staimafa.files.wordpress.com€¦ · web viewmakalah disampaikan dalam forum diskusi rutin...
TRANSCRIPT
1
EKLEKTIK-SOSIOLOGIS
Sebuah Tawaran Model Istinbath Hukum untuk Fiqh Sosial1
Oleh: A. Dimyati, M.Ag2
Pendahuluan
Sejak berakhirnya era risalah, problem akurasi suatu metode istinbath
hukum islam menjadi salah satu topik paling menarik yang diperbincangkan di
kalangan intelektual muslim. Dapat dimaklumi mengapa demikian, karena
terputusnya otoritas ifta’ yang melekat pada diri seorang Muhammad SAW tidak
dapat diwarisi oleh para sahabat, tabi’in alih-alih ulama dan generasi setelahnya.
Akan tetapi, jika dilihat dari sisi positifnya, kondisi demikian justru menjadi titik
balik munculnya era intelektual kreatif di kalangan umat islam karena
bagaimanapun semakin beragamnya problematika sosial harus direspon secara
cepat supaya tidak menimbulkan kebingungan di tengah-tengah umat.
Dalam ranah hukum islam, kemunculan era kreatif ini ditandai dengan
lahirnya mazhab-mazhab geografis dan individual, sebagai permulaan
terbentuknya mazhab fiqh yang berkembang sampai saat ini. Mazhab-mazhab
inilah yang menjadi motor bagi dinamika perkembangan hokum islam, dimana
peran mufti dan hakam dalam menyebarkan putusan-putusan hukum beserta
penjelasan metodologisnya kemudian dikompilasi dan menjadi rujukan bagi
masyarakat luas. Namun di balik itu semua, sebenarnya terjadi perdebatan sengit
di antara mereka terkait dengan metode yang digunakan dalam menemukan suatu
keputusan hukum (istinbath).
Medan perdebatan yang paling seru berada di seputar otoritas teks versus
nalar. Bagi kelompok ahli hadis (tekstualist), otoritas teks tidak bisa ditundukkan
oleh kecerdasan nalar manusia. Mereka lebih mengutamakan validitas sumber
1 Makalah disampaikan dalam forum diskusi rutin Kamisan Fiqh Sosial Institute STAIMAFA Pati, Kamis, 4 April 2013
2 Dosen Program Studi Perbankan Syari’ah STAI Mathali’ul Falah, Pati.
2
hukum yang dalam pandangan mereka hanya bisa dijamin oleh teks yang orisinil
(al-qur’an dan al-Hadis). Posisi nalar hanya diperlukan sebagai penunjang bagi
teks ini. Pendapat demikian berseberangan dengan ahli ra’yu (rasionalist), dimana
mereka menempatkan nalar sejajar dengan (bahkan terkadang melampaui) otoritas
teks. Ketiadaan nash yang shahih dalam menghukumi suatu kasus dapat menjadi
faktor tunggal yang mengharuskan seorang jurist harus berani berijtihad dengan
kekuatan nalar yang sahih. Bertitik dari medan perdebatan tersebutlah lahir ilmu
ushul fiqh yang diyakini sebagai metode merumuskan hukum dalam Islam.
Sebagai sebuah metode, ushul fiqh mestinya dapat berlaku secara lentur dan
terbuka terhadap perubahan-perubahan sosial. Seperti itulah juga semestinya
watak “fiqh sosial” sebagai sebuah konsep baru bagi upaya kontekstualisasi
hukum Islam. Tulisan singkat ini akan memberikan sebuah model istinbath
hukum “eklektik-sosiologis yang dapat dikembangkan dalam fiqh sosial.
Kontribusi Penting Imam asy-Syafi’i
Menurut catatan para islamist, Imam asy-Syafii (150-204 H) adalah tokoh
yang paling berjasa dalam merumuskan metode istinbath hukum islam secara
sistematik melalui master piecenya, ar-Risalah. Dalam pandangan Louay Safi,
tujuan asy-Syafii menulis ar-Risalah adalah untuk mencegah semakin
merebaknya pembacaan arbitrer terhadap teks wahyu serta memperluas
penerapannya terhadap kasus-kasus baru yang tidak secara eksplisit dipaparkan
dalam sebuah nash. Asy-Syafii mengidentifikasi dua sumber pengetahuan utama
yang berkembang dalam peradaban islam; pertama, pegetahuan yang terdapat
dalam teks wahyu (nash), kedua, pengetahuan yang dihasilkan melalui metode
deduktif (istinbathi). Berdasarkan klasifikasi yang demikian, dalam ar-Risalahnya
asy-Syafii membagi prosedur ilmiah dalam dua bab, yaitu bayan (klarifikasi) dan
qiyas (analogi).
Dalam pandangan penulis, kedua prosedur tersebut bukan merupakan
pembedaan dalam menemukan suatu putusan hukum terhadap kasus yang dapat
3
diterapkan secara terpisah, akan tetapi lebih merupakan tahapan logis yang mesti
ditempuh manakala suatu kasus hukum tidak dapat diselesaikan secara sederhana
melalui prosedur yang pertama. Selain itu pembagian di atas juga
mengindikasikan bahwa asy-Syafi’i masih meneguhi paradigma tekstual dalam
mendefinisikan peradaban (intelektual) islam. Menurut paradigma tekstual,
keberadaan teks liturgis menempati posisi pertama dalam membentuk peradaban
secara keseluruhan, tak terkecuali dalam masalah hukum.
Mengikuti logika stratifikasi norma hukum, teks liturgis disejajarkan dengan
norma dasar (al-qiyam al-asasiyah, grand norm) yang menjadi pijakan utama bagi
perumusan norma-norma di bawahnya. Selajutnya teks liturgis inilah yang harus
dianalisis dengan menggunakan seperangkat teknik analisis (qowaid dan
dhowabith) agar menghasilkan norma praksis dalam bentuk putusan hukum (al-
ahkamath-tathbiqiyyah) atas kasus-kasus tertentu.
Nampaknya asy-Syafi’i menaruh perhatian utama terhadap bagaimana
menyiapkan seperangkat teknik analisis teks liturgis secara logis.Bagi asy-Syafi’i
teks-teks liturgis terutama al-Quran tidaklah seragam. Sebagian dapat dipahami
secara tekstual tanpa memerlukan keberadaan qarinah (petanda) eksternal, tetapi
ada juga sebagian teks yang ambigu dan memerlukan petanda eksternal agar
Al-qiyam al-asasiyah Teks liturgis
Al-qawaid, ad-dhawabith
Al-ahkam at-tathbiqiyah Al-ahkam at-tathbiqiyah
Al-qiyam wasathiyah
4
mendapatkan pemahaman yang jelas terhadapnya. Petanda-petanda eksternal ini
menurut asy-Syafi’i dapat diperoleh dari kajian intensif terhadap as-sunnah
(karena memang memiliki fungsi lit-tafsir, lil-bayan terhadap al-Quran) dan
melihat aturan-aturan bahasa Arab.
Meskipun tidak membuat tipologi eksplisit, asy-Syafi’i mengklasifikasi
tingkat kejelasan teks menjadi tiga, yaitu: bayyin atau mubayyan yaitu teks yang
jelas, zahir atau statement yang jelas dengan dirinya sendiri dan tidak
membutuhkan petanda eksternal akan tetapi masih memiliki ambiguitas tertentu
sehingga membuka peluang lebih dari satu interpretasi, serta mujmal yaitu teks
yang membutuhkan petanda eksternal untuk memahami kejelasannya.
Klasifikasi tingkat kejelasan teks menurut asy-Syafi’i di atas selanjutnya
dikembangkan oleh para pengikutnya yang tergabung dalam mazhab
mutakallimun. Dalam klasifikasi mereka, teks dibedakan berdasarkan tingkat
kejelasannya ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok mutasyabih dan kelompok
muhkam. Kelompok teks yang terakhir dibedakan lagi menjadi tiga macam, yaitu:
mujmal, zahir dan mubayyan. Teks-teks zahir mencakup musykil dan khafi,
sedangkan mubayyan terdiri atas mufassar dan nass.
Klasifikasi serupa tetapi lebih rinci dikemukakan oleh asy-Syarakhsyi dari
kalangan Hanafiyah (fuqaha) yang membedakan tingkat kejelasan teks ke dalam
delapan tingkat.Empat dari delapan tingkat tersebut dikelompokkan ke dalam teks
yang memiliki penunjukan jelas(wahid ad-dilalah), yaitu zahir, nass, mufassar
dan muhkam.Sementara keempat sisanya dimasukkan ke dalam kelompok teks
yang memiliki penunjukan yang ambigu (gairu wadih ad-dilalah), mencakup
khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
5
FUQAHA’ (Hanafiyah) MUTAKALLIMUN (Syafi’iyah)Klasifikasi Definisi Klasifikasi Definisi
Ibarah (ekspresif)
Makna yang diperoleh dari manthuq dan dimaksudkan
oleh tanda makna literal
Mantuq
Manthuq sharih
(diungkapkan secar
eksplisit)
Makna yg diperoleh dg mudah
Isyarah (indikatif)
Makna yang diinferensikan dari ungkapan
sekalipun tidak
diungkapkan/ dimaksudkan
dengan eksplisit
Mantuq ghairu sharih
Dalalah isyarah
Makna yg diinferensikan dr
teks sekalipun tidak dinyatakan scr
eksplisit
Nass (tekstual)
Makna yang diperoleh dari
kontekstur tapi tidak dari ungkapan teks
Dilalah Ima’
Mengaitkan antara yg terdapat dalam
ungkapan dg illatnya
Iqtidha (implisit)
Makna yg diperoleh dr
teks, tp hanya setelah
memasukkan terma2 yg meskipun
diasumsikan oleh tanda, namun ia diabaikan (leftout)
Dalalah Iqtidha
’
Makna yg diperoleh dr teks tapi setelah
mengembalikan terma2 yg
diabaikan, meskipun terma2 itu
keberadaannya diandaikan
Mafhum (makna yg
ditunjukkan melalui
kontekstur)
Mafhum muwafaqah
Makna yg implicit teks ketika adanya
ketegasan makna yg diungkapkan
Mafhum mukhalafah
Makna implicit teks ketika tdk ada
makna yg diungkapkan
6
BAYAN (KEJELASAN) DALALAH NASS
1. Mazhab Fuqaha (Hanafiyah)
Tipe Referensi (Dalalah)
Hub. antara Makna dan
Nass
Makna yg diperoleh dari Nass
Makna yg diperoleh dr
konteks
Makna yg dimaksudkan
oleh tanda
IbarahDenotasi
adequasiYa Tidak Ya
Isyarah Inheren Ya Tidak Tidak
Nass Inheren Tidak Ya Ya
Iqtidha Inheren Tidak Ya Ya
2. Mazhab Mutakallimun (Syafi’iyah)
Tipe Referensi (Dalalah)
Hub. antara Makna dan
Nass
Makna yg diperoleh dari Nass
Makna yg diperoleh dr
konteks
Makna yg dimaksudkan
oleh tanda
Mantuq sharih Denotasi adequasi Ya Tidak Ya
Iqtidha Inheren Ya Tidak YaIma’ Inheren Ya Tidak Ya
Isyarah Inheren Ya Tidak YaMafhum
muwafaqah Inheren Tidak Ya Ya
Mafhum mukhalafah Inheren Tidak Ya Tidak
Dalam konteks model istinbathhukumislam, perhatian asy-Syafi’i maupun
generasi setelahnya dari kalangan fuqaha maupun mutakallimun secara berlebihan
terhadap otoritas teks, seakan menunjukkan bahwa aspek sosiologis dari
berlakunya suatu putusan hukum islam kurang begitu diperhitungkan. Faktanya
perdebatan hukum yang terekam dalam karya-karya fiqh hanya berhenti pada
mengadu ketajaman analisis teks yang menjadi rujukannya.Kalaupun ada
ketersinggungan aspek sosiologis lebih banyak berupa analogi wacana dan tidak
empiris. Pertanyaannya, bagaimana jika kerangka metodologis para fuqaha dan
mutakallimun ini akan dipakai untuk merumuskan episteme Fiqh Sosial?
7
Penting dicatat bahwa asy-Syaf’ii secara ketat membatasi metode
kontekstualisasi nash melalui metode qiyas (analogi), sementara dalam pandangan
asy-Syafi’i qiyas hanya bisa dilakukan jika masalikul illahnya ditunjukkan secara
eksplisit oleh teks itu sendiri. Artinya bahwa analogi yang dikemukakan asy-
Syafi’i lagi-lagi kembali pada kondisi kejelasan teks sebagaimana dijelaskan di
atas.
Oleh karena itu, penulis mengajukan suatu tawaran untuk menggunakan
hierarki atau stratifikasi normahukum di atas dengan menempatkan metode
istinbath hukum asy-Syafi’i pada norma tengah dan menjadi teknik untuk
mengurai kondisi internal teks. Setelah itu, pada sisi kanan pada norma tengah ini
diperlukan kontekstualisasi sosiologis suatu kasus hukum dengan memasukkan
metode sosiologi hukum sehingga menghasilkan suatu putusan hukum yang
kontekstual. Hal ini dapat dilihat dalam dua contoh dalam merumuskan fatwa
hukum di bawah ini:
Contoh 1: perumusan fatwa tentang penyitaan jaminan di perbankan syari’ah
Langkah I: Formulasi Masalah
Penyitaan jaminan:
1. Kasus penyitaan jaminan terjadi pada nasabah pembiayaan
2. Penyitaan jaminan dilakukan jika ada pelanggaran nasabah berupa
penundaan pembayaran hutang (pembiayaan)
3. Penundaan pembayaran hutang dapat dibedakan menjadi dua: a) karena
uzur syar’i, b) karena kesengajaan/kelalaian nasabah
Langkah II: Formulasi Fatwa
1. analisis adillah
Ayat:
األموال من لتأكلوافريقا الحكام الى بها لوا وتد بالباطل بينكم أموالكم كلوا تأ ال و
: البقرة ( تعلمون أنتم و باالٍثم )188الناس
8
Hadis:
والمسلمون - حراما أحل او حالال حرم صلحا إال المسلمين بين ئز جا الصلح
حراما أحل او حالال حرم شرطا إال شروطهم علىظلم - الغني مطلضرار - وال ضرر الوعقبته - عرضه يحل الواجد لي
Kaidah-kaidah:
يزال الضرر2. Analisis aqwal
a. Musthafa Anas Zarqa: berpendapat bahwa ‘orang berhutang yang
menunda-nunda pembayaran karena kelalaian dapat dikenai sanksi’.
Dasar hukumnya:
بالعقود ..........(- أوفوا أمنوا الذين )1يأيها
الؤمنون ( :- راعون وعهدهم ألمنتهم هم )8والذين
تحكموا - أن الناس بين حكمتم وإذا أهلها إلى األمنت تؤدا أن يأمركم إنالله
)58بالعدل......(
تعلمون - كنتم إن خيرلكم قوا تصد وأن ميسرة الى فنظرة عسرة ذو كان وإن
)280(
Menurut jumhurfuqaha’ , kata al-mal juga mencakup manfaatnya. Dengan
demikian apabila menghalangi orang lain untuk memanfaatkan hartanya
tanpa hak dan tidak ada alasan syar’i, termasuk memakan harta orang lain
dengan cara batil.
- Zarqa menganalogikan orang yang memanfaatkan uang pinjaman
(pembiayaan) tetapi tidak segera membayarnya setelah jatuh tempo, tetapi
tidak segera dikembalikan, seperti hukum gasb ( (الغصب, alasannya:
Pertama, perbuatan menunda pembayaran (bagi orang yang mampu)
termasuk kezoliman seperti dalam nas di atas.
Kedua, penundaan hutang pada dasarnya merupakan tanggungan
sebagaimana dalam gasb.
Sanksi berupa kewajiban membayar ganti rugi (genus)
Menghalangi pemilik dlm memanfaatkan hartanya (genus ilah)
Menggunakan barang orang lain tanpa ijin selama waktu tertentu
Mengganti lamanya waktu gasb dg membayar ujrah pada pemilik barang
Kasus 1 (gasb): al-asl
Menunda2 pembayaran dg sengaja
Kasus 2: al-far’
Menanggung manfaat (keuntungan) dari hutang selama masa ghasb.
9
Analogi ini berarti memberi hukuman bagi orang yang menunda
pembayaran karena kelalaian boleh, karena keduanya sama-sama
merugikan orang lain.
- Syarat-syarat penerapan sanksi (penyitaan jaminan):
1. Nasabah tidak mempunyai uzur syar’i
2. Harus ada perhitungan hutang dengan nilai jaminan
3. Penyitaan dilakukan jika minimal sudah 3x angsuran
4. Tidak ada penambahan dari pokok hutang
5. Jika dalam perbankan menetapkan syarat denda bagi nasabah mampu
yang menunda pembayaran, tidak boleh melebihi 10%
6. Dana yang diperoleh dari denda dialokasikan untuk dana sosial (tidak
boleh untuk modal bisnis)
Konklusi hukum:
10
- Penyitaan jaminan boleh dilakukan hanya terhadap nasabah yang mampu dan sengaja menunda-nunda pembayaran; tidak ada uzur syar’i dan tidak disertai tambahan bunga
Contoh 2: perumusan fatwa bai’ istishna
Definisi: akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan criteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustasni) dan penjual (pembuat, sani).
Dasar hukum:
1. Hadisوالمسلمون - حراما أحل او حالال حرم صلحا إال المسلمين بين ئز جا الصلح
عوف ( ) بن عمر عن حراما أحل او حالال حرم شرطا إال شروطهم علىالخذري ( )- سعيد أبي و وغيرهما قطنى والدار ماجه ابن رواه ضرار وال ضرر ال
2. Kaidah fiqh
تحريمها علي دليل يدل أن إال اإلباحة مالت المعا في األصل
Keputusan fatwa:
Pertama: keuntungan tentang pembayaran
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang
Kedua: ketentuan tentang barang
1. Harus jelas ciri-cirinya dan harus dapat diakui sebagai utang2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya3. Penyerahan dilakukan kemudian4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan5. Pembeli (mustasni) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya6. Tidak boleh enukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan7. Dalam hal terjadi cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan akad
11
Ketiga: ketentuan lain
1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’
3. Jika satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Analisis
Istishna’ di perbankan syari’ah:
Definisi: transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan;
Istishna’ paralel adalah istishna’ yang barangnya hendak dijual lagi oleh bank kepada nasabah lain berdasar syarat-syarat yang disepakati bersama oleh bank, nasabah pertama selaku produsen dan penjual pertama dan nasabah terakhir selaku pembeli.
Mekanisme:
1. Bank bertindak baik sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi istishna’ dengan nasabah
2. Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang nasabah kepada bank atau dalam bentuk piutang bank
12
Alur Transaksi Istishna’ di Perbankan Syari’ah
Catatan:
-biasanya dalam kontrak istishna yang diajukan perbankan terdapat klausul sebagai berikut:
“Biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan pembuatan perjanjian ini, seperti biaya notaris, meterai dan lain-lain sejenisnya terlah disepakati oleh kedua belah pihak sepenuhnya menjadi beban pihak kedua atau nasabah”.
Analisis Bayani:
على والمسلمون حراما أحل او حالال حرم صلحا إال المسلمين بين ئز جا الصلح
عوف ( ) بن عمر عن حراما أحل او حالال حرم شرطا إال شروطهم
- Dalam hadis ini tidak ada “qarinah” yang berkaitan dengan transaksi
istishna’ sama sekali
- Redaksi hadis ini bersifat umum, menjelaskan tentang kebolehan membuat
kesepakatan transaksi antar umat islam selama tidak bertentangan dengan
syari’ah
13
الخذري ( ) سعيد أبي و وغيرهما قطنى والدار ماجه ابن رواه ضرار وال ضرر ال
- Redaksi hadis ini juga tidak berkaitan secara langsung dengan istishna’
Catatan:
- Jika istishna’ dianalogikan sebagai salah satu jenis transaksi jual beli
(bai’), mestinya mengutip ayat dan hadis jual-beli, kemudian dijelaskan
kesamaan ciri-ciri antara keduanya.
الفور يقضى ال العقد في األصل
Analisis ta’lil:
Kutipan pendapat ulama:
1. Dilarang/Haram
Argumen: istishna’ adalah akad yang tidak benar alias batil dalam syariat
islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar
salah seorang tokoh mazhab Hambali. Ulama mazhab Hambali melarang akad
ini berdalilkan dengan hadis Hakim bin Hizam Radiallahu‘Anhu:
“Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (Riwayat
Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmizi, Ibnu Majah, as-Syafi’i, Ibnu
Jarud, ad-Daru Qutni, al-Baihaqi, 8/519 dan Ibnu Hazem)
Pada akad istishna’, pihak kedua (produsen telah menjual barang yang
belum ia miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkanpersyaratan
akad salam. Dengan demikian, akad ini tercakup oleh larangan dalam hadits
di atas. (AlFuru’ oleh Ibnu Muflih 14/18 &Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu
Nujaim 6/185).
Sebagaimana mereka juga beralasan: hakikat istishna’ ialah menyewa jasa
produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati.
(Fathul Qadir oleh Ibnu Humam 7/114)
14
2. Boleh/ Halal, Jenis dan Akad Salam
Argumen: istishna’ adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian
akad ini bolehdijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad
salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan
alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi’i.
Ulama yang berfatwa dengan pendapat ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang
berkaitan dengan akad salam.
- Bila pihak I (pemesan) tidak mendatangkan bahan baku, maka
berbagai persyaratan salam harus dipenuhi
Salam
Nash: hadis ttg salam/salaf (asl)
Istishna’
- Membeli (pesan) barang kpd pembuat dg spesifikasi tertentu
- Pembayaran di muka- Barang dibuatkan olh
shani’ (dianggap blm ada)- Ada khiyar
HalalHaram
Nas:Janganlah kau menjual barang yg tidak ada di tanganmu
- Membeli (pesan) barang kpd pembuat dg spesifikasi tertentu
- Pembayaran di muka- Barang dibelikan oleh al
muslam ‘alaih dari pasar (sudah ada)
- Ada khiyar
Masalikul illah
Tidak ada nash: far’
15
- Bila pihak I (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka yang terjadi
adalah jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai persyaratan pada
akad sewa jasa harus dipenuhi, di antaranya yang berkaitan dengan tempo
pengerjaan, dan jumlah upah.
3. Boleh/ Halal, sebagai Akad yang Mandiri
Argumen: istishna’ adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat
kebanyakan ulama penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama ahli fiqh
zaman sekarang (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138, Fathul Qadir oleh Ibnu
Humam 7/114, dan Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al
AuraaqAl Maaliyah Baina As Sayari’ah Al Islamiyyah wa An Nuzum Al
Wad’iyyah oleh Dr. Khursyid Asyraf Iqbal 448)
Istishlahi:
Istishna’ memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi bank: Sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dalam rangka
menyediakan barang yang diperlukan oleh nasabah
2. Bagi nasabah : Memperoleh barang yang dibutuhkan (nasabah) sesuai
spesifikasi tertentu.
3. Bagi produsen atau rekanan: mendapatkan order dengan harga yang
kompetitif.
Contoh-contoh di atas menjelaskan mekanisme istinbath hukum secara
kontekstual dalam kasus mu’amalah kontemporer. Dengan melibatkan tiga level analisis
(bayani, ta’lili dan istislahi), putusan hukum dapat diperoleh secara menyeluruh dan tidak
hanya menekankan pada salah satu aspek saja. Dengan demikian, keabsahan putusan
hukum dapat dipertanggungjawabkan dari aspek nushus, rasionalitas maupun
Transaksi:Pemesan tdk mendatangkan bahan baku –mengikuti ketentuan salam: halal
Transaksi:Pemesan mendatangkan bahan baku –megikuti akad sewa jasa (ijarah): halal
16
maslahahnya. Model seperti ini sejalan dengan cita-cita besar fiqh sosial yang bertujuan
membumikan fiqh sebagai jawaban hukum atas problem sosial yang semakin kompleks.
Penutup
Sebagai upaya kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam di bidang hukum, fiqh
sosial meretas kekakuan fiqh yang selama ini banyak digugat oleh sebagian
masyarakat. Dikatakan kontekstualisasi karena fiqh sosial tidak terkungkung
dalam keterbatasan otoritas teks, tetapi juga mempertimbangkan rasionalitas
hukum serta aspek kemaslahatan yang ditimbulkan. Karakter fiqh sosial yang
demikian mengharuskan adanya model istinbath hukum yang mampu memenuhi
unsur-unsur tersebut (teks, rasionalitas, manfaat/ maslahah). Oleh karena itu,
model istinbath hukum eklektik-sosiologis yang membagi istinbath pada tiga level
(norma atas, tengah dan hukum praksis) layak untuk dikembangkan. Model ini
menjadikan produk hukum yang dihasilkan memiliki validitas metode maupun
kontekstual dengan berbagai perubahan yang ada pada masalah-masalah furu’
‘ashriyyah.