paksalam.files.wordpress.com  · web viewmakalah yang sederhana ini mencoba membahas hal tersebut...

29
1 Problematika Arah Kiblat Dalam Tinjaun Fiqh 1 oleh : Dr. Sopa AR, MA 2 A.Pendahuluan Menghadap kiblat itu termasuk salah satu syarat sahnya salat 3 . Apabila tidak menghadap kiblat, salatnya tidak sah. Beberapa waktu yang lalu umat Islam digemparkan isu bergesernya arah masjid-masjid di Negara kita akibat sering terkena gempa bumi. Kemudian isu tersebut diperparah dengan adanya tawaran dari pihak tertentu yang menawarkan alat ke masjid-masjid untuk dibeli. Pihak tersebut mengklaim bahwa pengukuran arah kiblat masjid-masjid yang dilakukan selama ini tidak akurat. Yang akurat hanyalah pengukuran yang menggunakan alat tersebut. Akibatnya, umat Islam menjadi resah karena khawatir salatnya tidak sah akibat arah kiblatnya menjadi tidak akurat. Kemudian umat bertanya kepada MUI. MUI harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia tidak boleh membiarkan umat 1 Disampaikan dalam Semiloka Nasional “PROBLEMATIKA ARAH KIBLAT & WAKTU SHOLAT, URGENSI & SOSIALISASI” di Pesantren Tebuireng Jombang tanggal 12-14 Juli 2010 2 Penluis adalah anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, dosen FAI-UMJ dan Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon 3 Lihat Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 104-111; Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al- Fikr, tth), Jilid 1, h. 80; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), Jilid 1, h. 758

Upload: trantu

Post on 30-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Problematika Arah Kiblat Dalam Tinjaun Fiqh1

oleh : Dr. Sopa AR, MA2

A. Pendahuluan

Menghadap kiblat itu termasuk salah satu syarat sahnya salat3. Apabila tidak

menghadap kiblat, salatnya tidak sah. Beberapa waktu yang lalu umat Islam digemparkan isu

bergesernya arah masjid-masjid di Negara kita akibat sering terkena gempa bumi. Kemudian

isu tersebut diperparah dengan adanya tawaran dari pihak tertentu yang menawarkan alat ke

masjid-masjid untuk dibeli. Pihak tersebut mengklaim bahwa pengukuran arah kiblat masjid-

masjid yang dilakukan selama ini tidak akurat. Yang akurat hanyalah pengukuran yang

menggunakan alat tersebut. Akibatnya, umat Islam menjadi resah karena khawatir salatnya

tidak sah akibat arah kiblatnya menjadi tidak akurat.

Kemudian umat bertanya kepada MUI. MUI harus menjawab pertanyaan-pertanyaan

tersebut. Ia tidak boleh membiarkan umat dalam keadaan tidak tahu terus-menerus atau

dalam kebingungan karena hal itu akan membahayakan umat sebagai fihak mustafti baik

secara i’tiqadi maupun syar’i4. Meskipun demikian, mufti harus hati-hati dan bijak dalam

memberikan jawabannya. Ia tidak boleh tergesa-gesa memberikan jawaban sebelum

mengetahui hakekat persoalan yang ditanyakan umat. Di samping itu, ia juga harus

melakukan kajian yang mendalam menggunakan dalil-dalil syara’ mengerahkan segenap

kemampuan intelektualnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut (ijtihad).

Apabila tidak menggunakan dalil-dalil syara’ maka itu termasuk tahakkum yaitu “membuat-

1 Disampaikan dalam Semiloka Nasional “PROBLEMATIKA ARAH KIBLAT & WAKTU SHOLAT, URGENSI & SOSIALISASI” di Pesantren Tebuireng Jombang tanggal 12-14 Juli 2010

2 Penluis adalah anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, dosen FAI-UMJ dan Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon

3 Lihat Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 104-111; Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid 1, h. 80; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), Jilid 1, h. 758

4 Lihat “Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia” dalam bagian muqaddimah paragrfaf ke-4

2

buat hukum”5i yang harus dijauhi oleh seorang mufti sebagaimana telah diperingatkan oleh

Allah dalam surat An-Nahl [16] : 116.

Itulah yang melatarbelakangi MUI menyampaikan fatwa tentang kiblat. Fatwa

tersebut diharapkan dapat menghilangkan keresahan umat Islam berkaitan dengan kiblat.

Ternyata, fatwa tersebut belum berhasil menghilangkan keresahan karena salah satu butir

fatwanya yaitu butir ketiga menimbulkan masalah baru. Untuk mengatasi hal tersebut MUI

kemudian melakukan reveiuw terhadap fatwa yang telah dikeluarkannya. Makalah yang

sederhana ini mencoba membahas hal tersebut sehingga jelas duduk permasalahannya.

B. Perintah Menghadap Kiblat

Oleh karena menghadap kiblat itu berkaitan dengan ritual ibadah yakni salat, maka ia

baru boleh dilakukan setelah ada dalil yang menunjukkan bahwa menghadap kiblat itu wajib.

Hal  ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: “al-ashl fî al-‘ibâdah al-buthlân hattâ yaqûma al-

dalîl ‘alâ al-amr6, “hukum pokok dalam lapangan ibadah itu adalah bathal sampai ada dalil

yang memerintahkannya”. Ini berarti bahwa dalam lapangan ibadah, pada hakekatnya segala

perbuatan harus menunggu adanya perintah yang datangnya dari Allah dan rasul-Nya baik

melalui al-Qur’an maupun  hadis Nabi saw.  

Ada beberapa nash yang memerintahkan kita untuk  menghadap kiblat dalam salat

baik nash al-Qur’an maupun Hadis. Adapun nash-nash al-Qur’an adalah sebagai berikut :

1. Al-Baqarah [2] : 144 :

وحيث الحرام المسجد شطر وجهك فول ترضاها قبلة فلنولينك السماء في وجهك تقلب نرى قد

بغافل الله وما ربهم من الحق أنه ليعلمون الكتاب أوتوا الذين وإن شطره وجوهكم فولوا كنتم ما

يعملون عما

5 Lihat Ibrahim Hosen, Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : MUI, 2000), h. 2-36 Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1976)

cet. Ke-1, h. 43

3

Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh

Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah

Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan

sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil)

memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya;

dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.

2. Al-Baqarah [2] : 149 dan 150.

عما بغافل الله وما ربك من للحق وإنه الحرام المسجد شطر وجهك فول خرجت حيث ومن

وجوهكم فولوا كنتم ما وحيث الحرام المسجد شطر وجهك فول خرجت حيث ومن تعملون

نعمتي وألتم واخشوني تخشوهم فال منهم ظلموا الذين إال حجة عليكم للناس يكون لئال شطره

تهتدون ولعلكم عليكم

Artinya : “Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil

Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah

sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.Dan dari mana saja kamu keluar, maka

palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada,

maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu,

kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu, takut kepada

mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan ni`mat-Ku atasmu, dan supaya

kamu mendapat petunjuk”.

            Dalam ayat-ayat tersebut Allah mengulang الحرام المسجد شطر وجهك dalam فول

firman-Nya sampai tiga kali. Menurut Ibn Abbas, pengulangan tersebut berfungsi sebagai

penegasan pentingnya menghadap kilbat (ta’kîd). Sementara itu, menurut Fakhruddin ar-

Razi, pengulangan tersebut menujukkan fungsi yang berbeda-beda. Pada  ayat yang pertama

(al-Baqarah : 144) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang dapat melihat

ka’bah, sedangkan pada ayat yang kedua (al-Baqarah : 149) ungkapan tersebut ditujukan

4

kepada orang-orang yang berada di luar masjidil Haram. Sementara itu, pada ayat yang ketiga

(al-Baqarah : 150) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang berada di negeri-

negeri yang jauh7. Berdasarkan kedua pendapat tersebut jelaslah bahwa perintah menghadap

kiblat itu tidak hanya ditujukan pada mereka yang berada di Makkah dan sekitarnya, tetapi

juga bagi semua umat Islam di manapun mereka berada.

Adapun hadis-hadis Nabi saw. yang secara tegas menyebutkan kewajiban menghadap

kiblat pada saat salat adalah :

1. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim :

   : . . : . . استقبل ثم الوضوء فاسبغ الصالة الى قمت اذا م ص النبى قال قال ع ر هريرة ابى عن

وكبر القبلة

  Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a.  Nabi saw bersabda: bila  hendak salat maka

sempurnakanlah wudu, lalu menghadaplah ke kiblat kemudian bertakbirlah”8.

2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

نحو :  عن    يصلى كان م ص الله ل رسو ان قال رع مالك بن نس قد :  ا فنزلت المقدس بيت

. رجل فمر الحرام المسجد شطر وجهك فول ترضاها قبلة فلنولينك السماء في وجهك تقلب نرى

ان اال فنادى ، ركعة صلوا وقد الفجر صالة فى ركوع وهم سلمة بنى فمالوا من حولت قد القبلة

القبلة نحو هم 9كما

Artinya : “  Dari Anas bin Malik r.a bahwa Rasulullah SAW (pada suatu hari) sedang salat

menghadap ke Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat “ Sungguh kami melihat mukamu

menengadah ke langit (sering melihat ke langit berdo’a agar turun wahyu yang

memerintahkan berpaling ke Baitullah). Sungguh kami palingkan mukamu ke kiblat yang

kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”. Kemudian ada orang dari Bani

7Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), Jilid I, h. 243 8 Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim ibn al-Mughirah bin Bardazbah al-Bukhary,

Shahih al-Bukhari, Jilid 1, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), h. 1109Imam Abi Husain Muslim bin Hujja ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Jami’us shahih, Juz 1,

(Beirut: Dar al-fikr,tth), h. 66

5

Salamah sedang melakukan ruku’pada salat fajar pada raka’at kedua. Lalu Nabi menyeru

“Ingatlah bahwa kiblat telah diubah”. Lalu, mereka berpaling ke arah kiblat (Baitullah). 

            Hadis yang pertama memperkuat perintah menghadap kiblat yang terdapat dalam al-

Qur’an sehingga hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang semakna berfungsi sebagai

bayan ta’kid. Lebih dari itu, hadis yang kedua lebih mengokohkan fungsinya sebagai bayan

ta’kid karena adanya perintah Nabi saw untuk membetulkan arah kiblat yang keliru10.

C. Pendapat Ulama

Bila pada masa Nabi Muhammad saw. kewajiban menghadap kiblat yakni Ka’bah itu

tidak banyak menimbulkan masalah karena umat Islam masih relatif sedikit dan kebanyakan

tinggal di seputar Mekkah sehingga mereka bisa melihat wujud Ka’bah. Berbeda halnya 

dengan keadaan pasca Nabi saw. Saat itu, umat Islam sudah banyak jumlahnya dan tinggal

tersebar di berbagai belahan dunia yang jauh dari Mekkah. Apakah kewajiban menghadap

kiblat itu harus pada fisik ka’bah (‘ain al-ka’bah) atau cukup dengan arahnya saja ( jihah).

Para ulama sepakat  bahwa bagi orang-orang yang dapat melihat ka’bah wajib

menghadap bangunan ka’bah (‘ain al-ka’bah) dengan penuh keyakinan. Sementara itu, bagi

mereka yang tidak dapat melihat ka’bah maka para ulama berbeda pendapat. Pertama,

Jumhur ulama selain Syafi’iyah berpendapat cukup dengan menghadap arah ka’bah (jihah al-

ka’bah). Adapun dalil yang dikemukakan oleh Jumhur adalah sabda Nabi saw yang

diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan al-Tirmidzi yang berbunyi :

ه رسول قال: قال هريرة أبي عن ه صلى الل م عليه الل بين ما وسل11قبلة والمغرب المشرق

10Kekeliruan yang terjadi pada masa Nabi saw tidak disebabkan oleh ketidakakuratan dalam penentuan arah kiblat, tetapi terjadi karena adanya perubahan arah kiblat berdasarkan perintah Allah dari masjid al-Aqsha di Yerussalam ke masjid al-Haram  di Makkah.

11 At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Juz I, (Beirut : Dar al-Fikr, 2003), h. 363; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, (Beirut : Dar al-Fikr, 2004), h. 320; an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Juz IV, (Beirut : Dar al-Fikr, 1999), h. 175

6

“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullahsaw bersabda, Apa yang berada di antara Timur

dan Barat adalah Kiblat”.

Secara lahiriah hadis itu menunjukkan bahwa semua arah yang berada di antara

keduanya yaitu utara dan selatan termasuk kiblat. Sebab, bila diwajibkan menghadap fisik

ka’bah, maka tidak sah salatnya orang-orang yang berada dalam shaff yang sangat panjang

yang jauh dari ka’bah karena tidak bisa memastikan salatnya menghadap fisik ka’bah12.

Padahal umat Islam sudah sepakat bahwa salatnya orang-orang tersebut adalah sah karena

yang diwajibkan bagi mereka yang tidak dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke arah

ka’bah13.

Kedua,  Syafi’iyah berpendapat bahwa diwajibkan bagi yang jauh dari Makkah untuk

menghadap ‘ain al-ka’bah karena menurut Syafi’I, orang yang mewajibkan menghadap

kiblat berarti mewajibkan pula untuk menghadap bangunan ka’bah seperti penduduk

Makkah14. Hal ini berdasarkan surat al-Baqarah : 150. Ayat tersebut mewajibkan kita untuk

menghadap ka’bah yang berarti wajib menghadap fisik ka’bah sebagaimana orang yang dapat

melihat ka’bah secara langsung15. Di samping itu, mereka juga menggunakan hadis Ibn

Abbas16 yang berbunyi :

يصل ولم ها كل نواحيه في دعا البيت م وسل عليه ه الل صلى بي الن دخل لما

القبلة هذه وقال الكعبة قبل في ركعتين ركع خرج فلما منه خرج ى حتKetika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam Ka'bah, beliau berdo'a di seluruh

sisinya dan tidak melakukan shalat hingga beliau keluar darinya. Beliau kemudian shalat

12 Lihat Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), Jilid 1, h. 758.; Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid 1, h. 80

13 Ibn Rusyd, ibid.14 An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid III, (Jaddah : Maktabah al-Irsyad, tth.), h. 202;

Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri ‘ala Syarh al-‘Allamah Ibn Qasim al-Ghazi, juz I, (tt. : Dar al-Fikr, tth.), h. 147

15 Al-Zuhaili, loc. cit..16 An-Nawawi, op. cit., h. 203

7

dua rakaat dengan memandang Ka'bah lalu bersabda: "Inilah kiblat."(HR. Bukhari dan

Muslim)

Apabila pendapat Syafi’iyah ini diikuti, maka umat akan mengalami kesulitan dalam

melaksanakan salat yang merupakan induk segala peribadatan dalam Islam (ummul ‘ibadah).

Sebab, umat akan mengalami kesulitan dalam memastikan akurasi arah kiblatnya karena

berbagai keterbatasan terutama ilmu pengetahuan. Padahal hal yang demikian itu tidak

dikehendaki oleh Allah swt sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya :

Artinya : “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (al-Hajj : 78)

Akibat lebih lanjut, umat Islam tidak dapat melaksanakan ibadah salat sesuai

ketentuan tersebut karena tidak dapat memenuhi salah satu syarat sahnya salat  yaitu

menghadap kilbat.  Ini berarti, Syari’ dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya telah memberikan

taklif yang tidak mampu dilakukan oleh mukallaf (taklîf mâlâ yuthâq). Hal ini tidak mungkin

terjadi. Oleh karena itu, pendapat Jumhurlah yang lebih kuat (rajih)17 dan dapat diamalkan.

Lalu,  bagaimana kita mengetahui arah kiblat yang akurat sebagaimana dikehendaki

oleh nash-nash tersebut ? Ilmu pengetahuan dapat membantu  untuk mengetahui  apa yang

dikehendaki oleh nash itu dengan metode  melihat fenomena alam dalam hal ini adalah

keadaan bumi yang bulat. Maka, sebagai implikasinya adalah ke manapun muka kita

dihadapkan akan bertemu juga dengan Ka’bah. Oleh karena itu, persoalannya apakah yang

dimaksudkan dengan arah itu (jihah)  ?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “arah” itu mempunyai dua arti, yaitu

“menuju” dan “menghadap ke”18. Apabila arti arah tersebut digunakan dalam konteks ini,

maka menjadi relatiflah menghadap ke arah ka’bah itu karena dapat dilakukan dengan

17 Al-Zuhaili, op. cit., h. 758; Ali Mushtofa Ya’qub, Qiblah ash-Shalah bain al-Ka’bah wa al-Jihah, h. 15

18 Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 46

8

menghadap kedua arah yang berlawanan. Oleh karena itu, para ahli astronomi menggunakan

arah dalam pengertian  jarak terdekat dari suatu tempat ke Mekah19 yang dapat diukur melalui

lingkaran besar.

Dengan bekal ilmu pengetahuan tersebut, umat Islam dapat mengetahui arah kiblatnya

secara lebih akurat. Sebab, menurut Malikiyah dan Syafi’iyah apabila terjadi kekeliruan

dalam arah kiblat yang diketahui pada saat sedang salat maka salatnya harus dibatalkan dan

diulangi lagi dengan menghadap ke arah kiblat yang diyakini kebenarannya. Demikian juga

apabila kekeliruan itu baru diketahui setelah salat selesai dikerjakan20. Salat tersebut harus

diulangi kembali (I’âdah). Mereka menganggap orang tersebut seperti seorang hakim yang

telah memutus perkara yang ternyata  bertentangan dengan nash. Maka, hakim tersebut harus

meralat putusannya karena bertentangan dengan nash21.

Sementara itu, menurut Hanafiyah dan Hanabilah, orang yang mengetahui kekeliruan

arah kiblat di dalam salatnya tidak perlu membatalkan salatnya. Cukup baginya membetulkan

arah kiblat dengan metode memutar badannya ke arah kiblat yang diyakini kebenarannya

serta melanjutkan salatnya sampai selesai.  Begitu juga bagi orang yang mengetahui

kekeliruan arah kiblatnya setelah selesai salat. Ia tidak perlu mengulang kembali salatnya.

Sebab, orang tersebut posisinya sama seperti mujtahid yang berijtihad dalam menentukan

arah kiblat22.

Oleh karena itu, dalam menentukan arah kiblat harus dilakukan dengan metode

mengerahkan segala kemampuan (ilmu pengetahuan) semaksimal mungkin  sebagaimana

layaknya sebuah ijtihad. Atas dasar itu, Imam Syafi’I dalam kitabnya “al-Risâlah”

memberikan contoh aktifitas ijtihad adalah  menentukan arah kiblat.   Akibatnya, pekerjaan

19 Jan van den Brink dan marja Meeder, Kiblat Arah Tepat Menuju Mekah, disadur oleh Andi Hakim Nasoetion dari “Mekka”, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993), cetakan pertama, h. 2

20 Ibn Rusyd, op. cit., h. 81; 21 Wahbah al-Zuhaili, op. cit., h. 760-761; an-Nawawi, op. cit., h. 20622 Ibid., h. 761; Ibn Rusyd, loc. cit.; i

9

ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tetapi harus oleh ahlinya sehingga

menghasilkan arah kiblat yang akurat yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

D. Penetapan Fatwa MUI

Terdapat tiga pendekatan yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa dalam memberikan

fatwa yaitu pendekatan nash qath’î, qaulî, dan manhâjî. Pertama, pendekatan nash qath’î.

Inilah pendekatan yang pertama kali dipergunakan baik dengan cara merujuk kepada nash al-

Qur’an maupun as-Sunnah. Akan tetapi, pendekatan ini memiliki keterbatasan karena tidak

semua persoalan dapat dirujuk kepada nash. Sebab, jumlah nash itu tetap, sedangkan jumlah

dan jenis persoalan yang dihadapi terus bertambah dan berkembang23. Pendekatan ini

menghasilkan hukum-hukum yang qath’î yang oleh MUI disebut al-ahkâm al-qath’iyyât24,

sedangkan oleh Ibrahim Hosen disebut ahkâm manshûshah dalam arti hukum-hukum Islam

yang telah ditegaskan secara langsung oleh nash al-Qur’an atau al-Sunnah yang tidak

mengandung pentakwilan. Di samping itu, ia juga disebut ”syari’ah” atau ”mâ ’ulima min al-

dîn bi al-dlarûrah”. Hukum-hukum jenis ini kebenarannya bersifat pasti dan absolut. Oleh

karena itu, wajib diikuti apa adanya, tidak boleh ditambah atau dikurangi, dan berlaku

sepanjang zaman untuk seluruh umat manusia25.

Kedua, pendekatan qaulî yang dilakukan dengan cara merujuk kepada aqwâl ulama

yang terdapat dalam kitab-kitab yang muktabar (al-kutub al-mu’tabarah). Para ulama

terdahulu memang telah merespon persoalan-persoalan dengan aqwâl, af’âl, dan tasharruf

mereka. Pendekatan ini juga memilki keterbatasan karena terdapat kesenjangan antara kitab-

kitab yang muktabar yang ditulis oleh para ulama beberapa abad yang lalu dengan persoalan-

23 Lihat Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal Produk Makanan, Minuman, Obat, Kosmetika, dan Produk Lainnya”, Makalah, disampaikan dalam acara Pelatihan Auditor Halal, diselenggarakan oleh LPPOM MUI, di Jakarta, pada tanggal 6-7 April 2005, h. 12-17

24 Lihat Bab II Metode Penetapan Fatwa pasal 2 dalam M. Din Syamsuddin et. al., Pedoman Penyelenggaraan organisasi Majelis Ulama Indonesia, h. 181

25 Lihat Ibrahim Hosen, Mâ Huwa al-Maysir Apakah Judi Itu ? (Jakarta : Lembaga Kajian Ilmiah IIQ, 1987), h. 7

10

persoalan baru yang timbul dan terus berkembang26. Ketiga, pendekatan manhâjî dilakukan

dengan cara berijtihad mengikuti metodologi ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ulama

terdahulu apabila kedua pendekatan tersebut tidak dapat menyelesaikan persoalan yang

dihadapi27.

Pendekatan pertama dilakukan apabila dalam masalah yang dihadapi itu sudah

terdapat ketentuan hukum yang jelas baik dalam nash al-Qur’an atau as-Sunnah atau dalam

kedua-duanya. Apabila terdapat ketentuan hukumnya, maka hukum tersebut disampaikan apa

adanya karena masalah tersebut tidak termasuk lapangan ijtihad sehingga Komisi Fatwa

tidak perlu berijtihad dalam menetapkan status hukumnya28. Pendekatan tersebut belumlah

lengkap karena di samping nash yang qath’î juga terdapat nash yang zhannî baik dalam nash

al-Qur’an maupun al-Sunnah. Yang terakhir ini kebalikan dari yang pertama yaitu

menghasilkan hukum yang zhannî dan menjadi lapangan ijtihad sehingga oleh Ibrahim Hosen

disebut ”ijtihâdî”29. Oleh karena itu, semestinya pendekatan pertama tersebut adalah

”pendekatan nash” sehingga mencakup kedua nash baik yang qath’î maupun yang zhannî30.

Maka, pertama kali yang dilakukan oleh Komisi Fatwa dalam menetapkan suatu

hukum adalah dengan mencari ketentuan hukumnya dalam nash al-Qur’an. Apabila terdapat

ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an baik secara langsung berkaitan dengan masalah

tersebut atau secara umum, maka nash tersebut diambil sebagai dalil. Langkah selanjutnya

adalah mencari ketentuan hukumnya di dalam hadis-hadis Nabi SAW. Hal ini dilakukan

26 Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal Produk Makanan, Minuman, Obat, Kosmetika, dan Produk Lainnya”, h. 12-17

27 Lihat Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal Produk Makanan, Minuman, Obat, Kosmetika, dan Produk Lainnya”, h. 12-17

28 Lihat Ibrahim Hosen, Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : MUI, 2000), h.629 Lihat Ibrahim Hosen, Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 630 Pembagian nash pada yang qath’î dan zhannî itu kemudian dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu dari

segi datangnya (wurûd atau nuzûl) dan dari segi penujukkan maknanya (dalalâhnya). Dari segi wurûdnya nash itu terbagi dua, ada yang qath’î al-wurûd seperti al-Qur’an dan hadis Mutawâtir dan ada yang zhannî al-wurûd seperti hadis Ahâd. Dari segi dalalâhnya, nash itu terbagi dua, ada yang qath’î al-dalâlah dan zhannî al-dalâlah. Nash yang qath’î al- dalâlah adalah nash yang menunjuk pada makna tertentu secara tegas dan pasti sehingga tidak memungkinkan diberi makna lain. Sementara itu, nash yang zhannî al-dalâlah adalah kebalikannya yaitu nash yang menujuk pada suatu makna tetapi tidak secara tegas dan pasti sehingga masih dimungkinkan diberi makna lain. Untuk lebih jelasnya, lihat Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Juz I, h. 441-442

11

apabila tidak menemukan ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an. Di samping itu, langkah

ini juga dilakukan manakala sudah ditemukan ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an. Oleh

karena itu, langkah yang terakhir ini menghasilkan dua macam dalil yaitu dari nash al-

Qur’an dan dari hadis-hadis Nabi SAW. Kedua dalil tersebut dipergunakan karena keduanya

merupakan sumber utama hukum Syara’31.

Dalam kenyataannya, ternyata tidak semua fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI

disertai dengan dalil-dalil baik dari al-Qur’an maupun hadis-hadis nabi SAW32. Hal ini terjadi

karena dalam menyampaikan fatwa yang diutamakan adalah ketentuan hukumnya, sedangkan

penyertaan dalil-dalilnya dalam fatwa tersebut tidak menjadi suatu keharusan. Meskipun

demikian, hal tersebut tidak dapat difahami bahwa fatwa-fatwa tersebut tidak merujuk pada

al-Qur’an dan hadis. Sebab, sebelum fatwa-fatwa tersebut diputuskan terlebih dahulu

dilakukan pembahasan secara mendalam oleh para anggota Komisi Fatwa dalam suatu rapat

yang sengaja diagendakan untuk itu. Bila dipandang perlu, dalam rapat tersebut dilakukan

pembahasan terhadap makalah yang dibuat oleh salah seorang anggota Komisi Fatwa atau

pakar lain yang sengaja dimintakan makalahnya33.

Apabila tidak terdapat ketentuan hukumnya di dalam kedua nash tersebut, maka

ditempuhlah pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan qaulî. Pendekatan ini dilakukan

dengan cara merujuk kepada aqwâl para ulama yang terdapat dalam kitab-kitab yang

muktabar meskipun sampai saat ini Komisi Fatwa belum menetapkan kitab-kitab mana saja

yang dinilai muktabar atau paling tidak kriteria-kriterianya saja34.31 Demikianlah di antara ketetapan yang dihasilkan oleh Muktamar I Majma’ al-Buhuts al-Islâmiyyah

di Kaira tahun 1983. Lihat Nadiah Syarîf al-Umrî, al-Ijtihâd fî al-Islâm : Ushûluh, Ahkâmuh, Afâquh, (Beirût : Muassasah al-Risâlah, 2001), cet. ke-1, h. 264

32 seperti fatwa MUI tentang “Salat dan Puasa di Daerah yang Waktu dan Malamnya Tidak Seimbang”, ”Penentuan Awal Ramadlan, Awal Syawal / Idul Fitri dan Awal Dzulhijjah / Idul Adlha”, dan ”Ibadah Haji Hanya Sekali Seumur Hidup”. Untuk lebih jelasnya, lihat isi fatwa-fatwa tersebut dalam Lihat A. Nazri Adlani, et.al. (Tim Penyunting) , Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (MUI, 1997), h. 27, 41, 42

33 Lihat Bab IV Prosedur Rapat pasal 2 dalam M.Din Syamsuddin, et. al., Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h. 182

34 Menurut Imdadun Rahmat, di kalangan NU, kriteria yang digunakan untuk menentukan muktabar tidaknya suatu kitab adalah madzhab Syâfi’î. Apabila kitab itu dihasilkan oleh ulama dari lingkungan madzhab Syâfi’î maka dinilai sebagai kitab yang muktabar. Sebaliknya, apabila berasal dari luar madzhab Syâfi’î maka dinilai tidak muktabar. Dengan demikian, kriteria tersebut telah menutup peluang digunakannya kitab-kitab

12

Apabila dalam kitab-kitab tersebut terdapat satu pendapat atau beberapa pendapat

yang sama, maka diambillah pendapat tersebut untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Tentu saja hal itu baru dilakukan setelah dilakukan kajian yang seksama dan memadai

terhadap pendapat-pendapat tersebut berikut dalil-dalilnya35. Hal ini terjadi karena mereka

telah mengikatkan diri dengan madzhab-madzhab tersebut. Oleh karena itu, mereka

dipersyaratkan juga untuk meyakini pendapat madzhabnya itu sebagai pendapat yang paling

kuat (arjah)36. Langkah seperti ini mencerminkan bahwa Komisi Fatwa dalam aktifitas

ijtihadnya membatasi diri pada pendapat di lingkungan madzhab yang sudah ada

(bermadzhab secara qaulî) sehingga dimasukkan dalam ketegori ijtihâd fî al-madzhab37.

Akan tetapi, apabila terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama (ikhtilâf

al-‘ulamâ’), maka dicarilah titik temu di antara pendapat-pendapat tersebut (al-jam’u wa al-

taufîq). Untuk itu, diperlukan kajian sosial-historis dari para ulama tersebut guna memahami

latar belakang pendapat-pendapat mereka sehingga dapat menemukan ”benang merah” dari

pendapat-pendapat tersebut38. Apabila cara tersebut tidak berhasil, maka ditempuhlah metode

tarjîh yaitu menetapkan mana di antara pendapat-pendapat tersebut yang paling kuat dalilnya

(râjih).

Tarjîh dilakukan dengan pendekatan lintas madzhab (muqâranah al-madzâhib)

dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushûl al-Fiqh al-Muqâran39. Mereka bebas memilih dan yang berasal dari madzhab yang lain setidaknya dari lingkungan Ahlus Sunnah. Padahal dalam Anggaran Dasarnya NU telah menetapkan bermadzhab pada empat madzhab Ahlus Sunnah yaitu S Syâfi’î, Hanafî, Mâlikî dan Hambalî. Lebih dari itu, kriterianya lebih dipersempit lagi pada kitab-kitab yang lazim dipakai di lingkungan pondok pesantren. Untuk lebih jelasnya, lihat M.Imdadun Rahmat, “Catatan Editor : Tranformasi Fiqih untuk Transformasi Sosial”, dalam Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU : Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il, (Jakarta : LAKPESDAM, 2001), cet. ke1, h. vii

35Menurut M. Anwar Ibrahim, Ketua Komisi Fatwa, pembahasan tersebut meliputi ketentuan hukumnya, dalil-dalil yang dipergunakan berikut penalarannya (istimbat hukumnya). Lihat M. Anwar Ibrahim, “Pendalaman Fatwa”, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Auditor Halal Internal ”Sistem Jaminan Halal” tanggal 16-17 Oktober 2002 di Jakarta, h. 2; juga M.Din Syamsuddin, et. al., Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h. 181

36 Lihat al-Mahallî, Hâsyiyah al-‘Allâmah al-Bannânî ‘alâ Matn Jam’ al-Jawâmi’, Juz II, h. 40037 Helmi Karim, “Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum Islam”,

Disertasi Doktor Ilmu Agama Islam, (Jakarta : Perpustakaan Pascasarjana IAIN, 1993), h. 213, t.d.38 M.Anwar Ibrahim, “Pendalaman Fatwa”, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Auditor Halal

Internal ”Sistem Jaminan Halal” , h. 1-239 Lihat Bab III tentang Metode Penetapan fatwa pasal 1,2, dan 3; juga Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal

Produk Makanan”, h. 15-16

13

melakukan tarjîh terhadap pendapat-pendapat imam madzhab yang ada tanpa terikat pada

salah satu di antara mereka. Dengan demikian, Komisi Fatwa menempatkan diri dalam posisi

yang netral dengan cara tidak mengikatkan diri pada madzhab-madzhab yang sudah ada

sehingga langkah seperti ini dapat diketegorikan sebagai ijtihad tarjîh.

Berdasarkan tiga pendekatan tersebut, fatwa tentang kiblat dirumuskan. Pendekatan

nash dilakukan yang menghasilkan nash-nash al-Qur’an dan hadis Nabi saw sebagaimana

telah disebutkan di atas. Selanjutnya, dilakukan pendekatan qauli karena sebagian dari nash-

nash tersebut masih bersifat zhanni terutama yang menunjukkan posisi menghadap kiblat itu

mengadung ihtimal fisik ka’bah (’ain al-ka’bah) dan arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Oleh

karena, perlu dilakukan pendekatan qauli untuk mendapatkan ketegasan di antara dua ihtimal

kandungan nash tersebut. Ternyata, qaul ulama terpolarisasi ke dalam dua ihtimal tersebut.

Maka, perlu dilakukan tarjih untk mendapatkan pendapat yang rajih.

Berdasarkan tarjih yang dilakukan ternyata pendapat yang rajih adalah pendapat

Jumhur ulama yang menyatakan bagi umat Islam yang tidak melihat ka’bah kiblat salatnya

adalah arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Atas dasar itu, maka sudah tepat bunyi fatwa MUI pada

butir satu dan dua berikut ini :

1. Kiblat bagi orang yang salat dan dapat melihat ka’bah adalah bangunan Ka’bah

adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (’ain al-ka’bah).

2. Kiblat bagi orang yang salat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah

(jihah al-ka’bah)40.

Kedua diktum tersebut berkaitan dengan ijtihad istimbathi. Butir pertama sudah disepakati

oleh para ulama (ijma’) sehingga harus diikuti karena tidak termasuk lapangan ijtihad.

Sementara itu, butir kedua merupakan hasil tarjih karena terdapat perbedaan pendapat para

ulama (ikhtilaf al-’ulama’). Sebagai hasilnya, ada pendapat yang rajih dan ada yang marjuh.

40 Lihat Fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tanggal 1 Februari 2010

14

Dalam hal ini yang dipandang rajih adalah pendapat Jumhur ulama sehingga pendapat inilah

yang diikuti.

Sementara itu butir ketiga yang berbunyi : ”Letak Geografis Indonesia yang berada di

baian Timur ka’bah/Makkah maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah

Barat”41. Diktum keputusan ini menimbulkan masalah baru meskipun masih berada dalam

semangat ”jihah al-ka’bah” karena diktum ini merupakan ijtihad tathbiqi yang berisi aplikasi

hasil ijtihad pada dua diktum sebelumnya. Ternyata, arah Barat sebagai kiblat umat Islam

Indonesia tidak tepat karena arah tersebut akan menuju Afrika seperti Somalia Selatan,

Kenya dan Tanzania42.

Ada dua pertimbangan yang menjadi dasar diktum ketiga ini. Pertama, hadis riwayat

Tirmidzi dan Ibn Majah tersebut di atas. Lafazh ”ma” mencakup semua arah antara Timur

dan Barat yaitu Selatan termasuk kiblat bagi penduduk Madinah. Begitu juga dengan

Indonesia yang berada di sebelah Timur Ka’bah yang berarti kiblatnya menghadap ke Barat43.

Padahal dalam ”al-Muwaththa’” Imam Malik, matan hadis tersebut ada kelanjutannya yaitu

selama menghadap arah Ka’bah44. Oleh karena itu, hadis tersebut mestinya difahami secara

utuh, tidak parsial. Kedua, para ulama telah sepakat bahwa salat dalam barisan yang panjang

yang berada jauh dari ka’bah hukumnya tetap sah walaupun barisannya tetap lurus, tidak

melengkung45. Memang ini bisa dibenarkan karena barisan yang di belakang mengikuti

barisan di depannya yang menghadap arah kiblat sehingga salatnya tetap sah.

Meskipun demikian, tetap saja butir tersebut menimbulkan kesan bahwa fatwa

tersebut kurang ”menghargai” ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu Astronomi dan ilmu

Falak. Padahal kedua ilmu tersebut bersumber dari ayat Allah juga yang terdapat dalam

41 Fatwa MUI No. 3 Tahun 201042 Lihat A.Ghozalie Mesroeri, Arah Qiblat dari Indonesia, bahan rapat Komisi Fatwa MUI pada

tanggal 1 Juli 2010 di Jakarta43 Lihat Ali Mustofa Ya’qub, Qiblah ash-Shalah bain al-Ka’bah wa al-Jihah, makalah bahan rapat

Komisi Fatwa, h. 1044 Lihat Malik bin Anas, al-Muwaththa’, tahqiq asy-Syaikh Thaha ‘Abd ar-Rauf Sa’ad, (t.t. : t.p., 2003),

cet. Ke-1, h. 11345 Ali Mustofa Ya’qub, op. cit., h. 13

15

alam semesta (ayat kauniyah) yang hasilnya tidak perlu dipertentangkan dengan ilmu Fiqh

yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis Nabi saw (ayat Qur’aniyah). Baik ayat kauniyah

maupun ayat Qur’aniyah sumbernya sama yaitu Allah. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila

mempertentangkan antara keduanya atau mengabaikan salah satunya.

Yang ideal adalah menggunakan kedua ayat tersebut secara proporsional. Untuk

ijtihad istimbathi ayat Qur’aniyah yang digunakan dengan pendekatan Ushul Fiqh, sedangkan

untuk ijtihad tathbiqi tidaklah cukup apabila hanya menggunakan ayat Qur’aniyah. Akan

lebih akurat hasilnya apabila dibantu dengan ayat kauniyah yaitu menggunakan ilmu Falak

dan Astronomi.

Oleh karena itu, beberapa anggota Komisi fatwa menghendaki agar fatwa tersebut

direvieuw dan disempurnakan yang kemudian disetujui dalam rapat pleno. Sebab, secara

teoritis hal itu dimungkinkan. Bukankah hukum-hukum yang dirumuskan melalui ijtihad itu

memberi peluang untuk berubah. Hal ini sudah terbukti dalam sejarah hukum Islam (tarikh

at-tasyri’ al-islami) kita menyaksikan terjadinya perubahan hasil ijtihad Imam Syafi’I sebagai

“Bapak Ushul al-Fiqih” dari pendapat lamanya yang di rumuskan di Irak (qaul qadim /

madzhab qadim) berubah menjadi qaul jadid / madzhab jadid yang dirumuskannya ketika

tinggal di Mesir sampai akhir hayatnya46. Ia mengubah pendapat yang pernah dicetuskannya

di Irak (qaul qadim) sebanyak 100 masalah (qaul jadid)47.

Pendekatan yang digunakanpun tidak semata-mata murni ilmu Fiqh, tetapi juga

melibatkan sains dalam hal ini ilmu Falak dan Astronomi. Ternyata, hasilnya berbeda. Butir

kesatu dan kedua tetap dipertahankan karena tidak menimbulkan masalah, sedangkan butir

46 Lihat Ismail Thalibi, Imam Syafi’I Mujtahid Tradisional Yang Dinamis, (Jakarta : Kalam Mulia, 1993), cet. Ke-1

47 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang : Angkasa Raya, 1990), h. 108.

16

ketiga direvisi menjadi : ”kiblat umat Islam Indonesia menghadap ke Barat Laut dengan

tingkat kemiringan yang bervariasi sesuai dengan letak geografisnya”48.

Jelas diktum ini sesuai dengan hasil perhitungan ilmu Falak dan Astronomi karena

memang Indonesia tidak persis berada di sebelah Timur ka’bah. Oleh karena itu, arah

kiblatnya ke arah Barat Laut dengan tingkat kemiringan 20 derajat lebih sesuai dengan letak

geografisnya masing-masing. Dengan demikian, diktum ini masih bearada dalam ketentuan

arah ka’bah, hanya saja penentuan arahnya lebih akurat karena dibantu ilmu Falak dan

Astronomi.

Atas dasar itu, maka bunyi rekomendasi fatwa-pun berubah menjadi : masjid dan

mushalla yang arah kiblatnya tidak sesuai harus disesuaikan melalui shafnya tanpa merubah

bangunan fisiknya49. Inipun harus dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana sebagaimana

yang dilakukan oleh K.Arsyad Al-Banjari di masjid Luar Batang Jakarta. Sebab, perubahan

ini sangat sensitif. Bila pendekatan yang dilakukan tidak pas akan menimbulkan resistensi

seperti yang dialami oleh KH.Ahmad Dahlan di Yogyakarta50.

F. Penutup

Demikianlah makalah ini saya sampaikan, semoga bisa menjadi bahan diskusi yang

dapat memperkaya wawasan kita. Bila benar, datangnya dari Allah dan bila salah datangnya

dari saya pribadi.Wallah a’lam bishshawab.

G. Daftar Pustaka

48 Notulen Rapat Komisi Fatwa tanggal 1 Juli 201049 Ibid.50 Lihat M.Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan : Pemikiran dan Kepemimpinannya,

(Yogyakarta : MPKSDI PP Muhammadiyah, 2005), h. 54-59

17

Amin, Ma’ruf, “Fatwa Halal Produk Makanan, Minuman, Obat, Kosmetika, dan Produk Lainnya”, Makalah, disampaikan dalam acara Pelatihan Auditor Halal, diselenggarakan oleh LPPOM MUI, di Jakarta, pada tanggal 6-7 April 2005

Adlani, A. Nazri , et.al. (Tim Penyunting) , Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, MUI, 1997

Asrofie,M.Yusron, Kyai Haji Ahmad Dahlan : Pemikiran dan Kepemimpinannya,Yogyakarta : MPKSDI PP Muhammadiyah, 2005

Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri ‘ala Syarh al-‘Allamah Ibn Qasim al-Ghazi, juz I, tt. : Dar al-Fikr, tth.

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 1, Kairo: Dar al-Hadits, 2004

Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Hosen, Ibrahim, Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : MUI, 2000

-------, Mâ Huwa al-Maysir Apakah Judi Itu ? Jakarta : Lembaga Kajian Ilmiah IIQ, 1987

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, tth, Jilid 1

Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Beirut : Dar al-Fikr, 1992, Jilid I

Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, Beirut : Dar al-Fikr, 2004

Ibrahim, M. Anwar, “Pendalaman Fatwa”, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Auditor Halal Internal ”Sistem Jaminan Halal” tanggal 16-17 Oktober 2002 di Jakarta

Karim, Helmi, “Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum Islam”, Disertasi Doktor Ilmu Agama Islam, Jakarta : Perpustakaan Pascasarjana IAIN, 1993), t.d.

Al-Mahallî, Syams al-Dîn Muhammad bin Ahmad, selanjutnya al-Mahallî, Hâsyiyah al-‘Allâmah al-Bannânî ‘alâ Matn Jam’ al-Jawâmi’, t.t. : Dâr al-Fikr, 1982 Juz II,

Malik bin Anas, al-Muwaththa’, tahqiq asy-Syaikh Thaha ‘Abd ar-Rauf Sa’ad, t.t. : t.p., 2003, cet. Ke-1,

Masroeri, A.Ghozalie, Arah Qiblat dari Indonesia, bahan rapat Komisi Fatwa MUI pada tanggal 1 Juli 2010 di Jakarta

Muslim, al-Jami’ ash-Shahih, Juz 1,Beirut: Dar al-Fikr,tth.

An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Juz IV, Beirut : Dar al-Fikr, 1999

An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid III, Jaddah : Maktabah al-Irsyad, tth.

18

Rahman, Asjmuni A., Qaidah-Qaidah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976, cet. Ke-1

Rahmat, M.Imdadun , “Catatan Editor : Tranformasi Fiqih untuk Transformasi Sosial”, dalam Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU : Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il, Jakarta : LAKPESDAM, 2001, cet. ke1,

Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983

Syamsuddin, M. Din, et. al., Pedoman Penyelenggaraan organisasi Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2001

Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, 1990

Thalibi, Ismail, Imam Syafi’I Mujtahid Tradisional Yang Dinamis, Jakarta : Kalam Mulia, 1993, cet. Ke-1

At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Juz I, Beirut : Dar al-Fikr, 2003

Al-Umrî, Nadiah Syarîf, al-Ijtihâd fî al-Islâm : Ushûluh, Ahkâmuh, Afâquh, Beirût : Muassasah al-Risâlah, 2001, cet. ke-1

Van den Brink, Jan, dan Marja Meeder, Kiblat Arah Tepat Menuju Mekah, disadur oleh Andi Hakim Nasoetion dari “Mekka”, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993, cet.ke-1

Ya’qub, Ali Mustofa, Qiblah ash-Shalah bain al-Ka’bah wa al-Jihah, makalah bahan rapat Komisi Fatwa tanggal 1 Februari 2010

Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997, Jilid 1

-------, Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Beirût : Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1986, cet. ke-1, Juz ke-1,

19