250148607 askep asma bronkial pada ibu hamil docx

54
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma termasuk ke dalam kelainan alergi- imunologi. Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan nafas, dan gejala pernafasan (mengi dan sesak) yang bersifat non-reversible. Wanita hamil yang menderita kelainan pernafasan, salah satunya adalah asma, harus berhati-hati, karena kehamilan itu sendiri akan menimbulkan perubahan yang luas terhadap fisiologi pernafasan. Penderita asma di Amerika Serikat berkisar antara 6-8 juta. Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki berbanding anak perempuan,tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopouse perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Di Hongkong prevalensi asma pada anak-anak kelompok umur 13-14 tahun pada tahun 1980 baru mencapai 2% untuk meningkat menjadi 4,8% pada tahun1989 dan pada

Upload: iyudz-prayuda

Post on 05-Dec-2015

438 views

Category:

Documents


58 download

DESCRIPTION

hjvhuchvjjhcv jhdfjhfjhf hfhfhgxcvc

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma termasuk ke dalam kelainan alergi-imunologi. Asma merupakan

gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel

inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai

tingkat, obstruksi jalan nafas, dan gejala pernafasan (mengi dan sesak) yang

bersifat non-reversible. Wanita hamil yang menderita kelainan pernafasan,

salah satunya adalah asma, harus berhati-hati, karena kehamilan itu sendiri

akan menimbulkan perubahan yang luas terhadap fisiologi pernafasan.

Penderita asma di Amerika Serikat berkisar antara 6-8 juta. Prevalensi

asma dipengaruhi oleh banyak status atopi, faktor keturunan, serta faktor

lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki

berbanding anak perempuan,tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut

lebih kurang sama dan pada masa menopouse perempuan lebih banyak

daripada laki-laki. Di Hongkong prevalensi asma pada anak-anak kelompok

umur 13-14 tahun pada tahun 1980 baru mencapai 2% untuk meningkat

menjadi 4,8% pada tahun1989 dan pada tahun 1995 mencapai 11%. Di

Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%.

Insidensi asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5 – 1 % dari seluruh

kehamilan, dimana serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24 –

36 minggu, jarang pada akhir kehamilan. Dalam pengamatan dr. Iris

Rengganis dari RS Ciptomangunkusumo-FKUI, Jakarta, asma ditemukan

pada 4-7% ibu hamil dan komplikasi terjadi pada 1 % kehamilan. Sementara

selama masa kehamilan kondisi asma seseorang bisa berubah. Dari 1.087

pasien, dilaporkan 36% asmanya membaik, 23% memburuk, dan 41% tidak

berubah. Laporan lain menunjukan perbaikan asma antara 18-69% dan

memburuk pada 6-42%. Tapi secara umum disepakati bahwa derajat asma

pada ibu hamil, sepertiga membaik, sepertiga memburuk, dan sepertiga

sisanya tetap.

Kondisi asma yang memburuk umumnya muncul pada minggu ke 29-

36 masa kehamilan. Sementara pada 4 minggu terakhir masa kehamilan,

keadaan justru membaik. Bahkan, selama proses persalinan dan kelahiran

hanya 10% ibu hamil penderita asma yang menunjukkan gejala asma, hal ini

diduga disebabkan oleh membaiknya fungsi paru. Asma yang memburuk

selama kehamilan biasanya kembali membaik dalam waktu 3 bulan setelah

partus. Asma yang terjadi pada kehamilan sebelumnya, pada 60%

penderitanya akan terulang lagi pada kehamilan berikutnya.

1.2 Tujuan Umum

Mampu menjelaskan tentang konsep masalah kehamilan pada asma serta

pendekatan asuhan keperawatannya.

1.3 Tujuan Khusus

1.3.1. Mengerti perubahan anatomi asma pada ibu hamil

1.3.2. Memahami pengertian asma pada ibu hamil

1.3.3. Mengerti etiologi asma pada ibu hamil

1.3.4. Menguraikan patofisiologi asma pada ibu hamil

1.3.5. Mengetahui manifestasi klinis asma pada ibu hamil

1.3.6. Mengerti Hubungan Kehamilan dan Fungsi Pernafasan

1.3.7. Mengetahui komplikasi asma pada ibu hamil

1.3.8. Mengetahui penatalaksanaan asma pada ibu hamil

1.3.9. Mengidentifikasi pemeriksaan diagnostik asma pada ibu hamil 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Dedinisi

Asma brokhial merupakan penyakit pernapasan akut yang

disebabkan oleh allergen, oleh perubahan mencolok pada suhu lingkungan

atau oleh ketegangan emosi. Pada banyak kasus, penyebab aktual mungkin

diketahui.suatu riwayat alergi dalam keluarga dimiliki oleh sekitar 50%

individu dengan asma. Sebagai respon reaktifitas terhadap stimulus, jalan

napas menyempit, sehingga mempersulit pernapasan. Manifestasi

klinisnya adalah mengi pada ekspirasi, batuk, sputum yang kental dan

dispneu. Penyakit asma pada kehamilan kadang – kadang berat atau malah

berkurang. Dalam batas wajar penyakit asma yang berat dapat

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim

melalui pertukaran gan oksigen dan karbondioksida. Pengawasan hamil

dan pertolongan persalinan dapat dilakukan dengan operasi.

Asma bronkial merupakan salah satu penyakit pernapasan yang

sering dijumpai pada kehamilan, mempengaruhi 1 – 4 % wanita hamil.

Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya asma tidak selalu sama pada

setiap penderita, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak

selalu sama pada kehamilan pertama dan beriktnya. Kurang dari sepertiga

penderita asma kurang membaik dalam kehamilan lebih dari sepertiga

akan menetap, kurang sepertiga lagi akan memburuk pada serangan

bertambah berat. Biasanya seragan akan timbul pada usia 24 – 26 minggu

dan pada akhir kehamilan jarang terjadi. Asma bronkhial suatu gangguan

pada saluran bronkhial dengan ciri bronkhospasme periodik (kontraksi

spasme pada saluran napas). Asma merupakan penyakit kompleks yang

diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik dan

psikologi. (Irman Somantri,2008:43)

2.2 Etiologi

Sampai saat ini patogenesis maupun etiologi asma belum diketahui

secara pasti. Berbagai teori patogenesis telah diajukan, tetapi yang paling

disepakati oleh para ahli adalah yang berdasakan gangguan saraf autonom

dan sistem imun. Asma saat ini dipandang sebagain penyakit inflamasi

saluran napas. Adanya inflamasi hiperaktivitas saluran napas dijumpai

pada asma baik pada asma alergi maupun nonalergi. Oleh karena itu

dikenal dua jalur untuk mencapai keadaan tersebut.

Jalur imunologi utama didominasi oleh IgE dan jalur saraf

otonom. Pada jalur IgE, masuknya allergen kedalam tubuh akan diolah

oleh APC (Antingen Presenting Cells), untuk selanjutnya hasil olahan

alergen akan dikomunikasikan pada sel T helper (T penolong) sel ini akan

memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel – sel plasma

membentuk serta sel – sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel

epitel, eosinifil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan

mediator – mediator inflamasi seperti histamin protaglandin (PG),

leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin

(TX) dan lain – lain akan mempengaruhi organ sasaran menyebabkan

peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas,

infiltrasi sel – sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis sup epetel sehingga

menimbulkan hiperreaktivitas saluran napas (HSN).

Jalur non alergi selain meransang sel inflamasi, juga meransang

sistem saraf otonom dengan hasil skhir berupa inflamasi dan

hiperreaktivitas saluran napas. Hiperreaktivitas saluran napas dan diduga

sebagian didapat sejak lahir. Berbagai keadaan dapat meningkatkan

hiperreaktivitas sluran napas yaitu inflamasi saluran napas, kerusakan

epitel, mekanisme neurologis, gangguan intrinsik, dan obstruksi saluran

napas.

Penyebab asma pada kehamilan :

1. Zat – zat alergi, contohnya tepung, debu, bulu dll

2. Genetik,

3. Infeksi saluran napas

4. Pengaruh udara, misalnya terlalu dingin, terlalu panas.

5. Faktor psikis, misalnya kelelahan, stres.

6. Aktivitas fisik berlebih

2.3 Patofisiologi

Pemeriksaan dilakukan oleh tim ahli Asma California tahun 1983

pada 120 kasus asma pada ibu hamil yang terkontrol baik, terdapat 90%

dari penderita yang tidak pernah mendapat serangan dalam persalinan,

2,2% menderita serangan ringan an hanya 0,2% yang menderita asma

berat yang dapat diatasi dengan obat – obatan IV. Pengaruh asma pada ibu

hamil dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan,

karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen dan hipoksia. Keadaan

hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin yang

sering terjadi keguguran, persalina prematur dan berat janin tidak sesuai

dengan usia kehamilan atau ganguan pertumbuhan janin.

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme

otot bronkus, penyumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus.

Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis

saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara

distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa di ekspirasi.

Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, Kapasitas Residu

Fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi

mendekati Kapasitas Paru Total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan

agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk

mempertahankan inflasi ini diperlukan otot bantu napas. Gangguan yang

berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan VEP1

(Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama) atau APE (Arus Puncak

Ekspirasi), sedang penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa)

menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas

dapat terjadi, baik pada saluran napas besar, sedang maupun kecil. Gejala

mengi (whezing) menandakan adanya penyempitan disaluran napas besar,

sedangkan penyempitan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak

lebih dominan dibanding mengi.

Perubahan fungsi paru pada kehamilan meliputi 20% karena

peningkatan kebutuhan oksigen dan metabolisme ibu, 40% peningkatan

ventilasi semenit dan peningkatan tidal volume. Terdapat sejumlah

perubahan fisiologik dan struktural terhadap fungsi paru selama

kehamilan. Hiperemia, hipersekresi dan edema mukosa dan saluran

pernapasan merupakan akibat dari meningkatnya kadar estrogen. Pada

uterus grafid terjadi peningkatan ukuran lingkar perut, diafragma

meninggi, dan semakin dalamnya sudut antarkosta. Wanita hamil

mengalami peningkatan tidal volume, volume residu, serta kapasitas residu

konvensional, penurunan volume balik ekspirasi, sementara kapasitas vital

tidak berubah. Hiperventilasi alveolar terjadi bila PCO2 menurun dari 34 –

40 mmHg menjadi 27 – 34 mmHg, yang biasanya terlihat pada umur

kehamilan 12 minggu. Seperti yang diperkirakan, frekuensi terjadinya

serangan eksaserbasi asma puncaknya pada umur kehamilan sekitar 6

bulan, gejala yang berat biasanya terjadi antara umur kehamilan 24 – 36

minggu.

Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut :

1. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resustansi jalan

napas.

2. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas.

3. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu.

4. Hiperaktivitas bronkial, yang diakibatkan oleh histamin, prostaklandin

dan leukrotin.

Degranulasi sel mast menyebabkan terjadinya asma dengan cara

pelepasan mediator kimia, yang memicu peningkatan resistensi jalan napas

dan spasma bronkus. Pada kasus kehamilan alkalosis respiratori tidak bisa

dipertahankan diawal berkurangnya ventilasi, dan terjadilah asidosis.

Akibat perubahan nilai gas darah arteri pada kehamilan (penurunan

PCO2 dan peningkatanPh). Pasien dengan perubahan nilai gas darah arteri

secara signifikan merupakan faktor resiko terjadinya hipoksemia maternal,

hipoksia janin yang berkelanjutan dan gagal napas.

2.4 Manifestasi Klinis

Gejala klinik bervariasi mulai dari wheezing ringan sampai

bronkokonstriksi berat. Pada keadaan ringan, hipoksia dapat dikompensasi

hiperventilasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi kelelahan yang

menyebabkan retensi O2 akibat hiperventilasi. Bila terjadi gagal napas,

ditandai asidosis, hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi, pulsus

paradoksus, ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesoris pernapasan,

sianosis sentral, sampai gangguan kesadaran. Keadaan ini bersifat reversible

dan dapat ditoleransi. Namun, pada kehamilan sangat berbahaya akibat

adanya penurunan kapasitas residu.

Manifestasi klinis asma ditandai dengan dyspnea, kesesakan dada,

wheezing, dan batuk malam hari, di mana hanya menjadi tanda dalam

beberapa kasus. Pasien melaporkan gejala seperti gangguan tidur dan nyeri

dada.

Batuk yang memicu spasme atau kesesakan dalam saluran pernapasan, atau

berlanjut terus, dapat berbahaya. Beberapa serangan dimulai dengan batuk

yang menjadi progresif lebih “sesak”, dan kemudian bunyi wheezing terjadi.

Ada pula yang berbeda, beberapa penderita asma hanya dimulai wheezing

tanpa batuk. Beberapa yang lain tidak pernah wheezing tetapi hanya batuk

selama serangan asma terjadi.

Selama serangan asma, mucus cenderung menjadi kering dan sukar,

sebagian karena cepat, beratnya pernapasan umumnya terjadi saat serangan

asma. Mucus juga menjadi lebih kental karena sel-sel mati terkelupas.

Kontraksi otot bronkus menyebabkan saluran udara menyempit atau

konstriksi. Hal ini disebut brokokonstriksi yang memperbesar obstruksi

yaitu asma.

Secara umum gejala yang sering muncul pada asma bronkial ialah

1. Tanda dan gejala utama asma adalah bunyi whezing, dispnea, dan

batuk.

2. Penggunaan otot bantu napas saat serangan.

3. Sputum dengan sedikit mucus.

4. Takikardi.

5. Berkeringan dingin.

6. Serangan berlangsung sekitar 70 menit sampai beberapa jam dan dapat

hilang secara spontan.

7. Ronchi basah.

2.5 Klasifikasi Asma

Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan

dan bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan

besar, seperti yang dianut banyak dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-

paru) dari Inggris, yakni:

1.  Asma Ekstrinsik

Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum, dan

disebabkan karena reaksi alergi penderitanya terhadap hal-hal tertentu

(alergen), yang tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap mereka

yang sehat. Kecenderungan alergi ini adalah “kelemahan keturunan”.

Setiap orang dari lahir memiliki sistem imunitas alami yang

melindungi tubuhnya terhadap serangan dari luar. Sistem ini bekerja

dengan memproduksi antibodi.

Pada saat datang serangan, misalnya dari virus yang memasuki tubuh,

sistem ini akan menghimpun antibodi untuk menghadapi dan berusaha

menumpas sang penyerang. Dalam proses mempertahankan diri ini,

gejala-gejala permukaan yang mudah tampak adalah naiknya

temperatur tubuh, demam, perubahan warna kulit hingga timbul

bercak-bercak, jaringan-jaringan tertentu memproduksi lendir, dan

sebagainya (Hadibroto & Alam, 2006).

2. Asma Intrinsik

Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari

alergen. Asma jenis ini disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi

lingkungan seperti cuaca, kelembapan dan suhu tubuh. Asma intrinsik

biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi ketahanan tubuh,

terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-paru

yang kurang baik, misalnya karena bronkitis dan radang paru-paru

(pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia juga mudah

terkena asma intrinsik. Penderita asma jenis ini kebanyakan berusia di

atas 30 tahun (Hadibroto & Alam, 2006).

Namun penting dicatat, bahwa dalam prakteknya, asma adalah

penyakit yang kompleks, sehingga tidak selalu dimungkinkan untuk

menentukan secara tegas, golongan asma yang diderita seseorang.

Sering indikasi asma ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama dideteksi

ada pada satu orang.

Sebagai contoh, dalam kasus asma bronkial (termasuk jenis ekstrinsik)

yang kronis, pada saat menangani terjadinya serangan, dokter akan

sering mendiagnosa hadirnya faktor-faktor kecemasan dan rasa panik.

Keduanya adalah emosi yang sifatnya naluriah pada saat seseorang

harus berjuang agar bisa bernapas. Selanjutnya rasa cemas dan panik

ini meneruskan lingkaran setan dan memperparah gejala serangan.

Juga akan tercatat, bahwa bahan-bahan iritan (pengganggu) dari luar

seperti asap rokok dan hairspray akan memperparah kondisi penderita.

3. Asma bentuk lainnya.

o Mixed asthma (asma campuran)

Diduga ada campuran asma alergi dan asma infektif, ada dua

subtipe yaitu chronic astmatic bronchitis (keberadaan asma

bersamaan dengan bronchitis menahun) dan subtype asthma

aspirin sensitivity and nasal polyposis (serangan asma timbul

setelah 20 menit mengkonsumsi aspirin, tanpa atau dengan

polip. Kebanyakan penderita menunjukkan instrinsik asma

dengan keluhan yang menetap.

o Exercise-Induced Asthma

Varian asma ini sebagai faktor pencetusnya adalah akibat latihan

sedang sampai berat, utamanya pada penderita atopi muda,

timbul setelah latihan tersebut. Pengobatannya hindari olah raga

berat atau mengkonsumsi bronkodilator atau kombinasi

bronkodilator dengan steroid. Etiologinya adalah perubahan

panas dan kelembaban pada saluran pernafasan.

o Dual type I and III Allergic Reaction.

Lebih dari satu mekanisme imun mengakibatkan asma.

Penderita dengan reaksi ganda, umumnya episode sesak dan

wheezing akut timbul setelah 10-30 menit paparan alergen

ditandai dengan penurunan FEV1 dan kemudian setelah 2-6 jam

ada serangan ulang (relaps). Reaksi yang kedua ini berjalan

perlahan dan ditandai secara khas adanya gambaran obstruksi

yang progresif sangat memberat, sesak dan sering pada beberapa

penderita disertai dengan adanya infiltrat peradangan paru.

Reaksi ganda ini dapat terjadi pada respon benda asing berupa

bulu burung (avian allergen), debu rumah, tungau, dan debu

hutan. Sodium kromoglikat dapat mencegah timbulnya

serangan, namun pengobatan yang efektif adalah menjauhi

paparan bahan-bahan terebut. Namun bila kedua usaha tersebut

gagal baru menggunakan steroid.

Kesimpulannya adalah, dari asal asma bronkial (termasuk asma

ekstrinsik) akan terlihat juga hadirnya faktor asma intrinsik.

Demikian pula, seseorang yang punya sejarah bronkitis di masa kanak-

kanak sering tumbuh menjadi orang dewasa yang cenderung menderita

asma yang alergik, sebagai akibat kelemahan bawaan dari masa kanak-

kanaknya (Hadibroto & Alam, 2006).

Klasifikasi tingkat penyakit asma dapat dibagi berdasarkan frekuensi

kemunculan gejala (Hadibroto & Alam, 2006).

1.      Intermitten, yaitu sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari

1 kali dalam seminggu dan gejala asma malam kurang dari 2 kali

dalam sebulan. Jika seperti itu yang terjadi, berarti faal (fungsi)

paru masih baik.

2.      Persisten ringan, yaitu gejala asma lebih dari 1 kali dalam

seminggu dan serangannya sampai mengganggu aktivitas,

termasuk tidur. Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam

sebulan. Semua ini membuat faal paru realatif menurun.

3.      Persisten sedang, yaitu asma terjadi setiap hari dan serangan

sudah mengganggu aktivitas, serta terjadinya 1-2 kali seminggu.

Gejala asma malam lebih dari 1-2 kali seminggu. Gejala asma

malam lebih dari 1 kali dalam seminggu. Faal paru menurun.

4.      Persisten berat, gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan

sering terjadi. Gejala asma malam terjadi hampir setiap malam.

Akibatnya faal paru sangat menurun.

Klasifikasi tingkat penyakit asma berdasarkan berat ringannya gejala

(Hadibroto & Alam, 2006):

1.      Asma akut ringan, dengan gejala: rasa berat di dada, batuk kering

ataupun berdahak, gangguan tidur malam karena batuk atau sesak

napas, mengi tidak ada atau mengi ringan, APE (Arus Puncak

Aspirasi) kurang dari 80%.

2.      Serangan asma akut sedang, dengan gejala: sesak dengan mengi

agak nyaring, batuk kering/berdahak, aktivitas terganggu, APE

antara 50-80%.

3.      Serangan asma akut berat, dengan gejala: sesak sekali, sukar

berbicara dan kalimat terputus-putus, tidak bisa barbaring, posisi

harus setengan duduk agar dapat bernapas, APE kurang dari 50%.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Sinar X dada

Hiperinflasi paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara

retsosoternal, hasil normal selama periode remisi.

2. Tes fungsi paru

3. Kapasitas inspirasi

4. GDA (PaO2 menurun, PaCO2 meningkat)

5. Sputum

6. EKG dan tes stress

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada penderita asma antara lain :

1. Mencegah adanya stress.

2. Menghindari faktor pencetus yang sudah diketahui secara intensif.

3. Mencegah penggunaan aspirin karena dapat menimbulkan serangan.

4. Pada serangan ringan dapat digunakan obat inhalan.

5. Pada keadaan yang lebih berat penderita harus dirawat dan serangan

dapat dihilangkan seperti efinefrin /sc , oksigen, isoproerenol/ inhalasi,

aminoplin/infuse, glukosa, hidrokortison/ infuse dektrose 10%.

Terapi asma bronkial memiliki 2 tujuan :

1. Meredakan serangan yang akut.

2. Mencegah atau membatasi serangan yang datang.

Pada semua individu yang menderita asma, allergen yang diketahui

harus di eliminasi dan suhu harus dipertahankan nyaman didalam rumah.

Infeksi pernafasan harus diobati dan di inhalasi uap atau kabut diterapkan

untuk mengencerkan lendir. Episode akut membutuhkan steroid,

aminofilin, oksigen, dan koreksi ketidakseimbangan cairan elektrolit.

Tindakan pencegahan khusus untuk obstetric meliputi hal – hal berikut :

1. Jangan gunakan morfin dalam persalinan karena obat ini dapat

menyebabkan brokhospasmae. Meperidin (demerol) biasanya akan

meredakan bronkhospasmae.

2. Hindari atau batasi penggunaan efedrin dan kortikosteroid (obat –

obatan penekan) pada klien dengan preeklamasi dan eklamsia.

3. Pilih kelahiran pervaginam serta penggunaan anastesi lokal atau

anastesi regional setiap kalai ada kesempatan.

2.8 Efek Kehamilan Pada Asma

Tidak dapat diprediksi. Perubahan fisiologis, yang diinduksi oleh

kehamilan, tidak membuat wanita hamil lebih rentan terhadap serangan

asma. Asma meningkatkan insiden aborsi dan persalinan prematur, tetapi

janin sendiri tidak berpengaruh. Pada kasus – kasus yang berat, asma dapat

mengancam kehidupan wanita hamil. Pada kebanyakan kasus prognosis

baik pada ibu dan janin.

2.9 Komplikasi

1. Hipoksia janin dan ibu

2. Abortus

3. Persalinan prematur

4. BBLR

Edema mukosa dan dinding

bronkus

Hipereaktivitas bronkus

Spasme otot saluran napas

Hipersekresi mukus

Pelepasan mediator inflamasi (histamin, prostaglandin, bradikinin)

Zat – zat alergi, contohnya tepung, debu, bulu dllInfeksi saluran napasPengaruh udara, misalnya terlalu dingin, terlalu panas.Faktor psikis, misalnya kelelahan, stres

alergi

Zat – zat alergi, contohnya tepung, debu, bulu dllInfeksi saluran napasPengaruh udara, misalnya terlalu dingin, terlalu panas.Faktor psikis, misalnya kelelahan, stres

alergi

2.10 WOC

Hipoventilasi

Penyempitan jalan napas

Hipersekresi mukus

Pelepasan mediator inflamasi (histamin, prostaglandin, bradikinin)

Kebtuhan O2 dlm

tbuh tdak menckupi

Suara napas weazing

Kompensasi (hiperventilasi)

MK : pola napas tidak efektif

Nafas cuping hidung

Pola napas tergangguMK : gangguan

kesadaran

Penurunan kesadaran pada ibu

Suplai O2 ke otak menurun

Resiko Hipoksia pada ibu dan janin

Kelemahan / keletihan

Kadar oksigen

dlm darah

Oksigen dalam darah berkurang

Akral teraba dingin, sianosis

MK : gg perfusi

jaringan

MK : intoleransi

aktivitas

Akltivitas menurun

MK : gangguan personal hygene

2.11 Diagnosa yang Mungkin Muncul1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan

suplai oksigen (bronkospasme), penumpukan sekret, sekret kental.

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan suplai oksigen

(bronkospasme).

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai

oksigen (bronkuspasme).

4. Gangguan kesadaran berhubungan dengan

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan

6. Gangguan personal hygien dengan

NoDiagnosa

Keperawatan

Tujuan/Kriteria

HasilIntervensi Rasional

1 Tidak efektifnya

bersihan jalan

nafas

berhubungan

dengan

gangguan suplai

oksigen

(bronkospasme)

, penumpukan

sekret, sekret

kental

Pencapaian bersihan

jalan napas dengan

kriteria hasil sebagai

berikut:

1.      Mempertahankan

jalan napas paten

dengan bunyi napas

bersih atau jelas.

2.      Menunjukan

perilaku untuk

memperbaiki

bersihan jalan nafas

misalnya batuk

efektif dan

mengeluarkan sekret.

Mandiri

1.      Auskultasi

bunyi nafas,

catat adanya

bunyi nafas,

ex: mengi

2.      Kaji/pantau

frekuensi

pernafasan,

catat rasio

inspirasi/ekspi

rasi.

3.      Catat adanya

derajat

dispnea,

ansietas,

distress

pernafasan,

penggunaan

obat bantu.

4.      Tempatkan

posisi yang

nyaman pada

pasien,

1.      Beberapa derajat

spasme bronkus

terjadi dengan

obstruksi jalan

nafas dan

dapat/tidak

dimanifestasikan

adanya nafas

advertisius.

2.      Tachipnea

biasanya ada pada

beberapa derajat

dan dapat

ditemukan pada

penerimaan atau

selama

stress/adanya

proses infeksi

akut.

3.      Disfungsi

pernafasan adalah

variable yang

tergantung pada

tahap proses akut

contoh:

meninggikan

kepala tempat

tidur, duduk

pada sandara

tempat tidur.

5.      Pertahankan

polusi

lingkungan

minimum,

contoh: debu,

asap dll.

6.      Tingkatkan

masukan

cairan sampai

dengan 3000

ml/ hari sesuai

toleransi

jantung

memberikan

air hangat.

Kolaborasi

7.      Berikan obat

sesuai indikasi

bronkodilator.

yang

menimbulkan

perawatan di

rumah sakit.

4.      Peninggian

kepala tempat

tidur

memudahkan

fungsi pernafasan

dengan

menggunakan

gravitasi.

5.      Pencetus tipe

alergi pernafasan

dapat mentriger

episode akut.

6.      Hidrasi

membantu

menurunkan

kekentalan sekret,

penggunaan

cairan hangat

dapat menurunkan

kekentalan sekret,

penggunaan

cairan hangat

dapat menurunkan

spasme bronkus.

7.      Merelaksasikan

otot halus dan

menurunkan

spasme jalan

nafas, mengi, dan

produksi mukosa.

2 Pola nafas tidak

efektif

berhubungan

Perbaikan pola nafas

dengan kriteria hasil

sebagai berikut:

Mandiri

1.      Ajarkan

pasien

1.      Membantu

pasien

memperpanjang

dengan

gangguan suplai

oksigen

(bronkospasme)

1.      Mempertahankan

ventilasi adekuat

dengan menunjukan

RR:16-20 x/menit

dan irama napas

teratur.

2.      Tidak mengalami

sianosis atau tanda

hipoksia lain.

3.      Pasien dapat

melakukan

pernafasan dalam.

pernapasan

dalam.

2.      Tinggikan

kepala dan

bantu

mengubah

posisi. Berikan

posisi semi

fowler.

Kolaborasi

3.      Berikan

oksigen

tambahan.

waktu ekspirasi

sehingga pasien

akan bernapas

lebih efektif dan

efisien.

2.      Duduk tinggi

memungkinkan

ekspansi paru dan

memudahkan

pernapasan.

3.      Memaksimalkan

bernapas dan

menurunkan kerja

napas.

3 Gangguan

pertukaran gas

berhubungan

dengan

gangguan suplai

oksigen

(bronkuspasme)

Perbaikan pertukaran

gas dengan kriteria

hasil sebagai berikut:

1.      Perbaikan ventilasi.

2.      Perbaikan oksigen

jaringan adekuat.

Mandiri

1.      Kaji/awasi

secara rutin

kulit dan

membrane

mukosa.

2.      Palpasi

fremitus.

3.      Awasi tanda-

tanda vital dan

irama jantung.

Kolaborasi

4.      Berikan

oksigen

tambahan

sesuai dengan

indikasi hasil

AGDA dan

toleransi

pasien.

1.      Sianosis

mungkin perifer

atau sentral

keabu-abuan dan

sianosis sentral

mengindikasikan

beratnya

hipoksemia.

2.      Penurunan

getaran vibrasi

diduga adanya

pengumplan

cairan/udara.

3.      Tachicardi,

disritmia, dan

perubahan

tekanan darah

dapat menunjukan

efek hipoksemia

sistemik pada

fungsi jantung.

4.      Dapat

memperbaiki atau

mencegah

memburuknya

hipoksia.

4 Risiko tinggi

terhadap infeksi

berhubungan

dengan tidak

adekuat

imunitas

Tidak terjadinya

infeksi dengan

kriteria hasil sebagai

berikut:

1.      Mengidentifikasikan

intervensi untuk

mencegah atau

menurunkan resiko

infeksi.

2.      Perubahan pola

hidup untuk

meningkatkan

lingkungan yang

nyaman.

Mandiri

1.      Awasi suhu.

2.      Diskusikan

adekuat

kebutuhan

nutrisi.

Kolaborasi

3.      Dapatkan

specimen

sputum

dengan batuk

atau

pengisapan

untuk

pewarnaan

gram,

kultur/sensitifi

tas.

1.      Demam dapat

terjadi karena

infeksi dan atau

dehidrasi.

2.      Malnutrisi dapat

mempengaruhi

kesehatan umum

dan menurunkan

tahanan terhadap

infeksi.

3.      Untuk

mengidentifikasi

organisme

penyabab dan

kerentanan

terhadap berbagai

anti microbial.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Nn. G 23 tahun suku minang datang dengan keluhan napasnya sesak sewaktu

bangun pagi dan semakin meningkat ketika beraktivitas, klien juga batuk

berdahak. Dari hasil pengkajian klien mengeluh sesak, batuk berdahak dengan

dahak berwarna putih, dan klien merasa sesaknya berkurang setelah dilakukan

pengasapan (nebulizer). Klien juga mengatakan mempunyai riwayat asma sejak

kelas 6 SD dan klien mengatakan bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang

memiliki riwayat asma, yaitu ibunya. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan

hasil: rongga dada simetris, retraksi dinding dada (+), taktil fremitus simetris

antara kiri dan kanan, suara napas klien terdengar wheezing, resonan pada perkusi

dinding dada, dan sputum berwarna putih kental. Dari hasil observasi didapatkan

hasil: tingkat kesadaran: kompos mentis, dan hasil TTV: TD = 130/70 mmHg, RR

= 36x/menit, HR = 76x/menit, suhu = 37o C. Dari hasil pemeriksaan laboratorium

didapatkan hasil: Hb = 15,5 gr%, leukosit = 17.000/mm3, trombosit 260.000/mm3,

Ht = 47vol%. Klien saat ini mendapatkan terapi: IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort,

Ventolin, Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul 2 L.  Pada pemeriksaan penunjang

X-ray dada/thorax, didapatkan hasil paru dalam batas normal.

B.     Pengkajian

1.      Anamnesa

·         Identitas Klien

Nama         : Nn. G

Umur         : 23 tahun

·         Alasan Masuk (Keluhan Utama)

Klien masuk rumah sakit dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun pagi

dan semakin meningkat ketika beraktivitas, serta batuk berdahak.

·         Riwayat Penyakit Dahulu

Klien mengatakan mempunyai riwayat asma sejak kelas 6 SD

·         Riwayat penyakit Sekarang

Klien mengeluh sesak, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih.

·          Riwayat Penyakit Keluarga

Klien mengatakan bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang memiliki

riwayat asma, yaitu ibunya.

2.      Pemeriksaan Fisik

a)      Tingkat Kesadaran: Compos mentis

b)      TTV:

(1)   BP : 130/70  mmHg

(2)   RR: 36 x/menit

(3)   HR: 76 x/menit

(4)   T   : 37oC

c)      Hasil pengkajian:

·      Inspeksi

Rongga dada simetris, retraksi dinding dada (+), dan sputum berwarna putih

kental.

·      Palpasi

Taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan.

·      Perkusi

     Resonan dikedua lapang paru.

·      Auskultasi

     Suara napas klien terdengar wheezing.

3.      Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium

·         Pada pemeriksaan penunjang

 X-ray dada/thorax, didapatkan hasil paru dalam batas normal.

·         Pemeriksaan laboratorium

-    Hb = 15,5 gr%

-    Leukosit = 17.000/mm3

-    Trombosit 260.000/mm3

-    Ht = 47vol%.

4.      Terapi Pengobatan Saat Ini

IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin, Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul 2 L.

C.    Analisa Data

No Data Etiologi Masalah

Keperawatan

1 DS:

1.      Klien

mengatakanbatuk

berdahak dengan

dahak berwarna

putih.

2.      Klien merasa

sesak.

DO:

1.      Tanda-tanda

vital:

BP=130/70

mmHg

RR=36 x/menit

HR=76x/menit

T=37oC

2.      Klien tampak

sesak nafas

disertai batuk

berdahak,

berwarna putih

agak kental.

3.      Suara napas

klien terdengar

wheezing.

4.      Terapi yang

diberikan:

oksigen 2L,

IVFD RL 20 tts/i,

Pulmicort,

Ventolin,

Bisolvon.

Pencetus serangan

(alergen)

Reaksi antigen & antibodi

Dikeluarkannya substansi

vasoaktif (histamin,

bradikinin, & anafilaksin)

↑ permeabilitas kapiler

Kontraksi otot polos

Edema mukosa

Hipersekresi

Obstruksi jalan nafas

Tidak efektifnya bersihan

jalan nafas

Tidak

efektifnya

bersihan jalan

nafas

2 DS:

1.      Klien merasa

sesak

DO:

1.      Tanda-tanda

vital:

BP=130/70

mmHg

RR=36 x/menit

HR=76x/menit

T=37oC

2.      Klien tampak

sesak nafas

disertai batuk

berdahak,

berwarna putih

agak kental.

3.      Suara napas

klien terdengar

wheezing.

4.      Terapi yang

diberikan:

oksigen 2L,

IVFD RL 20 tts/i,

Pulmicort,

Ventolin,

Bisolvon.

Pencetus serangan

(alergen)

Reaksi antigen & antibodi

Dikeluarkannya substansi

vasoaktif (histamin,

bradikinin, & anafilaksin)

Kontraksi otot polos

Bronkospasme

Suplai O2 menurun

Merangsang kemoreseptor

sentral (spons dan medulla

oblongata)

Hiperventilasi

Sesak

Pola nafas tidak efektif

Pola nafas tidak

efektif

D.    Web of Caution (WOC)

 

E.     Asuhan Keperawatan

N

o

Diagnosa

Keperawatan

Tujuan/

Kriteria HasilIntervensi Rasional

1. Tidak

efektifnya

bersihan jalan

nafas

berhubungan

dengan

gangguan

suplai oksigen

(bronkospasme

), penumpukan

sekret, sekret

kental.

Pencapaian

bersihan jalan

napas dengan

kriteria hasil

sebagai berikut:

1.      Mempertahanka

n jalan napas

paten dengan

bunyi napas

bersih atau

jelas.

2.      Menunjukan

Mandiri

1.      Auskultasi

bunyi nafas,

catat adanya

bunyi nafas,

ex: mengi

1.      Beberapa

derajat spasme

bronkus terjadi

dengan

obstruksi jalan

nafas dan

dapat/tidak

dimanifestasika

n adanya nafas

advertisius.

perilaku untuk

memperbaiki

bersihan jalan

nafas misalnya

batuk efektif

dan

mengeluarkan

sekret.

2.      Kaji/pantau

frekuensi

pernafasan,

catat rasio

inspirasi/eksp

irasi.

3.      Catat adanya

derajat

dispnea,

ansietas,

distress

pernafasan,

penggunaan

obat bantu.

4.      Tempatkan

posisi yang

nyaman pada

pasien,

contoh:

meninggikan

kepala tempat

tidur, duduk

pada sandara

tempat tidur.

5.      Pertahankan

2.      Tachipnea

biasanya ada

pada beberapa

derajat dan

dapat

ditemukan pada

penerimaan

atau selama

stress/adanya

proses infeksi

akut.

3.      Disfungsi

pernafasan

adalah variable

yang

tergantung

pada tahap

proses akut

yang

menimbulkan

perawatan di

rumah sakit.

4.      Peninggian

kepala tempat

tidur

memudahkan

fungsi

pernafasan

dengan

menggunakan

gravitasi.

5.      Pencetus tipe

alergi

polusi

lingkungan

minimum,

contoh: debu,

asap dll.

6.      Tingkatkan

masukan

cairan sampai

dengan 3000

ml/ hari

sesuai

toleransi

jantung

memberikan

air hangat.

Kolaborasi

7.      Berikan obat

sesuai

indikasi

bronkodilator

.

pernafasan

dapat mentriger

episode akut.

6.      Hidrasi

membantu

menurunkan

kekentalan

sekret,

penggunaan

cairan hangat

dapat

menurunkan

kekentalan

sekret,

penggunaan

cairan hangat

dapat

menurunkan

spasme

bronkus.

7.      Merelaksasika

n otot halus dan

menurunkan

spasme jalan

nafas, mengi,

dan produksi

mukosa.

2 Pola nafas

tidak efektif

berhubungan

dengan suplai

oksigen

berkurang

(bronkospasme

Perbaikan pola

nafas dengan

kriteria hasil

sebagai berikut:

1.      Mempertahanka

n ventilasi

adekuat dengan

Mandiri

1.      Tinggikan

kepala dan

bantu

mengubah

posisi.

Berikan

1.      Duduk tinggi

memungkinkan

ekspansi paru

dan

memudahkan

pernapasan.

) menunjukan

RR=16-20

x/menit dan

irama napas

teratur.

2.      Tidak

mengalami

sianosis atau

tanda hipoksia

lain.

3.      Pasien dapat

melakukan

pernafasan

dalam.

posisi semi

fowler.

2.      Ajarkan

pasien

pernapasan

dalam.

Kolaborasi

3.      Berikan

oksigen

tambahan.

2.      Membantu

pasien

memperpanjan

g waktu

ekspirasi

sehingga pasien

akan bernapas

lebih efektif

dan efisien.

3.      Memaksimalka

n bernapas dan

menurunkan

kerja napas

F.     Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi

1.      Penatalaksanan Farmakologi

Belum terlalu lama, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental

keyakinan di kalangan kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali dalam

jangka panjang bisa menyebabkan kerusakan pada saluran pernapasan dan paru-

paru. Cara menangani asma yang reaktif, yakni hanya pada saat datangnya

serangan sudah ketinggalan zaman. Hasil penelitian medis menunjukkan bahwa

para penderita asma yang terutama menggantungkan diri pada obat-obatan pelega

(reliever/bronkodilator) secara umum memiliki kondisi yang buruk dibandingkan

penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase keharusan kunjungan ke unit

gawat daruat (UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko kematiannya

karena asma juga lebih tinggi.

Hal ini membuktikan  bahwa pasa asma ekstrinsik, penyebab asma yang mereka

derita adalah karena peradangan (inflamasi), dan bukan karena bronkokonstriksi.

Dengan demikian, dokter masa kini menggunakan obat peradangan sebagai

senjata utama, sedang obat-obatan pelega sebagai pendukung. Keyakinan ini

sangat disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah peradangan saluran

pernapasan, yang aman untuk digunakan dalam jangka panjang.

Menurut AAAI (Amerika Academy of Allergy, Asthma & Immunology)

penggolongan obat asma (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut:

a)      Obat-obat anti peradangan (preventer)

(1)   Usaha pengendalian asma dalam jangka panjang

(2)   Golongan obat ini mencegah dan mengurangi peradangan, pembengkakan

saluran napas, dan produksi lendir

(3)   Cara kerjanya adalah dengan mengurangi sensitivitas saluran pernapasan

terhadap pemicu asma yang berupa alergen.

(4)   Penggunaannya harus teratur dalam jangka panjang

(5)   Daya kerja lambat/gradual, biasanya mengambil waktu sekitar dua minggu

baru terlihat efektivitasnya ayang terukur.

Contoh obat anti peradangan adalah beclometasone [Becotide®], budesonide

[Pulmicort®], fluticasone [Flixotide®], mometasone [Asmanex®], dan

montelukast [Singulair®] secara bertahap mengurangi peradangan saluran napas

dan (jika digunakan secara teratur) akan mengontrol penyakit asma. Obat

pencegah biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna cokelat, putih, merah,

atau oranye, meskipun beberapa (misalnya montelukast) tersedia dalam tablet.

b)      Obat-obat pelega gejala berjangka panjang

Obat-obat pelega gejala berjangka panjang dalam nama generik yang ada di

pasaran adalah salmeterol hidroksi naftoat (salmeterol xinafoate) dan teofilin

(theophylline).

(1)   Salmeterol

Obat ini adalah bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini bekerja

dengan mengendurkan oto-otot yang mengelilingi saluran pernapasan. Obat ini

paling efektif bila dikombinasikan dengan suatu obat kortikosteroid hirup, dan

tidak dapat berfungsi sebagai pelega seketika dalam hal terjadi serangan asma.

Obat ini umumnya bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya bertahan

hingga 12 jam. Obat ini disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukut dan obat

hirup bubuk kering. Obat ini tidak dapat digunakan untuk anak-anak di bawah 12

tahun.

(2)   Teofilin

Obat ini termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang terdapat dalam

secangkir kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama daya kerjanya. Efek

samping obat ini sama seperti kafein sehingga tidak dianturkan untuk pasien

hiperaktif.

(3)   Albuterol Sulfat atau Salbutamol.

Bronkolidarot yang paling populer dan disajikan dalam bentuk obat hirup dosis

terukur, obat hirup bubuk kering, larutan untuk alat nebulizer, sirup, tablet biasa,

tablet lepas-tunda (extended-reliase). Bentuk hirup bekerja lebih karena langsung

menuju saluran pernapasan yang bermasalah, ketimbang harus lewat lambung

dulu. Efek samping obat ini dapat menyebabkan stimulasi, jantung berdebar, dan

pusing.

Merek yang paling populer adalah Ventolin dan Proventil yang disajikan sebagai

obat hirup dosis terukur. Proventil HFA sebagai obat hirup bubuk kering.

Ventolin terdaftar di Indonesia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, nebulizer,

danspray. Merek lain adalah Ascolen.

c)      Obat-obat pelega gejala asma (reliever/bronkodilator)

Misalnya salbutamol [Ventolin®], terbutaline [Bricanyl®], formoterol [Foradil®,

Oxis®], dan salmeterol [Serevent®] secara cepat mengembalikan saluran napas

yang menyempit yang terjadi selama serangan asma ke kondisi semula. Obat

pereda/pelega biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna biru atau abu-abu.

d)     Obat-obatan kortikosteroid oral

Kortikosteroid oral adalah obat yang ampuh untuk mengatasi pembengkakan dan

peradangan yang mencetuskan serangan asma. Obat ini membutuhkan enam

hingga delapan jam untuk bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat

pula daya kerja yang dirasakan.

Malam hari termasuk waktu dimana serangan asma paling sering terjadi, karena

fungsi paru-paru berada pada titik yang paling rendah di tengan malam. Dari hasil

penelitian terbukti bahwa dosis kortikosteroid oral yang diberikan di siang hari

bisa membantu mereka yang mengalami serangan asma untuk tidur pada malam

harinya.

Di sisi lain, efek samping penggunaan kortikosteroid oral juga cukup nyata,

seperti perubahan suasana hati (mood changes), meningkatnya selera makan,

perubahan berat badan, dan gejala demam yang ditekan. Akan tetapi, efek

samping dari penggunaan kortikosteroid ini tidak perlu dikhawatirkan jika

penggunaannya hanya dalam jangka pendek dan kadangkala saja.

(1)   Prednison (Prednisone)

Prednison adalah preparat kortikosteroid oral yang paling umum digunakan. Obat

ini disajikan dalam bentuk pil maupun sirup.

(2)   Prednisolon (Prednisolone)

Prednisolon adalah kortikosteroid oral yang sangat mirip prednisone, dengan

kelebihan rasanya yang lebih bisa diterima anak-anak. Dengan merek Prelone

disajikan sebagai sirup 15 mg per 5 ml. Prediaped disajikan sebagai sirup 5 mg

per 5 ml.

(3)   Metilprednisolon (Methylprednisolone)

Sangat mirip dengan prednisolon, tetapi harganya lebih mahal. Biasanya

digunakan di rumah sakit dengan cara intravenuous.

(4)   Deksametason (Dexamethasone)

Dengan merek Decadron, satu dosis tunggalnya berdaya kerja dua hingga tiga kali

lebih lama dibandingkan preparat kortikosteroid yang lain. Cocok untuk pasien

anak-anak yang sulit minum obat.

e)      Alat-alat hirup

Alat hirup dosis terukur atau Metered Dose Inhaler (MDI) disebut

juga inhaleratau puffer adalah alat yang paling banyak digunakan untuk

menghantar obat-obatan ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainnya. Alat

ini menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose) karena memang menghantar

suatu jumlah obat yang konsisten/terukur dengan setiap semprotan.

Sebagai hasil teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa digunakan oleh

segala tingkatan usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat hirup dosis terukur

memuat obat-obatan dan cairan tekan (pressurized liquid), biasanya

chlorofluorocerbous/CFC, yang mengembang menjadi gas ketika melewati

moncongnya. Cairan yang sebutan populernya adalah propelan tersebut memecah

obat-obatan yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus, dan

mendorongnya keluar dari moncong masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru

pemakainya.

f)       Peak Flow Meter

Alat ini memegang peranan yang sangat penting dalam usaha dan program

pengendalian asma, terutama untuk mendeteksi gejala akan datangnya serangan

asma. Berpegang pada prinsip bahwa untuk menatalaksana segala sesuatu dengan

baik harus ada tolok ukurnya, maka orangtua anak penderita asma, maupun anak-

anak dan orang dewasa penderita asma sendiri harus menguasai cara mengukur

fungsi paru-paru mereka. Tindakan selanjutnya kemudian adalah mengambil

langkah yang sesuai dengan hasil pengukuran tersebut.

Peak Flow Meter adalah alat sederhana yang bisa digunakan di rumah, termasuk

oleh anak-anak berumur lima tahun ke atas. Alat ini mengukur kekuatan embusan

napas pemakainya. Ada tiga hal yang mempengaruhi kekuatan embusan napas

seseorang, yaitu ukuran paru-parunya, besar usahanya dalam mengembus; dan

bukaan (lebar atau sempitnya) saluran pernapasannya. Untuk menggunakannya, si

pemakai menarik napas dan mengisi paru-parunya sepenuh mungkin, kemudian

meniup ke dalam Peak Flow Meter secepatnya dengan sekuat-kuatnya. Seseorang

yang saluran pernapasannya menyempit, tidak akan bisa meniup sekuat bila

saluran pernapasannya terbuka sempurna. Pertanda pertama dari datangnya

serangan asma bisanya terlihat dari menurunnya ukuran catatan Peak Flow

Meter seseorang. Ini bahkan sebelum muncul gejala-gejala yang lain seperti

batuk, lendir yang berlebihan, atau sesak napas.

Untuk mengetahui kondisi bukaan saluran pernapasan seseorang, kita

membandingkan hasil pengukuran sesaat dengan patokan ukuran terbaik dari

orang tersebut. Untuk memperoleh patokan terbaik seseorang, lakukan

pengukuran denganPeak Flow Meter pada waktu orang tersebut berada dalam

kondisi asmanya terkendali dengan baik, dan catat hasilnya.

Kondisi asma seseorang dianggap terkendali baik jika hasil pengukuran sesaat ada

dalam rentang 80-100% dari kondisi terbaiknya (masuk zona hijau); antara 60-

80% dari kondisi terbaik ia memasuki zona kuning, yang berarti harus waspada

karena terlihat tanda-tanda akan datangnya serangan asma. Pengukuran di bawah

60% kondisi terbaik memasuki zona merah, berarti bahaya, dan orang yang

bersangkutan harus segera ke dokter untuk menghindari keharusan dirawat di

UGD.

2.      Penatalaksanan Non Farmakologi

Penatalaksanaan secara non farmakologi dapat memanfaatkan tanaman-tanaman

herbal dalam penyembuhan berbagai penyakit pasien. Pengobatan yang

menggunakan tanaman herbal sebagai medianya biasa disebut sebagai pengobatan

secara tradisional atau pengobatan menggunakan ramuan herbal. Berikut ini

beberapa ramuan herbal yang dapat dimanfaatkan dalam penanganan asma, yaitu:

a)      Resep 1

15 g kulit jeruk mandarin kering

(1)     Cuci bersih semua bahan, iris-iris, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa

200 cc, lalu saring.

(2)     Minum selagi hangat.

(3)     Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).

b)      Resep 2

5  g adas

5 batang serai

20 jari kayu manis

20 g jahe merah

30 g pegagan segar (15 g keringi)

Gula aren secukupnya

(1)   Cuci bersih semua bahan, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu

saring.

(2)   Minum selagi hangat.

(3)   Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).

c)      Resep 3

3 g bunga melati kering (10 g segar)

6  lembar daun jinten

(1)   Cuci bersih, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu saring.

(2)   Minum selagi hangat.

(3)   Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).

d)     Resep 4

200 g lobak putih

3 siung bawang putih

30     kencur

(1)   Cuci bersih semua bahan, lalu jus atau blender dan saring.

(2)   Panaskan airnya dengan api kecil hingga mendidih. Minum hangat-hangat.

(3)   Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).

e)      Resep 5 (pemakaian luar)

Jahe secukupnya, iris dengan ketebalan 3-5 mm

(1)   Tempelkan jahe dengan menggunakan koyo hangat pada titik dazhui, yaitu

ruas tulang paling menonjol yang terletak antara ruas tulang belakang leher

ketujuh dan ruas tulang belakang dada yang pertama.

(2)   Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).

f)       Resep 6

·         6 buah biji cermai merah

·         8 butir buah lengkeng

·         4 potong akar kara

·         8 butir bawang merah

(1)   Ditumbuk semua bahan dan direbus dengan 2 gelas air hingga satu setengah

gelas.

(2)   Diminum satu hari 2 kali minum (Widjadja, 2009).

Selain mengunakan ramuan herbal kita juga bisa menggunakan terapi. Salah satu

terapi yang dapat dilakukan adalah terapi pijat (Hartanti, 2003).

G.    Health Education (Pendidikan Kesehatan)

Pendidikan bagi pasien adalah suatu bagian yang penting dalam usaha

meningkatkan cara penanganan asma. Dasar pemikirannya, asma adalah suatu

penyakit biasa yang bisa dikendalikan. Namun, asma juga penyakit yang bersifat

Variabel, dalam arti gejala-gejalanya bisa membaik dan memburuk dari waktu ke

waktu. Karena variabilitas ini, sering penanganannya harus ditinjau ulang dan

diubah. Untuk itu dibutuhkan komunikasi yang efektif antara sang pasien dengan

dokternya (Hadibroto & Alam, 2006). Dalam hal ini sebaiknya sang pasien

mempunyai referensi atau pengetahuan tentang:

1.      Apakah asma itu, beserta faktor-faktor pemicunya, terutama yang

menyangkut dirinya sendiri.

2.      Seluk beluk pengobatan asma, dan kemungkinan akibat sampingan dari

masing-masing obat.

3.      Cara menggunakan alat-alat pengobatan asma  secara benar.

4.      Tujuan pengobatan dan penatalaksanaan.

5.      Pengenalan tanda-tanda dan gejala awal datangnya serangan.

6.      Penulisan rencana tindakan (Action Plan).

Rencana tindakan adalah suatu rencana mengatasi kondisi asma yang memburuk,

dan rencana ini harus dimiliki oleh setiap penderita asma. Rencana tindakan

menyesuaikan dengan tingakat keparahan gejala, sehingga si penderita punya

pegangan dalam usaha mengendalikan asmanya (Hadibroto & Alam, 2006).

Lengkapnya rencana ini bisa:

a)   Memberi pengarahan kapan waktunya untuk mengubah, meningkatkan atau

mengurangi, dan menambah obat-obatan yang digunakan.

b)   Memberitahukan apa yang harus dilakukan, juka kondisi sang pasien tidak

membaik.

c)   Memberikan kesempaatan bagi penderita asma untuk segera dan lebih awal

memulai penanganan, menghadapi gejala asma yang memburuk, untuk mencegah

serangan yang lebih gawat.

Memberi arahan akan kapan dan bagaimana usaha mengurangi penggunaan obat-

obatan hingga dosis seminimal mungkin, begitu asma sudah terkendali.

7.      Pengisian Buku Harian asma.

Buku harian asma adalah sarana yang sangat penting untuk mencatat gejala-gejala

asma, obat-obatan yang digunakan, dan catatan prestasi Peak Flow Meter. Jika

gejala-gejala semuanya tercatat, sang pasien akan lebih sadar akan perubahan-

perubahan yang mengindikasikan bahwa asmanya mulai lepas kendali. Dengan

demikian ia bisa menyesuaikan pengobatannya berdasarkan Rencana Tindakan.

Buku Harian asma digunakan bersama dengan Rencana Tindakan, yang disiapkan

di bawah pengawasan dan persetujuan dokter yang merawat.

DAFTAR PUSTAKA

Asih, Niluh Gede Yasmin. (2003). Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan

Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Ayres, Jon. (2003). Asma. Jakarta: PT Dian Rakyat

Bull, Eleanor & David Price. (2007). Simple Guide Asma. Jakarta: Penerbit

Erlangga

Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam. (2006). Asma. Jakarta: Penerbit PT Gramedia

Pustaka Utama

Hartanti, Vien. (2003). Jadi Dokter di Rumah Sendiri dengan Terapi Herbal dan

Pijat. Jakarta: Pustaka Anggrek

Herdinsibuae, W dkk. (2005). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: PT Rineka Cipta

Mansjoer, Arif dkk. (2008). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media

Aesculapius

Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Pernapasan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Widjadja, Rafelina. (2009). Penyakit Kronis: Tindakan, Pencegahan, &

Pengobatan secara Medis maupun Tradisional. Jakarta: Bee Media Indonesia.

Wijayakusuma, Hembing. (2008). Ramuan Lengkap Herbal Taklukkan Penyakit.

Jakarta: Pustaka Bunda.