status perjanjian internasional dalam tata perundang-undangan nasional

Download Status Perjanjian Internasional Dalam Tata Perundang-Undangan Nasional

If you can't read please download the document

Upload: oktavia-maludin

Post on 12-Jun-2015

6.712 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

APA ARTI PENGESAHAN/RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL? - Damos Dumoli Agusman AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA) - Prof Dr. Bagir Manan, SH., M.CL. PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945 - Dr. Harjono, SH., M.CL. STATUS HUKUM INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN NTERNASIONAL DI DALAM HUKUM NASIONAL (PERMASALAHAN TEORITIK DAN PRAKTEK) - Prof. Dr. Ibrahim, SH., MH. PRAKTEK PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PUTUSAN HAKIM - Hj. Suparti Hadhyono STATUS HUKUM INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL REPUBLIK INDONESIA (DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA) - Prof. Dr. Mohd. Burhan Tsani, SH., MH.

DAMOS DUMOLI AGUSMAN

APA ARTI PENGESAHAN/RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL?Dari sisi hukum perjanjian internasional maka ratifikasi pada esensinya adalah konfirmasi.

Pengesahan/Ratifikasi: Persetujuan atau Konfirmasi? Globalisasi Hubungan Internasional dewasa ini telah semakin meningkatkan persentuhan dan interaksi antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional di Indonesia. Interaksi kedua bidang hukum ini semakin mempertajam pertanyaan tentang arti lembaga pengesahan (ratifikasi, aksesi, acceptance, approval) dalam kaitannya dengan status Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Republik Indonesia. Dari tataran teoritis dan praktis, pengertian lembaga pengesahan/ratifikasi ternyata dipahami secara berbeda oleh kalangan ahli Hukum Tata Negara dan oleh ahli Hukum Internasional. Lembaga pengesahan/ratifikasi itu sendiri pada hakekatnya berasal dari konsepsi Hukum Perjanjian Internasional yang selalu diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu Negara terhadap perbuatan hukum dari pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian sebagai tanda persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu. Dari sisi Hukum Perjanjian maka ratifikasi pada esensinya adalah konfirmasi. Konfirmasi ini dibutuhkan karena pada era permulaan berkembangnya Perjanjian Internasional masalah komunikasi serta jarak geografis antar Negara merupakan faktor yang mengharuskan adanya ruang bagi setiap Negara untuk mengkonfirmasi setiap perjanjian yang telah ditandatangani oleh pejabatnya. Namun

demikian, lembaga ini pada perkembangan selanjutnya juga mulai dikenal dan berkembang dalam hukum ketatanegaraan setiap Negara yang digunakan untuk objek yang sama yaitu Perjanjian Internasional. Lembaga pengesahan/ratifikasi dalam hukum ketatanegaraan selalu diartikan sebagai tindakan persetujuan oleh suatu organ Negara terhadap perbuatan Pemerintah untuk membuat perjanjian atau konfirmasi organ tersebut terhadap penandatanganan suatu perjanjian oleh Pemerintahnya. Bertolak dari perbedaan disiplin hukum tentang pengesahan/ratifikasi tersebut diatas, maka secara tradisional, pengesahan/ratifikasi Perjanjian Internasional selalu dilihat dari dua perspektif prosedur yang terpisah namun terkait, yaitu Prosedur Internal (Nasional) dan Prosedur Eksternal (Internasional). Dari perspektif Prosedur Internal, pengesahan/ratifikasi Perjanjian Internasional adalah masalah Hukum Tata Negara, yaitu Hukum Nasional Indonesia yang mengatur tentang kewenangan eksekutif dan legislatif dalam pembuatan Perjanjian Internasional serta mengatur produk Hukum apa yang harus dikeluarkan untuk menjadi dasar bagi Indonesia melakukan Prosedur Eksternal. Sedangkan dari perspektif Prosedur Eksternal maka pengesahan/ratifikasi Perjanjian adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian

hukum tata Negara ri tanpa sengaja mengartikan lembaga pengesahan/ratifikasi sebagai persetujuan dpr bukan konfirmasi dan hal ini tercermin dalam pasal 11 uud 1945. namun dalam praktek ketatanegaraan ri, yang kemudian ditafsirkan oleh undang-undang no. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, pengertian persetujuan ini bergeser menjadi konfirmasi dpr ketimbang persetujuan dpr.

Internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan dan persetujuan. (The international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty) yang diatur oleh Hukum Perjanjian Internasional. Para perumus Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (Komisi Hukum Internasional) menyadari adanya perbedaan ini dan bahkan mengakui bahwa kedua perspektif ini selalu membingungkan. Komisi secara tegas menyatakan bahwa Since it is clear that there is some tendency for the international and internal procedures to be confused and since it is only international procedures which are relevant to international law of treaties, the Commission thought it desirable in the definition to lay heavy emphasis on the fact that it is purely the international act to which the terms ratification relate in the present article.1 Namun demikian, sekalipun membedakannya, relasi kedua prosedur ini cukup jelas bagi Komisi. Pada bagian lain, Komisi menegaskan bahwa Prosedur Internal harus dipenuhi untuk dapat dilaksanakannya Prosedur Eksternal. Komisi lebih lanjut menegaskan bahwa berlakunya perjanjian terhadap suatu Negara ditentukan oleh Prosedur Eksternal bukan Prosedur Internal. Jika dalam Prosedur Eksternal pengertian pengesahan/ratifikasi adalah konfirmasi dari Negara maka pada Prosedur Internal pengertian ini dapat berupa: a. Konfirmasi, yaitu organ Negara seperti parlemen memberikan konfirmasi terhadap perbuatan Pemerintah yang telah menandatangani suatu perjanjian, atau b. Persetujuan, yaitu organ Negara seperti parlemen memberikan persetujuan terlebih dahulu terhadap perjanjian yang akan ditandatangani oleh Pemerintah. Hukum Tata Negara RI tanpa sengaja mengartikan lembaga pengesahan/ratifikasi sebagai persetujuan DPR bukan1 ILC Draft Articles on the Law of Treaties and Commentaries, AJIL Vol 61, Jan 1967, hal. 285-294

konfirmasi dan hal ini tercermin dalam Pasal 11 UUD 1945.2 Namun dalam praktek ketatanegaraan RI, yang kemudian ditafsirkan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengertian persetujuan ini bergeser menjadi konfirmasi DPR ketimbang persetujuan DPR. Itulah sebabnya pasal ini masih menyisakan pertanyaan mendasar tentang apakah DPR harus terlibat membuat perjanjian sebelum ditandatangani atau hanya terlibat setelah perjanjian ditandatangani oleh Pemerintah? Dalam hal ini perbedaan pengertian persetujuan dengan konfirmasi pada lembaga pengesahan/ratifikasi menjadi sangat relevan. Permasalahan ini tentunya akan sangat terkait dengan persoalan wewenang membuat perjanjian, apakah wewenang eksklusif eksekutif atau tidak. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional per definisi hanya mengatur tentang pengesahan/ratifikasi dalam perspektif Prosedur Eksternal sehingga berkarakter konfirmasi, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Namun demikian Undang-Undang ini juga mengatur tentang persyaratan internal (pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang atau Perpres) sebagai dasar konstitusional untuk dapat melakukan pengesahan/ratifikasi dalam perspektif eksternal. Dalam UndangUndang dan praktek Indonesia, untuk Prosedur Eksternal (yaitu penerbitan notification atau instrument of ratification/ accession / acceptance/approval oleh Departemen Luar Negeri) hanya dapat dilakukan setelah Prosedur Internal terpenuhi. Akibatnya, secaraPasal 11 UUD 1945: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. 2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. 1)2

hakiki maka Undang-Undang ini telah memberikan interpretasi bahwa yang dimaksud dengan persetujuan DPR pada Pasal 11 UUD 1945 adalah konfirmasi yang berarti bahwa keterlibatan DPR adalah untuk menerima atau menolak pengesahan/ratifikasi perjanjian yang sudah dibuat oleh Pemerintah bukan untuk menyetujui perjanjian yang akan dibuat oleh Pemerintah. Dari kekisruhan ini maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi tarik menarik untuk mengartikan pengertian pengesahan/ratifikasi antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Perjanjian Internasional. Pasal 11 UUD 1945 sebagai produk Hukum Tata Negara bergesekan dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2000 yang sangat dipengaruhi oleh Hukum Perjanjian Internasional. Dalam kaitan ini, pandangan Prof. Bagir Manan bahwa wewenang untuk melakukan hubungan luar negeri termasuk membuat dan memasuki Perjanjian Internasional adalah kekuasaan eksklusif eksekutif3 menjadi sangat relevan. Dalam hal ini maka pengertian persetujuan DPR pada Pasal 11 UUD 1945 harus diartikan sebagai konfirmasi DPR atas perbuatan hukum eksekutif. Format Undang-Undang sebagai Output dari Persetujuan DPR: Formal atau Prosedural? Persoalan mendasar lainnya adalah apa output dari tindakan persetujuan DPR seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 UUD 1945? Mohammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apapun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi Pasal 11.4 Dari pandangan Muhammad Yamin tersebut maka sebenarnya persetujuan DPR dapat mengambil bentuk apa pun dan hanya merupakan syarat formil untuk dibuatnya suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam perkembangan praktek ketatanegaraan Indonesia output dari persetujuan DPR ini telah mengambil bentuk Undang-Undang. Perkembangan ini tercermin dari praktek yang timbul menyusul Surat Presiden No. 2826/HK/1960 kepada Ketua DPR, yang selalu menuangkan persetujuanManan, Bagir Prof, Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjauan Hukum Tata Negara), Focussed Group Discussion, Deplu-FH UNPAD, Bandung, 29 November 2008. 4 Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Ketiga, 1960, hal. 784.3

DPR kedalam format Undang-Undang dan dalam praktek istilah ini selanjutnya selalu diartikan secara baku sebagai pengesahan/ratifikasi. Pemahaman ini kemudian terkristalisasi dalam UndangUndang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang secara sengaja telah menafsirkan kata persetujuan DPR pasal 11 UUD 1945 sebagai pengesahan dengan bentuk Undang-Undang. Namun tanpa disengaja Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 ternyata mendefinisikan istilah pengesahan/ratifikasi sebagai perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentukMohammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, Sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apapun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi Pasal 11.

ratifikasi, aksesi, penerimaan dan persetujuan.5 Sekalipun memakai definisi eksternal, UndangUndang ini juga ternyata mengartikan pengesahan/ratifikasi seperti yang dikenal dalam Prosedur Internal (misalnya pemakaian istilah pengesahan dengan UndangUndang/Keppres sehingga tanpa disengaja telah menggunakan istilah yang sama untuk pengertian yang sebenarnya berbeda. Selanjutnya apa konsekeunsi dari UndangUndang atau Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian terhadap Hukum Nasional (aspek internal) ternyata telah pula menimbulkan perdebatan baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Masalah ini telah menjadi perdebatan dalam kerangka pergulatan teori monismedualisme tentang hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Konstruksi yang tepat perihal ini (apakah monisme atau dualisme) belum tercermin dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ternyata juga tidak dimaksudkan untuk menyentuh masalah substansi aspek internal dari pengesahan/ratifikasi ini. Dituangkannya persetujuan DPR dalam format Undang-Undang/Perpres telah melahirkan diskusi baru tentang apa arti Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan5 Pasal 1 (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

tersebut, apakah pengaturan atau penetapan. Dengan formatnya sebagai Undang-Undang/Perpres maka Hukum Nasional dewasa ini cenderung memperlakukan Undang-Undang/Perpres ini sebagaimana layaknya produk legislasi yang dengan demikian tunduk pada kaidah perundang-undangan. Dalam kaitan ini Prof. Bagir Manan memberi pernyataan yang sangat menarik yaitu Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Di satu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, di pihak lain Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan (UndangUndang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden).6 Dari tataran praktis, pemberian bentuk peraturan perundang-undangan terhadap pengesahan Perjanjian Internasional telah menimbulkan berbagai pertanyaan, antara lain:a. Apakah Perjanjian Internasional yang

diaplikasikan dalam Hukum Nasional adalah dalam karakternya dan formatnya sebagai materi Undang-Undang/Perpres dan bukan dalam karakternya sebagai norma perjanjian. Kelompok ini menilai tidak perlu lagi ada legislasi baru untuk memberlakukan norma perjanjian kedalam Hukum Nasional (dualisme?). Pendekatan ini tampaknya tercermin pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada pasal 7 ayat (2) menyatakan ketentuan Hukum Internasional yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut Hak Asasi Manusia menjadi Hukum Nasional.b. Kedua, pandangan yang menilai Undang-

diratifikasi oleh Undang-Undang/Perpres dapat dibatalkan oleh perundangundangan yang lebih tinggi? b. Apakah suatu Undang-Undang tidak dapat mengakui eksistensi suatu Perjanjian Internasional karena hanya diratifikasi dengan Perpres? c. Apakah Perjanjian Internasional yang disahkan dengan Undang-Undang tidak bisa langsung diimplementasikan dengan Peraturan Pemerintah atau Perpres? d. Apakah Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan Perjanjian Internasional dapat di judicial-review? Jika diidentifikasi dan dipetakan maka secara garis besar setidak-tidaknya terdapat dua pandangan yang secara dinamis hidup dalam dunia akademis dan praktisi tentang arti Undang-Undang/Perpres pengesahan/ratifikasi, yaitu:a. Pertama,

pandangan yang menilai Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian adalah produk Hukum Nasional (substantif) yang mentransformasikan materi perjanjian ke dalam Hukum Nasional sehingga status perjanjian berubah menjadi Hukum Nasional. Undang-Undang/Perpres ini telah memiliki efek normatif. Norma yang

6 Manan, Bagir Prof, Akibat Hukum di Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjauan Hukum tentang Perjanjian Internasional Tata Negara), Focussed Group ternyata jugaDiscussion,dimaksudkan untukNovember 2008. tidak Deplu-FH UNPAD, Bandung, 29 menyentuh masalah substansi aspek internal dari pengesahan/ratifikasi ini.

Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian adalah bersifat prosedural yaitu hanya merupakan persetujuan DPR/Presiden dalam jubah UndangUndang/Perpres. Undang-Undang/Perpres ini tidak memiliki efek normatif karena hanya bersifat penetapan bukan pengaturan. Pandangan ini pada tahap selanjutnya akan terbagi dua, yaitu: Pertama, pandangan yang menganggap Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian adalah menginkorporasi Perjanjian tersebut kedalam sistem Hukum Nasional. Dengan inkorporasi ini maka Perjanjian Internasional dalam karakternya sebagai norma Hukum Internasional telah memiliki efek normatif dan mengikat di dalam Hukum Nasional. Keterikatan penegak hukum terhadap norma yang dihasilkan adalah bersumber dari perjanjian itu sendiri dan bukan dari Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan (monisme?). Pandangan ini tercermin dalam praktek administrasi Negara misalnya dalam penerapan Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 1/1982. Konvensi ini telah dijadikan dasar hukum bagi Pemerintah untuk memberikan pembebasan pajak serta fasilitas diplomatik lainnya kepada para korps diplomatik di Indonesia. Dalam hal ini tidak diperlukan transformasi kaidah Konvensi kedalam Hukum Nasional dan bahkan

sampai saat ini tidak ada legislasi nasional yang memuat kaidah konvensi ini. Kedua, pandangan yang menganggap Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian hanya sekedar jubah persetujuan DPR/Presiden kepada Pemerintah RI untuk mengikatkan diri pada tataran Hukum Internasional dan belum mengikat pada tataran Hukum Nasional. Untuk itu masih dibutuhkan legislasi nasional tersendiri untuk mengkonversikan materi perjanjian menjadi materi Hukum Nasional. Tanpa legislasi nasional ini maka Indonesia sebagai subjek Hukum Internasional hanya terikat pada tataran internasional, sedangkan warganegaranya tidak terikat (dualisme?). Pandangan ini misalnya tercermin dalam praktek Indonesia menyikapi UNCLOS 1982 yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 17/1985. Undang-Undang ini hanya bersifat prosedural sehingga masih dibutuhkan suatu UndangUndang lain yang mentransformasikan UNCLOS 1982 ke dalam Hukum Nasional, yaitu Undang-Undang No. 6/1996 tentang Perairan yang pada hakekatnya adalah penulisan kembali (copy paste) pasal-pasal pada UNCLOS 1982. Undang-Undang No. 6/1996 inilah (bukan Undang-Undang No. 17/1985) yang mencabut Undang-Undang No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Permasalahan praktis yang muncul dewasa ini yang bersumber dari tarik menarik antara perbedaan berbagai pandangan tersebut adalah adanya gagasan untuk meningkatkan status Keppres No. 36 Tahun 1990 (yang meratifikasi Konvensi tentang Hak Anak 1989) menjadi Undang-Undang dengan dalih bahwa kedudukannya sebagai Keppres telah mempersulit untuk dikeluarkannya UndangUndang atau Peraturan Pemerintah guna mengimplementasikan Konvensi ini. Produk setingkat Undang-Undang (seperti UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) tidak bisa merujuk atau mendasarkan pada Konvensi tentang Hak Anak dengan alasan bahwa Konvensi ini berstatus Keppres. Pemikiran ini mewakili pandangan yang melihat Keppres 36 Tahun 1990 sebagai produk substantif sebagaimana layaknya suatu

Keppres sehingga diberlakukan logika hirarki perundang-undangan.Apapun pandangan yang hendak dianut oleh Indonesia hendaknya dapat ditegaskan dalam sistem hukum Indonesia baik dalam suatu doktrin maupun aturan konstitusi/legislasi guna menciptakan kepastian hukum serta prinsip predictability baik kalangan akademisi khususnya praktisi seperti diplomat.

Implikasi juridis dari peningkatan status ratifikasi ini akan muncul terhadap Hukum Internasional. Dari sisi Hukum Internasional ratifikasi adalah pernyataan consent to be bound by a treaty yang bersifat eenmalig (satu kali saja/final) dan tidak melihat bagaimana Hukum Tata Negara mengatur mengenai pernyataan ini. Dengan kata lain, pada saat Indonesia telah menyatakan persetujuan untuk terikat pada Konvensi ini melalui ratifikasi, maka pada saat itu pula Konvensi ini berlaku (entry into force) bagi Indonesia. Peningkatan status ratifikasi (dari Keppres ke Undang-Undang) tidak akan dapat mempengaruhi/mengubah status Konvensi vis a vis Indonesia. Dalam hal ini, peningkatan status Keppres menjadi Undang-Undang tidak akan mungkin dilanjutkan dengan penyampaian ratifikasi baru kepada Sekjen PBB karena peningkatan tingkat ratifikasi tidak dikenal dalam Hukum Internasional. Di lain pihak, pandangan kedua akan menolak gagasan peningkatan status ratifikasi ini. Menurut mereka Keppres No. 36 Tahun 1990 bersifat prosedural yang mengantar Indonesia menjadi terikat pada Konvensi tentang Hak Anak. Pandangan bahwa Keppres ini hanya bersifat prosedural didasarkan pada fakta hukum bahwa berlakunya Konvensi ini terhadap Indonesia tidak secara langsung disebabkan oleh Keppres ini melainkan disebabkan oleh instrument of ratification yang disampaikan oleh Indonesia kepada Depository (Sekjen PBB). Berlakunya Konvensi terhadap Indonesia bukan pada tanggal berlakunya Keppres melainkan pada tanggal diserahkannya instrument of ratification kepada depository. Berdasarkan padangan kedua ini maka Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak seharusnya tidak perlu merujuk Keppres ini namun langsung merujuk

pada Konvensi-nya. Menurut pandangan ini, seyogyanya tidak ada persoalan untuk mengeluarkan produk legislasi (UndangUndang atau Peraturan Pemerintah) untuk mengimplementasikan Konvensi ini karena yang diimplementasikan adalah Konvensi tentang Hak Anak (sebagai norma Hukum Internasional yang telah berlaku bagi Indonesia) bukan Keppres No. 36 Tahun 1990 sebagai suatu produk legislasi. Pandangan ini juga akan cenderung mengusulkan bahwa seyogyanya pada preamble Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

Sekalipun Hukum Tata Negara Indonesia belum memberi ketegasan tentang arti dan konsekuesi hukum dari suatu pengesahan/ratifikasi, setelah melalui pembahasan dan kajian yang intensif dengan berbagai kelompok akademis tentang pengertian pengesahan/ratifikasi ini maka kecenderungan kuat sebaiknya diarahkan pada konstruksi pemahaman tentang pengesahan/ratifikasi sbb:a. Pengesahan pada hakekatnya adalah the

international act so named whereby a State establishes on the international

sudah waktunya untuk mewacanakan suatu politik hukum tentang hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional yang dapat menjawab tentang arti dan fungsi pengesahan/ratifikasi khususnya terhadap status hukum dari Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional.

menyebutkan Konvensi-nya terlebih dahulu sehingga berbunyi: ...Mengingat Konvensi tentang Hak Anak 1989 yang disahkan melalui Keppres 36 Tahun 1990... Perlukah Politik Hukum tentang Pengesahan/Ratifikasi? Pandangan-pandangan tersebut diatas tampaknya tidak selalu kaku dan terdapat ruang untuk adanya variasi yang menggabungkan elemen masing-masing pendekatan. Selain itu, tidak tertutup adanya pandangan lain yang mungkin belum terdeteksi dan masih dikembangkan dalam dunia akademisi. Apa pun pandangan yang hendak dianut oleh Indonesia hendaknya dapat ditegaskan dalam sistem hukum Indonesia baik dalam suatu doktrin maupun aturan konstitusi/legislasi guna menciptakan kepastian hukum serta prinsip predictability baik kalangan akademisi khususnya praktisi seperti diplomat. Sehubungan dengan itu maka sudah waktunya untuk mewacanakan suatu politik hukum tentang hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional yang dapat menjawab tentang arti dan fungsi pengesahan/ratifikasi khususnya terhadap status hukum dari Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional.

plane its consent to be bound by a treaty yang diwujudkan melalui penerbitan instrument of ratification/accession oleh Menteri Luar Negeri. Pengesahan ini harus dilihat sebagai proses yang menginkorporasi materi Perjanjian Internasional ke Hukum Nasional. b. Bahwa Pengesahan dilakukan dengan Undang-Undang/Perpres harus dilihat sebagai mekanisme internal hukum ketatanegaraan untuk memberikan landasan hukum bagi Pemerintah c.q. Menteri Luar Negeri untuk mengikatkan Indonesia pada perjanjian. Dalam hal ini, Undang-Undang/Perpres dimaksud adalah instrumen yang memiliki efek prosedural bukan bukan efek normatif. c. Dengan terikatnya Indonesia pada suatu perjanjian (melalui pengesahan eksternal) maka materi perjanjian dimaksud telah mengikat baik pada tataran internasional maupun dalam sistem Hukum Nasional dan tidak dibutuhkan legislasi nasional untuk membuatnya mengikat dalam Hukum Nasional. Dalam hal ini yang dibutuhkan hanya legislasi nasional yang mengimplementasikan (bukan yang mentransformasikan) materi perjanjian. d. Konstruksi ini sejalan dengan maksud perumus Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pada waktu itu bahwa jika Perjanjian sudah disahkan dengan perundangundangan maka diasumsikan sudah mengikat dalam sistem Hukum Nasional. Hal ini tercermin dari penjelasan Pasal 13

Undang-Undang No. 24 Tahun 2000: Penempatan peraturan perundangundangan pengesahan suatu Perjanjian Internasional di dalam Lembaran NegaraDamos dumoli agusman, Lahir di aceh barat, 4 agustus 1963. beliau adalah direktur perjanjian ekososbud, direktorat jenderal hukum dan perjanjian internasional, deplu ri. Lulus dari fh unpad, bandung pada tahun 1987 lalu mendapatkan master of arts dari hull university, inggris pada tahun 1991. beliau sering memberikan kuliah umum di berbagai universitas di indonesia dan juga beberapa kali menjadi narasumber pada kegiatan diklat yang diselenggarakan oleh lemhanas.

dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui Perjanjian yang dibuat Pemerintah dan mengikat seluruh Warga Negara Indonesia.

PROF. DR. BAGIR MANAN, SH., M.CL. AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA) Pengertian-pengertian Dalam tulisan ini yang diartikan dengan : Perjanjian Internasional adalah perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 11 UUD.7 Pengesahan adalah pengesahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Bentuk Hukum Pengesahan Perjanjian Internasional7 UUD 1945, Pasal 11: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyatmembuatperjanjian dengan Negara lain.

Pasal 11 UUD tidak menyebut bentuk hukum (Undang-Undang atau bentuk lain). Yang disebut adalah persetujuan Dewan Focus Group Discussion tentang Status Perjanjian Perwakilan Rakyat, bukan produk hukumnya. Internasional dalam Sistem Hukum Indonesia Berbeda dengan UUDS 50 menyebutkan: (kerjasama Departemen Luar Negeri dengan Unpad, Bandung, 29 November 2008). Kecuali jika ditentukan lain dengan UndangUndang, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetujui dengan Undang-Undang. Ketentuan UUDS 50, Pasal 120 ayat (1), serupa dengan Konstitusi RIS, Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua.8Konstitusi RIS Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua: kecuali jika ditentukan lain dengan undang-undang federal, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan jika sudah disetujui dalam bentuk UndangUndang.8

Walaupun Pasal 11 UUD hanya menyebut dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam praktek ketatanegaraan sebelum Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 (Perjanjian Internasional), setiap perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Mengapa? Pertama: berkaitan dengan makna persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Baik berdasarkan praktek kelaziman, maupun ketentuan-ketentuan yang berlaku, dalam sistem perwakilan demokrasi, ada tiga fungsi yang melekat (dilekatkan) pada DPR yaitu fungsi legislatif (legislative function), fungsi pengesahan anggaran (budget function), dan fungsi pengawasan atau kendali (control function). Perjanjian Internasional adalah kesepakatan antara dua Negara atau lebih untuk melahirkan hukum atau persetujuan mengikatkan diri pada suatu hukum yang berlaku lintas Negara (Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000).9 Kalau pengertian Perjanjian Internasional tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR, akan termasuk fungsi membuat Undang-Undang, karena menciptakan hukum atau menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas Negara. Telah menjadi kesepahaman umum, bentuk hukum yang dibuat DPR dalam menjalankan fungsi legislatif adalah Undang-Undang. Karena tidak ada bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat atau berlaku umum yang dapat dibuat DPR, kecuali Undang-Undang. UndangUndang adalah produk fungsi legislatif DPR, karena itu, setiap Perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan DPR akan diberi bentuk Undang-Undang. Kedua: berdasarkan praktek ketatanegaraan.

memerlukan persetujuan DPR, maupun yang tidak memerlukan persetujuan DPR (executive agreement). Surat Ketua DPR, karena UUD 1945 tidak memuat ketentuan seperti diatur UUDS 50, Pasal 120 ayat (1). Dalam Ilmu Hukum Tata Negara, surat semacam ini demikian pula memorandum tertulis dikategorikan sebagai menciptakan Konvensi Ketatanegaraan walaupun tertulis bukan hukum. Hal ini sesuai dengan pengertian konvensi sebagai ketentuan (rule) yang tidak dapat ditegakkan melalui pengadilan, karena bersifat etik belaka (constitutional ethic).10 Dalam Ilmu Hukum Administrasi Negara, surat semacam ini digolongkan sebagai peraturan kebijakan (policy rules, beleidsregel), yang didasarkan pada asas manfaat (doelmatigheid), bukan berdasarkan hukum (rechtmatigheid). Ketiga: setelah UUD 1945 berlaku kembali (5 Juli 1959), melalui Pasal II (sekarang Pasal I) Aturan Peralihan, dapat diterapkan ketentuan UUDS 50, Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua. Ketentuan Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua tetap dapat diterapkan, karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, bahkan tersirat dalam Pasal 11 yang menyebut dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sekaligus mengandung makna bentuk UndangUndang. Sejak tahun 2000, argumen-argumen di atas telah dikukuhkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10.11 Kedudukan dan kekuatan mengikat Undang-Undang Perjanjian Internasional Ilmu Hukum Indonesia atau Ilmu Tata Hukum Indonesia, mengajukan berbagai sumber hukum formal antara lain peraturan perundang-undangan dan Perjanjian Internasional (traktat, treaty). Dua sumber tersebut terpisah masing-masing berdiri sendiri.

Indonesia. sumber hukum yang berdiriberdaulat Negara. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 1 angka 1: Perjanjian c. Kedaulatan atau hak Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang sendiri, dipihak d. HakPerjanjian lain asasi manusia dan lingkungan hidup. diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta e. Pembentukan kaidah hukum baru. menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukumInternasional diberi bentuk publik. f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.9

Telah menjadi praktek ketatanegaraan (konvensi) setiap Perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Di masa sebelum UndangUndang No. 24 Tahun 2000, berlaku pedoman 10 atas dasar Surat Presiden No. 2826/HK/60. Lihat, KC. Wheare, Modern Constitutions. 11 Surat ini dikeluarkan sebagai jawaban atas surat Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 9 ayat (2): Pengesahan Ketua DPR meminta ketegasan Pemerintah Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Undang-Undang No. 24 mengenai bentuk Tahun 2000, Pasal 10 Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan Jadi ada semacam kontradiksi dengan Undang-Undang apabila hukum Perjanjian keilmuan. Disatu pihak, Perjanjianberkenaan dengan: a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara. Internasional, baik yang Internasional ditempatkanwilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik b. Perubahan sebagai

peraturan perundang-undangan. (Undang-Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden).

Tetapi dipihak lain, setiap Perjanjian Internasional yang dibuat atau dimasuki diberi bentuk Hukum Nasional yaitu Undang-Undang atau Keputusan Presiden (sekarang, lebih tepat Peraturan Presiden).12 Undang-Undang dan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur (Peraturan Presiden), adalah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian ditinjau dari sumber hukum, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan masuk sebagai salah satu sumber peraturan perundangundangan. Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dipihak lain Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan (Undang-Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden). Sistematik keilmuan ini berbeda dengan misalnya pada Negara-Negara Uni Eropa (27 Negara). Semua anggota Uni Eropa tidak memberi bentuk peraturan perundang-undangan nasional (seperti Undang-Undang). Perjanjian antar anggota Uni Eropa dan peraturanperaturan yang ditetapkan Uni Eropa, berkedudukan lebih tinggi dari semua peraturan perundang-undangan nasional. Bahkan UUD harus menyesuaikan dengan traktat Uni Eropa. Perjanjian Internasional, khususnya perjanjian antar anggota, berada pada urutan teratas sumber hukum. Dengan demikian, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), memang mempunyai bentuk hukum tersendiri terpisah dari peraturan perundang-undangan nasional, seperti Undang-Undang.

Berdasarkan sistem pembagian kekuasaan Negara, apalagi pemisahan kekuasaan, hubungan luar negeri termasuk membuat atau memasuki Perjanjian Internasional masuk ke dalam lingkungan kekuasaan eksekutif bahkan sebagai kekuasaan eksklusif (exclusive power) eksekutif (dhi. Presiden atau Pemerintah yang bertindak atas kuasa atau atas nama Presiden). Jadi, kalau pernah ada pengesahan suatu Perjanjian Internasional atas inisiatif DPR merupakan suatu penyimpangan atas Asas Pembagian Kekuasaan sebagai kekuasaan eksklusif Presiden (Pemerintah). Hal ini serupa dengan hak budget. Meskipun DPR mempunyai hak budget, tetapi tidak mempunyai hak inisiatif mengajukan RUU APBN. Membuat dan melaksanakan APBN adalah kekuasaan eksekutif, bahkan lebih khusus sebagai kekuasaan administrasi Negara. Hal semacam ini dapat diperluas pada yang dalam ilmu hukum disebut Undang-Undang formil (formeel wet)13 lain, seperti Undang-Undang pembentukan daerah otonom, pembentukan pengadilan tinggi, semestinya inisiatif hanya pada Presiden. Dalam praktek dijumpai pembentukan Kabupaten, Kota, Propinsi atas inisiatif DPR.

Kedua, DPR tidak mempunyai Hak Amandemen dalam pengesahan Perjanjian Internasional. DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui, menerima atau menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional. Rancangan Undang-Undang suatu Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan yang sudah diparaf oleh masingmasing Pemerintah. Dalam hal memasuki Perjanjian Internasional, DPR hanya setuju atau Kembali kepada memberi bentuk Undangtidak setuju mengikatkan diri pada Perjanjian Undang Perjanjian Internasional. Sebagai Internasional yang sudah ada. Jadi, kalau DPR, konsekuensi diberi bentuk Undang-Undang, baik di dalam atau di luar sidang berpendapat maka segala tata cara membentuk Undangagar ada perubahan isi suatu Perjanjian Undang berlaku pada peraturan perundangInternasional, sebagai syarat pengesahan, undangan Perjanjian merupakan sesuatu DPR tidak mempunyai hak Internasional, kecuali: ucapan atau tindakan amandemen dalam pengesahan tanpa wewenang. Perjanjian Internasional. DPR Pertama, hak inisiatif hanya berwenang menyetujui atau membuat atau tidak menyetujui, menerima atau Setiap Undangmemasuki suatu Undang akan serta menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional merta mengikat setelah Perjanjian Internasional. semata-mata ada pada segala tata cara Presiden. DPR tidak 13 Undang-undang formil (formeel wet) berbeda dengan Undangmempunyai hak Undang dalam arti formil (wet in formeel zijn). Undang-undang formil inisiatif membuat atau memasuki suatu adalah Undang-Undang yang dinamakan Undang-Undang karena cara pembentukannya sehingga diberi nama Undang-Undang. Undang-undang Perjanjian Internasional. Mengapa?12

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

formil tidak memenuhi kriteria mengikat (secara ) umum, bahkan isinya lebih merupakan sebuah beschikking. Berbeda dengan Undang-Undang dalam arti formil. Selain berbentuk Undang-Undang, juga mengikat (secara) umum.

melahirkan Undang - Undang dipenuhi, kecuali : (1) Undang-Undang itu sendiri menyatakan saat (waktu) mulai berlaku. (2) Undang-Undang itu sendiri menyatakan akan berlaku setelah ada peraturan pelaksana (implementing regulation). Suatu contoh, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang No. 5 Tahun 1986). Undang-undang ini menegaskan akan berlaku setelah lima tahun dan ada peraturan pelaksana (Peraturan Pemerintah).

serta merta mengikat, kecuali Undang-Undang tersebut menentukan lain. Salah satu tata cara yang perlu dicatat adalah memuat dalam Lembaran Negara. UUD 1945 (termasuk setelah perubahan), tidak memuat fungsi hukum memuat dalam Lembaran Negara. Berbeda dengan UUDS 50 yang menegaskan: Pengundangan, terjadi dalam bentuk menurut Undang-Undang, adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat. Hal serupa dalam Konstitusi RIS. Demikian pula dalam AB dan IS.14

Bagaimana praktek ketatanegaraan yang Kasus yang sama berlaku juga pada berlaku. Ketentuan wajib memuat dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional. Lembaran Negara dimuat dalam UndangUndang-Undang Perjanjian Internasional akan Undang yang bersangkutan dengan serta merta berlaku sebagaimana Undangmenyebutkan: Agar setiap orang dapat Undang pada umumnya, sepanjang tidak ada mengetahuinya, memerintahkan pengundangan ketentuan pengecualian di atas. Khusus untuk Undang-Undang ini melalui Lembaran Negara Undang-Undang Perjanjian Internasional dapat Republik Indonesia. ditambahkan klausula lain sehingga tidak serta merta berlaku. Secara kebahasaan, ketentuan di atas (1) Syarat jumlah Negara penandatangan. seolah-olah hanya bersifat pengumuman (agar Misalnya setelah ditandatangani lebih dari setiap orang mengetahui). Apakah sekedar separoh anggota PBB. pengumuman? (2) Mencantumkan syarat peraturan pelaksanaan (implementing regulation) baik Ketentuan agar setiap orang mengetahui... untuk seluruh atau pasal-pasal tertentu. merupakan pengejawantahan fiksi hukum: Misalnya, terhadap ketentuan yang setiap orang dianggap mengetahui Undangmenimbulkan kewajiban pada warga negara Undang. Setiap Undang-Undang atau (kewajiban individual). peraturan yang telah dimuat dalam Lembaran (3) Memerlukan penyesuaian hukum nasional, Negara, tidak ada lagi alasan mengatakan tidak seperti penyesuaian UUD yang memuat mengetahui, karena itu tidak terikat. Dengan ketentuan berbeda dengan Perjanjian perkataan lain, memuat dalam Lembaran Internasional yang bersangkutan. Negara yang secara kebahasaan seolah-olah (4) Praktek ketatanegaraan yang senantiasa sekedar untuk diketahui (mengetahui), secara memerlukan peraturan pelaksana sebagai substantif mengandung arti dengan dimuat syarat Perjanjian Internasional berlaku dalam Lembaran Negara berarti setiap orang efektif. Praktek ini seyogyanya tidak terikat. Karena itu Undang-Undang tentang berlaku bagi Negara yang memberi bentuk suatu Perjanjian Internasional dimuat dalam Undang-Undang Lembaran Negara, Harus diakui ada kemungkinan suatu pada Perjanjian Undang-Undang Perjanjian Internasional, maka dengan seperti juga Undang-Undang lain, Internasional. sendirinya mempunyai mengatur sesuatu sangat umum, lebihkekuatan mengikat, lebih kalau akan berlaku pada individu, Di atas telah sehingga memerlukan peraturan dikemukakan, pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan sepanjang Undang14 dibuat karena kebutuhan penerapan, (2), menggunakan kata pengundangan, UUDS 50, Pasal 100 ayat Undang Perjanjian bukan sebagai syarat berlaku Pasal 143 ayat (2) menggunakan kata pengumuman Konstitusi RIS, efektif. dengan maksud yang sama yaitu pengundangan. Dalam terjemahan Internasional telah bahasa Belanda, baik UUDS 50 Pasal 100 ayat (2) maupun Konstitusi RIS dibuat dengan tata cara Pasal 143 ayat (2), sama-sama diterjemahkan afkondiging yang secara baku diartikan pengundangan. yang diatur UndangAB, Pasal 1: De bepalingen door de Koning, of, in zijnen noam, door den Undang (UndangGouverneur General vosgesteld, verkrijgen in Indonesie kracht van wet Undang No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Tata door hare afkondiging, in de vorm bebuald bij het reglement op het beleid der regering. Tertib DPR), Undang-Undang tersebut akan IS, Pasal 95 ayat (2): Die afkondiging wordt gerekend geschied te zijndoor plaatsing in het Staatsblad van wed-indie. Zij is, in geldigen vorm geschied, de eenige voorwaarde der verbindbaarheid.

kecuali kalau ada diuraikan di atas.

klausula

yang

sudah

Persoalannya, mungkin ditinjau dari bentuk hukum dan prinsip-prinsip pembentukan Undang-Undang, sudah semestinya UndangUndang Perjanjian Internasional mengikat, tetapi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 sebagai Undang-Undang yang mengatur tata cara membuat atau memasuki Perjanjian Internasional, tidak mencantumkan ketentuan mengikat tersebut. Lebih-lebih lagi jika dihubungkan dengan praktek ketatanegaraan yang selalu menyediakan peraturan pelaksanaan agar Perjanjian Internasional berlaku efektif. Bukankah dalam keadaan semacam itu, praktek ketatanegaraan yang telah menjadi konvensi mempunyai kedudukan kuat, bahkan lebih kuat? Acap kali ada kekeliruan (misleading) mengartikan hubungan antara hukum atau peraturan perundang-undangan yang umum dengan yang khusus. Seolah-olah yang khusus harus atau pasti mengesampingkan yang umum. Semestinya tidak demikian. Prinsip yang benar adalah, ketentuan-ketentuan yang bersifat umum tetap berlaku pada peraturan khusus yang bersangkutan. Mari simak bunyi Pasal 1 KUH Dagang: Ketentuan-ketentuan KUH Perdata, sepanjang tidak diatur khusus dalam Kitab Undang-Undang ini (maksudnya KUH Dagang) tetap berlaku (diterapkan). Hal serupa dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 yang tidak mengatur berbagai akibat hukumPROF. DR. BAGIR MANAN, SH., M.CL. Bagir Manan adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, kelahiran Lampung, 6 Oktober 1941. Pada tahun 2001, beliau diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kariernya di bidang hukum tergolong panjang. Ia pernah menjabat sebagai Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman. Sebelumnya, ia menjabat Direktur Perundang-undangan Ditjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman (1990-1995), serta dosen luar biasa di UI, UGM dan sejumlah perguruan tinggi lain. Ia alumnus FH Unpad (1967), Master of Comparative Law Southern Methodist di University Law School Dallas Texas AS (1981), dan doktor ilmu hukum tata negara lulusan Unpad tahun 1990.

Perjanjian Internasional yang berbentuk Undang-Undang, maka berlaku asas dan ketentuan berlakunya suatu Undang-Undang. Karena sudah ada Undang-Undang (UndangUndang No. 24 Tahun 2000) yang mengatur Perjanjian Internasional dalam bentuk UndangUndang, maka segala sesuatu harus diselesaikan dengan bentuk Undang-Undang termasuk tata cara berlaku suatu Undang-Undang. Harus diakui ada kemungkinan suatu Undang-Undang Perjanjian Internasional, seperti juga Undang-Undang lain, mengatur sesuatu sangat umum, lebih-lebih kalau akan berlaku pada individu, sehingga memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan dibuat karena kebutuhan penerapan, bukan sebagai syarat berlaku efektif. Penutup Ditinjau dari teori dan tata cara pembentukkan Undang-Undang, suatu UndangUndang yang materi muatannya berasal dari Perjanjian Internasional akan serta merta mengikat seperti Undang-Undang lainnya. Agar suatu Undang-Undang yang materi muatannya bersumber dari Perjanjian Internasional tidak perlu memerlukan UndangUndang atau peraturan pelaksanaan (implementing regulation), kecuali UndangUndang tersebut menentukan sendiri peraturan pelaksanaan.

DR. HARJONO, SH., M.CL.

PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945there are wholes; they have elements and those elements have relations which form structure. Lebih lanjut dinyatakan: Sourcebased system has legal rules or norms for elements. These are related by relations of authority or validity to higher rules. These relations are clasically formed into a pyramidal and hierarchal structure with one ultimate rule, basic norm or legal science fiat at the top. The wholeness factor is provided by the structure itself and by its function of providing the authoritative basis for all law in community. Dengan berdasar pada pengertian sistem sebagaimana di atas uraian di bawah ini akan ditinjau dari Perjanjian Internasional dalam UUD 1945. Dasar Hukum Dasar Hukum Perjanjian Internasional dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan: (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. (2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan UndangUndang. Pasal 11 UUD tersebut satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan didalamnya adanya kata Perjanjian Internasional, oleh karena itu perlu dikaji lebih dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal Perjanjian Internasional.

Pendahuluan Konstitusi merupakan hukum tertinggi

Lokakarya Evaluasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, 18 19 Oktober 2008, Surabaya.

dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu Negara oleh karenanya pembuatan Perjanjian Internasional yang merupakan salah satu dari aktivitas penyelenggaraan Negara sudah seharusnya didasarkan ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai pondasi dalam penyusunan sistem Hukum Tata Negara, oleh karena itu pembuatan Perjanjian Internasional juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi. Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik diantara pakar hukum maupun praktisi penyelenggara Pemerintahan Negara mengenai dasar konstitusional yang mengatur pembuatan Perjanjian Internasional. Perbedaan yang menyebabkan pandangan yang beragam tersebut mempunyai implikasi baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar pengaturan tentang Perjanjian Internasional. Uraian di bawah ini mencoba untuk menemukan dasar-dasar pengaturan konstitusional pembuatan Perjanjian Internasional menurut UUD 1945 dalam suatu kesisteman. Charles Sampford melihat bahwa ada pandangan yang umum mengenai sistem dan ciri atau karakteristik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam sistem terdapat:

Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya.

Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi: (1) kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD); (2) kekuasaan membentuk Undang-Undang (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan); (3) kekuasaan sebagai kepala Negara. Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya meliputi kekuasaan saja yaitu: (1) kekuasaan eksekutif; (2) kekuasaan sebagai kepala Negara. Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala Negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili Negara dalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan lembaga Negara lainnya. Bentuk Hukum Sebuah Perjanjian Internasional pada hakekatnya adalah merupakan penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam hal ini antar Negara yang membuatnya. Dengan demikian dalam sebuah Perjanjian Internasional tercerminkan kehendak dua pihak. Setiap Negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili Negara tersebut dan dari wakil itu pula lah pihak Negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden lah yang akan menyatakan, membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan

Pasal 11 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam substansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD ini mengalami perubahan yang sangat banyak apabila dibandingkan dengan Bab III UUD sebelum perubahan. Disamping perubahan isi pasal-pasal perubahan UUD juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu : Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C. Pasal 11 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, dan setelah perubahan UUD ketentuan yang terdapat dalam Pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) menyatakan: Presiden memegang kekuasaan membentuk UndangUndang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi: Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat (1) UUD setelah perubahan berbunyi: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pembuatan Undang-Undang dari tangan Presiden ke DPR. Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD. Sebelum perubahan UUD, Kekuasaan

Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh Undang-Undang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi pihak lain yang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan Undang-Undang.

dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan Negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundangundangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden. Pasal 11 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harus berbentuk Undang-Undang. Pasal 11 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukum tersebut haruslah Undang-Undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan Undang-Undang dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dalam bentuk hukum Undang-Undang. Apabila pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain diwadahi bentuk hukum Undang-Undang maka artinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan Undang-Undang dan hal yang demikian akan menimbulkan persoalan hukum. Pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain mempunyai karakteristik yang berbeda. Sebagai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu konflik dengan Negara lain yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dan kemudian terpaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan untuk menyatakan perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR

sedang reses. Kalau proses pembuatan Undang-Undang harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dan dapat menyebabkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak dan harus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahas suatu Rancangan Undang-Undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain yang memerlukan kesepakatan bersama antara ke dua belah pihak. Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara Negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan Perjanjian Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kedua pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan diantara keduanya adalah pernyataan masingmasing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat mengikat kepada kedua belah pihak. Praktik pengesahan dengan Undang-Undang menimbulkan persoalan. Undang-Undang adalah bagian dari Hukum Nasional sedangkan perjanjian dengan Negara lain merupakan kesepakatan antar Negara yang berada di luar ranah urusan internal Negara. Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh UndangUndang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi pihak lain yang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan UndangUndang. Praktik pengesahan Perjanjian Internasional menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain. Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah tepat karena

Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional.

perjanjian dengan Negara lain dilakukan antar pihak yang setara kedudukannya. Hal berikutnya menyangkut naskah otentik dari Perjanjian Internasional. Dalam sebuah Perjanjian Internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalah penentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diperlukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antar pihak mengenai penafsiran Perjanjian Internasional yang disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian Internasional yang telah disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian Internasional dituangkan dalam bentuk hukum UndangUndang dan kemudian karena suatu sebab terjadi perbedaan dengan yang disahkan dalam Undang-Undang apakah kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam lampiran Undang-Undang tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akan menimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah Negara lain harus mengakui bahwa lampiran yang terdapat dalam Undang-Undang Indonesia sebagai naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah Perjanjian Internasional yang dilampirkan dalam UndangUndang ternyata tidak diakui sebagai naskah otentik padahal Undang-Undang telah diundangkan sebagaimana mestinya. Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional. Dalam ketentuan UUD Pasal 20 ayat (5) dinyatakan: Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkah oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-

Undang dan wajib diundangkan. Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini. Presiden telah mengajukan naskah Perjanjian Internasional kepada DPR, dan kemudian DPR telah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalah mekanisme pembuatan Undang-Undang, maka ketentuan Pasal 20 ayat (5) menjadi mengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan perjanjian tersebut menjadi Undang-Undang terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian menyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam Perjanjian Internasional karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dan kemungkinan juga pihak Negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanya ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD akan menimbulkan masalah dalam kasus yang demikian. Bentuk perjanjian dalam Undang-Undang juga menjadikan tidak fleksibel dalam kasus perlunya dilakukan pemutusan perjanjian dengan Negara lain yang harus dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri atau memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presiden akan lebih fleksibel. Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasional dapat dilakukan di luar mekanisme pembuatan Undang-Undang. Dalam banyak Undang-Undang telah dikembangkan mekanisme persetujuan DPR terhadap usulan Presiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk UndangUndang, sebagai misal pengangkatan jabatanjabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Praktik yang terjadi di Negara lain tidak selalu memberi bentuk Perjanjian Internasional sebagai Undang-Undang atau statute/law, Amerika Serikat menentukan dalam Konstitusi bahwa Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat dan dengan demikian tidak dalam bentuk Undang-Undang, karena Undang-Undang dibuat oleh Congress namun demikian Perjanjian Internasional tetap mengikat Negara tersebut. Persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasional Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubungan antara Hukum Internasional dan

dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya, baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.

Hukum Nasional, namun mengatur kewenangan konstitusional Presiden untuk membuat Perjanjian internasional dalam sistem UUD 1945. Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensiil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untuk mewakili Pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuat Perjanjian Internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek Hukum Internasional ketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat ke luar yaitu dalam konteks hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan Negara lain yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia. Apabila secara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sah secara konstitusional dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembaga Negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut. Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal. Pasal 11 menetapkan syarat yang harus dipenuhi apabila Presiden menggunakan haknya untuk melakukan hubungan dengan Negara lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menentukan syarat tersebut. Disamping membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden membuat Perjanjian Internasional lainnya yang: (1)

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, (2) mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang. Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah terkait dengan pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan kontrak bisnis internasional yang dilakukan Negara sebagai subyek Hukum Perdata. UUD mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat Perjanjian Internasional lain (demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban Negara harus dengan persetujuan DPR. Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah Perjanjian Internasional lainnya, yang maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk menetapkan apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional lainnya. Pengertian yang lain tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian termasuk dalam pengertian Perjanjian Internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan Subyek Hukum Internasional lain selain Negara. Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan Subyek Hukum Internasional lain yang memerlukan persetujuan DPD adalah perjanjian yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara. Perlu digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik Hukum Internasional. Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat, DPR diperlukan persetujuannya untuk membuat perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demikian karena menyangkut kepentingan bangsa. Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan Organisasi Internasional yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan DPR dengan alasan karena pihaknya bukan Negara dan karena bersifat perdata. Alasan demikian tidaklah tepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya bukanlah siapa pihak atau mengenai hal apa materi suatu Perjanjian Internasional tersebut, tetapi karena perjanjian yang demikian menyangkut beban

yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadi relevan pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan andai saja di kemudian hari timbul perselisihan antara Negara Indonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasioal lain karena perselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar negara sehingga bukan menjadi bagian Hukum Publik Internasional. Pertimbangan konstitusionalitasnya karena isi putusan lembaga tersebut akan mempunyai dampak langsung kepada Negara dan bangsa, baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda sebagai hukuman yang dibebankan kepada Negara selaku badan hukum perdata tetap mempunyai dampak pada kehidupan Negara atau Bangsa karena jelas akan mengurangi kemampuan finansial Negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional merupakan kesepakatan dari dua entitas hukum yang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidak ada pemaksaan kehendak. Karena merupakan kesepakatan maka dasar hukum dari kewajiban untuk terikat adalah kehendak masing-masing pihak. Disisi lain masing-masing Negara mempunyai ketentuan di dalam hukum nasionalnya yang menetapkan lembaga atau organ Negara mana yang diberi kewenangan untuk mewakili Negara tersebut dalam berhubungan dengan Negara lain. Perjanjian Internasional yang lahir atas dasar kesepakatan ini menempatkan para pihak dalam posisi setara dan oleh karenanyaPemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luar negeri.

perjanjian internasional mempunyai dasar good faith antar para pihak. Baik pihak

pertama maupun pihak kedua secara voluntair menyusun pokok-pokok yang diperjanjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satu pihak berkebaratan maka dapat menolak, atau membuat suatu kesepakatan baru yang kemudian disepakati bersama. Apabila suatu Perjanjian Internasional membebani kewajiban maka pihak yang terbebani memerima beban itu atas pesetujuannya sedangkan pihak lain percaya bahwa kewajiban tersebut akan dipenuhi. Perjanjian Internasional sebagaimana perjanjian pada umumnya berlandas atas prinsip good faith and mutual trust antar pihaknya, dengan demikian pacta sunt servanda menjadi dasar mengapa para pihak terikat dengan yang diperjanjikan. Dari segi internal Negara yang menjadi pihak dalam Perjanjian Internasional, ada kewajiban untuk menghargai dan memberi akibat hukum pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh lembaga atau organ Negara yang secara hukum diberi wewenang oleh konstitusi untuk mewakili Negara dalam berhubungan dengan pihak luar atau Negara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lembaga Negara yang lain termasuk juga lembaga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hukum pada Perjanjian Internasional yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta dengan prosedur menurut hukum yang disyaratkan. Pemberian akibat hukum atas dasar pacta sunt servanda saja seringkali dapat menimbulkan persoalan karena kemungkinan adanya pihak lain yang tidak secara itikad baik melaksanakan perjanjian yang pernah disepakati oleh wakilnya, namun hanya karena adanya itikad tidak baik saja tidak menyebabkan putus atau berakhirnya Perjanjian Internasional tersebut secara otomatis. Untuk menentukan apakah akan tetap memberikan akibat hukum Perjanjian Internasional di dalam negeri, asas pacta sunt servanda perlu dilengkapi dengan asas reciprocity yaitu bahwa pelaksanaan Perjanjian Internasional tersebut di Indonesia akan digantungkan pada pelaksanaan Perjanjian Internasional yang bersangkutan di Negara lain sebagai pihak dalam perjanjian. Kepastian penerapan secara reciprocity ini dapat dipastikan dengan meminta konfirmasi kepada Negara yang bersangkutan melalui jalur diplomatik. Hal demikian perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dalam arti luas yaitu jangan sampai Perjanjian Internasional hanya membebani kewajiban secara sepihak saja.

Pemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luar negeri. Apabila Presiden telah menggunakan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi maka sebagai konsekuensinya hasilnya pun harus diterima sebagai konstitusional karena dengan demikian akan berarti juga melaksanakan perintah konstitusi. Pemberian tempat Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional merupakan salah satu pencerminan penegakan konstitusi. Tanpa harus mencarikan dasarnya dalam Konvensi Wina mengenai the Law of Treaty, dasar mengikat Perjanjian Internasional terdapat dalam konstitusi yang tidak mensyaratkan Perjanjian Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kalau toh Indonesia belum pernah melakukan akseptasi terhadap the Law of Treaty tidak berarti bahwa Indonesia tidak mempunyai dasar hukum untuk memberlakukan Perjanjian Internasional dalam hukum nasionalnya. Bagi Negara yang tidak pernah melakukan akseptasi terhadap the Law of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembuatan Perjanjian Internasional dengan Negara lain dan menerima ketentuan the Law Treaty sebagai acuannya, maka the Law Treaty dapat dianggap secara substansi yang telah menjadi kebiasaan internasional sehingga dapat menjadi salah satu sumber Hukum Internasional. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Bagi Putusan Pengadilan Hakim mendasarkan putusannya pada sumber-sumber hukum yang dapat berupa sumber hukum dalam pengertian materiil dan sumber hukum dalam pengertian formil. Ada kalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yang dihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil, yaitu peraturan perundang-undangan yang ada. Sementara itu Hakim dilarang menolak memberi putusan dengan alasan bahwa tidak terdapat hukum yang mengatur, oleh karena itu Hakim harus menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim dapat dilakukan dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang

Kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum bagi Hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil Perjanjian Internasional yaitu Undang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan Perjanjian Internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan.

salah satu diantaranya dengan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di masyarakat yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memang selayaknya karena dianggap sebagai adil. Kebiasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal dan nasional tetapi juga di masyarakat Internasional. Perjanjian Internasional yang bersifat multilateral dan kemudian banyak diratifikasi oleh Negara-Negara di dunia, maka secara substantif dapat dianggap sebagai mempunyai nilai keadilan yang diterima oleh banyak Negara, oleh karenanya Hakim nasional dapat mengambil substansi yang terdapat dalam Perjanjian Internasional tersebut sebagai sumber hukum bagi putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya yaitu Perjanjian Internasional tetapi atas pertimbangan bahwa secara substantif telah terbentuk kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bangsa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah banyak Negara menerimanya dengan cara melakukan ratifikasi. Dengan demikian banyaknya Negara yang melakukan ratifikasi menjadi bukti bahwa substansi yang diratifikasi telah diterima sebagai sesuatu yang layak dan adil, dengan demikian kebiasaan internasional tersebut dapat dirujuk oleh Hukum Nasional dalam rangka memberi rasa keadilan melalui putusannya. Disamping sumber hukum materiil, Hakim dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai sumber hukum formil, yang utamanya adalah Undang-Undang. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Hakim bahkan wajib untuk mendasarkan putusannya pada Undang-Undang. Kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum bagi Hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil Perjanjian Internasional yaitu Undang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan Perjanjian Internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi

kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan. Dalam ilmu hukum, Perjanjian Internasional atau Traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari Undang-Undang. Praktik di Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi Perjanjian Internasional dalam bentuk UndangUndang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum didasarkan atas bentuk formil Undang-Undang pada hal bukan. Status Perjanjian Internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusilah yang menjadikan Perjanjian Internasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika menunjukkan secara jelas perbedaan tersebut. Law atau Statute yang dibuat oleh Congress merupakan sumber hukum bagi Hakim, sedangkan Perjanjian Internasional tidak dituangkan dalam bentuk Law atau Statute yang dibuat oleh Congress, tetapi Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat, namun demikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa Perjanjian Internasional sebagai the law of the land. Meskipun Perjanjian Internasional karena sifatnya dan bukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, namun untuk diterapkan dalam putusan haruslah dilihat sifat masing-masing norma yang terdapat dalam Perjanjian International. Sangatlah mungkin bahwa norma yang ditimbulkan oleh pasal-pasal dari Perjanjian Internasional mempunyai daya ikat atau daya berlaku yang berbeda. Sebagai sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atau Article 111 dari Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbritral Award 1958 yang berbunyi: Each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rule of procedure territory where the award is relied upon under the condition laid down in the following article. Apabila Konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat maka seharusnya Hakim menerapkan langsung isi Pasal ini Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasional diperlukan manakala jika adaHakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan Perjanjian Internasional.

disyaratkan Article 111 tersebut. Hal demikian tentunya akan berbeda dengan pelaksanaan dari Article yang terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Article 20 Konvensi ini yang berjudul Illicit Enrichment menyatakan Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income. Pasal ini tidak dapat diterapkan oleh Hakim karena jelas bahwa ketentuan ini mewajibkan Pemerintah untuk mengambil langkah legislatif lebih dahulu guna menetapkan perbuatan illicit enrichment sebagai perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat publik yang sangat mencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkan dengan gaji

Dr. Harjono, sh., m.cl. S1, Sarjana Hukum (S.H.) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1977; S2, Master of Comparative Law (M.C.L.) School of Law, Southern Methodist University, Dallas-USA, 1981; S3, Doktor Ilmu Hukum (Dr.) Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 1994.

resminya. Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasional diperlukan manakala Hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan Perjanjian Internasional. Kesimpulan Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan Hukum Perjanjian Internasional dapat disimpulkan hal-ha1 sebagai berikut: Sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, Perjanjian Internasional seharusnya berwadah hukum Keputusan Presiden karena Presiden adalah wakil Negara dalam berhubungan dengan Negara lain. a. Adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi Perjanjian Internasional adalah Undang-Undang, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan Undang-Undang.

permintaan pelaksanaan putusan arbitrase asing asalkan dilaksanakan under the condition laid down in the following article sebagaimana

b. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk Perjanjian Internasional lain, karena UUD menganggap penting keterlibatan DPR untuk memutuskan hal-ha1 yang berakibat pada beban negara atau yang mengakibatkan perlunya pembentukan dan perubahan Undang-Undang, bukan didasarkan atas pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan privat. c. Perjanjian Internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi sumber hukum dalam Hukum Nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam

bentuk Undang-Undang, sehingga Perjanjian Internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum UndangUndang. d. Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yang terdapat Perjanjian Internasional yang menimbulkan hak dan bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan. e. Pengesahan Perjanjian Internasional dalam bentuk atau wadah Undang-Undang menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera dibuat aturan yang baru.

PROF. DR. IBRAHIM R. SH., MH.

STATUS HUKUM INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI DALAM HUKUM NASIONAL (Permasalahan teoritik dan praktek)Jika dilihat dari Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh Focus Group Discussion (FGD), kajian yang harus dilakukan pada tataran teori dan praktek, maka level makalah ini, seperti derajat sebuah disertasi, suatu beban dan tanggungjawab yang tidak ringan, tapi menarik, dan mudah-mudah bisa dicapai, sehingga hasil dari FGD dapat dijadikan pijakan operasional dalam memperjuangkan harkat dan martabat Bangsa di era globalisasi saat ini. Namun, sejarah menunjukkan bahwa segala hal yang dilakukan Bangsa Indonesia sangat tergantung pada selera para penguasa (orde lama, orde baru, orde reformasi), karena UUD 1945 atau UUD NRI 1945 tidak di desain berdasarkan kerangka ketatanegaraan yang terstruktur. Praktek penerapan hukum, diawali dengan identifikasi aturan hukum dan

Latar Belakang dan Permasalahan

saat yang sama akan kemungkinan, yaitu:

dijumpai

empat

1. Kesenjangan antara das sollen dan das sein (benturan antara teori dan praktenya); 2. Leemten in het recht (kekosongan hukum); 3. Vege normen (norma kabur); dan 4. Antinomi (konflik norma). Persoalan dasar yang dihadapi Negara lndonesia dari dulu sampai sekarang adalah pada fundamen (grand unified theory). Persoalan dan pertanyaan yang dimunculkan oleh TOR untuk dapat diberikan jawaban, teoritik maupun praktek, sebagai berikut: Sistem Hukum Nasional belum tegas mengatur mengenai hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional? Bagaimanakah mengimplementasikan Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional? Lokakarya Evaluasi Undang-Undang No. 24 Belu Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, m 18 19 Oktober 2008, Surabaya. berkembangnya doktrin dan praktek tentang Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional? Bagaimana suatu Perjanjian Internasional dapat diterapkan pada suatu persoalan yang dihadapi? Apakah hukum nasional lebih tinggi derajatnya dari pada Hukum Internasional atau sebaliknya lndonesia menganut aliran monisme atau dualisme atau campuran dalam hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional? Posisi Hukum Internasional dalam Hukum Tata Negara Indonesia? Pengaturan Hukum Tata Negara Indonesia tentang status Hukum Internasional? Pengaturan UUD NRI 1945 tentang status Hukum Internasional? Landasan Teoritik Teori dan praktek merupakan dua hal yang berpasangan, kalaupun tidak jarang keduanya bertentangan, tetapi teori tanpa praktek tidaklah lengkap dan praktek tanpa teori tidak akan pernah mapan. Untuk mengkaji pengaturan, posisi, dan kedudukan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional dapat ditinjau dari berbagai segi sebagai implementasi dari:

a. konsep Negara hukum yang dipengaruh aliran hukum yang melekat padanya; b. sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan Negara yang dianut dan menentukan kedudukan dan hubungan kerja antara lembaga Negara; c. Negara yang berdaulat sebagai Subyek Hukum Internasional yang melahirkan hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional (Negara sebagai Subyek Hukum Internasional diwakili oleh eksekutif); d. apakah Negara hukum menurut Soepomo hirarki (salah satu the founding fathersIndonesia) memberi arti rechtstaat sebagai Negara berdasarkan atas hukum, sebenarnya yang diinginkan oleh Soepomo adalah mensintesakan unsur rechtstaat dengan rule of law, tetapi belum sempat diselesaikan dan bagaimana bentuk refleksinya belum jelas.

perundang-undangan nasional seirama dengan hirarki Hukum Internasional. e. dalam praktek hubungan hukum nasional dengan hukum internasional dikenal dua aliran, yaitu monisme dan dualisme. Teori kewenangan Negara Berdasarkan atas Hukum Negara hukum menurut Soepomo (salah satu the founding fathers Indonesia) memberi arti rechtstaat sebagai Negara berdasarkan atas hukum, sebenarnya yang diinginkan oleh Soepomo adalah mensintesakan unsur rechtstaat dengan rule of law, tetapi belum sempat diselesaikan dan bagaimana bentuk refleksinya belum jelas. Empat unsur rechtstaat dari Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl, yaitu jaminan perlindungan HAM, pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika, tindakan Pemerintah berdasarkan atas Undang-Undang, dan Peradilan Administrasi Negara. Ke-empat unsur tersebut belum lengkap untuk dikonstruksikan dalam konsep Negara hukum Indonesia, oleh sebab itu, masih diperlukan dua unsur dari rule of law A.V. Dicey. Unsur yang belum tercermin dari rechtstaat yaitu supremacy of law dan equality before the law. Untuk mensintesakan keduanya dengan jiwa bangsa yang disebut dengan Pancasila, namun harus disadari bahwa karakter rechtstaat ber-umbrella dan refleksi dari civil law system dan rule of law ber-umbrella dan refleksi dari common law system. Kemudian

the founding fathers, memilih sistem pemerintahan Presidensial yang merupakan refleksi dari rule of law, pembagian kekuasaan memilih percampuran yang merupakan model dari pembagian kekuasaan pada sistem pemerintahan Parlementer dalam bayangbayang logika trias politika. Namun, percampuran kekuasaan yang dipilih tidak menggunakan bayang-bayang logika trias politika, tetapi melahirkan Lembaga-lembaga Negara, yaitu Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara dan boleh dikatakan tanpa bentuk. Kini, setelah amandemen UUD 1945 makin tidak menentu, yaitu melahirkan main states organ (lembaga negara utama), auxiliary state organ (lembaga negara bantu), dan komisi Negara. Lembaga legislasi nasional berdasarkan UUD NRI 1945 adalah DPR dan Presiden, karena Presiden sebagai bagian dari lembaga legislasi, maka setiap melakukan dan melaksanakan Hukum Internasional harus dengan persetujuan DPR, perhatikan macam dan jenis Hukum Internasional. Sistem Pemerintahan dan Pembagian Kekuasaan Pemegang Hak Paten sistem pemerintahan yang menjadi pilihan saat ini adalah Inggris dengan sistem pemerintahan Parlementer sebagai mother of parliament, Amerika Serikat dengan sistem pemerintahan Presidensial sebagai mother of presidentialism, dan Perancis dengan sistem pemerintahan Semi-Presidensial sebagai mother of semi-presidentialism. Negara-negara lain sebagai pemegang lisensi dengan varian-varian yang disesuaikan perkembangan sejarah ketatanegaraanya, pilihan terbanyak adalah sistem pemerintahan parlementer. Sistem Pemerintahan Parlementer Sistem pemerintahan Inggris di mana kepala Negara adalah Raja/Ratu, Eksekutif adalah Perdana Menteri yang berasal dari anggota Badan Perwakilan yang menang dalam Pemilu (Ketua Partai), maka yang disebut Parlemen di Inggris adalah Raja/Ratu, Perdana Menteri, dan Badan Perwakilan (House of Lords dan House of Commons). Parlemen terdiri dari: raja, wakil bangsawan, dan wakil rakyat. Kerajaan lnggris melaksanakan konsep kekuasaan yang sifatnya monistik, artinya raja, wakil golongan bangsawan, dan wakil rakyat berada dalam satu wadah yang disebut Parlemen. Parlemen merupakan hak untuk membuat atau tidak membuat suatu aturan hukum apapun, tidak

seorangpun atau suatu badan yang diakui oleh hukum mempunyai hak mengubah atau meniadakan hukum yang dibuat oleh Parlemen (dikenal dengan Supremasi Parlemen). Inggris menjalankan pemerintahan yang demokratis dan sangat menghormati kebiasaan. Sistem Parlemen ditandai oleh hubungan kerja sama yang erat antara Raja, wakil, bangsawan, dan wakil rakyat dalam Parlemen. Sifat monistik diperlihatkan dengan meletakkan kedudukan Raja dalam Parlemen sebagai ciri khas sistem pemerintahan parlementer Inggris, dibandingkan dengan pemerintahan parlementer Negara lain. Secara individual dan kolektif menteri bertanggungjawab terhadap Parlemen, sistem pertanggungjawaban kabinet yang merupakan konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi di Inggris. Pemerintah terdiri dari tiga unsur: 1. Perdana Menteri, bukan sebagai anggota kabinet, tetapi sebagai pemimpin cabinet; 2. Kabinet, yang beranggotakan manterimenteri yang di-angkat oleh monarch atas usul; 3. Perdana Menteri; 4. Ada menteri yang berfungsi sebagai pejabat administrasi dan tidak duduk dalam kabinet; Kabinet secara formal ditetapkan oleh monarch, keanggotaannya ditentukan oleh hasil pemilihan umum sebagai sifat parlemennya. House of Lords tidak banyak pengaruhnya terhadap pembentukan kabinet. Pertanggungjawaban eksekutif arahnya kepada Parlemen, tetapi evaluasi hanya dilakukan oleh House of Commons. Sistem pemerintahan parlementer Inggris, berjalan melalui proses pengurangan kekuasaan absolut raja dan diberikan kepada perwakilan bangsawan, proses ini, akhirnya melembaga menjadi Majelis. Pertumbuhan sejarah pembentukan Majelis dan sifat monistik yang melahirkan ajaran supremasi parlemen dan berpengaruh terhadap sistem pemerintahan demokrasi moderen. Unsur pokok dalam sistem pemerintahan Inggris adalah keseimbangan, kabinet dan parlemen mempunyai hak-hak yang setingkat dan mampu saling kontrol, terlihat pada mekanisme perimbangan antara tanggung jawab politik para Menteri pada satu pihak dan hak pembubaran dewan di lain pihak yang merupakan persamaan derajat antara eksekutif dengan legislatif. Untuk persamaan dalam ha1 waktu ada arbitrasi, seperti kalau kabinet minoritas atau terancam menjadi minoritas, ia tidak dibubarkan sekonyong-

konyong secara ex abrupto, melainkan dinyatakan pembubaran dewan, sehingga apa yang menjadi persoalan dalam dewan dapat diajukan kepada pemilih. Kalau dalam pemilihan memberikan suara terbanyak kepada dewan, maka para Menteri mengikuti dan tunduk kepada penetapan rakyat dan mengundurkan diri. Kalau sebaliknya, hasil pemilihan membenarkan tindakan kabinet, adalah giliran dewan untuk tunduk kepada kedaulatan rakyat. Parlemen Inggris terdiri dari: Majelis Tinggi (House of Lords) adalah wakil bangsawan dan Majelis Rendah (House of Commons) adalah wakil rakyat, dan Raja (Ratu). Artinya: RajalRatu, House of Lords, House of Commons, berada dalam satu wadah disebut Parlemen. Dalam sistem Inggris memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada House of Commons untuk membentuk Undang-Undang (Act of Parliament). Raja/Ratu yang merupakan bagian dari Parlemen hanya memiliki fungsi formal, artinya setiap UndangUndang wajib diajukan kepada Raja/Ratu untuk ditandatangani. Kedudukan parlemen yang sangat kuat, karena diisi oleh orang-orang partai pemenang pemilihan umum. Perdana Menteri berasal dari kalangan mereka dan memerintah selama kepercayaan masih diberikan kepadanya. Namun, oposisi dibiarkan tumbuh dengan subur, sehingga demokrasi dapat berkembang. Kedaulatan ada ditangan rakyat dan sistem ketatanegaaran Inggris sering disebut Parliamentary Sovereignty dan secara historis kekuasaan tersebut berkembang sejak Glorius Revolution 1688. Kewenangan utama parlemen adalah memiliki hak monopoli dalam membuat dan menyusun peraturan perundangundangan dan pendelegasian wewenang legislatif hanya boleh dilakukan oleh parlemen. Peraturan perundang-undangan dibedakan atas tiga bentuk: (1). Act of Parliament. (2). Delegated Legislation. (3). Autonomic Legislation. Peranan utama anggota Parlemen, berikut: a. Menilai secara kontinyu rekan separtai yang menduduki jabatan-jabatan menteri dan rekan-rekan mereka yang mungkin. Seorang Menteri mungkin memperoleh mosi kepercayaan secara resmi, tetapi sebenarnya kehilangan posisi diantara para rekannya di parlemen, apabila pendapatnya dilumpuhkan dalam perdebatan dan hanya mempunyai pengetahuan yang sangat sedikit tentang hal yang ditangani. b. Undang-Undang yang dilahirkan disebut Acts of Parliament, tetapi Rancangan

Undang-Undang disiapkan oleh ahli hukum di Whitehall yang berkerja atas intruksi para pegawai Pemerintah berdasarkan kebijakan Menteri. c. Mengawasi pelaksanaan Undang-Undang, seorang anggota parlemen dapat mengajukan secara langsung kepada Menteri terhadap suatu keputusan. Apabila hasil jawaban tidak puas, dapat diajukan dalam sidang House of Commons. d. Parlemen dapat menyampaikan gagasan politik, karena partai mempunyai komitekomite ahli dan mengawasi kegiatan Departemen Pemerintahan. e. Eksekutif dapat menggunakan publisitas Parlemen untuk mendapatkan persetujuan tentang kebijakan-kebijakan pemerintah, tetapi oposisi justru sebaliknya. Sistem Pemerintahan Presidensial Amerika Serikat membagi pemerintahan menjadi tiga cabang, yaitu legislatif (Senate dan House of Representatives), eksekutif (Presiden sebagai kepala Negara dan kepala Pemerintahan), dan Yudisial (Mahkamah Agung), pembagaian kekuasaan ini berdasarkan atas prinsip pemisahan kekuasaan dari Trias