tinjauan umum hukum perjanjian internasional

21

Click here to load reader

Upload: rifai

Post on 29-Jun-2015

761 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

TUGAS

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

( TINJAUAN UMUM HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL )

Oleh :

RIFAI USMAN (2006 – 21 – 066 )

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2009

TINJAUAN UMUM HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Page 2: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

A. Pengertian dan Istilah Perjanjian Internasional.

Adalah suatu kelaziman bila negara-negara berdaulat menghendaki suatu

persoalan diselesaikan melalui perangkat norma yang disusun atas dasar

kesepakatan bersama dengan tujuan dan akibat-akibat hukum tertentu, maka

secara formal lahir dalam bentuk perjanjian internasional. Kepustakaan

hukum memandu pembacanya untuk memahami pengertian perjanjian

internasional sebagai berikut: "... Perjanjian yang diadakan antara anggota

masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat

hukum tertentu ”1 Dalam konteks seperti yang dimaksud di atas, perjanjian

Internasional dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: "law making treaties" dan

"treaty contracts"2.

"Law making treaties", adalah perjanjian internasional yang mengandung

kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota

masyarakat bangsa-bangsa; sehingga dengan demikian dikategorikan sebagai

perjanjian-perjanjian internasional yang berfungsi sebagai sumber langsung

hukum internasional. Sedangkan perjanjian internasional yang digolongkan

sebagai "treaty contracts" mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur

hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan khusus antara pihak yang

mengadakannya saja, sehingga hanya berlaku khusus bagi para peserta perjanjian.

Oleh sebab itu perjanjian-perjanjian internasional yang tergolong treaty contracts

tidak secara langsung menjadi sumber hukum internasional.

Dalam memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan

perjanjian internasional para sarjana memberikan definisi masing-masing sesuai

dengan apa yang ditekankan dalam pengertian istilah itu, tetapi dari beberapa

1 Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional Bandung: Binacipta, 1978, halaman 109.

2 Baik law making treaty maupun treaty contracts kedua-duanya adalah suatu contract, yaitu suatu perjanjian atau persetujuan antara pihak-pihak yang mengadakannya dan yang mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban bagi peserta-pesertanya. Oleh karena itu bukan saja law making treaty, namun treaty contracts juga secara tidak langsung, melalui proses hukum kebiasaan dapat juga merupakan law making. Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Ibid., halaman 114 dan 115; Bandingkan J.G. Starke, Introduction to International Law. (Ninth edition), London: Butterworths, 1984, halaman 40-44.

1

Page 3: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

definisi tersebut dapat ditarik persamaan yang menggambarkan ciri-ciri perjanjian

internasional. Beberapa definisi tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Definisi dari G. Schwarzenberger.

“Treaties are agreements between subject of International Law creating

binding obligations in International Law. They may be bilateral (i.e. concluded

between contracting parties) or multilateral (i.e. concluded more than contracting

parties)” (George.., A Manual.., 1984, 26). Dari definisi tersebut dapat diartikan,

bahwa perjanjian internasional diartikan sebagai suatu persetujuan antara subyek-

subyek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang

mengikat dalam hukum internasional. Persetujuan tersebut dapat berbentuk

bilateral maupun multilateral.

2. Definisi dari Oppenheim-Lauterpacht :

“International treaties are agreements of contractual charter between states,

creating legal rights and obligations between the parties”. (Oppenheim..,

International.., London, hal. 877). Ditegaskan bahwa perjanjian adalah suatu

persetujuan antar negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para

pihak.

Pendapat yang lebih luas lagi, yaitu definisi dari Mochtar Kusumaatmadja

bahwa : “Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antara

anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-

akibat hukum tertentu”. (Mochtar, Pengantar.., Bandung 1996, hal. 38).

Berdasarkan definisi tersebut bahwa subyek hukum internasional yang

mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat bangsa-bangsa, termasuk juga

lembaga-lembaga internasional dan negara-negara. Dari definisi-definisi ini dapat

ditarik persamaan mengenai ciri-ciri perjanjian internasional bahwa pihak-pihak

yang mengadakan perjanjian saling menyetujui antara pihak-pihak yang dapat

menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional.

Dalam Konvensi Wina 1969, yaitu dalam pasal 1 membatasi diri dalam

ruang lingkup berlakunya hanya berlaku untuk perjanjian-perjanjian antar negara,

seperti dinyatakan “The present conventions applies to treaties between states”.

Namun demikian Konvensi menganggap perlu untuk mengatur perjanjian-

2

Page 4: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

perjanjian yang diadakan oleh subyek-subyek hukum lainnya secara tersendiri,

seperti perjanjian antar negara dengan subyek hukum lain selain daripada negara,

dan subyek hukum bukan negara satu sama lain.

Dalam perkembangan dewasa ini kedudukan dari perjanjian internasional

sebagai sumber hukum internasional adalah sangat penting mengingat perjanjian

internasional lebih menjamin kepastian hukum karena dibuat secara tertulis. Lain

dari itu perjanjian internasional mengatur masalah-masalah bersama yang penting

dalam hubungan antar subyek hukum internasional.

Dalam mempelajari perjanjian internasional ini banyak dijumpai istilah-

istilah untuk pengertian perjanjian internasional, seperti :

1. Traktat (treaty)

2. Persetujuan (agreement)

3. Konvensi (Convention)

4. Protocol (Protocol)

5. Arrangement

6. General Act

7. Covenant

8. Piagam (Statuta)

9. Charter

10. Deklarasi (Declaration)

11. Modus Vivendi

12. Accord

13. Final Act

14. Pakta (Pact)

Dilihat secara yuridis istilah-istilah tersebut tidak ada perbedaannya,

semua mempunyai arti perjanjian internasional, tetapi dalam praktek kadang-

kadang orang membedakannya, misalnya saja untuk perjanjian-perjanjian penting

(masalah politik) dipergunakan istilah tra

ktat (treaty), sedangkan untuk perjanjian perdagangan (executif) dipakai

istilah agreement.

3

Page 5: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

B. Penggolongan/Klasifikasi Perjanjian Internasional.

Hukum internasional tidak mengenal penggolongan atau klasifikasi secara

formal, tetapi menurut doktrin yang dikemukakan para sarjana yang ternama

memberikan perincian kedalam beberapa kelompok sebagai berikut :

1. Klasifikasi perjanjian dilihat dari segi pihak-pihak yang mengadakan

perjanjian (Mochtar.., Pengantar, 1996, Bandung, hal. 11) yaitu :

1) Perjanjian antar negara, merupakan jenis perjanjian yang

jumlahnya banyak, hal ini dapat dimaklumi karena negara

merupakan subyek hukum internasional yang paling utama dan

saling klasik.

2) Perjanjian antar negara dengan subyek hukum internasional

lainnya seperti negara dengan organisasi internasional atau

dengan vatikan.

3) Perjanjian antara subyek hukum internasional selain negara satu

sama lain, misalnya negara-negara yang tergabung dalam ACP

(African, Carriban and Pacific) dengan MEE.

2. Klasifikasi perjanjian dilihat dari para pihak yang membuatnya.

Penggolongan perjanjian ini dibedakan dalam dua macam yaitu

1) Perjanjian bilateral, suatu perjanjian yang diadakan oleh dua

pihak (negara) saja dan mengatur soal-soal khusus yang

menyangkut kepentingan kedua belah pihak. Misalnya perjanjian

mengenai batas negara.

2) Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang diadakan banyak

pihak (negara) yang pada umumnya merupakan perjanjian

terbuka (open verdrag) dimana hal-hal yang diaturnya pun

lajimnya yang menyangkut kepentingan umum yang tidak

terbatas pada kepentingan pihak-pihak yang mengadakan

perjanjian tetapi juga menyangkut kepentingan yang bukan

peserta perjanjian itu sendiri. Perjanjian ini digolongkan pada

perjanjian “law making treaties” atau perjanjian yang membentuk

hukum (Mochtar.., Pengantar, 1996, Bandung, 115).

4

Page 6: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

3. Klasifikasi perjanjian ditinjau dari bentuknya (Sam Suhaidi.., Sejarah..

Bandung, 1968, hal. 250-251).

1) Perjanjian antar kepala negara (head of state form). Pihak peserta

dari perjanjian disebut “High Contracting State (pihak peserta

Agung)”. Dalam praktek pihak yang mewakili negara dapat

diwakilkan kepada MENLU, atau Duta Besar dan dapat juga

pejabat yang ditunjuk sebagai kuasa penuh (full powers)

2) Perjanjian antar Pemerintah (inter-Government form). Perjanjian

ini juga sering ditunjuk MENLU atau Duta Besar atau wakil

berkuasa penuh. Pihak peserta perjanjian ini tetap disebut

“contracting State” walaupun perjanjian itu dinamakan perjanjian

“inter-governmental”.

3) Perjanjian antar negara (inter-state form), pejabat yang

mewakilinya dapat ditunjuk MENLU, Duta Besar dan wakil

berkuasa penuh (full Powers).

4. Perjanjian dilihat dari proses/tahap pembentukannya.

Perjanjian ini dibedakan atas dua golongan (Mochtar, Pengantar,

Bandung, 1996, hal. 112-113).

1) Perjanjian yang diadakan melalui tiga tahap pembentukannya,

yaitu perundingan, penandatangan dan ratifikasi dan biasanya

diadakan untuk hal-hal yang dianggap penting sehingga

memerlukan persetujuan dari badan legislatif (Dewan Perwakilan

Rakyat). Menurut Pak Mochtar perjanjian ini termasuk dalam

istilah “perjanjian internasional atau traktat”.

2) Perjanjian yang melewati dua tahap pembentukan, yaitu

perundingan dan penandatangan, diadakan untuk hal-hal yang

tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat,

seperti perjanjian perdagangan yang berjangka pendek. Untuk

golongan ini dinamakan “persetujuan atau agreement”

5. Klasifikasi perjanjian dilihat dari sifat pelaksananya.

5

Page 7: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

Penggolongan ini dapat dibedakan atas dua macam, (Sam Suhaidi.,

Sejarah.., Bandung.., 1968, hal. 256) yaitu :

1) Dispositive treaties (perjanjian yang menentukan) yang maksud

tujuannya dianggap selesai atau sudah tercapai dengan

pelaksanaan perjanjian itu. Contoh perjanjian tapal batas.

2) Executory treaties (perjanjian yang dilaksanakan), adalah

perjanjian yang pelaksanaannya tidak sekaligus, melainkan

dilanjutkan terus menerus selama jangka waktu perjanjian itu.

Contoh perjanjian perdagangan.

6. Klasifikasi dari segi struktur

Penggolongan dari segi struktur dibedakan atas :

1) Law making treaties.

Law making treaties merupakan perjanjian internasional yang

mengandung kaedah-kaedah hukum yang dapat berlaku secara

universal bagi anggota-anggota masyarakat bangsa-bangsa, oleh

karena itu jenis perjanjian ini dikategorikan sebagai sumber

langsung dari hukum internasional, yang terbuka bagi pihak lain

yang tadinya tidak turut serta dalam perjanjian, dengan kata lain

tidak ikut dalam Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan

korban perang

2) Treaty contracts (perjanjian yang bersifat kontrak).

Dengan treaty contracts dimaksudkan perjanjian dalam hukum

perdata hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan

perjanjian-perjanjian. “Legal effect” dari treaty contract ini hanya

menyangkut pihak-pihak yang mengadakannya, dan tertutup bagi

pihak ketiga. Oleh karena itu “treaty contract” tidak melahirkan

aturan-aturan hukum yang berlaku umum, sehingga tidak dapat

dikategorikan sebagai perjanjian yang membentuk hukum (“law

making treaties”). Tetapi pada hakekatnya “treaty contract” secara

tidak langsung dapat membentuk kaedah-kaedah yang berlaku

umum setelah melalui hukum kebiasaan (internasional). Contoh

6

Page 8: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

perjanjian konsuler yang hanya mengikat kedua belah pihak, lama

kelamaan banyak diadakan mengenai masalah konsuler-

diplomatik. Contoh dari perjanjian treaty contract perjanjian tapal

batas, perjanjian Ekstradisi Indonesia – Malaysia. Dari segi obyek

dapat diadakan pembagian perjanjian internasional yang berisi

soal-soal politik dan soal-soal ekonomi.

C. PROSEDUR PEMBUATAN PERJANJIAN

Tidak ada keseragaman dalam prosedur pembuatan perjanjian

internasional, masing-masing negara mengatur sesuai dengan konstitusi dan

hukum kebiasaan yang berlaku di negaranya. Namun dalam praktek berbagai

negara terdapat dua cara prosedur utama untuk membuat perjanjian internasional,

yaitu :

a. Prosedur normal (klasik)

b. Prosedur yang disederhanakan (simplified)

a. Prosedur normal.

Prosedur normal ini timbul sesudah revolusi Prancis, yaitu timbulnya negara-

negara demokrasi dimana parlemen memegang peranan penting dalam pembuatan

undang-undang dan juga pembuatan treaty (treaty making). Dalam prosedur

normal ini kita menemukan serangkaian ketentuan-ketentuan Konvensi Wina

sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pembahasan berikut ini. Secara

kronologis pembuatan perjanjian internasional dengan cara prosedur normal, yaitu

1. Perundingan (negotiation).

2. Penandatanganan (signature).

3. Ratification (ratifikasi)

1. Perundingan (negotiation).

Kebutuhan suatu negara akan berhubungan dengan negara-negara

lain untuk membicarakan dan memecahkan berbagai persoalan yang

timbul diantara mereka menimbulkan kehendak negara-negara tersebut

untuk mengadakan perundingan yang pada akhirnya melahirkan suatu

7

Page 9: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

treaty. Diadakannya perundingan tersebut untuk bertukar pandangan

tentang berbagai masalah, seperti masalah politik, ekonomi, penyelesaian

sengketa atau pendirian lembaga-lembaga internasional. (PBB, ILO, WTO

dan lain-lain).

Setelah para pihak bersepakat untuk mengadakan perundingan

maka masing-masing negara menunjuk organ-organ yang berkompeten

untuk menghadiri perundingan itu. Dalam konstitusi suatu negara maupun

dalam Konvensi Wina 1969, Kepala Negaralah yang bertanggung jawab

akan terselenggaranya perundingan itu. Tetapi dalam praktek diplomatik

jarang sekali Kepala Negara ikut dalam perundingan, maka dalam

menghadiri konperensi sering sekali dihadiri wakil-wakil berkuasa penuh.

Jika perundingan tidak dilakukan oleh Kepala Negara, maka dihadiri oleh

Menteri Luar Negeri, atau wakil Diplomatiknya dan apabila tidak maka

ditunjuklah wakil-wakil berkuasa penuh yang mendapat surat kuasa penuh

(full power) untuk mengadakan perundingan menandatangani atau

menyetujui teks perjanjian dalam Konperensi (pasal 7 ayat 1 dan 2

Konvensi).

Dalam praktek sering seorang yang dikirim untuk menghadiri

konperensi tidak membawa surat kuasa penuh, tetapi untuk sementara

diberikan lewat kawat atau telepon yang ditujukan kepada sekretariat atau

Ketua konperensi. Secara hukum tindakan yang demikian ini dibenarkan,

asal saja kemudian disahkan atau dikirim surat kuasa penuh oleh negara

yang bersangkutan (negara pengirim). Tanpa disertai pengesahan tersebut,

maka semua tindakan yang dilakukan oleh wakil dari negara pengirim

tidak memiliki kekuatan yang syah (batal) (Mochtar.., Pengantar..,

Bandung, 1996, hal. 43-44)

Untuk suatu ”treaty bilateral” (perjanjian bilateral) perundingan itu

disebut dengan “talk” sedangkan perjanjian multilaral disebut dengan

“diplomatic conference” (dilakukan dengan konperensi diplomat).

Perundingan yang demikian ini dapat juga dilakukan secara tidak resmi

8

Page 10: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

yang sering disebut dengan “corridor talk atau “lobbying”, yaitu dilakukan

pada waktu istirahat saling bertukar pikiran atau saling mempengaruhi

2. Penandatanganan (signature).

Setelah berakhirnya perundingan, maka pada teks treaty yang telah

disetujui oleh wakil-wakil berkuasa penuh dibubuhkan tandatangan atau mereka

menandatangani protokol tersendiri sebagai prosedur penandatangan.

Akibat dari penandatanganan (effect of signature) suatu treaty tergantung

pada ada tidaknya persyaratan ratifikasi treaty tersebut. Apabila traktat harus

diratifikasi maka penandatangan hanya berarti utusan-utusan telah menyetujui

teks perjanjian dan bersedia menerimanya serta akan meneruskan kepada

pemerintah yang berhak untuk menerimanya atau menolak traktak tersebut

(Starke, Introduction, London, 1987, 429).

Dalam praktek diplomatik fungsi tandatangan adalah memberikan

persetujuan terhadap teks perjanjian dan belum merupakan suatu treaty yang

mengikat negara-negara penandatangan. Sedangkan pada masa monarchi Eropa

praktek diplomatik pada masa itu, bahwa dengan telah ditandatangani teks

perjanjian itu maka negara penandatangan akan terikat pada treaty. Bila suatu

negara yang telah ikut menandatangani suatu perjanjian tetapi belum

meratifikasinya berarti negara tersebut secara yuridis belum merupakan peserta

dalam perjanjian. Dalam hal ini negara tersebut berkewajiban untuk tidak

melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan obyek dan tujuan perjanjian

selama negara tersebut belum meratifikasinya (lihat pasal 18 Konvensi).

3. Ratifikasi.

Tindakan selanjutnya sesudah penandatanganan oleh wakil berkuasa

penuh, para delegasi meneruskan naskah perjanjian tersebut kepada

pemerintahnya untuk meminta persetujuan. Untuk ini dibutuhkan penegasan oleh

pemerintah yang bersangkutan setelah mereka mempelajari dan setelah diajukan

kepada Parlemen bilamana perlu. Penegasan tersebut dinamakan dengan ratifikasi

9

Page 11: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

atau pengesahan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian bahwa perjanjian

itu akan mengikat tanpa harus diratifikasi terlebih dahulu.

Dalam pasal 2 Konvensi Wina 1969, Ratifikasi didefinisikan sebagai

tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau

melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Oleh

karena itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak tanggal

penandatanganan ratifikasi.

Ratifikasi biasanya dibuat oleh Kepala Negara yang berkepentingan yang

kemudian diteruskan dengan pertukaran nota ratifikasi diantara negara-negara

peserta perjanjian. Dalam proses sebelum ratifikasi perjanjian terdapat dua

kegiatan, yaitu :

1. Pembentukan kehendak negara melalui hukum konstitusinya.

2. Pernyataan kehendak dalam rangka hubungan internasional sesuai dengan

praktek diplomatik yang berlaku.

Melihat dari dua kegiatan tersebut bahwa ratifikasi mempunyai dua

pengertian dan mengesahkan suatu treaty dari segi hukum konstitusi dalam negara

itu sendiri. Dalam arti ratifikasi ini adalah persetujuan legislatif atau parlemen

sebelum diratifikasi oleh eksekutif berdasarkan konstitusi negara masing-masing.

Adapun ratifikasi dalam arti internasional disebut sebagai ratifikasi yang

sebenarnya (ratification proper).

Ratifikasi ini diselenggarakan oleh organ eksekutif sesudah persetujuan

Parlemen. Dalam ratifikasi ini organ eksekutif sebagai suatu badan yang mewakili

suatu negara berhadapan dengan negara-negara peserta perjanjian lainnya.

Pernyataan kehendak suatu negara tercantum dalam dokumen ratifikasi

(instrument of ratification) yang ditandatangani oleh kepala negara atau Menteri

Luar Negeri (MENLU) atau badan eksekutif, selanjutnya dokumen ini

dipertukarkan antara negara yang satu dengan negara peserta perjanjiannya. Untuk

perjanjian bilateral dokumen (nota ratifikasi) disimpan atau dideposit pada suatu

negara, sedangkan untuk perjanjian multilateral disimpan di sekretariat suatu

organisasi internasional.

10

Page 12: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

Jadi ratifikasi dalam arti internasional adalah suatu kegiatan berupa

pertukaran atau penyimpanan dokumen ratifikasi (nota ratifikasi), sejak tanggal

pertukaran dokumen tersebut lahirlah kewajiban-kewajiban internasional sebagai

efek dari ratifikasi.

b. Prosedur Yang disederhanakan.

Dalam praktek negara-negara prosedur yang disederhanakan timbul

mengingat pengaturan hubungan internasional menghendaki atau memerlukan

waktu yang cepat, seperti kebutuhan dalam bidang ekonomi. Prosedur yang

disederhanakan ini tidak memerlukan waktu yang lama seperti prosedur

normal/klasik yang menghendaki ratifikasi dari badan yang berwenang (parlemen)

sebelum treaty atau perjanjian internasional itu berlaku mengikat negara-negara

penandatangan. Treaty dalam prosedur yang disederhanakan sering dibuat oleh

menteri yang bersangkutan tanpa ikut Kepala Negara dan ratifikasi hanya terjadi

dengan persetujuan sederhana/simple approval (Edy.., Praktek.., 1984, hal. 18).

Secara teknis nampak perbedaan kedua prosedur tersebut, yaitu perlu atau

tidaknya persetujuan Parlemen dalam prosedur pembuatan perjanjian. Dapat

diambil kesimpulan bahwa apabila treaty dibuat dengan prosedural normal

biasanya treaty tersebut perlu diratifikasi dengan mendapat persetujuan dari

parlemen sebelum berlaku. Sedangkan prosedur yang disederhanakan seperti

biasanya hanya persetujuan pemerintah “government agreement”, maka treaty itu

tidak perlu diratifikasi dengan persetujuan parlemen cukup hanya dengan

pemberitahuan saja

DAFTAR PUSTAKA

11

Page 13: Tinjauan Umum Hukum Perjanjian Internasional

KUSUMAATMADJA, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional. Bandung:

Binacipta, 1978.

KUSUMOHAMIDJOJO, Budiono, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional

Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian

Internasional. Bandung: Binacipta, 1986.

KOMAR, Mieke, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun 1969

tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bahan Pelajaran Hukum

Perjanjian Internasional, FH Unpad, Bandung, 1985.

12