bab ii tinjauan pustaka a. perjanjian secara umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/bab ii.pdf · 18 |...
TRANSCRIPT
18 | P a g e
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perjanjian Secara Umum
1. Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Berangkat dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua
orang tersebut yang dinamakan perikatan.Perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya.Dalam bentuknya perjanjian itu
berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan
yang diucapkan atau ditulis.14
Hubungan antara perjanjian dan perikatan sangat erat, dikarenakan suatu
perjanjian menerbitkan dan menimbulkan adanya perikatan dan sekaligus
merupakan sumber perikatan.Perjanjian merupakan suatu hal atau suatu peristiwa
yang kongrit, karena diwujudkan dalam bentuk yang tertulis sedangkan perikatan
merupakan pengertian yang lebih abstrak.
Di dalam KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
perjanjian diatur dalam buku ketiga dari pasal 1233 hingga pasal 1864 tentang
perikatan. Pasal-pasal tersebut tidak menjelaskan secara spesifik mengatur
mengenai perjanjian akan tetapi lebih menjelaskan mengenai perikatan.
Perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata (Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata) menganut sistem terbuka, yang dimana sistem terbuka ini
14
Subekti, 1987, Hukum Perjanjian (cetakan-4), PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal.6
19 | P a g e
mengartikan bahwa hukum perjanjian memberikan keleluasaan yang seluas-
luasnya pada pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian atau mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja. Selama itu tidak bertentangan dengan ketertiban
umum atau kesusilaan.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka
perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat, di dalam KUH Perdata
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) pasal 1320 yang menentukan empat
syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Karena suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang diperkenankan
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif karena kedua syarat tersebut
harus dipenuhi oleh subyek hukum, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut
sebagai syarat obyektif karena kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek
perjanjian.15
Tidak dipenuhinya syarat subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian
menjadi dapat dibatalkan, maksudnya ialah perjanjian tersebut menjadi batal
apabila ada yang dimohonkan pembatalan. Sedangkan syarat obyektif akan
mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi huku, artinya sejak semula
15
Komariah, 2002, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, Hal. 175-177
20 | P a g e
dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak ada suatu perikatan.16
Adapun penjelasan syarat-syarat tersebut antara lain17
:
a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya
Maksudnya ialah para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat
atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut.Pasal 1321
KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menentukan bahwa
kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh
dengan paksaan atau penipuan.
b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan
Pasal 1330 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan,
kecuali undang-undang menentukan bahwa dia tidak cakap. Untuk
membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata
antara lain:
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3. Orang-orang perempuan yang telah kawin. Ketentuan ini menjadi
hapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Karena pasal 31 undang-undang ini menentukan
bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-
masing berhak melakukan perbuatan hukum
16
Ibid 17
P.N.H Simanjuntak, 2009, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, PT. Djambatan, Jakarta, hal.
334
21 | P a g e
c. Karena suatu hal tertentu
Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam pasal 1332 dan pasal 1333
KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yang dimana pasal
1332 KUH Perdata menyebutkan :
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi
pokok suatu perjanjian.”
Sedangkan, pasal 1333 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata) menentukan sebagai berikut :
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebaga pokok suatu barang yang
paling sedikit ditentukan jenisnya.Tidaklah menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat
ditentukan atau dihitung.”
d. Suatu sebab yang diperkenankan
Maksudnya adalah isi dari perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang
atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (pasal
1337 KUH Perdata).Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan
bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab yang palsu atau terlarang
adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
3. Berakhirnya Perjanjian
Pasal 1381 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
menyebutkan sepuluh cara berakhirnya suatu perjanjian, antara lain18
:
1. Karena pembayaran ;
2. Karena penawaran pembayaran yang tunai yang diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan;
3. Karena pembaruan utang (novasi)
18
Subekti, 1983, Hukum Perjanjian (cetakan ketujuh), PT. Intermassa, Bandung, hal. 64
22 | P a g e
4. Perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Percampuran utang;
6. Pembebasan utang;
7. Musnahnya barang yang terutang;
8. Batal/Pembatalan
9. Berlakunya suatu syarat batal;
10. Lewatnya waktu;
Adapun terkait dengan berakhirnya perjanjian karena batal atau
pembatalan terjadi apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi atau
yang dikenal dengan null and void, sedangkan mengenai pembatalan perjanjian
dapat dimintakan jika ada kekurangan terhadap syarat subyektif.Terjadinya batal
atau pembatalan perjanjian, mengakibatkan perjanjian yang telah dibuatnya tidak
dapat dilaksanakan.
B. Perjanjian Asuransi Jiwa
1. Pengertian Asuransi Jiwa
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris yaitu Insurance memiliki arti
sebagai asuransi dan jaminan, kata asuransi dalam kamus besar bahasa Indonesia
dengan padanan kata atau redaksi kata pertanggungan. Asuransi menurut Wirjono
Prodjodikoro adalah suatu persetujuan pihak yang menjamin dan berjanji kepada
pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti
kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu
peristiwa yang belum jelas.19
19
Wirjono Prodjodikoro, 1987, Hukum Asuransi di Indonesia, PT. Intermassa, Jakarta, hal. 1
23 | P a g e
Adapun para ahli lain juga mengungkapkan definisi atau pengertian dari
pertanggungan (asuransi) itu sendiri. Menurut H.M.N Purwosutjipto menyatakan
bahwa pertanggungan adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil)
asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri
selama jalannya pertanggungan.20
Adapun arti kata asuransi dalam bahasa belanda disebut sebagai
Verzekering yang memiliki pengertian pertanggungan pula. Dalam suatu
pertanggungan terdapat 2 (dua) pihak yaitu pihak tertanggung yang bersedia
memberikan uang (uang pertanggungan), sedangkan pihak lain yaitu pihak yang
lain yang bersedia memberikan sejumlah uang apabila telah terjadi peristiwa yang
tidak pasti dan dapat berjalan proses asuransi apabila dilandaskan suatu perikatan.
2. Pengertian Perjanjian Asuransi Jiwa
Perjanjian asuransi jiwa disebutkan sebagai sebuah perjanjian dimana atas
imbalan sejumlah premi yang disepakati, satu pihak menyanggupi untuk
memberikan kerugian kepada pihak yang lain atas subjek tertentu sebagai akibat
dari bahaya tertentu. Apabila dikaitkan dengan perjanjian secara umum dalam
KUH Perdata pasal 1313 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih. 21
Maka, Hukum asuransi pada dasarnya berisikan ketentuan yang berkaitan
dengan dengan hak dan kewajiban para pihak sebagai pengalihan dan penerimaan
20
H.M.N Purwosutjipto, 1990, Hukum Dagang di Indonesia jilid II, PT. Djambatan, Jakarta, hal.
141 21
Man S. Sastrawidjaja dan Endang, 1997, Hukum Asuransi : Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Usaha Perasuransian, PT. Intermassa, Jakarta, hal. 126
24 | P a g e
risiko oleh para pihak.Hukum asuransi pada pokoknya merupakan objek hukum
perdata. Dengan demikian, dapat disimpulkan kecuali ditentukan lain dalam KUH
Dagang sebagai suatu ketentuan yang bersifat khusus, sebagai sebuah perjanjian
dalam aspek asuransi.22
3. Dasar Hukum Perjanjian Asuransi Jiwa
Di dalam pasal 1313 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata) menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam
pandangan Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa yang dimana seorang
berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.23
Namun di dalam konteks perjanjian asuransi dimaknai sebagai suatu
perjanjian dimana atas imbalan sejumlah premi yang telah disepakati, satu pihak
menyanggupi untuk memberikan ganti kerugian kepada pihak yang lain atas
subjek tertentu sebagai akibat dari bahaya tertentu. Dalam KUH Perdata juga
mengatur mengenai perjanjian dalam konteks asuransi misalkan dalam pasal 1774
menyatakan, Suatu persetujuan untung-untungan adalah suatu perbuatan yang
hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara
pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu (kans overeenkomst).
Adapun dalam KUH Dagang sendiri juga mengiyakan dasar pelaksanaan
dari suatu kegiatan asuransi itu sendiri berasal dari suatu perjanjian hal tersebut
terdapat dalam pasal 246 KUH Dagang (Kitab Undang-Undang hukum Dagang)
22
Ibid. 23
Ibid, hal. 1
25 | P a g e
yang menyatakan, Pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan
penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen. Selain di
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 Tentang
Perasuransian juga men-justifikasi bahwa
“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan
asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar dari bagi
penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk :
a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti ; atau
b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya
tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya
tertanggung dengan manfaat yang besarnya ditetapkan dan/ atau
didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”
Maka jelas perjanjian asuransi dapat dimaknai sebagai suatu perjanjian
dimana atas imbalan sejumlah premi yang telah disepakati, satu pihak
menyanggupi untuk memberikan ganti kerugian kepada pihak yang lain atas
subjek tertentu sebagai akibat dari bahaya tertentu.
Pada dasarnya perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik antara
teranggung disatu pihak dengan penanggung dilain pihak yang memiliki
kedudukan seimbang. Namun mengingat adanya sifat inunsiatif pada perjanjian
ini, maka perjanjian asuransi memiliki kekhususan dari perjanjian biasa, antara
lain24
:
24
Sri Redjeki Hartono, 1992, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, PT. Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 17
26 | P a g e
1. Perjanjian asuransi bersifat Aletair
Yaitu dimana prestasi penanggung untuk memberikan ganti kerugian
masih harus digantungkan pada suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi
terjadi, sedangkan prestasi tertanggung bersifat pasti yaitu membayar
sejumlah premi.
2. Perjanjian asuransi yang bersyarat
Yang dimana perjanjian asuransi akan dilaksanakan jika syarat-syarat yang
ditentukan dalam perjanjian dipenuhi oleh tertanggung, apabila syarat
terpenuhi dengan sendirinya penanggung akan memenuhi perjanjian
asuransi.
3. Perjanjian asuransi bersifat sepihak
Yaitu dimana dalam perjanjian asuransi prinsipnya hanya ada satu pihak
yang berjanji akan membayar kerugian yang dilakukan penanggung, jika
tertanggung telah membayar sejumlah premi, apabila sebaliknya maka
penanggung tidak berjanji apapun pada tertanggung
4. Perjanjian asuransi bersifat pribadi
Yang dimana dalam perjanjian asuransi kerugian yang timbul adalah
kerugian orang perorang atau secara pribadi dan bukan merupakan
kerugian yang memiliki sifat kolektif.
5. Perjanjian asuransi sebagai perjanjian melekat pada penanggung
Pada dasarnya syarat dan kondisi dalam perjanjian asuransi hamper
seluruhnya ditentukan oleh perusahaan asuransi itu sendiri sebagai pihak
penanggung dan tidak berdasarkan pada kata sepakat murni.
27 | P a g e
6. Perjanjian asuransi bersifat I’tikad baik yang sempurna
Dalam perjanjian asuransi para pihak tidak mempunyai cacat tersembunyi,
sehingga percaya atas keadaan dan keterangan masing-masing pihak.
Sifat kekhususan suatu perjanjian dalam konteks asuransi dapat dilihat
juga dari syarat sahnya suatu perjanjian.Sahnya suatu perjanjian tidak hanya
berdasarkan dari pasal 1320 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata) melainkan harus disertai dengan perbuatan berupa pembayaran premi
dari tertanggung kepada penanggung yang disertai dengan penandatanganan
kontrak asuransi.
4. Prinsip Perjanjian Asuransi Jiwa
Pada dasarnya perjanjian asuransi adalah bersifat inunsiatif yang dimana
dasar dalam perjanjian asuransi terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata) kemudian penanggung dapat menambahkan
syarat lain yang diperlukan untuk syahnya suatu perjanjian dalam asuransi.
Didalam suatu perjanjian diperlukan adanya prinsip-prinsip yang dimana
menjadi langkah dasar dalam pembuatan isi di dalam suatu perjanjian, adapun
prinsip-prinsip dalam perjanjian asuransi antara lain :
1. Prinsip indemnity
Yaitu prinsip apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga
menimbulkan kerugian maka penanggung atau institusi asuransi akan
memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung. Kemudian pihak
tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar dari pada
kerugian yang diderita.
28 | P a g e
2. Prinsip kontribusi
Yaitu prinsip apabila perusahaan asuransi telah membayar ganti rugi yang
menjadi hak tertanggung, maka perusahaan berhak menuntut perusahaan
asuransi lain yang terlibat dalam obyek tersebut untuk membayar bagian
kerugian sesuai dengan prinsip kontribusi.
Meskipun telah dipertegas untuk tidak diperkenankan, akan tetapi ada
peluang seseorang mengasuransikan harta benda yang sama pada beberapa
perusahaan asuransi. Sehingga, apabila terjadi kerugian atas obyek yang
diasuransikan maka, tertanggung tidak mungkin mendapatkan penggantian
kerugian dari masing-masing perusahaan asuransi secara penuh.
3. Prinsip atas kepentingan
Dalam prinsip ini tertanggung dalam perjanjian asuransi mempunyai suatu
kepentungan yang dimana tertanggung memiliki kemauan untuk
mengasuransikan.Subjek yang dikatakan memiliki kepentingan atas obyek
yang diasuransikan bila orang tersebut menderita kerugian keuangan
seandaianya terjadi musibah atas objek tertentu.Apabila terjadi musibah
atas obyek yang diasuransikan dan terbukti bahwa orang tersebut tidak
memiliki kepentingan keuangan atas obyek tersebut, maka orang tersebut
tidak berhak menerima ganti kerugian.
4. Prinsip I’tikad baik sempurna
Prinsip ini dikenal dengan utmost good faith merupakan prinsip bahwa
setiap tertanggung berkewajiban memberikan informasi secara jelas dan
teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang
29 | P a g e
diasuransikan serta tidak mengambil untung dari proses asuransi itu
sendiri. Prinsip berlaku bagi kedua belah pihak, dari sisi pihak penanggung
harus secara jelas memberikan penjelasan mengenai isi perjanjian (polis)
kepada calon tertanggung
5. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Dalam kedudukan tertentu, setiap orang pasti menjadi konsumen atas
barang dan jasa tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhannya.Interaksi antara
konsumen dengan penyedia barang ataupun penyedia jasa pada umumnya dapat
terjadi setiap saat oleh para pihak, baik itu bersifat incidental ataupun
periodik.Berangkat dari hal interaksi dan transaksi tersebut menimbulkan hak dan
kewajiban para pihak.25
Dari landasan tersebut dapat dicermati hak dan kewajiban pelaku usaha
dan konsumen pada kegiatan perasuransian adalah sebagai berikut :
A. Hak Bagi Pelaku Usaha
1. Yaitu, hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang/jasa yang diperdagangkan
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
tidak beri’tikad baik.
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen
25
Sri Redjeki Hartono, 2007, Hukum Ekonomi Indonesia Buku II, PT. Bayumedia, Malang, hal.
133
30 | P a g e
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang
diperdagangkan.
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
B. Kewajiban Pelaku Usaha
1. Ber’itikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku.
5. Member kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
6. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
31 | P a g e
7. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima dimanfaatkan tidak sesuai dengan isi suatu
perjanjian.
C. Hak Bagi Konsumen
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
suatu barang dan/atau jasa
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
32 | P a g e
D. Kewajiban Konsumen
1. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2. Beri’tikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Hal tersebut, diatas diadopsi dari undang-undang Perlindungan
Konsumen.Mengingat dalam UU tersebut menjelaskan mengenai konsumen
secara luas baik itu dalam konteks barang maupun jasa serta tidak ada
pengelompokan konsumen-konsumen tertentu tidak terkecuali aspek
asuransi.Oleh karena itu penulis undang-undang perlindungan konsumen
memberikan kedudukan yang seimbang antara pelaku usaha/produsen dengan
konsumen.26
C. Prinsip Utmost Good Faith dalam Perjanjian Asuransi Jiwa
Keberadaan prinsip utmost good faith dirasa sangat penting keberadaannya
karena menyangkut hak dan kewajiban tertanggung serta penanggung di lain
pihak. Pada prinsip ini tertanggung pada saat melakukan pengajuan untuk
mengikatkan diri pada sebuah institusi asuransi (penanggung) berkewajiban
memberitahukan secara jelas dan teliti mengenai segala fakta penting yang
26
Ibid, hal. 138-140
33 | P a g e
berkaitan dengan dirinya serta tidak berusaha dengan sengaja mengambil untung
dari penanggung. Dengan kata lain tertanggung tidak menyembunyikan sesuatu
yang bersifat cacat tersembunyi atau menutup-nutupi kelemahan dan kekurangan
atas dirinya sendiri. Mengingat suatu hal ini sangat berkaitan dengan risiko,
penetapan pembayaran sejumlah premi dan kewajiban penanggung atas terjadi
kerugian yang diderita oleh tertanggung.Prinsip ini apabila dikaji sesuai dengan
implementasi pasal 1320 KUH Perdata dan pasal 1338 KUH Perdata, yang
mengungkapkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat harus berdasar atas kausa
yang halal serta persetujuan harus dilaksana berdasar atas asas I’tikad baik.27
Sedangkan mengenai utmost good faith dapat diartikan suatu kewajiban
yang positif dari tertanggung (pemilik objek yang akan diasuransikan) untuk
menyampaikan seluruh fakta yang sifatnya penting atau material facts secara
lengkap dan akurat secara sukarela tanpa paksaan dan tidak ada yang ditutup-
tutupi atas risiko yang akan ditimbulkan dari objek yang akan diasuransikan baik
diminta oleh pihak institusi asuransi atau tidak.28
Suatu fakta dianggap penting dan wajib disampaikan oleh tertanggung
adalah fakta-fakta yang dapat mempengaruhi penilaian atau pertimbangan
penanggung (institusi asuransi) dalam memutuskan calon tertanggung bersedia
menerima atau menolak perjanjian asuransi yang sedang dilakukan dan untuk
menetapkan besaran premi (uang yang dibayarkan) atas pelimpahan risiko yang
ditimbulkan dari objek yang akan diasuransikan.
27
Swady Halim, 2000, Permasalahan umum Nasabah Asuransi (Seminar dan Lokakarya),
Lembaga Studi Pers dan Informasi, Semarang 28
Sanabila, 2011, Utmost Good Faith, dalam http://Sanabila.com, diakses pada tanggal 29 April
2017
34 | P a g e
Sedangkan condition precedent to the contract adalah syarat atau kontrak
yang harus dipenuhi sebelum kontrak itu dibuat, yang termasuk kedalam implied
condition atau suatu kondisi yang tidak dinyatakan secara tertulis namun wajib
untuk dilaksanakan atau dipenuhi seperti :
1. Objek yang diasuransikan harus ada
2. Objek yang diasuransikan dapat di identifikasi
3. Kedua belah pihak melaksanakan dan menerapkan prinsip utmost good
faith di dalam negosiasi hingga perjanjian disepakati.
Dengan demikian, prinsip utmost good faith merupakan salah satu dari
implied conditions yang artinya merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum
kontrak disepakati, atau sederhana prinsip ini adalah jiwa dari asuransi itu sendiri
mengingat bahwa setiap tertanggung berkewajiban memberikan informasi secara
jelas dan teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang
diasuransikan serta tidak mengambil untung dari proses asuransi itu sendiri.
Prinsip berlaku bagi kedua belah pihak, dari sisi pihak penanggung harus secara
jelas memberikan penjelasan mengenai isi perjanjian (polis) kepada calon
tertanggung.29
D. Cacat Kesehatan Tersembunyi
Sudah menjadi kelaziman bahwa setiap perjanjian mewajibkan
pelaksanaan secara adil, akan tetapi satu pihak tidak bertangung jawab kepada
pihak lain untuk memastikannya. Kewajiban demikian ada pada masing-masing
29
Ibid
35 | P a g e
pihak untuk melakukannya secara jujur dengan persyaratan yang sudah
diperjanjikan.
Lantas, bagaimanakah akibat apabila persyaratan yang ditetapkan undang-
undang ternyata tidak dapat dipenuhi oleh para pihak yang membuatnya misalkan
terdapat cacat kesehatan yang disembunyikan.
Menengok pada beberapa pasal yang terdapat dalam KUH Perdata, hukum
dalam ini melakukan perlindungan terhadap para pihak yang melakukan
perjanjian.Di dalam pasal 1321 KUH Perdata disimpulkan bahwa dianggap tidak
ada persetujuan kehendak jika disebabkan karena adanya kekerasan, kesesatan
dan penipuan.Kesimpulan yang demikian kemudian disebut sebagai cacat-cacat
kehendak.30
Kesesatan dalam perjanjian terjadi bilamana seseorang mempunyai
gambaran yang berlainan dengan keadaan yang sesunguhnya dari pada pihak lain
dengan siapa atau pada suatu barang mengenai mana ia akan melakukan suatu
perbuatan.31
Pengertian ancaman dalam pasal tersebut adalah harus sedemikian rupa
sifatnya sehingga ia dapat mempengaruhi setiap orang yang dapat berpikir sehat
dan mengandung suatu kerugian besar. Ancaman yang dimaksud bisa terjadi
terhadap persoon yang berarti tidak hanya ancaman terhadap badannya (lichaan),
akan tetapi juga terhadap kehormatannya atau juga terhadap kemerdekaanya,
selain itu juga ancaman terhadap harta bendanya.
30
Soetojo Prawirohamidjojo, 2009, Hukum Perikatan, PT. Bina Ilmu, Surabaya, hal. 132 31
Ibid, hal. 135
36 | P a g e
Penipuan (bedrog) bilamana ada kesengejaan dengan menggunakan tipu
muslihat, menimbulkan kesesatan pada pihak yang lain. Penipuan tersebut dapat
mengakibatkan kebatalan dari perjanjian bilamana tipu muslihat yang dilakukan
oleh satu pihak, seandainya diketahui oleh para pihak lain tidak akan membuat
persetujuan itu. 32
Apabila pasal 1321 KUH Perdata dikaitkan dengan pasal sebelumnya
yaitu pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian,
maka akibat hukum dari cacat tersembunyi ini menjadi lebih jelas. Jika unsur
pertama (kesepakatan) atau unsure kedua (kecakapan) dari syarat perjanjian tidak
terpenuhi, akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Sedangkan apabila unsure ketiga (karena suatu hal tertentu) dan unsur
keempat (kausa yang halal) tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah batal demi
hukum.Artinya, sejak awal tidak pernah lahir suatu perjanjian sehingga tidak ada
pernah perikatan.Karena tidak ada perjanjian, maka tidak ada akibat hukum
apapun sehingga tidak pula ada dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak untuk
melakukan suatu gugatan.
Dalam kaitan dengan pembatalan dan batal demi hukum tersebut, jika
dihubungkan dengan perjanjian asuransi jiwa yang diadakan antara tertanggung
dan penanggung, maka terdapat hak perusahaan asuransi jiwa berwenang untuk
membatalkan perjanjian asuransi jiwa setelah perjanjian itu ditanda tangani atau
setelah polis telah diterbitkan.33
32
Ibid, hal. 134 33
Bronto Hartono, 2005, Utmost Good Faith dalam Kajian Perusahaan Asuransi Konvensional,
Universitas Diponegoro, hal. 36
37 | P a g e
Permisalan pertama, dalam proses perjanjian asuransi pertanyaan yang
dijawab oleh tertanggung, tidak dijawab dengan jujur (cacat tersembunyi) oleh
pemohon. Dalam hal demikian perusahaan asuransi berhak untuk membatalkan
perjanjian tersebut, dengan alasan jika keterangan disampaikan dengan tidak
benar, maka permohonan perjanjian asuransi jiwa akan ditolak.34
Permisalan kedua, berkaitan dengan keadaan dimana informasi penting
untuk mengambil keputusan tidak disebutkan dalam permohonan tersebut.Dalam
keadaan tersebut, perusahaan asuransi dapat membatalkan perjanjian jika
informasi disembunyikan dengan curang. Dengan kata lain jika tertanggung tidak
memberikan informasi yang ditanyakan oleh perusahaan dengan benar dan
sejujurnya atau tertanggung menyembunyikan informasi tersebut dengan sengaja,
maka perjanjian asuransi tersebut batal demi hukum. Sehingga klaim yang
disampaikan akan ditolak oleh perusahaan asuransi jiwa.35
E. Mekanisme Pengajuan Pendaftaran Asuransi Jiwa
Secara garis besar proses pengajuan pendaftaran asuransi jiwa terbagi
menjadi dua bagian yaitu prosedur administratif, seleksi underwriting dan proses
seleksi akhir.36
a.) Prosedur Administratif.
Persyaratan yang harus di lengkapi adalah :
1. Melampirkan fotocopy KTP / SIM / PASPOR / AKTA LAHIR
2. Mengisi formulir Surat Permintaan Asuransi Jiwa atau disingkat SPAJ
34
Ibid 35
Ibid 36
Dessy Riyanti, 2011, Buletin Manulife III : Prosedur Pendaftaran Asuransi Jiwa, dalam
https://www.perlindungankeluarga.com/ , diakses pada tanggal 9 Juli 2017, pukul 10.00 WIB.
38 | P a g e
3. Melampirkan surat rekam medis dari Rumah Sakit (jika pernah dirawat
dalam 5 tahun terakhir)
4. Pembayaran premi rutin yang sudah disepakati
5. Menyertakan bukti pembayaran bersamaan dengan penyerahan formulir
SPAJ
Daftar pertanyaan dalam formulir SPAJ cukup rinci, terutama yang
menyangkut riwayat kesehatan calon tertanggung.Hal ini karena ketika membeli
asuransi dapat diartikan sebagai mentransfer risiko kehidupan pada perusahaan
asuransi melakukan seleksi yang ketat bagi calon tertanggungnya.
Setelah mengisi Surat Permintaan Asuransi Jiwa (SPAJ) dan membayar
premi, maka tahap selanjutnya adalah medical Medical Test sebelum aplikasi
diseleksi oleh Divisi Underwriting.Syarat pemeriksaan kesehatan ini biasanya
disesuaikan dengan peraturan di perusahaan asuransi.
b.) Seleksi Underwriting :
Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam fase Underwriting
untuk menilai aplikasi yang diajukan oleh calon tertanggung. Hal pertama adalah
kondisi kesehatan, semakin tertanggung sehat maka akan semakin cepat dan
mudah aplikasi untuk disetujui.
Pertimbangan selanjutnya adalah besarnya uang pertanggungan (UP) yang
diinginkan dan disepakati. Seleksi akan semakin ketat jika uang pertanggungan
memiliki nominal tinggi. Besarnya uang pertanggungan juga menentukan apakah
perlu melalui fase Medical Test atau tidak. Semakin besar uang pertanggungan
39 | P a g e
maka akan semakin banyak persyaratan pemeriksaan kesehatan yang harus
dijalani atau dilalui.
Faktor berikutnya, adalah usia dimana masa atau usia calon tertanggung
ketika mengajukan aplikasi menjadi pertimbangan untuk underwriting dalam
menerbitkan polis. Semakin lanjut usia maka akan semakin berpeluang besar
untuk sakit.37
c.) Proses Seleksi Akhir :
Berdasarkan tingkat risiko yang terjadi, underwriting akan memberikan
suatu keputusan yang antara lain :
1. Memberikan persetujuan dengan permintaan.
2. Memberikan persetujuan dengan beberapa syarat tambahan yaitu
membayar ekstra premi.
3. Menolak Premi.
Apabila keputusan dari underwriting adalah keluarnya keputusan ekstra
premi.Maka, status aplikasi sudah diterima oleh perusahaan asuransi meskipun
dengan beberapa persyaratan.
Penilaian tersebut dikarenakan memiliki risiko yang lebih tinggi, dan
sebelum disepakati akan dikembalikan terlebih dahulu kepada calon tertanggung
untuk tetap disepakati atau tidak.
Keluarnya ekstra premi ini didasarkan atas beberapa kondisi dan
pertimbangan sebagai berikut :
37
Ibid
40 | P a g e
1. Risiko pekerjaan atau hobi. Misalkan bekerja di pertambangan atau
memiliki hobi yang cukup bahaya sepermisal balap motor.
2. Faktor kecenderungan untuk sakit, misalkan obesitas (kelebihan berat
badan).38
F. Mekanisme Pengajuan Klaim Asuransi
Klaim dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “Tuntutan
pengakuan atas suatu fakta bahwa sekarang berhak (untuk memiliki atau
mempunyai) atas sesuatu.39
Asuransi jiwa pada dasarnya adalah suatu perjanjian
dimana para pihaknya (penanggung dan tertanggung) memiliki hak dan kewajiban
didalamnya.Salah satu hak yang dimiliki oleh tertanggung adalah mengajukan
klaim asuransi atas peristiwa yang menimbulkan suatu kerugian.Klaim asuransi
adalah tuntutan klaim ganti rugi dari manfaat polis asuransi yang dinilai dengan
sejumlah uang (dapat dinominalkan).40
Dalam pengajuan klaim asuransi jiwa terdapat beberapa prosedur yang
harus dipatuhi oleh tertanggung yang bertujuan utuk tertib administrasi, sirkulasi
pendataan tertanggung terhadap penanggung, tertib administrasi dan menentukan
layak tidaknya klaim asuransi jiwa. Adapun beberapa prosedur klaim asuransi
jiwa antara lain41
:
1. Pengaju klaim asuransi jiwa wajib memberitahukan kepada perusahaan
asuransi bahwa tertanggung asuransi menderita sakit kritis atau
38
Ibid 39
WJS Purwadaminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II, hal. 506 40
Badan Mediasi Asuransi Indonesia, Surat Keputusan Tentang Proses Penanganan Sengketa
Melalui Mediasi Dan/Atau Judikasi, No. 001/SK-BMAI/09, Tahun 2006 41
Ibid
41 | P a g e
tertanggung telah meninggal dunia, apabila tertanggung meninggal dunia
maka disertakan surat kematian yang dikeluarkan oleh rumah duka atau
kantor Negara. Surat kematian tersebut berisikan data kapan terjadinya,
dimana terjadinya, dan penyebab kematian.
2. Pihak perusahaan asuransi jiwa akan memberikan formulir klaim asuransi
kepada pihak yang menjadi ahli waris (pengaju klaim), kemudian formulir
tersebut harus diisi dengan sebenar-benarnya dan sejujurnya.
3. Apabila, formulir klaim asuransi sudah diisi maka formulir tersebut harus
disertai dokumen-dokumen pendukungnya antara lain :
a. Polis dan Endorsement yang asli
b. Salinan seluruh hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi
c. Salinan KTP atau identitas diri dari penerima manfaat
d. Surat keterangan meninggal dunia dari dokter / rumah sakit, yang
berisikan penyebab dari kematian tertanggung
e. Surat keterangan meninggal dunia dari pemerintah setempat
f. Surat keterangan kepolisian (BAP) asli jika tertanggung meninggal
karena kecelakaan
Apabila, ketiga tahap itu sudah dilalui dan penerima manfaat telah
menyetor dokumen-dokumen tersebut maka, pihak perusahaan asuransi jiwa
akanverifikasi dan menganalisis dokumen-dokumen tersebut. Kemudian, apabila
pihak perusahaan asuransi menyatakan bahwa sah dan benar maka, manfaat
tersebut dapat dialihkan kepada pihak penerima manfaat.