makalah dimensi organisasi
TRANSCRIPT
A. PENDAHULUAN
Dimensi Organisasi berkenaan dengan siapa atau kelompok mana yang harus
mengerjakan apa yang telah diputuskan. Ada beberapa aspek yang penting mengenai
dimensi organisasi ini. Aspek pertama yang ditekankan ialah pembagian tugas, fungsi,
dan tanggung jawab dalam bekerja, mulai dari jabatan yang paling atas sampai yang
paling bawah, maupun berbagai unit-unit yang dibentuk. Pertayaan yang sering muncul
ialah apakah tepat jumlah jabatan dengan jumah unit atau bidang yang dibentuk terkait
dengan besarnya beban kerja dan kompleksitas pekerjaan yang ditangani?
Aspek yang kedua ialah apakah pihak yang mengerjakan pekerjaan tersebut memiliki
kemampuan atau kompetensi yang memadai dalam mengerjakanya. Yang ketiga, apakah
ada keseimbangan antara otoritas atau kekuasaan dengan kemampuan dalam mengerjakan
tugas tersebut. Kenyataannya keduanya itu cenderung tidak terjadi sehingga menimbulkan
masalah.
Aspek keempat yaitu merebaknya gejala “parkinson”, dimana jumlah orang yang
menangani suatu pekerjaan terus diperbesar jumlahnya meskipun besarnya beban dan
kompleksitas yang dikerjakan itu relatif tetap. Aspek kelima yang tidak kalah penting
yaitu apakah ada upaya berkesinambungan untuk menilai efektivitas dari organisasi
publik yang ada, termasuk unit-unit yang ada didalamnya.Upaya ini sangat jarang
dilakukan di tanah air, akibatnya tidak diketahui apakah desain organisasi publik sudah
tepat atau tidak.
Kesemua permasalahan yang ada diatas akan coba kami jawab di dalam makalah
kelompok kami tentang Dimensi Organisasi.
B. BATASAN DAN RUANG LINGKUP
Didalam literature tentang organisasi terdapat berbagai definisi organisasi dengan
rumusan yang bervariasi. Rumusan-rumusan ini dibangun berdasarkan cara pandang atau
interest yang dianut para ahli.
Dwight Waldo yang tertarik dengan struktur mendefinisikan organisasi sebagai
struktur otoritas dan hubungan personal dalam suatu sistem administrasi, sementara
Chester Bernard yang cenderung melihat organisasi sebagai suatu sistem,
mendefinisikannya sebagai suatu sistem aktivitas yang terkoordinasikan secara sadar,
atau sistem kekuatan dua orang atau lebih, dan Philip Selznick mendefinisikannya
sebagai suatu ekspresi struktural dari kegiatan rasional (lihat Harmon & Mayer, 1986:
18).
Setelah mempelajari berbagai pendapat, Gareth Morgan (lihat Robbins, 1990: 10-11)
menyatakan bahwa organisasi dapat didefinisikan secara bervariasi, yaitu sebagai:
1) Suatu kumpulan orang yang ingin mencapai tujuan secara rasional
2) Suatu koalisi dari konstituen yang berkuasa
3) Suatu sistem terbuka
4) Sistem yang menghasilkan pemaknaan tertentu
5) Sistem pasangan yang independen
6) Suatu sistem politik
7) Suatu alat untuk mendominasi
8) Suatu unit yang memproses informasi
9) Suatu penjara psikis
10) Suatu kontrak sosial
Salah satu definisi tentang organisasi yang digunakan Robbins (1990: 4) adalah suatu
kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan suatu batasan yang relatif
jelas, yang berfungsi secara relatif teratur dalam rangka mencapai suatu atau serangkaian
tujuan.
Definisi lain yaitu organisasi adalah suatu kelompok orang yang bekerja sama untuk
mencapai tujuan tertentu. Dalam pengertian ini organisasi merupakan kumpulan orang-
orang yang dikelompokkan dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
Pengelompokkan orang-orang tersebut didasarkan kepada prinsip-prinsip pembagian
kerja, peranan dan fungsi, hubungan, prosedur, aturan, standard kerja, tanggung jawab
dan otoritas tertentu. Wujud pengelompokkan tersebut dapat diamati dari suatu struktur
dan hirarki. Karena itu menyusun suatu struktur sering diidentikan dengan membuat
desain organisasi.
Perlu diingat dari batasan diatas bahwa organisasi merupakan kumpulan orang-orang
dengan dituntun oleh suatu nilai yang disepakati bresama. Suatu organisasi sering diberi
nama “sistem sosial” dimana orang-orang yang berada didalamnya harus taat terhadap
berbagai norma yang telah disepakati sehingga nilai yang dikejar bersama (tujuan) dapat
tercapai.
Dalam beberapa literature sering dibahas tentang implikasi dari kehadiran struktur
terhadap perilaku dan perkembangan manusia. Bahkan secara lebih radikal, sering
dikatakan bahwa perjuangan hidup manusia didunia adalah perjuangan untuk bebas dari
struktur yang mengikat dan menindasnya. Hal ini dapat diamati dari kehidupan aparat
pemerintah dimana mereka sering mengalami tekanan structural dari aparat pemerintah
yang lebih tinggi tingkatannya. Bahkan dibeberapa tempat atau instansi, hal ini dinilai
sudah sampai pada tahap mengancam dan mengeksploitasi. Begitu besar pengaruh
struktur tersebut terhadap kehidupan aparat pemerintah sehingga dapat dikatakan bahwa
sikap dan perilaku yang muncul adalah sikap dan perilaku structural. Sikap dan perilaku
ini kemudian begitu menyatu dalam kehidupan aparat sehari-hari, sehingga kehidupan
mereka seolah-olah hanya untuk memenuhi kehendak pejabat-pejabat yang lebih tinggi
eselon atau kedudukannya. “Mencari Muka” dan menyenangkan atasan akhirnya menjadi
tujuan utama para bawahan, dan bukan berupaya mencapai tujuan organisasi.
Dalam membenahi struktur ini perlu diperhatikan keterkaitannya dengan lingkungan.
Suatu struktur yang dibuat tidak untuk diperlakukan pada segala jaman. Struktur bersifat
terbuka, artinya bila keadaan perkembangan masyarakat berubah maka struktur tersebut
harus sisesuaikan atau diadaptasikan. Karena itu, upaya untuk menilai ketepatan suatu
struktur dari waktu ke waktu merupakan upaya yang sangat bernilai demi perbaikan
kinerja organisasi termasuk kinerja anggotanya.
Begitu pentingnya struktur organisasi maka teori organisasi seringkali dilihat sebagai
suatu disiplin yang mempelajari struktur dan desain organisasi, baik dalam aspek
deskripsi maupun preskripsi. Tujuan dari teori tersebut tidak lain yaitu mengetahui
bagaimana dampaknya terhadap kinerja organisasi dan individu, serta memberikan saran
bagaimana organisasi-organisasi tersebut dapat memperbaiki strukturnya.
C. PERGESERAN PARADIGMA ORGANISASI
Didalam teori organisasi terdapat beberapa pola atau blueprint yang berkembang,
diantaranya paradigma klasik, paradigma human, paradigma sistem dan paradigma
kolaborasi. Diasamping ada beberapa pendapat tentang birokrasi yang baik menurut
Webber yang kemudian terjadi pergeseran ke paradigma reinventing government.
Para penggagas blueprint pertama antara lain H. Fayyol, L. Gullick, Taylor, dsb.
Mereka merancang suatu organisasi yang beroreintasi kepada efisiensi tinggi dengan
mengajukan sistem otoritas dan kendali yang sangat hirarki dengan rentang kendali yang
sempit. Prinsip-prinsip spesialisasi, desentralisasi, dan formalitas sangat ditekankan
disini. Aliran ini dikritik karena menganggap manusia mahluk ekonomis atau dianggap
sebagai mesin, yang apabila kebutuhan ekonominya akan terpenuhi dia akan puas dan
akan mengikuti apa saja yang diperintahkan kepadanya. Manajer yang dibutuhkan disini
adalah manajer yang dianggap tahu segalanya, tegas dan berani dalam menerapkan sangsi
dan berdifat otoriter.
Dalam blueprint kedua, terjadi pergeseran pandangan manusia dalam organisasi,
manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk ekonomis melainkan sebagai mahluk sosial.
Pada paradigms ini manusia mulai diperhatikan kondisi lingkungn kerjanya (kebutuhan
sosialnya) disamping kebutuhan ekonominya. E. Mayo dengan eksperimen di Hawthrone
(1930an) yang mengasumsikan bahwa, (1) kepentingan anggota organisasi sam dengan
kepentingan manajemen, dan (2) manusia tidak dapat lagi dilihat sebagai individu yang
independen tetapi memiliki kelompok dan kolektifitas (sosial man).
Ide ini juga didukung oleh Rensis Likert yang menekankan hubungan-hubungan yang
bersifat “supportif” yang memperhatikan latar belakang nilai-nilai dan harapan-harapan
anggota organisasi dan membangun dan mempertahankan perasaan manusia agar tetap
merasa penting dalam organisasi. Karena itu jarak antara atasan dan bawahan relative
dekat atau “flat”. Likert juaga menyarankan bentuk struktur yang “linking-pin” bahkan
beroverlapping ganda dimana manusia berinteraksi secara lebih bebas sebagai kelompok
yang tidak selamanya mengikuti struktur garis lurus. Disini manajer diharapkan lebih
supportif dan lebih demokratis
Didalam blueprint ketiga, organisasi dilihat sebagai suatu sistem, bahwa diasumsikan
bahwa didalamnya terdapat unsure-unsur (1) saling ketergantungan (interpedency)
dengan lingkungan yaitu mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan, (2) keterbukaan
(openness) yang member reaksi segala sesuau yang dating dari lingkungan, (3)
keseluruhan (holism) dimana organisasi menjadi bagian keseluruhan dari lingkungan, (4)
sifat rasionalitas dan objektif, (5) kelompok kerja yang kohesif.
Dalam blueprint ini dipersoalkan dua sistem yaitu mechanic system dan organic
system. Mechanic system lebih melihat struktur organisasi yang formal dan cenderung
hirarki, dengan kendali yang sangat terpusat, mementingkan kendali satu orang diatasnya
dengan dibawahnya, dsb. Struktur ini diperlukan untuk mengejar efisiensi dan
memanfaatka resources sebaik mungkin, karna menghadapi situasi yang stabil.
Sementara itu, sistem yang kedua bersifat organic, disini lebih menitik beratkan pada
orang bukan tugas, dengan mencoba mengurangi peranan hirarki, memiliki struktur yang
fleksibel, dan selalu mementingkan norma yang disetujui bersama dan menekankan
control diri dan saling menyesuaikan diri. Sistem ini diterapkan pada kondisi yang
berubah-ubah atau dinamis
Kemudian dua sistem diatas disempurnakan oleh Lawrence dan Lorch (1967) melalui
teori contingency bahwa organisasi terdiri dari sub-sistem** yang dapat bersifat organic
dan mechanic tergantung pada lingkungan yang dihadapi
Kemudian blueprint yang keempat, yang mengarahkan perhatiannya kepada realitas
kebutuhan diakhir abad 20. Yaitu tentang loosely coupled organization dimana
organisasi-organisasi hendaknya membentuk pasangan-pasangan unit kerja (loose
coupling within organization) dan membentuk pasangan kerja dengan organisasi lain
(loose coupling between organization)yang resposif atar satu dengan yang lain dan saling
kolaboratif. Atau tema dari paradigm keempat adalah pembenahan hubungan didalam
organisasi dan pengembangan network dengan organisasi lain. Dua faktor yang penting
dalam paradigm keempat adalah “configuration” dan “contingency”. Yang pertama
menunjukan bahwa suatu struktur yang dibentuk bukan dalam lingkungan yang fakum
atau terisolir tetapi berhubungan dengan variable-variable strategis dan budaya yang ada
dalam suatu sistem lingkungan. Dan yang kedua (contingency) menunjukan bahwa
organisasi dengan konfigurasi yang berbeda akan memiliki kinerja yang berbeda pula.
Dalam paradigm baru ini organisasi bebas dari control hirarki yang paternalistic. Jadi
struktur organisasi ini bersifat datar atau “flat” sehingga individu yang ada didalamnya
bisa merasa bebas dari kendali staf organisasi. Konsekuensinya mereka dituntut dapat
mengendalikan dirinya.
Disamping itu individu-individu juga dituntut memiliki individu yang kolaboratif .
mereka bekerjasama atas dasar kebebasan dan kemerdekaan. Dengan demikian dalam
bingkai baru ini ditekankan sifat saling ketergantungan dan bersifat sukarela, dengan
diharapkan individu yang telah empowered akan memperdayakan mereka yang belum
berdaya agar bergabung dengan mereka membentuk kekuasaa yang besar.
Paradigm organisasi dapat juga dilihat dari paradigm birokrasi. Seperti kenyataan
bahwa organisasi dan menejemen klasik banyak dipengaruhi oleh teori-teori birokrasi
khususnya dari Max Weber dengan mengungkapkan tipe ideal birokrasi. Bentuk dari
weber dapat dilihat dari :
1. Hirarki otoritas yang meliputi hubungan atasan-bawahan dan rantai komando
2. Pembagian tugas pekerjaan yang jelas berdesarkan kompetensi dan spesialisasi
fungsional
3. Adanya sistem aturan regulasi dan prosedur
4. Impersonal nature
5. Adanya sistem standardisasi metode
6. Seleksi dan promosi berdasarkan kompetensi
7. Otoritas dan kekusaan hanya terjadi dikantor
Sementara itu terjadi pergeseran dari paradigama Max Webber ke paradigmabaru
yaitu reinventing government. Di dalam pardigma birokrasi terdapat hambatan structural
dan telah berbagai dampak negative dalam organisasi public. Para pegawai atau bawahan
dalam organisasi public nampak susah berkreasi dan berinisiatif, sulit belajar untuk
mencapai perkembangan atau peningkatan kepribadian yang lebih tinggi, dan selalu
mendatangkan “stress” pada kehidupan mereka. Dalam paradigm baru ini, struktur yang
selama ini di anggap sebagai alat control atau kendali birokrasi atau organisasi public
harus mengikuti prinsip “the control strategy” yaitu memindahkan otoritas dan kendali
dari atas dari pusat ke pemberdayaan para pegawai atau bawahan (employee
empowerment), organisasi local (organizational empowerment), dan masyarakat
(community empowerment). Dan untuk memberdayakan masyarakat maka masyarakat
harus diikutkan untuk mengontrol keputusan-keputusan public, pemanfaatan sumberdaya,
dan pelaksanaan tugas-tugas organisasi public.
D. DESAIN STRUKTUR ORGANISASI
Desain organisasi adalah suatu proses yang berkenaan dengan bagaimana aktivitas-
aktivitas organisasi distrukturkan atau dituangkan dalam suatu bentuk struktur, dengan
tujuan membantu manajer untuk dapat mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Yang
dikembangkan dalam desain organisasi ini adalah :
1. Hirarki dari tujuan organisasi (hubungan antara tujuan dengan cara).
2. Konsep pembagian kerja
3. Sistim koordinasi dan control
Sedangkan struktur organisasi menunjukan pola interaksi antara anggota organisasi,
yang dapat dibedakan atas bentuk klasik atau sering disebut :
1. Bentuk birokratik atau mekanistik
2. Bentuk linking-pin
3. Bentuk proyek
4. Dan bentuk matriks
1. Bentuk birokratik atau mekanistik
Bentuk birokratik atau mekanistik memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) ada
pembagian departementasi fungsional, (b) fungsi lini dan staf, (c) hirarki otoritas, (d)
rentang kendali, (e) bentuk datar atau pyramidal/tinggi, dan (f) berlaku aturan yang
birokratis.
2. Bentuk linking-pin karya Rensis Likert (1967)
Dibuat untuk memungkinkan anggota organisasi berpartisipasi pada semua tingkatan.
Seorang anggota organisasi dapat ikut membuat keputusan pada manajemen tingkat
diatasnya atau dibawahnya. Struktur ini juga bertujuan untuk mencapai integrasi yang
optimal dari kebutuhan organisasi dan para anggotanya. Juga sering digunakan sebagai
metode yang paling efektif untuk melakukan koordinasi dan kerjasama antar kelompok.
Untuk mensukseskan tujuan tersebut maka seorang manajer harus menggunakan tiga
prinsip utama yaitu prinsip hubungan yang bersifat supportif, penggunaan kelompok
pengambilan keputusan, dan penciptaan tujuan dengan kinerja yang tinggi.
Organisasi ini sebaiknya digunakan untuk organisasi yang membutuhkan interaksi
antara anggota organisasi yang intensif, seperti perguruan tinggi, perbankan, dan lain-
lain. Koordinasi dan kerjasama merupakan kekuatan yang dapat diandalkan dari desain
organisasi seperti ini. Hanya saja ada kelemahan adalah lambannya pengambilan
keputusan karena lebih melibatkan banyak pihak (time consuming), tidak dapat
digunakan untuk sesuatu situasi gawat dan membutuhkan keputusan yang cepat.
3. Desain struktur yang berbentuk proyek
Desain struktur yang berbentuk proyek ini sangat bersifat fleksibel dan tidak
permanen. Struktur ini bertahan selama dibutuhkan saja. Desain ini mampu mengurangi
kompleksitas lengkingan sampai pada level yang dapat dikelola, juga memungkinkan
para spesialisasi fungsional berinteraksi dan berpartisipasi. Akan tetapi desain ini bias
menciptakan rasa tidak aman dan tidak pasti pada para anggotanya karena tidak
mempekerjakan mereka secara permanen, termasuk rasa gelisah.
4. Struktur yang bersifat matriks
Sedangkan kalau struktur ini setiap individu akan diberi otoritas dan tanggung jawab
proyek, tetapi tetap dalam divisinya (menjalankan funggsinya sebagaimana terdapat
dalam divisinya). Setelah selesai program atau proyeknya, masing-masing mereka
kembali ke fungsinya dalam divisinya.
Disamping ini ada juga bentuk lain yang merupakan bagian dari bentuk matriks yang
disebut sebagai committee organization. Bentuk ini biasanya diciptakan untuk
kepentingan khusus misalkan memecahkan masalah tertentu dalam masyarakat.
Keputusan selalu dilakukan berdasarkan pendapat kelompok, dan koordinasi serta
komunikasi nampak lebih efektif. Para anggota yang berpengaruh dapat mengontrol
anggota lain yang kurang berpengaruh. Bentuk ini menjadi kurang efektif apabila
organisasinya menjadi besar.
Dalam suatu organisasi berkenaan dengan sistem konfigurasi, yaitu kombinasi elemen
elemen yang ada di dalam suatu organisasi secara internal dan bersifat kohesif atau
saling berkaitan antara satu elemen dengan elemen lainnya. Menurut Henry Mintzberg,
ada lima elemen penting yang ada di dalam suatu organisasi, yaitu :
1. The operating core, yaitu para pekerja dasar yang berhubungan langsung dengan
produksi barang dan jasa.
2. The strategic apex, yaitu orang yang bertanggung jawab atas keberlangsungan
organisasi, seperti manajer tingkat tertinggi.
3. The middle line, yaitu manajer yang menghubungkan para pekerja dasar dan para
manajer tertinggi.
4. The technostructure, yaitu para analis yang bertanggung jawab atas standarisasi
bidang-bidang yang ada di dalam organisasi.
5. The support staff, yaitu staff yang memberikan dukungan langsung kepada organisasi.
Menurut Mintzberg, setiap konfigurasi atau kombinasi elemen sangat berpengaruh
terhadap struktur organisasi yang mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing.
1. Struktur Sederhana
Pada struktur ini dominan “the strategic apex”. Memiliki formalitas dan kompleksitas
yang rendah, karena dalam struktur ini umumnya terdiri dari beberapa karyawan dan satu
pimpinan. Sehingga tidak terlalu rumit dan formal. Sementara otoritasnya terpusat pada
eksekutif senior. Kelebihan struktur ini terletak pada kejelasan tujuan dari organisasi, dan
kontribusinya dapat dilihat dengan mudah karena kelompok operasionalnya bersifat
organik. Namun kelemahannya adalah apabila pimpinan perusahaan menyakahgunakan
kekuasaan, akan sangat berpengaruh pada seluruh kehidupan di organisasi.
2. Struktur Birokrasi Mesin
Pada struktur ini lebih dominan “the technostructure” atau para analis. Menekankan
pada standarisasi yang tinggi pada setiap bidang-bidang fungsionalnya. Dalam
pelaksanaannya terdapat prosedur dan regulasi yang tinggi demi mencapai standar yang
diinginkan. Struktur ini mempunyai kelebihan yaitu dalam menjalankan pekerjaannya
terstandar dan mempunyai efisiensi yang tinggi. Namun dapat dengan mudah
menimbulkan konflik antar unit atau subunit.
3. Struktur Birokrasi Profesional
Pada struktur ini dominan “the operating core”. Karena struktur ini merupakan
gabungan antara standarisasi dan desentralisasi. Dalam menjalankan tugasnya, para
pekerja membutuhkan keleluasaan untuk berekspresi, oleh karena itu perlu adanya
desentralisasi agar para pekerja leluasa. Di samping desentralisasi juga ada standarisasi,
maksudnya adalah para pekerjanya mempunyai skill yang terstandar lewat adanya
sekleksi. Dalam melakukan tugasnya juga ada formalitas dan regulasi yang jelas dalam
menjalankan pekerjaannya namun tidak sekaku seperti yang ada dalam struktur birokrasi
mesin.
4. Struktur Divisi
Kekuasaan dalam stuktur divisi ini dipegang oleh manajer menengah. Setiap
manajemen berfungsi sebagai unit otonom dimana setiap unit tersebut bertindak sebagai
mesin birokrasi bagi dirinya. Jadi, karena setiap manajemen berfungsi sebagai unit
otonom, manajer berhak mengaluarkan keputusan yang bersifat strategis dan operasional
karena kuasanya yang besar pada struktur ini. Keuntungan dari struktur ini, adalah kinerja
satu divisi tidak terlalu berpengaruh terhadap divisi lainnya. Namun dalam struktur ini
juga memiliki kekurangan yaitu rawan konflik antar divisi dan sulitnya koordinasi antar
divisi, karena setiap divisi memiliki kegiatan dan resources sendiri.
5. Struktur Adhocracy
Pada struktur ini lebih dominan unsur “the support staff”. Dalam struktur ini memiliki
differensiasi dan formalitas yang rendah, dan membutuhkan fleksibilitas dan
responsivitas yang tinggi, serta pengambilan keputusan yang bersifat desentralistis.
Dalam struktur ini memiliki pekerja ahli dan meiliki profesionalitas yang tinggi. Hampir
sama dengan birokrasi profesional, hanya bedanya desain struktur ini tidak melakukan
standarisasi program. Keuntungan dari struktur ini yaitu mudah memecahkan suatu
permasalahan yang rumit, karena terdiri dari para ahli yang berkolaborasi yang mengerti
dan ahli di bidangnya masing-masing. Namun karena tidak ada hierarki yang jelas,
seringkali terjadi konflik karena terjadi ketidakjelasan peran antara pemimpin dan
bawahan.
E. KAITAN ANTARA DESAIN STRUKTUR DENGAN POLA
MANAJEMEN
Secara teoritis, desain struktur organisasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
“Top-Down” dan “Bottom-Up”. Dalam prosedur Top-Down, semua tujuan umum
organisasi harus diubah menjadi tujuan yang khusus atau spesifik dan kemudian menjadi
dasar untuk membentuk departemen-departemen, kemudian dalam departemen tersebut
dibentuk posisi-posisi dalam rangka pencapaian tujuan Dalam prosedur Bottom-Up,
proses dasar yang digunakan organisasi ditetapkan terlebih dahulu, kemudian ditentukan
teknologi-teknologin pokoknya yang dipakai dalam proses tersebut kemudian
menentukan posisi-posisi untuk menjalankanya termasuk persyaratan untuk menduduki
posisi tersebut.Meskipun kedua prosedur terddebut berlainan, tetapi pada kenyataanya
kedua proses tersebut tidak dapat dipisahkan. Mengapa? Karena didalam mendesain suatu
organisasi tidak dilakukan sekali jadi. Malsudnya, bila telah menempuh proses Top-Down
ada baiknya dilakukan ddengan penyesuaian melalui pendekatan Bottom-Up. Dalam
desain struktur organisasi, seorang desainer selalu dipengaruhi oleh pola manajemen. Ada
tiga dasar pola manajemen yang mempengaruhi yaitu manajemen tadisional, human
relation, dan human resources yang kemudian mewarnai desain struktur organisasi.
Desain struktur organisasi meliputi rancangan tingkat differensasi, formallisasi, dan
dispersi atau pembaagian otoritas.
1. Tingkat Differensasi
Tingkat differensasi menunjukan sampai seberapa besar jumlah unit yang dibuthkan
dan spesialisasi apa saja yang dibutuhkan dalam organisasi. Differensasi dibedakan atas
differensasi horisontal dan vertikal. Differensasi horisontal berkanaan dengan jumlah
unitke samping yang dibutuhkan, sementara differensasi vertikalberkaitan dengan jarak
keatas mulai dari posisi yang palinng rendah ke yang paling tinggi ( prinsip hierarki).
Kaitanya didalam manajemen yang tradisional, bentuk struktur cnderung piramidal.
Misalnya, pekerjaan yang menggunakan teknologi yang “labor intensive” membutuhkan
bentuk struktur seperti piramidal dengan posisi operasi yang membengkak di bawah,
sementara yang bersifat “capital intensive” bentuk strukturnya masih piramidal tetapi
dengan posisi yang semakin ke bawah semakin sedikit (seperti bentuk berlian) karena
banyak dilakukan oleh mesin secara otomatis. Karena organisasi tradisional berasumsi
bahwa lingkungan selalu stbil maka kebanyakan tugas-tugas didesain secara rutin dengan
spesialisasi khusus.
Dalam organisasi yang menggunakan tradisi human relation, differensasi dalam
konteks pembentukan unit secara horisontal dan vertikal masih relatif sama dengan tradisi
organisasi tradisional. Perbedaanya adalah bahwa adanya pembentukan kelompok diskusi
atau forum pertemuan diamna pimpinan dapat lebih berinteraksi dengan bawahan dan
mencoba memberi peranan kepada bawahan agar bawahanya merasa penting.
Dalam organisasi yang menggunakn tradisi human resources, differensasi dituntun
oleh suatu prinsip bahwa atasan dan bawahan merupakan suatu tim yang kemampuanya
harus ditingkatkan seoptimal mngkin, bawahan juga memiliki kemampuan yang siap
untuk digunakan dan bahwa unit-unit yang ada di dalamnya harus bekerja sama untuk
mencapai tujuan.
2. Tingkat formalisasi
Tingkat formalisasi berkenaan dengan standarisasi, prosedur kerja, dan aturan serta
norma-norma formal yang ditetapkan untuk dipauthi dalam melaksanakan pekerjaan.
Dalam organisasi tradisional orientasinya, standarisasi ini ditetapkan oleh atasan atau
pusat dan semua pekerja atau bawahan harus mengikuti standard tersebut. Karena itu
standard yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan dengan kemampuan
bawahan seringkali menjadi masalah dalam organisasi.
Dalam organisasi yang sifatnya human relations, pimpinan selalu meminta kritikan
dari bawah terhadap standard kerja yang ditetapkan, tetapi perubahan standarisasi sesuai
dengan aspirasi bawahan tidak atau kurang diperhatikan.
Dalam organisasi yang berorientasi pada human resources, standarisasi ditetapkan
bersama-sama dengan bawahan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa apa yang
diinginkan oleh organisasi harus disesuaikan dengan kemampuan para anggota organisasi
termasuk bawahan.
3. Tingkat dispersi otoritas
Dispersi otoritas berkenaan dengan bagaimana mengatur pembagian kewenangan ntuk
memutuskan atau mengambil keputusan tentang sesuatu masalah. Ada dua kemungkinan
yang terjadi dari dispersimotoritas tersebut yaitu desentralisasi dan sentralisasi.
Desentralisasi berkenaan dengan pendelegasian otoritas yang lebih banyak oleh
pengambil keputusan tingkat atas kepada tingkat yang lebih rendah, sedang sentralisasi
adalah pemusatan otoritas pengambilan keputusan pada pusat atau tingkat tertinggi.
Di dalam tradisi yang dirancang berdasarkan tradisi organisasi tradisional, otoritasnya
biasanya terpusat pada tingkat yang paling tinggi. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa
atasan cenderung mencurigai bawahan yang dapat menyalahgunakan otoritas untuk
kepentingan kain dan adanya kekhawatiran bahwa bawahan bisa menggunakan ototritas
tersebut untuk menjatuhkan atasan. Karena itu, pusat selalu cenderung “otoriter”.
Sementara itu dalam organisasi yang dirancang dengan tradisi human realtions,
bawahan memang tidak diberi otoritas tetapi diberi hiburan dalam bentuk oemberian
kesempatan untuk merasakam sebagai orang penting. Dalam halini para bawahan yang
ada dibuai dengan pujian-pujian dan dorongan untuk bokeh mengajjukan usulan-usulan
sebagai upaya menutupi topeng “otoriter” karena secara sosial sifat otoriter itu tidak
disenangi. Namun demikian, keputusan tetap berada pada tangan pusat sebagaimana
terjadi pada organisasi tradisional.
Dalam kaitanya dengan organisasi yang memiliki tradisi human resources, keputusan
tersebut selalu cenderung dibuat bersama antara atasan dan bawahan yang mengetahui
atau berurusan dengan masalah tertentu. Kebersamaan dalam pengambilan keputusan
tersebut didasarkan atas asumsi bahwa bawahan ternyata memiliki kelebihan-kelibihan
tertentu yang dapat disumbangkan dalam bekerja termasuk mengambil keputusan. Disini
bahwa tidak dilihat sebagai orang yang harus didikte, atau yang harus dihibur, tetapi
harus diberdayakan., dikembangkan dan di manfaatkan untuk kepentingan organisasi dan
perkembangan kemampuan atau karirnya sampai ke titik palinh optimal. Jadi,
mengikutkan mereka dalam
proses pengambilan keputusan merupakan wujud dari kepercayaan bahwa mereka adalah
resources yang berguna bagi organisasi.
F. EFEKTIFITAS ORGANISASI
Suatu organisasi dikatakan efektif apabila berhasil mencapai tujuan atau sasaran yang
telah ditentukan bersama baik yang mencakup factor yang didalam maupun diluar
organisasi.
Keefektivitasan organisasi dilihat dari 3 sudut pandang yaitu:
(1) keefektifan individu,
(2) keefektifan kelompok, dan
(3) keefektifan organisasi
1. Keefektifan individu adalah proses evaluasi kinerja individu secara rutin, dijadikan
dasar bagi promosi, kenaikan gaji, dll
2. Keefektifan kelompok: kontribusi individu bagi kelompok
3. Keefektifan organisasi: akumulasi individu dan keefektifan kelompok
Suatu organisasi dapat dikatakan efektif apabila memenuhi ke duapuluhsembilan
kriteria tersebut.
Robbins (1990:53) mengklasifikasikan empat pendekatan dalam mempelajari
efektifitas organisasi, yaitu:
a. Pendekatan Pencapaian Tujuan (The Goal Attainment Approach)
Pendekatan ini menunjukkan bahwa suatu efektifitas organisasi dinilai lebih pada
kaitannya dengan tujuan akhir daripada dengan prosesnya. Kriteria yang umum
digunakan dalam pendekatan ini adalah maksimasi laba. Dengan demikian asumsi yang
digunakan dalam pendekatan ini seluruh kriteria yang digunakan harus dapat diukur
(measureable).
b. Pendekatan Sistem (The System Approach)
Pendekatan ini tidak menekankan pada tujuan akhir tetapi memasukkan seluruh
kriteria dalam satu element dan masing-masing akan saling berinteraksi. Pendekatan
sistem ini menekankan pada kelangsungan hidup organisasi untuk jangka waktu panjang.
c. Pendekatan Konstituen Strategis (The Strategic-Constituencies)
Pendekatan ini menunjukkan bahwa organisasi yang efektif adalah organisasi yang
dapat memuaskan keinginan para konstituen dalam lingkungannya. Masing-masing
konstituen tersebut mempunyai keinginan yang berbeda-beda. Pemilik berkeinginan
untuk memperoleh return on investment yang tinggi, karyawan akan menginginkan
kompensasi yang memadai, pelanggan menginginkan kemampuan membayar hutang,
demikian juga dengan pihak-pihak lainnya akan mempunyai keinginan yang unik.
d. Pendekatan nilai-nilai persaingan (The Competing-Value Approach)
Pendekatan ini menawarkan suatu kerangka yang lebih integratif dan lebih variatif,
karena kriteria yang dipilih dan digunakan tergantung pada posisi dan kepentingan
masing-masing dalam suatu organisasi. Sehubungan dengan tingkat variatif yang relatif
tinggi, maka terdapat tiga perangkat dasar nilai-nilai, yaitu: 1) fleksibilitas versus
pengendalian, 2) manusia versus organisasi, 3) proses versus tujuan akhir.
G. ISU PENTING DALAM DIMENSI ORGANISASI
Ada empat isu yang populer di setiap organisasi public saat ini, yaitu :
1. Isu merebaknya gejala “Parkinson”
Gejala ini timbul ketika ada seorang pejabat yang terus mengangkat jumlah
bawahannya meskipun beban kerja relatif tetap. Hal ini terjadi sebagai perwujudan dari
kekuasaan pejabat itu. Di Indonesia, gajala ini dapat diamati ketika para pejabat
melakukan hal-hal yang mengarah pada tindakan kolusi dan nepotisme. Artinya
meskipun beban kerja tetap,pejabat tersebut tetap memasukan orang-orang terdekatnya
sebagai hasil persekongkolan.
Hal ini tentunya sangat merugikan bagi beban anggaran Negara karena telah
terjadipemborosan. Artinya adalah bahwa Negara harus membayar gaji untuk orang-
orang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Dan yang menarik di sini adalah tidak ada
kesadaran untuk melakukan penilaian tentang gejala ini melalui penelitian dan
memberikan rekomendasi untuk perbaikan.
2. Isu yang berkenaan dengan penentuan jabatan atau posisi
Seringkali penentuan suatu jabatan atau posisi tidak didasarkan atas kebutuhan riil,
tetapi atas pertimbangan berapa orang atau siapa saja yang harus diberikan perhatian
khusus. Maka bukanlah hal yang aneh jika saat ini banyak jabatan atau posisi seringkali
dikarang-karang.
Akibat dari hal ini adalah munculnya tumpang tindih nama posisi atau jabatan.
Seharusnya penentuan jabatan itu didasarkan pada tugas pokok, dan tugas pokok
didasarkan pada tujuan organisasi, dan tujuan organisasi ditentukan atas dasar visi dan
misi organisasi.
Dan berkaitan dengan isu ini, kemampuan untuk mendesain organisasi, khususnya di
organisasi public masih sangat rendah.
3. Isu ini berkenaan tentang menempatkan orang tidak sesuai dengan kompetensi
atau spesialisasinya.
Hal ini terjadi disebabkan oleh tidak adanya orang yang memiliki kompetensi yang
telah ditetapkan, atau karena masalah suka-tidak suka (like and dislike), ataupun karena
mendapatkan promosi jabatan.
Dalam kaitannya dengan mendapatkan promosi jabatan, ini telah disampaikan dalam
“Peter Principle”, yaitu bahwa orang akan mengalami penurunan tingakat kecerdasan
ketika ia mendapatkan kesempatan promosi jabatan yang lebih tinggi. Artinya adalah
bahwa semakin orang dipromosikan dalam jabatan yang lebih tinggi, semakin rendah
kompetensinya, karena kompetensi yang ia miliki tidak sesuai dengan kompetensi yang
ditetapkan untuk jabatan baru yang akan diduduki olehnya. Oleh karena itu, disarankan
agar setiap orang yang akan menduduki suatu jabatan yang lebih tinggi harus mengikuti
pendidikan dan pelatihan khusus terlebih dahulu.
4. Isu yang paling sering muncul ke permukaan adalah isu tentang penentuan
stuktur organisasi
Seperti yang telah dijelaskan dalam penentuan jabatan, isu tentang penentuan struktur
menikuti pola yang sama seperti penentuan jabatan. Seringkali penentuan suatu struktur
atau jabatan bergantung kepada keinginan pemimpin. Artinya kehadiran suatu struktur
dan jabatan lebih bersifat politis, lebih didasarkan pada muatan kepentingandari pada
kebutuhan riil. Seharusnya suatu struktur dibuat bukan menurut kemauan atau kekuasaan
seseorang, tetapi bergantung pada kebutuhan yang nyata. Dan bentuk stuktur organisasi
sangat ditentukan oleh strategi organisasi dan dinamika lingkungan.
DIMENSI ORGANISASI
Disusun oleh : Dwi Setia Eka Putri (F1B010030)
Toto Widi Lestiyono (F1B010068)
Fahrizia Indra S. (F1B010070)
Vanessa Anindita Y.J. (F1B010022)
Raditya Endra N. (F1B010062)
Cahyo Aribowo (F1B010102)
Primanita Citra Utami (F1B010008)
Sirojudin (F1B010112)
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
PRUWOKERTO2010