makalah hhf
Post on 06-Dec-2014
247 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Jantung merupakan sebuah organ dalam tubuh manusia yang termasuk dalam sistem
sirkulasi. Jantung bertindak sebagai pompa sentral yang memompa darah untuk menghantarkan
bahan-bahan metabolisme yang diperlukan ke seluruh jaringan tubuh dan mengangkut sisa-sisa
metabolisme untuk dikeluarkan dari tubuh.
Penyakit jantung merupakan penyakit yang mematikan. Di seluruh dunia, jumlah
penderita penyakit ini terus bertambah. Penyakit ini tidak lepas dari gaya hidup yang kurang
sehat yang banyak dilakukan seiring dengan berubahnya pola hidup. Angka harapan hidup yang
semakin meningkat ditambah peningkatan golongan usia tua semakin memperbesar jumlah
penderita penyakit jantung yang sebagian besar diderita oleh orang tua.
Meskipun berbagai pendekatan terapi gagal jantung meliputi terapi farmakologis,
prosedur intervensi dan pembedahan telah banyak ditawarkan, kematian penderita gagal jantung
masih sangat tinggi apabila penyebabnya tidak teratasi. Ketika diagnosa gagal jantung
ditegakkan, maka dapat diramalkan berapa lamakah seseorang akan bertahan hidup. Telah
dilaporkan, bahwa ketahanan hidup seorang penderita gagal jantung bahkan lebih buruk dari
penderita kanker ganas. Pada tahun ketiga, hanya 24 persen penderita gagal jantung yang masih
bertahan hidup.
Heart failure atau gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang
menjadi masalah serius di Amerika, American Heart Association (AHA) tahun 2004 melaporkan
5,2 juta penduduk amerika menderita gagal jantung, asuransi kesehatan Medicare USA paling
banyak mengeluarkan biaya untuk diagnosis dan pengobatan gagal jantung (ACC / AHA 2005)
dan diperkirakan lebih dari 15 juta kasus baru gagal jantung setiap tahunnya di seluruh dunia.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
SKENARIO 1
Saudara seorang dokter yang sedang bertugas jaga malam di UGD, datang Tn. Ali, 70 tahun,
dengan keluhan terbangun dari tidur karena sesak napas. Tidak dapat tidur terlentang karena terasa sesak.
Sesak napas dan cepat lelah pada aktivitas fisik sehari-hari, berkurang bila beristirahat. Kadang-kadang
keluar dahak kemerahan.
SKENARIO 2
Pada anamnesis, lebih lanjut didapat Tn.Ali adalah hipertensi, biasa berobat ke Puskesmas.
Karena merasa tidak ada keluhan, maka obat antihipertensi tidak diminum lagi. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan hal sebagai berikut.
Keadaan Umum : Orthopnoe, kesadaran kompos mentis.
Tanda vital : 200/100 mmHg, HR : 120x/menit, ritme tidak teratur, Nadi, irama, dan pengisian tidak
teratur, RR : 28x/menit.
Leher : JVP 5+4 cm, Arteri koarotis pulsus tidak teratur, Bruit dan thrill (-),Struma (-)
Thoraks : Ictus cordis pada ICS VI,2 jari lateral dari garis midklavikulari.Aktivitas apeks meningkat.
S1-S2 irregular, pansystolic murmur grade III/6 dengan punctum maks diapeks menjalar ke
axilla.
Ronki basah pada seluruh lapangan paru
Abdomen : Hepatomegali 3 jari b.a.c, Hepatojugilar refluks (+), lien tidak teraba,Ascites (-),
Ektremitas : Edema pretibial (+)
SKENARIO 3
Hasil Laboratorium :
HB : 12 g%
Leukosit : 9000
Ht : 40%
Ureum : 40mg/dl
Kreatinin : 1mg/dl
GDS : 110 mg/dl
Kolesterol total : 250 mg/dl
2
LDL : 180 mg/dl
HDL : 40 mg/dl
Trigliserid : 175 mg/dl
EKG
Foto Thorax
3
Echocardiogram
- Dilatasi atrium kiri
- Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kiri
- Fungsi sistoli menurun
- Fungsi diastolic menurun (gangguan retraksi IV)\Regurgfitasi dari LV ke LA saat sistolik
SKENARIO 4
Anda memberikan terapi di UGD :
- Bedrest posisi duduk atau setengah duduk
- Oksigen nasal 4L/menit
- Isosorbid dinitrat IV start 10ug/menit, dititrasi naik sesuai klinis dan TD
- Digoksin IV 0,5mg
Rencana terapi kemudian :
- Retriksi cairan dan garam
- Ace inhibitor/angiotensin receptor bloker
- Diuretic
- Antagonis aldosteron
- digoksin
4
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Untuk menentukan diagnosis yang tepat pada pasien kasus ini, dilakukan hal-hal sebagai
berikut: identifikasi pasien; identifikasi keluhan utama; hipotesis; anamnesis lengkap;
pemeriksaan fisik; dan pemeriksaan penunjang.
Identifikasi Pasien
Identitas pasien adalah sebagai berikut:
- Nama : Tn. Ali
- Umur : 70 tahun
- Jenis kelamin : Pria
Keluhan Utama
Keluhan utama pada pasien ini adalah tidak dapat tidur terlentang karena terasa sesak.
Keluhan Tambahan
Sesak napas dan cepat lelah pada aktivitas fisik sehari-hari, berkurang bila istirahat. Kadang
batuk dengan dahak berwarna kemerahan.
Hipotesis
Masalah pada pasien adalah mengalami sesak napas (dyspnea). Hipotesis awal kami
adalah dyspnea organic (dyspnea akibat dari kelainan traktus respiratorius), dyspnea non organic
(dyspnea akibat penyakit non traktus respiratorius).
1. Dyspnea organic adalah penyakit paru-paru obstruktif, termasuk di dalamnya bronkhitis
kronis, efisema, asma brokhial, bronkhiektasis, penyakit pernafasan restriktif, termasuk
kelainan neuromuscular/muskuloskeletal seperti skoliosis, kifosis, poliomielitis, muscular
distrophi dsb, penyakit paru-paru restriktif karena kelainan parenkhim paru-paru seperti
fibrosis dsb.
5
2. Dyspnea non organic kami menduga bahwa pak Ali mengalami gangguan jantung, misalnya
pada Gagal jantung, penyakit arteri koroner, infark miokard, kardiomiopati, disfungsi katup,
hipertrofi ventrikel kiri, hipertrofi asimetrik septum, perikarditis, maupun aritmia.
Setelah anamnesis lebih lanjut, di ketahui bahwa pasien malam itu terbangun dari tidur
karena sesak napas dan gelisah. Setelah bangun harus dalam posisi duduk karena bila berbaring
terasa semakin sesak. Biasanya setelah duduk agak lama sesak berkurang dan dapat tidur lagi
dan pasien memiliki riwayat darah tinggi. Dari anamnesis ini di dapatkan bahwa Tn. Ali tidak
mengalami dyspnea organic, dimana pada dyspnea organic posisi tubuh tidak akan memperingan
dyspnea. Di ketahui juga bahwa beliau tidak mempunyai penyakit asma maupun penyakit paru
lainnya. Hipotesis kami mengarah kepada kelainan pada organ di luar traktus respiratorius yaitu
gangguan jantung.
Patofisiologi dyspnea pada gagal jantung :
6
Refleks bronkokonstriksi (pada fase akut)
Gagal jantung
Volum vascular pulmonal naik, cairan interstisial paru naik (edema
paru)
Bendungan paru (hipertensi pulmonal)
Ventilasi paru menurun,restrictive work
meningkat (frictional ressistance naik)
Kapasitas total paru meningkat, lung compliance
berkurang,resistance elastic meningkat
dyspnea
Anamnesis
I. Riwayat penyakit sekarang
Kapan terjadi gejala seperti ini, apakah saat malam saja? (PND)
Apakah disertai nyeri dada?
Sesak nafas saat inspirasi / ekspirasi?
Aktifitas apa saja yg membuat pasien sesak? (DOE)
Nafasnya bunyi disertai (wheezing) atau tidak?
Bagaimana warna bercak darah yg keluar saat pertama batuk?
Apakah ada penurunan berat badan secara signifikan?
Pemakaian bantal berapa banyak saat tidur?
Sesaknya baru saat ini atau sudah lama?
II. Riwayat penyakit dahulu
Adakah riwayat hipertensi?
Adakah riwayat asma?
Adakah riwayat DM?
III. Riwayat penyakit keluarga
Adakah riwayat hipertensi?
Adakah riwayat asma?
Adakah riwayat DM?
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : orthopnoe
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital
Suhu : -
Tekanan darah : 200/100 mmHg
Heart Rate : 120x/menit, ritme tidak teratur, irama dan pengisian tidak teratur
7
Pernafasan : 28x/menit
Status Lokalis
Kulit : (-)
KGB : (-)
Kepala : (-)
Leher : JVP (5+4) cmH2O, Arteri karotis pulsus tidak teratur. Bruit dan thrill(-), Struma(-).
Thorax : Jantung dan Paru
Ictus cordis pada ICS IV, 2 jari lateral garis midklavikularis. Aktivitas apeks meningkat
S1-S2 iregular, pansystolic murmur grade III/6 dengan punct max di apeks menjalar ke aksila
Ronkhi basah pada seluruh lapangan paru
Abdomen : Hepatomegali 3 jari b.a.c, Hepatojugular refluks (+). Lien tidak teraba. Ascites (-)
Extremitas atas : (-)
Extremitas bawah : Edema pretibial (+/+)
Keadaan patologis yang didapat dari kasus :
1. Sesak nafas
Sesak nafas dapat didefinisikan keadaan dimana kekurangan udara yang diinspirasi
atau sedikit yang diekspirasi sehingga merasa sesak waktu bernafas, disebut dalam keadaan
dyspnoe. Kadang-kadang disertai dengan gerakan cuping hidung atau kadang disertai
dengan cyanosis. Dyspnoe ini sering ditemui misalnya pada asma cardiale akibat dari
decompensatio cordis kiri dan asma bronchial, yang membedakan diantara keduanya adalah
dyspnoe pada asma bronciale ditemukan pada pernafasan ekspirasi dimana disertai bunyi
seperti siulan (Wheezing) dan dyspnoe pada asma bronchiale tidak membaik dengan posisi
tertentu. Sedangkan dyspnoe pada asma cardiale dapat membaik bahkan mengilang dengan
posisi duduk dan akan memperburuk dyspnoe dengan posisi berbaring.
8
Pada kasus ini Dyspnoe disebabkan akibat asma cardiale yang terjadi akibat
decompensatio cordis kiri, sehingga mengakibatkan gangguan pengosongan ventrikel kiri.
Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya tekanan ventikel kiri dan atrium kiri sehingga
terjadi peningkatan tekanan vena pulmonalis, vena pulmonalis merupakan muara dari
kapiler paru baik dari bronkial maupun alveoli, sehingga tekanan vena pulmonal yang tinggi
terjadi kongesti baik di kapiler alveoli maupun kapiler bronkus selanjutnya akan terjadi
udema pada mukosa bronchus hal iini terjadi akibat transudasi cairan sehingga alveoli
dimana udara didalamnya akan terdesak oleh cairan tersebut. Penderita dengan
decompensatio cordis kiri menunjukan ventilasi restriktif, sehingga menurunnya kapasitas
vital sebagai konsekuensi terdesaknya udara didalam alveoli oleh cairan interstisial atau
darah (jika pecahnya kapiler), akibatnya paru menjadi kaku (rigid) dan compliance menurun.
Keadaan tersebut menyebabkan resistensi jalan nafas meningkat sehingga sesorang dengan
keadaan seperti ini akan merasakan kekurangan udara (dyspnoe) yang mengakibatkan orang
tersebut berusaha meningkatkan udara yang masuk dengan cara bernafas dangkal dan cepat.
2. Hemoptosis
Dapat terjadi pada berbagai penyakit jantung. Pada hipertensi sistemik dapat terjadi
posterior epitaxis sehingga menyebabkan adanya darah dalam sputum seperti hemoptisis.
Hipertensi Pulmonal menyebabkan pecahnya vena paru submukosa (venula) akibat gagal
jantung kiri, M.S, emboli pulmonal dengan nekrosis. Frothy sputum terjadi pada udema
paru, sputum kemerahan dan berbuih.
3. Paroxysmal nocturnal dyspnea
Keadaan dimana terbangun (berbaring) karena dyspnea yang dipicu oleh edema paru
interstisial, dimana dyspnea membaik dengan posisi duduk. Keadaan ini terjadi disebabkan
dengan posisi tidur (berbaring) terjadi redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh
bagian bawah ke arah sirkulasi sentral hal tersebut terjadi karena berkurangnya cairan
ektravaskular akibat masuknya ke dalam intravaskular sehingga menyebabkan alir balik
vena meningkat (venous return), sedangkan ventrikel kiri yang gagal tidak dapat menerima
peningkatan venous return, sehingga tekanan vena pulmonal akan meningkat yang
mengakibatkan udema paru yang berakibat menurunya compliance paru, sehingga
9
menyebabkan dyspnea penderita akan terbangun karena merasa kekurangan udara, dengan
posisi duduk keadaan ini akan membaik karena dengan pengaruh gravitasi tekanan vena
pulmonal akan menurun yang diawali dengan penurunan venous return.
4. Tekanan darah 200/100
Tekanan darah sangat penting untuk dinilai , penilaiannya secara umum dilakukan
dengan diukur pada lengan yaitu arteri brachialis . Secara faali tekanan darah dipengaruhi
oleh cardiac output ( kekuatan kontraksi ventrikel kiri ) , Keadaan pembuluh darah tepi dan
yang terakhir, darah yaitu volume dan viskositasnya. Pada pasien ini hasil pengukuran
tekanan darah menunjukan melebihi nilai normal ( hipertensi ) yaitu sistolik kurang dari
140 dan diastolik kurang dari 90 mmHg ( <140/<90 mmHg ) . Sedangkat menurut The Joint
National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High BLOOD Pressure,
pasien ini masuk kedalam klasifikasi kelas 2, dimana sistolik 160-179 dan diastolik 100-109.
Hipertensi terjadi karena perangsangan saraf otonom pada jantung yaitu saraf
simpatis dimana pusatnya terdapat di thoraco-lumbalis (T11- L2-3), perangsangan simpatis
ini akan meningkatkan inotropik, chronotropik, dromotropik sehingga menyebabkan tekanan
darah meningkat. Selain itu peningkatan tekanan darah pada pasien ini dimana telah terjadi
decompensatio cordis. Decompensatio cordis ini menyebabkan menurunnya volume
sekuncup akan mengakibatkan respons simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas
adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik
jantung dan medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung akan meningkat
untuk menambah curah jantung. Selain itu terjadi vasokonstriktor arteri perifer untuk
menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah
ke organ-organ yang metabolismenya rendah (misalnya kulit dan ginjal) untuk
mempertahannkan perfusi ke jantung dan otak. Hal ini menyebabakan meningkatnya
tekanan darah.
Peningakatan tekanan darah juga dipengaruhi akibat aktivasi Sistem Renin
Angiotensin Aldosteron, namun meknisme pasti yang menyebabkan aktivasi RAAS pada
gagal jantung masih belum jelas. Namun, diperkirakan terdapat sejumlah faktor seperti
rangsangan simpatis adrenergik pada reseptor beta di dalam aparatus juxtaglomerulus,
respons reseptor makula densa terhadap perubahan pelepasan tekanan darah sirkulasi.
10
Namun apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akibat decompensatio cordis
akan menyebabkan penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus
menurun sehingga merangsang pelepasan renin oleh aparatus juktaglomerulus sehingga
teraktivasi RAAS, menyebabkan meningkatnya retensi natrium dan air sehingga volume
cairan akan meningkat dan vasokonstriksi arteriol sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah .
Jadi dapat disimpulkan pada kasus ini diawali akibat hipertensi primer yang
merupakan salah satu penyebab decompensatio cordis kiri, sehingga sebagai respons
kompensatorik berupa peningkatan aktivitas adrenergik simpatis dan aktivasi Sistem Renin
Angiotensi Aldosteron.1
5. Nadi 120 kali dengan pengisian dan irama yang tidak teratur
Denyut nadi yang dicatat sebagai tanda vital adalah denyut nadi radialis, salah satu
penilainnya adalah frekuensi. Frekuensi nadi/menit normalnya adalah 60-100 kali/menit
dalam keadaan pasien istirahat. Apabila lebih dari 100 kali/menit disebut pulsus frequens (=
tachycardia), apabila kurang dari 60 kali/menit disebut pulsus rarus (= bradycardia). Pada
pasien ini frekuensi nadi 120 kali per menit sehingga lebih dari nilai normal (tachycardia).
Tachycardia mencerminkan respons terhadap rangsangan saraf simpatis, dimana pada
decompensatio cordis terdapat respons kompensatorik dengan meningkatan aktivitas
adrenergik simpatis, perangsangan saraf simpatis ini akan meningkatkan inotropik,
dromotropik, dan yang berhubungan dengan peningkatan frekuensi adalah kronotropik.
Selain itu perubahan frekuensi dan keteraturan denyut arteri merupakan petanda
adanya aritmia jantung. Irama jantung yang tidak teratur dihubungkan dengan variabilitas
amplitudo denyut nadi. Apabila jarak antara dua impuls jantung tidak teratur maka waktu
pengisian ventrikel menjadi tidak teratur dan dengan sendirinya volume sekuncup pada setiap
denyut jantung menjadi berbeda.
6. Pernafasan 28 kali/menit
Pada pemeriksaan fisik pernafasan yang diperiksa adalah frekuensi, irama, tipe dan
kelainan pada pernafasan. Frekuensi pernafasan dipengaruhi aktifitas fisik , emosi, umur dan
obat-obatan. Nilai normal pada pria 14-20 kali/menit. Apabila lebih dari 20 kali/ menit
11
disebut tachypnoe , misalnya pada decompensatio cordis kiri, sedangkan apabila kurang dari
14 kali/menit disebut bradypnoe.
Pada pasien ini terjadi peningkatan pernafasan karena terjadi kekurangan udara akibat
sesak sehingga sebagai kompensasi pasien berusaha untuk mendapatkan udara dengan
meningkatkan frekuensi lebih cepat dari nilai normal dan dalam.
7. JVP 5+4
Tekanan Vena Jugularis dan pulsasinya mencerminkan fungsi jantung bagian kanan.
Vena jugularis diperiksa untuk menentukan tingginya tekanan di atrium kanan yang dapat
ditetapkan dengan melihat tingginya kolum pengisian darah di vena jugularis atau dengan
cara pasien berbaring telentang, leher rileks, lalu bendunglah vena itu di daerah proksimal
(di sebelah atas klavikula), sampai vena itu tampak jelas kemudian bendunglah dengan jari
di sebelah distal yaitu di bawah dagu dan bendungan di atas klavikula di lepas. Perhatikan
ujung kolom darah di dalam vena itu dan berilah tanda. Hitunglah jarak antara ujung kolom
darah tadi ke garis atau bidang horizontal, diberi tanda (+), apabila di bawahnya di beri
tanda minus (-), sedangkan garis horizontal yang melalui angulus sternalis diberi nilai
5cmH2O.
JVP ( Jugular Venous Pressure ) normal adalah 5+2 cm. Apabila JVP lebih dari 5+2
cm, JVP dianggap meningkat dan mungkin dijumapai pada decomp cordis kanan,
insufisiensi katup trikuspidalis. Pada kasus ini JVP melebihi nilai normal sehingga ada
kemungkinan kelainan pada jantung kanan, walaupun sebenarnya hipotesis awal lebih
mengarah pada decopensatio cordis kiri. Sehingga dapat disimpulkan decomp cordis kiri
pada pasien ini telah mengakibatkan pula decomp cordis kanan atau dalam kata lain telah
terjadi gagal jantung kongestif. Hal ini dapat dilihat dengan hasil JVP yang melebihi nilai
normal dan dilatasi vena jugularis, akibat dari decomp cordis kanan dimana terjadi gangguan
dalam menerima aliran balik vena.
8. Hepatojugular refleks positif
Uji refluks hepatojugular merupakan petunjuk diagnosis yang penting untuk
mengetahui adanya gagal jantung kanan. Kuadran kanan atas abdomen ditekan manual dan
dipertahankan selama 30 sampai 60 detik, bersamaan dengan itu amati vena pada leher ,
12
tekanan abdomen akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung. Jantung yang normal
dapat beradaptasi dan langsung menerima aliran balik vena yang meningkat. Tetapi apabila
jantung kanan mengalami gangguan makan jantung tidak dapat begitu saja menerima
peningkatan beban tersebut sehingga peregangan vena jugularis meningkat dan frekuensi
denyut vena di leher juga meningkat. Respons vena jugularis ini disebut uji refluks
hepatojugular positif.2
Dasar anatomi uji refluks hepatojugular bisa dimengerti dengan mengetahui bahwa
hati yang terletak strategis antara sirkulasi darah usus dan sistemik, berfungsi sebaggai
“gudang darah.“ Sinosoid-sinosoid hati menyimpan banyak sekali darah, yang di paksa
masuk ke dalam vena cava inferior melalui vena hepatika sewaktu terdapat tekanan di atas
hati selama uji refluks berlangsung.
9. Ictus cordis di ICS VI pada linea aksilaris anterior kiri, kuat angkat
Ictus cordis normalnya tampak pada sela iga V, 1-2 cm sebelah medial garis
midclavikularis kiri, diameternya kira-kira 2 cm. Letaknya akan bergeser sedikit kebawah
saat inspirasi dalam. Pada pasien ini terjadi ke abnormalitas dimana ictus cordis terletak
lebih lateral dan inferior dari normal yaitu ICS VI pada linea aksilaris anterior kiri. Hal ini
menunjukan adanya kemungkinan terjadinya hipertrofi ventrikel kiri, dan biasanya pulsasi
tampak lebih jelas dan nyata serta diameter > dari 2 cm.
Untuk membedakan dengan hipertrofi ventrikel kanan adalah, ictus cordis
menghilang dan tidak terlihat dan denyut ictus melemah sampai tidak teraba sama sekali.
Hipertrofi pada kasus ini terjadi sebagai respons kompensatorik dari meningkatnya
beban jantung akibat peningkatan venous return, hipertensi (riwayat penyakit pasien),
sebagai respons kompensatorik jantung mempertebal otot-otot ventrikel untuk meningkatkan
kontraksi akibat peningkatan beban jantung tersebut yang disebut hipertrofi.
10. S1 – S2 Irregular dan cepat
Auskultasi pada dada memungkinkan pengenalan bunyi jantung normal, bunyi
jantung abnormal dan bising. Bunyi jantung normal timbul akibat getaran volume darah dan
bilik-bilik jantung pada penutupan katup. Bunyi jantung pertama berkaitan dengan
penutupan katup arterioventrikular (AV), sedangkan bunyi jantung kedua berkaitan dengan
13
penutupan katup semilunaris, oleh karena itu bunyi jantung pertama (S1) terdengar pada
permulaan sistole ventrikel, pada saat ini tekanan ventrikel meningkat melebihi tekanan
atrium dan menutupnya katup mitralis dan trikuspidalis. Bunyi jantung kedua (S2) terdengar
pada permulaan relaksasi ventrikel karena tekanan ventrikel turun sampai di bawah tekanan
arteri pulmonalis dan aorta, sehingga katup pulmonalis dan aorta tertutup. Biasanya ejeksi
ventrikel kanan sedikit lebih lama dari ejeksi ventrikel kiri, sehingga katup menutup secara
asinkron dan ini merupakan fisiologis.2
Pada kasus ini bunyi jantung 1 dan 2 irreguler dan cepat merupakan keadaan
abnormal, bisa karena kelainan pada penutupan katup AV atau katup semilunaris.
11. Pansystolic murmur grade III/6 di apeks menjalar ke aksilaris kiri
Pansystolic atau holosystolic adalah bising yang terjadi pada seluruh fase sistolik ,
bisa karena stenosis aorta atau insufisiensi mitralis. Keras lunaknya bising dinilai dengan
skala I sampai IV. Skala I menyatakan bising yang sangat pelan, sedangkan skala IV
menyatakan bising dapat terdengar dengan stetoskop yang tidak menempel pada dinding
dada. Untuk menentukan daerah dengan bising jantung maksimal sering digunakan lima
daerah standart pada dinding dada , yaitu 1. Daerah aorta (daerah sela iga ke dua di tepi
kanan sternum) 2. Trikuspidalis (daerah sela iga ke lima di tepi kiri sternum) 3. Pulmonalis
(daerah sela iga ke dua di tepi kiri sternum) 4. Mitralis atau apikal (daerah sela iga ke lima
tepat dipertengahan garis midklavikularis kiri) 5. Titik Erb (daerah sela iga ke tiga ditepi
kiri sternum). Tempat-tempat ini merupakan tempat yang paling sering dipakai untuk
lokalisasi daerah bising maksimum. Bising terdengar paling keras pada daerah-daerah yang
terletak searah dengan aliran darah yang emalalui katup, bukan didaerah tempat katup-katup
itu berada.2
Pada pasien ini menunjukan adanya bising sistolik pada bagian apeks, sehingga ada
kemungkinan terjadi insufisiensi mitralis. Berdasarkan keras pelannya bising pasien ini
masuk pada skala III/6. Kemungkinan terjadinya insufisiensi mitralis akan memperberat
kerja ventrikel kiri sehingga memperberat decompensatio cordis kiri.
12. Ronki basah di seluruh lapang pandang paru
Ronki adalah suara tambahan pada suara nafas yang disebabkan oleh adanya cairan
eksudat/transudat/darah di dalam lumen bronchus. Apabila cairan itu bersifat encer, maka
14
yang terdengar ronki basah. Ronki basah biasanya terdengar pada akhir fase inspirasi dan
awal fase ekspirasi. Ronki basah yang terjadi pada pasien ini akibat edema paru yang terjadi
akibat tekanan dalam kapiler bronkus dan alveolus yang meningkat, dimana keduanya
bermuara pada vena pulmonalis yang terlebih dahulu mengalami peningkatan tekanan karena
gagal jantung kiri.
13. Hepatomegali 3 jari dibawah arcus costae
Palpasi hepar dilakukan mulai dari bawah ke atas (caudal ke cranial) sepanjang linea
midclavikularis kanan dengan cara meletakan tangan pemeriksa pada dinding abdomen saat
pasien ekspirasi, kemudian pasien disuruh melakukan inspirasi sambil tangan pemeriksa
berusaha menyentuh hepar yang bergerak turun bersama dengan inspirasi tadi. Apabila
hepar teraba oleh tangan pemeriksa , tetapkan berapa cm tempatnya teraba dari arcus costa,
konsistensinya (lunak, kenyal, keras, atau keras seperti batu), permukaannya (licin, kasar,
berbenjol), tepinya (tajam, tumpul, berbenjol), nyeri tekan atau tidak. Hepar yang normal
tidak teraba sampai batas arcus costae.
Pada kasus ini hepatomegali terjadi karena telah terjadinya decompensatio cordis
kanan yang diakibatkan decompensatio cords kiri. Decompensatio cordis kanan
mempengaruhi venous return, dimana terjadi peningkatan tekanan vena sehingga
menyebabkan bendungan pada vena. Akibat bendungan yang terjadi menyebabkan tekanan
hidrostatik meningkat melebihi tekanan osmotik sehingga cairan intravaskular dapat masuk
ke jaringan interstisiel sehingga menyebabkan hepatomegali (dan edema). Keadaan ini
biasanya akan diikuti peningkatan dari hasil laboratorium fungsi hepar yaiu SGPT dan
SGPT.
14. Edema pretibial pada kedua tungkai
Edema pada kasus ini terjadi karena kerusakan dari pada ventrikel menyebabkan
terjadinya bendungan sistemik. Bendingan sistemik ini terjadi akibat respons kompensatorik
dari gagal jantung yang terjadi dimana curah jantung yang menurun merangsang aktivitas
saraf simpatis selain itu juga curah jantung yang menurun mengakibatkan penurunan aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus sehingga merangsang juxta glomerulus untuk
mengahasilkan renin sehingga terjadi sisten renin angiotensin aldosteron yang meyebabkan
15
vasokontriksi dan meningkatkan retensi natrium dan air sehingga volume cairan meningkat.
Respons kompensatorik yang terjadi pada decompensatio cordis inilah yang menyebabkan
bendungan sistemik yang mengakibatkan tekanan hidrostatik meningkat melebihi tekanan
osmotik sehingga cairan intravaskular dapat masuk ke jaringan interstisiel sehingga terjadi
udema. Udema awalnya terjadi pada daerah yang letaknya rendah karena dipengaruhi gaya
gravitasi, seperti pada kasus ini pada pre tibial, apabila keadaan ini terus menerus akan
terjadi edema anasarka.
Pemeriksaan Penunjang
Interpretasi hasil lab
Jenis Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Keterangan Nilai Normal
Hb 12 g% Menurun 13-16 g%
Leukosit 9000/uL Normal 5000-10.000/uL
Ht 40% Normal 40-54%
Ureum 40 mg/dL Normal 20-40 mg/dL
Creatinin 1 mg/dL Normal 0,5-1,5 mg/dL
Gula Darah Sewaktu 110 mg/dL Normal < 150 mg/dL
Kolesterol total 250 mg/dL Tinggi < 200 mg/dL
LDL 180 mg/dL Tinggi < 100 mg/dL
HDL 40 mg/dL Normal 40-50 mg/dL
Trigliserida 175 mg/dL Tinggi < 200 mg/dL
Pada pemeriksaan Hb tampak mengalami penurunan itu disebabkan karena pasien terkadang batuk dengan dahak yang disertai darah.
Kadar LDL pada pasien ini tergolong tinggi maka penimbunan yang terjadi akan mempersempit pembuluh darah (aterosklerosis)
Dilihat dari ratio antara LDL dan HDL pada pasien ini (180 : 40 = 4,5) juga menandakan bahwa pasien mengalami aterosklerosis. Karena normalnya ratio antara LDL dan HDL adalah sebesar < 3.
16
Pemeriksaan Foto Toraks
Hasil foto yang diberikan tidak valid, karena tidak tercantum identitas dari pasien, dan kualitas
foto yang kurang baik. Dari hasil perhitungan menurut rumus CTR (Cardia Thoracic ratio) yaitu
perbandingan antara besar jantung dan besar cavum thorax didapatkan hasil lebih dari 50%. Hasil ini
menandakan terjadinya Kardiomegali dengan adanya hipertrofi pada ventrikel kiri. X-ray dada yang khas
dengan pulmonary edema menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang - bidang paru
daripada biasanya.
Pemeriksaan EKG
17
Frekuensi, pada sandapan 1 : 3 kotak sedang. Frekuensi 100 x/ menit
Irama jantung = aritmia
Pada semua sandapan gelombang P sukar untuk dilihat hanya berupa getaran saja.
Dari EKG, kelompok kami menilai terdapat hipertrofi ventrikel kiri. Dasar yang
mendukung terjadinya hipertrofi ventrikel kiri :
→ Adanya depresi segmen ST pada V1, dan V2
→ Adanya Left axis deviation
Menghitung axis deviation :
Pada sandapan I : Gelombang R : 7 + (-1) = 6
Pada sandapan III : Gelombang R : 1 + (-8) = -7
Pemeriksaan Ekokardiogram
- Dilatasi atrium kiri
18
Karena terjadi kenaikan tekanan rata – rata dalam ventrikel kiri sehingga menyebabkan hambatan aliran masuknya darah ke ventrikel kiri, hal ini menyebabkan terjadinya dilatasi atrium kiri.
- Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kiri
Volume overload menyebabkan dilatasi ventrikel kiri sehingga fungsi sistolik menurun. Pressure
overload menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri sehingga fungsi diastolik menurun.
- Fungsi sistolik menurun
Hal ini menandakan adanya gangguan pengosongan pada ventrikel kiri , sehingga terjadi dilatasi dan
hipokinetik menyeruluh atau segmental dan biasa terlihat pada gagal jantung sistolik.
- Fungsi diastolik menurun (gangguan retraksi IV)
Hal ini disebabkan oleh adanya hipertrofi venrikel
- Regurgfitasi dari LV ke LA saat sistolik
Disebabkan oleh adanya gangguan fungsi pada katup mitral. Fungsi katup mitral yang baik
tergantung dari koordinasi yang normal dari annulus mitralis dinding atrium kiri, daun katup, korda
tendinae, m. Papillaris dan dinding vertikel kiri. Bila satu atau lebih koordinasi tersebut terganggu
maka penutupan katup tidak akan sempurna. Pada kasus ini mungkin karena adanya dilatasi dan
hipertrofi sehingga menyebabkan koordinasi tersebut menjadi tidak baik dan terjadilah regurgitasi
mitral.
Diagnosis Kerja
Congestive Heart Failure ec. Hipertensi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan terpenuhinya Kriteria CHF Framingham dan hasil pemeriksaan penunjang.
Kriteria yang terpenuhi.
Kriteria Mayor :
1. PND.
2. Peningkatan tekanan vena jugularis
3. Ronkhi basah
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Refluks hepatojugular.
19
Kriteria minor :
1. Edema pergelangan kaki
2. Hepatomegali
3. Efusi pleura
4. Takikardi (120x/menit).
Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor
harus ada di saat bersamaan.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dberikan pada pasien ini antara lain :
Terapi di UGD :
- Bed rest, posisi duduk/setengah duduk dengan bertujuan menurunkan aktifitas kerja jantung dan menurunkan cairan paru agar turun kebawah agar tidak terjadi penumpukan cairan di rongga thoraks.
- Oksigen nasal 4 L/menit bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi tubuh
- Isosorbid dinitrate IV start 10 ug/menit, dititrasi naik sesuai klinis dan TD bertujuan untuk vasodilator arteri sehingga dapat menurunkan tekanan pada jantung sehingga kerja jantung lebih ringan
- Furosemide IV 60mg termasuk diuretika kuat sehingga bertujuan untuk mengatasi oedem
- Digoksin IV 0,5mg bertujuan untuk kontraksi miokard lebih kuat
Rencana terapi kemudian :- Restriksi cairan dan garam untuk mengurangi retensi Na sehingga dapat mengurangi
oedem- Ace inhibitor/angiotensib receptor bloker bertujuan untuk menurunkan tekanan darah
- Diuretik untuk oedem dan hipertensi
- Beta bloker bertujuan untuk mengurangi efek simpatis sehingga dapat menurunkan HR
- Antagonis aldosteron salah satu nya adalah spironolakton bertujuan agar kalium dalam darah tetap dipertahankan
- Digoksin bertujuan untuk kontraksi miokard lebih kuat
Prognosis
Ad Vitam : dubia ad malam
20
Karena sudah menjalar dari decompensatio cordis sinistra ke decompensatio cordis dextra,
jika penanganan baik akan memperpanjang hidup pasien bukan menyembuhkan. Dengan
kata lain terapi nya bersifat suportif
Ad Sanationam : ad malam
Adanya penyakit hipertensi dapat meningkat beban hemodinamik jantung.
Ad Functionam : ad malam
Karena gagal jantung kongestif mengakibatkan perburukan kerja fungsi jantung.
21
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI DAN FISIOLOGI JANTUNG
Sistem kardiovaskuler merupakan sistem yang memberi fasilitas proses pengangkutan berbagai
substansi dari, dan ke sel-sel tubuh. Sistem ini terdiri dari organ penggerak yang disebut jantung, dan
sistem saluran yang terdiri dari arteri yang mergalirkan darah dari jantung, dan vena yang mengalirkan
darah menuju jantung.
Jantung manusia merupakan jantung berongga yang memiliki 2 atrium dan 2 ventrikel. Jantung
merupakan organ berotot yang mampu mendorong darah ke berbagai bagian tubuh. Jantung manusia
berbentuk seperti kerucut dan berukuran sebesar kepalan tangan, terletak di rongga dada sebalah kiri.
Jantung dibungkus oleh suatu selaput yang disebut perikardium. Jantung bertanggung jawab untuk
mempertahankan aliran darah dengan bantuan sejumlah klep yang melengkapinya. Untuk mejamin
kelangsungan sirkulasi, jantung berkontraksi secara periodik.
Otot jantung berkontraksi terus menerus tanpa mengalami kelelahan. Kontraksi jantung manusia
merupakan kontraksi miogenik, yaitu kontaksi yang diawali kekuatan rangsang dari otot jantung itu
sendiri dan bukan dari syaraf.
Terdapat beberapa bagian jantung (secara anatomis) akan kita bahas dalam makalah ini,
diantaranya yaitu :
a. Bentuk Serta Ukuran Jantung
Jantung merupakan organ utama dalam sistem kardiovaskuler. Jantung dibentuk oleh organ-
organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan dan kiri serta ventrikel kanan dan kiri. Ukuran
jantung panjangnya kira-kira 12 cm, lebar 8-9 cm seta tebal kira-kira 6 cm. Berat jantung sekitar 7-
15 ons atau 200 sampai 425 gram dan sedikit lebih besar dari kepalan tangan.
Ada 4 ruangan dalam jantung dimana dua dari ruang itu disebut atrium dan sisanya adalah
ventrikel. Pada orang awam, atrium dikenal dengan serambi dan ventrikel dikenal dengan bilik.
22
Kedua atrium merupakan ruang dengan dinding otot yang tipis karena rendahnya tekanan
yang ditimbulkan oleh atrium. Sebaliknya ventrikel mempunyai dinding otot yang tebal terutama
ventrikel kiri yang mempunyai lapisan tiga kali lebih tebal dari ventrikel kanan.
Kedua atrium dipisahkan oleh sekat antar atrium (septum interatriorum), sementara kedua
ventrikel dipisahkan oleh sekat antar ventrikel (septum inter-ventrikulorum). Atrium dan ventrikel
pada masing-masing sisi jantung berhubungan satu sama lain melalui suatu penghubung yang
disebut orifisium atrioventrikuler. Orifisium ini dapat terbuka atau tertutup oleh suatu katup
atrioventrikuler (katup AV). Katup AV sebelah kiri disebut katup bikuspid (katup mitral) sedangkan
katup AV sebelah kanan disebut katup trikuspid.
b. Katup-Katup Jantung
Diantara atrium kanan dan ventrikel kanan ada katup yang memisahkan keduanya yaitu katup
trikuspid, sedangkan pada atrium kiri dan ventrikel kiri juga mempunyai katup yang disebut dengan
katup mitral/ bikuspid. Kedua katup ini berfungsi sebagai pembatas yang dapat terbuka dan tertutup
pada saat darah masuk dari atrium ke ventrikel.
1) Katup Trikuspid
23
Katup trikuspid berada diantara atrium kanan dan ventrikel kanan. Bila katup ini terbuka, maka
darah akan mengalir dari atrium kanan menuju ventrikel kanan. Katup trikuspid berfungsi
mencegah kembalinya aliran darah menuju atrium kanan dengan cara menutup pada saat
kontraksi ventrikel. Sesuai dengan namanya, katup trikuspid terdiri dari 3 daun katup.
2) Katup pulmonal
Setelah katup trikuspid tertutup, darah akan mengalir dari dalam ventrikel kanan melalui trunkus
pulmonalis. Trunkus pulmonalis bercabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang akan
berhubungan dengan jaringan paru kanan dan kiri. Pada pangkal trunkus pulmonalis terdapat
katup pulmonalis yang terdiri dari 3 daun katup yang terbuka bila ventrikel kanan berkontraksi
dan menutup bila ventrikel kanan relaksasi, sehingga memungkinkan darah mengalir dari
ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis.
3) Katup bikuspid
Katup bikuspid atau katup mitral mengatur aliran darah dari atrium kiri menuju ventrikel kiri..
Seperti katup trikuspid, katup bikuspid menutup pada saat kontraksi ventrikel. Katup bikuspid
terdiri dari dua daun katup.24
4) Katup Aorta
Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal aorta. Katup ini akan membuka
pada saat ventrikel kiri berkontraksi sehingga darah akan mengalir keseluruh tubuh. Sebaliknya
katup akan menutup pada saat ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah masuk kembali
kedalam ventrikel kiri.
Jantung adalah salah satu organ tubuh yang vital. Jantung kiri berfungsi memompa darah bersih
(kaya oksigen/zat asam) ke seluruh tubuh, sedangkan jantung kanan menampung darah kotor (rendah
oksigen, kaya karbon dioksida/zat asam arang), yang kemudian dialirkan ke paru-paru untuk dibersihkan.
Jantung normal besarnya segenggam tangan kiri pemiliknya. Jantung berdenyut 60-80 kali per menit,
denyutan bertambah cepat pada saat aktifitas atau emosi, agar kebutuhan tubuh akan energi dapat
terpenuhi. Andaikan denyutan jantung 70 kali per menit, maka dalam 1 jam jantung berdenyut 4200 kali
atau 100.800 kali sehari semalam. Tiap kali berdenyut dipompakan darah sekitar 70 cc, jadi dalam 24 jam
jantung memompakan darah sebanyak kira-kira 7000 - 7.571 liter.
Jantung mempunyai dua fungsi :
1. Jantung harus menyediakan darah yang cukup mengandung oksigen dan nutrisi untuk organ-
organ dari tubuh, darah ini harus mempunyai tekanan yang cocok untuk perfusi dan pemberian
makanan. Pada saat yang sama jantung juga harus memompakan darah yang mengandung bahan-
bahan sisa ke organ-organ ekskresi misalnya hati dan ginjal dan memompakan darah yang suhunya
berlebihan ke sistem pendingin dari tubuh, yaitu pembuluh darah di kulit. Semua hal ini dapat
dilakukan oleh jantung sebelah kiri.
2. Fungsi lain dari jantung ialah mengisi darah dengan oksigen yang segar dari udara dan pada saat
yang bersamaan mengekskresi salah satu hasil akhir metabolisme yaitu karbondioksida. Pertukaran
kedua gas ini dengan udara dari alveoli paru berlangsung melaui membran alveolus yang sangat tipis.
Jika tekanan sama tingginya dengan tekanan di bilik kiri atau aorta, cairan darah segera akan mengisi
alveoli dengan cara filtrasi dan penderita akan mati oleh karena edema paru.
25
II. HIPERTENSI
1. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah arterial tinggi (meningkat) atau tekanan
sistolik lebih besar atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih besar atau sama dengan
90 mmHg7.
2. Klasifikasi
a. Hipertensi Berdasarkan Etiologinya
1) Hipertensi primer atau essensial adalah hipertensi yang penyebabnya
tidak diketahui4. Hipertensi primer sekitar 90-95%8.
2) Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh adanya
penyakit lain4,9.
b. Hipertensi Berdasarkan Derajatnya
Hipertensi diklasifikasikan menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, 20037.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Dewasa Usia 18 tahun atau lebih
Kategori Tekanan Darah
Sistolik Diastolik
Normal <120 mmHg <80 mmHg
Prehipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi tingkat 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Hipertensi tingkat 2 ≥160 mmHg ≥100 mmHg
3. Faktor Risiko Hipertensi
Faktor-faktor risiko hipertensi, antara lain:
a. Usia (>60 tahun)10.
b. Faktor genetik10.
c. Jenis kelamin10.
26
d. Stress8.
e. Asupan garam10
f. Obesitas4,9
g. Gaya hidup yang kurang sehat:
1) Kebiasaan merokok8
2) Minum minuman beralkohol
3) Kurangnya aktivitas fisik4,10
4. Patofisiologi
Di dalam tubuh, terdapat empat sistem yang mengendalikan tekanan darah, yaitu baroreseptor,
pengaruh volume cairan tubuh, sistem renin-angiotensin, dan autoregulasi pembuluh darah. Menurut
persamaan hidrolik, tekanan darah arterial (BP) adalah berbanding langsung dengan hasil perkalian
antara aliran darah (curah jantung, CO) dan tahanan lewatnya darah melalui arteriol prekapiler
(tahanan vaskular perifer, PVR)8.
Hipertensi akan terjadi apabila ada perubahan pada persamaan tekanan darah karena adanya
perubahan salah satu faktor yaitu resistensi pembuluh darah perifer (tahanan perifer) maupun curah
jantung. Beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi perubahan dua hal tersebut, antara lain
faktor genetik, stres, asupan garam yang berlebihan, obesitas, nefron yang berkurang dan bahan-
bahan yang berasal dari endotel11.
5. Diagnosis
Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan pengukuran tekanan darah secara berulang-ulang.
Tekanan darah diukur saat seorang duduk selama 5 menit, dengan kaki berada di lantai dan lengan
setinggi posisi jantung7. Setelah dilakukan ≥2 kali pengukuran tekanan darah pada waktu yang
berbeda (berselang minimal 1 minggu)7,10, didapatkan nilai tekanan darah rata-rata ≥140/90 mmHg,
maka diagnosis hipertensi dapat ditegakkan10.
6. Komplikasi
Pada penderita hipertensi yang tidak diobati akan terjadi peningkatan morbiditas dan
mortalitas. Komplikasi – komplikasi hipertensi, antara lain:
27
TEKANAN DARAH = CURAH JANTUNG X TAHANAN PERIFER8
a. Penyakit jantung : 1) Hipertrofi ventrikel kiri, 2) Angina, 3) Infark miokardium, 4) Gagal jantung,
5) Penyakit jantung koroner7,5. Jumlah kematian akibat hipertensi yang disebabkan oleh infark
miokardium dan gagal jantung sebesar 50 %.
b. Stroke atau transient ischemic attack.
c. Gagal ginjal.
d. Peripheral arterial disease5.
e. Retinopathy7.
7. Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan pengobatan penderita hipertensi essensial adalah untuk mencapai tekanan darah kurang
dari 140/90 mmHg7,5 dan mengendalikan setiap faktor risiko kardiovaskular melalui perubahan gaya
hidup7,5,12. Langkah-langkah yang termasuk perubahan gaya hidup, antara lain:
a. Penderita hipertensi yang memiliki berat badan berlebihan dianjurkan untuk menurunkan berat
badannya sampai batas ideal (Body Mass Index (BMI) 18,5-24,9 kg/m2)7
b. Mengadopsi DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) eating plan.7
c. Mengurangi garam dalam diet. Konsumsi garam harus dibatasi sampai kurang dari 2,4 gram
natrium atau 6 gram natrium klorida sehari10,13. Berhenti merokok10.
d. Membatasi minum kopi sampai maksimum 3 cangkir sehari10.
e. Membatasi minum alkohol tidak lebih dari 2 konsumsi untuk laki-laki dan 1 konsumsi untuk
wanita10.
f. Cukup istirahat dan tidur adalah penting, karena selama periode itu tekanan darah menurun10.
g. Olahraga secara teratur dapat menurunkan tekanan darah yang tinggi7,10.
Terapi Farmakologis
Berikut ini macam-macam golongan obat antihipertensi yang dapat langsung diberikan secara
sendiri-sendiri maupun kombinasi :
a. Diuretika
Diuretika menurunkan tekanan darah dengan cara mengosongkan simpanan natrium tubuh.8
b. Beta Blocker
Beta Blocker memblokade reseptor β1 di jantung (juga di Sistem saraf pusat (SSP) dan ginjal)
sehingga menyebabkan melemahnya daya kontraksi jantung, penurunan frekuensi jantung, dan
penurunan volume-menitnya. Beta Blocker juga memblokade reseptor β2 di bronkus yang
menyebabkan vasokontriksi bronkus.10
28
c. ACE Inhibitor
ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan jalan mengurangi daya tahan pembuluh
perifer dan vasodilatasi tanpa menimbulkan refleks takikardia atau retensi garam.10
d. Angiotensin II Antagonist / Angiotensin II Receptor Blocker
Angiotensin II Antagonist menghalangi penempelan zat angiotensin II pada reseptornya
sehingga tidak terjadi vasokonstriksi dan tidak terjadi retensi air dan garam.8,10
e. Calsium Channel Blocker
Calsium Channel Blocker melebarkan arteriol perifer dan mengurangi tekanan darah.
Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat infulks kalsium ke dalam sel otot polos arteri
sehingga dapat mengurangi penyaluran impuls dan kontraksi miokard serta dinding pembuluh
darah8,10. Contoh obatnya yaitu nifedipin, diltiazem dan verapamil8.
29
Perubahan gaya hidup
Tidak mencapai tekanan darah yang diharapkan
(<140/90 mmHg atau <130/80 mmHg bagi penderita diabetes atau penyakit ginjal kronis)
Mulai terapi farmakologis
Tanpa indikasi pemaksa
Dengan indikasi pemaksa
Hipertensi tingkat 1 (TDS 140–159 mmHg atau TDD 90–99 mmHg) Diuretika tipe tiazid paling
sering dipakai. Mungkin juga mempertimbangkan ACE
Inhibitor, ARB, BB, CCB, atau kombinasi
Hipertensi tingkat 2 (TDS ≥ 160 mmHg
atau TDD ≥ 100 mmHg) Kombinasi dua macam
obat paling sering dipakai ( Biasanya
diuretika tipe tiazid dan ACE Inhibitor, atau ARB,
atau BB, atau CCB)
Tidak mencapai tekanan darah yang diharapkan
Optimalkan dosis atau beri obat tambahan sampai tercapai tekanan darah yang diharapkan. Konsultasi dengan ahli hipertensi.
Obat antihipertensi lainnya (Diuretika , ACE Inhibitor, ARB,
BB, CCB) sesuai kebutuhan
III. PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI
1. Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh tidak terkontrolnya
tekanan darah tinggi dalam waktu yang lama, yang ditandai adanya hipertrofi ventrikel kiri (HVK)
sebagai akibat langsung dari tingginya tekanan darah tersebut3.
2. Etiologi
Sebab utama penyakit jantung hipertensi adalah tekanan darah yang meningkat dan
berlangsung kronik. Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan
30
berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung memompa
darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah, ventrikel kiri membesar dan jumlah
darah yang dipompa jantung setiap menitnya (cardiac output) berkurang.4
3. Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi berjalan cukup kompleks, karena berhubungan
dengan berbagai faktor, seperti hemodinamik, struktural, neuroendokrin, selular, dan molekular. Di
satu sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di
sisi lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut. Peningkatan
tekanan darah menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung melalui 2 cara: secara langsung
melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui neurohormonal dan perubahan
vaskular terkait4,14.
4. Komplikasi penyakit hipertensi yang tidak terkontrol
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Abnormalitas atrium kiri
c. Penyakit katup jantung
d. Penyakit jantung koroner
e. Gagal jantung4
5. Diagnosis
Diagnosis penyakit jantung hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Anamnesisnya sesuai dengan anamnesis riwayat penyakitnya sekarang
dan adanya riwayat penyakit hipertensi yang tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik kemungkinan
didapatkan:
a. Batas-batas jantung melebar
b. Impuls apeks prominen
c. Bunyi jantung S2 meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta
d. Kadang-kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta
e. Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat peninggian tekanan atrium kiri
f. Bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel
kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri
g. Suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau kering
h. Pemeriksaan perut untuk pembesaran hati, limpa, ginjal, dan ascites3,14,15
31
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung
hipertensi, antara lain:
a. Pemeriksaan laboratorium awal (pemeriksaan darah dan urinalisa)
b. Analisis gas darah
c. Elektrokardiografi untuk menemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri jantung
d. Foto thorax untuk menemukan adanya pembesaran jantung atau tanda-tanda bendungan paru
e. Echocardiography, dilakukan karena dapat menemukan HVK lebih dini dan lebih spesifik
(spesifisitas sekitar 95-100%)3,14,15
6. Penatalaksanaan
Penatalaksaan penyakit jantung hipertensi sesuai dengan penatalaksanaan hipertensi4.
IV. GAGAL JANTUNG KONGESTIF
1. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu
memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gagal jantung kongestif adalah keadaan
saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya.5
2. Epidemiologi
Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Salah satu penelitian
menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50 tahun, sekitar 5% dari
mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang berusia 85 tahun atau lebih. Di
Amerika Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus
baru setiap tahunnya. Kondisi ini lebih sering pada penduduk Amerika Afrika daripada penduduk
kulit putih.6
3. Penyebab gagal jantung kongestif
a. Kelainan mekanik
1) Peningkatan beban tekanan
a) Sentral (stenosis aorta, dll)
b) Perifer (hipertensi sistemik, dll)
32
2) Peningkatan beban volume (regurgitasi katup, pirau, peningkatan beban awal, dll )
3) Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitral atau trikuspidal)
4) Tamponade perikardium
5) Pembatasan miokardium atau endokardium
6) Aneurisma ventrikel
7) Dissinergi ventrikel6
b. Kelainan miokardium (otot)
1) Primer
a) Kardiomiopati
b) Miokarditis
c) Kelainan metabolik
d) Toksisitas (alkohol, kobalt)
e) Pesbikardia6
2) Kelainan disdinamik sekunder (akibat kelainan mekanik)
a) Deprivasi oksigen (penyakit jantung koroner)
b) Kelainan metabolik
c) Peradangan
d) Penyakit sistemik
e) Penyakit Paru Obstruksi Kronis6
c. Perubahan irama jantung atau urutan hantaran
1) Tenang
2) Fibrilasi
3) Takikardia atau bradikardia ekstrim
4) Asinkronitas listrik, gangguan konduksi6
4. Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif
Sindrom gagal jantung kongestif timbul sebagai konsekuensi dari adanya abnormalitas struktur,
fungsi, irama, ataupun konduksi jantung. Di negara-negara maju, disfungsi ventrikel merupakan
penyebab mayor dari kasus ini.5,16
Faktor-faktor komorbid menyebabkan mekanisme kompensasi sehingga terjadi gagal jantung.
Mekanisme kompensasi yang dapat terjadi antara lain adalah mekanisme kompensasi pada jantung,
syaraf otonom, dan hormon. Pada jantung, dapat terjadi mekanisme Frank Starling, hipertrofi dan
dilatasi ventrikel, dan takikardi. Pada syaraf otonom, terjadi peningkatan aktifitas syaraf simpatis.
33
Sedangkan pada mekanisme kompensasi yang terjadi pada hormon adalah berupa sistem renin-
angiotensi-aldosteron, vasopressin, dan natriuretik peptida5,16
a. Mekanisme Kompensasi pada Jantung
Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi pada fungsi jantung yang berhubungan dengan
gagal jantung dapat menurunkan daya kontraktilitas. Ketika terjadi penurunan daya kontraktilitas,
jantung berkompensasi dengan adanya kontraksi paksaan yang kemudian dapat meningkatkan
cardiac output. Pada gagal jantung kongestif, kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi
jantung menjadi kurang efisien. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan stroke volume yang
kemudian menyebabkan peningkatan denyut jantung untuk dapat mempertahankan cardiac output.
Peningkatan denyut jantung ini lama-kelamaan berkompensasi dengan terjadinya hipertrofi
miokardium, yang disebabkan peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk mempertahankan
kontaktilitas jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung masih belum dapat mencapai
stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu kompensasi terminal berupa peningkatan volume
ventrikel.5,16
Preload seringkali menunjukkan adanya suatu tekanan diastolik akhir atau volume
pada ventrikel kiri dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan atrium kanan.
Walaupun demikian, preload tidak hanya tergantung pada volume intravaskular, tetapi juga
dipengaruhi oleh keterbatasan pengisian ventrikel. Pompa otot jantung akan memberikan
respon pada volume output. Jika volume meningkat, maka jumlah darah yang mampu
dipompa oleh otot jantung secara fisiologis juga akan meningkat, hubungan ini sesuai
dengan hukum Frank-Starling.5,16
Tolak ukur akhir pada stroke volume adalah afterload. Afterload adalah volume darah yang
dipompa oleh otot jantung, yang biasanya dapat dilihat dari tekanan arteri rata-rata. Afterload tidak
hanya menunjukkan resistensi vaskular tetapi juga menunjukkan tekanan dinding thoraks dan
intrathoraks yang harus dilawan oleh miokardium. Ketiga variabel ini terganggu pada pasien gagal
jantung kongestif. Gagalnya jantung pada gagal jantung kongestif dapat dievaluasi dengan menilai
ketiga variabel tersebut. Jika cardiac output turun, maka denyut jantung dan stroke volume akan
berubah untuk mempertahankan perfusi jaringan. Jika stroke volume tidak dapat dipertahankan,
denyut jantung ditingkatkan untuk mempertahankan cardiac output.5,16
b. Mekanisme Kompensasi pada Syaraf Otonom dan Hormon
34
Respon neurohormonal meliputi aktivasi syaraf simpatis dan sistem renin-angiotensin, dan
peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (vasopressin) dan peptida natriuretik atrium.5,16 Sistem
syaraf simpatis dan renin-angiotensin adalah respon mayor yang dapat terjadi. Secara bersamaan,
kedua sistem ini menyebabkan vasokonstriksi sistemik, takikardi, meningkatkan kontraktilitas
miokardium, dan retensi air dan garam untuk mempertahankan tekanan darah sehingga perfusi
jaringan menjadi lebih adekuat. Namun jika berlangsung lama, hal ini dapat menurunkan cardiac
output dengan meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan denyut jantung dan
kontraktilitas miokardium dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Retensi air dan garam dapat
menyebabkan kongesti vena.16
Selain itu, faktor neurohormonal lain yang berperan dalam gagal jantung kongestif adalah
sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal dideteksi oleh reseptor sensorik pada
arteriol ginjal sehingga terjadi pelepasan renin dari ginjal. Hal ini dapat meningkatkan tekanan
filtrasi hidraulik glomerulus yang disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi pada ginjal.
Angiotensin II akan menstimulasi sintesis aldosteron, yang akan menyebabkan retensi air dan garam
pada ginjal. Awalnya, kompensasi ini merupakan usaha tubuh untuk mempertahankan perfusi
sistemik dan ginjal. Namun, aktivasi yang lama pada sistem ini dapat menyebabkan edema,
peningkatan tekanan vena pulmonal, dan peningkatan afterload. Hal ini dapat memperberat kondisi
gagal jantung.16
Mediator sistemik lainnya yang dapat dikenali adalah peningkatan konsentrasi endothelin
sistemik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer dan kemudian menyebabkan hipertrofi
miosit dan terjadilah remodelling. Peptida natriuretik pada atrium dan otak yang dilepaskan dari
atrium dapat menyebabkan peningkatan tekanan atrium. Peningkatan ini berkorelasi positif dengan
tingginya angka mortalitas dan aritmia ventrikel, walaupun korelasi ini tidak sekuat korelasi yang
ditimbulkan oleh peningkatan level norepinephrin plasma.16
Efek respon neurohormonal ini menyebabkan adanya vasokonstriksi (untuk mempertahankan
tekanan arteri), kontraksi vena (untuk meningkatkan tekanan vena), dan meningkatkan volume darah.
Umumnya, respon neurohormonal ini dapat dilihat dari mekanisme kompensasi, tetapi dapat juga
meningkatkan afterload pada ventrikel (yang menurunkan stroke volume) dan meningkatkan preload
sehingga menyebabkan edema dan kongesti pulmonal ataupun sistemik. Ada juga teori yang
menyatakan bahwa faktor lain yang dapat terjadi pada gagal jantung kongestif ini adalah nitrit oksida
dan endotelin (keduanya dapat meningkat pada kondisi gagal jantung) yang juga berperan dalam
patogenesis gagal jantung.16
35
5. Klasifikasi Gagal Jantung
Menurut Mansjoer (2001), berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan
pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal
jantung kongestif. Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort, fatigue, ortopnea,
dispnea nocturnal paroksismal, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular
heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernapasan cheyne stokes, takikardi, pulsus alternans,
ronkhi dan kongesti vena pulmonalis. (3,4)
Pada gagal jantung kanan timbul edema, liver engorgement, anoreksia,dan kembung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama
derap atrium kanan, murmur, tanda tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis
meningkat, bunyi P2 mengeras, asites, hidrothoraks, peningkatan tekanan vena,
hepatomegali, dan pitting edema. Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan
gagal jantung kiri dan kanan.(3,4)
New York Heart Association (NYHA), Mansjoer (2001) membuat klasifikasi fungsional
dalam 4 kelas :
1. Kelas 1 : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
2. Kelas 2 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari hari
tanpa keluhan
3. Kelas 3 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan.
4. Kelas 4 : Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah
baring. (3,4,5,6)
6. Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Kriteria
diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor.
Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain:
a. Paroksismal nokturnal dispnea
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
36
f. Gallop S3
g. Peningkatan tekanan vena jugularis (>16 cmH2O)
h. Refluks hepatojugular positif
Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain:
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d’effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit)
Kriteria mayor atau minor, antara lain penurunan berat badan ≥4,5 kg selama 5 hari
pemberian terapi.
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria mayor dan
2 kriteria minor17.
7. Penegakkan Diagnosis Gagal Jantung Kongestif
a. Anamnesis lengkap mengenai riwayat kardiopulmonal
b. Pemeriksaan fisik: hasil temuan berupa tanda klinis yang ada di criteria Framingham
c. Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan darah lengkap, kimia klinik, elektrolit, urinalisis, hormon
stimulasi tiroid, dan BUN)
d. Rontgen Thoraks: kardiomegali, edema paru
e. Elektrokardiografi: sesuai dengan hasil elektrokardiografi penyakit penyebab
8. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif
a. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Jika tidak terdapat faktor penyebab yang dapat diobati, penatalaksanaan medis adalah
dengan mengubah gaya hidup dan pengobatan medis. Perubahan gaya hidup ditujukan untuk
kesehatan penderita dan untuk mengurangi gejalanya, memperlambat progresifitas gagal
jantung kongestif, dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Hal ini berdasarkan
rekomendasi American Heart Association dan organisasi jantung lainnya.17
37
1) Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kardiomiopati khususnya
pada laki-laki dan usia 40 ke atas. Walaupun jumlah alkohol yang dapat menyebabkan kardiomiopati
tidak dapat ditegaskan, namun konsumsi alkohol lebih dari 11 unit per hari lebih dari 5 tahun dapat
menjadi faktor risiko terjadinya kardiomiopati. Semua penderita gagal jantung kongestif harus
diberikan masukan untuk menghindari konsumsi alkohol.17
2) Merokok
Tidak ada penelitian prospektif yang menunjukkan adanya efek merokok terhadap gagal
jantung kongestif. Namun, merokok dapat memperburuk keadaan gagal jantung kongestif pada
beberapa kasus. Dengan demikian, penderita dengan gagal jantung kongestif harus menghindari
rokok.17
3) Aktifitas fisik
Pada salah satu penelitian, dibuktikan bahwa penderita gagal jantung kongestif yang
melakukan aktifitas fisik memberikan outcome yang lebih baik daripada penderita gagal jantung
kongestif yang hanya ditatalaksana seperti biasa. Penderita gagal jantung kongestif yang sudah stabil
perlu dilakukan motivasi untuk dapat melakukan aktifitas fisik dengan intensitas yang rendah secara
teratur.17
4) Pengaturan diet
a) Membatasi konsumsi garam dan cairan
Pembatasan konsumsi garam pada penderita gagal jantung kongestif memiliki efek baik
terhadap tekanan darah. Penderita gagal jantung kongestif harus membatasi garam yang
dikonsumsi tidak boleh lebih dari 6 gram per hari.17
b) Monitor berat badan per hari
Belum ada percobaan klinis yang membuktikan adanya keterkaitan antara monitor berat badan
per hari dan penatalaksanaan gagal jantung kongestif. Namun, monitor terhadap berat badan ini
perlu dilakukan untuk mengidentifikasi perolehan berat badan atau kehilangan berat badan per hari
pada penderita gagal jantung kongestif.17
b. Penatalaksanaan Farmakologis
1) Diuretik
38
Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya terjadi pada
gagal jantung kongestif. Diuretik menyebabkan ginjal mengeluarkan kelebihan garam
dan air dari aliran darah sehingga mengurangi jumlah volume darah dalam sirkulasi.
Dengan volume darah yang rendah, jantung tidak akan bekerja keras. Dalam hal ini,
jumlah sel darah merah dan sel darah putih tidak berubah.5
Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis perlahan-lahan ditingkatkan
sampai output urine meningkat dan berat badan menurun, biasanya 0.5 hingga 1 kg per hari.
Dosis pemeliharaan diuretik digunakan untuk mempertahankan diuresis dan penurunan berat
badan. Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan dengan pembatasan konsumsi natrium.5,8
Diuretik yang biasanya digunakan pada gagal jantung meliputi furosemid, bumetanid,
hidroklortiazid, spironolakton, torsemid, atau metolazon, atau kombinasi agen-agen tersebut.
Spironolakton dan eplerenon tidak hanya merupakan diuretik ringan jika dibandingkan dengan
diuretik kuat seperti furosemid, tetapi juga jika digunakan dalam dosis kecil dan dikombinasikan
dengan ACE Inhibitor akan memperpanjang harapan hidup. Hal ini disebabkan karena kombinasi
obat ini mampu mencegah progresifitas kekakuan dan pembesaran jantung.5,8
2) Angiotensin Converting Enzym (ACE) Inhibitor
ACE Inhibitor dapat memperbaiki kondisi penderita gagal jantung kongestif, penyakit
jantung koroner, dan penyakit vaskular aterosklerosis, maupun nefropati diabetikum. ACE
Inhibitor tidak hanya akan mempengaruhi sistem renin-angiotensin, tetapi juga akan
meningkatkan aksi kinin dan produksi prostaglandin. Keuntungan penggunaan ACE Inhibitor ini
berupa mengurangi gejala, memperbaiki status klinis, dan menurunkan resiko kematian pada
penderita gagal jantung kongestif ringan, sedang, maupun berat, dengan atau tanpa penyakit
jantung koroner.5,8
3) Inotropik
Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang dapat
meningkatkan kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan sebagai pengobatan pada
kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan tidak berespon terhadap pengobatan standar
gagal jantung kongestif. Salah satu contohnya adalah digoksin. Obat ini digunakan untuk
memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan darah. Karena obat ini
menyebabkan pompa paksa pada jantung, maka obat ini disebut sebagai inotropik positif.
39
Namun demikian, digoksin merupakan inotropik yang sangat lemah dan hanya digunakan
untuk terapi tambahan selain ACE Inhibitor dan beta blocker.5,8
4) Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB)
Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB) bekerja dengan mencegah efek angiotensin II
di jaringan. Obat-obat ARB, misalnya antara lain candesartan, irbesartan, olmesartan,
losartan, valsartan, telmisartan, dan eprosartan. Obat-obatan ini biasanya digunakan pada
penderita gagal jantung kongestif yang tidak dapat menggunakan ACE Inhibitor karena
efek sampingnya. Keduanya efektif, namun ACE Inhibitor dapat digunakan lebih lama
dengan jumlah yang lebih banyak digunakan pada data percobaan klinis dan informasi
pasien.5,8
5) Beta Blocker
Beta Blocker dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan tekanan
darah, dan memiliki efek langsung terhadap otot jantung sehingga menurunkan beban
kerja jantung. Reseptor beta terdapat di otot jantung dan di dalam dinding arteri. Sistem
syaraf simpatis memproduksi zat kimia yang disebut sebagai norepinefrin yang bersifat
toksik terhadap otot jantung jika digunakan dalam waktu lama dan dengan dosis yang
tinggi.5,8
6) Hidralazin
Hidralazin merupakan vasodilator yang dapat digunakan pada penderita gagal jantung
kongestif namun tidak memiliki efek yang sedikit terhadap tonus vena dan tekanan
pengisian jantung. Namun efek pemberian hidralazin tunggal tanpa kombinasi dengan
obat lain terhadap gagal jantung kongestif belum dapat dibuktikan secara klinis.
Pemberian hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat menurunkan angka kematian penderita
gagal jantung kongestif.5,8
9. Prognosis Gagal Jantung Kongestif
Secara umum, mortalitas pasien gagal jantung rawat inap sebesar 5-20% dan pada pasien
rawat jalan sebesar 20% pada tahun pertama setelah diagnosis. Angka ini dapat meningkat sampai
50% setelah 5 tahun pasca diagnosis. Mortalitas pasien gagal jantung dengan NYHA kelas IV,
ACC/AHA tingkat D sebasar lebih dari 50% pada tahun pertama.19
40
BAB V
KESIMPULAN
Seorang laki-laki berumur 70 tahun datang dengan keluhan terbangun dari tidur karena sesak
napas. Tidak dapat tidur terlentang karena terasa sesak. Sesak napas dan cepat lelah pada aktivitas fisik
sehari-hari, berkurang bila beristirahat. Kadang-kadang keluar dahak kemerahan. Pada os ditemukan
kelainan patologis antara lain : PND, Orthopnoe, hemoptosis, hipertensi, takikardi, takipnoe, JVP
meningkat, ICS abnormal, S1-S2 irreguler, pansystolic murmur, ronki basah, hepatomegali,
hepatojugular refluks, dan edema pretibial pada kedua tungkai.
Diagnosis kerja kelompok kami yaitu Congestive Heart Failure ec. Hipertensi. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan terpenuhinya Kriteria CHF Framingham dan hasil pemeriksaan penunjang.
Adapun hasil dari pemeriksaan penunjang yaitu terdapat adanya : aterosklerosis berdasarkan pemeriksaan
lab darah, adanya LVH pada pemeriksaan axis EKG, adanya kardiomegali dan edema pulmonal pada
pemeriksaan foto thorax, dan adanya hipertrofi dan dilatasi ventrikel disertai dilatasi atrium kiri.
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gagal jantung kongestif adalah keadaan
saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya
Adanya penyakit hipertensi pada pasien ini dapat meningkat beban hemodinamik jantung. Hal itu
semakin memperburuk fungsi kerja jantung dan fungsi jantung pada pasien ini tidak akan kembali normal
41
sempurna, sehingga penanganan yang baik pun hanya akan memperpanjang hidup pasien bukan untuk
menyembuhkan, dengan kata lain terapi pada pasien ini hanya bersifat suportif.
42
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Price SA, Wilson LM. Disfungsi Mekanisme Jantung dan Bantuan Sirkulasi. In: Hartanto
H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. 2nd volume. Jakarta: EGC; 2005. p.634-9.
2. Price SA, Wilson LM. Prosedur diagnostik Penyakit Kardiovaskuler. In: Hartanto H, Susi
N, Wulansari P, Mahanani DA, editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. 2nd volume. Jakarta: EGC; 2005. p.552-3.
3. Yogiantoro M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I: Hipertensi Esensial. Jakarta:
Pusat Penerbitan FKUI, 2006:599
4. Brown CT. Penyakit Aterosklerotik Koroner. In: Price SA, Wilson LM, editors.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Volume 1. Edisi VI. Jakarta: EGC,
2006; 582-585.
5. O’Donnell MM. Disfungsi Mekanis Jantung dan Bantuan Sirkulasi . In : Price SA,
Wilson LM, editors. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Volume 1.
Edisi VI. Jakarta: EGC, 2006; 632-640.
6. AHA. Heart disease and stroke statistics 2004 update. Dallas: American Heart
Association, 2004.
7. Chobanian AV. The Seventh Report of The Joint National Committee on Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA 2003.
8. Katzung BG. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: EGC, 1998.
9. August P. Initial Treatment of Hypertension. New England Journal of Medicine 2003;
348:610-617
10. Tan HT, Rahardja K. Obat – Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek – Efek
Sampingnya. Edisi V. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002. h. 528 – 532.
11. Kaplan NM. Kaplan’s Clinical Hypertension 9th edition. Lippincott Williams dan
Wilkins: 2006.
12. Rahmouni K, Correia MLG, Haynes WG, Mark AL. Obesity-Associated Hypertension.
American Heart Association Journal of Hypertension 2005; 45:9-14.
43
13. Pimenta E, Gaddam KK, Oparil S, et al. Effects of Dietary Sodium Reduction on Blood
Pressure in Subjects With Resistant Hypertension. Results From a Randomized Trial.
American Heart Association Journal of Hypertension 2009.
14. Berk BC, Fujiwara K. ECM Remodelling in Hypertensive Heart Disease. 2007,
(http://www.jci.org/articles/view/31044, diakses pada tanggal 6 Mei 2012).
15. Fisher NDL, Williams GH. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th Edition:
Hypertensive Vascular Disease. The McGraw-Hill Company: 2005; 1463.
16. Figueroa, Michael S. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology, herapy, and
Implications for Respiratory Care. San Antonio: University of Texas Health Science,
2006; 403–412.
17. Anonim. Heart Failure. California: UCSF Medical Center. 2008,
(http://www.ucsfhealth.org/adult/medical_services/heart_care/heart_failure/conditions/
failure/signs.html, diakses pada tanggal 6 Mei 2012).
18. Behavioural Modification. In: Management of chronic heart failure: A national clinical
guideline. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2007; 10-13.
19. Dumitru I. Heart Failure. April 2011, (http://emedicine.medscape.com/article/163062-
overview#aw2aab6b2b5aa, diakses pada tanggal 6 Mei 2012).
44
top related