toksoplasmosis pada ibu hamil
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma Gondii yang termasuk dalam
golongan Coccidia (Chatterjee,1977). Penyakit parasit zoonotik ini terdapat pada
kucing sebagai hospes utama dan beberapa jenis binatang termasuk manusia dapat
berfungsi sebagai hospes perantara. Manusia terinfeksi bila makan daging atau organ-
organ binatang yg mengandung kista yang kurang sempurna pengolahannya. Pernah
dilaporkan pula penularan dapat terjadi lewat ludah, air susu dan darah yang
mengandung tropozoid, namun hal ini sangat jarang.
Toksoplasmosis pada manusia dapat ditemukan dalam bentuk kongenital dan
didapat. Toksoplasmosis kongenital adalah infeksi intrauterin yang ditularkan secara
transplasental dari seorang ibu hamil yang menderita toksoplasmosis. Kemungkinan
terinfeksinya janin dan beratnya infeksi ditentukan saat terjadinya infeksi pada ibu
hamil. Gejala klinis toksoplasmosis kongenital dikenal dengan trias klasik yaitu berupa
hidrosepalus, khorioretinitis dan kalsifikasi intrakranial. Toksoplasmosis didapat
(aquisita) terjadi karena infeksi langsung. Toksoplasmosis didapat sering ditemukan
pada penderita gangguan imunologis, terutama penderita AIDS. Gejala klinis dapat
berupa malaise, demam, ruam makulopapular, limadenopati, hepatomegali, pneumonia,
miokarditis, ensepalitis, meningensepalitis dan abses otak.
Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan tahun 1908 pada binatang mengerat di
Afrika utara oleh Nicolle dan Manceaux. Toksoplasmosis pada manusia pertama kali
dilaporkan oleh Janku di Szechoslovakia padfa tahun 1923. Kemudian pada tahun
1937, Wolf dan Cowen membuktikan bahwa Toxoplasma gondii dapat menimbulkan
cacat bawaan pada janin.
Insiden toksoplasmosis kongenital ini sangat bervariasi di berbagai negara,
misalnya diPrancis sebanyak 6 per 1000 kelahiran hidup, 2 per 1000 kelahiran hidup di
USA dan Polandia, 7-10 per 1000 kelahiran hidup di Colombia, 3 per 1000 kelahiran
hidup di Slovenia.
Toksoplasmosis tersebar diseluruh Indonesia. Prevalensi tertinggi ditemukan di
Papua 34,6%, Kalimantan selatan 31%, Jakarta 18%, Palu 16%, Surabaya dan
Sumatera utara 9%. Meskipun sampai saat ini belum ada data prevalensi
toksoplasmosis kongenital pada bayi baru lahir, dari hasil pemeriksaan terhadap 99
bayi yang dilahirkan dengan cacat bawaan ternyata 18,2% menderita toksoplasmosis
kongenital. Dilaporkan pula pada anak dengan retardasi mental 44,6% positif antibodi
IgG toksoplasmosis.13 Demikian pula diantara wanita yang mengalami abortus spontan
dan lahir mati ditemukan antobodi IgG toksoplasmosis sebesar 21,5% dan 22,8%.
Insiden toksoplasmosis didapat meningkat sejak wabah infeksi HIVdengan defek
imunitas seluler yang menyertai penderita AIDS. Prevalensi serologis ensefalitis
toksoplasmosis mengenai sekitar 25% penderita AIDS di Eropa dan antara 5-10% di
USA, sedangkan rata-rata seropositif Toxoplasma gondii pada penderita HIV antara
10%-45%.
Manusia dapat terinfeksi oleh parasit ini melalui beberapa cara antara lain tertelan
ookista yang berasal dari feses tuan rumah definitif (kucing) melalui makanan yang
tercemar, melalui makan daging setengah matang yang berasal dari binatang yang
terinfeksi yang mengandung kista yang berisi bradizoit yang infektif, secara kongenital
melalui penularan transplasental dari ibu hamil yang menderita toksoplasmosis kepada
bayi yang dikandungnya,transmisi melalui tranfusi darah dan transplantasi organ.
Diagnosis toksoplasmosis seringkali sulit ditegakkan, karena manifestasi klinik
yang muncul sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala klinis sampai manifestasi
neurologis yang berta bahkan kematian atau dapat juga manifestasi klinis baru muncul
bertahun-tahun kemudian. Sehingga dalam hal ini tes serologis merupakan
pemeriksaan penunjang diagnosis yang penting dilakukan. Diagnosis secara serologis
dapat dibuat dengan mendeteksi zat anti Ig M dan Ig G spesifik.
Pada penelitain jangka panjang bahwa bayi-bayi dengan toksoplasmosis akan
meninggalkan gejala sisa berupa retardasi mental, kejang, gangguan motorik bersifat
spastik, kelainan pada mata dan tuli walaupun sudah mendapat pengobatan yang
senpurna. Untuk itu upaya pencegahan, diagnosis dini dan penanganan infeksi
toksoplasmosis perlu dilakukan secara sebik-baiknya.
Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengharuhi oleh banyak faktor, seperti
kebiasaan makan Dging kurang matang, adanya kucing yamng dipelihara sebagai
binatang kesayangan, adanya tikus daan burung sebagai hospes peran tara yang
merupakan binatang bururn kucing, adanya sejumlah vektor seperti lipas atau lalat
yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucung ke makanan, cacing tanah juga
berperan untuk memindahkan ookista dari lapisan dalam ke permukaan tanah.
Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting
untuk toksoplasma gondii, transmisi melalui ookista tidak dapt diabaikan. Seekor
kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta butir ookista sehari. Ookista menjadi
matang dalam waktu 1-5 hari dan dapat hidup > setahun ditanah yang panas dan
lembab. Ookista mati pada suhu 45 C-55 C, juga mati bila dikeringkan atau bercampur
formalin, amonia atau larutan iodium. Transmisi melaui bentuk ookista menunjukkan
infeksi toxoplasma gondii pada orang yang tidak senang makan daging.
Toiksoplasmosis tidak ditularkan dari orang ke orang. Penularan melalui ASI belum
pernah dilaporkan.
II. MORFOLOGI TOXOPLASMA GONDII
Toksoplasma gondii adalah parasit obligat intraseluler yang terdapat dalam 3
bentuk yaitu bentuk takizoit atau proliferatif, kista jaringan yang mengandung
bradizoit dan ookista.
A. Bentuk Takizoit
Bentuk ini berbentuk bulan sabit atau oval, ukuran 3µ x 41 yang terlihat
pada masa infeksi akut, dapat dicat dengan pewarnaan Giemsa atau pewarnaan
Wright.Takizoit menyerang semua sel mamalia kecuali sel darah merah yang tidak
berinti. Bersifat lunak dan tidak dapat bertahan hidup bila dibekukan atau
dipanaskan, dehidrasi atau terpapar cairan lambung atau duodenum. Takizoit
menghasilkan suatu enzim yang mengubah membran sel host dan membuat mudah
untuk masuk sel.Setelah penetrasi, takizoit bermultiplikasi secara endogeni yang
menyebabkan sel pecah.
B. Bentuk Kista
Bentuk ini berbentuk bulat mempnyai ukuran 10µ sampai 100µ,mempunyai
binding argirofilik tetapi hanya terlihat jelas dari jaringan sekitarnya ketika di
warnai dengan pengecatan asam Schiif, tidak ada reaksi radang disekitar kista.
Cairan peptid atau Trirtid dapat memecahkan dinding sel dan kista dapat bertahan
hidup dalam cairan tersebut dalam beberapa jam sehingga menyebabkan invasi ke
sel-sel sekitarnya. Kista dapat hancur dalam pemanasan hingga 66% C,dengan
pembrkuan dibawah 20 C dan akibat dehidrasi. Kista dapat bertahan hidup
beberapa bulan pada suhu kulkas 4 C.
Kista ini dapat bertahan dalam semua jaringan yang mengakibatkan infeksi
kronik atau laten pada seumur hidup host yang terinfeksi tersebut. Kista ini dapat
ditemukan dalam jaringan paling cepat pada minggu pertama infeksi. Infeksi dapat
terjadi dengan mengkonsumsi daging yang berisi kista yang tidak di masak sampai
matang.
C. Bentuk Ookista
Ookista berbentuk ovoid dan berukuran 10x12µ.Kucing yang terinfeksi
dapat mengeluarkan ookista sebanyak 10 juta setiap harinya. Ookista yang
diekskresikan akan menjadi infeksisus bila mereka mengalami sporulasi (delapan
sporozoit pada tiap ookista), yang berlangsung 1 sehingga 21 hari, paling sering
terjadi 2-8 hari setelah ekskresi. Ookista lebih tahan dibandingkan bentuk lainnya
dan dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan didalam air dan setahun lebih
dalam tanah yang lembab. Infeksi dilularkan dengan memakan ookista yang telah
disporulasi, hal ini membuat ookista memegang peranan penting dalam transmisi
jalur fekal-oral.
III. SIKLUS HIDUP TOXOPLASMA GONDII
Gambar 1. Siklus hidup dan penularan Toxoplasma Gondii
Dalam siklus bentuk Toxoplasma gondii dikenal 3 bentuk, yakni: (1) takzoit, (2)
kista dan (3) ookista. Bentuk takizoit adalah virulen, parasit tersebut dapat menembus
dinding sel dan dapat ditemukan di dalam darah selama fase akut. Penularan dengan
bentuk takizoit dapat terjadi misalnya dengan perantaraan darah wanita hamil melalui
plasenta ke darah janin. Takizoit akan membentuk kista dalam sel tuan rumah,dan
kista ini dapat menetap selamanya didalamnya setiap jaringan terutama dalam
jaringan otot dan susunan saraf pusat. Penularan dengan bentuk kista ini terjadi
dengan menelan jaringan hospes yang mengandung kista tersebut. Ookista terdapat di
dalam lapisan mukosa usus kucing, selama fase akut dan dieksresikan melalui tinja.
Ookista bisa tetap infeksius dalam waktu lama bilamana kondisi oral. Kucing
merupakan satu-satunya binatang yang dapat memproduksi ookista Toxoplasma
gondii. Sedangkan binatang-binatang lain seperti babi, sapi, domba, ayam, kelinci dan
anjing dapat terinfeksi bila menelan ookista yang dikeluarkan oleh kucing melalui
tinja. Toxoplasma gondii mempunyai hospes definitif kucing. Parasit ini berkembang
biak secara seksual dan aseksual. Kunci dari siklus hidup ini adalah ookista yang
dihasilkan dalam usus kucing dan dikeluarkan bersama tinja. Bila ookista termakan
oleh hospes yang homolog (kucing) maka akan terjadi reproduksi seksual dalam usus
kucing. Mula-mula akan dikeluarkan sporozoit dari ookista, sporozoit memasuki
mukosa usus dan menjadi takizoit. Takizoit makin lama makin membesar dan
kemudian sebagai suatu skizon melakukan pembelahan yang menghasilkan merozoit.
Merozoit keluar dari sel hospes yang rusak dan kemudian memasuki sel yang lain
untuk selanjutnya menjadi takizoit dan skizon. Selain itu merozoit juga bisa
mengalami diferensiasi menjadi sel jantan (mikrogametosit) dan betina
(makrogametosit. Konjugasi gametosit jantan dan betina membentuk zygot yang
kemudian berkembang menjadi ookista yang berada bebas dalam lumen usus, suatu
ketika dapat keluar dari kucing dengan perantara feses.
Bila ookista termakan kucing akan terulang siklus yang sama. Beberapa hewan
dapat berlaku sebagai hospes perantara, antara lain babi, anjing, domba, kelinci,
binatang mengerat lainnya dan sejumlah burung serta mamalia termasuk manusia.
Pada hospes perantara, parasit ini hanya berkembangbiak secara aseksual, ditemukan
sebagai takizoit pada infeksi akut dan sebagai bradizoit dalam kista pada infeksi
menahun.
IV. PATOLOGI, PATOGENESIS DAN IMUNOLOGI
A. Patologi
Kelainan yang terjadi di otak maupun anggot tubuh yang lain akibat infeksi
toksoplasmosis kongenital dapat dimengerti karena organisme tersebut beredar
melalui darah. Variasi kerusakan yang terjadi tergantung pada virulensi strain
toxoplasma gondii, jumlah organisme yang masuk melalui ibu ke janin saat infeksi
pada waktu hamil, sistem imun dari janin. Kelainan-kelainan yang terjadi pada
beberapa organ dapat dijelaskan sebagai berikut:
Plasenta
Infeksi toxoplasma gondii pada bayi yang masih dalam kandungan terjadi
melalui plsenta. Walaupun infeksi terjadi melalui plsenta, namun plsenta tetap
normal. Kelainan atau reaksi yang dapat ditemukan pada plasenta adalah villi
koriales bertambah besar, terjadi pengelompokan sel histiosit antar villi, parasit
dalam bentuk kista dapat ditemukan, terutama pada batas plasenta maternal dan
gfetal, reaksi sel radang terutama sel magrofag di dalam villi.
Gambaran yang dapat memastikan adanya infeksi toxoplasma gondii apabila
parasit toksoplasma ditemukan. Penemuan parasit ini sangat sulit karena tidak
setiap villus mengandung parasit disamping parasitnya sangat kecil.
Susunan Saraf Pusat
Pada bayi yang meninggal pada periode neonatus ditemukan kerusakan
yang berat berupa reaksi seluler pada leptomrningen dari jaringan otak dan medulla
spinalis. Lapisan pia-arakhnoid yang menutupi lesi kortikal atau medulla spinalis
memperlihatkan gambaran berupa bendungan dari pembuluh darah dan adanya
infiltrasi sejumlah besar limfosit, sel plasma, makrofag dan eosinofil. Kelainan ini
terutama ditemukan disekitar arteriole-arteriole dan vena-vena kecil. Apabila
terjadi sumbatan pada akuaduktus Svlvii oleh karena lateralis dan ventrikel III yang
terdiri dari akumulasi dari toksoplasma dan sel-sel radang, selanjutnya berkembang
menjadi hidrosepalus pada bayi dan anak. Nekrosis dan klasifikasi dari jaringan
otak ini dapat dilihat secara radiologis.
Mata
Kelainan utama pada mata adalah terjadi pada rentina dan khoroid dan
selanjutnya dapat terjadi peradangan yang lebih luas seperti iridoksiklitis dan
katarak. Sedangkan kerusakan yang terjadi pada bagian lain dari mata disebabkan
oleh karena komplikasi dari khorioretinitis. Bila kerusakan sudah terjadi pada
seluruh bagian dari mata, maka mata menjadi mikropthalmia.
Parasit mula-mula berada pada kapiler lapisan khoroid kemudian masuk ke sel lain
disekitar kapiler tersebut. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya reaksi radang
berupa sembab, infiltrasi sel lekosit, limfosit, sel plasma, sel histosit dan kadang-
kadang sel eosinofil. Sedangkan akibat yang lebih lanjut adalah kerusakan di retina.
Pada proses penyembuhan akan terjadi pengumpalan pigmen disekitar jaringan
nekrotik dan akhirnya retina akan menjadi atropi. Parasit dapat ditemukan pada
bagian retina yang rusak dan kadang-kadang juga di temukan pada khoroid.
Paru-paru
Septa alveolar dapat menjadi lebih lebar, mengalami udem dan terinfiltrasi
sel mononuklear, sel plasma dan eosinofil.Dinding pembuluh darah yang kecil
dapat terinfiltasi limfosit dan sel mononuklear dan parasit dapat ditemukan pada sel
endotelial. Toxoplasma gondii dilaporakan pada sel epitel alveoli dan endotelium
pembuluh darah kecil pada penderita pneumonia.
Jantung
Toxoplasma gondii ditemukan pada jantung dalam bentuk kista didalam
otot jantung dan disertai perubahan patologi dalam otot jantung. Terdapat infiltasi
fokal berisi limfosit, sel plasma, sel mononuklear dan eosinofil. Pada area fokal
infiltrasi,sel miokardiumdapat mengalami nekrosis hialin dan fragmentasi.
Klasifikasi luas pada jantung yang melibatkan ventrikel kanan dan septum
intraventikuler ditemukan pada bayi dengan toksoplasmosis kongenital yang
berusia 3 jam.
Toxoplasma gondii dapat menginvasi jaringan otot jantung tanpa
menghancurkan atau tanpa reaksi radang disekeliling jaringan tersebut. Miokarditis
disebabkan oleh pecahnya sel yang berisi parasit yang melepaskan organisme dan
akhirnya menyebabkan reaksi radang disekitar jaringan tersebut.
Hepar
Pada hepar dapat terbentuk perubahan degeneratif hepatoseluler yang tidak
disertai infiltrasi. Ruang periportal berisi sel mononuklear, neotrofil dan eosinofil.
Pembesaran hepar ditemukan dengan disertai eritropoesisi. Padas beberapa kasus
terjadi sirosis hepatis sebagai kelanjutan dari toksoplasma kongenital dan adanya
kalsifikasi hepar pada autopsi.
Ginjal
Pada ginjal sering ditemukan glomerulonefritis fokal. Pada lesi yang telah
berlanjut terdapat glomerulus yang mengalami nekrosis dan dapat terjadi nekrosis
pada tubulus terdekat. Pada bagian glomerulus ditemukan parasit didalam eksudat
sel didalam rongga kapsuler atau tertanam dalam jaringan nekrotik. Pada ginjal
yang sudah mengalami kerusakan berat, jaringan nekrosis ditemukn pada tubulus
kolektifus. Dilaporkan juga adanya Sindroma nefrotik pada penderita
toksoplasmosis kongenital, dengan ditemukan deposit granuler dan pseudolinear,
fibrinogen dan antigen antibodi toxoplasma pada glomerulus pada saat dibiopsi.
Otot skeletal
Kelainan pada otot skeletal beruap miositis yang luas, serat otot yang berisi
parasit tanpa perubahan patologi, Organisme didalam serat otot dapat ditemukan
dibawah bungkus sarkodemal, rongga tubuler, kista toxoplasam banyak terlihat
pada serat otot. Otot yang terserang menjadi bengkak, tetapi tidak didapatkan reaksi
radang. Infiltarat seluler terdiri dari sel mononuklear, limfosit, sel plasma dan
eosinofil.
Tulang
Parasit dapat ditemukan pada sumsum tulang dan terdapat defisiensi
osteogenesis dan remodeling pada tulang spongiosa primer. Gumpalan Toxoplasam
gondii intraseluler ditemukan didalaam makrofag sumsum tulang.
Kelenjar Adrenal,Pituitari, Pankreas dan Tiroid
Parasit dan sejumlah fokus nekrosis dapat dijumpai pada kortek adrenal dan
pankreas. Parasit juga ditemukan pada kelenjar pituitari dan tiroid serta adanya
reaksi radang dan nekrosis.
Testis dan Ovarium
Pada kedua organ ini sering ditemukan reaksi radang akut interstitialis
dengan area nekrosis. Nekrosis pada tubulus seminiferus dengan disertai infiltrasi
dan sel-sel plasma, limfosit, sel mononukleus dan eosinofil. Parasit biasanya
ditemukan pada spermatogonia dengan tubulus yang masih baik.
Timus
Sarrut melaporkan adanya hipoplasia pada bayi berumur 1 bulan yang
meninggal akibat toksoplasmosis kongenital.
B. Patogenesis Toksoplasmosis
Organisme yang berasal dari kista atau ookista akan masuk kedalam sel
usus dan memperbanyak diri dan menimbulkan kerusakan sel, kemudian memasuki
sel lain disekitarnya. Organisme yang berada ekstrasel atau yang berada dalam
lekosit disebarkan ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan aliran getah bening.
Organisme ini dapat menyebar dalam tiap organ atau jaringan.
Proliferasi takizoit akan menyebabkan kerusakan pada sel yang
dimasukinya dan menyebabkan fokus nekrosis yang dikelilingi oleh reaksi seluler.
Timbulnya respon imun hospes akan menentukan perjalanan infeksi selanjutnya,
imunitas seluler maupun humoral sama pentingnya. Pada beberapa individu dengan
imunodefisiensi, infeksi akut toksoplasmosis dapat berlanjut menjadi ensefelitis,
pneumonitis atau miokarditis. Bila terbentuk respon imun yang normal maka
takizoit akan menghilang di jaringan. Tetapi dalam jaringan mata dan
susunan saraf pusat, organisme ini akan terus berproliferasi dan menimbulkan
kerusakan jaringan. Hal ini dapat terjadi karena terdapat barier terhadap transfer
antibodi pada mata dan susunan saraf pusat.
Aspek unik pada infeksi Toxoplasma gondii adalah bahwa organisme ini
akan menetap didalam bentuk kista diberbagai organ dan sepanjang hidup hospes
yang menetap dalam sel retikuloendotelial dan pecahnya kisata pada beberapa
individu yang menderita infeksi kronis dan asimptomatik merupakan sumber
timbulnya parasitemia yang berulang.
Infeksi toksoplasmosis pada janin dapat terjadi intra uteri secara
transpasental. Mula-mula terjadi infeksi primer pada ibu hamil, kemudian terjadi
parasitemia,plasentitis dan penyebaran hematogen ke dalam seluruh janin. Infeksi
pada plasenta (plasentitis) terjadi sebelum infestasi parasit pada janin. Parasit dapat
diisolasi dari 25% plasenta dari ibu dengan toksoplasmosis yang mendapat infeksi
pada masa kehamilan. Kista toksoplasma dapat dilihat dengan pemeriksaan
mikroskopis dari plasenta tersebut.
Pentingnya saat ibu terinfeksi dimana tranmisi Toxoplasma gondii melalui
plasenta terjadi bila ada infeksi akut selama kehamilan. Hal ini dipengaruhi oleh
daya tahan dari ibu virulensi strain Toxoplasma gondii, keutuhan plasenta dan
hubungan antara terjadinya infeksi dengan usia kehamilan. Bila ibu hamil terinfeksi
pada 65% bila ibu terinfeksi pada trimester III (Toksoplasmosis kongenital pada
bayi yang lahir dari ibu yang terkena infeksi pada trimester I kehamilan, umumnya
bermanifestasi pada susunan saraf pusat dan mata). Dengan demikian walaupun
angka kejadian toksoplasmosis kongenital pada trimester I adalah kecil, akan tetapi
karena terjadi pada saat pembentukan susunan saraf pusat maka kelainan yang
terjadi lebih berat, sedangkan toksoplasmosis kongenital pada bayi baru lahir dari
ibu yang terkena infeksi pada trimester III umumnya ringan atau tanpa gejala klinis.
Infeksi toksoplamosis pada bayi kembar satu telur biasanya memberikan kelainan
klinis yang sama, sedangkan pada bayi kembar dua telur dapat variasi. Hal ini di
sebabkan tidak samanya serangan parasit pada plasenta.
C. Imunologi Toksoplasmosis
Infeksi Toxoplasma gongii dipengaruhi oleh perkembangan respon imun
humoral dan seluler serta sitokin. Kontribusi relatif data kedua tipe respon imun ini
terhadap imunitas protektif masih belum jelas dan tampaknya tergantung host.
Secara umum dikatakan bahwa imunitas seluler memerankan peran dominan
terhadap resistensi host terhadap infeksi Toxoplasma gondii.
Imunitas Humoral
Diagnosis toksoplasmosis didasarkan dengan ditemukan imunogbulin
spesifik IgG dan IgM. Beberapa hari setelah terjadi infeksi primer dibentuk zat anti
IgM dalam serum yang titernya meningkat dan mencapai puncaknya dalam waktu 2
minggu, kemudian menghilang dalam waktu 2-3 bulan atau lebih lama, kadang-
kadang sampai lebih dari setahun. Zat anti IgG spesifik dapat dideteksi beberapa
hari setelah munculnya zat anti IgM, titernya meningkat dan mencapai puncaknya
dalam waktu 2 bulan, titer yang tinggi dapat ditemukan selama berbulan-bulan
sampai setahun atau lebih, kemudian akan menurun dan dapat ditemukan seumur
hidup dengan tiler rendah. Bila terjadi reinfeksi atau eksaserbasi akut, titer zat anti
IgG akan meningkat kembali. Prenatal pada janin yang belum dilahirkan,
pembentukan zat anti dimulai pada akhir trimester pertama. IgG dalam darah janin
didapat secara pasif dari ibunya melalui plasenta, sedangkan IgM tidak dapat
melalui plasenta karena ukurannya yang besar. Sesudah lahir bayi dapat
membentuk IgG sendiri pada usia 2-3 bulan.
Imunitas Seluler
Imunitas seluler pada toksoplasmosis pertama kali ditemukan sebagai
hipersensitivitas tipe lambat. Penggunaan uji kulit toksoplamin menunjukkan
korelasi balik antara hipersensitivitas tipe lambat dan antibodi spesifik dalam
sirkulasi. Pada penderita toksoplasmosis respon terhadap hipersensitivitas tipe
lambat terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi. Adanya tes kulit
yang positif menunjukkan adanya infeksi kronis dan dapat menyingkirkan infeksi
akut toksoplasmosis.
Peran utama dari limfosit T dalam imunitas protektif terhadap infeksi
Toxoplasma gondii pertama kali ditnjukkan oleh Frenkel (1967) yang menunjukkan
bahwa hamster yang menerima limfa dan limfoid daro donor terinfeksi Toxoplasma
gondii kemudian memiliki proteksi terhadap serangan letal. Volmer et al (1987)
melaporkan bahwa tikus yang terinfeksi, terjadi deplesi limfosit I CD4 dengan
antibodi monoklonal GK 1,5 yang diarahkan pada L3T4 (CD4) yang mereaktivasi
toksoplasmosis pada susunan saraf pusat. Israelski dkk (1989) menemukam bahwa
selama pemberian GK 1,5 respon inflamasi tidak meningkat tetapi sebaliknya
menurun pada otak tikus yang terinfeksi kronis.
Perubahan ImunologiBila ibu hamil terinfeksi Toxoplsma gondii untuk pertama kali, resiko
terjadinya toksoplasmosis kongenital pada janin sekitar 40%. Bila janin terinfeksi
maka dapat terjadi beberapa kemungkinan :
1. Abortus atau lahir mati
Telah dilaporkan toxoplasmosis sebagai penyebab abortus atau lahir mati.
Tahun 1987, Widiantoro dibagian Obstetri dan Ginekologi FK-UI/RSCM
melakukan peneliti an terhadap 50 kasusu abortus spontan dengan hasil positif
terhadap Toxoplasma dijumpai pada 67,8 % kasus.
Dari hasil penelitian antibodi toksoplasma di RS dr. Pringadi Medan pada
tahun 1993 dijumpai prevalensi IgG positif pada wanita abortus spontan sebanyak
73,34% sedang pada wanita hamil normal hanya 36,6%, diduga kejadian abortus
ada hubungannya denga infeksi toksoplasma.
2. Terinfeksi dan lahir tanpa manisfestasi klinis
Pemeriksaan yang teliti sanagat menentukan dalam mendeteksi manifestasi
klinik. Pada pemeriksaan sebanyak 60-80% kasus merupakan kasus asimptomatik,
tapi bila dilakukan pemeriksaan teliti meliputi funduskopi mungkin hanya 60%
kasus yang merupakan kasus yang asimptomatik. Manifestasi subklinik dapat
berupa peningkatan kadar protein dalam cairan serebrospinalis saja pada sebanyak
50% kasus. Pada penelitian jangka panjang terhadap bayi yang semula
asimptomatik, timbul beberapa tahun kemudian.
3. Terinfeksi dan lahir dengan manisfestasi klinis
Toksoplasma gondii tidak mempunyai efek teratogenik dan semua kelainan
disebabkan oleh proses destruksi inflamasi atau disebabkan oleh respon imunologis
janin terhadap parasit. Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi kasus dengan gejala
neurologis dominan dan kasus dengan gejala sistemik dominan.
V. DIAGNOSIS
A. Diagnosis Toksoplasmosis pada kehamilan
Toksoplasmosis pada kehamilan dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a. Kehamilan dengan imun seropositif yaitu ditemukan adanya antibodi IgG
anti toksoplasma dengan titer 1/20-1/1000.
b. Kehamilan dengan antibodi IgG atau IgM spesifik titer tinggi (biasanya di
sertai juga hasil positif uji Sabin-Feldman). Disebut sebagai kehamilan
dengan toksoplasmosis akuta eksaserbasi.
c. Kehamilan dengan seronegatif yaitu darah ibu tidak mengandung antibodi
Spesifik. Dalam hal ini ibu hamil dianjurkan mengulangi uji serologik tiap
trimester sekali.
d. untuk terjadinya transmisi vertikal dari maternal ke janin dan
mengakibatkan infeksi janin. Hal ini merupakan indikasi memberikan
pengobatan antiparasit selama kehamilan.
Remington, 1974 menetapkan kriteria toksoplasmosis akuta sebagai berikut:
a. Didapatkan limadenopati pada daerah tertentu yang merupakan ciri
toksoplasmosis akuta
b. Uji warna Sabin-Feldman dengan titer tinggi (>300iu)
c. Adanya IgM positif
B. Diagnosis Prenatal
Diagnosis berdasarkan hasil kordosintesis dan amniosintesis dengan panduan
ultrasonografi untuk mendapatkan darah janin atau cairan ketuban. Diagnosis
prenatal dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu (trimester II). Aktifitas
diagnosis prenatal meliputi hal –hal berikut:
a. Kordosintesis (pengambilan sampel darah janin melalui talipusat) atau
Amniosintesis dengan tuntunan ultrasonografi.
b. Pemeriksaan dengan teknik PCR guna mengidentifikasi DNA toxoplasma
gondii pada darah janin atau cairan ketuban.
c. IgM dan IgA janin spesifik (antitoksoplasma).
d. Pemeriksaan tambahan berupa menetapkan kadar enzim liver, platelet,
leukosit (monosit dan eosinofil) dan limfosit khususnya ratio CD4 dan CD8.
e. Pembiakan darah janin atau cairan ketuban dalam kultur sel fibrobla atau
diinokulasi ke dalam ruang peritoneum tikus, ini ditujukan untuk
mendeteksi adanya parasit.
Diagnosis toksoplasmosis kongenital ditegakkan berdasar hasil pemeriksaan
yang menunjukkan adanya IgM dan IgA janin spesifik (anti toksoplasma) dari
darah janin, ditemukannya parasit pada kultur ataupun inokulasi tikus dan D.N.A
dari T. Gondii dengan P.C.R darah janin ataupun cairan ketuban.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan karena amat menentukan agar supaya
diagnostik prenatal menjadi aman, terpercaya dan efisien adalah sebagai berikut;
a. Didahulu oleh skrining serologik maternal/ibu hamil. Hasil yang
menunjukkan adanya serokonversi yaitu dengan interval waktu 2 samapi 3
minggu, perubahan dari seronegatif menjadi seropositif IgM dan IgG maka
perlu dilakukan kordosentesis. Bahkan pada senter tertentu dengan hasil
IgM+ disertai kenaikan titer IgG,> 1/1024 (toksoplasmosis akuta pada
kehamilan) dilanjutkan dengan amniosentesis.
b. Keterampilan klinisi melakukan kordocentesis atau amniocentecis dengan
tuntunan ultrasonografi.
c. Kecermatam dan keterampilan yang terlatih dalam mengerjakan pekerjaan
yang rumit dan khusus di laboratorium diantaranya meliputi kultur,
inokulasi, teknik Elisa dan P.C.R.
d. Diagnostik prenatal yang berdasarkan amniosentesis (aspirasi cairan
ketuban),saat ini paling sering dilakukan guna mendeteksi adanya infeksi janin
kongenital.
Dengan tindakan diagnostik prenatal ini akan diperoleh deteksi DNA
(Deoxyribonucleic acid) T.Gondii dalam cairan ketuban melalui metode PCR
secara akurat dan cepat. Selanjutnya dari tindakan prenatal tersebut diantaranya
adalah kombinasi antara PCR dan inokulasi mencit dari cairan ketuban, metode ini
memperlihatkan hasil yang terpercaya.
Amniosintesis dapat dikerjakan mulai umur 14 minggu kehamilan dan
kordosintesis setelah umur kehamilan 20 minggu. Amniosintesis kurang berbahaya
dibandingkan karena kurang invasif.
Pemeriksaan ultrasonografi janin hendaknya dilakukan dalam
diagnostikprenatal untuk pengukuran rasio ventrikel-hemisphere, deteksi kalsifikasi
intrakranial dan adanya asites. Pemeriksaan USG janin dianjurkan tiap 3 bulan
sekali sejak diagnosis prenatal.
VI. PENATALAKSANAAN DAN PROGNOSIS A. Penatalaksanaan Toksoplasmosis
Mencegah infeksi primer terutama pada ibu hamil merupakan hal yang penting.
Ibu-ibu hamil dengan sero negatif harus menghindarkan diri dari toksoplasmosis
primer yaitu dengan menghindari makanan yangt mengandung kista infektif dan
menghindari kontak dengan ookista infektif, hal ini dapat dicegah dengan menjaga
kebersihan.
a. Memasak daging sampai>60 C atau diasap
b. jangan menyentuh mukosa mulut waktu memegang daging mentah
c. Mencuci tangan sampai bersih setelah memegang daging mentah
d. Mencuci sayur dan buah sebelum dimakan
e. Mencegah terkontaminasinya sayur dan buah oleh kecoa , lalat dan lain-lain
f. Mencegah kontak atau pakai sarungtangan bila menyentuh benda yang
mungkin terinfeksi oleh kotoran kucing.
g. Desinfeksi piring makanan kucing selama 5 menit dengan air hampir
mendidih
Mencegah terjadinya infeksi terhadap janin dengan cara seleksi terhadap wanita
hamil dengan uji serologis, pengobatan sewaktu kehamilan bila terjadi in feksi
primer pada saat kehamilan.
Penggunaan vaksin pada manusia pada saat ini belum dilakukan. Percobaan
menggunakan vaksin hidup dan vaksin mati baru dilakukan tehadap tikus yang
tenyata vaksin hidup lebih efektif daripada vaksin mati.
B. Pedoman pengobatan
Pada toksoplasmosis kongenital pengobatan diberikan terhadap semua bayi
yang terinfeksi akut baik asimtomatis atau simptomatis. Pengobatan tetap diberikan
walaupun telah terjadi kerusakan organik karena sebagian kerusakan dapat bersifat
reversibel dan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Dianjurkan untuk memberi
pengobatan terhadap bayi baru lahir dengan antibodi IgG positif sampai terbukti
bahwa antibodi IgM tidak terbentuk.
Belum ada keseragaman mengenai jangka waktu pengobatan dan
pengobatan bersifat sangat individual. Terapi berupa kombinasi Pyrimethamine dan
Sulfadiazine diberikan selama 21 hari. Bila ditemukan kerusakan organ yang berat
pada awalnya Pyrimethmine diberikan secara loadingdose selama 3 hari. Setelah
pemberian kombinasi selesai, dilanjutkan dengan pemberan Spiramycin selama 4-6
minggu baik kasus simtomatik maupun asimtomatik.
Pengulangan pengobatan dapat dilakukan 3-4 kali setahun, dengan harapan
dapat mengurangi kronisitas terutama bila manifestasi klinis berat. Sedangkan pada
bayi asimtomatik diberikan selama 2-6 bulan.
Ada regimen pengobatan yang menganjurkan pengobatan bayi dengan
toksoplasmosis kongenital diberikan selama satu tahun. Untuk 6 bulan
pertama.Pyrimethamine oral (1-2 mg/kg/BB selama 2 hari), kemudian 1
mg/kg/BB/hari selama 2 bulan, kemudian 1 mg/kgBB/hari sebagai dosis
pembebanan, kemudian 100mgkg BB/hari dibagi 2 dosis), asam folat (kalsium
leukovorin) dengan dosis 5-10 mg kgBB/hari diberikan pada hari Senin,Rabu, dan
Jumat. Pada 6 bulan kedua, regimen ini dilanjutkan atau diberikan selang sebulan
dengan Spiramycin 50mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
Untuk bayi dengan ketrlibatan sedang sampai berat, regimen 6 bulan
pertama dapat dilanjutkan selama 1 tahun penuh atau dimodifikasi denga
memberikan Pyrimethamine 1mg/kgBB/hari selama 6 bulan pertama. Regimen ini
dianggap sebagai rekomendasi yang masuk akal.
Jika didapatkan manisfestasi klinis berupa korioretinitis dimana lesinya
melibatkan makula, pangkal nervus optikus, maka pemberian kortikosteroid harus
diberikan. Kesulitannya adalah banyak bayi dengan manifestasi klinis jelas, tetapi
baru datang pada usia 1 tahun lebih. Pada bayi-bayi ini ditemukan IgG saja yang
tidak menunjukkan penurunan titer pada pemeriksaan serial, sehingga sebagai IgG
produksi bayi sendiri, sedangkan titer ibu positif. Jelaslah bahwa bayi-bayi ini
menderita toksoplasmosis kongenital dalam keadaan tenang. Apakah bayi-bayi ini
perlu pengobatan? Telah diketahui bahwa obat hanya dapat membunuh takizoit,
tetapi tidak dapat berpengaruh terhadap bentuk kista. Takizoit hanya berbentuk
pada saat infeksi akut atau bila terjadi reaktivasi kembali. Satu-satunya manifestasi
klinis yang menunjukkan adanya reaktivasi adalah korioretinitis dan mungkin
peningkatan kadar protein cairan serebropinalis.
Pedoman Pengobatan Toksoplasmosis
Penderita dengan limfadenopati tidak memerlukan pengobatan spesifik
kecuali kalau mereka menderita gejala-gejala yang berat dan menetap dan terbukti
ada kerusakan organ vital. Jika ditemukan tanda demikian maka diberi pengobatan
dengan Pyrimethamine,Sulfadiazine dan Leukovorin. Walaupun lamanya terapi
optimal belum diketahui, penderita yang tampak secara imunologis normal namun
menderita gejala berat dan menetap maka memerlukan terapi spesifik sampai
gejala-gejala spesifik sembuh.
Sedangkan pada penderita dengan gangguan imunologis seperti penderita
AIDS diberikan terap akut atau primer dan terapi rumatan atau sekunder, karena
relaps terjadi pade >85% kasaus sesudah terapi akut, sehingga terapi rumatan
diteruskan seumur hidup. Terapi akut sebaiknya diberikan selama paling sedikit 3
minggu dan dilanjutkan sampai 6 minggu pada penderita berat yang tidak mencapai
respon komplit. Pyrimethamine, Sulfadiazine dan asam folat adalah terapi pilihan
untuk penderita AIDS dengan toksoplasmosis. Ada juga yang menggunakan
regimen Pyrimethamine dan Clindamicyn, tetapi clindamicyn mempunyai efek
toksik.
Pedoman Pengobatan Toksoplasmosis pada Wanita Hamil
Wanita hamil yang secara imunologis normal namun terinfeksi Toxoplasma
gondii sebelum konsepsi tidak memerlukan pengobatan untuk mencegah infeksi
kongenital pada janinnya. Pengobatan wanita hamil yang mendapat infeksi pada
suatu saat selama kehamilannya mengurangi peluang infeksi kongenital pada
bayinya kurang lebih 60%. Obat-obatan yang digunakan adalah Spiramicyn dan
Pyrimethamine memiliki potensi teratogenik, maka Spiramicyn diberikan pada
trimester pertama.
Pengobatan ibu yang menderita toksoplasmosis pada kehamilannya dengan
Pyrimethamine dan Sulfadiazine mengurangi infeksi pada plasenta dan keparahan
penyakit pada bayi baru lahir.
Wanita hamil yang bterinfeksi secara krinis yang menderita gangguan imun,
dapat menularkan toksoplasmosis pada janinnya. Wanita hamil yang demikian
harus diobati dengan Spiramicyn selama kehamilan. Pendekatan paling baik untuk
pencegahan toksoplasmosis kongenital pada janin wanita hamil dengan infeksi HIV
dan infeksi toksoplasmosis kongenital yang tidak aktif belum diketahui.
Jika kehamilan tidak dihentikan, ibu harus diobati dengan Spiramicyn
selama 17 minggu pertama kehamilan dan kemidian dengan Pyrimethamine dan
Sulfadiazine sampai aterm. Ada yang menggunakan azitromisin,roksitromisin
untuk pengobatan wanita hamil dengan AIDS yang menderita toksoplasmosis.
Golongan Sulfa (Sulfadiazine, Sulfamerazine, Sulfametazine)
Merupakan bakteriostatik yang bekerja sinergis dengan pyrimetamin dalam
pengobatan toksoplasmosis. Dosis untuk toksoplasmosis kongenital 100
mg/kgBB/hari peroral sekaliyang diikuti 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
selama 2-6 bulan. Sedangkan dosis untuk toksoplasmosis didapat 75 mg/kgBB/hari
peroral sekali diikuti 50 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu.
Obat ini tidak boleh diberikan pada kehamilan karena berisiko kern ikterus
pada bayi baru lahir, efek teratogenik pada sebagian sulfonamid belum diteliti pada
hewan atau manusia. Tapi ada penelitian bahwa sulfa dapat meningkatkan
terjadinya palatoskizis dan abnormalitas tulang pada tikus. Hati-hati pemberian
pada penderita dengan gangguan fungsi hati dan ginjal, alergi dan asma bronkiale.
Pertahankan intake cairan yang cukup untuk mencegah terjadinyakristaluria dan
pembentukan batu. Efek samping lain yang sering ditemukan nyeri pada
tenggorokan, demam, pucat, purpura, kuning. Perlunya pemeriksaan darah dan
urine selama mendapat terapi.
Clindamisin
Efektif terhadap toksoplasmosis pada susunan saraf pusat pada penderita
AIDS. Dosis 8-20 mg/kgBB/hari peroral dalam hidroklorida (kapsul) atau 8-25
mg/kgBB/hari peroral dalam palmitat (suspensi) dibagi 3-4 kali perhari, dosis tidak
boleh melebihi 1,8 gram perhari. Dosis untuk pemberian intravena atau
intramuskuler 20-40 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3-4 kali/hari, dosis tidak boleh
melebihi 4,8 g perhari.
Efek samping berupa kolitis sehingga menyebabkan obat ini jarang
digunakan. Clindamysin digunakan sebagai pengobatan korioretinitis karen
terkonsentrasi baik di koroid, dengan lama pemberian minimum 3 minggu.
Spiramycin
Merupakan obat pilihan untuk toksoplasmosis maternal atau fetal atau
merupakan terapi alternatif lainnya pada penderita toksoplasmosis yang tidak dapat
menggunakan pyrimethamine atau sulfadiazine. Obat ini kurang toksik
dibandingkan obat lain. Dosis anak-anak 50-100 mg/kgBB/hari peroral dibagi
dalam 3 dosis selama 3-4 minggu. Bila diberikan pada ibu hamil, dosis yang
dianjurkan 3x10(6) Internasional Unit atau 3 MUI, Spiramicyn 3 MUI ini
mempunyai kesetaraan dengan 1 gram Spiramicyn.
Efek samping berupa kolitis akut sekitar 1% penderita, hati-hati
pemberiannya pada penderita kardiovaskuler. Obat ini dapat menyebabkan
resistensi silang antara mikroorganisme yang resisten terhadap eritromisin dan
karbomisin.
Azittromisin (Zithromax)
Obat ini bekerja dengan mengikat ribosom mikroorganisme yang rentan dan
mempengaruhi sintesis protein mikroba. Dosis 10 mg/kgBB sebagai dosis tunggal
pada hari pertama (tidak boleh melebihi 500 mg/hari), dilanjutkan dengan 5
mg/kgBB/hari pada hari kedua sampai kelima (dosis tidak boleh melebihi 250
mg/hari). Penggunaan dalam jangka panjang dapat menyebabkan pertumbuhan
berlebihan bakteri atau jamur, dapat menyebabkan peningkayan enzim hepatik dan
ikterus.
Dapsone (Avlosulfon)
Merupakan bakterisidal dan bakteriostatik terhadap mikrobakteria.
Mekanisme kerjanya mirip dengan sulfonamide sebagai antagonis kompetitif
terhadap PABA sehingga mencegah pembentukan asam folat. Obat ini diberikan
pada anak usia 1 bulan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dan dosis tidak boleh
melebihi 100 mg perhari.
Efek samping yang sering ditemukan adalah trombositopenia, lekopenia
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan darah tiap bulan. Hati-hati diberikan pada
penderita defisiensi G6PD dan penderita dengan defisiensi methemoglobin
reduktase. Dapat juga menyebabkan neuropati perifer.
Atovaquone (Mepron)
Merupakan suatu hidroksinaptokuinon yang menghambat rantai transport
elektron mitokondria yang mengakibatkan penghambatan sintesis asam nukleat dan
ATP pada parasit. Telah dibuktikan dapat melawan bradizoit pada toksoplasmosis.
Dosis untuk anak-anak belum direkomendasikan, sedangkan untuk dosis dewasa
adalah 750 mg (dalam 5 ml) sehari selama 21 hari.
Efek samping berupa ruam kulit, pruritus, sakit kepala dan mual. Hati-hati
pada penderita usia lanjut danpada gangguan fungsi hati dan ginjal.
Kortikostreroid
Dapat digunakan bila terdapat reaksi hipersensitivitas seperti koroiditis
dengan terkenanya makula, berkas makulapapiler atau saraf optikus. Tetapi karena
efek imunosupresif dapat pula menyebabkan mekuasnya infeksi. Dosis prednison
adalah 1-2 mg/kgBB/hari. Beberapa lama penggunaan kortikosteroid belum ada
pemyesuain pendapat, sebagian peneliti memberikan selama 5-10 hari bersama obat
lain, kemudian kortikosteroid dihentikan. Sedangkan peneliti lain menghentikan
pemberian korikosteroid bila telah terlihat batas yang jelas antara lesi dengan
jaringan sekitarnya dan telah terlihat pigmentasi yang menunjukkan penyembuhan.
C. Prognosis
Bayi yang dilahirkan dengan toksopasmosis kongenital yang berat biasanya
meninggal atau hidup dengan infeksi menahun dan gejala sisa yang sewaktu-wakyu
dapat mengalami eksaserbasi akut. Gejala sisa yang lebih banyak didapatkan pada
bayi dengan toksoplasmosis kongenital berupa kelaianan nuorologis dominan
dibandingkan bayi dengan kelaianan sistemis. Pengobatan spesifik tidak dapat
menghilangkan gejala sisa, hanya mencegah kerusakan lebih lanjut.
Toksoplasmosis kongenital asimptomatis merupakan bagian terbesar dari
kasus, yang apabila tidak diobati sering menunjukan gejala korioretinitis beberapa
tahun kemudian. Keterlambatan diagnosis dan terapi, hipoglikemia perinatal,
hipoksia infeksi pirau atau shunt berulang dan gangguan penglihatan berat
dihubungkan dengan prognosis yang jelek.
Toksoplasmosis didapat biasanya tidak fatal. Gejala klinis dapat
dihilangkan dengan pengobatan yang adekuat. Tetapi bentuk kista jaringan parasit
tidak dapat dihilangkan dan dapat menyebabkan eksaserbasi akut bila menurun.
Ensepalitis toksoplasmik pada penderita AIDS sering berakibat fatal jika tidak
mendapat penanganan secara baik.
VII. RINGKASAN
Toksoplasmosis pada manusia ditemukan dalam bentuk kongenital dan
didapat. Resiko terjadinya toksoplasmosis kongenital pada janin dari ibu yang
terinfeksi adalah sekitar 40%. Semakin muda usia kehamilan maka infeksi pada
janin makin berat dan makin tua umur kehamilan maka makin benar pula resiko
janin terinfeksi.
Gejala klinis trias klasik toksoplasmosis kongenital yaitu hidrosefalus,
kalsifikasi intraknial dan korioretinitis. Namun diagnosis seringkali sulit ditegakkan
karena hampir 60-80% kasus tidak menunjukkan gejal dan tanda klinis.
Toksoplasmosis didapat makin sering ditemukan pada penderita dengan
gangguan imunologis, terutama penderita AIDS dengan gejala klinis berupa
demam, malaise, limfadenopati, hepatomegali, ensefalitis, meningoensefalitis,
polimiositis, pneumonia dan miokarditis. Sebagian besar kasus menunjukkan gejala
pada susunan saraf pusat, kemungkinan karena terdapatnya gangguan kekebalan
terhadap toksoplasma yang selektif pada jaringan otak.
Gejala klinis toksoplasmosis didapat pada penderita dengan gangguan
imunologis dapat disebabkan oleh reaktivasi infeksi lama karena pemberian
kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif yang menekan imunitas seluler.
Pemeriksaan laboratorium memegang peranan penting dalam menegakkan serologi.
Bayi-bayi dengan toksoplasmosis terutama dengan kelainan neurologis
yang dominan sering menimbulkan gejala sisa berupa retardasi mental, kejang,
gangguan motorik spastik, buta dan tuli.
Mencegah infeksi terutama pada ibu hamil adalah hal yang penting yaitu
dengan jalan menghindari hewan terutama kucing yang sering dipelihara dalam
rumah tangga yang mengandung ookista infektif dan menghindari makanan yang
tercemar kista atau ookista.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lynfied R, Guerina NG. Chapter 226 Toxoplasmosis dalam Oski’s pediatrics
principles and pratice,3 RD ed,Philadelphia 1999; 1184-1193
2. Rennie JM, Roberton NRC. Congenital toxoplasmosis dalam textbook of
neonatology 3 RD ed. Philadelphia 1999; 1170-1173
3. Mahardika A, Wijayanti, Satoto TT, Toksoplasmosis di Daerah Istimewah
Yogyakarta . Majalah Berita Kedokteran Masyarakat, 1989
4. McLeod RL, Remington JS. Chapter 266 Toksoplasmosis Nelson textbook of
pediatrics 17 TH ed. Saunders 1144-1153
5. Long SS, Pickering LK,Prober CG. Toxoplasma gondii dalamPrinciples and
practice of pediatric infectious disease, 2 ND ed, 2003. Philadelphia, Churchill
livingstone; 1303-23
6. Rukmono B, Hoedojo, Djakaria Ns. Toksoplasma gondii dalam Dasar parasitologi
klinis edisi 3, PT. Gramedia 1982;110-116
7. McCabe RE, Remington JS. Toxoplasma gondii dalam Mendell GL, Douglas RG,
Bennet JE. Principles and practical of infectious diseases. Edisi 4, New York,
Churchill Livingstone 1995;2455-74
8. Frenkel JK. Toxoplasmosis Pediatrics Clin North Am, 1985;2917-32
9. Remington JS, McLeod, Desmont G. Toxoplasmosis Dalam Remington JS, Klein
JO. Infectious diseases of the fetus and newborn. Edisi 5. Philadelphia, WB
Saunders company, 1995;140-247
10. Wilson CB, Remington JS. Toxoplasmosis dalam textbook of pediatrics infectious
deseasesedisi 2. Philadelphia WB Saunders company, 1987;2067-78
11. Brook I, Hokelek M. Toxoplasmosis congenital. Departemet of clinical
microbiology, Ondokuz May’s University Medical school, Turkey, 2003;1-15
12. Gandahusada S. Diagnosa toksoplasmosis congenital pada bayi. Medika,
1991;520-4
13. Samil RS. Toksoplasmosis pada bayi dan ibu hamil. Seminar sehari penyakit-
penyakit manusia yang ditularkan oleh hewan peliharaan, Jakarta, 31 Oktober 1988
14. Erry GD. Infeksi toksoplasma gondii pada kehamilan. Ilmu Kedokteran
Fetomaternal.edisi 1, Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI 2004;656-660