vol v no 1 juni 2010

152
1 MAARIF Vol. 5, No. 1 — Juni 2010 Penanggung Jawab Ahmad Syafii Maarif Jeffrie Geovanie Rizal Sukma Pemimpin Umum Fajar Riza Ul Haq Pemimpin Redaksi Muhd. Abdullah Darraz Redaktur Ahli Clara Juwono Moeslim Abdurrahman M. Amin Abdullah Haedar Nashir M. Deddy Julianto Luthfi Assyaukanie Ahmad–Norma Permata Hilman Latief Redaktur Pelaksana Endang Tirtana, Defi Nopita Sekretaris Redaksi M. Supriadi Sirkulasi Sarwono Design, Lay Out Harhar, benangkomunikasi Alamat Redaksi MAARIF Institute for Culture and Humanity Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Jakarta 12810 Telp +62-21 8379 4554 Fax +62-21 8379 5758 email : maarif@maarifinstitute.org website : www.maarifinstitute.org Rekening Yayasan Ahmad Syafii Maarif Penyaluran Donasi BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara) 0114179273 Redaksi mengundang para cendikiawan, agamawan, peneliti, dan aktifis untuk mengirimkan tulisan, baik berupa hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF Institute. Tulisan merupakan hasil karya sendiri, belum pernah dipublikasikan, penulisan mengacu standar ilmiah dengan panjang tulisan 6000–10.000 karakter. Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit tulisan tanpa mengurangi atau menghilangkan substansi. Media MAARIF terbit setiap empat bulan. Pengelola 1006 Jurnal V0501.indb 1 25/06/2010 12:04:01

Upload: himawan-sigit-nugroho

Post on 08-Nov-2015

258 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

maarif institute

TRANSCRIPT

  • 1MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Penanggung Jawab Ahmad Syafii Maarif Jeffrie Geovanie Rizal Sukma

    Pemimpin Umum Fajar Riza Ul Haq

    Pemimpin Redaksi Muhd. Abdullah Darraz

    Redaktur Ahli Clara Juwono Moeslim Abdurrahman M. Amin Abdullah Haedar Nashir M. Deddy Julianto Luthfi Assyaukanie AhmadNorma Permata Hilman Latief

    Redaktur Pelaksana Endang Tirtana, Defi Nopita

    Sekretaris Redaksi M. Supriadi

    Sirkulasi Sarwono

    Design, Lay Out Harhar, benangkomunikasiAlamat Redaksi MAARIF Institute for Culture and Humanity

    Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Jakarta 12810 Telp +62-21 8379 4554 Fax +62-21 8379 5758 email : [email protected] website : www.maarifinstitute.org

    Rekening Yayasan Ahmad Syafii Maarif Penyaluran Donasi BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara) 0114179273

    Redaksi mengundang para cendikiawan, agamawan, peneliti, dan aktifis untuk mengirimkan tulisan, baik berupa hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF Institute. Tulisan merupakan hasil karya sendiri, belum pernah dipublikasikan, penulisan mengacu standar ilmiah dengan panjang tulisan 600010.000 karakter. Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit tulisan tanpa mengurangi atau menghilangkan substansi. Media MAARIF terbit setiap empat bulan.

    Pengelola

    1006 Jurnal V0501.indb 1 25/06/2010 12:04:01

  • 2Pengantar Redaksi Kepemimpinan Muhammadiyah dan Masa Depan Pembaruan Islam Indonesia .......................... 3Muhd. Abdullah Darraz

    Artikel:Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan ........... 11Anhar Gonggong

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha? Menimbang Kembali Gineologi Pemikiran Muhammadiyah ........................ 25Haidar Bagir dan Muhammad Jafar

    Menakar Gerakan Pembaruan Muhammadiyah ....................... 43Asep S. Muhtadi

    Muhammadiyah, Antara Gerakan Progresif dan Konservatif ... 54Endy M. Bayuni

    Tantangan & Rejuvenasi Peran Strategis Muhammadiyah ...... 61Sudhamek AWS

    Kepemimpinan Muhammadiyah Abad Ke-2 ............................. 71Syafiq A. Mughni

    Pemerataan Kapasitas : Agenda Pimpinan Muhammadiyah Abad Ke-2 ...................................................... 77Hilman Latief

    Pemimpin yang Mashlahah Bagi Muhammadiyah .................... 87Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA

    Regenerasi Kepemimpinan dan Cetak Biru Sosial Muhammadiyah ............................................ 94Hajriyanto Y. Thohari

    Muhammadiyah dan Alternatif Kiblat Rohani Politik .............. 103Mohamad Sobary

    Muhammadiyah, Kepemimpinan Politik, dan Tantangan Globalisasi ......................................................... 109M. Syafii Anwar

    Peran Perempuan dan Keadilan Gender: Refleksi Gerakan Satu Abad Muhammadiyah .......................... 129Rita Pranawati, MA

    Aisyiyah dan Ruang Publik ....................................................... 141Ai Fatimah Nur Fuad

    Profil MAARIF Institute .................................................... 148

    Daftar Isi

    1006 Jurnal V0501.indb 2 25/06/2010 12:04:01

  • 3Kepemimpinan Muhammadiyah dan Masa Depan Pembaruan Islam Indonesia

    Muhd. Abdullah Darraz

    1 abad yang lalu, di tengah himpitan kolonialisme, rahim intelektual dan kultural Indonesia melahirkan para pembaru yang bukan hanya berjuang melawan hegemoni kolonial, namun juga yang lebih substansial adalah mendobrak ortodoksi-feodalisme dan kejumudan berfikir mayoritas masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, rahim kultural bangsa ini telah melahirkan sebuah kesadaran baru tentang perubahan dan pembaruan pada pelbagai tatanan kehidupan masyarakat.

    Kesadaran baru tersebut dibalut dalam berbagai pergerakan, baik pergerakan politik maupun pergerakan kultural. Muhammadiyah yang lahir di jantung ortodoksi dan kultur feodalistik masyarakat Jawa pada masa itu merupakan sebuah pergerakan kultural yang turut andil mengambil peran penyemaian kesadaran baru tersebut. Di bawah kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan, sejak awal keberadaannya, Muhammadiyah telah melakukan proses tranformasi sosial dalam bentuk amal-amal kongkret sehingga masyarakat Indonesia menjadi lebih tercerahkan. Muhammadiyah seolah menjadi moda yang mengantarkan kaum muslim Indonesia dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.

    Rahim intelektual dan kultural Indonesia telah melahirkan para pembaru yang bukan hanya berjuang melawan hegemoni kolonial, namun juga yang lebih substansial adalah mendobrak ortodoksi-feodalisme dan kejumudan berfikir mayoritas masyarakat Indonesia

    Pemimpin Redaksi Media MAARIF, Direktur Program

    MAARIF Institute

    1006 Jurnal V0501.indb 3 25/06/2010 12:04:01

  • 4 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Pengantar Redaksi

    Dalam pandangan Haedar Nashir (2010) Muhammadiyah generasi awal antara tahun 1912-1923 telah menghembuskan semangat pembaruan yang begitu gemilang. Kesadaran baru ini tidak lepas dari kegemilangan kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan dalam menjalankan roda persyarikatan ini. Ide-ide otentik KH. Ahmad Dahlan tidak bisa dipandang sebelah mata, bukan hanya bagi pergerakan internal Muhammadiyah saja, namun lebih jauh demi kemajuan kehidupan bangsa. Meski demikian, dewasa ini gerakan pembaruan Muhammadiyah sedang dipertanyakan eksistensinya.

    Dalam jurnal MAARIF edisi Muktamar 1 Abad ini, kami mencandra sepak terjang kepemimpinan Muhammadiyah dalam kaitannya dengan ide pembaruan yang selama ini telah mengakar pada organisasi asal Kauman, Yogyakarta ini. Pertanyaan besarnya adalah masih konsistenkah Muhammadiyah dewasa ini menjadi sebuah gerakan pembaruan? Ataukah kini Muhammadiyah tengah kehilangan spirit pembaruan yang menjadi identitas sejatinya? Dalam tulisan-tulisan di bawah ini, kami melihat ada benang merah keterkaitan antara model dan pola kepemimpinan yang dijalankan oleh Muhammadiyah dalam rentang waktu 100 tahun ini dengan konsistensi semangat pembaruan yang terjadi di dalamnya. Model kepemimpinan akan berpengaruh terhadap padam dan berkobarnya api pembaruan dalam Muhammadiyah. Ketika akhir-akhir ini wajah Muhammadiyah lebih terkesan konservatif dan anti-pembaruan, maka hal pertama yang perlu dievaluasi adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh Muhammadiyah dalam setiap levelnya. Sebuah adagium mengatakan, ikan busuk bermula dari kepalanya. Begitulah sepatutnya Muhammadiyah melakukan evaluasi dalam perhelatan akbar Muktamar 1 Abad yang akan datang ke depan.

    Fluktuasi Gerakan Pembaruan Muhammadiyah

    Dengan menggunakan perspektif sejarah, Anhar Gonggong mengakui bahwa KH. Ahmad Dahlan dan kepemimpinannya dalam Muhammadiyah telah mampu menjawab tantangan zaman saat itu, dimana masyarakat Indonesia tengah terkungkung dalam tradisi feodalistik masyarakat

    1006 Jurnal V0501.indb 4 25/06/2010 12:04:01

  • 5MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Pengantar Redaksi

    setempat dan terhimpit dalam jerat kolonialistik yang dibawa oleh bangsa asing-penjajah. Dalam konteks itulah Muhammadiyah memainkan peran sebagai pencerdas kehidupan bangsa. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah telah mendorong terciptanya kemerdekaan dengan memerdekakan cara berfikir dan menciptakan kesadaran baru dalam masyarakat pribumi. Ia tidak melawan penjajahan dengan kekuatan fisik-militeristik, namun membentuk kesadaran akan perubahan secara kultural dalam bentuk pendidikan dan gerakan sosial.

    Pembaruan yang telah dilakukan oleh Ahmad Dahlan ini tak lain terinspirasi dari ide-ide pembaruan Jamaluddin al-Afghani, dan kedua muridnya, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mengenai genealogi pemikiran pembaruan dalam Muhammadiyah ini, Haidar Bagir dan Mohamad Jafar memberikan catatan kritis terhadapnya. Bagi keduanya, pembaruan yang dilakukan oleh al-Afghani dan Abduh berbeda dengan pembaruan yang dilakukan oleh Rasyid Ridha. Afghani dan Abduh cenderung memiliki pandangan lebih rasional, kritis, dan moderat dibanding Ridha. Sedangkan Ridha lebih dekat pada salafism (H.A.R. Gibb: 1983). Bagir dan Jafar melihat bahwa pembaruan Muhammadiyah pada periode awal, terutama periode Ahmad Dahlan, cenderung sesuai dengan ide pembaruan yang dilakukan oleh Afghani dan Abduh. Sedangkan pada masa kini pembaruan Muhammadiyah lebih senafas dengan ide pembaruan Ridha, yakni pembaruan yang bermakna purifikasi (tajrid, tanzhif). Oleh karena itu, ada sedikit kemunduran yang terjadi pada Muhammadiyah periode saat ini.

    Asep Saeful Muhtadi dalam tulisannya Menakar Gerakan Pembaruan Muhammadiyah mencoba mempertimbangkan ulang ide-ide pembaruan Muhammadiyah sejak periode awal hingga periode akhir ini. Baginya, sepatutnya Muhammadiyah bisa memaknai pembaruan sebagai bentuk kontekstualisasi ajaran-ajaran keagamaan dalam konteks ruang-waktu kekinian. Jikalau Muhammadiyah gagal melakukan ini, maka sebetulnya Muhammadiyah telah berhenti sebagai sebuah gerakan pembaruan. Maka dalam hal ini ia menyarankan sejatinya Muhammadiyah dari masa ke masa senantiasa melakukan peninjauan ulang terhadap doktrin-doktrin dan

    1006 Jurnal V0501.indb 5 25/06/2010 12:04:01

  • 6 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Pengantar Redaksi

    konsep keagamaan, baik berupa konsep teologi, peribadatan, maupun ide-ide keagamaan yang dahulu pernah dicetuskan oleh Muhammadiyah generasi awal. Sehingga pembaruan bukan hanya sebagai jargon semata, namun lebih dari itu merupakan sebuah proses yang dinamis dalam menjawab tantangan kontemporer.

    Senafas dengan Asep Saeful Muhtadi, Endy Bayuni, seorang jurnalis senior, dalam tulisannya yang cukup kritis mempertanyakan haluan pergerakan Muhammadiyah di bawah kepemimpinan periode terakhir ini yang cenderung terombang-ambing dalam konservatisme. Memang pada awalnya Muhammadiyah dipandang berhasil menjadi kekuatan progresif yang mengantarkan masyarakat muslim Indonesia dari era tradisional menuju kehidupan modern. Namun ketika melihat perkembangannya dewasa ini, dimana ancaman sekularisme modern semakin membesar, Muhammadiyah yang awalnya mengemban misi progresif pun berubah menjadi kelompok konservatif, yang berusaha mempertahankan nilai-nilai, perilaku dan pandangan hidup masyarakat dari arus sekularisme yang sangat kuat. Bagi Endy, hal ini merupakan paradoks yang dihadapi oleh Muhammadiyah dewasa ini. Jika saja Muhammadiyah tidak mengantisipasi tantang global di masa kini dan mendatang, Muhammadiyah akan ikut ditelan mengutip M. Amin Abdullah (2010) terjangan badai Global Salafism, yang pada lima tahun terakhir ini sudah mulai menggoyang eksistensi dan identitas gerakan pembaruan dan intelektual Muhammadiyah.

    Kepemimpinan Muhammadiyah dan Lokomotif Pembaruan

    Dalam menghadapi tantangan global semacam ini, seharusnya

    Muhammadiyah memiliki para pimpinan persyarikatan yang siap untuk

    menghadapi badai yang akan selalu ada tersebut. Dalam kaitannya

    dengan hal ini, Sudhamek AWS, Ketua Majelis Buddhayana Indonesia,

    memberikan refleksinya secara mendalam mengenai kepemimpinan

    Muhammadiyah di masa mendatang. Baginya, kepemimpinan yang

    dijalankan oleh Muhammadiyah tidak lagi harus bertumpu pada model

    1006 Jurnal V0501.indb 6 25/06/2010 12:04:01

  • 7MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Pengantar Redaksi

    kepemimpinan figur. Organisasi sebesar Muhammadiyah tentu saja

    tidak boleh bergantung pada kekuatan figur pemimpinnya. Kekuatan

    harus ada pada organisasinya sendiri. Untuk itu perlu dibangun budaya

    organisasi, utamanya management system secara komprehensif sehingga

    ketergantungan pada pucuk pimpinan utamanya Ketua Umumnya tidak

    perlu terjadi. Oleh karena itu peremajaan (rejuvenation) terhadap pola

    dan bentuk struktur kepemimpinan Muhammadiyah ke depan patut

    untuk dilakukan. Dalam tulisannya ia mengendors bahwa sifat kolektif-

    kolegial dalam kepemimpinan Muhammadiyah harus lebih diperkokoh.

    Organisasi sebesar Muhammadiyah perlu mempunyai paling tidak

    1-2 Wakil Ketua Umum yang dipilih dalam satu paket dengan Ketua

    Umumnya di Muktamar kelak. Collective leadership untuk organisasi

    sebesar Muhammadiyah menurut hematnya akan lebih sehat dan kuat.

    Dalam hal kepemimpinan ini, Syafiq A. Mughni menggarisbawahi bahwa

    Muhammadiyah di masa mendatang masih akan terbebani PR besar yang

    menjadi batu sandungan pergerakan bila tidak segera diselesaikan. PR

    besar tersebut di antaranya adalah konsolidasi organisasi, yang meliputi

    persoalan kaderisasi, revitalisasi AUM (Amal Usaha Muhammadiyah)

    dan intensifikasi dakwah tajdidiyah. Untuk kepentingan itu, diperlukan

    kepemimpinan yang mampu melihat persoalan itu dengan jernih

    kemudian mencari pemecahan yang tepat. Jika konsolidasi internal saja

    belum tercapai secara utuh, mana bisa Muhammadiyah berfikir lebih

    luas untuk kepentingan bangsa. Oleh karenanya permasalahan internal

    ini mesti segera dituntaskan.

    Lebih jauh, Hilman Latief melihat bahwa manajemen kepemimpinan

    Muhammadiyah di masa mendatang, hendaknya tidak lagi mengacu pada

    paradigma kuantitatif. Namun lebih menukik pada paradigma kualitatif

    dan proses pemerataan kualitas kerja-kerja kepemimpinan di berbagai

    daerah dan pada pelbagai level. Sepatutnya, kemajuan Muhammadiyah

    tidak lagi dilihat dari seberapa banyak jumlah anggota, amal usaha, dan

    berbagai perangkat keorganisasian yang dimiliki oleh Muhammadiyah

    1006 Jurnal V0501.indb 7 25/06/2010 12:04:01

  • 8 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Pengantar Redaksi

    itu sendiri. Namun seharusnya lebih dilihat dari kualitas dan signifikansi

    keberadaannya di tengah masyarakat bangsa Indonesia dan masyarakat

    global pada level yang lebih luas. Apakah dengan banyaknya sekolah-

    sekolah Muhammadiyah ini bisa ikut meminimalisir angka putus sekolah,

    atau mengurangi angka kemiskinan di Indonesia?

    Dalam konteks kebangsaan, KH. Said Aqiel Siradj, Ketua Umum

    PB NU, menyadari sepenuhnya bahwa peran Muhammadiyah dan

    NU bagi bangsa ini sangatlah besar. Dua organisasi besar moderat ini

    harus bisa terus secara konsisten mengayomi perjalanan kebangsaan ke

    depan. Oleh karena itu, menurutnya, Muhammadiyah dan NU mesti

    dipimpin oleh para pemimpin yang memiliki kesadaran tentang betapa

    besar peran organisasi yang mereka pimpin. Said Aqiel berharap dengan

    kesadaran semacam itu, Muhammadiyah dan NU dapat menciptakan

    gebrakan yang lebih dinamis dalam mengawal kehidupan berbangsa di

    Indonesia ini. Oleh karenanya karakter pemimpin yang mesti dimiliki

    oleh Muhammadiyah dan NU adalah pemimpin yang dengan lantang

    dan tegas melakukan pembelaan terhadap mereka yang terpinggirkan.

    Pemimpin yang dengan gagah berani melakukan pembelaan terhadap

    siapapun yang didzalimi. Pemimpin yang maju di garda depan menentang

    segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

    Isu regenerasi kepemimpinan menjadi sorotan utama dalam tulisan Hajriyanto Y. Tohari. Anggota Muhammadiyah yang menjadi Wakil Ketua MPR RI ini mencermati secara seksama bergulirnya isu rencana Muhammad Amin Rais untuk kembali mencalonkan diri sebagai ketua Muhammadiyah sebagai pertanda mampatnya saluran regenerasi di lingkungan kader Muhammadiyah. Hajri mengakui bahwa akhir-akhir ini Muhammadiyah dirasakan mengalami stagnasi dalam regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan. Jika keadaan seperti ini tidak lekas ditanggulangi, maka dikhawatirkan ke depan Muhammadiyah hanya akan menjadi kapal karam dalam sejarah pergerakan bangsa ini. Oleh karena itu pemberian ruang dan kesempatan yang seluas-luasnya terhadap kader

    1006 Jurnal V0501.indb 8 25/06/2010 12:04:01

  • 9MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Pengantar Redaksi

    dan generasi muda Muhammadiyah patut untuk dilakukan. Sehingga saluran regenerasi kepemimpinan di Muhammadiyah tidak lagi menjadi mampat.

    Tulisan Mohamad Sobary yang berjudul Muhammadiyah dan Alternatif Kiblat Rohani Politik secara jujur, bernas, dan kritis melihat kepemimpinan Muhammadiyah di lima tahun terakhir ini gagal memberikan alternatif kiblat rohani bagi bangsa, terutama bagi hiruk pikuk kehidupan politik kebangsaan dewasa ini. Dalam menanggapi kekacauan kehidupan politik, hukum, dan moral pada bangsa ini, Muhammadiyah terkesan tidak berbuat apa-apa. Muhammadiyah seharusnya bisa mengawal perjalanan bangsa ini dan bersikap lebih tegas terhadap berbagai kebatilan dan kezaliman yang terjadi pada bangsa ini. Sobary menengarai problem yang dihadapi oleh Muhammadiyah berada pada level elite, yakni pada pucuk pimpinan yang tidak siap menghadapi berbagai permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini. Kepemimpinan pada akhirnya hanya menjadi simbol yang jauh dari makna substansialnya, karena kehilangan elan vitalnya dalam kehidupan. Ini menandakan gerakan pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dewasa ini semakin meredup dan bahkan sedang mengalami titik anti-klimaks.

    Berbeda dengan pandangan Mohammad Sobary, M. Syafii Anwar menilai bahwa kepemimpinan Muhammadiyah terakhir ini telah dijalankan dengan sebaik-baiknya di tengah kekisruhan politik tanah air dan tantangan globalisasi yang semakin rumit. Meski demikian, Syafii Anwar memberikan catatan kritis terhadap perlunya pengembangan kepemimpinan secara profesional, kredibel, dan merata di tanah air. Ke depan PP Muhammadiyah perlu memberikan perhatian terhadap kearifan lokal (local wisdom) yang banyak tumbuh dan berkembang di daerah-daerah. Selain itu munculnya kecenderungan konservatisme di lingkungan Muhammadiyah, menjadi tantangan besar yang harus dituntaskan segera oleh Muhammadiyah di masa mendatang. Sehingga Muhammadiyah bisa terhindar dari hempasan badai Global Salafisme yang secara internal berbentuk gerakan-gerakan Salafi Ideologis.

    1006 Jurnal V0501.indb 9 25/06/2010 12:04:01

  • 10 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Pengantar Redaksi

    Dalam jurnal ini, kami juga memuat 2 tulisan yang berbicara mengenai gerakan perempuan Muhammadiyah. Hal ini diupayakan untuk melihat sejauh mana Muhammadiyah akomodatif terhadap isu-isu gender. Tulisan Rita Pranawati meneropong seberapa besar keterlibatan perempuan dalam organisasi Muhammadiyah. Diakui memang organisasi ini telah memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi keterlibatan peran perempuan. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan gerakan emansipasi perempuan Islam pertama di Indonesia dalam bentuk pengajian Sopo Tresno (1914) yang kelak berubah menjadi ortom Aisyiyah (1917), lalu setelah itu dilanjutkan dengan beberapa ortom lain yang juga mengakomodir keterlibatan perempuan di dalamnya.

    Sedangkan tulisan Ai Fatimah lebih menukik mengkaji peran perempuan Muhammadiyah di ruang publik. Dalam evaluasinya, Ai Fatimah melihat Aisyiyah sebagai wadah pergerakan perempuan Muhammadiyah telah mendorong begitu besar peran-peran perempuan di wilayah publik, termasuk di dalamnya di wilayah keagamaan, pendidikan dan wilayah sosial. Namun ia memberikan catatan kritis, ke depan Organisasi Aisyiyah perlu memberikan sumbangan pemikiran yang kritis dalam debat publik menyangkut isu-isu dan kebijakan yang berkaitan dengan perempuan misalnya perda syariah, aborsi, RUU Pornografi, trafficking, tenaga kerja wanita di luar negeri, KDRT, buruh perempuan dll. Isu-isu semacam ini masih dinilai langka untuk disuarakan oleh ormas perempuan seperti Aisyiyah.

    Melalui tulisan-tulisan di jurnal MAARIF edisi Juni 2010 ini, kiranya ada muatan-muatan substansial yang bisa diberikan sebagai masukan bagi agenda evaluasi kepemimpinan pada Muktamar 1 Abad Muhammadiyah 3-8 Juli 2010 mendatang. Kami berharap agenda tersebut bisa memberikan secercah harapan perubahan bagi kemajuan Muhammadiyah dalam derap langkahnya di abad ke-2 ini. Semoga!!!

    1006 Jurnal V0501.indb 10 25/06/2010 12:04:01

  • 11

    Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan

    Anhar Gonggong

    Pendahuluan: Situasi Mondial dan Perubahan Sikap Kolonialis Belanda

    Matahari awal abad ke-20 memancarkan sinar yang

    menerangi ruang untuk berubah. Perubahan yang terjadi

    oleh tumbuhnya sikap-semangat baru, baik itu terjadi di

    negeri induk yang menjajah (Belanda) maupun di negeri anak

    jajahan (Nederlandsch-Indie). Sejalan dengan itu, sebagai

    pembuka untuk melatari uraian selanjutnya, mungkin ada

    baiknya kita mengutip pendapat Sartono Kartodirdjo (Pak

    Sartono), guru besar Sejarah UGM, sejarawan yang amat

    terpandang karena otoritas di bidangnya, yang menyatakan:

    Kurang lebih tahun 1870 Belanda memasuki periode Kapitalisme modern. Hasil revolusi industri selama masa dua puluh tahun sebelumnya terwujud di dalam perkembangan industri, perkapalan, perbankan dan komunikasi yang modern. Volume perdagangan dengan pesatnya, sedang perkembangan modal terjadi secara besar-besaran. Sistem perdagangan bebas mengatur hubungan-hubungan ekonomi Belanda dengan negara-negara tetangga. Politik pintu terbuka di Hindia Belanda dengan perkembangan perusahaan swasta mengakibatkan hasil-hasil tanah jajahan lebih banyak mencari pasarnya di negeri-negeri asing daripada di Negeri Belanda sendiri.

    Guru SMA Negeri dan SMA Muhammadiyah di Metro,

    Lampung, 1968-1969. Sejarawan, Mengajar di Universitas Indonesia,

    Universitas Negeri Jakarta dan Unika Atma Jaya, Jakarta.

    1006 Jurnal V0501.indb 11 25/06/2010 12:04:02

  • 12 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan

    Sebagian besar perkebunan yang didirikan sesudah tahun 1870 merupakan objek-objek penanaman modal. Ekspor modal ke Hindia Belanda sangat menanjak sejak tahun 1890. Dapat ditambahkan di sini, bahwa modal Belanda diekspor juga ke negeri-negeri di luar tanah jajahannya.1

    Tentu saja situasi yang dijelaskan di atas berkaitan dengan terjadinya

    situasi politik liberalisme. Terjadinya perkembangan politik yang

    demikian itu memberikan dampak pada perkembangan kondisi ekonomi

    dengan sistem politik di negeri Belanda. Periode antara tahun-tahun 1850

    dan 1870 meminjam Pak Sartono adalah masa jaya bagi liberalisme

    di negeri Belanda; sedang di Hindia Belanda, tahun-tahun tersebut

    merupakan periode transisi dari politik konservatif ke politik kolonial

    liberal. Di dalam perkembangannya kemudian, tindakan-tindakan kejam

    yang dilakukan oleh ekspedisi-ekspedisi militer melahirkan kritik-kritik

    tajam dari pelbagai pihak. Dan kritik yang paling tajam dilancarkan oleh

    kaum kapitalis, yang menghendaki agar pemerintah kolonial membuka

    daerah baru untuk investasi-investasi modal. Karena mereka mempunyai

    kepentingan untuk pada akhirnya mendapatkan konsesi-konsesi

    memperoleh monopoli.2

    Pelbagai perubahan itu telah mendorong lahirnya pemikiran baru di

    kalangan politisi Belanda sendiri dalam kaitannya dengan pemerintahan

    Belanda yang pernah dan sedang dijalankan di negeri jajahannya,

    Nederlandsch-Indie. Salah satu kelompok yang mengkritik kebijakan-

    kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial di negeri jajahannya

    ini ialah kaum etis, nama yang digunakan untuk menyebut politik kolonial

    yang baru, politik etis. Salah seorang juru bicara dari golongan ini ialah

    Van Deventer yang menulis artikel berjudul Een Eereschuld di media De

    Gids. Tuntutan agar perbaikan kesejahteraan terhadap pribumi makin

    kuat karena adanya kemerosotan kesejahteraan penduduk pribumi

    makin parah dan pandangan ini berasal dari kalangan perdagangan.

    Perkembangan politik di negeri jajahannya, Nederlandsch-Indie, pada

    akhirnya mendorong dimulainya politik kesejahteraan baru, dan itu resmi

    1006 Jurnal V0501.indb 12 25/06/2010 12:04:02

  • 13MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Anhar Gonggong

    tercantum di dalam Pidato Ratu Belanda, yang merupakan pertanda

    dimulainya zaman baru dalam pemerintahan kolonial3, tahun 1903.

    Di dalam waktu yang hampir bersamaan, di negeri-negeri yang mayoritas

    Islam di Timur Tengah (Asia Barat) juga terjadi perubahan-perubahan

    besar, dalam arti berlangsungnya pergumulan ide untuk melakukan

    perubahan-perubahan di dalam penafsiran dan penghadapan mereka

    terhadap sistem dunia yang menguasai ketika itu keterjajahan mereka.

    Dalam rangka itu kita mengenal nama Al-Afghani, Muhammad Abduh,

    Muhammad Rasyid Ridha dan gerakan Wahhabbi. Kumandang gerakan-

    gerakan pembaruan ke negeri-negeri Islam ini, sampai juga ke negeri-negeri

    Islam di Asia Tenggara, khususnya ke Indonesia; dan yang melakukannya

    ialah K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya.

    Periode Baru: Tampilnya Anak Negeri Jajahan yang Terdidik-Tercerahkan

    Sebelum politik etis dijalankan sebagai pertanda dijalankannya politik

    kolonial baru pemerintah kolonial juga memang telah mendirikan

    lembaga-lembaga pendidikan khusus, untuk mendapatkan tenaga-tenaga

    yang lebih terampil-profesional di dalam menangani persoalan yang

    dihadapi. Salah satu di antara lembaga pendidikan itu ialah STOVIA,

    yang juga disebut sebagai sekolah dokter Jawa. Lembaga ini telah melahirkan

    dokter-dokter yang ditempatkan di wilayah tertentu di Nederlandsch-

    Indie untuk mengatasi penyakit yang umum menjangkiti rakyat pribumi,

    seperti penyakit malaria, muntaber dan lain-lain penyakit tropis. Tetapi

    STOVIA, dalam arti alumni-alumninya, justru juga memberi dampak

    yang sangat penting-strategis untuk pada saatnya, tampil sebagai pemula

    untuk merubah nasib bangsanya, dari warga pribumi yang berbangsa

    banyak menjadi bangsa yang satu-bersatu. Yang saya maksudkan ialah

    dengan pembentukan organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei

    1908. Dengan itu, maka tampillah anak negeri terdidik-tercerahkan ke

    arena sejarah untuk merubah nasib bangsanya!

    1006 Jurnal V0501.indb 13 25/06/2010 12:04:02

  • 14 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan

    Sejalan dengan keterangan di atas, sangat berguna utnuk mengutip

    keterangan sejarawan senior yang memiliki otoritas di bidangnya, Ahmad

    Syafii Maarif (Pak Syafii) dari buku terbarunya memberikan keterangan:

    Kemudian apa yang dikenal dengan era Pergerakan Nasional sebenarnya adalah buah langsung dari sistem pendidikan Belanda yang membuka hati dan mata penduduk Nusantara. Ternyata hasil pendidikan Barat ini bagi sistem kolonial tak ubahnya seperti memelihara anak harimau, setelah besar tuannya dilawan dan bahkan diterkam. Dari rahim pendidikan Barat inilah munculnya tokoh-tokoh pergerakan yang secara berangsur bergerak menuju ke kemerdekaan tanah air dengan memakai senjata organisasi modern yang diilhami oleh sistem pendidikan Barat. Dengan demikian, secara tidak langsung penjajahan juga telah berjasa bagi Nusantara yang kemudian dikenal dengan nama bangsa dan negara Indonesia.4

    Kutipan di atas menyebutkan buah langsung dari sistem pendidikan

    Belanda yang membuka hati dan mata penduduk Nusantara. Pernyataan

    itu membuka suatu kenyataan baru pendidikan yang semula diintroduksi

    sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan administrasi

    pemerintahan dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi

    perusahaan swasta, ternyata memberi dampak yang sangat menentukan

    bagi berlangsungnya proses menuju

    dan menjadi bangsa yang satu-bersatu.

    Keterdidikan mereka pada lembaga

    pendidikan yang diciptakan oleh

    pemerintah kolonial itu, membuka

    hati dan mata mereka untuk

    melihat secara moral dan rasional

    terhadap nasib sesama warga anak

    negeri jajahan; demikian pula-

    perlakuan yang menempatkan anak

    negeri pribumi sebagai warga kelas

    rendahan, melahirkan dorongan

    Era Pergerakan Nasional sebenarnya

    adalah buah langsung dari sistem

    pendidikan Belanda yang membuka

    hati dan mata penduduk Nusantara.

    Ternyata hasil pendidikan Barat ini bagi

    sistem kolonial tak ubahnya seperti

    memelihara anak harimau, setelah

    besar tuannya dilawan dan bahkan

    diterkam

    1006 Jurnal V0501.indb 14 25/06/2010 12:04:02

  • 15MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Anhar Gonggong

    untuk merubah nasib mereka. Tampilnya mereka ke arena sejarah

    bangsanya itu juga merupakan hal yang secara langsung menyangkut

    dengan perlakuan yang mereka alami sendiri, ketika mereka menjalani

    pendidikan di sekolah mereka. Hal yang demikian itu ditulis Van Niel

    dalam rangkai kata:

    Banyak dokter-dokter muda, dan ini terutama berlaku sampai tahun 1914 merasa sakit hati atau tersinggung oleh perlakuan yang mereka terima sewaktu menjadi mahasiswa STOVIA. Peraturan di STOVIA mengharuskan semua orang Jawa dan Sumatera yang bukan Kristen, mamakai pakaian pribumi bila sedang berada di sekolah. Tujuan inipun jadi masalah mungkin saja ini berarti suatu usaha menentang asimilasi atau asosiasi, tetapi, jika demikian, tentu saja untuk memaksa dokter muda ini tetap berada dalam lingkungan masyarakat asli dimana mereka tetap puas dengan gaji yang agak kecil yang akan diterima mereka dibandingkan dengan orang-orang Indonesia dalam pemerintahan, yang berpangkat lebih tinggi dengan pendidikan yang rendah.5

    Dengan diperlakukannya peraturan diskriminatif seperti di STOVIA,

    dan mungkin juga di lembaga-lembaga pendidikan lainnya apapun

    alasan yang melatarinya, pasti menyebabkan berkembangnya ketidak-

    puasan dan beranggapan bahwa perlakuan peraturan itu sebagai

    pertanda direndahkannya kedudukan mereka di mata orang Eropa.

    Dengan adanya fakta-fakta situasi internal di dalam lingkungan STOVIA

    itu, dapat dikatakan di sini bahwa kelahiran Boedi Oetomo yang

    dibidani oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA, justru setidak-tidaknya

    dalam penglihatan saya merupakan langkah konseptual dari mahasiswa-

    mahasiswa tersebut untuk menunjukkan sikap penentangan mereka

    terhadap situasi diskriminatif yang sehari-hari dialaminya. Memang terlihat

    apa lagi dalam konteks waktu sekarang seakan-akan pembentukan

    Boedi Oetomo yang dilakukan oleh mahasiswa etnik Jawa itu bukanlah

    tindakan revolusioner, tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Paling

    tidak sekali lagi, dalam penglihatan saya pembentukan Boedi Oetomo

    itu telah memulai suatu cara baru konseptual dan radikal untuk

    1006 Jurnal V0501.indb 15 25/06/2010 12:04:02

  • 16 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan

    melakukan perlawanan terhadap

    sistem pemerintahan dan masyarakat

    kolonial Hindia Belanda. Sebab

    organisasi dalam bentuk Boedi

    Oetomo itu menjadi garis pembeda

    antara cara dan situasi perlawanan

    yang dilakukan oleh pendudukan

    Nusantara jajahan dengan perlawanan yang dilakukan oleh penduduk

    negeri jajahan Nederlandsch-Indie. Yang saya maksud dengan pernyataan

    di atas ialah sebagaimana diketahui sejak awal kedatangan Belanda

    dengan VOC-nya (1602), awal abad 17, 18 dan kemudian dilanjutkan

    oleh pemerintah Belanda pada abad ke-19, telah terjadi penaklukan-

    penaklukan wilayah kerajaan-kerajaan tradisional di Nusantara; dan

    penaklukan itu tidaklah mudah dilakukan, karena ternyata para

    pemimpin, tokoh-tokoh dari kerajaan-kerajaan tradisional itu sebagian

    besar menggunakan simbol-simbol Islam melakukan perlawanan

    penentangan terhadap penaklukan-penaklukan kolonial itu. Namun,

    perlawanan-penentangan terhadap penaklukan kolonial yang berlangsung

    pada abad-abad ke 17, 18 dan abad ke 19, menyuguhkan kenyataan pedih

    karena semua perlawanan itu sering saya sebut perlawanan dengan

    strategi otot yang berlangsung secara sporadis dan setempat-setempat

    lokal mengalami kekalahan. Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa

    (SulSel), Diponegoro di Jawa, Imam Bonjol di Minangkabau, Pattimura

    di Maluku, Sisingamangaraja di Tana Batak dan lain-lain, dengan tidak

    mengurangi rasa hormat dan penghargaan kita, sekali lagi mengalami

    kekalahan memedihkan.

    Anak-anak generasi kemudiannya, generasi muda abad ke-20, melakukan

    perubahan strategi perlawanan yang mendasar, yaitu yang sering saya

    sebut dengan strategi rasional, yang bertumpu pada kecerdasan otak, rasio.

    Senjata mereka bukanlah senjata fisik seperti klewang, keris, pedang,

    generasi muda abad ke-20, melakukan

    perubahan strategi perlawanan yang

    mendasar, yaitu yang sering saya

    sebut dengan strategi rasional, yang

    bertumpu pada kecerdasan otak, rasio

    1006 Jurnal V0501.indb 16 25/06/2010 12:04:02

  • 17MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Anhar Gonggong

    bedil dan lain-lain, melainkan senjata yang mengandalkan kemampuan

    rasio, bertumpu kepada kecerdasan otak dan keterampilan bicara dan

    menulis. Senjata-senjata yang dimaksud ialah organisasi diawali oleh

    Soetomo, dan kawan-kawan dari STOVIA ideologi, media massa dan

    dialog. Generasi (muda) yang terampil dalam usaha perlawanan terhadap

    keterjajahan diri sesama warga Nederlandsch-Indie negeri jajahan itu

    adalah warga yang meminjam Syafii Maarif terbuka hati dan matanya,

    atau yang saya sering sebut dengan warga terdidik-tercerahkan!

    K.H. Ahmad Dahlan: Menjawab Tantangan Zaman dengan Muhammadiyah

    Menempatkan langkah dan pemikiran yang melahirkan

    Muhammadiyah dalam konteks situasi mondial dan dampak internal

    di dalam negeri jajahan Nederlandsch-Indie sangat penting dan berguna

    untuk memahami penghadapan situasi dan jawaban yang diberikannya.

    Di tengah perubahan-perubahan itu, tempat kelahiran K.H. Ahmad

    Dahlan juga patut mendapat perhatian, dan juga posisi keluarganya di

    tengah masyarakat kolonialistik dan feodalistik waktu itu. Kesultanan

    Yogyakarta merupakan salah satu pusat kerajaan Jawa-Mataram, yang

    merupakan pecahan dari kerajaan-kerajaan Surakarta yang lainnya. Posisi

    Sultan pelindung agama. Dengan posisinya itu Sultan Yogyakarta harus

    menciptakan suasana yang memberi ruang yang nyaman bagi warganya

    untuk menjalankan ibadahnya. Dalam rangka itu, Kesultanan Yogyakarta

    membangun sebuah Mesjid Besar Kesultanan sebagai simbol dari

    kerajaan ini yang menempatkan agama Islam dalam posisi yang khas di

    dalam kerajaan itu. Di dalam wilayah kerajaan itu terbangun pula suatu

    kawasan yang didiami oleh warga Islam dengan nama: Kauman. Keluarga

    K.H. Ahmad Dahlan tidak dapat dilepaskan dari Mesjid Besar Kerajaan

    Yogyakarta dan kampung Kauman itu. Beliau lahir dan bertumbuh

    dewasa di dalam suasana kedua tempat itu. Ayahnya, K.H. Abu Bakar

    adalah Khatib Amir dan Penghulu Mesjid Besar Yogyakarta.6

    1006 Jurnal V0501.indb 17 25/06/2010 12:04:02

  • 18 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan

    Selanjutnya, yang perlu pula dicatat

    ialah bahwa beliau berangkat

    ke Mekah untuk menunaikan

    ibadah Haji dalam usia yang sangat

    muda, beberapa bulan setelah

    melangsungkan pernikahannya. Di

    dalam usia muda itu, di pusat simbol

    kesucian dan kebesaran agama Islam, Mekah, beliau berinteraksi

    dengan pelbagai ulama lainnya, baik yang berasal dari tempat-tempat lain

    di Indonesia dan sudah terlebih dahulu menetap di Mekah. Menurut

    Haedar Nashir, Kembali dari Mekah membawa inspirasi baru bagi

    Ahmad Dahlan dalam pemahaman keagamaan sekaligus menanamkan

    benih pergerakan.7

    Sekembali dari Mekah yang pertama, maka beliau melakukan langkah

    yang dalam konteks waktu itu, pasti merupakan langkah yang memancing

    reaksi dari lingkungannya, yaitu meluruskan arah kiblat yang dimulai

    tidak tepat kala itu.8 Tentu saja langkah-anjurannya itu segera

    mendapat tanggapan dari ulama-ulama lainnya, terbukti pada tahun

    1898, gagasannya itu dimusyawarahkan bersama dengan ulama-ulama

    dan khatib penghulu Yogyakarta, tetapi tidak mendapatkan kesepakatan.

    Hasil musyawarah ulama/khatib Yogyakarta itu menunjukkan dua hal,

    yaitu K.H. Ahmad Dahlan telah memulai memberikan, menyebarkan ide-

    idenya untuk melakukan perubahan di dalam praktek keagamaan. Yang

    kedua, penolakan peserta musyawarah untuk menerima idenya dalam

    hal merubah arah kiblat itu menunjukkan situasi kebekuan beragama

    pada waktu itu, yang amat sulit dicairkan.

    Yang menarik juga dicatat ialah pekerjaannya di dalam menghidupi

    diri dan keluarganya, yaitu pedagang, dengan modal yang diberikan

    oleh ayahnya.9 Salah satu ciri dari pedagang ialah mobilitasnya untuk

    membawa dan mengembangkan barang dagangannya. Dan dalam rangka

    itulah K.H.Ahmad Dahlan melakukan perjalanan ke pelbagai tempat,

    Kembali dari Mekah membawa

    inspirasi baru bagi Ahmad Dahlan

    dalam pemahaman keagamaan

    sekaligus menanamkan benih

    pergerakan

    1006 Jurnal V0501.indb 18 25/06/2010 12:04:02

  • 19MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Anhar Gonggong

    tidak hanya di Jawa, melainkan juga

    ke Sumatera, antara lain ke kota

    dagang, Medan. Saya mencatat

    mobilitasnya sebagai pedagang

    itu mempunyai dampak tertentu

    di dalam hal perluasan wawasan

    pengenalannya tentang umat Islam di

    Nusantara ketika itu. Dan tentu hal

    itu menjadi bagian dari benih untuk

    melakukan gerakan pembaruannya

    di kemudian hari melalui organisasi

    gerakan Muhammadiyah.

    Di tengah-tengah terjadinya pelbagai perubahan yang terjadi di Negeri

    Belanda, induk negeri jajahan Nederlandsch-Indie dan juga perubahan

    yang dijalankan secara internal di anak negeri jajahan Nederlandsch-

    Indie, maka pada tahun 1902, beliau kembali ke Mekah untuk melakukan

    ibadah haji yang kedua kalinya, ketika itu beliau telah berusia 34 tahun.

    Tentang kepergiannya ke Mekah yang kedua kalinya ini, Soetrisno

    Kutoyo, penulis biografinya dari Depdikbud menulis bahwa,

    Kepergiannya kali ini tidak lama, hanya dua tahun. Tetapi waktu yang dua tahun itu dipergunakannya dengan cermat dan penuh manfaat. Ia menambah ilmu, bertukar-fikiran, berdiskusi dan berdialog dan memantapkan pendirian. Selama di Mekah itu ia banyak mendapat bantuan dan sokongan atau dukungan moral. Seorang alim yang sudah sejak tahun 1890 menetap di tanah suci Mekah yaitu Kyai Haji Bakir, banyak membantu beliau. Kyai Haji Bakir juga berasal dari Kauman Yogyakarta dan bahkan masih ada hubungan kerabat dengannya. Dengan jasa baik Kyai Haji Bakir, K.H. Ahmad Dahlan dapat bertemu dengan M. Rasyid Ridha, seorang tokoh dan pemikir agama Islam yang terkenal waktu itu. Salah seorang kerabat Kyai Haji Ahmad Dahlan selama di Mekah ialah Akhmad Khatib, yaitu saudara sepupu Kyai Haji Agus Salim dan berasal dari Minangkabau. Akhmad Khatib selalu memberi dorongan kepada Kyai Ahmad Dahlan.

    Mobilitasnya sebagai pedagang itu

    mempunyai dampak tertentu di dalam

    hal perluasan wawasan pengenalannya

    tentang umat Islam di Nusantara

    ketika itu. Dan tentu hal itu menjadi

    bagian dari benih untuk melakukan

    gerakan pembaruannya di kemudian

    hari melalui organisasi gerakan

    Muhammadiyah

    1006 Jurnal V0501.indb 19 25/06/2010 12:04:02

  • 20 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan

    Sebagaimana Kyai Haji Ahmad Dahlan, maka Akhmad Khatib juga berpendapat bahwa pengajaran Islam di Indonesia sudah jauh ketinggalan zaman. Sudah harus diperbaharui dan diganti atau digunakan cara-cara modern.10

    Interaksinya dengan ulama-ulama, tokoh-tokoh Islam pembaruan selama

    berada di Mekah, baik tokoh-tokoh internasional maupun tokoh-tokoh

    sebangsanya yang telah lebih dahulu datang dan menetap di Mekah,

    kemudian juga pembacaannya terhadap sumber-sumber pemikiran

    pembaruan antara lain majalah al-Manar, semuanya telah mengakumulasi

    kekuatan pikirnya untuk melakukan langkah mewujudkan gagasan-

    gagasan melakukan perubahan pemahaman terhadap ajaran agama

    Islam di lingkungan masyarakat sesama warga anak negeri jajahan.

    Sebagai negeri jajahan Nederlandsch-Indie mempunyai dua tatanan

    masyarakat, dan umat Islam yang mayoritas di negeri jajahan ini

    menghadapi himpitan yang amat menyulitkan posisinya. Yang saya

    maksud ialah tatanan masyarakat feodalistik yang dibangun dalam

    perjalanan waktu yang panjang oleh kerajaan-kerajaan tradisional

    salah satu di antaranya ialah Kesultanan Yogyakarta tempat lahir dan

    hidupnya K.H.Ahmad Dahlan di pelbagai wilayah di kepulauan negeri

    jajahan ini. Sebagian besar di antara kerajaan-kerajaan tradisional itu

    justru ditegakkan dalam pelbagai tatanan kehidupan ritualistiknya

    dengan menggunakan simbol-simbol Islam. Setelah datangnya

    penjajahan asing di Nusantara terutama Belanda yang berawal

    dari VOC-nya maka bangsa kolonialis ini melakukan penaklukan-

    penaklukan untuk kemudian menciptakan tatanan kekuasaan

    dan masyarakat kolonialistik di wilayah Nederlandsch-Indie.

    Beradanya umat Islam di tengah-tengah dua sistem kekuasaan dan

    sistem masyarakat itu, tidaklah menguntungkan kehidupan Islam yang

    mayoritas itu. Walaupun sebagian besar kerajaan-kerajaan tradisional

    itu mengatasnamakan Islam dengan simbol-simbol kerajaannya, namun,

    di dalam praktek kekuasaan kerajaannya, justru menjadikan umat

    1006 Jurnal V0501.indb 20 25/06/2010 12:04:03

  • 21MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Anhar Gonggong

    Islam berada di dalam situasi yang terhimpit. Tidak jarang, Sultan, raja-

    raja kerajaan tradisional menghadapi penentangan terhadap sistem

    kekuasaannya dari ulama-ulama Islam, dan karena itu, tidak jarang pula

    kekuasaan kerajaan melakukan tindakan-tindakan represif terhadap

    ulama-ulama dan warga Islam di kerajaan-kerajaan tertentu. Ingat, raja

    Mataram Islam, Amangkurat II, telah melakukan pembunuhan yang

    amat kejam terhadap ratusan ulama, pemuka Islam di kerajaannya.

    Sedang bagaimana keadaan Islam selama berada di bawah penjajahan

    asing itu, ada baiknya mengutip pendapat seorang intelektual, penggerak

    Islam, pemimpin Muhammadiyah, Dr. M. Amien Rais sebagai berikut:

    Setelah berakhirnya sistem khalifah di Turki pada tahun 1924, dunia Islam mulai ramai membicarakan konsep negara Islam. Selama penjajahan Barat (termasuk Nederlandsch-Indie, Indonesia, penulis) atas Islam, kaum muslimin tidak sempat dan juga tidak mampu berpikir tentang ajaran agama mereka secara jelas, komprehensif dan tuntutan mengenai pelbagai masalah.

    Untuk waktu yang cukup lama, kaum muslimin secara sengaja dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam oleh penjajahan Barat dan dalam proses alienasi masyarakat Islam dari agamanya itu, kolonialisme dan imperialisme Barat itu melakukan west toxication atau proses peracunan-Barat atas dunia-dunia Islam. Selama mengalami proses ini, sebagian masyarakat Islam kemudian dihinggapi penyakit yang oleh Abulhassan Bani-Sadr disebut Westomania, penyakit kejiwaan yang menganggap Barat adalah segala-galanya.11

    Sepulang beliau dari Mekah yang untuk kedua kalinya itu, 1904, keadaan

    Nederlandsch-Indie memang telah mengalami perubahan-perubahan

    tertentu terutama karena mulai dijalankannya politik etis. Dan empat

    tahun dari kepulangannya dari Mekah itu, yaitu pada 1908, maka

    lahirlah Boedi Oetomo, sebagai pemula dari gerakan modern dengan

    menggunakan senjata organisasi. Di dalam perkembangannya kemudian,

    setelah berusia + 3 bulan, yaitu pada bulan Oktober 1908, justru Boedi

    Oetomo menjalankan perubahan organisasinya di Yogyakarta, yaitu

    1006 Jurnal V0501.indb 21 25/06/2010 12:04:03

  • 22 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan

    melaksanakan kongres organisasinya

    yang pertama di Yogyakarta. Menarik

    tentu untuk mengetahui hubungan

    antara K.H. Ahmad Dahlan dengan

    dua organsiasi awal yang dibentuk

    di Nederlandsch-Indie pada awal

    abad ke-20, yaitu Boedi Oetomo dan

    Sarekat Islam. Dengan terbentuknya

    Boedi Oetomo dan kemudian juga

    Sarekat Islam, tentu sebagai seorang

    pemimpin, ulama di Yogyakarta beliau melakukan interaksi dengan

    kedua organsiasi pemula itu. Beliau tentu sudah mengenal tokoh-tokoh

    Boedi Oetomo itu. Dan hal itu memungkinkan beliau terpilih sebagai

    salah seorang anggota pengurus. Demikian pula halnya, ketika Sarekat

    Islam terbentuk dan sampai ke Yogyakarta, maka beliau pun memasuki

    organisasi ini dan ikut aktif bergerak di dalamnya.

    Dari pelbagai keterangan di atas, tampak bahwa sebelum K.H.

    Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, beliau terlebih dahulu

    mempersiapkan landasan pengalaman yang bersumber dari berbagai

    situasi yang dihadapinya, baik itu yang diperolehnya ketika melakukan

    perjalanan ke dan menjalankan ibadah haji di Mekah, maupun

    pengalaman yang diperolehnya di negerinya sendiri yang sedang

    mengalami periode perubahan menuju istilah yang digunakan di

    dalam anggaran dasar Muhammadiyah ke kemajuan. Dan memang

    Muhammadiyah didirikan oleh beliau dimaksudkan untuk memajukan

    dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam dan

    memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang

    kemauan hidup agama anggota-anggotanya. Pengalaman yang demikian

    dengan sendirinya didukung pula oleh pemilikan ilmu yang dalam dan

    sikap moral yang kokoh.

    Memang Muhammadiyah

    didirikan oleh beliau dimaksudkan

    untuk memajukan dan

    menggembirakan pengajaran dan

    pelajaran agama Islam dan memajukan

    dan menggembirakan kehidupan (cara

    hidup) sepanjang kemauan hidup

    agama anggota-anggotanya

    1006 Jurnal V0501.indb 22 25/06/2010 12:04:03

  • 23MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Anhar Gonggong

    Penghidmatan dan rasa hayat

    sejarah itu juga memberikan

    pemahaman bahwa karya-

    karya di masa lampau sejarah

    itu termasuk karya-karya

    K.H. Ahmad Dahlan dengan

    Muhammadiyahnya menjadi

    karya-karya kekinian kita, karena

    karya-karya itu tidak terputuskan

    oleh adanya kemampuan kreatif

    dari generasi kini dan

    yang akan datang

    Penutup: Penghidmatan dan Rasa Hayat Sejarah

    Di dalam perjalanan abad ini, abad ke 21, Muhammadiyah akan

    melanjutkan perjalanannya ke usia 200 tahun. Dalam rangka itu, dalam

    pelbagai bentuk, kita melakukan pelbagai kegiatan sebagai simbol

    kegembiraan-kesyukuran. Tetapi apa makna peringatan kegembiraan

    itu, dilihat dari sejarah? Untuk jawaban atas pertanyaan ini, saya

    ingin memberikan keterangan yang mungkin berbeda dengan apa

    yang dipahami selama ini. Yang saya maksudkan ialah peringatan ini

    berkaitan dengan apa yang saya sebut dengan penghidmatan dan rasa

    hayat sejarah. Yaitu, memberikan nilai kepada sejarah di dalam konteks

    waktu kini dan generasi kini menjadikan karya-karya di kelampauan itu

    sebagai bagian dari dirinya. Itu berarti, sejarah dipahami sebagai bagian

    dari kelangsungan hidupnya, baik di dalam waktu kini, maupun di

    hari depan. Penghidmatan dan rasa hayat sejarah itu juga memberikan

    pemahaman bahwa karya-karya di masa lampau sejarah itu termasuk

    karya-karya K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya menjadi

    karya-karya kekinian kita, karena karya-karya itu tidak terputuskan oleh

    adanya kemampuan kreatif dari generasi kini dan yang akan datang.

    Sejalan dengan itu, penghidmatan dan rasa

    hayat sejarah itu akan memberikan nilai

    simbolis yang tidak terputuskan karena

    penghargaan atas kecerdasan, keberanian

    dan ketabahan yang melahirkan karya-karya

    yang sampai kini dalam hal ini, organisasi

    gerakan pembaruan Muhammadiyah masih

    menjadi milik bersama umat. Penghidmatan

    dan rasa hayat sejarah itu memberikan pula

    nilai yang demikian tinggi terhadap karya-

    karya itu, karena Muhammadiyah dan juga

    NU telah melahirkan dan membangun

    masyarakat Islam yang bertuhan di tengah

    1006 Jurnal V0501.indb 23 25/06/2010 12:04:03

  • 24 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan

    masyarakat feodal-kolonialistik sampai sekarang. Di tengah masyarakat

    yang demikian itu, Muhammadiyah dan juga NU telah melahirkan

    banyak pemimpin yang menjadi penopang kelangsungan hidup bersama

    kita dalam dan dengan bangsa-negara Indonesia. Dan itu semua karena

    tampilnya K.H. Ahmad Dahlan memberikan jawaban cerdas terhadap

    tantangan zaman dengan Muhammadiyah! Pertanyaan yang harus yang

    dijawab generasi abad ke-2 Muhammadiyah di tahun-tahun depan, ialah

    mampukah mereka menjawab tantangan rumit abad globalisasi ini,

    untuk tetap bertahan dan berada dengan kepala tegak, sebagaimana yang

    telah dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu? Sejarah masa depan yang

    akan memberikan jawabnya!

    (Endnotes)

    1 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, jilid 2, Gramedia, Jakarta, 1990, hal.22.

    2 Ibid., hal. 29.

    3 Ibid., hal.33.

    4 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai KeIndonesiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah, Mizan Pustaka, Bandung, 2009, hal.87.

    5 Pendapat Duyvendak, sebagaimana ditulis oleh Robert Van Niel,Munculnya Elit Modern Indonesia, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, hal.87.

    6 Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2010, hal. 116. Untuk mendapatkan tentang situasi Yogyakarta yang dikaitkan dengan K.H.Ahmad Dahlan. Lihat Sutrisno Kutoyo, Kyai Haji Ahmad Dahlan, khususnya bab III, Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek IDSN, Jakarta, 1985, hal. 28-39.

    7 Ibid., hal 115.

    8 Ibid., hal 118.

    9 Ibid., hal 116.

    10 Sutrisno Kutoyo, op.cit., hal. 47.

    11 M. Amien Rais, Kata Pengantar, di dalam Salim Azzam, BeberapaPandangan tentang Pemerintahan Islam, Mizan, Bandung, 1983, hal. 7.

    1006 Jurnal V0501.indb 24 25/06/2010 12:04:03

  • 25

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha? Menimbang Kembali Gineologi

    Pemikiran Muhammadiyah

    Haidar Bagir dan Muhammad Jafar

    Al-Afghani dan Abduh: Spirit Pembaruan IslamAda ungkapan lama dari H.A.R Gibb, namun masih penting untuk kita renungkan. Islam is indeed much more than a system of theology. It is a complete civilization. Demikian ditulis Gibb dalam Whither Islam (1932). Roger Garaudy juga memuji Islam sebagai sebuah agama yang memiliki jejak sejarah yang gemilang, yang bertaraf global dan memiliki energi dinamis. Bahkan, Garaudy menunjukkan optimismenya pada peran strategis Islam sebagai agama masa depan, seiring dengan krisis yang melanda peradaban Eropa. (Muhsin Al-Mayli: 1996). Marshall G.S. Hodgson (2002) juga mencatat bagaimana puncak peradaban Islam merupakan sebuah proyek besar yang dirintis dalam waktu yang tidak pendek. Sendi-sendinya telah ditanamkan sejak masa awal kelahiran agama ini.

    Pandangan-pandangan di atas mewakili sebuah kesaksian sejarah tentang kejayaan peradaban yang pernah dicapai Islam. Sebuah kesaksian yang diakui bahkan oleh Barat sendiri, sebuah entitas yang kini dianggap sedang memegang puncak peradaban dunia. Kegemilangan yang dicapai Islam tersebut menandai puncak integrasi rasio dan iman. Sebuah era dimana hampir seluruh aspek kehidupan, sains, agama, politik, kebudayaan, ekonomi, seni, berhasil disinergikan dalam sebuah tatanan kehidupan.

    Haidar Bagir adalah Direktur Utama Kelompok Mizan dan

    Dosen Islamic College for Advance Studies (ICAS)Paramadina,

    Jakarta. Meraih gelar Master dari Center for Middle Eastern Studies (CMES) Harvard University dan

    Doktor di bidang filsafat dari Universitas Indonesia.

    Muhammad Jafar adalah penulis di berbagai media massa nasional,

    khususnya dalam masalah Islam dan Timur Tengah. Ia

    mendapatkan gelar Sarjana-nya dari UIN Syarif Hidayatullah,

    Jakarta.

    1006 Jurnal V0501.indb 25 25/06/2010 12:04:03

  • 26 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?

    Keinginan untuk mengulangi kembali kejayaan yang pernah dicapai

    inilah yang menjadi motivasi seorang intelektual besar Islam abad 19,

    Jamaluddin al-Afghani. Berbasis gerakan intelektual dan beberapa

    pendekatan politik, al-Afghani mencoba mewujudkan cita-citanya

    tersebut.

    Secara faktual, dihadapkan pada fakta

    kemajuan peradaban Barat, umat Islam

    memiliki respon yang beragam. Pertama,

    romantisisme historis. Kalangan umat

    Islam yang mengalami stagnasi oleh

    kenangan nostalgis akan kejayaan masa

    lalu Islam, tanpa mau dan mampu untuk

    mengulanginya lagi pada tataran riil.

    Kedua, kalangan umat Islam terserang oleh

    waham-isme. Sebuah sikap yang bukan saja

    membesarkan-besarkan kejayaan Islam

    masa lalu, namun juga merasa hingga kini

    masih mengalami kejayaan tersebut. Ketiga,

    kalangan umat Islam yang dihinggapi inferioritas dihadapan kejayaan

    peradaban Barat saat ini. Ini diantara respon yang muncul dari umat

    Islam ketika diperhadapkan pada sejarah masa lalunya, sekaligus fakta

    masa kini.

    Respon di atas kemudian menghasilkan sikap yang berbeda diantara

    umat Islam terhadap peradaban Barat. Pertama, kalangan umat Islam

    yang menolak peradaban Barat dengan segala paradigma dan perangkat-

    perangkatnya. Kelompok ini memposisikan diri vis a vis dengan peradaban

    Barat, dengan dasar asumsi bahwa nilai-nilai yang diusung peradaban

    Barat tersebut bertentangan dengan nilai dan konsep keislaman. Kedua,

    kalangan umat Islam yang secara mutlak mengadopsi dan mengadaptasi

    corak peradaban Barat untuk diinternalisasikan ke dalam nilai dan konsep

    keislaman. Kalangan ini menjadikan peradaban Barat sebagai parameter

    Keinginan untuk mengulangi

    kembali kejayaan yang pernah

    dicapai inilah yang menjadi

    motivasi seorang intelektual

    besar Islam abad 19, Jamaluddin

    al-Afghani. Berbasis gerakan

    intelektual dan beberapa

    pendekatan politik, al-Afghani

    mencoba mewujudkan cita-

    citanya tersebut.

    1006 Jurnal V0501.indb 26 25/06/2010 12:04:03

  • 27MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Haidar Bagir dan Muhammad Jafar

    kemajuan. Asumsi mereka, kemajuan peradaban Barat saat ini tak lain

    cerminan dari kemajuan peradaban Islam dahulu kala, tentunya dengan

    berbagai inovasi dan kreasi. Jadi berkaca pada peradaban Barat, dalam

    perspektif ini, diasumsikan sama halnya dengan proses untuk meraih

    kembali kejayaan peradaban Islam dahulu kala.

    Dua pandangan tersebut mewakili dua titik ekstrem yang bertolak

    belakang. Namun implikasi dari dua pandangan tersebut sama. Yang

    berbeda hanya sisinya. Keduanya sama-sama menciptakan semacam

    alienasi umat Islam dari realitas. Pada pandangan yang pertama, alienasi

    terjadi karena umat Islam bersikap mengambil jarak dengan realitas.

    Mereka terperangkap pada tata nilai dan konsep keislaman, tapa mampu

    menerjemahkannya ke dalam tata laku di realitas. Sementara pada

    pandangan yang kedua, alienasi terjadi justru karena yang dipraktekkan

    bukanlah konsep dan nilai keislaman. Mereka terjebak pada asumsi

    similiaritas antara konsep keislaman dengan konsep yang dianut dalam

    peradaban Barat.

    Dengan menjadikan ragam respon dan pandangan di atas sebagai perbandingan, kita kembali pada pemikiran Jamaluddin al-Afghani. Yang digagas oleh Jamaluddin adalah jalan tengah diantara dua pandangan ekstrem diatas. Sebuah pandangan yang mencoba mengkombinasikan sisi positif peradaban Barat dengan nilai-nilai keislaman. Sains dan teknologi diantara sisi positif dari peradaban Barat. Adapun penentangan keras Jamaluddin terhadap corak peradaban Barat adalah pada motif kolonialisme, imperialisme dan materialismenya. Tiga hal ini, bagi Afghani, merupakan nilai dasar peradaban Barat yang senantiasa harus diwaspadai wujud latennya.

    Menurut Bassam Tibi (1988), Afghani dan Abduh (murid Afghani), dua

    tokoh yang dijuluki Bapak modernisme Islam, menyerukan kebangkitan

    Islam tetapi tidak dalam pengertian kembali secara romantik pada

    negara-Islamnya Nabi. Afghani dan Abduh bahkan menekankan untuk

    menerima kultur saintifik Eropa dan semua prestasi Eropa, sepanjang

    1006 Jurnal V0501.indb 27 25/06/2010 12:04:03

  • 28 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?

    bisa diintegrasikan ke dalam Islam.

    Namun dalam hal perjuangannya

    melawan kolonialisme, Afghani

    sangat tegas. Bahkan Tibi sampai

    menegaskan bahwa mungkin saja

    Afghani melihat dirinya sebagai

    Luther Islam.

    Ditilik dari kacamata Afghani, umat Islam yang menolak secara mutlak

    kemajuan sains dan tekhnologi Barat, akan dihadapkan pada problem

    keterbelakangan. Mereka akan selalu pada posisi tertinggal dari kemajuan

    yang dicapai bangsa lain. Sementara kelompok muslimin yang tanpa

    reserve mengadopsi nilai dan konsep peradaban Barat, justru terlena

    oleh apa yang disebut dengan westernisasi. Kelompok ini menjadikan

    Islam sebagai Barat dan Barat sebagai Islam. Mereka tak memiliki garis

    batas yang jelas antar keduanya.

    Dalam kerangka pemikiran di atas itulah gagasan keislaman Afghani

    hendaknya dilihat. Pembaruan Islam yang disuarakan Afghani selalu

    berada pada tarikan yang seimbang antara rasio dan iman, antara

    sains dan agama serta antara akal dan wahyu. Afghani mencoba

    menyeimbangkan ketiga hal tersebut pada proporsinya masing-masing.

    Dari segi keilmuan, penekanan Afghani pada peran filsafat cukup

    tinggi. Afghani menulis: Kaum muslim terdahulu tidak menguasai

    ilmu apapun, tetapi atas jasa agama Islam, semangat filsafat berkembang

    di kalangan mereka, dan dengannya mereka mulai membahas

    permasalahan-permasalahan yang menyangkut dunia dan kemanusiaan

    pada umumnya. Oleh karenanya, dalam waktu singkat mereka menguasai

    semua ilmu yang membahas permasalahan tertentu. (John. J Donohue

    dan John. L. Esposito: 1993).

    Namun, penekanan Afghani pada filsafat tersebut, tidak dalam kerangka

    mengesampingkan proporsi teologi (iman). Ini terlihat dalam perdebatan

    umat Islam yang menolak secara

    mutlak kemajuan sains dan tekhnologi

    Barat, akan dihadapkan pada problem

    keterbelakangan. Mereka akan selalu

    pada posisi tertinggal dari kemajuan

    yang dicapai bangsa lain

    1006 Jurnal V0501.indb 28 25/06/2010 12:04:04

  • 29MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Haidar Bagir dan Muhammad Jafar

    Afghani dengan Ernest Renan. Hipotesis Renan bahwa agama akan

    kehilangan perannya, lambat laun seiring dengan perkembangan dan

    kemajuan zaman, dibantah oleh Afghani. Afghani mengatakan bahwa

    masyarakat manusia tanpa Tuhan dan pengetahuan kenabian, tidak

    bisa menjadi masyarakat yang stabil. Masyarakat akan terlilit oleh chaos.

    Dalam kekacauan itulah, kata Afghani dalam perdebatan tersebut,

    kemudian muncul orang-orang jenius yang bukan hanya bertopang pada

    inspirasi dan juga kekuatan rasional. Tokoh-tokoh tersebut memiliki

    kemampuan untuk mengaktualisasikan akal dalam kaitannya dengan

    dimensi ketuhanan. (Muhsin Mahdi:2002)

    Kuatnya penekanan Afghani pada peran dan fungsi rasio, bisa kita

    lihat pada pemikiran-pemikiran muridnya, Muhammad Abduh.

    Minus peran di bidang politik, Abduh mengembangkan gagasan-

    gagasan Afghani pada dimensi teologi, pemikiran keislaman, aqidah,

    dan tafsir. Abduh meneguhkan signifikansi ijtihad, sebuah metodologi

    berpikir yang menurutnya bisa menuntun umat Islam untuk mengejar

    ketertinggalannya dari Barat. Karena metode ijtihad, memberikan

    keleluasaan pada umat Islam untuk merespon problem aktual dan

    kebutuhan akan progress di berbagai bidang.

    Rasyid Ridha: Sebuah Tinjauan Ulang

    Kita melihat runtutan corak pemikiran Afghani pada muridnya, Abduh.

    Namun, apakah hal yang sama kita temukan pada pemikiran Rasyid

    Ridha, murid Afghani dan Abduh? Pada tingkat Ridha, telah terjadi

    beberapa perubahan corak pemikiran yang diwariskan kedua gurunya

    tersebut. Perbedaan Ridha terutama bisa kita lihat dalam hal pemberian

    peran pada rasio.

    Shalahuddin Jursyi (2000), intelektual Tunisisa, mengatakan bahwa

    kesediaan Rasyid Ridha untuk menerbitkan majalah dan tafsir Al Manar

    sepeninggal Muhammad Abduh, tak lain hanyalah karena amanat dari

    1006 Jurnal V0501.indb 29 25/06/2010 12:04:04

  • 30 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?

    gurunya itu. Namun, hampir semua pengkaji Islam tahu bahwa Rasyid

    Ridha, meskipun tetap mempertahankan semangat dan jiwa reformis

    dalam tulisan-tulisannya, ia jauh kurang rasional dari Abduh. Dalam

    istilah Jursyi, kaki Ridha lebih sering berpijak pada ranah salafi

    daripada pemikiran gurunya.

    Meskipun dari segi aqidah Abduh tetaplah salafi, namun dia sangat

    memperkuat keterhubungan antara teks dan rasio. Bahkan, Abduh

    membuka pintu kemungkinan terjadinya kontradiksi antara teks

    dengan rasio. Teks adalah alat bantu bagi rasio. Sedangkan rasio

    harus digunakan untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dengan

    demikian, kemaslahatan adalah landasan pembangunan integral yang

    harus dijadikan sebagai wahana yang progresif bagi rasionalitas, sesuai

    dengan perubahan akumulatif yang terjadi. Karena itu, rasionalitas Islam

    progresif dibentuk dari hubungan dialektik yang konseptual antara teks

    dan tujuan-tujuan universalnya, ilmu pengetahuan kontemporer dengan

    segala bentuknya, dan kemaslahatan mayoritas umat Islam, demikian

    pandangan Abduh. (Shalahuddin Jursyi: 2000)

    Menurut Robert D.Lee (2000), Abduh melakukan reformasi doktrin

    Islam dengan menempatkan penalaran pada tempatnya. Abduh

    berpandangan bahwa Islam dan penalaran sama-sama mencerminkan

    kebenaran Tuhan. Keduanya tidak bisa bertentangan.

    Charles Adam, salah satu pengkaji pemikiran Abduh, mengatakan

    bahwa dua pertanyaan yang menjadi dasar pemikiran Abduh: hubungan

    antara akal dan wahyu di satu sisi dan hubungan Islam dengan agama

    lain (Bassam Tibi:1988). Penekanan Abduh pada ijtihad menjadi salah

    satu bukti besarnya porsi yang ia berikan pada rasio, meskipun Abduh

    tidak mengeleminir fungsi dan keberadaan taqlid.

    Sebagaimana Afghani, Abduh sangat menekankan proporsionalitas

    akal dan iman. Meskipun mengedepankan upaya maksimalisasi peran

    akal dalam pemikiran keislaman, Abduh tetap tidak mengesampingkan

    1006 Jurnal V0501.indb 30 25/06/2010 12:04:04

  • 31MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Haidar Bagir dan Muhammad Jafar

    proporsi iman. Penekanan tersebut hanya karena konteks saat itu dimana

    dalam khazanah pemikiran keislaman, proporsi nalar sangat minim.

    Sementara di tangan Ridha, rasio diperkecil peranan serta fungsinya dalam membaca (teks) Islam. Ridha bukan lagi cenderung hati-hati dalam memfungsikan rasio, namun sudah besar keterpengaruhannya pada paradigma salafi yang sangat meminimalisasikan peran rasio. Bagi seorang sarjana ahli filsafat seperti Muhsin Mahdi, bagaimana Ridha memberikan tempat yang lebih minim pada peran rasio, dalam batas tertentu bisa dilihat keterpengaruhan pemikiran dalam melahirkan Ikhwanul Muslimin. Dalam tingkat tertentu, akar pemikiran lahirnya Ikhwanul Musliminyang nota bene berbagi sejenis keyakinan salafiyah -- adalah pandangan Rasyid Ridha (Muhsin Mahdi: 2002)

    H.A.R.Gibb (1983) juga mencatat mendekatnya Ridha pada salafiyah.

    Menurut Gibb, pada puncaknya Ridha mengakui dan menumbuhkan

    hubungan antara pemikiran dan tujuan salafiyah dan wahhabiah. Dan

    pertalian kuat antar keduanya adalah pada penentangan terhadap sufi

    dalam bentuk apapun juga.1

    Setiap pembaca Tafsir al-Manar, tafsir karya Abduh, yang dilanjutkan

    oleh Ridha, juga sulit untuk melihat perbedaan yang cukup mencolok

    dalam hal pemikiran keduanya, khususnya dalam hal kepercayaan

    kepada peran akal dalam menafsirkan al-Quran dan memahami ajaran-

    ajaran Islam.

    Pada titik inilah, kita bisa melihat

    bahwa Ridha, berbeda dengan kedua

    gurunya, Afghani dan Abduh, tidak

    memberikan penekanan pada akal

    dan tidak memberikan tempat sama

    sekali pada kecenderungan sufisme.

    Persepsi Ridha tentang tasawuf

    berubah drastis. Padahal, sebelumnya

    Sementara di tangan Ridha, rasio

    diperkecil peranan serta fungsinya

    dalam membaca (teks) Islam. Ridha

    bukan lagi cenderung hati-hati

    dalam memfungsikan rasio, namun

    sudah besar keterpengaruhannya

    pada paradigma salafi yang sangat

    meminimalisasikan peran rasio

    1006 Jurnal V0501.indb 31 25/06/2010 12:04:04

  • 32 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?

    ia salah satu penganutnya. Ridha

    sepenuhnya beralih dari tasawuf

    ke salafiyah. Ridha membangun

    gagasan keislaman yang berorientasi

    pada salafisme dan hingga tidak

    menyisakan ruang bagi praktek-

    praktek keislaman yang berbasis

    sufistik.

    Pada titik ini, kita perlu mengkaji ulang paradigma Ridha, dalam konteks

    persamaannya dengan Afghani dan Abduh. Kedekatan Ridha pada

    salafisme adalah sebuah kecenderungan yang tidak kita dapatkan pada

    kedua gurunya tersebut. Dan tentu saja ini memberikan konsekuensi

    pada cara kita dalam mengapresiasi pemikiran Ridha.

    Muhammadiyah dan Pembaruan Islam Indonesia

    Pembaruan Islam Jamaluddin al-Afghani dan dua muridnya, Abduh dan

    Ridha, berhembus ke berbagai penjuru negeri Muslim. Kaum Muslim

    di Indonesia salah satu yang meresponnya. Ide pembaruan Islam juga

    kencang terjadi di dunia pemikiran keislaman Indonesia. Deliar Noer

    (1982) mengatakan bahwa ada dua aras utama yang menjadi sasaran dan

    arena dari tujuan gerakan pembaruan dalam konteks Indonesia, yaitu

    bidang sosial dan pendidikan di satu sisi dan bidang politik pada sisi yang

    lain. Pada ketiga bidang tersebut, pembaruan memainkan perannya.

    Sementara itu, ada tiga hal yang melatarbelakangi munculnya fenomena

    pembaruan di Indonesia (Jurnal Prisma 1984, nomor ekstra). Pertama,

    gerakan pembaruan muncul bersama dengan bangkitnya kesadaran baru

    di masyarakat Timur tentang keharusan menentang penjajahan Barat.

    Kedua, upaya penentangan tersebut tidak cukup hanya ditunjang oleh

    gagasan semata, namun juga kekuatan bersama dan lembaga untuk

    merealisasikannya. Ketiga, gerakan pembaruan memiliki kecenderungan

    kita perlu mengkaji ulang paradigma

    Ridha, dalam konteks persamaannya

    dengan Afghani dan Abduh. Kedekatan

    Ridha pada salafisme adalah sebuah

    kecenderungan yang tidak kita

    dapatkan pada kedua gurunya tersebut

    1006 Jurnal V0501.indb 32 25/06/2010 12:04:04

  • 33MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Haidar Bagir dan Muhammad Jafar

    serta sasaran yang berbeda-beda sesuai dengan fase-fasenya. Ada fase

    dimana yang menjadi fokus adalah seputar kepentingan praktis, seperti

    ritual, ibadah dan lainnya. Tapi pada fase selanjutnya kecenderungannya

    berubah dan cakupannya juga meluas pada dimensi yang lebih luas

    (bukan furuiyah) dan fundamental. .

    Salah satu tokoh yang terinspirasi oleh ide pembaruan Afghani adalah

    K.H Ahmad Dahlan. Gagasan Ahmad Dahlan tentang pembaruan Islam

    Indonesia kemudian teraktualisasikan dalam bentuk Muhammadiyah

    sebagai sebuah organisasi Islam kemasyarakatan. Banyak teori yang

    menawarkan berbagai perspektif soal yang melatarbelakangi lahirnya

    Muhammadiyah. A. Mukti Ali (1985), menginventarisasikan empat faktor

    yang mendorong lahirnya Muhammadiyah, yaitu kehidupan beragama

    yang tidak murni, pendidikan agama yang tidak efisien, kegiatan para

    misionaris Kristen, dan sikap masa bodoh dan bahkan anti agama dari

    kalangan intelegensia. Sementara Alwi Shihab (1998), lebih menekankan

    faktor penetrasi Kristen sebagai latar belakang lahirnya Muhammadiyah.

    Meskipun, Alwi tetap tidak menafikan pengaruh gagasan pembaruan yang

    berkembang di Timur Tengah pada abad ke-20 dan juga pertentangan

    ideologis dalam masyarakat Jawa, sebagai dua faktor yang memberikan

    kontribusi atas lahirnya Muhammadiyah.

    Secara umum, peran Muhammadiyah meliputi tiga ranah sekaligus:

    sebagai gerakan pembaruan, sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai

    kekuatan politik.

    Tajdid dan Tajrid

    Gagasan utama yang diusung Muhammadiyah adalah pemurnian (tajrid,

    tandhif) sekaligus pembaruan (tajdid, ishlah). Dua hal ini dijalankan secara

    seimbang dan proporsional. Inilah makna pembaruan dalam perspektif

    Muhammadiyah. Jika kita telusuri dari segi makna, tajdid (pembaruan)

    bukan hanya berarti mengembalikan sesuatu pada asal mulanya (iadat

    1006 Jurnal V0501.indb 33 25/06/2010 12:04:04

  • 34 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?

    al-syaiy ka al-mubtada) atau yang kita kenal dengan pemurnian. Tajdid juga

    berarti menghidupkan sesuatu yang telah mati (al-ihya). Tajdid bisa pula

    dimaknai membangun, mengembangkan (al-ishlah).

    Dengan kerangka definisi tersebut,

    maka makna pembaruan lebih luas

    cakupannya. Upaya pemurnian

    bukan saja berupa kembali pada

    sesuatu yang asal, namun juga ada

    sebuah ruang untuk aktualisasi dan

    kontekstualisasi. Aktualisasi mengacu

    pada aspek waktu atau zaman. Ajaran

    keislaman diperbaharui sesuai dengan

    perkembangan zaman (aktual).

    Sementara konstekstualisasi lebih

    pada upaya pembaruan sesuai dengan perubahan dan perbedaan tempat

    (konteks). Pada titik ini, tajdid menjadi sebuah upaya untuk kembali

    pada substansi ajaran Islam, sembari pada saat yang sama tetap menjaga

    spirit dinamisitas. Jadi, pada saat yang sama ada gerak kembali sekaligus

    gerak maju.

    Integrasi antara gerak kembali sekaligus gerak maju tersebut

    membuat Muhammadiyah menjadi organisasi dengan spirit gerakan

    wasathiyyah atau gerakan tengah. Jika kita teliti lebih mendalam,

    moderatisme Muhammadiyah ini memiliki spirit makna yang sama

    dengan faham moderasi yang dibangun oleh Afghani. Apresiasi Afghani

    terhadap peran rasio, akal, dan filsafat, mencerminkan spirit gerak

    maju Muhammadiyah dalam paradigma keorganisasiannya. Pada

    saat yang sama, tetap proporsionalnya posisi dan peran yang Afghani

    berikan pada iman, agama serta wahyu membuktikan bahwa gerak

    kembali juga menjadi bagian penting dalam upaya memperbaharui

    pemikiran keislaman. Tajdid mengandung pengertian bahwa kebangkitan

    Muhammadiyah adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat

    moderatisme Muhammadiyah ini

    memiliki spirit makna yang sama

    dengan faham moderasi yang

    dibangun oleh Afghani. Apresiasi

    Afghani terhadap peran rasio, akal,

    dan filsafat, mencerminkan spirit

    gerak maju Muhammadiyah dalam

    paradigma keorganisasiannya

    1006 Jurnal V0501.indb 34 25/06/2010 12:04:04

  • 35MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Haidar Bagir dan Muhammad Jafar

    Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan

    mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qurn dan al-

    Sunnah (A. Syafii Maarif, 1996). Singkat kata, pembaruan adalah sebuah

    proses untuk menerjemahkan keabadian dan universalitas Islam dalam

    kemewaktuan dan partikularitas.

    Pada tingkat implementasi, Afghani menerjemahkan gagasan

    jalan-tengahnya tersebut dengan cara mengakomodasi sisi positif

    kemajuan peradaban Barat dan menepis efek negatifnya; dengan spirit

    menemukan kembali spirit progres dalam ajaran Islam dan menyadari

    fakta keterbelakangan umat Islam saat ini. Sementara Muhammadiyah

    menerjemahkan paradigma tersebut dengan membangun sebuah

    keseimbangan sekaligus kesinambungan antara gagasan dan aksi, antara

    struktural dan kultural, serta antara moral dan spiritual. Sampai disini,

    kita bisa melihat kesinambungan antara gagasan pembaruan Islam yang

    dikembangkan Afghani dengan paradigma gerakan Muhammadiyah

    yang dipelopori oleh Ahmad Dahlan.

    Untuk mewujudkan gagasan besar diatas, dibutuhkan sebuah konsep

    pemikiran yang utuh dan konkret, yang menjadi basis gerakan organisasi

    ini. Amin Abdullah merupakan salah satu kader Muhammadiyah yang

    sejak lama mengintroduksi sebuah pendekatan yang komprehensif dalam

    pemikiran Muhammadiyah. Yaitu epistemologi keilmuan Islam yang

    berbasis pada tiga kerangka dasar: bayani, irfani dan burhani. Pandangan

    Amin ini kemudian bergulir menjadi wacana yang berkembang di

    Muhammadiyah. Amin (2007) menyebut ketiganya sebagai sebuah pola

    yang dikomotis-atomistik dalam bangunan ilmu Islam. Sebab diantara

    ketiganya, pada tataran faktual, cenderung dipertentangkan. Padahal

    pada tingkat konseptual, saling berhubungan dan tak terpisahkan.

    Corak pemikiran bayani sangatlah mendominasi dan hegemonik dalam

    bangunan pemikiran keislaman. Sebaliknya, menurut analisa Amin, corak

    pemikiran irfani (tasawuf, intuitif, al-Atify), kurang diapresiasi dalam

    1006 Jurnal V0501.indb 35 25/06/2010 12:04:04

  • 36 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?

    tradisi keilmuan bayani (fikh dan kalam) yang murni. Selain disebabkan

    oleh pemahaman yang kabur atau tumpang tindih antara tradisi berpikir

    keilmuan irfani dengan kelompok-kelompok atau organisasi tarekat serta

    syathahat-syathahat-nya, Amin juga menengarai kurangnya pemahaman

    yang komprehensif dan tepat atas struktur fundamental epistemologi dan

    pola pikir irfani. Bahkan, epistemologi kemudian diidentikkan dengan

    kecenderungan berpikir yang apologetik dan salah.

    Menurut Amin, fenomena ini cukup

    ironis, mengingat bahwa ketiga

    sistem epistemologi tersebut, bayani,

    irfani, dan burhani, pada dasarnya

    berada dalam satu rumpun. Dalam

    prakteknya, ketiganya bukan saja tidak

    saling mengenal, namun juga saling

    menafikan. Bahkan terjadi fenomena

    saling mengkafirkan. Dilihat dalam

    perspektif Muhammad Abid Al Jabiri, pola pikir tekstual bayani memang

    lebih dominan secara politis dan membentuk mainstream pemikiran

    keislaman yang hegemonik. Akibatnya, otoritas teks dan otoritas salaf

    lebih diunggulkan daripada sumber otoritas keilmuan yang lain, seperti

    ilmu kealaman (kauniyyah), akal (aqliyyah), maupun intuisi (wijdaniyyah).

    Implikasinya, epistemologi tekstual-lughawiyyah lebih diutamakan

    ketimbang epistemologi kontekstual-bahtsiyyah ataupun spiritualitas-

    irfaniyyah-bathiniyyah.

    Demikianlah, Amin Abdullah memperkenalkan gagasan keislaman yang

    komprehensif, yang jika diterapkan dapat mengarahkan umat Islam

    untuk melihat persoalan dari multi perspektif dan dimensi. Ini pula

    yang penting untuk disemaikan dalam pola pikir dan gerakan keislaman

    Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi. Muhammadiyah harus

    bertopang pada paradigma ini.

    Ketiga sistem epistemologi tersebut,

    bayani, irfani, dan burhani, pada

    dasarnya berada dalam satu rumpun.

    Dalam prakteknya, ketiganya bukan

    saja tidak saling mengenal, namun

    juga saling menafikan

    1006 Jurnal V0501.indb 36 25/06/2010 12:04:04

  • 37MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Haidar Bagir dan Muhammad Jafar

    Pada tingkat organisasi, Haedar Nashir, juga mensosialisasikan agenda

    di atas. Nashir mengatakan bahwa ada dua materi strategis yang dapat

    diselesaikan dalam Muhammadiyah menyangkut fondasi pemikiran yang

    fundamental dalam gerakan Islam ini.2

    Pertama, menyelesaikan atau memulai kembali penyusunan buku Risalah

    Islamiyah yang berisi tentang Islam dalam berbagai aspeknya yang menjadi

    pandangan resmi Muhammadiyah. Ini penting untuk memberi substansi

    atas slogan al-ruju ila al-Quran wa al-Sunnah Tanpa ini, Muhammadiyah

    tidak memiliki substansi pemikiran yang komprehensif dan fundamental,

    sehingga akan terjadi tarik menarik di dalamnya. Materi dalam al-Masail

    al-Khamsah (Masalah Lima) mengenai m hua al-din (apa itu agama),

    Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman

    Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan berbagai rumusan resmi

    lainnya, menurut Nashir, dapat menjadi dasar bagi perumusan Risalah

    Islam dalam pandangan Muhammadiyah.

    Kedua, mengembangkan konsep secara tuntas dan luas tentang

    Manhaj Tarjih mengenai tiga pendekatan dalam memahami Islam

    yaitu bayani, burhani, dan irfani. Menurut Nashir, ini penting untuk

    memperluas cakrawala metodologis dalam pengembangan pemikiran

    Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan paradigma purifikasi dan

    dinamisasi sebagaimana menjadi elan vital Muhammadiyah, menurut

    Nashir, pengembangan atau elaborasi pendekatan bayani, burhani, dan

    irfani akan menghasilkan konstruksi metodologis yang jelas dan luas

    dari manhaj tarjih. Ketiga pendekatan yang bersifat integratif ini, bagi

    Nashir, sebenarnya dapat memecahkan atau merupakan jalan keluar

    dari kebuntuan atau ekstrimitas yang selama ini menjadi bagian yang

    dianggap krusial dalam dunia pemikiran Muhammadiyah. Yaitu antara

    garis ekstrem kelompok radikal-tekstual versus radikal-kontekstual. Atau

    juga kategorisasi-kategorisasi lainnya yang sejenis, yang saling berlawanan

    secara diametral.

    1006 Jurnal V0501.indb 37 25/06/2010 12:04:05

  • 38 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?

    Ada tiga langkah yang direkomendasikan Nashir, Pertama, melakukan

    teoritisasi di mana ketiga pendekatan tersebut ditarik ke level epistemologi

    agar manhaj Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah

    memiliki bangunan epistemologis yang kokoh dan berada dalam

    paradigma multi perspektif. Baik yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu

    Islam klasik maupun kontemporer.

    Kedua, elaborasi metodologis. Yaitu dengan menurunkan kerangka

    berpikir pada ketiga pendekatan tersebut ke dalam berbagai cara berpikir

    (metode) yang lebih detail. Terutama ketika menjelaskan dimensi-dimensi

    ajaran Islam seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalat-duniawiyah

    pada tataran praksis.

    Ketiga, mengagendakan tajdid di bidang dakwah, organisasi, amal usaha,

    pengembangan kader dan anggota, dan berbagai model aksi gerakan.

    Ini penting untuk menghindari agar Muhammadiyah menjadi sebuah

    gerakan yang tidak mandul dari aksi serta agenda riil. Sebaliknya, menjadi

    gerakan Islam yang unggul dan bergerak di garis depan dalam dinamika

    kehidupan umat, bangsa, dan perkembangan global.

    Namun jika kita telusuri lebih jauh, gagasan di atas sebenarnya telah

    diintroduksi pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh, tahun 1995.

    Ketika itu, istilah yang digunakan adalah spiritualisasi syariah (Mulkhan:

    2003). Saat itu, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga

    mengenalkan pendekatan irfani, untuk melengkapi dua pedekatan yang

    lain.

    Bahkan lebih jauh lagi, Abdul Munir Mulkhan (2005) mencoba menarik

    garis historisnya pada pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, sang pendiri.

    Menurut Mulkhan, K.H. Ahmad Dahlan telah menyampaikan istilah-

    istilah seperti hati suci, Islam Sejati, akal suci dan Quran Suci

    pada pidatonya pada konggres Islam tahun 1921 di Cirebon dan Kongres

    Muhammadiyah bulan Februari 1922. Istilah-istilah ini, menurut

    Mulkhan, sebenarnya memiliki konotasi sufistik. Itu merupakan

    1006 Jurnal V0501.indb 38 25/06/2010 12:04:05

  • 39MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Haidar Bagir dan Muhammad Jafar

    ungkapan yang bernuansa bathiniah. Dan jika kita tarik dalam konteks

    yang lebih spesifik, jejak tersebut bisa mengantarkan kita pada gagasan

    sufistik pada pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Dahlan.

    Puncak terlihatnya wajah sufisme di Muhammadiyah sebenarnya

    pada sosok A.R. Fakhruddin. Fakhruddin memiliki corak pemikiran

    dan praktek kehidupan yang kental dengan nuansa sufistik. Sebagai

    Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlama sepanjang sejarahnya,

    19681990, pengaruh Fakhruddin, secara langsung maupun tidak,

    dalam mengintrodusir nuansa sufistik ke dalam paradigma serta

    gerakan Muhammadiyah sangat besar. Berikut ini dokumentasi Mitsuo

    Nakamura (1983) tentang salah satu pidato Fakhruddin yang amat kental

    nuansa sufistiknya: Bahwa jalan yang paling pasti untuk membentuk

    akhlak yang mulia adalah melakukan ibadat, dengan kesadaran penuh

    kepada Tauhid. Jalan yang harus dilalui dengan kesadaran adalah hasrat

    seseorang untuk menjadi ikhlas. Ikhlas menunjuk kepada orientasi

    mental yang sepenuhnya tidak terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi,

    kosong, bersih, dan kekosongan inilah yang harus diisi dengan Allah,

    sepenuhnya diisi dengan kebaktian kepada Allah, tidak pada yang lain.

    Bahwa shalat-shalat sunnah, termasuk witir, shalat dhuha dan yang

    sejenisnya sangatlah dianjurkan. Dan bahwa dzikir, wirid, bukanlah

    monopoli tarekat, dan boleh dipraktikkan bilamana hal tersebut dapat

    membantu meningkatkan kesalehan seseorang serta ikhlas dalam

    beribadah maupun dalam bermuamalah.

    Pada dasarnya, asumsi yang terbangun

    selama ini, bahwa Muhammadiyah

    berada pada posisi yang bertolak

    belakang dengan paradigma sufistik,

    perlu dikaji ulang. Para pendiri

    organisasi ini sebenarnya memiliki

    gagasan-gagasan keislaman yang tidak

    Puncak terlihatnya wajah sufisme di

    Muhammadiyah sebenarnya pada

    sosok A.R. Fakhruddin. Fakhruddin

    memiliki corak pemikiran dan praktek

    kehidupan yang kental dengan

    nuansa sufistik

    1006 Jurnal V0501.indb 39 25/06/2010 12:04:05

  • 40 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?

    jauh dari nuansa sufistik. Mereka sangat apresiatif terhadap nilai-nilai

    serta paradigma sufisme.

    Meski tarikan untuk menjadi lebih fundamentalistik selalu laten dalam

    pemikiran dan praktik sebagian pemikir dan aktivis Muhammadiyah,

    bahkan dapat diduga bahwa kedekatan Muhammadiyah dengan

    berbagai aspek kultural dalam tradisi masyarakat Indonesia khususnya

    di Jawa sesungguhnya berakar pada apresiasi terhadap nuansa sufistik

    ajaran-ajarannya. Dilihat dari perspektif ini, cara penghayatan Islam

    Muhammadiyah sesungguhnya lebih dekat pada kategori low Islam

    yang di dalamnya agama telah menyatu dengan budaya -- sebagaimana

    diperkenalkan oleh Ernest Gellner, ketimbang high Islam yang cenderung

    lebih fundamentalistik.

    Kesimpulan

    Akhirnya, memasuki usianya yang sudah menembus satu abad,

    tantangan yang dihadapi Muhammadiyah semakin kompleks dan

    berat. Gerakan Muhammadiyah pada berbagai bidang tidak lagi

    bisa menggunakan pendekatan lama. Tuntutan realitas membuat

    Muhammadiyah hendaknya lebih responsif untuk menggunakan

    media serta perangkat sosial dan kultural yang lebih relevan dan

    efektif untuk konteks saat ini.

    Tantangan tersebut sekaligus pada dua ranah: intelektual dan gerakan.

    Pada tingkat intelektual, gagasan-gagasan yang disemaikan oleh Amin

    Abdullah dan yang serumpun dengan itu, sangat mendesak untuk terus

    dikembangkan. Membangun sebuah basis epistemologis yang berbasis

    pada bayani, irfani dan burhani akan menciptakan sebuah keseimbangan

    tersendiri. Sebuah keseimbangan yang akan mengingatkan kita pada

    gagasan yang diusung oleh Afghani dan Abduh. Dimana rasio dan iman

    berada pada garis yang sejajar, dengan masing-masing pola pendekatan

    yang menjadi ciri khas serta kekuatannya.

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?

    1006 Jurnal V0501.indb 40 25/06/2010 12:04:05

  • 41MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Haidar Bagir dan Muhammad Jafar

    Secara mendasar, sulit untuk

    membantah tesis yang menyatakan

    bahwa kecenderungan sufistik pada

    dasarnya tertanam dalam kultur

    pemikiran dan gerakan Islam

    Muhammadiyah. Lepas dari kritik yang

    mungkin kita lontarkan pada gagasan-

    asli Abied al-Jabiri, gagasan keislaman

    yang mengkombinasikan epistemologi

    bayani, irfani dan burhani tak lain

    adalah sebuah proses menumbuhkan

    corak epistemologis yang sebenarnya

    benihnya sudah tertanam di rimbunan

    sejarah keilmuan dan gerakan

    organisasi ini.

    Wal-Laahu alam

    Referensi:Abdul Munir Mulkhan, Islam Sejati: K.H. Ahmad Dahlan dan Petani

    Muhammadiyah, Serambi, 2003.

    Alwi Shihab, Membendung Arus; Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (1998).

    Amin Abdullah, Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi dan Interkoneksi, Suka Press, 2007.

    Bassam Tibi, The Crisis of Modern Islam, The University of Utah Press, 1988.

    Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Cet.8. 1996

    H.A.R Gibbi, Whither Islam?, London. 1932.

    Haidar Bagir - Muhammad Jafar

    Secara mendasar, sulit untuk

    membantah tesis yang menyatakan

    bahwa kecenderungan sufistik

    pada dasarnya tertanam dalam

    kultur pemikiran dan gerakan Islam

    Muhammadiyah. Lepas dari kritik

    yang mungkin kita lontarkan pada

    gagasan-asli Abied al-Jabiri, gagasan

    keislaman yang mengkombinasikan

    epistemologi bayani, irfani dan

    burhani tak lain adalah sebuah proses

    menumbuhkan corak epistemologis

    yang sebenarnya benihnya sudah

    tertanam di rimbunan sejarah

    keilmuan dan gerakan organisasi ini.

    1006 Jurnal V0501.indb 41 25/06/2010 12:04:05

  • 42 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010

    Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?

    Haedar Nashir, Makalah Seminar Pra-Muktamar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid, 21 s.d 22 November 2009, di Kampus UM Malang, Malang-Jawa Timur.

    John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Ensiklopedia Masalah-masalah, Rajawali Press, 1993.

    Jurnal Prisma, nomor ekstra, 1984.

    Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Paramadina, 2002.

    Mitsuo Nakamura Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. Gajah Mada Press, 1983.

    Muhsin Al-Mayli, Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius Roger Geraudy, (Terj) Paramadina, 1996

    Muhsin Mahdi dalam Tradisi-tradisi Intelektual Islam, Farhad Daftary (editor), Penerbit Erlangga, 2002

    Mukti Ali, The Muhammadiyah Movement: A Bibliographical Introduction, tesis MA di McGill University (1985).

    Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, Dari Nalar Puisi Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, Mizan, 2000.

    Sayy