7 takdir dimensi

31
Takdir Dan Dinamika Manusia Oleh: Lukman Hakim Pendahuluan Takdir merupakan salah satu dari rukun iman di mana setiap individu muslim wajib untuk mempercayainya. Menurut paham ahlussunnah Waljama’ah (ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) percaya kepada takdir merupakan rukun iman yang keenam. Secara etimologis takdir berasal dari kata bahasa Arab taqdiran yang berarti “ketentuan”, adapun pengertian takdir yang paling mendasar sesungguhnya adalah ketentuan Ilahi yang tidak dapat kita lawan (Munawar Rahman: 2006: 3221). Artinya Allah S.W.T. telah memberikan ketentuan kepada manusia dan manusia harus menerima ketentuan itu baik hal itu merupakan ketentuan yang baik maupun ketentuan yang buruk. Untuk memberikan pengertian lebih mendalam, Nurcholish Madjid membagi pengertian takdir ke dalam tiga hal. Pertama, Takdir Allah. Pengertian takdir Allah di sini adalah bahwa konsep takdir selain berhubungan dan terkait dengan kehidupan manusia juga berlaku untuk alam dan kebendaan. Artinya, baik manusia maupun alam (seluruh makhluk ciptaan Allah selain manusia) memiliki ketentuannya masing-masing. Oleh karena itu, takdir Allah yang menyangkut tentang alam kebendaan serta hukum ketetapan Allah dalam Al-Qur’an diistilahkan sebagai takdir (takdir Allah; Arab taqdirullah), yang berarti “kepastian” dari

Upload: moviedz

Post on 13-Jan-2015

11.120 views

Category:

Education


1 download

DESCRIPTION

takdir dan keadilan Tuhan

TRANSCRIPT

Page 1: 7  Takdir Dimensi

Takdir Dan Dinamika Manusia

Oleh: Lukman Hakim

Pendahuluan

Takdir merupakan salah satu dari rukun iman di mana setiap individu muslim wajib untuk

mempercayainya. Menurut paham ahlussunnah Waljama’ah (ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah)

percaya kepada takdir merupakan rukun iman yang keenam. Secara etimologis takdir berasal dari

kata bahasa Arab taqdiran yang berarti “ketentuan”, adapun pengertian takdir yang paling

mendasar sesungguhnya adalah ketentuan Ilahi yang tidak dapat kita lawan (Munawar Rahman:

2006: 3221). Artinya Allah S.W.T. telah memberikan ketentuan kepada manusia dan manusia

harus menerima ketentuan itu baik hal itu merupakan ketentuan yang baik maupun ketentuan

yang buruk. Untuk memberikan pengertian lebih mendalam, Nurcholish Madjid membagi

pengertian takdir ke dalam tiga hal.

Pertama, Takdir Allah. Pengertian takdir Allah di sini adalah bahwa konsep takdir selain

berhubungan dan terkait dengan kehidupan manusia juga berlaku untuk alam dan kebendaan.

Artinya, baik manusia maupun alam (seluruh makhluk ciptaan Allah selain manusia) memiliki

ketentuannya masing-masing. Oleh karena itu, takdir Allah yang menyangkut tentang alam

kebendaan serta hukum ketetapan Allah dalam Al-Qur’an diistilahkan sebagai takdir (takdir

Allah; Arab taqdirullah), yang berarti “kepastian” dari Allah. Maka, sesuai dengan makna

harfiahnya, takdir Allah digambarkan dalam al-Qur’an sebagai kepastian.

Sebagai misal adalah perjalanan matahari menurut garis edarnya yang disertai penegasan bahwa

tidak mungkin matahari bertemu atau bertabrakan dengan rembulan sebagaimana juga malam

tidak akan mendahului siang. Semua itu disebut sebagai takdir dari Yang Mahamulia dan

Mahatahu1. Selain itu, ada penegasan pula bahwa “Allah menciptakan segala sesuatu kemudian

dipastikan (hukum-hukumnya) sepastinya” (Q., 25: 2).

Berdasarkan tinjauan dari sudut keimanan atau ajaran agama, diketahuai bahwa hukum-hukum

lingkungan hidup manusia, baik yang bersifat sosial-historis (sunnatullah) ataupun yang bersifat

1. (Q., 36: 28-30) dan (Q., 21: 33).

Page 2: 7  Takdir Dimensi

alam kebendaan atau material (takdir Allah), tidaklah berdiri sendiri melainkan dibuat dan

ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta. Jadi, semuanya itu adalah hukum Allah, dan manusia

diperintahkan untuk mempelajari, memahami, dan menggunakannya dalam menjalani dan

menghadapi kehidupan ini.

Hukum-hukum itu secara konvensional dapat disebut sebagai “hukum sosial-historis”dan

“hukum alam”, namun sebatas dalam pengertian, berturut-turut, “hukum Allah untuk pola

lingkungan sosial historis”dan “hukum Allah untuk pola lingkungan kebendaan”, dan sama

sekali tidak dalam arti hukum-hukum yang berdiri sendiri atau ada dengan sendirinya dalam

lingkungan masing-masing sosial-historis dan alam kebendaan itu.

Dari sudut pandang itulah dapat dilihat adanya kemampuan melakukan tindakan supraalami

dimungkinkan. Kemampuan itu merupakan “penangguhan” sementara hukum-hukum yang

berlaku, yang penangguhan itu terjadi hanya atas kehendak Allah. Sebab Allah Yang Mahakuasa

sebagai pembuat hukum itu pastilah mempunyai “hak prerogatif” untuk memberlakukan atau

tidak memberlakukan hukum-hukum ketetapan-Nya sendiri, sesuai dengan keperluan. Tetapi

karena sudah ada “janji” Allah sendiri bahwa hukum-hukum tersebut tidak mengalami

perubahan atau peralihan, maka penangguhan itu adalah untuk suatu tujuan yang sangat khusus.

Maka penangguhan itu menjadi bersifat “di atas alam”, “supra alami” (super natural),

“menerobos kebiasaan” (khariq al adah).

Namun itu semua merupakan keterangan keagamaan secara konvensional tentang tindakan

supraalami. Kemungkinan keterangan lain menyangkut pengertian tentang “alami”, “natural”,

“kebiasaan” atau “addah”. Seperti semua pengertian oleh manusia, pengertian-pengertian

tersebut masih tetap mengandung kenisbian. Artinya, masih ada kemungkinan suatu gejala masih

merupakan hal yang alami untuk seseorang, tapi tidak lagi untuk orang lain. Perkataan kita

“heran” sudah menunjukkan kemungkinan itu, sebab perkataan itu kita pinjam dari perkataan

Arab hiran atau hairan yang artinya “bingung”, tidak dapat mengerti.

Adapun untuk perkataan Indonesia “takjub”, pinjaman dari perkataan Arab ta’ajjub, yang berarti

“melihat sesuatu sebagai aneh atau ajaib”, menunjukkan hal yang sama. Yaitu, ada kenyataan-

Page 3: 7  Takdir Dimensi

kenyataan sosial historis maupun material yang membuat orang tidak dapat mengerti, dan karena

itu memandangnya sebagai hal yang aneh. Letak kenisbian pengertian “aneh” atau “ajaib” itu

sangat nyata, karena tidak semua orang melihat satu kenyataan atau gejala sebagai aneh atau

ajaib. Ada dari mereka pribadi atau kelompok yang memang memandangnya aneh dan ajaib,

sehingga mereka menjadi “heran”, alias bingung, tidak dapat mengerti. Tetapi juga ada yang

melihatnya sebagai biasa saja, tidak ada yang aneh, dan tidak membuatnya heran.

Hal itu dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam tingkat pengetahuan dan pengalaman orang

dari sudut pandang ini, maka suatu gejala yang oleh orang dipandang sebagai supraalami dan

“melawan kebiasaan” mungkin saja bagi orang lain lagi merupakan hal biasa. Kemungkinan ini

didukung oleh beberapa fakta baru dalam perkembangan ilmiah.

Kedua, takdir dalam Al-Qur’an. Pengertian takdir dalam Al-Qur’an di sini dijelaskan bahwa

sesungguhnya apa yang diajarkan oleh Islam bukanlah kehidupan duniawi dan ukhrawi yang

dikotomis dalam arti terpisah dan bertentangan. Islam hanya mengajarkan bahwa antara

keduanya itu berbeda. Adapun perbedaan itu merupakan kesinambungan atau kontinuitas karena

keduanya dipertautkan dan dipersatukan dalam satu hukum ketentuan Tuhan yang mengatur

lingkungan hidup duniawi ini serta pola kehidupan manusia itu sendiri secara tetap dan tidak

berubah, yaitu hukum ketentuan Tuhan atau taqdir.

Seperti diketahui, istilah takdir dalam Al-Qur’an berbeda dengan umumnya arti istilah itu dalam

penggunaan kita sehari-hari – ialah hukum ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan untuk

mengatur pola perjalanan dan “tingkah laku”alam ciptaan-Nya, khususnya alam material. Secara

spesifik Kitab Suci menyebutkan tentang taqdir pola perjalanan atau peredaran matahari2.

Demikian pula ada takdir untuk pola perjalanan rembulan dan matahari, yang memungkinkan

manusia menjadi keduanya itu sebagai dasar perhitungan waktu yang pasti3. Semantara matahari

2. Dan matahari berlari(beredar) pada tempat yang telah ditetapkan: itulah taqdir (Tuhan) Yang Mahamulia dan Mahatau (Q., 36: 38).

3. (Allah) yang memisahkan (menerbitkan) pagi hari, dan Dia jadikan malam sebagai saat ketenangan, serta matahari dan rembulan sebagai perhitungan itulah hukum ketentuan (taqdir) Tuhan yang Mahamulia dan Mahatau (Q., 6: 96).

Page 4: 7  Takdir Dimensi

dan rembulan yaitu dua benda langit yang paling tampak pada manusia dan paling banyak

memengaruhi kehidupannya di bumi ini – secara khusus disebutkan sebagai berjalan menurut

hukum ketentuan atau taqdir Tuhan yang pasti, namun sesungguhnya hukum ketentuan itu

meliputi seluruh ciptaan Allah tanpa kecuali4.

Dengan perkataan lain, lingkungan material di sekeliling manusia dan terkait erat dengan

kehidupannya di dunia ini berjalan mengikuti hukum-hukum ketentuan yang pasti dari Tuhan

Maha Pencipta. Hukum-hukum ketentuan itu tidak lain adalah padanan atau ekuivalensi dengan

istilah sehari-hari, “hukum alam”. Maka sudah tentu untuk mendapatkan sukses dalam

kehidupan duniawi ini manusia dituntut untuk memahami hukum ketentuan Allah bagi

lingkungan sekelilingnya, yaitu alam. Sebab, memang alam ini diciptakan Allah untuk

kepentingan hidup manusia, dan manusia pasti dapat menarik manfaat darinya jika mereka mau

berpikir dan berusaha memahaminya5.

Ketiga, takdir dalam Teologi. Pengertian takdir dalam teologi berbeda pengertiannya dengan

pengertian atau istilah takdir dalam Al-Qur’an. Perkataan seperti, “ini sudah ditakdirkan oleh

Tuhan”, itu merupakan istilah teologi. Al-Qur’an tidak menggunakan perkataan takdir dengan

konotasi itu. Bagi pihak yang mendukung paham takdir, rujukannya adalah firman Allah, Setiap

ada musibah terjadi di bumi dan dalam dirimu, sudah tercatat sebelum Kami mewujudkannya,

Sungguh itu bagi Allah mudah sekali (Q., 57: 22). Sampai disinilah, banyak kalangan ulama dan

mubaligh mengutip ayat itu, tetapi ayat seterusnya jarang mereka kutip, yaitu Agar kamu tidak

berduka cita atas apa yang sudah hilang, dan merasa bangga atas apa yang diberikan (Q.,57:

23).

Itulah sebetulnya kegunaan paham takdir. Kalau diperhatikan, itu sebenarnya masalah psikologis

tujuannya adalah agar manusia bersikap “seimbang” atau tidak terlalu ekstrem (terlalu sedih

karena menerima musibah, atau terlalu sombong karena menerima kesuksesan), karena

4. ... Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia tetapkan ketentuannya sepenuh-penuh ketentuan (taqdiran) (Q., 25:2). Dan segala sesuatu bagi-Nya adalah dengan hukum ketentuan yang pasti (miqdar) (Q., 13: 8). 5. Dan Dia (Allah) telah sediakan bagi kamu segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi – semuanya sebagai karunia daripada – Nya. Sesungguhnya dalam hal itu semua ada ayat-ayat (tanda-tanda) bagi golongan yang berpikir (Q., 45: 13).

Page 5: 7  Takdir Dimensi

semuanya dikembalikan kepada Allah. Itulah yang membuat orang sehat secara ruhani (secara

psikologis). Kalau dilihat konteksnya, maka hal yang harus dihadapi sebagai takdir itu adalah

yang lampau sedangkan yang akan datang tidak bisa dibicarakan sebagai takdir. Seseorang tidak

bisa mengatakan misalnya, besok dia ditakdirkan untuk tidak datang ke kantor. Terhadap masa

depan, tatapan itu harus dalam rangka ikhtiar.

Ikhtiar itu sendiri dilihat dari segi bahasa cukup menarik. Ia berasal dari kata khairun (baik),

sehingga ikhtiar berarti menentukan pilihan yang terbaik. Asumsinya ialah ada alternatif, bahwa

seseorang mengetahui seluruh alternatifnya untuk kemudian dia pilih yang terbaik. Itulah ikhtiar.

Di situ ada act of choice atau tindakan memilih, yang berarti bebas, karena memang masa depan

masih terbuka dan masa lalu sudah tertutup atau, katakanlah tutup buku. Hal terakhir inilah yang

harus dihadapi sebagai takdir. Sekali lagi perkataan takdir seperti ini sesungguhnya tidak ada

dalam Al-Qur’an, melainkan dalam teologi ciptaan para ulama dan para pemikir.

Persoalan keagamaan yang mula-mula muncul adalah persoalan pembunuhan ‘Utsman: mengapa

‘Utsman dibunuh?. Mereka yang membunuh ‘Utsman mengatakan bahwa dia telah melakukan

kejahatan sebagai seorang khalifah, yang antara lain melakukan nepotisme. Ketika digugat,

apakah ‘Utsman telah ditakdirkan Tuhan untuk melakukan itu?, tentu saja tidak. Ia

melakukannya dengan pilihan sendiri, dan karena itu, dia harus bertanggung jawab. Orang yang

membunuh ‘Utsman itu menjadi qadari (qadar di sini berarti mampu, sehingga qadari adalah

orang yang berpendapat bahwa manusia itu mampu menentukan nasibnya sendiri).

Keluarga ‘Utsman, terutama yang kemudian berkuasa di Damaskus, yaitu Bani Umayyah,

berlindung di balik argumen bahwa tindakan ‘Utsman semuanya sudah ditakdirkan oleh Tuhan.

Artinya, kalau mereka melakukan kejahatan (sebagai penguasa), maka semua kejahatan itu

adalah takdir Tuhan. Hal ini menjadi dasar dari sikap-sikap despotisme atau jabbarisme (jabarun

dari bahasa Arab, artinya terpaksa).

Salah satu sifat Allah adalah al-jabbar, artinya memaksa. Kalau orang menganut jabariah, berarti

ia menganut paham bahwa manusia itu terpaksa. Namun, hal ini jelas pilihan ekstrem bahwa

seolah-olah hanya ada dua paham: Jabariah atau Qadariah.

Page 6: 7  Takdir Dimensi

Ada bahasan menarik dalam buku Marxis Philosophy. Di situ digabungkan antara konsep

keharusan sejarah (historical neccesity) dan kebebasan manusia (human freedom). Konsep

keharusan sejarah itu mirip dengan konsep Jabariah. Konsep history materialism mengatakan

bahwa “manusia itu ditakdirkan untuk menjadi komunis.” Proses sejarah, menurut konsep ini,

akan berlangsung demikian. Hanya saja, ternyata banyak sekali anomali. Buktinya, kalau

menurut urutan-urutan historisme materialisme itu, mestinya Inggris, bukan Uni Soviet, yang

lebih dulu menjadi komunis, tetapi ternyata Uni Sovietlah yang lebih dulu. Itu jelas anomali.

Kemudian Lennin menambahkan satu doktrin mengenai petani, yaitu sosialisme oleh petani

(kalau Marx itu sosialisme buruh).

Bagaimanapun juga, di situ ada predeterminisme historis yang mirip Jabariah. Orang komunis

mengatakan bahwa manusia ditakdirkan untuk menjadi komunis. Pertanyaannya, mengapa harus

menjadi komunis (anggota PKI, misalnya) dan menanggung risiko untuk dibunuh (dan

kenyataannya memang benar-benar dibunuh)? Mereka pun menjawab, karena ada peranan

manusia yang harus ambil bagian untuk menciptakan negara komunis. Berdasarkan seberapa

jauh orang mengambil peran, maka manusia dibagi menjadi jahat dan baik, revolusioner dan

kontra-revolusioner.

Semua agama (seperti Islam) pun sebenarnya begitu: yang cocok untuk diri sendiri disebut saleh,

mukmin, muslim; dan yang tidak cocok disebut kafir. Begitu pula orang-orang komunis: yang

cocok disebut revolusioner, yang tidak cocok kontra-revolusioner. Di sini, ada human freedom

(kebebasan manusia). Lantas, untuk apa teori mengenai keharusan sejarah itu. Ini menarik sekali.

Namun, penulis buku Marxis Philoshopy sendiri pun tidak bisa menjelaskannya karena memang

sulit sekali.

Kembali ke pembahasan, bahwa takdir yang dipahami masyarakat itu takdir teologi, bukan takdir

Al-Qur’an. Takdir Al-Qur’an seperti dalam surat Yasin (dan juga ditempat-tempat lain dalam Al-

Qur’an) dalam bahasa sekarang kira-kira adalah hukum alam kebendaan, yang bila dipelajari dan

dikuasai, akan menghasilkan ilmu pasti (exact sciences). Hukum alam kebendaan ini mudah

sekali dikuantifikasi, sehingga peran matematika, statistika, dan sebagainya sangat penting. Lain

Page 7: 7  Takdir Dimensi

halnya dengan ilmu sosial. Karena menyangkut sunnatullah yang fluid, yang cair dan tidak

menentu, ilmu sosial sulit sekali dikuantifikasi, sehingga pendekatannya harus kualitatif, tempat

peranan insight, peranan yang mirip ilham atau wangsit itu kadang-kadang bisa terjadi karena

tidak bisa diperhitungkan. Kiai-kiai pun menjadi penting, karena pada umumnya kekuatan

mereka bukan kekuatan kuantitatif empirikal, tetapi insight, semacam kemampuan mencandra

sesuatu (weruh seduruning winarah) mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.

Selain itu pengertian takdir identik dengan pengertian konsep qadla dan qadar. Adapun

pengertian qadla adalah ketentuan dan pengertian qadar adalah jangka yang telah ditentukan

(Hamka: 1996: 332). Artinya, baik istilah takdir maupun istilah qadla dan qadar memiliki

pengertian yang sama khususnya pengertian ketentuan yang terkait dengan ketentuan hidup

manusia.

Pengertian tentang takdir ini semakin dinamis tatkala konsep takdir itu bersentuhan langsung

dalam realitas kehidupan manusia. Hal ini karena dalam realitas hidup manusia baik secara sadar

atau tidak sadar mengalami langsung peristiwa yang disebut sebagai “takdir” Allah itu. Oleh

sebab itu, konsep takdir kemudian memiliki korelasi langsung dengan konsep ikhtiar dan konsep

tawakal.

senantiasa berhubungan bahkan lekat dengan praktik kehidupan sehari-hari seorang muslim.

Keterkaitan itu nyata tampak tatkala konsep takdir itu bersinggungan dengan konsep ikhtiar

(usaha). Manusia sebagai makhluk yang oleh Allah S.W.T. diberi otonomi berupa kebebasan

untuk menentukan segala hal atau pilihan yang terkait dengan hidupnya namun di sisi lain Allah

S.W.T. menetapkan ketentuan-ketentuan kepada manusia. Ketentuan-ketentuan Allah itulah yang

tidak dapat dilawan atau diubah oleh manusia dan manusia harus rela dan pasrah untuk

menerima ketentuan-ketentuan itu.

Takdir dan Sunnatullah

Selain ada hukum ketentuan Allah dalam pengertian takdir yang mengatur lingkungan material

hidup manusia, terdapat pula hukum ketentuan lain dari Allah dalam pengertian sunnatullah

(Arab: sunnatullah), yang mengatur lingkungan sosial hidup manusia (Munawar Rahman: 2006;

Page 8: 7  Takdir Dimensi

3167). Oleh kerena itu, konsep takdir juga terkait dengan konsep sunnatullah. Di mana

pengertian sunnatullah sendiri adalah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Allah juga

telah menetapkan hukum-hukumNya. Oleh karena itu, Allah tidak pernah manyalahi janjiNya

dan Allah telah menetapkan sunnatullah di muka bumi dan seluruh jagat raya yang harus kita

perhatikan. Oleh sebab itulah, kita diperintahkan oleh Allah untuk memerhatikan jagat raya6.

Bahkan terhadap apa yang ada disekitar kita pun Allah memerintahkan agar kita mencermati dan

memerhatikan7.

Selain itu, kita juga harus memerhatikan sejarah. Banyak sekali firman Allah dalam Al-Qur’an

yang memerintahkan kita untuk belajar dari sejarah8. Kepentingan mempelajari sejarah adalah

supaya kita dapat memetik pelajaran. Di sini kita melihat adanya sunnatullah, bahwa hukum-

hukum Allah berjalan secara objektif, artinya tidak tergantung pada kita dan tidak akan berubah

(immutable)9 (Munawar Rahman: 2006: 3162). Nurcholish Madjid mengulas soal sunnatullah

dan sejarah ini dan menjelaskanny secara luas. Menurut Nurcholish Madjid, huruf yang

diwariskan kepada kita sekarang ini ialah huruf Nabathea yang diciptakan oleh orang Arab

Nabathea. Huruf itulah yang kemudian menular kepada bangsa Punesia (sekarang ada di

Lebanon). Huruf Latin pun sebenarnya juga berasal dari tempat itu, sehingga terdapat kemiripan-

kemiripan seperti huruf; “alif, ba, ta” mirip dengan huruf; “al fa be ta”. Huruf “dal” itu

sebanarnya gambar “delta”. Selanjutnya ada huruf “gama” dan “djim”, yang oleh orang Mesir

dibaca “gim”.

Padanan-padanan tersebut penting sekali, sehingga diketahui secara runtun perkembangan dari

peradaban yang sekarang ini diwarisi. Secara spiritual ini merupakan pelajaran agar orang

bersyukur kepada Allah S.W.T., bahwa semua yang diwarisi sekarang ini adalah akumulasi

pengalaman manusia ribuan tahun. Tetapi yang negatif pun banyak sekali. Misalnya, pada 1298

M terjadi peristiwa yang menurut para orientalis membuat shock umat Islam, yang sampai

6. Katakanlah,”perhatikan apa yang ada di langit dan di bumi” (Q., 10: 101). 7. Tidaklah mereka memerhatikan unta, bagaimana diciptakan? (Q., 88: 17).

8. Katakanlah, “jelajahilah bumi ini kemudian lihatlah bagaimana akibat orang yang mendustakan (kebenaran)” (Q., 6: 11).9. Dalam Al-Qur’an dijelaskan, . . . tidak akan kau dapatkan perubahan pada hukum Allah (Q., 33: 62).

Page 9: 7  Takdir Dimensi

sekarang belum sembuh, yaitu jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa Mongol. Bagdad yang

merupakan ibu kota ke khalifahan Harun Al-Rasyid itu dihancurkan sampai rata dengan tanah,

bukan hanya menyangkut bangunan pemerintahan tetapi yang lebih mengenaskan adalah

perpustakaan ilmu pengetahuan, yang semua isinya dibakar dan dibuang ke sungai. Tidak

selembar pun yang tersisa. Padahal kalau kita baca kisah 1001 Malam akan terbayang bagaimana

kebesaran Bagdad waktu itu. Damaskus saja yang kekuasaannya sekitar seratusan tahun bisa

meninggalkan bekas-bekas yang luar biasa seperti Masjid Umawi atau Masjid Al-Aqsa yang

arsitekturnya sangat agung, apalagi Bagdad yang waktu itu merupakan “kota metropolis”

terbesar di muka bumi.

Untunglah Kairo tidak terjangkau oleh mereka, sebab Kairo pada waktu itu memang kota

propinsi yang kecil. Alhamdulilah bahwa di Perpustakaan Nasional Kairo sampai sekarang masih

banyak tersimpan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat berharga. Artinya, dari gambaran itu

bisa dibayangkan kalau seandainya Bagdad waktu itu selamat, tentu akan sangat luar biasa sekali

pengaruhnya.

Orang-orang Mongol itu memang betul-betul sadis, mereka membunuh jutaan orang dan

memiliki kegemaran membangun piramida dari tengkorak umat Islam. Semua itu sejarah. Dan

orang Barat sendiri mencatat seperti itu. Philip K. Hitti, misalnya, mengatakan bahwa shock yang

ditimbulkan oleh peristiwa itu sampai sekarang masih belum sembuh. Kerugian dari segi ilmu

pengetahuan pun tidak kurang-kurang. Misalnya, kitab-kitab lama yang berhasil dicetak kembali

masih sedikit sekali. Di Princeston masih ada sekitar 1 juta naskah klasik umat Islam yang sama

sekali belum dijamah. Yang sekarang sudah diterbitkan dengan teknologi mutakhir baru

beberapa puluh ribu saja.

Pertanyaannya sekarang ialah, mengapa Baghdad jatuh? Atau kalau mau didramatisasi dari segi

keagamaan, mengapa khazanah dan peradaban milik orang-orang Islam (penganut agama yang

paling benar di hari akhir, agama yang diridlai Allah S.W.T.) hancur lebur? Apakah Tuhan tidak

memberi dispensasi kepada umat-Nya yang diridlai? Di sinilah, orang harus kembali ke masalah

sunnatullah. Penting memahami sunnatullah sebagai bukti yang objektif dan immutable (abadi).

Page 10: 7  Takdir Dimensi

Objektif maksudnya tidak tergantung pada keinginan kita (yang subjektif). Immutable artinya

tidak berubah oleh kita. Semuanya berjalan secara objektif.

Sunnatullah yang objektif dan immutable itu bisa dikiaskan dengan hukum alam mengenai api.

Api itu membakar atau tidak tergantung kepada kita. Siapa pun yang memasukkan tangan

kedalam api pasti terbakar, tidak peduli apakah dia orang saleh atau orang jahat. Hukum alam

atau sunnatullah pun seperti itu: kalau orang tidak memerhatikannya, pasti diterjang oleh hukum

itu. Selain itu, sunnatullah yang objektif ini atau istilah lainnya hukum alam merupakan konsep

yang paling banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Istilah Al-Qur’an untuk membahasakan

sunnatullah atau hukum alam itu adalah hukum keadilan (Munawar Rahman: 2006; 3165).

Masyarakat akan tegak kalau bersikap adil dan akan hancur kalau sebaliknya10. Selain itu Allah

dalam Al-Qur’an juga memperingatkan kepada manusia untuk berlaku adil pada siapa pun11.

Oleh sebab itu, tidak salah jika Ibn Taimiyah mengutip Ali bin Abi Thalib yang mengatakan

mengenai keadilan sebagai berikut, “sesungguhnya Allah akan meneguhkan, akan mendukung

negara yang adil meskipun kafir, dan Allah tidak akan menegakkan negara yang zalim meskipun

Islam. “ Ini merupakan contoh dari sunnatullah yang objektif dan immutable. Dan itu harus

dipelajari melalui sejarah. Tanpa memahami sunnatullah yang ada dalam sejarah, mustahil akan

dimengerti mengapa umat Islam bisa sengsara, mengapa selama tiga abad terakhir umat Islam

menjadi bulan-bulanan bangsa lain.

Semua itu lebih karena mereka tidak menjalani sunnatullah. Sunnatullah itu dapat dilihat dalam

sejarah, sehingga apa yang disebut “menjalankan hukum Allah” tidak hanya menjalankan hukum

dalam arti hukum-hukum yang dipelajari dalam buku, tetapi memahami apa hukum yang

beroperasi di alam raya ini. Kalau orang membuat irigasi, daerah hulunya lebih tinggi daripada

hilirnya sehingga air bisa mengalir, itu sebenarnya menjalankan hukum Allah. Namun

sebaliknya, kalau hulunya lebih rendah daripada hilirnya, tentu ini tidak akan mengalir, sebab

menyalahi sunnatullah, menentang hukum Allah.

10. Allah memerintahkan berbuat adil, mengerjakan amal kebaikan (Q., 16: 90).

11. Janganlah kebencian orang kepadamu membuat kamu berlaku tidak adil. Berlakulah adil. Itu lebih dekat kepada takwa (Q., 5: 8).

Page 11: 7  Takdir Dimensi

Demikian juga dalam soal sejarah yang notabene tidak bersifat eksak, meski ada sesuatu yang

bisa dipegang. Karena itu, dalam hal ini orang Islam harus mengikuti sejarah, yaitu bisa bekerja

sama dengan bangsa lain. Di situlah, mengapa dulu orang Islam belajar dari mana-mana. Selain

itu, memahami sunnatullah dalam sejarah kiranya menjadikan manusia dapat mengetahui hakikat

dirinya melalui dinamika historisitasnya dalam ruang dan waktu. Sebab melalui sejarah pula

manusia harus berjuang membebaskan dirinya untuk meningkatkan harkat dan martabat

hidupnya, dengan usaha mewujudkan kualitas hidupnya untuk menuju ke tingkat yang sedekat

mungkin dengan ukuran-ukuran tertinggi moralitas dan akhlak.

Manusia dan Kebebasan

Dalam pandangan Islam manusia merupakan puncak ciptaan Tuhan12. Maksudnya adalah hanya

manusia makhluk yang paling sempurna di antara semua makhluk ciptaan Tuhan. Oleh karena

itu secara hierarkis hanya manusia yang paling bisa mendekati Tuhan. Akan tetapi, Allah juga

menyebutkan kebalikannya bahwa manusia juga bisa menjadi makhluk yang paling rendah.

Bahkan dapat lebih rendah dari binatang13.

Namun manusia tetap dapat menempati posisi terhormatnya sebagai makhluk terbaik apabila dia

beriman dan beramal saleh14. Hal ini karena secara primordial, sejak manusia sebelum lahir,

manusia adalah baik (ahsan al-taqwim). Di samping itu, manusia menurut Al-Qur’an terikat

perjanjian dengan Tuhan (sebelum lahir), yaitu manusia akan mengakui Tuhan sebagai

pelindungnya. Di mana perwujudannya kelak adalah sikap menyembah kepada Tuhan dan

berakhlak baik (Munawar Rachman: 2006; 1817).

Manusia selain disebut sebagai makhluk tertinggi, oleh Al-Qur’an manusia juga disebut sebagai

khalifah. Penciptaan manusia sebagai makhluk yang tertinggi ini sesuai dengan maksud dan

tujuannya menjadi khalifah (secara harfiah berarti “yang mengikuti dari belakang”, yaitu,

“wakil” atau “pengganti”) di bumi, dengan tugas menjalankan “mandat” yang diberikan Allah

12. Dalam surat Al-Tin dikatakan, “Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik” (Q., 95: 4). 13. Kemudian Kami jatuhkan dia serendah-rendahnya (Q., 95: 5). 14. Dalam Al-Qur’an disebutkan “Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan” (Q., 95: 6).

Page 12: 7  Takdir Dimensi

kepadanya untuk membangun dunia ini sebaik-baiknya15. Oleh karena itu, sebagai khalifah,

manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas tugasnya di dalam menjalankan “mandat” dari

Tuhan16.

Sebagai makhluk tertinggi dan sebagai khalifah Tuhan di bumi manusia oleh Allah dibekali

beberapa kelebihan dan potensi. Salah satu kelebihan dan potensi yang diberikan Allah kepada

manusia diantaranya adalah “kebebasan” atau “otonomi”. Kebebasan atau otonomi ini

merupakan dimensi di mana manusia sebagai makhluk yang akan memberikan

pertanggungjawaban atas apa yang telah dikerjakannya sebagai khalifah. Oleh karena itu,

manusia dapat menampilkan dirinya sebagai makhluk moral.

Sebagai makhluk moral, manusia memiliki potensi untuk menentukan pilihan apa dan mana yang

terbaik untuk dirinya dan apa yang diridloi oleh Tuhan. Agar manusia dapat terus memiliki

kebebasan dan otonomi itu, manusia harus senantiasa membebaskan dirinya dari pelbagai

belenggu yang memungkinkan menjadi penghalang baginya di dalam memilih dengan bebas

jalan dan kegiatan hidup yang diyakininya terbaik, yaitu paling bermoral dan

bertanggungjawab17. Karena itu, kemusyrikan atau perbuatan menyekutukan Tuhan merupakan

larangan keras Allah yang wajib dihindari oleh manusia. Sebab apabila itu dilanggar oleh

manusia, sudah pasti hal itu akan menjatuhkan derajat manusia dan kemanusiaan sebagai

makhluk tertinggi dan sebagai khalifah. Manusia tidak pantas tunduk pada apa pun selain tunduk

dan patuh pada sang Khaliq.

Kebebasan dan otonomi itu tentu dapat diperoleh manusia apabila manusia dengan seksama

memperhatikan peraturan tetap (sunnah) dan ketentuan pasti (taqdir dalam makna generiknya)

yang diberlakukan oleh Tuhan untuk seluruh alam ciptaan-Nya. Dengan pembebasan diri

15. Ingatlah ketika Tuhanmu bersabda kepada para malaikat, “Sesungguhnya kami mengangkat seorang khalifah di bumi . . .” (Q., 2: 30); Dan Dialah (Tuhan) yang menjadikan kamu sekalian khalifah-khalifah bumi, dan mengangkat sebagian dari kamu di atas sebagian lain beberapa derajat, agar supaya Dia menguji kamu berkenaan dengan sesuatu (kelebihan) yang dikaruniakan-Nya kepadamu itu . . . (Q., 6: 165).

16. Kemudian Kami jadikan kamu sekalian khalifah-khalifah di bumi sesudah mereka yang lalu itu, agar dapat Kami saksikan bagaimana kamu sekalian bekerja (Q., 10: 14). 17. (Q., 39: 17-18).

Page 13: 7  Takdir Dimensi

manusia dari bentuk-bentuk pembelengguan sewenang-wenang (dari tuhan-tuhan palsu) itu, dan

bersamaan dengan itu pengarahan hidup hanya kepada Dzat Mutlak yang tak terjangkau dan tak

terhingga, maka alam tersingkap dari kualitas mitologisnya, dan menjadi terbuka bagi manusia

untuk dipahami sedekat mungkin kepada kebenaran. Kemudian dalam konteks hukum-hukum

alam yang dipahaminya itu manusia memilih jalan hidupnya yang penuh tanggung jawab.

Dengan kata lain mengutip pendapat Muhammad Abduh bahwa eksistensi kebebasan manusia

senantiasa berada antara kemauan (iradat) Allah dengan kebebasan untuk melakukan ikhtiar

(Muhammad Abduh: 1996; 48).

Manusia dan Keterbatasan

Selain manusia memiliki kebebasan manusia harus pula senantiasa ingat akan dimensi

keterbatasan yang ada dan lekat dengannya. Hal ini karena kebebasan yang dimiliki oleh

manusia sebatas dalam lingkup kodrat dan iradat Tuhan (Hamka: 1996; 337). Ini artinya adalah

bahwa bagaimana pun bebasnya manusia, kebebasan dan otonominya senantiasa berada dalam

dimensi takdir (ketentuan Allah) dan dimensi sunnatullah (hukum Allah).

Walau manusia memiliki keterbatasan Allah senantiasa memberikan harapan. Dengan mengacu

pada iman kepada Allah di sana Allah melukiskan diri sebagai al-shamad (tempat

menggantungkan harapan). Bila manusia lupa kepada Allah, maka salah satu akibat yang akan

ditanggungnya adalah hilangnya harapan, dan hal ini akan menyebabkan hidupnya sengsara.

Jadi, harapan di sini adalah bagian dari iman; dan putus harapan adalah bagian dari kekafiran18.

Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa manusia yang utuh, manusia yang integral, adalah

manusia yang sanggup membina hubungan dengan Allah.

Apabila dicermati, masalah keterbatasan manusia dan dianugerahkannya “peluang” oleh Allah

kepada manusia terkait erat dengan persoalan takdir. Percaya kepada takdir atau qadla dan qadar

ini bagi manusia adalah terkait dengan masa lampau yang telah tertutup. Adapun yang terkait

dengan masa depan yang masih bersifat terbuka, keterkaitannya bukan dengan qadla-qadar,

melainkan terkait dengan kewajiban untuk berikhtiar. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa

untuk masa lampau (sesuatu yang sudah terjadi) manusia harus percaya kepada qadla dan qadar?

18. Allah mengingatkan kita dengan firmannya “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, tak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali golongan orang tak beriman (Q., 12: 87).

Page 14: 7  Takdir Dimensi

Sikap pasrah, ikhlas, dan percaya terhadap qadla dan qadar itu penting karena untuk

kepentingan manusia sendiri yaitu untuk menjaga kesehatan ruhani dan mental manusia19. Jadi

ada predestination20. Pengetahuan manusia memang terbatas sebab Tuhan memiliki rahasia.

Namun yang terpenting bagi manusia adalah berusaha memahami mengapa Allah membuat

ketetapan yang pasti bahkan mutlak bagi manusia dan alam21. Maksudnya adalah, jika manusia

gagal manusia tidak boleh berputus asa, dan apabila berhasil manusia tidak boleh sombong. Dari

sini, manusia diharapkan menjadi manusia yang seimbang. Hal ini sangat penting bagi kesehatan

manusia. Oleh karena itu, di dalam mengimani qadla dan qadar, tersangkut pula harapan kepada

Tuhan.

Selain keterbatasan, manusia juga memiliki kelemahan. Tentang kelemahan yang dimiliki oleh

manusia ini, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa kelemahan merupakan aspek sekunder

manusia, di mana manusia dapat berbuat salah (Munawar Rachman: 2006; 1832)22. Nurcholish

Madjid selanjutnya menyatakan bahwa kelemahan manusia yang penting dan harus disadari serta

diingat adalah halu, mudah terpengaruh; di mana indikasinya adalah tidak tahan menderita

(Munawar Rachman: 2006; 1832)23.

Potensi sekunder lainnya adalah miotik, yaitu berpandangan pendek24. Hal ini menunjukkan

betapa manusia lebih menyukai kepada hal-hal yang bersifat segera dan melupakan kepentingan

yang bersifat jangka panjang (dikemudian hari). Pandangan ajaran tentang manusia yang tidak

19. Secara tegas Allah berfirman, “Setiap ada musibah terjadi di bumi dan dalam dirimu, sudah tercatat sebelum Kami mewujudkannya (Q., 57: 22).

20. Selanjutnya ayat dalam Q., 57: 22 itu menjawab dan melanjutkan, “Sungguh itu bagi Allah mudah sekali” (Q., 57: 22).

21. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Agar kamu tidak berduka cita atas apa yang sudah hilang, dan merasa bangga atas apa yang diberikan” (Q., 57: 23).

22. Disebutkan di dalam Al-Qur’an, “Manusia diciptakan dalam kodrat yang lemah” (Q., 4: 28). 23. Bila ditimpa bahaya berkeluh kesah. Dan bila kekayaan yang diterimanya kikir (“sombong” – Nurcholis Madjid) (Q., 70: 20-21). 24. Terkait dengan pandangan pendek ini manusia juga lekat dengan sikap gegabah, oleh karena itu Allah di dalam Al-Qur’an mengingatkan, “Tidak! (kamu manusia) menginginkan hidup yang fana, dan membiarkan hari kemudian (Q., 75: 20-21).

Page 15: 7  Takdir Dimensi

boleh mudah tergoda sesungguhnya merupakan ajaran universal yang terdapat dalam setiap

budaya dan agama. Gampang tergoda berarti lebih tertarik kepada hal yang bersifat jangka

pendek dan sesaat dan melupakan hal yang bersifat jangka panjang yang jauh lebih prospektif

dan abadi. Oleh sebab itu, pepatah Melayu mengatakan berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian,

bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.

Melihat potensi manusia yang mudah tergoda itu selanjutnya Nabi berpesan, “setiap manusia itu

pembikin kesalahan, dan sebaik kamu yang berbuat kesalahan ialah kamu yang bertobat”.

Kesalahan yang dimaksud di dalam hadits itu adalah alpa, sehingga tidak berarti manusia itu

pada dasarnya jahat. Jadi potensi untuk salah, karena akibat dari sesuatu yang berada di luar

manusia, dan hal itu merupakan potensi sekunder. Adapun potensi primer manusia adalah

kebaikan, sebab kebaikan merupakan sesuatu yang datang dari dinamika internal diri manusia.

Ikhtiar dan Harapan

Secara etimologis ikhtiar berasal dari kata khayrun. Di sini kata tersebut telah ditempatkan

sebagai bentuk kata kerja, yang berarti memilih kemungkinan yang terbaik (Munawar Rahman:

2006: 987). Secara konseptual ikhtiar artinya memilih, yakni memilih diantara pelbagai

kemungkinan yang tersedia di depan kita. Makna ikhtiar selanjutnya memiliki implikasi

terhadap perbuatan (amal) yang dilakukan oleh manusia. Jadi manusia tidak sekedar

menjatuhkan pilihan atas apa yang dikehendakinya. Melainkan apa yang telah menjadi

pilihannya itu selanjutnya termanifestasikan kedalam bentuk perbuatan dan tindakan.

Perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh manusia itu merupakan upaya untuk mengungkap

rahasia ilahi guna memprediksi apa yang terbaik untuk manusia. Oleh sebab itu, manusia oleh

Allah senantiasa diperintahkan untuk mencari dan mengambil hikmah (kebajikan) atas apa yang

telah diperbuat. Maka dari itu, walaupun Allah memberikan kebebasan kepada manusia di dalam

menentukan pilihan dan di dalam melakukan perbuatan, Allah senantiasa mengingatkan kepada

manusia untuk melakukan perbuatan yang baik yang diridlai olehNya.

Page 16: 7  Takdir Dimensi

Menurut konsep Islam untuk menyebut perbuatan yang baik adalah amal shalih yaitu amal yang

diridlai oleh Allah dan di dalam mengerjakannya manusia tidak boleh menyalahi atau melanggar

ketentuan-ketentuan Allah. Kesesuaian manusia di dalam menjalani perintah dan menjauhi

larangan Allah itu merupakan syari’ah (jalan) guna mencapai ridla-Nya. Guna menjalankan

fungsi kekhalifahannya manusia oleh Allah diberi beberapa potensi dan kelebihan yang

diantaranya adalah akal. Dengan akal manusia dapat menggunakan daya pikirnya untuk

menentukan pilihan. Dan dengan pertimbangan akalnya itu manusia dapat mempertimbangkan

konsekuensi atas perbuatan yang telah dilakukan (Nasution: 2006; 65).

Ikhtiar, perbuatan, dan tanggung jawab merupakan rangkaian dinamika proses manusia di dalam

menjalani kebebasan pilihannnya. Atas apa yang telah diperbuat oleh manusia, manusia

selanjutnya hanya dapat memasrahkan hasil ikhtiarnya itu kepada Allah. Di sinilah Allah

senantiasa memberikan harapan kepada manusia. Barang siapa berbuat kebajikan dengan

sungguh-sungguh dan sesuai dengan jalan dan ketentuan Allah niscaya apa yang diharapkan oleh

manusia selain oleh Allah diridlai tentu peluang untuk dikabulkan semakin besar.

Oleh sebab itu, konsep ikhtiar ini selanjutnya dilengkapi oleh konsep tawakal. Tawakal artinya

bersandar atau memercayai diri. Dalam Islam, tawakal berarti sikap bersandar dan

memercayakan diri kepada Allah. Oleh sebab itu, tawakal merupakan implikasi langsung dari

iman. Selanjutnya Nabi bersabda, “Kalau kamu tidak mau untamu hilang, maka tambatkanlah ke

suatu pohon, kemudian bertawakallah kepada Tuhan” (Munawar Rachman: 2006; 987). Hadits

Nabi tersebut berarti mengingatkan kita bahwa manusia haruslah berusaha terlebih dahulu baru

kemudian bertawakal dan berserah atas apa yang telah kita kerjakan. Nabi juga melarang kepada

kita apabila kita belum berbuat namun kita sudah pasrah dan menyerah. Oleh karena itu, sikap

atau paham fatalisme pasrah tanpa diiringi dengan usaha dan perbuatan sangat bertentangan

dengan prinsip agama Islam.

Tawakal dan Iman

Secara etimologis, “tawakal“ atau dengan ejaan dan vokalisasi bahasa Arab tawakkul yang

berarti bersandar atau memercayai diri (Munawar Rahman: 2006: 3346). Dalam Islam, tawakal

Page 17: 7  Takdir Dimensi

berarti sikap bersandar dan memercayakan diri kepada Allah S.W.T. Oleh karena konsep tawakal

mengandung makna “memercayakan diri“, maka tawakal merupakan implikasi langsung dari

iman. Pengertian iman di sini tidak sekedar “percaya akan adanya“ Tuhan, melainkan lebih

bermakna kepada “memercayai“ atau “menaruh kepercayaan“ kepada Allah S.W.T. Maka tidak

ada tawakal tanpa iman, dan tidak ada iman tanpa tawakal25.

Pengertian lain tawakal adalah bukan merupakan sikap pasif yang bersemangat untuk melarikan

diri dari kenyataan (eskapis). Akan tetapi tawakal yang dimaksud oleh ajaran Islam adalah sikap

aktif yang tumbuh dari pribadi yang memahami dan menerima kenyataan hidup dengan tepat.

Hal ini karena pangkal tawakal itu berasal dari kesadaran diri bahwa perjalanan pengalaman

manusia secara keseluruhan dalam sejarah untuk tidak mengatakan perjalanan pengalaman

perorangan dalam kehidupan diri pribadi tidak akan cukup untuk menemukan hakikat hidup.

Sebagian besar dari hakikat itu tetap merupakan rahasia Ilahi yang tidak ada jalan bagi makhluk

untuk menguasainya.

Kesadaran yang serupa dengan hal itu tidak sekedar merupakan suatu “realisme metafisis“,

melainkan juga memerlukan keberanian moral, karena memiliki nilai aktif. Keberanian moral

yang dimaksudkan di sini adalah keberanian moral untuk menginsafi dan mengakui keterbatasan

diri sendiri setelah melakukan usaha optimal, dan siap menerima kenyataan bahwa tidak semua

persoalan dapat dikuasai dan diatasi tanpa bantuan (inayah) Allah S.W.T. Pengakuan ini

terkandung dalam ungkapan, La haula wa la quwwata illa billahi al-aliyy al-azhim (Tidak ada

daya dan tidak pula ada kekuatan kecuali dengan [bantuan, ’inayah ] Allah Yang Mahatinggi dan

Mahabesar).

Dalam Al-Qur’an, seruan kepada manusia untuk bertawakal kepada Allah itu dikaitkan dengan

berbagai ajaran dan nilai. Pertama, konsep tawakal dikaitkan dengan sikap percaya (iman)

kepada Allah dan pasrah (islam) kepada-Nya. Kedua, sikap tawakal kepada Allah diperlukan

25. Di dalam Al-Qur’an Allah S.W.T. berfirman: . . . Dan kepada Allah hendaknya kamu sekalian bertawakal, kalau benar kamu adalah orang-orang yang beriman (Q., 5: 23). Adapun ayat yang menunjukkan tidak ada iman, dan tidak pula ada sikap pasrah kepada Allah (islam), tanpa tawakal, dan begitu pula sebaliknya adalah: . . . kalau kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya, jika memang kamu orang-orang yang pasrah [muslim] (Q., 10: 84).

Page 18: 7  Takdir Dimensi

setiap kali usai mengambil keputusan penting (khususnya keputusan yang menyangkut orang

banyak melalui musyawarah), guna memperoleh keteguhan hati dan ketabahan dalam

melaksanakannya, serta agar tidak mudah mengubah keputusan itu26. Ketiga, tawakal juga

dilakukan agar terbit keteguhan jiwa menghadapi lawan dan agar perhatian kepada usaha untuk

menegakkan kebenaran tidak pecah karena adanya lawan itu, dengan keyakinan bahwa Tuhanlah

yang akan melindungi dan menjaga kita27. Keempat, tawakal juga diperlukan untuk mendukung

perdamaian antara sesama manusia, terutama jika perdamaian itu juga dikehendaki oleh mereka

yang memusuhi kita28. Kelima, sikap memercayakan diri kepada Tuhan juga merupakan

konsistensi keyakinan bahwa segala sesuatu akan kembali kepada-Nya dan bahwa kita harus

menyembah Dia Yang Maha Esa29. Keenam, tawakal kepada Allah juga dilakukan karena Dialah

Yang Mahahidup dan tak akan mati. Dialah Realitas Mutlak dan Mahasuci, yang senantiasa

memperhitungkan perbuatan hamba-hamba-Nya30. Ketujuh, kita bertawakal kepada Allah karena

Dialah yang Mahamulia dan Mahabijaksana. Dengan tawakal kita menghapus kekhawatiran

kepada Pencipta kita sendiri dengan segala kemuliaan dan kebijaksanaan-Nya31. Kedelapan,

tawakal diperlukan untuk meneguhkan hati jika memang seseorang yakin, dengan tulus dan

ikhlas, bahwa dia berada dalam kebenaran32.

26. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka. Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Q., 3: 159).

27. Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan: “(Kewajiban kami hanyalah) ta’at”. Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebahagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakkallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi pelindung (Q., 4: 81).

28. Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q., 8: 61).

29. Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan (Q., 11: 123).

30. Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya (Q., 25: 58).

31. Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang (Q., 26: 217).

32. Sebab itu bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya kamu beradadi atas kebenaran yang nyata (Q., 27: 79).

Page 19: 7  Takdir Dimensi

Penutup

Sebagai ikhtitam, takdir merupaka ketentuan Allah yang tidak dapat diubah dan dilawan oleh

manusia. Walau demikian, manusia oleh Allah diwajibkan untuk melakukan ikhtiar dan manusia

oleh Allah dikaruniai kebebasan di dalam melakukan ikhtiar atas apa yang dipilih dan

dikehendaki oleh manusia. Selanjutnya, manusia juga harus bertawakal dan memasrahkan hasil

ikhtiarnya tersebut kepada Allah. Sebab dengan bertawakal manusia senantiasa berada dalam

koridor keimanan dan senantiasa dapat memetik hikmah dan mensyukuri atas nikmat yang telah

Allah anugerahkan.

Selain itu, konsep takdir juga terkait dengan konsep sunnatullah. Sunnatullah merupakan

ketentuan Allah yang terkait dengan hukum alam di mana Allah telah menetapkan hukum-

hukumNya. Hukum sunnatullah ini berlaku bagi siapa pun. Oleh karena itu, setiap orang muslim

harus belajar tentang sunnatullah ini dari pengalaman sejarah. Sebab dalam lintasan sejarah

orang muslim juga memiliki pengalaman pahit yang diakibatkan barangkali oleh kesalahan oleh

orang muslim sendiri. Atas dasar pengalaman itu, setiap manusia di muka bumi ini ada yang

berhasil dan ada yang gagal. Tidak memandang manusia itu beriman atau tidak beriman, dan hal

ini tergantung kepada manusia sendiri. Apakah yang bersangkutan mengikuti sunnatullah atau

tidak mengikuti sunnatullah.

Bagi yang mengikuti sunnatullah atau hukum alam dia akan selamat dan sukses hidup di dunia.

Oleh karena itu, tidak salah bila ada ungkapan yang mangatakan Allah akan menegakkan

kekuasaan suatu negara meskipun kafir namun adil, dan Allah akan meruntuhkan kekuasaan

suatu negara yang tidak adil meskipun mukmin. Pesan yang dapat kita tangkap dari ungkapan

tersebut adalah manusia sebagai khalifah Allah di bumi harus berlaku adil terhadap siapa pun.

Sebab menurut hukum Allah siapa pun akan hancur dan binasa bila tidak mematuhi hukum dan

ketentuan yang berlaku.

Oleh sebab itu, manusia di dalam melakukan ikhtiar dan berbuat baik (amal shalih) hendaknya

senantiasa memperhatikan ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Sebab, semua

ikhtiar dan perbuatan manusia adalah proses untuk mengharap ridloNya di mana orientasi

Page 20: 7  Takdir Dimensi

hasilnya tidak semata-mata untuk suatu jangka yang bersifat pendek. Melainkan untuk masa

yang bersifat panjang dan abadi. Memang adakalanya antara apa yang dikerjakan, diharapkan,

dan diinginkan oleh manusia tidak seluruhnya dapat dikabulkan oleh Allah oleh sebab itu,

manusia hanya dapat berharap sambil bertawakal kepada Allah dan tetap yakin dan percaya

bahwa Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hambaNya.

Daftar Pustaka

Nasution, Harun, Muhammad Abduh Dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI-Press, Jakarta, 2006.

Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), Bulan Bintang, Jakarta, 1990.

Abduh, Muhammad, Risalah Tauhid, Bulan Bintang, Jakarta, 1996.

HAMKA, Pelajaran Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996.

Munawar Rahman, Budhy, Ensiklopedia Nurcholish Madjid, Mizan, Bandung, 2006.

Munawar Rahman, Budhy, Ensiklopedia Nurcholish Madjid, Mizan, Bandung, 2006.