bab ii tinjauan pustaka a. perjanjian secara umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/bab ii.pdf · 18 |...

24
18 | Page BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Berangkat dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 14 Hubungan antara perjanjian dan perikatan sangat erat, dikarenakan suatu perjanjian menerbitkan dan menimbulkan adanya perikatan dan sekaligus merupakan sumber perikatan.Perjanjian merupakan suatu hal atau suatu peristiwa yang kongrit, karena diwujudkan dalam bentuk yang tertulis sedangkan perikatan merupakan pengertian yang lebih abstrak. Di dalam KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) perjanjian diatur dalam buku ketiga dari pasal 1233 hingga pasal 1864 tentang perikatan. Pasal-pasal tersebut tidak menjelaskan secara spesifik mengatur mengenai perjanjian akan tetapi lebih menjelaskan mengenai perikatan. Perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menganut sistem terbuka, yang dimana sistem terbuka ini 14 Subekti, 1987, Hukum Perjanjian (cetakan-4), PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal.6

Upload: others

Post on 06-Nov-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

18 | P a g e

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perjanjian Secara Umum

1. Pengertian Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal. Berangkat dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua

orang tersebut yang dinamakan perikatan.Perjanjian itu menerbitkan suatu

perikatan antara dua orang yang membuatnya.Dalam bentuknya perjanjian itu

berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan

yang diucapkan atau ditulis.14

Hubungan antara perjanjian dan perikatan sangat erat, dikarenakan suatu

perjanjian menerbitkan dan menimbulkan adanya perikatan dan sekaligus

merupakan sumber perikatan.Perjanjian merupakan suatu hal atau suatu peristiwa

yang kongrit, karena diwujudkan dalam bentuk yang tertulis sedangkan perikatan

merupakan pengertian yang lebih abstrak.

Di dalam KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

perjanjian diatur dalam buku ketiga dari pasal 1233 hingga pasal 1864 tentang

perikatan. Pasal-pasal tersebut tidak menjelaskan secara spesifik mengatur

mengenai perjanjian akan tetapi lebih menjelaskan mengenai perikatan.

Perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata (Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata) menganut sistem terbuka, yang dimana sistem terbuka ini

14

Subekti, 1987, Hukum Perjanjian (cetakan-4), PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal.6

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

19 | P a g e

mengartikan bahwa hukum perjanjian memberikan keleluasaan yang seluas-

luasnya pada pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian atau mengadakan

perjanjian yang berisi apa saja. Selama itu tidak bertentangan dengan ketertiban

umum atau kesusilaan.

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka

perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat, di dalam KUH Perdata

(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) pasal 1320 yang menentukan empat

syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Karena suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang diperkenankan

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif karena kedua syarat tersebut

harus dipenuhi oleh subyek hukum, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut

sebagai syarat obyektif karena kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek

perjanjian.15

Tidak dipenuhinya syarat subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian

menjadi dapat dibatalkan, maksudnya ialah perjanjian tersebut menjadi batal

apabila ada yang dimohonkan pembatalan. Sedangkan syarat obyektif akan

mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi huku, artinya sejak semula

15

Komariah, 2002, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, Hal. 175-177

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

20 | P a g e

dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak ada suatu perikatan.16

Adapun penjelasan syarat-syarat tersebut antara lain17

:

a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya

Maksudnya ialah para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat

atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut.Pasal 1321

KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menentukan bahwa

kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh

dengan paksaan atau penipuan.

b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Pasal 1330 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan,

kecuali undang-undang menentukan bahwa dia tidak cakap. Untuk

membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata

antara lain:

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

3. Orang-orang perempuan yang telah kawin. Ketentuan ini menjadi

hapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Karena pasal 31 undang-undang ini menentukan

bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-

masing berhak melakukan perbuatan hukum

16

Ibid 17

P.N.H Simanjuntak, 2009, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, PT. Djambatan, Jakarta, hal.

334

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

21 | P a g e

c. Karena suatu hal tertentu

Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam pasal 1332 dan pasal 1333

KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yang dimana pasal

1332 KUH Perdata menyebutkan :

“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi

pokok suatu perjanjian.”

Sedangkan, pasal 1333 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata) menentukan sebagai berikut :

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebaga pokok suatu barang yang

paling sedikit ditentukan jenisnya.Tidaklah menjadi halangan bahwa

jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat

ditentukan atau dihitung.”

d. Suatu sebab yang diperkenankan

Maksudnya adalah isi dari perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang

atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (pasal

1337 KUH Perdata).Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan

bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab yang palsu atau terlarang

adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.

3. Berakhirnya Perjanjian

Pasal 1381 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

menyebutkan sepuluh cara berakhirnya suatu perjanjian, antara lain18

:

1. Karena pembayaran ;

2. Karena penawaran pembayaran yang tunai yang diikuti dengan

penyimpanan atau penitipan;

3. Karena pembaruan utang (novasi)

18

Subekti, 1983, Hukum Perjanjian (cetakan ketujuh), PT. Intermassa, Bandung, hal. 64

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

22 | P a g e

4. Perjumpaan utang atau kompensasi;

5. Percampuran utang;

6. Pembebasan utang;

7. Musnahnya barang yang terutang;

8. Batal/Pembatalan

9. Berlakunya suatu syarat batal;

10. Lewatnya waktu;

Adapun terkait dengan berakhirnya perjanjian karena batal atau

pembatalan terjadi apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi atau

yang dikenal dengan null and void, sedangkan mengenai pembatalan perjanjian

dapat dimintakan jika ada kekurangan terhadap syarat subyektif.Terjadinya batal

atau pembatalan perjanjian, mengakibatkan perjanjian yang telah dibuatnya tidak

dapat dilaksanakan.

B. Perjanjian Asuransi Jiwa

1. Pengertian Asuransi Jiwa

Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris yaitu Insurance memiliki arti

sebagai asuransi dan jaminan, kata asuransi dalam kamus besar bahasa Indonesia

dengan padanan kata atau redaksi kata pertanggungan. Asuransi menurut Wirjono

Prodjodikoro adalah suatu persetujuan pihak yang menjamin dan berjanji kepada

pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti

kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu

peristiwa yang belum jelas.19

19

Wirjono Prodjodikoro, 1987, Hukum Asuransi di Indonesia, PT. Intermassa, Jakarta, hal. 1

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

23 | P a g e

Adapun para ahli lain juga mengungkapkan definisi atau pengertian dari

pertanggungan (asuransi) itu sendiri. Menurut H.M.N Purwosutjipto menyatakan

bahwa pertanggungan adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil)

asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri

selama jalannya pertanggungan.20

Adapun arti kata asuransi dalam bahasa belanda disebut sebagai

Verzekering yang memiliki pengertian pertanggungan pula. Dalam suatu

pertanggungan terdapat 2 (dua) pihak yaitu pihak tertanggung yang bersedia

memberikan uang (uang pertanggungan), sedangkan pihak lain yaitu pihak yang

lain yang bersedia memberikan sejumlah uang apabila telah terjadi peristiwa yang

tidak pasti dan dapat berjalan proses asuransi apabila dilandaskan suatu perikatan.

2. Pengertian Perjanjian Asuransi Jiwa

Perjanjian asuransi jiwa disebutkan sebagai sebuah perjanjian dimana atas

imbalan sejumlah premi yang disepakati, satu pihak menyanggupi untuk

memberikan kerugian kepada pihak yang lain atas subjek tertentu sebagai akibat

dari bahaya tertentu. Apabila dikaitkan dengan perjanjian secara umum dalam

KUH Perdata pasal 1313 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang atau lebih. 21

Maka, Hukum asuransi pada dasarnya berisikan ketentuan yang berkaitan

dengan dengan hak dan kewajiban para pihak sebagai pengalihan dan penerimaan

20

H.M.N Purwosutjipto, 1990, Hukum Dagang di Indonesia jilid II, PT. Djambatan, Jakarta, hal.

141 21

Man S. Sastrawidjaja dan Endang, 1997, Hukum Asuransi : Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Usaha Perasuransian, PT. Intermassa, Jakarta, hal. 126

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

24 | P a g e

risiko oleh para pihak.Hukum asuransi pada pokoknya merupakan objek hukum

perdata. Dengan demikian, dapat disimpulkan kecuali ditentukan lain dalam KUH

Dagang sebagai suatu ketentuan yang bersifat khusus, sebagai sebuah perjanjian

dalam aspek asuransi.22

3. Dasar Hukum Perjanjian Asuransi Jiwa

Di dalam pasal 1313 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata) menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam

pandangan Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa yang dimana seorang

berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal.23

Namun di dalam konteks perjanjian asuransi dimaknai sebagai suatu

perjanjian dimana atas imbalan sejumlah premi yang telah disepakati, satu pihak

menyanggupi untuk memberikan ganti kerugian kepada pihak yang lain atas

subjek tertentu sebagai akibat dari bahaya tertentu. Dalam KUH Perdata juga

mengatur mengenai perjanjian dalam konteks asuransi misalkan dalam pasal 1774

menyatakan, Suatu persetujuan untung-untungan adalah suatu perbuatan yang

hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara

pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu (kans overeenkomst).

Adapun dalam KUH Dagang sendiri juga mengiyakan dasar pelaksanaan

dari suatu kegiatan asuransi itu sendiri berasal dari suatu perjanjian hal tersebut

terdapat dalam pasal 246 KUH Dagang (Kitab Undang-Undang hukum Dagang)

22

Ibid. 23

Ibid, hal. 1

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

25 | P a g e

yang menyatakan, Pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung

mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan

penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan

yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen. Selain di

dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 Tentang

Perasuransian juga men-justifikasi bahwa

“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan

asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar dari bagi

penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk :

a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis

karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan

keuntungan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang

mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena

terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti ; atau

b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya

tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya

tertanggung dengan manfaat yang besarnya ditetapkan dan/ atau

didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”

Maka jelas perjanjian asuransi dapat dimaknai sebagai suatu perjanjian

dimana atas imbalan sejumlah premi yang telah disepakati, satu pihak

menyanggupi untuk memberikan ganti kerugian kepada pihak yang lain atas

subjek tertentu sebagai akibat dari bahaya tertentu.

Pada dasarnya perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik antara

teranggung disatu pihak dengan penanggung dilain pihak yang memiliki

kedudukan seimbang. Namun mengingat adanya sifat inunsiatif pada perjanjian

ini, maka perjanjian asuransi memiliki kekhususan dari perjanjian biasa, antara

lain24

:

24

Sri Redjeki Hartono, 1992, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, PT. Sinar Grafika,

Jakarta, hal. 17

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

26 | P a g e

1. Perjanjian asuransi bersifat Aletair

Yaitu dimana prestasi penanggung untuk memberikan ganti kerugian

masih harus digantungkan pada suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi

terjadi, sedangkan prestasi tertanggung bersifat pasti yaitu membayar

sejumlah premi.

2. Perjanjian asuransi yang bersyarat

Yang dimana perjanjian asuransi akan dilaksanakan jika syarat-syarat yang

ditentukan dalam perjanjian dipenuhi oleh tertanggung, apabila syarat

terpenuhi dengan sendirinya penanggung akan memenuhi perjanjian

asuransi.

3. Perjanjian asuransi bersifat sepihak

Yaitu dimana dalam perjanjian asuransi prinsipnya hanya ada satu pihak

yang berjanji akan membayar kerugian yang dilakukan penanggung, jika

tertanggung telah membayar sejumlah premi, apabila sebaliknya maka

penanggung tidak berjanji apapun pada tertanggung

4. Perjanjian asuransi bersifat pribadi

Yang dimana dalam perjanjian asuransi kerugian yang timbul adalah

kerugian orang perorang atau secara pribadi dan bukan merupakan

kerugian yang memiliki sifat kolektif.

5. Perjanjian asuransi sebagai perjanjian melekat pada penanggung

Pada dasarnya syarat dan kondisi dalam perjanjian asuransi hamper

seluruhnya ditentukan oleh perusahaan asuransi itu sendiri sebagai pihak

penanggung dan tidak berdasarkan pada kata sepakat murni.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

27 | P a g e

6. Perjanjian asuransi bersifat I’tikad baik yang sempurna

Dalam perjanjian asuransi para pihak tidak mempunyai cacat tersembunyi,

sehingga percaya atas keadaan dan keterangan masing-masing pihak.

Sifat kekhususan suatu perjanjian dalam konteks asuransi dapat dilihat

juga dari syarat sahnya suatu perjanjian.Sahnya suatu perjanjian tidak hanya

berdasarkan dari pasal 1320 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata) melainkan harus disertai dengan perbuatan berupa pembayaran premi

dari tertanggung kepada penanggung yang disertai dengan penandatanganan

kontrak asuransi.

4. Prinsip Perjanjian Asuransi Jiwa

Pada dasarnya perjanjian asuransi adalah bersifat inunsiatif yang dimana

dasar dalam perjanjian asuransi terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata (Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata) kemudian penanggung dapat menambahkan

syarat lain yang diperlukan untuk syahnya suatu perjanjian dalam asuransi.

Didalam suatu perjanjian diperlukan adanya prinsip-prinsip yang dimana

menjadi langkah dasar dalam pembuatan isi di dalam suatu perjanjian, adapun

prinsip-prinsip dalam perjanjian asuransi antara lain :

1. Prinsip indemnity

Yaitu prinsip apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga

menimbulkan kerugian maka penanggung atau institusi asuransi akan

memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung. Kemudian pihak

tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar dari pada

kerugian yang diderita.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

28 | P a g e

2. Prinsip kontribusi

Yaitu prinsip apabila perusahaan asuransi telah membayar ganti rugi yang

menjadi hak tertanggung, maka perusahaan berhak menuntut perusahaan

asuransi lain yang terlibat dalam obyek tersebut untuk membayar bagian

kerugian sesuai dengan prinsip kontribusi.

Meskipun telah dipertegas untuk tidak diperkenankan, akan tetapi ada

peluang seseorang mengasuransikan harta benda yang sama pada beberapa

perusahaan asuransi. Sehingga, apabila terjadi kerugian atas obyek yang

diasuransikan maka, tertanggung tidak mungkin mendapatkan penggantian

kerugian dari masing-masing perusahaan asuransi secara penuh.

3. Prinsip atas kepentingan

Dalam prinsip ini tertanggung dalam perjanjian asuransi mempunyai suatu

kepentungan yang dimana tertanggung memiliki kemauan untuk

mengasuransikan.Subjek yang dikatakan memiliki kepentingan atas obyek

yang diasuransikan bila orang tersebut menderita kerugian keuangan

seandaianya terjadi musibah atas objek tertentu.Apabila terjadi musibah

atas obyek yang diasuransikan dan terbukti bahwa orang tersebut tidak

memiliki kepentingan keuangan atas obyek tersebut, maka orang tersebut

tidak berhak menerima ganti kerugian.

4. Prinsip I’tikad baik sempurna

Prinsip ini dikenal dengan utmost good faith merupakan prinsip bahwa

setiap tertanggung berkewajiban memberikan informasi secara jelas dan

teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

29 | P a g e

diasuransikan serta tidak mengambil untung dari proses asuransi itu

sendiri. Prinsip berlaku bagi kedua belah pihak, dari sisi pihak penanggung

harus secara jelas memberikan penjelasan mengenai isi perjanjian (polis)

kepada calon tertanggung

5. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Dalam kedudukan tertentu, setiap orang pasti menjadi konsumen atas

barang dan jasa tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhannya.Interaksi antara

konsumen dengan penyedia barang ataupun penyedia jasa pada umumnya dapat

terjadi setiap saat oleh para pihak, baik itu bersifat incidental ataupun

periodik.Berangkat dari hal interaksi dan transaksi tersebut menimbulkan hak dan

kewajiban para pihak.25

Dari landasan tersebut dapat dicermati hak dan kewajiban pelaku usaha

dan konsumen pada kegiatan perasuransian adalah sebagai berikut :

A. Hak Bagi Pelaku Usaha

1. Yaitu, hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang/jasa yang diperdagangkan

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

tidak beri’tikad baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen

25

Sri Redjeki Hartono, 2007, Hukum Ekonomi Indonesia Buku II, PT. Bayumedia, Malang, hal.

133

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

30 | P a g e

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang

diperdagangkan.

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

B. Kewajiban Pelaku Usaha

1. Ber’itikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku.

5. Member kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

31 | P a g e

7. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima dimanfaatkan tidak sesuai dengan isi suatu

perjanjian.

C. Hak Bagi Konsumen

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

suatu barang dan/atau jasa

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya.

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

32 | P a g e

D. Kewajiban Konsumen

1. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian dan

pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.

2. Beri’tikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa.

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Hal tersebut, diatas diadopsi dari undang-undang Perlindungan

Konsumen.Mengingat dalam UU tersebut menjelaskan mengenai konsumen

secara luas baik itu dalam konteks barang maupun jasa serta tidak ada

pengelompokan konsumen-konsumen tertentu tidak terkecuali aspek

asuransi.Oleh karena itu penulis undang-undang perlindungan konsumen

memberikan kedudukan yang seimbang antara pelaku usaha/produsen dengan

konsumen.26

C. Prinsip Utmost Good Faith dalam Perjanjian Asuransi Jiwa

Keberadaan prinsip utmost good faith dirasa sangat penting keberadaannya

karena menyangkut hak dan kewajiban tertanggung serta penanggung di lain

pihak. Pada prinsip ini tertanggung pada saat melakukan pengajuan untuk

mengikatkan diri pada sebuah institusi asuransi (penanggung) berkewajiban

memberitahukan secara jelas dan teliti mengenai segala fakta penting yang

26

Ibid, hal. 138-140

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

33 | P a g e

berkaitan dengan dirinya serta tidak berusaha dengan sengaja mengambil untung

dari penanggung. Dengan kata lain tertanggung tidak menyembunyikan sesuatu

yang bersifat cacat tersembunyi atau menutup-nutupi kelemahan dan kekurangan

atas dirinya sendiri. Mengingat suatu hal ini sangat berkaitan dengan risiko,

penetapan pembayaran sejumlah premi dan kewajiban penanggung atas terjadi

kerugian yang diderita oleh tertanggung.Prinsip ini apabila dikaji sesuai dengan

implementasi pasal 1320 KUH Perdata dan pasal 1338 KUH Perdata, yang

mengungkapkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat harus berdasar atas kausa

yang halal serta persetujuan harus dilaksana berdasar atas asas I’tikad baik.27

Sedangkan mengenai utmost good faith dapat diartikan suatu kewajiban

yang positif dari tertanggung (pemilik objek yang akan diasuransikan) untuk

menyampaikan seluruh fakta yang sifatnya penting atau material facts secara

lengkap dan akurat secara sukarela tanpa paksaan dan tidak ada yang ditutup-

tutupi atas risiko yang akan ditimbulkan dari objek yang akan diasuransikan baik

diminta oleh pihak institusi asuransi atau tidak.28

Suatu fakta dianggap penting dan wajib disampaikan oleh tertanggung

adalah fakta-fakta yang dapat mempengaruhi penilaian atau pertimbangan

penanggung (institusi asuransi) dalam memutuskan calon tertanggung bersedia

menerima atau menolak perjanjian asuransi yang sedang dilakukan dan untuk

menetapkan besaran premi (uang yang dibayarkan) atas pelimpahan risiko yang

ditimbulkan dari objek yang akan diasuransikan.

27

Swady Halim, 2000, Permasalahan umum Nasabah Asuransi (Seminar dan Lokakarya),

Lembaga Studi Pers dan Informasi, Semarang 28

Sanabila, 2011, Utmost Good Faith, dalam http://Sanabila.com, diakses pada tanggal 29 April

2017

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

34 | P a g e

Sedangkan condition precedent to the contract adalah syarat atau kontrak

yang harus dipenuhi sebelum kontrak itu dibuat, yang termasuk kedalam implied

condition atau suatu kondisi yang tidak dinyatakan secara tertulis namun wajib

untuk dilaksanakan atau dipenuhi seperti :

1. Objek yang diasuransikan harus ada

2. Objek yang diasuransikan dapat di identifikasi

3. Kedua belah pihak melaksanakan dan menerapkan prinsip utmost good

faith di dalam negosiasi hingga perjanjian disepakati.

Dengan demikian, prinsip utmost good faith merupakan salah satu dari

implied conditions yang artinya merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum

kontrak disepakati, atau sederhana prinsip ini adalah jiwa dari asuransi itu sendiri

mengingat bahwa setiap tertanggung berkewajiban memberikan informasi secara

jelas dan teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang

diasuransikan serta tidak mengambil untung dari proses asuransi itu sendiri.

Prinsip berlaku bagi kedua belah pihak, dari sisi pihak penanggung harus secara

jelas memberikan penjelasan mengenai isi perjanjian (polis) kepada calon

tertanggung.29

D. Cacat Kesehatan Tersembunyi

Sudah menjadi kelaziman bahwa setiap perjanjian mewajibkan

pelaksanaan secara adil, akan tetapi satu pihak tidak bertangung jawab kepada

pihak lain untuk memastikannya. Kewajiban demikian ada pada masing-masing

29

Ibid

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

35 | P a g e

pihak untuk melakukannya secara jujur dengan persyaratan yang sudah

diperjanjikan.

Lantas, bagaimanakah akibat apabila persyaratan yang ditetapkan undang-

undang ternyata tidak dapat dipenuhi oleh para pihak yang membuatnya misalkan

terdapat cacat kesehatan yang disembunyikan.

Menengok pada beberapa pasal yang terdapat dalam KUH Perdata, hukum

dalam ini melakukan perlindungan terhadap para pihak yang melakukan

perjanjian.Di dalam pasal 1321 KUH Perdata disimpulkan bahwa dianggap tidak

ada persetujuan kehendak jika disebabkan karena adanya kekerasan, kesesatan

dan penipuan.Kesimpulan yang demikian kemudian disebut sebagai cacat-cacat

kehendak.30

Kesesatan dalam perjanjian terjadi bilamana seseorang mempunyai

gambaran yang berlainan dengan keadaan yang sesunguhnya dari pada pihak lain

dengan siapa atau pada suatu barang mengenai mana ia akan melakukan suatu

perbuatan.31

Pengertian ancaman dalam pasal tersebut adalah harus sedemikian rupa

sifatnya sehingga ia dapat mempengaruhi setiap orang yang dapat berpikir sehat

dan mengandung suatu kerugian besar. Ancaman yang dimaksud bisa terjadi

terhadap persoon yang berarti tidak hanya ancaman terhadap badannya (lichaan),

akan tetapi juga terhadap kehormatannya atau juga terhadap kemerdekaanya,

selain itu juga ancaman terhadap harta bendanya.

30

Soetojo Prawirohamidjojo, 2009, Hukum Perikatan, PT. Bina Ilmu, Surabaya, hal. 132 31

Ibid, hal. 135

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

36 | P a g e

Penipuan (bedrog) bilamana ada kesengejaan dengan menggunakan tipu

muslihat, menimbulkan kesesatan pada pihak yang lain. Penipuan tersebut dapat

mengakibatkan kebatalan dari perjanjian bilamana tipu muslihat yang dilakukan

oleh satu pihak, seandainya diketahui oleh para pihak lain tidak akan membuat

persetujuan itu. 32

Apabila pasal 1321 KUH Perdata dikaitkan dengan pasal sebelumnya

yaitu pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian,

maka akibat hukum dari cacat tersembunyi ini menjadi lebih jelas. Jika unsur

pertama (kesepakatan) atau unsure kedua (kecakapan) dari syarat perjanjian tidak

terpenuhi, akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Sedangkan apabila unsure ketiga (karena suatu hal tertentu) dan unsur

keempat (kausa yang halal) tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah batal demi

hukum.Artinya, sejak awal tidak pernah lahir suatu perjanjian sehingga tidak ada

pernah perikatan.Karena tidak ada perjanjian, maka tidak ada akibat hukum

apapun sehingga tidak pula ada dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak untuk

melakukan suatu gugatan.

Dalam kaitan dengan pembatalan dan batal demi hukum tersebut, jika

dihubungkan dengan perjanjian asuransi jiwa yang diadakan antara tertanggung

dan penanggung, maka terdapat hak perusahaan asuransi jiwa berwenang untuk

membatalkan perjanjian asuransi jiwa setelah perjanjian itu ditanda tangani atau

setelah polis telah diterbitkan.33

32

Ibid, hal. 134 33

Bronto Hartono, 2005, Utmost Good Faith dalam Kajian Perusahaan Asuransi Konvensional,

Universitas Diponegoro, hal. 36

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

37 | P a g e

Permisalan pertama, dalam proses perjanjian asuransi pertanyaan yang

dijawab oleh tertanggung, tidak dijawab dengan jujur (cacat tersembunyi) oleh

pemohon. Dalam hal demikian perusahaan asuransi berhak untuk membatalkan

perjanjian tersebut, dengan alasan jika keterangan disampaikan dengan tidak

benar, maka permohonan perjanjian asuransi jiwa akan ditolak.34

Permisalan kedua, berkaitan dengan keadaan dimana informasi penting

untuk mengambil keputusan tidak disebutkan dalam permohonan tersebut.Dalam

keadaan tersebut, perusahaan asuransi dapat membatalkan perjanjian jika

informasi disembunyikan dengan curang. Dengan kata lain jika tertanggung tidak

memberikan informasi yang ditanyakan oleh perusahaan dengan benar dan

sejujurnya atau tertanggung menyembunyikan informasi tersebut dengan sengaja,

maka perjanjian asuransi tersebut batal demi hukum. Sehingga klaim yang

disampaikan akan ditolak oleh perusahaan asuransi jiwa.35

E. Mekanisme Pengajuan Pendaftaran Asuransi Jiwa

Secara garis besar proses pengajuan pendaftaran asuransi jiwa terbagi

menjadi dua bagian yaitu prosedur administratif, seleksi underwriting dan proses

seleksi akhir.36

a.) Prosedur Administratif.

Persyaratan yang harus di lengkapi adalah :

1. Melampirkan fotocopy KTP / SIM / PASPOR / AKTA LAHIR

2. Mengisi formulir Surat Permintaan Asuransi Jiwa atau disingkat SPAJ

34

Ibid 35

Ibid 36

Dessy Riyanti, 2011, Buletin Manulife III : Prosedur Pendaftaran Asuransi Jiwa, dalam

https://www.perlindungankeluarga.com/ , diakses pada tanggal 9 Juli 2017, pukul 10.00 WIB.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

38 | P a g e

3. Melampirkan surat rekam medis dari Rumah Sakit (jika pernah dirawat

dalam 5 tahun terakhir)

4. Pembayaran premi rutin yang sudah disepakati

5. Menyertakan bukti pembayaran bersamaan dengan penyerahan formulir

SPAJ

Daftar pertanyaan dalam formulir SPAJ cukup rinci, terutama yang

menyangkut riwayat kesehatan calon tertanggung.Hal ini karena ketika membeli

asuransi dapat diartikan sebagai mentransfer risiko kehidupan pada perusahaan

asuransi melakukan seleksi yang ketat bagi calon tertanggungnya.

Setelah mengisi Surat Permintaan Asuransi Jiwa (SPAJ) dan membayar

premi, maka tahap selanjutnya adalah medical Medical Test sebelum aplikasi

diseleksi oleh Divisi Underwriting.Syarat pemeriksaan kesehatan ini biasanya

disesuaikan dengan peraturan di perusahaan asuransi.

b.) Seleksi Underwriting :

Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam fase Underwriting

untuk menilai aplikasi yang diajukan oleh calon tertanggung. Hal pertama adalah

kondisi kesehatan, semakin tertanggung sehat maka akan semakin cepat dan

mudah aplikasi untuk disetujui.

Pertimbangan selanjutnya adalah besarnya uang pertanggungan (UP) yang

diinginkan dan disepakati. Seleksi akan semakin ketat jika uang pertanggungan

memiliki nominal tinggi. Besarnya uang pertanggungan juga menentukan apakah

perlu melalui fase Medical Test atau tidak. Semakin besar uang pertanggungan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

39 | P a g e

maka akan semakin banyak persyaratan pemeriksaan kesehatan yang harus

dijalani atau dilalui.

Faktor berikutnya, adalah usia dimana masa atau usia calon tertanggung

ketika mengajukan aplikasi menjadi pertimbangan untuk underwriting dalam

menerbitkan polis. Semakin lanjut usia maka akan semakin berpeluang besar

untuk sakit.37

c.) Proses Seleksi Akhir :

Berdasarkan tingkat risiko yang terjadi, underwriting akan memberikan

suatu keputusan yang antara lain :

1. Memberikan persetujuan dengan permintaan.

2. Memberikan persetujuan dengan beberapa syarat tambahan yaitu

membayar ekstra premi.

3. Menolak Premi.

Apabila keputusan dari underwriting adalah keluarnya keputusan ekstra

premi.Maka, status aplikasi sudah diterima oleh perusahaan asuransi meskipun

dengan beberapa persyaratan.

Penilaian tersebut dikarenakan memiliki risiko yang lebih tinggi, dan

sebelum disepakati akan dikembalikan terlebih dahulu kepada calon tertanggung

untuk tetap disepakati atau tidak.

Keluarnya ekstra premi ini didasarkan atas beberapa kondisi dan

pertimbangan sebagai berikut :

37

Ibid

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

40 | P a g e

1. Risiko pekerjaan atau hobi. Misalkan bekerja di pertambangan atau

memiliki hobi yang cukup bahaya sepermisal balap motor.

2. Faktor kecenderungan untuk sakit, misalkan obesitas (kelebihan berat

badan).38

F. Mekanisme Pengajuan Klaim Asuransi

Klaim dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “Tuntutan

pengakuan atas suatu fakta bahwa sekarang berhak (untuk memiliki atau

mempunyai) atas sesuatu.39

Asuransi jiwa pada dasarnya adalah suatu perjanjian

dimana para pihaknya (penanggung dan tertanggung) memiliki hak dan kewajiban

didalamnya.Salah satu hak yang dimiliki oleh tertanggung adalah mengajukan

klaim asuransi atas peristiwa yang menimbulkan suatu kerugian.Klaim asuransi

adalah tuntutan klaim ganti rugi dari manfaat polis asuransi yang dinilai dengan

sejumlah uang (dapat dinominalkan).40

Dalam pengajuan klaim asuransi jiwa terdapat beberapa prosedur yang

harus dipatuhi oleh tertanggung yang bertujuan utuk tertib administrasi, sirkulasi

pendataan tertanggung terhadap penanggung, tertib administrasi dan menentukan

layak tidaknya klaim asuransi jiwa. Adapun beberapa prosedur klaim asuransi

jiwa antara lain41

:

1. Pengaju klaim asuransi jiwa wajib memberitahukan kepada perusahaan

asuransi bahwa tertanggung asuransi menderita sakit kritis atau

38

Ibid 39

WJS Purwadaminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II, hal. 506 40

Badan Mediasi Asuransi Indonesia, Surat Keputusan Tentang Proses Penanganan Sengketa

Melalui Mediasi Dan/Atau Judikasi, No. 001/SK-BMAI/09, Tahun 2006 41

Ibid

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Secara Umum 1 ...eprints.umm.ac.id/43326/3/BAB II.pdf · 18 | P a g e BAB II . TINJAUAN PUSTAKA . A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

41 | P a g e

tertanggung telah meninggal dunia, apabila tertanggung meninggal dunia

maka disertakan surat kematian yang dikeluarkan oleh rumah duka atau

kantor Negara. Surat kematian tersebut berisikan data kapan terjadinya,

dimana terjadinya, dan penyebab kematian.

2. Pihak perusahaan asuransi jiwa akan memberikan formulir klaim asuransi

kepada pihak yang menjadi ahli waris (pengaju klaim), kemudian formulir

tersebut harus diisi dengan sebenar-benarnya dan sejujurnya.

3. Apabila, formulir klaim asuransi sudah diisi maka formulir tersebut harus

disertai dokumen-dokumen pendukungnya antara lain :

a. Polis dan Endorsement yang asli

b. Salinan seluruh hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi

c. Salinan KTP atau identitas diri dari penerima manfaat

d. Surat keterangan meninggal dunia dari dokter / rumah sakit, yang

berisikan penyebab dari kematian tertanggung

e. Surat keterangan meninggal dunia dari pemerintah setempat

f. Surat keterangan kepolisian (BAP) asli jika tertanggung meninggal

karena kecelakaan

Apabila, ketiga tahap itu sudah dilalui dan penerima manfaat telah

menyetor dokumen-dokumen tersebut maka, pihak perusahaan asuransi jiwa

akanverifikasi dan menganalisis dokumen-dokumen tersebut. Kemudian, apabila

pihak perusahaan asuransi menyatakan bahwa sah dan benar maka, manfaat

tersebut dapat dialihkan kepada pihak penerima manfaat.