ratifikasi perjanjian internasional
DESCRIPTION
ratifikasiTRANSCRIPT
PROSES PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENJADI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA
Proses Ratifikasi Hukum Internasional Menurut UU no 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional
Hubungan luar negeri dan kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah
Republik Indonesia dengan negara lain ,organisasi internasional , dan subyek-subyek hukum
internasional lain, secara umum diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Hal ini
sesuai dengan isi Pembukaan UUD 1945 . Disamping itu, perjanjian internasional merupakan
pelaksanaan pasal 11 uud 1945 dan perubahannya (1999).
Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat , melaksanakan hubungan luar
negeri serta kerjasama internasional berdasarkan pada asas kesamaan derajat, saling
menghormati dan saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing- masing , sejalan
dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Pedoman yang digunakan untuk membuat dan
mengesahkan perjanjian internasional di Indonesia sebelum tahun 2000 terdapat dalam Surat
Presiden No . 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 , yang mengatur mengenai
pengesahan melalui undang- undang atau Keputusan Presiden. Sebelum UU No. 21 Tahun
2000 berlaku masih terdapat kesimpang siuran dan belum terdapat keseragaman dan
pedoman yang jelas mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional.
Hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya peraturan perundang- undangan sebagai
pelaksana ketentuan Pasal 11 UUD 1945 , yang ada hanya Surat Presiden No . 2826/HK/1960
Kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat mengenai penafsiran terhadap Pasal 11 UUD 1945
khususnya tentang masalah substansi perjanjian internasional , dan perjanjian internasional
yang membutuhkan persetujuan dan pengesahan oleh Dewan Perwakilan ,dan perjanjian
internasional yang cukup disampaikan untuk diketahui saja oleh DPR.
Surat Presiden tersebut pada pokoknya membagi perjanjian internasional atas dua
pengertian , yaitu perjanjian terpenting(treaties), yang akan disampaikan pemerintah kepada
DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR dan perjanjian lain (agreements)yang akan
disampaikan kepada DPR untuk diketahui setelah disahkan oleh presiden . Walupun surat
presiden tersebut telah berlaku sebagai suatu pedoman dan menetapkan criteria perjanjian
internasional yang termasuk dalam pengertian perjanjian terpenting namun dalam
perkembangan dewasa ini terdapat ketidak jelasan atas bidang perjanjian yang dianggap
sehingga pembuatan dan pengesahannya telah mengalami keracuan dan kesimpangsiuran .
Oleh karena itu Pemerintah Indonesia berusaha menyusun Rancangan Undang- undang
Perjanjian internasional , yang akhirnya pada tanggal 23 Oktober 2000 disahakanlah Undang-
undang perjanjian internasional yaitu Undang –undang No.24 Tahun 2000. Undang – undang
inilah yang menjadi dasar hukum dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
di Indonesia. Landasan hukum mengenai pembuatan Undang- undang mengenai perjanjian
internasional antara lain Pasal 11 UUD 1945 dan perubahannya (1999) dan UU No. 37
Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri . Selain itu Undang –undang tersebut membuat
prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional yang berlaku secara universal dan dijadikan pedoman bagi masyarakat
internasional dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional .
Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) , dalam prakteknya ada dua macam pengesahan
perjanjian internasional di Indonesia, yaitu dengan Undang- undang dan keputusan presiden .
Dalam menentukan ratifikasi perjanjian internasional ( akan diratifikasi dengan Undang-
undang atau dengan keppres), dilihat dari substansi atau materi perjanjian bukan berdasarkan
bentuk dan nama (nonmenclature)perjanjian, dan dilakukan oleh Departement Luar Negeri .
Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksud agar terciptanya kepastian hukum dan
keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan Undang – undang.
Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan Undang- undang apabila
berkenaan dengan (Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000) :
a. Masalah politik , perdamaian , dan keamanan negara;
b. Perubahan wilayah dan penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia ;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara;
d. Hak asasi manusia dan lin gkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru ;
f. Pinjaman dan atau hibah luar negeri.
Khusus mengenai pinjaman dan / hibah luar negeri berserta persetujuannya oleh Dewan
Perwakilan Rakyat akan diatur oleh Undang- undang tersendiri . Hal ini telah dibicarakan
dalam rapat pembahasan Rancangan UUPI dalam keterangan pemerintah mengenai RUUPI
pada tanggal 22 Mei 2000 , ketika dijelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan materi tentang
“Pinjaman Luar Negeri”sifatnya khusus dan perlu diatur tersendiri.Landasan pemikiran
tersebut didasarkan pada suatu pembicaraan dan pembahasan yang intensif dan komprehensif
dengan Departemen keuangan , Bank Indonesia ,dan Bappenas mengenai masalah ini .
Pinjaman luar negeri tidak dimasukkan dalam Rancangan Undang – undang tentang
pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional dengan pertimbangan – pertimbangan
sebagai berikut.
a. Saat ini pinjaman luar negeri pemerintah mengacu pada ketentuan dalam Indische
Comptabilitets Wet/ICW, sementara pinjaman luar negeri yang diterima oleh bank
Indonesia mengacu pada Undang- undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 yang
penggunaannya berkaitan dengan pengelolaan cadangan devisa ,sebagai bagian dari
pelaksanaan kebijakan moneter .
b. Berdasarkan praktek yang berlaku selama ini , pagu (plafon) pinjaman luar negeri telah
disetujui oleh DPR berdasarkan disahkanya Undang- undang APBN pada setiap tahun
anggaran , sehingga secara otomotis persetujuan DPR terhadap jumlah pinjaman luar
negeri telah diperoleh pada saat disetujuinya Undang- undang APBN .
c. Untuk melaksanakan kebijakan ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam Bab IV TAP
MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004 yang diarahkan untuk
mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri Pemerintah sebagai kegiatan ekonomi
yang produktif dan pelaksanaannya dilakukan secara transparan , efektif dan efisien ,
maka Pemerintah sedang RUU yang mengatur mekanisme dan prosedur pinjaman luar
negeri.
d. Oleh karena sifat perjanjian pinjaman luar negeri sangat khusus dan agar proses
penerimaan pinjaman luar negeri yang dibutuhkan untuk menunjang pembangunan
ekonomi Indonesia tidak mengalami hambatan- hambatan, maka mekanisme persetujuan
DPR perlu diatur secara komprehensif sehingga memerlukan pengaturan secara khusus
dalam UU tersendiri.
Selanjutnya pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk dalam
pasal 10 tersebut dilaksanakan dengan keputusan presiden (pasal 11 ayat (1) UU No. 24
Tahun 2000) . Pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan bagi perjanjian
yang memasyarakatkan adanya pengesahan sebelum mulai berlakunya perjanjian tetapi
memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat
tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis- jenis perjanjian yang
termasuk dalam kategori ini , diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut
kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi , ekonomi , teknik, perdagangan ,
kebudayaan , pelayaran , niaga, penghindaran pajak berganda,dan kerjasama perlindungan
penanaman modal , serta perjanjian –perjanjian yang bersifat teknis(penjelasan atas UU No.
24 Tahub 2000).
Berdasrkan ketentuan tersebut dimuka dapat diketahui bahwa dasar hukum
pengesahan perjanjian internasional dengan Undang- undang adalah Pasal 10 UU No. 24
Tahun 2000, sedangkan dasar hukum pengesahan melalui keputusan presiden ialah pasal 11
ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000.
Setelah penandatanganan , instansi/ departemen teknis terkait sebagai Vocal poin-nya
menyiapkan bahan – bahan berupa dokumen- dokumen yang telah di-Certified True Copy
oleh departemen luar negeri . Dokumen – dokumen yang perlu dipersiapkan oleh lembaga
pemrakarsa adalah (Pasal 12 UU No. 24 Tahun 2000) :
a. Salinan naskah perjanjian ;
b. Terjemahan ;
c. Rancagan Undang – undang / Rancangan keputusan presiden tentang pengesahan
perjanjian internasional ;dan ;
d. Dokumen – dokumen lain yang diperlukan .
Lembaga pemrakarsa dalam membuat rancangan Undang- undang (RUU) / rancangan
keppres (RKP) pengesahan perjanjian , dilakukan bersama- sama dengan departemen luar
negeri atau dapat pula dilakukan oleh lembaga pemrakarsa itu sendiri dengan diketahui oleh
departemen luar negeri. Sifat RUU/ RKP pengesahan perjanjian internasional adalah sangat
sederhana , biasanya hanya terdiri dari pasal yang berisi kalimat pengesahannya. Apabila
terdapat reservasi / persyaratan , disebutkan dalam RUU/ RKP tersebut . Setelah menyiapkan
semua dukumen yang dipersyaratkan dalam Pasal 12 , lembaga pemrakarsa mengirimkannya
ke departemen luar negeri untuk selanjutnya departemen luar negeri meneruskan ke
secretariat negara dan memulai proses ratifikasi .
Proses Ratifikasi Hukum Internasional Menurut UU no 5 Tahun 2000
Menurut pasal 5 UU No. 24 tahun 2000 , pembuatan perjanjian harus didahului dengan konsultasi dan koordinasi dengan menteri luar negeri dan posisi pemerintah harus dituangkan dalam suatu pedoman delegasi.
Pembuatan pedoman delegasi diangap perlu agar terciptanya keseragaman posisi delegasi republik indonesia dan delegasi dan koordinasi antar departemen lembaga pemerintahan dalam pembuatan perjanjian internasional. Perundingan suatu perjanjian nasional dilakukan oleh delegasi RI yang dipimpin oleh menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing masing.
Tahapan dalam pembuatan perjanjian adalah penjajakan , perundingan , perumusan naskah , penerimaan dan penandatanganan. Penandatangan suatu perjanjian internasional merupakan persetujuan atas naskah yang yang dihasilkan dna merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri secara definitif.
Pembuatan perjanjian dapat dilakukan dengan surat kuasa penu. Surat kuasa penuh diperlukan bagi seseorang yang mewakili pemerintahan untuk menerima atau menandatangani surat naskah, sedangkan presiden dan menteri tidak memerlukan dokumen tersebut.Surat kuasa dikeluarkan oleh menteri luar negeri sesuai dengan praktik internasional yang telag dikukuhkan dalam Konvensi Wina tahun 1996. Di samping itu ada pula dokumen lain , yaitu surat kepercayaan yang dikeluarkan oleh menteri luar negeri untuk menghadiri , merundingkan , atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional. Surat
kuasa tidak diperlukan jika penandatanganan suatu perjanjian internasional hanya bersifat kerjasama teknis sebagai pelaksanaan perjanjian yang sudah berlaku.
Undang Undang no 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional berisi ketentuan mengenai persyaratan atau pernyataan terhadap suatu perjanjian internasional terhadap suau peranjian internasional yang dapat dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian , kemudian ditugaskan pada waktu dilakukanya pengesahan persyaratan dan pengesahan dapat ditarik kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis.
Pengesahan perjanjian internasional merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses pembuatan perjanjian internasional karena pada tahap tersebut suatu negara menyatakan diri untuk terikat secara definitif. Pasal UU No.24 tahun 2000 , pengesahan dilakukan dengan undang undang apabila berkenaan dengan hal hal berikut :
1) Masalah Politik , perdamaian pertahanan dan keamanan negara2) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah3) Kedaulatan negara4) Hak asasi manuia dan lingkungan hidup5) Pembentukan kaidah hukum baru6) Pinjaman atau hibah luar negeri
Pengesahan perjanjian internasional bertujuan agar terciptanya kepastian hukum dan keseragaman bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang undang. Sebaliknya pengesahan perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori perjanjian internasional dilakukan dengan keputusan presiden ( pasal 11 ) dan salinanya disampaikan kepada DPR untuk dievaluasi. Jenis perjanjian yang pengesahanya melalui keputusan presiden pada umumnya memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam wanktu singka tanpa mempengaruhi peratutan perundang undangan nasional , di antaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi , ekonomi dan teknik , perdagangan kebudayaan , pelayaran niaga , dan kerjasama perlindungan pennaman modal , serta perjanjian perjanjian yang bersifat teknis lainya.
Selanjutnya setiap undang undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam lembaga negara republik indonesia.
Pemberlakuan perjanjian internasional yang tidak disahkan dengan undang undang atau keputusan presiden , langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian atau nota diplomatik ataupun melalui cara cara sebagaimana disepakati oleh para pihak terkait. Perlu ditambahkan bahwa yang masuk kategori perjanjian yang langsung berlaku ini antara lain perjanjian yang secara teknis mengatur kerjasama di bidang pendidikan,sosial budaya, pariwisata, penerangan kesehatan dan keluarga berencana,lingkungan hidup , pertanian , kehutanan serta kerjasama persaudaraan antara
provinsi dan kota. Selanjutnya terdapat kemungkinan bagi indonesia untuk melakukan perubahan atas ketentuan suatu perjanjian internasional berrdasarkan psepakatan para pihak terkait melalui tata cara yang tekah ditetapkan dalam perjanjian dan disahkan dengan peraturan perundang undangan yang setingkat.
Penyimpanan perjanjian internasional merujuk pada tanggungjawab menteri luar negeri untuk menyimpan dan memelihara naskah asli perjanjian internasional , serta menyampaikan salinan naskah resmi dari setiap perjanjian internasional kepada lembaga negara , lembaga pemerintahan dan kepada sekertariat organisasi nasional.
Suatu perjanjian internasional berakhir apabila
1) Terdapat kesepakatn para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian2) Tujuan perjanjian tersebut telah dicapai3) Terdapat perubahan dasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian4) Salahs atau pihak tidak melaksanakan atau melanggar keteentuan dalam poerjanjian5) Adnya suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama6) Munculnya norma norma baru dalam hukum internasional7) Hilanngya oobjek perjanjian8) Terdapat hal hl yang merugikan kepentingan nasional
Selanjutnya pasal 19 UU No. 24 tahun 2000 menegaskan bahwa perjanjian internasional yang berakhir sebelumw aktunya beradasrkan pihak terkait, tidak mempengaruhi penyellesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian perjanjian dan belum dilksanakan secara penuh [ada saat berakhirnya perjanjian tersebut.
Proses Ratifikasi Perjanjian Internasional Menurut Pasal 11 UUD 1945
Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa “presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat menyatakan perang , membuat perdamaian , dan perjanjian dengan negara lain”
Untuk menjamin kelacaran dalam pelaksanaan kerjasam antara pemerintah dan DPR seperti dalam pasal 11 UUD 1945 , harus diperhatikan hal hal berikut :
A) presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat menyatakan perang membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
B) presiden dalam membuat perjanjian internasional lainya yang dapat menimbulkan akibat lus dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara , dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang undang harus dengan persetujuan DPR
C) ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang undang
Berdasarkan hal tersebut , hanya perjanjian perjanjian yang penting ( treaty ) yang disampaikan kepada DPR , sedangkan perjanjian lain ( aggrement) akan disampaikan kepada DPR hanya untuk diketahui. pasal 11 UUD 1945 tidak menentukan bentuk yuridis dari persetujuan DPR oleh karena itu , tidak ada keharusan bagi DPR untuk memberikan persetujuanya dalam bentuk Undang Undang.
Sesuai dengan pertimbangan tersebut , pemerintah daapt berpendapat bahwa perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR mendapat persetujuan sebelum disahkan oleh presiden ialah perjanjian perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty dan mengandaung materi sebagai berikut :
1. Persoalan politik atau persoalan yang dapat mempengaruhi haluan politik negara , seperti perjanjian persehabatan , perjanjian perubaan wilayah , atau penetapan tapal batas
2. Ikatan ikatan yang sedemikian rupa sifatnya dapat mempengaruhi haluan politik negara , perjanjin kerjasama ekonomi , atau pinjaman uang.
3. Persoalan yang menurut UUD atau menurut sistem perundang undangan haru diatur dengan undang undang seperti persoalan kewarganegaraan dan persoalan kehakiman.
Ratifikasi / Pengesahan dengan Keppres
Proses ratifikasi dengan keputusan presiden adalah sebagai berikut . Departemen luar
negeri mengajukan permohonan ratifikasi perjanjian internasional dengan keppres kepada
secretariat Negara , disertai copynaskah perjanjian sebanyak 30(tiga puluh) copy, plus 1
(satu) yang tekah di –Certified True Copy . Setelah dipelajari sekneg , selanjutnya diteruskan
kepada presiden melalui tingkatan hierarkinya, yaitu mulai Bagian Ratifikasi kepada Kepala
Biro Hukum , kemudian ke Deputi Eselon 1 , diteruskan kepada s/sesneg (Dulu ada
Mensesneg). Setelah itu diberikan kepada presiden ketika diproses untuk diteruskan kepada
presiden disertai dengan RKP (Rancangan Keppres ). Memo-memo beserta
ampresnya(amanat presiden ) untuk ditandatangani oleh presiden . Isi dari ampres tersebut
ditujukan kepada ketua DPR , yang memberitahukan bahwa Pemerintah Indonesia telah
mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan keppres, agar diketahui oleh
DPR .Terhadap RKP yang telah ditandatangani oleh presiden dan telah menjadi keppres ,
diserahkan kembali ke Bagian Ratifikasi Sekneg melalui hierarki yang sama seperti
sebelumnya dan dituangkan ke dalam Lembaga Negara oleh Sekneg , untuk kemudian
didistribusikan kepada Daftar A dan Daftar B . Daftar A terdiri dari lembaga tertinggi dan
lembaga tinggi negara , dan Daftar B adalah departemen – departemen / instansi terkait.
Pendistribusian ini disertai dengan autentifikasi yang dikeluarkan oleh kepala Biro Hukum .
Adapun perjanjian yang telah diratifikasi dengan keputusan presiden , sejak berlakunya UU
No. 24 Tahun 2000 antara lain adalah sebagai berikut (Sumber Biro Hukum Setneg RI).
1. Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 2001 tentang Pengesahan Convension on Nuclear
Nafaty ( Konvensi tentang Keselamatan Nuklir ). Tanggal 4-10-2001 Lembaran
Negara No.139.
2. Keputusan presiden Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pengesahan Instrumen Amending the
Constution and the Convention of the Internasional Telecommunt – cottion union
Minneapolis ,1998( Instrumen Perubahan Koinstitusi dan Konvensi Perhimpunan
Telekomunikasi Internasional Minneapolis 1998) Tanggal 30-4-2002. Lembaran Negara
No. 44.
3. Keputsan Presiden Nomer 26 Tahun 2002 tentang Pengesahan amandemen of the
agreement relating to the internasional Telecommunication Satellite Organization
“INTELSAT” ( Perubahan terhadap Perjanjian Berkaitan dengan Organisasi satelit
Telekomunikasi Internasional “INTELSAT”)Tanggal 30-4-2002, Lembaran Negara No.
45.
4. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 2002 tentang pengesahan internasional Coffe
Agreement 2001 ( Pengesahan Kopi Internasional 2001). Tanggal 20-5-2002, Lembaran
Negara No. 60.
5. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2002 tentang pengesahan ILO Convention No.88
Concerning the Organization of the Imployment Service ( Konvensi ILO No.88
mengenai Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja ). Tanggal 20-5-2002, Lembaran
Negara No. 63.
Ratifikasi / Pengesahan dengan Undang – undang
Proses ratifikasi dengan Undang –undang dapat dijelaskan sebagai berikut :
Departemen luar negeri mengajukan permohonan ijin pemrakarsa penyusunan RUU (hanya
sebagai formalitas , karena biasanya pada rapat- rapat interdep terdahulu , instansi teknis
beserta departemen luar negeri telah menyusun terlebih dahulu RUU – nya).Dilampirkan pula
copy naskah perjanjian sebanyak 30(tiga puluh ) copy , plus 1 (satu) yang telah di Certified
True Copy . Setelah dipelajari oleh Sekneg kemudian diteruskan kepada presiden melalui
hierarki yang sama dengan pembuatan keppres . Setelah presiden menyetujui permohonan
tersebut kemudian Sekneg Cq. Bagian Ratifikasi memberitahukan kepada departemen luar
negeri .Selanjutnya departemen luar negeri beserta instansi teknis terkait dan juga setneg,
kembali mengadakan rapat interdep untuk membahas RUU pengesahan yang biasanya telah
dipersiapkan sebelum pengajuan permohonan dan tentang pelaksanaan perjanjian tersebut .
Tata cara penyiapan RUU ini diatur dalam Keppres No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-undang , yang pada pasal 1 ayat (1)nya menyebutkan
bahwa menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen dapat mengambil prakarsa
dalam penyusunan RUU untuk menyangkut masalah yang menyangkut bidang tugasnya.
Selain itu , teknik penyusunan diatur dalam Keppres No. 44 Tahun 1999 tentang Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang- undangan dan Bentuk Rancangan Undang- Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keppres.
Setelah rapat interdep itu selesai , selanjutnya departemen luar negeri mengirimkan
RUU yang disetujui dalam rapat tersebut ke Sekneg beserta naskah akademisnya. Sekneg
kemudian akan meneruskan ke Presiden untuk kemudian Presiden mengeluarkan ampres
yang telah ditandatanganinya (Ditujukan kepada ketua DPR , yang isinya meminta agar DPR
membahas RUU tersebut ), selanjutnya , mengirimkannya ke DPR (Pasal 18 Keppres No. 188
Tahun 1998). Setelah DPR menerima ampres tersebut , kemudian DPR mengadakan rapat
pembahasan RUU.
Menurut penjelasan pihak Biro Hukum DPR-RI No. 16/DPRRI/1/1999-2000 yang
ditetapkan pada tanggal 23 September 1999 , pembahasan rancangan undang- undang
Dilakukan melalui 4 (empat) tingkat pembicaraan (Pasal 116 ayat (1)),tetapi pada prakteknya
dalam membahas RUU pengesahan perjanjian internasional adalah melalui prosedur singkat
shortcut , yaitu tanpa melalui pembahasan Tingkat II dalam Rapat Paripurna . Jadi prosedur
pembahasn yang dilalui dalam membahas RUU pengesahan perjanjian internasional adalah
sebagai berikut :
1) Pembicaraan Tingkat I dalam Rapat Paripurna .Dalam pembicaraan di tingkat ini
pemerintah memberikan keterangan atau penjelasan mengenai pokok –pokok materi
Rancangan Undang –undang tersebut.
2) Pembicaran Tingkat III dalam Rapat Komisi (Komisil) Berupa Raker dengan menteri-
menteri dari departemen teknis pemrakarsa penyusunan RUU Pengesahan , termasuk
kedalam jadwal acaranya adalah pengantar musyawarah fraksi-fraksi , tanggapan
pemerintah atas pengantar , pembahasan materi, pengambilan keputusan sampai dengan
penandatanganan Draft RUU.
3) Pembicaraan Tingkat IV dalam Rapat Paripurna . Pengambilan keputusan atas RUU
pengesahan perjanjian internasional yang didahului oleh laporan hasil pembicaraan
Tingkat III dan pendapat akhir dari fraksi-fraksi serta pemberian kesempatan kepada
pemerintah untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut.
Pada tanggal 16 Oktober 2001 ditetapkan Peraturan Tata Tertib DPRRI yang baru No
03/A/DPRRI/I/2001-20002 menggantikan Tatib DPRRI No. 16/DPRRI/I/1999-2000.
Ketentuan tahap pembahasan RUU menurut Tatib DPRRI No. 3A/DPRRI/I/2001-2002 ini
diatur dalam Pasal 120 yang membagi tahapan pembahasan RUU menjadi 2( dua ) tingkat
pembicaraan , yaitu :
1) Tingkat I dalam Komisi , Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran , atau Rapat
Panitia Khusus , bersama-sama pemerintah.
2) Tingkat II dalam Rapat Paripurna . Pembahasan RUU pengesahan melalui kedua tahap
pembicaraan tersebut , yang pembahasan materi RUU dan pengambilan keputusan serta
penandatanganan naskah RUU dilakukan pada Tingkat I dalam Rapat Komisi ,
sedangkan pada pembahasan Tingkat II dilakukan pengambilan keputusan dalam Rapat
Paripurna yang didahului oleh laporan hasil akhir pembicaraan Tingkat I , pendapat akhir
fraksi-fraksi dan sambutan pemerintah. Dalam pembicaraan Tingkat I dapat diadakan
Rapat Dengar Penda[at atau Rapat Dengar Pendapat Uum , diundang pula pimpinan
lembaga /departemen yang terkait dengan materi Rancangan Undang- undang.
Setelah DPR menyetujui RUU tersebut , maka bentuk persetujan DPR adalah berupa
surat dari ketua DPR kepada Presiden dan Keputusan DPR atas RUU tersebut , yang
dikirimkan ke Sekneg untuk diteruskan kepada Presiden . RUU yang telah disetujui oleh DPR
itu ditandatangani dan disahkan oleh presiden sehingga menjadi Undang- undang (Pasal 26
ayat (!) Keppres No. 188 Tahun 1998).Tindakan selanjutnya dilakukan oleh Sekneg yang
menuangkannya ke dalam Lembar Negara dan mendistribusikannya kepada Daftar A dan
Daftar B.
Adapun perjanjian yang telah diratifikasi dengan Undang-undang , sejak berlakunya
UU No. 24 Tahun 2001 sampai tanggal 17 April 2002 adalah sebagai berikut:
1) Undang – undang Nomor 1 Tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan antara
Pemerintah RI dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggaran Hukum yang
Melarikan Diri (Agreement between the Government of Republic of Indonesia and The
Government of Hongkong for The Surrender of Fugitive Offender).Tanggal 8 Mei 2001 ,
Lembaran Negara No. 43, TLN 4091.
2) Undang –undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles
Governing The Activities of States in The Exploration and Use of Outer Space,
Including The Moon and Other Celestical Bodies, 1967 (Traktat Mengenai Pprinsip-
Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara- Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan
Antariksa , Termasuk Bulan dan Benda – Benda langit lainnya , 1967). Tanggal 8 April
2002 , Lembaran Negara No. 34,TLN 4195.
Setelah UU/ Keppres pengesahan tersebut didistribusikan kepada lembaga tertinggi
dan tinggi negara , dan departemen –departemen terkait termasuk departemen luar negeri ,
selanjutnya departemen luar negeri Cq direktorat perjanjian internasional melakukakan
pemberitahuan kepada mitra bahwa Indonesi telah meratifikasi, hal ini disebut dengan
pertukaran Nota Diplomatik . Apabila perjanjian internasional yang dilakukan merupakan
suatu konvensi yang diprakarsai oleh organisasi internasional , maka departemen luar negeri
akan mengirimkan Piagam Ratifikasi yang telah ditandatangani oleh Menlu kepada
Sekretariat organisasi internasional tersebut, dan kemudian secretariat organisasi
internasional itu akan memberitahukan negara- Negara lain bahwa Indonesia telah
meratifikasi konvensi tersebut.
Cara pemberlakuan suatu perjanjian internasional yang ditentukan oleh perjanjian
itu sendiri yang dapat berupa antara lain sebagai berikut (Departemen Luar Negeri ,
2002:11).
a. Untuk konvensi agreement yang bersifat multilateral , mulai berlaku sejak Piagam
Pengesahan didepositkan melalui perwakilan setempat pada negara pendeposit atau sekjen
organisasi internasional /PBB.
b. Untuk perjanjian internasional yang bersifat bilateral , berlaku sejak pertukaran Piagam
Pengesahan yang biasanya dilakukan oleh Duta Besar dengan Menlu setempat.
c. Pemberlakuan suatu perjanjian dapat juga dilakukan sejak pertukaran nota (Exchange of
Notes) . Biasanya pada perjanjian bilateral, berlaku terhitung sejak 30 hari setelah
pemberitahuan terakhir .
d. Untuk konvensi , dapat pula berlaku setelah memenuhi jumlah ratifikasi yang ditentukan
dalam perjanjian.
Sesuai dengan kebiasaan internasional , seluruh naskah asli perjanjian internasional
yang telah ditandatangani oleh Pemerintah RI dengan negara lain seyogyanya disimpan pada
Departemen Luar Negeri Cq Direktorat Perjanjian Internasional . Departemen Teknis cukup
memegang copy dari perjanjian asli yang disahkan oleh Departemen Luar Negeri Cq
Direktorat Perjanjian Internasional.
Selanjutnya seiring restrukturisasi Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
maka direktorat yang mengurusi ratifikasi perjanjian internasional ada dua yaitu, kesatu
Direktorat Perjanjian Politik ,Keamanan dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri
RI,kedua,Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri RI.
Kedua direktorat tersebut berada dibawah Direktorat Jenderal Informasi , Diplomasi Publik
dan Perjanjian Internasional. Dengan demikian Direktorat Perjanjian Internasional yang biasa
menangani ratifikasi perjanjian internasional sekarang sudah tidak ada , dan diganti dua
direktorat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Budiono Kusumohamidjojo. 1986.Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina
Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional . Bandung : Bina Cipta .
Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Pendidikan Nasional . 2000. Pembuatan Perjanjian
Internasional di Lingkiungan Departemen Pendidikan Nasional . <www. depdiknas.
go.id > Surakarta, 14 Maret 2002.
Boer Mauna .2000. Hukum Internasional , Pengertian , Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global . Bandung :Alumni.
Departemen Luar Negeri . 2002, 22 Mei . Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-
Undang tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional . <www. dfa-
deplu.go.id> Surakarta 3 November 2001.
Departemen Luar Negeri . 2002,2 Agustus . Pemerintah dan DPR Sepakati Naskah Akhir
Undang- Undang tentang Perjanjian Internasional . <www. dfa-deplu.go.id>
Surakarta, 3 November 2001.
Departemen Luar Negeri . 2002. Petunjuk Pelaksanaan Proses dan Prosedur Pembuatan
Perjanjian Internasional . Jakarta : Departemen Luar Negeri.
Departemen Luar Negeri.2000.Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional . Jakarta: Deplu RI.
Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia . 2000. Pengaturan Tata Tertib DPR-RI
Nomer 03A/DPRRI/2001-2002.Jakarta:Sekretariat DPR RI.
Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia . 1999. Peraturan Tata Tertib DPR-RI Nomer
16 /DPRRI/1999-2002.Jakarta:Sekretariat DPR RI.
Djenat Sidik Soerasaputra. 1993. Kebijakan Ratifikasii Perjanjian Internasional Menurut
Tiga UUD Indonesia . Jakarta :Pusat Penelitian dan Pelayanan Informasi Sekretariat
Jenderal DPR-RI .
F. Isjwara. 1972. Pengantar Hukum Internasional .4th edition . Saduran . Bandung :Alumni.
Hamid S. Attamimi.1993. Pengesahan / Ratifikasi Perjanjian Internasional . Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPR-RI.
Mochtar Kusumaatmaja.1982.Pengantar Hukum Internasional . Bandung:Bina Cipta.
Starke. J.G.1989. Introduction to Internasional Law . London :Butterworths
Sekretariat Negara Republik Indonesia .1998. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 188 Tahun 1998 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-
undang.
Sekretariat Negara Republik Indonesia .1999. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Taknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
dan Bentuk Rancangan Undang-undang,Rancangan Peraturan Pemerintah dan
Rancangan Keputusan Presiden .Jakarta:Setneg RI.
Sri S Suwardi.1993. Ratifikasi Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Pasal 11
UUD 1945. Jakarta:Pusat Penelitian dan Pelayanan Informasi Sekretariat DPR-RI.
.