vol. 12, no. 1, juni 2012 jish - iainjambi.ac.id vol... · jurnal ilmu syariah dan hukum penanggung...

208
Pedoman Penulisan Vol. 12, No. 1, Juni 2012 Al-Risalah JISH

Upload: vonguyet

Post on 17-Sep-2018

255 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pedoman Penulisan

Vol. 12, No. 1, Juni 2012 Al-Risalah JISH

Al-RisalahJurnal Ilmu Syariah dan Hukum

Penanggung JawabMuhammad Hasbi Umar

Penyunting AhliA. Husein Ritonga (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)

M. Amin Suma (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)Mohd Roslan bin Mohd Nor (University of Malaya, Malaysia)

Jhoni Najwan (Universitas Jambi)Bahrul Ulum (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)

Subhan (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)Erdianto Effendi (Universitas Riau)

Penyunting PelaksanaSayuti (Ketua)

Zulqarnain (Anggota)M. Zaki (Anggota)

Editor Bahasa Inggris: Agus SalimEditor Bahasa Arab: Hermanto Harun

Tata UsahaChoiriyah

Siti AsnaniyahM. Fathurrahman

Alamat Redaksi:Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Jl. Jambi-Muarabulian KM. 16 Simp. Sungaiduren, Muarojambi-JambiTelp/Fax. (0741) 582021, e-mail: [email protected]

Al-Risalah adalah jurnal ilmu syariah dan hukum (JISH) yang terbit dua kali setahun. Diterbitkan oleh Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi sejak 2001. Kehad-iran JISH ini diharapkan sebagai ruang pemikiran kritis dan terbuka bagi semua kalangan (akademisi, intelektual, aktivis, dan mahasiswa) yang konsen terhadap perkembangan ilmu syariah dan ilmu hukum.

Volume 13, No. 2, Desember 2013 ISSN: 1412-436X

Sayuti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISHii

DAFTAR ISI

SayutiArah Kebijakan Pembentukan Hukum Ke Depan (Pendekatan Teori Hukum Pembangunan, Teori Hukum Progresif, Dan Teori Hukum Integratif) 199

Muhammad Amin SumaSyariah, antara Dibenci dan Dirindu 220

Fauzi M.Urgensi Ijtihad Saintifik dalam Menjawab Problematika Hukum Transaksi Kon-temporer 238

Mohd Nasran bin Mohamad & Rohimi bin ShapieeKonstribusi Syariah dalam Penyelesaian Masalah Hukum International (Pengal-aman Malaysia) 258

Mohd Roslan Mohd NorAplikasi Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Global di Malaysia 278

Haji Johar bin Haji MuhamadKonstribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang di Negara Brunei Darussalam 298

Hikmahanto JuwanaInternational Law as a Political Instrument (A Case Study of Indonesia) 327

Ichsan KabulahSpirit Hukum Islam dalam Reformasi Tata Kepemerintahan di EraGlobalisasi 351

Muhammad MaksumPolitik Hukum Ekonomi Islam Di Indonesia 366

Illy YantiFormalisasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia (Studi tentang Pemberlakuan Hukum Ekonomi Islam Pasca Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006) 381

Arah Kebijakan Pembentukan Hukum ke Depan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 199

ARAH KEBIJAKAN PEMBENTUKAN HUKUMKE DEPAN (PENDEKATAN TEORI HUKUM

PEMBANGUNAN, TEORI HUKUM PROGRESIF, DAN TEORI HUKUM INTEGRATIF)

Sayuti Dosen HTN/HAN Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Jl. Lintas Jambi-Ma. Bulian KM. 16 Simpang Sei DurenJambi Luar Kota, 36361, Muaro Jambi

Abstract: Legal establishment (rechtsvorming) in the legal system is essentially determined by the legal concept embraced by the public and by the quality of its constituent. Because people will always change according to the conditions, and the quality of the constituent also change with the change of political power. policy formation fore law, aimed at: First, the establishment of laws aimed at creating legal certainty in order to achieve order, order, peace, justice, and usefulness in the life of the community, state and nation. Second, the establishment of the law, either in the form of legislation or other formal aspects, must be based on moral values, religion, morality, decency, customs and other social norms as the values that thrive in the community (the living law). Third, the living law assertion in the community and local knowledge which is based on customs or values that thrive in the community as a source of law. It gives an indication if these three want to reformulate the values that have been embedded in the soul of a nation, in anticipation of cultural values beyond which feared could destabilize the integrity of a country, although it is possible to adopt the values of foreign cultures consid-ered positive.

Keywords: legal establishment, Development Legal Theory, Progressive Legal Theory, Integrative Legal Theory.

Abstrak: Pembentukan hukum (rechtsvorming) dalam sistem hukum pada dasarnya ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh masyarakat dan oleh

Sayuti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH200

kualitas pembentuknya. Karena orang-orang akan selalu berubah sesuai den-gan kondisi, dan kualitas penyusunnya juga berubah seiring dengan perubahan kekuasaan politik. Kebijakan pembentukan hukum kedepan, diarahkan pada: Pertama, pembentukan hukum diarahkan untuk menciptakan suatu kepastian hukum guna mencapai ketertiban, keteraturan, kedamaian, keadilan, dan ke-manfaatan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, pembentukan hukum, baik berupa peraturan perundang-undangan maupun aspek formil lainnya, harus bersumber pada nilai-nilai moral, agama, kesusi-laan, kesopanan, adat kebiasaan dan norma sosial lainnya sebagai nilai-nilai yang hidup berkembang dalam masyarakat (the living law). Ketiga, penegasan the living law dalam masyarakat dan kearifan lokal yang bersumber pada adat atau nilai-nilai yang hidup berkembang dalam masyarakat sebagai sumber hu-kum. Hal tersebut memberikan indikasi jika ketiga teori ini ingin merumuskan kembali nilai-nilai yang sudah tertanam dalam jiwa suatu bangsa, sebagai an-tisipasi terhadap nilai-nilai budaya luar yang dikuatirkan dapat menggoyahkan keutuhan suatu negara, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menga-dopsi nilai-nilai budaya luar yang dinilai positif.

Kata Kunci: pembentukan hukum, Teori Hukum Pembangunan, Teori Hu-kum Progresif, Teori Hukum Integratif.

Pendahuluan

Arah kebijakan hukum merupakan istilah lain yang digunakan bagi pemak-naan politik hukum. Oleh karena, tidak sedikit dalam literatur dapat ditemui pemaknaan-pemaknaan berkenaan dengan politik hukum. Selain dipaha-mi sebagai arah kebijakan hukum, politik hukum—di antaranya pendapat Utrecht—berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan menentukan bagaima-na seharusnya manusia bertindak. Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai dengan kenyataan sosial.1

Pemaknaan yang umum tersebut dapat memberikan konsekuensi bah-wa wilayah kajian disiplin politik hukum itu cukup luas. Paling tidak, ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik hukum meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum, letak politik hukum dan fak-

1 Lihat dalam Bintan R. Saragih, Politik Hukum, (Bandung: Utomo, 2006), hlm. 18.

Arah Kebijakan Pembentukan Hukum ke Depan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 201

tor (internal dan eksternal) yang mempengaruhi pembentukan politik hukum suatu negara. Politik hukum menganut prinsip double movement, yaitu selain sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang, ia juga dipakai untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan le-gal policy tersebut.

Meskipun memiliki wilayah kajian yang cukup luas tersebut, namun poli-tik hukum itu bersifat lokal dan partikular yang hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu saja. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang kes-ejarahan, pendangan dunia (world-view), sosio-kultural dan political will dari masing-masing pemerintah. Politik hukum suatu negara tetap memperhati-kan realitas dan politik hukum internasional. Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang menimbulkan istilah politik hukum nasional.

Dalam realitasnya, mengenai politik hukum dalam suatu negara sebe-narnya ada di tangan pemerintah (dalam arti luas dan sempit). Pemerintah sebagai pihak yang berwenang menjalankan roda kenegaraan berhak untuk mengeluarkan produk hukum yang sesuai dengan corak politik yang berlaku pada saat itu, dengan tujuan untuk menciptakan suatu aturan yang mengarah kepada keadilan dan kesejahteraan.

Mengenal Teori Hukum Pembangunan, Progresif dan Integratif

1. Teori Hukum

Berbicara mengenai teori, secara umum dipahami sebagai rangkaian kesatuan dari beberapa unsur yang berkaitan. Berkenaan dengan teori hukum ini, menurut Satjipto Rahardjo, boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hu-kum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah dikonstruk-sikan kehadiran teori hukum secara jelas. Pada saat orang mempelajari hukum positif, maka ia sepanjang waktu dihadapkan pada peraturan-peraturan hu-kum dengan segala cabang kegiatan dan permasalahannya, seperti kesalahan-nya, penafsirannya dan sebagainya.2

Namun kadangkala ada keraguan pada sebagian orang apakah teori hu-

2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 253.

Sayuti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH202

kum (theory of law) itu berdiri sendiri, atau hanya inklud di dalam filsafat hukum (philosophy of law), ilmu hukum (science of law), hukum normatif, dan hukum positif. Keraguan itu dapat dianggap wajar, karena di negara-negara yang berlaku sistem Anglo Saxon para mahasiswa hukum tidak diajarkan kuliah filsafat hukum. Hal ini berbeda dengan yang berlaku di negara-negara Eropa Kontinental.

Terlepas dari perbedaang tersebut, menurut Munir Fuady, terdapat beberapa model pendekatan yang dapat dilakukan dalam memahami disiplin teori hukum, di mana dapat digunakan satu pendekatan saja atau beberapa pendekatan sekali-gus. Adapun pendekatan-pendekatan tersebut ialah sebagai berikut:3

a. Pendekatan yang menafikan disiplin teori hukum.b. Pendekatan sorotan disiplin lain ke bidang hukum.c. Pendekatan teori hukum hakikat.d. Pendekatan teori hukum substantif.e. Pendekatan teori hukum nonpraktis.f. Pendekatan teori sejarah hukum.g. Pendekatan teori aliran hukum.h. Pendekatan teori tradisi hukum.i. Pendekatan nasionalisme hukum.j. Pendekatan secara fungsional.k. Pendekatan terstruktur.

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digunakan salah satunya saja atau beberapa pendekatan sekaligus. Namun dalam tulisan ini hal itu tidak dibicara-kan lebih lanjut. Tetapi hanya memahami pengertian teori hukum secara umum.

Munir Fuady menambahkan, teori hukum adalah antara filsafat di satu pihak dengan hukum positif di lain pihak, di mana hukum positif sangat dipengaruhi oleh politik, paling tidak menurut paham positivisme dan sampai batas-batas ter-tentu oleh sosiolog hukum, tempat teori hukum berada di antara disiplin filsafat di satu sisi dengan teori politik di sisi yang lain. Dalam bukunya Legal Theory, W. Firedmann menampakkan sosoknya sebagai pengikut aliran positivisme dengan menyatakan: "All systematic thinking about legal theory is linked at one end with philo-shophy, and, at the other end, with political theory.4

Kemudian J.J. Bruggink, seperti dikutif Otje Salman, menjelaskan teori hukum merupakan seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual

3 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 1-2.4 Ibid., hlm. 8.

Arah Kebijakan Pembentukan Hukum ke Depan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 203

aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Menurut Bruggink, teori hukum dapat di-pahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, hal itu menun-jukkan kepada pemahaman tentang sifat berbagai bagian (cabang sub disiplin) Teori Hukum, yaitu Sosiologi Hukum yang berbicara tentang keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik dari hukum. Teori Hukum dalam arti sempit, berbicara tentang keberlakuan formal atau keberlakuan normatif dari hukum. Filsafat Hukum berbicara tentang keberlakuan evaluatif dari hukum, terakhir adalah Dogmatika Hukum, atau llmu Hukum dalam arti sempit.5

Radbruch, seperti dikutif Satjipto Rahardjo, mengatakan, tugas teori hukum adalah "membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. Dalam hal ini, teori hukum akan memper-masalahkan hal-hal antara lain, seperti mengapa hukum itu berlaku, apa dasar kekuatan mengikatnya? apa yang menjadi tujuan hukum? bagaimana seharusnya hukum itu dipahami? apa hubungannya dengan individu, dengan masyarakat? apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum? apakah keadilan itu? 6

Dengan demikian, kelihatannya agak rumit pemahaman tentang arti teori hukum. Hal itu karena pemahaman tentang teori hukum selalu mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Mulai dari zaman pemikiran Yunani, Ro-mawi, hingga zaman-zaman berikutnya.

Namun, menurut Otje Salman,7 meskipun agak rumit untuk memahami ten-tang pengertian teori, tetapi secara umum apabila dilihat dari pendekatannya, ada dua karakteristik besar atau dua pandangan besar (grand theory) yang masing-masing bertolak belakang, tetapi ada dalam satu realitas seperti sebuah gambaran satu mata uang yang memiliki dua belah bagian yang berbeda. Pertama, pandangan yang didu-kung oleh tiga argumen yaitu pandangan bahwa hukum sebagai suatu sistem yang pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat tentang kondisi sistem itu sekarang, perilaku sistem ditentukan sepenuhnya oleh bagian-bagian yang terkecil dan sistem itu, dan teori hukum mampu menjelaskan persoalannya sebagaimana adanya tanpa keterkaitan dengan orang (pengamat).

Pandangan pertama ini membawa pemahaman bahwa teori hukum bersifat de-termisnistik, reduksionis dan realistik. Dalam pandang ini, sistem digunakan secara

5 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 60-61.

6 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 254.7 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Op. Cit., hlm. 46-49.

Sayuti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH204

bebas terhadap banyak hal dalam kehidupan, alam semesta, masyarakat, termasuk hukum digambarkan dalam bentuk yang jelas-jelas dapat diakui sebagai istilah me-kanis dan sistematis. Kebanyakan teori hukum berpusat pada salah satu dari ketiga jenis sistem hukum (sumber dasar, kandungan dasar atau fungsi dasar). Teori hu-kum yang bersifat sistematis ini dianggap sebagai salah satu keyakinan-keyaki-nan mereka yang telah berakar dan terorganisir dalam hukum, yaitu suatu yang mengarah kepada sikap yang keras kepala, sehingga cenderung untuk menolak dalam melahirkan kreasi-kreasi (modifikasi) keyakinan-keyakinan lain.

Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa hukum bukanlah suatu sistem yang teratur tetap merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ketidak-beraturan, tidak dapat diramalkan, dan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh persepsi orang (pengamat) dalam memaknai hukum tersebut. Mengenai pandangan yang kedua ini, banyak dikemukan oleh mereka yang beralira sosiologis (mikro), bah-kan pandangan post-modernis. Mereka memandang setiap saat dalam hukum yang sudah dapat dipastikan, bahwa hukum mengalami perubahan baik kecil maupun besar, evolutif ataupun revolusioner.

Menurut pandangan kedua ini, teori hukum sama sekali tidak berada pada jalur yang disebut sebagai sistem. Pandangan kedua ini menolak bahwa teori hu-kum harus selalu bersifat sistematis dan teratur. Tetapi sebaliknya teori hukum dapat juga muncul dari situasi yang disebut keos, keserba-tidak beraturan, atau situasi yang tidak sistematis. Itulah cerminan masyarakat yang ada, masyarakat yang selalu berada pad situasi konflik, ketegangan, atau tekanan-tekanan, baik dalam ekonomi, politik dana lain-lain secara terus menerus. Sehingga teori hu-kum haruslah muncul sebagai suatu model yng disorder. Banyak teori hukum yang berasal dari sosiologis mikro menjelaskan persoalan ini, misalnya teori konflik, atau teori simbolik interaksi.

Pandangan ini tidak begitu saja menerima definisi, konsep atau teori yang berada dalam suatu sistem, tidak saja karena masih bisa/terus diperdebatkan, tetapi juga memiliki alasan yang realistis bahwa hubungan-hubungan yang ada dalam hukum (teori hukum) sama sekali tidak memperlihatkan apa yang dis-ebut dengan sistem itu.

Teori-teori hukum kemudian diklasifikasi dalam beberapa klasifikasi. Northrop, misalnya, mengklasifikasikan ajaran atau aliran hukum ke dalam positivisme hukum, pragmatic legal realism, neo-Kantian dan Kelsenian ethical jurisprudence, functional anthropological dan sociological jurisprudence, dan hukurn alam. Friedmann membagi aliran tersebut atas aliran hukum alam,

Arah Kebijakan Pembentukan Hukum ke Depan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 205

aliran yang didasarkan pada filsafat masalah keadilan, aliran yang didasar-kan pada pengaruh perkembangan masyarakat terhadap hukum, aliran posi-tivisme dan positivisme hukum, dan aliran yang didasarkan atas kegunaan dan kepentingan. Soerjono Soekanto menyebutkan: mazhab formalitas, ma-zhab sejarah dan kebudayaan, aliran utilitarianisme, aliran sociological ju-risprudence, dan aliran realisme hukum. Satjipto Rahardjo mengetengahkan teori-teori Yunani dan Romawi, hukum alam, positivisme dan utilitarian-isme, teori hukum murni, pendekatan-pendekatan sejarah dan antropologis, dan pendekatan-pendekatan sosiologis. Selain itu ada pula yang mengklas-ifikasikan aliran-aliran tersebut hanya ke dalam yang paling berpengaruh saja, yaitu aliran hukum alam, aliran hukum positif, mazhab sejarah, socio-logical jurisprudence, dan pragmatic legal realism.8

Dalam perkembangan ilmu hukum di Indonesia sendiri, selain adanya Teori Hukum Pancasila, dikenal pula Teori Hukum Pembangunan, Teori Hu-kum Progresif, dan Teori Hukum Integratif, di mana uraiannya akan diberikan secara ringkas dalam tulisan ini.

2. Teori Hukum Pembangunan

Teori hukum pembangunan awalnya berangkat dari pemikiran Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL. M sekitan awal tahun 1970-an. Pemikiran yang ke-mudian dikenal dengan sebutan Mazhab UNPAD ini, intinya berbicara pada masalah arti hukum dan fungsinya dalam masyarakat, hukum sebagai kaidah sosial, hukum dan kekuasaan, hukum dan nilai-nilai sosial, dan hukum sebagai sarana (alat) pembaharuan masyarakat.

Menurut teori ini, arti dan fungsi hukum dalam masyarakat dapat dikem-balikan pada pemahaman akan tujuan hukum itu sendiri. Tujuan utama hu-kum adalah ketertiban (order). Ketertiban merupakan syarat utama menuju masyarakat yang teratur. Dan untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat diperlukan adanya kepastian hukum dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Selain itu, tujuan lain daripada hukum adalah tercapainya keadi-lan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.9

8 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hlm. 52-53.

9 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2011), hlm. 3-4.

Sayuti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH206

Jadi, arti dan fungsi hukum dalam masyarakat adalah sebagai wadah untuk mewujudkan ketertiban, kepastian hukum dan keadilan.

Hukum sebagai kaidah sosial, di mana penataan ketentuan- ketentuan hukum dapat dipaksakan dengan suatu cara yang teratur. Pemaksaan di sini, dilakukan guna menjamin penataan ketentuan- ketentuan hukum itu sendiri tunduk pada aturan-aturan tertentu, baik mengenai bentuk, cara, maupun alat pelaksanaannya. Dalam hal ini, hukum berbeda dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Karena kaidah- kaidah agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan kaidah social lainya tidak bisa dipaksakan pelaksanaannya. Namun hukum, di lain pihak sama seperti kaidah-kaidah social lainnya, yakni sebagai pedoman moral bagi manusia.10

Pembicaraan mengenai hukum dan kekuasaan, menurut Mochtar Kusumat-madja, merupakan bagian yang tak terpisahkan. Hukum memerlukan kekua-saan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Oleh karena itu, menurut Blaise Pascal, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Dengan demikian, kekuasaan merupakan suatu unsur yang mutlak dalam suatu masyarakat hukum, dalam arti masyarakat yang diatur oleh dan berdasar-kan hukum, karena kekuasaan fungsi dari masyarakat yang teratur.11 Hakikat kekuasaan itu adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Agar jangan sampai kekuasaan itu menjadi semena-mena, maka kekuasaan harus tunduk pada dan diatur oleh hukum.12

Kemudian mengenai pemahaman hukum dan nilai-nilai sosial budaya. Hu-kum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat. Bahkan hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, karena ia sesuai dengan hukum yang hidup (the liv-ing law) dalam masyarakat. Hal ini sangat dibutukan oleh masyarakat yang se-dang dalam masa peralihan. Dalam kondisi ini, pembangunan hukum yang di-lakukan adalah pembangunan (non fisik) dalam bentuk perubahan cara berpikir dan cara hidup masyarakat, yakni menuju masyarakat yang terbuka, dinamis, dan maju (modern).13

10 Ibid., hlm. 4.11 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, (Bandung: Alumni,

2000), hlm. 34-35.12 Ibid., hlm. 40-41.13 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Op. Cit.,

Arah Kebijakan Pembentukan Hukum ke Depan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 207

Adapun pemahaman hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, bahwa hukum harus dapat membantu proses perubahan masyarakat, karena fungsi hukum adalah untuk memelihara dan mempertahankan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Hukum berperanan dalam mewujudkan pe-rubahan dalam masyarakat yang dilakukan dengan cara yang tertib. Untuk kep-erluan itu, hukum dapat dihubungkan dengan aspek-aspek kehidupan lainnya seperti aspek sosiologi, antropologi, dan kebudayaan.14

Demikianlah poin-poin utama dalam konsep teori hukum pembangunan. Konsep ini ada kemiripannya dengan ajaran Pragmatic Legal Realism yang dikemukakan oleh Roscoe Pound pada tahun 1954, di mana “law as a tool of so-cial engineering”. Akan tetapi, paling tidak, teori hukum pembangunan berbeda dari ajaran Pragmatic Legal Realism tersebut. Perbedaan tersebut, pertama, teori hukum pembengunan lebih menonjolkan perundang-undangan dalam pemba-haruan hukum, sedangkan ajaran Pragmatic Legal Realism lebih menonjolkan keputusan-keputusan pengadilan. Kedua, teori hukum pembangunan menggu-nakan pendekatan filsafat budaya dan pendekatan kebijakan, sedangkan ajaran Pragmatic Legal Realism menggunakan aplikasi mekanistis yang tak jauh ber-beda dari penerapan legisme.15

3. Teori Hukum Progresif

Lahirnya hukum progresif atau Ilmu Hukum Progresif (IHP) didorong oleh adanya keprihatinan atas kontribusi rendah ilmu hukum Indonesia turut mencerahkan bangsa keluar dari krisis, termasuk krisis di bidang hukum. Namun itu bukan satu-satunya alasan, menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH,16 IHP tidak hanya dikaitkan pada keadaan sesaat tersebut. IHP melampaui pikiran sesaat dan memi-liki nilai ilmiah tersendiri. IHP dapat diproyeksikan dan dibicarakan dalam kon-teks keilmuaan secara universal. Oleh karena itu, IHP dihadapkan pada dua me-dan sekaligus, yaitu Indonesia dan dunia. Ini didasarkan pada argumen bahwa ilmu hukum tidak dapat bersifat steril dan mengisolasi diri dari perubahan yang terjadi di dunia. Ilmu pada dasarnya harus selalu mampu memberi pencerahan

hlm. 10.14 Ibid., hlm. 14-15.15 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional,

(Bandung: Binacipta, 1976), hlm. 9.16 Profesor Emiritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Sayuti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH208

terhadap komunitas yang dilayani. Untuk memenuhi peran itu, maka ilmu hu-kum dituntut menjadi progresif.17

Dalam konteks Indonesia, pentingnya IHP didasarkan pada pengalaman, antara lain gagalnya hukum membawa koruptor ke penjara oleh lembaga penga-dilan. Hampir sama dengan yang terjadi di Amerika, kegagalan itu disebabkan oleh sifat submisif terhadap kelengkapan hukum yang ada, seperti prosedur, doktrin, dan asas. Akibatnya, hukum justru menjadi safe heaven bagi para korup-tor. Dilihat dari sudut hukum progresif, maka cara dan praktik berhukum seperti itu sudah tergolong kontraprogresif, sehingga dibutuhkan kehadiran hukum yang berwatak progresif.

Lahirnya hukum progresif dalam khazanah pemikiran hukum, bukanlah sesuatu yang lahir tanpa sebab dan bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Hu-kum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak per-nah berhenti. Hukum progresif—dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri—bertolak dari realitas empiris tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kuali-tas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Hukum dengan watak progresif ini diasumsikan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan seba-liknya manusia untuk hukum. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Jika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Hukum juga bukan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus-menerus menjadi (law as process, law in the making).18

Prinsip-prinsip dasar hukum progresif tersebut, kemudian dituangkan oleh Kristiana dalam karakteristik sebagai berikut:19

a. Asumsi Dasar, yang meliputi: 1). Hukum untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk hukum; 2). Hukum bukan institusi yang mutlak dan final,

17 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publisshing, 2009), hlm. 2-3.

18 Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, Jurnal Hu-kum Progresif, Vol. 1, No. 1/April 2005, Program Doktor Undip Semarang, hlm. 3.

19 Yudi Kristiana, “Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan Dengan Pendekatan Hukum Progresif, Studi Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Koru-psi, Desertasi PDIH Undip Semarang, 2006, hlm. 65-66.

Arah Kebijakan Pembentukan Hukum ke Depan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 209

karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus-menerus menjadi (law as process, law in the making).

b. Tujuan Hukum, untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.c. Spirit, berupa: 1). Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas, dan teori

yang selama ini dipakai yang dominatif (legalistik dan positivistik); 2). Pem-bebasan terhadap kultur penegakan hukum yang dirasa tidak memberikan keadilan substantif.

d. Arti Progresivitas, yakni: 1). Hukum selalu dalam proses menjadi (law in the making); 2). Hukum harus peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional, maupun global; 3). Menolak status quo manakala menimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberon-takan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum.

e. Karakter, meliputi: 1). Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula menggunakan optik hukum menuju ke perilaku; 2). Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat, meminjam istilah Nonet & Selzniek bertipe responsif; 3). Hukum progresif berbagi paham dengan Legal Realism karena hukum tidak dipandang dari kacamata hu-kum itu sendiri, tetapi dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum; 4). Hukum pro-gresif memiliki kedekatan dengan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang per-aturan, tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum; 5). Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang metayuridis (keadilan); 6). Hukum progresif memiliki kedekatan dengan Critical Legal Studies (CLS) namun cakupannya lebih luas.Ide penegakan hukum progresif—seperti yang dicetuskan oleh Prof. Dr.

Satjipto Rahardjo, SH ini—menghendaki penegakan hukum tidak sekadar men-jalankan peraturan perundang-undangan, tetapi menangkap kehendak hukum masyarakat. Oleh karena itu, ketika suatu peraturan dianggap membelenggu pen-egakan hukum, maka dituntut kreativitas dari penegak hukum itu sendiri agar mampu menciptakan produk hukum yang mengakomodasi kehendak masyarakat

Sayuti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH210

yang bertumpu pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat.20 Oleh karena masyarakat dan ketertibannya merupakan dua hal yang ber-

hubungan sangat erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang, susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu ketert-iban, bagaimanapun kualitasnya. Kendati demikian perlu ditambahkan di sini, bahwa yang disebut sebagai ketertiban itu tidak didukung oleh suatu lembaga yang monolitik. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh ber-bagai lembaga secara bersama-sama, seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan sahamnya dalam menciptakan ketertiban itu.21

Dalam hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada pera-turan, akan tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum da-lam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan. Peraturan yang buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadir-kan keadilan bagi rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.22

Dengan demikian, kehadiran hukum progresif menawarkan perlunya ke-hadiran hukum di bawah semboyan hukum yang pro-keadilan dan hukum yang prorakyat. Hukum progresif menempatkan dedikasi para pelaku (aktor) hukum di garda depan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketu-lusan dalam menjalankan hukum. Mereka haru mempunyai empati dan kepedu-lian terhadap penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini.

4. Teori Hukum Integratif

Teori hukum integratif merupakan konsep hukum baru yang ditawarkan Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LL.M.23 Ada beberapa inti pokok dari konsep hu-kum ini, yaitu:24

20 M. Syamsuddin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 109.

21 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 13.22 M. Syamsuddin, Op. Cit., hlm. 112.23 Profesor Emiritus Hukum Pidana Universitas Padjajaran Bandung.24 Romli Atmasasmita, Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Pasundan, Bandung, 2012.

Arah Kebijakan Pembentukan Hukum ke Depan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 211

a. Kehidupan masyarakat selalu dalam keadaan konflik kepentingan, baik konflik berdasarkan etnis, budaya, sosial, ekonomi dan politik.

b. Fungsi hukum mengatur dan menyelesaikan konflik, selain memelihara dan mempertahankan ketertiban.

c. Westernisasi hukum secara historis memperuncing konflik dan mendegra-dasikan easternisasi hukum.

d. Modernisasi hukum bukan menerima utuh sistem hukum asing, melainkan harus beradaptasi sesuai dengan the living law.

e. Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan disalahgunakan menjadi alat pemaksaan kehendak penguasa kepada rakyatnya (dark engineering).

f. Sistem hukum Indonesia telah lama abaikan the living law termasuk adat law (hukum adat);

g. Kurang memperhatikan dan mempertimbangkan 3 (tiga) faktor pengham-bat fungsi hukum sebagai alat pembaharuan.

h. In-court settlement terbukti tidak optimal menyelesaikan konflik, bahkan dalam kasus adat menimbulkan konflik sosial, ekonomi, politik berkepan-jangan (unending conflict).

i. Heterogenitas dan varietas sosial-budaya indonesia memerlukan kearifan lokal bersumber pada adat dalam penyelesaian sengekta.

j. Sarana pembaharuan masyarakat yang sesuai dengan the living law, selain in court settlement-harus dilengkapi dengan out of court settlement.

k. Fungsi hukum integratif adalah mengubah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat menuju nilai baru yang mencerminkan kepastian hukum, ke-manfaatan dan keadilan, dan memelihara serta mempertahankannya secara dinamis.

l. Fungsi hukum integratif bertujuan menciptakan ketertiban, keteraturan, ke-damaian dan keharmonisan kehidupan dalam masyarakat.Teori hukum integratif mencoba untuk mengakomodasi sebagian konsep-

konsep hukum pembangunan dan hukum progresif. Meskipun demikian, hu-kum integratif memiliki kekhasan tersendiri. Ada 2 (dua) kekhasan tersebut, yaitu: Pertama, menekankan penggunaan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat untuk membuat dan menegakkan hukum. Bukan berarti alergi terhadap dunia luar (Barat umpamanya), tetapi sebenarnya setiap masyarakat memiliki nilai-nilai yang terus hidup dan berkembang (the living law). Nilai-nilai tersebut dapat diubah menuju nilai baru yang dapat mencerminkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, dan memelihara serta mempertahankannya

Sayuti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH212

secara dinamis. Kedua, penyelesaikan masalah hukum, khususnya konflik, diar-ahkan pada out of court settlement sesuai dengan the living law tersebut.

Pandangan teori hukum integratif berbeda dengan pandangan teori hu-kum pembangunan dan teori hukum progresif. Teori hukum integratif tidak saja menjadi landasan pengkajian masalah pembangunan nasional dalam kon-teks inward looking, tetapi juga dalam konteks pengaruh hubungan internasional ke dalam sistem kehidupan suatu bangsa, khususnya bangsa Indonesia. Oleh karena dalam praktik hubungan internasional di tengan era globalisasi, sering-kali negara-negara berkembang menjadi korban dari negara maju yang bersifat hipokrit yang lebih mementingkan dirinya sendiri daripada kemajuan bersama negara-negara berkembang. 25

Dalam bidang birokrasi, teori hukum integratif menghendaki adanya reka-yasa birokrasi dan rekayasa masyarakat. Rekayasa birokrasi melalui sistem nor-ma dan dan sistem prilaku, sedangkan rekayasa masyarakat dilakukan melalui sistem nilai. Ketiga sistem itu berasal dari sumber utamanya the living law dalam masyarakatnya, khususnya di Indonesia berasal dari sumber utama negara dan bangsa yaitu Pancasila.

Arah Politik Pembentukan Hukum Kedepan

Pembentukan hukum (rechtsvorming) dalam suatu sistem hukum pada dasarnya sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hu-kum dan oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Biasanya dalam masyarakat sederhana, proses pembentukannya dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang se-cara berlangsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu sendiri. Lain halnya dalam masyarakat yang menganut sistem Eropa Kontinen-tal (civil law), pembentukan hukum dilakukan oleh badan legislatif. Sedangkan dalam masyarakat negara yang menganut tradisi hukum kebiasaan (common law) kewenangan pembentukan hukum terpusat pada hakim.26

Di samping kedua tradisi itu, terdapat juga kecenderungan untuk meng-

25 Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, (Yogyakarta: Genta Publisshing, 2012), hlm. 99.

26 Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Fikahati Aneska, 2012), hlm. 162.

Arah Kebijakan Pembentukan Hukum ke Depan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 213

gabungkan kedua tradisi itu dalam hal pembentukan hukum. Dalam formulasi kombinatif ini, fungsi pembentukan hukum dapat dilakukan baik oleh hakim, lembaga legislatif, maupun badan-badan administratif yang melakukan fungsi semacam itu.27

Menurut E. Utrecht, terdapat beberapa faktor yang menentukan (determi-naten) pembentukan hukum, baik secara formil maupun materiil. Secara formil, faktor yang membentuk hukum ialah perundang-undangan, administrasi neg-ara, peradilan (hakim), tradisi (kebiasaan), dan ilmu pengetahuan atau doktrin. Sedangkan secara materiil faktor penentuan dalam pembentukan hukum dapat disebut perasaan hukum seseorang dan pendapat umum (public opinion).28

Dalam pandangan legisme, hanya perundang-undangan yang dapat dijadi-kan sebagai pembentuk hukum. Aliran legisme, yakni aliran yang timbul akibat adanya gerakan kodifikasi, merupakan aliran yang menentukan bahwa ilmu pengetahuan dan peradilan tidak mengakui hukum di luar undang-undang. Hukum dan undang-undang itu identik, sedangkan ilmu pengetahuan dan ke-biasaan diakui sebagai hukum kalau undang-undang menunjuknya.29

Kemudian peradilan sebagai faktor formil yang membentuk hukum (formale determinaten van de rechtsvorming). Oleh karena perundang-undangan ternyata tidak lengkap dan sering tidak jelas, maka hakim dipaksa atau wajib turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Dalam hal ini, bilamana undang-undang tidak menyebutkan suatu perkara, maka hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri. Hakim harus bertindak sebagai pembentuk hukum dalam hal undang-undang diam saja.30

Hukum juga dapat dibentuk melalui pemahaman ilmu pengetahuan atau doktrin. Di sini doktrin dikenal juga dengan pendapat ahli hukum. Doktrin yang dapat dijadikan sebagai pembentuk hukum, bilamana doktrin tersebut telah di-pahami dalam waktu yang cukup lama, dan diterima oleh masyarakat.31

Selain itu, opini publik dapat menjadi faktor pembentukan hukum. A.V.

27 Ibid., hlm. 163.28 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cet. Ke-

11, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1989), hlm. 203. 29 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,

1999), hlm. 152.30 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Op. Cit., hlm. 20331 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, (Yo-

gyakarta: Liberty, 2000), hlm. 39

Sayuti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH214

Dicey mendefiniskan opini publik sebagai arus opini yang tengah berlaku dan mendominasi sebagai sekumpulan keyakinan, anggapan, sentimen, prinsip-prinsip yang diterima, atau praduga-praduga yang tertanam dengan kuat dan berpadu menjadi satu.32 Tetapi, hukum tidak dihasilkan oleh opini mayoritas seperti halnya ketika seorang presiden dihasilkan oleh suara mayoritas. Naif kiranya kita membayangkan bahwa opini mayoritas dari orang-orang keban-yakan otomatis menjadi hukum.33 Opini yang demikian dapat dikatakan opini yang tidur atau opini laten bukan merupakan kekuatan social, sedangkan yang dapat membentuk hukum adalah kekuatan sosial.34 Opini publik yang dapat mempengaruhi hukum mirip dengan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi pasar. Kemiripan ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: Pertama, ada sebagian orang memiliki kepentingan yang cukup akan komoditas tertentu, sehingga ko-moditas itu menjadi terasa penting; Kedua, ada sebagian orang yang memiliki lebih banyak kekuasaan daripada yang lainnya.35

Pembentukan hukum hukum kedepan, jika dilakukan melalui pendekatan teori hukum pembangunan, dapat diwujudkan dalam bentuk: 1. Mempertahankan segala bentuk hukum yang dinilai berhasil, karena selain

ketimpangan, pembentukan hukum sekarang—khususnya di Indonesia—telah melahirkan pencapaian-pencapaian positif di bidang pembangunan hukum. Menurut teori hukum pembangunan, dalam kaitannya hukum se-bagai sarana pembaharuan masyarakat, fungsi hukum statis dapat dipertah-ankan jika telah membuahkan hasil positif.

2. Pembentukan hukum dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan pe-rundang-udangan. Oleh karena pihak legislatif menurut teori hukum pem-bangunan, berwenang menciptakan suatu kepastian hukum guna mencapai ketertiban masyarakat. Tetapi pembentukan peraturan perundang-udan-gan bersumberkan pada nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat (the living law).

3. Selain peraturan perundang-undangan, moral, agama, kesusilaan, kesopan-an, adat kebiasaan dan norma sosial lainnya dapat dijadikan wadah dalam mencapai ketertiban masyarakat. Dengan kata lain dapat dijadikan sumber

32 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Op. Cit., hlm. 215.33 Laurence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspektive, (Terj. M.

Khozim), (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 211.34 Ibid.35 Ibid., hlm. 213.

Arah Kebijakan Pembentukan Hukum ke Depan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 215

hukum. Kemudian jika dilakukan melalui pendekatan teori hukum progresif, pem-

bentukan hukum nasional ke depan dapat diwujudkan berupa:1. Penempatan pihak pengadilan sebagai pihak utama dalam pembentukan

hukum. Oleh karena dalam pandangan hukum progresif, hukum itu mesti keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.

2. Pembentukan hukum sesuai dengan kebutuhan dan hajat hidup masyarakat. Oleh karena dalam pandangan hukum progresif, kehaadiran hukum itu memiliki hubungan erat dengan manusia dan masyarakat.

3. Pembentukan hukum diarahkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Oleh karena dalam pandangan hukum progresif, hukum harus peduli terhadap hal-hal yang metayuridis (keadilan), dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai.

4. Hukum harus berpihak kepada masyarakat, agar dapat mengontrol tinda-kan-tindakan pemerintah, tetapi dalam batas-batas yang kritis konstruk-tif, etis dan tidak anarkis. Adapun jika dilakukan melalui pendekatan teori hukum integratif, pem-

bentukan hukum nasional ke depan dapat diwujudkan berupa:1. Pembentukan hukum diutamakan, baik melalui peraturan perundang-un-

dangan atau di luarnya, berdasarkan nilai-nilai yang hidup berkembang da-lam masyarakat (the living law termasuk adat law). Oleh karena menurut teori hukum integratif, modernisasi hukum bukan menerima utuh sistem hukum asing, melainkan harus beradaptasi dengan the living law. Sistem hukum In-donesia telah lama mengabaikan the living law termasuk adat law (hukum adat).

2. Pembentukan peraturan perundang-undangan bertujuan untuk mencipta-kan ketertiban, keteraturan, kedamaian dan keharmonisan kehidupan dalam masyarakat. Oleh karena menurut teori hukum integratif, peraturan perun-dang-undangan masih dibutuhkan dalam rangka kepastian hukum. Tetapi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut adalah mengubah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat menuju nilai baru yang mencer-minkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, dan memelihara serta mempertahan kannya secara dinamis.

3. Tindakan pemerintah dibatasi berdasarkan hukum. Oleh karena menurut teori hukum integratif, fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan bukan sebagai alat pemaksaan kehendak penguasa kepada rakyatnya (dark engi-

Sayuti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH216

neering), tetapi sebagai pengubah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat menuju nilai baru yang mencerminkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

4. Hukum diarahkan untuk menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi. Tetapi hukum yang dimaksud adalah hukum berdasarkan nilai-nilai yang hidup berkembang dalam masyarakat (the living law termasuk adat law). Dan penyelesaian sengketa itupun dilakukan berdasarkan hukum adat atau hu-kum lokal sebagai out of court settlement. Oleh karena menurut teori hukum integratif, fungsi hukum mengatur dan menyelesaikan konflik, selain meme-lihara dan mempertahankan ketertiban, tetapi penyelesaian tersebut harus dengan the living law dan kearifan lokal bersumber pada adat. Penyelesaian tersebut dilakukan dalam bentuk out of court settlement, karena in-court set-tlement terbukti tidak optimal menyelesaikan konflik, bahkan dalam kasus adat menimbulkan konflik sosial, ekonomi, politik berkepanjangan (unend-ing conflict).Demikianlah secara garis besar standar-standar yang berikan olek ketiga

teori tersebut, yakni Teori Hukum Pembangunan, Teori Hukum Progresif, dan Teori Hukum Integratif. Tentunya ketiga teori ini ada memiliki sisi persamaan dan perbedaan masing-masing.

Sisi Persamaan dan Perbedaan antara Ketiga Teori Hukum

Berdasarkan pendekatan-pendekatan tersebut, dipahami bahwa terdapat titik persamaan dan perbedaan antara teori hukum pembangunan, teori hukum pro-gresif dan teori hukum integratif. Perbedaannya adalah jika dalam teori hukum pembangunan pembentukan hukum diutamakan lewat peraturan perundang-undangan, maka menurut teori hukum progresif pembentukan hukum diuta-makan lewat sarana-sarana formil di luar peraturan perundang-undangan. Se-dangkan menurut teori integratif, pembentukan hukum diutamakan melalui peraturan perundang-undangan dan/atau sarana-sarana formil di luar pera-turan perundang-undangan berdasarkan nilai-nilai yang hidup berkembang da-lam masyarakat (the living law termasuk adat law).

Adapun sisi persamaannya, antara lain: Pertama, ketiga teori hukum terse-but sama-sama bersepakat bahwa hukum dibentuk untuk menciptakan suatu kepastian hukum guna mencapai ketertiban, keadilan, keteraturan, kedamaian, keharmonisan kehidupan, dan kemanfaatan dalam kehidupan masyarakat. Ked-

Arah Kebijakan Pembentukan Hukum ke Depan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 217

ua, ketiga teori hukum tersebut sama-sama bersepakat bahwa pembentukan hu-kum berdasarkan dan memiliki hubungan erat dengan nilai-nilai moral, agama, kesusilaan, kesopanan, adat kebiasaan dan norma sosial lainnya sebagai nilai-nilai yang hidup berkembang dalam masyarakat (the living law).

Di luar perbedaan dan persamaan tersebut, satu hal yang menonjol dalam pandangan teori hukum integratif, di mana diperlukannya out of court settlement berdasarkan the living law dalam masyarakat dan kearifan lokal yang bersumber pada adat sebagai wadah penyelesaian sengketa konflik sosial, ekonomi, politik, dan budaya lainnya.

Penegasan the living law dalam masyarakat dan kearifan lokal yang bersum-ber pada adat sebagai sumber hukum tersebut, memberikan indikasi jika ketiga teori ini ingin mereformulasi dan merefungsionalisasi nilai-nilai yang sudah ter-tanam dalam jiwa bangsa, khususnya untuk Indonesia adalah Pancasila. Moh. Mahfud MD menambahkan, untuk merumuskan arah kebijakan hukum, setiap negara harus berpijak kepada sistem hukum yang dianut, yang bagi bangsa Indonesia adalah sistem hukum Pancasila.36 Karena sistem yang berakar dari budaya bangsa itulah yang kemudian dijadikan sebagai kaidah penuntun arah pembangunan hukum untuk mencapai tujuan nasional.

Penutup

Sebagai bagian penutup, ingin disampaikan bahwa arah politik pembentukan hukum kedepan, adalah: Pertama, pembentukan hukum diarahkan untuk men-ciptakan suatu kepastian hukum guna mencapai ketertiban, keteraturan, ked-amaian, keadilan, dan kemanfaatan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, pembentukan hukum, baik berupa peraturan perundang-undangan maupun aspek formil lainnya, harus bersumberkan pada nilai-nilai moral, agama, kesusilaan, kesopanan, adat kebiasaan dan norma sosial lainnya sebagai nilai-nilai yang hidup berkembang dalam masyarakat (the living law). Ketiga, penegasan the living law dalam masyarakat dan kearifan lokal yang ber-sumber pada adat atau nilai-nilai yang hidup berkembang dalam masyarakat sebagai sumber hukum.

Hal tersebut memberikan indikasi jika ketiga teori ini ingin mereformu-lasi dan merefungsionalisasi nilai-nilai yang sudah tertanam dalam jiwa suatu bangsa. Reformulasi dan refungsionalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam

36 Moh. Mahfud MD, Op. Cit., hlm. 292.

Sayuti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH218

jiwa suatu bangsa tersebut sebagai antisipasi terhadap nilai-nilai budaya luar yang dikuatirkan dapat menggoyahkan keutuhan suatu negara, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk mengadopsi nilai-nilai budaya luar yang dini-lai positif. Standar yang diberikan ketiga teori ini dapat diterapkan bagi setiap bangsa dengan kekhasannya yang tersendiri, atau bagi suatu kelompok bangsa yang memiliki kekhasan yang sama.

Bibliografi

Bintan R. Saragih, Politik Hukum, Bandung: Utomo, 2006.E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cet. Ke-

11, Jakarta: Ichtiar Baru, 1989. Laurence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspektive, (Terj. M.

Khozim), Bandung: Nusa Media, 2011.Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar

Maju, 2010.Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung:

Fikahati Aneska, 2012.Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional,

Bandung: Binacipta, 1976.Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, Bandung: Alumni,

2000.Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung:

Alumni, 2011.Moh. Mahfud MD, “Capaian dan Proyeksi Kondisi Hukum Indonesia”, JURNAL

HUKUM, No. 3 VoL. 16 Juli 2009.Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007.M. Syamsuddin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif,

Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Bandung: Refika Aditama,

2010.Romli Atmasasmita, Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Pasundan, Bandung, 2012.Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Yogyakarta: Genta Publisshing,

2012. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, Jurnal Hu-

kum Progresif, Vol. 1, No. 1/April 2005, Program Doktor Undip Semarang.Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta:

Arah Kebijakan Pembentukan Hukum ke Depan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 219

Genta Publisshing, 2009. SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Yo-

gyakarta: Liberty, 2000.Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,

1999. Yudi Kristiana, “Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan Dengan Pendekatan Hukum

Progresif, Studi Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, Desertasi PDIH Undip Semarang, 2006.

Muhammad Amin Suma

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH220

SYARIAH, ANTARA DIBENCI DAN DIRINDU

Muhammad Amin SumaGuru Besar Hukum Islam dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaJl. Ir. Juanda 95 Ciputat Jakarta 15412

Abstract: Muslims are people who excel in the past compared to other people. But these people gradually decline both in science, law enforcement and even de-moralization. Thus, this paper aims to analyze what led to the crisis and how to solve it. Crisis or setback that occurs is due to the ineffectiveness of Islamic law properly. Though the substance of the law contains value of justice is not only about economic life, but also in social life and even in law enforcement and politics. By high substance of that, people in the past managed to outperform other people because they run the Shari’a without disabilities. In the Islamic world today, there are two major challenges that must be faced by the Muslims which are theoretical challenges related primarily related to the socialization of learning methodologies including scientific and policy relating to the statutory bodies of the world itself in dealing with the Islamic legal system either ideologically and geographically. If these challenges can be passed and Islamic law be enforced, then Muslims will be able to outperform other peoples.

Keywords: Islam, sharia, maqashid al-syari’ah.

Abstrak: Muslim adalah orang-orang yang berprestasi di masa lalu dibanding-kan dengan orang lain. Tapi orang-orang ini secara bertahap menurun baik dalam ilmu pengetahuan, penegakan hukum dan bahkan demoralisasi. Dengan demikian, makalah ini bertujuan untuk menganalisis apa yang menyebabkan krisis dan ba-gaimana mengatasinya. Krisis atau kemunduran yang terjadi adalah karena tidak efektifnya hukum Islam dengan benar. Meskipun substansi hukum mengandung nilai keadilan bukan hanya tentang kehidupan ekonomi, tetapi juga dalam kehidu-pan sosial dan bahkan dalam penegakan hukum dan politik. Dengan substansi

Syariah, antara Dibenci dan Dirindu

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 221

yang tinggi itu, orang-orang di masa lalu berhasil mengungguli orang lain karena mereka menjalankan syariat tanpa cacat. Dalam dunia Islam saat ini, ada dua tantangan utama yang harus dihadapi oleh umat Islam yang merupakan tantan-gan teoritis terkait terutama terkait dengan sosialisasi metodologi pembelajaran termasuk ilmiah dan kebijakan yang berkaitan dengan badan hukum dari dunia itu sendiri dalam berurusan dengan hukum Islam sistem baik secara ideologis maupun geografis. Jika tantangan ini dapat disahkan dan hukum Islam ditegak-kan, maka umat Islam akan mampu mengungguli orang lain.

Kata Kunci: Islam, syariah, maqashid al-syari’ah.

Pendahuluan

Semua dan setiap insan, pada dasarnya—meskipun belum tentu dalam ke-nyataannya—, berhak menyampaikan prediksi apapun tentang perkembangan kehidupan bangsa dan dunia jauh ke depan. Tentu berdasarkan observasi, pen-galaman, perenungan dan kemampuannya mengolah semua itu menjadi suatu ide dan gagasan besar ke depan. Alhamdulillah, sejak sekira 22 - 23 tahun yang lalu, tepatnya pada akhir-akhir dasawarsa 1980-an hingga awal-awal 1990-an, pemakalah sempat melakukan observasi dan perenungan dimaksud terhadap kondisi sosial ekonomi dan terutama dunia pendidikan hingga akhirnya menca-pai suatu kesimpulan bahwa trand kehidupan bangsa-bangsa di dunia kelak—termasuk Indonesia sekarang ini—akan “diarahkan dan/atau bahkan diken-dalikan” oleh tiga kekuatan besar/raksasa masing-masing bernama: ekonomi, hukum dan ploitik. Tentu saja semuanya dalam konteksnya yang sangat luas dalam pengertian nasional dan regional maupun internasional.

Jangan lupa pula, bahwa penyebab utama timbulnya problem sebuah bangsa dan dunia pada umumnya disebabkan kurang atau tidak rapinya fungsi salah satu apalagi kalau ketiga kekuatan besar di atas yakni: ekonomi, politik dan hukum.” Juga dalam konteksnya yang luas (dunia) di samping terutama dalam lingkupnya yang khusus dalam hal ini kekuatan internal nasional ten-tunya. Selain atas rangsangan sebagian—kecil—dosen-dosen penulis saat-saat masih duduk di bangku kuliah S-1 Fakultas Syariah IAIN SYAHID JAKARTA, hasil perenungan di ataslah yang justru memberi dorongan kuat penulis untuk kembali kuliah mengambil program S-1 ilmu hukum dan lalu program magister managemen dalam bidang ekonomi pemasaran.

Prediksi di atas alhamdulilah ternyata benar adanya tatkala penulis sem-

Muhammad Amin Suma

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH222

pat menyaksikan dan merasakan betapa dunia dengan ciri globalisasinya seka-rang – apapun istilahnya semisal internasional, trans nasional dan lain-lain -- ini benar-benar menampilkan sosok wajahnya yang serba “diarahkan dan/atau bahkan dikendalikan” oleh segi tiga “panglima besar dunia” di atas, lagi-lagi bernama “ekonomi, hukum dan politik.” Tentu seperti diingatkan sebelum ini dalam konteksnya yang serba luas dalam hal ini: ekonomi dunia, politik global dan hukum internasional yang secara umum dan keseluruhan, jika dianalisis dengan sudut pandang syariah, rata-ratanya demikian jauh dari nilai dan norma hukum Allah yang bernama syariah itu.

Kegalauan Sebagian Pakar Syariah

Semua problem sosial yang sebagian kecilnya diangkat panitia “International Seminar on Shari’ah and International Law Issues” mulai dari konflik-konflik daerah perbatasan antara Palestiana – Israel, China – Jepang dan Indonesia – Malaysia, hingga perkara legitimasi kekuasaan sebagaimana yang terjadi di Irak, Afghani-stan, Libiya, Yaman, Suriah dan lain-lain; hingga masalah-masalah ketenaga-kerjaan termasuk tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan lain-lan; semua itu hampir dapat dipastikan di antara penyebab utamanya ialah terkait dengan soal ekonomi, hukum dan politik. Termasuk di dalamnya “politik ekonomi, poli-tik hukum dan bahkan hukum politik yang serba mudah untuk “dimainkan” sedemikian rupa. Ketiganya, secara sendiri-sendiri apalagi kalau bersama-sama, laksana pisau yang adakalanya bisa digunkan untuk kebaikan, namun pada saat yang bersamaan atau berbeda, juga sangat bisa digunakan untuk melukai dan jika perlu bahkan membunuhnya sebagaimana diingatkan Alqur’an di awal-aw-al rencana Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi.1

Sebagaimana dikemukakan panitia seminar dalam proposalnya, bahwa hukum internasional telah banyak berbuat untuk menyelesaikan – paling tidak -- sebagian kasus-kasus krusial tertentu, katakanlah semisal penyelesaian versi arbitrase melalui “The Haque Convention for the Pasific Settelment of International Disputes” (1989) dan terutama melalui International Court of Justuce – Pengadilan International,” namun juga dinyatakan panitia masih tetap saja banyak hal atau tepatnya kasus-kasus yang belum atau bahkan tidak mampu diselesaikan oleh hukum internasional yang ada sehingga masih tetap terbuka upaya lain untuk mencarikan solusi hakiki bagi penyelesaian masalah-masalah dimaksud. Paling

1 Renungkan Al-qur’an, Al-Baqarah (2): 29.

Syariah, antara Dibenci dan Dirindu

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 223

sedikit mengantisipasinya sedemikian rupa.Tantangan besar dan berat yang segera akan dihadapi bangsa Indonesia

khususnya dan bangsa-bangsa Muslim yang lain pada umumnya ialah tindak lanjut dari kedudukan Indonesia sebagai tuan rumah bagi penyelenggaraan Asia Pasifik Economic Coorporation (APEC) pada tahun 2013 tepatnya pada satu bulan yang lalu. Demikian juga dengan kesepakatan 10 anggota negara-nega-ra ASEAN yang sejak beberapa tahun silam telah pula menyepakati pemben-tukan ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015). Semua ini tentu menjadi tantangan dan sekaligus peluang tersendiri bagi bangsa Indonesia khususnya dan bangsa-bangsa lain di dunia pada umumnya yang boleh jadi menimbulkan rasa sama-sama berharap dan cemas atau khaufan wa-tham’an (pinjam istilah Al-qur’an, termasuk dari sudut pandang syariah dan kesyariahan.

Di antara tokoh yang galau terkait dengan kondisi syariah dewasa ini ialah Muhammad Fethullah Gulen, salah seorang tokoh Islam berkebangsaan Turky yang belakangan getol menulis beberapa buah buku. Di antara bagian terpent-ingnya adalah sebagaimana dikutifkan di bawah ini:

Akhir-akhir ini, dunia Islam tengah mengalami krisis luar biasa yang meny-erang hampir seluruh sendi kehidupan kaum muslimin. Mulai darai akidah, akhlak, pola pikir, pendidikan, produktivitas, tradisi, budaya, bahkan hingga ranah sosial poitik, tak ada yang luput dari krisis ini. [Padahal] di masa lalu, umat Islam telah berhasil membangun sistem pemerintahan paling sempurna yang pernah ada dalam sejarah manusia. Sebuah sistem pemerintahan yang tak pernah terbayangkan oleh siapa, [kapan dan di mana]-pun. Selama sekian abad umat Islam menjadi umat yang paling teguh dalam berpegang pada`agama mereka serta menjadi umat yang paling luhur akhlaknya dan paling sempur-na kebudayaannya…. Semua itu dapat terjadi karena dulu umat Islam selalu menjalankan syariat Islam tanpa cacat dengan keluhuran akhlak dan rasioalitas yang matang hingga merekapun mengungguli semua umat lain di sepanjang sejarah manusia.2

Hukum syariah, atau tepatnya al-syari’ah al-islamiyyah, paling tidak oleh sebagian komunitas muslim—insya Allah termasuk untuk tidak mengatakan terutama sivitas akademika Fakultas Syariah—dipandang tepat diriset untuk mendapatkan perangkat nilai (qimah; value) dan norma dasar (al-qawa’id; basic norm) yang sepanjang masa tidak akan pernah mengurang apalagi mengering sebagaimana dapat digali dari sumbrer utama dan pertamanya Al-qur’an wa-

2 Muhammad Fathullah Gulen, Bangkitanya Spiritualitas Islam, (Jakarta: Republika, 2012), hlm. 1-2.

Muhammad Amin Suma

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH224

al-Sunnah dan terus menerus (kontinu) dikembangkan oleh orang/pihak yang kompeten mulai dari generasi-generasi awal sampai ke generasi-genersi berikut (penerusny) hingga sekarang dan insya Allah sampai di masa-masa yang akan datang. Termasuk melalui forum seminar internasional sekarang.

Problem Sosial Lokal-Nasional-Regional–Interasional

Sejumlah problem sosial selalu menghadang atau bahkan terhampar di pelopak mata kita; mulai dari hal-hal yang terkait dengan soal hukum lingkungan yang bersiafat alamiah, sampai hal-hal yang bersifat “rekayasa” ilmiah manusia yang lazim dikenall dengan sebutn ktor intelektual. Dewasa ini, apalagi ke depan, lingkungan keluarga dan terutama lingkungan sosial benar-benar dihadapkan pada berbagai persoalan. Problematika pengelolaan lingkungan sosial yang di-maksudkan antara lain meliputi:3

1. Berkembangnya konflik atau krisis sosial degan atau tanpa kekerasan yang disebabkan oleh berbagai hal; antara lain karena persaingan dan konflik kepentingan serta premanisme dengan atau tanpa menggunakan simbol-simbol suku, agama, ras, golongan, dan/atau lainnya—termasuk “peman-faatan” wilayah dari wiayah-wilayah territorial—semisal Timur-Barat serta Utara-Seatan hingga wilayah keilmuan sekalipun;

2. Ketidak-merataan akses sosial ekonomi;3. Meningkatnya jumlah pengangguran;4. Meningkatnya angka kemiskinan;5. Meningkatnya ketimpangan/kesenjangan sosial ekonomi;6. Ketimpangan/kesenjangan akses pengelolaan sumber daya;7. meningkatnya gaya hidup;8. Kurangnya perlindungan pada hak-hak masyarakat lokal-tradisional;9. Kurangnya penghormatan dan perlindungan pada modal sosial seperti etika

dan kearifan lingkungan serta peranata sosial tradisional;10. Perubahan nilai, antara lain perubahan nilai agraris kepada nilai-nilai indus-

try;11. Meningkatnya jumlah masyarakat rentan, seperti munculnya hunian ku-

muh, hunian di beberapa bantaran dan kawasan rawan bencana;12. Memudarnya masyarakat adat;

3 Muhammad Amin Suma, Kedudukan dan Peranan Huku Islam di Negara Hukum Indonesia, (Tangerang Selatan: Kholam, 2009 M/1430 H), hlm. 33-34.

Syariah, antara Dibenci dan Dirindu

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 225

13. Lemahnya kontrol sisial;14. Meningkatnya jumlah penduduk;15. Distribusi atau persebaran penduduk yang tidak merata;16. Perubahan dinamika penduduk;17. Masalah kesehatan, pencemaran dan pengrusakan lingkungn hidup.

Bila diperhatikan dengan seksama, semua persoalan di atas pada dasarnya dan dalam kenyataannya berpangkal pada faktor sosial ekonomi yang kemu-dian merambah kepada sektor-sektor lain terutama hukum dan politik. Bila yang telah disebutkan di atas lebih mengacu kepada problema sosial lokal dan regional, maka fakta di bawah merupakan kasus-kasus sosial ekonomi yang me-landa dunia di era globalisasi sekarang ini. Sebagai ilustrasi, pemakalah kutib-kan hasil observasi dan perenungan Joseph E Stiglitz sekian tahun lalu, namun masih tetap relevan dalam kedaan sekrang terkait dengan globalisasi ekonomi yang menurutnya tidak bisa dilepaskan sama sekali dari kepentingan ekonomi, politik dan “hukum” atau bahkan jug kepentingan ideologi.

Menurutnya: “GLOBALISASI SEKARANG INI tidak berpihak pada kaum miskin di dunia. Ia [Globalisasi] tidak bekerja untuk sebagian besar lingkungan yang ada. Ia [Globalisasi] tidak menciptakan stabilitas ekonomi global.” Alasan-nya, sergah Stiglitz berdalil, “Ketika IMF berbelas kasihan kepada kaum mis-kin—[justru] ada miliaran dolar tersedia untuk menalangi bank-bank, tapi tidak ada dana sedikitpun untuk memberikan subsidi pangan bagi mereka yang dipe-cat dari pekerjaannya akibat program-program IMF-TO [lebih] mementingkan perdagangan di atas segalanya.” Ia [Globalisasi] tidak menciptakan stabilitas ekonomi global.” Masih kata Stiglitz, “Dunia adalah tempat yang rumit. Setiap kelompok dalam masyarakat memusatkan perhatian pada satu bagian dari re-alitas kehidupan yang memengaruhi kelompok tersebut. Dalam berbagai [per-bedaan dan] perdebatan mengenai kebijakan publik, beberapa orang [pihak] se-cara terus terang berargumen atas kepentingan diri mereka sendiri; [meskipun] segala sesuatu ditulis dengan dalih [mengats-namakan] kepentingan umum.”4

Kritik tajam Stiglitz di atas merupakan satu saja dari sekian banyak kri-tik atau tepatnya kegalauan yang sesungguhnya dari sekian banyak tokoh per-adaban yang tetap menjunjung tinggi moralitas dan apalagi tokoh-tokoh yang idealis. Namun, sepertinya semua itu terkalahkan dengan kepentingan pihak

4 Baca Josep E. Stiglitz, Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangaan Inter-nasional, alih bahasa: Ahmad Lukman, (Jakarta: PT Ina Republika, 2003), hlm. 299 – 351.

Muhammad Amin Suma

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH226

lain yang bermental pragmatis hedonis dengan bebagai dalih yang boleh jadi para aktor intelektualnya justru adalah orang-orang/pihak-pihak tertentu yang itu-itu juga yang bekerja secara sistemik dan bersifat turun-temurun. Sampai kapan kondisi itu hendak dibiarkan berkeliaran memenuh-sesaki seluruh bumi termasuk bumi nusantara ini? Walahu a’lam. Yang jeas, tentu selama sistemnya belum berubah/diubah oleh insan-insan yang mampu menyeimbangkan tata hidup yang berkoridorkan syariah (bertata-aturan) di samping berbasiskan aki-dah dan bercelupkan akhlak.

Paling tidak meurut sebagian komunitas muslimin-muslimat, bahkan ko-munitas lain pada umumnya, di balik kegagalan sistem yang ada, sistem syariah paling sedikit dipandang sebagai sistem yang masih tetap memberikan harapan-optimistis bagi kemungkinan penyelesaian masalah-masalah sosial yang krusial itu dengan secara utuh dan menyeluruh (kaffah). Sayangnya, banyak orang/pihak tidak mau terbuka untuk mengakui secara terus terang berbagai kelebi-han yang ada pada syariah itu. Inilah yang melatari penulis makalah mengubah judul tulisannya degan: “SYARIAH ANTARA DIBENCI DAN DIRINDU.”

Substansi Syariah

Apa dan bagaimana itu syariah? Tanpa ada maksud apapun dari kemungkinan mengecilkan apalagi menafikan andil besar para ilmuwan dan/atau cendeki-awan syariah yang lain-lain, substansi syariah yang dipaparkan Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H/1292 – 1350 M), sejatinya adalah merupkan gubahan tammul dan ta’ammuq kesyariahan yang sungguh paling masyhur dan benar-benar mendunia (menginterasional) daan sekaligus membumi sampai sekarang. Menurut Ilmuwan cerdas abad 7 H atau abad ke 13 – 14 ini:

فان الرشيعة مبناها واساسها عىل احلمك و مصاحل العباد ىف املعاش واملعاد وىه عدل لكها ورمحة لكها ومصاحل لكها وحمكة لكها , فلك مساةل خرجت عن العدل اىل اجلور وعن الرمحة اىل ضدها وعن املصلحة اىل املفسدة فليست من الرشيعة وان ادخلت فهيا ابلتاويل, فالرشيعة عدل هللا بني عباده , ورمحته بني خلقه , وظهل ىف ارضه , وحمكته ادلاةل عليه وعىل صدق رسوهل صىل هللا عليه وسمل امت دالةل واصد قها , وىه نوره ادلى به ابرص املبرصون وهداه ادلى به اهتدى املهتدون و وشفاؤه ادلى به دواء لك عليل , وطريقه املسـتقمي ادلى من اسـتقام عليه فقد اسـتقام عىل سواء السبيل , فهـى قرة العيون , وحياة القلوب , ودل ة االرواح فهـى هبا احلياة والغداء وادلواء والنور والشفاء والعصمة , ولك خري ىف الوجود فامنا هو مسـتفاد مهنا وحاصل هبا , ولك نقص ىف الوجود فسببه من اضاعهتا , ولوال رسوم قد بقيت خلرجت ادلنيا وطوى العامل , وىه العصمة للناس وقوام العامل , وهبا ميسك هللا السموات واالرض ان تزوال , فادا اراد هللا سـبحانه وتعاىل خراب ادلنيا وطى العامل رفع

Syariah, antara Dibenci dan Dirindu

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 227

اليه مابقى من رسوهما , فالرشيعة الىت بعث هللا هبا رسوهل ىه معود العامل , وقطب الفالح , والسعادة ىف ادلنيا واالخرة.

Maksudnya: Maka, sesungguhnya syariah itu tempat pembinaan dan asasnya adalah [bertumpu pada] berbagai kebijakan dan kebajikan serta kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat; syariat itu [tidak lain dan tidak bukan] adalah semata-mata keadilan seluruhnya, rahmat keseluruhannya, melulu kemaslahatan, dan semuanya [berisi] kebijakan; maka, semua dan setiap masalah yang keluar (menyimpang) dari keadilan ke arah kecurangan, dari rahmat menjadi lawan/kebalikannya (bencana-malapetaka), dari maslahat menjadi mafsadat, dari hikmah (bersifat positif) menjadi sia-sia, itu semuanya [dipastikan] bukanlah berasal dari syariat, walaupun dimasukkannya ke dalam syariat itu dengan [melalui jalan] takwil sekalipun. [Pasalnya]? Mengingat syariat itu adalah keadilan Allah terhadap hamba Nya, rahmat Allah terhadap makhluk Nya, perlindungan Allah di muka bumi Nya, dan kebijakan Allah yang menunjukkan [kebenaran] Nya dan kebenaran rasul Nya, shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan pendalilan dan pembenarannya yang sangat prima; syariat itu adalah cahaya Allah yang dengan cahaya itu para pemerhati dapat melihatnya, dan petunjuk Nya yang dengan petunjuk itu maka orang-orang yang diberi petunjuk memperoleh hidayah, pengobatan Nya yang kian sempurna, yang dengan obat (syariat) itu maka semua penyakit akan bisa terobati; syariat itu jalan Nya yang paling lurus, siapa saja yang tetap dan terus berdiri di atasnya maka dipastikan dia akan dapat berdiri di atas jalan yang lurus itu (tidak berat sebelah); syariat itu adalah biji (tatapan) mata (qurrah al-u’yun), kehidupan hati (hayah al-qulub), dan kelezatan jiwa (ladzdzat al-arwah); karena, dengan syariat itulah maka akan tetap eksis kehidupan, makanan, pengobatan, cahaya, obat hati (tombo ati), dan perlindungan; semua dan setiap kebaikan dalam berbagai keadaan, maka itu semua sesungguhnya adalah (buah) yang dipetik dari syariah dan dari keberhasilannya. Sebaliknya, segala sesuatu yang berkurang dalam perwujudannya, maka itu dapat dipastikan bahwa penyebab [utamanya] adalah justru karena menyia-nyiakan syariah; dan sekiranya stempel syariat itu sudah tiada (tidak lagi eksis), maka [sadarilah olehmu], bahwa niscaya dunia ini akan ambruk, dan alam [dengan sendirinya] akan dimatikan. [Bagaimanapun], syariat itu adalah pelindung ma-nusia, dan penegak alam. Dengan syariat itulah Allah mempertahankan langit dan bumi -- sehingga keduanya -- akan tetap tegak. Sekiranya Allah subha-nahu wa-ta’ala berkehendak untuk merobohkan dunia ini dan memporak-po-randakan segala isinya (kharrab al-dunya wa-thayy al-‘alam), maka Ia tinggal mengangkat (menghilangkan) saja apa yang tersisa dari simbol-simbol syariat itu. Maka [harap kalian ketahui wahai pencinta syariah], bahwa dengan dan demi syariat itulah maka Allah mengutus rasul Nya. [Sadarilah wahai sarjana syariah], bahwa syariat itu adalah tiang-tiang pancang alam (‘umud al-‘alam),

Muhammad Amin Suma

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH228

pemimpin/pemandu ke arah kebahagiaan (quthb al-falah), dan [jaminan] kes-ejahteraan di dunia dan akhirat (sa’adah fi-al-dunya wa-al-akhirah).5

Dari gubahan Ibn Qayyim al-Jauziyah yang sangat singkat, padat namun akurat, ini siapapun sejatinya bisa mengerti, memahami, membuktikan, menga-malkan, menghayati dan insya Allah menikmati bahwa syariat/syariah itu me-mang benar-benar adil, benar-benar rahmat, benar-benar maslahat dan benar-benar hikmat. Atau, bisa diistilahkan dengan ungkapan Syariat itu = ARMAH, maksudnya: adil, rahmat, mashalih dan hikmah. Pasalnya ? Syariah itu benar-benar menawarkan nilai-nilai universal dan abadi terutama yang terkait den-gan hak-hak asasi manusia (al-huquq al-asasiyyah) khususnya hak hidup (haqq al-hayah), hak persamaan di muka hukum dan undang-undang (haq al-musawat amam al-syar’ wa-al-qanun), hak kemerdekaan (haq al-hurriyyah), hak beragama (haqq al-tadayyun) dan lain-lain.6 Kecuali itu, syariat juga melahirkan instrument baku (standar) yang benar-benar memanca-negara atau tepatnya mendunia dan sekaligus juga membumi. Semua ini dapat ditemukan dalam setiap sektor ke-hidupan umat manusia. Temasuk bidang ekonomi yang mengajarkan prinsip-prinsip keadilan, pemerataan dan keberkahan; konsepsi hukum yang benar, adil dan tanpa pandang bulu (tebang pilih), serta idealism politik (siyasah sayr’iyyah) yang paling tidak secara teoretis benar-benar mengayomi semua pihak dan me-lindungi setiap insan. Lagi-lagi ketiga bidang inilah yang sejatinya justru ber-peran untuk miniml mengarahkan jalannya kehdupan dunia modern sekarang ini yang sarat dengan kerawanan-kerawanan sosial.

Teramat banyak untuk dikemukakan pakar-pakar syariah dari yang klasik (salaf) maupun kontemporer (khalaf) yang sesungguhnya merindukan kejayaan syariah, namun tak berdaya untuk memerankannya secara hukum maupun poli-tik meskipun secara ekonomi kini telah “terbuka lebar” jalan besar bagi pertum-buhan dan pengembangan ekonomi dan keuangan Islam. Kita tetap berharap dan lebih dari itu harus berusaha dengan optimistis untuk terus menggali dan menggali terus nilai-nilai keadilan dalam bidang-bidang lainnya sebagaimana dipesankan Al-qur’an di mana keadilan itu memiliki ruang-lingkup yang dapat dikatakan tidak terbatas.

5 Ibn Qayyim al-jauzaiyyah, I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz 3, (Beirut– Lubnan: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 14-15.

6 Pembahasan lebih jauh tentang hak-hak asasi (al-huquq al-asasiyyah), baca antara lain: Muhammad al-Zuhayli, Huquq al-Insan fi al-Islam, (Beirut–Lubnan: Dar Ibn Katsir, 1426 H/2005 M), hlm. 45.

Syariah, antara Dibenci dan Dirindu

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 229

Setelah mengutip dan menerjemahkan beberapa ayat terkait dengan kon-sep keadilan dalam Alqur’an, ‘Abdur-Rahman I. Doi misalnya meyimpulkan demikian:

Justice is a comprehensive term, and my include all the virturs of good behav-ior. But the religion of Islam asks for something warmer and more human, the doing of good deeds even where perhaps they are not strictly demanded by jus-tice, such as returning good for ill, or obliging those who in worldly language “have no claim” on you; and of course the fulfilling of the claims of those whose claims are recognized in social life. Similarly the opposites are to be avoided: everything that is recognized as shamefull, and everything that is really unjust, and any inward rebellion against Allah’s Law of our own conscience in its most sensitive form.7 Justice is Allah’s attribute, and to stand firm for justice is to be a witness to Allah, even it it is detrimental to out own interest, as we conceive them, or the interests of those who are near and dear to us. According to the Latin saying: “Let justice be done though heaven should fall.8

Komentar senada dikemukakan beberpa tokoh lain sebgaimana disimpul-kan Mohammad Hashim Kamali, tatkala ia menyatakan demikiann:

Justice is a supreme virtue and it is, in all its various manifestations, one of the overriding objectives of Islam to the extent that it stands next in order of priority to belief in Oneness of God (tawhid) and the truth of the Prophethood (risalah) of Muhammad saw…. The Qur’anic conception of justice, according to Abu Zahrah, is that of absolute justice (al-‘adalah al-muthlaqah)…. The Qur’anic conception of justice also extends to personal virture and the standards of moral excellence that the believer is advised to attain as an integral part of God-con-sciousness and taqwa…9

Memperhatikan term keadilan di atas, maka sungguh luar biasa bahwa substansi dari keadilan yang dikonsepsikan Islam, itu tidak hanya dalam ben-tuk material yang terbatas dn serba bisa disaksikan oeh panca-indera dan nalar akademik ilmiah; akan tetapi juga melingkupi ruang yang sangat luas termasuk keadilan dengan model-bentuk nilai dan terutama rasa yang abstrak sekalipun. Demikian pula dengan konsepsi Islam tentang rahmat, mashalih dan hikmat yang karena satu dan lain hal terutama pertimbangan teknis penulisan, tidak dapat diuraikan secara memadai di dalam makalah ini. Namun yang jelas, sub-

7 Abdur-Rahman I Doi, Shari’ah: the Islamic Law, (Kuala Lumpur–Malaysia: A.S. Noordeen, 2002), hlm. 3.

8 Ibid., hlm. 5. 9 Mohammad Hashim Kamali, Freedom, Equality and Justice in Islam, (Kuala Lum-

pur-Malaysia: Ilmiah Publishers, 2002), hlm. 107 – 112.

Muhammad Amin Suma

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH230

stansi syariat itu seperti dikemukakan Ibn Qayyim al-jauziyyah yang diamini dan dikembangkan oleh para pemerhati syariah lainnya termasuk Muhammad Abu Zahrah, ‘Abdur-Rahman I, Doi, dan lain-lain—termasuk penulis makalah ini—insya Allah sangat meyakini dan menjiwai bahwa syariah itu benar-benar memiliki ruang-lingkup yang amat sangat luas. Demikian pula dengan kosnep rahmat, mashalih, hikmat dan lain-lainnya sebagaimana terdapat dalam guba-han indah syariah di atas.

Dalam bidang ekonomi dan keuangan, misalnya, syariah menanamkan prisnip-prinsip keadilan, pemerataan yang menunjukkan keunggulan sistem ekonomi dan keuangan syariah itu sendiri dibadningkan misalnya dengan sistem-sistem ekonomi dan keuangan yang lain-lain. Demikian pula dengan per-samaan hak dan kewajiban di muka hukum serta kemerdekaan dalam menentu-kan sikap dan pandangan politik yang serba terjamin dan terlindungi. Maknan-ya, tidak ada diskriminasi perlakuan terhadap kelakuan semua dan setiap insan (warga negara/warga dunia) yang manapun. Sayangnya, konsep ideal syariah terkait dengan ihwal hidup dan kehidupan bermasyakarakat, berbangsa dan bernegara apalagi kehidupan yang mendunia, ini belum mendapatkan tempat yang memadai. Terutama tekait dengan kemungkinan pemberlakuan hukum syariah yang hampir selalu mendapatkan tantangan atau bahkan penentangan (pelarangan) itu. Padahal, sejatinya memang tidak ada satu sistem hukum-pun yang konsep keadilan, kerahmatan dan kemashalihannya seluas dan setegar hu-kum syariah itu. Inilah pula yang pemakalah maksudkan dengan ungkapan sya-riah antara dibenci dan dirindu yang dijadikan judul dalam makalah ini.

Apapun komentar dan/atau saran-masukannya terkait kemungkinan im-plementasi syariah di berbagai ruang dunia termasuk melalui pintu-pintu hu-kum intrenasional, yang jelas syariah itu pada dasarnya dan dalam kenyataan-nya tidak pernah mengalami kekurangan apalagi kekeringan nilai ideal dan norma-norma dasar yang baku. Semua dan setiap persoalan yang disodorkan kepada syariah, hampir atau bahkan dapat dikatakan pasti ada solusi (way out)-nya melalui pintu ijtihad yang terbuka lebar dan lebar terbuka utuk terus melakukan penggalian layaknya pengeboran minyak dan/atau terutama air dari sumber atau sumurnya yang tidak pernah mengurang apalagi mongering yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Di sinilah terletak arti penting dari ajaran ilmu fikih-usul fikih yang dalam kadar tertentu bagaimanapun memperkenalkan sistem hukum internasional melalui sejumlah kaidah fikhiah maupun kaidah ushuli-yah yang sangat kaya dan variatif. Terutama dengan haluan maqashid al-syari’ah

Syariah, antara Dibenci dan Dirindu

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 231

alias cita ideal hukum syariah.

Maqashid al-Syari’ah

Maqashid al-syari’ah yang dibangun dan dikembangkan oleh para jurist Islam klasik terdahulu sampai ulama-ulama kontemporer sekarang, ini merupak-an bukti nyata keluasan, keluwesan dan kelawasan (keabadian) hukum Islam. Termasuk ketika harus disejajarkan dan disesuaikan dengan hukum modern sekarang mjulai dari yang local-nasional hingga yang regional-internasional (international law) sekalipun. Maqashid al-Shari’ah, yang sejak dimasa-masa awal kelahiran dan kehadirannya sampai sekarang tetap menjadi tiang pancang dan sekaligus tiang pengembang hukum Islam, jelas memberikan harapan tersendiri bagi kemungkinan andil besar hukum syariah ke depan dalam mempersiapkan dan/atau membentuk serta menerapkan sistem hukum internasional yang lebih adil dan lebih baik. Syaratnya, masyarakat dunia mengakui dan menerima den-gan senang hati uluran tangan hukum syariah yang sangat kaya-raya dengan nilai-nilai ideal yang serba sesuai itu. Paling sedikit melalui pendekatan konsep maqashid al-syari’ah yang kini sedang dan sudah menjadi bintang utama dalam berbagai pentas pengakuan ekonomi dan keuangan Islam di seluruh dunia.

Terkait dengan maqashid al-syari’ah yang secara langsung berkaitan den-gan kebutuhan-kebutuhan hidup umat manusia mulai dari kebutuhan primer (dharuriyat) dan skunder (hajiyat) sampai kepada kebutuhan yang bersifat tersier (tahsiniyat/takmiliyat) yang menjadi tujuan utama bagi realisasi hukum Islam, se-cara singkat dan padat disarikan oleh Jasser Auda dalam gambar di bawah:10

Memperhatikan disiplin ilmu-ilmu syariah di atas terutama yang dikenal dengan istilah hukum Islam (Islamic Law) atau fikih, maka paling tidak masih ada dua tantangan besar dan cukup berat yang dihadapi oleh keluarga besar ilmuwan dan sarjana syariah secara perorangan maupun kelembagaan semisal Himpunan Imuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI). Kedua tantangan be-sar dan berat yang dimaksudkan ialah pertama tantangan yang bersifat ilmiah-teoretis terutama terkait dengan metodologi pembelajaran termasuk sosialiasi keilmuannya; sementara di pihak lain terkait dengan kebijakan badan-badan hukum dunia itu sendiri dalam menyikapi sistem hukum Islam yang secara ideologis maupun geografis itu benar-enar telah mendunia.

10 Jasser Auda, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, (London: the Interna-tional Institut of Islamic Thought, 1429H /2008M), hlm. 7.

Muhammad Amin Suma

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH232

Meskipun sistem hukum Islam itu secara umum dan garis besar pada dasarnya telah dan terus berjalan dan dijalankan ummatan muslimatan secara cul-tural; namun secara politis- ideologis paling tidak secara legal- formal masih tetap belum “ter” apalagi “di”-apresiasi oleh badan-badan hukum dunia untuk sekedar memberikan sumbangsih nyata layaknya tatkala dunia tengah dilanda gempa bumi atau tsunami yang siap menerima uluran tangan tanpa melihat lem-baga apa dan dari manapun lembaga donornya. Begitulah kira-kira situasi yang memungkinkan hukum Islam bisa menjadi pendonor hukum internasional. Di sinilah teretak arti penting dari konsistensi kita keluarga besar lmuwan dan sar-jana syariah yang harus terus memacu dan memacu terus kesiapan menuang-kan nilai-nilai syariah ke dalam berbagai bentuknya mulai dari kegiatan tulis-menulis hingga ke kegiatan seminar dan lain-lain. Pendeknya, mutiara suara dan kerja nyata syariah dan kesyariahan itu harus terus dilakukan tanpa kenal lelah apalagi menyerah.

Luxuries Neccessities

Needs Needs Luxurie

Necessities

General

Specific

Partial

Universal Principles

Detailed Ruling

Detailed Ruling

Detailed Ruling

A CONTEMPORARY PERSPECTIVE

Syariah, antara Dibenci dan Dirindu

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 233

Terkait dengan pengajaran hukum Islam di universitas-universitas Barat dan pada sebagian dunia lainnya termasuk di Indonesia, secara umum masih terus bersifat teoretis, dan didominasi oleh kepentingan-kepentingan akademis dan komparatif murni dengan terus bersikap kritis yang terkadang atau mala-han sering-sering berlebihan sesuai dengan sudut pandang orientalis….. Fakul-tas-fakultas hukum di Inggris dan Amerika misalnya yang memiliki program studi Timur Tengah dan Oriental, biasanya mengajarkan hukum Islam sebagai mata kuliah pilihan, bukan mata kuliah sungguhan apalagi mata kuliah yang sesungguhnya. Kondisi demikian tentu merupakan hal yang wajar mengingat hukum Islam di Barat bukanlah disiplin ilmu terapan, maka program-program pengajarannya tidak menanggapi berbagai kebutuhan profesi hukum ke depan. Jika ada satu bidang hukum Islam yang banyak menyinggung penerapannya, maka hal itu adalah hanya sebatas perbankan dan keuangan Islam.11

Sebaliknya, di dunia Islam hukum Islam itu sejatinya benar-benar dijadikan mata kuliah utama dan penentu. Pasalnyaa? Karena pengajian hukum Islam di dunia Muslim termasuk untuk tidak mengatakan terutama di Indonesia sehar-usnya dalam konteks ilmu teoretis dan sekaligus ilmu-ilmu praksis. Termasuk dalam konteks hukum internasionalnya di samping terutama dalam konteks hukum interal-lokal, nasional dan regional. Proses pembelajaran/ perkulia-han hukum ekonomi dan keuangan Islam/Syariah misalnya, tidak lagi terba-tas apalagi dibatasi dengan aspek muamalah dalam pengertiannya yang sempit yakni hukum-hukum akad terkait dengan produk lembaga-lembaga keuangan syariah (LKS) itu sendiri; melainkan sudah harus dipikirkan dan bahkan diper-siapkan kemungkinan perumusan hukum-hukum acara berikut para pengacar-anya sekaligus. Demikian pula dengan perangkat-perangat hukum yang lain-nya yang sudah harus menyentuh dunia hukum internasional. Inilah di antara tugas berat namun mulia yang harus dipikirkan secara serius. Inilah pula yang selalu menggoda pemakalah dan kawan-kawan untuk terus melakukan upaya pembaruan dan pemajuan sistem maupun bentuk perkuliahan pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN SYAHID JAKARTA baik dengan konsep SEGI TIGA EMAS BIDANG ILMU KELOLAAN FSH dan program double degree di samping beberapa kebijakan lainnya.12

11 Mohamad Hashim Kamali, Membumikan Syariah, (Jakarta: Mizan, 2013), hlm. 340 – 341.

12 Untuk persoalan SEGI TIGA EMAS BIDANG ILMU, baca Muhamad Amin Suma, FSH UIN JAKARTA: Potret, Keadaan dan Prospeknya, (Jakarta: FSH Press, 2013),

Muhammad Amin Suma

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH234

Pengkajian hukum Islam teoretis dalam bentuknya yang seperti itu, dapat diduga kuat (zhann) jika tidak boleh dikatakan pasti akan membuat cara pan-dang yang tidak akan memberikan kesempatan memadai kepada hukum Islam terkait dengan hal-hal yang besifat internasional. Kecuali dalam kasus-kasus ter-tentu yang secara langsung terkait erat dengan hal-ihwal kemanusiaan semisal hukum kepengungsian, di mana hukum Islam mendapatkan kedudukan yang dapat dikatakan memadai dalam pentas hukum intrenasional. Sementara dalam bidang-bidang yang lain, terutama dalam bidang politik dan ekonomi, keterliba-tan atau tepatnya pelibatan hukum Islam ke dalam sistem hukum intrenasional tampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Sesuai dengan spirit Alqur’an yang mendorong usernya untuk terus berijtihad, berjihad dan mujahadah, pros-es pembelajaran, penggalian, pengembangan dan pengalian (pelipat-gandaan) hukum Islam termasuk dalam bidang hukum internasional harus tetap menjadi salah satu peduli kita secara bersama-sama.

Gejala demikian sesungguhnya tidak terbatas dalam konsep hukum inter-nasional mengingat dalam tataran tertentu persepsi hukum nasional kebanya-kan negara-negara Muslim terhadap hukum Islam juga memang masih tetap menghadapi sejumlah masalah baik inrenal maupun eksternal. Apalagi dalam kancah percaturan politik hukum internasional di mana pengaruh negara-neg-ara maju atau tepatnya negara-negara tertentu dapat dikatakan sangat domi-nan dibandingkan dengan aspirasi kebanyakan negara-negara berkembang dan apalagi negara-negara yang berada di bawahnya.

Satu hal lain yang tetap penting diingat dan dicatat ialah bahwa ba-gaimanapun pembentukan suatu undang-undang termasuk undang-undang na-sional apalagi internasional—apapun sebutan/istilahnya—mustahil lepas dari pengaruh-pengaruh subyektivitas para pembentuknya, perorangan maupun lembaga. Sebagaimana diakui dan dituturkan para pakar dan praktisi hukum, bahwa bagaimanapun peraturan perundang-undangan itu lebih tepat dikatakan sebagai produk politik daripada murni produk hukum. Bahkan berbagai fak-tor yang mempengaruhi produk hukum di Indonesia, oleh sebagian ahli diang-gap lebih bersifat represif dibandingkan responsif. Profesor Ramli Atmasasmita, misalnya antara lain mengingatkan bahwa “Proses legislasi dengan produk pe-rundang-undangan bukanlah proses yang steril dari kepentingan politik karena ia merupakan proses politik. Bahkan implementasi perundang-undangan terse-

hlm. 2.

Syariah, antara Dibenci dan Dirindu

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 235

but yang dikenal dengan sebutan “penegakkan hukum” atau “law enforcement” sekalipun juga tidaklah selalu steril dari pengaruh politik.13

Sungguhpun demikian, sebagai sarjana syariah apalagi yang sekaligus se-bagai sarjana hukum sebagaimana ditegaskan sebelum ini, harus tetap berupaya untuk terus menggali dan mengembangkan nilai-nilai syariah serta mensosial-isasikannya sedemikian rupa ke tengah-tengah masyarakat luas baik secara teo-retis maupun praksis. Tidak harus selalu dalam bentuk perundang-undangan yang bersifat legal formal melainkan juga dalam hal-hal yang penerapan nilai-nilai syariahnya tidak memerlukan bantuan langsung hukum positif. Katakan-lah yang bersifat kulturisasi syari’ah semisal penguatan budaya halal food, hi-jabisasi pakaian yang syar’i-modern atau modern-syar’i, dan lain-lain.

Pertumbuhan jumlah mahasiswa jurusan dan atau fakultas syariah teru-tama Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) yang sejak beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan, tentu memberikan harapan dan rasa optimisme tersendiri bagi kita semua bahwa dalam waktu sekian tahun ke de-pan, insya Allah hukum Islam akan menjadi sistem hukum yang benar-benar membumi dan mendunia. Membumi, maksudnya benar-benar diberlakukan atas dasar kesadaran dan kebutuhan masyarakatnya sendiri bukan atas dasar penekanan dan apalagi pemaksaan; sedangkan mendunia, maksudnya hukum Islam itu benar-benar berlaku dan jika mungkin diberlakukan di seluruh dunia msulim. Pada gliranya, turut memberikan sumbangsih nyata dan tersediri bagi pembentukan hukum internasional berikut pemberlakuannya di berbagai bela-han bumi. Di sinilah terletak arti penting dari keberadaan mata kuliah filsafat dan sejarah tarikh al-tasyri’ al-Islami ditumbuh-kembangkan di semua dan se-tiap fakultas syariah dan/atau hukum. Dan di sinilah pula letaknya kehdiran tuntutan kebutuhan dosen-dosen syariah untuk memiliki kemahiran ilmu-ilmu syariah dan kepiawaian proses transformasi keilmuannya kepada para maha-siswa yang menjadi mitra diskusi dan mitra pengembangannya.

Suatu ketika, insya Allah sistem hukum Islam (syariah) pada akhirnya akan menjadi pilihan hukum (choice of law) utama yang paling tepat untuk menyele-saikan berbagai kasus yang dihadapi dunia modern yang serba cepat, kompleks dan dahsyat di satu pihak; dengan sosok substansi syariah yang sungguh kaya, peka dan dinamis. Keluasan, keluwesan dan keabadian hukum syariah yang be-

13 Basrief Arief, “Prospek Pengabdian Sarjana Hukum dan Sarjana Syariah di Ling-kungan Kejaksaan Reublik Indonesia”, Makalah, Disajikan pada Kegiatan Stu-dium General FSH UIN Jakarta, 21 Oktober 2013 M.

Muhammad Amin Suma

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH236

lum atau bahkan sama sekali tidak dimiliki oleh beberapa sistem hukum yang lain, akan menjadi solusi tepat tersendiri seiring dan sebangun dengan perkem-bangan pemikiran umat manusia yang lebih logik dan empiris. Perkembangan grafik pemeluk agama Islam di se antero jagat raya yang dari waktu ke waktu (belakangan) jumlahnya terus meningkat hingga ratusan persen (3000an %) mengisyartkan hal itu. Demikian pula dengan pembukaan kajian-kajian keisla-man termasuk kesyariahan yang kian waktu semakin mengggeliat dan bahkan menguat menjadi indikasi lain lagi dalam konteks pemasyaraatan syariah dan pensyar’ian masyarakat. Demikian pula dengan semangat kaum terpelajarnya sendiri dalam melakukan penggalian dan pengarus-utamaan ilmu-ilmu sya-riah (al-‘ulum al-syaar’iyyah) dan kesyariahan terutama oleh sivitas akademika fakultas syariah sendiri sebagai penggali dan pengawal ilmu-ilmu syariah dan kesyaraiahan.

Penutup

Demikianlah kertas kerja ini pemakalah bentangkan berikut kekurangan dan keterbatasnnya; namun tetap berdoa semoga keberadaannya dapat memberi-kan bahan masukan untuk melakukan diskusi bersama secara interaktif bagi pembahasan selanjutnya. Amin, amin, amin, ya mujib al-sa’ilin; wa-al-hamu lillahi rabb al-‘alamin.

Bibliografi

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Edisi Revisi, Semarang: Kumudasmoro Grafindo Semarang, 1994.

Abdur-Rahman I Doi, Shari’ah: the Islamic Law, Kuala Lumpur–Malaysia: A.S. Noordeen, 2002.

Basrief Arief, “Prospek Pengabdian Sarjana Hukum dan Sarjana Syariah di Ling-kungan Kejaksaan Reublik Indonesia”, Makalah, Disajikan pada Kegiatan Studium General FSH UIN Jakarta, 21 Oktober 2013 M.

Ibn Qayyim al-jauzaiyyah, I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz 3, Beirut– Lubnan: Dar al-Fikr, t.t.

Jasser Auda, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, London: the Interna-tional Institut of Islamic Thought, 1429H /2008M.

Josep E. Stiglitz, Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangaan Interna-sional, alih bahasa: Ahmad Lukman, Jakarta: PT Ina Republika, 2003.

Muhammad al-Zuhayli, Huquq al-Insan fi al-Islam, Beirut–Lubnan: Dar Ibn Kat-

Syariah, antara Dibenci dan Dirindu

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 237

sir, 1426 H/2005M. Muhammad Amin Suma, Kedudukan dan Peranan Huku Islam di Negara Hukum

Indonesia, Tangerang Selatan: Kholam, 2009 M/1430H. Muhamad Amin Suma, FSH UIN JAKARTA: Potret, Keadaan dan Prospeknya, Ja-

karta: FSH Press, 2013. Muhammad Fathullah Gulen, Bangkitanya Spiritualitas Islam, Jakarta: Republika,

2012. Mohammad Hashim Kamali, Freedom, Equality and Justice in Islam, Kuala Lum-

pur-Malaysia: Ilmiah Publishers, 2002. Mohamad Hashim Kamali, Membumikan Syariah, Jakarta: Mizan, 2013.

Fauzi M.

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH238

URGENSI IJTIHAD SAINTIFIK DALAM MENJAWABPROBLEMATIKA HUKUM TRANSAKSI

KONTEMPORER

Fauzi M.Dosen Hukum Islam Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Jl. Lintas Jambi-Ma. Bulian KM. 16 Simpang Sei Duren Jambi Luar Kota, 36361, Muaro Jambi

Abstract: This article will discuss about the urgency of doing ijtihad scientific ra-tional to address the legal issues of contemporary transactions and also the founda-tion of the scientific ijtihad, as well as examples of scientific diligence in addressing the legal issues of contemporary transactions. The answer is, indeed, how do ijti-had scientific urgency to address the problems of contemporary transactions in the global era. Al-Quran and al-Sunnah as the primary source of Islamic law has pro-vided legal instruments are very flexible with all the changing times, so that Islam is a religion that is always appropriate for all times and places, including in the era of globalization. So that it is no exaggeration if Muslims are always optimistic that no matter how great the development of contemporary transactions in the era of globalization will always be followed by Islamic law, namely to conduct scientific ijtihad to answer all the problems of the emerging contemporary transaction.

Keywords: scientific ijtihad, legal issues, contemporary transaction.

Abstrak: Artikel ini akan membicarakan tentang rasional urgensinya melakukan ijtihad saintifik untuk menjawab persoalan hukum transaksi kontemporer dan juga landasan melakukan ijtihad saintifik tersebut, serta contoh ijtihad saintifik dalam menjawab persoalan hukum transaksi kontemporer. Jawabannya, memang, betapa urgennya dilakukan ijtihad saintifik untuk menjawab problematika transaksi kon-temporer pada era global. Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber utama hu-kum Islam telah menyediakan instrumen-instrumen hukum yang sangat fleksibel dengan segala perubahan zaman, sehingga Islam adalah agama yang senantiasa

Urgensi Ijtihad Saintifik

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 239

sesuai untuk segala zaman dan tempat, termasuk di era globalisasi. Sehingga bu-kanlah hal yang berlebihan jika umat Islam selalu optimis bahwa betapa pun hebat perkembangan transaksi kontemporer di era globalisasi akan selalu dapat diikuti oleh hukum Islam, yakni dengan melakukan ijtihad saintifik untuk menjawab se-gala problematika transaksi kontemporer yang muncul tersebut.

Kata Kunci: ijtihad saintifik, persoalan hukum, transaksi kontemporer.

Pendahuluan

Era globalisasi (the age of globalization), dalam beberapa literatur dinyatakan bermula pada dekade 1990-an.1 Era ini ditandai, diantaranya dengan adanya fenomena penting dalam bidang ekonomi. Kegiatan ekonomi dunia tidak han-ya dibatasi oleh faktor batas geografi, bahasa, budaya dan ideologi, akan tetapi lebih karena faktor saling membutuh-kan dan saling bergantung satu sama lain.2 Dunia menjadi seakan-akan tidak ada batas, terutama karena perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Keadaan yang demikian melahirkan ban-yak peluang sekaligus tantangan,3 terutamanya dalam hal transaksi (muamalah) kepa-da semua pihak, termasuk umat Islam.4

Proses globalisasi diperkirakan semakin bertambah cepat pada masa mendatang, sebagaimana dikemukakan oleh Colin Rose bahwa dunia sedang berubah dengan kecepatan langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ke-hidupan masyarakat termasuk kehidupan hukum dan ekonominya menjadi se-

1 Globalization is accepted as one of the fundamental of the processes that characterize the contemporary world, a process leading towards an increasingly strong interde-pendence between increasingly large parts of the world. S. Parvez Manzoor, “Book Review ‘Islam in the Era of Globalization: Muslim Attitudes Towards Modernity and Identity”, Journal of Islamic Studies, Oxford: Centre for Islamic Studies, Vol. 15, No. 2, Mei 2004, hlm. 280.

2 Jan Pronk, “Globalization: A Developmental Approach”, dalam Jan Nederveen Piet-erse (ed.), Global Futures, Shaping Globalization, (London: Zed Books, 2001), hlm. 43.

3 Walter Leimgruber, Between Global and Local, (Aldershot (England: Ashgate Pub-lishing Limited, 2004), hlm. 18-19.

4 Abdul Rashid Moten, “Modenization and The Process of Globalization: The Muslim Experience and Responses”, dalam K.S. Nathan dan Mohammad Hashim Kamali (eds.), Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategiec Challenges for the 21st Century, (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2005), hlm. 231-255.

Fauzi M.

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH240

makin kompleks.5 Persoalan-persoalan hukum dalam berbagai aspeknya yang dulu-nya tidak

pernah terbayangkan muncul, pada era globalisasi muncul dan berkembang dengan cepat. Persoalan-persoalan dalam bidang muamalah Islam yang bela-kangan muncul misalnya zakat profesi, asuransi, praktek perbankan elektronik, pasar modal, bursa efek, reksadana, e-commerce dan lain-lain. Padahal wahyu tidak akan turun lagi karena Rasulullah Saw sebagai Rasul terakhir telah wafat, dan al-Qur’an telah tamat. Sementara tidak semua persoalan-persoalan hukum yang muncul kontemporeri dalam era globalisasi dijawab secara gamblang oleh ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Rasulullah Saw.6 Walaupun sebagian persoalan-persoalan yang muncul kontemporeri telah dibincangkan oleh ulama terdahulu, tetapi kasus dan kondisinya tidak sama persis, sehingga perlu kajian lagi.7 Oleh karena itu perlu dilakukan ijtihad saintifik untuk menjawab problematika tran-saksi kontemporer pada era globalisasi,8 sehingga terbuktilah bahwa Islam ada-lah salihun likulli zaman wa likulli makan (cocok untuk setiap zaman dan tempat).

Artikel ini akan membincangkan tentang rasional urgensinya melakukan ijtihad saintifik untuk menjawab persoalan hukum transaksi kontemporer dan juga landasan melakukan ijtihad saintifik tersebut, serta contoh ijtihad saintifik dalam menjawab persoalan hukum transaksi kontemporer.

Pengertian Ijtihad Saintifik

Kata ijtihad berasal dari kata jahada, kata ini beserta derivasinya berarti “pen-curahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan.” Perkataan ini menunjukkan pekerjaan yang sulit dilakukan atau lebih dari biasa. Secara ringkas, ijtihad berarti sungguh-sungguh atau kerja keras untuk menda-patkan sesuatu.9

5 Collin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning for the 21st Century, (New York: Delacorte Press, 1997), hlm. 1.

6 Hasan al-Turabi, Qadaya al-Tajdid, (Khartum: Ma‘had al-Buhuth wa al-Dirasat al-Ijtima‘iyyah, 1990), hlm. 50-51.

7 Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance, (London: Kluwer Law International, 1998), hlm. 25-28.

8 Ridwan al-Sayyid, “al-Tajdid al-Fiqhi wa al-Dini”, Journal al-Ijtihad, Vol. 57 dan 58, Tahun ke-15, Beirut: Dar al-Ijtihad, 2003, hlm. 13.

9 Muhammad Musa Towana, al-Ijtihad: Madha Hajatina Ilaihi fi Hadha al-‘Asr, (Dar al-Kutub al-Hadithah, 1972), hlm. 97

Urgensi Ijtihad Saintifik

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 241

Kata ijtihad mempunyai makna khusus dalam Islam, yaitu pencurahan segala kemampuan secara maksimal untuk memperoleh suatu hukum Syarak yang amali melalui penggunaan sumber syarak yang diakui.10 Dalam definisi yang lain disebutkan, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh se-orang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.11 Menurut Fazlur Rahman, ijtihad: “...refers to the striving of the jurists to the point of mental exhaustion to derive principle and rules of law from evidence found in the sacred texts of sources”.12 Sedangkan saintifik bermakna menurut atau berdasar ilmu pengetahuan.13 Biasanya dihasilkan melalui peneli-tian dengan menerap-kan metode ilmiah tertentu.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ijtihad saintifik merupakan suatu upaya pencurahan segala kemampuan oleh seorang yang mempunyai ke-layakan ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah tertentu untuk mendap-atkan jawaban terhadap persoalan-persoalan kontemporer dengan berdasarkan sumbersumber hukum yang diakui oleh Syarak.

Posisi Teks dalam Ijtihad Saintifik

Sumber hukum yang fundamental dalam hukum Islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah (teks). al-Qur’an diwahyukan kepada Muhammad Saw yang meru-pakan Rasulullah terakhir, dan syariatnya adalah syariat yang terakhir.14 Sedan-gkan al-Sunnah merupakan penjelas terhadap hukum-hukum al-Qur’an, walau terkadang juga menentukan hukum baru. Dengan demikian syariat Islam adalah syariat yang akan berlaku hingga akhir zaman, oleh karena itu dalam teks terse-but terkan-dung nilai-nilai dan ajaran yang memungkinkannya berlaku hingga akhir zaman.

Di antaranya adalah bahwa dalam al-Qur’an dan al-Sunnah terdapat dua jenis hukum-hukum, yaitu: (1) hukum-hukum qat‘iyyat yang ditegaskan oleh

10 Al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, juz 3, (Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967), hlm. 204.

11 Muhammad Khudari Bek, Usul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 367.12 Fazlur Rahman, Post Formative Developments in Islam, (Karachi: Islamic Studies, 1962),

hlm. 12.13 M. Dahlan Al Barry dan Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,

1994), hlm. 688.14 Sayyid Hasyim al-Musawi, Manhaj al-Fiqh al-Islami, (Teheran: Islamic Republic of

Iran, 1997), hlm. 17-18.

Fauzi M.

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH242

dalil, kekukuhannya tidak berubah karena perubahan ruang dan waktu, tidak boleh ber-ikhtilaf terhadapnya, tidak boleh ditolak atau diterima berdasarkan ijtihad semata-mata. Jenis inilah yang disebut oleh para pemikir sebagai hukum Islam dalam makna Syariah.15 (2) hukum-hukum yang tidak ditetapkan secara jelas dan qat‘i baik periwayatannya maupun artinya (hukum zanniyyat yang ber-sifat inter-pretable). Hukum-hukum ini dipahami karena adanya isyarat yang menunjuk ke arah itu, sehingga timbul perbedaan paham, perbedaan sudut pan-dang, baik karena hal yang berkaitan dengan periwayatan ataupun penunjukan hukumnya.

Jenis hukum yang kedua inilah area untuk berijtihad, sehingga dari sinilah muncul penalaran, pemikiran, pen-tarjih-an, penelaahan, perkiraan kemasla-hatan, kebaikan, serta perubahan keadaan yang mungkin menimbulkan per-bedaan.16 Interpretasi terhadap jenis hukum yang ke-dua inilah disebut fiqh.17 Dalam melakukan interpretasi terhadap hu-kum-hukum zanniyyat itu diperlu-kan suatu penalaran ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah tertentu, agar kesimpulannya nanti memi-liki bobot ilmiah yang tinggi dan dapat dipertang-gungjawabkan secara ilmiah. Inilah ijtihad saintifik yang diperlukan pada era global saat ini. Akan tetapi, tetap harus diingat bahwa nilai kebenaran yang di-hasilkan tetap bersifat relatif, liberal, terbuka untuk diuji dan dikaji ulang,18 serta terbuka untuk dikritik.19 Berbeda dengan hukum qat‘i yang bersifat mu-tlak dan

15 Mahmood Zuhdi, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, Kuala Lumpur: Pener-bit Universiti Malaya, 1997), hlm. 25-26.

16 Abul A’la Maududi, Islamic Law and Constitution, (Lahore: Islamic Publi-cation Ltd., 1997), hlm. 58-61.

17 Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Hukum Islam Semasa di Malaysia: Prospek dan Cabaran, Syarahan Perdana di Universiti Malaya, Sabtu, 16 Agustus 1997, hlm. 9-10; Juhaya S. Praja, “Aspek Sosiologi dalam Pembaharuan Fiqh di Indonesia”, dalam Epistemologi Syara’ Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 119.

18 Untuk melihat lebih jelas ilustrasinya, lihat hasil ijtihad yang kemudian difatwa-kan tentang penternakan dan konsumsi kodok hijau oleh MUI Sumatera Barat yang berbeda dengan fatwa MUI Nusa Tenggara Barat. Kemudian kasus tersebut dikaji lagi oleh MUI Pusat Jakarta untuk menentukan hukum penternakan dan konsumsi kodok hijau. Lihat Nadirsyah Hosen, “Behind The Scenes: Fatwas of Majelis Ulama Indonesia (1975-1998)”, Journal of Islamic Studies, Vol. 15, No. 2, Mei 2004, hlm. 166-168.

19 Lihat Qutb Mustafa Sibanu, “Al-Fikr al-Maqasidi wa Manahij al-Bahth fi al-‘Ulum al-Ijtima ‘iyyah wa al-Insaniyyah”, Journal al-Ijtihad, Vol. 59 dan 60, Tahun ke-15, Beirut:

Urgensi Ijtihad Saintifik

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 243

otoritatif. Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan teks dalam ijtihad saintifik

adalah sebagai sumber hukum yang bersifat mutlak dan otoritatif, sedangkan hasil ijtihad saintifik tergolong dalam hukum fiqh yang bersifat relatif, liberal, terbuka untuk diuji dan dikaji ulang serta terbuka untuk dikritik.

Kekuatan Hukum Hasil Ijtihad Saintifik

Penelusuran terhadap sejarah tasyri‘ al-islami menunjukkan bahwa Rasu-lullah Saw menggalakkan umatnya untuk berijtihad.20 Ini misalnya terungkap dalam beberapa hadis, diantaranya hadis Mu‘az bin Jabal. Sewaktu Rasul Saw hendak mengutus Mu‘az bin Jabal r.a untuk menjadi hakim di daerah Yaman, beliau sempat berdialog dengan Mu‘az sebagai berikut: Rasulullah: “Bagaimana (cara) kamu menyele-saikan perkara jika kepadamu diajukan suatu perkara?”. Mu‘az: “Aku akan putuskan menurut ketentuan hukum yang ada dalam al-Qur’an”. Rasulullah: “Kalau tidak kamu dapatkan dalam Kitab Allah?” Mu‘az: “Aku akan putuskan menurut hukum yang ada dalam Sunnah Rasul”. Rasu-lullah: “Kalau tidak (juga) kamu jumpai dalam Sunah Rasul dan tidak pula da-lam Kitab Allah?”. Mu‘az: “Aku akan berijtihad dengan seksama”. Kemudian Rasulullah SAW pun mengakhiri dialognya sambil menepuk-nepuk dada Mu‘az seraya beliau bersabda, “Segala puji ha-nya untuk Allah Swt yang telah mem-berikan petunjuk kepada utusan Rasul-Nya jalan yang diridai Rasul Allah”.21

Dalam hadis yang lain, Rasulullah Sawmemberikan tempat yang mulia ke-pada mujtahid, walaupun ia salah dalam berijtihad. Dari ‘Amr bin al-‘As r.a., ia mendengar Rasulullah Saw bersabda yang artinya, “Apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hu-kum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya, maka untuknya satu pahala”.22

Dari dua hadis tersebut tergambar bagaimana kekuatan hukum hasil ijti-had saintifik. Ijtihad saintifik sebagai salah satu tipe ijtihad yang menerapkan

Dar al-Ijtihad, 2003, hlm. 212-213.20 Lihat Ahmad Yaman, “Nasy’ah al-Fiqh al-Islami wa tatawwurihi”, Journal al-Ijtihad,

Vol. 57 dan 58, Tahun ke-15, Beirut: Dar al-Ijtihad, 2003, hlm. 19-31.21 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, juz II, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952), hlm.

268.22 Ibid.

Fauzi M.

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH244

metode ilmiah dan dilakukan oleh orang yang mempunyai kelayakan ilmiah, tentu masuk dalam kategori yang disebutkan dalam hadis tersebut. Dalam hadis tersebut, jelas Rasulullah Saw mengakui dan membenarkan ijtihad sebagian sa-habatnya sebagai hukum yang dapat diterapkan untuk mewujudkan kemasla-hatan umat.

Oleh karena itu, secara historis, ijtihad telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad Saw, dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi‘in serta masa-masa generasi selanjutnya hing-ga kini dan mendatang.23 Bahkan justru dengan adanya ijtihad inilah ajaran-ajaran Islam dapat senantiasa sesuai dengan dinamika perkembangan zaman, sehingga di sinilah letak relevansinya ungkapan bahwa syariat Islam itu selalu salihun likulli zaman wa likulli makan (cocok untuk setiap zaman dan tempat).24

Rasional Urgensi Ijtihad Saintifik

Sebagaimana digambarkan di atas, bahwa ijtihad saintifik adalah upaya pen-curahan segala kemampuan oleh seorang yang mempunyai kelayakan ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah tertentu untuk mendapatkan jawaban ter-hadap persoalan-persoalan kontemporer dengan berdasarkan sumber-sumber hukum yangdiakui oleh Syara’ (al-Qur’an dan al-Sunnah). Dalam era global, di-mana dunia diibaratkan sebagai planet yang tidak berbatas (borderless world atau sering juga disebut global village) karena begitu spektakulernya perkembangan teknologi informasi (terutama dengan adanya internet) dan pengangkutan (pe-sawat terbang), menjadikan ijtihad saintifik merupakan suatu perkara yang san-gat mungkin dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai kelayakan ilmiah dan kesungguhan. Semua yang diperlukan untuk melakukan ijtihad saintifik sudah tersedia, tinggal menunggu kemauan dan kesungguhan manusia itu sendiri.

Di sisi lain, selain era global menjanjikan peluang yang besar pada umat manusia, juga meninggalkan persoalan dan tantangan, khususnya dalam bi-dang hukum muamalat. Muamalat dalam istilah popuper sering dipersamakan dengan transaksi.25 Muamalah merupakan perbuatan dan hubungan-hubungan

23 Mawil Izzi Dien, “Theology, Practice and Textual Interpretation in Islam”, Jurnal The Islamic Quarterly, Vol. 49, No. 1, London: The Islamic Cultural Centre, 2005, hlm. 5-6.

24 Muhammad Anis Ubadah, Tarikh al-Fiqh al-Islami fi ‘Ahd an-Nubuwwah wa as-Sahabah wa at-Tabi’in, ( Mesir: Dar at-Tiba‘ah, 1980), hlm. 10.

25 Mohd. Ma’sum Billah, Modern Financial Transaction Under Syariah, (Petaling Jaya: Ilm-iah Publishers Sdn. Bhd., 2003), hlm. 11.

Urgensi Ijtihad Saintifik

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 245

sesama manusia mengenai harta kekayaan, hak, dan penyelesaian sengketa ten-tang hal-hal tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan berpandukan syariah. Pengertian ini jelas sekali menunjukkan hubun-gan antara transaksi dengan syariah. Syariah menjadi guideline bagi semua ak-tivitas transaksi. Aktivitas transaksi yang tidak mengikuti ketentuan syariah be-rarti dilarang (diharamkan).26

Dalam kenyataannya, perkembangan transaksi baik dari segi bentuk, jenis, maupun metodenya pada era globalisasi ini berkembang sangat cepat. Perso-alan-persoalan hukum transaksi (muamalah) dalam berbagai aspeknya yang dulunya tidak pernah terbayangkan muncul, pada era globalisasi muncul dan berkembang dengan cepat. Persoalan-persoalan dalam bidang muamalah Islam yang belakangan muncul misalnya zakat profesi, asuransi, praktek perbankan elektronik, pasar modal, bursa efek, reksadana, e-commerce dan lain-lain. Padahal wahyu tidak akan turun lagi karena Rasulullah Saw sebagai Rasul terakhir telah wafat, dan al-Qur’an telah tamat. Sementara tidak semua persoalan-persoalan hukum yang muncul kontemporer dalam era globalisasi dijawab secara gamb-lang oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw.27 Walaupun sebagian persoalan-persoalan yang muncul kontemporer telah dibincangkan oleh ulama terdahulu, tetapi kasus dan kondisinya tidak sama persis, sehingga perlu kajian ulang.28 Oleh karena itu perlu dilakukan ijtihad saintifik untuk menjawab prob-lematika transaksi kontemporer pada era global,29 sehingga terbuktilah bahwa Islam adalah salihun likulli zaman wa likulli makan (cocok untuk setiap zaman dan tempat).

Dengan melakukan ijtihad saintifik, dimana sarana dan prasarananya te-lah tersedia dengan mudahnya di era global ini, maka insyaallah problematika transaksi kontemporer yang menjadi persoalan umat Islam dalam bertransaksi secara internasional pada era global dapat diselesaikan dengan tetap berpegang pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.30 Dengan begitu, maka ajaran Islam akan

26 Lihat Abul Hasan, “Islamic Ethical Responsibilities for Bussiness and Sustainable De-velopment”, Jurnal The Islamic Quarterly, Vol. 48, No. 4, London: The Islamic Cultural Centre, 2004, hlm. 32-33.

27 Hasan al-Turabi, Op. Cit., hlm. 50-51.28 Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Op. Cit., hlm. 25-28.29 Ridwan al-Sayyid, Op. Cit., hlm. 13.30 Felicitas Opwis, “Maslaha in Contemporary Islamic Legal Theory”, Jurnal Islamic Law

and Society, Vol. 12, No. 2, 2005, hlm. 187.

Fauzi M.

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH246

tetap salihun likulli zaman wa likulli makan,31 sebagaimana tujuan utama diturunk-annya agama Islam sebagai syariat terakhir yang akan berlaku hingga akhir za-man.

Landasan Ijtihad Saintifik

Islam adalah agama yang senantiasa sesuai untuk segala zaman dan tempat. Sifat dasar Islam ini didukung oleh instrumen-instrumen hukum yang menjadi-kannya fleksibel dengan segala perubahan zaman. Hal ini sebagaimana terlihat dalam sifat dasar hukum yang digariskan oleh al-Qur’an yaitu ada hukum yang bersifat qat‘iyyat dan mutasyabihat (zanniyyat), di mana jenis yang kedua terbuka untuk diinterpretasi sesuai ta‘lil al-ahkam (melihat hukum berdasarkan ‘illah) yang dipahami mujtahid akademik dan juga tuntutan zaman serta realitas sosial dan budaya lokal.32

Selain itu terdapat hadis-hadis, seperti dua hadis tersebut di atas yang mem-berikan justifikasi untuk berijtihad kepada siapa saja yang berkelayakan terh-adap persoalan-persoalan yang muncul (kontemporer) yang tidak ditentukan hukumnya oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan dua hadis tersebut menunjuk-kan bahwa orang yang berijtihad mendapatkan tempat yang utama dan mulai dalam ajaran Islam. Dengan demikian jelas sekali, bahwa al-Qur’an dan al-Sun-nah memberikan landasan yang kuat untuk melakukan ijtihad saintifik.

Di samping itu, setelah mendalami makna dan filosofi yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah, para ulama menyimpulkan bahwa tujuan uta-ma penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia,33 baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan misi Is-lam secara keseluruhan yang rahmatan lil ‘alamin. Bahkan asy-Syatibi dalam al-

31 Penjelasan lebih lanjut dan beberapa contoh tentang dinamika Syari‘ah dalam men-jawab problematika muamalah kontemporer, khususnya dalam transaksi perbankan modern, lihat Mohd. Daud Bakar, “Kedinamikaan Shari‘ah dalam Memenuhi Tuntu-tan Muamalah Perbankan Moden”, Jurnal Syariah, Vol. 6, Januari 1998, Kuala Lum-pur: Akademi Pengajian Islam, Bahagian Syariah, hlm. 59-72. Lihat pula Joni Tam-kin bin Borhan, “Peranan dan Cabaran Ekonomi Islam dalam Era Globalisasi: Suatu Analisis”, Jurnal Afkar, No. 2, Juni 2001, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Departemen Akidah dan Pemikiran Islam, hlm. 141-164.

32 Lihat Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Op. Cit., hlm. 8-12.33 Ahmad al-Risuni, Nazariyyah al-Maqasidi ‘inda al-Syatibi, Cet. II, (Riyad: al-Dar al-

‘Alamiyyah li al-Kuttab al-Islami, 1992), hlm. 7.

Urgensi Ijtihad Saintifik

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 247

Muwafaqat,34 menegaskan: “Telah diketahui bahwa hukum Islam itu disyariat-kan/diundangkan untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak�. Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi menyatakan: “Di mana ada maslahat, disanalah hukum Allah”. 35

Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungan antara hukum Islam dengan kemaslahatan. Kemaslahatan yang di-maksud adalah bersifat dinamis dan fleksibel, artinya pertimbangan kemaslaha-tan itu seiring dengan perkembangan zaman.36 Konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap maslahat pada waktu yang lalu belum tentu dianggap maslahat pada masa sekarang. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan hukum Islam bersifat universal, kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi, lahir dan batin, material dan spiritual, maslahat individu dan maslahat umum, maslahat hari ini dan esok.37

Maslahat menurut al-Syawkani, adalah pemeliharaan terhadap tujuan hu-kum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan dari makhluk (manusia).38 Sementara menurut al-Tufi, maslahat secara urf merupak-an sebab yang membawa kepada kemaslahatan (manfaat), sedangkan dalam hu-kum Islam, maslahat merupakan sebab yang membawa akibat bagi tercapainya tujuan Syari‘ (Allah), baik dalam bentuk ibadat maupun muamalat.39 Sedangkan menurut al-Ghazali, maslahat makna asalnya merupakan menarik manfaat atau menolak madarat. Akan tetapi yang dimaksud maslahat dalam hukum Islam adalah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara agama, jiwa, akal, ketu-runan, dan harta. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal tersebut disebut maslahat.40 Mengadopsi transaksi modern di era global dengan menyesuaikannya dengan ketentuan syariah merupakan suatu bentuk maslahat untuk kehidupan manusia (umat Islam).

34 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 19.35 Yusuf al-Qaradawi, al-Ijtihad al-Mu‘asir, (Kairo: Dar al-Tawzi‘ wa al-Nasyr Al-Islami-

yyah, 1994), hlm. 68.36 Felicitas Opwis, Op. Cit., hlm. 183.37 Yusuf al-Qaradawi, Madkhal lidirasah as- Syari'ah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah

Wahbah, t.t), hlm. 62.38 Al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t),

hlm. 242.39 Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum

Islam Najamuddin at-Tufi, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 31.40 Al-Ghazali, al-Mustasfa, juz. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 286-287.

Fauzi M.

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH248

Di samping itu, para ulama setelah memahami falsafah yang mendasari hu-kum Islam, merumuskan suatu kaedah dasar dalam bidang muamalah, yang artinya: “Hukum asal mu‘amalat adalah bahwa segala sesuatunya dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya (dalam al-Qur’an dan al-Sunnah)”.41

Di sisi lain, para fukaha juga merumuskan kaedah fiqh yang mengatakan yang artinya: “Fatwa hukum Islam dapat berubah sebab berubahnya masa, tempat, situasi, dorongan, dan motivasi”.42 Menurut Ibn al-Qayyim kaedah ini sangat penting dalam hukum Islam. Tidak mengetahui kaedah tersebut, akan terjadi kekeliruan besar dalam pandangan atau penilaian terhadap hukum Islam dan akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan yang tidak dikehendaki oleh hukum Islam itu sendiri. Sebab prinsip hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat.43

Landasan lainnya adalah prinsip Islam tentang kebebasan untuk melaku-kan kontrak yang dikehendaki, asalkan perkara-perkara yang dikontrakkan itu sesuatu yang tidak dilarang oleh syara’. Hadis yang berkaitan dengan kebebasan dalam melakukan kontrak dan meletakkan syarat dalam kontrak diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Daud dan al-Turmudhi, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya: “Orang-orang Islam boleh melakukan kontrak dengan membuat apa-apa syarat melainkan syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” 44

Berdasarkan pada hadis tersebut, dapatlah dipahami bahwa hukum asal dari segala bentuk kontrak dan persyaratan adalah mubah. Ini sebagaimana pendapat mazhab Hambali dan Maliki. Mereka menyatakan bahwa transaksi dan persyaratan itu bebas, sehingga tidak ada yang diharamkan kecuali yang diindikasikan keharamannya oleh ajaran Islam, dengan dalil tegas atau qiyas.45

Di antara dalil-dalil mereka yang berpendapat demikian adalah sebagai berikut:1. Asal dari kontrak adalah keridaan kedua belah pihak. Konsekuensinya ada-

41 Al-Imam Jalaluddin al-Suyuti, Al-Asybah wa al-Naza’ir, cet. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1399H), hlm. 60.

42 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin, juz III, cet. II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), hlm. 14.

43 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Op. Cit., hlm. 14.44 Turmudhi, Sunan al-Turmudhi (al-Jami‘ al-Sahih), juz III, (Kairo: Maktabah al-Babi al-

Halabi, 1967), hlm. 635.45 Ibn Taymiyyah, Nazariyyah al-‘Aqd, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t), hlm. 226.

Urgensi Ijtihad Saintifik

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 249

lah komitmen yang mereka sepakati bersama untuk mereka. Allah Swt ber-firman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu....”46 Dalam ayat ini, secara jelas Allah melarang mengambil harta orang lain dengan cara batil (diharamkan), selanjutnya Allah mengecualikan harta yang diambil dari orang lain dengan saling ridha. Yang dipersyaratkan dalam kontrak jual beli di dalam ayat ini hanya saling ridha alias suka sama suka. Ini menunjukkan bahwa segala transaksi yang didasari faktor saling meridhai adalah boleh, kecuali kalau terbukti ajaran syariat mengharamkannya, seperti jual beli babi (khinzir), terdapat unsur gharar.

2. Menurut al-Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian.”47 Ini menunjukkan bahwa janji atau kontrak itu wajib dilaksan-akan tanpa kecuali dan kontrak itu tidak akan mengikat kecuali dilakukan dengan sah. Menurut penafsiran Muhammad Rasyid Rida, ayat itu menun-jukkan bahwa tiap-tiap perkataan atau perbuatan yang dianggap sebagai kontrak adalah wajib dilaksanakan sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt, selama ia tidak mengandung perkara yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.48

3. Kontrak dan persyaratan termasuk soal kebiasaan, dan asalnya adalah tidak diharamkan, karena asal dari kebiasaan adalah mubah. Allah berfirman: ”.... padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.”49 Hukum ini berlaku umum untuk benda dan perbuatan. Hukumnya dijadi-kan sebagai standar hukum asli hingga ada penjelasan tentang keharaman-nya. Nash atau dalil-dalil tegas yang melarang berbagai bentuk aktivitas amat sedikit sekali. Itu menunjukkan bahwa selain yang disebutkan kehara-mannya berada dalam kondisi asal, yakni mubah.50 Ini juga sesuai dengan prinsip, bahwa hukum asal muamalat adalah mubah. Ini berbeda dengan perkara ibadah yang asalnya adalah haram, kecuali yang diperintahkan

46 An-Nisa (4): 29.47 Al-Ma’idah (5): 1.48 Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, cet. IV, jilid 6, (Kairo: Matba‘ah al-Qahirah,

1986), hlm. 234.49 Al-An’am (6):119.50 Ibnu Taymiyyah, Op. Cit., hlm. 355

Fauzi M.

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH250

syara’. Memang ada segolongan ulama’ (mazhab Zahiri, diantaranya Ibnu Hazm)

yang berpendapat sebaliknya, yaitu semua kontrak dan syarat-syarat adalah tidak sah kecuali yang dibolehkan oleh nas dan ijma’.51 Akan tetapi, pendapat ini dianggap sempit dan kurang sesuai dengan semangat ajaran Islam itu sendiri.

Secara garis besar, para ulama telah menggariskan tentang pembagian syarat dalam kontrak menjadi syarat sah dan syarat rusak atau batal. Masing-masing dibagi menjadi tiga yaitu:52 Pertama, persyaratan yang sah, terdiri dari:1. Syarat yang menjadi konsekuensi perjanjian, seperti syarat harus ada serah

terima barang dan penyerahan pembayaran. 2. Syarat demi kepentingan perjanjian, seperti syarat bentuk pembayaran, sep-

erti pembayaran cash atau hutang (tunda). 3. Syarat yang jelas kegunaannya namun bukan merupakan konsekuensi per-

janjian, dan juga bukan demi kepentingan perjanjian tersebut, namun juga tidak bertentangan dengan konsekuensi perjanjian itu. Seperti seorang pen-jual rumah yang meminta persyaratan untuk tetap tinggal di rumah itu se-lama satu bulan.5334Kedua, persyaratan yang rusak/batal. Persyaratan-persyaratan yang tergo-

long persyaratan yang rusak/batal adalah:1. Persyaratan yang menyimpang dari konsistensi untuk melaksanakan syarat

dan rukun dasar suatu kontrak, dan persyaratan yang membuka pada masuknya elemen riba dan gharar, dan ilegal.54

2. Persyaratan yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian. Seperti per-syaratan bahwa barang yang dijual tidak boleh rugi bila dijual kembali, atau agar tidak dijual lagi.

3. Persyaratan yang membuat perjanjian menjadi tergantung. Seperti ucapan, “Aku jual ini kepadamu, tetapi bila si fulan sudah datang.”

51 Ibn Hazm, al-Muhalla, jilid 8, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t), hlm. 412.52 Lihat Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Op. Cit., hlm. 100-102.53 Al-Kasani, Bada’i‘ al-Sana’i‘ fi Tartib al-Syara’i‘ , juz 5, (Beirut: Matba‘ah al-‘Asimah,

t.t), hlm. 171.54 Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Ni-

hayah al-Muqtasid, jilid 2, (Beirut: Dar al-Qalam, 1988), hlm. 159.

Urgensi Ijtihad Saintifik

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 251

Contoh Ijtihad Saintifik dalam Transaksi Kontemporer

Di antara contoh ijtihad saintifik yang dilakukan oleh para pakar ekonomi Islam dan fiqh muamalah baik secara individual maupun secara kolektif adalah ten-tang kasus default payment (kegagalan pembayaran) dalam produk pembiayaan Islam di institusi keuangan Islam, seperti perbankan Islam. Kejadian kegagalan pembayaran angsuran baik itu terjadi kerana mungkir bayar atau keterlambatan pembayaran angsuran oleh pihak nasabah bank Islam yang menerima skim pembiayaan memang terkadang terjadi di bank Islam, sebab pada dasarnya bank Islam tidak mengenakan denda terhadap default payment sebagaimana di bank konvensional.55 Default payment ini disebabkan oleh sikap tidak bertang-gung jawab para nasabah untuk membayar angsuran tepat pada waktunya di samping terdapat juga sedikit nasabah yang benar-benar menghadapi masalah kesulitan uang sehingga gagal membayar angsuran tepat waktu.56

Dalam sistem perbankan Islam maupun konvensional, defaul payment meru-pakan penyebab utama dari meningkatnya non performing financing (NPF).57 Mis-alnya, NPF di Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB), Malaysia pada tahun 2005 ini mencapai RM 700 juta (Rp 1.750.000.000.000,-, dengan asumsi 1 RM= Rp 2500,-). Suatu jumlah yang sangat fantastis, dan dapat menyebabkan bangkrutnya bank Islam tersebut dan secara keseluruhan bisa menghancurkan kredibilitas bank Islam dan kepercayaan publik terhadap institusi perbankan Islam.58 Oleh karena itu, persoalan default paymen menjadi perhatian serius para pakar ekonomi Is-lam dan fiqh muamalah baik secara individual maupun secara kolektif. Terdapat berbagai pendapat berbeda yang merupakan hasil ijtihad saintifik para pakar ekonomi Islam dan fiqh muamalah tentang cara menyelesaikan default payment agar tidak terjebak pada riba.

Menurut ijtihad saintifik Kamal Hammad,59 hanya mahkamah yang ber-

55 Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance, (London: Kluwer Law International, 2002), hlm. 55.

56 Nor Azzah Kamri dan Fadillah Mansor, “Aplikasi Konsep al-Murabahah dalam Penawaran Instrumen di Institusi Perbankan Islam di Malaysia”, Prosiding Seminar Kewangan Islam, API UM, Kuala Lumpur, 18 Juni 2002, hlm. 138.

57 Istilah NPF (non performing financing) untuk bank Islam dan NPL (non performing loan) untuk bank konvensional. Makna substantifnya relatif sama yaitu pembiayaan/pin-jaman tidak berbayar (macet).

58 Berita Harian, 19 Oktober 2005. 59 Lihat Muhammad Sulaiman al-Asyqar et.al., Buhuth al-Fiqhiyyah fi Qadaya Iqtisadi-

yyah Mu‘asirah, jilid 2, cet. I, (Amman: Dar al-Nafa’is, 1998), hlm. 866-867.

Fauzi M.

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH252

wenang untuk memberikan hukuman terhadap nasabah default payment. Be-liau menolak dengan tegas hukuman terhadap nasabah default payment dengan kompensasi. Sementara ijtihad saintifik Syaykh Mustafa al-Zarqa’, sebagaimana dikutip Mohammad Ali Elgari et.al, berpendapat bahwa hukuman denda mesti diputuskan oleh mahkamah tinggi saja dan uang denda itu mesti dimanfaat-kan untuk kepentingan sosial. Bank Syari‘ah tidak boleh mengambil uang denda tersebut, tetapi semua uang denda itu mesti dimanfaatkan untuk maslahah ‘am-mah (public interest).60

Sementara ijtihad saintifik kolektif Islamic Fiqh Academy, mengeluarkan fat-wa bahwa jika nasabah gagal membayar angsuran pada waktu yang telah dis-epakati, maka pihak bank tidak boleh mengenakan denda atau bayaran lain atas kegagalan tersebut, kerana hal itu sama saja dengan menerapkan konsep bunga terhadap angsuran tersebut.61

Berkenaan dengan ijtihad saintifik ini, al-Sadiq al-Darir menyatakan setuju untuk mengenakan denda terhadap default payment dengan syarat jumlah denda itu tidak melebihi jumlah hutang nasabah.62 Muhammad Taqi Usmani berpenda-pat serupa, yakni nasabah default payment hendaknya membayar sejumlah uang kepada institusi kebajikan yang dimiliki oleh bank Islam untuk tujuan membi-ayai kegiatan kebajikan yang dibolehkan oleh syari‘ah. Bank Islam tidak boleh mendapat bagian sedikitpun dari uang denda tersebut. Jadi uang denda itu bu-kan kompensasi kepada pembiayaan (bank Islam) sebagai opportunity cost, tetapi semata-mata untuk tujuan kebajikan.63

Umer Chapra dan Tariqullah Khan menyatakan bahwa kalau default pay-ment tidak dikenakan penalti atau denda maka hal ini akan menjadi satu fenom-ena dan preseden yang tidak baik bagi kelangsungan ekonomi sosial, dan orang yang default payment tersebut akan terus-menerus melakukan ketidakjujuran. Hal ini juga akan memperburuk sistem keuangan suatu institusi keuangan apal-agi kalau nilai kontrak itu sangat besar. Oleh karena itu, Umer Chapra dan Khan

60 Mohammad Ali Elgari, Mohammad Nejatullah Siddiqi and Mohammad Anas Zarqa, “Qanun al-Masarif-Sighah Muqtarahah li Tanzim Qita‘ fi al-Masraf al-Islami”, Review of Islamic Economics, Vol. 2, No. 2, 1993, hlm. 67-97.

61 Muhammad Taqi Usmani, Op. Cit., hlm. 58.62 Al-Sadiq Muhammad al-Amin al-Darir, “al-Ittifaq ‘ala Ilzam al-Madin Al-Mu‘sir bi

Ta‘wid Darar al-Mumatalah”, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 3, No.1, 1985, hlm. 111-112.

63 Muhammad Taqi Usmani, Op. Cit., hlm. 59.

Urgensi Ijtihad Saintifik

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 253

mengusulkan konsep “Loss Given Default” (LGD) untuk menentukan jumlah kompensasi agar bisa mengkurangkan nilai-nilai ketidakadilan antara pihak na-sabah dan bank Islam saat terjadi default payment dengan syarat jumlah kompen-sasi sudah disetujui oleh ulama, dalam hal ini adalah Dewan Penasehat Syari‘ah Nasional.64

Sementara Joni Tamkin bin Borhan menyatakan bahwa pengenaan gan-ti rugi (ta‘wid mali) menurut penelitian sebagian pakar ekonomi Islam adalah dibolehkan dengan argumen-argumen berikut: (1) Di antara inti hukum Islam adalah konsep “penolakan mudharat” di mana setiap mudharat atau kerugian mestilah dihindari. (2) Praktek riba hanya terjadi dalam hal pertukaran uang dengan uang atau barang ribawi dengan barang ribawi. Dalam kasus pengenaan bayaran ganti rugi, ia dikenakan ke atas kegagalan nasabah dalam akad per-tukaran (mu‘awadah) yang melibatkan pertukaran antara uang dengan barang yaitu dari jenis dan sifat yang berbeda. Dalam hal ini terdapat ijtihad fiqhi ber-hubung dengan bay‘ al-‘arbun,65 dan kebolehan hangusnya uang deposit karena untuk mengganti kerugian penjual menunggu dan tidak memasarkan barang yang ditempah itu kepada pelanggan lain. Kerugian dalam kasus bay‘ al-‘arbun adalah berbentuk kerugian ekonomi, sementara kerugian yang ditanggung oleh investor dan penabung akibat default payment adalah berbentuk kerugian riil. (3) Riba selalunya memberi kelebihan satu pihak ke atas pihak lain, sementara bayaran ganti rugi hanya sekedar mengembalikan keadaan kerugian kepada keadaan tidak rugi. Ini tidak menguntungkan pihak bank, kerana tujuan ganti rugi hanya sekedar memperbaiki keadaan. Dengan demikian, pengenaan ganti rugi terhadap default payment adalah dibolehkan dengan syarat jumlah ganti kerugian ini ditentukan oleh pihak ketiga yang tidak mempunyai apa-apa ke-pentingan dalam kasus ini.66

64 M. Umer Chapra and Tariqullah Khan, Regulation and Supervision of Islamic Banks. (Jeddah: Islamic Research and Training Institute and Islamic Development Bank, 2000), hlm. 89.

65 Bay‘ al-‘arbun adalah jual beli berdeposit, dimana seorang pembeli membeli barangan dari penjual dengan memberikan satu dirham atau lebih sebagai bayaran pendahu-luan, jika ia jadi membeli barangan tersebut maka wang itu dikira sebagai bahagian bayaran terhadap harga barangan, akan tetapi jika ia tidak jadi membelinya, maka uang itu menjadi milik penjual. Lihat Ibn Qudamah, Al-Mughni Wa al-Syarh al-Kabir, jilid 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1972), hlm. 58.

66 Joni Tamkin bin Borhan, “Isu-isu Syariah Dalam Sistem Perbankan Islam”, Jurnal PE-MIKIR, Oktober-Disember 2001, hlm. 115-116.

Fauzi M.

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH254

Dari berbagai ijtihad saintifik tentang default payment tersebut, tergambar betapa para pakar dan ilmuwan yang mempunyai kelayakan ilmiah melakukan ijtihad saintifik sesuai dengan tingkat dan latar belakang keilmuan, keadaan so-sial budaya dan politik, serta dalil-dalil yang dapat mereka kemukakan. Hasil-nya ternyata berbeda, mana yang paling tepat? Mungkin ijtihad saintifik Umer Chapra dan Tariqullah Khan, serta Joni Tamkin bin Borhan lebih cocok untuk menyelesaikan kasus default payment di BIMB Malaysia.

Penutup

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, jelaslah betapa urgen-nya dilakukan ijtihad saintifik untuk menjawab problematika transaksi kontem-porer pada era global, dengan rasional sebagaimana dikemukakan di atas. Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber utama hukum Islam telah menyediakan

Instrumen-instrumen hukum yang menjadikannya fleksibel dengan se-gala perubahan zaman, sehingga Islam adalah agama yang senantiasa sesuai untuk segala zaman dan tempat, termasuk di era globalisasi. Ini sesuai dengan pernyataan bahwa hukum Islam adalah hukum yang salihun likulli zaman wa li-kulli makan. Pernyataan tersebut memiliki landasan teoritis, historis maupun em-piris yang kuat. Sehingga bukanlah hal yang berlebihan jika umat Islam selalu optimis bahwa betapa pun hebat perkembangan transaksi kontemporer di era globalisasi akan selalu dapat diikuti oleh hukum Islam yakni dengan melaku-kan ijtihad saintifik untuk menjawab segala problematika transaksi kontempo-rer yang muncul tersebut.

Bibliografi

Abdul Rashid Moten, “Modenization and The Process of Globalization: The Muslim Experience and Responses”, dalam K.S. Nathan dan Mohammad Hashim Kamali (eds.), Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategiec Challenges for the 21st Century, Singapura: Institute of Southeast Asian Stud-ies, 2005.

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, juz II, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952.Abul A’la Maududi, Islamic Law and Constitution. Lahore: Islamic Publication

Ltd., 1997.Abul Hasan, “Islamic Ethical Responsibilities for Bussiness and Sustainable De-

velopment”, Jurnal The Islamic Quarterly, Vol. 48, No. 4, London: The Islamic Cultural Centre, 2004.

Urgensi Ijtihad Saintifik

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 255

Ahmad al-Risuni, Nazariyyah al-Maqasidi ‘inda al-Syatibi, cet. II, Riyad: al-Dar al-‘Alamiyyah li al-Kuttab al-Islami, 1992.

Ahmad Yaman, “Nasy’ah al-Fiqh al-Islami wa tatawwurihi”, Journal al-Ijtihad, Vol. 57 dan 58, Tahun ke-15, Beirut: Dar al-Ijtihad, 2003.

Al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, juz 3, Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967.Al-Ghazali, al-Mustasfa, juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.Al-Imam Jalaluddin al-Suyuti, Al-Asybah wa al-Naza’ir, cet. 1, Beirut: Dar al-Ku-

tub al-‘Ilmiyyah, 1399H.Al-Kasani, Bada’i‘ al-Sana’i‘ fi Tartib al-Syara’i‘, juz 5, Beirut: Matba‘ah al-‘Asimah,

t.t.Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, juz II, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.Al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, Beirut: Dar al-Fikr,

t.t.Al-Sadiq Muhammad al-Amin al-Darir, “al-Ittifaq ‘ala Ilzam al-Madin al-Mu‘sir

bi Ta‘wid Darar al-Mumatalah”, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 3, No.1, 1985.

Berita Harian, 19 Oktober 2005.Collin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning for the 21 st Century. New

York: Delacorte Press, 1997.Fazlur Rahman, Post Formative Developments in Islam. Karachi: Islamic Studies,

1962.Felicitas Opwis, “Maslaha in Contemporary Islamic Legal Theory”, Islamic Law

and Society, Vol. 12, No. 2, 2005.Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance, London: Kluwer

Law International, 1998.Hasan al-Turabi, Qadaya al-Tajdid, Khartum: Ma‘had al-Buhuth wa al-Dirasat al-

Ijtima‘iyyah, 1990.Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin, juz III, cet.

ke-2, Beirut: Dar al-Fikr, 1977.Ibn Hazm, al-Muhalla, jilid 8, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.Ibn Qudamah, Al-Mughni wa al-Syarh al-Kabir, jilid 4, Beirut: Dar al-Kutub al-

‘Arabi, 1972.Ibn Taymiyyah, Nazariyyah al-‘Aqd, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.41Jan Pronk, “Globalization: A Developmental Approach”, dalam Jan Nederveen

Pieterse (ed.), Global Futures, Shaping Globalization, London: Zed Books, 2001.

Joni Tamkin bin Borhan, “Isu-isu Syariah Dalam Sistem Perbankan Islam”, Jurnal PEMIKIR, Oktober-Desember, 2001.

Juhaya S. Praja, “Aspek Sosiologi dalam Pembaharuan Fiqh di Indonesia”, da-

Fauzi M.

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH256

lam Epistemologi Syara’ Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Pus-taka Pelajar, 2000.

Mahmood Zuhdi, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 1997.

Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Hukum Islam Semasa di Malaysia: Prospek dan Caba-ran, Syarahan Perdana, Universiti Malaya, Sabtu, 16 Agustus 1997.

Mawil Izzi Dien, “Theology, Practice and Textual Interpretation in Islam”, Jurnal The Islamic Quarterly, Vol. 49, No. 1, London: The Islamic Cultural Centre, 2005.

Mohd. Daud Bakar, “Kedinamikaan Shari‘ah dalam Memenuhi Tuntutan Mua-malah Perbankan Moden”, Jurnal Syariah, Vol. 6, Januari 1998, Kuala Lum-pur: Akademi Pengajian Islam, Bahagian Syariah, 1998.

Mohd. Ma’sum Billah, Modern Financial Transaction Under Syariah, Petaling Jaya: Ilmiah Publishers Sdn. Bhd, 2003.

Muhammad Anis Ubadah, Tarikh al-Fiqh al-Islami fi ‘Ahd an-Nubuwwah wa as-Sahabah wa at-Tabi’in, Dar at-Tiba‘ah, 1980.

Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Ni-hayah al-Muqtasid, jilid 2, Beirut: Dar al-Qalam, 1988.

Muhammad Khudari Bek, Usul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.Muhammad Musa Towana, al-Ijtihad: Madha Hajatina Ilaihi fi Hadha al-‘Asr, Dar

al-Kutub al-Hadithah, 1972.Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, cet. IV, jilid 6, Kairo: Matba‘ah al-Qa-

hirah, 1986.Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance. London: Kluwer

Law International, 2002.Muhammad Sulaiman al-Asyqar, et.al., Buhuth al-Fiqhiyyah fi Qadaya Iqtisadiyyah

Mu‘asirah, jilid 2, cet. I, Amman: Dar al-Nafa’is, 1998.M. Umer Chapra and Tariqullah Khan, Regulation and Supervision of Islamic Banks,

Jeddah: Islamic Research and Training Institute and Islamic Development Bank, 2000.

M. Dahlan Al Barry dan Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arko-la, 1994.

M. Umer Chapra and Tariqullah Khan, Regulation and Supervision of Islamic Banks. Jeddah: Islamic Research and Training Institute and Islamic Development Bank, 2002.

Nadirsyah Hosen, “Behind The Scenes: Fatwas of Majelis Ulama Indonesia (1975-1998)”, Journal of Islamic Studies, Vol. 15, No. 2, Mei 2004, Oxford: Oxford Centre for Islamic Studies, 2004.

Nor Azzah Kamri dan Fadillah Mansor, “Aplikasi Konsep al-Murabahah dalam

Urgensi Ijtihad Saintifik

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 257

Penawaran Instrumen di Institusi Perbankan Islam di Malaysia”, Prosiding Seminar Kewangan Islam, API UM, Kuala Lumpur, 18 Juni 2002.43

Qutb Mustafa Sibanu, “Al-Fikr al-Maqasidi wa Manahij al-Bahth fi al-‘Ulum al-Ijtima ‘iyyah wa al-Insaniyyah”, Journal al-Ijtihad, Vol. 59 dan 60, Tahun ke-15, Beirut: Dar al-Ijtihad, 2003.

Ridwan al-Sayyid, “al-Tajdid al-Fiqhi wa al-Dini”, Journal al-Ijtihad, Vol. 57 dan 58, Tahun ke-15, Beirut: Dar al-Ijtihad, 2003.

Sayyid Hasyim al-Musawi, Manhaj al-Fiqh al-Islami, Teheran: Islamic Republic of Iran, 1997.

S. Parvez Manzoor, “Book Review ‘Islam in the Era of Globalization: Muslim At-titudes Towards Modernity and Identity”, Johan Meuleman (ed.) London: Routledge Curzon, 2002.

Turmudhi, Sunan al-Turmudhi (al-Jami‘ al-Sahih), juz 3, Kairo: Maktabah al-Babi al-Halabi, 1967.

Walter Leimgruber, Between Global and Local, Aldershot (England): Ashgate Pub-lishing Limited, 2004.

Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin at-Tufi, Yogyakarta: UII Press, 2000.

Yusuf al-Qaradawi, al-Ijtihad al-Mu‘asir, Kairo: Dar al-Tawzi‘ wa al-Nasyr al-Is-lamiyyah, 1994.

Yusuf al-Qaradawi, Madkhal lidirasah as- Syari’ah al-Islamiyyah, Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.

Mohd Nasran bin Mohamad & Rohimi bin Shapiee

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH258

KONSTRIBUSI SYARIAH DALAM PENYELESAIAN MASALAH HUKUM INTERNATIONAL

(PENGALAMAN MALAYSIA)

Mohd Nasran bin MohamadGuru Besar Hukum Islam Fakulti Pengajian Islam

Universiti Kebangsaan Malaysia 43600 Bangi, Selangor, Malaysia

Rohimi bin ShapieeDosen Ilmu Hukum Fakulti Undang-Undang

Universiti Kebangsaan Malaysia 43600 Bangi, Selangor, Malaysia

Abstract: International dispute resolution Malaysia with its neighbors through negotiations is clearly coincides with the principles advocated by the Sharia. Prin-ciples of international settlement in friendship and peace now practiced Messenger and supported by the verses of the holy Qur'an. Both of these sources is that there is no doubt adillat qat'iyyat to the truth. When other sources of international law derived from custom West (international customs), agreement (treaty), judi-cial decisions (judicial decisions), expert opinion (juristic opinions) and general principles (general principles) is already contained , not only in al-Quran and al-Sunnah, backed up with a variety into a discussion in the books of fiqh under the title of Siyar, safe, hudnah, Dhimmah, jihad and so on. Indeed, is not impossible principles practiced and advocated by Islam has a great influence on the principles of international law practiced in the West today.

Keywords: siyar, Islamic international law, dispute sattlement.

Abstrak: Penyelesaian persengketaan internasional Malaysia dengan negara-neg-ara tetangganya melalui rundingan adalah jelas bertepatan dengan prinsip yang dianjurkan oleh Syariah. Prinsip-prinsip penyelesaian internasional secara persa-habatan dan perdamaian sekarang sudah dipraktekkan Rasulullah serta didukung

Kontribusi Syariah dalam Penyelesaian Masalah Hukum Internasional

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 259

oleh ayat-ayat suci al-Qur’an. Kedua-dua sumber ini merupakan adillat qat’iyyat yang tiada keraguan kepada kebenarannya. Manakala sumber-sumber lain dalam undang-undang internasional Barat yang berasal dari kebiasaan (international customs), perjanjian (treaty), keputusan kehakiman (judicial decisions), pendapat pakar (juristic opinions) dan prinsip-prinsip umum (general principles) memang sudah terkandung, bukan saja dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, malah didukung dengan berbagai perbahasan dalam kitab-kitab fiqh di bawah judul siyar, aman, hudnah, dhimmah, jihad dan sebagainya. Justeru adalah tidak mustahil prinsip-prinsip yang diamalkan serta diperjuangkan oleh Islam mempunyai pengaruh besar kepada prinsip-prinsip yang diamalkan dalam hukum Internasional Barat saat ini.

Kata Kunci: siyar, hukum internasional Islam, penyelesaian sengketa.

Pendahuluan

Satu cabang penting dalam kerangka syariah ialah Siyar - yang juga dikenali se-bagai undang-undang internasional Islam. Siyar mencerminkan satu pendekatan khusus yaitu syariah dalam mencari kesatuan awam sejagat. Siyar boleh didefi-nisikan secara longgar sebagai sekumpulan undang-undang dan amalan yang dibenarkan syariah dalam konteks hubungan internasional1. Dari segi teori dan prinsipnya siyar berkembang dan direncanakan untuk bersifat fleksibel, akomo-datif kepada peralihan, dan bertolak ansur terhadap keberbagaian atau plural-isme. Siyar diasaskan kepada prinsip-prinsip undang-undang dan moral yang stabil tetapi pada masa yang sama perlu disesuaikan dengan masa, tempat dan keadaan. Semenjak dahulu lagi peranan fuqaha atau juris adalah penting dalam usaha mengenal pasti dan mengemaskinikan prinsip-prinsip penting siyar ses-uai dengan keadaan dan kehendak zaman.

Jika seseorang menyelidiki asal usul undang-undang internasional modern, ia akan berhasil mengesan dalam beberapa prinsip asasnya, separti yang difor-mulasikan dalam penulisan-penulisan tradisional, idea-idea dari penulisan juris dan fuqaha Islam. Apa yang perIu hanyalah sedikit keberanian dan kejujuran akademik bagi mengakui perkara ini. Pengkajian dan penelitian menbongkarkan bahwa, lapan abad sebelum Grotius (bapa undang-undang internasional mod-ern), sarjana-sarjana Islam telah pun menghasilkan penulisan-penulisan yang

1 Mohammad Tallat Al Ghunaimi, The Muslim Conception of International Law and the Western Approach, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1968), hlm. 96.

Mohd Nasran bin Mohamad & Rohimi bin Shapiee

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH260

pada hari ini kita kenali sebagai undang-undang internasional. Penulisan-penu-lisan ini yang dikenali sebagai siyar menyentuh persoalan-persoalan mengenai penghormatan ke atas perjanjian, layanan ke atas diplomat asing, dan layanan terhadap tawanan perang.2

Sarjana hukum Islam di zaman awal telah membahaskan dengan terper-inci mengenai prinsip undang-undang internasional dan isu-isu penting yang berkaitan. Bahkan telah dibuktikan bahwa sarjana undang-undang internasional Barat modern telah mendapat banyak manfaat daripada perbincangan sarjana-sarjana Islam tersebut, dan ia telah banyak membantu mereka untuk memikirkan satu corak global tentang apa yang kita pahami pada hari ini sebagai undang-undang internasional modern. Hakim Weeramantry berkata separti berikut:

“Shaybani Muhammad ibn al-Hasan. For example was one of the authors who wrote a comprehensive treatise on these topics. And this writing was not un-known to Christian Europe. King Alfonso VIII of Castile (1155-1214) wrote his famous Siete Partidas--the encyclopedia of law for his time with a section on international law taken largely from the Arabic writers. Later writers like Fran-cisco Suarez (l548-1617) made frequent reference to Alfonso, as did Francisco de Vitoria (1486-1541) and Balthazar Ayala (1548-1584). There is thus, a stream of connection between the Islamic writers who formulated these concepts, the later Spanish writers, an, thereafter, some of the later European writers”.3

Pada hari ini, karena kurangnya penyelidikan yang dilakukan dan berlaku-nya persaingan dan persoalan antara penganut Kristian dan Islam, Siyar bukan saja diabaikan tetapi juga telah disalah paham dan disalahartikan oleh banyak sarjana Barat. lni adalah disebabkan konsep yang sedia terpahat dalam falsafah Barat, yaitu bagi mana-mana negara Islam modern atau negara yang mendaul-atkan doktrin perundangan Islam, asas bagi perhubungan dengan negara bukan Islam adalah konsep jihad yang sempit. Dari pengalaman tentera salib, Barat mempunyai ingatan dan pengalaman pahit mengenai “jihad Islam” yang men-jadikan mereka prejudis terhadap Islam, justeru mengambarkan bahwa Islam tersebar melalui pedang4. Dalam hubungan internasional hari ini, Islam digem-

2 Rohimi Shapiee, “Siyar (Undang-undang Antarabangsa Islam) Cabaran Un-tuk Mempermoden dan Menjadikannya Relevan”, Jurnal Undang-undang dan Masyarakat, (Bangi: Fakulti Undang-Undang UKM, 2005), hlm. 31.

3 Christopher G. Weeramantry, “International Law and the Developing World: A Millennial Analysis”, Harvard International Law Journal, 2000, hlm. 280

4 David A. Westbrook, “Islamic International Law and Public International Law: Separate Expressions of World Order 33 Va”, Virginia Journal of International Law,

Kontribusi Syariah dalam Penyelesaian Masalah Hukum Internasional

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 261

bar-gemburkan sebagai sumber utama kepada fundamentalisme dan terror-isme.

Pandangan Barat sebegini secara sengaja atau tidak sengaja diasaskan ke-pada beberapa episode hubungan internasional Islam yang dipahami secara berasingan dari keseluruhan kerangka dan prinsip-prinsip badan siyar. Justeru, ini perlu disanggah dan ia tidak boleh dikatakan sebagai mewakili keseluruhan konsepsi asas siyar. Malangnya, ada penulis Islam sendiri yang terikut-ikut atau terpengaruh untuk mengambil pendekatan sebegini. Sebaliknya, seseorang itu harus melihat sesuatu isu dalam konteks sejarahnya dan menanda aras hal itu berdasarkan proses pembentukan siyar secara menyeluruh atau alternatifnya, bandingkannya dengan proses evolusi sistem undang-undang lain, termasuk undang-undang internasional Barat. Selepas mengambil pendekatan ini, sebil-angan sarjana Barat pada hari ini menerima siyar dan beberapa sub-disiplinnya, misalnya persoalan hubungan diplomatik, hak asasi manusia

dan undang-un-

dang kemanusiaan internasional pada sudut yang positif.

Tujuan syariah dalam aspek keduniaan adalah untuk mewujudkan satu masyarakat yang diasaskan kepada perasaan keimanan atau tauhid yang men-dalam, yang mendaulatkan prinsip-prinsip tanggungjawab moral dan keadilan dalam usaha mengekalkan kepentingan terbaik masyarakat. Oleh karena syariah sentiasa berkembang, bersifat hidup dan mencakupi kesemua aspek aturan so-sial, segenap sektor aspek hubungan internasional adalah juga bahagian penting yang diaturnya. Sejak zaman permulaan Islam iagi, satu aspek undang-undang yang bersifat internasional yang diklasifikasikan sebagai siyar telah dibangunk-an bersekali dengan badan hukum-hukum syariah yang lain. Ia mengikat kes-emua penganutnya dan juga sesiapa saja yang memilih secara sukarela untuk memelihara kepentingan mereka di bawah sistem keadilan Islam.

Amalan sya-

riah sebegini dalam konteks hubungan antara tamadun dikenalpasti wujud sejak awal zaman kenabian Nabi Muhammad Saw dan dikenali dengan ungkapan siyar, dan didokumentasi dan dihimpunkan oleh sarjana-sarjana Islam silam da-lam kitab-kitab sirah, maghazi

dan sebahagian kitab tarikh (sejarah). Secara tra-

disi terma-terma siyar dan maghazi digunakan secara sinonim untuk merujuk kepada pengumpulan laporan-Iaporan mengenai kehidupan Nabi Muhammad Saw. Oleh karena mempercayai kerasulan Nabi Muhammad Saw adalah satu cabangan utama iman dan agama Islam, maka pengungkapan mengenai sifat-

1993, hlm. 821.

Mohd Nasran bin Mohamad & Rohimi bin Shapiee

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH262

sifat, tingkahlaku dan kehidupan baginda dalam aspek hubungan internasional (dengan bukan Islam) juga telah menjadi sumber-sumber kepada syariah, justeru memberi makna kepada konsep undang-undang internasional Islam.

Selepas zaman Rasulullah Saw, siyar diperIuaskan untuk juga mengambil kira tingkahlaku pemimpin-pemimpin Islam dalam umsan internasional mereka.

Memandangkan misi kerasulan Baginda Muhammad Saw yang luas, kewujudan laporan-laporan yang banyak mengenai tingkahlaku Baginda dalam konteks hubungan internasional dan juga amalan pemimpin-pemimpin selepas Baginda mengenai hal tersebut, penulis berpendapat bahwa idea siyar yang tradisional kini perlu dipahami secara lebih luas. Ia perlu sekurang-kurangnya menjadi asas kepada siyar yang diolah semuia dan dipermodernkan. Daripada bahan-bahan siyar yang tradisi, dapat dilihat dan dipahami bagaimana Nabi Muham-mad Saw menyesuaikan keadaan awal umat Islam dengan situasi misinya yang berbeda-beda dan bertahap, dalam tiga fasa utama: yaitu, pertama dari era pem-bentukan dan perlu kepada perlindungan dan jaminan keselamatan5, kepada kedua, hubungan yang berlandaskan kerjasama, saling memerlukan dan hormat-menghormati, dan akhirnya ketiga, usaha menegakkan keadilan dan mendaul-atkan keagungan Ilahi. Keselamatan, keamanan dan kewujudan bersama secara terhonnat adalah di antara prinsip-prinsip penting yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam aspek hubungan internasional.6

Kewujudan bersama secara aman yang direalisasikan adalah berasaskan prinsip kesaksamaan dan keadilan supaya apa-apa usaha untuk mencapai keamanan dan keselamatan boleh mengembalikan kehormatan dan kemuliaan diri dalam segenap insan. Dalam aspek hubungan ekonomi dan pembangunan, di samping mewujudkan satu pakatan kuat di kalangan penganut Islam bagi memelihara kepentingan bersama mereka, Nabi Muhammad Saw juga menegaskan komitmen umat Is-lam untuk bekerjasama di arena gobal,7 sebagai sebahagian daripada kesedaran betapa perlunya dipertahankan persaudaraan sejagat dan perpaduan (solidari-tas) manusia.

Dengan ini, negara-negara perIu bekerjasama ke arah mencapai

5 Sebahagian sahabat telah diberi jaminan keselamatan oleh puak-puak yang ber-simpati.

6 Wakil-wakil kerajaan telah dihantar untuk menemui emperor Byzantine, Qaisar dan Iran, pemerintah Mesir, Najashi dan Abyssinia, Raja Ghassan dan ketua di Yamama untuk mengajak mereka untuk memeluk Islam

7 Di Madinah Nabi Saw bekerjasama dengan puak Yahudi, Arabs jahiliah dan juga puak Kristian

Kontribusi Syariah dalam Penyelesaian Masalah Hukum Internasional

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 263

tujuan pembangunan menyeluruh supaya semua kumpulan warganegara boleh berkongsi segala faedah yang terhasil dari kemakmuran dunia.8

Islam menyediakan bagi penganutnya satu sistem aturan awam yang me-liputi kedua-dua aspek domestik, mahupun yang berkait dengan usaha mewu-judkan aturan dalam hubungan luar. Objektif utama agama Islam adalah un-tuk mewujudkan keadilan dalam ummah itu sendiri dan oleh karena ia juga adalah agama sejagat, ia semestinya menyumbang ke arah mewujudkan sebuah masyarakat sejagat yang terurus dan teratur.

Sama separti undang-undang in-

ternasional modern, siyar secara umumya diasaskan atas duluan (autoritas), adat, kuasa akal dan perjanjian9 yang diterima oleh syariah.10 Tidak ada apa yang lebih jelas daripada apa yang diwahyukan Allah di dalam al-Qur’an, yang mana ia menyeru umat Islam untuk memasuki perjanjian dengan mana-mana pihak yang cintakan keamanan11.

al-Qur’an juga mengarahkan umat Islam apabila me-

masuki apa-apa perjanjian supaya menghormati terma-terma yang dipersetujui dan melarang apa-apa pelanggaran yang tidak dapat dijustifikasikan.

Baginda

Muhammad Saw) sendiri melaksanakan prinsip ini apabila baginda memasuki berbagai perjanjian semasa hayat baginda.

Antara yang termasyhur adalah per-

janjian Hudaibiyah.

Penyelesaian Persoalan Internasional

Ada berbagai-bagai sebab yang menyebabkan berlakunya pertelingkahan antara negara, dan ada kalanya pertelingkahan antara individu boleh menimbulkan pertelingkahan demikian. Pada zaman-zaman lampau, pertelingkahan sepa-rti itu kerap diselesaikan melalui peperangan, tetapi sekarang cara ini sudah kurang diikuti, kecuali apabila langkah-langkah penyelesaian secara damai tidak berhasil. Penyelesaian secara damai adalah lebih wajar dan lebih adil dan sudah tentu ianya lebih berfaedah kepada negara-negara yang bertelingkah dan juga masyarakat internasional jika dibandingkan dengan langkah penyelesaian secara peperangan.

Banyak usaha telah dibuat supaya setiap pertelingkahan akan diselesaikan

8 Rohimi bin Shapiee, Op. Cit., hlm. 359 Prinsip siyar mengiktiraf sifat keterikatan semua perjanjian selari dengan maxim

pacta sunt servanda (setiap perjanjian harus ditepati).10 An-Nisaa’ (4): 94; Al-Anfal (8): 72; dan Al-Mumtahanah (60): 8; 11 At-Taubah (9): 4; At-Taubah (9): 7; Al-Isra’ (17): 34; dan Al-Maaidah (5): l.

Mohd Nasran bin Mohamad & Rohimi bin Shapiee

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH264

secara damai. Antara usaha-usaha yang penting ialah mengadakah konvensy-en-konvensyen termasuk Pacific Settlement of International Disputes Hague 1 (1899) dan (1907). Persatuan Liga Bangsa-Bangsa Bersatu 1920 (League of Nations) yang telah digantikan dengan Organisasi Bangsa-Bangsa Bersatu 1945 (United Nations) juga mempunyai maksud yang sama.

Secara umumnya ada dua cara yang diikuti untuk menyelesaikan sesuatu pertelingkahan:

1. Penyelesaian Secara Persahabatan

Artikel 33 Piagam PBB memperuntukkan:

1. The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solu-tion by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settle-ment, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice.

2. The Security Council shall, when it deems necessary, call upon the parties to settle their dispute by such means.

Usaha-usaha ini sudah lama diasaskan oleh Islam, malah memberi galakan pula supaya dibuat demikian. Dalam Surah al-Baqarah ayat 208, Allah berfir-man:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam perdamaian (al-silm) keseluruhannya, dan janganlah kamu ikut langkah-langkah syaitan, ses-ungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu”.

Demikian juga Allah berfirman di dalam Surah al-Anfal ayat 61: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, hendaklah kamu (juga) condong kepa-danya, dan bertakwalah kepada Allah”.

2. Perundingan, Jasa Baik, Perantaraan, Konsiliasi atau Penyelidikan

a. Perundingan (Negotiation)Keutamaan seharusnya diberikan kepada cara rundingan sebelum

daripada penggunaan cara-cara lain untuk menyelesaikan pertelingkahan antara negara. Majoriti perjanjian-perjanjian berkenaan dengan penyelesa-ian secara damai adalah menganggap cara ini sebagai langkah pertama un-

Kontribusi Syariah dalam Penyelesaian Masalah Hukum Internasional

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 265

tuk menyelesaikan pertelingkahan internasional.12 Menurut cara ini pihak-pihak yang bertelingkah akan mengadakan rundingan untuk menyelesaikan pertelingkahan mereka. Jika rundingan itu berhasil maka selalunya akan di-adakan perjanjian yang mengatur butir-butir penyelesaian perkara tersebut. Dalam rundingan ini tolak ansur adalah menjadi soal yang terpenting untuk mencapai kehasilan. Penyelesaian secara ini sangat baik digunakan pada pertelingkahan-pertelingkahan yang rumit dan cara ini sebenarnya paling banyak digunakan setiap hari secara senyap tanpa pengetahuan umum.

b. Jasa baik dan Perantaraan (Good Offices and Mediation)Maksud penyelesaian cara ini ialah pertelingkahan antara negara cuba

diselesaikan oleh pihak ketiga, sebab kedua-dua pihak tidak dapat bertolak-ansur untuk berunding ataupun telah diadakan rundingan tetapi tidak ber-hasil. Pihak ketiga cuba memainkan peranan supaya kedua-dua pihak da-pat menyelesaikan pertelingkahan mereka secara damai. Peranan separti ini selalunya lebih berkesan jika dilakukan oleh negara-negara besar (big power) karena pengaruh mereka adalah besar di negara-negara kecil. Kadang-ka-dang peranan negara tetangga juga berkesan.

Terdapat sedikit perbedaan di antara jasa baik dan perantaraan. Di da-lam jasa baik, secara umumnya peranan pihak ketiga hanyalah berusaha membawa kedua-dua pihak berunding serta membuat rekomendasi pe-nyelesaian secara umum saja dan apabila kedua-dua pihak sudah berhasil dibawa demikian maka selesaikan tugasnya. Sebaliknya dalam perantaraan, pihak ketiga bukan saja menemukan kedua-dua pihak tetapi juga ikut ser-ta di dalam perundingan-perundingan dan memimpin pihak-pihak yang bertelingkah supaya mencapai penyelesaian. Pihak ketiga ini mungkin akan membuat rekomendasi-rekomendasi dan saranan-saranan tertentu untuk memimpin kedua-dua pihak.13

c. Konsiliasi atau Penyelidikan (Conciliation or Inquiry)Konsiliasi bermaksud mengajukan pertelingkahan kepada sesebuah

suruhanhasil atau komite yang berfungsi membuat laporan yang mengand-ungi rekomendasi-rekomendasi untuk diajukan kepada pihak-pihak yang bertelingkah untuk menyelesaikan pertelingkahan mereka. Tetapi reko-

12 L. Oppenheim, International Law A Treatise, Ed. By Lautherpacht, Vol. II, Seventh Edition, (London: Longmans, 1952), hlm. 274.

13 J. G. Starke, An Introduction to International Law, 9th Revised Edition, (London: Butterworth & Co Publishers Ltd, 1989), hlm. 252.

Mohd Nasran bin Mohamad & Rohimi bin Shapiee

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH266

mendasi-rekomendasi yang dibuat itu tidaklah mempunyai kuasa mengikat dan inilah yang membedakannya dengan Perjurian.

Penyelidikan pula berarti berusaha mencari fakta-fakta yang dipertel-ingkahkan. Lazimnya dibentuk sebuah suruhanhasil bertujuan menyelidik latar belakang sejarah dan ilmu alam perkara-perkara yang dipertelingkah-kan14. Penyelidikan tersebut apabila siap akan menjelaskan kedudukan per-soalan yang dipertelingkahkan dan ini akan menolong menghasilkan pe-rundingan yang diadakan.

3. Perjurian (Arbitration)

Penyelesaian cara ini dan juga cara kehakiman adalah lebih penting pada pan-dangan undang-undang internasional. Maksud penyelesaian secara Perjurian ialah menyerahkan pertelingkahan internasional kepada juri-juri (arbitrators) yang dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang bertelingkah. Adanya hak memilih juri-juri ini menjadi faktor yang membedakan antara perjurian dengan penyelesaian kehakiman.

Sejarah Perjurian ini sudah lama dikenal. Dalam masyarakat Arab Jahi-li penyelesaian secara ini juga diamalkan. Pertelingkahan antara individu di dalam qabilah akan dirujukkan kepada ketua qabilah manakala pertelingkah-an antara qabilah akan dirujuk kepada ketua qabilah lain atau dilantik sebuah badan pendamai yang dipersetujui oleh kedua-dua pihak yang bertelingkah15. Dalam hubungan ini Rasulullah Saw sendiri pernah dilantik menjadi pendamai (juri) untuk menyelesaikan pertelingkahan yang hampir mencetuskan peperan-gan antara qabilah-qabilah karena merebutkan hak meletakkan Hajar al-Aswad ketika membaharui pembinaan Ka’bah.

Penyelesaian secara ini juga diakui dan diamalkan di dalam Islam. Di masa Rasulullah Saw ketika hendak menghukumkan Yahudi Banu Quraizah, Sa’ad bin Mu’az telah dilantik menjadi juri16 dan semasa berlaku pertelingkahan di zaman sahabat antara Ali dan Mu’awiyah yang menyebabkan berlaku perang saudara telah juga dirujukkan kepada badan perjurian (al-Tahkim). Umru ibn al ‘Ass dan Abu Musa al Ash’ariy telah dilantik menjadi juri-jurinya.

14 Ibid, hlm. 254.15 Ali Ali Mansur, al-Shari’ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Duwaliy al-‘Am, (Mesir:

Dar al-Qalam, 1962), hlm. 211.16 Ibid., hlm. 209.

Kontribusi Syariah dalam Penyelesaian Masalah Hukum Internasional

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 267

Sejarah Perjurian modern hanya bermula dengan Perjanjian Jay pada ta-hun 1794 antara Amerika Syarikat dan Great Britain, yang menetapkan supaya perkara-perkara antara kedua-dua pihak diadili oleh suruhanhasil campuran (mixed commissions). Suruhanhasil ini berhasil dan telah mengadakan Perjurian Alabama Claims Award antara Amerika Syarikat dan Great Britain17 pada tahun 1872. Selepas daripada kehasilan Perjurian ini maka banyaklah berlaku Perjuri-an-Perjurian kemudiannya sehingga Perjurian-perjurian tersebut telah menjadi sumber undang-undang yang tidak kurang pentingnya kepada undang-undang internasional. Kemajuan lain yang tercapai ialah pembentukan Mahkamah Tetap Perjurian (Permanent Court of Arbitration), yang telah dicadangkan oleh Convention The Haque 1 (1899) di bawah Pacific Settlement of International Disputes. Struktur badan ini telah dicatatkan dalam bab 11 Konvensyen tersebut.

Penyelesaian secara Perjurian ini tidak dipaksakan tetapi sebaliknya persetu-juan pihak-pihak yang bertelingkah adalah perlu18. Oleh sebab itu mana-mana pihak tidaklah boleh mengemukakan saman untuk pihak lain hadir menyelesai-kan pertelingkahan antara mereka di hadapan mahkamah perjurian. Tetapi apa-bila mereka bersetuju membawa pertelingkahan supaya dibicarakan oleh per-jurian maka keputusan perjurian adalah muktamad dan mengikat pihak-pihak berkenaan19 dengan syarat juri-juri (arbitrators) adalah mempunyai kebebasan yang penuh dalam menjalankan tugas mereka.

4. Penyelesaian Kehakiman (Judicial Settlement)

Cara penyelesaian pertelingkahan melalui proses kehakiman adalah dikenali di kalangan bangsa-bangsa. Islam juga menggunakan cara ini untuk menyelesai-kan pertelingkahan yang timbul. Semasa Rasulullah Saw, pertelingkahan akan dihakimkan sendiri oleh baginda bagi mereka-meraka yang berhampiran, tetapi bagi mereka-mereka yang tinggal berjauhan separti Yaman maka Rasulullah menghantar seorang gabenor untuk menjadi ketua pentadbir dan juga bertugas sebagai seorang hakim. Jadi segala pertelingkahan di kalangan orang-orang Is-lam akan dirujukkan kepada Rasulullah atau wakil baginda, dan orang-orang yang bukan Islam juga ada kalanya berbuat demikian. Berhubung dengan keha-

17 Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford: Clarendon Press-Oxford, 2012), hlm. 684.

18 Lihat Artikel 37, Pacific Settlement of International Disputes Hague 1 1907.19 L. Oppenheim, Op. Cit., hlm. 26.

Mohd Nasran bin Mohamad & Rohimi bin Shapiee

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH268

kiman ini Allah s.a.w berfirman dalam Surah an-Nisa’ ayat 65 :

“Maka demi Tuhan, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemu-dian mereka tidak merasa di dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.

Pesatuan Mahkamah Tetap Internasional (Permanent Court of International Justice) yang kemudiannya digantikan dengan Mahkamah Internasional (Inter-national Court of Justice), telah mengurangkan peranan yang dimainkan oleh Mahkamah Tetap Perjurian. Sungguhpun demikian kewujudan Mahkamah Tetap Perjurian masih berfaedah untuk berfungsi sebagai Mahkamah Equity In-ternasional (Court of International Equity) bagi memperbolehkan negara-negara merujuk pertelingkahan-pertelingkahan bukan undang-undang dan perteling-kahan-pertelingkahan campuran (pertelingkahan politik yang ada hubungan dengan undang-undang) untuk diselesaikan secara ex aequo et bono.

Maksud penyelesaian secara kehakiman ialah penyelesaian pertelingkahan yang diputuskan oleh Mahkamah Internasional dengan menggunakan prinsip undang-undang. Struktur Mahkamah Internasional adalah berlainan dengan Mahkamah Perjurian. Mahkamah Internasional adalah tetap manakala Mahka-mah Perjurian biasanya dibentuk untuk keadaan sementara.

5. Penyelesaian di Bawah Pimpinan PBB

Salah satu tujuan utama dari pesatuan PBB ialah cuba menyelesaikan perteling-kahan antara negara secara damai separtimana yang dinyatakan dalam Artikel 2 (3) Piagam PBB. Piagam ini tidak membenarkan mana-mana negeri menggu-nakan kekerasan sebagai cara menyelesaikan pertelingkahan. Pada pandangan Piagam hanya cara penyelesaian secara damai saja yang patut dilakukan. Walau bagaimanapun, tidak ada kewajipan dan acara di dalam undang-undang inter-nasional bagi menyelesaikan pertelingkahan secara rasmi dan menurut acara undang-undang tanpa mendapat persetujuan pihak-pihak dalam pertelingka-han.

Dalam usaha untuk mencapai tujuan di atas, maka Perhimpunan Agung dan Majlis Keselamatan telah diberi tanggungjawab yang penting. Artikel 14 Piagam memberi kuasa kepada Perhimpunan Agung untuk mencadangkan tindakan-tindakan agar dapat menyelesaikan secara damai setiap peristiwa yang mungkin merugikan kesejahteraan umum atau hubungan-hubungan per-

Kontribusi Syariah dalam Penyelesaian Masalah Hukum Internasional

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 269

sahabatan antara negara termasuk peristiwa yang muncul akibat perlanggaran peraturan-peraturan Piagam. Tetapi Majlis Keselamatan diberi kuasa yang lebih besar. Majlis Keselamatan dapat bartindak ke atas dua bentuk pertelingkahan:a. Pertelingkahan yang membahayakan perdamaian dan keselamatan interna-

sional (lihat Artikel 37 (2), danb. Peristiwa-peristiwa yang mengancam perdamaian, melanggar perdamaian

dan tindakan-tindakan agresif (lihat Artikel 39).Dalam keadaan pertama Majlis Keselamatan boleh meminta pihak-pihak

yang bertelingkah menyelesaikan pertelingkahan mereka menurut cara-cara yang ditentukan oleh Artikel 33, yaitu melalui perundingan, penyelidikan, perantaraan, konsiliasi, perjurian, penyelesaian kehakiman, menyerah kepa-da organisasi-organisasi serantau atau cara-cara lain yang dipilih oleh mereka sendiri. Di samping itu Majlis Keselamatan juga boleh mencadangkan acara-ac-ara yang patut ataupun kaedah-kaedah yang sesuai [Artikel 36 (1)].

Untuk keadaan kedua Majlis Keselamatan boleh membuat rekomendasi atau menentukan cara-cara yang dapat diambil untuk mengekalkan perdama-ian dan keselamatan internasional (lihat Artikel 39). Rekomendasi-rekomendasi tersebut hendaklah merupakan rekomendasi-rekomendasi yang tidak melibat-kan penggunaan angkatan bersenjata. Antara rekomendasi itu ialah meminta anggota-anggota PBB. memutuskan semua atau sebahagian hubungan-hubun-gan ekonomi, jalan keretapi, laut, udara, pos, taligraf, radio dan alat-alat per-hubungan yang lain dan juga memutuskan hubungan diplomatik.20 Tetapi jika langkah ini tidak berhasil maka Majlis Keselamatan boleh mengambil tindakan melalui angkatan udara, laut atau pun darat bagi mengekalkan perdamaian dan keselamatan internasional. Tindakan-tindakan tersebut termasuklah demonstra-si, blockade dan operasi-operasi lain melalui angkatan udara, laut atau darat oleh negara anggota PBB.21

Sesuatu pertelingkahan bukan saja boleh dibawa oleh pihak-pihak dalam pertelingkahan kepada Majlis Keselamatan tetapi Majlis Keselamatan itu sendiri boleh menyelidik (investigate) biarpun mana-mana pihak tidak membawa pertel-ingkahan ke hadapannya.22 Artikel 34 Piagam menyebutkan: “Majlis Keselama-

20 Artikel 41, United Nations Charter 1945.21 Artikel 42, Ibid.22 Selain daripada ini mana-mana negeri boleh juga membawa kepada Majlis Ke-

selamatan samada ianya negeri anggota atau bukan. Artikel 35, Piagam mem-peruntukkan: 1. Mana-mana anggota PBB boleh membawa mana-mana pertel-

Mohd Nasran bin Mohamad & Rohimi bin Shapiee

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH270

tan boleh menyelidik mana-mana pertelingkahan, atau mana-mana keadaan yang mungkin membawa kepada pergeseran internasional atau mengakibatkan suatu pertelingkahan, dengan maksud untuk menentukan samada perteling-kahan dan keadaan akan membahayakan pengekalan perdamaian dan kesela-matan internasional”. Jika penyelidikan yang dibuat itu menunjukkan bahwa pertelingkahan tersebut boleh membahayakan perdamaian dan keselamatan internasional maka Majlis Keselamatan akan meminta pihak-pihak yang bertel-ingkah supaya menyelesaikan pertelingkahan mereka melalui cara-cara penye-lesaian yang ditentukan dalam Artikel 33 separti yang disebutkan di atas. Da-lam keadaan separti ini selain daripada Majlis Keselamatan boleh menggunakan Artikel 33. Ia juga boleh menggunakan Artikel 36 yang menetapkan:a. Majlis Keselamatan boleh, pada mana-mana tingkat pertelingkahan atau

keadaan merujuk kepada Artikel 33 atau mencadangkan acara-acara yang patut atau kaedah-kaedah yang sesuai;

b. Majlis Keselamatan perlu mempartimbangkankan mana-mana acara yang telah dibentangkan oleh pihak-pihak untuk menyelesaikan pertelingkahan;

c. Dalam membuat rekomendasi di bawah Artikel ini, Majlis Keselamatan per-lu juga mempartimbangkan bahwa pertelingkahan undang-undang patut sebagai peraturan umum dirujukkan oleh pihak-pihak kepada Mahkamah Antara bangsa,23 menurut peruntukan-peruntukan Statute Mahkamah.Sebagai contoh kepada tugas penyelidikan yang pernah dijalankan oleh

PBB ialah membentuk beberapa suruhanhasil menyelidik pertelingkahan dalam masalah Apartheid di Afrika Selatan (1962) pembanguna senjata nuklear oleh

ingkahan atau mana-mana keadaan seperti yang disebutkan dalam Artikel 34, untuk pengetahuan Majlis Keselamatan atau Perhimpunan Agung; 2. Sesebuah negeri yang bukan anggota PBB boleh membawa untuk pengetahuan Majlis Ke-selamatan atau Perhimpunan Agung mana-mana pertelingkahan di mana dia menjadi pihak sekiranya ia menerima dalam pendahuluan, untuk maksud pertel-ingkahan, peraturan-peraturan penyelesaian secara damai yang diperuntukkan di dalam Piagam ini. Artikel-Artikel 99 dan II (3) pula membolehkan Setiausaha Agung dan Perhimpunan Agung membawa mana-mana pertelingkahan atau keadaan yang boleh membahayakan perdamaian dan keselamatan antarabangsa ke pengetahuan Majlis Keselamatan. Ibid.

23 Salah satu contoh cadangan ini ialah kes Corfu Channel (1947) yang telah diru-jukkan kepada Mahkamah Antara Bangsa, tetapi untuk memberi kesan kepada cadangan seperti ini adalah memerlukan persetujuan pihak-pihak yang bertel-ingkah.

Kontribusi Syariah dalam Penyelesaian Masalah Hukum Internasional

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 271

Iran (2012).

6. Penyelesaian di Bawah Organisasi Serantau

Ada kalanya PBB membiarkan pertelingkahan diselesaikan oleh Organisasi Serantau (regional organization) separtimana yang diperuntukkan oleh bab VIII Piagam. Penyelesaian cara ini berlaku dalam pertelingkahan-pertelingkahan Kemboja (1989), Iraq-Kuwait (1991). Secara umumnya pengaruh Organisasi Se-rantau adalah melebihi daripada pengaruh PBB ke atas sesuatu negara, meman-dangkan kepada keadaan separti ini maka Organisasi Serantau adalah berke-mampuan menjadi pendamai yang berkesan.

7. Penyelesaian yang Dipaksakan

Cara-cara penyelesaian secara paksaan termasuklah tindakan pembalasan, blockade secara damai, tindakan balas dendam, campur tangan tentera dan juga melakukan perang. Cara penyelesaian separti ini sebenarnya dapat juga disebutkan sebagai jenis-jenis pertelingkahan internasional karena tindakan-tin-dakan itu sendiri adalah menimbulkan pertelingkahan.

Pada asasnya sesebuah negara tidak boleh melakukan campur tangan ke atas negara lain samada dalam urusan dalam negeri atau urusan luar negeri negara tersebut24, sebab campur tangan sedemikian adalah mengganggu bidang kuasa negara itu serta mencabuli kedaulatannya. Tetapi beberapa jenis campur tangan telah dikecualikan separti campur tangan secara kolektif oleh negara-negara sesuai dengan bab VII Piagam PBB, campur tangan untuk melindungi hak-hak, kepentingan dan keamanan peribadi warganegara-warganegara di luar negeri, campur tangan untuk pembelaan diri (self-defence) karena adanya ancaman serangan bersenjata dan campur tangan dalam urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaan negara itu.25

Maksud campur tangan sebagai cara penyelesaian pertelingkahan ialah negara ketiga melakukan campurtangan secara diktatorial (dictatorial interference) dengan tujuan menyelesaikan pertelingkahan antara pihak-pihak yang bertel-ingkah mengikut cara yang dikehendaki oleh negara yang melakukan campur-tangan dan negara ketiga itu bukanlah memihak kepada mana-mana pihak da-

24 Lihat Artikel 8, Convention on The Rights and Duties of State, yang ditandatan-gani di Montevido, 26 Desember 1933.

25 J. G. Starke, Op. Cit., hlm. 52.

Mohd Nasran bin Mohamad & Rohimi bin Shapiee

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH272

lam pertelingkahan itu. Adanya campurtangan separti ini akan membantutkan peperangan yang akan berlaku atau yang telah berlaku di antara pihak-pihak yang bersoal. Negara ketiga itu secara paksa meminta pihak-pihak yang bertel-ingkah menyelesaikan pertelingkahan melalui Perjurian atau memaksa meneri-ma syarat-syarat tertentu atau lainnya. Campurtangan ini boleh dilakukan oleh negara-negara secara persendirian ataupun secara tindakan kolektif. Kebolehan melakukan tindakan secara kolektif dapat diperhatiakn dalam Artikel 16 (2) Covenant of the League of Nation yang menetapkan:

“Hendaklah menjadi tugas Majlis itu dalam perkara demikian mengesyorkan kepada masing-masing kerajaan yang berkenaan, apakah tentera darat, laut atau udara yang berkesan yang ahli-ahli Liga masing-masing hendaklah sum-bangkan kepada angkatan-angkatan tentera yang digunakan bagi memelihara terma-terma Liga”.

Piagam PBB juga memberi kebenaran demikian separti mana yang ditetap-kan dalam Artikel 42:

“Should the Security Council consider that measures provided for in Article 41 would be inadequate or have proved to be inadequate, it may take such action by air, sea, or land forces as may be necessary to maintain or restore internation-al peace and security. Such action may include demonstrations, blockade, and other operations by air, sea, or land forces of Members of the United Nations”.

Di dalam cara menyelesaikan pertelingkahan antara negara ini baik undang-undang internasional barat ataupun undang-undang Islam adalah sama-sama bersetuju bahwa cara penyelesaian secara damai hendaklah diutamakan. Jika cara damai ini tidak berhasil maka cara kekerasan patut dilakukan. Tetapi un-dang-undang internasional barat kurang tegas dalam melaksanakan cara yang kedua itu tidak separti undang-undang Islam yang dengan tegas menyatakan pertelingkahan harus diselesaikan secara damai dan jika tidak berhasil oleh se-bab keengganan sesuatu pihak maka pihak itu hendaklah diperangi sehingga ia kembali menerima perdamaian. Prinsip ini terdapat di dalam ayat 9 Surah al-Hujurat:

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka da-maikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sampai golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduan-ya dengan adil, dan berlaku adillah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Kontribusi Syariah dalam Penyelesaian Masalah Hukum Internasional

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 273

Sungguhpun ayat ini menerangkan cara penyelesaian pertelingkahan antara orang-orang Islam (negara Islam), tetapi prinsip ini dapat dijadikan se-bagai prinsip umum yang boleh juga dikenakan ke atas pertelingkahan antara negara. Jadi langkah penyelesaian separti yang dianjurkan oleh ayat ini patut dipartimbangkan dan diikuti. Dengan kata lain, langkah pemaksaan biarpun terpaksa berperang hendaklah dilakukan ke atas negara-negara yang enggan menyelesaikan pertelingkahan secara damai.

Pengalaman Malaysia

Secara jujurnya pengalaman Malaysia yang terkait dengan kontribusi Syariah dalam penyelesaian soal internasional adalah suatu yang agak sukar dilihat dan dinilai. Penulis percaya, situasi yang sama juga berlaku kepada negara-negara Islam yang lain. Ini adalah karena sumber, prinsip dan pendekatan penyelesaian soal internasional bagi majoriti negara-negara di dunia ini adalah berpaksikan undang-undang internasional barat yaitu adat internasional, perjanjian sam ada bilateral atau multilateral, keputusan kehakiman dan sebagainya.

Karena itu diawal penulisan makalah ini, penulis membicarakan soal hubungan undang-undang internasional Islam yang dikenali sebagai siyar den-gan undang-undang internasional barat. Meskipun dilihat undang-undang in-ternasional modern mendominasi keseluruhan ruang lingkup amalan interna-sional pada hari ini, namun perlu diingat bahwa undang-undang internasional Islam atau siyar di bawah payung Syariah punyai pengaruh yang besar dalam undang-undang internasional barat. Berdasarkan pengakuan Hakim Weera-mantry yang mengakui bahwa buku-buku hasil karya al-Shaibani menjadi ru-jukan sarjana undang-undang barat seawal abad ke 10 hingga 1626, maka adalah tidak keterlaluan kalau penulis beranggapan bahwa sebahagian besar prinsip undang-undang internasional barat yang dikenali hari ini adalah diambil dari penulisan sarjana Islam terdahulu.

Buktinya Muhammad Hasan al-Shaybani yang digelar Bapa Undang-un-dang Internasional Islam yang karya dan hasil tulisannya menjadi rujukan sar-jana Barat telah hidup 840 tahun lebih dahulu daripada Hugo Grotius yang dike-nali sebagai Bapa Undang-undang Internasional Barat. Justeru, adalah menjadi satu tantangan kepada umat Islam untuk melihat undang-undang internasional sebagai bukan satu binaan Barat semata-mata tetapi sebagai binaan masyarakat

26 Christopher G. Weeramantry, Op. Cit., hlm. 2.

Mohd Nasran bin Mohamad & Rohimi bin Shapiee

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH274

sejagat. Ia merupakan hasil perkongsian berbagai tamadun termasuk tamadun Islam yang menyumbang dan berperanan dalam perkembangan ide undang-undang internasional.

Penulis berpandangan bahwa hukum Islam itu adalah apa jua peraturan dan hukum yang selari dengan Islam serta tidak bertentangan dengan nas al-Qur’an dan al-Sunnah. Justeru dalam konteks Malaysia, sebagai sebuah nega-ra yang sama separti negara-negara lain di dunia, tidak terlepas menghadapi konflik dan persoalan terutama dengan negara-negara tetangga. Sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Syariah, serta peruntukan di dalam kedua-dua Pacific Settlement of International Disputes Hague 1899 dan 1907 serta Artikel 33 Piagam Bangsa-bangsa Bersatu, Malaysia mengambil pendekatan penyelesaian interna-sionalnya melalui jalan perdamaian dan persahabatan. Antara persoalan yang pernah dihadapi Malaysia ialah:1. Tuntutan Filipina ke atas Borneo Utara 1962. Kerajaan Filipina di bawah ke-

pimpinan Macapagal mempersoalkan kesahihan hak milik British ke atas Borneo Utara. Beliau membawa isu ini ke PBB pada Oktober dan November 1962 dan kemudiannya di Sidang Kemuncak Manila pada Juli 1963. Filipina dan Indonesia bersetuju mengiktiraf pembentukan Malaysia sekiranya itu kehendak majoriti rakyat Sabah dan Sarawak. Oleh itu Suruhanhasil Cob-bold di bawah pengawasan PBB ditubuhkan bagi tujuan pungutan suara serta diawasi oleh Organisasi Bangsa-bangsa Bersatu (PBB) pada 26 Agus-tus 1963. Walau bagaimanapun tindakan Tunku Abul Rahman mengishtihar Pembentukan Malaysia, telah mencetuskan kontroversi serta mengundang kemarahan Macapagal dan Sukarno walaupun terbukti kemudiannya lebih 2/3 penduduk Sabah dan Sarawak bersetuju untuk menyertai Malaysia.

2. Konfrontasi Indonesia Malaysia 1963 ekoran rekomendasi pesatuan Malaysia yang mengabungkan SemenanJunig Tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Sarawak. Indonesia menganggap pesatuan Malaysia sebagai helah kuasa ba-rat mengukuhkan kuasa imperialism di Asia Tenggara serta menggugat ke-merdekaan Indonesia. Justeru, Pesatuan Malaysia dibantah dan konfrontasi dilancarkan. Beberapa rundingan rundingan telah diatur termasuklah yang diusahakan oleh Amerika Syarikat melalui Peguam Negaranya Robert Ken-nedy. Antara siri rundingan penting ialah yang diadakan di Bangkok pada Februari 1964, di Tokyo pada 21 Juni 1964 serta Rundingan Bangkok pada 1 Juni 1966 semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Persoalan ini berakhir dengan Perjanjian Damai antara Malaysia dan Indonesia pada 11 Agustus

Kontribusi Syariah dalam Penyelesaian Masalah Hukum Internasional

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 275

1966 di Bangkok. 3. Isu hak pemilikan ke atas Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi kontrover-

si pada tahun 1969 apabila Indonesia membantah rekomendasi wilayah pelantar laut Malaysia yang memasukkan kedua-dua pulau tersebut. Per-temuan antara Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Dato’ Hussein Onn pada 26 Mac 1980 di Kuantan, Pahang, memutuskan untuk menyelesaikan soal ini melalui rundingan namun gagal. Rundingan melalui ASEAN juga gagal. Pada 2 Nov 1998, kedua-dua negara bersetuju untuk membawa isu ini kepada Mahkamah Keadilan Internasional (ICJ). Pada 3 Juni 2002 Malaysia dan Indonesia mengemukakan hujah masing-masing. Keputusan yang dike-luarkan pada 17 Disember 2002 memberi hak kedaulatan terhadap kedua-dua pulau tersebut kepada Malaysia.

4. Isu hak pemilikan perairan Ambalat di Laut Sulawesi 2005 yang dikenali sebagai Blok ND6 dan ND7 (di Indonesia dikenali Blok Ambalat dan East Ambalat). Penyelesaian soal ini masih diteruskan melalui rundingan antara kedua negara. Tiada tanda-tanda isu ini akan di bawa kepada Mahkamah Keadilan Internasional (ICJ).

5. Isu hak pemilikan Pulau Batu Putih (1980-2008) ekoran bantahan Singapura selepas Malaysia mengeluarkan peta terbarunya pada tahun 1979. Selepas beberapa siri rundingan gagal, kedua-dua negara bersetuju isu ini dibawa kepada Mahkamah Keadilan Internasional (ICJ). Pada 23 Mei 2008, ICJ me-mutuskan Pulau Batu Putih milik Singapura, manakala Malaysia memiliki Terumbu Karang Selatan (South Ledge).

Penutup

Penyelesaian persoalan internasional Malaysia dengan negara-negara tetangg-anya melalui rundingan adalah jelas bertepatan dengan prinsip yang dianjurkan oleh Syariah. Prinsip-prinsip penyelesaian internasional secara persahabatan dan perdamaian sebagaimana yang terkandung dalam Pacific Settlement of Inter-national Disputes Hague 1 (1899) dan (1907) serta Artikel 33 Piagam Bangsa-bang-sa Bersatu sudah dipraktekkan Rasulullah serta didukung oleh ayat-ayat suci al-Qur’an. Kedua-dua sumber ini merupakan adillat qat’iyyat yang tiada keraguan kepada kebenarannya. Manakala sumber-sumber lain dalam undang-undang internasional Barat yang merangkumi adat kelaziman (international customs), perjanjian (treaty), keputusan kehakiman (judicial decisions), pendapat pakar

Mohd Nasran bin Mohamad & Rohimi bin Shapiee

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH276

Undang-undang internasional (Juristic opinions) dan prinsip-prinsip am (Gen-eral Principles) memang sudah terkandung, bukan saja dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, malah didukung dengan berbagai perbahasan dalam kitab-kitab fiqh di bawah judul siyar, aman, hudnah, dhimmah, jihad dan sebagainya. Seorang to-koh yang terkenal membicarakan secara khusus undang-undang internasional Islam ini ialah Muhammad Hassan al-Shaybani yang hidup antara 749-805M. Murid kepada Imam Abu Hanifah ini merupakan pelopor dan digelar Bapa Un-dang-undang Internasional Islam. Sedangkan Hugo Grotius yang digelar Bapa Undang-undang Internasional Barat hidup 840 tahun selepas al-Shaybani yaitu antara 1583-1645. Tulisan al-Shaybani mengenai undang-undang internasion-al ini menjadi rujukan seluruh dunia, bukan saja dalam kalangan orang Islam malah Sarjana Barat. Antara hasil karya beliau yang mashur ialah al-Mabsut, al-Jami al-Kabir, al-Jami al-Saghir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar al-Saghir, and al-Ziyadat. Justeru adalah tidak mustahil prinsip-prinsip yang diamal serta diperjuangkan oleh Islam mempunyai pengaruh yang besar ke dalam prinsip-prinsip yang dia-malkan dalam Undang-undang Internasional Barat pada hari ini.

Bibliografi

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Edisi Revisi, Semarang: Kumudasmoro Grafindo Semarang, 1994.

Ali Ali Mansur, al-Shari’ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Duwaliy al-‘Am, Mesir: Dar al-Qalam, 1962.

Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford: Clarendon Press-Oxford, 2012.

Christopher G. Weeramantry, “International Law and the Developing World: A Millennial Analysis”, Harvard International Law Journal, 2000.

Convention on The Rights and Duties of State 1933.David A. Westbrook, “Islamic International Law and Public International Law:

Separate Expressions of World Order 33 Va”, Virginia Journal of International Law, 1993.

J. G. Starke, An Introduction to International Law, 9th Revised Edition, London: L. Oppenheim, International Law A Treatise, Ed. By Lautherpacht, Vol. II, Seventh

Edition, London: Longmans, 1952.Mohammad Tallat Al Ghunaimi, The Muslim Conception of International Law and

the Western Approach, The Hague: Martinus Nijhoff, 1968.Pacific Settlement of International Disputes Hague I 1907.Rohimi Shapiee, “Siyar (Undang-undang Internasional Islam) Cabaran Untuk

Kontribusi Syariah dalam Penyelesaian Masalah Hukum Internasional

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 277

Mempermodern dan Menjadikannya Relevan”, Jurnal Undang-undang dan Masyarakat, Bangi: Fakulti Undang-Undang UKM, 2005.

United Nations Charter 1945.

Mohd Roslan Modh Nor

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH278

APLIKASI HUKUM ISLAM DALAM TATANAN MASYARAKAT GLOBAL DI MALAYSIA

Mohd Roslan Mohd NorProfessor Madya Bidang Ilmu Fiqh, Akademi Pengajian Islam

Universiti Malaya, 50603 Kuala Lumpur, Malaysia

Abstrak: Global world order encountered in Malaysia should not be taken lightly. If it is not handled correctly, feared the coming generation will not require Islamic law, and will even forget about it altogether. Implementation of Islamic law in the modern world is filled with challenges of its own, full of wisdom needs to be faced with that Islam is not a religion accused of being old-fashioned, old-fashioned and anti-change. In the era of globalization, a variety of reports can be obtained quick-ly, so what applies in the outside world, will soon be known in his own country. Group that emphasizes religious life has definitely want to maintain their religious traditions of pollution efforts by parties who are not responsible. Meanwhile, hu-man rights campaigners in the West also failed to understand human rights from a religious perspective. This is a double standard attitude challenges that must be faced. Therefore, do not be allowed to interfere in the affairs of foreign faction of Islam, so that-as if-they want to teach us, where the true Islam and what is wrong. This is a case that requires empowerment for the future of Islamic civilization in Malaysia and the world in general.

Keywords: application, Islamic law, globalization.

Abstrak: Tatanan dunia global yang dihadapi di Malaysia tidak boleh dipandang ringan. Jika ia tidak ditangani dengan betul, dikuatirkan generasi akan datang tidak akan memerlukan hukum Islam, dan bahkan akan melupakannya sama sekali. Pelaksanaan hukum Islam dalam dunia modern sekarang penuh dengan tantangan-tantangan tersendiri, perlu dihadapi dengan penuh hikmah agar Is-lam tidak dituduh sebagai agama yang kolot, jumud serta anti perubahan. Dalam era globalisasi, berbagai pemberitaan dapat diperoleh dengan cepat, sehingga apa

Aplikasi Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Global di Malaysia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 279

yang berlaku di dunia luar, akan segera diketahui di negara sendiri. Golongan yang mementingkan kehidupan beragama sudah pasti ingin mempertahankan tra-disi agama mereka dari upaya pencemaran oleh pihak-pihak yang tidak bertang-gungjawab. Sementara itu, pejuang hak asasi manusia di Barat juga tidak berhasil untuk memahami hak asasi manusia dari perspektif agama. Inilah tantangan sikap standar ganda yang harus dihadapi. Oleh karena itu, jangan dibiarkan golongan asing mencampuri urusan agama Islam, sehingga—seolah-olah—mereka ingin mengajarkan kepada kita, Islam mana yang betul dan mana yang salah. Inilah perkara yang memerlukan pemberdayaan bagi masa depan peradaban Islam di Malaysia dan dunia umumnya.

Kata Kunci: aplikasi, hukum islam, masyarakat global.

Pendahuluan

Alam Melayu atau Nusantara ini sudah lama sinonim dengan Islam,1 bahkan membentuk masyarakat Islam terbesar di dunia, maka ia tidak terlepas dari tan-tangan yang tersendiri terutama apabila dilihat dari aspek tatanan masyarakat global dan peradaban Islam. Ia turut menyentuh persoalan yang bermula dari melakukan ibadah kepada persoalan yang lebih berat yaitu yang bersifat hu-kum. Hukum Islam atau juga disebut sebagai Syariat Islam merupakan satu perkara penting dalam kehidupan masyarakat Muslim. Ia berkait dengan cara hidup individu, hukum dalam kehidupan seharian, muamalah perniagaan, dan bermacam-macam lagi.

Oleh karena ia merupakan suatu perkara penting dan ianya telah wujud di dalam Islam semenjak zaman awal lagi, maka sudah tentu ia mempunyai tan-tangan-tantangan tertentu. Tidak cukup dengan melihat kepada evolusi hukum itu yang berlaku sepanjang zaman, tetapi sejauh mana perubahan-perubahan boleh diterima oleh masyarakat sekeliling mengenainya. Ada juga kemung-kinan bahwa hukum Islam juga tidak terlepas dari pengaruh kecenderungan parti-parti politik yang ingin menggunakan Islam sebagai alat mereka di pentas politik tersebut.

Dalam banyak situasi, kita mungkin terkeliru atau coba dikelirukan um-

1 Syed Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, (Kuala Lumpur: Pener-bit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972), hlm. 1-15; Peter Riddell, Islam and the Ma-lay-Indonesian World: Transmission and Responses, (Singapore: Horizon Books, 2001), hlm. 1-5.

Mohd Roslan Modh Nor

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH280

pamanya oleh pandangan-pandangan keras ultra konservatif yang mendasari sebahagian dari pemikiran umat Islam. Tidak dinafikan bahwa golongan yang berada di garis keras ini sememangnya wujud dan mereka mempunyai pandan-gan-pandangan tersendiri sehingga tidak dapat untuk menerima pandangan-pandangan alternative Islam yang lebih moderate, tolerance dan acceptable bagi kehidupan yang bersifat majmuk.

Di Malaysia, aplikasi hukum Islam turut merasakan tantangan-tantangan-nya yang tersendiri di dalam suasana masyarakatnya yang berbilang kaum. Bah-kan masyarakat yang ada pada hari ini juga merupakan masyarakat yang sudah terbuka ilmu, terbuka kemudahan-kemudahan untuk mendapatkan maklumat dan sebagainya. Lalu kelebihan itu digunakan mereka untuk mendapatkan maklumat dari ‘atas talian’ sehingga adakalanya isu-isu besar dapat dibongkar dengan segera. Namun begitu, apakah dengan mendapat maklumat dari laman web tersebut dapat untuk dianggap setaraf dengan para ilmuwan yang mengua-sai kitab-kitab agama? Sudah tentu pada hemat saya, yang menggunakan laman web itu hanyalah mempraktikkan kemahiran saja bukan bersandarkan kepada ilmu. Golongan yang menguasai turath itulah yang sepatutnya dianggap sebagai golongan yang berilmu dan harus dihormati.

Tatanan dunia global dan tantangan yang dihadapi di Malaysia dari as-pek ini tidak boleh dipandang ringan. Jika ia tidak ditangani dengan betul, saya kuatir generasi akan datang tidak merasakan kepentingan hukum Islam, malah mungkin ada yang akan mencabarnya sepertimana yang pernah berlaku di Malaysia suatu ketika dahulu. Ia melibatkan seorang peguam yang men-cabar di Mahkamah untuk mengnyatakan bahwa Hukum Islam atau Hukum Hudud yang telah digubal di Kelantan itu dianggap tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan di Malaysia. Dari aspek lain, hukum Islam juga boleh menerima tempias ketidakpuasan hati masyarakat yang mempermasalahkan keputusan/fatwa terhadap sesuatu isu yang berlaku.2 Dalam kata lain, ia menimbulkan isu ketidakpercayaan dikalangan masyarakat terhadap hukum Islam yang dikelu-arkan bahkan ia boleh mencapai sehingga ke tahap mempermasalahkan institusi yang terlibat di dalam masalah ini.

2 Sebagai contoh fatwa yang telah digazetkan oleh Jabatan Mufti Wilayah Perseku-tuan Kuala Lumpur untuk mengharamkan sebarang aktiviti Syarikat ESQ. Fatwa ini telah mendapat reaksi pelbagai pihak sehingga ada yang cuba mempertikai-kan kredibiliti fatwa tersebut. Pihak ESQ sendiri membawa perkara ini ke mah-kamah di Malaysia untuk mendapatkan penjelasan lanjut megenainya.

Aplikasi Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Global di Malaysia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 281

Era Global Memerlukan Kecakapan Penyelidik Hukum

Di Malaysia, boleh dikatakan bahwa setiap jabatan Mufti yang mengawal hal ihwal agama di negeri-negeri, mempunyai pegawai Buhuth. Pegawai ini sesuai dengan namanya adalah sebagai seorang yang menyelidik untuk menjawab per-soalan-persoalan tertentu yang timbul di kalangan masyarakat. Namun begitu, oleh karena zaman kini adalah zaman yang penuh dengan maklumat diujung jari, tugas pegawai tersebut sangatlah mencabar. Jika tidak kena, kemungkinan mereka akan turut dicabar di dalam perkara-perkara yang melibatkan isu-isu terkait lansung dengan masyarakat Islam.

Oleh itu, penyelidik hukum tidak boleh lagi berada di kedudukan lama. Pengajian di peringkat sarjana muda (S1) dilihat tidak mencukupi untuk mereka berhadapan dengan berbagai persoalan berbentuk sekarang. Mereka perlu beru-saha untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan keupayaan mereka dalam me-manfaatkan sumber-sumber yang ada. Penyelidikan adalah tali kepada hukum Islam itu sendiri. Jika tiada penyelidikan, niscaya keputusan yang dikeluarkan hanyalah bersifat lemah, boleh dicabar serta tidak realistis. Jika niat ini dapat dipahami, para pegawai penyelidik buhuth perlu berusaha meningkatkan daya mereka dengan mendalami pengajian diperingkat tinggi yaitu Master dan Ph. D. Di peringkat pengajian tinggi inilah para calon dilatih dan dibekali dengan teknik-teknik melakukan penyelidikan yang objektif serta akademik.

Bagi mereka yang sudah berumur senior, mungkin perkara ini bukan ses-uatu yang ideal bagi mereka lantaran umur yang semakin meningkat. Jika faktor itu menjadi halangan, pegawai penyelidik sebegini perlu juga dibekali dalam kursus-kursus jangka pendek mengenai metode penyelidikan agar mereka da-pat menguasai sesuatu ilmu pengetahuan itu melalui kaedah penyelidikan yang boleh diterima umum. Jika ini dijadikan sandaran, lambat laun, para pegawai agama dapat untuk menyumbang dengan lebih bermakna dalam membangunk-an hukum Islam dalam konteks sekarang di tempat masing-masing.

Urgensi Hukum Islam dalam Masyarakat Global

Setelah melihat kepada tujuan hukum Islam, kita berdepan dengan perso-alan yaitu apakah hukum Islam itu diperlukan dan perlu dilaksanakan dalam masyarakat global hari ini? Apakah tidak cukup dengan hukum sipil yang ada dengan system keadliannya seperti mahkamah, hakim dan pendakwa yang sudah lengkap? Kemudian persoalan selanjutnya apakah hukum Islam boleh

Mohd Roslan Modh Nor

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH282

diasimilisasikan dalam hukum sipil? Apakah kita mahukan dua Undang-udang berbeda di dalam satu negara?

Umum mengetahui bahwa Malaysia mempunyai dua sistem Undang-Un-dang yaitu sipil dan syariah. Di kebanyakkan negeri, Undang-Undang syariah digunapakai sebagai penyelesaian kepada kasus-kasus kekeluargaan untuk masyarakat Islam. Hanya ada 2 negeri saja yang melaksanakan Undang-Undang Jinayah Islam di samping kekeluargaan, yaitu negeri Terengganu dan Kelan-tan.

Dalam konteks Malaysia, ada beberapa pandangan yang diutarakan ber-bagai pihak. Ada yang setuju untuk ia dilaksanakan karena melihat kepada ke-pentingannya dan kaitannya dengan tujuan yang diberi oleh Pencipta Makhluk yaitu Allah Swt.3 Ada juga yang melihat bahwa hukum Islam bukanlah tujuan dan ia tidak sesuai untuk dilaksanakan dalam sistem kehidupan masyarakat Malaysia pada zaman kini. Ada yang menuduh hukum Islam tidak akan mem-bawa kepada kemajuan, malah akan menyebabkan rakyat dan negara menjadi mundur.4

Oleh yang demikian, hakikat dan kebenaran hukum Islam terhadap masyarakat, realiti dan kekuatan perlu dipahami dengan jelas. Dasarnya adalah dua sumber utama dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Hukum Islam yang terdapat dalam Qur’an sememangnya dari dulu berkait rapat soal hu-man and social development. Samalah dengan kehidupan manusia ini, mestilah mengikut apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Cuma kita tidak mengkaji dan meyakini perkara tersebut sehingga membuatkan kita terpaksa untuk men-erima hukum yang dibuat oleh manusia lain dibenua yang kita anggap mereka sebagai maju. Di Malaysia juga begitu, masih ada yang ragu tentang hukum Islam tetapi begitu yakin untuk mengikut hukum Inggris yang telah dipusakai sejak merdeka dahulu. Bila ditinjau dari aspek sejarah, hukum Islam pernah ter-laksana di Alam Melayu ini melalui bukti-bukti seperti Qanun Melaka, Qanun Laut Melaka dan Undang-Undang Kedah.

3 http://presiden.pas.org.my/v2/index.php?option=com_content&view =article&id=125: pelaksanaan-syariat-islam-adalah-suatu-keutamaan&catid=20: bicara-presiden&Itemid=107.

4 Lihat pandangan Fathi Osman yang dihuraikan oleh Astora Jabat mengenai Hu-dud yang padan pandangannya tidak berasal dari Islam. Malah, hudud hanya sesuai pada zamannya dan bukan pada zaman sekarang. Lihat: http://www.mykmu.net/~mykmu/modules.php? name= News&file=print&sid=2403.

Aplikasi Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Global di Malaysia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 283

Kekuasaan Melaka menjadi kuat selepas menerima Islam sehingga mengua-sai negeri-negeri Melayu lain. Perlaksanaan Undang-Undang Islam juga diper-luas ke negeri lain seperti Pahang, di mana wujudnya apa yang dikenali sebagai Qanun Pahang.5 Disebabkan oleh penjajahan, perlaksanaan hukum Islam telah diperkecil. Pada akhir abad ke 19, Inggris menjajah Tanah Melayu. Beberapa perjanjian dibuat oleh Inggris dengan pihak berkuasa tempatan untuk mengu-kuhkan kedudukannya di Tanah Melayu. Walaupun negeri-negeri Melayu dil-etakkan di bawah kekuasaan Inggris, Undang-Undang Islam masih diakui oleh pihak berkuasa penjajah. Perkara ini dapat dilihat melalui pengakuan Hakim Throne J. dalam kasus Rahman lawan Laton dan kasus Syaikh Abdul Latif lawan Ilyas Bux yang mengatakan Undang-Undang Islam bukanlah Undang-Undang asing tetapi Undang-Undang Negeri.6

Penjajah terus berusaha menghapuskan unsur Islam dan menggantikannya dengan Undang-Undang Inggris. Pembentukan Piagam Keadilan I pada 1807, Piagam Keadilan II pada 1826 dan Piagam Keadilan III pada 1855 membuktikan perkara ini. Undang-Undang sipil juga dikuatkuasakan pada 1837 dan berikut-nya pada tahun 1965. Peruntukan piagam dan Undang-Undang telah memberi kuasa yang lebih banyak dan lebih luas kepada penjajah mengubah dan meng-hapuskan Undang-Undang tempatan dan menggantikannya dengan Undang-Undang Inggris keseluruhannya.7 Secara de facto, Undang-Undang Inggris sudah mengambil tempat Undang-Undang Islam.8 Oleh sebab itu, ada pandangan dari sarjana Undang-Undang mengatakan: ‘Meskipun kedudukan Islam tidak dapat dipertahankan dengan demokrasi, kedudukan tersebut boleh dipertahankan dengan merujuk kepada sejarah; khususnya persetujuan antara kaum sebelum merdeka’.9

Justeru, kita harus kembali memahami dalam konteks ini bahwa hukum Is-lam bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Hanya kesungguhan

5 Lihat Nik Nasri, dalam Mengembalikan Fungsi Sebenar Islam dalam Perlembagaan Malaysia. http:/ www.niknasri.com/wp-content/uploads/2009/08/DAIJ_Fung-si_Sebenar_ Islam. pdf/.

6 Aminuddin Ruskan al-Dawamy, Syariah dan Perundangan, (Johor: Cetak Ratu Sdn Bhd, 1998), hlm. 18-19.

7 Ibid, hlm. 19. 8 Mahmood Zuhdi Abdul Majid, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, (Kuala

Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 1997), hlm. 45-49.9 Abdul Aziz Bari, Islam Dalam Perlembagaan Malaysia, (Petaling Jaya: Intel Multimedia

and Publication, 2005), hlm. 7.

Mohd Roslan Modh Nor

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH284

menentukannya. Firman Allah Swt, maksudnya:

“Dan sesiapa yang bertaqwa kepada Allah (dengan mengerjakan suruhan-Nya dan meninggalkan larangan-Nya), niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar (dari segala perkara yang menyusahkannya. Serta memberinya rezeki dari jalan yang tidak terlintas di hatinya. Dan (ingatlah), sesiapa berserah diri bulat-bulat kepada Allah, maka Allah cukuplah baginya (untuk menolong dan menyelamatkannya). Sesungguhnya Allah tetap melakukan segala perkara yang dikehendaki-Nya. Allah telahpun menentukan kadar dan masa bagi ber-lakunya tiap-tiap sesuatu”.10

Di dalam ayat yang lain, maksudnya:

“(Katakanlah kepada mereka wahai Muhammad), Turutlah apa yang telah diturunkan kepada kamu dari Tuhan kamu, dan janganlah kamu menurut pemimpin-pemimpin yang lain dari Allah, (tetapi sayang) amatlah sedikit kamu mengambil peringatan”.11

Firman-Nya juga:

“Mereka suka mendengar berita-berita dusta, sangat suka memakan segala yang haram (rasuah dan sebagainya). Oleh itu kalau mereka datang kepada kamu, maka hukumlah di antara mereka (dengan apa yang telah diterangkan oleh Allah), atau berpalinglah dari mereka; dan kalau engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan dapat membahayakanmu sedikitpun; dan jika engkau menghukum maka hukumlah di antara mereka dengan adil; karena sesungguhnya Allah mengasihi orang yang berlaku adil”.12

Kedudukan Hukum Islam Berdasarkan Adat Setempat

Di dalam satu penulisan, Ansori13 menyatakan bahwa nilai-nilai hukum Islam tidak lepas dari prinsip penerapan yang dianutnya, serta tujuan hukum Islam itu sendiri. Dari prinsip-prinsip yang dianut dapat dilihat bahwa hukum Islam dalam prosesnya sangat memperhatikan adat (‘urf) setempat. Adat atau ‘urf merupakan kebiasaan dalam masyarakat dan menjadi salah satu keperluan so-sial yang sulit untuk ditinggalkan dan berat untuk dilepaskan. Oleh karena itu, dalam pembinaan hukum Islam, jelas menunjukkan bahwa syariah Islam sangat

10 Ath-Thalaq (65): 2-3.11 Al-A’raaf (7): 3.12 Al-Maa’idah (5): 42.13 Ansori, “Hukum Islam dan Tradisi Masyarakat”, Ibda’–Jurnal Studi Islam dan Bu-

daya, Vol. 5, No. 1, 2007, hlm. 59-71.

Aplikasi Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Global di Malaysia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 285

memperhatikan adat (‘urf) masyarakat setempat,14 misalnya mengenai laran-gan minuman keras (khamr). Peluang adat (‘urf) untuk bisa dijadikan pertim-bangan dalam menetapkan hukum secara implisit diisyaratkan oleh beberapa ayat hukum dalam al-Qur’an, antara lain, “Dan kewajiban ayah memberi ma-kan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”;15 “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberi oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf”.16 (Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan mengenai jenis atau bentuk, dan batasan banyak sedikitnya nafkah yang harus diberikan oleh suami kepada ise-trinya yang dicerai. Hal ini karena Islam memahami bahwa tingkat kehidupan, kemampuan, dan adat (‘urf) masyarakat berbeda antara satu dengan yang lain. Syariah Islam memberikan kesempatan untuk menetapkan ketentuan hukum-nya sesuai adat (‘urf) setempat. Oleh karena itu, ketentuan hukum mengenai kewajiban memberi nafkah bagi suami yang ada dalam berbagai kitab fiqh (dari berbagai macam mazhab) berbeda-beza karena antara lain disebabkan perbe-daan tradisi di mana ulama tersebut berada.17 Berkaitan dengan itu, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan: “Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum.”18

Dalam konteks Malaysia, banyak hukum yang dikeluarkan adalah ber-dasarkan kepada waqi’ tempatan. Dalam isu yang berlaku pada awal tahun ini, yaitu isu penggunaan Kalimah Allah oleh golongan bukan Islam, Majlis Fatwa

14 Anisah Ab. Ghani dan Saadan Man, “Nilai-nilai Adat dan Budaya Dalam Amal Ibadat Masyarakat Melayu”, dalam Md. Saleh Hj Md. @ Ahmad et. al. (eds.), Hu-kum Islam & Budaya Tempatan, (Kuala Lumpur: Jabatan Fiqh dan Usul, Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, 1998), hlm. 159-185; Mohamed Azam mo-hamed Adil, “Pengaruh Adat Tempatan Dalam Menentukan Fatwa di Malaysia”, dalam Md. Saleh Hj Md. @ Ahmad et. al. (eds.), Hukum Islam & Budaya Tempatan, (Kuala Lumpur: Jabatan Fiqh dan Usul, Akademi Pengajian Islam Universiti Ma-laya, 1998), hlm. 455-480.

15 Al-Baqarah (2): 233.16 al-Baqarah: 241).17 Antara sebab-sebab kelahiran mazhab ialah kerana i. Perbezaan antara fuqaha

dalam teori hukum, ii. Wujudnya personaliti yang kuat, iii. Lahirnya kelas-kelas pengajian secara teratur, dan iv. Kesetiaan murid terhadap guru mereka. Lihat perbahasan lanjut dalam Mahmood Zuhdi Abdul Majid, Sejarah Pembinaan Hu-kum Islam, (Kuala Lumpur: Jabatan Penerbitan Universiti Malaya, 1988), hlm. 142-143.

18 Ahmad bin Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Cet. viii, (Beirut: al-Qalam, 1988), hlm. 219; lihat juga Zainal Abidin bin Ibrahim bin Nujaim (Ibnu Nujaim), al-Asybah wa al-Naza’ir, (Beirut: Dar al-Kutb al-Alamiah, 1985), hlm. 93.

Mohd Roslan Modh Nor

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH286

Kebangsaan tidak membenarkannya. Beberapa NGO Islam seperti Persatuan Ulama Malaysia turut membantah penggunaan Kalimah Allah oleh golongan bukan Islam dalam konteks Malaysia. Walaupun mahkamah tinggi membenar-kan penggunaan kalimah tersebut oleh golongan Kristian untuk akhbar mereka Herald – The Catholic Weekly melalui penghakiman oleh Datuk Lau pada 30 Dis 2009, namun reaksi masyarakat Islam seluruh negara telah menyebabkan pihak kerajaan mengambil tindakan untuk menasehati supaya kalimah Allah tidak digunakan sewenang-wenangnya atas alasan keselamatan. Inilah antara beberapa contoh pemahaman hukum Islam berdasarkan ‘urf setempat atau ber-dasarkan kepada waqi’ yang telah menyebabkan perkara ini ditangani sedikit berbeda dengan negara tetangga seperti Indonesia.

Jaminan Bagi Penganut Islam dan Non Muslim di Malaysia

Di dalam Perlembagaan Malaysia, diperuntukkan beberapa perkara yang berkait dengan Islam. Di antara peruntukan penting yang berkaitan dengan kedudukan Islam ialah Perkara 3,19 11, 12(2), 121 dan 150 (6A)20. Secara sekali imbas, perun-tukan-peruntukan tersebut ialah:1. pernyataan Islam sebagai agama resmi persekutuan (Perlembagaan Perse-

kutuan, Perkara 3 (1)2. hak kebebasan beragama (Perkara 11)3. kebenaran menggunakan uang awam untuk tujuan-tujuan Islam (Perkara

12(2) )4. kedudukan mahkamah syariah di dalam sistem perundangan (Perkara

121(1A) )5. pengecualian Undang-Undang Islam daripada Undang-Undang darurat

(Perkara 150 (6A))6. penetapan hal ihwal Islam sebagai sesuatu yang terletak di dalam bidang

kuasa negeri (Jadual Ke 9, Senarai 2-Senarai negeri, seksyen 1)

19 Perkara 3 Perlembagaan Persekutuan menyebut: Islam merupakan agama rasmi persekutuan dan agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan harmoni. Peruntukan seumpama ini dimasukkan buat pertama kali di dalam Perlembagaan Negeri Johor semasa pemerintahan Sultan Abu Bakar. Seterusnya ia dicadang dan dipersetujui untuk dimasukkan ke dalam draf perlembagaan Persekutuan Tanah Melayu bersama dengan jaminan kebebasan beragama kepada rakyat yang beragama lain.

20 Abdul Aziz Bari, Islam Dalam Perlembagaan Malaysia, Op. Cit., hlm. 11.

Aplikasi Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Global di Malaysia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 287

Melihat kepada kedudukan agama Islam di Malaysia, Suwaid Tapah21 me-nyatakan keistimewaan Perlembagaan Persekutuan ialah dengan memasukkan empat elemen tradisi, dimana antaranya ialah agama Islam sebagai agama bagi Persekutuan,22 serta kedudukan dan keistimewaan Raja-raja Melayu sebagai Ket-ua Agama Islam dalam negeri sebagaimana diakui dan dinyatakan oleh Perlem-bagaan Negeri. Tertakluk kepada Perlembagaan Negeri, segala hak, keistime-waan dan kedaulatan dan kuasa yang dinikmati olehnya sebagai Ketua Agama Islam tidak tersentuh dan tercacat, tetapi dalam apa-apa perbuatan, amalan dan upacara yang telah dipersetujui oleh Majlis Raja-raja adalah meliputi seluruh Persekutuan, maka atas sifat Raja sebagai ketua Agama Islam membenarkan Yang di-Pertuan Agung mewakilinya. Perlembagaan-perlembagaan bagi negeri-negeri yang tidak beraja (Melaka, Pulau Pinang, Sabah23 dan Sarawak) hendak-lah membuat peruntukan Yang di-Pertuan Agung sebagai Ketua Agama Islam bagi negeri-negeri itu. Yang di-Pertuan Agung juga menjadi Ketua Agama Islam bagi Wilayah-wilayah Persekutuan (Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya) di-mana Parlimen diberi kuasa untuk membuat Undang-Undang mengenai pen-tadbiran hal ihwal Islam dan penubuhan Majlis Agama untuk menasehati Yang di-Pertuan Agung mengenai perkara-perkara berhubung dengan agama Islam.

Bertitik tolak dari semangat Perkara 3 (1-5), maka perkara-perkara lain berkaitan mempunyai hubungan dengan pentadiran hal ihwal agama Islam mis-alnya penubuhan Majlis/Jabatan Agama Islam di negeri-negeri, Jabatan Mufti, Mahkamah Syariah dan lain-lain.24 Selaras dengan tuntutan sekarang untuk memperkemaskan pentadbiran hal ihwal Islam, kerajaan-kerajaan negeri telah mula mengasingkan tiga institusi penting yaitu Majlis /Jabatan Agama, Jabatan Mufti dan Mahkamah Syariah apabila Undang-Undang induk (pentadbiran hu-kum Syara’) dipinda dengan memperuntukkan fungsi Majlis secara jelas yaitu

21 Suwaid Tapah, Perlaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia: Relaiti dan Caba-ran, Seminar Hukum Islam di Malaysia, anjuran KIAS pada 1 Mac 2004, dalam http://www. kias.edu.my/pelundang.htm

22 agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di mana-mana ba-hagian Persekutuan seperti yang dijamin dalam Perkara 3 (1).

23 Lihat misalnya, pindaan Perlembagaan Negeri Sabah dalam Fasal 5 A, B (1) dan (2) yang memperuntukkan agama Islam sebagai agama negeri dan kuasa-kuasa Dewan Perundangan Negeri. Lihat Pindaan Enakmen No.8/1985 (berkuat kuasa pada 31.12.1985).

24 Ahmad Ibrahim dan Ahilemah Joned, The Malaysian Legal System, (Kuala Lum-pur: DBP, 1995), hlm. 43-62.

Mohd Roslan Modh Nor

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH288

membantu dan menasehati Yang di-Pertuan Agung/Sultan berkenaan dengan semua perkara yang berhubung dengan agama Islam di dalam negeri kecuali perkara-perkara hukum Syara’ yaitu penubuhan Jabatan Mufti dan yang ber-hubung dengan pentadbiran keadilan yaitu penubuhan Mahkamah Syariah dan Majlis Agama negeri menjadi pihak berkuasa utama di negeri masing-masing.

Negara Sekular atau Negara Islam

Bekas Perdana Menteri Malaysia, Tun Mahathir Muhamad pernah menyatakan bahwa Malaysia adalah negara Islam. Ia diulangi oleh Perdana Menteri selepas-nya yaitu Tun Abdullah Ahmad Badawi, sehingga beliau sendiri memperke-nalkan gagasan Islam Hadhari dalam pentadbirannya. Tun Mahathir meng-nyatakan perkara tersebut bagi menjawab beberapa persoalan yang timbul dikalangan rakyat bahwa negara ini mengamalkan sistem sekuler berdasarkan kepada beberapa elemen yang kurang jelas tentang kedudukan Islam dalam per-lembagaan.

Jika kita lihat kepada perbincangan sekarang, penafsiran popular terhadap Islam sebagai agama resmi dalam Perkara 3 Perlembagaan Malaysia mengatakan perkataan Islam adalah terhad kepada perkara yang bersifat ritual dan kerama-ian. Ia tidak menjadikan Malaysia sebagai sebuah negara Islam, bahkan ia kekal dengan sifatnya sebagai sebuah negara sekular. Penafsiran ini berdasarkan ke-pada beberapa sandaran: Pertama, Kertas Putih kepada Draf Perlembagaan Ma-laysia menyebut: “di sana telah dimasukkan peruntukan yang menjadikan Islam sebagai agama resmi persekutuan di dalam Perlembagaan Malaysia. Peruntu-kan ini walaubagaimana pun, sama sekali tidak menjejaskan sifat sekular perse-kutuan.” Kedua, Kenyatan daripada Perdana Menteri pertama Malaysia, Tuanku Abdul Rahman di dalam Parlimen Malaysia yang menyebut: “saya ingin men-jelaskan di sini bahwa negara ini bukanlah sebuah negara Islam seperti yang dipahami oleh kebanyakkan, kita hanya memasukkan perkataan Islam di dalam perlembagaan dengan maksud ianya sekadar agama resmi persekutuan”. Ke-tiga, Mahkamah di dalam beberapa kasus telah membuat ketetapan berhubung penafsiran maksud Islam sebagai agama resmi persekutuan.

Di dalam kasus Che Omar bin Che Soh lawan Pendakwa Raya umpaman-ya, mahkamah tidak berganjak dari memberi mafhum yang sempit kepada per-kataan Islam di dalam perlembagaan. Perayu di dalam kasus ini mencabar di mahkamah kesahihan hukuman mati yang dijatuhkan ke atasnya berdasarkan

Aplikasi Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Global di Malaysia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 289

kepada Perkara 3 Perlembagaan Persekutuan. Perayu mendakwa, memandan-gkan Islam sebagai agama persekutuan, maka hukuman mati yang dijatuhkan bercanggah dengan Perlembagaan Malaysia karena hukuman gantung tidak ter-masuk di dalam mana-mana hukuman Islam.

Walaubagaimanapun Hakim Tun Salleh Abbas di dalam penghakimannya menolak penghujahan ini dengan katanya:

“di sana tidak ada keraguan bahwasanya Islam bukan sekadar agama yang berkaitan dengan perkara ritual, bahkan ia sebuah agama yang merangkum cara hidup yang merangkum soal politik, Undang-Undang, ekonomi, akhlak, sosial dan sebagainya. Cuma persoalanya di sini, adakah Islam yang sebegini yang dipahami oleh penggubal Perlembagaan Malaysia ketika memasukkan perkataan Islam di dalam perlembagaan? Maka menurut pandangan saya, ber-dasarkan kepada pertimbangan sejarah perundangan Malaysia, Islam yang dipahami oleh penggubal perlembagaan, bukan Islam yang kita pahami, se-baliknya Islam yang dipahami oleh mereka ketika memasukkan Islam sebagai agama resmi adalah Islam yang memisahkan soal agama dan politik. Sekiranya Islam yang dipahami oleh penggubal perlembagaan sebagai Islam yang leng-kap dan syumul, pastinya di sana akan terdapat peruntukan khusus di dalam Perlembagaan Malaysia yang menyebut, mana-mana Undang-Undang yang bercanggah dengan Undang-Undang Islam akan terbatal dengan sendiri...”.

Oleh yang demikian, walaupun dari aspek pentadbiran politik telah me-nyatakan dengan jelas bahwa negara ini adalah negara Islam, tetapi dari aspek perUndangan dan sistem yang ada masih belum menampakkan perubahan ke-pada pengamalan Islam secara syumul tersebut sepertimana yang diungkap-kan oleh Tun Salleh Abas di atas. Kedudukan sebagai negara sekuler ini juga dirasakan mempunyai kasusan yang besar terhadap dunia luar karena pihak barat sudah pasti tidak mahu mana-mana negara menetapkan negara tersebut berdasarkan agama apatah lagi agama Islam. Ini karena sikap prejudis barat dan boleh juga dikatakan sebagai ’chauvinist’. Mereka hanya nampak negara Islam itu adalah ala negara Iran yang pada hari ini sentiasa konsisten tidak tunduk kepada kehendak barat. Itulah yang membimbangkan mereka.

Kedudukan Perlembagaan dan UU Malaysia dalam Aplikasi Hukum Islam

Ramai orang bercakap tentang halangan perlembagaan dan Undang-Undang dalam usaha melaksanakan Syariah Islam dalam negara ini. Mahmood Zuhdi menyatakan meskipun kata-kata seperti itu ada benarnya tetapi apa yang sebe-

Mohd Roslan Modh Nor

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH290

narnya ia lebih bersifat pendalihan semata-mata. Terus memperkatakan hal sep-erti itu akan meletakkan perjuangan pada sudut yang sukar dan langkah-lang-kah yang diambil dalam merealisasikannya akan lebih bersifat negatif. Memang benar perlembagaan Malaysia tidak menyebut Undang-Undang Islam sebagai Undang-Undang Negara, tetapi ia menyebut agama Islam sebagai agama perse-kutuan. Ini juga adalah sepertimana yang diperjelaskan di atas. Adalah juga be-nar perlembagaan tidak menjamin pelaksanaan Undang-Undang Islam, tetapi jaminan berkenaan ada dalam kebanyakan Undang-Undang tubuh negeri. Be-gitu juga benar Undang-Undang negeri tidak boleh mengatasi Undang-Undang persekutuan, tetapi batasan seperti itu tidak menyeluruh semua keperluan pelaksanaan Syariah. 25

Sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa kehendak politik boleh mengata-si kehendak perlembagaan dan Undang-Undang ini. Malah perlembagaan yang ada cukup terbuka untuk menerima penafsiran baik yang bersifat liberal atau pun konservatif. Semuanya banyak terhenti atas kehendak dan kuasa politik. Dengan demikian tidak sepatutnya lagi berbangkit soal halangan seperti ini. Se-lain itu, yang dihalang oleh perlembagaan dan Undang-Undang persekutuan yang berkaitdengannya tidaklah merangkum jangkauan yang sangat luas seh-ingga merangkum ruang yang cukup besar dalam Syariah. Masih terdapat ruang yang cukup luas bagi Syariah Islam yang tidak dihalang pelaksanaannya oleh perlembagaan. Satu contoh yang sangat jelas mengenai hakikat ini ialah urusan perbankan dan keuangan Islam yang sedang berjalan lancar pada hari ini. Serti-fikat dan produk halal juga satu contoh yang nyata. Lama sebelum ini sudah ada sistem pendidikan Islam yang dilaksanakan dengan begitu selesa. Malah terda-pat berbagai-bagai aspek pelaksanaan Syariah Islam yang tidak terhalang. Maka yang menghadapai sedikit sebanyak halangan itu ialah “Undang-Undang” se-mata-mata. Itu pun lebih terjurus kepada bidang Jinayah semata-mata.26

Tantangan dari Aspek Kasusungguhan Politik (Political Will)

Political will juga merupakan tantangan kepada perlaksanaan hukum Islam. Pepatah ada mengatakan ”di mana ada kasusungguhan di situ ada jalan”. Jika

25 Mahmood Zuhdi Abdul Majid, Pelaksanaan Syariah Islam di Malaysia: Cabaran dan Harapan, dalam laman web: http://annurshd.blogspot.com/2010/08/pelak-saan-syariah-islam-di-malaysia.html

26 Ibid.

Aplikasi Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Global di Malaysia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 291

pihak yang menguasai politik dan mentadbir tidak bersungguh ke arah itu, maka ia tidak akan berlaku. Untuk itu ia memerlukan kuasa untuk melaksanakannya. Di Malaysia, 2 parti politik yang mewakili masyarakat Melayu-Islam tidak sep-endapat di dalam hal hukum Islam. Bagi UMNO, mereka selesa dengan apa yang ada sekarang di mana hukum Islam menyelesaikan masalah terkait dengan kekeluargaan, manakala Undang-Undang sipil melihat kepada aspek yang lebih luas dan melibatkan golongan bukan Islam. Bagi PAS, mereka melihat kepentin-gan untuk melaksanakan hukum Islam tersebut berdasarkan kefahaman mereka terhadap nas-nas al-Qur’an dan kupasan para ulama’ muktabar. Mereka ingin supaya Undang-Undang syariah itu diterapkan sepenuhnya, bukan sebahagian juzuk kecil sepertimana yang ada pada hari ini. Namun, di dalam pilihanraya ke 12 pada tahun 2008, PAS sudah mula mengendurkan pandangan mereka men-genai negara Islam dan perlaksanaan Hudud yang menyebabkan mereka dapat diterima oleh golongan bukan Islam pada hari ini.

Jika dahulu kebimbangan terhadap hukum Islam ini mengenai keadilan ke-pada golongan bukan Islam, hari ini perkara sebegini hanyalah kebimbangan dizahirkan untuk menakut-nakutkan golongan bukan Islam kepada parti poli-tik tertentu. Hakikatnya melalui pendidikan dan penerangan, golongan bukan Islam boleh menerima dan memahami hukum Islam. Mereka juga tidak perlu takut karena hukum Islam itu prinsip asasnya adalah untuk menegakkan kea-dilan. Malah mereka tidak dibicarakan dalam mahkamah syariah jika mereka melakukan kasusalahan. Mereka akan tetap dibicara di bawah sipil.

Pendekatan politik di dalam hal ini membawa kepada pandangan negatif bukan Islam terhadap hukum Islam. Oleh itu, adalah lebih baik jika kedua-dua parti besar ini mempunyai pandangan yang tidak merugikan Islam bahkan meletakkan Islam pada sebagai agama yang syumul yang merangkum segala perkara dalam kehidupan ini.

Pada padangan saya, adakalanya pertimbangan politik harus diketepikan seketika, tumpukan kepada pertimbangan agama, itu yang lebih awla. Kita yakin bahwa perkara berkaitan political will ini, jika dipertegaskan dengan bijak, insya Allah segala usaha pendidikan, sosial dan kesadaran berjalan dengan baik terh-adap memahami kepentingan hukum Islam tersebut.

Mohd Roslan Modh Nor

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH292

Beberapa Tantangan terhadap Kedudukan Islam di Malaysia

1. Rancangan Penubuhan Inter-Faith Commision (IFC)

IFC merupakan suruhanjaya yang ditubuhkan oleh Majlis Peguam Malaysia dan didukung oleh Majlis Perundingan Malaysia bagi Ajaran Buddha, Keris-tian, Hindu dan Sikh (MCCBCHS) dan Yayasan Konrad Adenauer. Rahimin Affandi menyatakan bahwa kehadiran Yayasan Konrad Adenaur dalam usaha menubuhkan IFC amat diragui karena yayasan ini beribu pejabat di Jerman dan coba mencampuri urusan dalaman negara ini.27 IFC juga mengambil peranan sebagai penyiasat, perantara, perunding dan pendamai terhadap dakwaan per-buatan yang menjejaskan keharmonian agama. Ada beberapa pertubuhan sep-erti Sister in Islam yang selain daripada memainkan peranan di akhbar, dilihat menonjol dalam menyokong penubuhan Suruhanjaya Antara Agama (IFC) yang diseminarkan pada 24 Februari 2005.28

Pada asalnya IFC ialah IRC – Inter Religious Council, sebuah suruhanjaya yang dicadangkan seperti badan berkanun yang mempunyai kuasa Undang-Undang yang boleh mengubah ajaran sesetengah agama, akibat daripada de-sakan penganut agama lain. Badan ini berfungsi mirip SU yang menerima dan melayan aduan-aduan berkaitan agama. IFC digagaskan penubuhan oleh MC-CBCHC (Malaysia Consultative of Buddhism, Christianity, Hinduism, dan Sikh-isme atau Majlis Perundingan Malaysia Agama Buddha, Kristian, Hindu dan Sikh) melalui memorandum kepada Majlis Peguam Malaysia bertarikh 21 Agus-tus 2001. Tujuan penubuhan IFC adalah untuk meminda beberapa ajaran asas Islam yang akan merusakkan akidah umat Islam dan berpihak kepada kepentin-gan orang-orang bukan Islam.

2. Tuntutan Bukan Islam Melalui Suara IFC

Oleh karena nature IFC ialah perjuangan isu-isu agama antara kaum, maka mer-eka merupakan badan yang digunakan untuk menyuarakan beberapa tuntutan

27 Rahimin Affandi, Kebudayaan Melayu dan Islam: Analisis terhadap cabaran semasa (Bhg. Akhir), dalam: http://ummatanwasatan.net/2009/05/kebudayaan-mel-ayu-dan-islam-analisis-terhadap-cabaran-semasa-bhg-akhir/

28 Anis Shakila Binti Ismail, “Pemikiran Islam Liberal di Malaysia: Kajian Terhadap Isu yang ditimbulkan oleh Farish Noor dan Syed Akhbar Ali”, Latihan Ilmiah Sarjana Muda Usuluddin, APIUM, 2006, hlm. 43.

Aplikasi Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Global di Malaysia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 293

golongan bukan Islam. Penulis sendiri melihat tuntutan sebegini mempunyai kaitan dengan perjuangan hak asasi di negara barat yang ingin membebaskan masyarakat mereka dari cengkaman agama. Dalam konteks Malaysia, ia har-us dicermati dan diteliti sewajarnya agar kita tidak menjadi golongan yang mengambil apa saja yang berlaku di barat. Lebih parah jika kita dipilih oleh ba-rat untuk memperjuangkan isu tersebut, menentang Islam, dengan saluran dana yang diberikan di atas nama liberalisation, justice, rule of law atau apa saja yang akhirnya memerangkap umat Islam itu sendiri. Justeru, kerangka perubahan-perubahan yang diinginkan itu mestilah selari dengan agama Islam.

Melalui IFC orang-orang bukan Islam menuntut antara lain:29

1. Seseorang anak yang dilahirkan oleh ibu bapa Islam tidak seharusnya secara terus menjadi orang Islam.

2. Orang bukan Islam yang telah memeluk Islam hendaklah diberikan kebe-basan untuk kembali kepada agama asal mereka (murtad) dan tidak dikena-kan tindakan Undang-Undang.

3. Sebarang kasus pertukaran agama Islam kepada bukan Islam tidak sepatut-nya dikendalikan oleh mahkamah (syariah).

4. Tidak perlu dicatatkan di dalam kad pengenalan seseorang Muslim bahwa ia beragama Islam.

5. Orang-orang bukan Islam tidak perlu dikehendaki menganut agama Islam sekiranya ingin menikah dengan orang Islam. Orang Islam hendaklah dibe-narkan keluar daripada Islam (murtad) sekiranya ingin menikah dengan orang bukan Islam tanpa boleh dikenakan apa-apa tindakan Undang-Un-dang.

6. Seseorang pasangan suami atau isteri yang menukar agama dengan meme-luk Islam tidak patut diberikan hak jagaan anak.

7. Orang bukan Islam yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan se-orang yang memeluk Islam hendaklah diberikan hak menuntut harta pu-saka selepas kematiannya.

8. Kerajaan hendaklah menyediakan dana yang mencukupi untuk membina dan menyelenggarakjan rumah-rumah ibadat orang bukan Islam seba-gaimana kerajaan menyediakan dana untuk masjid.

9. Orang bukan Islam hendaklah dibenarkan dan tidak boleh dihalang dari-

29 Lihat brosur Bantah Penubuhan IFC (brosur edaran yang diterbitkan oleh AC-CIN). Lihat juga di dalam: http://bantahifc.bravehost.com/bantah_penubu-hanIFC_brosuredaran.htm

Mohd Roslan Modh Nor

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH294

pada menggunakan perkataan-perkataan suci Islam dalam percakapan dan sebagainya.

10. Bible dalam bahasa Malaysia dan bahasa Indonesia sepatutnya dibenarkan edar secara terbuka.

11. Pelajaran agama bukan Islam untuk penganut agama itu hendaklah diajar di semua sekolah.

12. Program-program berunsur Islam dalam bahasa ibunda sesuatu kaum hen-daklah ditiadakan. Program dakwah agama lain selain Islam hendaklah dibenarkan untuk disiarkan dalam bahasa ibunda masing-masing.

13. Orang Islam yang membayar zakat tidak sepatutnya dikecualikan memba-yar cukai pendapatan dan uang hasil zakat sepatutnya digunakan juga un-tuk keperluan orang bukan Islam.

14. Sepatutnya Islam tidak disebut sebagai pilihan pertama masyarakat seperti dalam soal pakaian menutup aurat kepada pelajar sekolah.Tuntutan IFC ini telah mendapat tentangan habis-habisan oleh berbagai

NGO Islam dan ditolak cadangan penubuhannya oleh kerajaan. Keputusan dari pihak kerajaan itu telah meredakan sedikit resah dikalangan masyarakat Islam di Malaysia. Dan ini adalah sesuatu yang amat dibanggakan. Penolakan NGO Islam membuktikan bahwa masyarakat Islam di Malaysia masih beristiqamah mempertahan dominasi Islam di dalam masyarakat Malaysia. Jaringan pertubu-han yang menolak keras IFC ini di Malaysia, ACCIN (Allied Coordinating Com-mittee of Islamic NGO)30 menjangkakan keburukan akan berlaku sekiranya IFC ditubuhkan.31 Antara yang dibimbangi adalah ia akan membuka ruang seluas-luasnya kepada golongan bukan Islam untuk mencampuri urusan Islam.

3. Kasus Kumpulan Artikel 11

Kumpulan Artikel 11 ditubuhkan pada Mei 2004, menggabungkan 13 NGO memperjuangkan usaha untuk menegakkan keluhuran perlembagaan dan meng-galakkan kebebasan beragama di Malaysia.32 Kumpulan Artikel 11 ini menolak

30 Jaringan NGO ini dianggotai oleh 14 pertubuhan badan Islam di Malaysia. Antara pertubuhan itu termasuklah ABIM, PUM, MACMA, PERKIM, JIM, Darul Fitrah, al-Hidayah dan lain-lain lagi.

31 Mustafa Ma, Ancaman Terhadap Hak-hak Orang Islam, Persdidangan Implikasi Cadan-gan Penubuhan IFC Terhadap Hak-hak Orang Islam, (Kuala Lumpur: tp, 2005), hlm. 1.

32 Artikel 11 Perlembagaan Persekutuan adalah mengenai Kebebasan Beragama

Aplikasi Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Global di Malaysia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 295

diskriminasi individu atas dasar agama, bangsa, tempat lahir atau jantina. Mer-eka menggesa agar kebebasan berfikir, beragama dan suara hati setiap individu dihormati, dijamin dan dilindungi. Dalam surat terbuka kepada kerajan, mereka menyatakan komitmen yang teguh terhadap Perlembagaan Malaysia sebagai negara sekular dan hak kebebasan beragama.

Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Che Omar Lawan Pendakwaraya, kumpulan ini berpendapat bahwa Undang-Undang Malaysia adalah bersifat sekular. Justeru itu, mereka mengkritik mahkamah sipil yang enggan melayani kasus-kasus yang mempunyai elemen Undang-Undang Islam berdasarkan peruntukan Perkara 121(1A) Perlembagaan Persekutuan. Peruntu-kan ini menjelaskan perkara yang mempunyai elemen Undang-Undang Islam perlu dibicara di Mahkamah Syariah. Kumpulan artikel 11 ini seterusnya meng-gesa kerajaan agar memansuhkan Perkara 121 (1A) untuk membolehkan mahka-mah sipil mendengar kasus-kasus yang sepatutnya berada dalam bidang kuasa Mahkamah Syariah.33

Apa yang seharusnya dipahami ialah Hak perlembagaan bagi mengamal-kan agama sendiri (Artikel 11(1) Perlembagaan Persekutuan – Freedom of Re-ligion (Kebebasan beragama) tidak berlanjutan kepada mempersoalkan agama lain dan tidak sampai menuntut ajaran agama orang lain dipinda semata-mata untuk disesuaikan dengan kepentingan sendiri. Orang-orang bukan Islam ber-hak untuk menuntut hak mereka mengamalkan agama sendiri tetapi tidak sam-pai mempersoalkan dan campurtangan dalam urusan agama Islam. Campur-tangan ini amat bahaya. Perkara yang berkaitan dengan agama Islam hendaklah diselesaikan oleh mereka yang berkelayakan di dalam Islam sendiri.34

Penutup

Perlaksanaan hukum Islam dalam dunia modern pada hari ini penuh dengan tantangan-tantangan yang tersendiri. Ia perlu dihadapi dengan penuh hikmah agar Islam tidak dituduh sebagai kolot, jumud serta takut kepada perubahan. Dalam era globalisasi, segala maklumat dapat diperolehi dengan cepat, sehing-

atau Freedom of Religion. 33 Lihat Rahimin Affandi, dalam http://ummatanwasatan.net/2009/05/kebu-

dayaan-melayu-dan-islam-analisis-terhadap-cabaran-semasa-bhg-akhir/34 Lihat Bantah Penubuhan IFC (brosur edaran yang diterbitkan oleh ACCIN); Lihat

juga di dalam: http://bantahifc.bravehost.com/bantah_penubuhanIFC_brosure-daran.htm

Mohd Roslan Modh Nor

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH296

ga apa yang berlaku di dunia luar turut mendapat tempias di negara sendiri. Golongan yang mementingkan kehidupan beragama sudah pasti ingin memper-tahankan tradisi agama dari dicemari oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab. Tiada siapa yang suka jika urusan agama mereka dicampuri oleh pihak lain. Pejuang hak asasi manusia di barat juga tidak berjaya untuk memahami hak asasi manusia yang beragama. Contohnya dalam soal menutup aurat dan sebagainya. Sepatutnya mereka harus faham bahwa persoalan itu adalah hak asasi bagi umat Islam. Mereka sengaja mahu mempersoalkannya, tetapi apabila tiba kepada mereka, mengapa tidak dipersoalkan golongan nun yang juga me-nutup aurat itu? Inilah tantangan sikap double standard yang harus kita hadapi. Pokoknya jangan biarkan golongan asing mencampuri urusan agama Islam se-hingga mereka ingin mengajar kita Islam mana yang betul dan Islam mana yang salah. Inilah perkara yang memerlukan pemerkasaan bagi masa depan perada-ban Islam yang unggul di nusantara dan dunia umumnya.

Bibliografi

Anisah Ab. Ghani dan Saadan Man, “Nilai-nilai Adat dan Budaya Dalam Amal Ibadat Masyarakat Melayu”, dalam Md. Saleh Hj Md. @ Ahmad et. al. (eds.), Hukum Islam dan Budaya Tempatan. Kuala Lumpur: Jabatan Fiqh dan Usul, Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, 1998.

Mahmood Zuhdi Abdul Majid, Pengantar Undang-Undang Islam di Malaysia, Kua-la Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 1997.

Mohamed Azam Mohamed Adil, “Pengaruh Adat Tempatan Dalam Menentu-kan Fatwa di Malaysia”,’ dalam Md. Saleh Hj Md. @ Ahmad et. Al. (eds.), Hukum Islam dan Budaya Tempatan, Kuala Lumpur: Jabatan Fiqh dan Usul, Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, 1998.

Syed Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972.

Aminuddin Ruskan al-Dawamy, Syariah dan PerUndangan, Johor: Cetak Ratu Sdn Bhd, 1998.

Ahmad bin Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Cet. viii, Beirut: al-Qalam, 1988.

Ansori, “Hukum Islam dan Tradisi Masyarakat”, Ibda’ – Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol. 5, No. 1, 2007.

Abdul Aziz Bari, Islam Dalam Perlembagaan Malaysia, Petaling Jaya: Intel Multi-media and Publication, 2005.

Zainal Abidin bin Ibrahim bin Nujaim, al-Asybah wa al-Naza’ir, Beirut: Dar al-

Aplikasi Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Global di Malaysia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 297

Kutb al-Alamiah, 1985.Ahmad Ibrahim dan Ahilemah Joned, The Malaysian Legal System, Kuala Lum-

pur: DBP, 1995.Peter Riddel, Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Responses,

Singapore: horizon Books, 2001.

Website

Rahimin Affandi, Kebudayaan Melayu dan Islam: Analisis terhadap tantangan sekarang (Bhg. Akhir), dalam: http://ummatanwasatan.net/2009/05/ kebudayaan-melayu-dan-islam-analisis-terhadap-tantangan-sekarang-bhg-akhir/

http://annurshd.blogspot.com/2010/08/pelaksaan-syariah-islam-di-malaysia.html

http://bantahifc.bravehost.com/bantah_penubuhanIFC_brosuredaran.htmhttp://bantahifc.bravehost.com/bantah_penubuhanIFC_brosuredaran.htmh t t p : / / p r e s i d e n . p a s . o r g . m y / v 2 / i n d e x . p h p ? o p t i o n = c o m _

content&view=article&id=125.h t t p : / / p r e s i d e n . p a s . o r g . m y / v 2 / i n d e x . p h p ? o p t i o n = c o m _

content&view=article&id=125.h t t p : / / p r e s i d e n . p a s . o r g . m y / v 2 / i n d e x . p h p ? o p t i o n = c o m _

content&view=article&id=125.http://ridhuant.blogspot.com/2009/12/formula-membina-rumah-ibadat.html.http://ridhuant.blogspot.com/2009/12/formula-membina-rumah-ibadat.html.http://ummatanwasatan.net/2009/05/kebudayaan-melayu-dan-islam-anali-

sis-terhadap-tantangan-sekarang-bhg-akhir/http://ummatanwasatan.net/2009/05/kebudayaan-melayu-dan-islam-anali-

sis-terhadap-tantangan-sekarang-bhg-akhir/http://www.mykmu.net/~mykmu/modules.php?name=News&file=print&si

d=2403.http://www.niknasri.com/wp-content/uploads/2009/08/DAIJ_Fungsi_Sebe-

nar_ Islam.pdf

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH298

KONSTRIBUSI SYARIAH DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG DI NEGARA BRUNEI

DARUSSALAM

Haji Johar bin Haji MuhamadKetua Pendakwa Syar’ie Kementerian Hal Ehwal Ugama

Negara Brunei Darussalam Jalan Elizabeth 2 Bandar Seri Begawan

Abstract: This paper aims to analyze the position in the system of sharia law in Brunei. This study is important to know the law that implemented in Brunei, which partly derived than English. Before the arrival of the British, Brunei in principle have their own Islamic law written in the Qanun Brunei, Brunei Cus-tomary Law and also has its own sharia court. But when the British came, little by little they introduced Islamic law into their own laws. Kadi Court abolished realized in 1906, when the law they kept changing. However, efforts to keep the law of Islam continues. Factors that affect the practice of Islamic law in Brunei is not only the public but also the desire of the King of Brunei. With a strong desire among government and society, Islamic law can be enforced.

Keywords: Islamic law, sharia concept, legal establishment.

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis posisi dalam sistem hukum syariah di Brunei. Studi ini penting untuk mengenal hukum yang dilaksanakan di Brunei, dimana sebagiannya berasal daripada Inggris. Sebelum kedatangan Ing-gris, Brunei pada prinsipnya memiliki hukum Islam sendiri yang tertulis dalam Qanun Brunei, Hukum Adat Brunei dan juga memiliki pengadilan syariah sendi-ri. Tetapi ketika Inggris datang, sedikit demi sedikit mereka diperkenalkan hukum Islam ke dalam hukum mereka sendiri. Kadi Pengadilan diwujudkan pada tahun 1906 ditiadakan, ketika hukum mereka terus mengalami perubahan. Walaupun demikian, upaya untuk menjaga hukum Islam terus dilakukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi praktek hukum Islam di Brunei tidak hanya masyarakat tetapi juga keinginan dari Raja Brunei. Dengan keinginan kuat antara pemerintah dan

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 299

masyarakat, hukum Islam bisa ditegakkan.

Kata Kunci: hukum Islam, konsep syariah, pembentukan hukum.

Pendahuluan

Undang-undang adalah perkara paling penting bagi mentadbir dan menyusun serta mengendalikan sesebuah negara. Boleh dikatakan undang-undang adalah segalanya. Rasulullah Saw sendiri diutus bagi melaksanakan undang-undang dan peraturan yang ditetapkan Allah. Peraturan pada umumnya adalah un-dang-undang kecil. Dengan undang-undang juga orang atau sesuatu kumpulan boleh menguasai orang dan kumpulan lain.

Inggeris mempertahankan dan memperkukuhkan kuasa dan pengaruhnya dengan memperkukuhkan undang-undang negeri di bawah jajahannya, malah juga selepas negari atau negara itu merdeka undang-undang itu masih men-guasai negera tersebut meskipun sebahagian undang-undang itu tidak sesuai dengan aspirasi sesebuah negara bekas jajahan itu. Tidak mustahil juga kita andaikan bahwa golongan nasionalis yang kurang faham undang-undang Is-lam dan undang-undang asal negerinya sengaja dilatih untuk memahami dan mendalami undang-undang mereka sama ada disedari atau tidak bagi terus mempertahankan undang-undang tersebut. Ini permainan politik yang boleh saja terjadi diseBabkan latar belakang permusuhan mereka terhadap Islam bagi mengekang kembalinya undang-undang Islam menguasai negara tersebut. Hal ini jelas berlaku di Turki di mana golongan nasinalis sekular yang diketuai oleh Mustapa Kamal Ataturk telah berjaya menumbangkan Kerajaan Osmaniah yang mengamalkan Islam sebagai undang-undangnya. Tumbangnya kerajaan Osma-niah adalah kerana mereka tidak dapat mentadbir undang-undang Islam den-gan adil seperti yang dikehendaki Islam.

Berdasarkan kepada kepentingan undang-undang inilah apabila kita teliti sejarah penjajahan orang-orang Inggeris terhadap negara-negara Asia termasuk Brunei(di bawah naungan) perkara yang mula-mula mereka perkukuhkan ialah undang-undang. Mereka telah memperkenalkan undang-undang mereka secara beransur-ansur atau berperingkat-peringkat. Sebagai contoh apabila mereka berada di sesebuah negara, mereka akan membuat perjanjian dengan pemerin-tah itu agar setiap warganya yang melakukan kesalahan di negara itu hendak-lah dihukum dengan undang-undang mereka, bukan dengan undang-undang

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH300

negara itu. Di Negara Brunei Darussalam misalnya orang-orang Inggeris telah membuat perjanjian pada 1856 dan 1888, dan antara lain kandungan perjanjian tersebut memberi kuasa mentadbir undang-undang kepada pihak Inggeris. Se-bagai contoh ialah seperti dalam perjanjian 1856, Inggeris diberi kuasa untuk mengendalikan kes-kes yang timbul daripada pertikaian dikalangan rakyat Ing-geris atau yang terjadi di antara rakyat Inggeris dengan rakyat asing di Brunei Darussalam”.1

Bermula dari perjanjian inilah akhirnya Brunei yang mengamalkan undang-undang berasaskan Islam dan adat Melayu melalui Hukum Qonun Brunei se-cara beransur-ansur telah mula menerima undang-undang Inggeris dan seterus-nya pada 1906 dengan rasminya menerima Residen Inggeris dan kemudiannya mengguna pakai undang-undang Inggeris secara lebih meluas.

Dengan kelicikan yang mereka pergunakan, akhirnya mereka berjaya men-guasai pentadbiran dan undang-undang di Brunei dengan menyempitkan un-dang-undang Islam kepada Undang-undang Keluarga saja dan sedikit perkara Jinayah yang yang dianggap kesalahan kecil.

Hal yang hampir sama berlaku di Malaysia, khususnya di Melaka. Ketika zaman kegemilangannya telah wujud undang-undang yang kaya dengan unsur-unsur Islam dan Adat Melayu Kuno iaitu Hukum Qonun Melaka dan Undang-undang Laut Melaka.

Seperti satu perancangan teliti, orang-orang Eropah ini juga telah melaku-kan perkara yang sama kepada Negara-negara Islam di Timur Tengah dan Di Afrika Utara seperti Mesir, Algeria, Maghribi dan lain-lain.

Adalah menjadi satu tandatanya kepada kita kenapa mereka menguasai atau menjajah negara-negara tersebut dan mengubah pula undang-undang yang sedia ada dengan memasukkan undang-undang mereka sedangkan undang-undang mereka tidak sesuai dengan masyara’at setempat. Hal ini sudah pasti mempunyai tujuan tertentu yang ada kiatan dengan permusuhan mereka ter-hadap Islam dan mungkin merupakan suatu perancangan teliti untuk maksud yang lebih besar.

1 Dato Mahmud Saedon Awg Othman, Perlaksanaan dan Pentadbiran Undang-undang Islam di Negara Brunei Darussalam, (Brunei: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1996), hlm.26.

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 301

Sepintas Tentang Undang-Undang dan Mahkamah Syariah Brunei

1. Undang-Undang Islam dan Mahkamah Syariah

Secara umumnya apabila sesuatu Agama atau ideologi yang diterima pakai oleh sesebuah negara akan menjadi kayu ukur kepada undang-undang dan pera-turan negara itu, tidak terkecuali Ugama Islam yang diterima oleh Negara Bru-nei. Namun demikian agak sukar untuk mempastikan sejauh mana ianya digu-na pakai atau dilaksanakan diperingkat awal sehinggalah sekarang. Ini adalah kerana tiada catatan sejarah secara khusus yang mengaitkan penggunaan dan pemakaian Undang-Undang Islam pada peringkat awal penerimaannya. Pada kebiasaannya ianya akan dilaksanakan secara beransur-ansur atau berperingkat yang tentunya bermula dari permantapan aqidah. Penghayatan Islam dan per-laksanaan undang-undangnya meningkat dan menonjol dalam zaman pemerin-tahan Sultan Brunei, Sultan Berkat iaitu Sultan Sharif Ali dalam Tahun 1425-1432 Masehi.2

Sebagai bukti jelas perlaksanaan undang-undang Islam di Brunei Darus-salam telah berlaku ialah Brunei Darussalam telah pun mewujudkan undang-un-dang Islam bertulis dan diqonunkan. Setakat ini terdapat dua naskhah undang-undang Islam Brunei yang diqonunkan. Naskhah Brunei Darussalam terkenal dengan nama Hukum Qonun Brunei, mengandungi 96 muka surat dan boleh didapati di Dewan Bahasa dan Pustaka, Brunei Darussalam dan salinan untuk rujukan boleh didapati di Muzium Brunei, Bil.,Ruj.A/BM/98/90. Naskhah ked-ua pula terkenal dengan nama Undang-Undang dan Adat Brunei Lama (Old Brunei Law and Custom) mengandungi 68 muka surat dan berada dalam simpanan Mu-zium Sarawak.3

Kandungan Hukum Qonun Brunei ini jelas mencakup bidang yang luas da-lam perlaksanaan hukum syarac, termasuk hukum hudud dan qisas. Hukum Qo-nun Brunei mengandungi kira-kira 47 Pasal yang mana semangat keseluruhan dan kandungan hukum ini adalah sesuai dengan hukum syara’.4

Begitulah seterusnya perkembangan undang-undang Islam di Brunei se-hinggalah kedatangan Inggeris pada abad ke 19. Mereka telah secara halus memasukkan budaya dan undang-undang mereka di Brunei. Mereka telah memperkenalkan undang-undang mereka secara beransur-ansur atau berper-

2 Mahmud Saedon Awang Othman, Op. Cit., hlm. 19.3 Ibid., hlm. 21.4 Ibid., hlm. 22.

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH302

ingkat-peringkat. Mereka akan membuat perjanjian dengan pemerintah itu agar setiap warganya yang melakukan kesalahan di negara itu hendaklah dihukum dengan undang-undang mereka, bukan dengan undang-undang negara itu. Di Negara Brunei Darussalam “orang-orang Inggeris telah membuat perjanjian pada 1856 dan 1888, dan antara lain kandungan perjanjian tersebut memberi kuasa mentadbir undang-undang kepada pihak Inggeris. Sebagai contoh, dalam perjanjian 1856, Inggeris diberi kuasa untuk mengendalikan kes-kes yang tim-bul daripada pertikaian dikalangan rakyat Inggeris atau yang terjadi di antara rakyat Inggeris dengan rakyat asing di Brunei Darussalam.”5

Menurut silsilah Raja-Raja Brunei, Brunei mencapai kegemilangannya seh-ingga sultan Brunei yang ke sembilan iaitu Sultan Hasan yang memerintah dari Tahun 1582 hingga 1598 Masehi. Selepas kemangkatannya Brunei beransur-an-sur menjadi lemah sehinggalah Brunei menjadi kecil dan dinaungi oleh British secara rasminya melalui perjanjian pada Tahun 1906.

Walaupun isi perjanjian Kerajaan Brunei-Kerajaan British Tahun 1906 itu tidak mencampuri bidang Ugama Islam, namun melalui penyusunan undang-undang pihak British telah menyelitkan juga perkara yang berlawanan dengan hukum syara’. Dengan seBab kebijaksanaan penyalurannya, tanpa disedari mak-sud yang berlawanan dengan perjanjian yang telah dimeteraikan itu tidak keli-hatan. Apabila penyelewangan ini tidak menghadapi sebarang halangan maka perkembangannya pun terus menerus diusahakan dan rancangan untuk maksud itu satu demi satu disusun dan dijalankan. Kemudian usaha itu pula disebarkan melalui pegawai-pegawai kerajaan dan persekolahan. Sebagai misal, arak yang menjadi tegahan Islam dijadikan sajian dalam jamuan, dan undang-undang Is-lam diganti dengan undang-undang yang dicipta oleh manusia. Di samping itu, sesuatu yang dirancang disertai pula dengan penerangan untuk mempengaruhi jiwa orang ramai supaya memberi sokongan terhadap maksud itu.6

Bagi menghadkan lagi pemakaian undang-undang Islam, Inggeris telah mewujudkan Mahkamah Kadi atau Mahkamah Syariah yang hanya berbidang kuasa dalam hal keluarga Islam dan sedikit perkara Jinayah yang juga sebe-narnya mempunyai kaitan kekeluargaan. Undang-undang ini tidak lengkap dan setengahnya dimasukkan undang-undang Inggeris sendiri. Undang-undang ini jika dikaji adalah sukar dilaksanakan kerana terlalu banyak lakuna sehingga ha-

5 Ibid., hlm.26.6 Mohd. Jamil Al-Sufri, Perlaksanaan Dasar Negara Melayu Islam Beraja, (Brunei:

Pusat Sejarah Brunei, 1996), hlm. 1.

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 303

kim-hakim dan pengawai undang-undang terpaksa merujuk kepada kitab-kitab dan undang-undang lain. Keadaan ini tentu saja akan menimbulkan perlaksan-aan yang berbeza. Perkara ini boleh diteliti dalam Akta Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi yang di buat pada 1955 yang sebenarnya adalah pengganti kepada undang-undang sebelumnya. Undang-undang tersebut ham-pir sama dengan undang-undang negeri-negeri di Malaysia sebelum perubahan kepada undang-undang baru yang ada sekarang. Dengan penubuhan mahkamah tersebut bertambah berpengaruh dan kukuhlah kedudukan undang-undang Inggeris dalam melaksanakan perancangannya untuk mengenepikan undang-undang Islam agar tidak lagi menjadi undang-undang asas dan utama Negara Brunei Darussalam dan dengan cara demikian sempitlah pemakainnya. Natijah daripada perancangan Inggeris ini, undang-undang Inggeris mula mengambil tempat undang-undang Islam di Brunei Darussalam ini.7

Mahkamah Kadi yang ditubuhkan oleh Inggeris ini hanya dibenarkan men-tadbir dan melaksanakan undang-undang Islam yang berkaitan dengan perka-ra-perkara kahwin, cerai dan ibadat ( khusus ) saja. Mahkamah ini juga hanya diberi kuasa untuk menjatuhkan hukuman yang dendanya tidak lebih daripada sepuluh ringgit dan penjara tidak lebih 14 hari saja.8

Daripada kenyataan tersebut adalah jelas bidang kuasa Mahkamah Kadi, sama ada Sipil atau Jinayah, telah disempitkan. Dalam kes-kes Sipil Mahkamah Kadi hanya mempunyai bidang kuasa mengenai undang-undang diri atau Per-sonal Law saja. Dalam kes-kes Jinayah hanya mempunyai bidang kuasa untuk menjatuhkan hukuman denda tidak lebih daripada sepuluh ringgit dan penjara tidak lebih daripada 14 hari.9 Annual Report on The State of Brunei juga menye-butkan beberapa kes ulang bicara diletakkan dalam bidang kuasa Residen Ing-geris dalam Mahkamah Majistret Kelas 1.10

Daripada kenyataan tersebut dapatlah dipahami yang Mahkamah Majistret Kelas 1 yang mana Residen Inggeris sendiri menjadi hakimnya adalah merupa-kan Mahkamah Ulang Bicara bagi Mahkamah Kadi. Ini bermakna, jika terdapat pihak-pihak yang tidak berpuas hati terhadap keputusan atau hukuman Mahka-mah Kadi, maka mereka boleh memohon kepada Mahkamah Ulang. Bicara dan permohonan tersebut akan didengar dan diputuskan oleh Residen Inggeris atas

7 Mahmud Saedon Awang Othman, Op. Cit., hlm. 28.8 Annual Report on the State of Brunei, 1933,Cap XIII, T.F. Carey M.C.S., Singapore.9 Mahmud Saedon Awang Othman, Op. Cit., hlm. 29.10 Annual Report on The State of Brunei, 1933, Cap . X111.

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH304

kapasitinya sebagai Hakim Mahkamah Permohonan. Ini bermakna hakim Ing-geris lebih berwibawa dan berkuasa dalam mengendalikan kes-kes yang telah diputuskan oleh Mahkamah Kadi.11

Residen Inggeris juga adalah salah seorang daripada Ahli Majlis Mesyu-arat. Beliau adalah merupakan Naib Yang Di Pertua Majlis. Sebagai ahli Badan Penggubal Undang-undang, Residen Inggeris mempunyai kuasa yang cukup untuk ikut serta dalam perbicaraan (penggubalan) mengenai undang-undang Islam, atau sekurang-kurangnya memberikan pendapat tentang sesuatu perkara yang berkaitan dengan undang-undang Islam. Kerana itu bukanlah satu perkara yang menghairankan apabila beberapa sistem (prosedur) yang berasal daripada sistem undang-undang Inggeris telah dapat diserapkan ke Mahkamah Kadi. Sebagai contoh ialah prosedur dalam mahkamah. Perkara 22, Enakmen Mah-kamah-Mahkamah 1908 menunjukkan bahwa tata cara dalam Mahkamah Kadi adalah disusun oleh Residen Inggeris. Penyusunan ini dibuat berdasarkan dari-pada tata cara mahkamah-mahkamah England.12

Dalam langkah dan usaha yang diambil oleh Inggeris untuk menyusun pen-tadbiran undang-undang Islam di Brunei Darussalam, Majlis Mesyuarat Negeri, telah beberapa kali meluluskan enakmem-enakmen mengenainya, di antaranya adalah :a. Pada Tahun 1911 Majlis tersebut telah meluluskan Enakmen Undang-un-

dang Agama Islam terkenal dengan “Muhammadans Laws”. Hampir kes-eluruhan daripada peruntukkan dalam undang-undang ini hanya berkisar mengenai kesalahan-kesalahan mengenai ibadat dan peraturan keluarga khususnya nikah dan cerai orang-orang Islam.13

b. Enakmen berkenaan dengan nikah cerai orang-orang Islam diluluskan da-lam Tahun 1913. Enakmen ini menyentuh peraturan pendaftaran perkaw-inan dan penceraian, sebagai menyempurnakan perlaksanaan dan pentadbi-ran kehendak Muhammmadans Laws (1911). Enakmen ini terkenal dengan Muhammadan Marriages and Divorce Enactment.14

11 Mahmud Saedon Awang Othman, Loc. Cit.12 Siti Zaleha Abu Salim, “Sistem Kehakiman Brunei dan Perbandingannya den-

gan Sistem Kehakiman Islam”, Tesis untuk memperolehi sarjana Pengajian Islam, Fakulti pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor, 1992, hlm. 103.

13 Laws of Brunei 1906-1930, E. No. 1, of 1912, S.8.14 Ibid., E. No. 2, of 1913.

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 305

Proses penggubalan pentadbiran undang-undang syara’ yang terakhir sebelum 1959 (sebelum Perlembagaan Negeri Brunei 1959) berlaku pada Ta-hun 1945 melalui enakmen-enakmen Undang-Undang Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi. Residen Inggeris, seperti yang disebutkan dalam permulaan sebelum indeks undang-undang itu telah menjelaskan bahwa Un-dang-undang Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi ini seperti berikut:

“Adalah satu undang-undang kerana menyatukan undang-undang Adat Is-tiadat Melayu, Mahkamah Kadi, perlembagaan dan pertubuhan pihak-pihak yang berkuasa agama dan peraturan hal-ehwal ugama”.

Undang-undang Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi ini walaupun lebih kemas dan teratur jika dibandingkan dengan enakmen-enak-men sebelumnya, namun ia tidaklah bermakna hukum syara’ dapat dilaksana-kan seperti yang dituntut oleh Islam. Ia masih terbatas dalam skop dan prinsip yang telah ditetapkan oleh Inggeris semasa mereka mula-mula memperkenal-kan penubuhan Mahkamah Kadi dalam Tahun 1908 yang telah berhasil melahir-kan dua sistem perundangan dan dua sistem kehakiman yang tidak seimbang, setaraf dan serasi.

Seperti yang telah dijelaskan di antara langkah pertama Residen Inggeris di Brunei Darussalam ialah bertindak menyempitkan perundangan undang-un-dang Islam dan dalam masa yang sama Inggeris melalui Residennya telah mem-bawa dan memperkenalkan beberapa undang-undang yang telah berkuatkuasa dan dilaksanakan di beberapa buah tanah jajahannya seperti India dan Negeri-Negeri Melayu Bersekutu dan Negeri-Negeri Selat, seperti undang-undang kon-trak, undang-undang keterangan dan qonun Jinayah.

Dalam perkara mengenai “hukum akad nikah orang-orang Islam telah di-akui dalam Undang-Undang No.V Tahun 1880 dan dalam pindaannya. Undang-undang itu menghendaki akad nikah dan cerai di kalangan orang-orang Islam didaftarkan dan peraturan diberikan berkenaan dengan harta wanita bersuami. Orang-orang yang berkuasa mendaftar nikah dan cerai ialah Kadi (dilantik oleh Gabenor ), sementara permohonan terhadap keputusan-keputusannya boleh dibuat kepada Pendaftar. Kadi berkuasa menyiasat hal-ehwal perkawinan dan menasihatkan pihak-pihak yang berkenaan dengan penyelesaian kewangan da-lam perkara seperti ini dan dia boleh dikatakan mempunyai kuasa separa ke-hakiman. Suatu pindaan dibuat dalam Tahun 1923 (No.26, 1923). Pindaan ini menguatkuasakan hukum Islam dalam hal-hal mengenai perwarisan harta yang

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH306

tidak diwasiatkan.

2. Bidang Kuasa Mahkamah Syariah

Seperti yang dimaklumi dalam sesuatu kehakiman, sesebuah Mahkamah tidak akan dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bidangkuasa sama ada berdasarkan jenis kes itu sendiri atau takat jumlah kuasa yang diberikan bagi kes yang boleh dijumlahkan. Ini biasa disebut sebagai bidangkuasa dalam sesuatu kes yang hendak didengar atau dibicarakan.

Ketika orang-orang Inggeris campur tangan dalam pentadbiran Negara Brunei lebih-lebih lagi apabila Brunei telah menerima Residen Inggeris, mereka telah berjaya menyempitkan pemakaian Undang-Undang Islam dan merendah-kan bidangkuasa Mahkamah Syariah.

Ini bermakna setelah penempatan Residen Inggeris berlaku, di antara lang-kah awal pihak Inggeris ialah menubuhkan mahkamah yang ditadbir mengikut sistem pentadbiran keadilan dan kehakiman Inggeris dalam Tahun 1906 Masehi, iaitu setelah Enakmen No. 1, Tahun 1906 diluluskan mengenai undang-undang penubuhan Mahkamah Sipil dan Kriminal yang diluluskan oleh Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dalam Majlis Mesyuarat Negeri.15

Enakmen Mahkamah Sipil dan Kriminal Tahun 1906 ini kemudiannya diper-baharui melalui Enakmen Mahkamah-Mahkamah 1908 yang memperuntukkan penubuhan mahkamah-mahkamah berikut:a. Mahkamah Residen.b. Mahkamah Magistrate Kelas l.c. Mahkamah Magistrate Kelas ll.d. Mahkamah Magistrate Bumiputera.e. Mahkamah Kadi.

Struktur pentadbiran dan bidangkuasa mal dan Jinayah mahkamah-mah-kamah ini juga telah dijelaskan oleh Enakmen Mahkamah-Mahkamah No. 1 Tahun 1908.16

Berikutan daripada penyerahan Sabah dan Sarawak kepada Kerajaan Ing-geris, sistem Mahkamah Brunei dan strukturnya pun disusun semula di bawah Sarawak, North Borneo and Brunei Courts Order in Council dalam Tahun 1951. Mahkamah-mahkamah Residen dan Permohonan yang ditubuhkan melalui

15 Annual Report on the State of Brunei,1906, hlm. 16.16 Mahmud Saedon Awang Othman, Op. Cit., hlm. 79-80.

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 307

Enakmen Mahkamah-Mahkamah 1908 dibatalkan.17

Bagi menggantikan mahkamah-mahkamah tersebut, satu mahkamah tert-inggi bagi Sarawak, Sabah dan Brunei yang terdiri daripada Mahkamah Permo-honan dan Mahkamah Tinggi ditubuhkan. Ini menjadikan susunan mahkamah-mahkamah pada masa itu seperti berikut:a. Mahkamah Agong Sarawak, Borneo Utara dan Brunei yang terdiri daripada

Mahkamah Permohonan dan Mahkamah Tinggi.b. Mahkamah Magistrate Kelas l.c. Mahkamah Magistrate Kelas ll.d. Mahkamah Magistrate Kelas lll.e. Mahkamah Kadi.

Ini dijelaskan dalam law of Brunei Revised Edition 1951, Cap. 6, Courts. Mah-kamah ini mengambil alih bidangkuasa Mahkamah Residen yang dihapuskan dengan adanya struktur baharu ini.18

Kedudukan Mahkamah Kadi, bidangkuasa dan strukturnya sejak dari awal penubuhannya dalam Tahun 1906 hinggalah ke Tahun 1956 tidak berubah walaupun Mahkamah-Mahkamah Sipil menerima perubahan dan kemajuan pe-sat dalam semua aspek, sehinggalah selepas Tahun 1956 Undang-Undang Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi 1955 dikuatkuasakan dan dengan itu juga kes-kes permohonan daripada Mahkamah kadi tidak lagi didengar di Mah-kamah Magistrate Kelas l yang mana Residen Inggeris sebagai hakimnya, tetapi didengar oleh Jawatankuasa Kehakiman yang bertindak sebagai Jawatankuasa Ulang Bicara dan keputusannya berkuatkuasa setelah mendapat perkenan Ke-bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dalam Majlis Mesyu-arat Ugama Islam.19

Jadi kesimpulannya, ketika bermulanya campur tangan Inggeris dalam perundangan Negara Brunei “Mahkamah Kadi ini pada mulanya adalah seba-hagian daripada sistem kehakiman yang tunggal di Brunei Darussalam tetapi tarafnya adalah paling rendah selepas Mahkamah Bumiputera dan Mahkamah Permohonan bagi kes-kes yang diputuskannya ialah Mahkamah Magistrate Kelas l. Penubuhannya adalah kerana adanya petition daripada pihak Brunei Darussalam dalam Tahun 1906. Penubuhannya juga menjadi asas kepada wu-

17 Ibid.18 State of Brunei Annual Report ,1955, hlm. 127.19 Ibid., hlm. 80. Lihat juga Brunei, Akta majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah

Kadi, 1955, Penggal 77, Bab (sekseyn) 49.

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH308

judnya dua sistem perundangan Sipil dan syarac, dan dua sistem pentadbiran keadilan dan mahkamah iaitu Mahkamah Sipil dan Mahkamah Syariah yang mana dalam Tahun 1956 ia menjadi kenyataan.20

Dengan diluluskan dan dikuatkuasakan Akta Majlis Ugama dan Mahkamah-Mahkamah Kadi 1955, maka Mahkamah Kadi telah menerima perubahan besar iaitu ia sudah tidak merupakan sebahagian daripada sistem dan struktur Mah-kamah Brunei. Dengan itu juga kes-kes permohonan daripada Mahkamah Kadi tidak lagi didengar oleh Mahkamah Magistrate Kelas l. Dengan ini juga maka wujudlah dua sistem perundangan iaitu Sipil dan syarac dan dua sistem pentad-biran keadilan iaitu Mahkamah Sipil terdiri daripada tiga peringkat iaitu Mah-kamah Rendah, Mahkamah Tinggi dan Mahkamah Ulang Bicara dan satu lagi iaitu Mahkamah Kadi.

Dengan itu lahirlah Mahkamah Kadi yang rendah tarafnya, terhad bidan-gkuasanya dan mengahadapi serba kekurangan dan kelemahan yang perlu di-atasi dan dikemaskinikan.21

Semasa penyemakan semula Undang-Undang Brunei (Revision Laws of Brunei) dalam Tahun 1984, Undang-Undang Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi 1955, No. 20 telah juga turut disemak semula dan telah mengalami bebera-pa pindaan kecil, di samping menukar namanya kepada Akta Majlis Ugama dan Mahkamah-Mahkamah Kadi Penggal 77. Berdasarkan kehendak akta ini struktur Mahkamah-Mahkamah Kadi telah telah dirombak dan disusun semula iaitu ter-diri daripada:1) Mahkamah-Mahkamah Kadi2) Mahkamah Kadi Besar3) Jawatankuasa Kehakiman

Mahkamah Kadi dikendalikan oleh Kadi dan Mahkamah Kadi Besar dik-endalikan oleh Kadi Besar dan Timbalan Kadi Besar. Jawatankuasa Kehakiman dipengerusikan oleh Mufti Kerajaan. Jawatankuasa Kehakiman ditubuhkan ber-dasarkan Bab 44 dari akta tersebut dan dianggotai oleh dua orang ahli biasa dan beberapa orang ahli tambahan.

Setiap permohonan daripada Mahkamah Kadi Besar atau Mahkamah Kadi hendaklah dikemukakan kepada Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dalam Majlis Mesyuarat Ugama. Walaupun permohonan dike-mukakan kepada baginda, baginda tidaklah semestinya mendengar sendiri per-

20 Ibid., hlm. 81.21 Ibid., hlm. 81-82.

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 309

bicaraan permohonan itu. Baginda boleh memerintahkan perbicaraan didengar oleh Jawatankuasa Kehakiman. Walaupun Jawatankuasa Kehakiman ini atas perintah baginda boleh mendengar kes-kes ulang bicara namun keputusan muk-tamadnya adalah terserah kepada baginda untuk menentukannya.22

Bagi mengemaskinikan lagi Mahkamah Syariah, Brunei Darussalam telah mewujudkan Perintah Darurat (Mahkamah-Mahkamah Syariah), 1998 yang berkuat-kuasa pada 1hb. Muharram 1422 Hijriah bersamaan 26hb. March 2001 Masehi yang kemudiannya disebut Akta Mahkamah-Mahkamah Syariah Penggal 184 dari Undang-Undang Brunei. Dalam Bab 6 akta tersebut telah menyebutkan:1) Adalah dengan ini ditubuhkan Mahkamah-Mahkamah Syariah yang terdiri

daripada Mahkamah-Mahkamah Rendah Syariah, Mahkamah Tinggi Syari-ah dan Mahkamah Permohonan Syariah dengan bidangkuasa, kuasa-kuasa, kewajipan dan autoriti sebagaimana yang diberi dan dikenakan oleh Perin-tah ini dan oleh sebarang undang-undang bertulis yang lain.

2) Mahkamah-Mahkamah Rendah Syariah, Mahkamah Tinggi Syariah dan Mahkamah Permohonan Syariah hendaklah mempunyai bidangkuasa di se-luruh Negara Brunei Darussalam.

3) Dengan tidak menghiraukan ceraian (2), Mahkamah-Mahkamah Syariah hendaklah mempunyai bidangkuasa Jinayah terhadap kesalahan yang di-lakukan di luar Negara Brunei Darussalam oleh warganegara atau pen-duduk tetap Negara Brunei Darussalam.23

Dengan wujudnya Bab 6 dari akta ini struktur Mahkamah Syariah menjadi berubah dan selari dengan Mahkamah Sipil. Iaitu wujud tiga peringkat mahka-mah:a. Mahkamah Permohonan Syariah.b. Mahkamah Tinggi Syariah.c. Mahkamah Rendah Syariah.

Ini dijelaskan dalam ceraian (1). Selain dari itu juga ceraian tersebut menye-but tentang bidangkuasa, kuasa-kuasa, kewajipan dan autoriti mahkamah-mah-kamah tersebut secara umum berdasarkan kepada yang diberi dan dikenakan oleh akta tersebut dan sebarang undang-undang bertulis yang lain. Ini bermakna Mahkamah Syariah tidak diberi bidangkuasa asal (secara menyeluruh). Ia terikat dengan apa yang diberi oleh akta ini dan juga undang-undang bertulis yang lain. Walaubagaimanapun secara praktiknya undang-undang bertulis yang memberi

22 Lihat Bab 49, Akta Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi.23 Brunei, Akta Mahkamah-Mahkamah Syariah 1998 Penggal 184, Bab 6.

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH310

kuasa kepada Mahkamah Syariah semakin bertambah dengan wujudnya Per-intah Pengangkatan Kanak-Kanak Dalam Islam, 2001 yang memberi kuasa kepada Mahkamah Syariah mendengar permohonan dan kes-kes yang berkaitan den-gan anak angkat yang melibatkan salah satu pihak beragama Islam.24 Perintah ini telah dikuatkuasakan dan telah berjalan. Sebelum ini kes-kes mengenainya didengar oleh Mahkamah Sipil. Selain dari itu ialah Perintah Pemegang Pajak Ga-dai 2002 yang dikenakan untuk semua orang tanpa mengira agama.25 Perintah ini memberi kuasa kepada Mahkamah Syariah mendengarnya dan menghalang mahkamah lain mendengarnya,26 seperti juga Perintah Pengangkatan Kanak-Kanak Dalam Islam, 2001. Ini memberi harapan yang baik kepada Mahkamah Syariah dari segi perluasan bidangkuasa. Lebih mencerahkan lagi harapan ini apabila Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan menitahkan pe-nyatuan Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sipil di bawah satu pentadbiran pada Juli 2002 iaitu dibawah jabatan baru Jabatan Kehakiman Negara, Jabatan Perdana Menteri. Skim-skim perkhidmatan kedua-kedua mahkamah juga mem-punyai persamaan dan diselaraskan mana-mana perkara yang belum selaras. Begitu juga tiada pertindihan bidangkuasa. Ini bermakna taraf Mahkamah Sipil dan Mahkamah Syariah adalah sama. Walaubagaimanapun dari segi perlaksa-naan sistem pula ia masih dibuat secara berasingan dimana Mahkamah Sipil dengan bidangkuasanya tersendiri dan Mahkamah Syariah pula dengan bidan-gkuasanya sendiri.

Apabila kita perhatikan ceraian (2) Bab tersebut adalah jelas ia memberi kuasa kepada semua peringkat Mahkamah Syariah mendengar dan memutus-kan sesuatu kes bagi seluruh Negara Brunei Darussalam. Ini berbeza dengan peruntukan Akta Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi 1955 semakan 1984 Bab 45 (1) yang dikuatkuasakan sebelum ini di mana akta tersebut yang memberi kuasa kepada Kebawah Duli Yang Maha Mulia Sultan melantik kadi-kadi berdasarkan kawasan-kawasan tertentu yang secara praktiknya dilantik berdasarkan daerah iaitu Kadi Daerah.27

Ceraian (3) pula memberi kuasa kepada Mahkamah Syariah mendengar dan membicarakan kes-kes Jinayah syariah yang dilakukan oleh warganegara

24 Brunei, Perintah Pengangkatan Kanak-Kanak Dalam Islam, 2001, Bab 5.25 Ibid., Perintah Pemegang Pajak Gadai, 2002, Bab 5.26 Ibid, Bab 6.27 Brunei, Akta Majlis Ugama dan Mahkamah-Mahkamah Kadi Penggal 77semakan 1984,

bab 45 (1).

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 311

atau penduduk tetap Negara Brunei Darusslam di luar Negara Brunei Darus-salam. Ini tidak disebut dalam AKMUDMMK.

Perlaksanaan Undang-Undang Islam Secara Menyeluruh

Islam adalah Ugama Rasmi Negara Brunei Darussalam. Ugama selain ugama Islam boleh diamalkan di mana-mana bahagian Negara Brunei Darussalam. Perkara ini sudah pun berjalan sejak Islam datang di Negara Brunei Darussalm. Begitu sistem negara yang disebut sebagai Melayu Islam Beraja sudah diamal-kan di negara ini turun temurun dan sangat serasi dengan rakyat dan penduduk yang tinggal di Negara ini. Oleh kerana itu usaha pengukuhannya telah dibuat melalui Perlembagaan Brunei.

Perlembagaan Negara Brunei Darussalam mencatatkannya dalam Bahagian (II) Perkara 3 ceraian (1), (2), (3) dan (4) seperti berikut:

(1) Ugama rasmi bagi Negara Brunei Darussalam adalah Ugama Islam. Tetapi ugama-ugama lain boleh diamalkan dengan aman dan sempurna oleh mereka yang mengamalkannya.

(2) Ketua ugama rasmi bagi Negara Brunei Darussalam adalah Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan.

(3) Majlis Ugama Islam adalah badan yang bertanggungjawab untuk menyem-bahkan nasihat ke hadapan majlis Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan mengenai semua perkara yang ber-hubung dengan Ugama Islam.

(4) Bagi maksud Perkara ini, Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan boleh, setelah berunding dengan Majlis Ugama Islam, tetapi tidak semestinya mengikut nasihat Majlis Ugama Islam itu, membuat undang-undang mengenai perkara-perkara yang berhubung dengan Ugama Islam.28

Mengenai dengan tafsiran “Ugama Islam” itu, dalam Perlembagaan terse-but di Bahagian (I) Perkara 2 ceraian (1) tercatat seperti berikut:“Ugama Islam” bermakna Ugama Islam menurut Ahli Sunnah Waljemaah mengikut mazhab Shafi’e”.29

28 Dokumen-Dokumen Perlembagaan, Jabatan Percetakan Kerajaan, Jabatan Per-dana Menteri. November 2008. hlm. 48.

29 Ibid., hlm. 40 - 41

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH312

1. Dasar Pemerintahan

Berdasarkan kepada peruntukan Perlembagaan tersebut Brunei terus melaksan-akan serta memelihara ajaran-ajaran Islam menurut Aqidah Ahli Sunnah Wal-Jema’ah sebagai suatu cara hidup yang lengkap lagi sempurna dan menjadi dasar pentadbiran kerajaan sehingga Brunei akan kekal buat selama-lamanya menjadi Negara Melayu Islam Beraja, sebagaimana yang tercatat dalam Pemashoran Ke-merdekaan Negara Brunei Darussalam 1 Januari 1984.

Dalam rangka perlaksanaan perlembagaan tersebut beberapa langkah pent-ing telah lama dilaksanakan dan terus berjalan dan dipergiatkan seperti:a. Aqidah Ahli Sunnah Wal-Jema’ah diajarkan di sekolah dan disebarkan ke-

pada orang ramai, dan masyara’at Islam Brunei dibimbing dan dikawal supaya mereka tidak akan diracuni oleh fahaman-fahaman yang lain dari fahaman Ahli Sunnah Wal-Jema’ah. Sekarang telah ditubuhkan satu insti-tusi khusus bagi memperkukuh akidah umat Islam di Brunei dengan nama Pusat Pengkajian Kefahaman Ahli Sunnah wal Jema’ah selain daripada Ba-hagian Penguatkuasaan Akidah.

b. Kewujudan Majlis Ugama Islam yang mengawal semua perkara yang ber-hubung dengan Ugama Islam yang merupakan pembantu dan penasihat Kebawah Duli Yang Maha Mulia Sultan sebagai Ketua Ugama Negara Bru-nei di dalam hal yang berhubung dengan ugama.

c. Fatwa mengenai isu-isu adalah menurut mazhab Syafi’e, walauba-gaimanapun dalam keadaan tertentu boleh juga memakai tiga mazhab yang lain iaitu Hanafi, Hanbali dan Maliki jika didapati perkara itu mendatang-kan lebih maslahat kepada ummat Islam.

d. Usaha Islamisasi undang-undang biasa (Sipil) giat dilaksanakan dengan mendatangkan seorang Pakar Undang-Undang Islam dari Pakistan dan kemudiannya di bantu lagi oleh seorang Pakar undang-undang Islam dari Brunei sendiri.

2. Perintah Qonun Hukuman Jinayah Syariah

Sejak kemasukan Islam, Sultan-Sultan Brunei telah mengembangkan Islam di Brunei Darussalam dan juga di daerah-daerah rantau ini. Mereka juga telah melaksanakan undang-undang Islam secara berperingkat-peringkat sehing-galah undang-undang Islam ini menjadi undang-undang dasar di Brunei Darus-

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 313

salam.30

Tetapi apabila Inggeris mulai campur tangan di dalam kerajaan Brunei Dar-ussalam, Undang-Undang Jinayah Islam atau Syariah yang terpakai sehingga pada masa ini adalah sangat terhad hanya kepada kes-kes khalwat, zina, mi-num minuman memabukkan dan sebagainya yang kesemuanya berdasarkan hukuman ta’zir saja. Jinayah-Jinayah lain seperti mencuri, membunuh, merom-pak merogol dan sebagainya tidak termasuk di bawah bidangkuasa Mahkamah Syariah atau tidak disebut Jinayah Syariah sehingga menimbulkan tanggapan dan fahaman bahwa Jinayah Syariah itu hanyalah khalwat, zina, meminum minuman memabukkan dan sebagainya yang disebut dalam undang-undang berkenaan. Kesalahan-kesalahan lain yang di bawah bidangkuasa Mahkamah Sipil seolah-olah tidak ada di dalam undang Jinayah Islam. Dalam konteks ini KDYMM Sultan telah menitahkan:

“Negara Brunei Darussalam adalah sebuah negara tua, menjadi Negara Islam semenjak dari sultan pertamanya lagi, Sultan Muhammad Syah, Tahun 1363-1402 M, sekitar sebelum 200 Tahun setelah zaman Baginda, Brunei mulai meng-gubal undang-undangnya sendiri yang dikenali sebagai "Hukum Qonun Bru-nei."

Undang-undang ini dipercayai telahpun ditulis pada zaman pemerintahan Sul-tan Muhammad Hassan, Tahun 1582-1598 M dan sempurna dilaksanakan serta dikuatkuasakan dalam zaman pemerintahan Sultan Abdul Jalilul Akbar, Ta-hun 1598-1659 dan diteruskan lagi sebagai menjunjung wasiat daripada Sultan Abdul Jalilul Akbar oleh anakanda Baginda, Sultan Abdul Jalilul Jabbar Tahun 1659-1660.

Ini menunjukkan Hukum Qonun Brunei pernah menjadi undang-undang dasar kepada Brunei dalam makna undang-undang ini telah pernah berjalan dengan luasnya di Negara Brunei Darussalam sehingga sampai kepada kedatangan dan campurtangan Inggeris kemudian ini turut diakui oleh orang Inggeris sendiri yang datang ke Brunei pada 1871 M.

Apa dia kandungan Hukum Qonun Brunei itu? Menurut para pengkaji ia ada-lah berasaskan undang-undang Islam di samping terdapat unsur undang-un-dang adat Melayu. Ia terdiri daripada lebih 40 Pasal dan lebih separuh adalah mengandungi unsur-unsur Islam antaranya termasuk juga Undang-Undang Ji-

30 Haji johar bin Haji Muhamad, Pembubaran Perkahwinan Dalam Perintah Darurat (Undang-Undang Keluarga Islam), 1999 Brunei Darussalam dan Hukum Syarak, (Bru-nei: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2010), hlm. 3.

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH314

nayah Syara’. Mengenai perkara undang-undang ini, Beta telahpun memperke-nankan penubuhan sebuah jawatankuasa yang diberi nama Jawatan kuasa mensesuaikan undang-undang Dengan Kehendak Ugama tertubuh dari Tahun 1980 lagi, sudah berlalu 30 Tahun usianya.

Di dalam satu munasabah, Beta pernah bertitah bunyinya "Dengan rasa kei-manan yang bulat terdapat peraturan dan undang-undang Allah, maka Beta telah memperkenankan penubuhan mahkamah-mahkamah syariah sehingga ke tahap setinggi-tingginya, bagi menangani bukan saja pentadbiran undang-undang keluarga malahan juga di ketika yang sesuai dan munasabah akan juga mengendalikan Qonun Jinayah Islam (Islamic Criminal Act) selengkapnya, se-bagaimana yang dituntut oleh Allah Ta'ala”.31

Usaha awal ke arah memertabatkan undang-undang Islam secara keselu-ruhan ialah melalui penyesuaian undang-undang negara yang ada dengan ke-hendak ugama atau Hukum Syara’. Perkara ini juga telah disebut dalam titah Baginda:

“Yang Sipil saja kita sudah banyak menyesuaikan dengan kehendak ugama, lagipun bukan semua Sipil itu bertentangan dengan syara’. Mana-mana yang tidak bertentangan dengan syara’ kita kekalkan ia, sementara yang bertentan-gan saja kita sesuaikan dengan kehendak syara’”.32

Oleh kerana itu atas dasar kesedaran dan tanggungjawab yang tinggi Bag-inda menegaskan:

“Hadir beta di Persidangan Majlis Ugama Islam pagi ini adalah selaku hamba Allah yang dilantik menjadi raja dan kepala negara serta ketua kerajaan bagi Negara Brunei Darussalam. Selaku raja, kepala negara dan juga ketua kerajaan Beta adalah bertanggungjawab di hadapan Allah bersama dengan para pem-bantu Beta dalam Negara dan dalam kerajaan. Maka atas asas inilah apa-apa jua yang akan Beta luahkan pada pagi ini adalah demi untuk mencari keredaan Allah jua, tidak ada yang lain daripada itu”.33

Lalu kemudian Baginda menjelaskan lagi apa sebenarnya yang dimaksud titah tersebut:

“Dua sistem perundangan dan dua sistem kehakiman dengan berlakunya cam-purtangan Inggeris dan seterusnya menjadi kuasa penaung di Brunei telah menjadikan perundangan di Brunei turut mengalami perubahan, dengan Un-

31 Titah ketika KDYMM di Persidangan Majlis Ugama Islam Brunei (MUIB) di De-wan Majlis Mesyuarat Negara, 15 Maret 2011.

32 Ibid.33 Ibid.

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 315

dang-Undang Islam yang luas dan menyeluruh tadi telah disempitkan menjadi cuma tinggal Undang-Undang Mal dan Keluarga saja berbanding Mahkamah Sipil yang ditubuhkan oleh Inggeris mempunyai bidang kuasanya yang lebih luas dan natijah daripada ini Brunei sekarang telah mewarisi dua sistem perun-dangan dan dua sistem kehakiman, syara’ dan Sipil”.34

Dan juga Baginda mempersoalkan pula adakah memadai keadaan yang sedemikian itu:

“Bagaimanapun, bagi perundangan dan kehakiman syara’ yang ada ini, sudah-kah ia memenuhi semua tuntutan syara’ mengenainya? Jika belum, persoalan kita ialah Negara ini adalah Negara Islam, rajanya juga Islam, majoriti rakyat-nya Islam dan kuasa memerintah juga di tangan orang Islam.

Atas kedudukan seperti ini dari segi tuntutan syara’ apakah kita sudah boleh menganggap yang diri kita ini telah memenuhi tuntutan tersebut khasnya da-lam bidang perundangan.

Apakah kita sudah boleh berpuas hati untuk menganggap bahwa kita ini telah memenuhi tuntutan syara’ sehingga tidak perlu lagi risau akan tuntutan atau dituntut atau disoal oleh Allah di kemudian hari kelak?

Dalam makna apakah kita sudah layak untuk menganggap diri kita boleh ter-lepas dari risiko pahit seperti yang disebut oleh Al-Quran, Firman Allah Ta'ala: Surah Al-Ma'idah Ayat 44 tafsirnya, "Barangsiapa yang tidak menghukum den-gan apa yang diturunkan oleh Allah dalam makna mengingkarinya maka mer-eka itu adalah orang-orang kafir."

Surah Al-Ma'idah Ayat 45 tafsirnya, "Barangsiapa yang tidak menghukum den-gan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."

Surah Al-Ma'idah Ayat 47 tafsirnya, "Barangsiapa yang tidak menghukum den-gan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik."

Apakah kita sudah boleh berpuas hati dan yakin bahwa kita dalam kedudukan sekarang ini akan dapat terlepas daripada amaran-amaran Allah itu?

Dengan segala kejujuran terhadap Allah, kita rasanya belumlah dapat mem-buat pengakuan berpuas hati memandangkan kita sekarang baru memiliki akta undang-undang biasa saja tanpa belum lagi secara khusus memiliki akta undang-undang Jinayah syariah.

34 Ibid.

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH316

Tidakkah dengan kedudukan kita seperti ini kita masih saja diambang harus untuk menerima akibat buruk seperti yang disebut oleh ayat-ayat tersebut di atas kerana kita dalam perkara perundangan hanya baru masih memenuhi se-bahagian saja tuntutan syara’ sementara sebahagiannya lagi belum.

Walhal di sana ada peringatan Allah dalam Surah Al-Baqarah Ayat 85 tafsirnya, "Adakah patut kamu hanya akan percaya kepada sebahagian dari isi kitab Al-lah dan mengingkari sebahagian yang lain. Maka tiadalah balasan bagi sesiapa yang berbuat demikian itu di antara kamu melainkan hanyalah kehinaan ketika hidup di dunia jua dan pada hari kiamat pula akan ditolak ke dalam azab seksa yang sangat berat, dan ingatlah Allah sesekali tidak lalai dengan apa-apa yang kamu lakukan."35

Keseriusan Baginda dalam melaksanakan undang-undang Jinayah Islam ini semakin terserlah lagi apabila Baginda mengulangi lagi perkara tersebut pada 10 Oktober 2011 ketika mengadakan Mesyuarat Khas Majlis Ugama Islam Brunei dengan titahnya:

“…. bahwa sejak sekian lama lagi negara telah mengguna pakai dua bentuk mahkamah tersebut dengan hanya satu tujuan iaitu untuk pengawal kemasla-hatan dan cara menegakkan keadilan.

Tambahan lagi, negara juga mempunyai cara yang cantik iaitu mana-mana un-dang-undang Sipil yang bertentangan dengan syara’ akan disesuaikan dengan kehendak syara’ di samping memahami bahwa bukan semua Sipil itu berten-tangan dengan syara’.

Barangkali cara ini jarang ada di mana-mana jika ia benar maka kitalah yang terulung.

Undang-undang adalah satu ilmu dan sistem yang tulen, ia amat indah dan pasti disukai apabila dipahami namun sebaliknya akan buruk dan dibenci jika tidak dipahami, seperti kedudukan undang-undang Jinayah syara’ (Islamic Criminal Act) kalau orang memahaminya, ia adalah paling indah dan terbaik.

Bagaimana tidak paling indah dan terbaik sedang ia adalah datang daripada Allah Ta'ala, penciptanya ialah Allah bukan manusia”.36

Baginda dengan penuh keyakinan menjelaskan tentang undang-undang Is-

35 Titah ketika KDYMM di Persidangan Majlis Ugama Islam Brunei (MUIB) di De-wan Majlis Mesyuarat Negara, 15 Maret 2011.

36 Titah ketika KDYMM pada Mesyuarat Khas Majlis Ugama Islam Brunei, 10 Ok-tober 2011.

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 317

lam ini dan seterusnya mahu ianya secepatnya dilaksanakan. Titah Baginda:

“Jelas, begitu rasional mengenai undang-undang Allah ini tetapi oleh kerana orang tidak mahu memahaminya maka undang-udang itu dilihat sebagai bu-ruk dan menakutkan. Justeru itu kita yang telah diberikan hidayat oleh Allah yang telah pun nampak dengan jelas akan keindahan undang-undang Allah itu maka janganlah berlambat-lambat lagi, rebutlah kurnia hidayah itu dengan langkah positif dan bukan ditunggu lama-lama sampai makanan jadi bangas.37

"Apakah lagi yang akan ditunggu, bangunan mahkamah sudah ada tersergam megah, orang-orang pandai pun sudah ramai dan negara juga sudah merdeka. Hendak ditunggu apa lagi. Hakim-hakim syarie sudah ramai diketuai oleh ket-ua hakim syarie. Mereka itu semuanya berkelulusan belaka, berbanding den-gan era 50an membawa kepada 60an dahulu. Pehin-pehin Khatib pun turut jadi hakim atau pengapit hakim”.

Berdasarkan titah tersebut Baginda sangat-sangat berharap supaya undang-undang tersebut diselesaikan secepatnya supaya dapat dilaksanakan.

Dalam rangka menuju ke arah merealisasikan Undang-Undang Jinayah Islam, Mahkamah Syariah telah mengambil langkah awal bagi memberi kefa-haman masyara’at dengan menganjurkan Seminar Antarabangsa Perundangan Islam, pada 12-14 Oktober 2011 dengan tema Ke Arah Pelaksanaan Undang-Un-dang Syariah’.

Penanganan Isu-isu Sosial Melalui Konsep Syariah

Seperti yang yang dianjurkan Islam sikap berbaik dengan semua negara di se-luruh dunia adalah menjadi dasar negara Brunei Darussalam atas asas saling menghormati dan saling membantu antara negara. Oleh kerana itu Negara Bru-nei Darussalam telah menyertai pelbagai pertubuhan antarabangsa dimulai dari-pada Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu atau PBB di mana KDYMM Sultan te-lah dengan jelasnya mengisytiharkan Negara Brunei Darussalam adalah sebuah Negara Islam ketika bertitah di PBB. Setelah itu menyertai pertubuhan ASEAN, OIC dan lain-lain. Ini adalah di antara langkah bijak bagi menjalin persahabatan dan mengelakkan permusuhana dengan mana-mana negara dan sebagai satu usaha kearah keamanan yang dituntut Islam dan menjaga kepentingan ugama agar tidak diganggu gugat oleh mana-mana pihak kerana dengan adanya per-janjian bagi saling menghormati akan dapat menjamin keamanan dan kestabilan

37 Ibid.

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH318

negara. Selain daripada itu dalam rangka menjamin kepentingan ugama dan rakyat serta keamanan negara beberapa dasar dalam negeri telah dilaksanakan bagi mengatasi pelbagai masalah seperti gejala-gejala sosial isu hukuman mati.

Gejala sosial itu sendiri merupakan perkara yang menjadi masalah global. Penyalahgunaan dadah merupakan isu sosial yang sangat menakutkan kerana kesannya yang sangat buruk. Perbuatan mencuri, merompak dan membunuh tetap masih banyak berlaku. Begitu juga dalam konteks negara Islam, kesan negatif perbuatan sumbang seperti zina, khalwat, penderaan dan lain-lainnya tetap juga masih berlaku seiring dengan kemajuan yang dicapai, malah seiring dengan kesedaran berugama. Ia perlu diatasi.

Penyelesaian yang dikemukakan biasanya adalah melalui pendidikan ter-masuklah ceramah, jerayawara (roadshow) memberi kefahaman kepada golon-gan sasaran dan sebagainya. Selain daripada itu undang-undang yang ketat dan hukuman yang berat juga diwujudkan bagi mengatasi masalah ini.

Di Negara Brunei Darussalam perundangan bagi mengatasi penyalahgu-naan dadah (narkoba) telah dikuatkuasakan sehingga membawa kepada huku-man mati ke atas pengedar dadah dengan jumlah yang tertentu. Ini bertujuan bagi mengelak atau mengurangkan kesan buruk yang lahir daripada penggu-naan dadah. Ini sesuai dengan kaedah fiqh bagi menghapuskan kemudaratan الضرار Maksudnya: Kemudaratan mesti dihapuskan, yang berdasarkan kepadaيزال hadith riwayat Ibn Abbas, Rasulullah Saw bersabda:

ال رضر وال رضار

“Tiada mudarat dan tidak memudaratkan”.

Begitu juga dalam konteks menolak kemudaratan atau menolak kemaksia-tan dengan Jinayah merusakkan akal yang perlu dijaga menurut pandangan Is-lam berdasarkan penjagaan terhadap lima perkara iaitu; Ugama, nyawa, akal, keturunan dan harta. Oleh kerana itu hukuman ini dipertahankan.

Kesalahan-kesalahan lain seperti mencuri, merompak dan membunuh serta perbuatan sumbang seperti zina, khalwat, penderaan dan lain-lainnya te-lah dkenakan hukuman yang diperkirakan akan lebih berkesan sesuai dengan kehendak maqasid syariah, malah ketetapan daripada Allah melalui kitabNya dan sunnah baginda Rasulullah s.a.w. Ijma’ dan qias. Inilah dilaksanakan Brunei melalui Perintah Qonun Hukuman Jinayah Syariah yang telah diwartakan dan akan mula dilaksanakan secara berperingkat enam bulan selepas diwartakan.

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 319

Pengharaman kemasukkan minuman memabukan telah lama dilaksana-kan dalam erti tidak dibenarkan penjualan minuman memBabukkan di negara Brunei Darussalam. Begitu juga tidak dibenarkan membawa masuk minuman memabukan melainkan oleh mereka yang bukan Islam dengan kadar yang ter-had saja. Ini dilakukan atas dasar larangan ugama yang jelas al-Quran dan As-Sunnah.

Kelab malam tidak dibenarkan wujud di negara Brunei Darussalam. Ini juga sudah lama berjalan. Ini bertujuan bagi menutup segala pintu maksiat yang boleh wujud melalui kelab-kelab tersebut sesuai dengan kaedah fiqh:

درءاملفا سد مقدم عىل جلب املصاحل

“Membendung kerosakan diutamakan daripada menarik kemaslahatan”.

Dalam konteks Premis Urut yang juga boleh membawa kepada perlakuan tidak bermoral ia tidak terlepas daripada penelitian pihak kerajaan. Kewujudan premis urut yang semakin bertambah di Negara Brunei telah dianggap boleh menimbulkan isu sosial kerana beberapa buah daripadanya telah didapati men-jalankan kegiatan yang tidak bermoral. Dalam hal ini Negara Brunei Darus-salam telah mengambil langkah mengkaji semula kebenaran premis tersebut beroperasi. Mengikut Islam berurut adalah diharuskan di dalam Islam. Tetapi oleh kerana ia telah disalah gunakan menyeBabkan timbulnya isu sosial. Dalam konteks ini menghalang perbuatan tidak bermoral tersebut perlulah dilakukan sesuai dengan kaedah sadd azzaraie atau “menutup pintu-pintu dimana kebu-rukan mungkin memasukinya” bagi mengelak berlakunya maksiat dan seba-gainya berkaitan urut ini. Walaubagaimanapun beberapa penilaian perlu dilihat seperti berikut:1. Berurut mempunyai banyak faedah untuk kesihatan fizikal dan mental;2. Pada dasarnya, hukum berurut adalah diharuskan kerana ia merupakan

salah satu daripada proses perubatan, penyembuhan dan rawatan;3. Walaubagaimanapun, pengharusan tersebut adalah tertakluk kepada be-

berapa perkara tertentu yang ditetapkan oleh hukum syara’;4. Menjadi kewajipan kepada pihak berkenaan untuk mempastikan bahwa

premis-premis ini adalah bersih dari segala macam perkara negatif dan maksiat dan lain-lain yang tidak diingini;

5. Jika sekiranya premis-premis urut berlesen boleh membawa kepada wujud-nya masalah-masalah sosial, maka kaedah perundangan Islam, menutup

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH320

pintu-pintu dimana keburukan mungkin memasukinya;6. Jika perkara premis urut berlesen boleh membawa kepada kemasalahatan

atau kebaikan dan pada masa yang sama ia juga boleh membawa kepada keburukan dan kerosakan, maka Islam menyarankan supaya lebih dahulu diutamakan kerja menghindari keburukan atau kerosakan itu berdasarkan kaedah: menolak (menghindari) kerosakan-kerosakan itu lebih utama dari-pada membawa (apa jua) kemaslahatan.Ini bermakna memang sangat perlu mengambil perhatian dalam perkara

disebutkan. walaubagaimanapun jika diperhatikan isu ini, nampaknya urut dan premis urut itu bukanlah perkara yang dilarang dalam Islam. Sesuai dengan kaedah fiqh bahwa setiap sesuatu perkara muamalat itu pada asalnya adalah harus melainkan terdapat bukti keharamannya. Persoalan yang timbul apakah penyalahgunaan premis itu boleh dianggap bukti keharamannya sedangkan ia adalah perkara mendatang bukan intipati urut atau premis urut itu sendiri kera-na di dalam syarat yang ada sekarang pun tidak dibenarkan berurut dalam pre-mis yang berlesen antara yang berlawanan jenis. Jadi ia bukan intipati urut yang dibenarkan. Ia adalah penyalahgunaan lesen sama seperti penyalahgunaan les-en yang lainnya. Ia adalah kesalahan pemilik lesen atau pekerja premis tersebut. Kewujudan premis urut tidaklah sepatutnya disalahkan kerana masih banyak premis yang menjalankannya mengikut peraturan berbanding yang menyalah-gunakannya. Jika kita meniadakan premis urut dengan alasan wujudnya peny-alahgunaan oleh segelintir pemiliknya atau pekerjanya maka apa halnya dengan yang mengikut peraturan, bukankah itu bererti menghukum orang yang tidak bersalah dengan kesalahan orang lain. Ini sangat bertentangan dengan prinsip keadilan Islam.

Penyelewangan yang bersifat mendatang dan juga peraturan yang tidak menjamin kepentingan ugama boleh diatasi melalui penguatkuasaan tegas dan ketat dan mewujudkan peraturan dan undang-undang yang tegas.

Ada beberapa atau pelbagai cara menghalang atau menolak kerusakan atau kemudaratan sesuatu perkara itu. Ia bergantung kepada kemudaratan atau keru-sakan yang hendak ditolak itu. Dalam konteks isu premis urut ini, kemudaratan dari pelbagai sudut termasuk dari sudut ugama, kemasyara’atan, ekonomi dan kesihatan terdapat dua cara yang boleh difikirkan untuk dilaksanakan:1. Meneruskan kebenaran lesen premis urut termasuk yang sedang beroperasi

dan yang baru memohon dengan memperketatkan peraturan dan mewu-judkan perundangan khusus yang sesuai dengan Hukum Syara’ disamping

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 321

memperkemas dan memperkuat penguatkuasaan undang-undang.2. Menutup terus premis urut sama ada secara berperingkat-peringkat atau se-

cara sekaligus.Dalam perkara menghalang kerusakan dan kemudaratan yang disebut di

dalam kaedah fiqh itu pada dasarnya tidaklah hanya dilihat kepada kerusakan dan kemudaratan dari segi akhlak termasuk maksiat khusus seperti zina dan khalwat semata-mata, tetapi juga semua bentuk kerusakan dan kemudaratan dalam pelbagai sudut seperti dari segi kemasyara’atan, ekonomi, kesihatan, politik dan apa jua perkara yang berkaitan dengan manusia dengan panduan ajaran ugama. Jika sesuatu dasar itu menjejaskan keadilan dari sudut pandan-gan Islam ia juga menjejaskan kepentingan ugama. Begitu juga dasar kesihatan, kemasyara’atan dan lain-lain. Tidaklah terhad kepada yang berkaitan dengan akhlak semata-mata. Dalam isu ini nampaknya terdapat pertembungan kemu-daratan jika memilih salah satu daripada dua pilihan tersebut iaitu membenar-kan lesen premis diteruskan atau ditutup.

Jika memilih yang pertama akan memungkinkan wujudnya ruang berlaku-nya kemudaratan akhlak. Sebaliknya jika memilih yang kedua ia akan pasti me-mudaratkan:1. pemilik premis khususnya mereka yang benar-benar mengikut peraturan

kerana mereka pasti akan mendapat kerugian,2. kurang atau tidak ada lagi cara pengubatan urut yang dalam keadaan ter-

tentu sangat berkesan,3. pekerja-pekerja dipremis urut terutama yang benar-benar berkemahiran

sama ada orang tempatan atau luar negara akan kehilangan pekerjaan,4. pekerja pengurusan premis juga akan kehilangan pekerjaan dan5. pemilik-pemilik bangunan yang disewa akan kehilangan penyewa.

Ini adalah antara kesan pasti yang berlaku apabila memilih pilihan kedua. Kerugian besar boleh juga berlaku kepada pemohon yang baru kerana mereka terpaksa membayar sewa dan pengubahsuaian mengikut peraturan yang dike-hendaki oleh kebenaran lesen dan juga keselesaan pelanggan.

Nampaknya kemudaratan yang pasti hanya berlaku kepada pilihan cara kedua, tetapi pilihan cara pertama hanya akan berlaku kemungkinan kemudara-tan bukan satu kepastian kerana peraturan dan undang-undang tidak membe-narkan ianya berlaku. Jika berlaku juga premis berkenaan akan menerima akibat-nya seperti pembatalan lesen dan hukuman yang ditetapkan dalam peruntukan undang-undang.

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH322

Di sinilah nampaknya lebih wajar dan munasabah untuk memilih pilihan pertama iaitu: Meneruskan kebenaran lesen premis urut termasuk yang sedang beroperasi dan yang baru memohon dengan memperketatkan peraturan dan mewujudkan perundangan khusus yang sesuai dengan Hukum Syara’ disamp-ing memperkemas dan memperkuat penguatkuasaan undang-undang.

Langkah ini dipilih menjadi dasar kerana menutup premis urut adalah lebih besar mudaratnya berbanding membenarkannya dengan syarat-syarat ketat ses-uai dengan kaedah yang artinya “Kemudaratan lebih berat dihilangkan dengan melaksanakan kemudaratan lebih ringan”.

Selain itu juga kerusakan pilihan pertama itu juga hanyalah bersifat ke-mungkinan tetapi mudarat kedua adalah pasti. Mudarat pertama itu boleh di atasi dengan mewujudkan undang-undang khas yang menghalang berlakunya perkara tersebut dan memperkukuh penguatkuasaan, Inilah yang dilakukan pe-merintah.

Demikian pula mengenai isu meniadakan hukuman mati. Pada 20 Novem-ber 1959, Perhimpunan Agung Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (United Na-tions General Assembly - UNGA) telah mengambil tindakan buat pertama kali untuk meluluskan resolusi yang berkaitan dengan hukuman mati yang juga dikenali sebagai capital punishment. Resolusi yang bertajuk “Study the Question of Capital Punishment” diluluskan dengan undian 57 negara ahli menyokong; tiada menentang; dan 22 negara ahli berkecuali.

Resolusi tersebut antara lain mengundang Majlis Ekonomi dan Sosial (Eco-nomic and Social Council-ECOSOC)38 untuk membuat kajian mengenai dengan capital punishment, termasuk perundangan dan amalan-amalan berkaitan den-gan hukuman mati; kesan-kesan hukuman; penghapusan amalan tersebut; dan juga tahap Jinayah yang diperuntukkan bagi hukuman mati.

Sejak dari itu, beberapa perbincangan mengenai hukuman tersebut telah diadakan di Perhimpunan Agung PBB. Selain itu, perbincangan mengenainya juga diadakan di ECOSOC dan Suruhanjaya Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights-CHR).39

Pada Tahun 1971, semasa Sesi UNGA ke-26, Perhimpunan Agung mula

38 ECOSOC merupakan salah satu dari enam (6) “principal organs” Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (PBB) yang bertanggungjawab mengenai penyelarasan kerja-kerja yang berkaitan dengan ekonomi, social dan 14 agensi-agensi khas PBB (UN specialized agencies).

39 Negara Brunei Darussalam bukan ahli kepada ECOSOC dan CHR.

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 323

memperkenalkan satu resolusi bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati. Resolusi tersebut (Resolusi 2857 (XXVI) bertajuk “Capital Punishment” diluluskan secara undian dengan 59 negara ahli menyokong; sebuah (1) negara menentang; dan 54 berkecuali.

Resolusi-resolusi berkaitan dengan isu ini juga diluluskan dalam badan-badan berikut:

UNGA ECOSOC CHR32/61 of 8 Dec 1977 1574 (L) of 20 May 1971 1997/12 of 3 April 1997

1656 (LII) of 1 June 1972 1999/61 of 28 April 1999

Sejak Tahun 1971, resolusi mengenai seruan bagi penghapusan hukuman mati terus diperkenalkan pada sesi-sesi UNGA yang berikutnya. Akan tetapi, se-masa Sesi UNGA Ke-54 pada Tahun 1999, negara-negara ahli Kesatuan Eropah (EU) selaku penaja utama kepada resolusi tersebut, telah menarik balik resolusi berkenaan memandangkan jumlah sokongan dari negara-negara ahli PBB se-makin menurun.

Semasa Sesi UNGA Ke-62 pada Tahun 2007, EU telah menukar strategi dengan memperkenalkan semula resolusi bagi menyeru negara-negara ahli PBB untuk mengadakan moratorium terhadap perlaksanaan hukuman mati. Ini berdasarkan kepada meningkatnya jumlah negara-negara yang mengamalkan “self-moratorium” dalam melaksanakan hukuman mati dan juga jumlah negara-negara yang menghapuskan hukuman tersebut.

Pada Sesi tersebut, resolusi bertajuk “Moratorium on the Use of the Death Pen-alty” telah diluluskan secara undian dengan 104 negara ahli menyokong; 54 neg-ara ahli menentang (termasuk Negara Brunei Darussalam); dan 29 berkecuali. Resolusi tersebut antara lain:

“Calls upon all States that still maintain the death penalty:

• To respect international standards and provide safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing death penalty, in particular the minimum standards....;

• To provide the Secretary-General with information relating to the use of cap-ital punishment and the observance of the safeguards…;

• To progressively restrict the use of the death penalty and reduce the number of offences for which it may be imposed.; and

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH324

• Calls upon States which have abolished the death penalty not to reintroduce it.”

Resolusi dengan tajuk yang sama juga telah diluluskan semasa Sesi UNGA Ke-63 pada 2008 secara undian dengan 106 negara ahli menyokong; 46 negara ahli menentang (termasuk Negara Brunei Darussalam); dan 34 berkecuali. Res-olusi tersebut juga memutuskan bagi membincangkan perkara mengenai Mora-torium on the Use of the Death Penalty diadakan setiap dua Tahun sekali.

Semasa Sesi UNGA Ke-65 pada Tahun 2010, resolusi yang sama telah dilu-luskan secara undian dengan 109 negara ahli menyokong; 41 negara ahli menen-tang (termasuk Negara Brunei Darussalam); dan 35 berkecuali.

Secara umumnya, mana-mana resolusi yang diluluskan oleh Perhimpunan Agung PBB tidak mengikat negara-negara ahli (non- binding) dari segi perlak-sanaannya, akan tetapi, negara-negara ahli mempunyai tanggungjawab untuk mempertimbangkannya.

Berkenaan dengan hukuman mati, pada masa ini terdapat beberapa perun-tukan dalam undang-undang Negara Brunei Darussalam yang mengenakan hu-kuman mati bagi kesalahan-kesalahan Jinayah yang serius seperti berikut:1. Qonun Hukuman Jinayah (Penggal 22);2. Akta Penyalahgunaan Dadah (Penggal 27);3. Akta Keselamatan Dalam Negeri (Penggal 133);4. Akta Ketenteraman Awam (Penggal 148);5. Akta Angkatan Bersenjata Diraja Brunei (Penggal 149);6. Akta Penculikan (Penggal 164); dan7. Perintah Anti Keganasan 2011.

Secara umumnya pendirian Brunei Darussalam adalah mengekalkan huku-man mati dalam undang-undang Negara tetapi akan meneliti semula peruntu-kan-peruntukan kesalahan yang membawa hukuman mati bagi kemungkinan ianya dipinda; dan memperketatkan lagi prosedur perbicaraan bagi kes yang melibatkan hukuman mati. Pendirian ini diambil dengan mengambil kira pan-dangan syara’ terutama dari sudut keterangan yang ketat dalam perundangan Islam. Dengan kewujudan Perintah Qonun Hukuman Jinayah Syariah, 2013 pendirian Brunei Darussalam adalah semakin jelas.

Penutup

Negara Brunei Darussalam adalah negara Islam yang sentiasa berusaha ke arah

Kontribusi Syariah dalam Pembentukan Undang-undang

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 325

menghayati sepenuhnya ugama Islam dalam semua lapangan hidup termasuk dalam keperluan bernegara dari segi politiknya, masyara’atnya, perekonomian-nya, perundangannya dan sebagainya. Oleh kerana itu konsep Melayu Islam Beraja telah dikembangkan dan diperkukuhkan di mana Islam menjadi teras kekuatan di dalamnya, kemudian dilengkapi pula dengan hasrat KDYMM un-tuk menjadikan Negara Brunei Darussalam sebagai negara zikir dan seterusnya menjadikan undang-undang negara berdasarkan undang-undang Islam secara keseluruhannya. Oleh kerana itu rakyat mendokong penuh hasrat dan tindakan suci Raja tersebut.

Bibliografi

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Edisi Revisi, Semarang: Kumudasmoro Grafindo Semarang, 1994.

Akta Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi, 1955, Penggal 77, Bab (sekseyn) 49.

Akta Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi.Akta Majlis Ugama dan Mahkamah-Mahkamah Kadi Penggal 77semakan 1984, Bab 45

(1).Akta Mahkamah-Mahkamah Syariah 1998 Penggal 184, Bab 6.Annual Report on the State of Brunei,1906Annual Report on the State of Brunei, 1933,Cap XIII, T.F. Carey M.C.S., Singapore.Dato Mahmud Saedon Awg Othman, Perlaksanaan dan Pentadbiran Undang-un-

dang Islam di Negara Brunei Darussalam, Brunei: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1996.

Dokumen-Dokumen Perlembagaan, Jabatan Percetakan Kerajaan, Jabatan Per-dana Menteri. November 2008.

Haji johar bin Haji Muhamad, Pembubaran Perkawinan Dalam Perintah Darurat (Undang-Undang Keluarga Islam), 1999 Brunei Darussalam dan Hukum Syara’, Brunei: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2010.

Laws of Brunei 1906-1930, E. No. 1, of 1912, S.8.Mohd. Jamil Al-Sufri, Perlaksanaan Dasar Negara Melayu Islam Beraja, Brunei:

Pusat Sejarah Brunei, 1996.Perintah Pengangkatan Kanak-Kanak Dalam Islam, 2001, Bab 5.Perintah Pemegang Pajak Gadai, 2002, Bab 5.Pg. Hj. Mohammad bin Pg. Hj. Abd. Rahman, Islam di Brunei Darussalam, Brunei,

Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1992.State of Brunei Annual Report ,1955..Siti Zaleha Abu Salim, “Sistem Kehakiman Brunei dan Perbandingannya dengan

Haji Johar bin Haji Muhamad

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH326

Sistem Kehakiman Islam”, Tesis sarjana Pengajian Islam, Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor, 1992.

Titah ketika KDYMM di Persidangan Majlis Ugama Islam Brunei (MUIB) di De-wan Majlis Mesyuarat Negara, 15 Mach 2011.

Titah ketika KDYMM pada Mesyuarat Khas Majlis Ugama Islam Brunei, 10 Ok-tober 2011.

Yura Halim dan Jamil Omar, Sejarah Berunai, Brunei: t.p., 1958.

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 327

INTERNATIONAL LAW AS A POLITICAL INSTRUMENT (A CASE STUDY OF INDONESIA)

Hikmahanto JuwanaProfessor of International Law, University of Indonesia

Campus UI Depok West Java 16424

Abstract: International law can be seen as a political instrument in the sense to Change Concepts and Norms, to Intervene in Domestic Affairs and to Justify and Exert Pressure. In this context, developed countries can use these Laws to intervene in developing countries to transform concepts or norms are thus in line with the wishes of the developed world. The use of the concept of human rights, for example has a broad meaning. With these words, large and developed countries can use to intervene in domestic issues in the country. In the case of Indonesia, countries such as America, Europe and so urged Indonesia to participate in the international contract will open up access to the Indonesian market and protec-tions for Intellectual Property Rights (IPR). The use of the word eg Human Rights has forced Indonesia to ratify the treaty on the International Labor Organization (ILO) and the Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimi-nation. Therefore, international law as a political instrument has been exploited for the specific purposes which may provide advantages especially to developed countries.

Keywords: international law, political instrument, Indonesian experience.

Abstrak: Hukum internasional dapat dilihat sebagai alat politik dalam arti Mengubah Konsep dan Norma, untuk intervensi dalam Negeri dan Justify dan Mengerahkan Tekanan. Dalam konteks ini, negara-negara maju dapat menggu-nakan UU ini untuk campur tangan di negara-negara berkembang untuk men-gubah konsep atau norma-norma yang demikian sejalan dengan keinginan negara maju. Penggunaan konsep hak asasi manusia, misalnya memiliki arti yang luas. Dengan kata-kata ini, negara-negara besar dan maju dapat digunakan untuk ikut

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH328

campur dalam urusan dalam negeri di negara tersebut. Dalam kasus Indonesia, negara-negara seperti Amerika, Eropa dan mendesak Indonesia untuk berparti-sipasi dalam kontrak internasional akan membuka akses ke pasar Indonesia dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Penggunaan kata misalnya Hak Asasi Manusia telah memaksa Indonesia untuk meratifikasi perjanjian tentang Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Konvensi tentang Penghapusan Se-gala Bentuk Diskriminasi Rasial. Oleh karena itu, hukum internasional sebagai alat politik telah dimanfaatkan untuk tujuan tertentu yang dapat memberikan keuntungan terutama untuk negara-negara maju.

Kata Kunci: hukum internasional, instrumen politik, pengalaman Indonesia.

Introduction

The function of international law, as noted in numerous text books, is to law down a set of rules or norms for its subject. This function, however, is only one of the many functions of international law. Another function which many may not be immediately aware of is that international law is an instrument used by states to achieve their national objectives. This paper will dissect primarily the political utility of international law or more precisely international law as a po-litical instrument.

Having a dual personality is inevitable for international law due to the reali-ty of inter-state relations dense with geo-political relations. Increasingly popular concept of globalization has caused intertwined interests between state’s internal affairs and international events. It is impossible to conceive that a state is immune and unaffected by international phenomena. It is precisely this convergence that creates an increasing sentiment that international law is encroaching on states’ sovereignty. This sense is particularly more obvious in several legal regimes, take as examples: international trade law, environmental law, human rights and war against terrorism. These issues are certainly meaningless when states do not act in a collective sense.

Although states seem to encounter common enemies on these issues; they, however, give rise to conflicting political interests. It is inevitable that within a large group of states, each state or a small group of states will tend to build a coalition of similar political interests (more similar than the political interests of other states). Such political coalition, whether individual or collective within a large group of states, will consequently create conflicting/competing political

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 329

interests even in the face of common enemies. This assumes that those common enemies are not merely facades that are vulgarized in order to apply political pressure to certain states.

Another crucial reality is the increasing economic dependence or interde-pendence among states. Simply put, economic dependence or interdependence is often used as a leverage to apply political pressure to another state. Some-times, it is used to the extent of avoiding or even justifying an act violating sov-ereignty. One can immediately relate this phenomenon to the notion of rational self-interest states.

This paper intends to paint a picture of how international law is used as a political instrument. In an effort to provide concrete examples, Indonesian ex-periences will be subject of this paper. In this paper, I will demonstrate how international law is employed by states or international organizations against Indonesia in order to secure vested interests, primarily of political nature.

International Law as a Political Instrument

The reality of international law is it is used as a political weapon irrespective of the status of certain states, be it developed, developing or underdeveloped coun-tries. Of course, the developed countries will have more say in international law than under developed countries.

I argue that the structure of colonialization remains under the contempo-rary international law structure. The face may change, but the structure remains the same. In the colonial eras where there existed no category of developed and developing countries; it is the category of colonizers and colonies. The particular feature of this structure is that policies (or one would rather say they will) of colonizers towards its colonies are forced. Such coercive means will not be con-tradictory to international law. In today’s world, superimposed, and typically by use of force, for instance arms. Although, it is considered an outright violation of international law, nonetheless, the structure remains similar. What changes is the means, i.e. in the old days, force is associated with hard power such as weapons; today, force is associated with soft power and political pressures. In-ternational law is constituted on the basis of this type of soft power. An instance can be drawn from the cradle of modern international law in post World War II, after the constitution of the United Nations. The most powerful political entity to date is United Nations Security Council.

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH330

Many developing countries utilize international law to change some long standing principles that give advantage to developed countries. In addition, in-ternational law is also used by developed countries and developing countries.

The form of international law that is frequently used as political instrument is international agreements. When State subscribes to international agreement it would mean that State voluntarily bind itself to observe the obligations and transform whatever international law provisions to national law. Thus, to inter-vene on domestic affairs of certain State, a State will accommodate their interests in international agreement.

Intervention by using international agreement begins when there is a policy with extra territorial nature of certain State. For example, investors from devel-oped countries often complain about the closure of or restricted access to devel-oping countries’ markets or piracy that is pervasive. For this reason, the devel-oped countries would want to intervene in the legal system of the developing countries in order to open or liberalize their market or give more protection to intellectual property rights.

The desire to intervene is usually accommodated by international agree-ment. The agreement will generally be formulated or drafted to suit the interests of the developed countries. The agreement will then be discussed in international conferences without any significant opposition from developing countries.

An international agreement that protects and suits the interests of devel-oped countries will be encouraged to be signed or ratified by the developing countries. Once the developing countries have subscribed to the agreement, the developed countries will voice compliance. The developing countries will be re-quested to amend their national legislation so as to comply with the provisions of the international agreement.

There are several objectives being pursued of developed countries using international agreements. First, to ensure the developing countries will not pro-mulgate laws which are incompatible with those laws of the developed countries or which may have adverse effects to the interests of developed countries. Sec-ond, the interests of the developed countries can be accommodated in the devel-oping countries without being deemed as intervention in the domestic affairs of the target State.

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 331

The Use of International Law as Political Instrument

There are at least three uses of international law as a political instrument. First, is to change prevailing concepts or norms. Second, it is used as means to intervene in domestic affairs of other States. Last, but not least, to be used as justification of State’s actions or pressure to other State. The following is the discussion of respective use of international law as political instrument.

1. As Means to Change Concepts and Norms

International law as a political instrument can be used to change or introduce pro-visions, foundations, norms, or concepts (hereinafter referred to as “concepts”). This stems from the fact that international law, in particular international agree-ment, is formulated by States. Consequently, States may change or introduce new concepts. And where these concepts gain international recognition within the community of nations then these concepts will also garner binding force.

One of the most effective ways is with the accommodation of a new concept into an international agreement. This certainly does not mean that a State over a short period will perform it, as the formulation and amendment of international agreements require both the completion of relevant processes and time.

As an example, Australia, Japan, Germany, and several other States have demanded that there be change to the membership of the Security Council of the United Nations. This demand constitutes a new concept from the previous accepted concept. To realize this kind of change there is a need to amend the United Nations Charter.

Furthermore, Japan and Germany are extremely interested in the amend-ment of two Articles in the United Nations Charter that states that they are “en-emy state”. One must remember that the United Nations Charter was produced at the conclusion of the Second World War of which Japan and Germany were two of the defeated States.1

1 Japan and Germany fought for the repeal of Article 53 and Article 107 of the UN Charter. Article 53 states, “(1) The Security Council shall, where appropriate, uti-lize such regional arrangements or agencies for enforcement action under its au-thority. But no enforcement action shall be taken under regional arrangements or by regional agencies without the authorization of the Security Council, with the exception of measures against any enemy state, as defined in paragraph 2 of this Article, provided for pursuant to Article 107 or in regional arrangements directed

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH332

Other examples are the national interests of the United States (US) that would require the US to have legitimacy with respect to the use of force in antici-patory attack. These efforts were undertaken by the US with the commencement of the debate on the need to amend Article 51 of the United Nations Charter.2 The efforts of the United States, in the eyes of many States, were no different from a ruler amending the constitution so that the ruler in effect has even greater pow-ers.

Developing countries, on the other hand, often use international agreements to change the face of international law which is considered to be euro-centric. Cassese in his book titled International Law in a Divided World states that inter-national law for developing States “… is instrumental in bringing about social change, …”.3

When the formulation or amendment of an international agreement is not successful, it is often that the States with an interest will endeavor to reinter-pret the provisions. Thus, the provision is still intact, but the interpretation has significantly changed. If this new interpretation is accepted by the international community, it will then become an implied amendment. An example of this re-

against renewal of aggressive policy on the part of any such state, until such time as the Organization may, on request of the Governments concerned, be charged with the responsibility for preventing further aggression by such a state. (2) The term enemy state as used in paragraph 1 of this Article applies to any state which during the Second World War has been an enemy of any signatory of the present Charter.“ Meanwhile Article 107 states, “Nothing in the present Charter shall invalidate or preclude action, in relation to any state which during the Second World War has been an enemy of any signatory to the present Charter, taken or authorized as a result of that war by the Governments having responsibility for such action.” See UN Charter, Articles 53 and 107.

2 Article 51 states the following, “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defense shall be immediately re-ported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore interna-tional peace and security.”

3 Antonio Cassese, International Law in a Divided World, (Oxford: Oxford University Press, 1986), p. 119.

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 333

interpretation is the legal basis for humanitarian intervention by the United Na-tions or States.

2. As a Means to Intervene in Domestic Affairs

Second, international law becomes a political instrument for State to intervene in other State’s affairs. This kind of intervention may not be considered as violation of international law.

Again, the most effective way to intervene with international law is by us-ing international agreements. International agreements forced States to adjust its national legislation to be in accordance with the agreements.

International agreements in this context can be considered the equivalent of regulations made by the central government in their relationships with region-al governments. These regulations become signposts for regional governments with respect to what can and cannot be done. It is clear that the regional regula-tions must not be in conflict with the regulations of the central government.

As an example, at the conclusion of World War II the Allied Forces made a peace treaty with the defeated States that implied that these defeated States were not to have any war capabilities. In the peace treaty between the Allied Forces and Japan that was signed in San Francisco in 1951 it was explicit in a number of Articles that Japan was not to use force in the settlement of disputes and to trust the security mechanisms of the United Nations.4 This provision was to prevent

4 This matter is written into the Peace Treaty between the Allied Powers and Japan in Article 5 which states, “(a) Japan accepts the obligations set forth in Article 2 of the Charter of the United Nations, and in particular the obligations (i) to settle its international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered; (ii) to refrain in its interna-tional relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any State or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations; (iii) to give the United Nations every assistance in any action it takes in accordance with the Charter and to refrain from giving assistance to any State against which the United Nations may take preventive or enforcement action. (b) The Allied Powers confirm that they will be guided by the principles of Article 2 of the Charter of the United Nations in their relations with Japan. (c) The Allied Powers for their part recognize that Japan as a sover-eign nation possesses the inherent right of individual or collective self-defense referred to in Article 51 of the Charter of the United Nations and that Japan may voluntarily enter into collective security arrangements.” See the Treaty of Peace

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH334

Japan from becoming the source of any future disastrous world war. The provi-sions in the peace treaty had a significant impact on Japanese domestic policy as it related to not possessing any war capabilities and implied a dependence on foreign States in matters of defense.5 The Allied Forces also limited the war capabilities of Italy in the peace treaty that they signed.6

In reality the above is the second means of utilizing International Law as a political instrument: the intervention in domestic affairs of another State without it having to be considered a violation.

The use of international agreements becomes an entry point to intervene, States intending to undertake an intervention must have in their possession oth-er instruments in order that the State suffering the intervention wants to sign any international agreement proposed. These instruments will usually be in the form of economic dependence or dependence in defense matters. In the event these other instruments do not exist then it is difficult for the State suffering the intervention to be bound by any international agreement.

3. As a Tool to Justify and Exert Pressure

Finally, International Law functions as a political instrument based on the fact that in the international interactions of States, there are always mutual influences. States use International Law to pressure other States in order to achieve compli-

with Japan, available at http:// www.taiwandocuments.org/ sanfrancisco01.htm (last accessed on 5 October 2003).

5 In Article 9 of the Japanese Constitution of 1947 it is stipulated that Japan will not possess war capabilities and as a consequence will not have an Army, Navy, or Air Force. Yet, this interpretation from time to time changed in the direction of an interpretation that allowed Japan to possess the three armed services noted pro-vided their objective was for defensive purposes. Japan even to this day is very dependent in defense problems to the US based on the security agreement, Treaty of Mutual Cooperation and Security between Japan and the United States.

6 In Article 51 of the Peace Treaty between Allied and Associated Powers with Italy, as an example, it is stated that, “Italy shall not possess, construct, or experiment with (i) any atomic weapon, (ii) any self propelled or guided missiles or appara-tus connected with their discharge (other than torpedo and torpedo-launching gear comprising the normal armament of naval vessels permitted by the pres-ent Treaty), (iii) any guns with a range of over 30 kilometers, (iv) sea mines or torpedo of non-contact types actuated by influence mechanisms, (v) any torpedo capable of being manned.”

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 335

ance with their policies. Meanwhile, states also exploit under international law to reject such pressure. Developed States, as argued by Cassese, frequently use International Law in the framework of, “… protects them from undue interference by powerful States…” 7

The actions of the United States and the United Kingdom towards Iraq prior to the invasion of Iraq are the examples of International Law being used as an instrument of pressure. The United States and the United Kingdom utilized In-ternational Law to pressure Iraq into providing access to international inspectors on the suspicion of possession of weapons of mass destruction. The International Law which formed the basis of these demands was Iraq’s membership of the Non Proliferation Treaty (NPT)8 and a number of other UNSC resolutions.9 At some points, the United States and the United Kingdom determined that this pressure was not providing the results expected and consequently used this as a premise for the attack and invasion of Iraq.10 In order to provide legitimacy to the attack, the United States and the United Kingdom used International Law that was es-pecially weak.11

An example that is indicative of States using International Law to reject the pressures of other States is the moment Russia and France were encouraged by the United States to agree to the SC resolution legitimizing the attack on Iraq.12 Factually, Russia, France, and Germany deemed that the attack on Iraq is a viola-

7 Antonio Cassese, Op. Cit., p. 119.8 Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (1968), and available at

http://www.iaea.or.at/worldatom/Documents/Legal/npttext.shtml (last ac-cessed on 5 October 2003). Iraq is one of the signatories to this treaty.

9 UNSC Resolution No. 661 (1990) dated 6 August 1990, 678 (1990) dated 29 No-vember 1990, 686 (1991) dated 2 March 1991, 687 (1991) dated 3 April 1991, 688 (1991) dated 5 April 1991, 707 (1991) dated 15 August 1991, 715 (1991) dated 11 October 1991, 986 (1995) dated 14 April 1995, 1284 (1999) dated 17 December 1999, and 1382 (2001) dated 29 November 2001.

10 The attack commenced on 20 March 2003.11 The US and the UK based this on two matters. First it was based on UNSC Reso-

lution No. 1441 which according to these two countries granted authority to use force if Iraq was not cooperative. Secondly, is the use of Article 51 of the UN Charter.

12 “British FM Tables Iraq Draft Resolution,” News Max Wires, 8 March 2003, avail-able at http://www.newsmax.com/archives/articles/2003/3/7/205053.shtml (last accessed on 8 October 2003).

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH336

tion of International Law.13

From the above description, the third use of International Law as a political instrument is in the application of pressure by States and the rejection of those pressures by other States.

The Use of International Law by Developed Nations Against Develop-ing Nations

International Law is exploited by Developed States against Developing States for at least two reasons. First, as a means of becoming involved in the domestic affairs and policies of the Developing State. Second, in order to put pressure on the Developing State to take actions that comply with the policy frameworks of the Developed State.

International agreements are often used by developed States to undertake interventions in the domestic affairs of developing States. The interventions un-dertaken cannot be separated from the interests of the States making them. The majority of developing States, usually the ‘west’, package their interests in the form of International Law. As Cassese notes,

“… law was molded by Western countries in such a way as to suit their inter-ests; it was therefore only natural for them to preach law abidance and to at-tempt to live up to legal imperatives which had been forged precisely to reflect and protect their interests”.14

The interests of developed States are varied, starting from economic motives and ranging to human values and the preservation of the world’s environment.

In the problems of international trade, developed States are most worried about the actions of developing States after they gain independence and possess the sovereignty to create national laws that are inclined to policy initiatives that close off national markets to foreign goods and services. This policy certainly has negative effects for the business actors of developed States with interests in the developing State. Actually, the market of a developing State constitutes a very large market even though it is only in the early tariff stage. Therefore, developed States feel the need to prevent developing States from taking policy initiatives

13 “France, Germany and Russia condemn war threat” Guardian Unlimited, 19 March 2003, available at http://www.guardian.co.uk/france/story/ 0.11882917636.00.html (last accessed on 8 October 2003).

14 Antonio Cassese, Op. Cit., p. 108.

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 337

that are characterized as being protective of their industries or policies that close-off access to their markets. This action occurs when one remembers that a one of the factors that a developed State must consider in respect to the growth and stagnation of their economies is the dependence of their economies on the ability of business actors to exploit foreign markets.

With respect to human rights, the involvement of developed States in the domestic affairs of a developing State arises from the lack of attention paid to human rights by the political elite of the developing State in the running of gov-ernment, and in fact there is an inclination towards meanness.15 In fact it is fair to say that post World War II the problems of humanity have come to international attention. Violations of human rights in one State will come under the scrutiny of other States, as in this age of global maturity international crimes are known and considered to be extraordinary crimes against humanity.16 For the purposes of preventing the repetition and the spread of these types of human rights viola-tions by the governments of developing States, developed States feel the need to provide guidance.

With respect to environmental problems, developed States interfere in the domestic affairs of developing States. This is done remembering that developed States usually condemn developing States in terms of the their economy develop-ment and insufficient attention being paid to environmental problems, this even leans towards the explosion of excesses that lead to environmental destruction. It is clear that environmental destruction in one place will have consequences for the world as a whole. Because of this, one of the destruction prevention efforts is to influence developing States into taking policy initiatives that have implica-tions for the environment.

One of these intervention efforts that can be undertaken by developed States in the three issues noted previously is the exploitation of international agree-ments. International agreements will be drafted by developed States which in

15 Human Rights violations by the majority of developing nations in fact do occur and do not get denied. Only what often happens are the objections of developing nations to the arrogance of developed nations as the evaluator of human val-ues while forgetting their past history. Moreover the intervention undertaken is deemed to be motivated by economic interests.

16 In Article 5(1) of the Rome Statute of the International Criminal Court, interna-tional crimes are the crime of genocide, crimes against humanity, war crimes, and the crime of aggression. The perpetrators of these international crimes can be tried by whoever and whenever based on universal jurisdiction.

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH338

essence will influence policies and national laws of developing States.17 To pre-vent policies that will close developing States’ markets, international agreements will be constructed in such a way that have the effects of a liberalization national market. To prevent actions that violate human rights by the governments of de-veloping States, international agreements will be constructed to prohibit certain actions. Hence, to prevent policies that will destroy the environment, interna-tional agreements will be drafted that pay particular attention to the problems of the environment.

Furthermore, developing States are driven by developed States to be bound by several international agreements that they have drafted.18 If a developing State finally becomes a participant, this brings with it consequences for the developing State with respect to transforming the provisions of the international agreement into their national laws. As such the national laws of the developing State will reflect the values that are valued by the developed State.

In the event that the international agreement is already signed by the devel-oping State, and the policy initiatives taken are in conflict with the agreement, then the developed State will without hesitation use international agreements as a means to put pressure on the developing State. And where necessary the developed State will not be hesitant in using the provisions of the international agreement to ‘punish’ the developing State.19

Hence, the international agreement that has been signed by the developing State will be used as a medium for intervention into the domestic affairs as well as an implementation of pressure by the developed State.

17 Only this often becomes a problem and rejection for developing States towards what is done by developed States is the economic motive or other specified in-terests. Liberalization of international trade, human rights, and environmental problems also possess an economic motive for developed States. In fact several issues are regularly used by politicians of developed States to gain support from constituents when elections near. This is indicative of the type of consistency used by politicians in the struggle for matters that are believed in by the community regarding developing States.

18 The force used can be characterized from persuasive through to forced, and is an exploitation of the dependence of developing States on developed States.

19 In the national car (mobnas) project, Indonesia encountered a situation where domestic policy did not comply with Indonesia’s obligations as a result of its par-ticipation in the WTO and GATT agreements.

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 339

The Failure to Use International Law as a Political Instrument: Human Rights in Developing States

Human Rights are believed to possess universal values. Universal values means that there no known limitations with regard to space and time. These universal values have been translated into a number of national legal products. As a matter of fact these universal values are solidified in a number of international instru-ments, including international human rights agreements, such as: “The Interna-tional Covenant on Civil and Political Rights, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination and others”.

However, the reality is indicative of the universal value of human rights in their practical application enjoy no such equality or uniformity. In Indonesia, several international human rights agreements have not caused any significant changes with respect to the development of human rights within the commu-nity.

If analyzed in more depth, there are several causes as to why in developing States, including Indonesia, international human rights agreements are ineffec-tive and this is not solely based on an unwillingness of the government to perform its obligations.

The first cause is the occurrence of bias in the production and drafting of international human rights agreements. This occurs because the proposal for the international agreement originates from the developed State. The experts and drafters of the developed State normally operate from a thinking framework based on the legal system and culture of the developed State. They usually fail to un-derstand the cultural sense of the legal system in Developing Countries, like In-donesia.

In fact, there seems to be an effort (and act) of European nations to super-impose their values to be accepted, even though this civilization has long been accepted, both through force or voluntary acceptance, by other States. European civilization has already been positioned for a long time as modern civilization.

One form of evidence of this and that can be seen as one of the sources of international law is contained in Article 38(1) of the Statute of the International Court of Justice. It is stated that General Principles of Law Recognized by Civilized Nations. The question that begs to be asked is what is meant by the words “civi-lized nations”? Is this not an indication that at the time of the drafting of the

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH340

United Nations Charter there was an acknowledgment of a dichotomy between civilized and uncivilized nations? The drafter of the United Nations Charter most certainly claimed to be from the “civilized nations”.

Dichotomy of civilized or uncivilized nation at that moment maybe was the difference between the nations of Europe or nations that practiced European traditions and nations that had only recently been freed from colonization, the majority of which were located in Asia and Africa.

This, really, constitutes an ‘insult’ in the context of a mature international community. The United Nations Charter has not been amended and still con-tains the phrase “civilized nations”, in effect, taking a position that there are uncivilized nations in the current world.

It is this kind of paradigm that often colors the drafting of international in-struments in the human rights field. It is not surprising then that the formulation of Articles are more reflective of provisions that are implementable in Developed States but are unimplementable in Developing States.

Furthermore, at the time the international agreement is drafted it is difficult to lose the impression that is soldered onto the minds of the drafters as an as-sumption that it is Developing States that commit the majority of human rights violations. Because of this, international agreements are directed more to Devel-oping States than the Developed States.

Whereas, the perpetrators of human rights violations really do not just orig-inate from Developing States, but also from Developed States.

Other problems that are faced in the production and drafting of interna-tional agreements in the human rights field are that these agreements are made through the adoption of benchmarks based on the legal infrastructure of the De-veloped State. But, there is a very wide gap between the legal infrastructure available in Developed and Developing States.

The ineffectiveness is also caused by the formulation of Articles that are too idealistic and compromising. This occurs because although the Developing State has the opportunity to debate and changes Articles that have been submitted to reduce bias that might have otherwise arisen in the draft of the Developed State; nevertheless the opportunity to do so is never properly catered to. The experts and the members of the delegation from the Developing State in essence are seeking the ideal without consideration of the legal infrastructure within their State that will be required to implement it. Actually, the members of the delega-tion are those that voice the views of the Developed State.

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 341

Furthermore, if there is any conflict between the view of the Developed and Developing States then the Developing State will find a way out by formulating an Article that is characterized as being compromising. Yet, the provisions that are characterized as compromising invite multiple interpretations making them difficult to implement.

The source of other problems is the realization that the international agree-ment, whether consciously or not, has already been used by Developed States as a tool of intervention into the Developing State. The formulation of international agreements in the human rights field are not regularly used for honorable pur-poses, that is for the purpose of respecting human rights themselves.

International agreements in the human rights field actually become a tool in the interests of the Developed State, arraying from the economy through to the political and social components of the Developing State. The law is a political product. Hence international agreements are political products.

Developed States use a number of methods to encourage and pressure the governments of Developing States in order that they decide to be included in in-ternational human rights agreements. The participation in turn becomes an entry point for Developed States to encourage Developing States to fulfill their obliga-tions. This encouragement is not deemed to be a violation of international law remembering that the Developing State has already been bound by international agreements. Even like this occurs because Developed States are suspicious of De-veloping States’ willingness to implement their obligations under international agreements.

Besides the ineffectiveness that arises at the drafting and objective stage of the international agreement, the ineffectiveness also arises because of factors that appear in the Developing States. This is caused by the realization that participa-tion more often occurs by force, and not because of any awareness of a need to bind oneself.

For Developing States, changes at the legislation level do not mean unequiv-ocally that there is a need for any change the level of the community. The ratifi-cation of any international agreement in the human rights field frequently ends with the ratification instrument. The government is not usually serious about implementing the necessary follow-up actions such as the transformation of the provisions of the international agreement into national laws, undertake the nec-essary socialization with the law enforcement apparatus at all levels, provide the required supporting infrastructure, and make the necessary efforts to change the

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH342

legal culture of the community. It also cannot be ignored that the government pursues the participation of

Developing States in international agreements in the field of human rights for political interests. Often the participation is performed to just the extent to gain the desired image of a commitment to the respect of human rights. Hence, par-ticipation is not usually studied to the extent necessary to understand the conse-quences of signing-off on an international human rights agreement.

International agreements that promote and protect human rights, in real-ity are not sufficient to improve human rights conditions in Developing States, including Indonesia. There is only one issue that must be known, the ineffective-ness is not an apology for not continually undertaking efforts to develop and respect human rights. Whether Indonesia decides to participate in an interna-tional agreement in the human rights sector or not, human rights must still be respected, upheld to the highest order, and developed by all.

The Indonesian Experience

Indonesia has some experience related to the utilization of International Law as a political instrument. This experience can be divided into two distinct categories; namely, those experiences where Indonesia must follow the wishes of the inter-national community as a consequence of the international community utilizing International Law (furthermore “the Use of International Law against Indone-sia”) and those experiences where Indonesia was able to utilize International Law (furthermore “the Use of International Law by Indonesia”).

1. The Use of International Law against Indonesia

There are many cases that are indicative of where other States or international organizations have used International Law against Indonesia.

International Law, particularly international agreements, is used by devel-oped States to ‘plug’ the independence and sovereignty of Indonesia. A number of international agreements signed by Indonesia have the impact of limiting the government’s space to move with respect to taking policy initiatives. Moreover, any policy initiatives undertaken in relation to the international agreement are expected to be done so at the internationally accepted standard level.20

20 ‘International standards’ represents a euphemism for the standards of the west or

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 343

Not all international agreements are signed by Indonesia matter-of-factly as there is considerable awareness by Indonesia with respect to certain problems and issues. There are a large number of international agreements that Indonesia has signed as a consequence of zealous encouragement and pressure from devel-oped States and international organizations.21 The economic dependence of the Indonesian economy on developed States and international financial institutions has resulted in Indonesia being susceptible to this type of zealous encourage-ment and pressure.

In the activities of international trade, developed States, like the United States and the States of the European Union, demand that Indonesia to partici-pate in international agreements that imply an opening up of access to the Indo-nesian market and protections for Intellectual Property Rights (IPR). In the IPR sector, for instance, the participation of Indonesia in the Trade-Related aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) agreement has already resulted in the enact-ment of a Law on Trade Secrets, a Law on Industrial Design, and a Law on Inte-grated Circuit Design, as well as amendments to the Law on Patent, the Law on Trademarks, and the Law on Copyright.22

In the human rights area, Indonesia has already ratified three conventions including the International Labor Organization (ILO)23 and the Convention on the

developed nations.21 Aside from the insistence and pressure of developed States and international or-

ganizations for Indonesia to participate in international agreements there are also domestic pressures such as from non-government organizations, interest groups, moreover demonstrations from a number of different elements of the commu-nity.

22 In Article 1(1) TRIPs it is stated that, “Members shall give effect to the provi-sions of this Agreement. Members may, but shall not be obliged to, implement in their law more extensive protection than is required by this Agreement, pro-vided that such protection does not contravene the provisions of this Agreement. Members shall be free to determine the appropriate method of implementing the provisions of this Agreement within their own legal system and practice.” For the full text of TRIPS, it is available at http://www.wto.org/english/tratop_e/trips_e/t_agm2_e.htm (last accessed on 22 September 2003).

23 The ILO Convention that have already been ratified comprise of ILO Convention No. 105 concerning The Abolition of Forced Labor as Law No. 19 of 1999; ILO Convention No. 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment as Law No. 20 of 1999; ILO Convention No.111 concerning Discrimination in Re-spect of Employment and Occupation as Law No. 21 of 1999; and ILO Convention

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH344

Elimination of All Forms of Racial Discrimination.24 International Law was used by the United Nations in pressuring Indonesia

is amenable to the establishment of a court to try the perpetrators of international crimes in East Timor. If Indonesia was not amenable to this, then the UN would establish an international court to be known as the International Criminal Tribunal for East Timor (ICTET) which was to resemble the International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) and the International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). This threat to create and establish a court of this nature succeeded in forcing Indonesia to establish a Human Rights Court. 25

In the environmental area, Indonesia has already signed a number of inter-national agreements. These international agreements, among others, include the United Nations Framework Convention on Climate Change,26 Vienna Conven-tion on the Protection of Ozone Layer,27 Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer,28 Convention on Biodiversity,29 Convention on Wet-land of International Importance especially Water flow Habitat,30 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna,31 Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources,32 International Plant Pro-tection Convention,33 Basel Convention on the Control of Trans-boundary Move-ments of Hazardous Wastes and their Disposal,34 United Nations Convention to Combat Desertification,35 and International Tropical Timber Agreement.36

The success in getting Indonesia to sign these international agreements in international trade, human rights, and the environment is at best very superficial.

No. 182 concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labor as Law No. 1 of 2000.

24 Law No. 29 of 1999.25 The establishment of the Human Rights Court based on Law No. 26 of 2000 on the

Human Rights Court.26 Law No. 6 of 199427 Presidential Decree No. 23 of 199228 Presidential Decree No. 23 of 199229 Law No. 5 of 199430 Presidential Decree No. 48 of 199131 Presidential Decree No. 43 of 197832 Presidential Decree No. 26 of 198633 Presidential Decree No. 2 of 197734 Presidential Decree No. 61 of 199335 Presidential Decree No. 135 of 199836 Presidential Decree No. 4 of 1995

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 345

The primary reason underlying this statement is that there is no certainty that these international agreements will be reflected in any sustainable reality.

There are two primary impediments. First, of the several international agree-ments already signed by Indonesia there has been a failure in getting any of these transformed into any type of domestic national law.

This can be critically questioned with respect to the objective of the amend-ments. Whether or not the proposed amendments to the regulatory framework are in response to the needs of the Indonesian public or whether the amendments are required to satisfy obligations mandated in the international agreement? If the answer is the first of these, then the question that must be asked is whether the awareness of the Indonesian community about such problems as IPR, for ex-ample, is sufficiently high enough to warrant the amendments being made?

Thus, the same questions could be asked with respect to human rights. It is reasonable to question whether the international agreement in the field of hu-man rights is really with a view to the respecting and upholding of human rights or whether it is merely a political instrument being exploited for the benefit of the Developed States? This question arises because on the one hand the partici-pation of Indonesia in the international human rights agreement is expected to bring positive change to Indonesia. Yet, on the other hand if the international human rights agreement is applied in the manner expected of Indonesia then the enjoyment of the benefits will be of the Developed States. The application of provisions in international agreements in the labor sector, for example, has the consequence of increasing the cost of goods and services produced in Indonesia.37 For Developed States this is good because the costs of the goods produced in their States remain competitive. Other benefits include the guarantee that work opportunities will continue to remain guaranteed in Developed States.

The same issue applies in international agreements in the environmental area which have been critically questioned as to whether they are really drafted to protect and preserve the environment or whether these agreements are draft-ed in order that products made from wood cannot be more easily made available than the steel, plastic, or other goods produced by the industries of Developed

37 Indonesia has already ratified International Labor Organization Conventions. The Conventions already ratified include among others; ILO Convention No. 105 concerning the Abolition of Forced Labor, ILO Convention No. 138 concerning the Minimum Age for Admission to Employment, and ILO Convention No.111 concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation.

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH346

States?The Convention on the Elimination of Racial Discrimination, for example,

did not result in any amendments to the legislation frameworks that are con-notatively racially discriminative, such as the requirement to possess a Letter Evidencing Indonesian Citizenship (Surat Keterangan Berkewarganegaraan Repub-lik Indonesia or SKBRI).

Second, despite the existence of an international agreement the transforma-tion of these provisions into the national domestic laws of a State can be said to only be to the level of amendments to the regulatory framework. Moreover, the legislation in the majority of developing States, like Indonesia, is rarely reflected in or as changes to one’s daily existence. The weakness of law enforcement rep-resents one of the root causes for this failure.

2. The Use of International Law by Indonesia

Indonesia has at a number of different opportunities exploited International Law as a political instrument. A number of these were successful and even more were unsuccessful.

First, Indonesia has already used International Law to introduce a new con-cept in its national interest. In this context, Indonesia successfully introduced the concept of the archipelagic state. Indonesia’s struggle commenced with the announcement of the Deklarasi Djoeanda (Djuanda Declaration) of 13 December 1957. The concept of the archipelagic state gave rise to a number of consequences that have since been accommodated in the 1982 Convention on the Law of the Sea.38 The successful utilization of International Law in this instance is aided by logical thought, consistency of the struggle for recognition in international fo-rums, and perseverant diplomacy.

Yet the struggle for Indonesia in changing a concept, which has so far been embraced by the international community, in the field of space law has ended in failure. For a long time Indonesia has advocated that the Geo-Stationery Orbit (GSO) be acknowledged as a part of Indonesia.39 This struggle is considered to

38 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), Part IV, Article 46-54. The English language text can be accessed at http:// www.hri.org/docs/LOS/ (last accessed on 5 October 2003).

39 GSO in the beginning was claimed as a part of the sovereignty of Indonesia then this hanged to become an exclusive right and finally it has been claimed as a pref-erential right that is possessed by Indonesia.

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 347

have failed because in 2002 Indonesia finally ratified the 1967 Space Treaty. This Treaty explicitly states that no State has any sovereign claim whatsoever over outer space.40 In retrospect the failure of Indonesia to advance this claim is in the lack of logic in the concept being advocated and the ability of the majority of States to logically and successfully oppose the Indonesian view.41

In 1997 Indonesia utilized International Law to resolve a territorial dispute with Malaysia over the Sipadan and Ligitan Islands. The resolution of this ter-ritorial dispute if not resolved in the manner that it was conceivably could have been resolved through the use of force. By bringing this dispute within the cor-ridor provided by International Law for the resolution of these types of matters, specifically the International Court of Justice (ICJ), Indonesia has successfully avoided a war. War is not the best option remembering that both Indonesia and Malaysia are members of ASEAN. Furthermore, it should not be forgotten that Indonesia was once involved in a “confrontation” with Malaysia in the past. Although war was successfully avoided, Indonesia still failed to convince the Judges of the ICJ that the two islands at the heart of the dispute were part of the sovereign territory of Indonesia.

Aside from the utilization of International Law as noted previously, Indone-sia has already exploited International Law as an enforcement tool against other States.

This occurred when the Government of Indonesia put pressure on the Gov-ernment of Sweden to take action against the leaders of the Gerakan Aceh Merdeka (GAM or the Free Aceh Movement) after it was found out that they held Swedish citizenship. Although the benefits of International Law are limited to discourse and carried out in Indonesia, yet it could still be used to put pressure on the Government of Sweden.42 The discourse is focused on three points. First, the discourse relating to the obligations of Sweden at International Law to not per-

40 Law No. 16 of 2002 on the Ratification of the Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies (1967).

41 States that claim GSO as a part of their territory number only a few, namely States that passed by the Khatulistiwa line. These States made what is known as the Bogota Declaration.

42 The success of applying any pressure to the Government of Sweden at the time of writing this paper is still at the preliminary research stage by the Public Prosecu-tors in Stockholm particularly with respect to whether there is sufficient evidence to bring the suspect to trial.

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH348

mit their territory to be used by their citizens to undertake actions to interfere with the sovereignty of Indonesia. Second, was discourse relating to options of suspending or severing diplomatic ties with Sweden. Third, discourse relating to the testing of the difference between the views of Indonesia and Sweden in the ICJ in so far as they relate to matters of international law.

One of the failures of Indonesia in using International Law as a tool of en-forcement occurred when Indonesia sort to undertake an examination of Ham-bali. Hambali is suspected of being the driving force behind a number of terrorist acts in Indonesia. Hambali was successfully captured by Thai forces in coopera-tion with forces from the United States. Not long after being captured Hambali was whisked away and taken to the United States.

The desire for Indonesia to prosecute Hambali was based on the need to know the perpetrators and the probabilities of future terror attacks. Yet in Indo-nesia there was already a developing discourse regarding an extradition request to the United States to extradite and punish Hambali in Indonesia. The desire to gain access to Hambali was in fact the pragmatic option held by the Indone-sian Government rather than extradition. Although the possibility of extradition existed at International Law, yet at the political level it was a case of Indonesia facing-off with the United States. This is even before any consideration has been paid to the fact that at that time the United States were already legally processing Hambali.

The failure of Indonesia to pressure the United States is because of an inabil-ity to get the United States to merely acknowledge the obligation of the United States to grant access. In this case, Indonesia should have used other Interna-tional Law arguments as bargaining chips. Several of these arguments, among others, includes the requirement for States to work cooperatively in the war against terror based on UNSC resolution and the obligation upon Indonesia to accompany Hambali for so long as Hambali remains an Indonesian citizen pur-suant to Indonesian law.43 This closely resembles the arrest and prosecution of

43 Unfortunately the Minister of Foreign Affairs stated that the problem is that be-cause the act perpetrated by Hambali is categorized as a non-traditional crime it thereby makes it difficult for the Indonesian Government to execute its obliga-tions to assist an Indonesian citizen in legal trouble in a foreign jurisdiction. See “Hassan seeks U.S. permission to question Hambali,” The Jakarta Post 27 Au-gust 2003 available at http://www.thejakartapost.com/ Archives/ArchivesDet2. asp?FileID=20030827.B02 (last accessed on 8 October 2003); Although an obliga-

International Law as a Political Instrument

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 349

William Nessen where Indonesia granted access to representatives of the United States to meet with Nessen. Nevertheless, it must be conceded that the pressure applied by Sweden and the United States, the failure of Indonesia at specific lev-els occurred as a direct result of Indonesia’s lack of other instruments to apply any pressure, aside from International Law. The other instruments that can be used include economic dependence, which can become a combined problem for States, military strength, and others.

Involucre

Consciously or unconsciously, International Law has already been exploited as a politically instrument for the purposes of satisfy particular interests. This paper outlines how International Law becomes a political instrument.

Bibliography

Antonio Cassese, International Law in a Divided World, Oxford: Oxford University Press, 1986.

Article 9 of the Japanese Constitution of 1947.Article 51 of the Peace Treaty between Allied and Associated Powers with Italy.“British FM Tables Iraq Draft Resolution,” News Max Wires, 8 March 2003, avail-

able at http://www.newsmax.com/archives/articles/2003/3/7/205053. shtml.

” For the full text of TRIPS, it is available at http://www.wto.org/english/tratop_e/ trips_e/t_agm2_e.htm (last accessed on 22 September 2003).

“France, Germany and Russia condemn war threat” Guardian Unlimited, 19 March 2003, available at http://www.guardian.co.uk/france/story/ 0.1188 2917636.00.html.

“Hassan seeks U.S. permission to question Hambali,” The Jakarta Post 27 August 2003 available at http://www.thejakartapost.com/ Archives/Archives-Det2. asp?FileID=20030827.B02.

Indonesia has already ratified International Labor Organization Conventions. The Conventions already ratified include among others; ILO Convention No. 105 concerning the Abolition of Forced Labor, ILO Convention No. 138 concerning the Minimum Age for Admission to Employment, and ILO Con-vention No.111 concerning Discrimination in Respect of Employment and

tion such as this is not dependent on whether the criminal action is traditional or not as this is an obligation of the State towards its citizens.

Hikmahanto Juwana

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH350

Occupation.Law No. 6 of 1994Law No. 29 of 1999.Law No. 16 of 2002.Presidential Decree No. 2 of 1977Presidential Decree No. 43 of 1978Presidential Decree No. 26 of 1986Presidential Decree No. 48 of 1991Presidential Decree No. 23 of 1992Presidential Decree No. 61 of 1993Presidential Decree No. 4 of 1995Presidential Decree No. 135 of 1998The attack commenced on 20 March 2003.The establishment of the Human Rights Court based on Law No. 26 of 2000 on

the Human Rights Court.The ILO Convention that have already been ratified comprise of ILO Conven-

tion No. 105 concerning The Abolition of Forced Labor as Law No. 19 of 1999; ILO Convention No. 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment as Law No. 20 of 1999; ILO Convention No.111 concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation as Law No. 21 of 1999; and ILO Convention No. 182 concerning the Prohibition and Immedi-ate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labor as Law No. 1 of 2000.

Treaty of Peace with Japan, available at http:// www.taiwandocuments.org/ sanfrancisco01.htm.

Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (1968), http://www.iaea. or.at/nworldatom/Documents/Legal/npttext.shtml.

UN Charter, Articles 53 and 107.United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), Part IV, Article

46-54. The English language text can be accessed at http:// www.hri.org/docs/LOS/ (last accessed on 5 October 2003).

UNSC Resolution No. 661 (1990) dated 6 August 1990, 678 (1990) dated 29 No-vember 1990, 686 (1991) dated 2 March 1991, 687 (1991) dated 3 April 1991, 688 (1991) dated 5 April 1991, 707 (1991) dated 15 August 1991, 715 (1991) dated 11 October 1991, 986 (1995) dated 14 April 1995, 1284 (1999) dated 17 December 1999, and 1382 (2001) dated 29 November 2001.

Spirit Hukum Islam dalam Reformasi Tata Kepemerintahan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 351

SPIRIT HUKUM ISLAM DALAM REFORMASI TATA KEPEMERINTAHAN

DI ERA GLOBALISASI

Ichsan Kabulah Dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Andalas

Alamat: Kampus Limau Manis Unand Padang 25163

Abstract: With the post-reform euphoria Indonesian politics keenly indeed been used as a momentum to strengthen its global influence has unwittingly demon-strated tremendous influence in people's lives, especially in efforts to reform gov-ernance. In this case, the challenges faced by Muslims themselves to participate participating in a bureaucratic reform is certainly not easy. Very susceptible to bring Islam into the formal legal approach nationally because it will bring a lot of rejection. Itself more apparent rejection caused understand that brought only belong to one group and not owned by other groups, although they may also bring understanding towards good. Therefore, we do not get stuck with the issue of bringing Islamic law to erect that legally as soon as possible. Terelebih should first is how Islamic values is reflected as the spirit of the law in governance. Of course this Islamization spirit to be encouraged by technical measures of governance re-form by improving the recruitment process, institutional restructuring, optimiza-tion of bureaucratic work, maintaining the remuneration system, strengthening oversight and enforcement action against violations of the law that are clearly detrimental to society at large.

Keywords: Islamic law, government, globalization.

Abstrak: Dengan euforianya perpolitikan Indonesia pasca reformasi sesungguh-nya secara jeli telah dijadikan momentum untuk semakin memperkuat pengaruh global yang tanpa disadari telah menunjukkan pengaruhnya yang luar biasa da-lam kehidupan masyarakat, khususnya dalam upaya reformasi tata pemerintahan. Dalam hal ini, tantangan yang dihadapi Islam sendiri untuk turut berpartipasi

Ichsan Kabulah

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH352

dalam reformasi birokrasi tentulah tidak mudah. Sangat rentan membawa Islam kedalam pendekatan legal formal secara nasional karena akan memunculkan peno-lakan yang banyak. Penolakan itu sendiri lebih nyata disebabkan paham yang diba-wa hanya dimiliki oleh satu golongan dan tidak dimiliki golongan lain, meskipun paham tersebut mungkin juga membawa kearah yang baik. Oleh karena itu, kita jangan terjebak dengan isu membawa hukum Islam itu untuk tegak secara legal formal sesegera mungkin. Sebaiknya terelebih dahulu adalah bagaimana nilai-nilai Islam itu tercermin sebagai spirit hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tentu saja spirit ke-Islaman ini perlu didorong dengan langkah-langkah teknis re-formasi ketatapemerintahan melalui perbaikan proses rekruitmen, restrukturisasi kelembagaan, optimalisasi kerja birokrasi, mempertahankan sistem remunerasi, penguatan fungsi pengawasan dan penindakan tegas terhadap pelanggaran hu-kum yang nyata-nyata merugikan masyarakat luas.

Kata Kunci: hukum Islam, pemerintahan, globalisasi.

Pendahuluan

Mei 1998 menjadi titik tolak Indonesia melakukan reformasi. Reformasi berjalan dengan cepat dengan ditandai percepatan pemilu sehingga memunculkan se-cercah harapan. Hari ini setelah dua belas tahun lebih reformasi berjalan, apakah masyarakat Indonesia telah merasakan manfaatnya secara nyata. Faktanya re-formasi hanya bertumpu pada aspek politik saja. Partai politik tumbuh secara pesat, penyelenggaraan pemilihan umum dilakukan secara langsung namun hal itu semua belum mampu merealisasikan tujuan bernegara itu sendiri. Reformasi justru dipertanyakan keberadaannya mengingat Indonesia masih mengalami krisis multidimensi yang belum tahu kapan berakhirnya. Mengutip Studi World Economic Forum dan Universitas Harvard tentang negara gagal, dari 59 negara, Indonesia masuk karakteristik negara gagal karena tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi merajalela serta suasanan ketidakpastian yang tinggi.1

Mengarahnya kondisi menuju negara gagal menjadi peringatan serius bagi pemerintah dan masyarakat. Tidak dipungkiri bahwasannya masalah yang di-hadapi sangatlah kompleks. Pengaruh nyaris sempurnanya kegagalan negara kita saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor domestik melainkan juga fak-tor internasional. Dengan euforianya perpolitikan Indonesia pasca reformasi se-sungguhnya secara jeli telah dijadikan momentum untuk semakin memperkuat

1 Kompas, 1 Oktober 2010.

Spirit Hukum Islam dalam Reformasi Tata Kepemerintahan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 353

pengaruh global yang tanpa kita sadari telah menunjukkan pengaruhnya yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat.

Globalisasi: Bagaimana Cara Mereka Masuk?

Globalisasi merupakan terminologi yang sering dipakai dalam latar belakang ilmu hubungan internasional. Sering kali penggunaan istilah globalisasi saling melengkapi dengan istilah lain yakni internasionalisasi, liberalisasi dan wester-nisasi. Menurut Jadgish (2004) Globalization (or globalisation) describes the process by which regional economies, societies, and cultures have become integrated through a global network of communication, transportation, and trade. Globalisasi membuat peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antar manusia di seluruh dunia dunia melalui aktivitas ekonomi, sosial masyarakat dan budaya. Melalui globalisasi maka tidak ada sekat antar negara sehingga membuat inter-aksi menjadi lebih maksimal.

Globalisasi sendiri dalam perkembangannya menimbulkan pro dan kontra. Bagi kelompok yang pro dengan globalisasi menyatakan bahwasan-nya globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia melalui proses perdagangan antar negara. Globalisasi pereko-nomian membuat suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana neg-ara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terinte-grasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Adapun kelompok kontra melihat globalisasi merupakan sebuah ide lama yang dikemas dengan produk baru. Ide lama itu sendiri adalah membuat negara-negara berkembang dijajah secara tidak langsung melalui ketergantungan dengan negara-negara maju. Pen-guasaan negara dan masyarakat dinegara berkembang tidak lagi dilakukan se-cara fisik, namun diserang melalui pendekatan ekonomi, politik dan budaya. Penguasaan non fisik ini nyata mempengaruhi mind set sebagian masyarakat. Li-hatlah fenomena-fenomena masyarakat perkotaan di Indonesia saat ini memiliki kelompok masyarakat seperti komunitas punk, yang sebelumnya tidak dikenal dalam budaya Indonesia.

Ada skenario global yang membuat ideologisasi globalisasi bisa mentrans-formasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dewasa ini. Ide besar dibela-kang globalisasi itu sendiri adalah liberalisme. Liberalisme sendiri merupakan ideologi yang dibawa dunia barat dan sampai sekarang eksistensinya terus men-guat pasca runtuhnya rezim komunis di eropa sejak tahun 1989. Uraian Ian Ad-

Ichsan Kabulah

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH354

ams (2004) bahwa liberte (kebebasan) menyiratkan hal-hal yang akan menyele-matkan dan mempertinggi kebebasan itu, seperti persamaan hak, pemerintahan konstitusional, aturan hokum dan toleransi.

Ide besar liberalisme mengalami reduplikasi menjadi neoliberalisme. Mela-lui ideologi pasar bebas, liberalisme masuk ke negara-negara berkembang mela-lui dukungan pemerintah Negara Amerika Serikat dan beberapa negara kuat di kawaasan Uni Eropa, perusahaan multi nasional dan lembaga-lembaga donor internasional. Ide-ide ini semakin dilanggengkan melalui penyebaran mind set oleh akademisi yang telah mengenyam pendidikan dibarat melalui penyebaran bahan ajar dari text book yang berasal dari barat serta tekanan-tekanan NGO baik lokal maupun internasional. Berjalannya ideologi ini disuatu negara juga didu-kung elemen pengusaha lokal, militer dan birokrat. Dampaknya sendiri lang-sung dirasakan masyarakat melalui berbagai aspek kehidupan yakni ekonomi, politik, sosial dan budaya (lihat gambar).

Globalisasi Mempercepat Liberalisme Politik Hukum

Demokrasi menjadi ide nyata yang dibawa dalam aspek politik. Pasar bebas sendiri merupakan ide ekonominya. Celakanya perkembangan ide-ide terse-but berlangsung secara massif dan bersifat global. Secara khusus kita meli-hat demokrasi, sesungguhnya yang ditonjolkan selama ini adalah saat proses pengambilan keputusannya saja padahal demokrasi memiliki konsepsi yang luas. Robert A Dahl (1982) menjelaskan proses demokrasi yang ideal akan me-menuhi lima kriteria yakni persamaan hak pilih, partisipasi efektif, pembeberan kebenaran, kontrol terakhir terhadap agenda dan pencakupan. Bahkan Plato sendiri mengungkapkan demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan yang buruk. G.H Sabine (1963) mengutip dari Plato dalam Republuc menjelaskan demokrasi itu adalah yang terjelek diantara negara-negara yang berdasarkan hukum.

Saat ini kita terwacanakan dengan sendirinya dan terbawa arus padahal hakikat demokrasi itu sendiri adalah menyuarakan aspirasi masyarakat (kolek-tif). Pergeseran makna ini berdampak demokrasi kita yang kebablasan. Jika saat ini terdapat 485 kabupaten/kota dan 33 Provinsi maka sesungguhnya penye-lenggaraan Pemilukada di Indonesia berlangsung 3,5 hari sekali dalam kurun waktu lima tahun.

Tentu saja pesta 3,5 hari sekali ini menghabiskan sumber daya yang luar

Spirit Hukum Islam dalam Reformasi Tata Kepemerintahan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 355

biasa. Tidak hanya pemerintah selaku penyelenggara, para calon selaku kon-testan dan masyarakat selaku partisipan dibuat riuh dengan suasana pemilu-kada. Riuhnya pesta demokrasi ini sesungguhnya menghabiskan energi seluruh pihak karena bagi kepala daerah/wakil kepala daerah mereka lebih memfokus-kan pada meraih dan mempertahankan kelangsungan kekuasaannya sehingga

TNC/ MNC UNIEROPA

USA

Konstruksi IdeGlobalisasi dan Pembangunan di Dunia /Negara Berkembang

International NGOs

IMF World Bank

WTO

PBB

PARA KAPITALIS DUNIA DAN PARA IDEOLOG KAPITALIS YANG BERADA DI NEGARA- NEGARA BERKEMBANG

SEBAGAI PINTU MASUK IDEOLOGI PASAR BEBAS

NEGARAPengusaha

Militer Birokrat Sosok Birokrasi Negara

ODA/ OECDA

FREE MARKETIDEOLOGY

NEOLIBERALSME

NGO NAS

NGOLOKAL

EKONOMI PRIVATISASI PENGGUSURAN TANAH EXLOITASI LINGKUNGAN ALAM

POLITIKDE-DEMOKRASI STRONG STATE KEBIJAKAN SENTRALISTIK MINIM PELAYANAN SOS

SOSIAL KEMISKINAN PENINDASAN HAK PENGANG GURAN MASLAH SOS

BUDAYA PENGHANCURAN: BUD LOKAL LOCAL WISDOM LOCALKNOWLEDGE & TECHNOLOGY

Ichsan Kabulah

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH356

roda birokrasi pemerintahan dan visi yang mereka usung saat janji kampanye sulit untuk direalisasikan.

Marilah kita gambarkan secara singkat bagaimana penyelenggaraan Pemi-lukada telah menguras energi seluruh pihak. Bagi para calon kepala daerah/ wakil kepala daerah mereka membutuhkan biaya milyaran rupiah untuk berba-gai pos ongkos. Mulai dari pos sosialisasi melalui pembuatan stiker, pamflet dan spanduk, lalu pos sewa perahu partai dan yang terbesar adalah pos pemenan-gan dengan memobilisasi banyak orang dan berbagai tim sukses. Pengalaman Faisal Basri yang ingin mengikuti Pilkada Provinsi DKI Jakarta yang lalu, sam-pai pada tahapan pencalonan kepada partai saja sudah menghabiskan anggaran satu milyar lebih. Meskipun terdapat variasi daerah yang berpengaruh terhadap variasinya harga, ongkos setiap calon dapat disimpulkan tidaklah murah. Aki-batnya jangan heran ketika publik menemukan kasus bagi calon yang tidak ter-pilih Pilkada ketika dililit hutang menjadi gila dan bahkan meninggal dunia.

Bagi penyelenggara Pemilukada sendiri yakni pemerintah juga berpengar-uh terhadap kinerja pelayanan kepada masyarakat. Sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum maka pembiayaan pemilukada berasal murni dari APBD sehingga menyebabkan ditahun penye-lenggaraan pemilukada anggaran sebagian besar pemerintah daerah bagi sektor publik menjadi berkurang. Riset yang dilakukan Setnas Fitra bekerjasama den-gan Maarif Institute (2010) di 14 daerah menunjukkan sebagian besar pemerin-tah daerah yang sedang menyelenggarakan Pemilukada mengurangi anggaran pada pos belanja langsung.

Spirit Hukum Islam dalam Reformasi Tata Kepemerintahan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 357

Penurunan belanja terlihat dari belanja langsung secara keseluruhan, ter-masuk pada belanja langsung disektor pendidikan dan kesehatan. Belanja lang-sung merupakan belanja program kegiatan sehingga alokasinya langsung me-nyentuh pelayanan masyarakat.

Provinsi Sumatera Barat, Kabupaten Bandung, Kota Medan, dan Kabu-paten Lombok Utara adalah daerah yang tidak mengalami penurunan belanja langsung ditahun penyelenggaraan Pemilukada. Tidak terpengaruhnya belanja publik pada tahun Pemilukada di Kabupaten Bandung dan Kota Medan, dikar-enakan kedua daerah ini mempergunakan dana cadangan yang dipersiapkan untuk pemilukada dua sampai tiga tahun sebelumnya. Sementara Kabupaten Lombok Utara merupakan daerah pemekaran, yang APBD pada tahun sebelum-nya masih pada daerah induk dan pembiayaan pemilukada dibebankan pada daerah induk. Sedangkan tidak terpengaruhnya Provinsi Sumatera Barat dikar-enakan penyelenggaraan Pemilukada Gubernur dilakukan serentak dengan Pemilukada Bupati/ Walikota di 14 kabupaten/ kota.

Dengan besarnya biaya politik yang dikeluarkan calon menyebabkan mesin birokrasi menjadi salah satu sasaran sumber kepentingan. Sangatlah leluasa bagi calon yang terpilih menjadi kepala daerah/ wakil kepala daerah karena dengan jabatan politik yang diembannya bisa membawahi birokrasi mulai dari sekretaris daerah sampai pada staf ditingkat kelurahan. Birokrasi bisa menjkadi sumber kepentingan bagi incumbent yang ingin maju pada putaran kedua dan sumber kepentingan bagi calon terpilih untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan ketika Pemilukada berlangsung. Untuk itulah dampak liberalisme politik hukum yang telah mengglobal ini perlu dilawan dengan tindakan refor-masi tata pemerintahan (birokrasi). Pertanyaan yang muncul kenapa reformasi tata pemerintahan menjadi pilihan. Kutipan dari Dunleavy dan O’Leary (1987):

“...professional communities act as a key forum for developing and testing knowledge, setting standarts and policing the behaviour of individual policy- makers and policy-implementers. Knowledge elites are crucial sources of inno-vations in public policy making”.

Kutipan tersebut menunjukkan birokrat sebagai salah satu bagian komuni-tas professional sesungguhnya mampu menjadi kunci dari inovasi pelaksanaan kebijakan publik. Peran strategis inilah yang dapat dilakukan birokrasi jika be-rada dalam kondisi yang sehat dan kuat.

Ichsan Kabulah

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH358

Reformasi Tata Pemerintahan

Tujuan bernegara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia menjadi acuan bagi seluruh masyarakat dan amanat yang mesti dijalankan pemerintah. Keberadaan pemerintah seba-gai alat pelayan publik setidaknya harus mampu menyelengarakan pelayanan secara maksimal kepada masyarakat. Untuk itulah reformasi tata pemerintahan perlu didorong dalam rangka memperbaiki arah reformasi dan menjaga eksis-tensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah dalam arti sempit sering diartikan sebagai eksekutif. Adapun didalam eksekutif sendiri terdapat dua bagian yang saling berkaitan yakni pe-jabat politik yang menjadi kepala daerah/ wakil kepala daerah dan birokrat sendiri. Suasana intervensi politis yang terlalu kental selama ini kepada birokrat membuat mesin birokrasi menjadi tidak berjalan dengan baik.

Sejarah di Indonesia sendiri mencatat peran birokrasi memang cenderung ditempatkan sebagai agen atau alat kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan. Birokrasi dibentuk dan dikelola penguasa untuk mencapai dan mempertahank-an kelangsungan kekuasaan. Konsepsi abdi dalem, pegawai pemerintah kolonial Belanda dan ABG (ABRI, Golkar, Birokrasi) adalah hal jamak yang ditemukan pada fase-fase konstilasi politik di Indonesia. Pelembagaan birokrasi sebagai alat kekuasaan tampaknya terus dikembangkan hingga saat ini dengan modifikasi penggunaan nilai, bahasa dan prilaku penguasa.

Untuk itu proses rekonstruksi budaya yang mencakup pengembangan sistem nilai, bahasa, mindset dan perilaku birokrasi yang selama ini telah salah perlu diluruskan kembali sesuai dengan perannya yaitu agen pelayan masyarakat. Mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi birokrasi saat ini maka upaya membangun dan merevitalisasi birokrasi harus dilakukan secara menyeluruh. Pengembangan reformasi harus menyentuh berbagai dimensi masalah sehingga perubahan dalam satu aspek birokrasi tidak terkooptasi oleh buruknya aspek birokrasi lainnya. Atas dasar itulah reformasi birokrasi seharusnya menjadi tun-tutan nyata yang harus dijalankan sesegera mungkin.

Reformasi tata kepemerintahan (birokrasi) menjadi salah satu isu penting Presiden SBY pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Mulai dari penamaan no-menklatur Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Biroko-rasi sesungguhnya sudah membuktikan upaya serius yang hendak dilakukan

Spirit Hukum Islam dalam Reformasi Tata Kepemerintahan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 359

pemerintah. Meskipun demikian definsi reformasi ketata pemerintahan secara konkrit hanya terbatas dalam konteks perbaikan remunerasi birokrat semata. Kebijakan remunerasi pada beberapa lembaga tinggi negara dan kementerian ternyata juga mendapat tantangan dengan masih terjadinya praktik penyimpan-gan oleh oknum birokrat. Hipotesis yang menyatakan birokrasi menjadi korup karena minimnya penghasilan didapat birokrat terpatahkan dengan serangka-ian pelanggaran seperti dialami dalam kasus mafia pajak yang melibatkan Gay-us Tambunan.

Ketidakpastian birokrasi dalam penyelenggaraan tugasnya untuk me-layani publik menyebabkan persepsi sebagian besar masyarakat terhadap citra birokrasi adalah negatif. Caiden pernah mengungkapkan ironi yang terjadi di banyak negara maju maupun negara berkembang dalam upaya reformasi ketata pemerintahan. Ketidak seriusan upaya reformasi tata pemerintahan dibanyak negara diungkapkan Caiden (1991):

“... by the time it was realized that defective administrative system were serious obstacle to progress, that what was wrong with them was fundamental, and higher priority should be to putting them right, the prevailing gales were fast blowing into hurricanes”.

Pemerintah seakan baru menyadari perlunya reformasi administasi keti-ka keadaan sudah membuat birokrasi bobrok. Adapun reformasi yang diden-gungkan selama ini baru menyentuh kulit luar saja dan tidak pernah mencapai inti permasalahan, karena seringkali hanya sebatas formalitas semata. Survei Agus Dwiyanto (2006) terhadap biaya pelayanan, menunjukkan sebagian besar masyarakat masih mengatakan biaya pelayanan diberbagai sektor publik masih mahal.

Rendahnya upaya reformasi birokrasi juga membuat minimnya pemenu-han sektor-sektor publik. Kondisi infrastruktur yang belum memadai dan mahal merupakan salah satu hambatan didalam peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama didaerah-daerah. Sampai sekarang masih banyak daerah di Indonesia yang belum terjangkau saluran telepon dan bahkan sambungan listrik berlang-ganan. Berdasarkan Laporan Bank Dunia (2007) maka Indonesia dikategorikan sebagai negara yang sudah tertinggal dari China menurut persepsi kalangan bisnis menyangkut kualitas pelayanan infrastruktur (peringkat: 1 terburuk, 7 terbaik).

Kebutuhan infrastuktur dasar seperti jaringan listrik dan telepon seharus-nya mampu didorong pemerintah secara kuat. Apalagi pemerintah menarget-

Ichsan Kabulah

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH360

kan pertumbuhan ekonomi 7 %. Akan tetapi pada kenyataannya pemerintah belum mampu mewujudkan pelayanan tersebut. Dalam fasilitas pelabuhan saja, 88% aktivitas berada di Pulau Jawa dengan fokus di Pelabuhan Internasional Tanjung Priok. Untuk penyediaan layanan jaringan listrik, Perpres Nomor 77 Tahun 2007 tentang Dafttar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal memungkinkan swasta masuk dan menjual listrik ke masyarakat. Kasus tuntutan warga empat desa di Kabupaten Bungo baru-baru ini terhadap tingginya biaya listrik yang dikeluarkan kepada perusahaan listrik swasta setempat seharusnya menjadi salah satu bukti pemerintah belum serius membenahi jaringan listrik, Kebijakan PLTMH dibeberapa desa oleh Gubernur Provinsi Jambi dibeberapa kabupaten patut diapresiasi sehingga menjadi terobosan nyata peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.

Spirit Hukum Islam dalam Reformasi Tata Kepemerintahan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 361

Perbaikan pelayanan publik sesungguhnya tidak semata-mata untuk men-ingkatkan kesejahteraan masyarakat. Jauh dari itu, dia akan berdampak terhadap peningkatan daya saing nasional di pasar internasional sehingga diharapkan investasi luar negeri akan meningkat sehingga mampu meningkatkan aktivitas perekonomian nasional melalui berbagai hal seperti diprioritaskannya komodi-tas lokal sebagai bahan baku produksi, penyerapan tenaga kerja lokal dan ren-dahnya biaya yang akan dikonsumsi masyarakat luas terhadap produk tersebut karena akses terhadap sumber produksi menjadi dekat. Indonesia patut bersyu-kur krisis global akhir tahun 2009 lalu tidak berpengaruh secara signifkan terh-adap kondisi perekonomian nasional. Indonesia bersama China dan India masih mengalami pertumbuhan yang positif ketika sebagian besar negara di kawasan Amerika dan Eropa menghadapi masa yang sulit. Meskipun ketahanan ekono-mi kita kuat namun ancaman nyata sudah terlihat. Investasi luar negeri sebagai komponen ekstra pembiayaan negara bisa sewaktu-waktu hilang mengingat ru-mitnya birokrasi yang mesti dilalui dalam penyelesaian perijinan investasi.

Perbandingan Biaya, Jumlah Instansi dan Waktu

Penyelesaian Perijinan InvestasiNegara Biaya Instansi Waktu

Australia US$ 600 2 2 hari Thailand US$ 160 8 33 hari Malaysia US$ 966 9 30 hari

Cina US$ 158 12 41 hari Indonesia US$1.163 12 151 hari

Dari tabel di lima negara menunjukkan Indonesia merupakan negara yang termahal, terpanjang dan terlama dalam penyelesaia perijinan investasi. Pe-masalahan (dalam ilmu administrasi negara lebih akrab diistilahkan patologi) birokrasi menjadi budaya yang mengakar dan sulit dirubah. Para birokrat ter-lanjur memasuki zona nyaman karena penghasilan ekstra yang didapat.

Ketika reformasi tata pemerintahan menjadi terhambat, apa hal yang dapat dilakukan? Islam sesungguhnya dapat menjadi tawaran nyata. Natsir (2004) me-nyampaikan manusia membutuhkan suatu pegangan hidup yang azasnya tidak berubah. Dengan demikian citra negatif yang cenderung melekat pada birokrasi dapat dihilangi jika Islam tercermin dalam nilai dan norma perilaku birokrat sendiri. Salah satu aspek yang Islam tekankan dan selaras dengan falsafah Pan-

Ichsan Kabulah

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH362

casila adalah mengedepankan prinsip musyawarah. Berbeda dengan demokrasi modern yang sering kali mengedepankan pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak, prinsip musyawarah didapat melalui dialektika pemikiran yang beragam.

Karena itu maafkanlah mereka dan mohon ampunlah untuk mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal (Ali Imran: 159). Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka meng-infakkan sebagian dari rezeki yang kami berikan pada mereka (Asy-Syura:38). Dua ayat Al Qu’ran diatas menjelaskan prinsip musyawarah seharusnya dis-elenggarakan dalam urusan peperangan dan hal-hal duniawi lainnya seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lainnya. Pada konteks penyeleng-garaan pemerintahan yang dalam hal ini dilakukan birokrasi seharusnya prin-sip musyawarah dapat menjadi panduan mutlak. Hamka (2002) menjelaskan ditetapkan dasar pemerintahan ialah atas syura (mesyuarat), pemerintahan yang sewenang-wenang dan menurut kehendak yang berkuasa saja, akan menjauh-kan hati rakyat. Dengan musyawarah maka sesungguhnya prinsip transparansi, konsensus dan akuntabilitas telah dilaksanakan dengan sendirinya oleh birokra-si. Kecurigaan yang diarahkan kepada birokrasi sendiri akan berkurang karena semua pihak bisa dengan leluasa memantau birokrasi.

Penutup

Reformasi tata pemerintahan dengan cerminan keislaman bisa pula dilakukan melalui pendekatan politik. Politik modern menempatkan sistem perwakilan merupakan satu-satunya jalur konstitusional yang diakui untuk mendapatkan jabatan politik. Bersama jabatan itu disertai pula dengan kewenangan yang akan didapatnya. Misalkan legislatif maka kewenangannya terkait dengan pelaksa-naan fungsi legislasi, pembiayaan dan kontrol. Bagi partai-partai Islam yang memiliki kursi di DPR sesungguhnya bisa mendorong reformasi birokrasi me-laui kewenangan dan tekanan politik kepada elite di eksekutif. Meskipun akan sangat sulit melepas dari kepentingan politik karena aktivitasnya partai yang merupakan salah satu aktor, partai politik bisa mengawal reformasi birokrasi selama masih dipercayai masyarakat.

Spirit Hukum Islam dalam Reformasi Tata Kepemerintahan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 363

Tantangan yang akan didapat Islam sendiri untuk turut berpartipasi da-lam reformasi birokrasi tentulah tidak mudah. Sangat rentan membawa Islam kedalam pendekatan legal formal secara nasional karena akan memunculkan penolakan yang banyak. Penolakan itu didasarkan bukan pada isi dan paham hidup Islam. Penolakan itu bukan pula karena masalah berakar tidaknya pa-ham hidup itu didalam jiwa masyarakat yang saat ini menjadi agama mayoritas masyarakat di Indonesia. Penolakan itu sendiri lebih kentara disebabkan paham yang dibawa hanya dimiliki oleh satu golongan dan tidak dimiliki golongan lain meskipun paham tersebut membawa arah yang baik bagi siapapun juga. Upaya melalui pendekatan ini seringkali dinilai sebagai upaya ingin menegakkan Neg-ara Islam, padahal belum tentu demikian. Setidaknya ada tiga alasan di Indone-sia mengapa pendekatan legal formal akan memunculkan resistensi.

Pertama, karena dulum politik sebagian besar masyarakat di Indonesia bera-da dipartai-partai tengah dengan ideologi pancasila (nasionalisme). Masyarakat Indonesia pernah memiliki pengalaman trauma historis ketika ideologi negara berpihak kepada ideologi partai yang berhaluan komunisme. Ratusan ribu jiwa yang menjadi korban dijadikan pelajaran berharga. Landasan historis itulah yang menjadi referensi kedepan masyarakat untuk memilih posisi partai digaris tengah sebagai sebuah pilihan yang aman.

Alasan kedua karena didalam Islam sendiri ada yang takut agama dijadikan tameng untuk meraih kekuasaan. Padahal pada hakikatnya kekuasaan bukanlah tujuan melainkan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan. Alasan ketiga, trend menurunnya perolehan suara partai-partai dengan ideologi agama. Partai dengan ideologi agama Kristen seperti PDS saat ini tidak ada yg lolos Parliamentary Treeshold. Adapun sebagian partai-partai Islam yang sempat jaya ditahun 2004 mengalami penurunan di Pemilu 2009 seperti PPP dan PKB meskipun mereka memiliki basis massa tradisional yang loyal. Faktor ketoko-ham pada partai Islam lainnya seperti PBR dengan KH.Zainuddin MZ dan PBB melalui Yusril Ihza Mahendra justru tidak lolos Parliamentary Treeshold. PKS pun meskipun secara jumlah kursi di DPR meningkat namun secara persentase per-olehan suara ditahun 2004 dan 2009 sudah menunjukkan pada posisi stabil dan akan sulit menembus 10%. Justru fenomena masuknya dua partai baru Hanura dan Gerindra kedalam legislatif ditahun 2009 menunjukkan partai yang menem-patkan diri diposisi tengah menjanjikan di masa depan.

Partai-partai Islam tentunya menyadari sulitnya untuk meningkatkan per-olehan suara dengan mesin politik yang dimiliki sehingga beberapa partai mulai

Ichsan Kabulah

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH364

merubah kemasan dengan membawa ketengah ideologi partai tanpa menghil-angkan corak Islam. Meskipun ini bisa diasumsikan sebagai langkah pragmatis tetapi disisi yang lain bisa menjadi responsifnya partai Islam membenahi dan menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat.

Kita jangan terjebak dengan isu membawa hukum Islam itu tegak secara legal formal sesegera mungkin. Sebaiknya terelebih dahulu adalah bagaimana nilai-nilai Islam itu tercermin sebagai spirit hukum dalam penyelenggaraan roda pemerintahan. Saat ini pelaksanaan desentralisasi yang semakin kuat memberi-kan ruang bagi daerah melakukan inovasi sehingga bisa menjadi ruang untuk memasukan nilai-nilai Islam. Beberapa daerah telah melakukan pendekatan hu-kum islam melalui perda. Di Kota Padang sendiri terdapat Perda Anti Penyakit Masyarakat (Pekat) sebagai satu-satunya perda yang lahir dari inisiatif legislatif periode 2004-2009. Ada juga pemerintah daerah dengan status otonomi khusus seperti Provinsi Nangroe Aceh Darussalam mengenalkan hukum Islam seperti qanun. Pendekatan tersebut sesungguhnya sah meskipun menimbulkan pro dan kontra. Tentu saja perlu dikaji lebih mendalam bagaimana efektifitas aturan-aturan yang mencerminkan hukum Islam dibeberapa daerah tersebut apakah berhasil meningkatkan ketentraman dan etika masyarakat atau keberadaan aturan tersebut hanya menjadi komoditas yang akan memiliki nilai jual bagi peningkatan popularitas kepala daerah yang ingin maju diperiode berikutnya.

Maksimalisasi pemanfaatan ruang melalui desentralisasi daerah juga bisa dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai pendidikan agama sejak dini keda-lam kurikulum pendidikan. Program pendidikan subuh dihari minggu bagi siswa ataupun ketentuan tambahan berupa bisa membaca ayat Al-Quran bagi lulusan sekolah dasar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan pertama meru-pakan langkah positif untuk membentuk kepribadian yang baik.

Tentu saja spirit keIslaman ini perlu didorong dengan langkah-langkah teknis reformasi ketatapemerintahan melalui perbaikan proses rekruitmen, re-strukturisasi kelembagaan, optimalisasi kerja birokrasi, mempertahankan sistem remunerasi, penguatan fungsi pengawasan dan penindakan tegas terhadap pe-langgaran hukum yang nyata-nyata merugikan masyarakat luas. Dengan de-mikian reformasi birokrasi diharapkan mampu mengembalikan khittah birokrasi sendiri sebagai alat pelayanan publik.

Spirit Hukum Islam dalam Reformasi Tata Kepemerintahan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 365

Bibliografi

Agus Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.

Gerald E. Caiden, Adminsitrative Reform Comes of Age, New York: Walter de Gruyer, 1991.

G.H. Sabine, Teori-Teori Politik (1): Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Ja-karta: Binacipta, 1963.

Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapore: Pustaka Nasional PTE LTD, 2004.Hill Michael, The Public Policy Process Fourth Edition, UK: Pearson Education Lim-

ited, 2005.Ian Adams, Ideologi Politik Muktakhir, Yogyakarta: Qalam, 2004.Jagdish Bhagwati, In Defense of Globalization, Oxford, New York: Oxford Univer-

sity Press, 2004.Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, Bandung: Sega Arsy, 2004.Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta:

Rajawali Pers, 1985.Setnas Fitra & Maarif Institute, Laporan Penelitian: Kebijakan Anggaran Pemilukada,

Jakarta: Tidak dipublikasi, 2010.World Bank, Report: Making The New Indonesia for The Poor, Washington: The

World Bank, 2007.

Peraturan-peraturan

Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertu-tup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Pena-naman Modal.

Media

“Korupsi Bisa Membuat Negara Gagal”, Kompas, 1 Oktober 2010

Muhammad Maksum

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH366

POLITIK HUKUM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

Muhammad MaksumDosen Ilmu Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaJl. Ir. Juanda 95 Ciputat Jakarta 15412

Abstract: Islam gives the roles to develop Indonesia since its establisment until now. Its roles include gain and fill independence. The relation between Islam and state occur good and bad. In the some time, state accomodate Islam and other time it marginalize Islam. Its relation appear clearly at the politic, economic, law, religion, and social. The islamic economic sector especially the islamic financial institution become sign most relevan about the harmonisation between Islam and state. The two Islam and state support together to develop the economic based religion values.

Keywords: Islamic economic, China ethnic, political economy.

Abstrak: Umat Islam berperan dalam pembangunan bangsa Indonesia sejak neg-ara ini berdiri hingga sekarang. Peran tersebut termasuk dalam hal memperjuang-kan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan. Hubungan Islam-negara terjadi se-cara pasang surut, ada kalanya Islam diakomodasi dan ada kalanya dipinggirkan. Bidang-bidang yang menonjol sebagai pertanda hubungan dua entitas tersebut adalah bidang politik, ekonomi, hukum, agama, dan sosial. Bidang ekonomi, teru-tama dalam wujudnya lembaga keuangan syariah menjadi bukti paling relevan hubungan harmonis antara Islam dan negara. Islam dan negara sama-sama men-dukung pembangunan ekonomi berbasis nilai-nilai agama.

Kata Kunci: ekonomi Islam, etnik China, politik ekonomi.

Politik Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 367

Pendahuluan

Pertumbuhan ekonomi syariah menunjukkan kenaikan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan maraknya pendirian lembaga keuangan syariah dan lembaga bisnis syariah. Keberadaan ekonomi syariah telah direkognisi melalui berbagai peraturan perundang-undangan, baik di tingkat Undang-Undang maupun per-aturan teknis, seperti Peraturan Bank Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan, dan Peraturan Otorias Jasa Keuangan. Proses rekognisi ekonomi syariah ini ten-tu berbeda dengan proses rekognisi hukum Islam lainnya, seperti perkawinan dan pangan halal.

Pertumbuhan ekonomi syariah ditandai terutama dengan banyak berdi-rinya bank syariah. Sejak pertama kali berdiri tahun 1991 dengan lahirnya Bank Muamalat, bank syariah terus tumbuh dari tahun ke tahun. Data menunjuk-kan hingga Desember 2014 sudah berdiri 194 bank syariah, yang terdiri dari 11 (sebelas) Bank Umum Syariah dan 23 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 160 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Dilihat dari konteks sejarah, selama tahun 1991 – 2000 hanya ada satu bank syariah, yaitu Bank Muamalat.1 Kemudian pada Desember 2003, bank syariah berkembang menjadi 10 buah, yang terdiri dari 2 bank umum syariah dan 8 unit usaha syariah (bank konvensional yang membu-ka unit-unit syariah). Pada bulan yang sama tahun berikutnya telah ada 3 bank umum syariah dan 15 unit usaha syariah. Pada bulan Desember setahun selan-jutnya sudah meningkat menjadi 3 bank umum syariah dan 19 unit usaha sya-riah. Pada Januari 2006 ada 22 bank syariah, yang terdiri dari tiga bank umum syariah dan 19 Unit Usaha Syariah. Statistik yang dikeluarkan Bank Indonesia menunjukkan bahwa jumlah kantor bank umum syariah mencapai 1.812 kantor, unit usaha syariah mencapai 529 kantor, dan BPRS sebanyak 399 kantor. 2

Pertumbuhan ekonomi syariah tidak bisa dilepaskan dari arah kebijakan pemerintah terhadap pembangunan ekonomi bangsa. Disahkannya beberapa peraturan perundangan, seperti Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang

1 Dari sisi kelembagaan ekonomi Islam dimulai sejak tahun 1991 dengan didiri-kannya bank Islam pertama, Bank Muamalat. Lihat Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 22.

2 Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2003), hlm. 2-3. Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Indonesia Desember 2014, (Jakarta: OJK, 2015), hlm. 15. “Statistik Perbankan Indonesia Maret 2011”, Statistik Perbankan Indone-sia, Vol. 4, No. 2 Januari 2006, hlm. 84.

Muhammad Maksum

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH368

Surat Berharga Negara Syariah dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah, terjadi di era reformasi di mana aspirasi umat Islam menda-pat perhatian dari pemerintah.

Islam dan Politik Ekonomi Indonesia

Tidak diragukan lagi adanya peran umat Islam terhadap berdirinya negeri ini. Umat Islam juga memiliki jasa mendukung terbentuknya pemerintahan, sejak orde lama, orde baru, hingga orde reformasi. Umat Islam terlibat dalam peng-hancuran komunisme dan mendukung pendirian orde baru dengan Soeharto sebagai presidennya.3 Namun, sebagaimana catatan Hefner, umat Islam yang telah berjasa terhadap Soeharto ini dimarjinalkan dari posisi-posisi strategis dan dalam proses pembangunan.4 Dampak dari peminggiran ini membuat sebagian tokoh Islam berkarya di bidang sosial pendidikan, misalnya dengan mendiri-kan pesantren. Karena kebijakan pemerintahan orde baru yang membatasi gerak pendidikan Islam, maka tidak sedikit para kiai yang terdesak ke pedalaman un-tuk menghindari desakan pemerintah.

Umat Islam tidak saja terpojok dalam gerakannya, tetapi juga politik dan ekonominya. Islam dan politik serta ekonomi tidak bisa dipisahkan. Meminjam istilah KH. Abdul Wahab Hasbullah, Islam dan politik seperti gula dan manis-nya tidak bisa dipisahkan.5 Kesadaran akan hadirnya Islam dalam politik selalu hadir dalam politik Islam Indonesia,6 bahkan sejak lahirnya bangsa ini. Akan

3 Robert W. Hefner, "Pasar dan Keadilan bagi Muslim Indonesia", dalam Robert W. Hefner (ed.), Budaya Pasar, Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Terj. Cet. Ke-1, (Jakarta: LP3ES, 2000), hlm. 332

4 Ibid., hlm. 3265 Haji Zainal Abidin Ahmad, (Membangun) Negara Islam, Cet. Ke-1, (Yakarta: Pusta-

ka Iqra, 2001), hlm. vi. Dalam Muktamar NU ke XX di Surabaya, K.H. Abdul Wa-hab, Rois Akbar NU, menyatakan: "Bahwa kalimat "Islam" telah terkandung di dalamnya soal-soal politik dan hukum tata negara. Kalau orang dapat memisah-kan antara gula dengan manisnya, maka dapatlah ia memisahkan antara agama Islam dengan politik".

6 Beberapa kelompok umat Islam berupaya untuk menjadikan Islam sebagai lan-dasan bernegara di Indonesia. Meskipun, seperti dikatakan Munawir Syadzali, Islam tidak memiliki preferensi sistem politik yang mapan. Hal ini terlihat sesaat setelah wafatnya Rasulullah, sahabat Nabi terbelah dalam menentukan sistem peralihan kekuasaan dan pengganti Rasulullah. Lihat Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Pres, 1990), hlm. 4-7.

Politik Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 369

tetapi, kebijakan orde baru dalam bidang politik telah memberangus aspirasi umat Islam dengan melakukan fusi partai Islam. Kebijakan ini melukai umat Islam, terutama terhadap partai politik berbasis agama.7

Dalam bidang ekonomi umat Islam juga terpojokkan. Etnis China justru mendapatkan peluang dan dukungan bisnis dari pemerintah. Tatkala pemer-intahan orde baru membatasi ruang gerak etnis China di ruang private dengan tidak bisa menjadi pegawai di pemerintahan dan menjadi anggota militer, etnis ini memilih profesi bisnis. Kemudian pada tahun 1970-an gelombang pemban-gunan digalakkan. Pemerintah memberi perhatian besar pada pengembangan sektor industri dan perdagangan yang mana dihuni oleh etnis China. Dampak-nya kebijakan ekonomi itu dinikmati oleh mayoritas etnis China dan sedikit kalangan pribumi yang dekat dengan kekuasaan.8 Kebijakan industrialisasi itu membawa pada konglomerasi di tingkat etnik tertentu. Dalam catatan Hill, proses konglomerasi itu berlangsung dalam tiga bentuk. Pertama, nonpribumi mendominasi perekonomian. Ada tujuh perusahaan besar di Indonesia dikua-sai oleh etnis China, baik pribadi maupun keluarga. Hanya empat perusahaan pribumi dari 25 perusahaan konglomerat, dua di antaranya dimiliki oleh kelu-arga Soeharto. Kedua, sejak akhir 1992 kelompok Salim (Liem Sioe Liong) mem-punyai kelas tersendiri dan sebagi satu-satunya konglomerat yang diakui secara internasional dan regional. Ketiga, semua kelompok sebenarnya merupakan new money. Beberapa pemilik pada era orde baru menjadi pengusaha besar, terutama anak-anak pejabat tinggi.9

Kebijakan privelege ekonomi terhadap China ini diwujudkan dalam bentuk pemberian modal, keterampilan wirausaha, dan akses kepada jaringan di Asia Timur dan Tenggara.10 Memang kebijakan ini membuahkan hasil dengan tum-buhnya perekonomian Indonesia. Hanya saja, pertumbuhan ekonomi ini menim-bulkan kesenjangan ekonomi di antara etnik Indonesia. Pribumi yang beragam etnik dan latar belakang agama yang mayoritas Islam berada dalam ketidakber-

7 Beberapa kiai akhirnya meninggalkan panggung politik karena mereka men-ganggap situasi politik tidak kondusif lagi untuk memperjuangkan aspirasi umat. Partai politik telah terkooptasi oleh kekuasaan.

8 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris, Cet. Ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 339

9 Hal Hill, Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966: Sebuah Studi Kritis dan Kompre-hensif, (Yogyakarta: UGM dan Tiara Wacana, 1996), hlm. 159 – 160

10 Richard Robison, Indonesia:The Rise of Capital, (Sydney: Allen dan Unwen, 1986), hlm. 272

Muhammad Maksum

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH370

dayaan ekonomi. Ketidakseimbangan antara kaum muslimin dan etnis China sangat parah. Temuan banyak peneliti, sebagaimana dilansir oleh Hefner, mem-buktikan pada tahun 1980-an, diperkirakan 70 – 75% modal swasta dalam negeri dimiliki oleh orang China Indonesia. Ketimpangan ini makin mencolok dengan melihat jumlah etnis China yang menguasai ekonomi itu hanya berpopulaso 4% dari jumlah penduduk Indonesia.11 Ketimpangan ini tiada lain merupakan upaya marjinalisasi ekonomi umat untuk menyingkirkan organisasi-organisasi Islam dalam dua dasawarsa pertama orde baru.12

Kondisi ini memicu protes dari kalangan umat Islam. Berbagai respon di-ungkapkan oleh Islam. Sebagian pemimpin Islam terlibat dalam gerakan anti-China, yang lainnya berusaha menarik para pengusaha China dalam usaha-usa-ha patungan, adapula yang menyerukan penerapan syariah Islam dalam segala kegiatan perekonomian, dan ada yang berpendapat bahwa Islam tidak memberi pandangan yang memadai tentang ilmu ekonomi, karenanya umat Islam harus mempelajari ilmu ekonomi modern.13 Menurut Hefner, sikap umat Islam dalam menyikapi penguasaan ekonomi oleh China itu terbelah dalam tiga kelompok. Kelompok pertama beraliran nasionalis kenegaraan yang diidentikkan dengan Habibie. Aliran ini berpendapat bahwa faktor negara sangat penting dalam men-dukung kemajuan ekonomi umat Islam dan liberalisasi ekonomi ditolak karena dapat memperuncing kesenjangan ekonomi Islam-China. Pendekatan yang di-lakukan aliran ini melalui affirmativ action melalui industri-industri berteknologi tinggi yang dirancang Habibie untuk mendukung pembangunan perusahaan milik Islam. Kelompok kedua mewakili pihak yang menghendaki kebijakan ekonomi yang islami. Kelompok ini setuju perlunya membangun kelas bisnis Islam, tetapi mereka tidak setuju dengan cara bergantung pada negara. Mereka menghendaki penerapan syariah lebih luas dalam kegiatan ekonomi, terutama perbankan. Mereka menawarkan apa yang disebut sebagai tata ekonomi islami yang dapat memberikan suatu alternatif kepada beberapa ekses yang ditim-bulkan oleh kapitalisme gaya barat. Sistem ekonomi ini sebagai alternatif dari situasi yang tidak memungkinkan bagi umat Islam bangkit dari ketertinggalan dari etnis China. Kelompok kedua ini didukung oleh kalangan menengah ICMI. Kelompok ketiga menghendaki agar umat Islam membangun kerjasama den-gan etnis China. Kelompok ini berpendapat tidak ada alternatif Islam menge-

11 Ibid., hlm. 276. 12 Robert W. Hefner, Op. Cit., hlm. 326.13 Ibid., hlm. 325-326.

Politik Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 371

nai sistem ekonomi, kecuali mengenai kejujuran dan keadilan sosial. Karena itu, lebih baik membangun kerjasama dengan kelompok lain yang jelas-jelas telah berhasil membangun ekonominya. Kerjasama ini akan memudahkan kebang-kitan ekonomi umat ketimbang harus membangun sendiri dari awal. Umat Is-lam perlu kerjasama dengan China dalam hal usaha-usaha patungan, pelatihan manajemen, dan perbankan. Pandangan ketiga ini diungkapkan oleh Abdurrah-man Wahid.14

Respon ini dapat dimaknai pada aras paling rendah sebagai kekecewaan atau ketegangan dan pada aras yang tinggi adalah konflik.15 Ketegangan ini membuktikan wujud kegagalan dalam kebijakan pembangunan. Orde baru sama sekali tidak memperhatikan ragam etnik dan etnisitas16 yang ada di In-donesia. Kebijakan ekonomi orde baru tidak bisa menjangkau khalayak yang beragam itu, karena alasan rasionalitas material yang dianggap China memiliki etos kerja lebih tinggi sehingga akan lebih menguntungkan. Yustika mencatat, kebijakan pembangunan yang tidak berprespektif multietnik tersebut merupa-

14 Ibid., hlm. 328 – 333 15 Konflik adalah sebuah proses di mana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh se-

seorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi da-lam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya. Konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai seca-ra simultan. Kepentingan di sini meliputi nilai-nilai (values) dan kebutuhan (needs). Kepentingan adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat. Kepentingan bersifat univer-sal dapat berupa kebutuhan akan rasa aman, identitas, restu sosial (social approval), kebahagiaan, kejelasan tentang dunianya, dan beberapa harkat kemanusiaan yang bersifat fisik. Ada konflik yang hanya dibayangkan ada sebagai sebuah persepsi ternyata tidak riil. Sebaliknya, dapat terjadi bahwa ada situasi-situasi yang se-benarnya dapat dianggap sebagai ‘bernuansa konflik’ ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena anggota-anggota kelompok tidak menganggapnya seba-gai konflik. Atau dalam kalimat yang sederhana, konflik adalah sebuah proses mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan, atau harapan-harapan yang tidak terealisasi. Faktor ekonomi menjadi salah satu sebab timbulnya konflik. Li-hat Dean G. Pruit dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 17; dan Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm. 33.

16 Ahmad Erani Yustika, Op. Cit., hlm. 320.

Muhammad Maksum

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH372

kan kegagalan dari strategi pembangunan ekonomi yang digalakkan. Pemban-guan ekonomi yang tidak berpihak pada fenomena etnis hampir dapat dipasti-kan akan menjumpai persoalan yang akut atau mengalami kegagalan.17 Bahkan, Storey sebagaimana dikutip Yustika, menyimpulkan kegagalan pembangunan ekonomi18 yang terjadi secara massif di negara-negara berkembang dapat di-anggap sebagai keteledoran para ekonom yang tidak melihat hubungan antara ekonomi dengan faktor-faktor non-ekonomi (etnis).19

Kegagalan negara mengelola etnik dalam kebijakan ekonomi dapat dijelas-kan sebagai pilihan pemerintah atas berbagai pertimbangan. Pertama, perbe-daan etnik menimbulkan perbedaan kemampuan dalam mengelola ekonomi. Etnik yang tinggal di daerah pedesaan tentu memiliki kemampuan pengelolaan ekonomi lebih rendah dibanding mereka yang memiliki pengalaman praktik ekonomi terutama di perkotaan. Untuk konteks Indonesia, etnik di pedesaan kebanyakan adalah pribumi yang menjalankan mayoritas profesi pertanian. Sementara etnis China karena menjalankan bisnis, umumnya berada di daerah perkotaan. Kedua, negara/pemerintah sebagai regulator ekonomi memiliki ke-mampuan terbatas untuk mengenali kemampuan masing-masing etnis, khusus-nya nilai-nilai spesifik yang dipunyai oleh masing-masing etnis yang berimp-likasi positif terhadap pembangunan ekonomi.20 Sementara pemerintah sendiri membuat kebijakan ekonomi yang diberlakukan secara seragam untuk semua etnik. Kebijakan ini jelas mempengaruhi etnis yang ada, bagi yang memiliki kemampuan adaptasi akan berhasil, namun bagi etnis yang tidak memiliki ke-mampuang merespon kebijakan tersebut akan gagal dalam ekonomi.21

17 Ibid., hlm. 32418 Bandingkan antara kegagalan ekonomi dan keberhasilan ekonomi di dunia Asia,

dan dunia umumnya. Negara-negara yang terdiri satu mayoritas etnik tertentu lebih sukses dalam kebijakan ekonominya. Berbeda dengan negara-negara yang memiliki multietnik cenderung gagal dalam membangun ekonominya. Negara-negara di bagian Eropa membuktikan keberhasilan ekonominya, di mana etnis-nya terbatas. Begitu juga dengan negara-negara di Asia yang beretnis tunggal, seperti Korea Selatan, China, Hongkong, Taiwan, dan Singapura, menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Sementara negara-negara dengan multietnis seolah tertatih dalam pembanguan ekonominya, seperti Indonesia, Malaysia, dan India, kecuali Amerika Serikat. Ibid., hlm. 324 – 325.

19 Andy Storey, "Economics and Ethnic Conflict: Stuctural Adjustment in Rwanda", Development Policy Review, Vol. 17, hlm. 43

20 Ahmad Erani Yustika, Op. Cit., hlm. 325 – 326 21 Kebijakan pengelolaan yang bertumpu pada negara dan tidak memperhatikan

Politik Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 373

Kebangkitan Ekonomi Islam

Kebangkitan ekonomi umat Islam pada taraf tertentu terwujud. Dilihat dari tiga kelompok di atas, kelompok pertama yang didukung oleh Habibie telah berha-sil di era orde baru, mengangkat kelas ekonomi Islam, yaitu dengan dukungan dari kegiatan industri-industri teknologi tinggi. Industri ini dapat memfasilitasi umat Islam mengembangkan ekonominya. Kelompok kedua membuat kajian, penelitian, dan perumusan tentang sistem ekonomi berbasis agama. Kelompok menengah di jajaran ICMI bersama dengan Majelis Ulama Indonesia, merumus-kan gagasan pendirian ekonomi Islam yang ditandai dengan pendirian bank yang bebas dari sistem bunga. Diawali dengan keluarnya fatwa haram bunga bank oleh MUI, kelompok ini mencetuskan dan membidani lahirnya perbankan yang bebas dari bunga pertama, yaitu Bank Muamalat.22 Kelompok ketiga ber-

kondisi social budaya masyarakat dapat memicu konflik. Sebagai contoh, dalam masalah irigasi pertanian di pedesaan, yang zaman dulu dikelola secara khu-sus oleh petugas pengairan (ulu-ulu), kini menjadi tanggung jawab kepal urusan pembangunan desa atau kecamatan. Akibatnya, pengelolaan irigasi tidak bersi-fat maksimal karena pejabat tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Kasus semacam ini sedang dialami masyarakat petani Beras Delanggu di Klaten yang akhir-akhir ini mengalami krisis air disebabkan karena pengaturan irigasi yang tidak baik, juga karena eksploitasi air oleh perusahaan air minum. Peta-ni yang biasanya panen empat kali padi setahun, kini hanya mampu maksimal dua kali panen. Observasi di Kelurahan Kepanjen dan wawancara dengan bapak Joko, kelompok tani Kepanjen, tanggal 15 Juni 2009. Bandingkan dengan temuan Douglas J. Merrey di Negara Nepal, Sri Lanka, dan Indonesia yang membuktikan pengelolaan irigasi oleh kelompok masyarakat yang spesifik dan otonom lebih baik daripada yang dikelola oleh badan atau lembaga yang bertanggung jawab kepada pemerintah. Lihat Douglas J. Merrey, “Institusional Design Principles for Accountability in Large Irrigation System”, International Irrigation Management In-stitute (IIMI), Research Report No. 8, Colombo Sri Lanka, 1996, hlm. 21.

22 Pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia menyelenggarakan lokakarya bunga bank dengan menghadirkan pejabat pemerintahan, otoritas mo-neter, ulama, cendekiawan dan lainnya. Lokakarya ini mengeluarkan keputus-an tentang status bunga bank sebagai yang haram sebagaimana haramnya riba. Lokakarya juga merekomendasikan kepada MUI agar menginisiasi pendirian bunga bank yang terbebas dari bunga. Paska lokakarya dibentuk tim penyiapan pendirian bank bebas bunga, yang hasilnya adalah berdirinya Bank Muamalat pada tanggal 1 November 1991. Pada tanggal 3 November 1993, Presiden Soehar-to mengumpulkan pejabat pemerintahan dan pengusaha di Istana Bogor untuk mendukung pendirian Bank Islam ini. Upaya Soeharto ini berhasil dengan ter-

Muhammad Maksum

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH374

jalan dengan menjalin kerjasama dengan etnis China dalam bidang ekonomi. NU misalnya mendirikan bank-bank konvensional dengan melakukan patun-gan dengan etnis China.

Usaha yang dilakukan kelompok pertama nampak berhasil terutama di era Soeharto. Banyak usahawan muslim yang mendapat keuntungan dari industri-industri teknologi tinggi, seperti PT. Dirgantara Indonesia. Akan tetapi, pamor perusahaan ini semakin lama menurun disebabkan menyedot APBN. Sementara itu, pendirian bank konvensional dengan patungan pada orang China tidak ber-tahan lama, karena pada akhirnya Bank Suma, banknya orang NU dan China, bangkrut. Yang tampak sukses adalah gagasan kelompok yang ingin menerap-kan sistem ekonomi Islam. Setelah berhasil dengan berdirinya Bank Muamalat, kini ekonomi Islam membuncah dan merambah ke berbagai sektor bisnis. Pen-erapan syariah meluas di berbagai lembaga keuangan bank dan nonbank, sep-erti asuransi syariah, pasar modal syariah, pegadaian syariah, dan sebagainya.23

kumpulkannya modal lebih dari seratus miliar. Lihat Syafi'i Antonio, Op. Cit., 25.

23 Data perkembangan bisnis syariah cukup menggembirakan. Jumlah perusahaan asuransi syariah hingga Juli 2007 berjumlah 36 perusahaan, terdiri dari; perusahaan asuransi jiwa syariah berjumlah 2 buah, perusahaan asuransi kerugian syariah ber-jumlah 1 buah, perusahaan asuransi jiwa yang memiliki kantor cabang syariah se-banyak 18 buah, perusahaan asuransi kerugian yang memiliki kantor cabang syariah sebanyak 13 buah, dan perusahaan reasuransi yang memiliki kantor cabang syariah 3. Sumber Bapepam & LK, Biro Asuransi.

Jumlah perusahaan reksadana syariah mencapai 18 buah, meliputi; PT Da-nareksa Investment Management, PT PNM (Persero), PT Batasa Capital, PT BNI Securities, PT AAA Sekuritas, PT IndoPremierSecurities, PT Bhakti Asset Man-agement, PT Mandiri Investment Management, PT Insight Investment Manage-ment, PT ReCapital Asset Management, PT Kresna Graha Securindo, Tbk (IPB Syariah). Perusahaan reksadana syariah lainnya adalah PT CIMB-GK Securities Indonesia, PT Optima Kharya Capital Management, PT Mega Capital Indonesia, PT Eurocapital Peregrine Securities, PT Fortis Investment, PT Trimegah Securi-ties Tbk, dan PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen.

Sementara perusahaan yang menerbitkan obligasi syariah dan medium term notes (MTN), hingga 21 Agustus 2007, mendapai 29 perusahaan, yaitu: PT Ind-osat Tbk (Mudharabah), Bank Bukopin Syariah, PT Berlian Laju Tanker (BLTA), Bank Muamalat Indonesia Tbk, PT Cyliandra, Bank Syariah Mandiri, PTPN VII, PT Matahari Putra Prima Tbk, PT Citra Sari Makmur, PT Sona Topas, PT Pem-bangunan Perumahan, PT Arpeni Pratama Ocean Line (APOL), PT Humpuss In-termoda Transportasi (HIT) Tbk, PT Indorent, PT Berlina Tbk, PT Eternal Buana

Politik Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 375

Pertumbuhan bisnis syariah ini menunjukkan optimisme karena dari tahun ke tahun meningkat.24

Kesuksesan perbankan syariah tidak bisa dilepaskan dari upaya kebangki-tan umat Islam (survival of muslim society). Gerakan kebangkitan ini merupakan bentuk protes melawan kemerosotan internal dan serangan internal.25 Pengua-saan ekonomi merupakan salah satu faktor eksternal kebangkitan Umat Islam, selain faktor marjinalisasi umat Islam secara umum. Krisis kepemimpinan umat Islam menjadi faktor internal kebangkitan Islam. Kebangkitan ekonomi Islam merupakan bentuk perlawanan terhadap segala sesuatu yang dianggap peneyebab frustasi dan penindasan, baik internal maupun eksternal.26

Gerakan kebangkitan ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari proses per-juangan umat Islam menegakkan syariat Islam di Indonesia. Perdebatan syariat Islam dimulai sejak negara ini akan menentukan bentuk negara.27 Pancasila yang

Chemical Industries (EBCI). Juga perusahaan PT Apexindo Pratama Duta Tbk, PT Indosat Tbk (Ijarah), PT Polytama Propindo, PT Ricky Putra Globalindo (RPG), PT Logindo Samudramakmur, PT Credit Suisse First Boston (CSFB), PT Indone-sia Comnet Plus (I Comnet +), PT PLN (Persero), PT Pembangunan Perumahan (Persero), PT Indosat, Tbk (Ijarah II), PT Adhi Karya (Persero), Tbk, PT. Berlian Laju Tanker, Tbk, PT PLN (Persero). http://mui.or.id/mui_in/product_2/ lks_lbs.php?id=69, akses 20 Nopember 2007.

24 Pertumbuhan yang cukup pesat ditunjukkan oleh bank syariah. Sampai Maret 2008 ada 145 bank syariah, yang terdiri dari 3 (tiga) Bank Umum Syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah Mega Indo-nesia; 28 Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu antara lain Bank IFI, Bank Negara Indo-nesia, Bank Jabar, Bank Rakyat Indonesia, Bank Danamon, Bank Bukopin, Bank Internasional Indonesia, HSBC, dan lain-lain; dan 114 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Bank syariah masih akan bertambah lagi, seiring dengan me-ningkatnya minat masyarakat terhadap bank syariah. Statistik yang dikeluarkan Bank Indonesia menunjukkan bahwa jumlah kantor bank umum syariah (tidak termasuk Layanan Syariah) mencapai 197 kantor dan unit usaha syariah menca-pai 180 kantor. Lihat Statistik Perbankan Indonesia, Maret 2008, yang diterbitkan Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, hlm. 1.

25 M. Imdadun Rahmat, "Jalan Alternatif Syariat Islam", Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi Nomor 12 Tahun 2002, hlm. 3

26 Ibid.27 Ada banyak tulisan dan buku yang mengulas perdebatan penerapan syariat Is-

lam di Indonesia, di antaranya "Surat-Menyurat Muhammad Roem dan Nurcho-lis Madjid" dan "Syariat Islam Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta da-lam Amandemen 1945", keduanya diterbitkan oleh Paramadina.

Muhammad Maksum

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH376

ada sekarang merupakan bentuk kompromi, yang mana dalam draf awal di pasal satunya berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Umat Islam tidak bisa melupakan sejarah Piagam Jakar-tanya.28 Meski pada zaman orde baru Piagam Jakarta ini telah dianggap selesai, ternyata di era reformasi kembali bergulir. Ini adalah bukti perdebatan tentang syariat akan mewarnai atmosfir perpolitikan di Indonesia.29

Di era orde baru, pada tahun 1990-an, pemerintah bersikap akomodatif terhadap Islam.30 Pada dekade ini, Presiden Soeharto berupaya mendekati dan mengakomodasi umat Islam dengan tujuan mendapatkan dukungan dari umat Islam pada pemilu 1993.31 Artinya, kebangkitan Islam yang ditunjukkan den-gan pembangunan ekonomi Islam mendapatkan momentumnya saat Soeharto membutuhkan umat Islam. Bisa dicatat di sini, tahun 1989 keluar rekomendasi pendirian bank Islam, kemudian tahun 1991 legalisasi pendirian Bank Muamalat dikantongi, dan tahun 1992, Soeharto mendukung penuh pendirian Bank Mua-malat. Peran negara dan motivasi umat Islam yang diwakili cendekiawan mus-lim (termasuk MUI dan ICMI) bersinergi dalam pembentukan bank Islam ini.

Kebangkitan perbankan Islam di atas menunjukkan besarnya peran ula-

28 Sidang BUPKI sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Awalnya me-reka juga sepakat dengan bunyi pasal pertama ini, meskipun pada akhirnya ka-rena ada protes dari warga di Indonesia bagian timur, bunyi pasal satu dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam sidang ini sebenarnya terjadi perde-batan sengit antara kelompok Islam dan nasionalis sekuler terkait dengan dasar negara Indonesia. Kelompok Islam diwakili oleh Abikusno Tjokrosujono (bekas PSII), KH. Ahmad Sanusi (PUI Sukabumi), KH. Abdul Halim (PUI Majalengka), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), KH. Masykur (NU), Abdoel Kahar Moezakkir (Muhammadiyah), Raden Rooslan Wongsokoesoemo (Masyumi), H. Agus Salim, Raden Sjamsuddin (PUI), Sukiman (PII), KH. Abdul Wahid Hasyim (NU), Ny. Sunarjo Mangunpuspito (Aisiyah), A.R. Baswedan (PAI), dan Abdul Rahim Pratalykrama (Kediri). Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945 – 1965, (Jakarta: Grafiti Pres, 1987), hlm. 30 – 32

29 Zuhairi Misrawi, "Dekonstruksi Syariah: Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpre-tasi, dan Depolitisai", Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi Nomor 12 Tahun 2002, hlm. 6

30 Aziz Thaba membuat periodesasi pola hubungan Islam dan negara pada era orde baru ke dalam tiga model; pertama, hubungan yang bersifat antagonistik terjadi pada tahun 1966 – 1981; kedua, hubungan yang bersifat resiprosikal-kritis tahun 1982 – 1985; dan ketiga, hubungan yang bersifat akomodatif sejak tahun 1985. Lihat Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Cet. Ke-1, (Ja-karta: Gema Insani Pres, 1996), hlm. 153 – 154

31 Robert W. Hefner, Op. Cit., hlm. 328.

Politik Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 377

ma dalam menyiapkan gagasan pendirian bank berbasis agama tersebut. Bagi Nejatullah Shiddiqie, terumuskannya sistem ekonomi Islam secara konseptual, termasuk sistem perbankan syariah, adalah buah dari kerja keras para ulama.32 Ulama bertugas mengarahkan kebijakan ekonomi kepada arah yang benar dan sesuai syariah. Ulama harus berani berpihak kepada kebenaran dan bersikap te-gas menolak kebijakan penguasa yang korup. Ulama harus punya prinsip yang jelas terhadap kebenaran, tidak ABS (asal penguasa senang).33 Nabi mengingat-kan agar ulama tidak terjerumus pada kemunafikan.34

Peran ulama ini diapresiasi negara dalam bentuk pengakuan negara terh-adap keberadaan ulama dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Pengkuan itu diwujudkan dalam penempatan ulama sebagai pihak yang diberi wewenang untuk memastikan kesyariahan kegiatan ekonomi. Kedudukan ulama ini di-tuangkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Untuk setingkat undang-undang, sedikitnya ada tiga UU yang mengadopsinya, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas35, Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN)36, dan Undang-

32 Muhammad Nejatullah Shiddiqi, Banking Without Interest, (Lahore: SH. Asraf Pu-blication, 1954), hlm. 17.

33 Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Terj., Cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2000), hlm. 158

34 Hadis Nabi mengatakan: "Dari Auf bin Malik, Rasulullah bersabda: "Aku khawa-tir tiga perkara akan menimpamu; hilangnya para ulama, berperannya penguasa yang zalim, dan keinginan untuk mencari kesenangan dunia". (HR. Tabrani)

35 Pada Pasal 109 dijelaskan secara eksplisit mengenai kemungkinan didirikannya pe-rusahaan berbasis syariah dan kedudukan ulama sebagai pengawas kesyariahan pe-rusahaan tersebut. Ayat (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pen-gawas Syariah; (2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia; (3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi ke-giatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Sesuai dengan berkembangnya kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, undang-undang ini mewajibkan Perse-roan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempu-nyai Dewan Komisaris juga mempunyai Dewan Pengawas Syariah.

36 Pasal 25 menyebutkan "Dalam rangka penerbitan SBSN, Menteri meminta fatwa atau pernyataan kesesuaian SBSN terhadap prinsipprinsip syariah dari lembaga yang me-miliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah". Kemudian penjela-sannya menjelaskan: "Yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan

Muhammad Maksum

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH378

Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah37 yang merupakan ke-tentuan organik perubahan syariah. Pasal-pasal di atas memberikan mandat yang besar terhadap ulama, karena mereka berperan untuk memastikan produk ekonomi Islam sesuai dengan syariah, memastikan pembiayaan sesuai dengan syariah, dan memastikan operasional lembaga keuangan berjalan pada ril syari-ah Islam.38 Pengakuan dalam UU ini dapat dikatakan sebagai wujud "kemenan-gan politik Islam" dan bentuk konsesi atas saham yang diberikan ulama dalam membangun ekonomi Islam di Indonesia.

Penutup

Ditilik dari teori hubungan agama dan negara, konsep ekonomi Islam Indone-sia menunjukkan adanya integrasi agama dan negara. Kesimpulan ini ditandari dengan diakuinya ulama (agama) dalam instrumen kebijakan ekonomi Islam. Majelis Ulama Indonesia sebagai organisasi kemasyarakatan adalah satu-satu-nya entitas sosial yang diakui dan disebut secara eksplisit dalam perundang-undangan. Pengakuan ini menempatkan MUI sebagai lembaga yang memiliki mandat dari undang-undang untuk mengeluarkan fatwa ekonomi syariah.

Ekonomi Islam menjadi bidang yang paling nyata hubungan harmonis antara agama dan negara. Agama mendukung berdiri dan berkembangnya ekonomi Islam. Begitu juga dengan negara mengeluarkan kebijakan yang men-dukung berkembangnya ekonomi Islam di Indonesia.

dalam menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah".

37 Pada UU ini ulama dalam hal ini MUI memiliki peran sebagai pembuat fatwa eko-nomi syariah dan berotoritas merekomendasikan dewan pengawas syariah. Pasal 26 menyebutkan (2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. Kemudian pasal 32 menyebutkan kedudukan DPS (1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Kon-vensional yang memiliki UUS; (2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimak-sud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Undang-undang ini khusus mengatur perbankan syariah, yang mengatur masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS.

38 Sudin Haron, Islamic Banking, Rules and Regulation, (Malaysia: Pelanduk Publica-tion, 1997), hlm. 103

Politik Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 379

Bibliografi

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Cet. Ke-1, Jakarta: Gema Insani Pres, 1996.

Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris, Cet. Ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikul-tur, Yogyakarta: LkiS, 2005.

Andy Storey, "Economics and Ethnic Conflict: Stuctural Adjustment in Rwanda", Development Policy Review, Vol. 17.

Dean G. Pruit dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pela-jar, 2004.

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945 – 1965, Jakarta: Grafiti Pres, 1987.

Douglas J. Merrey, “Institusional Design Principles for Accountability in Large Irrigation System”, International Irrigation Management Institute (IIMI), Rese-arch Report No. 8, Colombo Sri Lanka, 1996.

Haji Zainal Abidin Ahmad, (Membangun) Negara Islam, Cet. Ke-1, Yakarta: Pus-taka Iqra, 2001.

Hal Hill, Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966: Sebuah Studi Kritis dan Kom-prehensif, Yogyakarta: UGM dan Tiara Wacana, 1996.

Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2003.

Muhammad Nejatullah Shiddiqi, Banking Without Interest, Lahore: SH. Asraf Pu-blication, 1954.

Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema In-sani Press, 2001.

Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Pres, 1990.

M. Imdadun Rahmat, "Jalan Alternatif Syariat Islam", Jurnal Tashwirul Afkar, Edi-si Nomor 12, Tahun 2002.

Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Indonesia Desember 2014, Jakarta: OJK, 2015.

Richard Robison, Indonesia:The Rise of Capital, Sydney: Allen dan Unwen, 1986.Robert W. Hefner, "Pasar dan Keadilan bagi Muslim Indonesia", dalam Robert

W. Hefner (ed.), Budaya Pasar, Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Terj. Cet. Ke-1, Jakarta: LP3ES, 2000.

“Statistik Perbankan Indonesia Maret 2011”, Statistik Perbankan Indonesia, Vol. 4, No. 2 Januari 2006.

Sudin Haron, Islamic Banking, Rules and Regulation, Malaysia: Pelanduk Publica-

Muhammad Maksum

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH380

tion, 1997.Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Terj., Cet. Ke-1, Jakarta: Gema

Insani Pres, 2000.Zuhairi Misrawi, "Dekonstruksi Syariah: Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpre-

tasi, dan Depolitisai", Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi Nomor 12 Tahun 2002.

Website

Http://mui.or.id/mui_in/product_2/ lks_lbs.php?id=69.

Formalisasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 381

FORMALISASI HUKUM EKONOMI ISLAMDI INDONESIA (STUDI TENTANG

PEMBERLAKUAN HUKUM EKONOMI ISLAMPASCA LAHIRNYA UU NO. 3 TAHUN 2006)

Illy YantiDosen Hukum Islam Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Jl. Lintas Jambi-Ma. Bulian KM. 16 Simpang Sei DurenJambi Luar Kota, 36361, Muaro Jambi

Abstract: With the passing of Act No. 3 of 2006 which provides power for the Religious Courts to deal with those cases of sharia economics. This is a new step in the application of sharia law in the Indonesian economy. Where for this issue of sharia economics is not considered by the government. The law does not need not exist, because on the one hand to meet the legal needs of the community, especially businesses sharia, and on the other hand is in substance will be used as a legal basis for religious court judges in resolving disputes sharia economics.

Keywords: formalization, Islamic law, sharia economics.

Abstrak: Dengan disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang member-ikan kekuasaan bagi Peradilan Agama untuk menangani perkara-perkara ekonomi syariah. Hal ini merupakan langkah baru dalam penerapan hukum ekonomi sya-riah di Indonesia. Di mana selama ini masalah ekonomi syariah tidak diperhatikan oleh pemerintah. Undang-undang tersebut tidak perlu diperdebatkan keberadaan-nya, karena di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, teru-tama pelaku bisnis syariah, dan di sisi lain secara substansi akan dijadikan sebagai landasan yuridis bagi hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

Kata Kunci: formalisasi, hukum Islam, ekonomi syariah.

Illy Yanti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH382

Pendahuluan

Dalam proses sejarah terbentuknya hukum nasional Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu elemen pendukung selain hukum adat dan hukum Ba-rat. Hukum Islam telah turut serta memberikan kontribusi norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen. Meskipun perlu disadari pula bahwa mayoritas kuantitas penduduk muslim di suatu Negara tidak selalu dapat diasumsikan berarti juga “mayori-tas” dalam politik dan kesadaran melaksanakan hukum (Islam).

Kecendrungan masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan bahwa mayori-tas muslim ingin semakin menegaskan diri dalam arti kekuasaan politik serta aspirasi pembentukan dan penerapan hokum yang didasarkan dan bersumber pada norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam. Indikator yang mencerminkan kecendrungan tersebut dapat dilihat dari lahirnya peraturan perundang-undan-gan yang dalam ketentuan-ketentuannya menyerap jiwa dan prinsip-prinsip hukum Islam serta melindungi kepentingan umat Islam. Kecendrungan yang paling signifikan Nampak dalam berbagai aspirasi umat Islam yang mengusul-kan pencantuman isi piagam Jakarta dalam UUD 1945 serta penerapan hukum pidana Islam.

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang memberikan kekuasaan bagi Peradilan Agama untuk menangani perkara-perkara ekonomi syariah, hal ini merupakan langkah baru dalam penerapan hukum ekonomi Is-lam di Indonesia. Di mana selama ini masalah ekonomi syariah tidak diperha-tikan oleh pemerintah. Namun hari ini semua dapat dilaksanakan dengan dia-turnya dalam bentuk Undang-undang Republik Indonesia.

Aktualisasi Hukum Islam Di Indonesia

Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam telah masuk dan melebur serta menjadi bagian dari norma masyarakat Indonesia se-jak masuknya ajaran Islam Pada abad 1 H /7 M. bahkan, Ibn Batutah – pengem-bara Arab asal Maroko yang singgah di Samudera Pasai pada Tahun 1345 M – mencatat bahwa ia sempat berjumpa dengan Sultan Malik al-Zahir yang san-gat Mahir dalam fikih mazhab Syafi‘i. lebih dari itu, penerapan dan penyebaran Hukum Islam juga dilakukan oleh Sultan Malik al-Zahir dari kerajaan Samud-era Pasai.1 Yang kemudian disambut oleh kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.

1 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), hlm.

Formalisasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 383

Hadirnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia yang menggantikan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha inilah untuk pertama kalinya hukum Islam menjadi hu-kum positif di Indonesia.2

Pada masa VOC pemerintah kolonial pernah memperkenalkan hukum Be-landa dan membentuk lembaga peradilan yang juga berlaku bagi bangsa Indone-sia. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan, bahkan menemui jalan buntu dan kegagalan, sehingga akhirnya lembaga-lembaga yang hidup di masyarakat dibiarkan berjalan seperti keadaan sebelumnya. Pada Ta-hun 1960 diterbitkan compendium Freijer yang menghimpun hukum perkawinan dan kewarisan Islam yang berlaku di Pengadilan untuk menyelesaikan sengketa di kalangan umat Islam sebagai hukum yang hidup di tengah masyarakat tetap diakui pada masa VOC sejak Tahun 1602 hingga Tahun 1800.3

Berakhirnya kekuasaan VOC digantikan oleh pemerintah kolonial Belan-da. Kehadiran pemerintah kolonial Belanda kemudian merubah kedudukan hukum Islam di Indonesia, hukum Islam mengalami pergeseran yang semakin melemah. Pada awal kependudukan Belanda di Indonesia, hukum Islam diakui dalam hukum nasional dengan adanya regerings Reglemen. Bahkan, pada waktu itu pernah dibentuk Pengadilan Agama pada Tahun 1882 yang wewenangnya meliputi masalah-masalah hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hu-kum Islam. Hal tersebut dibarengi oleh kesimpulan penelitian Willem Christian van den Berg yang menyaakan bahwa bangsa Indonesia telah menerima sep-enuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka anut. Tesis Van den Berg ini dikenal dengan sebutan teori Receptio in Complexu.4

Namun, kesimpulan tersebut kemudian dibantah oleh Christian Snouck Hurgronje melalui teori receptie. Teori receptie ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. Pada tanggal 1 April 1937 dikeluarkan ketentuan yang mencabut wewenang pengadilan agama di Jawa dan Madura dalam menyelesaikan perkara kewarisan. Kedudukan pengadilan agama kemudian diletakkan di bawah pengawasan pengadilan negeri. Keputu-

69.2 Ibid., hlm. 71.3 Ahmad Azhar Basyir, “Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa“, dalam

Dadan Mutaqien, (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hu-kum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 7-13.

4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.

Illy Yanti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH384

san pengadilan agama hanya dapat dieksekusi jika telah mendapatkan persetu-juan dari pengadilan negeri (executoir Verklaring). Kebijakan hukum Islam ini terus berlanjut pada masa penjajahan Jepang.5

Penerimaan hukum Islam di masa Hindia Belanda telah berlangsung dalam dua model, yakni penerimaan berlakunya hukum Islam secara penuh terhadap orang Islam melalui teori receptio in complexu dan penerimaan berlakunya hukum Islam terhadap orang Islam apabila telah dikehendaki, diterima dan menjadi hu-kum adat melalui teori receptie. Demikian pula, pada pasca Indonesia merdeka, penerimaan hukum Islam dalam ketatanegaraan berlangsung dalam dua model, yaitu penerimaan hukum Islam sebagai persuasive (Persuasive source) dan sum-ber otoritatif.

Persuasive source adalah sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya. Kedudukan hukum Islam sebagai persuasive source dalam kehidu-pan ketatanegaraan di masa pasca Indonesia merdeka, berlangsung dalam ku-run waktu selama 4 Tahun, dari 22 Juni 1945 ketika lahirnya Piagam Jakarta sampai dengan 5 Juli 1949 ketika lahirnya Dekrit Presiden. Hal ini disebabkan karena tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”—yang berasal dari Piagam Jakarta—tidak dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.

Sementara penerimaan hukum Islam sebagai authoritative source dalam ke-hidupan ketatanegaraan di masa pasca Indonesia merdeka, artinya bahwa hu-kum syariah Islam merupakan sumber yang mempunyai kekuatan. Menurut Ismail Suny, kedudukan hukum Syariah Islam sebagai authoritative source ter-hitung sejak diaktifkannya kembali Piagam Jakarta melalui dekrit 5 Juli 1959 hingga sekarang.

Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan bahwa Piagam Jakarta ter-tanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan den-gan konstitusi UUD 1945. Dengan demikian, kalimat “Ketuhanan dengan kewa-jiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi diaktifkan kembali di dalam implementasi konsep dan proses kehidupan ketatanegaraan. Pengertian “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam pembukaan dan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 kembali kepada “kesejatiannya”, yakni sebagaimana pernyata Ki Bagus, “Ketuhanan Yang Maha Esa itu artinya Tauhid”.

Melekatnya kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan di masa pasca

5 Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hlm. 7-13.

Formalisasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 385

Indonesia merdeka, antara lain terbukti dengan dikenalnya teori receptive exit yang digagas oleh Hazairin, teori receptie a contrario yang diintrodusir oleh Sayu-ti Thalib, dan teori eksistensi. Teori-teori ini memperkuat argumentasi bahwa se-sungguhnya hokum Islam di Indonesia telah lama hidup dan memiliki “akar historis” dalam kesadaran masyarakat Islam Indonesia, seiring dengan pertum-buhan dan perkembangan ajaran agama Islam itu sendiri.

Teori receptive exit bermaksud menolak teori receptive, bahkan menyebutnya sebagai teori iblis. Menurut teori ini, dengan berlakunya UUD 1945, teori receptie harus dinyatakan telah hapus atau dihapuskan. Selanjutnya, teori receptio a con-trario justru menekankan bahwa hukum Islam berlaku sepenuhnya bagi umat Is-lam, dengan mengeluarkan hukum adat, dan bahkan hukum adat baru berlaku apabila diterima hukum Islam, dan hukum Islam baru berlaku apabila berdasar-kan al-Qur’an: “Adat bersendi syara, dan syara’ bersendikan Kitabullah”.

Dalam teori eksistensi pada intinya mengakui bahwa eksistensi hukum Is-lam di dalam hukum Nasional merupakan suatu kenyataan adanya. Ada dalam arti hukum Islam berada sebagai bagian integral dalam hukum Nasional dan ada, dalam arti adanya kemandirian yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional, serta ada, dalam arti norma hukum Islam berfung-si sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional, bahkan ada, dalam arti seba-gai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.

Secar konstitusional, keberlakuan hukum Islam di Indonesia sejak awal te-lah menempatkan Negara sebagai sumber kuasa dalam rangka mendapatkan dukungan dan legitimasi agar penegakannya dapat berjalan efektif. Landasan Konstitusional itu diperoleh melalui Pasal 29 UUD 1945. Hazairin memberikan tafsiran terhadap Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 ini dengan menegaskan bahwa hukum yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum Islam, bukan hukum adat. Menurut Hazairin, sebagaimana dikutip Muhammad Daud Ali6 berlaku-nya hukum Islam, harus didasarkan pada penunjukkan perundang-undangan sebagaimana hukum adat yang dasar pemberlakuannya adalah hukum adat itu sendiri, yang kemudian didukung oleh peraturan perundang-undangan.

Senada dengan Hazairin, Suparman Usman menegaskan bahwa dengan mengacu kepada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dan rumusan Pancasila sebagaima-na terdapat dalam piagam Jakarta yang telah diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka:

6 Muhammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 74.

Illy Yanti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH386

1. Negara wajib membuat hukum berdasarkan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya.

2. Negara wajib membuat hukum berdasarkan hukum Islam bagi orang Islam, demikian juga bagi penganut agama lain.

3. Hukum di Indonesia, khususnya yang berlaku bagi umat Islam Indonesia tidak boleh mengandung ketentuan yang bertentangan dengan hukum Is-lam.

4. Berlakunya hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia yang merupakan jumlah mayoritas, dilandasi pada nilai filosofis, yuridis, dan sosiologis bangsa Indonesia.

5. Negara berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Karena pada dasarnya cara berpikir, pandangan hidup dan karakter suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukum-nya.Menurut Jimly Asshiddiqie,7 hukum Negara harus mencerminkan esensi

keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Sumber norma yang mencerminkan keadilan beradasarkan KYME itu dapat dating darimana saja, termasuk dari sistem syariat Islam. Bahwa hukum Negara harus mencerminkan esensi keadilan berdasarkan KYME memang sudah seharusnya berdasarkan prinsip hierarki norma dan elaborasi norma. Logika hierarki norma adalah bah-wa hukum suatu Negara berisi norma-norma yang terkandung di dalam syariat agama- agama yang dianut oleh warga masyarakat. Sedangkan elaborasi norma adalah bahwa norma-norma yang tercermin dalam rumusan hukum Negara harus merupakan penjabaran atau elaborasi normative ajaran-ajaran syariat agama yang diyakini oleh warga Negara.

Selanjutnya, Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa pasca perubahan UUD 1945, salah satu agenda nasional yang penting dan harus segera dilakukan di Indonesia adalah pembangunan hukum nasional, berupa penataan peraturan perundang-undangan dan konsolidasi kelembagaan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar konstitusional. Selain harus sesuai dengan UUD 1945, pemban-gunan hukum Nasional juga mesti memperhatikan pelbagai aspek dan tata nilai yang diyakini oleh masyarakat Indonesia. Nilai agama adalah nilai yang sangat

7 Jimly Asshiddiqie, “Aktualisasi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Na-sional”, Bahan Keynote Speaker pada Acara Internasional Seminar Islamic Law in Southeast Asia: Oportunity & Chalenge, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 7 Desem-ber 2007, hlm. 4-5.

Formalisasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 387

kuat dipegang dan dipatuhi oleh bangsa Indonesia. Karena masyarakat Indo-nesia mayoritas memeluk agama Islam, maka sudah lazim jika Islam memiliki peran dan posisi tersendiri dalam pembangunan hukum nasional.

Hukum Ekonomi Syariah Dalam Sistem Hukum Nasional

Sesungguhnya aktualisasi nilai-nilai ekonomi syariah menjadi signifikan teruta-ma dalam upaya mencari jalan keluar dari krisis multidimensional yang dialami Indonesia. Di samping itu, pelembagaan sistem ekonomi Syariah dalam pelbagai operasional kegiatan usaha perekonomian diharapkan menjadi solusi alternative bagi upaya optimalisasi potensi sumber daya ekonomi masyarakat, terutama bagi segmen masyarakat muslim yang telah sejak lama meragukan kehalalan sistem bunga dalam praktik perbankan konvensional yang pada gilirannya da-pat mengeliminasi segala bentuk praktik kegiatan usaha ekonomi ribawi.

Sistem ekonomi syariah merupakan payung bagi semua lembaga ekonomi berbasis ajaran Islam. Melalui konsep ekonomi syariah di dalamnya terakumu-lasi nilai-nilai, prinsip-prinsip, teori-teori, serta kaidah-kaidah ekonomi syari-ah yang pada muaranya akan diterapkan ke dalam pelbagai bentuk lembaga ekonomi. Dengan demikian, perbankan syariah merupakan salah satu bentuk lembaga ekonomi Islam. Namun, secara historis yuridis, eksistensi perbankan syariah merupakan starting point bagi perkembangan lembaga-lembaga ekono-mi syariah di Indonesia.

Perkembangan hukum ekonomi syariah di Indonesia dimulai dengan mun-culnya “perbankan Syariah” dan karenanya kita tidak menggunakan istilah “ekonomi Islam” sebagaimana yang digunakan di banyak Negara. Ide tentang perlunya bank Islam sudah pernah dikemukakan oleh KH. Mas Mansur Ketua Pengurus Muhammadiyah pada Tahun 1937 tetapi gagal karena ia dianggap SARA pada saat itu dan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas nasional.8

Gagasan berdirinya bank Islam di Indonesia lebih konkret pada saat Loka-karya “Bunga Bank dan Perbankan” pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Ide terse-but ditindaklanjuti dalam Munas IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Hotel Sahid tanggal 22-25 Agustus 1990. Dan setelah semua persyaratan terpenuhi pada tanggal 1 November 1991 dilakukan penandatanganan Akta Pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Sahid Jaya Hotel dengan Akta Notaris

8 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 81.

Illy Yanti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH388

Yudo Paripurno, SH. Dengan izin Menteri Kehakiman No. C.2.2413.HT.01.01. akhirnya dengan Izin prinsip Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991, izin usaha keputusan Menteri Keuan-gan RI No. 430/KMK : 013/1992 tanggal 24 April 1992 pada tanggal 1 Mei 1991 BMI bias mulai operasi untuk melayani kebutuhan masyarakat melalui jasa-jasanya sampai hari ini.9

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia bukanlah semata diarahkan dari pihak pemerintah, tetapi ia merupakan sesuatu yang tumbuh “dari bawah” karena tuntutan masyarakat dengan dimotori oleh para alim ulama yang ber-gabung dalam majelis Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan di-fasilitasi oleh para pejabat terutama sekali pejabat di bidang perbankan dan keuangan pada umumnya serta didukung oleh para pengusaha.

Berdasarkan fakta yang demikian munculnya politik hukum ekonomi Sya-riah adalah setelah berbagai sektor ekonomi syariah telah berkembang secara alami yang merumuskan berbagai kebijakan yang menyangkut penyiapan, kelembagaan, peraturan perundang-undangan, lembaga peradilan dan pera-turan hukum yang mendukungnya serta hal-hal lain yang berkenaan dengan berbagai aktivitas di bidang syariah.

Untuk mewadahi perkembangan yang terjadi terutama yang berkaitan den-gan masalah perbankan telah pada tanggal 25 maret 1992 ditetapkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mencabut dan mengganti-kan Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang merupakan induk perbankan yang ditetapkan pada awal masa Orde Baru. Pasal 5 ayat 91) undang-undang ini menyebutkan bahwa menurut jenisnya bank terdi-ri atas bank Umum dan bank Perkreditan rakyat. Berdasarkan undang-undang ini dimulai langkah untuk mengakomodasi dan memberi landasan hokum terh-adap bank-bank syariah yang sudah terbentuk dan mulai beroperasi.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak secara eksplisit menyebutkan adanya apa yang disebut “Bank Syariah”. Hanya ada dua Pasal yang dapat dijadikan dasar, yaitu Pasal 6 huruf (m) yang berkenaan dengan ling-kup perbankan umum dan Pasal 13 huruf ( c ) yang berkenaan dengan salah satu lingkup kegiatan Bank Perkreditan rakyat dengan isi yang sama menyebutkan “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.10

9 Ibid., hlm. 84.10 Abdurrahman, et.al., Prospek Bank Syariah di Indonesia, (Bandung: Pusat Peng-

Formalisasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 389

Sebagai tindak lanjutnya pada tanggal 30 Oktober 1992 ditetapkan Pera-turan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi hasil, Pasal 1 ayat (1) peraturan pemerintah ini menentukan bahwa bank ber-dasarkan prinsip bagi hasil adalah bank Umum atau bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip Bagi hasil. Sedangkan penjelasan Pasal yang bersangkutan menyebutkan bahwa yang di-maksud dengan prinsip muamalat berdasarkan syariat” dalam melakukan keg-iatan Usaha Bank. Dari perkata “Prinsip muamalat berdasarkan syariat”, ini kemudian berubah menjadi berdasarkan “prinsip syariah” dan secara singkat disebut “Bank Syariah” atau “Perbankan Syariah”. Jadi, secara formal istilah bank syariah atau bank berdasarkan prinsip syariah mulai diperkenalkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992.

Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 mengatur tentang “Dewan Pengawas Syariah”. dalam Pasal tersebut ditentukan:1. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan pengawas Syari-

ah yang mempunyai tugas melakukan pengawasan atas produk perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat.

2. Pembentukan Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh bank yang bersang-kutan berdasarkan hasil konsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia.

3. Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pengawas Syariat berkonsultasi den-gan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).Selanjutnya penjelasan Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa kedudukan

Dewan Pengawas Syariah dalam organisasi bank berdasarkan prinsip bagi ha-sil bersifat independen dan terpisah dari kepengurusan bank sehingga tidak mempunyai akses terhadap operasional bank. Dewan Pengawas Syariah mem-punyai tugas menentukan boleh tidaknya suatu produk/jasa dipasarkan atau suatu kegiatan dilakukan ditinjau dari sudut Syariah. oleh karena itu, anggota-anggota Dewan Pengawas Syariah harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai syariah. kemudian penjelasan Pasal 5 ayat (2) menentukan bahwa yang dimaksud dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indo-nesia dalam ayat ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 dengan landasan pokok dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Perbankan Syariah di Negara

kajian Hukum Islam dan Masyarakat (PPHIM) Jawa Barat, Pengadilan Tinggi Agama Bandung, 2005), hlm. 27.

Illy Yanti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH390

kita mulai berkembang. Di samping itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mulai menjalankan peran sebagai konsultasi dalam pembentukan Dewan Pengawas Syariah pada bank-bank syariah yang telah dibentuk. Melalui peran yang sede-mikian MUI telah dilibatkan secara aktif dalam upaya mengembangkan aktivi-tas perbankan syariah di Negara kita.

Semakin berkembangnya kegiatan perbankan syariah di Negara kita, den-gan hanya berlandaskan pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 menim-bulkan beberapa permasalahan hukum dan teknis yang tidak tertampung da-lam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, sehingga menjelang era reformasi pada tanggal 10 Nopember 1998 ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ten-tang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Un-dang-undang ini memberikan pengaturan yang cukup lengkap untuk masanya berkenaan dengan perbankan syariah sehingga dalam pelaksanaannya hingga ditetapkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 (dalam kurun waktu sepuluh Tahun) sudah memberikan landasan minimal terbentuk dan berkembangnya perbankan syariah di Negara kita.

Perubahan yang dilakukan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 adalah dengan memasukkan lebih banyak prinsip syariah ke dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Dengan undang-undang ini istilah “prinsip syariah yang dipergunakan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 diganti dengan “Prinsip Syariah” suatu istilah dari segi kebahasaan lebih tepat.

Undang-undang ini masih mempertahankan pembagian bank menurut jenisnya atas Bank Umum dan Bank Perkreditan rakyat, tetapi lingkup kegiatan-nya dikaitkan sepenuhnya dengan prinsip syariah. Hal ini dapat dilihat:1. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara kon-

vensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran (Pasal 1 angka 3). Sebagai konsekuensinya ketentuan Pasal 6 huruf m diubah menjadi, menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip sya-riah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank Indonesia.

2. Bank perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatan-nya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 angka 4). Dan sebagai konsekuensinya ketentuan Pasal 13 huruf c diubah menjadi, menyediakan pembiayaan, penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dengan ber-

Formalisasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 391

lakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah istilah bank Perkreditan Rakyat hanya diakui untuk Bank Konvensional se-dangkan untuk lingkungan Bank Syariah namanya diubah menjadi Bank Pembiayaan rakyat Syariah.Sedangkan mengenai pengertian “Prinsip Syariah” Pasal 1 angka 13 menye-

butkan, bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Is-lam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dan /atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain; pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasi (mudharabah) pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pi-lihan pemindahan kepemilikan, atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Dalam kaitannya dengan lingkup kegiatan bank dapat dilihat pengaturan lebih jauh dari perubahan ini, yakni: Pertama, sehubungan dengan perubahan pada Pasal 6 huruf m yang menyatakan menyediakan pembiayaan dan /atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Hal ini berkaitan dengan perubahan yang di-lakukan terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (2) yang menentukan pedoman per-kreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan Pasal 6 huruf m dalam penjelasan yang termuat dalam TLN No. 3790 dikemu-kakan bahwa Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah melalui:a. Pendirian kantor cabang atau kantor di bank kantor cabang baru; ataub. Pengubahan kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang yang melaku-

kan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. dalam rangka persiapan pe-rubahan kantor bank tersebut, kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang yang sebelumnya melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat terlebih dahulu membentuk unit tersendiri yang melaksanakan keg-iatan berdasarkan prinsip syariah di dalam kantor bank tersebut.Bank umum berdasarkan prinsip syariah tidak melakukan kegiatan usaha

secara konvensional. Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indo-nesia memuat antara lain:a. Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syariah.

Illy Yanti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH392

b. Pembentukan dan Tugas Dewan Pengawas Syariah.c. Persyaratan bagi perbaikan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha

secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.Kedua, berkenaan dengan ketentuan Pasal 13 huruf c yang menyatakan

menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Penjelasan men-genai ketentuan ini menyatakan bahwa Bank Perkreditan Rakyat yang melak-sanakan kegiatan secara konvensional. Demikian juga Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional tidak diperkenankan melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:a. Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syariah.b. Pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syariah.

Berdasarkan uraian tersebut di atas tampak kepada adanya arahan untuk aktivitas perbankan di Indonesia dilakukan melalui undang-undang perbank-an, sehingga terpetik pesan bahwa politik hukum perbankan syariah dilakukan melalui sebuah undang-undang. Namun di samping itu, kegiatan yang lebih bersifat operasional dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai bank yang diakui dan disebut dalam undang-undang sebagai bank sentral sebagaimana kemudi-an diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004. Pasal 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 menegas-kan:1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia.2. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksana-

kan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam un-dang-undang ini.Di samping itu menyangkut persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa

system pembayaran ataupun laporan dan penetapan penggunaan alat pemba-yaran diserahkan kewenangannya kepada Bank Indonesia yang tercantum pada Pasal 15 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999.

Setelah sepuluh Tahun berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, ditetapkan pula Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Sya-riah. Menurut Undang-Undang ini perbankan Syariah, adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan unit usaha Syariah, mencakup

Formalisasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 393

kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegia-tan usahanya. Dari sini tampak dengan berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah ini telah diciptakan beberapa perubahan baru berkenaan dengan kegia-tan perbankan Syariah.11

Pelembagaan prinsip syariah ini, tentu saja pada gilirannya akan semakin memperkuat otoritas hukum Islam dalam operasional konsep dan sistem ekonomi Syariah. operasional sistem ekonomi Syariah di tengah praktik sistem ekonomi kontemporer diharapkan menjadi satu sistem ekonomi alternatif seba-gai pengganti sistem ekonomi berbasis bunga, dengan prinsip bagi hasil (profit sharing) menjadi satu karakteristik umum yang melandasi totalitas sistem opera-sional kegiatan usaha.12

Urgensi Legislasi Hukum Ekonomi Syariah

Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi civil law yang ciri utamanya adalah peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi. Sementara itu hukum Islam walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada Al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat para fuqaha pada umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk buku perundang-undangan yang mudah dirujuk. Oleh karena itu, hukum Islam di In-donesia seperti halnya juga hukum adat, sering dipandang sebagai hukum tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan.13

Berdasarkan paparan di atas, maka umat Islam yang menghendaki pem-berlakuan ekonomi Syariah sebagai hukum positif juga harus mengupayakan politik hukum melalui legilasi dengan menyusun draft Rancangan Undang-Un-dang (RUU) yang diajukan kepada badan legislative (DPR) untuk mendapatkan persetujuan. 14 Berkenaan dengan proses legislasi, dapat dikatakan mencakup

11 Abdurrahman, “Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Poli-tik Hukum Nasional”, Mimbar Hukum dan Peradilan, (Jakarta : Pusat Pengemban-gan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), No. 68 Februari 2009), hlm. 90.

12 Muhammad Syafi‘i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema In-sani Press dan Tazkia Cendekia, 2001), hlm. 137.

13 Rifyal Ka’bah, “Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-Undangan Negara di Indonesia”, Majalah Hukum Suara Uldilag, Vol. II No. 5 Jakarta, September 2004, hlm. 50.

14 Sri Wahyuni, “Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam)”, Jurnal Mimbar Hukum, No. 59 Thn XIV, Al-Hikmah,

Illy Yanti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH394

kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan undang-undang. Pengajuan RUU bisa melalui Presiden atau melalui inisiatif DPR.15 Mentransfor-masikan hukum ekonomi Syariah dalam bentuk Peraturan Perundang-undan-gan yang baik sekurang-kurangnya harus memenuhi empat landasan, yakni: landasan filosofis, sosiologis, yuridis, dan politis.

Landasan filosofis berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut, moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai baik dan tidak baik, sedangkan nilai yang baik merupakan pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi yang didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan dan kesusilaan serta berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.

Landasan sosiologis, ketentuan-ketentuannya harus sesuai dengan keyaki-nan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat. Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (the living law) dalam masyarakat, namun produk perundang-undangan tidak sekedar meredam keadaan seketika, sebab jika masyarakat berubah, nilai-nilaipun berubah, kecendrungan dan harapan masyarakat harus dapat diprediksi dan terakumulasi dalam peraturan perun-dang-undangan yang berorientasi masa depan.

Landasan yuridis, merupakan landasan hukum (yurisdische gelding) yang menjadi dasar kewenangan16dasar hukum kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan, tanpa disebutkan dalam peraturan pe-rundang-undangan seorang pejabat atau suatu badan adalah tidak berwenang mengeluarkan peraturan.

Landasan politis, merupakan garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan Negara. Tegasnya, sejalan dengan program legislasi nasional.17

Kecendrungan model pengembangan hukum Islam di Indonesia berlang-sung melalui dua jalur, yaitu jalur legislasi (melalui perundang-undangan) dan jalur non legislasi (yang berkembang di luar undang-undang). Di antara kedua

2003, hlm. 84.15 Jimly Ash-Shiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi (Serpihan Pe-

mikiran Hukum, Media dan HAM), (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 29.16 Suhartono, “Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syariah ke Ranah Sistem Hu-

kum Nasional”, www,badilag.net. Akses 9 November 2009.17 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta: Maju Mun-

dur, 1998), hlm. 43-44.

Formalisasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 395

jalur tersebut, kecendrungan pada jalur kedua lebih banyak mewarnai praktek penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama. hal ini dimaklumi karena proses legislasi hukum Islam di Indonesia selalu menghadapi kendala struktural, dan kultural, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, para pendukung sistem hukum Islam belum tentu beranggapan bahwa hukum Islam itu sebagai suatu sistem yang belum final, perlu dikembangkan dalam konteks hukum na-sional. Sedangkan kendala eksternal yakni struktur politik yang ada belum tentu mendukung proses legislasi hukum Islam.

Kendatipun dalam prakteknya legislasi bukan merupakan kecendrungan, namun pengembangan hukum Islam melalui jalur legislasi, terutama yang men-gatur bidang ekonomi Syariah tetap diperlukan dengan alas an sebagai berikut:1. Pengaturan terhadap bidang ekonomi Syariah sifatnya urgen terakit dengan

kewenangan baru Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa dalam bidang tersebut, sebagaimana bunyi Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. juga melihat kebutuhan hukum de-wasa ini, legislasi merupakan tuntutan obyektif, karena akan mendukung implementasi hukum Islam secara pasti dan mengikat secara yuridis for-mal.

2. Materi hukum ekonomi Syariah adalah merupakan hukum privat Islam bu-kan hukum public, sehingga ini diangkat ke Jalur legislasi tidak akan me-munculkan konflik serius, baik ditingkat internal maupun eksternal karena sifatnya yang universal dan netral.Di samping itu, dalam mengusung hukum ekonomi syariah, ke jalur legis-

lasi perlu memperhatikan tiga hal yaitu substansi, bentuk dan proses. Dalam hal substansi yakni berupa doktrin-doktrin yang ada dalam bentuk yurisprudensi dan yang sudah terakomodir dalam peraturan perundang-undangan—khusus-nya KHES—merupakan acuan yang tidak dapat diabaikan. Dalam hal bentuk, yang perlu diperhatikan yakni jangkauan berlakunya disesuaikan dengan ting-katkan hirarkis perundang-undangan di Negara Republik Indonesia menurut Tap MPRS Nomor XXX/1966. Sedangkan dalam hal proses tergantung pada yang dipilih, karena legislasi hukum ekonomi Syariah menjurus dalam bentuk undang-undang, prosesnya lebih sulit daripada bentuk peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan di bawahnya, namun demikian melihat kenyataan yang ada, lahirnya undang-undang tentang ekonomi Syariah mempunyai pe-luang yang cukup besar, beberapa hal penting yang berpotensi sebagai faktor

Illy Yanti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH396

pendukung yakni antara lain:1. Substansi hukum ekonomi syariah yang established (sudah mapan), disamp-

ing telah adanya KHES, penggunaan fikih-fikih produk imam mazhab, yang sudah teruji pelaksanaannya baik dilingkungan Pengadilan Agama maupun dalam masyarakat, juga ditunjang beberapa pemikiran fikih mazhab Indo-nesia yang telah lama digagas oleh para pakar hukum Islam di Indonesia.

2. Produk legislasi adalah produk politik, sehingga untuk berhasil memper-juangkan legislasi hukum Islam harus mendapatkan dukungan suara may-oritas di lembaga pembentuk hukum dan fakta politik menunjukkan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan mayoritas di Indonesia, namun mem-perhatikan konfigurasi politik dalam dasawarsa terakhir cukup member angin segar bagi lahirnya produk-produk hukum nasional yang bernuansa Islami. Seperti halnya:a. Lahirnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;b. Lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang bank Indonesia,

yang semakin memperkuat kedudukan kegiatan ekonomi Syariah di Indonesia.

c. Lahirnya Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan haji;

d. Lahirnya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan zakat;

e. Lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam yang memberi otonomi khusus kepada daerah Istimewa Aceh untuk menerapkan Syariat Islam, hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam telah terimplementasi dalam kehidupan seahri-hari masyarakat Islam.

f. Lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 sebagai amandemen terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang memberikan kewenangan baru berupa penyelesaian sengketa ekonomi Syariah.

g. Lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. diharapkan menjadi kran pembeuka terhadap Undang-Undang ekonomi Syariah.

h. Lahirnya PERMA No. 02 Tahun 2008 pada tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, meskipun saat ini

Formalisasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013 397

kedudukannya hanya sebagai kitab pedoman, namun ke depan dapat diperjuangkan melalui jalur legislasi sebagai kitab Undang-Undang.

Penutup

Kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi syariah tidak perlu diperdebatkan keberadaannya, karena di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat terutama pelaku bisnis syariah, dan di sisi lain secara sub-stansi akan dijadikan sebagai landasan yuridis bagi hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Selanjutnya, sebagaimana teori kontrak sosial, maka diperlukan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban umum dalam pelaksa-naannya.

Untuk itu dimasa yang akan datang semoga tidak saja hukum ekonomi Syariah yang dapat diundangkan dalam peraturan negara, tetapi yang sangat diharapkan dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia secara komprehensif, seperti Jinayah (Hukum Pidana Islam). Dan umat Islam Indonesia akan bebas melaksanakan ajaran Agamanya sesuai dengan UUD 1945.

Bibliografi

Abdurrahman (et.al), Prospek Bank Syariah di Indonesia, Bandung: Pusat Pengka-jian Hukum Islam dan Masyarakat (PPHIM) Jawa Barat, Pengadilan Tinggi Agama Bandung, 2005.

Abdurrahman, “Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspek-tif Politik Hukum Nasional”, Mimbar Hukum dan Peradilan, Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), No. 68 Februari 2009.

Ahmad Azhar Basyir, “Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa“, dalam Dadan Mutaqien, (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1999.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Jimly Ash-Shiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi (Serpihan Pe-mikiran Hukum, Media dan HAM), Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Jimly Ash-Shiddiqie, “Aktualisasi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional”, Bahan Keynote Speaker pada Acara Internasional Seminar Is-lamic Law in Southeast Asia: Oportunity & Chalenge, UIN Syarif Hidayatullah

Illy Yanti

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH398

Jakarta, 7 Desember 2007.Muhammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990.Muhammad Syafi‘i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema In-

sani Press dan Tazkia Cendekia, 2001.Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.Rifyal Ka’bah, “Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-Undangan Negara

di Indonesia”, Majalah Hukum Suara Uldilag, Vol. II No. 5 Jakarta, September 2004.

Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Jakarta: Maju Mun-dur, 1998.

Sri Wahyuni, “Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam)”, Jurnal Mimbar Hukum, No. 59 Thn XIV, Al-Hik-mah, 2003.

Suhartono, “Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syariah ke Ranah Sistem Hukum Nasional”, www,badilag.net.

Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Pedoman Penulisan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013

PEDOMAN PENULISAN

BENTUK NASKAH

Jurnal Al-Risalah menerima naskah/tulisan, baik dalam bentuk artikel hasil pe-nelitian (research papers), artikel ulasan (review), dan resensi buku (book review), baik dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Arab atau Bahasa Inggeris

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Tulisan dialamatkan kepada Redaksi Jurnal Al-Risalah Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Jl. Jambi-Muara Bulian KM. 16 Simp. Sungai Duren, Muaro Jambi-Jambi, Telp. (0741) 582021, email: [email protected]. Penulis harus menyerahkan 2 (dua) eksamplar naskah/tulisan dalam ben-tuk hard copy (print out) dan soft copy dalam CD/flash disk, atau melalui email ke redaksi jurnal Al-Risalah.

FORMAT NASKAH

Al-Risalah adalah jurnal ilmiah yang terbit dua kali setahun. Al-Risalah siap menerima sumbangan tulisan dari para penulis, dengan ketentuan sebagai beri-kut:1. Tulisan belum pernah diterbitkan/dipublikasikan di dalam buku atau ma-

jalah lainnya. Topik tulisan sesuai dengan lingkup kajian jurnal, yakni kajian ilmu syariah dan ilmu hukum.

2. Jumlah halaman antara 20-25 halaman, ukuran kertas A4 spasi ganda. (Mar-gin kiri 4, atas 4, kanan 3, dan bawah 3).

3. Tulisan yang masuk dilengkapi biodata penulis, meliputi: nama, asal pergu-ruan tinggi/instansi, dan kualifikasi keilmuan penulis.

4. Tulisan yang telah diserahkan menjadi hak redaksi, dan redaksi berhak mer-ubah tulisan tanpa mengurangi makna tulisan.

Pedoman Penulisan

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH

SISTEMATIKA NASKAH

Judul Naskah

Judul ditulis dengan huruf kafital diletakkan di tengah margin. Judul tulisan diikuti pula dengan abstrak dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggeris antara 50-100 kata dan kata kunci (keywords) sebanyak 2-5 kata. Abstrak ditulis satu spasi dan ditulis dalam satu paragraf.

Pendahuluan

Dalam pendahuluan harus berisikan latar belakang masalah yang diangkat, be-serta rumusan masalah. Jika perlu, dapat dimuat secara ringkas metode peneli-tian yang digunakan.

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Berisikan pembahasan terhadap permasalahan yang dikaji dalam naskah, analisis, serta penjelasan tentang hasil penemuan selama penelitian. Namun, tidak perlu dicantumkan kalimat “PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN”.

Penutup

Berisikan kesimpulan, ditambah saran-saran jika diperlukan.

SUMBER KUTIPAN

Kutipan menggunakan cara Ibid, Op. Cit, dan Loc. Cit. Semua tulisan mengguna-kan referensi model footnote, dengan ketentuan sebagai berikut:1. Ayat al-Qur’an, contoh: An-Nisaa’ (4): 42.2. Buku, contoh: Muhammad Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, cet. ke-2, (Jambi:

Syariah Press, 2008), hlm. 8.3. Apabila penyusun/penulis lebih dari dua orang, cukup nama penyusun

pertama saja yang ditulis dan nama-nama lain diganti “dkk” (dan kawan-kawan), contoh: Hasan Ibrahim Hasan, dkk., an-Nuzum al-Islamiyyah, edisi ke-1, (Kairo: Lajnah at-Ta’lif wa at-Tarjamah wa an-Nasyr, 1953), hlm. 54.

4. Penyusun/penulis bertindak sebagai editor atau penghimpun tulisan, con-toh: M. Nazori Madjid (ed.), Agama & Budaya Lokal: Revitalisasi Adat & Budaya

Pedoman Penulisan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013

di Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2009), hlm. 42.

5. Penyusun/penulis sebagai suatu perhimpunan, lembaga, panitia atau tim, contoh: Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah, (Jambi: Syariah Press, 2010), hlm.1.

6. Nama penulis tidak ada, contoh: Panduan Amaliyah Ramadhan, (Jambi: Sul-than Thaha Press, 2009), hlm. 9.

7. Buku terjemahan, contoh: Ahmad Haris, Islam Inovatif: Eksposisi Bid’ah dalam Teori dan Praktek, alih bahasa Bahrul Ulum dan Mohamad Rapik, (Jambi: Sul-than Thaha Press, 2007), hlm. 51.

8. Buku saduran, contoh: Vollmar, Hukum Benda, disadur oleh Chidir Ali, (Bandung: Tarsito, 1978), hlm. 234.

9. Kamus, contoh: Kamus Umum Bahasa Indonesia, W. J. S. Poerwadarminta, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hlm. 12.

10. Artikel dalam jurnal, majalah atau surat kabar, contoh: H. Tjaswadi, “Sekali Lagi tentang Amandemen UUD 1945,” Kedaulatan Rakyat, No. 227, Th. LVII (Selasa, 21 Mei 2002), h1m. 8.

11. Artikel dalam media massa, contoh: M. Luqman Hakiem, “Tasawuf dan Proses Demokratisasi”, KOMPAS, 30 Maret 2001, hlm. 4.

12. Artikel dalam buku atau ensiklopedi, contoh: Syamsul Anwar, “Teori Kon-formitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Gazali,” dalam M. Amin Abdullah, dkk., (ed.), Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, (Yog-yakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), h1m. 275.

13. Hasil penelitian yang tidak diterbitkan, contoh: Illy Yanti dan Rafidah, ”Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam UU NO.3/2006 (KHI) dan Implemen-tasinya dalam Sistem Ekonomi Nasional”, Hasil Penelitian Kompetitif IAIN STS Jambi, (2009), hlm. 10.

14. Makalah tidak diterbitkan, contoh: Rahmadi, “Kaedah-Kaedah Falakiyah”, Makalah Disampaikan pada Lokakarya Hisab Rukyat, Diselenggarakan oleh Kanwil Depag Provinsi Jambi, Jambi, 26 Desember 2009, hlm. 5.

15. Sumber yang masih berbentuk manuskrip, contoh: Undang-Undang Palem-bang, Berg Col. No. 146, Perpustakaan Universitas Leiden, Vol. No.3.

16. Dokumen berbentuk surat-menyurat, contoh: Staatsblaad van Nederlandsch Indie, 1937, No. 116.

17. Dokumen dalam bentuk arsip-arsip perkantoran lainnya, contoh: Pengadi-lan Agama Kota Jambi, Daftar Jumlah Kasus Perceraian 2011, 22 April 2012.

Pedoman Penulisan

Vol. 13, No. 2, Desember 2013 Al-Risalah JISH

18. Peraturan perundang-undang atau peraturan lainnya belum disebutkan dalam tulisan, contoh: Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1).

19. Nomor dan nama peraturan perundang-undang atau peraturan lainnya su-dah disebutkan dalam tulisan, contoh: Pasal 2 ayat (1).

20. Pidato, contoh: Pidato Menteri Agama, Disampaikan dalam Acara Briefing Dengan Jajaran Kanwil Depag Provinsi Jambi dan IAIN, Tanggal 1 Februari 1988.

21. Wawancara, contoh: Wawancara Dengan Abdullah, Ketua RT. 03 Kel. Sim-pang IV Sipin Kec. Telanaipura-Jambi, 5 Maret 2009.

22. Website tanpa penulis, contoh: ”Remarks before the American Muslim Council,” http://usinfo. state.gov/usa/islam/s050799.htm, akses 7 Mei 2009.

23. Website dengan pencantuman penulis, contoh: Noam Chomsky, “Market Democracy in a Neoliberal Order: Doctrines and Reality,” http://www.zmag.org/chomsky/ index.cfm, akses 10 Januari 2003.

CONTOH PENULISAN BIBLIOGRAFI

Akh. Minhaji, Strategies for Social Research: The Methodological Imagination in Is-lamic Studies, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2009.

Andi Rustam, Ahmad Bakaruddin R. dan Syaiful, “Voting Behavior Pemilih Pe-mula pada Pemilu 2004 di Kota Padang” dalam Ahmad Bakaruddin R, dkk., (ed), Teori dan Metode Penelitian Ilmu Politik, Padang: Laboratorium Ilmu Po-litik Unand, t.t.

Anik Ghufron, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Makalah Dipresentasi-kan pada Kuliah Metodologi Penelitian di Program Doktor UIN Yogyakarta di Jambi, tanggal 25-26 Januari 2010.

Djawahir Hejzziey, Pedoman Penelitian Skripsi, Jakarta: ttp, 2007.John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1993.Program Pascasarajana UIN Yogyakarta, Buku Pedoman Penuisan Disertasi, Cet. 2,

Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.Sayuti, “Relevansi antara Maal Administratif dan Upaya Penciptaan Good Gover-

nance”, Jurnal Ilmiah Al-Risalah, Fakultas Syariah IAIN STS Jambi, Volume 12, Nomor 1, Juni 2012.

Pedoman Penulisan

Al-Risalah JISH Vol. 13, No. 2, Desember 2013

Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Ja-karta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.