6 wawasan syi'ar

15
SYI’AR, JALUR BARU PERJUANGAN ISLAM Oleh: Syamsul Bahri Penguasaan ilmu para da'i terhadap aspek-aspek syari'ah adalah hal yang wajib dan menjadi tuntutan. Disisi lain, Syari'ah Islam yang menjadi tempat berpulang segala persoalan kehidupan bermasyarakat sejatinya harus benar-benar mampu diketengahkan ke hadapan umat sebagai satu-satunya solusi yang memiliki daya jangkau paling totalitas. Namun demikian tak sedikit dari para da'i yang justru tak memiliki skill dalam menyampaikan kandungan syari'ah sehingga muncul keengganan dari obyek da'wah hanya karena tak mampu memahami realitas. Upaya untuk menda'wahkan atau mensyi'arkan Islam sejatinya adalah jalan pembuka bagi diterimanya syari'ah itu sendiri. Bahkan, ia menjadi kunci utama tersampaikannya da'wah dan syi'ar tersebut. Pembahasan konsep syi'ar berikut ini menjadi sangat menarik untuk dicermati karena catatan-catatan penulis menunjukkan bahwa jalan da'wah dengan metode Syi'ar ini menjadi salah satu alternatif utama dalam menyampaikan pesan Islam. Kata Kunci: Islam, syi’ar, syari’ah, da’wah, universalisme Pendahuluan Dienul Islam adalah agama syi'ar. 1 Jika kita bedah syari'at Islam, maka isi dan kandungannya tiada lain adalah syi'ar. Umumnya hukum-hukum fardhu 'ain dan fardhu kifâyah maupun hukum halal-haram 1 ? Dikutip dari perkataan Imam Al Hasan (21-110 H), seorang Tabi'in sempat bertemu dengan sahabat Anas bin Malik RA. Ibunya pernah menyusu pada Ummul Mu'minin Ummu Salamah ra sewaktu bayi. Di zaman khalifah Umar bin 'Abdul 'Aziz sempat diangkat menjadi Hakim di Bashrah. Dalam tafsirnya terhadap QS. Al-Ma'idah: 2, ia mengatakan bahwa makna syi'ar adalah al- dîn kulluh (agama secara total). Lihat Imam Ibn Jauzi, Tafsir al- Zâd, Beirut: Maktabah Al-Islami, 1384H/1964, Juz II, hal. 272

Upload: lukman-bin-masa

Post on 11-Jun-2015

1.259 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 6 wawasan syi'ar

SYI’AR, JALUR BARU PERJUANGAN ISLAMOleh: Syamsul Bahri

Penguasaan ilmu para da'i terhadap aspek-aspek syari'ah adalah hal yang wajib dan menjadi tuntutan. Disisi lain, Syari'ah Islam yang menjadi tempat

berpulang segala persoalan kehidupan bermasyarakat sejatinya harus benar-benar mampu diketengahkan ke hadapan umat sebagai satu-satunya

solusi yang memiliki daya jangkau paling totalitas. Namun demikian tak sedikit dari para da'i yang justru tak memiliki skill dalam menyampaikan

kandungan syari'ah sehingga muncul keengganan dari obyek da'wah hanya karena tak mampu memahami realitas. Upaya untuk menda'wahkan atau

mensyi'arkan Islam sejatinya adalah jalan pembuka bagi diterimanya syari'ah itu sendiri. Bahkan, ia menjadi kunci utama tersampaikannya

da'wah dan syi'ar tersebut. Pembahasan konsep syi'ar berikut ini menjadi sangat menarik untuk dicermati karena catatan-catatan penulis

menunjukkan bahwa jalan da'wah dengan metode Syi'ar ini menjadi salah satu alternatif utama dalam menyampaikan pesan Islam.

Kata Kunci: Islam, syi’ar, syari’ah, da’wah, universalisme

PendahuluanDienul Islam adalah agama syi'ar.1 Jika kita bedah syari'at Islam, maka

isi dan kandungannya tiada lain adalah syi'ar. Umumnya hukum-hukum fardhu 'ain dan fardhu kifâyah maupun hukum halal-haram berdimensi syi'ar. Shalat Fardhu 5 waktu adalah syi'ar harian yang ditandai oleh adzan di masjid-masjid yang memungkinkan jama'ah bertemu secara intens lima kali dalam sehari-semalam. Sedang Jum'at adalah syi'ar pekanan, sementara al-'Îdain (dua lebaran) dengan seluruh rangkaiannya adalah syi'ar Islam yang setiap tahun disemarakan dengan shaum dan zakat fitrah bagi Idul Fitri, dan ibadah qurban serta manasik haji bagi Idul Adha. Nikah dengan seluruh prosesinya adalah syi'ar, seperti ijab qabul, saksi-saksi, walimah dan seterusnya juga adalah bagian dari syi'ar.2 Dapat kita simpulkan bahwa antara syari'at dan syi'ar, ibarat dua kepingan mata uang, seperti kulit

1 ?Dikutip dari perkataan Imam Al Hasan (21-110 H), seorang Tabi'in sempat bertemu dengan sahabat Anas bin Malik RA. Ibunya pernah menyusu pada Ummul Mu'minin Ummu Salamah ra sewaktu bayi. Di zaman khalifah Umar bin 'Abdul 'Aziz sempat diangkat menjadi Hakim di Bashrah. Dalam tafsirnya terhadap QS. Al-Ma'idah: 2, ia mengatakan bahwa makna syi'ar adalah al-dîn kulluh (agama secara total). Lihat Imam Ibn Jauzi, Tafsir al-Zâd, Beirut: Maktabah Al-Islami, 1384H/1964, Juz II, hal. 272 2 ?Imam Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatâwâ, (tahqiq 'Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim), Madinah:

Page 2: 6 wawasan syi'ar

dengan daging yang tidak bisa dipisahkan. Syari'at tanpa syi'ar, hambar rasanya. Syi'ar tanpa syari'at, paceklik namanya. Sebagaimana akidah tanpa ibadah, atau ibadah tanpa akhlak adalah sesuatu yang mustahil terjadi pada diri orang mu'min. Karena itu, meskipun wanita haidh secara syari'at dilarang shalat, namun syi'ar tetap mewajibkan mereka untuk hadir mendengarkan khutbah Ied.3

Rukun Islam yang lima bisa disebut syi'ar yang ushl; dari syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Cabang-cabang iman yang 77 memuat aspek syi'ar, dari cabang tertingginya kalimat lâ illâ ha illallâh sampai cabang terendahnya imâthat al-adzâ 'an al-tharîq, yakni menyingkirkan bahaya di jalan.

Bagi Islam, syi'ar merupakan wajah al-dîn al-Islâm. Nyawanya adalah 'aqidah al-tawhid, sedang organnya adalah syari'ah. Sebagai wajah, syi'ar menjadi tampilan sekaligus miniatur keindahan, pesona dan daya tarik orang untuk mengenal lebih dekat al-dîn al-Islâm. Pesona akidah, daya tarik syari'ah, tampilan akhlak; kesemuanya adalah bagian dari mahâsin al-Islâm (citra luhur Islam) yang wajib kita agungkan demi kepentingan yang lebih luas.

Para Nabi dan Rasul adalah peletak dasar syi'ar di mana mereka diutus; syari'at menjadi aturan yang dihormati sementara syi'ar menjadi pesona da'wah yang dijunjung tinggi. Mekkah dengan Masjid al-Harâmnya adalah syari'at sekaligus syi'ar Nabiyullâh al-Khalîl, Ibrahim as. Madinah dengan Masjid Nabawinya adalah syari'at sekaligus syi'ar Khatâm al-Anbiya' Rasulullah saw. Demikian pula Masjid al-Aqsha di Palestina. Bahkan napak tilas masy'ar al-Harâm seperti 'Arafah, Mudzdalifah dan Mina adalah jejak syi'ar sekaligus syari'at Nabi Ibrahim as.

Peta penyebaran Islam ke seantero dunia dengan sifatnya yang rahmatan lil 'alamin dan dimensinya yang kaffatan lî al-nâs adalah karena pesona syi'ar. Kisah masuknya Islam ke nusantara pada abad ke-8 M melalui jalur pesisir umumnya karena latar belakang ketertarikan terhadap syi'ar Islam, yang kemudian menjelma menjadi kekuatan budaya ke seluruh

Majma' al-Malik Fahd, 1995/1416H, Juz 22, hal. 94, dan Imam Ibnu al-Qayyim, al-Shalâh wa ahkâm tarîkhuha, Madinah: Maktabah al-Tsaqâfah, t.th, masalah ke-3, hal. 39.3 ?Rujuk hadits Ummu ‘Athiyah ra, ia berkata, “Kami diperintahkan (oleh Rasulullah saw) untuk mengeluarkan para gadis dan wanita yang sedang dalam pingitan”. Lihat Shahih Bukhari (318,931,937-8); Shahih Muslim (890). Dalam Shahih Bukhari disebutkan, ada seorang wanita bertanya, “Wahai Nabi, apakah ada keringanan bagi salah seorang di antara kami jika tidak memiliki jilbab untuk tidak keluar?”. Nabi menjawab, “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbab buat saudaranya supaya ia bisa menyaksikan kebahagiaan ini dan bergabung dengan jama’ah kaum Muslimin”.

Page 3: 6 wawasan syi'ar

nusantara selama tujuh abad dengan back-up penuh dari kerajaan-kerajaan Islam.4

Begitu pula dengan cerita masuk Islamnya para muhtadîn (mu'allaf) dari agama lain antara lain disebabkan oleh simpati mereka menyaksikan pesona syi'ar Islam yang dijalankan oleh kaum Muslimin.

Indonesia adalah negeri mayoritas Muslim, jejak syi'ar berupa warisan budaya bangsa, serapan bahasa, nama orang, nama tempat ibadat, bahkan institusi Negara, kitab hukum (KUHP dan KUHAP) serta peraturan dan perundang-undangan yang lain sangat sarat dengan nuansa syari'at sekaligus syi'ar Islam.

Perayaan hari-hari besar Islam (PHBI) yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari libur nasional adalah contoh yang lain mengenai semaraknya syi'ar Islam di negeri ini. Kaum Muslimin menjadikan PHBI tersebut sebagai tempat berkumpul dan ajang silaturahim, bahkan sebagai sarana untuk menggalang dana bantuan.

Semua ini membuktikan betapa syi'ar Islam di Indonesia sudah lama berperan dan menjadi anutan masyarakat Indonesia. Tapi sayangnya, legalisasi syari'at sebagai "kakak kandung" syi'ar tampaknya kurang mendapat sambutan yang menggembirakan dari berbagai kalangan yang phobia terhadap hukum Islam. Karena itu, tulisan berikut ini akan mengetengahkan peranan syi'ar sebagai pesona mahâsin al-Islâm dengan harapan semoga menjadi alternatif baru bagi ekspansi da'wah di masa depan.

Pengertian Syi’arSyi'ar satu gantungan kata dengan syu'ur yaitu merasa atau menyadari.

Maksudnya, dengan adanya syi'ar seperti adzan orang sadar bahwa sudah saatnya menunaikan shalat fardhu berjama'ah. Syi'ar kata jama'nya adalah sya'îrah atau syi'ârah. Ahli bahasa mengartikannya dengan tanda pengenal (mu'alliman), lambang atau alamat (ma'lumat), jejak (âtsâr) atau bukti yang menyatakan sesuatu (al-masyâhid). Syi'ar juga adalah sesuatu yang dikerjakan secara rutin atau berkala (kullu mâ kâna min a'mâlihi) kaitannya dengan ibadah yang Allah syari'atkan secara permanen; seperti adzan bagi masuknya waktu shalat, masjid sebagai tempat ibadat, manasik haji seperti wukuf dengan Arafahnya, thawwaf dengan Ka'bahnya, sa'i dengan Shafa-

Marwanya,5 jamarat dengan Minanya, dan jejak-jejak Islam yang lain. 4 ?Drs. Abdul 'Aziz Thaba, MA., Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: GIP,1416H/1996, hal. 115-117, berdasarkan hasil seminar "Sejarah Masuknya Islam di Indonesia", baik yang diselenggarakan di Medan (1963) maupun di Aceh (1981).5 ?Napak tilas manasik haji umumnya adalah adalah jejak sejarah Nabi Ibrahim dengan keluarganya, Siti Hajar dan puteranya Nabi Isma'il. Shafa-Marwah sendiri adalah berupa

Page 4: 6 wawasan syi'ar

Imam al-Azhari (282-370 H) mengartikan syi'ar dengan maksud tanda yang Allah serukan pelaksanaannya serta Allah perintahkan penyelengaraannya.6

عليها: بالقيام وأمر إليها الله ندب التي المعالم الشعار

Imam Thabari (224-310 H) mengartikan syi'ar dengan tanda pengenal yang Allah tetapkan bagi pelaksanaan ibadat hamba-hamba-Nya, baik berupa do'a, zikir, tempat dan waktu, kapan dan di mana ibadat itu dilaksanakan. Fungsinya untuk memudahkan, melancarkan, menandakan, mengukur, dan seterusnya.

Ada lima arti syi'ar yang dihimpun oleh para Ulama, yaitu: (a) manasik haji (Ibnu Abbas dan Mujahid), (b) Larangan Ihram, (c) Sesuatu yang suci, (b) Ketentuan atau hukum-hukum Allah (Imam 'Atha'), (d) Al- Dîn secara total (Imam Al Hasan).7

Dari kata syi'ar ini muncul istilah ma'alimullah, sya'airullah, seperti masy'ar al-harâm bagi rangkaian ibadah haji, jilbab bagi muslimah, masjid bagi perkampungan muslim, adzan bagi masuknya waktu shalat, salam bagi kepribadian, dan seterusnya.

Kata sya'airullah pada QS.2: 158; QS.5: 2; QS.22: 32 dan 36 adalah sebutan bagi syi'ar secara umum, sebutan secara khusus ada pada QS. Al-Hajj: 30 dengan nama ‘hurumatillah’ ( الله Imam Ibnu Abi Syaibah .(حرماتdari Atha' meriwayatkan, ada orang yang bertanya kepada Imam 'Atha' (w.114 H) –seorang tabi'in pilihan di zamannya– tentang sya'airallah, beliau menjawab, “hurumatullah yaitu kalian menjauhi apa yang Allah murkai dan mengikuti jalan ketaatan, maka itulah sya'ariullah”.

bukit berbatu dihiasi lempengan bebatuan tak bercadas. Di tempat ini terjadi awal peristiwa munculnya air zam-zam dan munculnya binatang raksasa menjelang Hari Qiamat. Rasulullah saw menjadikan tempat ini sebagai pertemuan rutin al-Sabiqûn al-Awwalun di rumah Arqam bin Abi Arqam hingga masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khatthab ra. Allah SWT menetapkan tempat ini sebagai area sa'i bagi jama'ah haji/umrah. Lihat Shahih Muslim no.1218; Musnad Ahmad, Juz 6, hal. 437.6 ?Nama aslinya Muhammad bin al-Azhar al-Harawi Abu Manshur, seorang ahli bahasa dan sastra terkemuka di zamannya asal Harrah dan ahli Fiqh madzhab Syafi'i. Gelar al-Azhar diambil dari nama kakeknya. Satu di antara karyanya adalah Tahdzîb al-Lughah dan al-Zahîr fî Gharib al-fadz al-Syafi'i allatî auda'ahâ al-Muzni fî Mukhtashirih. Lihat Tabaqat Imam al-Subki, Juz 2, hal. 106. Kutipan definisi Imam al-Azhari diambil dari kitab al-Nihâyah fî Gharib al-Hadîts wa al-Atsar oleh Imam Ibnu 'Atsir, Amman: Bait al-Afkar al-Dauliyah, hal.477.7 ? Imam Al Mawardi, Tafsîr al-Nuktu wa al-'Uyun, dalam Tafsir QS.5: 2.

Page 5: 6 wawasan syi'ar

الله شعائر عن سئل أنه ، عطاء عن شيبة أبي ابن وأخرجطاعته : . واتباع الله سخط اجتناب ، الله حرمات قال

الله شعائر فذلك

Hurumât juga adalah mâ yajibu ihtirâmuhû, apa-apa yang wajib kita sucikan, terutama ketika kita mau memasuki atau melaksanakannya. Seperti wudhu' dengan shalat, atau iman bagi amal, atau thaharah dengan ibadah. Hurumât juga adalah kullu mâ awshal-lâhu bi ta'dzîmi amrihi, segala yang Allah wasiatkan dengan cara mengagungkan pelaksanaannya, baik perintah maupun larangan, tempat maupun waktunya, sarana maupun fasilitasnya.

Ibnu 'Abbas ra mengartikan kata yu'adzzim pada QS. Al-Hajj: 32 dengan al-istismân wa al-istihsân wa al-isti'dzâm, memperluas, mengindahkan dan mengagungkan, yakni perkara-perkara fardhu dari arkân al-dîn yaitu rukun Islam yang lima, rukun iman yang enam dan rukun ihsan yang dua (hadits Jibril as) serta ma'âlim al-dîn (rambu-rambu agama) atau takâlif diniyah (hukum-hukum agama) yang lain, khususnya syi'ar hajj di tanah suci dan udlhiyah di tanah-air.

Dua Jalur Perjuangan Jadi kalau kita persempit jalur perjuangan, maka hanya ada dua

pilihan kita dalam berjuang. Pertama, jalur syari'at. Kedua, jalur syi'ar. Mana yang dahulu, mana yang belakangan, apakah serentak atau berjenjang, yang jelas kedua jalur ini bisa menjadi pilihan dalam menegakan dîn wa al-dawlah, tawhidan wa sulukan, 'aqidatan wa jihadan, qaulan wa 'amalan, dan seterusnya. Berbeda dengan perjuangan di jalur syi'ar yang cenderung diterima tanpa hambatan, perjuangan Islam melalui jalur syari'at di negeri ini sudah mengalami beberapa kali pasang-surut, terutama sekali pada tingkat formalisasi syari'at di mata Negara.

Di Indonesia perjuangan melalui jalur syi'ar dimulai dari sejak munculnya Gerakan Islamisasi Nusantara melalui berbagai jalur pada awal abad ke-8 M; kontak budaya (merantau), nikah, safar (safar dagang, safar haji), da'wah dan pendidikan, pembangunan tempat ibadat, niaga baik melalui jalur Hadramaut, India (Gujarat dan Melabor), maupun Benggali (Bangladesh). Islamisasi melalui berbagai jalur ini berwujud pada pembentukan tradisi bangsa yang mengental pada tradisi gotong-royong (ta'awun) dan musyawarah-mufakat (syura’).

Setelah abad ke-13, nuansa Islamisasi diambil alih oleh Kerajaan Islam, dan menyatunya antara tiga bangunan; kraton, pasar dan pesantren adalah potret besarnya jasa kerajaan Islam dalam peta penyebaran Islam,

Page 6: 6 wawasan syi'ar

yang sampai sekarang jejak bangunan ini masih dapat disaksikan di Jawa sebagai syi'ar kerajaan Islam. Awal abad ke-20 muncullah gerakan pembaharuan (harakah tajdîd) dengan bermunculannya gerakan-gerakan kultural seperti Muhammadiyah (1912), Persis (1923) maupun Al Irsyad (1928) ataupun gerakan kultural seperti NU (1926). Gerakan-gerakan ini lebih tua dari usia Negara RI, dan karena itu peranan Departemen Agama terkadang mengadopsi apa yang sudah lama dikerjakan oleh ormas-ormas ini. Untuk menjaring simpatik pendukung da'wah, ormas-ormas ini mengedepankan pola syi'ar, meskipun pada akhirnya bertujuan untuk penegakan syari'at dalam semua tahapan pelaksanaan; dari tingkatan pribadi, rumah tangga, lingkungan masyarakat hingga tataran Negara.

Di zaman reformasi, para tokoh bangsa, jatuh bangun dalam memperjuangkan syari'at; mulai dari penyusunan konsep dasar Negara di BPUPKI, perdebatan di konstituante, melalui jalur hukum dan politik di parlemen, dari institusi ke konstitusi, dari pinggir jalan sampai istana negara. Semua jalur perjuangan tadi tampaknya masih perlu jalan panjang. Syi'ar adalah jalur perjuangan alternatif, ketika jalur syari'at mengalami kemacetan atau kemampetan, jalur syi'ar bisa menjadi pilihan.

Nilai Strategis Di atas sudah kita jelaskan bahwa syi'ar adalah tanda universalisme

sekaligus internasionalisme Islam, wujud rahmatan lil'alamin dan kaffatan li al-nas dîn al-Islâm. Jembatan kerjasama kaum muslimin adalah pada syi'ar ini. Karena itu, hidup tanpa syi'ar adalah tidak mungkin. Di muka bumi ini setiap detik ada orang lahir, sedang syi'ar lahiran adalah 'aqîqah atau selamatan, syi'ar nikah adalah walimah, syi'ar kematian adalah ittiba' al-jenazah.

Alasan Pertama: Syi'ar sulit dipisahkan dari thabiat basyariyah manusia. Contohnya adalah syi'ar kelamin; yaitu jakun bagi laki-laki dan buah dada bagi wanita, atau rambut sebagai mahkota wanita sedang jenggot adalah mahkota laki-laki, dan karena itu banci sangat anti terhadap jenggot, sebagaimana khitan berfungsi untuk membedakan identitas keislaman antara muslim dan kafir.8

Sayang, syi'ar sunnah al-fithrâh ini dinistai oleh dunia infotainment, dan anehnya digemari para pemirsa. Padahal melegalkan sesuatu yang tidak pada tempatnya, bisa berbahaya. Hasilnya nanti adalah penjungkir-balikan,

8 ?Perhatikan penjelasan Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam Tuhfah al-Mawdûd bi Ahkâm al-Mawlûd, (tahqîq 'Abdul Mun'im Al-'Ani), Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, cet.1, 1403H/1983, hal.115

Page 7: 6 wawasan syi'ar

bisa merusak citra syi'ar dan akar budaya keislaman kita. Na'udzu billâhi min dzâlik.9

Alasan kedua: syi'ar itu syar'iyyah. Islam adalah agama syi'ar dan semua manusia, butuh syi'ar. Islam agama syi'ar, karena Islam rahmatan lil 'alamin, kaffatan li al-nâs. Manusia butuh syi'ar, karena bayi lahir disyi'arkan dengan 'aqiqah, yang nikah disyi'arkan dengan walimah, yang wafat disyi'arkan dengan ucapan istirja' ‘innâlillahi wa'innâ ilayhî râji'un’. Bahkan pemisahan antara kuburan muslim dan kuburan orang kafir merupakan bukti hukum betapa sudah mengakarnya praktek syi'ar dalam masyarakat. Syi'ar perkampungan Islam adalah masjid. Masjid ditandai dengan menara. Waktu shalat ditandai oleh adzan. Semua bentuk syi'ar ini sangat diperhatikan oleh masyarakat Islam betapapun rendahnya kadar keislaman orang itu. Syi'ar 'aqiqah memaksa sang ayah untuk mengakikahkan anaknya, karena jika tidak anak ini menjadi tergadai dan berada dalam bayang-bayang syetan.10

Alasan ketiga: Syi'ar itu 'Iyâdatan, berulang-ulang, terjadi setiap saat mulai hitungan waktu, hari, pekan, bulan dan tahun. Karena selalu berulang-ulang memungkinkan kita untuk selalu terikat dan terlibat di dalam syi'ar tersebut. Amal jama'i, koordinasi, komunikasi, informasi dan sokongan antar sesama jama'ah sangat intens. Dengan selalu bertemu dalam syi'ar, banyak kebaikan yang bisa kita kerjakan. Program pencerdasan ummat, pemberdayaan ekonomi, kesejahteraan jama'ah, hajat masyarakat bisa kita layani dalam 1X24 jam.

Contoh, dalam praktek kehidupan sehari-hari misalnya, ucapan basmalah dan hamdalah dipakai untuk membuka dan menutup setiap acara. Dalam setiap acara hajatan apapun, tak pernah kita melewatkannya tanpa do'a penutup. Masyarakat akan merasa kurang afdhal, jika ada acara sakral,

9 ?Tentu saja Islam menolak pola gender seperti ini. Bukankah Allah tidak menciptakan jenis kelamin ketiga, Islam menolak gender alternatif (Tafsir QS. An-Nisa': 1). Al-Qur'an menetapkan bahwa jenis kelamin (lk-pr) adalah sepasang, dan ini berlaku dalam semua sistem kauni maupun ilmi, termasuk di dunia binatang, dunia flora dan fauna (QS. Al-An'am: 143-144), bahkan di dunia elektro pun ada plus dan minus, jika ada yang ketiga pasti tidak nyala atau malah kebakaran. Dalam Islam, jalur nasab/keturunan hanya ada dua; rijal & nisa'. Hanya ada satu rahim, hanya wanita yang haidh dan wilâdah, tidak ada pembuahan di luar benih ibu & ayah, meskipun ia operasi ganti kelamin (Tafsir Al-Ahqaf: 15). Jika ada problem dalam soal gender, maka dikembalikan pada kelamin mana ia BAK, bukan pada kecenderungan perasaan atau selera seksualnya. Islam juga menutup jalan-jalan yang mengarah pada terciptanya komunitas banci, contohnya: (a) Pada pakaian & penampilan dengan adanya larangan tasyabbuh, (b) Tempat tidur dipisah, tidak boleh mereka tidur (lk-pr) dalam satu tempat tidur atau satu selimut, (c) Konsep aurat; tidak boleh mandi bareng dan menampakan auratnya satu sama lain. (d) konsep imamah & imarah, saksi atau perwalian, (e) Posisi imam dalam shalat jenazah, di kepala jika mayat laki-laki di bagian pusat jika mayat wanita. (e). Penyematan bin/binti di belakang nama seseorang, (f) Demikian pula ahkâm syar'iyyah yang lainnya seperti pada sanksi tindak pidana.10 ?HR. Turmudzi dan Imam Malik dari Samurah dan Imam Baihaqi dari Salman bin 'Amir, Shahih al-Jami' Syeikh Albani, no.4184-4185.

Page 8: 6 wawasan syi'ar

seperti nikahan, sunnatan, 'aqiqahan, tasyakkur-an atau walimah-an apa pun namanya yang dihadiri oleh orang banyak tanpa memanjatkan do'a penutup sebelum menyantap makanan yang kita sebut dengan ramah-tamah, yang biasanya dipimpin oleh orang shalih, tokoh atau punya kehormatan tertentu di antara hadirin. Apa artinya semua ini? Artinya, syi'ar Islam begitu dekat dan familier dengan kegiatan sehari-hari masyarakat, bahkan menyatu dengan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat.

Karena begitu akrab dengan kegiatan harian masyarakat, syi'ar menjadi tanda bagi kepribadian. Contohnya ucapan salam baik ketika bertemu dan berpisah atau memulai dan menyudahi pembicaraan. Kepribadian seorang wanita muslimah ditandai oleh jilbabnya, perkampungan muslim dan non muslim ditandai oleh masjid yang ada di sekitarnya. Karena itu, masjid sebagai syi'ar, mengapa harus berbentuk wakaf antara lain supaya nilainya bersifat abadi, supaya bisa dipakai untuk kepentingan yang lebih luas dan dalam jangka waktu yang tak terbatas oleh orang banyak.11 Syi'ar bagi nama, kepribadian, pakaian, dan tempat ibadat ini menarik perhatian agama lain, sehingga mereka dewasa ini banyak melakukan praktek penjarahan tradisi keislaman kita. Dulu nama menjadi tanda keislaman, ucapan assalamu'alaikum pun demikian. Tapi kini tidak menjadi jaminan lagi setelah kita kena korban toleransi. Gereja pun sudah berdiri di wilayah muslim, malah terkadang di-back-up oleh tokoh tertentu atau mengantongi ijin instansi tertentu.

Keunggulan Syi’arJika kita ringkaskan menjadi satu pertanyaan singkat, mengapa jalur

syi'ar yang kita pilih? Syi'ar memiliki banyak keunggulan. Pertama, syi'ar diterima di mana-mana, populer sekaligus familier. Kedua, syi'ar disokong dari bawah, punya akar kedaulatan di tengah masyarakat. Ketiga, kerja syi'ar ini mudah dikomunikasikan, orang gampang bergabung, ikut-serta, dan berperan-aktif. Dalam syi'ar orang sama-sama kerja dan tidak sulit untuk

11 ?Perhatikan Tafsir QS. Al-Jin:18. Sesuai nama dan peruntukannya, wakaf adalah milik kaum muslimin, biasa disebut dengan waqaf khairi, seperti dilakukan oleh Umar bin Khatthab atas tanahnya di Kaibar. Wakaf termasuk jenis mâl mahjûr, yaitu harta yang tidak dibolehkan oleh syara‘ untuk dimiliki sendiri dan tidak boleh dialihkan pada orang lain. Seperti jalan raya, masjid, kuburan, fasilitas umum atau mâl ‘ammah seperti api, rumput dan air. (Periksa Raddul Mukhtâr, Imam Ibnu ‘Âbidîn [4/238]). Penerima wakaf harus menggunakan harta wakaf untuk tujuan kebaikan dan amal qurbah (‘ubudiyah), bukan untuk maksiat, permusuhan dan kebencian. Jika wakaf disalah gunakan, maka pemberi wakaf melalui hakim berhak mencabut bahkan boleh meminta ganti rugi, jika mawquf ‘alaih menyalahi penggunaan harta wakaf atau menyimpang dari syarat-syarat yang dibuat. Lihat Syeikh Dr.Rawwas Qalqa‘ah Jiy, Al-Mawsu'ah Al-Fiqhiyyah, Juz 2, 1968-1973

Page 9: 6 wawasan syi'ar

bekerja sama. Keempat: Syi'ar bisa menutup keterasingan Islam (hadits bada' al-Islâm gharîb) bahkan bisa menjadi iklan gratis bagi mahâsin al-Islâm.

Di tengah situasi dunia yang tak pernah pasti, syi'ar Islam tampaknya harus menjadi perhatian kita bersama. Dunia hari ini adalah dunia tanpa batas, dunia tanpa jarak, dunia yang serba global. Globalisasi dunia dengan back-up tekhnologi komunikasi dan informasi dewasa ini, tak ubahnya seperti mesin penyapu. Dengan syi'ar Islam, kita berharap bisa menjadi kekuatan penyeimbang untuk mengantarkan kita pada kalimat yang sama, pada cita-cita dan tujuan hidup yang tertinggi, innâ shalâti wa nusukî wamahyâya wa mamâtî lillâhi rabbil 'âlamîn, di mana Idul 'Adha adalah syi'ar Islam yang tertinggi yang setiap tahun bisa kita rayakan dengan harapan terjadinya perubahan dan kemajuan ummat, sesuai cita Risalah.12

PenutupNilai syari'at dan syi'ar itu bersifat abadi, permanen serta tetap

terpakai kapan dan di mana pun, masyhur dan mengharumkan siapa pun yang menegakkannya. Maka alangkah indahnya jika dalam berorganisasi, berpolitik, dan bekerja berusaha memperhatikan nilai-nilai abadi syi'ar Islam yang mencakupi kepentingan yang lebih luas ini, bukan untuk kepentingan sesaat yang sifatnya sepihak atau cari untung sendiri.

Dengan demikian, mengagungkan syi'ar Islam adalah sebab atau wasilah yang mengantarkan pada iqâmah al-dîn, demikian Imam Ibnu Taimiyah. Mengagungkan syi'ar ada kalanya berdasarkan nilainya; nilai cinta, nilai khusyu', nilai ikhlas sebagai landasan pokoknya. Mengagungkan syi'ar bisa juga dari sisi tempatnya seperti memakmurkan masjid, majlis ilmu, majlis tijâri atau kasbi (dunia usaha). Bisa juga dari sisi waktunya; ada hari Jum'at, ada syahr al-hurûm, ada syahr al-ramadhân, yawm al-‘Îdain, dan lain-lain. Bisa dari sisi amalannya, yaitu arkân al-dîn secara keseluruhan, baik arkân al-Islâm, arkân al-îman dan arkân al-ihsân, meliputi 'aqidah, syari'at dan akhlak secara simultan dari amal al-yawm wa al-laylah.

12 ?Imam Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatâwâ, Juz 25, hal.298, mengatakan bahkan menjamu orang (tamu) dengan daging qurban –tutur beliau– adalah syi'ar, karena makan daging qurban adalah sunnah, sebagaimana Nabi saw melakukannya.

Page 10: 6 wawasan syi'ar

DAFTAR PUSTAKA

Abdul 'Aziz Thaba, MA., Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: GIP,1416H/1996

Imam Ibn Jauzi, Tafsir al-Zâd, Beirut: Maktabah Al-Islami, 1384H/1964, Juz II.

Imam Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatâwâ, (tahqiq 'Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim), Madinah: Majma' al-Malik Fahd, 1995/1416H, Juz 22

Imam Ibnu al-Qayyim, al-Shalâh wa ahkâm tarîkhuha, Madinah: Maktabah al-Tsaqâfah, t.th.

Imam Ibnu 'Atsir, al-Nihâyah fî Gharib al-Hadîts wa al-Atsar, Amman: Bait al-Afkar al-Dauliyah, t.thn.

Imam Al-Mawardi, Tafsîr al-Nuktu wa al-'Uyun, t.thn.Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam Tuhfah al-Mawdûd bi Ahkâm al-

Mawlûd, (tahqîq 'Abdul Mun'im Al-'Ani), Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, cet.1, 1403H/1983.

Syeikh Dr.Rawwas Qalqa‘ah Jiy, Al-Mawsu'ah Al-Fiqhiyyah, t.tp., Juz 2, 1968-1973.

Shahih Bukhari dan Shahih Muslim