v. hasil dan pembahasan v... · (tempat pemakaman umum), ... badan air, dan rumput,semak, ... pada...

34
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan di Kota Bekasi Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird adalah permukiman teratur, permukiman tidak teratur, kebun campuran, TPLB (Tanaman Pertanian Lahan Basah), TPLK (Tanaman Pertanian Lahan Kering), kawasan industri, RTH (Ruang Terbuka Hijau), fasilitas pendidikan, lahan kosong, TPU (Tempat Pemakaman Umum), TPA (Tempat Pembuangan Akhir), badan air, dan rumput,semak, ilalang. Pada uraian berikut akan dijabarkan berbagai jenis penggunaan lahan dan penyebarannya di Kota Bekasi. Permukiman Teratur. Permukiman Teratur adalah sekumpulan bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal dengan bentuk, ukuran dan jarak rumah satu dengan yang lain seragam. Dalam penggunaan lahan ini juga termasuk bangunan perdagangan, jasa, dan perkantoran. Permukiman teratur tersebar di seluruh kecamatan. Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, dan Rawalumbu memiliki luasan sebaran permukiman teratur terbesar. Gambar 7. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Permukiman Teratur Permukiman Tidak Teratur. Permukiman tidak teratur adalah sekumpulan bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal dengan bentuk, ukuran, dan jarak antar rumah yang tidak seragam, memiliki pola tidak teratur, dan berasosiasi dengan kebun campuran. Dalam penggunaan lahan ini juga termasuk bangunan perdagangan, jasa, dan perkantoran. Penyebaran permukiman tidak teratur dengan luasan terbesar terdapat pada Kecamatan Pondok Gede, Bekasi Barat, dan Jati Asih.

Upload: lenhi

Post on 02-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penggunaan Lahan di Kota Bekasi

Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird adalah

permukiman teratur, permukiman tidak teratur, kebun campuran, TPLB (Tanaman

Pertanian Lahan Basah), TPLK (Tanaman Pertanian Lahan Kering), kawasan

industri, RTH (Ruang Terbuka Hijau), fasilitas pendidikan, lahan kosong, TPU

(Tempat Pemakaman Umum), TPA (Tempat Pembuangan Akhir), badan air, dan

rumput,semak, ilalang. Pada uraian berikut akan dijabarkan berbagai jenis

penggunaan lahan dan penyebarannya di Kota Bekasi.

Permukiman Teratur. Permukiman Teratur adalah sekumpulan bangunan yang

digunakan sebagai tempat tinggal dengan bentuk, ukuran dan jarak rumah satu

dengan yang lain seragam. Dalam penggunaan lahan ini juga termasuk bangunan

perdagangan, jasa, dan perkantoran. Permukiman teratur tersebar di seluruh

kecamatan. Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, dan Rawalumbu memiliki

luasan sebaran permukiman teratur terbesar.

Gambar 7. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan Permukiman Teratur

Permukiman Tidak Teratur. Permukiman tidak teratur adalah sekumpulan

bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal dengan bentuk, ukuran, dan jarak

antar rumah yang tidak seragam, memiliki pola tidak teratur, dan berasosiasi

dengan kebun campuran. Dalam penggunaan lahan ini juga termasuk bangunan

perdagangan, jasa, dan perkantoran. Penyebaran permukiman tidak teratur

dengan luasan terbesar terdapat pada Kecamatan Pondok Gede, Bekasi Barat,

dan Jati Asih.

34

Gambar 8. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur

Kawasan Industri. Kawasan industri umumnya memiliki luasan yang besar.

Kawasan industri hanya terdapat di beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan

Bantar Gebang, Mustika Jaya, Bekasi Barat, Bekasi Utara, Medan Satria, dan

Rawalumbu. Kota Bekasi bagian Utara dan Selatan memiliki luasan sebaran

kawasan industri terbesar.

Gambar 9. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan Kawasan Industri

Ruang Terbuka Hijau. Penggunaan lahan ini dikhususkan untuk jalur hijau

jalan, pulau jalan dan sempadan sungai. Seluruh Kecamatan di Kota Bekasi

memiliki RTH. Kecamatan Rawalumbu dan Bekasi Selatan adalah kecamatan

yang memiliki sebaran RTH terluas.

35

Gambar 10. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau

Tanaman Pertanian Lahan Basah. TPLB adalah lahan pertanian yang ditanami

padi sebagai tanaman utamanya. Penggunaan lahan TPLB merupakan gabungan

dari berbagai fase berdasarkan faktor usia tanaman. Persebaran luas TPLB di

Kota Bekasi terbesar terdapat pada bagian Selatan Kota Bekasi, yaitu Kecamatan

Bantar Gebang dan Kecamatan Mustika Jaya.

Gambar 11. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan TPLB.

Tanaman Pertanian Lahan Kering. Tanaman Pertanian Lahan Kering biasanya

terdiri dari ladang dan tegalan, yang ditanami dengan tanaman semusim.

Persebaran TPLK merata hampir di seluruh kecamatan, kecuali pada Kecamatan

Pondok Gede. Luasan TPLK terbesar yaitu pada Kecamatan Mustika Jaya.

36

Gambar 12. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan TPLK.

Kebun Campuran. Kebun campuran adalah tanah pertanian yang ditanami

tanaman tahunan seperti melinjo, nangka, kelapa, pisang, dan lain-lain. Biasanya,

kebun campuran berada di sekitar permukiman tidak teratur. Penggunaan lahan

kebun campuran menyebar merata di seluruh kecamatan di Kota Bekasi.

Kecamatan Mustika Jaya dan Kecamatan Jati Asih memiliki sebaran luas kebun

campuran terbesar.

Gambar 13. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan Kebun Campuran

Lahan Kosong. Lahan kosong adalah lahan terbuka yang diatasnya tidak

terdapat bangunan. Biasanya lahan kosong dulunya adalah lahan sawah yang

akan dijadikan perumahan teratur oleh pihak-pihak swasta. Kecamatan Mustika

Jaya dan Bekasi Utara adalah kecamatan yang memiliki luasan lahan kosong

terbesar.

37

Gambar 14. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan Kosong

Fasilitas Pendidikan. Fasilitas pendidikan merupakan bangunan yang digunakan

untuk sarana pendidikan. Setiap kecamatan memiliki fasilitas pendidikan.

Kecamatan Bekasi Timur dan Rawalumbu memiliki luasan terbesar untuk

fasilitas pendidikan.

Gambar 15. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan Fasilitas Pendidikan

Tempat Pembuangan Akhir. Tempat pembuangan akhir biasanya jauh dari

pusat kota. TPA hanya terdapat pada Kecamatan Bantar Gebang. Hal ini terkait

dengan alokasi untuk TPA yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Gambar 16. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan TPA

38

Badan Air. Persebaran badan air tidak merata di seluruh kecamatan. Kecamatan-

kecamatan yang tidak memiliki badan air yaitu Kecamatan Pondok Gede, Bekasi

Barat, Medan Satria, dan Kecamatan Pondok Melati.

Gambar 17. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan Badan Air

Tempat Pemakaman Umum. TPU biasanya terletak jauh dan agak terpisah dari

permukiman penduduk. Persebaran TPU hampir merata di seluruh kecamatan

kecuali di Kecamatan Medan Satria.

Gambar 18. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan TPU

Rumput, Semak, Ilalang. Persebaran penggunaan lahan rumput/semak/ilalang

terbesar yaitu terdapat pada Kecamatan Jati Sampurna.

Gambar 19. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang

Penggunaan Lahan Rumput/Semak/Ilalang

39

5.2 Perubahan dan Pola Penggunaan Lahan di Kota Bekasi

5.2.1 Perubahan Penggunaan Lahan Kota Bekasi

Penggunaan lahan di Kota Bekasi cenderung mengalami perubahan luas

setiap tahunnya. Luas tiap penggunaan lahan di Kota Bekasi pada tahun 2003 dan

tahun 2010 disajikan pada Tabel 9. Penggunaan lahan yang mengalami

peningkatan luas terbesar adalah kelompok penggunaan lahan terbangun, seperti

permukiman tidak teratur, permukiman teratur, fasilitas pendidikan, dan kawasan

industri. Sementara itu penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas

mengarah ke penggunaan lahan non terbangun, seperti badan air, kebun

campuran, lahan kosong, TPLB (Tanaman Pertanian Lahan Basah), dan TPLK

(Tanaman Pertanian Lahan Kering). Selain itu terdapat juga penggunaan lahan

yang tidak mengalami perubahan yaitu TPU (Tempat Pemakaman Umum). Peta

perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun 2003-2010

40

Tabel 9. Luas Penggunaan Lahan Tahun 2003, 2010, dan Perubahannya

Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2003

( ha )

Tahun 2010

( ha )

Perubahan

( ha )

Perubahan

( % )

Badan Air 21.23 20.43 -0.80 -4%

Fasilitas Pendidikan 79.88 80.62 0.74 1%

Kawasan Industri 602.74 629.20 26.45 4%

Kebun Campuran 3820.74 3071.84 -748.90 -20%

Lahan Kosong 2255.58 1897.72 -357.86 -16%

Permukiman Tidak Teratur 5511.09 6585.28 1074.19 19%

Permukiman Teratur 3994.00 4766.73 772.73 19%

Ruang Terbuka Hijau 725.47 799.80 74.33 10%

Rumput,semak,ilalang 1351.57 1124.31 -227.27 -17%

Tempat Pembuangan Akhir 159.31 160.76 1.45 1%

Tanaman Pertanian Lahan Basah 2413.36 1815.76 -597.60 -25%

Tanaman Pertanian Lahan Kering 360.56 279.70 -80.87 -22%

Tempat Pemakaman Umum 62.84 62.84 0.000 0%

Penggunaan lahan di Kota Bekasi pada tahun 2003 didominasi oleh

permukiman baik permukiman teratur sebesar 18,5 % (3994,00 ha) maupun

permukiman tidak teratur sebesar 25,51 % (5511,09 ha). Proporsi penggunaan

lahan oleh permukiman yang paling besar terdapat di Kecamatan Pondok Gede

untuk permukiman tidak teratur sebesar 715, 85 ha dan Kecamatan Bekasi Utara

untuk permukiman teratur sebesar 551,28 ha. Hal ini dikarenakan kedua

kecamatan tersebut memiliki jumlah penduduk tertinggi di Kota Bekasi pada

tahun 2003, yaitu sebanyak 232.110 jiwa di Kecamatan Pondok Gede dan 236.303

jiwa di Kecamatan Bekasi Utara.

Penggunaan lahan pada tahun 2010 yang mengalami penurunan luas

terbesar adalah kebun campuran. Penggunaan lahan ini mengalami penurunan

menjadi 14,22 % (3071,84 ha), diikuti dengan lahan kosong menjadi 8,78 %

(1897,72 ha) dan TPLB mengalami penurunan menjadi 8,40 % (1815,76 ha).

Penurunan luas kebun campuran terbesar terjadi di Kecamatan Pondok Gede,

yang sejalan dengan peningkatan luas untuk penggunaan lahan pemukiman tidak

teratur.

41

Gambar 21. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2003-2010

Pada Gambar 21 dapat dilihat peningkatan permukiman tidak teratur

sebesar 19% (1.074,19 ha), permukiman teratur sebesar 19% (727,73 ha),

Kawasan Industri 4% (26.45 ha), fasilitas pendidikan dan TPA 1% (0,74 ha) dan

(1,45 ha ), RTH sebesar 10% (74,33 ha). Hal ini diikuti dengan penurunan kebun

campuran sebesar 20% (748,90 ha), lahan kosong 16% (357,86 ha), penggunaan

lahan rumput, semak, ilalang sebesar 17% (227,27 ha), TPLB dan TPLK sebesar

25% dan 22% (597,60 ha dan 80,87 ha). Kecamatan Bekasi Utara adalah

kecamatan yang memiliki proporsi ruang terbangun (permukiman tidak teratur,

permukiman teratur, kawasan industri, fasilitas pendidikan) terbesar yaitu sebesar

1.138,93 ha dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 1.339 ha.

Penggunaan lahan Kota Bekasi secara spasial disajikan pada Peta

Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun 2003 (Gambar 22) dan Peta Penggunaan

Lahan Kota Bekasi Tahun 2010 (Gambar 23).

42

Gambar 22. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2003

Gambar 23. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010

43

Gambar 22 dan Gambar 23 menunjukkan penggunaan lahan Kota Bekasi

bagian Barat yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta dan Kota Bekasi

bagian Timur yang dekat dengan pusat Kota Bekasi didominasi oleh ruang

terbangun. Pola ini terbentuk karena dipengaruhi oleh aksesibilitas, yaitu jarak

terhadap pusat kegiatan dan jaringan jalan yang memadai. Sementara itu bagian

Selatan Kota Bekasi yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan bagian Utara

yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi pada tahun 2003 masih didominasi

oleh penggunaan lahan non terbangun.

Pada tahun 2010 penurunan luas penggunaan lahan terbesar terjadi di

bagian Selatan Kota Bekasi yaitu Kecamatan Jati Asih dan Kecamatan Mustika

Jaya. Terbentuknya jalan tol baru di sepanjang Kecamatan Jati Asih menyebabkan

banyak penggunaan lahan yang terkonversi, salah satu yang terbesar adalah kebun

campuran. Pada Kecamatan Mustika Jaya, penurunan luas terbesar TPLB

dikarenakan dikonversi menjadi perumahan teratur. Di dalam konteks

pengembangan sumberdaya, konversi lahan pertanian ke non pertanian adalah

suatu proses yang bersifat irreversible atau tidak dapat balik. Hal ini berimplikasi

bahwa konversi lahan pertanian akan dibarengi dengan perubahan-perubahan

orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat yang juga umumnya

bersifat irreversible (Winoto et al., 1996)

5.2.2 Pola Perubahan Penggunaan Lahan 2003-2010

Dalam mengamati pola perubahan penggunaan lahan, hal yang perlu

dicermati adalah arah perubahan menjadi penggunaan lahan apa dan penggunaan

lahan sebelumnya. Perubahan penggunaan lahan pada Kota Bekasi tahun 2003-

2010 disajikan pada Tabel 10. Perubahan penggunaan lahan terbesar yaitu terjadi

pada penggunaan lahan kebun campuran menjadi permukiman tidak teratur, lahan

kosong menjadi permukiman teratur, dan TPLB menjadi lahan kosong dengan

luas perubahan berturut-turut sebesar 649,88 ha, 493,09 ha, dan 365,09 ha.

Berikut ini akan diuraikan jenis perubahan penggunaan lahan dari tahun 2003-

2010 secara rinci per kecamatan di Kota Bekasi.

44

Tabel 10. Matriks Transisi Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun 2003-2010

Penggunaan Lahan 2003

Penggunaan Lahan 2010 ( Ha )

Ba

da

n A

ir

Fa

sili

tas

Pen

did

ika

n

Ja

lan

Arte

ri

Ja

lan

TO

L

Ka

wa

san

Ind

ust

ri

Keb

un

Ca

mp

ura

n

La

ha

n K

oso

ng

Per

mu

kim

an

Tid

ak

Ter

atu

r

Per

mu

kim

an

Ter

atu

r

RT

H

Ru

mp

ut,

Sem

ak

,Ila

lan

g

TP

A

TP

LB

TP

LK

TP

U

Badan Air 20.43 0.80

Fasilitas Pendidikan 79.88

Jalan Arteri 46.59

Jalan TOL 80.48

Kawasan Industri 598.10

Kebun Campuran 0.56 4.91 0.14 3059.40 61.05 677.97 31.87 0.58 1.45

Lahan Kosong 0.74 10.19 15.22 19.83 1427.27 195.47 493.09 81.11

Permukiman Tidak Teratur 1.03 2.42 0.58 5485.57 1.29

Permukiman Teratur 3994.00

RTH 12.66 715.12

Rumput,semak,ilalang 0.69 13.10 4.86 156.02 65.06 1126.23

TPA 159.31

TPLB 1.78 0.24 1.76 357.68 67.32 158.37 1.16 1819.91

TPLK 1.10 3.94 24.48 24.14 24.34 2.86 279.70

TPU 62.84

44

45

5.2.2.1 Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur

Dalam selang waktu 7 tahun telah terjadi perubahan penggunaan lahan

permukiman tidak teratur menjadi jalan arteri, jalan tol, dan RTH. Perubahan ini

terjadi di sebagian kecamatan di Kota Bekasi, antara lain Kecamatan Bekasi

Barat, Bekasi Selatan, Jati Asih, dan Kecamatan Pondok Melati. Luas perubahan

permukiman tidak teratur menjadi penggunaan lahan lain dapat dilihat pada Tabel

11.

Tabel 11. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur menjadi

Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010

Kecamatan

Luas (ha) Perubahan Permukiman Tidak Teratur

Menjadi Luas

Perubahan

Per

Kecamatan Jalan Arteri Jalan tol RTH

Bantar Gebang 0.00

Bekasi Barat 1.03 0.15 1.18

Bekasi Selatan 2.02 1.14 3.16

Bekasi Timur 0.00

Bekasi Utara 0.00

Jati Asih 0.36 0.36

Jati Sampurna 0.00

Medan Satria 0.00

Mustika Jaya 0.00

Pondok Gede 0.00

Pondok Melati 0.04 0.04

Rawalumbu 0.00

Jumlah 1.02 2.42 1.29 4.74

Perubahan terbesar terjadi pada permukiman tidak teratur menjadi jalan

tol sebesar 2,42 ha. Permukiman tidak teratur merupakan salah satu penggunaan

lahan yang sulit untuk dirubah menjadi penggunaan lahan lain. Tetapi, perubahan

ini dapat terjadi karena kebijakan dari pemerintah Kota Bekasi untuk

meminimalisasi kemacetan di Kota Bekasi dengan membuat jalan tol baru yang

mulai beroperasi pada tahun 2007. Kecamatan Bekasi Selatan mengalami

perubahan permukiman tidak teratur sebesar 3,16 ha. Permukiman tidak teratur di

wilayah tersebut mengalami penggusuran untuk pembuatan jalan tol dan RTH.

46

5.2.2.2 Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran

Perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi penggunaan

lahan lain per kecamatan disajikan pada Tabel 12. Pada tahun 2003-2010

penggunaan lahan kebun campuran telah banyak mengalami konversi lahan

menjadi jalan arteri, jalan tol, lahan kosong, permukiman tidak teratur,

permukiman teratur, RTH, dan TPA.

Tabel 12. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran menjadi

Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010

Kecamatan

Luas (ha) Perubahan Kebun Campuran Menjadi Luas

Perubahan

Per

Kecamatan

Jalan

Arteri

Jalan

TOL

Lahan

Kosong

Permukiman

Tidak

Teratur

Permukiman

Teratur RTH TPA

Bantar Gebang 5.86 35.79 1.35 1.45 44.46

Bekasi Barat 0.56 2.10 80.41 0.18 0.05 83.30

Bekasi Selatan 2.80 6.23 36.57 0.16 0.48 46.25

Bekasi Timur 2.35 13.18 0.65 16.18

Bekasi Utara 1.55 12.28 0.06 13.89

Jati Asih 2.07 14.30 131.66 10.69 158.72

Jati Sampurna 12.39 67.76 4.73 84.88

Medan Satria 9.17 9.17

Mustika Jaya 5.04 47.85 4.91 57.79

Pondok Gede 2.70 103.66 6.34 112.71

Pondok Melati 0.03 1.67 75.48 0.25 0.05 77.48

Rawalumbu 5.47 36.06 2.55 44.08

Jumlah 0.56 4.91 59.66 649.88 31.87 0.58 1.45 748.90

Tabel 12 menunjukkan perubahan terbesar terjadi pada penggunaan

lahan kebun campuran menjadi permukiman tidak teratur sebesar 649,88 ha.

Sementara itu, perubahan terkecil yaitu menjadi jalan arteri terjadi di Kecamatan

Bekasi Barat sebesar 0,56 ha. Kecamatan Jati Asih adalah kecamatan yang

mengalami perubahan luas kebun campuran menjadi permukiman tidak teratur

terbesar yaitu 131,66 ha. Perubahan kebun campuran menjadi penggunaan lahan

lainnya terjadi di seluruh kecamatan di Kota Bekasi. Luas kebun campuran

terbesar yang mengalami konversi lahan terdapat pada Kecamatan Jati Asih

sebesar 158,72 ha.

47

5.2.2.3 Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah

Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB) adalah penggunaan lahan yang

memiliki nilai land rent yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun.

Hal ini yang memacu konversi lahan terbesar terjadi pada TPLB. Perubahan

penggunaan TPLB menjadi penggunaan lain di setiap kecamatan disajikan pada

Tabel 13.

Tabel 13. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah

Menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010

Kecamatan

Luas (ha) Perubahan Penggunaan Lahan TPLB Menjadi

Luas

Perubahan

Per

Kecamatan Ja

lan

Arte

ri

Ja

lan

TO

L

Ka

wa

san

Ind

ust

ri

La

ha

n

Ko

son

g

Per

mu

kim

an

Tid

ak

Ter

atu

r

Per

mu

kim

an

Ter

atu

r

RT

H

Bantar Gebang 9.91 3.03 3.17 16.11

Bekasi Barat 0.37 1.84 9.37 11.58

Bekasi Selatan 17.85 5.43 1.57 24.86

Bekasi Timur 4.84 2.53 2.00 9.38

Bekasi Utara 52.92 30.70 20.45 0.55 104.61

Jati Asih 6.74 0.63 2.64 10.01

Jati Sampurna 24.14 1.16 26.95 52.25

Medan Satria 1.41 1.76 112.35 10.63 10.29 0.61 137.05

Mustika Jaya 108.90 4.16 65.99 179.05

Pondok Gede 1.22 3.14 4.36

Pondok Melati 0.24 13.54 1.71 10.34 25.82

Rawalumbu 12.06 6.11 2.47 20.63

Jumlah 1.78 0.24 1.76 365.09 67.32 158.37 1.16 595.72

Tabel 13 menunjukkan konversi TPLB terbesar yaitu menjadi lahan

kosong sebesar 365,09 ha. Lahan kosong ini nantinya akan dibangun menjadi

permukiman teratur. Hal ini dapat dilihat dari lingkungan sekitar yang sudah

menjadi permukiman teratur. Perubahan TPLB menjadi penggunaan lahan lainnya

terjadi di seluruh kecamatan dengan konversi TPLB terbesar terjadi pada

Kecamatan Mustika Jaya sebesar 179,05 ha konversi TPLB terkecil terjadi di

Kecamatan Pondok Gede yaitu seluas 4,36 ha. Kecamatan Mustika Jaya adalah

kecamatan yang memiliki luas TPLB terbesar, sehingga berpeluang besar untuk

mengalami konversi lahan. Sementara itu, untuk Kecamatan Pondok Gede

48

berbanding terbalik dengan Kecamatan Mustika Jaya. Kecamatan ini memiliki

luas TPLB yang relatif kecil, sehingga konversi terhadap TPLB juga rendah.

Konversi lahan pertanian merupakan salah satu konsekuensi dari perluasan

kota yang membutuhkan lahan untuk pertumbuhan kota. Hal ini mengakibatkan

terjadi peningkatan permintaan terhadap lahan untuk aktivitas ekonomi,

permukiman dan infrastruktur yang menyebabkan terjadinya peningkatan konversi

lahan pertanian.

5.2.2.4 Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering

(TPLK)

Pada tahun 2003-2010 telah banyak terjadi perubahan penggunaan lahan

TPLK menjadi penggunaan lahan lain, yaitu jalan arteri, jalan tol, lahan kosong,

permukiman tidak teratur, permukiman teratur, dan RTH. Luas perubahan yang

terjadi selama 7 tahun disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering

Menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010

Kecamatan

Luas (ha) Perubahan Penggunaan Lahan TPLK Menjadi

Luas

Perubahan

Per

Kecamatan Ja

lan

Arte

ri

Ja

lan

to

l

La

ha

n

Ko

son

g

Per

mu

kim

an

Tid

ak

Ter

atu

r

Per

mu

kim

an

Ter

atu

r

RT

H

Bantar Gebang 0.00

Bekasi Barat 0.00

Bekasi Selatan 5.51 5.51

Bekasi Timur 2.45 2.49 4.93

Bekasi Utara 4.55 10.08 8.38 23.00

Jati Asih 3.94 4.28 0.01 1.94 10.18

Jati Sampurna 1.77 0.67 2.44

Medan Satria 1.10 12.84 0.42 3.10 0.92 18.38

Mustika Jaya 0.81 1.59 2.39

Pondok Gede 0.77 0.39 7.85 9.02

Pondok Melati 1.11 1.55 2.65

Rawalumbu 2.06 0.30 2.35

Jumlah 1.10 3.94 24.48 24.14 24.34 2.86 80.87

Tabel 14 menunjukkan luas perubahan penggunaan lahan TPLK

terbesar yaitu menjadi permukiman teratur sebesar 24,34 ha, yang diikuti dengan

permukiman tidak teratur sebesar 24,14 ha. Perubahan penggunaan lahan TPLK

49

cenderung mengarah ke lahan terbangun yang umumnya digunakan sebagai

tempat tinggal. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah penduduk,

sehingga permintaan lahan untuk permukiman juga semakin meningkat.

Perubahan TPLK menjadi penggunaan lahan lain terjadi hampir di seluruh

kecamatan kecuali Kecamatan Bantar Gebang dan Bekasi Barat, dikarenakan

kecamatan ini tidak memiliki TPLK. Konversi TPLK terbesar terdapat di

Kecamatan Bekasi Utara yaitu dengan luas konversi terbesar menjadi permukiman

tidak teratur sebesar 10,08 ha.

5.2.2.5 Perubahan Penggunaan Lahan Kosong

Selama waktu 7 tahun, penggunaan lahan kosong mengalami perubahan

menjadi penggunaan lahan lain, yaitu fasilitas pendidikan, jalan arteri, jalan tol,

kawasan industri, permukiman tidak teratur, permukiman teratur, dan RTH. Luas

perubahan lahan kosong menjadi penggunaan lahan lain disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kosong menjadi Penggunaan Lahan

Lain (ha) Tahun 2003-2010

Kecamatan

Luas (ha) Perubahan Lahan Kosong Menjadi

Luas

Perubahan

Per

Kecamatan

Fa

sili

tas

Pen

did

ika

n

Ja

lan

Arte

ri

Ja

lan

to

l

Ka

wa

san

Ind

ust

ri

Per

mu

kim

an

Tid

ak

Ter

atu

r

Per

mu

kim

an

Ter

atu

r

RT

H

Bantar Gebang 3.80 13.36 9.38 26.55

Bekasi Barat 2.63 2.58 15.56 22.27 8.82 51.86

Bekasi Selatan 7.07 16.47 31.89 8.10 63.53

Bekasi Timur 8.05 12.68 1.15 21.88

Bekasi Utara 1.65 15.85 64.54 82.04

Jati Asih 2.20 17.20 38.43 2.87 60.71

Jati Sampurna 21.07 82.40 9.96 113.43

Medan Satria 7.56 13.86 14.50 40.55 23.81 100.30

Mustika Jaya 0.74 7.84 85.85 3.78 98.22

Pondok Gede 0.28 27.19 23.57 0.96 52.00

Pondok Melati 3.08 8.77 33.56 0.33 45.74

Rawalumbu 0.51 29.60 47.97 21.32 99.40

Jumlah 0.74 10.19 15.22 19.83 195.47 493.09 81.11 815.66

Tabel 15 menunjukkan perubahan lahan kosong terbesar yaitu menjadi

permukiman teratur seluas 493,09 ha dan diikuti dengan perubahan menjadi

50

permukiman tidak teratur seluas 195,47 ha. Perubahan lahan kosong menjadi

penggunaan lahan lain terjadi di seluruh kecamatan. Kecamatan yang mengalami

perubahan lahan kosong terbesar adalah Kecamatan Jati Sampurna sebesar 113,43

ha dengan perubahan yang mendominasi yaitu perubahan menjadi permukiman

teratur sebesar 82,40 ha. Perubahan lahan kosong menjadi permukiman teratur

terjadi akibat peningkatan jumlah penduduk yang meningkatkan permintaan lahan

untuk dijadikan sebagai tempat hunian. Kecamatan yang mengalami perubahan

luas lahan kosong terkecil adalah Kecamatan Bekasi Timur sebesar 21,88 ha.

Kecamatan Bekasi Timur memiliki luas lahan terbangun yang tinggi sehingga

sangat jarang ditemui lahan kosong yang dapat dikonversi menjadi penggunaan

lahan lain.

5.2.2.6 Perubahan Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Selama selang waktu 7 tahun dari tahun 2003-2010, penggunaan lahan

RTH mengalami perubahan menjadi lahan kosong. Luas perubahan penggunaan

lahan RTH disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau Tahun 2003-

2010

Kecamatan Luas (ha) Perubahan RTH menjadi Lahan Kosong

Bantar Gebang 0.70

Bekasi Barat 0.86

Bekasi Selatan 2.20

Bekasi Timur 4.55

Bekasi Utara 0.19

Jati Asih 0.41

Jati Sampurna

Medan Satria 0.14

Mustika Jaya

Pondok Gede 0.63

Pondok Melati 0.03

Rawalumbu 2.96

Jumlah 12.66

Tabel 16 menunjukkan total luas perubahan RTH menjadi lahan kosong

sebesar 12,66 ha. Perubahan ini terjadi hampir di semua kecamatan, kecuali

kecamatan Jati Sampurna dan Mustika Jaya. Perubahan terbesar terjadi pada

51

Kecamatan Bekasi Timur sebesar 4,55 ha. Umumnya perubahan RTH menjadi

lahan kosong terjadi pada jalur hijau.

5.3 Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kota Bekasi

Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dilakukan

untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sudah sesuai

dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar atau pedoman pelaksanaan

pemanfaatan ruang. Analisis inkonsistensi dilakukan dengan mengoverlaykan peta

RTRW Kota Bekasi (Gambar 24) dengan peta penggunaan lahan tahun 2003 dan

2010. Hasil overlay tersebut menghasilkan peta inkonsistensi pemanfaatan ruang

Kota Bekasi Tahun 2003 (Gambar 25) dan Tahun 2010 (Gambar 26). Bentuk

realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah adalah pemanfaatan ruang yang terjadi

di suatu wilayah.

Gambar 24 . Peta RTRW Kota Bekasi Periode 2000-2010

Gambar 24 menunjukkan sebaran spasial alokasi RTRW 2000-2010 Kota

Bekasi. Alokasi RTRW lebih mengarah pada penggunaan lahan terbangun, antara

lain alokasi untuk pemerintahan dan bangunan umum, pendidikan, perdagangan

dan jasa, perumahan kepadatan rendah, perumahan kepadatan sedang, perumahan

52

kepadatan rendah. Alokasi untuk lahan terbangun menyebar di seluruh kecamatan.

Alokasi untuk industri terletak di bagian Utara yaitu di Kecamatan Medan Satria.

Sementara itu alokasi untuk pertanian terletak di Kecamatan Bantar Gebang. Luas

alokasi rencana tata ruang Kota Bekasi tahun 2000-2010 disajikan pada Tabel 17

dan proporsi total inkonsistensi Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2010 disajikan pada

Tabel 18.

Alokasi RTRW Kota Bekasi terbesar adalah alokasi untuk kawasan

permukiman, yaitu perumahan kepadatan rendah sebesar 710,24 ha, perumahan

kepadatan sedang sebesar 9.195,72 ha, dan perumahan kepadatan tinggi sebesar

7.162,46 ha. Dampak dari proses suburbanisasi pada Kota Bekasi, mengharuskan

pemerintah Kota Bekasi membuat alokasi khusus untuk kawasan permukiman.

Tabel 17. Alokasi Rencana Tata Ruang Kota Bekasi Tahun 2000-2010

Alokasi RTRW Luas (ha)

Industri 1.369,73

Pemerintahan dan Bangunan Umum 81,93

Pendidikan 18,47

Perdagangan dan Jasa 1.744,16

Pertanian 775,55

Perumahan Kepadatan Rendah 710,24

Perumahan Kepadatan Sedang 9.195,72

Perumahan Kepadatan Tinggi 7.162,46

Rekreasi / Olah Raga 26,82

Sempadan Sungai 289,.32

Situ 5,39

Stasiun Kereta 3,97

T P A Sampah 13,38

T P U 13,80

Taman / Hutan Kota 193,97

Hasil analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang tahun 2003 terhadap

RTRW periode 2000-2010, menunjukkan proporsi persentase jenis inkonsistensi

terbesar terhadap luas peruntukan terjadi pada jenis peruntukan taman/hutan kota

menjadi ruang terbangun, lahan kosong, dan lahan pertanian, yaitu sebesar

40,88% (79,31 ha) dari luas peruntukan sebesar 193,97 ha. Kemudian diikuti

dengan jenis peruntukan rekreasi/olahraga menjadi ruang terbangun sebesar

53

23,27% (6,24 ha) dari luas peruntukan sebesar 26,82 ha, jenis peruntukan

pertanian menjadi ruang terbangun sebesar 22,29% (172,88 ha) dari luas

peruntukan sebesar 775,55 ha. Luas inkonsistensi paling besar terdapat pada

Kecamatan Bantar Gebang yaitu sebesar 197,29 ha atau 4,31% dari luas wilayah

Kecamatan Bantar Gebang.

Tabel 18. Luas dan Proporsi Total Inkonsistensi Kota Bekasi Tahun 2003 dan

2010

Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

Kota Bekasi Tahun 2003 Tahun 2010

Peruntukan RTRW Kondisi Eksisting ha % ha %

Pertanian Ruang Terbangun 172.28 0.797 227.03 1.051

Sempadan Sungai Ruang Terbangun 43.53 0.200 58.82 0.272

Taman/Hutan Kota Ruang Terbangun 53.11 0.246 59.90 0.277

Taman / Hutan Kota Lahan Kosong 17.73 0.082 8.68 0.040

Taman / Hutan Kota Pertanian 8.46 0.039 16.74 0.077

Rekreasi/Olahraga Ruang Terbangun 6.24 0.029 6.24 0.029

Jumlah 301.35 1.393 377,41 1.746

Pada tahun 2010, proporsi persentase jenis inkonsistensi terbesar terhadap

luas peruntukkan terjadi pada jenis peruntukan taman/hutan kota menjadi ruang

terbangun, lahan kosong, dan lahan pertanian, yaitu meningkat menjadi 43,98%

(85,32 ha) dari luas peruntukan sebesar 193,97 ha, diikuti dengan jenis peruntukan

pertanian menjadi ruang terbangun meningkat menjadi 29,27% (227,03 ha) dari

luas peruntukkan sebesar 775,55 ha. Jenis peruntukan rekreasi/olahraga menjadi

ruang terbangun tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar 23,27% (6,24 ha)

dari luas peruntukan sebesar 26,82 ha. Total luas inkonsistensi paling besar

terdapat pada Kecamatan Mustika Jaya yang merupakan pemekaran dari

Kecamatan Bantar Gebang yaitu sebesar 145, 92 ha atau 5,66% dari total luas

wilayah Kecamatan Mustika Jaya 2577,12 ha.

Besarnya inkonsistensi pemanfaatan ruang pada Kecamatan Bantar

Gebang pada tahun 2003 dan Kecamatan Mustika Jaya pada tahun 2010 yang

merupakan pemekaran dari Kecamatan Bantar Gebang, dikarenakan luas

penggunaan lahan di Kecamatan ini masih didominasi oleh penggunaan lahan non

terbangun atau penggunaan lahan yang memiliki nilai land rent yang rendah. Hal

ini memacu masyarakat untuk melakukan konversi lahan menjadi penggunaan

54

lahan yang memiliki nilai land rent lebih tinggi. Jarak kecamatan yang jauh dari

pusat kota juga menyebabkan rendahnya pengawasan aparat terhadap segala

bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang ( Listiawan, 2010).

Gambar 25. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bekasi Tahun 2003

55

Gambar 26. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bekasi Tahun 2010

56

5.4 Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi

Perkembangan suatu wilayah yang sejalan dengan meningkatnya jumlah

perumbuhan penduduk menuntut adanya peningkatan kualitas dan kuantitas dalam

kebutuhan hidup diantaranya sarana dan prasarana. Tingkat perkembangan

wilayah Kota Bekasi dapat dianalisis dengan menggunakan analisis skalogram

yang menggunakan jumlah fasilitas dan jumlah jenis fasilitas yang ada di 10

kecamatan dengan 52 desa pada tahun 2003 dan dimekarkan menjadi 12

kecamatan dengan 56 desa pada tahun 2006. Sarana prasarana yang digunakan

sebagai variabel dalam analisis antara lain fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi,

fasilitas kesehatan, dan fasilitas sosial.

Analisis skalogram mengelompokkan setiap desa ke dalam hirarki wilayah

dengan kriteria tertentu. Hirarki wilayah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu

Hirarki I, Hirarki II, dan Hirarki III. Hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat

perkembangan tinggi, hirarki II wilayah dengan tingkat perkembangan sedang,

hirarki III wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Pengelompokkan

wilayah berdasarkan hirarki pada tahun 2003 dan 2006 disajikan pada Gambar 27

dan Gambar 28.

Gambar 27. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003

57

Gambar 28. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2006

Secara spasial terlihat bahwa hirarki-hirarki tersebut tersebar tidak merata

atau mengelompok di wilayah-wilayah tertentu. Kecamatan-kecamatan di bagian

Utara, Barat, dan Timur Kota Bekasi cenderung memiliki hirarki lebih tinggi

dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan di bagian selatan. Hal ini karena

wilayah-wilayah yang berhirarki lebih tinggi tersebut berbatasan dengan wilayah

DKI Jakarta sehingga perkembangannya lebih pesat dibandingkan dengan wilayah

bagian selatan yang berbatasan dengan wilayah kabupaten. Menurut Rustiadi et

al., (2009) aspek spasial merupakan fenomena alami, sehingga jika perkembangan

suatu wilayah dipengaruhi oleh wilayah sebelahnya atau lebih dekat adalah hal

yang wajar. Hal ini dikarenakan telah terjadinya interaksi sosial ekonomi dari dua

wilayah tersebut.

Berdasarkan hasil analisis skalogram pada tahun 2003, jumlah kelurahan

yang berhirarki I adalah 7, kelurahan yang berhirarki II berjumlah 20, dan

kelurahan yang berhirarki III berjumlah 25 kelurahan. Hasil analisis skalogram

pada tahun 2006 menunjukkan jumlah kelurahan yang berhirarki I adalah 7,

kelurahan yang berhirarki II berjumlah 26, dan kelurahan berhirarki III berjumlah

23 kelurahan. Penyebaran hirarki di Kota Bekasi tidak merata, seperti tidak semua

kecamatan memiliki hirarki I, dimana tempat terjadinya pusat-pusat aktivitas.

58

Tabel 19 menyajikan persentase jumlah kelurahan berdasarkan hirarki di setiap

kecamatan pada Kota Bekasi. Dari Tabel 19 tersebut dapat dilihat bahwa terjadi

penurunan dan penambahan tingkatan hirarki. Pada tahun 2003 jumlah kelurahan

yang paling banyak adalah kelurahan yang memiliki tingkatan hirarki III sebesar

48%, sedangkan pada tahun 2006 jumlah kelurahan yang paling banyak adalah

kelurahan yang berhirarki II sebesar 46 %.

Tabel 19. Persentase Kelurahan Berdasarkan Hirarki Wilayah di Setiap

Kecamatan.

Nama Kecamatan Hirarki 2003 Hirarki 2006

I II III I II III

Pondok Gede 20% 80% 0% 20% 60% 20%

Bekasi Timur 75% 25% 0% 75% 25% 0%

Bekasi selatan 20% 40% 40% 40% 60% 0%

Bantargebang 0% 25% 75% 0% 25% 75%

Medan Satria 25% 75% 0% 0% 100% 0%

Bekasi Barat 20% 20% 60% 0% 100% 0%

Rawalumbu 0% 25% 75% 0% 75% 25%

Jatiasih 0% 33% 67% 0% 33% 67%

Jatisampurna 0% 0% 100% 0% 20% 80%

Bekasi Utara 0% 67% 33% 0% 50% 50%

Kota Bekasi 13% 38% 48% 13% 46% 41%

Hirarki I adalah wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi yang

berfungsi sebagai pusat aktivitas, seperti pemusatan penduduk, industri,

pemerintahan, pasar yang potensial, serta memiliki fasilitas yang beragam dan

lengkap. Dari hasil analisis tahun 2003 terdapat 5 kecamatan dari 10 kecamatan di

Kota Bekasi yang memiliki hirarki I, diantaranya Kecamatan Bekasi Timur,

Pondok Gede, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Medan Satria. Pada tahun 2006

terjadi penurunan kecamatan yang memiliki kelurahan berhirarki I yaitu 4

kecamatan dari 12 kecamatan setelah pemekaran pada tahun 2004, yaitu

Kecamatan Bekasi Timur, Pondok Gede, Bekasi Selatan, dan Pondok Melati.

Pada tahun 2003, Kecamatan Bekasi Timur merupakan kecamatan yang

memiliki kelurahan berhirarki I paling banyak sebesar 43%, yaitu Kelurahan

Margahayu, Bekasi Jaya, dan Duren Jaya, sedangkan pada tahun 2006,

Kecamatan Bekasi Timur tidak mengalami perubahan hirarki pada kelurahannya,

meskipun terjadi penambahan jumlah dan jenis fasilitas. Kecamatan Bekasi Timur

59

memiliki letak yang strategis, aksesibilitas yang baik, dan penduduk yang padat

sehingga diperlukan peningkatan terhadap fasilitas yang lengkap dan beragam.

Kecamatan Pondok Gede tidak mengalami penambahan kelurahan yang berhirarki

I, tetapi terjadi perubahan kelurahan yang berhiraki I setelah pemekaran.

Kelurahan yang berhirarki I di Kecamatan Pondok Gede pada tahun 2003 adalah

Kelurahan Jatirahayu. Setelah pemekaran, Kelurahan Jatirahayu masuk ke dalam

kecamatan baru yaitu Kecamatan Pondok Melati. Hal ini memacu kelurahan-

kelurahan lain di Kecamatan Pondok Gede untuk meningkatkan tingkatan hirarki,

sehingga pada tahun 2006 Kelurahan Jatiwaringin yang sebelumnya berhirarki II

mengalami peningkatan hirarki menjadi Hirarki I. Kecamatan Medan Satria dan

Bekasi Barat pada tahun 2006 mengalami penurunan dari tahun 2003 karena

terdapat kelurahan yang berhirarki I berubah menjadi hirarki II, yaitu Kelurahan

Kranji dan Kelurahan Medan Satria. Pada Kecamatan Bekasi Selatan terjadi

penambahan jumlah dan jenis fasilitas sehingga kelurahan yang berhirarki I

bertambah, yaitu Kelurahan Kayuringin Jaya dan Jaka Setia

Hirarki II merupakan wilayah yang sedang berkembang, biasanya

dicirikan dengan pertumbuhan yang cepat dan merupakan wilayah penyangga dari

wilayah yang berhirarki I. Jumlah kelurahan yang berhirarki II pada tahun 2006

mengalami peningkatan dari tahun 2003, yaitu 38% menjadi 46 %. Wilayah yang

berhirarki II tersebar merata hampir di seluruh kecamatan. Kecamatan

Jatisampurna tidak memiliki kelurahan yang berhirarki II pada tahun 2003,

sedangkan Kecamatan Pondok Melati dan Kecamatan Mustika Jaya yang

merupakan kecamatan hasil pemekaran juga tidak memiliki kelurahan yang

berhirarki II di tahun 2006.

Hirarki III adalah wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Di Kota

Bekasi, wilayah yang berhirarki III mengalami penurunan dari 48% menjadi 41%

di tahun 2003 dan 2006. Pada tahun 2003, semua kelurahan di Kecamatan

Jatisampurna masuk ke dalam tingkatan hirarki III, sedangkan pada tahun 2006

Kecamatan Mustika Jaya yang merupakan kecamatan baru, seluruh kelurahannya

masuk ke dalam tingkatan hirarki III. Kecamatan Pondok Gede, Medan Satria,

dan Bekasi Timur merupakan kecamatan yang tidak memiliki hirarki III di tahun

2003 dan pada tahun 2006, Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Medan

60

Satria, dan Bekasi Barat tidak memiliki kelurahan berhirarki III. Hal ini

menunjukkan bahwa penyebaran fasilitas-fasilitas cenderung memusat dan tidak

merata.

Wilayah yang berkembang ditandai dengan adanya penambahan fasilitas

atau perkembangan sarana prasarana di wilayah tersebut. Pada Gambar 29 akan

disajikan laju pertumbuhan setiap fasilitas di Kota Bekasi.

Gambar 29. Laju Pertumbuhan Fasilitas di Kota Bekasi Tahun 2003 dan Tahun

2006

Gambar 29 menunjukkan perkembangan fasilitas di Kota Bekasi. Dari

Gambar 29 tersebut dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan pada fasilitas

sosial, fasilitas kesehatan, dan fasilitas pendidikan. Sedangkan fasilitas ekonomi

mengalami penurunan. Laju pertumbuhan fasilitas sosial, fasilitas kesehatan, dan

fasilitas pendidikan berturut-turut sebesar 13,2%, 24,4%, dan 12,8%. Fasilitas

ekonomi mengalami penurunan sebesar 37,4%. Penurunan ini dikarenakan oleh

berkurangnya toko atau warung kelontong akibat dari menurunnya intensitas

masyarakat untuk berbelanja di warung-warung kecil. Selain itu, hal ini juga

dipengaruhi oleh banyaknya supermarket,minimarket, ataupun pasar swalayan

yang memiliki daya saing tinggi berdiri di sekitar lingkungan masyarakat yang

menyebabkan warung-warung kecil gulung tikar.

Kecamatan Bekasi Utara merupakan kecamatan yang mengalami

peningkatan paling tinggi pada fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan

61

fasilitas sosial. Sementara itu peningkatan fasilitas ekonomi tertinggi dijumpai di

Kecamatan Pondok Gede. Kecamatan Bekasi Utara adalah kecamatan yang

memiliki jumlah penduduk tertinggi kedua setelah Kecamatan Bekasi Timur pada

Tahun 2006. Jumlah penduduk di Kecamatan Bekasi Utara meningkat tinggi dari

tahun 2003 sampai 2006, dari sebanyak 194.950 menjadi 228.327 jiwa. Dengan

jumlah penduduk yang bertambah diperlukan penambahan fasilitas untuk

memenuhi kebutuhan hidup penduduk tersebut di suatu wilayah.

5.5 Keterkaitan Perubahan Luas Penggunaan Lahan dengan Perkembangan

Wilayah

Keterkaitan perubahan luas penggunaan lahan terhadap perkembangan

wilayah dapat dilihat pada Gambar 30. Pada Gambar 30 menunjukkan wilayah-

wilayah yang memiliki hirarki tinggi tidak terlalu banyak mengalami perubahan

penggunaan lahan ruang terbangun. Hal ini diduga karena lahan di wilayah

tersebut terbatas dan penggunaan lahannya didominasi oleh ruang terbangun yang

digunakan untuk aktivitas ekonomi, sehingga peluang untuk mengalami konversi

lahan lebih kecil. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah yang memiliki hirarki

rendah banyak mengalami peningkatan penggunaan lahan terbangun. Hal ini

diduga karena di wilayah tersebut penggunaan lahan non ruang terbangunnya

masih sangat luas sehingga berpotensi untuk mengalami konversi lahan dari

penggunaan lahan non terbangun menjadi penggunaan lahan ruang terbangun.

Semakin tinggi hirarki (hirarki 1) suatu wilayah maka perubahan luas

penggunaan lahan akan semakin kecil dibandingkan dengan wilayah yang

memiliki hirarki rendah bahkan suatu saat akan mengalami kondisi jenuh atau

tidak mengalami perubahan sama sekali karena tidak ada lagi lahan yang bisa

dikonversi.

Wilayah-wilayah yang berhirarki 3 mengalami perubahan luas penggunaan

lahan terbesar. Beberapa jenis penggunaan meningkat luasannya dan beberapa

jenis penggunaan cenderung terkonversi. Peningkatan luas penggunaan lahan

terbesar pada hirarki 3 terjadi pada permukiman tidak teratur sebesar 489,11 ha,

diikuti dengan permukiman teratur sebesar 458,82 ha. Sementara itu, penurunan

luas penggunaan lahan terbesar terjadi pada kebun campuran 392,84 ha, diikuti

dengan Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB) sebesar 317,94 ha.

62

Gambar 30. Perubahan Luas Penggunaan Lahan Terhadap Hirarki Wilayah

5.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan terjadi dikarenakan peningkatan kebutuhan

akan ruang meningkat, tetapi ketersediaan lahan terbatas. Penggunaan lahan non

terbangun seperti Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB), Tanaman Pertanian

Lahan Kering (TPLK), kebun campuran, lahan kosong sering kali menjadi sasaran

untuk dikonversi menjadi penggunaan lahan terbangun seperti permukiman teratur,

permukiman tidak teratur, kawasan industri, dan fasilitas pendidikan. Faktor-

faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan dianalisis menggunakan

analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise. Peubah tujuan dalam

analisis ini adalah perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun

(disimbolkan dengan Y1), perubahan penggunaan TPLK menjadi lahan terbangun

(Y2), perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi lahan terbangun

63

(Y3), dan perubahan penggunaan lahan kosong menjadi lahan terbangun (Y4).

Hasil dari analisis disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20. Nilai Parameter Hasil Analisis Regresi Perubahan Penggunaan Lahan.

Peubah Yang Berpengaruh Nyata Y1 Y2 Y3 Y4

Alokasi Pertanian (X1) -0.29

0.09

Alokasi Lahan Terbangun (X2) 0.20 0.79 0.37

Alokasi Hutan Kota (X3) -0,14

Aksesibilitas Ke Kota Lain Terdekat (X4) -0.13

0.28

Aksesibilitas Ke Kecamatan (X5)

0.21

Aksesibilitas Ke Pusat Fasilitas Sosial (X6)

0.07

-0.07

Aksesibilitas Ke Pusat Fasilitas ekonomi (X7)

0.27

Luas Lahan Terbangun 2003 (X8)

-0.60

0.11

Luas TPLK 2003 (X9)

0.66

Luas TPLB 2003 (X10) 0.90

-0.43 0.01

Luas Kebun Campuran 2003(X11)

-0.87 0.39

Luas Lahan Kosong 2003 (X12)

0.85

Fasilitas Sosial (X13)

-0.17

0.20

Fasilitas Kesehatan (X14)

-0.36

Fasilitas Pendidikan (X15) -0.19

0.17

Fasilitas Ekonomi (X16)

0.16

Jumlah Penduduk (X17)

-0.16

0.10

R-square 0.65 0.43 0.57 0.84

Keterangan : Y1 : Perubahan TPLB-Lahan Terbangun

Y2 : Perubahan TPLK-Lahan Terbangun

Y3 : Perubahan Kebun Campuran-Lahan Terbangun

Y4 : Perubahan Lahan Kosong-Lahan Terbangun

Persamaan yang dihasilkan dari hasil analisis regresi berganda untuk setiap

perubahan adalah

Y1= -0,29X1+0,20X2-0,14X3-0,13X4+0,90X10-0,19X15

Y2= 0,79X2+0,21X5+0,07X6+0,27X7-0,60X8+0,66X9-0,87X11-0,17X13-0,36X14-0,16X17

Y3= 0,37X2+0,28X4-0,43X10+0,39X11+0,17X15+0,16X16

Y4= 0,09X1-0,07X6+0,11X8+0,01X10+0,85X12+0,20X12+0,10X17

Dari hasil persamaan analisis untuk Y1 dapat dilihat bahwa kenaikan

variabel Y1 sebanyak satu satuan diikuti dengan kenaikan variabel X2, dan X10

sebesar 0,20 satuan dan 0,90 satuan, kemudian diikuti dengan penurunan variabel

X1, X3, X4, dan X5 dengan koefisien berturut-turut 0,29, 0,14, 0,13, dan 0,19

satuan. Pembacaan hasil analisis regresi untuk Y2, Y3, dan Y4 sama halnya

dengan Y1.

64

Persamaan regresi yang terdapat pada Tabel 20 untuk Y1, Y2, Y3, dan Y4

berturut-turut adalah 0,65; 0,43; 0,57; 0,84. Nilai R-square yang mendekati 1

menunjukkan bahwa pemilihan variabel penduga yang mempengaruhi variabel

tujuan sudah relatif tepat. Dari hasil analisis regresi yang dilakukan tidak semua

mendekati 1. Berdasarkan Tabel 19, nilai parameter hasil analisis regresi dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel yang berpengaruh sangat nyata (p-

level < 0.05) dan variabel yang berpengaruh nyata (p-level > 0.05).

Dari hasil persamaan analisis regresi untuk Y1 variabel yang berpengaruh

sangat nyata adalah alokasi RTRW untuk lahan terbangun, alokasi RTRW untuk

pertanian, dan luas TPLB tahun 2003. Faktor yang berperan positif adalah alokasi

RTRW untuk lahan terbangun dan luas TPLB pada tahun 2003, sedangkan yang

berperan negatif adalah alokasi RTRW untuk pertanian. Hal ini dapat diartikan

bahwa semakin tinggi luas alokasi untuk lahan terbangun dan luas TPLB

menyebabkan perubahan penggunaan lahan terbangun akan semakin meningkat.

Luas TPLB yang tinggi diiringi dengan kebijakan pemerintah yang

mengalokasikan untuk lahan terbangun memberikan peluang untuk terjadinya

konversi lahan yang tinggi. Rendahnya luasan alokasi RTRW untuk pertanian

menyebabkan tingginya perubahan TPLB menjadi lahan terbangun. Hal ini terkait

dengan visi dan misi Kota Bekasi sebagai pusat permukiman, jasa, perdagangan,

dan industri dengan tetap mempertimbangkan aspek hijau kota. Oleh karena itu,

perlu pengawasan dan pengendalian agar tidak ada lagi bangunan-bangunan pada

alokasi yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian. Variabel yang berpengaruh

nyata pada Y1 memiliki koefisien negatif, yaitu alokasi untuk hutan kota,

aksesibilitas ke kota atau kabupaten lain, dan pertambahan fasilitas pendidikan.

Pertambahan fasilitas pendidikan yang tinggi menurunkan peluang terjadinya

konversi lahan pertanian. Hal ini diduga karena fasilitas-fasilitas pendidikan

didirikan pada lahan-lahan yang sudah terbangun sehingga tidak mengkonversi

lahan pertanian. Aksesibilitas menuju kota atau kabupaten lain yang semakin jauh

menurunkan peluang untuk terjadinya konversi lahan. Semakin dekat jarak

dengan pusat kota maka kemungkinan konversi lahan menjadi lahan terbangun

semakin tinggi. Hal ini terkait dengan tingginya aktivitas ekonomi yang terjadi

pada pusat kota.

65

Pada hasil analisis regresi Y2, variabel yang berpengaruh sangat nyata

adalah luas penggunaan lahan (TPLK, kebun campuran, lahan terbangun) tahun

2003, alokasi lahan terbangun, dan pertambahan fasilitas kesehatan. Variabel yang

berperan positif adalah luas TPLK tahun 2003 dan alokasi lahan terbangun,

sedangkan untuk variabel yang berperan negatif adalah luas lahan terbangun tahun

2003, luas kebun campuran tahun 2003, dan fasilitas kesehatan. Luas TPLK dan

alokasi RTRW lahan terbangun yang tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan

perubahan TPLK menjadi lahan terbangun. Sementara itu, tingginya luas lahan

terbangun dan kebun campuran pada tahun 2003, serta pertambahan fasilitas

pendidikan menyebabkan kecilnya perubahan tersebut. Variabel yang

berpengaruh nyata pada hasil analisis Y2 yang memiliki koefisien positif adalah

aksesibilitas menuju kecamatan, pusat fasilitas sosial, dan pusat fasilitas ekonomi,

sedangkan yang memiliki koefisien negatif adalah pertambahan fasilitas sosial dan

jumlah penduduk. Semakin jauh jarak dari kecamatan dan pusat-pusat aktivitas

menyebabkan peluang konversi lahan semakin tinggi. Hal ini diduga karena

perubahan yang terjadi terkait dengan pengembangan lokasi aktifitas seperti

perubahan menjadi kawasan industri yang memerlukan lahan luas dan harus jauh

dari lokasi permukiman terkait dengan pembuangan limbah industri tersebut.

Hasil analisis regresi Y3 untuk variabel sangat nyata menunjukkan

terdapat 3 variabel yang berperan positif yaitu alokasi lahan terbangun,

aksesibilitas ke kota lain, dan luas kebun campuran pada tahun 2003. Untuk

variabel yang berperan negatif adalah luas TPLB tahun 2003. Tingginya luas

alokasi lahan terbangun dan luas kebun campuran serta semakin dekat jarak

menuju kota menyebabkan perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi

lahan terbangun semakin tinggi. Dengan adanya kebijakan pemerintah dalam

RTRW terkait dengan alokasi untuk lahan terbangun. Hal ini menguntungkan

pihak-pihak yang ingin mendirikan lahan-lahan terbangun untuk dijadikan sebagai

tempat aktivitas ekonomi. Variabel-variabel yang pengaruh nyata dalam Y3

memiliki koefisien positif yaitu pertambahan fasilitas pendidikan dan ekonomi.

Pembangunan terhadap fasilitas-fasilitas tersebut mengurangi luas kebun

campuran yang ada. Hal ini diduga karena fasilitas tersebut dibangun oleh warga-

66

warga sekitar, seperti pembangunan toko-toko atau warung milik warga dan

sekolah-sekolah di sekitar permukiman.

Hasil analisis regresi Y4 untuk variabel yang berpengaruh sangat nyata

menunjukkan terdapat 2 variabel positif yaitu luas lahan kosong pada tahun 2003

dan laju pertambahan fasilitas sosial. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya

peningkatan laju pertambahan fasilitas sosial dan luasan lahan kosong

menyebabkan perubahan penggunaan lahan kosong menjadi lahan terbangun

semakin tinggi. Variabel berpengaruh nyata pada Y4 yang memiliki koefisien

positif adalah alokasi untuk pertanian, luas TPLB dan luas lahan terbangun 2003,

jumlah penduduk, sedangkan yang memiliki koefisien negatif adalah aksesibilitas

ke pusat fasilitas sosial. Semakin tinggi luas TPLB pada tahun 2003 menyebabkan

peluang untuk terjadinya perubahan menjadi lahan terbangun juga semakin tinggi.

Hal ini diduga karena penggunaan lahan TPLB sebelum menjadi lahan terbangun

diusahakan untuk tidak digunakan untuk aktifitas pertanian, sehingga dibiarkan

menjadi lahan kosong untuk waktu yang tidak lama, setelah itu baru didirikan

bangunan-bangunan. Kemudahan aksesibilitas ke pusat fasilitas sosial

menimbulkan peluang yang kecil untuk terjadinya konversi lahan kosong menjadi

lahan terbangun. Hal ini mungkin disebabkan karena pembangunan aksesibilitas

menuju pusat fasilitas sosial sudah berada pada area lahan terbangun.