32. kumpulan bahan latihan m&e prog. an kemiskinan revised

Upload: aprilia-k-widodo

Post on 15-Jul-2015

139 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

KUMPULAN BAHAN LATIHAN PEMANTAUAN DAN EVALUASI PROGRAM-PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN

DIREKTORAT PENANGGULANGAN KEMISKINAN, BAPPENAS dan PROJECT PRO-POOR PLANNING AND BUDGETING (ADB TA 4762 INO)December 2007

Daftar Isi

Kata Pengantar oleh Pungky Sumadi, Direktorat Penanggulangan Kemiskinan ................................ 1 Modul 1 Pilihan Kebijakan dan Program yang Realistis Disiapkan oleh Suahasil Nazara (Kepala Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia) ..................................................................................................... 8 Modul 2 Sistem Monitoring yang Efektif dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan oleh Wenefrida Widyanti dan Sudarno Sumarto (Lembaga Penelitian SMERU) .................................................................................... ..20 Modul 3 Target, Indikator dan Basisdata Oleh Profesor Mayling Oey-Gardiner Ph.D. (Direktur Eksekutif, Insan Hitawasana Sejahtera) .................................................... 44 Modul 4 Persyaratan dan Unsur-unsur Evaluasi yang Baik Oleh Asep Suryahadi (Lembaga Penelitian SMERU) ..................................................................................... 84 Modul 5 Evaluasi dan Identifikasi Pelajaran yang telah Diperoleh: Pendekatan Kualitatif Kajian Cepat Oleh Widjajanti I. Suharyo dan Rizki Fillaili (Lembaga Penelitian SMERU) ................................................................................... 102 Modul 6 Evaluasi Dampak Pendaftaran Tanah Secara Sistematik Melalui Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) di Indonesia dengan Menggunakan Pendekatan Kuantitatif Oleh Wenefrida D. Widyanti (Lembaga Penelitian SMERU) ................................................................................... 170

Kata Pengantar Pada tahun 2005, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2005-2010 Pemerintah Indonesia mengumumkan unsur-unsur utama Rencana Penanggulangan Kemiskinan Nasional dengan disertai fokus pada tercapainya upaya pengurangan kemiskinan secara signifikan melalui perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan serta peningkatan akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar bagi masyarakat miskin. Salah satu prioritas lain yang ditekankan pemerintah adalah memastikan dilaksanakannya monitoring dan evaluasi terhadap seluruh program penanggulangan kemiskinan dan melakukan penguatan kapasitas baik di tingkat nasional maupun daerah guna melaksanakan monitoring dan evaluasi pro-rakyat miskin yang efektif. Pemerintah Indonesia telah memenuhi komitmen tersebut dengan melakukan beberapa evaluasi yang baru-baru ini dilaksanakan terhadap program penanggulangan kemiskinan seperti subsidi tunai kepada keluarga miskin, bantuan operasional ke sekolah dasar, pembangunan infrastruktur pedesaan, kredit mikro, dan program pembangunan masyarakat. Di samping itu, pada awal tahun 2006 BAPPENAS memutuskan untuk meminta bantuan donor dalam peningkatan kapasitas dan pengembangan keterampilan para perumus kebijakan dan perencana program di BAPPENAS, maupun di departemen pemerintahan lain atau di tingkat kabupaten untuk menyusun dan melaksanakan rencana dan sistem monitoring dan evaluasi. Melalui bantuan teknis dan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB), pengembangan kapasitas untuk monitoring dan evaluasi tersebut saat ini sedang dilaksanakan. Salah satu langkahnya adalah mensponsori beberapa lokakarya dan program kajian monitoring dan evaluasi yang antara lain meliputi lokakarya tiga hari mengenai Monitoring & Evaluasi dan Perencanaan Kebijakan yang Pro-Rakyat Miskin. Lokakarya tersebut diselenggarakan di Bogor pada tanggal 21-23 Mei 2007, dan diikuti oleh 24 pejabat dari BAPPENAS, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan Departemen Sosial serta empat perwakilan dari tiga provinsi (NTT, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan). Perwakilan daerah ini diundang guna menghadirkan pengalaman di tingkat daerah pada pembahasan di tingkat nasional. Tujuan lokakarya tersebut adalah memperluas pengetahuan dasar dan meningkatkan kemampuan para peserta lokakarya agar mereka mampu: - menyusun rencana monitoring dan evaluasi yang kemudian akan dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan ikatan kontrak; - melakukan kajian kritis terhadap kualitas laporan monitoring dan evaluasi yang disajikan; dan - menggunakan temuan yang ada dalam penyusunan program pro-rakyat miskin di masa mendatang. Tujuan lain adalah menyusun dan menyesuaikan paket pelatihan Monitoring dan Evaluasi yang digunakan dalam lokakarya tersebut agar dapat digunakan di masa mendatang dalam lokakarya Monitoring dan Evaluasi lainnya atau seminar di tingkat provinsi, kabupaten, atau kota. Dengan mempertimbangkan hal itulah buku panduan ini disusun oleh Tim Bantuan Teknis ADB di bidang Perencanaan dan Penganggaran Pro-Rakyat Miskin. Buku ini terdiri dari seluruh presentasi tertulis yang disajikan dalam lokakarya tersebut ditambah satu bab pendahuluan yang berisi penjelasan umum secara singkat. Buku panduan ini akan digunakan pada sesi pelatihan

3

monitoring dan evaluasi di masa mendatang dengan keikutsertaan sebelas kabupaten melalui Tim Bantuan Teknis ADB di bidang perencanaan dan penganggaran pro-rakyat miskin. Selain itu, BAPPENAS berharap bahwa dokumen-dokumen yang tercakup dalam buku ini bermanfaat bagi analis program lain di semua tingkat pemerintahan, LSM, dan para mahasiswa yang mempunyai ketertarikan pada monitoring dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan. Jakarta , November 1, 2007 Dr. Pungky Sumadi, MCP, PhD Direktur Penanggulangan Kemiskinan, BAPPENAS

4

PENDAHULUANIndonesia telah menerapkan berbagai kebijakan dan program untuk menanggulangi kemiskinan dan mengupayakan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals MDG). Tantangan pertama yang dihadapi dalam mewujudkan tujuan itu adalah memilih kebijakan dan program yang tepat dari alternatif yang ada. Memilih program dan kebijakan baru yang efektif tergantung antara lain pada: (a) pemahaman mendalam tentang kekuatan dan kelemahan program penanggulangan kemiskinan tahun sebelumnya atau yang sedang berjalan dan (b) adanya sistem monitoring dan evaluasi yang baik. Pada gilirannya, sistem monitoring dan evaluasi yang berhasil hanya berguna jika keluaran, hasil, dan dampak yang jelas, layak, dan terukur sebagaimana diharapkan, serta indikator pengukuran penanggulangan kemiskinan ditentukan sejak awal. Kadang kala, menetapkan indikator tersebut merupakan tantangan tersendiri. Hal itu membutuhkan, antara lain, pemahaman dan keterampilan yang lebih memadai terkait monitoring dan evaluasi yang efektif di kalangan analis program dan kebijakan di seluruh tingkat pemerintahan. Untuk memenuhi kebutuhan peningkatan pengetahuan tentang monitoring dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan, Tim Bantuan Teknis 4762 ADB bidang perencanaan dan penganggaran pro-rakyat miskin merancang dan melaksanakan sebuah lokakarya untuk membantu pejabat negara dalam menyempurnakan Monitoring dan Evaluasi program penanggulangan kemiskinan. Sesuai dengan permintaan BAPPENAS, lokakarya tersebut diadakan selama tiga hari pada bulan Mei 2007 di Bogor dan diikuti oleh 24 pejabat dari BAPPENAS, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Departemen Sosial, dan empat perwakilan dari tiga provinsi (NTT, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan). Perwakilan daerah ini diundang untuk menghadirkan pengalaman di tingkat daerah pada pembahasan di tingkat nasional. Laporan ini terdiri dari seluruh presentasi versi tertulis dan seluruh presentasi yang benar-benar disajikan serta dokumentasi terkait yang digunakan dalam lokakarya tersebut. Untuk memberi para pembaca konteks dari laporan ini, mengenai alasan di balik penyusunan presentasi dan dokumen ini serta cara penggunaan presentasi dan dokumen ini, mungkin akan bermanfaat jika fokusnya sedikit ditekankan pada Program Lokakarya dan hasil-hasil yang dicapai.

Program Lokakarya Hari 1 Pendahuluan: Indikator, Sasaran, dan Perencanaan Program/Kebijakan 1) Pengantar dan Tinjauan Umum tentang Tujuan dan Hasil Program Lokakarya Tiga Hari itu; Unsur-unsur Utama; Studi Kasus; Dua Tugas Kerja; dan Kesimpulan Hari Terakhir. 2) Perumusan Kebijakan Realistis/Pilihan Program - Bagaimana melaksanakan Perencanaan Program dan Kebijakan yang efektif dalam berbagai permasalahan penting penanggulangan kemiskinan (mungkin dengan menggunakan satu atau dua MDG di mana Indonesia mengalami ketertinggalan) atau penetapan harga beras dan kebijakan perdagangan. - Proses memutuskan kebijakan realistis dan pilihan program, serta menetapkan tujuan dan hasil yang realistis, mungkin berupa keluaran dan manfaat yang potensial. 3) Sasaran, Indikator, dan Database - Bagaimana memilih dan menggunakan Sasaran dan Indikator untuk memantau dan mengevaluasi program sekali lagi, dengan menggunakan kasus relevan yang terjadi baru-baru ini, misalnya beberapa MDG, KDP, CCT, dan sebagainya.

5

Jumlah, mutu, konsistensi, dan penggunaan database kemiskinan yang ada dari BPS dan sumber lain; sekali lagi, dengan contoh-contoh spesifik. 4) Tugas Khusus 1 bagi Peserta Program Menyusun Usulan Program Pro-Rakyat Miskin Menyiapkan Usulan pada malam hari terkait dengan Program Pro-Rakyat Miskin baru/yang direvisi serta tujuan, hasil, sasaran, dan indikatornya. Memilih usulan dari berbagai bidang program terkait dengan cara mencapai Sasaran PRS atau MDG utama di mana Indonesia mengalami ketertinggalan (misalnya, perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, pendidikan, kesehatan ibu, dan angka kematian bayi). Hari 2 Monitoring dan Evaluasi yang Efektif 1) Presentasi-Pembahasan Hasil Tugas Khusus 1 Presentasi dan Pembahasan; Pelajaran yang Dipetik. 2) Ketentuan dan Unsur-unsur Sistem Monitoring yang Baik Kerangka Kerja Monitoring Konseptual; Ketentuan pokok dan unsur-unsur Sistem Monitoring yang baik (sasaran, indikator, data, sumber daya, pertanggungjawaban, ketidakberpihakan, pelaporan, dan lain-lain); Studi kasus dan hasil-hasil yang dicapai di Indonesia seperti MDG, penelusuran kemiskinan (BPS), program pengembangan masyarakat. 3) Ketentuan dan Unsur Evaluasi yang Baik Kerangka Kerja Evaluasi Konseptual; Ketentuan pokok dan unsur-unsur evaluasi yang baik (penalaran dan tujuan, ruang lingkup dan kriteria, metodologi, informasi, ketidakberpihakan, dan lain-lain); Praktik terbaik dan hambatan di dalam dan di luar negeri. 4) Tugas Khusus 2 bagi para Peserta Program Menyiapkan Unsur-unsur Utama Evaluasi Program Pro-Rakyat Miskin Memilih program dari program-program yang berjalan saat ini atau baru diusulkan seperti BOS, raskin, jaminan sosial, CCT, PNPM, dan menyiapkan unsur-unsur utama Evaluasi Program Pro-Rakyat Miskin. Hari 3 Evaluasi Studi Kasus dan Pelajaran yang Dipetik 1) Presentasi-Pembahasan tentang Hasil Tugas Khusus 2 Presentasi, pembahasan dan pelajaran yang dipetik 2) Dua Studi Kasus Proses, metodologi, hasil, dan kegunaan evaluasi; Pro dan kontra studi kasus. 3) Sesi Penutup Kesimpulan utama dan pelajaran yang dipetik; Cara yang dapat ditempuh Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi yang efektif; Cara peserta menggunakan hasil lokakarya ini; Tingkat kegunaan lokakarya ini bagi pemerintah daerah dan pihak lainnya.

-

6

Format lokakarya ini sangat interaktif, dengan materi disusun oleh para ahli, baik berdasarkan teori maupun kasus, dan diselingi dengan pembahasan kelompok, umpan balik, serta latihan praktis. Tujuan lokakarya ini secara keseluruhan bukan mengajarkan teknik monitoring dan evaluasi secara detail kepada peserta, melainkan membantu meningkatkan kemampuan mereka dalam merancang, mengontrak, menganalisis dan mengkaji hasil monitoring dan evaluasi. Guna mendukung lokakarya tersebut, Dr. Pungky Sumadi, Direktur Penanggulangan Kemiskinan BAPPENAS sekaligus pemrakarsa kegiatan pengembangan kapasitas untuk para staf ini, mengikuti Rapat Konsultasi PADI Asia Tenggara dan Seminar Regional tentang Monitoring dan Evaluasi Kemiskinan di Jiangxi, China awal Mei 2007. Kedua ajang itu merupakan kesempatan emas untuk lebih mengenal praktik terbaik di tingkat internasional, berbagi pengalaman yang dihadapi di Indonesia, dan mencari masukan berharga untuk lokakarya BAPPENAS. Narasumber lokakarya ini berasal dari kalangan praktisi lapangan terkemuka di Indonesia. Dr. Suahasil Nazara, Direktur Institut Demografi bersama beberapa ekonom terkenal Universitas Indonesia, telah bekerja keras dalam menganalisis dampak serangkaian kebijakan sosio-ekonomi nasional terhadap penanggulangan kemiskinan. Dalam lokakarya tersebut, ia menjawab berbagai pertanyaan tentang pilihan program dan kebijakan. Prof. Mayling Oei-Gardiner, presiden firma penelitian ilmu sosial Insan Hitawasana Sejahtera sekaligus ahli demografi terkemuka, membahas pilihan sasaran dan indikator yang tepat serta penggunaan database yang ada. Dr. Sudarno Sumarto dan Dr. Asep Surhayadi, peneliti senior lembaga penelitian sosial terkemuka di Jakarta, SMERU, memimpin sesi pembahasan rancangan sistem monitoring dan evaluasi, sementara ketiga staf mereka menyajikan studi kasus lokal yang menggambarkan kelebihan dan kekurangan beberapa pendekatan yang berbeda. Para peserta diberi beberapa dokumen acuan yang memberikan gambaran tentang konsep dan unsur monitoring dan evaluasi serta praktik terbaik di tingkat internasional, yang mencakup halhal berikut: 1) Monitoring dan evaluasi tidak sama, namun keduanya membutuhkan unsur dan perangkat yang sama, seperti tujuan program, tolok ukur, sasaran dan indikator yang jelas, serta database yang lengkap, konsisten, dan sejalan dengan perkembangan waktu. 2) Monitoring meliputi penelusuran dan pelaksanaan sistem yang terpercaya terkait sasaran kinerja yang jelas dan konsisten, laporan perkembangan, serta identifikasi permasalahan. 3) Monitoring memungkinkan tinjauan berkelanjutan terhadap berbagai kecenderungan dan persoalan serta, jika dibutuhkan, perubahan dalam rencana pelaksanaan. 4) Evaluasi mencakup penilaian setelah dampak kolektif dari semua atau sebagian besar tindakan muncul selama beberapa saat, gambaran hasil dari sudut pandang penerima; dan identifikasi berbagai daerah, kelompok sasaran, serta dampak relatif dari berbagai prakarsa. 5) Berdasarkan sistem monitoring yang baik, evaluasi dapat mengidentifikasi kapan, di mana, dan bagaimana suatu rencana melenceng dari jalurnya (atau, letak kesalahannya) dan mengusulkan perubahan. 6) Perangkap yang harus dihindari dalam perumusan dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi antara lain: a. Tujuan dan Strategi yang Kabur tidak jelas apa yang harus dicapai dan apa yang harus dilakukan; b. Standar Kinerja yang tidak jelas, tidak konsisten dan berubah-ubah pengetahuan kurang memadai tentang arah yang harus dituju;

7

c. Pilihan yang tidak tepat atau masalah pada tolok ukur yang digunakan tidak tahu di mana kita berada; d. Sasaran peta jalan yang tidak jelas tentang cara kita mencapai tujuan; e. Indikator mengukur hal keliru; atau hanya mengukur masukan dan jumlah (bukan keluaran dan mutu) atau hal yang mudah diukur; f. Datanya terlalu sulit dikumpulkan atau selalu berubah sepanjang waktu dan di semua tempat (tidak bisa mengukur hal yang sama); g. Klien sasaran dan pemangku kepentingan independen utama tidak banyak atau sama sekali tidak terlibat. Peserta lokakarya ini memperoleh pengetahuan memadai selama tiga hari lokakarya tersebut digelar, antara lain: - arti penting pengembangan kebijakan dan program yang tepat melalui tujuan dan hasil jangka menengah yang realistis dan terukur; - kebutuhan dan metode pemilihan sasaran program, indikator, dan database terkait yang tepat; - penyusunan dan pelaksanaan sistem monitoring; - perumusan dan pelaksanaan rencana serta kerangka kerja evaluasi; - cara melibatkan dan menggunakan klien, CSO, dan entitas individu baik dalam monitoring maupun evaluasi. Buku panduan ini diharapkan bermanfaat bagi pihak lain yang tertarik pada monitoring dan evaluasi penanggulangan kemiskinan yang efektif sekaligus mampu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mereka tentang sistem monitoring dan evaluasi yang baik di seluruh tingkat pemerintahan dan di unsur-unsur masyarakat madani.

8

Modul 1 :Pilihan Kebijakan dan Program yang RealistisDisiapkan oleh: Suahasil Nazara, Kepala, Institut Demografi, Universitas IndonesiaPendahuluan Kemiskinan merupakan masalah multidimensi karena berkaitan dengan ketidakmampuan akses secara ekonomi, sosial, budaya, politik dan partisipasi dalam masyarakat. Kemiskinan juga memiliki arti yang lebih luas dari sekedar lebih rendahnya tingkat pendapatan atau konsumsi seseorang dari standar kesejahteraan terukur seperti kebutuhan kalori minimum atau garis kemiskinan. Akan tetapi kemiskinan memiliki arti yang lebih dalam karena berkaitan juga dengan ketidakmampuan untuk mencapai aspek diluar pendapatan (non-income factors) seperti akses kebutuhan minimum seperti kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi. Lebih lanjut kompleksitas dari kemiskinan bukan saja berhubungan dengan pengertian dan dimensinya saja tetapi juga berkaitan dengan metode pengukuran dan intervensi kebijakan yang diperlukan dalam mengentaskan masalah ini. Pada tahun 2006, masih sekitar 42 persen dari penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan atau memiliki konsumsi yang lebih rendah dari US $ 2 per hari (World Bank 2006). Tingginya kompleksitas dari masalah angka kemiskinan yang dihadapi Indonesia membuat masalah pengentasan masalah ini menjadi tidak mudah dan diperlukan komitmen bersama dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat dan donor. Pemerintah Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengentaskan masalah kemiskinan sebagaimana tercantum dalam stategi nasional penanggulangan kemiskinan (SNPK). Selain itu pemerintah juga menargetkan untuk menurunkan angka kemiskinan dari 18.2 persen di tahun 2002 menjadi 8,2 persen ditahun 2009 untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 (World Bank 2006). Berkaitan dengan komitmen untuk mencapai target MDGs, satu pertanyaan yang perlu dijawab, yaitu bentuk intervensi atau kebijakan program apa yang realistis sehingga dapat mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Tulisan ini dibuat untuk lebih memberi gambaran secama umum tentang kebijakan yang berpihak terhadap orang miskin dan cukup realistis untuk diterapkan untuk kasus di Indonesia. Tulisan ini akan dimulai dengan menjelaskan kondisi dan kolerasi dari faktor-faktor yang berkaitan dengan masalah kemiskinan di Indonesia. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai kebijakan atau program kemiskinan yang realisitis dan proses pentahapan dari kebijakan tersebut. Sebelum menarik kesimpulan akan dianalisis dua contoh program pengentasan kemiskinan yang ada yaitu bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan tunai langsung (BLT). Kemiskinan dan Kolerasinya di Indonesia Indonesia sendiri telah cukup berhasil menurunkan tingkat kemiskinan selama periode tahun 1970-an sampai dengan periode awal tahun 1990-an. Berdasarkan World Bank (2006) tercatat pada periode tersebut poverty head count rate di Indonesia turun

8

sampai dengan 28,6 persen. Kemudian ketika krisis ekonomi menimpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997, angka kemiskinan kembali meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1999 menjadi sebesar 23 persen (grafik 1). Pada periode setelah krisis angka kemiskinan kembali menurun menjadi sebesar 16 persen ditahun 2005. Akan tetapi pada tahun 2006 angka kemiskinan kembali naik sebesar 1.75 persen. Salah satu pemicu kenaikan tingkat kemiskinan ini adalah naiknya harga beras sebagai akibat dari larangan impor beras (World Bank 2006). Dampak kenaikan harga beras dengan tingkat kemiskinan memang sangat erat karena beras merupakan makan pokok bagi sebagian besar penduduk terutama bagi mereka yang kurang mampu. Selain angka kemiskinan yang kembali naik, dimensi bukan pendapatan juga merupakan masalah lain yang cukup rumit dalam upaya pengentasan kemiskinan. Indonesia dianggap gagal dalam upaya penbaikan faktor-faktor bukan pendapatan terutama yang berkaitan dengan target dari MDGs (World Bank 2006). Misalnya masih tingginya tingkat malnutrisi dikalangan anak dibawah usia lima tahun, rendahnya tingkat kesehatan ibu, rendahnya status pendidikan diantara kelompok miskin, rendahnya akses terhadap air bersih dan sanitasi. Kemudian khusus mengenai kesehatan ibu, tercatat ada 307 kematian dari 100.000 kelahiran, dan angka ini lebih tinggi tiga kali dari angka kematian ibu saat melahirkan Vietnam dan enam kali dari Malaysia dan China (World Bank 2006). Grafik I. Kondisi dan trend kemiskinan di Indonesia, 1978-200645.0 40.0P v r H a c u t (% o e ty e d o n )

35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.019 76 19 84 19 90 20 02 19 80 19 96 20 04 20 06

TahunSumber: World Bank 2006

Seperti telah dijelaskan diawal bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi sehingga sewajarnya masalah ini memiliki korelasi dengan faktor lain. Dalam report World Bank (2006) tercatat ada lima faktor yang dianggap berkolerasi dengan kemiskinan, yaitu pendidikan, jenis pekerjaan, gender, akses terhadap pelayanan dasar dan infrastruktur dan lokasi geografis. Kemiskinan selalu dikaitkan dengan ketidakmampuan dalam mencapai pendidikan tinggi. Hal ini berkaitan dengan mahalnya biaya pendidikan itu sendiri. Walaupun upaya membebaskan uang bayaran

9

ditingkat sekolah dasar telah dilakukan, komponen biaya pendidikan lain yang harus dikeluarkan masih cukup tinggi misalnya uang buku dan seragam sekolah. Biaya yang harus diperhitungkan bagi orang miskin untuk menyekolahkan anaknya juga harus termasuk biaya kehilangan dari pendapatan (opportunity cost) jika anak mereka bekerja di sektor informal. Mahalnya biaya pendidikan ini membuat sekolah menjadi milik sebagian orang saja dan bukan menjadi hak dasar bagi semua penduduk. Kolerasi kemiskinan dan pendidikan juga terlihat pada jumlah siswa yang melanjutkan sekolah dari SD ke SMP lalu ke SMA yang relatif kecil di kuantil pengeluaran terendah atau kelompok termiskin (grafik 2). Untuk kuantil pengeluaran terendah hanya 70.5 persen yang menamatkan SMP dan 18.2 persen yang menamatkan SMA. Hal ini tentu saja kontras dengan kelompok terkaya dalam kohort yang sama, yaitu 90.7 persen dan 40 persen untuk yang menamatkan SMP dan SMA. Dari data tersebut juga dapat dikatakan bahwa semakin membaiknya tingkat ekonomi yang diwakili oleh tingkat pengeluaran, maka semakin baik tingkat pendidikannya. Grafik 2. Kolerasi pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh kelompok umur 16-18 tahun berdasarkan kelompok pengeluaran100 90 80 70 60 (%)Quantil termiskin kedua Quantil terkaya

50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12TingkatQuantil termiskin

Sumber: diolah dari data Susenas 2005

Kemiskinan juga selalu dihubungkan dengan jenis pekerjaan tertentu. Di Indonesia kemiskinan selalu terkait dengan sektor pekerjaan di bidang pertanian untuk daerah pedesaan dan sektor informal di daerah perkotaan. Pada tahun 2004, 68,7 persen dari 36,10 juta orang miskin tinggal dipedasaan dan 60 persen diantaranya memiliki kegiatan utama di sektor pertanian (Sudaryanto dan Rusastra 2006). Hal ini diperkuat oleh studi dari Suryahadi et.al (2006), yang menemukan bahwa selama periode 1984 dan 2002, baik di wilayah desa maupun kota, sektor pertanian merupakan penyebabkan utama kemiskinan. Lebih lanjut studi ini juga menemukan bahwa sektor pertanian menyumbang lebih dari 50 persen terhadap total kemiskinan dan sangat kontras jika dibandingkan dengan sektor jasa dan industri. Tingginya tingkat kemiskinan disektor pertanian menyebabkan kemiskinan diantara kepala rumah

10

tangga yang bekerja disektor pertanian menjadi lebih tinggi dibandingkan mereka yang bekerja disektor lain. Korelasi ketiga dari kemiskinan adalah gender. Di Indonesia sendiri sangat terasa dimensi gender dalam kemiskinan, dimana dari beberapa indikator kemiskinan seperti tingkat buta huruf, angka pengangguran, pekerja disektor informal, dan lain-lainya, perempuan memiliki posisi yang lebih tidak menguntungkan dari laki-laki (ILO 2004). Kemudian Laporan Pembangunan Manusia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka Human Development index (HDI) lebih tinggi dari angka Gender-related Development Index (GDI) dan angka Gender Empowerment Measurement (GEM) (MDGs Report 2005). Besarnya HDI dibandingkan dengan dua indikator kesetaraan gender menunjukkan bahwa secara umum masih terdapat kesenjangan gender yang diikuti oleh rendahnya partisipasi dan kesempatan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan. Laporan MDGs ini juga menulis bahwa dalam perolehan angka GDI Indonesia menepati posisi ke-90 dan masih sangat tertinggal jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya. Kemudian salah satu penjelasan dari konsep kemiskinan adalah kurangnya akses terhadap berbagai pelayanan dasar dan infrastuktur dan ini merupakan kolerasi kemiskinan yang keempat. Sistem infrastuktur yang baik akan meningkatkan pendapatan orang miskin secara langsung dan tidak langsung melalui penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, telekomunikasi, akses energi, air dan kondisi sanitasi yang lebih baik (Sida 1996). Studi yang dilakukan oleh World Bank (2006) mengindikasikan bahwa perbaikan infrastuktur di desa, khususnya pembangunan jalan. Studi ini juga menegaskan bahwa infrastuktur didaerah pedesaan memerlukan lebih banyak perhatian karena hanya 48 persen orang miskin di desa yang memiliki akses terhadap air bersih sementara akses orang miskin di kota mencapai 78 persen. Kolerasi yang terakhir adalah lokasi geografis. Lokasi geografis berkaitan dengan kemiskinan karena dua hal. Pertama kondisi alam yang terukur dalam potensi kesuburan tanah dan kekayaan alam. Kedua, Pemerataan pembangunan, baik yang berhubungan dengan pembangunan desa dan kota, ataupun pembangunan antar provinsi. Di beberapa provinsi khususnya di daerah timur Indonesia masih sangat tertinggal dibandingkan pembangunan di wilayah Jawa. Berdasarkan data tahun 2004, orang yang hidup di Papua memiliki probabilita miskin empat kali lebih besar dari pada orang yang tinggal di daerah yang kaya sumber daya alam lainnya seperti Kalimantan (World Bank 2006). Kemudian dimensi bukan pendapatan seperti rendahnya pencapaian di bidang pendidikan dan penyediaan akses pada pelayanan dasar di berbagai daerah terutama di wilayah timur Indonesia mempertegas adanya kesenjangan berdasarkan lokasi geografis. Kebijakan pengentasan kemiskinan Kunci utama dari keberhasilan suatu kebijakan atau program kemiskinan adalah perumusan yang baik. Perumusan tersebut sangat penting karena kemiskinan merupakan masalah yang memiliki kompleksitas tinggi sehingga diperlukan kebijakan yang sangat bergantung pada situasi dan waktu. Dalam perumusan kebijakan secara ideal perlu dilakukan sesuai dengan pentahapan yang ada seperti dijelaskan oleh diagram 1. Tahap pertama adalah diagnosa dan analisa kemiskinan. Pada tahap ini akan dilakukan pengukuran tingkat kemiskinan, penargetan dan penentuan jenis

11

kebijakan atau program yang ingin dibuat dan hasil yang diharapkan pada tahap ini adalah dimengertinya karateristik dan faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Ada dua prinsip dasar yang digunakan dalam melakukan penargetan atau menentukan kelompok yang ingin diberi intervensi, yaitu pernargetan langsung dan penargetan berdasarkan wilayah. Dalam penargetan langsung akan diketahui dengan jelas siapa dan dimana lokasi keluarga miskin. Biasanya jenis penargetan ini mengalami kesulitan dalam identifikasi sehingga memerlukan survei khusus seperti yang dilakukan pemerintah sebelum mengucurkan bantuan tunai langsung. Kemudian penargetan berdasarkan wilayah biasanya dilakukan dengan memilih wilayah yang memiliki rata-rata pendapatan terkecil. Masalah yang timbul dari pernargetan jenis ini adalah rawan terhadap kebocoran atau terdapatnya orang yang tidak miskin dalam kelompok penerima bantuan. Hal ini dikarenakan pada wilayah ini seluruh masyarakatnya dianggap miskin. Penargetan jenis ini dapat dilakukan dengan bantuan peta kemiskinan. Diagram 1. Proses perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan

Diagnosa & Analisa Kemiskinan

Tujuan Kebijakan Pengentasan Kemiskinan

Monitoring & Evaluasi Kebijakan

Perencanaan & pengimplentasian Kebijakan

Dari target yang telah dipilih dapat diketahui jenis kebijakan atau program apa yang paling sesuai dengan kebutuhan. Secara umum kebijakan atau program pengentasan kemiskinan dapat dibagi menjadi dua kelompok besar (ADB dan Bappenas 2007). Pertama, adalah program-program yang memang hanya diperuntukkan bagi orang miskin. Jika program jenis ini berhasil dilaksanakan maka seluruh manfaatnya bisa dinikmati orang miskin. Program jenis ini akan sangat tergantung pada penargetan awal untuk menghindari terjadinya salah sasaran dalam bantuan. Contoh dari program jenis ini adalah raskin dan bantuan tunai langsung. Kedua, adalah program-program yang diperuntukkan untuk semua orang akan tetapi jika dilaksanakan dengan baik maka kelompok miskin akan mendapat keuntungan yang lebih banyak dari kelompok lainnya. Contoh dari jenis program ini adalah pemberdayaan puskesmas, penyediaan obat generik dan pembebasan uang iuran sekolah. Berdasarkan dua jenis pilihan tersebut, dapat dikatan bahwa penargetan

12

langsung hanya diperlukan untuk program khusus bagi orang miskin sedangkan program bagi semua orang hanya memerlukan penargetan secara wilayah. Setelah mengidentifikasi kunci dari masalah kemiskinan maka perumusan kebijakan berlanjut pada tahap berikutnya yaitu menentukan tujuan, target dan indikator yang ingin dicapai. Dalam proses perumusan kebijakan ada perbedaan definisi dari ketiganya (Poverty Reduction Strategy Workshop 2000). Tujuan adalah sasaran yang ditetapkan, misalnya tujuan dari program pengetasan kemiskinan adalah penurunan angka kemiskinan. Indikator adalah alat pengukur kemajuan yang biasa dibagi menjadi empat dari tahap perumusan awal sampai dengan ketika program berakhir. Keempat indikator tersebut adalah indikator input, output, hasil dan dampak. Masingmasing indikator akan dijelaskan pada diagram 2. Sedangkan target adalah nilai indikator yang ditetapkan untuk dicapai pada satuan waktu tertentu. Contoh dari target adalah pemerintah Indonesia menargetkan angka kemiskinan akan turun menjadi 8.2 persen pada tahun 2009. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan target. Pertama, tujuan yang ingin dicapai harus menyesuaikan dengan standar di internasional. Dalam kasus penentuan tujuan program pengentasan kemiskinan tujuan nasional harus sesuai dengan tujuan MDGs. Kedua, dalam menentukan tujuan perlu memperhatikan distribusi pendapatan. Ketiga, tujuan ditentukan melalui proses partisipasi semua pihak. Keempat, tujuan ditentukan dengan menentukan ukuran pencapaian atau benchmark berdasarkan waktu yang tersedia. Kelima, dalam menentukan tujuan agar lebih tepat sasaran harus berdasarkan pada beberapa ukuran kemiskinan berbeda. Keenam, tujuan harus dibuat secara spesifik dengan program agar proses monitoring menjadi lebih mudah. Kemudian ada beberapa karakteristik yang diperlukan dalam menentukan indikator yang baik(Poverty Reduction Strategy Workshop 2000), yaitu: 1. indikator merupakan pengukuran kemajuan yang langsung, jelas dan relevan 2. Indikator memperhatikan perbedaan antar daerah, waktu dan juga sensitif terhadap perubahan kebijakan dan program 3. Indikator tidak dapat dengan mudah untuk dimanipulasi 4. Indikator dapat diukur dengan efisien pada interval waktu yang diinginkan.

13

Diagram 2. Jenis Indikator

Indikator Dampak

Mengukur tujuan takhir, perbaikan tingkat kesejahteraan dan standar hidup Contoh: Peningkatan kualitas pendidikan Mengukur hasil (qualitas dan kuantitas) dari barang dan jasa yang dihasilkan Contoh: Peningkatan enrollment rate

Indikator Hasil

Indikator Output

Mengukur jumlah dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh input Contoh: peningkatan jumlah fasilitas pengajaran Mengukur alokasi sumber daya yang akan dialokasikan di program Contoh: Dana untuk BOS

Indikator Input

Sumber: Poverty Reduction Strategy Workshop 2000

Setelah menetukan tujuan, indikator dan target pada tahap ketiga dari perumusan kebijakan adalah merancang dan mengimplementasikan program. Hasil yang diharapkan dalam proses merancang program adalah peraturan, petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk teknis. Sedangkan tahap pengimplementasian program akan dimulai dengan sosialisasi program pada tahap awal, lalu dilanjutkan oleh monitoring selama program berlangsung dan diakhiri oleh evaluasi ketika program berakhir. Ada beberapa perbedaan mendasar antara monitoring dan evaluasi. Monitoring dilakukan untuk menyediakan informasi apakah kebijakan atau program diimplementasikan sesuai rencana dalam upaya mencapai tujuan. Monitoring merupakan alat manajemen yang efektif karena jika dalam pengimplementasian program berbeda dari rencana maka monitoring dapat mengidentifikasi dimana letak masalahnya untuk kemudian dicari penyelesaiannya. Dalam banyak kasus program bantuan monitoring seringkali dihindarkan oleh pelaksana karena monitoring dapat segera mendeteksi adanya penyimpangan atas program. Evaluasi berfungsi untuk melihat dampak dengan mengisolasi efek dari suatu intervensi. Pada pelaksanaanya evaluasi memerlukan data dan metodologi yang lebih komplek dari monitoring. Evaluasi sendiri dapat berupa dampak apakah proram mencapai tujuan awal, proses bagaimana program dilaksanakan dan apasaja

8

keuntungan yang diterima oleh peserta atau juga analisa biaya dari program itu sendiri. Lalu untuk mendapatkan evaluasi yang baik diperlukan data baseline sebagai acuan dan melakukan perencanaan evaluasi sedari awalseperti menetapkan tujuan, metodologi, jadwal, dan pembiayaan. Kemudian metode yang paling baik dalam evaluasi adalah kombinasi dari metode kuntitatif dan kualitatif. Satu catatan penting mengenai monitoring dan evaluasi adalah partisipasi semua pihak karena kegiatan ini sebenarnya merupakan tanggung jawab bersama. Jadi dalam melaksanakan kedua kegiatan ini perlu adanya sinergi dari semua pihak seperti departemen terkait, penyelenggara, penerima bantuan, universitas, masyarakat, NGO dan tentunya donor sebagai salah satu sumber pendanaan. Perumusan kebijakan secara tepat dalam membuat program pengentasan kemiskinan bukan segalanya karena program tersebut juga harus berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan dua stategi untuk membuat program menjadi berkelanjutan, yaitu strategi di sisi produksi dan penghidupan. Sisi produksi ini menangani masalah yang berkaitan dengan aktivitas untuk memdorong kelompok miskin memperoleh pendapatan. Bentuk intervensi yang dilakukan dapat berupa melibatkan mereka dalam kegiatan produksi atau dunia kerja. Melibatkan kelompok miskin dalam kegiatan produksi bermaksud mendorong mereka untuk membuka usaha kecil atau mikro dengan menyediakan bantuan terhadap akses modal, pelatihan tehnologi sederhana, infrastuktur pendukung seperti jalan di daerah pedesaan, dan mempermudah pengurusan izin usaha. Melibatkan orang miskin pada dunia kerja dapat dilakukan dengan memberi pelatihan ketrampilan dasar dan regulasi pasar kerja yang mendukung terutama mengenai sektor informal yang banyak menyerap kelompok ini. Lebih lanjut mendorong usaha kecil dan menengah (UKM) juga dapat membantu kelompok miskin lebih terlibat dalam dunia kerja. Hal ini dikarenakan UKM yang biasanya dimiliki oleh orang yang hampir miskin punya kecenderungan untuk mempekerjakan orang miskin. Jadi dengan mendorong UKM akan ada lebih banyak lapangan kerja bagi kelompok miskin. Pada bagian penghidupan bagi orang miskin dua tujuan yang dapat dicapai. Pertama, untuk menjadi jaring pengaman selama periode dimana kelompok miskin masih hidup dibawah garis kemiskinan. Kedua, untuk memastikan bahwa generasi mendatang bisa keluar dari perangkap kemiskinan. Contoh dari penghidupan bagi orang miskin adalah perlindungan sosial dan bantuan tunai bersyarat. Contoh Kasus: BOS dan BLT Setelah mempelajari proses perumusan pembuatan kebijakan dan bagaimana membuat kebijakan tersebut menjadi berkelanjutan maka penting pula untuk membahas program pengentasan kemiskinan yang telah ada. Dengan menganalisa program-program tersebut dapat diketahui kelemahan dan kekuatan yang kemudian dapat menjadi pelajaran dalam merancang program yang lebih baik dimasa depan. Dua program pengentasan kemiskinan yang akan dibahas pada bagian ini adalah bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan tunai langsung (BLT). Kedua program ini dirancang untuk mengurangi angka kemiskinan akibat pencabuta subsidi BBM oleh pemerintah.

9

BOS sendiri diarahkan secara spesifik untuk siswa sekolah dasar dan menengah pertama dari rumah tangga miskin namun bantuannya diberikan kepada sekolah. Besarnya dana yang diberikan kepada sekolah sangat tergantung pada jumlah siswa di sekolah. Dana yang dianggarkan oleh pemerintah untuk program ini relatif cukup besar, misalnya untuk periode bulan Juni sampai dengan desember 2005 adalah sebesar Rp. 5,3 trilyun dan pada tahun 2006 dianggarkan sebesar 11 trilyun atau meningkat lebih dari dua kali dari tahun sebelumnya. Jumlah uang yang diterima oleh setiap siswa adalah berkisar dari Rp. 235.000,00 Rp. 324.500,00 per tahun (tabel 1).

Tabel 1. Target dan Alokasi Biaya Bantuan Operasional Sekolah Target dan Biaya per Unit Jenjang Pendidikan Jumlah Siswa Rp/Murid/Tahun SD/MI/SDLB 28.779.709 235.000,SMP/MTs/SMPLB 10.625.816 324.500,Salafiyah setingkat SD 108.177 235.000,Salafiyah setingkat SMP 114.433 324.500,Sumber: www.depkominfo.go.id/download/BOS_KOMINFO_WAPRES.ppt

Adanya perbedaan tujuan dari program BOS yang tercantum pada buku petunjuk pelaksanaan program tahun 2005 dan 2006 membuat dualisme pemahaman terhadap program (SMERU 2006b). Pada buku petunjuk 2005 tidak secara spesifik menyatakan bahwa BOS diperuntukkan untuk anak dari keluarga miskin sehingga pada tahap pertama program timbul pemahaman bahwa program ini diperuntukkan untuk menyediakan fasilitas sekolah gratis untuk semua orang. Oleh karena itu demi penyempurnaan pada buku petunjuk 2006 secara tegas di tulis bahwa prioritas program ini adalah untuk anak dari keluarga miskin. Pada petunjuk BOS tertulis bahwa program memiliki monitoring dan evaluasi yang bersifat internal dan eksternal yang bertujuan menjadi sumber informasi yang berguna untuk pengambil kebijakan dalam memperbaiki program. Internal monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Departemen Agama sebagai pelaksana program di setiap daerah administrasi mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat kabupaten atau kota. Sedangkan eksternal monitoring dilaksanakan oleh institusi pengawasan yang relevan yang meliputi: 1. Tim monitoring independent, seperti oerguruan tinggi, DPR ata tim lain yang secara khusus dibentuk untuk itu 2. Elemen masyarakat, seperti komite sekolah, NGO dan organisasi kemasyarakatan lainnya 3. Badan pengawas, seperti BPK, BPKP, Irjen dan Bawasda 4. Unit pengaduan masyarakat diberbagai tingkat Hasil dari kajian cepat yang dilakukan SMERU (2006b) di beberapa daerah sampel menemukan bahwa monitoring dan evaluasi biasanya tidak mengikuti atau terlambat dari jadwal yang ditetapkan karena adanya keterlambatan pendistribusian dana. Standarisasi hasil dari monitoring dan evaluasi tidak dapat dilakukan karena tidak adanya kesamaan kualitas, tingkat kedalaman dan fokus studi. Kemudian adanya banyak lembaga yang terlibat maka proses monitoring dan evaluasi selain memberi

10

efek positif berupa mengurangi kemungkinan korupsi juga memberikan efek negatif yaitu menyebabkan kesulitan bagi program manager untuk berkembang dan menyesuaikan BOS dengan kondisi daerah. Ketidakefektifan dari kegiatan monitoring dan evaluasi BOS sendiri bukan hanya bersumber dari kesalahan dalam melakukan dua kegiatan ini tetapi juga akibat dari perumusan program yang kurang matang. Hal ini terlihat dari berbagai kelemahan yang muncul selama proses implementasi program seperti tidak ada verifikasi kehadiran siswa dalam penentuan besarnya jumlah uang yang dikucurkan, tidak adanya target disetiap tahapnya seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya dan tidak efektifnya program sosialiasi. Bantuan tunai langsung (BLT) bertujuan menjaga tingkat konsumsi rumah tangga miskin akibat peningkatan 120 persen rata-rata harga BBM pada bulan Oktober 2005. Program BLT menberikan bantuan kepada rumah tangga yang dianggap masuk kategori miskin uang sebesar Rp.100 ribu setiap bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan selama satu tahun. Pada tahap pertama program ini sekitar 15,5 juta rumah tangga menerima bantuan dengan total dana yang disalurkan sebesar Rp. 4,6 trilyun (Presentasi Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS 2005). Setiap rumah tangga miskin yang telah di survei sebelumnya diberikan kartu identitas untuk mengambil bantuan di kantor pos diwilayah tinggal mereka. Tabel 2. Target Bantuan Tunai Langsung Garis Kemiskinan (orang/Bulan) Rp. 120.000,Rp. 150.000,(Garis kemiskinan di sekitar ini) Jumlah 16 juta orang 4 juta RT 40 juta orang 10 juta RT

Rp. 175.000,62 juta orang (Hampir miskin) 15.5 Juta RT Sumber: presentasi Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS 2005 SMERU (2006a) dalam kajian cepatnya mencatat bahwa ada beberapa masalah yang timbul dalam pelaksanaan BLT seperti adanya kesalahan dalam penargetan, masalah pendistribusian kartu kompensasi, tidak berfungsinya institusi yang menangani opengaduan dan monitoring program, lemahnya koordinasi, komunikasi dan sosialisasi program. Kesalahan dalam penargetan menyebabkan terjadinya kebocoran dan tidak tercovernya rumah tangga yang benar-benar miskin. Hal ini disebabkan oleh waktu yang sangat terbatas untuk mendesain program. Selain itu kesalahan penargetan juga terjadi karena pendataan yang tidak tepat akibat dari kapasitas dan subjektivitas enumerator yang berbeda-beda disetiap daerah, screening prosedur dan verifikasi yang tidak berjalan dengan baik dan indikator kemiskinan yang tidak adaptif terhadap kondisi lokal (SMERU 2006a). Penetapan sistem kuota pada enumerator juga membuat proses pendataan menjadi kurang tepat sasaran.

11

Sebagai evaluasi program BLT beberapa hal harus dilakukan seperti memperbaiki kualitas dari administrasi program dan perencanaan dari program itu sendiri terutama yang berkaitan dengan masalah penargetan. Dampak yang diukur dari program seperti ini seharusnya lebih mengarah pada peningkatan akumulasi kapital terutama yang mempengaruhi mutu SDM, seperti apakah ada perbaikan kualitas pendidikan seperti peningkatan enrollment dan absen dari siswa yang keluarganya menerima bantuan. Lebih lanjut program seperti BLT ini sendiri sebenarnya tidak terlalu bermanfaat dimasa depan karena menciptakan ketergantungan bagi kelompok miskin. Dalam kontek pengentasan kemiskinan selalu lebih baik memberi umpan daripada ikan. Kemudian trend yang berkembang di dunia sendiri lebih mengarah pada bantuan bersyarat seperti Progessa yang diberlakukan di Meksiko. Kesimpulan Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan Indonesia masih jauh lebih tinggi atau lebih dua kali lebih besar dari apa yang ditargetkan dalam MDGs, yaitu penurunan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan sebesar 7,2 persen pada tahun 2015 (MDGs Report 2005). Masih panjangnya jalan Indonesia mencapai target pengentasan kemiskinan memerlukan usaha dan komitmen yang lebih dari pemerintah. Bentukbentuk kebijakan dan program yang ada dirasakan masih kurang efektif mengatasi kemiskinan. Kemudian dalam proses memformulasikan kebijakan diperlukan berbagai persiapan dan pentahapan. Pada persiapan pembuatan kebijakan diketahui bahwa ada lima faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan di Indonesia. Faktor-faktor ini adalah pendidikan, jenis pekerjaan, gender, akses terhadap pelayanan dasar dan infrastruktur dan lokasi geografis. Dimana perbaikan pada faktor-faktor ini akan memberi efek positif dalam usaha pengentasan kemiskinan, yaitu meningkatkan kesempatan pada orang miskin untuk memperoleh pendapatan. Secara umum proses pembuatan kebijakan dapat dibagi menjadi empat yaitu diagnosa dan analisa kemiskinan, pembuatan tujuan kebijakan, perencanaan dan pengimplementasian kebijakan dan monitoring dan evaluasi kebijakan. Setiap tahapan ini mempunyai peran yang penting dalam menetukan keberhasilan suatu kebijakan. Dan ketidak efektifan satu tahap akan berakibat pada tidak tercapainya tujuan atau malah menjadi kegagalan bagi kebijakan tersebut. Hal ini juga yang menjadi penyebab dua program pengentasan kemiskinan yang ada seperti BOS dan BLT menjadi tidak sepenuhnya mencapai tujuan awal. Walaupun kedua program ini tidak dapat dikatakan gagal tapi hasil yang lebih optimal seharusnya dapat dicapai. Lebih lanjut dalam dalam usaha membuat program pengentasan kemiskinan menjadi berkelanjuta diperlukan penekana pada dua aspek yaitu sisi produksi dan sisi penghidupan. Dimana sisi produksi berkaitan dengan upaya melibatkan orang miskin dalam kegiatan produksi dan dunia kerja.

12

Daftar Pustaka Modul 1 ILO, 2004, Gender and Poverty, A Series of Policy Recommendations Decent Work and Poverty Reduction in Indonesia. Pelaksanaan Penyaluran Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM bidang Pendidikan, (www.depkominfo.go.id/download/BOS_KOMINFO_WAPRES.ppt ) Poverty Reduction Strategies Workshop, 2000, Poverty Monitoring and evaluation for poverty reduction strategies, Ulaanbaatar, (http://siteresources.worldbank.org/INTPRS1/Resources/Presentations/pmeprsnt.pdf) Presentasi Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS, 2005, Subsidi Langsung Tunai (SLT) Kepada Rumah Tangga Miskin, (www.depkominfo.go.id/download/01_Cash_Transfer_8___formatted_humas.ppt ) Sida, 1996, Promoting Sustainable Livelihoods. Stockholm: Swedish International Co-operation Development Agency. Sudaryanto, T. dan Rusastra, I.W., 2006, Kebijakan Strategis Usaha Pertanian dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan, Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Suryahadi, A., Surydarma, D., dan Sumarto, S., 2006, Economic Growth and Poverty Reduction in Indonesia: The Effects of Location and Sectoral Componentsof Growth, Working Paper, Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta. Tim Smeru, 2006a, A Rapid Appraisal of The Implementation of the 2005 Direct Cash Transfer Program in Indonesia: A Case Studyin Five Kabupaten/Kota, Research Report, Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta. Tim Smeru, 2006b, A Rapid Appraisal of The PKPS-BBM Education Sector: School Operational Assistance (BOS), Research Report, Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta. The World Bank, 2006, Making the New Indonesia work for the poor, The World Bank. UNDP, 2005, The Indonesia MDG Report 2005, (http://undp.or.id/pubs/imdg2005/)

13

Modul 2 :Sistem Monitoring yang Efektif dalam Strategi Penanggulangan KemiskinanDisiapkan oleh: Wenefrida Widyanti dan Sudarno Sumarto (Lembaga Penelitian SMERU)

Tujuan Modul 2:Setelah mengikuti pelatihan berisi modul ini, peserta diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar untuk: 1. Memberikan pemahaman kepada peserta mengenai pentingnya sistem monitoring dalam perencanaan dan implementasi program/strategi, khususnya yang terkait dengan penanggulangan/pengurangan kemiskinan, 2. Memberikan pemahaman kepada peserta mengenai kerangka kerja (framework) sistem monitoring yang efektif (unsur, tahapan, dan persyaratannya) dan pengimplementasiannya, dan 3. Memberikan pemahaman yang lebih baik kepada peserta mengenai sistem monitoring dalam konteks yang lebih nyata dengan memberikan contohcontoh konkrit sistem monitoring yang ada, seperti MDGs, monitoring tingkat kemiskinan BPS, dan sistem pemantauan kesejahteraan oleh masyarakat.

14

Daftar Isi Modul 2: Halaman 1. Pendahuluan ........................................................................................................... 16 1.1 Posisi dan Keterkaitan Sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E) dalam Strategi Proyek .............................................................................................................. 16 1.2 Sistem Monitoring: Apa, Mengapa, dan Bagaimana? ...................................... 18 1.3 Persoalan Klasik Monitoring............................................................................. 20 1.4 Pendekatan Pengumpulan Data untuk Monitoring ........................................... 21 2. Kerangka Kerja Konseptual Sistem Monitoring ................................................ 22 2.1 Apa itu Kerangka Kerja Logis (Logical Framework ApproachLFA) ........... 22 2.2 Matriks Kerangka Kerja Logis (Logical Framework MatrixLFM) sebagai Produk LFA...................................................................................................... 24 2.3 Kegunaan dan Penggunaan LFA dalam Monitoring dan Evaluasi ................... 27 3. Penyusunan dan Pengembangan Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan........................................................................ 27 4. Contoh-contoh Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan ..................................................................................................... 30 4.1 Monitoring Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals MDGs).............................................................................................................. 30 4.2 Penelusuran Kemiskinan di Indonesia .............................................................. 31 4.3 Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat (SPKM).......................... 33 5. Penutup ................................................................................................................... 38 Daftar Pustaka ........................................................................................................... 40

15

1

Pendahuluan

Tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, serta mengangkat harkat dan martabat manusia. Kemiskinan merupakan bentuk ketidaksejahteraan, yang cenderung menurunkan harkat dan martabat manusia, sehingga keberhasilan dalam mengurangi kemiskinan merupakan indikator keberhasilan pembangunan yang terpenting. Salah satu elemen penting dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan adalah monitoring dan evaluasi. Kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) ini akan membantu memberikan pemahaman tentang persoalan kemiskinan, serta mengidentifikasi kendala-kendala dan kegiatan/intervensi di waktu yang lalu dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian upaya penanggulanagn bisa dilakukan secara lebih efektif. Monitoring pada umumnya merupakan bagian dari suatu sistem yang mencakup evaluasi, atau lebih banyak dikenal sebagai Sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E). Sistem M&E tidak berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari suatu strategi. Pada umumnya, suatu strategi mencakup perencanaan, pelaksanaan atau implementasi berbagai program/proyek, dan sistem M&E. Kaitan antara sistem M&E dalam strategi suatu proyek, pemahaman mengenai apa itu sistem M&E, bagaimana menyusun dan melaksanakannya, serta mengapa sistem M&E diperlukan, akan dibahas secara lebih rinci dalam modul ini. Modul singkat ini hanya membahas mengenai sistem monitoring, sedangkan evaluasi akan dibahas pada modul tersendiri. Modul singkat sistem monitoring yang efektif dalam strategi penanggulangan kemiskinan ini dimaksudkan untuk: pertama, memberikan pemahaman kepada peserta mengenai pentingnya system monitoring dalam perencanan dan implementasi program/strategi, khususnya program penanggulangan kemiskinan; kedua, memberikan pemahaman kepada peserta mengenai kerangka kerja (framework) sistem monitoring yang efektif (unsur, tahapan, dan persyaratannya) dan pelaksanaannya; ketiga, memberikan pemahaman yang lebih baik kepada peserta mengenai sistem monitoring dalam konteks yang lebih nyata dengan memberikan contoh-contoh konkrit system monitoring yang ada, seperti MDGs, monitoring tingkat kemiskinan, serta pemantauan kesejahteraan oleh masyarakat. 1.1 Posisi dan Keterkaitan Sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E) dalam Strategi Proyek

Seperti telah disebutkan sebelumnya, sistem M&E pada umumnya tidak berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih luas, yaitu strategi, dalam hal ini adalah strategi penanggulangan kemiskinan. Gambar 1 memperlihatkan bagaimana posisi dan keterkaitan sistem M&E dalam strategi proyek. Penentuan konsep atau rancangan strategi, seperti tujuan yang ingin dicapai dan bagaimana mencapainya haruslah menjadi titik awal penyusunan strategi proyek. Selanjutnya, dari konsep mengenai apa tujuan dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut, disusun suatu sistem M&E, detil rencana operasional programprogram, serta keluaran (output), hasil (outcome), dan dampak (impact) yang diharapkan. Penentuan keluaran, hasil, dan dampak dari suatu strategi proyek dalam tahap perencanaan sangat penting karena jika hal tersebut dibandingkan dengan kondisi aktual yang dicapai akan mencerminkan perubahan, yang sekaligus merupakan ukuran keberhasilan suatu proyek. Hal tersebut merupakan fungsi pokok sistem M&E dalam kaitannya dengan strategi proyek. Gambar 1 juga memperlihatkan tahap-tahap sistem M&E secara rinci, yang mencakup:

16

(i)

pengembangan sistem M&E dengan mengidentifikasi apa saja informasi yang dibutuhkan. Penyusunan dan pengembangan sistem ini harus mengacu pada tujuan (apa yang ingin dicapai) dan cara pencapaian (mekanisme pelaksanaan) yang ditetapkan, pengumpulan dan manajemen informasi yang erat kaitannya dengan pengukuran indikator keluaran, hasil, dan dampak program/proyek. Di samping itu juga perlu dilakukan pengecekan terhadap pelaksanaan operasional di lapangan,

(ii)

(iii) refleksi hal-hal kritis yang perlu diperbaiki dari para pemangku kepentingan (stakeholders). Dari data/informasi yang dikumpulkan perlu dianalisis dan direfleksikan oleh semua pemangku kepentingan, yang hasilnya digunakan untuk perbaikan dan pengembangan sistem M&E, dan (iv) komunikasi dan pelaporan hasil dari pelaksanaan semua kegiatan monitoring dan evaluasi kepada para pemangku kepentingan. Komunikasi dan pelaporan hasil tersebut semestinya dimanfaatkan sebagai masukan baik untuk perbaikan pelaksanaan tahap-tahap berikutnya dari kegiatan program/proyek yang sedang berjalan maupun pelaksanaan program/proyek serupa di masa yang akan datang. Di samping itu, Gambar 1 menunjukkan bahwa perencanaan, yang mencakup tujuan dan bagaimana mencapainya, merupakan dasar atau basis bagi penyusunan rencana operasional yang lebih rinci. Penyusunan rencana operasional tersebut sangat penting dalam pelaksanaan atau implementasi program/proyek karena akan menentukan keluaran, hasil, dan dampaknya. Selanjutnya, untuk mengukur tingkat perkembangan dan pencapaian keluaran, hasil, dan dampak program/proyek terhadap tujuan yang ditetapkan perlu adanya indikator-indikator yang relevan dan terukur. Oleh karena itu, dalam penyusunan sistem M&E yang baik, indikator-indikator untuk setiap tahapan harus didefinisikan dengan jelas. Tambahan pula, Gambar 1 memperlihatkan bahwa informasi yang berasal dari rencana operasional yang rinci dan data yang dikumpulkan dari keluaran, hasil, dan dampak proyek merupakan salah satu masukan bagi pengembangan sistem M&E. Dari informasi/data tersebut, sistem M&E diperbaiki secara terus menerus, yang selanjutnya menjadi masukan dalam perbaikan strategi proyek (IFAD, 2002).

17

Strategi Proyek Perencanaan APA yang akan dicapai dan BAGAIMANA tujuan tersebut dicapai Basis untuk Sistem M&E Perbaikan terus-menerusPerbaikan mutual

Basis untuk

Pengembangan Sistem M&E

Informasi

Detil rencana operasionalImplementasi

Pengumpulan & Manajemen Data lapangan Informasi Refleksi hal-hal kritis yang perlu diperbaiki Komunikasi & pelaporan hasil

Keluaran, hasil, dan dampak proyekC

Perbaikan melalui M&E Sumber: IFAD (2002)

Gambar 1 Kaitan Sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E) dalam Strategi Proyek 1.2 Sistem Monitoring: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?

Sebelum membahas sistem monitoring lebih lanjut, terlebih dahulu perlu dipahami apa itu sistem monitoring, mengapa sistem monitoring diperlukan, dan bagaimana menyusun dan melakukan sistem monitoring yang efektif sesuai konteks, dalam hal ini penanggulangan kemiskinan. 1.2.1 Apa itu Sistem Monitoring Sistem monitoring dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pengumpulan data/informasi secara reguler dan terus-menerus yang dapat menghasilkan indikatorindikator perkembangan dan pencapaian suatu kegiatan program/proyek terhadap tujuan yang ditetapkan. Indikator-indikator tersebut diperuntukkan bagi manajemen dan pemangku kepentingan (stakeholders) suatu program/proyek yang sedang berjalan. Sistem monitoring mencakup penelusuran pelaksanaan sistem yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap target kinerja yang jelas dan konsisten, laporan kemajuan, dan identifikasi masalah. Secara umum, sistem monitoring (dan evaluasi) terdiri dari empat komponen, yaitu: tujuan (goal), sasaran (target), indikator (indicator), dan masukan (input). Masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan seperti berikut: (i) tujuan (goal) adalah sebuah objektif (pada umumnya untuk kurun waktu yang panjang) yang ingin dicapai oleh suatu negara atau sekelompok orang, kebanyakan dinyatakan dengan ukuran nonteknis (bersifat kualitatif), seperti mengurangi kemiskinan dan kelaparan, sasaran (target) adalah tingkat pencapaian yang terukur (umumnya berupa

(ii)

18

ukuran kuantitatif) yang ingin dicapai suatu negara atau sekelompok orang pada suatu waktu tertentu, misalnya menurunkan tingkat kemiskinan hingga setengah dari tingkat kemiskinan 1990 pada 2015, (iii) indikator adalah alat ukur untuk melihat tingkat pencapaian output terhadap sasaran dan tujuan yang ditetapkan, seperti persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada suatu waktu tertentu, dan (iv) aktivitas/masukan (input) adalah berbagai bentuk sumber daya dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan, misalnya program-program penanggulangan kemiskinan. Salah satu contoh sistem monitoring yang banyak dikenal adalah tujuan pembangunan milenium (Millenium Development GoalsMDGs). MDGs yang merupakan deklarasi bersama 189 negara anggota PBB pada September 2000 mencakup 8 tujuan, 18 sasaran yang diukur dengan menggunakan 48 indikator (untuk kebutuhan pengukuran pencapaian di tingkat regional/lokal, indikator tersebut dapat dikembangkan sesuai kondisi lokal). Di samping itu, MDGs juga memiliki batas waktu pencapaian, yaitu 2015. 1.2.2 Apa Manfaat Monitoring? Monitoring pada umumnya dilakukan dengan mengumpulkan data/informasi secara reguler dan terus-menerus yang menghasilkan indikator-indikator perkembangan dan pencapaian sehingga hasilnya sangat bermanfaat untuk menilai apakah sebuah program/kebijakan dijalankan sesuai rencana dan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai. Di samping itu, indikator-indikator yang dihasilkan juga sangat membantu dalam pengambilan keputusan yang tepat waktu dan bertanggung gugat (akuntabel), serta bermanfaat sebagai masukan baik bagi perbaikan program/proyek yang sedang berjalan maupun pembelajaran bagi program serupa di masa mendatang. 1.2.3 Mengapa Monitoring Diperlukan? Dari manfaat monitoring seperti disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa sistem monitoring yang efektif sangat diperlukan untuk menjawab beberapa pertanyaan, di antaranya apakah tujuan yang ditetapkan akan (cenderung) dapat dicapai? Mengapa dan mengapa tidak? (ii) apakah hambatan-hambatan yang ada dalam pelaksanaan/implementasi program/proyek? (iii) apakah koordinasi yang dilakukan efektif? (iv) apakah terdapat kesenjangan dalam implementasi, dan bagaimana mengatasinya? (i) Peran sistem monitoring dalam strategi penanggulangan kemiskinan dapat dijelaskan dengan Gambar 2 berikut ini. Dari alur yang ada dalam gambar tersebut, terlihat bahwa hasil monitoring dan evaluasi (monev) akan mengarah kembali ke bagian/tahap awal strategi, atau dengan kata lain hasil monev bermanfaat untuk membantu memberikan pemahaman kemiskinan, serta mengidentifikasi kendalakendala dan kegiatan/aktivitas di waktu yang lalu. Selanjutnya, prosedur tersebut akan berulang kembali pada tahapan lainnya seperti terlihat dalam gambar.

19

Pemahaman kemiskinan, kendala-kendala, dan aktivitas yang lalu Setting prioritas dan tujuan Pendefinisian strategi dan pemilihan aksi Sistem Monitoring Pemilihan indikator dan target

Implementasi

Monitoring & evaluasi

Gambar 2 Peran Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan KemiskinanSumber: Presentasi Poverty Monitoring System oleh Francesca Bastagli & Aline Coudouel, Poverty Reduction Group, PREM, 7 Mei 2004.

1.2.4 Bagaimana Melakukan Monitoring yang Baik dan Efektif? Sistem monitoring yang baik dan efektif dirancang sebelum suatu program/proyek dijalankan atau dengan kata lain terintegrasi dengan perencanaan program/proyek. Monitoring yang dilakukan (kebanyakan dilakukan pada saat program/proyek sedang berjalanongoing) sebaiknya dilakukan oleh suatu tim multisektoral yang kompeten untuk menentukan: (i) sesuai tidaknya program yang dijalankan dengan perencanaan dan anggaran, (ii) problem-problem yang dihadapi dan kemungkinan pemecahannya, dan (iii) perlu tidaknya penyesuaian (adjustment) agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Selain mempertimbangkan metode dan pendekatan yang akan digunakan, monitoring yang efektif juga harus mencakup sistem pelaporan yang terkoordinasi. Tambahan pula, perlu dipikirkan perimbangan antara jenis dan banyaknya indikator yang digunakan, tingkat pemilahan (aggregat) indikator, serta metode, frekuensi, waktu dan/atau periode pengumpulan data yang berdampak pada besarnya biaya monitoring terhadap keseluruhan anggaran proyek. 1.3 Persoalan Klasik Monitoring

Selama ini sistem monitoring banyak mengalami kendala yang mengurangi keefektifan sistem tersebut, seperti: (i) pembagian peran dan tanggung jawab antarpelaku yang kurang jelas,

20

(ii) (iii)

(iv) (v)

tanggung jawab tidak dialokasikan dengan jelas/secara efisien, penegakan aturan-aturan formal lemah yang berdampak pada lemahnya koordinasi sehingga terjadi duplikasi, persaingan, kesenjangan dan penundaan pelaksanaan tanggung jawab, informasi kurang sahih dan tidak relevan (ketidaksesuaian antara informasi yang dibutuhkan dan informasi yang disediakan), dan informasi sulit diperoleh, lemah dalam pelaporan, dan diseminasi yang kurang sehingga data kurang dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait (Bastagli, Francesca dan Aline Coudouel, 2004).

Karena kendala-kendala tersebut di atas, hasil monitoring seringkali tidak dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, pembentukan dan penataan kelembagaan yang baik merupakan bagian terpenting untuk menjamin kelancaran arus informasi, yang selanjutnya sangat menentukan keberhasilan monitoring, diseminasi, dan pemanfaatan hasilnya. 1.4 Pendekatan Pengumpulan Data untuk Monitoring

Untuk mengukur input, proses, output, hasil (outcomes), dan dampak perkembangan proyek, program, atau strategi diperlukan indikator kinerja (performance indicators). Oleh karena itu, pengumpulan data yang dilakukan, baik pendekatan maupun metodenya, harus mengacu pada indikator-indikator yang akan diukur. Sistem M&E acapkali dilihat sebagai suatu pekerjaan statistik karena terkait dengan berbagai indikator pada umumnya kuantitatif yang digunakan untuk melihat pencapaian sasaran dan tujuan. Dalam praktik, pengumpulan data untuk monitoring dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan/atau kualitatif. Metode pengumpulan datanya pun bervariasi tergantung pada jenis pendekatan yang dipilih. Untuk pendekatan kuantitatif, pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan statistik yang tersedia baik dari hasil survei maupun sensus, pengumpulan data dengan metode survei terhadap sampel dari populasi yang diamati baik yang bersifat khusus/berkala maupun rutin. Monitoring yang didasarkan pada data kuantitatif pada umumnya lebih berorientasi pada hasil atau tingkat pencapaian (ukuran kinerja) dan kurang mempertimbangkan proses. Adapun monitoring yang didasarkan pada data kualitatif baik data dari pengamatan lapangan, wawancara mendalam, metode partisipatoris, diskusi kelompok terarah (focus group discussion FGD), maupun metode-metode kualitatif lainnya pada umumnya tidak semata-mata berorientasi pada hasil, tetapi juga proses. Selain itu, indikator kualitatif lebih mampu menggambarkan karakteristik yang sulit dideskripsikan dengan ukuran numerik. Untuk memperjelas uraian di atas, Tabel 1 berikut ini menyajikan contoh indikatorindikator yang diukur melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk setiap elemen sistem M&E.

21

Tabel 1 Contoh Indikator Kuantitatif dan Kualitatif dalam Monitoring dan Evaluasi Komponen M&E Input Keluaran Hasil Dampak Kuantitatif Pengeluaran untuk pendidikan dasar Jumlah guru SD Kualitatif Tingkat kecukupan kurikulum Kualitas kondisi mengajar di kelas

Tingkat partisipasi dan putus Tingkat kepuasan metode sekolah (drop-out) pengajaran Tingkat melek aksara (literacy rate) Tingkat perubahan persepsi pemberdayaan dan status kemiskinan

Sumber: Sumber: UN Development Group (2005).

Secara umum sistem monitoring diarahkan untuk menjawab efektivitas program, proyek, atau strategi. Oleh karena itu, di samping pengumpulan data/informasi untuk mendapatkan indikator input, output, dan hasil, sistem monitoring (dan evaluasi) perlu dilengkapi dengan cost benefit dan cost effectiveness analysis (IBRD/The World Bank, 2004). 2 Kerangka Kerja Konseptual Sistem Monitoring

Sistem monitoring (dan evaluasi) kebanyakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kerangka kerja logis (logical framework approachLFA) yang dijelaskan berikut ini. 2.1 Apa itu Kerangka Kerja Logis (Logical Framework ApproachLFA)

LFA merupakan suatu alat bantu (tool) yang bersifat analitis bagi para perencana atau manajer dalam: (i) (ii) (iii) (iv) (v) (vi) melakukan analisis situasional pada tahap penyiapan program, menetapkan suatu hirarki logis dari tujuan yang ingin dicapai, mengidentifikasi potensi risiko upaya pencapaian tujuan dan hasil yang berkelanjutan, menetapkan suatu cara agar keluaran dan hasil proyek dapat dimonitor dan dievaluasi dengan baik, menyajikan rangkuman proyek dalam format yang standar, dan memonitor dan mengkaji ulang pelaksanaan proyek (AusAid, 2003).

Dengan kata lain, LFA mencakup analisis masalah (problem analysis), analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis), pengembangan suatu hirarki logis dari objektif (objective analysis), identifikasi risiko yang mungkin terjadi, dan pemilihan strategi implementasi yang diunggulkan. Hasil pendekatan analitis ini berupa suatu matriks yang biasa disebut matriks kerangka kerja logis (logical framework matrix LFM). Matriks ini merupakan rangkuman apa saja yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya, asumsi-asumsi yang digunakan, dan bagaimana keluaran dan hasil dari kegiatan-kegiatan akan dimonitor dan dievaluasi (AusAid, 2003).

22

LFA pada umumnya terdiri dari empat elemen utama, yaitu: (i) (ii) (iii) (iv) masukan (inputs), keluaran (outputs), hasil (outcomes), dan dampak (impact).

Secara hirarki, keempat elemen dari kerangka kerja konseptual tersebut di atas digambarkan dalam Gambar 3. Masukan (input) berupa sumber daya, seperti sumber daya manusia, finansial, dan sarana-sarana fisik lainnya, merupakan prasyarat pelaksanaan kegiatan-kegiatan proyek. Kegiatan-kegiatan tersebut menghasilkan keluaran (output) berupa barang dan jasa. Untuk melihat kecukupan masukan dan volume hasil dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan diperlukan ukuran, yaitu indikator, yang pada kedua tahapan/fase ini menggunakan indikator antara (intermediate indicators). Dari rangkaian proses tersebut, selanjutnya diperoleh hasil (outcomes) dan dampak (impact) yang pada umumnya baru dapat dilihat setelah kurun waktu tertentu tergantung dari jenis proyek. Untuk mengukur dua element terakhir tersebut digunakan indikator akhir (final indicators). Untuk memperjelas hubungan keempat elemen tersebut di atas diberikan suatu contoh di bidang pendidikan. Masukan dalam hal ini dapat berupa sumber daya manusia, finansial, dan fisik yang tersedia. Elemen ini dapat diukur dengan indikator seperti nilai anggaran atau pengeluaran untuk pendidikan serta ketersediaan sarana prasarana terkait. Keluaran dari kegiatan yang didukung oleh masukan tersebut dapat dilihat dari banyaknya bangunan sekolah, buku pelajaran, dan perlengkapan sekolah lainnya. Adapun elemen hasil yang menggambarkan akses, pemanfaatan, dan tingkat kepuasan pelayanan pendidikan dapat dilihat dari indikator-indikator seperti tingkat partisipasi per jenjang pendidikan, tingkat putus sekolah, dan tingkat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Adapun dampak dari semua proses di atas dapat diukur dengan menggunakan indikator akhir pada tingkatan atau cakupan yang lebih luas, misalnya tingkat melek huruf.Dampak (Impact)Indikator akhir (final indicators) Dampak pada standar kehidupan

Hasil (Outcomes)

Siapakah penerima manfaat? (akses, pemanfaatan dan tingkat kepuasan) Produk (barang & jasa) yang dihasilkan oleh suatu projek

Keluaran (Output)Indikator antara (intermediate indicators)

Masukan (Input)

Sumber daya yang tersedia bagi aktivitas proyek

Gambar 3 Kerangka Kerja Konseptual Sistem Monitoring dan EvaluasiSumber: World Bank (2003).

23

2.2

Matriks Kerangka Kerja Logis (Logical Framework MatrixLFM) sebagai Produk LFA

Konsep LFA tersebut selanjutnya dituangkan dalam suatu matriks kerangka kerja logis (logical framework matrixLFM) secara terstruktur dan sistematis dalam pengisiannya seperti ditunjukkan Tabel 2. LFM memuat semua komponen LFA sehingga matriks tersebut juga dapat dikatakan sebagai rangkuman rancangan proyek. Dalam pengisian sel-sel matriks tersebut digunakan dua macam kerangka pikir logis, yaitu logika vertikal dan logika horisontal. Logika vertikal digunakan untuk mengidentifikasi proyek yang akan dijalankan, mengklarifikasi hubungan sebab akibat (if-then causality), serta menentukan asumsi-asumsi penting yang mendasari dan ketidakpastian/risiko yang mungkin terjadi di luar kontrol (necessary-sufficient condition). Adapun logika horisontal mendefinisikan bagaimana tujuan/objektif yang ditetapkan dalam deskripsi proyek dapat diukur dan bagaimana ukuran tersebut diverifikasi. Di samping itu, logika horisontal juga membantu menentukan komponen pokok dalam monitoring dan evaluasi, seperti menentukan indikator yang digunakan untuk mengukur perkembangan pencapaian tujuan dan means of verificationsMoV yang mendeskripsikan dengan jelas sumber data/informasi yang dibutuhkan, metode, siapa yang bertanggung jawab, dan waktu (frekuensi dan periode) pengumpulan datanya (AusAid, 2003). Tabel 2 berikut ini menunjukkan struktur LFM dan urutan pengisiannya dengan menggunakan kedua logika berpikir seperti dijelaskan sebelumnya. Pertama kali ditetapkan goal dari proyek yang akan dijalankan, kemudian diikuti penetapan tujuan, keluaran, dan jenis aktivitas/masukan dari proyek tersebut. Dalam menentukan aktivitas, keluaran, dan sasaran perlu dilengkapi dengan asumsi-asumsi penting yang mendasari penetapan ketiga hal tersebut secara berturut-turut. Seperti telah disebutkan sebelumnya, baik tujuan, sasaran, keluaran, maupun aktivitas/masukan harus disertai dengan indikator-indikator kinerja yang terukur sesuai dengan masing-masing tahapan atau elemen LFM, termasuk bagaimana indikator diukur (metode dan sumber data). Di samping itu, untuk memperjelas agenda aktivitas proyek perlu disusun rencana dan jadwal kerja sesuai dengan cakupan kegiatan. Tabel 2 Struktur Matriks Kerangka Kerja Logis (LFM) dan Urutan Pengisiannya Deskripsi Proyek 1. Goal 2. Purpose/objective 3. Output 4. Activities Means of Verification/MoV Indikator Kinerja (sumber data & metode) 8. Indikator 9. Means of Verification (MoV) 10. Indikator 11. Means of output Verification (MoV) 12. Indikator input 13. Means of Verification (MoV) Jadwal Rencana kerja Cakupan kegiatan Laporan kerja dan keuangan Asumsi

7. Asumsi 6. Asumsi 5. Asumsi

Sumber: Diadaptasi dari AusAid (2003)

24

Bilamana proyek yang dirancang berskala besar dan/atau memiliki cakupan yang luas, maka proyek dapat dibagi dalam beberapa komponen atau subproyek. Untuk setiap komponen/subproyek perlu ditetapkan objektif yang harus pula dilengkapi dengan elemen LFA lainnya seperti indikator, MoV, dan asumsi. Dalam matriks, objektif dari tiap-tiap komponen/subproyek ditempatkan di bawah objektif proyek tersebut (pada baris ketiga dari tabel). Selanjutnya, Tabel 3 menyajikan tipe aktivitas M&E dan tingkat informasi yang dikumpulkan untuk tiap-tiap elemen M&E dalam LFM. Tabel 3 LFM dan Aktivitas Monitoring dan Evaluasi (M&E) Hirarki logframe Goal Tipe aktivitas M&E Evaluasi ex-post Evaluasi pada saat proyek selesai (completion) dan sedang berjalan (ongoing) Monitoring dan tinjauan (review) Monitoring Tingkat informasi Hasil/dampak

Purpose

Hasil/efektivitas

Output Activities

Keluaran Masukan/Keluaran

Sumber: Diadaptasi dari AusAid (2003)

Untuk melengkapi gambaran jenis-jenis informasi yang dibutuhkan dalam monitoring, Tabel 4 menyajikan contoh kebutuhan informasi monitoring, khususnya monitoring kesejahteraan dan kemiskinan. Selain menampilkan jenis informasi dan sumber data, tabel tersebut juga menampilkan frekuensi atau periode pengumpulan data dan tingkat pemilahannya.

25

Tabel 4 Contoh Kebutuhan Informasi untuk Monitoring Kesejahteraan dan Kemiskinan Informasi yang diperlukan Frekuensi/ periode Sumber informasi yang mungkin diperoleh Data keuangan dan anggaran

Isu yang dibahas Monitoring Input

Pemilahan

Tahunan Statistik Tinjauan keuangan dan pengeluaran anggaran publik Apakah pengalokasian sumber daya sesuai dengan peruntukan/perencanaannya Monitoring Keluaran (Output) Program

Provinsi, kabupaten/kota

Tahunan Provinsi, Catatan Apakah aktivitas kabupaten/kota mengenai penanggulangan pelayanan kemiskinan diimplementasika yang tersedia, pembangunan n sesuai dengan fasilitas, dll perencanaan? Monitoring Penerima/Sasaran Program (Beneficiary) Apakah masyarakat miskin memiliki akses terhadap pelayanan/program yang lebih baik? Apakah mereka menggunakannya? Jarak ke fasilitas (rumah tangga atau komunitas) Tah unan Provinsi, kabupaten/kot a, kelompok sosial ekonomi

Catatan administratif

Survei ketersediaan layanan atau indikator kesejahteraan

Tingka t penggunaan / pemanfaata n (misalnya APK/APM) Tingkat kepuasan unan

Tah

Provinsi, kabupaten/kot a, kelompok sosial ekonomi

Survei ketersediaan layanan atau indikator kesejahteraan

Apakah pelayanan/program sesuai?

Tahunan

Provinsi, kabupaten/kot a, kelompok sosial ekonomi

Survei indikator kesejahteraan dan PPA

26

2.3

Kegunaan dan Penggunaan LFA dalam Monitoring dan Evaluasi

Seperti disebutkan sebelumnya, penyusunan dan pengembangan sistem M&E dengan menggunakan LFA dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (i) (ii) (iii) (iv) informasi yang dibutuhkan, alat bantu (tool) yang ada dan yang dibutuhkan, output yang dihasilkan dan siapa yang menghasilkannya, dan sumber daya apa saja yang dibutuhkan dalam implementasi program.

Oleh karena itu, pendekatan tersebut sangat membantu untuk mengidentifikasi data yang diperlukan, serta menetapkan program dan kerangka kerja institusional. Dengan menggunakan LFA, kebutuhan informasi dapat dikelompokkan menjadi empat kategori berdasarkan peruntukannya, yaitu (i) monitoring input, dilakukan untuk memonitor sumber daya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Data dapat diperoleh dari catatan keuangan, personil, dan material, monitoring program, dilakukan untuk memonitor jenis dan pelaksanaan program. Data dapat diperoleh dari catatan administratif dan data statistik terkait,

(ii)

(iii) monitoring penerima program (beneficiary), dilakukan untuk memonitor ketepatan sasaran, penggunaan, dan kesesuaian program dengan kebutuhan masyarakat miskin. Data diperoleh melalui survei atau pengumpulan data yang spesifik, (iv) evaluasi dampak, dilakukan untuk memonitor dampak program terhadap kondisi kesejahteraan atau tingkat kemiskinan. Seperti halnya monitoring penerima program, data untuk evaluasi dampak diperoleh melalui survei atau pengumpulan data yang spesifik. Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa LFA sebaiknya digunakan pada saat: (i) (ii) (iii) (iv) (v) pengidentifikasian dan penentuan aktivitas yang sesuai dengan cakupan program nasional, penyiapan rancangan program/proyek secara sistematis dan logis, penilaian rancangan program/proyek, implementasi program/proyek yang disetujui, dan pengkajian perkembangan dan kinerja program/proyek.

3 Penyusunan dan Pengembangan Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan Terdapat suatu pertanyaan terkait dengan konteks penanggulangan kemiskinan dan sistem monitoring sebagai pengantar pembahasan bagian ini, yaitu apakah strategi penanggulangan kemiskinan yang dijalankan efektif. Untuk menakar efektivitas suatu strategi penanggulangan kemiskinan diperlukan suatu sistem monitoring yang mampu: melihat perkembangan kemiskinan antarwaktu dan/atau antarwilayah, mengukur perubahan yang terjadi sebagai hasil pelaksanaan strategi program penanggulangan kemiskinan, dan (iii) memberikan gambaran secara menyeluruh berkaitan dengan tingkat relevansi, efektivitas, dan efisiensi dari strategi yang dijalankan. (i) (ii) Dengan demikian, sistem monitoring strategi penanggulangan kemiskinan semestinya dapat digunakan, antara lain untuk: (i) mendukung pengambilan keputusan/kebijakan penanggulangan kemiskinan, penentuan

27

prioritas anggaran, serta pemutakhiran dan pengembangan strategi penanggulangan kemiskinan, (ii) mendukung akuntabilitas pilihan-pilihan kebijakan yang diambil pemerintah serta dampaknya terhadap kemiskinan, dan (iii) mempromosikan dialog berdasarkan fakta (evidence-based dialogue) antara pemerintah, masyarakat sipil, serta donor atas kebijakan dan prioritas pembangunan (Bedi et al., 2006). Mengingat manfaat dan peran sistem M&E yang penting dalam suatu strategi, termasuk di antaranya strategi penanggulangan kemiskinan, maka penyusunan atau perencanaan sistem tersebut harus dipersiapkan dengan baik. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam penyusunan sistem M&E adalah: menentukan tujuan, mekanisme, dan informasi yang dibutuhkan untuk monitoring (dan evaluasi) kondisi kemiskinan, (ii) mengatur mekanisme koordinasi kelembagaan dan sistem pelaporan, (iii) menentukan metode pengumpulan data/informasi, (iv) menentukan pihak yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan data, jangka waktu dan frekuensi pengumpulan data, serta alokasi sumber daya, dan (v) menetapkan mekanisme sharing dan diseminasi data/informasi. (i) Salah satu hal penting dalam penyusunan sistem monitoring adalah penetapan indikator. Indikator sebagai tolok ukur kinerja dalam sistem monitoring perlu ditentukan pada tahap persiapan, demikian pula halnya dengan sumber datanya. Data yang digunakan dapat berasal dari data yang telah ada sebelumnya ataupun data yang dikumpulkan secara khusus sesuai dengan rancangan program yang akan dimonitor dan dievaluasi. Bila data akan dikumpulkan melalui survei, terdapat beberapa hal penting perlu diperhatikan, di antaranya, sampel dan teknik penarikan sampel (juga perlu mempertimbangkan tingkat pemilahan/agregasi yang diharapkan), metode dan instrumen, serta frekuensi dan waktu pengumpulan data. Di samping itu, perlu juga diperhatikan kaidah SMART dalam penentuan atau pembentukan indikator tiap-tiap elemen/komponen sistem monitoring dan evaluasi, yaitu specific, harus dapat mengukur perubahan kondisi sesuatu yang akan diukur secara spesifik, (ii) measurable, terukur, dapat diagregasikan, dan memungkinkan untuk dianalisis lebih lanjut, (iii) attainable, tidak sulit dalam pemerolehan/pengumpulan data/informasinya (terutama dari segi waktu dan sumber daya), (iv) relevant, terkait dengan informasi yang dibutuhkan, dan (v) timely, tepat waktu dalam pengumpulan data dan pelaporan hasilnya. (i) Dalam menyusun dan/atau mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi, terdapat beberapa hal yang harus dihindari, seperti tujuan dan sasaran yang tidak jelas (apa saja yang diinginkan dalam rangka mencapai tujuan secara keseluruhan dan apa saja yang ingin dilakukan), (ii) tolok ukur kinerja yang tidak jelas, tidak konsisten, dan sering berubah-ubah, (iii) indikator yang tidak benar/tepat sehingga menghasilkan ukuran yang tidak tepat pula, (iv) data terlalu sulit dikumpulkan, dan (v) kurang dilibatkannya para penerima manfaat dan pemangku kepentingan kunci. (i) Gambar 4 berikut ini merupakan contoh pengintegrasian sistem monitoring dan evaluasi, dalam hal ini MDGs dalam kaitannya dengan program pembangunan nasional yang salah satu di

28

antaranya memprioritaskan pengurangan kemiskinan. Perencanaan pembangunan, baik jangka panjang, menengah, maupun jangka pendek (tahunan) dilatari oleh MDGs dan konvensi internasional lainnya. Dalam agenda jangka menengah (20042005), pemerintah menetapkan pengurangan kemiskinan sebagai salah satu agenda yang diprioritaskan, yang harus diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan baik di pusat maupun daerah.

MDGs & konvensi Internasional lainnya

RPJP

RPJM

Renstra

Agenda Pembangunan Nasional 2004-2009 1. Mewujudkan Indonesia yg aman &damai 2. Mewujudkan Indonesia yg adil & demokratis 3. Mewujudkan Indonesia yang sejahtera: a. Menurunnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran terbuka b. Meningkatnya kualitas SDM c. Meningkatnya kualitas lingk. & pengelolaan SDA d. Meningkatkan kualitas & kuantitas infrastruktur

Program-program Sektoral Program-program Regional

RKP Penanggulangan Kemiskinan selalu menjadi prioritas utama

APBN APBD

IMPLEMENTASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Gambar 4 Pengintegrasian MDGs dalam Kerangka Program Pembangunan Nasional Di samping menyusun kerangka kerja program pembangunan nasional, yang menempatkan pengurangan kemiskinan sebagai salah satu agenda atau prioritas utama, disusun pula suatu pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) dalam pelaksanaannya seperti terlihat dalam Gambar 5. Dalam bagan tersebut terlihat bahwa Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) bertugas untuk melakukan pemantauan (monitoring) dan pelaporan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan. Untuk melaksanakan tugasnya, KPK membentuk kelompok kerja (pokja) yang beranggotakan Bappenas, kementerian/lembaga terkait, Kementerian Keuangan, BPS, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, lembaga penelitian, media massa, dan masyarakat. Adapun Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai koordinator pokja bidang perencanaan makro bertanggung jawab untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan (KPK, 2005).

29

Gambar 5 Pengaturan Kelembagaan dalam Sistem Monitoring dan EvaluasiSumber: KPK, 2005.

4 Contoh-contoh Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan Untuk memperjelas pemahaman mengenai sistem monitoring, berikut ini diberikan beberapa contoh sistem monitoring yang terkait dengan strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia, yaitu monitoring MDGs, penelusuran kemiskinan di Indonesia, dan Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat (SPKM). 4.1 Monitoring Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals MDGs)

Subbagian ini tidak akan membahas semua tujuan pembangunan milenium (Millenium Development GoalsMDGs) yang mencakup 8 butir, namun hanya membatasi pada goal pertama yang terkait langsung dengan kemiskinan dan kelaparan. Goal pertama MDGs mencakup dua target yang akan dipilih sebagai salah satu contoh sistem monitoring. Seperti diketahui, target pertama MDGs adalah menurunkan proporsi penduduk miskin menjadi setengahnya dalam tahun 19902015 dan target kedua adalah menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam tahun 19902015. Dari kedua target tersebut, ditentukan beberapa indikator seperti ditunjukkan oleh Tabel 5. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan, perlu dilakukan penghitungan indikator-indikator yang telah ditetapkan secara rutin. Dalam tabel berikut juga disajikan sumber data yang digunakan untuk menyusun indikator yang ditetapkan.

30

Tabel 5 Beberapa Target dan Indikator MDGs, Sumber Data, serta Tingkat Pemilahan Indikator Sumber Data Tingkat Pemilahan

Target 1: Menurunkan proporsi penduduk miskin menjadi setengahnya dalam tahun 19902015 Nasional, Provinsi, Proporsi penduduk di bawah garis Susenas (Kor, Modul kemiskinan konsumsi, Panel), Peta Kabupaten/Kota, Kemiskinan, Pendataan Kecamatan, Desa Sosial Ekonomi (PSE) Kesenjangan kemiskinan Kontribusi kuintil pertama penduduk (berpendapatan terendah) terhadap konsumsi nasional Susenas (Kor, Modul konsumsi, Panel) Susenas (Kor, Modul konsumsi, Panel) Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota

Target 2: Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam tahun 19902015 Prevalensi balita kurang gizi Survei Garam Yodium (SGY), Peta gizi, Surkesnas Surkesnas Modul Konsumsi Susenas, Panel Susenas Kabupaten/Kota, Kecamatan, kawasan, U/R Kawasan, Urban/Rural Nasional, Provinsi

Prevalensi balita gizi baik Proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimumSumber: Surbakti, 2007.

4.2

Penelusuran Kemiskinan di Indonesia

Penelusuran kondisi atau tingkat kemiskinan merupakan contoh lain dari sistem monitoring yang dilakukan di Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan penghitungan kemiskinan antarwaktu. Di samping itu, karena keberagaman wilayah di Indonesia, pengukuran kemiskinan tidak hanya dilakukan untuk tingkat nasional tetapi juga untuk tingkat provinsi. Seiring dengan pelaksanaan sistem desentralisasi dan otonomi daerah sejak 2001, karena tuntutan kebutuhan daerah, penghitungan kemiskinan juga dilakukan untuk tingkat kabupaten/kota. Untuk mengukur perubahan kemiskinan antarwaktu dan perbandingan tingkat kemiskinan antarwilayah, diperlukan suatu cara pengukuran tingkat kemiskinan yang dapat dibandingkan (comparable). Mengingat kemiskinan bersifat multidimensi, maka untuk mengukur tingkat kemiskinan diperlukan pemahaman mengenai konsep/definisi, ukuran, dan data kemiskinan. Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan indikator kemiskinan, yakni (i) (ii) (iii) Menentukan konsep kemiskinan yang akan digunakan. Memetakan sumber data, variabel-variabel, dan metode yang digunakan untuk menyusun indikator kemiskinan. Identifikasi indikator yang dapat digunakan untuk menentukan/mengukur kemiskinan.

31

(iv) (v)

Mengukur tingkatan indikator, apakah indikator individu atau rumah tangga, indikator agregat (berdasarkan kelompok karakteristik tertentu ataupun kewilayahan). Menyusun indeks komposit dari beberapa indikator dengan memperhatikan karakteristik indikator (positif/negatif) dan bobot untuk setiap indikator tunggal.

Gambar 6 berikut ini menyajikan konsep dan pengukuran kemiskinan.Definisi Kemiskinan Kemiskinan Konsumsi Kemiskinan Multidimensi

Ukuran Kemiskinan

Tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan

Dimensi apa saja? Bagaimana mengukur? Menggabungkan?

Data Kemiskinan

Data konsumsi rumah tangga

Data untuk setiap dimensi & pengukurannya

Gambar 6 Konsep/Definisi dan Pengukuran Kemiskinan Di Indonesia, pendekatan pengeluaran (konsumsi) digunakan untuk menelusuri tingkat kemiskinan antarwaktu. Kemiskinan berdasarkan konsumsi dihitung dengan menggunakan data Survei Sosial-ekonomi Nasional (Susenas) Modul Konsumsi. Untuk mengukur kemiskinan dengan metode ini, terlebih dahulu ditentukan garis kemiskinan (GK) yang mencakup GK makanan (GKm) dan GK nonmakanan (GKnm). GK dihitung berdasarkan pola konsumsi penduduk/populasi rujukan (reference population) yang dicatat secara rinci dalam data Susenas Modul Konsumsi. Selanjutnya, total konsumsi (makanan dan nonmakanan) seseorang dibandingkan dengan GK. Jika total konsumsinya kurang dari GK, maka dikatakan orang tersebut tergolong miskin. Tingkat kemiskinan dapat diukur baik untuk tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota tergantung keterwakilan sampel Susenas Modul Konsumsi. Gambar 7 berikut ini menunjukkan perkembangan kemiskinan konsumsi tingkat nasional antarwaktu.

32

Gambar 7 Perkembangan Kemiskinan Konsumsi Tingkat Nasional, 19762004Sumber: KPK, 2005

4.3

Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat (SPKM)

Seperti telah dikemukan sebelumnya, konsumsi bukanlah satu-satunya indkator kemiskinan. Didasari pemahaman bahwa kemiskinan bersifat multidimensi, maka kemiskinan dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator, seperti pendidikan, kesehatan, dan kepemilikan aset. Untuk mendapatkan indikator kemiskinan berdasarkan beberapa aspek, disusun suatu indeks komposit kemiskinan. Sebagai contoh, indeks komposit kemiskinan yang disusun dari variabelvariabel kondisi atau derajat kesehatan, ti