bab ii tinjauan umum tentang perjanjian dan utang piutang dibawah tangan 2.1. perjanjian ii.pdf ·...

23
21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG PIUTANG DIBAWAH TANGAN 2.1. Perjanjian 2.2.1. Pengertian Perjanjian Sebelum berbicara masalah perjanjian Utang piutang terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud engan perjanjian. Masalah perjanjian kalau dilihat dari Undang – undang Hukum Perdata (BW) dalam buku III dapat dijumpai mengenai perikatan pada umumnya. Perikatan mempunyai pengertian yang lebih luas dari perjanjian karena perikatan dapat berupa perjanjian yang disebut dengan perikatan yang bersumber dari perjanjian. Disamping itu ada juga perikatan yang bersumber dari undang – undang. Menurut pandangan R. Subekti memberikan definisi, perjanjian adalah “Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 115 Beliau memberikan ketegasan, bahwa bagi para pihak yang melakukan perikatan mempunyai keterikatan untuk berbuat sesuatu yang masing-masing kepentingan yang telah disepakati. Ini berarti tiap-tiap pihak yang melakukan perikatan itu harus bertanggung jawab terhadap hak pihak yang lain. kuatnya perikatan itu, ditujukan dengan adanya hukum 15 Soebekti I, loc.cit.

Upload: nguyenliem

Post on 15-Mar-2019

241 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

21

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG PIUTANG

DIBAWAH TANGAN

2.1. Perjanjian

2.2.1. Pengertian Perjanjian

Sebelum berbicara masalah perjanjian Utang piutang terlebih

dahulu dijelaskan apa yang dimaksud engan perjanjian. Masalah perjanjian

kalau dilihat dari Undang – undang Hukum Perdata (BW) dalam buku III

dapat dijumpai mengenai perikatan pada umumnya. Perikatan mempunyai

pengertian yang lebih luas dari perjanjian karena perikatan dapat berupa

perjanjian yang disebut dengan perikatan yang bersumber dari perjanjian.

Disamping itu ada juga perikatan yang bersumber dari undang – undang.

Menurut pandangan R. Subekti memberikan definisi, perjanjian adalah

“Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana

dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal.115

Beliau memberikan ketegasan, bahwa bagi para pihak yang

melakukan perikatan mempunyai keterikatan untuk berbuat sesuatu yang

masing-masing kepentingan yang telah disepakati. Ini berarti tiap-tiap

pihak yang melakukan perikatan itu harus bertanggung jawab terhadap hak

pihak yang lain. kuatnya perikatan itu, ditujukan dengan adanya hukum

15 Soebekti I, loc.cit.

22

untuk menuntut pihak lain yang melalaikan kewajibannya sebagai suatu

upaya hukum menjamin hak para pihak dalam peristiwa perikatan.

Dengan diadakannya suatu perjanjian maka para pihak yang

berjanji harus tunduk kepada hal–hal yang telah diperjanjikan. Semua

perjanjian harus dilakukan dengan etikad baik dan tidak boleh dilakukan

secara bertentangan dengan keputusan dan keadilan.

Menurut Yahya Harahap perjanjian adalah suatu hubungan hukum

kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan

kekuatan hak pada suatu pihak untuk menunaikan prestasi.16 Dari

pengertian ini unsur perjanjian harus adanya hubungan hukum

menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang

memberikan hak pada suatu pihak yang meletakan kewajiban dipihak lain.

Dengan demikian perjanjian ini biasa disebut perjanjian sepihak

disamping perjanjian sepihak juga dikenal dengan perjanjian timbal balik

dalam perjanjian ini masing–masing pihak sama – sama mempunyai hak

dan kewajiban secara timbal balik. Pengertian itu ditunjukan pula, bahwa

terdapat adanya hak bagi para pihak yang lain, yang melakukan perjanjian,

disamping kewajibannya. Untuk menjamin kekuatan perjanjian itu, maka

dikatakan bahwa perjanjian yang merupakan kesempatan berlaku sebagai

Undang-undang bagi mereka yang melakukan perjanjian.

Kalau ditelusuri maka dari perikatan dan perjanjian, maka

didalamnya terdapat makna adanya persetujuan, jadi tidak akan ada

16 Yahya Harahap. M, loc.cit.

23

perikatan, bila tidak ada kesepakatan sebagai wujud. Bila berbicara

tentang hak dan kewajiban, maka hal itu akan membawa suatu

konsekuensi hukum bagi para pihak, dalam bagian ini menjelaskan tentang

perjanjian kredit perbankan pada umunya seperti yang telah dikemukakan

terlebih dahulu tentang perjanjian yang akan dikaji dari segi

pengertiannya.

Menurut R. Setiawan, Mengutip pendapat sarjana yang bernama

Pitlo menjelaskan pengertian Perikatan adalah suatu hubungan hukum

yang bersifat harta kekayaan antara dua atau lebih atas dasar pihak yang

satu (kreditur) berhak atas suatu prestasi (debitur) dan pihak lain

berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.17

Sedangkan Mgs. Ady Putra Tje Aman, Secara lengkap menguraikan

pendapat beberapa ahli tentang pengertian adalah sebagai berikut :

1. Menurut K.R.M.T. Tirtoningrat, (1966.83) yang dimaksud dengan perjanjian adalah : suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua atau lebih untuk menimbulkan kata sepakat diantara dua atau lebih untuk menimbulkan akibat – akibat hukuman yang diperkenankan oleh undang – undang. 2. Soebekti, berpendapat bahwa perjanjian adalah : suatu peristiwa dimana seseorang berjanji untuk melakukan sesuatu hal. 3. Wiryo Projodikoro, menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau tidak untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak menuntut perjanjian itu”)18. Berdasarkan pendapat diatas, dapat diketahui adanya beberapa kesamaan

bahwa perjanjian mengandung pengertian suatu pernyataan kesepakatan

antara dua pihak atau bersama-sama melakukan dan untuk tidak

17 Setiawan.R, 1986, Pokok – pokok Hukum Perikatan,Bina Cipta, Bandung, h. 2. 18 Mgs. Edy Putra Tje Aman, 1985, Kredit Perbankan,Liberty Jakarta, h. 18.

24

melakukan sesuatu yang mengandung hak dan kewajiban diantara mereka

serta sepakat untuk menerima akibat bila mereka tidak memenuhi

persyaratan masing-masing.

2.1.2 Unsur-unsur Perjanjian

Unsur-Unsur perjanjian, Terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi

dalam perjanjian yaitu :

1. Unsur Essensialia, merupakan unsur perjanjian yang selalu harus ada

dalam suatu perjanjian atau dengan kata lain merupakan suatu unsur

mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada,

misalnya: unsur kata sepakat, unsur “sebab yang halal” merupakan unsur

essensialia untuk adanya suatu perjanjian, seperti : harga barang yang

jelas.

2. Unsur Naturalia, merupakan unsur perjanjian yang oleh para pihak dapat

disingkirkan atau diganti, misalnya kewajiban penjual untuk menanggung

biaya penyerahan (levering) dan untuk menjamin (Pasal 1476 jo 1492

KUHPer) dapat dikesampingkan atas kesepakatan kedua belah pihak.

Unsur naturalia pada hakekatnya unsur yang merupakan hukum pelengkap

yang diatur di dalam Buku III KUHPer.

3. Unsur Accidentalia, merupakan unsur perjanjian yang ditambahkan oleh

para pihak dalam perjanjian tersebut, misalnya : untuk benda-benda

tertentu dapat dikecualikan dalam perjanjian. Unsur accidentalia

merupakan unsur yang secara khusus diperjanjikan dan mengikat para

25

pihak yang membuatnya, misalnya dalam perjanjian diperjanjikan bahwa

risiko tetap ada pada pihak penjual, meskipun barang masih ada pada

pihak penjual. Hal ini merupakan pengaturan yang secara khusus

diperjanjikan, menyimpang dari Pasal 1460 KUHPer.

Pelaksanaan suatu perjanjian, dalam pelaksanaan perjanjian perlu diperhatikan

hal-hal sebagai berikut:

1. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Suatu perjanjian

merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang

lain untuk melaksanakan sesuatu yang diperjanjikan. Dalam pelaksanaan

suatu perjanjian terdapat hal yang harus dilaksanakan yang disebut

prestasi.

2. Menurut prestasinya perjanjian dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang.

b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.

c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.19

3. Eksekusi Riil, ialah dalam hal si berutang (debitur) tidak dapat

melaksanakan apa yang telah dijanjikan (tidak menepati janjinya), maka si

berpiutang (kreditur) dapat mewujudkan sendiri prestasinya yang

dijanjikan dengan biaya debitur. Walaupun selalu ada kemungkinan

mendapatkan suatu ganti rugi, tetapi lebih memuaskan bagi seseorang

apabila mendapatkan apa yang telah dijanjikan itu. Apa yang diperjanjikan

19 Subekti III, loc.cit

26

itu disebut prestasi primair sedangkan ganti rugi disebut prestasi subsidair.

Secara harfiah eksekusi riil berarti pelaksanaan atau pemenuhan kewajiban

debitur seperti yang diperjanjikan.20

4. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan perjanjian, yaitu untuk

melaksanakan suatu perjanjian terlebih dahulu harus memperhatikan

secara cermat apa isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja

hak dan kewajiban masing-masing pihak. 2 Dan menurut Pasal 1339

KUHPer bahwa suatu perjanjian tidak hanya untuk hal-hal yang dengan

tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang

menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-

undang.

Setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh masing-

masing pihak. Karena ini merupakan salah satu sendi yang paling penting dalam

hukum perjanjian. Bila awalnya sudah tidak mempunyai niat yang tidak baik bisa

menimbulkan berbagai masalah, artinya perjanjian tersebut harus dilaksanakan

dengan mengindahkan norma-norma kepatutan, keadilan, dan kesusilaan.

Menurut Pasal 1338 KUHPer menyatakan bahwa setiap perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam hal ini hakim diberi kekuasaan untuk

mengawasi pelaksanaan perjanjian agar pelaksanaan perjanjian tersebut tidak

menyimpang dari kepatutan dan keadilan. Maksud dari Pasal 1338 KUHPer bila

dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum maka hukum itu

mengejar dua tujuan yaitu menjamin kepastian (ketertiban) supaya apa yang

20 J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni, Bandung, h. 57.

2 Subekti III, op.cit, h. 39

27

diperjanjikan dapat dipenuhi dan memenuhi tuntutan keadilan dengan tidak

meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan.

Suatu isi perjanjian terdiri dari serangkaian kata-kata maka perlu lebih

dahulu ditetapkan dengan cermat apa yang dimaksudkan oleh para pihak,

perbuatan ini dinamakan menafsirkan perjanjian. 3 Penafsiran perjanjian ini

mempunyai pedoman utama yaitu jika kata-kata dalam perjanjian itu jelas, maka

tidak dibolehkan untuk menyimpang dari jalan penafsiran tersebut, misalnya :

dalam suatu perjanjian ditulis, bahwa satu pihak akan memberikan seekor sapi,

maka tidak boleh ditafsirkan sebagai seekor kuda.

Disamping pedoman utama terdapat pula pedoman-pedoman yang lain, yang

penting dalam menafsirkan perjanjian, adalah:

a. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam

penafsiran, maka haruslah diselidiki maksud kedua belah pihak yang

membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata

menurut hukum.

b. Jika sesuatu janji berisikan dua macam pengertian, maka dipilih

pengertian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada

memberikan pengertian yang tidak memungkinkan pelaksanaannya.

c. Jika kata-kata dapat memberikan dua macam pengertian, maka harus

dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.

d. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi

kebiasaan atau di tempat di mana perjanjian itu diadakan.

3 Subekti III, Ibid, h. 43

28

e. Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji

harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.

f. Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas

kerugian orang yang telah meminta diperjanjikan suatu hal dan untuk

keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.4

2.1.3 Syarat-syarat sahnya perjanjian

Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang telah memenuhi

persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, sehingga diakui

oleh hukum. Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila telah memenuhi 4

syarat seperti yang ditegaskan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Dimana untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal 24

Empat syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata,

merupakan syarat yang esensial dari suatu perjanjian artinya syarat-syarat

tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa syarat ini perjanjian

dianggap kurang baik. Syarat No. 1 (Kesepakatan mereka yang

mengikatkan diri) dan syarat No. 2 (kecakapan untuk membuat suatu

perikatan) disebut sebagai syarat subjektif yaitu syarat untuk subjek

4 Subekti III, Ibid, h. 44 24 Surya Diningrat, 1982, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, h. 35.

29

hukum atau orangnya. Sedangkan syarat No. 3 (suatu hal tertentu) dan

syarat No.4 (suatu sebab yang halal) disebut sebagai syarat objek yaitu

syarat untuk objek hukum atau bendanya.

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

Dengan dianutnya asas konsensualisme dalam hukum perjanjian

yaitu “asas bahwa perjanjian sudah sah dan mengikat pada detik

tercapainya sepakat (konsensus), adalah suatu asas universal”.25

Dengan adanya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti bahwa

kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Pada dasarnya

kesepakatan ini terjadi secara bebas atau dengan kebebasan. Adanya

kebebasan bersepakat para subyek hukum atau orang dapat terjadi dengan

:

1. Secara tegas baik dengan mengucapkan kata atau tertulis

2. Secara diam, baik dengan suatu sikap atau dengan isyarat.26

Dengan sepakat dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan

perjanjian itu harus bersepakat setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok

dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu

juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama

secara timbal balik.

25 Subekti, 1993, Perbandingan Hukum Perdata, Cet. XII, Pradnya Paramita,

Jakarta, (Selanjutnya Disebut Subekti V), h. 40. 26 C.S.T. Kansil, 1995, Op.Cit, h. 24.

30

Dalam mengadakan perjanjian tertentu kata sepakat saja belum

cukup melainkan harus ada suatu bentuk atau perbuatan tertentu yang

dikehendaki secara nyata, maka perjanjian tersebut dikatakan pula

perjanjian riil.

Dalam perjanjian utang piutang di bawah tangan pernyataan

sepakat berarti belum cukup, maka harus disertai dengan suatu perbuatan

nyata yaitu penyerahan sejumlah uang dari pihak kreditur kepada debitur.

Uang merupakan obyek dari perjanjian Utang piutang. Begitu uang

diserahkan berarti sejak saat itu perjanjian tersebut lahir dan mengikat

kedua belah pihak. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut

menginginkan perjanjian yang mereka buat mengikat secara sah.

“Mengikat secara sah artinya perjanjian itu menimbulkan hak dan

kewajiban bagi yang diakui oleh hukum”.27

2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Pada prinsipnya para pihak dalam suatu perjanjian diisyaratkan

harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri, prinsip demikian

dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap pihak yang

sebenarnya tidak cakap bertindak dari akibat-akibat yang dapat

merugikannya.

Kecakapan untuk membuat perjanjian adalah apabila seseorang

mempunyai kemampuan untuk berbuat sendiri tanpa bantuan orang lain,

27 Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Cet. II, Alumni, Bandung,

(Selanjutnya Disebut Abdul Kadir Muhammad I), h. 94.

31

untuk mengemukakan suatu perjanjian dan orang yang membuat perjanjian

tersebut haruslah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan tentang segala

perbuatannya.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.

Dan pada asasnya, tiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat

pikirannya adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata

disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu

perjanjian adalah :

1. Orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan 3. Semua orang yang dilarang oleh undang-undang untuk membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.28 Memang, dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang

membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu

mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar akan

tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari

sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian

itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah

seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta

kekayaannya.

Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi

tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu

perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan menurut hukum

28 Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Cetakan XVII, Intermasa, Jakarta,

(Selanjutnya Disebut Subekti VI), h. 17.

32

tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah

pengawasan pengampuan, sehingga kedudukannya sama dengan seorang

anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus

diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah

ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampunya atau

kuratornya.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seorang perempuan

yang bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan

atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (Pasal 108 KUH Perdata).29

Namun pasal ini sudah tidak berlaku lagi setelah adanya Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2009. semua orang yang dilarang oleh

undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu, Mengenai

hal tertentu ini mempunyai makna bahwa perjanjian tersebut harus

mengenai suatu obyek tertentu, sehingga perjanjian yang telah dibuat akan

terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama

tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaaan pihak yang berhak meminta

pembatalan tersebut.

3. Suatu hal tertentu

Sebagai syarat ketiga disebutkan suatu perjanjian harus mengenai

suatu hal tertentu, artinya objek yang berupa barang atau hak serta

harganya haruslah tertentu dan dapat ditentukan sehingga jelas pula apa

yang menjadi hak-hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian

29 Ibid, h. 18.

33

itu. Jika timbul suatu perselisihan barang yang dimaksudkan dalam

perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu

sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu

perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh Undang-Undang juga jumlahnya

tidak perlu ditentukan asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Dalam membuat perjanjian antara subyek hukum mengenai obyeknya,

apakah menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak,

benda tidak bergerak. Hal tertentu mengenai obyek hukum benda oleh

pihak-pihak ditegaskan di dalam perjanjian mengenai :

1. Jenis barang 2. Kualitas dan mutu barang 3. Buatan pabrik dan dari negara mana 4. Buatan tahun berapa 5. Warna barang 6. Ciri khusus barang tersebut 7. Jumlah barang 8. Uraian lebih lanjut mengenai barang itu 30 Menurut Pasal 1332 KUH Perdata yang menentukan bahwa hanya barang

barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu

perjanjian.

4. Suatu sebab yang halal

Dalam pengertian pada benda (obyek hukum) yang menjadi pokok

perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut

hukum sehingga perjanjian itu kuat. Yang dimaksud sebab yang halal

dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah bukannya dalam arti yang

30 C.S.T. Kansil, 1995, Op.Cit, h. 226.

34

menyebabkan orang membuat perjanjian atau yang mendorong orang

membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu

sendiri” yang menggambarkan tujuan yang dicapai oleh para pihak.

Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menyebabkan dan

mendorong seseorang untuk mengadakan perjanjian, namun yang diawasi

oleh Undang-Undang adalah isi dari perjanjian itu apakah bertentangan

dengan kesusilaan atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban

umum atau tidak. “Ini diakibatkan Undang-Undang tidak memberikan

pegangan yang pasti tentang pengertian apa itu sebab dalam perjanjian”. 31

Wiryono Projodikoro, memberikan pengertian sebab atau kausa dalam

hukum perjanjian adalah sebagai isi dan tujuan dari suatu perjanjian,

sehingga menyebabkan adanya perjanjian itu.32

Menurut Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu sebab

adalah terlarang apabila oleh Undang-Undang bertentangan dengan

kesusilaan dan ketertiban umum. Akibat dari hukum dari perjanjian yang

berkausa tidak halal adalah bahwa perjanjian itu batal demi hukum.

Berarti tidak mempunyai dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di

muka hakim, karena sejak semula perjanjian itu dianggap tidak pernah

ada.

Maka dari hal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai syarat-

syarat sahnya suatu perjanjian Utang piutang.

31 Purwahid Patrick, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang

Lahir Dari Perjanjian dan dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, h. 64. 32 Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet. XXII, PT.

Bale, Bandung , h. 35.

35

1. Mengenai obyek perjanjian ialah : a. Isi dari perjanjian b. Tujuan perjanjian

2. Mengenai subyek perjanjian ialah : a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu

melakukan perbuatan hukum tersebut. b. Ada sepakat yang menjadi dasar perjanjian yang harus

dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan atau penipuan) 33

Jadi jelas diantara persyaratan – persyaratan tersebut harus

dipenuhi oleh para pihak, karena ada kondisi seseorang menurut hukum

dinyatakan tidak cakap untuk melaksankan perbuatan hukum yakni

sebagai berikut :

1. Orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3. Orang-orang perempuan yang dalam hal-hal tertentu

ditetapkan oleh undang- undang telah dilarang untuk

membuat persetujuan-persetujuan tertentu;

Bertitik tolak pada ketentuan pasal tersebut diatas, maka perikatan,

persetujuan dan perjanjian mengandung resiko dan akibat hukum yang

bisa menyebabkan kehidupan seseorang atau para pihak berada dalam

kondisi yang tidak memberikan kebebasan untuk bertindak secara diluar

hukum, karena telah diikat serta dibatasi dalam suatu kondisi dimana hak-

hak tertentu serba terbatas karena adanya ketentuan hukum.

33 Subekti, 1992, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti,

Bandung, (Selanjutnya Disebut Subekti VII), h. 16.

36

Selanjutnya yang ada dalam pokok-pokok perjanjian itu, merupakan

hukum dan Undang-undang yang berlaku bagi para pihak yang

membuatnya, hal itu dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu :

semua persetujuan dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Demikian pula persetujuan itu tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya tetapi

juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh

kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang34.

Berdasarkan undang-undang dan peraturan tersebut maka syarat-

syarat suatu perjanjian sangat diperlukan dan ditentukan oleh berbagai

keadaan yang ditentukan berdasarkan hukum, seperti syarat sahnya suatu

perjanjian, kejelasan benda dan atau perbuatan yang diperjanjikan serta

mereka dalam keadaan cakap untuk melakukan persetujuan dan perjanjian

menurut ketentuan–ketentuan yang berlaku, seperti keadaan sebenarnya

dari pihak yang melakukan perjanjian yang merupakan kondisi obyektif,

bahwa mereka diakui secara hukum dan memenuhi aturan serta norma

lainnya sesuai dengan agama, norma adat dan norma susila lannya yang

berlaku dimana perjanjian itu dilakukan.

2.2. Utang Piutang Dibawah Tangan

2.2.1. Pengertian Utang Piutang Dibawah Tangan

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau tidak dapat dinyatakan

34 R.Setiawan, Op.cit. h. 11.

37

dalam jumlah uang baik yang secara langsung maupun yang akan timbul di

kemmudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang

wajib dipenuhi oleh debitur dan apabila tidak dipenuhi member hak kepada

kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.

Piutang adalah tagihan (klaim) kreditur kepada debitur atas uang, barang

atau jasa yang ditentukan dan bila debitur tidak mampu memenuhi maka kreditur

berhak untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.

Pengertian utang piutang sama dengan perjanjian pinjam yang dijumpai

dalam kitab Undang-Undang hukum Perdata Pasal 1721 yang berbunyi:“pinjam

meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan

kepada pihak yang lain suatu jumlah barang tertentu dan habis pemakaian dengan

syarat bahwa yang belakangan ini akan mengemballikan sejumlah yang sama dari

macam keadaan yang sama pula”

Sehingga hutang piutang yaitu merupakan kegiatan antara orang yang

berhutang dengan orang lain/ pihak lain pemberi hutang atau disebut pelaku

piutang, dimana kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang dipaksakan

melalui suatu perjanjian atau melalui pengadilan. Atau dengan kata lain :

merupakan hubungan yang menyangkut hukum atas dasar seseorang

mengharapkan prestasi dari seorang yang lain jika perlu dengan perantara hukum.

Sedangkan maksud dibawah tangan tersebut menurut kamus besar bahasa

indonesia merupakan kata kiasan tidak di muka umum, tidak dilaksanakan secara

resmi atau tidak disaksikan oleh pihak resmi, di bawah kekuasaan orang

sehinggga pengertian perjanjian utang-piutang di bawah tangan adalah

38

hukum perdata dibuat oleh para pihak atas dasar kesepakatan mereka

untuk menyetujui isi dan bentuk dari perjanjian dan ditandatangani secara

langsung dengan tulisan oleh yang menandatangani dan dibawahnya

ditulis jumlah uangnya.

Pada saat sekarang ini masih ada juga yang membuat perjanjian

Utang piutang cukup dengan kuitansi saja sebagai tanda bukti bahwa

sekreditur telah memberikan sejumlah uang kepada si debitur tanpa

bantuan dari seorang pejabat umum yang berwenang.

Mengenai akta di bawah tangan tersebut diatur dalam Pasal 1874 KUH

Perdata yang mengatakan bahwa :

“Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akte-akte yang

ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat

urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantara

seorang pejabat umum.”

Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa

perantaraan seorang pejabat umum. Melainkan dibuat dan ditandatangani

sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang termasuk dalam bentuk

akta di bawah tangan salah satunya adalah perjanjian Utang piutang di mana

hanya dibuat oleh pihak yang berkepentingan tanpa bantuan seorang pejabat

umum yang berwenang seperti Notaris / PPAT.

Perjanjian Utang piutang di bawah tangan adalah : Perjanjian yang dibuat oleh

para pihak sendiri tanpa ada bantuan dari pejabat umum. Dimana para pihak

39

tersebut tertarik untuk melakukan perjanjian Utang piutang di bawah tangan

disebabkan karena praktis, ekonomis, perlu uang cepat, dan tanpa perlu pejabat

yang berwenang.

Para pihak telah terikat dengan apa yang menjadi isi dari perjanjian

yang telah mereka sepakati dan yang telah ditandatangani, karena dengan

ditandatanganinya suatu perjanjian artinya para pihak telah menyetujui isi

dan mentaati serta melaksanakan apa yang tercantum dalam perjanjian

tersebut yang sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan

bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-

Undang bagi mereka yang membuatnya.

Menurut Pasal 1876 KUH Perdata atau Pasal 2 dari Ordonansi

Tahun 1867 Nomor 29 yang memuat ketentuan tentang “kekuatan

pembuktian daripada tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang

Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka”.35 Maka barang siapa

yang terhadapnya diajukan suatu tulisan dibawah tangan (yang

dimaksudkan ialah akte di bawah tangan) diwajibkan secara tegas

mengakui atau memungkiri tanda tangannya.

Maka dari itu segala bentuk surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak

yang dibuat berdasarkan kesepakatan mereka, berlaku sebagai Undang-

Undang bagi mereka yang membuatnya dan juga bersedia untuk

mengikatkan diri dengan para pihak yang ikut serta dalam perjanjian

tersebut. Perjanjian Utang piutang yang dibuat secara sah tanpa ada

35 Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Cet. XXIII, Pradnya Paramita, Jakarta,

(Selanjutnya Disebut Subekti VIII), h. 29.

40

paksaan dari manapun dan dibuat oleh orang yang mempunyai kecakapan

untuk membuat perjanjian maka perjanjian tersebut telah berlaku sebagai

Undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga para pihak harus

mentaati dan melaksanakan isi dari perjanjian yang telah dibuat tersebut.

Maka dalam uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud

dengan perjanjian Utang piutang dibawah tangan adalah segala segala

bentuk surat perjanjian Utang piutang, baik berupa kuitansi saja yang

dibuat oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari pejabat

umum yang berwenang membuatnya.

2.2.2. Lahirnya Perjanjian Utang Piutang Dibawah Tangan

Menurut asas konsensualisme suatu perjanjian lahir pada detik

tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak

mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi pokok perjanjian.

Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara kedua belah

pihak tersebut, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga

yang dikehendaki oleh pihak yang lain,meskipun tidak sejurusan tetapi

secara timbal balik, kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.

Dengan demikian untuk mengetahui apakah telah lahirnya suatu

perjanjian suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila

kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahir suatu perjanjian. Dalam

suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak berjumpa

atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut

41

masih dapat dipakai, tetapi di dalam masyarakat yang sudah ramai dan

modern, ukuran tersebut tidak dapat dipertahankan lagi. Sejak orang

memakai surat menyurat dan telegram (kawat) dalam menyelenggarakan

urusan-urusannya, maka ukuran dan syarat untuk tercapainya suatu

perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa

ditinggalkan, sebab sudah sering terjadi apa yang ditulis dalam surat atau

yang diberitahukan lewat telegram, karena sesuatu kesalahan, berlainan

atau berbeda dari apa yang dikehendaki oleh orang yang menggunakan

surat menyurat atau telegram tadi. Berhubung dengan kesulitan-kesulitan

yang timbul itu, orang mulai mengalihkan perhatiannya pada apa yang

dinyatakan. Yang terpenting bukan lagi kehendak, tetapi apa yang

dinyatakan oleh seseorang, sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai

sebagai pegangan untuk orang lain.

2.2.3. Berakhirnya perjanjian utang dibawah tangan

Suatu perjanjian yang dibuat oleh kreditur dan debitur secara umum

pada suatu saat akan berakhir dan dengan demikian hapuslah perikatan itu.

Apabila kita tinjau mengenai hapusnya perikatan itu terdapat peraturannya

yaitu :

1. Yang terdapat dalam KUH Perdata secara umum terdapat dalam

Pasal 1361 KUH Perdata dan pasal-pasal berikutnya. Mengenai

hapusnya perikatan menurut Pasal 1381 KUH Per, terjadi karena 10

hal, yaitu :

42

a. Karena pembayaran

b. Adanya consignatie, artinya adalah penawaran pembayaran

tunai diikuti oleh penyimpanan barang atau penitipan barang.

c. Pembaharuan utang (novatie)

d. Adanya kompensasi, berarti perhitungan utang sebelah

menyebelah atau perjumpaan utang.

e. Pencampuran utang

f. Pembebasan utang

g. Hapusnya barang yang terutang

h. Pembatalan perjanjian atau kebatalan

i. Berlakunya suatu syarat pembayaran yang diatur dalam Bab I

Buku III KUH Perdata.

j. Lewat waktu (kadaluwarsa) hal ini akan diatur dalam bab

tersendiri.

2. Yang terdapat pengaturannya di luar KUH Perdata. Sedang

mengenai hapusnya perikatan yang diatur di luar KUH Perdata

terjadi karena yaitu :

a. Lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam

perjanjiannya.

b. Hilangnya atau meninggalnya seorang anggota dalam perjanjian

contohnya karena perjanjian perseroan (maatschap) dan dalam

perjanjian pemberian kuasa (lastgeving).

c. Meninggalnya orang yang memberikan perintah.

43

d. Karena pernyataan pailit dalam perjanjian maatschap

e. Di dalam isi perjanjian ditegaskan hal-hal yang menghapuskan

perjanjian itu.

Dalam perjanjian utang piutang di bawah tangan akan berakhir

apabila si debitur telah memenuhi kewajibannya untuk membayar

Utangnya sesuai dengan perjanjian yang telah mereka sepakati.

Pembayaran yang dimaksudkan tidak diharuskan berupa uang saja, tetapi

penyerahan barang juga disebut juga pembayaran. Pada asasnya hanya

orang yang berkepentingan saja yang dapat melakukan pembayaran secara

sah, seperti yang terutang atau orang yang menanggung, walaupun

demikian pihak ketiga yang tidak berkepentingan dapat membayar utang

secara sah, asalkan saja ia bertindak atas nama si berutang. Maka si

berpiutang diharuskan untuk menerima pembayaran tersebut.