjal itu lebih rendah pada hewan
yang diterapi dengan rantai ringan dari pasien yang tak terbukti mengidap
penyakit ginjal. Hal ini menandakan bahwa sifat fisiko-kimiawi rantai ringan
cukup berbeda. Dalam hal ini, beberapa rantai ringan yang menyebabkan sindrom
Franconi dapat dicerna oleh katepsin B. Sebaliknya, bentuk lain rantai ringan
13
yang membentuk cast obstruktif di tubulus distalis resisten pada proteolisis oleh
tripsin dan pepsin. Beberapa rantai ringan nefrotoksik terlihat bisa mengalami
agregasi membentuk polimer besar dalam kondisi fisiologis yang ditemukan di
tubulus distalis.17
Pada pasien mieloma, kapasitas sel tubulus proksimal untuk mereabsorsi
dan mengkatabolisasi rantai ringan meningkat drastis. Sebagai akibatnya, rantai
ringan yang tidak direabsorbsi di tubulus proksimalis mencapai bagian distal
nefron dan di situ bergabung dengan mukoprotein Tamm-Horsfall lalu
menyebabkan pembentukan cast obstruktif. Obstruksi tubulus distalis seperti itu
menimbulkan kebocoran muatan tubulus ke interstisium dan menimbulkan
gambaran klasik cast tubulus dan mieloma ginjal.17
Dehidrasi yang kadang-kadang disebabkan oleh diuretik mengurangi laju
filtrasi glomerulus dan menimbulkan peningkatan konsentrasi rantai ringan dalam
plasma yang kemudian meningkatan kapasitas untuk reabsorbsi dan katabolisme
rantai ringan di tubulus proksimal. Hiperkalsemia dapat menyebabkan
vasokonstriksi yang diikuti dengan penurunan LFG. Beberapa obat, khususnya
anti-inflamasi non-steroid, mengurangi aliran darah ginjal.17
2.4.5. Anemia
Seperti pada umumnya keganasan, anemia pada multiple myeloma
berbentuk anemia penyakit kronis, yang merupakan kondisi multi-faktor, yang
sebagian besar disebabkan oleh produksi sitokin dengan efek merusak produksi
sel darah merah. Sitokin tersebut bersifat inflamatorik dan paramaligna, serta
mensupresi kecepatan produksi eritropoietin serta proliferasi dan diferensiasi pada
14
kompartemen eritroblastik sumsum tulang. Lebih lanjut, terdapat efek penting
pada metabolisme besi.18-20
Sitokin inflamatorik termasuk ekspresi dari regulator distribusi besi
terpenting (hepsidin), yang pada gilirannya meningkatkan degradasi feroportin,
satu-satunya pengangkut besi dari dalam sel ke kompartemen plasma. Hal ini
menyebabkan penurunan transpor besi sepanjang brush border usus juga dari
makrofag ke plasma. Sebagian besar besi yang dilepaskan ke plasma dari
makrofag berasal dari pemecahan sel darah merah tua. Ketika pelepasan besi
makrofag ini menurun, saturasi transferin plasma menurun, dan eritroblas pada
sumsum tulang memerlukan besi. Secara serentak, besi tertumpuk di makrofag,
hal ini menjelaskan mengapa kadar s-feritin pada pasien itu normal atau sedikit
meningkat. Pergantian normal besi dari makrofag ke eritroblas sumsum tulang
terdiri atas 30 mg besi atau 15–20 kali absorpsi harian, menandakan betapa
pentingnya penggunaan kembali besi dibandingkan dengan ambilan harian.21,22
Gangguan pergantian besi yang disebabkan oleh hepsidin ini disebut sebagai
defisiensi besi fungsional dan nampak menjadi masalah utama pada anemia
kanker. Masalah dengan dukungan besi pada eritropoiesis pada anemia penyakit
kronis menjadi lebih nyata selama perawatan dengan stimulan eritropoietin,
karena menghalangi respon pada banyak pasien secara efektif. Lebih lanjut, jika
terapi stimulan eritropoietin berhasil menstimulasi proliferasi sel darah merah,
lebih banyak besi yang diperlukan. Hitung retikulosit yang naik 2 kali lipat sering
terjadi, dan hal ini juga berarti kenaikan besi yang diperlukan sebanyak 2 kali
lipat, atau sekitar 60 mg besi per hari yang diangkut plasma. Dalam keadaan lain,
15
seperti pada terapi anemia defisiensi B12, hal ini tidak masalah, namun pada
penyakit kronis, interaksi hepsidin-feroportin menurunkan kemungkinan
tersedianya besi di sumsum tulang.23,24
Faktor lain yang menyebabkan anemia penyakit kronis adalah rentang hidup
sel darah merah yang memendek, kekurangan gizi, dan disfungsi ginjal.18
2.5. Manifestasi klinis
2.5.1. Anamnesis
Gejala yang ada pada multiple myeloma antara lain nyeri tulang, fraktur
patologis, kelemahan, anemia, infeksi (sering disebabkan oleh Pneumococcus),
hiperkalsemia, kompresi medulla spinalis, maupun gagal ginjal. Diagnosis bersifat
insidental pada 30% kasus. MM sering ditemukan melalui skrining darah rutin
ketika pasien dievaluasi untuk masalah yang tak berhubungan. Biasanya,
perbedaan jauh antara kadar protein total dan kadar albumin yang dapat dilihat
pada panel kimia otomatis menandakan ada masalah (yakni, protein minus
albumin sama dengan globulin).25
Sepertiga pasien multiple myeloma didiagnosis setelah terjadi fraktur
patologis; fraktur demikian sering terjadi pada tulang aksial. Dua pertiga pasien
mengeluhkan nyeri tulang, umumnya dengan nyeri punggung bawah. Nyeri tulang
itu sering dirasakan di punggung, tulang panjang, tengkorak, dan/atau pelvis.25
Pasien juga dapat mengeluhkan gejala penyerta non-spesifik yang terkait
pada hiperviskositas dan hiperkalsemia.25
16
a. Nyeri tulang, merupakan gejala yang umum terdapat pada multiple
myeloma. Sebagian besar rangkaian laporan kasus melaporkan bahwa
pada 70% pasien didapatkan nyeri tulang. Vertebra lumbalis merupakan
tempat predileksi utama nyeri.
b. Fraktur patologis dan lesi tulang. Fraktur patologis sangat umum pada
multiple myeloma. Pada 93% pasien ada lebih dari 1 tulang yang terlibat.
Keluhan tersebut sering berakibat parah.
c. Kompresi medula spinalis. Gejala yang harus diperhatikan dokter untuk
dipikirkan adanya kompresi medula spinalis adalah nyeri punggung,
kelemahan, mati rasa, atau disestesia pada ekstremitas. Karena kompresi
medula spinalis terjadi pada berbagai tingkat, evaluasi menyeluruh atas
tulang belakang sangat diperlukan. Pasien yang masih bisa berjalan saat
terapi dimulai memiliki kesempatan sembuh yang besar dan berkurangnya
risiko paralisis.
d. Perdarahan. Pasien kadang-kadang memerlukan perhatian medis karena
perdarahan yang diakibatkan oleh trombositopenia. Protein monoklonal
dapat menyerap faktor pembekuan dan menyebabkan pembekuan,
meskipun jarang.
e. Hiperkalsemia. Kebingungan, somnolen, nyeri tulang, konstipasi, mual,
dan kehausan adalah gejala hiperkalsemia. Komplikasi ini dapat hadir
pada 30% pasien multiple myeloma. Pada sebagian besar keganasan padat,
hiperkalsemia membawa prognosis yang tak menyenangkan, namun pada
multiple myeloma, kejadiannya tidak mempengaruhi tingkat kesembuhan.
17
f. Infeksi. Imunitas humoral yang abnormal dan leukopenia dapat
menimbulkan infeksi. Organisme seperti Pneumococcus umum terlibat,
namun cacar monyet (herpes zoster) dan infeksi Hæmophilus juga umum
pada pasien multiple myeloma.
g. Hiperviskositas, dapat dikaitkan dengan sejumlah gejala, termasuk malaise
generalisata, infeksi, demam, parestesia, memar, dan kehilangan sensasi
sensorik. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan somnolen, dan mudah
memar serta pandangan kabur. Pasien multiple myeloma biasa mengalami
gejala tersebut jika viskositas serumnya lebih tinggi 4 kali daripada
normal. Epistaksis juga muncul sebagai gejala, dengan volume tumor yang
besar. Kadang-kadang pada pasien dapat mengandung kadar protein
monoklonal yang begitu tinggi sehingga viskositas darahnya meningkat,
menyebabkan komplikasi seperti stroke, iskemia maupun infark miokard.
h. Gejala neurologis. Carpal tunnel syndrome merupakan komplikasi
mieloma yang paling umum. Meningitis (khususnya yang disebabkan oleh
infeksi Pneumococcus maupun Meningococcus) lebih umum pada pasien
multiple myeloma. Beberapa neuropati perifer dikaitkan dengan multiple
myeloma. Fungsi neurologis jangka panjang berhubungan erat dengan
kecepatan diagnosis dan penyusunan terapi yang tepat untuk multiple
myeloma.
i. Anemia, merupakan penyebab kelemahan paling umum pada pasien
multiple myeloma.
2.5.2. Pemeriksaan fisik
18
Pada pemeriksaan kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan, mata
dapat menunjukkan pelepasan makular yang eksudatif, perdarahan retina, maupun
titik kapas. Pucat akibat anemia juga dapat ditemui. Ekimoses atau purpura akibat
trombositopenia juga ditemukan.25
Pelunakan tulang bukan hal yang tidak umum pada multiple myeloma. Hal
ini disebabkan oleh lesi tulang destruktif lisis fokal maupun fraktur patologis.
Yang khas adalah nyeri tanpa pelunakan. Fraktur patologis dapat ditemukan.
Umumnya, lesi nyeri yang melibatkan setidaknya 50% dari diameter korteks
tulang panjang atau lesi yang mengenai kolumna femoris maupun calcar femorale
berisiko tinggi (50%) untuk mengalami fraktur patologis. Risiko fraktur lebih
rendah pada lesi di ekstremitas atas daripada ekstremitas bawah. Malahan, defek
korteks kecil dapat mengurangi kekuatan berputar sebanyak 60% (stress riser
effect). 25
Pemeriksaan neurologis dapat menemukan perubahan tingkat sensorik (mis.
hilangnya sensasi di bawah dermatom yang mengalami kompresi medula
spinalis), neuropati, miopati, tanda Tinel, atau tanda Phalen akibat kompresi
carpal tunnel sebagai akibat sekunder deposisi amiloid.25
Plasmasitoma ekstramedular, yang terdiri atas massa jaringan lunak dari sel
plasma, bukanlah hal yang tidak umum. Meskipun traktur ærodigestivus menjadi
tempat predileksi paling umum, laporan yang ada juga menjelaskan lesi orbita,
saluran telinga, kutan, gaster, rektum, prostat, dan retroperitoneal.25
19
Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan hepatosplenomegali.
Pemeriksaan sistem kardiovaskular dapat menemukan kardiomegali sebagai
akibat sekunder deposisi imunoglobulin.25
Amiloidosis dapat terjadi pada beberapa pasien multiple myeloma.
Pemeriksaan fisik khas yang menunjukkan amiloidosis adalah sebagai berikut:
1. Shoulder pad sign
2. Makroglosia
3. Lesi kulit yang khas
4. Purpura peripalpebra post-protoskopi
Shoulder pad sign didefinisikan sebagai pembengkakan bilateral sendi
bahu sebagai akibat sekunder deposisi amiloid. Dokter menjelaskan
pembengkakan itu keras dan elastis. Amiloidosis dapat juga dikaitkan dengan
carpal tunnel syndrome dan nodul subkutan.25
Makroglosia dapat terjadi sebagai akibat sekunder deposisi amiloid pada
lidah dan umum pada pasien dengan amiloidosis.25
Gambar 1. Amiloidosis yang menginfiltrasi lidah pada multiple myeloma.
20
Lesi kulit yang disebutkan sebagai papul atau nodul seperti lilin dapat
terjadi pada batang badan, telinga, maupun bibir.25
Purpura peripalpebra post-protoskopi menegaskan amiloidosis. Pada pasien
dapat muncul raccoonlike dark circles di sekeliling matanya setelah prosedur yang
bersamaan dengan maneuver Valsava yang diperpanjang. Fragilitas kapiler yang
dikaitkan dengan amiloidosis dapat menyebabkan hal ini. Dahulu, hubungan ini
dilihat ketika pasien mengalami biopsi rectal untuk menegakkan diagnosis.25
2.6. Pemeriksaan penunjang
Terdapat kriteria mayor dan minor untuk diagnosis multiple myeloma
menurut Durie dan Salmon berdasarkan klinis dan laboratoris:26
a. Mayor: (1) plasmasitoma pada biopsi jaringan; (2) plasmasitosis pada
sumsum tulang dengan sel plasma >30%; (3) monoclonal globulin spike
pada elektroforesis serum: IgG>35 g/l, IgA>20 g/l, ekskresi light chain
pada elektroforesis urin 1 g/24 jam tanpa amiloidosis.
b. Minor: (1) plasmasitosis pada sumsum tulang dengan 10-30% sel
plasma; (2) monoclonal globulin spike yang kadarnya kurang dari yang
mayor; (3) lytic bone lesion; dan (4) normal IgM<500 mg/l, IgA<1 g/l
atau IgG<6 g/l.
Diagnosis mieloma memerlukan minimal 1 kriteria mayor dan 1 kriteria
minor, dan harus termasuk kriteria minor (1) + (2).27
2.6.1. Laboratorium
21
Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus. Jumlah
leukosit umumnya normal. Trombositopenia ditemukan pada sekitar 15% pasien
yang terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan darah tepi jarang mencapai
5%, kecuali pada pasien dengan leukemia sel plasma. Formasi Rouleaux
ditemukan pada 60% pasien. Hiperkalsemia ditemukan pada 30% pasien saat
didiagnosis. Sekitar seperempat hingga setengah yang didiagnosis akan
mengalami gangguan fungsi ginjal dan 80% pasien menunjukkan proteinuria,
sekitar 50% proteinuria Bence Jones yang dikonfirmasi dengan
imunoelektroforesis atau imunofiksasi.28
2.6.2. Radiologis
a. Foto polos sinar X
Gambaran foto sinar X dari multipel mieloma berupa multilesi, berbatas
tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi
terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di
rongga medula dan secara progresif menghancurkan tulang kortikal. Sebagai
tambahan, tulang pada pasien mieloma, dengan sedikit pengecualian, mengalami
demineralisasi difus. Pada beberapa pasien, ditemukan gambaran osteopenia difus
pada pemeriksaan radiologi. Saat timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah
mengalami kelainan tulang. Film polos memperlihatkan:28
1. Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekula tulang, terutama
tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan
mieloma. Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda
22
radiologis satu-satunya pada mieloma multiple. Fraktur patologis sering
dijumpai.
2. Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan
osteoprosis senilis.
3. Lesi-lesi litik “punch out” yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi
yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.
4. Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks, menghasilkan massa
jaringan lunak.
Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada
suatu penelitian yang melibatkan banyak kasus: kolumna vertebra 66%, iga 44%,
tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavikula 10% dan skapula 10%.28
b. CT-scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada mieloma. Namun,
kegunaan alat ini belum banyak diteliti, dan umumnya CT-scan tidak dibutuhkan
lagi karena gambaran pada foto tulang konvensional menggambarkan kebanyakan
lesi yang dapat dideteksi oleh CT-scan.28
c. MRI
MRI potensial digunakan pada multiple mieloma karena modalitas ini baik
untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit
mieloma berupa suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di gambaran T1,
yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.28
23
Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola
menyerupai mieloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun
tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple mieloma seperti
pengukuran nilai gamaglobulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk
menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosea, MRI dapat berguna
untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.28
d. Radiologi nuklir
Mieloma merupakan penyakit yang menyebabkan overaktifitas pada
osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir mengandalkan aktifitas osteoblastik
(formasi tulang) pada penyakit dan belum digunakan rutin. Tingkat false negatif
skintigrafi tulang untuk mendiagnosis multiple mieloma tinggi. Scan dapat positif
pada radiograf normal, membutuhkan pemeriksaan lain untuk konfirmasi.28
e. Angiografi
Gambaran angiografi tidak spesifik. Tumor dapat memiliki zona perifer dari
peningkatan vaskularisasi. Secara umum, teknik ini tidak digunakan untuk
mendiagnosis multipel mieloma.28
2.7. Penatalaksanaan
Ada beberapa terapi untuk multiple myeloma. Tiap terapi punya morbiditas
masing-masing. Beberapa pasien multiple myeloma mengalami penyakit yang
indolen dalam perjalanannya, sehingga dibutuhkan bukti progresivitas atau gejala
dari penyakti itu untuk memulai kemoterapi. Tanpa kemoterapi, pasien yang
menunjukkan gejala hanya bisa bertahan hidup tidak sampai 1 tahun.29
24
Penanganan utama (primer):
- Multiple myeloma bersifat radiosensitf dan kemosensitif.
- Keputusan awal pada pasien yang baru didiagnosis multiple myeloma
adalah apakah ia memerlukan terapi atau tidak.
- Kemoterapi merupakan pilihan pada pasien multiple myeloma dengan
hiperkalsemia, multiple myeloma yang menginduksi disfungsi ginjal,
anemia berat, dan infeksi brulang dengan hipogamaglobulinemia.
- Pasien dengan multilesi tulang harus menerima terapi sistemik sebelum
terapi radiasi.
- Pasien dengan multiple myeloma asimtomatik atau jika diagnosis pasti
masih belum tegak harus difollow-up secara ketat.
- Lesi soliter dapat diterapi dengan radiasi.
- Respon klinis multiple myeloma biasa ditandai dengan perbaikan pada
nyeri tulang, anemia, dan hiperkalsemia.
- Kadar protein biasanya turun meskipun lambat dan butuh beberapa
bulan karena waktu paruh yang panjang dari beberapa sub-kelas Ig.
- Respon dinyatakan komplit jika ditemukan sel plasma <5% pada biopsi
sumsum tulang dan tidak adanya Ig monoklonal pada
imunoelektroforesis.
Kemoterapi dosis konvensional biasanya sudah memberikan respon yang
komplit. Respon parsial terjadi jika ada 50-75% reduksi pada protein monoklonal.
Yang dapat diberikan pada kemoterapi adalah:30
a. Agen tunggal
25
- Melphalan. Merupakan agen alkilasi yang sering digunakan. Obat ini
diberikan selama 4 hari berturut-turut setiap 4-6 minggu dengan dosis 10
mg. Kombinasi dengan prednison akan menggandakan tingkat respon
pada 50-60% pasien, namun hanya sedikit dampaknya terhadap
keselamatan hidup penderita. Prednison biasanya diberikan 1-2
mg/kgBB/hari.
- Siklofosfamid. Obat ini dapat diberikan intravena maupun per oral
secara intermiten, dan sangat bermanfaat pada pasien-pasien yang
mengalami trombositopenia. Pada pasien semacam itu, siklofosfamid
dapat diberikan dengan dosis 500 mg/m2/iv setiap 2 minggu bersama
dengan prednisone.
b. Terapi kombinasi. Manfaat kombinasi kemoterapi masih kontroversial.
Pada pasien dengan tumor yang besar dan kadar kreatinin yang tinggi,
pemberian kombinasi memberikan banyak keuntungan. Resimen yang
diberikan adalah vinkristin 1,2 mg/m2/iv pada hari pertama (dosis
maksimal 2 mg); karmustin 20 mg/m2/iv hari pertama, dan
siklofosfamid 400 mg/m2 per oral pada hari 1-7. Terapi kombinasi dapat
diberikan pada mieloma yang resisten yang ditandai dengan tidak
adanya sitoreduksi tumor >75%, protein mieloma serum >50%, dan/atau
proteinuria Bence-Jones >90%.
Terapi radiasi dapat diterapkan pada penderita multiple myeloma. Selain
bermanfaat sebagai kombinasi terapi, radiasi juga bermanfaat pada:30
26
a. terapi primer pada pasien dengan plasmasitoma primer dari tulang atau
tempat-tempat ekstramedular yang terisolasi.
b. sebagai terapi paliatif pada lesi dengan nyeri yang tidak lagi berespon
dengan kemoterapi.
c. sebagai terapi gawat darurat untuk pasien dengan kompresi medula
spinalis atau akar syaraf.
d. mencegah fraktur patologis pada tulang penyangga berat.
e. sebagai iradiasi tubuh total, terutama sewaktu direncanakan transplantasi
sumsum tulang.
2.8. Prognosis
Multiple myeloma merupakan penyakit heterogen, dengan tingkat
keselamatan hidup yang berkisar dari 1 tahun hingga lebih dari 10 tahun. Tingkat
kesembuhan rata-rata pada pasien multiple myeloma yang dipilih secara acak
adalah 3 tahun. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun berkisar sekitar 45%, dan
lebih tinggi pada orang-orang muda dan lebih rendah pada orang tua.
Diperkirakan sekitar 10.580 orang AS (5.640 pria dan 4.940 wanita) meninggal
akibat multiple myeloma pada tahun 2008.25
Beban tumor dan kecepatan prolifrasi adalah 2 indikator kunci untuk
prognosis pada pasien multiple myelma. Banyak skema yang telah diterbitkan
untuk membantu menentukan prognosis. Skema berikut menggunakan protein
reaktif C (CRP) dan imunoglobulin beta-2 (yang merupakan ekspresi beban
tumor) untuk memperkirakan tingkat kelangsungan hidup:25
27
a. Jika kadar kedua protein itu kurang dari 6 mg/L, tingkat kelangsungan
hidup adalah 54 bulan.
b. Jika kadar salah satu komponen itu kurang dari 6 mg/L, tingkat
kelangsungan hidup adalah 27 bulan.
c. Jika kadar kedua protein itu lebih besar dari 6 mg/L, tingkat
kelangsungan hidup adalah 6 bulan.
Faktor prognostik yang buruk adalah sebagai berikut:25
a. Massa tumor
b. Hiperkalsemia
c. Proteinemia Bence Jones
d. Kerusakan ginjal (yakni penyakit stadium B disease atau kadar kreatinin
>2 mg/dL pada penegakan diagnosis)
Prognosis menurut terapi adalah sebagai berikut:25
a. Terapi konvensional: Tingkat kelangsungan hidup rata-rata adalah sekitar
3 tahun, dan kelangsungan hidup bebas dari penyakit kurang dari 2 tahun.
b. Kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi sel punca: tingkat
kelangsungan hidup 5 tahun lebih tinggi dari 50%.
c. Retensi amiloid P serum: lebih dari 50% pasien memiliki tingkat
kelangsungan hidup sekitar 11 bulan. Tingkat kelangsungan hidup rata-
rata adalah 24 bulan.
Infeksi bakteri adalah penyebab utama kematian pada pasien mieloma.25
Sebuah studi yang dilakukan oleh Larsen dkk. menemukan bahwa
penurunan signifikan pada proliferasi sel plasma pada pasien yang baru
28
didiagnosis multiple myeloma adalah prediktor penting untuk kelangsungan
hidup.31
29
BAB III
PENUTUP
Dari paparan makalah di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Multiple myeloma adalah penyakit yang timbul karena transformasi ganas
bentuk terminal limfosit B, yaitu sel plasma.
2. Multiple myeloma merupakan 1% dari semua keganasan dan 10% dari
keganasan hematologis. Penyakit ini menyebabkan kematian rata-rata
12.000 orang/tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, terdapat angka
kematian tahunan rata-rata 9 orang/100 juta penduduk.
3. Terdapat sejumlah faktor risiko multiple myeloma, yakni ras Afrika-
Amerika, laki-laki, usia tua, monoclonal gammopathy of undetermined
significance (MGUS), rangsangan imun kronis, predisposisi genetik,
paparan radiasi dan pekerjaan.
4. Patogenesis multiple myeloma amat kompleks dan termasuk interaksi
bersama yang mempengaruhi jumlah dan fungsi sel ganas dan sel stroma
sumsum tulang normal (BMSCs).
5. Gejala yang ada pada multiple myeloma antara lain nyeri tulang, fraktur
patologis, kelemahan, anemia, infeksi (sering disebabkan oleh
Pneumococcus), hiperkalsemia, kompresi medulla spinalis, maupun gagal
ginjal. Diagnosis bersifat insidental pada 30% kasus.
6. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan pelepasan makular yang
eksudatif, perdarahan retina, maupun titik kapas pada mata, wajah pucat,
30
ekimosis maupun purpura pada kulit, pelunakan tulang, kehilangan sensasi
sensorik, hepatosplenomegali, kardiomegali, dan makroglosia.
7. Terdapat kriteria mayor dan minor untuk diagnosis multiple myeloma
menurut Durie dan Salmon berdasarkan klinis dan laboratoris. Diagnosis
mieloma memerlukan minimal 1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor.
8. Ada beberapa terapi untuk multiple myeloma. Tiap terapi punya
morbiditas masing-masing. Beberapa pasien multiple myeloma mengalami
penyakit yang indolen dalam perjalanannya, sehingga dibutuhkan bukti
progresivitas atau gejala dari penyakti itu untuk memulai kemoterapi.
Tanpa kemoterapi, pasien yang menunjukkan gejala hanya bisa bertahan
hidup tidak sampai 1 tahun.
9. Multiple myeloma merupakan penyakit heterogen, dengan tingkat
keselamatan hidup yang berkisar dari 1 tahun hingga lebih dari 10 tahun.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Raab MS, Podar K, Breitkreutz I, Richardson PG, Anderson KC. Multiple myeloma. Lancet 2009; 324-29.
2. Alexander DD, Mink PJ, Adami H-O, et al. Multiple myeloma: a review of the epidemiologic literature. Int J Cancer 2007; 120: 41-67.
3. Parkin DM, Bray F, Ferlay J, Pisani P. Global cancer statistics 2002. CA Cancer J Clin 2005; 55-74-108.
4. Parkin DM, Whelan SL, Ferlay J, Teppo L, Thomas DB. 2002. Cancer in Five Continents Vol. II. Lyon: IARC.
5. Mansjoer A, Triyanti K. Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius.
6. Bakta IM. Mieloma multipel tipe IgA: laporan lima kasus. J Peny Dalam 2009; 10 (2): 128-35.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FK UI.
8. Angtuaco EJC, Fassas ABT, Walker R, Sethi R, Barlogie B. Multiple myeloma: clinical review and diagnostic imaging. Radiol 2004; 231: 11-23.
9. Dimopoulos MA, Terpos E. Multiple myeloma. Ann Oncol 2010; 21 (supp. 7): vii143-50.
10. O’Connor BP, Gleson MW, Noelle RJ et al. The rise and fall of long-lived humoral immunity: terminal differentiation of plasma cells in health and disease. Immunol Rev 2003; 194: 61-76.
11. Fonseca R, Bergsagel PL, Drach J et al. International Myeloma Working Group molecular classification of multiple myeloma: spotlight review. Leukemia 2009; 23: 2210-21.
12. Podar K, Chauhan D, Anderson KC. Bone marrow microenvironment and the identification of new targets for myeloma therapy. Leukemia 2009; 23: 10-24.
13. Terpos E, Sezer O, Croucher P et al. Myeloma bone disease and proteasome inhibition therapies. Blood 2007; 110: 1098–1104.
14. Terpos E, Dimopoulos MA. Myeloma bone disease: pathophysiology and management. Ann Oncol 2005; 16: 1223–1231.
15. Gahrton G, Durie BGM, Samson DS. 2004. Multiple Myeloma and Related Disorders. London: Arnold.
16. Oyajobi BO. Multiple myeloma/hypercalcemia. Arth Res Ther 2007; 9 (suppl. 1): S4.
17. Goldschmidt H, Lannert H, Bommer J, Ho AD. Multiple myeloma and renal failure. Nephrol Dial Transplant 2000; 15: 301-4.
18. Birgegård G. Managing anemia in lymphoma and multiple myeloma. Clin Risk Manag 2008; 4 (2): 527-39.
32
19. Mercadente S, Gebbia V, Marrazzo A et al. Anemia in cancer: pathophysiology and treatment. Cancer Treat Rev 2000; 25: 303–11.
20. Nowrousian MR. 2002. Recombinant Human Erythropoietin (rhEPO) in Clinical Oncology. New York: Springer Medicine.
21. Roy CN, Andrews NC. Anemia of inflammation: the hepcidin link. Curr Opin Haematol 2005; 12: 107–11.
22. Nemeth E, Ganz T. Regulation of iron metabolism by hepcidin. Ann Rev Nutr 2006; 26: 323–42.
23. Cavill I, Auerbach M, Bailie GR et al. Iron and the anemia of chronic disease. Curr Med Res Opin 2006; 22: 731–37.
24. Hedenus M, Birgegård G, Näsman P et al. Addition of intravenous iron to epoetin beta increases hemoglobin response and decreases epoetin dose requirement in anemic patients with lymphoproliferative malignancies: a randomized multicenter study. Leukemia 2007; 21: 627–32.
25. http://emedicine.medscape.com 26. Dewi J, Budiman H. Light chain myeloma. Dexa Media 2007; 20 (2): 74-6.27. Lee GR, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM. 1999.
Wintrobe’s Clinical Hematology 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
28. http://aangjoen.wordpress.com 29. http://www.webmd.com 30. Palumbo A, Anderson K. Multiple myeloma. New Engl J Med 2011; 364:
1046-60.31. Larsen JT, Chee CE, Lust JA, Greipp PR, Rajkumar SV. Reduction in plasma
cell proliferation after initial therapy in newly diagnosed multiple myeloma measures treatment response and predicts improved survival. Blood 2011; 118 (10): 2702-7.
33
top related