tafsir al-silm kāffah qs. al-baqarah [2]: 208: studi...
TRANSCRIPT
“Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208:
Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh :
FIQIH KURNIAWAN
NIM: 1112034000072
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2017 M
iv
ABSTRAK
Fiqih Kurniawan
Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208: Studi Komparatif Penafsiran
Mufassir Klasik Dan Modern
Islam kāffah merupakan istilah yang diangkat dari ayat al-Qur‘an.
Sementara dalam ranah tafsir sendiri, kata al-silm yang terkandung dalam ayat
tersebut memuat beragam macam penafsiran. Kata al-silm mengandung arti Islam,
ketaatan, tunduk dan perdamaian. Dari ragam penafsiran tersebut kemudian dalam
konteks sekarang di Indonesia sebagian kalangan Islam menggunakan penafsiran
al-silm dengan Islam. Implikasi dari penafsiran tersebut kemudian memunculkan
pemahaman bahwa Islam harus diterapkan secara kāffah (menyeluruh) meliputi
ideologi negara berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 208. Penafsiran yang pada
awalnya sebagai sebuah alat untuk untuk mengetahui makna yang terkandung
dalam kalam ilahi—bergeser menjadi sebuah alat kepentingan kelompok Islam
tertentu.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana sumber teks tafsir berbicara
mengenai kata al-silm kāffah dan mengetahui bagaimana relevansi di antara
kalangan Islam di Indonesia memahami sebuah konsep Islam kāffah. Maka
metode penelitian skripsi yang digunakan peneliti adalah metode analisis-
komparatif. Metode bermaksud menganalisis perbandingan penafsiran klasik
dengan modern terhadap masalah yang sedang peneliti kaji. Penafsiran klasik
menyajikan banyak makna al-silm yang bersumber pada riwayat, sementara
mufassir modern lebih menekankan konteks sosial masyarakat dalam
penafsirannya. Kemudian untuk mengkaitkan dengan konteks sekarang, penulis
menggunakan pendekatan kontekstual Abdullah Saeed. Pendekatan kontekstual
bertujuan untuk memahami bagaimana sebuah penafsiran relevan dengan konteks
yang mengitarinya.
Berdasarkan objek yang diteliti, penulis telah menemukan beberapa
temuan terkait tersebut. Pertama, mufassir klasik cenderung menafsirkan al-silm
dengan Islam, sedangkan mufassir modern menafsirkan al-silm dengan nilai.
Kedua, sebagian kelompok Islam menggunakan Islam kāffah untuk menerapkan
syariat Islam. Ketiga, sebagian cendekiawan Muslim di Indonesia seperti
Abdurrahman Wahid menolak pemahaman Islam kāffah, di samping merupakan
tindakan subversif kebahasaan, yaitu titik puncak dari Islam kāffah menurut
Abdurrahman Wahid ialah mendirikan negara Islam. Keempat, dalam ranah nalar
publik, Islam kāffah sebagai ideologi telah mengalami benturan karena
berseberangan dengan ideologi Pancasila dan sistem demokrasi yang dianut oleh
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah
SWT. Yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, taufik, rahmat dan
hidayah-Nya, serta kemudahan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai
kesulitan atau pun cobaan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW. Rasul penutup para
Nabi, serta tidak lupa untuk para keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga
akhir zaman.
Skripsi merupakan satu di antara tugas yang harus diselesaikan dalam
rangka mendapatkan gelar Sarjana Agama Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
jurusan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Judul skripsi ini adalah ―Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208:
Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern‖. Penulis menyadari
kesulitan dalam menyelesaikan skripsi yang dikerjakan dan juga penulis
menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini dan sangat
memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, penulis membuka lebar-lebar kritikan dan
saran yang sifatnya konstruktif.
Penulis menyadari sepenuhnya, karya ini bisa terwujud bukan karena hasil
seorang diri, namun tidak lain berkat dukungan moril dan materil yang telah rela
meluangkan waktu disela-sela kesibukannya. Untuk itu dengan segala kerendahan
hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
vi
1. Bapak Prof. Dede Rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat beserta seluruh jajarannya.
3. Ibu Dr. Lilik Umi Kultsum, MA. dan Ibu Dra. Banun Binaningrum
M.Pd. selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir.
4. Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA. selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dengan penuh kesabaran serta memberikan banyak ilmu
serta dukungan dan motifasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga
Allah memanjangkan umurnya, dan senantiasa membalas segala
kebaikan beliau.
5. Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA. selaku Pengasuh penulis
ketika mondok di Pondok Pesantren Dar al-Qur‘an Arjawinangun-
Cirebon dan Pamulang-Tangerang Selatan. Maha Guru yang telah
memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Kusmana MA. selaku dosen penasehat akademik yang telah
memotivasi penulis untuk selalu bersikap kritis serta dituntut untuk
selalu doyan membaca.
7. Mang Mukti Ali selaku paman penulis yang telah memberikan banyak
ilmu yang tidak didapat penulis selama duduk di bangku kuliah. Yang
telah ikhlas merelakan kesibukannya untuk ngaji kitab fiqh dan
tasawuf, diskusi tasawuf Ibnu ‗Arabi dan pemikiran-pemikiran tokoh-
tokoh Timur Tengah dan Barat modern.
vii
8. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Bapak H. Sanaji dan Ibu Hj.
Nurasiya, yang telah mencurahkan cinta, kasih dan doa-doa yang tulus
ikhlas sepanjang waktu. Semoga Allah memanjangkan umur
keduanya, senantiasa diberikan kesehatan dan dijembarkan rejekinya.
Semoga Allah membalas semua kebaikan-kebaikan keduanya.
9. Keluarga besar Bani Qusyairi dan Bani ‗Abdullah yang telah banyak
berbagi suka dan duka, dukungan serta do‘a.
10. Teman-teman seperjuangan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir angkatan 2012,
semoga tali kekeluargaan kita semua senantiasa tetap berjalan dengan
baik juga semoga senantiasa diberikan kesehatan dan kemudahan
dalam mencapai maksud dan tujuannya.
11. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD), Himpunan
Mahasiswa Cirebon Jakarta Raya (HIMA-CITA), dan Persatuan
Mahasiswa Alumni Dar al-Tauhid (Permada) Arjawinangun-Cirebon,
yang telah banyak memberikan ilmu dalam suasana organisasi dan
diskusi-diskusi yang interaktif.
12. Keluarga besar alumni Pondok Pesantren Dar al-Qur‘an
Arjawinangun-Cirebon, Kang Mukromin, Kang Nasihin, Kang Ali
Murtadlo, Gus Firnas Adha, Azhar Maulana, Syuhada al-Ibnu, dan
lain-lain, yang telah banyak berbagi suka dan duka.
13. Kelompok KKN Infijar, semoga dimudahkan dan dilancarkan dalam
menyusun skripsi.
viii
14. Teman-teman Penerbit Buku, Mas Shalahuddin selaku penyunting
penerbit Javanica, Exchange, Mas Aryo penerbit Serambi, yang telah
memberikan banyak ilmu tentang perbukuan.
Ciputat, 07, 05, 2017
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku
―Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi)‖ yang diterbitkan
oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
A. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan - ا
B be ب
T te خ
Ts te dan es ز
J je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
Kh Ka dan ha خ
D de د
Dz de dan zet ر
x
R er س
Z zet ص
S es ط
Sy es dan ye ش
Sh es dengan ha ص
Dh de dengan ha ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas ‗ ع
hadap kanan
Gh ge dan ha غ
F ef ف
Q ki ق
K ka ك
xi
L el ل
M em م
N en ى
W we و
H ha
apostrof ‘ ء
Y ye
B. Tanda Vokal
1. Vokal Pendek
Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan
ــــــ A fatẖah
ــــــ I Kasrah
ــــــ U dhammah
2. Vokal Panjang
xii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
اى Ā a dengan garis di atas
ى Ī i dengan garis di atas
ىى Ū u dengan garis di atas
Contoh:
qāla : قال
yaqūlu : قىل
qīla : قل
jarā : جشي
3. Diftong
Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan
ــــــ Ai a dan i
و ــــــ Au a dan u
4. Kata Sandang (ال)
al-Masjidu : الوسجذ
al-Dharûrah : الضشوسج
xiii
5. Tasydid ـ(ــــ )
حاإلساله : al-Islāmiyyah
Rabbunā : ستا
6. Ta Marbutah
Kata Arab Alih Aksara
Tarīqah طشقح
al-Jāmi‟ah al-Islāmiyyah الجاهعح اإلسالهح
Waẖdah al-Wujūd وحذج الىجىد
7. Singkatan-singkatan
QS : al-Qur‘an Surat
SAW : Shallallahu ‗Alaihi Wasallam
SWT : Subhanahu Wa Ta‗ala
RA : Radhiyallahu ‗Anhu
xiv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................i
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................iii
ABSTRAK ............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ..........................................................................................v
PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ........................................................14
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................15
D. Manfaat Penelitian .....................................................................................15
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................16
F. Metodologi Penelitian ...............................................................................19
G. Sistematika Penulisan ................................................................................21
BAB II DISKURSUS ISLAM KĀFFAH
A. Definisi ......................................................................................................23
1. Islam ..........................................................................................................23
2. Kāffah ........................................................................................................35
3. Islam Kāffah ..............................................................................................40
B. Pandangan Ulama Terhadap Islam Kāffah ................................................43
C. Cara Pandang Islam Kāffah .......................................................................51
BAB III PENAFSIRAN KLASIK DAN MODERN ATAS AYAT AL-SILM
KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]: 208
A. Asbāb al-Nuzūl QS. Al-Baqarah [2]: 208 ..................................................56
B. Penafsiran Klasik atas al-Silm Kāffah .......................................................59
C. Penafsiran Modern atas al-Silm Kāffah .....................................................67
xv
BAB IV ANALISIS-KOMPARATIF PENAFSIRAN KLASIK DAN
MODERN ATAS AYAT AL-SILM KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]:208
DAN RELEVANSINYA DENGAN KONTEKS INDONESIA
A. Corak Penafsiran .......................................................................................76
B. Keserasian al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 ................................77
C. Segi Penafsiran ..........................................................................................78
D. Relevansi Penafsiran ayat al-Silm Kāffah dalam Konteks Indonesia ........84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................93
B. Saran-saran ...............................................................................................94
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................95
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Metode penafsiran terhadap al-Qur‘an senantiasa menarik untuk dikaji
maupun diteliti. Jika ditarik pada masa lalu, para ulama klasik telah menerapkan
beberapa cara menafsirkan al-Qur‘an, seperti tafsir bi al-Ma‟tsūr yang
menekankan pada riwayat dan cenderung tekstualis, sedangkan bi al-Ra‟yi yang
lebih mengutamakan pendekatan akal dan cenderung kontekstual.1 Namun, upaya
rekonstruksi metode penafsiran tidak berhenti pada masa klasik saja, pada era
kontemporer ini beragam cendekiawan Muslim yang konsentrasi di bidang al-
Qur‘an menawarkan beragam cara pembacaan al-Qur‘an, misalnya Muhammad
‗Abduh,2 Fazl al-Rahman,
3 atau ‗Abd al-Hay al-Farmāwī. Merujuk pendapat al-
Farmāwī di dalam kitabnya al-Bidāyah fī Tafsīr al-Maudhū„ī, ia merumuskan ada
1
Misalnya mufassir klasik menafsirkan al-Qur‘an dengan cara: Pertama, bi al-Ma‟tsūr
seperti Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān; Ibnu ‗Atiyyah, al-Muharrar
al-Wajīz; Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm; al-Suyūtī, al-Dur al-Mantsūr. Kedua, bi al-Ra‟yi
seperti al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf; al-Rāzī, Mafātih al-Ghaib; al-Alūsī, Rūh al-Ma„ānī; Abī
Hayyān, al-Bahr al-Muhīt; Abī al-Sa‗ūd, Irsyād al-„Aql al-Salīm. Lihat ‗Abd al-Rahman ibn
Sulaimān al-Rūmī, Buhūtsu fī Ushūl al-Tafsīr waManāhijuhu, (Riyādh: Maktabah al-Taubah,
1994) cet. IV.
2 Yang ditekankan oleh ‗Abduh adalah bagaimana caranya mengembalikan al-Qur‘an
sebagai kitab hidayah untuk umat Islam.Namun, secara eksplisit ‗Abduh melakukan pembacaan
terhadap al-Qur‘an bukan saja lewat ilmu-ilmu yang berkembang dalam Islam, melainkan juga
yang berkembang di barat seperti ilmu-ilmu sosial, politik, dan hermeneutika. Aspek tersebut yang
secara tidak langsung mempengaruhi pembacaan ‗Abduh terhadap al-Qur‘an.
3 Fazl al-Rahman menawarkan pembacaan al-Qur‘an dengan metode yang dikenal yaitu
double movements (gerak ganda). Berbeda dengan ‗Abduh, Ia secara implisit menawarkan
pembacaan terhadap al-Qur‘an dengan metode yang berkembang di barat yaitu hermeneutika. Hal
tersebut yang mempengaruhi cendekiawan Muslim setelahnya untuk mengembangkan metode
pembacaan al-Qur‘an dengan ilmu bantu yang terdapat di barat, khususnya hermeneutika.
2
empat metode penafsiran al-Qur‘an4
yaitu tahlīlī (analitis), ijmalī (global),
muqarran (perbandingan) dan maudhū„ī (tematik).5
Beberapa ulama di atas telah menawarkan beragam metode penafsiran al-
Qur‘an menginsipirasi Abdullah Saeed untuk bergelut di dunia kajian al-Qur‘an.
Berbeda dengan yang lain, Saeed mempersoalkan pendekatan tekstualis yang
mengadopsi pendekatan literalistik terhadap teks.6 Demi menyeimbangkan tafsir
tekstual yang begitu dominan, Saeed menawarkan pendekatan kontekstual yang
menurutnya amat penting untuk umat Islam kontemporer.7 Perdebatan inilah yang
akhir-akhir ini menarik untuk dikaji. Sebagaimana Ahmad Taufik catat bahwa
metode tafsir klasik dianggap bisa melahirkan penafsiran yang eksklusif. Ini
disebabkan metode penafsiran yang digunakan adalah metode kebahasaan yang
cenderung tekstual.8
Berbeda dengan pendekatan tekstual, pendekatan kontekstual cenderung
melihat al-Qur‘an terutama sebagai sumber pedoman praktis yang seharusnya
diimplementasikan secara berbeda ketika perubahan dalam masyarakat
membutuhkannya, sepanjang tidak melanggar hal-hal fundamental dalam Islam.9
Sementara pendekatan tekstual cenderung bersifat rigid, literal, dan tidak
menerima kondisi perubahan zaman. Hal tersebut yang disoroti oleh cendekiawan
4 Penulis punya pendapat berbeda apa yang sudah dirumuskan oleh al-Farmāwī di dalam
kitabnya. Menurut penulis apa yang dirumuskan al-Farmāwī ini hanya pada sistematika penulisan
saja bukan pada teknik penafsiran.
5 ‗Abd al-Hay al-Farmāwī, al-Bidāyah fī Tafsīr al-Maudhū„ī: Dirasah Manhājiyyah
Maudhū„iyyah, (Cairo: Matba‗ah al-Hadharah al-‗Arabiyyah, 1997) h. 9.
6 MK Ridwan, Metodologi Penafsiran Kontekstual; Analisis Gagasan dan Prinsip Kunci
Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed, dalam Millati: Journal of Islamic Studies and
Humanities, Vol. 1, No. 1, Juni 2016, h. 4.
7 Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h. 12.
8 Ahmad Taufik, Hubungan Antar Umat Beragama (Studi Kritis Metodologi Penafsiran
Tekstual) dalam Journal of Qur‟ȃn and Hadīts Studies, Vol. 3, No. 2, 2014, h. 142.
9 Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 43.
3
Muslim kontemporer untuk mengkaji tafsir yang terkait dengan gerakan Islam
fundamentalisme.10
Dalam menyikapi persoalan ini, seringkali ayat yang berbunyi tentang
Islam yang secara eksplisit disebutkan di dalam al-Qur‘an ditafsirkan secara
tekstual seperti, ―Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah
Islam‖ (QS. Ali ‗Imran [3]: 19), ―Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,‖ (QS. Ali
‗Imran [3]: 85), ―dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu‖ (QS. Al-
Maidah [5]: 3).
Ayat-ayat di atas sangat rentan untuk dijadikan justifikasi (pembenaran)
oleh kelompok Islam fundamentalis11
atas sikap fanatisme dan sektarianisme12
10
Izza Rahman dalam tulisannya mengatakan bahwa popularitas di antara para salafi
modern seringkali didasarkan pada tradisi tafsir sebagaimana halnya Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm
karya Ibnu Katsīr (yang mana secara prinsip dan metode mengikuti apa yang digariskan oleh
gurunya yaitu Ibnu Taimiyyah, salah satu figur salafi unggulan) dan Jāmi„ al-Bayān karya al-
Tabarī (sebagian besar direkomendasi dalam tafsir Ibnu Taimiyyah). Lihat Izza Rahman, Salafi
Tafsir: Textualist and Authoritarian? dalam Journal of Qur‟ȃn and Hadīts Studies, Vol. 3, No. 2,
2012, h. 200. 11
Istilah fundamentalisme sampai sekarang masih diperdebatkan. Fundamentalisme
sendiri merupakan sebuah istilah keagamaan yang lahir dari tradisi keagamaan Kristen. Lihat
Badarussyamsi, Fundamentalisme Islam: Kritik atas Barat, (Yogyakarta: LKiS, 2015) h. 2. Istilah
ini juga tidak bisa lepas dari respon sebagian pemikir Muslim seperti Hassan Hanafi, menurutnya
dalam Islam dikenal dengan istilah al-ushȗliyyah sebagai padanan dari kata asing yakni
fundamentalisme. Sehubungan dengan ini banyak di kalangan Muslim yang menolak anggapan
Barat yang menjadikan istilah fundamentalisme sebagai istilah yang menunjuk peristiwa mutakhir
setelah Khomeini memerintah di Iran dan para peneliti Barat memutar balik fakta yang ada. Lihat
Hassan Hanafi, Fundamentalisme dan Modernitas Gerakan Islam Kontemporer: Periode Sejarah
Ketiga, dalam Hassan Hanafi & Muhammad ‗Abid al-Jabiri, Dialog Timur & Barat: Menuju
Rekonstruksi Metodologis Pemikiran Politik Arab yang Progresif dan Egaliter, Penerjemah: Umar
Bukhory, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 58. Istilah fundamentalisme sering disandingkan
dengan ekstrimisme dan radikalisme. Secara sederhana Tholkhatul Khoir telah menulis perbedaan
karakter antara ketiganya. Menurutnya, radikalisme adalah orang-orang yang ingin mengubah
masyarakat dari atau bersama akarnya. Sementara ekstrimisme adalah komitmen dan keinginan
untuk menggunakan sebuah perhitungan yang memberikan nilai yang luar biasa terhadap sasaran
dan hasil. Karenanya, ia adalah sebuah gerakan yang rasional, tentunya bagi orang yang bekerja di
dalamnya, di mana nilai-nilainya berbeda dengan gerakan lain. Sedang fundamentalisme merujuk
pada skripturalisme, pemahaman ketat terhadap perintah-perintah yang tertulis dalam teks-teks
agama, dan tendensi kuat untuk kembali kepada dasar-dasar (fundamental) agama. Lihat
4
yang berujung pada SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Karena
mereka meyakini bahwa apa yang mereka persepsikan tentang Islam adalah yang
paling benar (truth claim)13
atau meminjam istilah Tariq Ramadan—alienasi,14
sedangkan yang lain adalah salah. Sikap keberagamaan ini yang biasa disebut
dengan keberagamaan yang eksklusif.15
Sayangnya, Islam sebagai sebuah agama mempunyai teks yang bisa
dipandang dari berbagai sudut. Betapa tidak, al-Qur‘an yang diyakini sebagai
Tholkhatul Khoir, Tujuh Karakter Fundamentalisme Islam, dalam Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei
2014, h. 54-55. 12
Sektarianisme adalah semangat membela suatu sekte atau madzhab. Lihat Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) h. 1287. Para penganut sektarianisme
berpandangan bahwa realitas duniawi sudah tercemari kejahatan. Kedamaian tak akan tercipta di
dalam dunia, melainkan di luarnya. Lihat Muhammad Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai
Dalam Islam: Teori dan Praktik, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010) h. 11. Jika merujuk dalam al-
Qur‘an, Islam bukanlah agama sektarianisme. Adapun ada beberapa tafsir yang tendesi
mengandung ajaran sekte-sektenya. Sekte Mu‗tazilah yaitu al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf. Sekte
Syi‗ah yakni Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān. Selain itu al-
Dzahabī mencatat Kitab Tafsīr liSayyīd al-„Alwī sebagai tafsir dari sekte Syi‗ah. Lihat Muhammad
Husaīn al-Dzahabī, al-Ittijāh al-Munharifah fī Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm: Dawāfi„uhā wa
Daf„uhā, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1986) Cet. III, h. 55. 13
Secara bervariasi, klaim kebenaran agama itu didasarkan atas ajaran otoritatif dari
pemimpin karismatik ―yang mendapatkan ilham‖ atau menyerupai orang suci, juga didasarkan
pada interpretasi atas teks suci, yang sering dikaitkan dengan para pemimpin berbakat semacam
itu. Klaim-klaim itu mewarnai tradisi agama secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.
Dalam setiap agama, klaim kebenaran merupakan fondasi yang mendasari keseluruhan struktur
agama. Namun, ketika interpretasi tertentu atas klaim tersebut menjadi proporsi-proporsi yang
menuntut pembenaran tunggal dan diperlakukan sebagai doktrin kaku, kecenderungan terhadap
penyelewengan dalam agama ini muncul dengan mudah. Kecenderungan tersebut merupakan
tanda-tanda awal kejahatan yang menyertainya. Lihat Charles Kimball, Kala Agama Jadi
Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin Washil, (Bandung: Mizan Publika, 2013) h. 78. 14
Istilah alienasi sebagaimana dikutip oleh Abd. Muid—adalah istilah Tariq Ramadhan
yang diartikannya sebagai penampilan pemahaman kebenaran yang eksklusif; kebenaran yang buta
dan membutakan; kebenaran yang mengukung, bukan yang membebaskan; padahal menafikan
keragaman yang merupakan kehendak Tuhan sendiri. Lihat Abd. Muid N. Harmoni Islam dan
Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural, dalam Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 no. 4, Tahun
2013) h. 649. 15
Dalam menanggapi persoalan kebenaran dari tradisi agama, ada beberapa pendekatan
yang prinsipil, yaitu, ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Pandangan eksklusivisme sangat
ekstrem, karena mengklaim bahwa kebenaran hanyalah miliknya. Sedangkan pluralisme adalah
bentuk moderat dari relativisme, yang mengatakan bahwa semua agama adalah benar. Sedangkan
inklusivisme yang mengatakan bahwa keselamatan bukanlah milih agama tertentu, tetapi agama-
agama lain pun memilikinya. Hanya saja, kebenaran yang ada di luar dirinya itu disebut sebagai
agama ―anonim‖. Lihat Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001) h. 12.
Bandingkan dengan buku Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun
Toleransi Bersasis Al-Qur‟an, (Depok: KataKita, 2009) h. 54-59.
5
kalam Allah yang transenden (di luar segala kesanggupan manusia), akhirnya
harus ―Terintervensi‖ oleh upaya-upaya manusia yang tidak bisa lepas dari
persoalan-persoalan teologi, politik, sosial dan budaya.16
Karenanya,
heterogenitas penafsiran merupakan sesuatu yang tak terelakkan.17
Celakanya, keragaman teks kemudian disederhanakan menjadi satu-dua
ayat yang digunakan sebagai justifikasi untuk mengabsahkan kekerasan.18
Karena
pembacaan terhadap al-Qur‘an yang cenderung kaku, tekstual dan menanggalkan
aspek sosio-historis ketika ayat al-Qur‘an tersebut diturunkan.19
Kasus ini bisa
dilihat pada ayat-ayat tentang perintah membunuh orang kafir,20
larangan
pengambilan seorang pemimpin non-Muslim21
dan lebih dari itu, menurut
Muhammad al-Ghazali ada orang yang berpandangan dikotomis dengan
mengatakan bahwa Islam adalah yang mendorong umatnya untuk berperang.22
16
M. Quraish Shihab dalam pengantar buku Taufik Adnan Kamal, Rekonstruksi Sejarah
al-Qu‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013) h. ix. 17
Junaidi Abdillah, Dekontruksi Tafsir Ayat-ayat Kekerasan, (Lampung: Analisis,
Volume XI, Nomor 1, Juni 2011) h. 73. 18
Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007) h. 38. 19
Menurut Baharudin, tradisi muslim ‗radikal‘ sering menafsirkan beberapa ayat al-
Qur‘an secara sepotong-potong untuk menguatkan pendirian dan ideologinya. Lihat Mohammad
Baharudin, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012) h. 41. 20
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah). (al-Baqarah [2]: 191). 21
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. (Ali Imran [3]: 28). 22
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Al-Qur‟an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan
Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: Mizan, 2008) h. 113, dalam kasus ini
Muhammad al-Ghazali menukil firman Allah yang berbunyi, Dan perangilah kaum musyrik itu
semuanya, dan hanya berhenti sampai di situ, padahal menurut al-Ghazali ayat tersebut masih ada
lagi kelanjutannya, Sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya.
6
Abdul Mustaqim mengutarakan bahwa ayat-ayat di atas dapat disebut
ayat-ayat ‗radikal‘23
yang dapat menjadi pemicu terjadinya aksi kekerasan
terhadap non-Muslim, atau bahkan terhadap kelompok lain yang tidak satu
ideologi,24
apalagi jika dipahami hanya dari sisi terjemahan (makna teksnya),
tanpa mempertimbangkan konteks, spirit, dan implikasinya dalam masyarakat
multikultural dewasa ini.25
Hal ini yang dicermati oleh Ziauddin Sardar,
menurutnya ada dua kelompok yang sama-sama keliru dalam memahami al-
Qur‘an. Sebagian muslim dijadikan dalil bagi kekerasan tak pandang bulu dan
oleh sebagian non-Muslim dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Islam pada
dasarnya adalah agama kekerasan.26
Seperti diketahui, kelompok-kelompok garis keras memahami teks-teks
keagamaan secara harfiah, dan mengabaikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang
tidak mendukung kepentingan mereka. Maka pesan agama pun direduksi sebatas
makna atau pesan yang bisa disampaikan dalam rangkaian-rangkaian huruf-huruf
23
Dalam kamus istilah , radikal memiliki arti sama sekali; besar-besaran dan menyeluruh,
keras, kokoh, mau dan tajam (dalam berpikir). Lihat Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus
Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, t.th) h. 648. 24
Ideologi dipakai untuk menunjukkan kelompok ide-ide yang teratur menangani
bermacam-macam masalah politik, ekonomi dan sosial; atas haluan; pandangan hidup dunia. Lihat
Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmah Populer, h. 239. Andrew Heywood
mengatakan bahwa, asal usul istilah ideologi sendiri ternyata tidak sejelas yang diduga. Kata ini
dipadukan selama Relovusi Prancis oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), dan digunakan di
media publik pertama kali 1796. Di benak de Tracy ketika menggagasnya, istilah ideologie berarti
―ilmu tentang ide-ide‖—secara harfiah ―idea-logy‖, sebuah bidang studi yang baru diklaimnya.
Menurut Heywood, konsep ideologi sampai sekarang masih terjadi ketidaksepakatan. Namun
Heywood menyimpulkan makna-makna terkait ideologi salah satunya; ide-ide politik yang
membentuk atau mengartikulasikan kepentingan-kepentingan kelas atau sosial. Lihat Andrew
Heywood, Ideologi Politik: Sebuah Pengantar, Penerjemah: Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2016) h. 8. Lihat juga L. Laeyendecker, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi, Penerjemah: Samekto, (Jakarta: Gramedia, 1983) h. 63. 25
Abdul Mustaqim, Deradikalisasi Penafsiran al-Qur‟an dalam Konteks Keindonesiaan
yang Multikultur, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan
Realitas, h. 356. 26
Ziauddin Sardar, Ngaji Qur‟an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab
Persoalan Mutakhir, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 218.
7
saja sesuai dengan ideologi mereka.27
Dalam konteks ini, perhatian penulis
terhadap masalah tersebut berfokus pada munculnya isu Islam kāffah.28
Istilah
Islam kāffah merupakan salah satu kasus penafsiran yang sampai sekarang masih
debatable.
Berislam secara kāffah berarti mengamalkan syariat Islam dengan baik dan
benar sesuai dengan tuntunan yang diajarkan.29
Tidak dibenarkan percaya dan
mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian ajaran
Islam yang lain.30
Pandangan ini berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 208:
―Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam al-silm
keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.‖(QS. Al-Baqarah
[2]: 208)
Istilah Islam kāffah diangkat dari kata ادخلىا ف السلن كافح (masuklah kalian
ke dalam al-silm secara kāffah). Dalam literatur tafsir sendiri memunculkan
beragam macam penafsiran, sebagian menafsirkan kata al-silm dengan Islam,
27 Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional
di Indonesia, (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, Maarif Institue, 2009)
h. 103.
28 Isu Islam kāffah sejajar dengan isu islamic state (negara Islam). Dalam era rezim
Soeharto, isu Islam kāffah maupun negara Islam tidak bisa didiskusikan secara terbuka, sehingga
hanya menjadi diskusi ―bawah tanah‖. Lihat Farha Ciciek, Melawan Kekerasan Yang Tidak Kasat
Mata “Pergulatan Kaum Perempuan di Pesantren al-Firdaus, Siraman, Jawa Tengah”. Dalam
MAARIF, Vol. 5, No. 2 – Desember 2010, h. 90. Selain itu, Ahmad Syafi‘i Mufid mencatat bahwa
faham al-Islām din wa daulah atau Islam kāffah ternyata mendapatkan perhatian dan diminati
kalangan kampus dan anak muda Islam pada tahun 1980-an. Lihat Ahmad Syafi‘i Mufid, Faham
Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di Indonesia, dalam HARMONI: Jurnal
Multikultural & Multireligius, Volume VIII, Nomor 30, April – Juni 2009, h. 15. 29
Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan,
(Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015) h. 204. 30
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, (Jurnal Karsa, Vol IX, 2006) h. 809.
8
sebagian yang lain menafsirkannya dengan kepasrahan, perdamaian, dan
ketundukan. Penafsiran terhadap al-silm dengan Islam ini yang kemudian pada
konteks sekarang mendapatkan tanggapan yang serius oleh kalangan cendekiawan
Muslim di Indonesia. Sementara kata kāffah secara umum dimaknai dengan
keseluruhan atau totalitas.
Bila ditinjau dari segi penafsiran, perbedaan penafsiran tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, era mufassir klasik seperti;
Ṯabarī,31
al-Qurṯubī,32
dan Ibnu Katsīr,33
cenderung menafsirkan al-silm dengan
pengertian Islam sebagai agama, yang harus diikuti seluruh syariat-Nya, dengan
pengertian mengerjakan seluruh yang diperintah-Nya, dan meninggalkan seluruh
yang dilarang-Nya. Sedangkan yang kedua, ter-reprentasi pada mufassir modern
seperti Muẖammad ‗Abduh dan al-Marāghī.34
Meskipun sebagian mufassir modern berhaluan sama dengan mufassir
klasik,35
namun karena pendekatan yang digunakan berbeda dalam penafsirannya,
maka mereka lebih cenderung menafsirkan kata al-silm dengan rekonsiliasi.
Artinya, rekonsiliasi yang ditegaskan dalam mufassir modern yakni hendak
mendamaikan persoalan-persoalan konflik internal umat Islam yang sampai
31
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401. Misalnya Ibnu
‗Abbās juga menafsirkan ayat tersebut dengan, ―di dalam syariat agama Muhammad SAW.
seluruhnya. Lihat Muẖammad ‗Alī Baidhāwī, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr ibn „Abbās, (Bairūt:
Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2000) h. 36. 32
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz III, Cet. I, h. 329. 33
Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. 34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 543.
35
Seperti tafsir al-Syaikh Muẖammad al-Nawāwī al-Jāwī, Maraẖ Labīd Tafsīr al-
Nawawī, (Dār al-Fikr, t.th) Juz I, h. 54. Lihat juga Bisyrī Mushṯafa, Al-Ibrīz liMa„rifati Tafsīr al-
Qur‟ān al-„Azīz, (Kudus: Menara Kudus, t.th) Juz I, h. 74.
9
sekarang masih saja terus terjadi permusuhan dan pertikaian.36
Seperti halnya
dalam tafsir al-Tabarī, rekonsiliasi yang dimaksud adalah masuklah kamu sekalian
dalam perdamaian dan egalitarian atau perbaikan, meninggalkan perang dan
membayar jizyah atau upeti.37
Jika mengambil penafsiran al-silm kāffah dengan Islam yang menyeluruh,
maka ayat ini berarti memerintahkan kepada setiap orang yang beriman agar
melaksanakan seluruh ajaran Islam secara totalitas. Konsekuensi pemahaman
seperti ini yang pada era dewasa sekarang akrab disebut dengan Islam kāffah yang
mengandaikan tegaknya syariat Islam sebagai sumber hukum di muka bumi.38
Pemahaman tersebut mencapai titik kulminasi (tertinggi) ketika al-silm bermakna
dengan Islam ditafsirkan secara formalis dan simbolis. Artinya, pengaktualisasian
Islam tidak berhenti sebatas tingkah laku personal, lebih dari itu yang dikehendaki
Islam kāffah adalah penerapan secara menyeluruh meliputi perubahan ideologi
dan struktur negara yang sesuai dengan syariat Islam. Masalah demikian bisa
36
Penafsiran demikian bisa dilihat dalam tafsir Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-
Qur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī,
Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz
II. 37
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398. 38
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, h. 809. Terakit dengan ini, Gus Dur mengatakan bahwa bermula dari
ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam kategori al-akhta‟ al-sya‟iah (kesalahan-
kesalahan yang populer) yaitu idiom ―Islam kāffah‖ yang hanya dikenal dalam komunitas muslim
Indonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidah-kaidah gramatikal Arab. Istilah ―Islam kāffah ‖
tidak hanya merupakan tindakan subversif gramatikal tetapi juga pemaksaan istilah yang
kebablasan. Kalangan fundamentalis sering merujuk ―Islam kāffah‖ ini sebagai doktrin teologis.
Doktrin ini di tangan mereka mengalami pergeseran, yakni ke arah ideologisasi dengan
mendasarkan pada ayat ini. Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama
Masyarakat Negara Demokrasi. (Jakarta: The Wahid Institue, 2006) h. 3
10
dilihat pada pemikiran tokoh-tokoh perintis Islam fundamentalis kontemporer
blok timur seperti al-Maudūdī,39
Sayyid Quṯb,40
dan Taqiyuddin al-Nabẖani.41
Pemikiran dan gerakan Islam di negara-negara Islam memang mempunyai
pengaruh luas terhadap pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, meskipun ada
juga beberapa perbedaan penting, baik dalam substansi maupun bentuknya.42
Namun, ide taṯbīq al-syarī„ah (penerapan syariat) masih menjadi ―idaman‖ bagi
para penyeru negara Islam khususnya di Indonesia,43
hal tersebut sesuai dalam
pandangan sebagian gerakan Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama
dan negara.44
Karena menurutnya, Islam adalah agama dan sekaligus kekuasaan,
39
Misalnya al-Maudūdī dengan ẖakimiyatullah yang diartikan dengan hanya mengikuti
peraturan-peraturanNya saja. Abū al-‗Alā al-Maudūdī, al-Khilāfah wa al-Mulk, (Dār el-Qalam,
1978) Cet. I, h. 16.
40
Sama halnya dengan al-Maudūdī, bentuk pemerintahan yang ideal adalah suatu negara
yang berdasarkan atas kedaulatan hukum Ilahi (ẖakimiyatullah). Sayyid Quṯb, Petunjuk Sepanjang
Jalan, (tp, t.th) h. 38.
41 Taqiyuddin ialah pendiri Hizbut Tahrir. Bagi Hizbut Tahrir, Allah telah mewajibkan
umat Islam agar menerapkan Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka,
menjalankan pemerintahan Islam, serta menjadikan hukum-hukum syariat yang bersumber dari
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sebagai konstitusi dan sistem perundang-undangan mereka.
Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara
Khilafah Islamiyyah, Penerjemah: Muhammad Bajuri dan Romli Abu Wafa, (Bangil: Al-Izzah)
2008. h. 376. Lihat juga Taqiyuddin al-Nabẖani, Mafāhim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir
Indonesia, 2011) Cet. XI, h. 21. 42
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di
Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2012) h. 92. 43
Khamami Zada telah mencatat gerakan Islam radikal di Indonesia banyak dipengaruhi
oleh pemikiran tokoh (pionir) beberapa negara Timur Tengah, seperti al-Maudūdī, Sayid Quṯb,
Hassan al-Banna, Hasan al-Turabi, dan Muẖammad Taqiyuddin al-Nabhani. Pada gilirannya,
Islam radikal di Indonesia pun sebagiannya dalam hal penamaan organisasi/kelompok
menggunakan nama yang sama dengan gerakan Islam di Timur Tengah, seperti Ikhwanul
Muslimin, Hizbut Tahrir, Front Islamic Salvation (FIS), dan Mujahidin. Lihat lebih detail,43
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, h. 92. 44
Farag Fouda, Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan
dalam Sejarah Kaum Muslim, Penerjemah: Novriantoni, (Jakarta: Paramadina, 2008) Cet. II, h. 9.
Diskursus tentang hal demikian sebenaranya telah ada sejak dulu. Para pemikir dan tokoh Islam
modernis dan Masyumi di Indonesia selain Z.A. Ahmad, banyak mengupas gagasan negara Islam
dan terlibat dalam polemik soal dasar negara pada awal kemerdekaan hingga pada masa
perdebetan di Majelis Konstituante tahun 1957. Agus Salim, Muhammad Natsir, Soekiman, Kahar
Muzakkar, Hamka, Isa Anshari, Kasman Singodimedjo, banyak menggagas soal Islam sebagai
dasar negara dan tentang konsep negara Islam sejak era kebangkitan hingga awal dan pasa-
11
sehingga hubungan antara agama dan negara, antara aspek ritual dan politik,
sangat erat kaitannya, bahkan tidak bisa dipisahkan.45
Pada aspek lain, sebagaimana dalam pandangan Moh. Zahid, ia menyebut
stigma terhadap Islam bahwa tindakan kekerasan seringkali dikaitkan sebagai
upaya berislam kāffah dengan pemberian label jihad dan amar ma„ruf nahi
munkar untuk membenarkan dan menguatkan kebenarannya.46
Lebih tegas lagi
Abdul Mustaqim mengatakan bahwa dalam benak mereka, seolah ada anggapan
bahwa jika seorang muslim semakin militan dan agresif, serta intoleransi akan
semakin Islamis dan semakin kāffah.47
Dengan demikian, ayat al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 ini telah
mengeluarkan satu poin pemikiran yang sangat mendasar dalam wacana Islam
kontemporer yaitu bagaimana al-silm kāffah diartikan dengan Islam secara
menyeluruh (Islam kāffah). Pandangan demikian yang menurut hemat penulis
sangat kontradiktif apabila mengacu pada aspek penafsiran yang sangat multi-
tafsir. Apalagi tidak ditemukan dalam ijma„ (konsensus) tafsiran kata al-silm
kemerdekaan tahun 1945. Sedangkan kartosoewirjo, Daud Beureuh, dan Kahar Muzakkar yang
terlibat dalam gerakan DI/TII dalam fase yang panjang sejak tahun-tahun awal pasca-kemerdekaan
hingga tahun 1964; negara Islam merupakan tujuan dari gerakannya, yakni membentuk Negara
Islam Indonesia. Lihat Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, h. 172. 45
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban Islam
di Panggung Sejarah, (Jakara: Paramadina, 2003) h. 93. 46
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, h. 816. 47
Abdul Mustaqim, Deradikalisasi Penafsiran al-Qur‟an dalam Konteks Keindonesiaan
yang Multikultur, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan
Realitas, h. 361. Lihat juga Irfan Idris, Membumikan Deradikalisasi, (Jakarta: Daulat Press, 2016)
h. 30.
12
adalah Islam.48
Sehingga perlu untuk mengadopsi penafsiran lain yang lebih
inklusif untuk menghindari pemahaman yang keliru di tengah masyarakat dalam
menyikapi QS. Al-Baqarah [2]: 208.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sentralitas penafsiran, baik penafsiran klasik
maupun modern, atau penafsiran secara tekstualis maupun kontekstualis,
seringkali dijadikan pijakan legitimasi (pembenaran) untuk beberapa tindakan
yang berdasarkan pada produk penafsiran yang inklusif atau eksklusif. Karena
istilah Islam kāffah sebagaimana yang muncul dan berkembang sekarang,
merupakan sesuatu yang berangkat dari sebuah penafsiran secara tekstual49
terhadap teks al-Qur‘an. Sehubungan dengan ini Abdullah Saeed menulis:
Pada masa modern, tekstualisme secara erat dihubungkan dengan aliran
salafisme kontemporer, namun pendekatan ini seharusnya dipahami
sebagai pendekatan yang lebih tersebar luas, mengingat banyak pemikiran
tradisional dalam penafsiran-penafsiran ayat-ayat hukum dan teologi
didasarkan pada pendekatan tekstual seperti ini.50
48
Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur‟an. (Manado: Jurnal Al-Ulum,
Volume. 11, Nomor 2, Desember 2011) h. 291. Bahkan dalam tradisi tafsir dikenal dengan istilah
Ijma„ (kesepakatan). Berbeda dengan fiqh yang mempunyai bagian istimewa karena keperdulian
para ulama, maka ijma„ merupakan sesuatu yang dianggap sangat penting. Sebaliknya, para ulama
tidak terlalu memperdulikan ijma„ dalam dunia tafsir. jika fiqh menandakan kesepakatan atas suatu
hukum syara‗, maka ijma„ dalam tafsir adalah adanya kesepakatan dari para mufassir dari sesuatu
yang tetap tentang penyingkapan ucapan mereka di dalam tafsir—atas suatu makna dari beberapa
makna dalam menafsirkan ayat dari Kitab Allah. Lihat Musa‗īd ibn Sulaimān al-Ṯayyār, Fushūl fī
Ushūl al-Tafsīr, (Riyādh: Dār al-Nasyr al-Daulī, 1993) h. 70. 49
Yusuf Rahman dalam menela‘ah buku Adis Duderija ―Constructing a Religiously Ideal
“Believer” and “Woman” in Islam: Neo-traditional Salafi and Progressive Muslims‟ Method of
Interpretation, ia menggambarkan perbedaan metode pendekatan penafsiran antara muslim Salafi,
atau neo tradisional salafi (NTS), dengan muslim progresif (MP). Menurutnya, yang pertama
menggunakan pendekatan tekstual sementara yang kedua menggunakan kontekstual. Kedua
pendekatan inilah yang kemudian mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkan tema-tema
penting dalam Islam, seperti konsep orang beriman (believer/mu‟min) dan perempuan (woman)
yang ideal dalam Islam. Lihat Yusuf Rahman, Penafsiran Tekstual dan Kontekstual terhadap al-
Qur‟an dan Hadits (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif), Journal of Qur‘ȃn and
Hadȋth Studies – Vol. 1, No. 2 (2012), h. 297. 50
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h.
38. Secara lebih gamblang Saeed menjelaskan lebih lanjut. Saeed membagi praktik tekstualisme
dalam suatu spektrum: dari tekstualisme lunak (soft tekstualisme) hingga tekstualisme keras (hard
tekstualisme). Tekstualisme lunak menganggap makna literal sebagai basis pengkajian makna teks,
13
Pemahaman tentang praktek penafsiran yang digambarkan Abdullah Saeed
di atas, bisa diasosiasikan dengan cara pandang sebagian gerakan Islam yang
melakukan pendekatan terhadap al-Qur‘an secara tekstual (literal), sebagaimana
dalam kasus kata al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 di atas. Dan hingga
sekarang, istilah Islam kāffah sangat familiar dijadikan sebuah alat legitimasi
khususnya di Indonesia. Karena bagi yang pro-penafsiran al-silm dengan Islam—
mengatakan ayat tersebut merupakan sebagai sebuah perintah untuk menegakkan
syariat Islam secara kāffah dalam tataran personal maupun struktur negara.
Sementara tidak sedikit pula cendekiawan Muslim yang menolak pemahaman
tersebut.
Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk
mengangkat judul “Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208: Studi
Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern.” Penelitian ini penting
dilakukan untuk melihat perbedaan dan pergeseran makna terhadap kata al-silm
kāffah di kalangan para mufassir, baik klasik maupun modern. Penelitian ini juga
akan melihat kesesuaian penafsiran-penafsiran mereka dengan persoalan kekinian,
khususnya Indonesia.
Dalam literatur tafsir sendiri, kata al-silm memiliki banyak arti/penafsiran
seperti ketaatan, tunduk, perdamaian, dan Islam (agama). Penulis menyoal
tetapi juga memungkinkan kelenturan penafsiran sambil berusaha mempertahankan makna
berbasis riwayatnya. Tekstualisme keras mempraktikkan pemahaman makna literal kata secara
kaku tanpa mempertimbangkan kompleksitas maknanya. Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad
21: Tafsir Kontekstual, h. 38.
14
kembali pemaknaan kata al-silm dan al-silm kāffah perspektif karya tafsir klasik
dan modern agar relevan dengan kondisi kekinian, khususnya di Indonesia. Oleh
karena itu, judul penelitian skripsi ini adalah Tafsir al-Silm Kāffah dalam QS. Al-
Baqarah [2]: 208: Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Mengacu kepada latar belakang di atas, penulis membatasi diri pada
kajian menyangkut penafsiran. Pada poin ini, penulis meneliti penafsiran ayat
yang terkait terma al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 dalam tafsir klasik
seperti al-Ṯabarī, al-Qurṯubī, dan penafsiran modern seperti, Muẖammad ‗Abduh
dan al-Marāghī. Penulis menggunakan penafsiran al-Ṯabarī dan al-Qurṯubī untuk
melihat aspek penafsiran yang ditekankan oleh keduanya yaitu berupa
kecenderungan tekstualis yang berkaitan dengan kebahasaan. Karena aspek
tersebut menyediakan berbagai macam tafsiran yang diakses lewat jalur riwayat
dan qira‘at. Selain itu penulis menggunakan penafsiran Muẖammad ‗Abduh dan
al-Marāghī untuk melihat aspek penafsiran dari sudut aspek sosial (adab al-
ijtimȃ„).
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah skripsi ini
adalah Bagaimana penafsiran mufassir klasik dan modern terhadap kata “al-silm
kāffah” QS. al-Baqarah [2]: 208 dan relevansinya dalam konteks kekinian,
khususnya di Indonesia?
15
C. Tujuan Penelitian
1. Penulis berusaha mencari relevansi penafsiran al-Ṯabarī, al-Qurṯubī, al-
Marāghī, dan Muẖammad ‗Abduh dengan menyesuaikan terhadap
masyarakat Indonesia, dengan situasi dan kondisi kebhinekaan suku
bangsa, ras dan agama dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, dan
budaya yang sama-sama berkeinginan untuk menciptakan kehidupan yang
damai dan sejahtera.
2. Penelitian ini sekaligus berusaha mengetahui perdebatan akademik dalam
menyikapi paham Islam kāffah di tengah masyarakat Indonesia pada masa
kini dengan cara mengumpulkan data-data yang terlibat yaitu dari sumber
pustaka maupun sumber internet yang berkaitan dengan pemahaman
terhadap Islam kāffah.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
a. Hasil pembahasan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan mengenai terma al-silm kāffah secara komprehensif,
sehingga menjauhkan dari produk penafsiran secara literal yang
bertentangan dengan konteks sekarang di Indonesia.
b. Selain itu juga sebagai bahan khazanah keilmuan untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih mendalam tentang makna al-silm kāffah dalam
berbagai literatur kitab tafsir.
2. Secara Praktis
16
a. Sekiranya pembahasan ini dapat mengurangi pemahaman keliru yang
berkembang di kalangan masyarakat dalam menyikapi istilah Islam
kāffah yang digencarkan oleh sebagian kalangan Islam untuk
menegakkan syariat Islam di Indonesia.
b. Selain itu agar dapat menambah rasa kasih sayang di antara sesama
manusia, serta memberikan motivasi untuk menegakkan agama Islam
yang mempunyai rasa cinta damai dan menghargai perbedaan dalam
tatanan masyarakat Indonesia yang pluralistik.
E. Tinjauan Pustaka
Sejauh penelaah penulis, belum ada penelitian ilmiah yang secara khusus
membahas tentang masalah ayat al-silmi kāffah dalam tinjauan penafsiran
mufassir klasik dan modern. Meskipun sudah terdapat beberapa penelitian dalam
bentuk buku, namun dalam perspektif yang berbeda. Selain aspek penafsiran,
penelitian ini juga merambah pada aspek gerakan keagamaan yang menunggangi
doktrin Islam kāffah sebagai kepentingannya. Dua aspek tersebut yang
membedakan dengan penelitian-penelitian lainnya yang penulis temukan di bawah
ini.
Pertama, penelitian dalam bentuk buku yang dilakukan oleh Abd. Rahman
Assegaf, Studi Islam Kontekstual: Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah.51
Rahman dalam buku tersebut menjelaskan bahwa Islam harus diamalkan secara
totalitas, tidak sepotong atau sepihak, serta kontekstual. Yang menarik adalah
buku tersebut membicarakan Islam kāffah tidak hanya dalam segi syariat, tauhid,
51
Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual; Elaborasi Paradigma Baru Muslim
Kaffah. (Yogyakarta, Gama Media, 2005)
17
atau akhlak saja, melainkan juga memperhatikan isu-isu kontemporer yang sedang
dihadapi oleh umat Islam.
Kedua, jurnal yang cukup menarik di tulis oleh Moh. Zahid dengan judul
Islam Kaffah dan Implementasinya (Mencari Benang Merah Tindak Kekerasan
atas Nama Islam).52
Dengan cara pandang hukum Islam, Zahid secara eksplisit
menyetujui konsep keberislam secara kāffah. Namun, Zahid mengatakan bahwa
wujud kongkrit Islam kāffah diyakini akan berbeda-beda di muka bumi karena
implikasi dari pemahaman terhadap konsep qat„i-zanny. Ia juga mengakui bahwa
dalam hukum Islam juga terdapat keragaman sehingga tidak mungkin untuk
menerapkannya.
Ketiga, buku yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin
Abdullah at-Tuwaijiri dengan judul Ensiklopedia Islam Kaffah.53
Ensiklopedia
tersebut merupakan cakupan hampir seluruh persoalan tentang Islam seperti;
akidah, tauhid dan keimanan, adab (etika), serta persoalan fiqh seperti taharah
(bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. At-Tuwaijiri berhasil
menyatukan pemahaman persoalan keislaman secara menyeluruh. Pendeknya, ia
memahami Islam kāffah sebagai sebuah perangkat yang tersaji secara lengkap
dalam disiplin ilmu keislaman.
Keempat, penelitian dalam bentuk Tesis ditulis oleh Muslih Hidayat
berjudul, Strategi Pendidikan Islam Kaffah Dalam Kegiatan Kerohanian Islam
Dan Halaqah Tarbawiyah Serta Implikasinya Terhadap Sikap Keberagamaan
52
Moh. Zahid, ―Islam Kaffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam,‖ Jurnal KARSA, Vol. IX, 2006. 53
Syaikh Muhammad bin Ibrahim at Tuwaijiri, Ensikopledia Islam Kaffah, (Surabaya:
Pustaka Yassir, 2013).
18
Siswa Di Sma Islam Terpadu Abu Bakar Yogyakarta.54
Tesis tersebut menyajikan
penelitian lapangan yang berkaitan dengan dunia pendidikan sekolah. Secara
singkat, Muslih memahami Islam kāffah sebagai sebuah sistem yang berkaitan
dengan kegiatan agama yang ada di sekolah ia teliti.
Kelima, karya tulis lainnya tentang Islam kāffah tersaji dalam karya Hilmy
Bakar Almascaty, Islam Kaffah: Paradigma Idiologi dan Intelektual Untuk Aktivis
Gerakan Islam.55
Secara garis besar, Hilmy Bakar mendukung penuh terhadap
gagasan Islam kāffah dalam pengertian menerapkan syariat Islam. Tidak sampai di
situ, ia mencoba untuk mengubah paradigma negatif terhadap Islam kāffah, bahwa
Islam kāffah merupakan jalan yang lurus atau benar dalam pandangan al-Qur‘an
dan sunnah bukan jalan yang sesat. Oleh karena itu, ia mendukung penuh gagasan
dari berbagai tokoh yang menyetujui ideologi tersebut.
Beberapa literatur pustaka yang telah penulis sampaikan di atas, belum ada
yang meneliti penafsiran al-silm kāffah perspektif karya tafsir, khususnya karya
tafsir klasik (tafsir al-Tabarī dan al-Qurtubī) dan modern (tafsir al-Manār dan
tafsir al-Marāghī). Ranah kosong inilah yang penulis akan teliti tentang penafsiran
al-silm kāffah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 dari perspektif karya tafsir klasik
dan modern. Meskipun penulis tidak menafikan ada yang memahami al-silm
kāffah dengan Islam Kāffah.
54
Muslih Hidayat, Strategi Pendidikan Islam Kaffah Dalam Kegiatan Kerohanian Islam
Dan Halaqah Tarbawiyah Serta Implikasinya Terhadap Sikap Keberagamaan Siswa Di SMA
Islam Terpadu Abu Bakar Yogyakarta, (UIN Sunan Kalijaga: Program Studi Pendidikan Islam,
2015). 55
Hilmy Bakar AlMascaty, Islam Kaffah: Paradigma, Intelektual, Gerakan. Di unduh dari
https://www.scribd.com/doc/17233507/. Diakses pada tanggal 20/10/2016.
19
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penela‘ahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan
laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
2. Metode Pengumpulan Data
a. Sumber Data Primer
Sumber primer adalah tempat atau gudang penyimpan orisinal dari data
sejarah.56
Adapun sumber data primer yang berkaitan dengan buku yaitu Abdullah
Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan, 2015.
Sementara tafsir yang akan diteliti yaitu tafsir Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān
„an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, Bairūt: Dār al-Fikr, 2005. Aẖmad bin Abī Bakr al-
Qurṯubī, al-Jāmi„ li Ahkam al-Qur‟ān, Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah, 2006.
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār. Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah,
1999. Ahmad Mushtafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, Mesir: Syarkah Maktabah
wa Maṯba‗ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber sekunder adalah catatan-catatan yang ―jaraknya‖ telah jauh dari
sumber orisinil.57
Data sekunder merupakan data pendukung, biasanya sudah
tersusun dalam dokumen-dokumen,58
buku-buku, kitab tafsir, kitab hadis, kamus,
56
Moh, Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) Cet. VII, h. 50. 57
Moh. Nazir, Metode Penelitian ,h. 50. 58
Sumardi Surya Brata, Metode Penelitian, (Jakarta: Grafindo Persada, 1998) h. 85.
20
artikel di majalah dan internet, maupun media informasi lainnya yang bisa
dipertanggungjawabkan kebenaran datanya yang berkaitan dengan pokok pada
permasalahan ini dan dianggap penting untuk dikutip.
3. Metode Analisis Data
a. Metode Deskriptif Analisis
Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yang
ditawarkan oleh Abdullah Said yaitu kontekstual. pendekatan ini menaruh
perhatian terhadap suatu konteks yang mengitari suatu teks ketika diturunkan,
kemudian menyesuaikannya dengan masa kini.59
b. Metode Analisis-Komparatif
Metode komparatif sendiri terdapat tiga aspek yang dapat
diperbandingkan, yaitu membandingkan ayat al-Qur‘an dengan ayat yang lainnya,
baik redaksinya sama maupun membandingkan ayat yang seolah-olah saling
bertentangan, membandingkan ayat al-Qur‘an dengan hadits-hadits nabi, dan
membandingkan berbagai penafsiran ulama tafsir dengan pendapat yang
lainnya.60
Dalam penelitian ini, penulis membandingkan penafsiran Ibnu Jarīr al-
Ṯabarī, al-Qurṯubī, al-Marāghī dan Muhammad ‗Abduh mengenai makna al-silm
kāffah. Karena yang menjadi sasaran pembahasan adalah pendapat ulama tafsir,
maka metodenya adalah: 1) menyajikan ayat yang dijadikan objek studi beserta
sebab turunnya ayat tersebut; 2) mengumpulkan dan mengemukakan pendapat
59 Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015).
60 Nashrudin Baidan, Wawasan Baru al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h.
383.
21
para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut,61
dalam hal ini penafsiran
ulama klasik dan modern yang dijadikan objek kajian; 3) membandingkan
pendapat mereka untuk mendapatkan persamaan dan perbedaannya.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan dalam kajian ini terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab I pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, pembatasan dan
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, sistematika pembahasan.
Bab II membahas diskursus umum tentang Islam kāffah. Pertama
menyajikan definisi antara Islam dan kāffah dan Islam. Setelah itu, menyajikan
pandangan ulama terhadap Islam kāffah. Kemudian mencari cara pandang Islam
kāffah dalam konteks pemikiran Islam dan negara.
Bab III membahas penafsiran terhadap ayat al-silm kāffah. Poin pertama
membahas sebab turunnya ayat tersebut, lalu kedua pada aspek penafsiran dibagi
menjadi dua bagian yakni penafsiran klasik dan penafsiran modern.
Bab IV membahas analisis-komparatif antara penafsiran klasik dan
modern. Aspek pertama, menjelaskan tentang corak penafsiran. Kedua, terkait
dengan keserasian ayat al-silm kāffah dengan ayat sebelumnya. Ketiga,
menjelaskan penafsiran, dan keempat menjelaskan relevansi ayat al-silm kāffah
dengan konteks Indonesia.
61 Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2009) h. 145. Syukri Saleh
menambahkan dengan metode membandingkan pendapat mufassir sehingga diketahui identitas,
pola pikir, kecenderungan dan aliran yang mereka promosikan. Lihat Ahmad Syukri Saleh,
Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan
Thaha Press, 2007) h. 53.
22
Bab V adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran-saran
penulis berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan
skripsi ini.
23
BAB II
DISKURSUS ISLAM KĀFFAH
A. Definisi
Sebelum mendefinisikan istilah Islam kāffah secara utuh, perlu diketahui
bahwa istilah tersebut berangkat dari sebuah ayat yang berbunyi udkhulū fī al-silm
kāffah,1
artinya masuklah kalian semua ke dalam Islam/perdamaian secara
menyeluruh.2 Dari ayat tersebut kemudian menjadi sebuah istilah yang maklum
disebut dengan Islam kāffah. Sejalan dengan hal ini Esack mengatakan bahwa
pengkajian atas istilah din dan, terutama, islam, jelas menjadi sentral bagi
pemahaman ayat-ayat ini dan juga soal Islam, eksklusivisme, dan pluralisme
agama.3 Oleh sebab itu dalam bab ini, penulis akan menjelaskan keterkaitan ayat
al-silm kāffah dengan Islam kāffah dalam format yang eksklusif dan sebaliknya
perdamaian kāffah yang bersifat inklusif.
1. Islam
Di dalam al-Qur‘an, kata yang terambil dari akar kata s-l-m disebut
sebanyak 73 kali, baik dalam bentuk fi„il (kata kerja), mashdar (kata dasar/asal),
maupun isim fa„il (kata sifat/pelaku perbuatan) dengan perincian sebagai berikut:
1 QS. Al-Baqarah [2]: 208.
2 Penulis menyajikan makna Islam/Perdamaian merujuk pada penafsiran Quraish Shihab
terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 208. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 544.
3
Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur‟an, Liberalisme, Pluralisme,
Penerjemah: Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000) h. 169.
24
1. Bentuk fi„il:
a. Fi„il madhi (sebanyak 14 kali): 1) Aslama: 5 kali: QS. Al-Baqarah [2]:
112. ‗Ali ‗Imrān [3]: 83, al-Nisā [4]: 125, al-An‘ām [6]: 14, al-Jin [72]:
14. 2) Aslamā: 1 kali pada QS. Al-Shāffat [37] : 103. 3) Aslamū: 3 kali
QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 20. Al-Māidah [5]: 44, al-Hujurat [49]: 17. 4)
Aslamtum: 1 kali pada QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 20. 5) Aslamtu: 3 kali pada
QS. Al-Baqarah [2]: 121, ‗Ali ‗Imrān [3]: 20, dan al-Naml [27]: 44.
b. Fi„il Mudhari„: (sebanyak 5 kali): 1) Yuslim pada QS. Luqmān [31]: 22.
2) Yuslimūn pada QS. Al-Fath [48]: 16. 3) Tuslimūn pada QS. Al-Nahl
[16]: 81. 4) Uslima pada QS. Ghāfir 40: 66. 5) Muslima pada QS. Al-
An‗ām [6]: 71.
c. Fi„il Amar: (sebanyak 3 kali): 1) Aslim pada QS. Al-Baqarah [2]: 131. 2)
Aslimū: QS. Al-Hajj [22]: 34, dan al-Zumar [39]: 54.
2. Bentuk Mashdar sebanyak 9 kali.
a. Kata dasar aslama sebanyak 8 kali: 1) Al-Islām 6 kali: QS. ‗Ali ‗Imrān
[3]: 18, 85; al-Māidah [5]: 3; al- An‗ām [6]: 125; al-Zumar [39]: 22; al-
Shāff [61]: 7. 2) Islāmakum pada QS. Al-Hujurat [49]: 17. 3) Islāmihim
pada QS. Al-Taubah [9]: 74.
b. Kata dasar salima: al-silm QS. Al-Baqarah [2]: 208.
3. Bentuk fa„il/kata sifat: sebanyak 24 kali.
a. Mufrad sebanyak 3 kali: 1) Musliman 2 kali, QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 67;
Yusuf [12]: 101. 2) Muslimātun QS. Al-Baqarah [2]: 128.
b. Mutsanna 1 kali pada QS. Al-Baqarah: 128.
25
c. Jamak sebanyak 38 kali: Muslimūn 15 kali pada QS. Al-Baqarah [2]:
132, 133, 136; ‗Ali ‗Imrān [3]: 152, 64, 80, 84, 102, al-Māidah [5]: 111;
al-Naml [27]: 81; al-‗Ankabūt [29]: 46; al-Rūm [30]: 53; al-Jin [72]: 14.
Secara lebih ringkas, dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Mustaslimȗn (menyerah diri)
Mustaslimȗn juga memiliki huruf dasar yang sama dengan ―Islam‖, yaitu
sin, lam, dan mim. Sehingga Mustaslimȗn atau menyerah diri merupakan makna
lain dari Islam secara bahasa. Allah SWT Berfirman:
―Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” (QS. Al-Shāffat [37]: 26)
2. Aslama (menyerahkan diri)
“Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah,
Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan
di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah
mereka dikembalikan.‖ (QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 83)
26
“(tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada
Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi
Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 112)
3. Salīm (bersih dan suci)
“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”
(QS. Al-Syu‘ara [26]: 89)
“(lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.”
(QS. Al-Shāffat [37: 84)
4. Salmu (damai)
Al-silm yang diartikan dengan Islam, dalam bentuk fathah sin juga
diartikan dengan perdamaian merujuk QS. Al-Anfāl [8]: 61.
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah
kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.‖ (QS. Al-Anfāl [8]: 61).
“Janganlah kamu lemah dan minta damai Padahal kamulah yang di atas
dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi
pahala amal-amalmu. (QS. Muhammad [35]: 47)
5. Islam
27
Kata salm dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Selain
itu, dalam al-Qur‘an banyak ayat yang secara eksplisit menyebutkan kata Islam
sebagaimana berikut:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS.
‗Ali ‗Imrān [3]: 19)
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 85)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu.” (QS. Al-Māidah [5]: 3)
6. Salām (selamat dan sejahtera)
―Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku
akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia
sangat baik kepadaku. (QS. Maryam [19: 47)
7. Muslimūn (menyerahkan diri)
28
―Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa,
Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah Kami
menyerahkan diri." (QS. ‗Ali ‗Imrūn [3]: 84)
“Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh
kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang
tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada Kami cara-cara
dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 128)
29
“Dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya,
demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah
kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS. Al-Baqarah [2]:
132)
Menurut Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini, Ibrahim telah
mewasiatkannya yakni millat/agama, atau prinsip ajaran itu kepada anak-anaknya,
yakni Ismail, Ishak, dan saudara-saudara mereka, demikian pula Ya‗qub, yang
merupakan anak Nabi Ishak putra Nabi Ibrahim as. Dia juga mewasiatkkannya
kepada anak-anaknya, yakni para leluhur dari Bani Israil yang hidup pada masa
Nabi Muhammad SAW.4
Wasiat adalah pesan yang disampaikan kepada pihak lain secara tulus,
menyakut suatu kebaikan. Biasanya wasiat disampaikan pada saat-saat menjelang
kematian, karena ketika itu, interes dan kepentingan duniawi sudah tidak menjadi
perhatian si pemberi wasiat. Nabi Ibrahim as, berkata, ―Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu.‖ Maksudnya, agama ini
adalah tuntunan Allah, bukan ciptaanku. Memang banyak agama yang dikenal
oleh manusia, tetapi yang ini, yakni yang intinya adalah penyerahan diri secara
mutlak kepada-Nya, adalah yang direstui dan dipilih oleh-Nya. Karena itu, maka
janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri kepada-Nya,
yakni memeluk agama Islam.5
4 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 312.
5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h. 313.
30
Al-Tabarī mengatakan firman Allah wawashshā bihā ketika Ibrahim
mewasiatkan ucapan ini, yang dimaksud ucapan tersebut adalah firman Allah
aslamtu lirabb al-„ālamīn, yaitu Islam yang diperintahkan Allah kepada
Muhammad SAW, yakni ikhlas beribadah, mengesakan Allah, hati dan tubuh
tunduk kepada-Nya.6 Dari perkataan al-Tabarī dapat ditegaskan bahwa maksud
dari agama Islam yang diwasiatkan oleh Ibrahim adalah Islam dalam definisi
menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya.
Dari penjelasan ayat ini dapat diketahui bahwa para mufassir memiliki
pandangan yang beragam dalam mendeskripsikan model agama Islam yang
termaktub melalui wasiat Ibrahim. Sebagian mufassir menafsirkan wasiat tersebut
yakni agama (millah). Namun menurut satu pendapat, yang dimaksud adalah
ucapan yang berbunyi, aslamtu lirabb al-„ālamīn, ―Aku tunduk patuh kepada
Tuhan semesta alam.‖ Menurut al-Qurtubī, pendapat ini lebih benar. Sebab
ungkapan tersebut merupakan ungkapan terdekat yang baru diucapkan. Yakni
katakanlah oleh kalian,: ―Kami telah tunduk.‖7 Senada dengan al-Qurtubī, Sayyid
Qutb mengutip ayat sebelumnya bahwa aslamtu lirabb al-„ālamīn ―Aku tunduk
patuh kepada Tuhan semesta alam.‖ Menurut Qutb, itulah millah Ibrahim. Islam
yang murni dan tegas.8
6 Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Cairo: Dār Hajr, 2001)
Cet. I, Juz II, h. 582.
7 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz II, h. 408.
8 Sayyid Qutb, Fi Zilal Al-Qur‟an, Penerjemah: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Syafril
Halim, (Jakarta: Robbani Press, 2001) Cet. I, Jilid I, h. 363.
31
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-
benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam Keadaan beragama Islam.” (QS. ‗Ali ‗Imran [3]: 102)
“Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, Maka
bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang
berserah diri." (QS. Yunus [10]: 84)
“Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah
penolong-penolong (agama) Allah, Kami beriman kepada Allah; dan
saksikanlah bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang
berserah diri. (QS. ‗Ali ‗Imran [3]: 52)
Jika ditinjau secara lebih luas mengenai definisi Islam, di dalam kamus
disebutkan Islam secara harfiah bermakna ketundukan, kepasrahan, kepatuhan.9
Dalam kamus al-Munawwir, al-Islam diartikan dengan damai dan selamat.10
Glasse sendiri mendefinisikan Islam dari kata salam yang berarti pasrah, damai,
selamat.11
Menurut Toishihiko Izutsu, secara harfiah Islam berarti ―Ia telah
menyerahkan wajahnya kepada Allah‖.12
Adanya penyerahan terhadap Tuhan,
9
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab - Indonesia,
(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak 1996) h. 24. 10
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997) Cet . XIV h. 655. 11
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Penerjemah: Ghufron A. Mas‘udi,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999) Cet. II, h. 174. 12
Toishihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-
Qur‟an, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997) h. 221.
32
Rajudin Isma‘il menambahkan bahwa Islam itu adalah hubungan jiwa pribadi
dengan Allah.13
Kata ―Islam‖ berasal dari kata salima yang artinya selamat. Dari kata itu
terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh (QS. Al-
Baqarah [2]: 112). Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam, pemeluknya
disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada
Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya.14
Menurut Cak Nur, pasrah kepada Allah
atau al-islam itu sebenarnya suatu sikap batin, jadi bersifat sangat perorangan
(personal). Maka, dari sudut kenyataan ini, hanyalah orang bersangkutan sendiri
saja—selain Allah Yang Mahatahu—yang benar-benar mengetahui apakah ia
secara sejati pasrah kepada Allah (muslim) atau tidak.15
Secara terminologi menurut Harun Nasution, Islam adalah agama yang
ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi
Muhammad SAW. sebagai Rasul.16
Selain itu, al-Rāghib al-Isfahānī membagi
istilah Islam menjadi dua macam:
13
Radjudin Isma‘il, Akar Islam Kontemporer, (Jakarta: Badan Wakaf Al-Qur‘an. 2005)
h. 196. 14
Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam dalam Al-Qur‟an, (Manado: Jurnal Al-Ulum,
2011) h. 285. Baca juga Toishihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik
terhadap Al-Qur‟an, h. 221.
15 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 1992) h. 345. 16
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 2010) Jilid
I, h. 17. Baca juga Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1980) Cet. II, h. 98. Khalifah Abdul Hakim memiliki persepektif tersendiri, menurutnya Islam
bukan agama yang bersumber pada diri pribadi Muhammad. Nabi muhammad menyatakan bahwa
semenjak Adam dan seterusnya semua pembawa ajaran agama yang benar, yang diutus oleh Allah
untuk menyebarkan dan mengamalkan kebenaran, memeluk satu-satunya agama yang sama dalam
bahasa Arab disebut Islam. Lihat Khalifah Abdul Hakim, Hidup yang Islami: Menyeharikan
pemikiran Transedental (Akidah dan Ubudiah), Penerjemah: Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali
Press, 1986) h. 3.
33
Pertama, di bawah iman, yakni mengakui dengan lidah saja, dengan begitu
darahnya terpelihara. Tidak jadi soal apakah keyakinan masuk ke dalam hatinya
atau tidak.
Kedua, di atas iman, yakni bersamaan dengan pengakuan lisan, juga dalam
hati, dan diamalkan dalam perbuatan dan penyerahan diri kepada Tuhan dalam
segala hal yang telah Dia tentukan dan tetapkan. Sebagaimana, yang diingatkan
dalam kisah Ibrahim, ketika Tuhan berkata kepadanya, ―Islamlah (Pasrahlah)‖.
Ibrahim berkata, ―Aku pasrah kepada Pemelihara Seluruh Alam.‖ (surah al-
Baqarah ayat: 131).17
Menurut Cyril Glasse, selain digunakan sebagai nama agama, kata ―Islam‖
juga digunakan dalam pengertian teknis bersama dua istilah lainnya, yakni Islam,
iman, ihsan, ketiganya merupakan aspek fundamental dari agama ini. Dalam
istilah ini Islam mengandung pengertian yang sama dengan ibadah, yang
mencakup segala macam perbuatan kebajikan, lima rukun Islam, dan ketundukan
terhadap syariat.18
Bernard Lewis memosisikan kata Islam sebagai dua makna yang saling
terkait namun berbeda, seperti halnya Christianity19
dan Christendom (Umat
Kristen). Pada satu sisi kata tersebut berarti sebuah agama, sebuah sistem
keyakinan dan ibadah; sementara pada sisi lain, kata tersebut bisa bermakna
peradaban yang tumbuh dan berkembang di bawah perlindungan tersebut. Oleh
17
Al-Rāghib al-Ishfahānī, Mufradāt al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Syamiyyah. 1996) h. 270. 18
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas), Penerjemah: Ghufron A. Mas‘adi, h. 174. 19
Agama yang berdasarkan pada keyakinan bahwa Kristus adalah anak Tuhan, dan
ajaran-ajarannya. Lihat Kamus Oxford, h. 72.
34
karena itu, menurut Lewis kata Islam mencerminkan sejarah lebih dari empatbelas
abad, sepertiga miliar umat, dan tradisi agama serta budaya yang beragam.20
Dalam kerangka yang lebih luas, Haedar Nashir membagi Islam ke dalam
tiga tingkatan yang saling berhubungan, yaitu: (1) Islam sebagai keyakinan dan
sebagai sistem keagamaan yang kepercayaan-kepercayaan pokoknya
mengidentifikasikan para penganutnya sebagai Muslim; (2) Islam sebagai sebuah
kebudayaan dan cara hidup yang akan mengintegrasikan Muslim ke dalam suatu
negara-negara; dan (3) Islam sebagai suatu ideologi politik yang serangkaian
nilainya dapat menyosialisasikan umat Islam ke dalam komunitas politik yang
terpisah.21
Dari pengertian yang tersaji di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam al-
Qur‘an dengan berbagai derivasinya dari kata Islam, dapat ditarik kesimpulan
bahwa arti Islam dengan berbagai derivasinya lebih condong kepada arti sikap
berserah diri. Ini sesuai dengan berbagai definisi-definisi di atas, baik secara
bahasa maupun istilah yakni merupakan suatu sikap kepasrahan, tunduk, dan
patuh terhadap Tuhan. Namun, ditemukan pula kata yang sejenis dengan al-silm
20
Bernard Lewis, Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror Yang Keji, Penerjemah Ahmad
Lukman (Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004) h. 3. Hal serupa terdapat dalam skripsi Rizky
Munggaran, ia membagi Islam ke dalam dua variabel, baik sebagai ajaran normatif maupun secara
empiris. Dalam artian normatif, al-Islam mengarah kepada suatu makna luhur dan tinggi, yakni
―berserah diri kepada Tuhan‖, sedangkan dalam realitas empiris al-Islam merupakan suatu refleksi
dari suatu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yang dibedakan dengan agama-agama
lain, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan lain sebagainya. Lihat Rizky
Munggaran, Penafsiran Inklusif Nurcholis Madjid Mengenai Makna Al-Islam: Telaah Surah Ali-
Imran ayat 19 dan 85, (Ciputat: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 33. 21
Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis Di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 2013) h. 120.
35
dalam al-Qur‘an, termaktub bahwa kata al-salmu memiliki arti damai atau
perdamaian.
Secara lebih luas kini Islam telah membentuk sebuah formatnya dalam
bungkusan yang formal. Sehingga Islam kini tidak lagi bersifat privasi yang
dipraktekkan setiap individualnya, melainkan telah mewujud apa yang disebut
Haedar Nashir di atas dengan suatu ideologi politik (publik).22
Poin terakhir ini
yang akan penulis jelaskan mengenai perdebatan yang menyelimuti al-silm kāffah,
Islam kāffah, perdamaian kāffah. Sebagaimana menurut Esack, dalam konteks
kalimat ―ia masuk ke dalam al-silm.‖ Islam diartikan sebagai nama suatu agama.
Menurutnya, istilah ini juga bermakna ―rekonsiliasi‖, ―damai‖ atau
―keseluruhan‖.23
2. Kāffah
Menurut Ibnu Manzȗr, kāffah yakni al-jamā„ah (kelompok). Dikatakan:
―al-jamā„ah min al-nās‖ (sekelompok orang). Dikatakan juga ―laqaituhum
kāffatan ay kulluhum‖ (saya bertemu mereka semuanya, artinya semua mereka).
Setiap yang memanjang maka ujung tepinya disebut dengan kuffah, dan setiap
yang bundar disebut kiffah, contoh kiffah al-mīzān (piring timbangan). Dinamakan
kuffah al-tsaub (tepi baju) karenanya mencegah baju berantakan. Asal kaff yaitu
22 Menurut Komaruddin Hidayat, perkembangan Islam akan mudah diterima oleh
masyarakat yang semakin plural dan memberikan pencerahan moral, spiritual, dan intelektual,
ketika tampil tidak dengan jargon dan kendaraan politis-ideologis. Memang, ideologisasi agama
itu suatu kenyataan yang sulit dielakkan sepanjang sejarahnya, tetapi perlu ditegaskan, bahwa
Islam bukan produk ideologi. Islam adalahh ajaran wahyu, namun melahirkan ideologi sosial
keagamaan. Lihat Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta: Noura Books,
2012) h. 179.
23
Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur‟an, Liberalisme, Pluralisme, h.
172.
36
al-man„u (mencegah). Dari sini dikatakan, karena bagian pinggir tangan adalah
kaffu (telapak), karenanya bagian dari anggota badan. Dan yang dimaksud
tersebut adalah al-rāhah (telapak tangan) serta al-ashābi„ (jari-jari).24
Dalam al-Qur‘an disebutkan, yā ayyuhā alladzīna āmanū udkhulū fī al-
silm kāffah.‖ Menurut Abū Ishaq, makna ―kāffah‖ dalam ayat ini adalah ―jāmi„‖
(semuanya) dan ―ihātah‖ (serba meliputi). Maka, menurutnya, ayat ini boleh
diartikan, ―Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam
secara menyeluruh, atau dalam seluruh syariatnya.‖25
Namun yang dipaparkan
Abū Ishaq adalah sebuah kemungkinan. Sebab, ia masih menyebut kata-kata
―fayajūzu an yakūna ma„nahu‖ yang berarti ―maka boleh jadi maknanya‖
demikian.26
Dalam literatur lain dikatakan, kāffah adalah bentuk muannats dari al-kaff
yakni al-jamā„ah (kelompok). Dikatakan ―sekelompok orang telah datang secara
menyeluruh, artinya seluruh mereka.27
Namun dalam konteks ayat ini, kata
―kāffah‖ tidak menunjukkan makna sekelompok orang. Menurut Ibnu ‗Asyūr,
kāffah adalah isim yang berfaedah mencakup bagian-bagian sesuatu yang
mensifatinya. Dalam gambaran bentuknya, kāffah seperti bentuk isim fa„il dari
kata kaffa, akan tetapi secara kebetulan bentuknya seperti itu. Tidak ada makna
kaff dan tidak ada kebutuhan untuk memaksakan penjelasan keserasian di antara
kata dan maknanya yang dimaksud di dalam kalimat tersebut.
24
Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, (Bairūt: Dār al-Shādir, t.th) Jilid IX, h. 305.
25
Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 305.
26 Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 305.
27
Luīs Ma‗lūf, Al-Munjīd fī al-Lughah wa al-Adāb wa al-„Ulūm, (Bairūt: Al-Matba‗ah al-
Katsulikiyyah, t.th) Cet. XVIIII, h. 689.
37
Huruf ta yang ada dalam kata kāffah menurut Ibnu ‗Asyūr, yakni di dalam
semua keadaan. Sebagaimana dalam keadaan mu‟akkad (penegas), mudzakkar,
mufrad (tunggal) atau jamak. Contoh ―wa qātilȗ al-musyrikīna kāffah.‖
Kebanyakan kāffah digunakan dalam sebuah kalimat sebagai hāl dari isim
sebelumnya sebagaimana QS. Al-Baqarah [2]: 208 tersebut, kāffah menjadi hāl
dari dhamir udkhulū, artinya menjadi hāl bagi keadaan kamu sekalian.28
Senada dengan Ibnu Manzūr, al-Alūsī dalam tafsirnya mengatakan bahwa
kāffah, kata asalnya dari kaff yang bermakna mencegah.29
Dengan penjelasan
yang berbeda menurut al-Zamakhsyarī, kāffah dari huruf kaff, seakan-akan bahwa
mereka mencegah salah satu dari sebagian mereka untuk keluar dari kelompok
mereka.30
Kāffah juga digunakan sebagai arti jumlah, dengan dihubungkan bahwa
kāffah ialah sesuatu yang dapat mencegah beberapa bagian dari perpecahan. Huruf
ta dalam kȃffah menurut al-Alūsī merupakan ta‟nits atau untuk memindahkan dari
kategori sifat (sifatiyyah) kepada kategori isim (ismiyyah) seperti kata كعاهح
―ka„āmatin‖ dan ‖.kakhashshātin― كخاصح
Abī Hayyān menjelaskan dalam tafsirnya bahwa kata kāffah merupakan
isim fa„il yang bermakna jamī„ān (menyeluruh). Asal kata kāffah merupakan
derivasi (isytiqāq) dari kaff yaitu sesuatu yang dapat mencegah dari seseorang
28 Muhammad Tāhir ibn ‗Asyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis: Dār Sahnūn li al-
Nasyr wa al-Tauzī‗, t.th) Juz II, h. 278.
29
Imām al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī īȋ Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-
Matsānī, (Bairūt: Dār Iẖya al-Turats al-‗Arabī, 1985) Cet. IV, Juz I h. 97.
30 Abī al-Qāsim Mahmūd ibn ‗Umar al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf, (Riyādh: Maktabah al-
‗Abȋkan, 1998) Cet. I Juz II, h. 418
38
yang mengambilnya, dan kaff dalam kalimat tersebut bermakna mencegah.31
Ibnu
‗Atiyyah dalam tafsirnya menjelaskan lebih lanjut beberapa hubungan khitab
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 dengan kata kāffah sebagaimana berikut:
―‗Ikrimah berkata bahwa khitab ayat tersebut ditujukan kepada orang yang
percaya dengan nabi dari Bani Israil seperti ‗Abdullah ibn Salām dan
selainnya, bahwa mereka pergi untuk mengagungkan hari sabtu dan
membenci daging unta, dan mereka berkehendak menggunakan sesuatu
dari hukum taurat dan mencampur hukum taurat dengan hukum Islam,
maka turunlah ayat ini kepada mereka. Maka menurut Ibnu ‗Atiyyah,
kāffah dalam konteks ini yaitu untuk memisahkan bagian syariat belaka.‖
―Ibnu ‗Abbas berkata, ayat ini diturunkan kepada Ahl al-Kitab. Bermakna
―Hai orang-orang yang beriman kepada Musa dan Isa, masuklah kalian
ke dalam Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW. secara keseluruhan.‖
Menurut Ibnu ‗Atiyyah, kāffah dalam konteks ini berfungsi untuk
memisahkan bagian syariat, dan ditujukan kepada orang yang memandang
kata al-silm dengan Islam. Dan orang yang memandang kāffah dengan al-
musālamāh ia berkata: mereka diperintahkan untuk masuk ke dalam
ketaataan mereka yang masih bersifat terbagi-bagi, maka kāffah dalam
konteks tersebut maknanya adalah jamȋ„ān (seluruhnya). Kemudian
menurut Ibnu ‗Atiyyah, yang dimaksud kāffah dengan arti jamā„ah
(kelompok) yaitu saling mencegah terjadi pertentangan.‖32
Sementara itu dalam menafsirkan kata kāffah, al-Rāzī mengutip pendapat
Imam Qaffāl. Ia berkata, kāffah itu maknanya kembali kepada orang-orang yang
diperintah untuk masuk, yaitu masuklah kalian secara berjama‗ah di dalam Islam,
janganlah kalian berpecah-belah dan janganlah kalian berselisih. Imam Qotrab
berkata: orang-orang Arab mengatakan, ―saya melihat satu kaum berkumpul yang
punya komunitas, dan saya melihat perempuan-perempuan berkumpul.‖ Kāffah
bisa juga dikembalikan pada Islam yaitu masuklah kalian semua ke dalam Islam
seluruhnya, yaitu seluruh syariatnya. Al-Wāhidī berkata, ini tepatnya jika tafsir
31 Abī Hayyān al-Andalūsī, Al-Bahr al-Muhīt, (Bairūt: Dūr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1993)
Cet. I Juz II, H. 118.
32
Ibnu ‗Atiyyah al-Andalūsī, Al-Muharrar al-Wajīz īȋ Tafsīr al-Kitāb al-„Azīz, (Bairūt:
Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2001) Juz I h. 283.
39
secara zahir karena memang mereka diperintahkan untuk melakukan semuanya,
artinya makna kāffah dalam lughah itu pencegahan, dikatakan: كففد فالا عي السىء
‖.saya mencegah fulan dari kejelekkan artinya saya mencegahnya― ا هعر33
Kata كافح (kāffah) sendiri dalam kamus al-Munawwir bermakna seluruhnya
(tanpa terkecuali).34
Dalam menafsirkan kata kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208, al-
Suyūtī mengatakan bahwa kata ini di-nashab-kan karena menjadi hāl dari kata al-
silm,35
atau dari dhamir orang-orang yang beriman. Kata ini menurut al-Qurtȗbȋ
diambil dari ucapan mereka ―kafaftu,‖ yakni mana„tu (aku mencegah).
Maksudnya, tidak ada seorang pun dari kalian yang tercegah atau terlarang untuk
masuk ke dalam Islam. Itu karena makna al-kaff adalah al-man„u (larangan).36
Dalam tinjauan al-Qur‘an, terma كافح (kāffah) terdapat empat kali dipakai
dalam al-Qur‘an. Dua kali disebut dalam QS. Al-Taubah [9]: 36), yaitu:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun
memerangi kamu semuanya.‖ (QS. al-Taubah [9]: 36)
33 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, (Bairūt: Dār al-Fikr, 1981) Juz V, h. 226.
Lihat juga Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 303. 34
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997) cet ke-XIV, h. 1220. Lihat juga Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam
al-Qur‟ān, Juz II, h.394. 35
Jalāl al-Dīn Muẖammad ibn Ahmad Muẖammad al-Maẖallī dan Jalāl al-Dīn ‗Abd al-
Rahman ibn Abī Bakr al-Suyūṯī, Tafsīr al-Jalālaīn, (Damasykus: Dār Ibn Katsīr, t.th) Juz II, h. 33.
Sebagian mufassir mengatakan kāffah menjadi hāl dari udkhulū. Lihat Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī
al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah,
2000) Juz II, Cet. I, h. 273.
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394. Lihat juga Imām al-Alūsī al-
Baghdādī, Rūẖ al-Ma‟ānȋ fī Tafsīr al-Qur„ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-Matsānȋ, h. 97.
40
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).‖
(QS. al-Taubah [9]: 122)
―Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia.‖ (QS.
al-Saba‘ [34]: 28)
3. Islam Kāffah
Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa Istilah Islam
kāffah diangkat dari kata ادخلىا ف السلن كافح (masuklah kalian ke dalam Islam secara
kāffah).37
Islam kāffah memiliki makna mengamalkan syariat Islam dengan baik
dan benar sesuai dengan tuntunan yang diajarkan.38
Tidak dibenarkan percaya dan
mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian ajaran
Islam yang lain.39
Pemahaman demikian tidak bisa lepas dari penafsiran terhadap
kata al-silm kāffah yang terkandung dalam ayat tersebut.
Islam kāffah sebagaimana yang dilansir situs Assunah maknanya adalah
Islam secara menyeluruh, dengan seluruh aspeknya, seluruh sisinya, yang terkait
urusan iman, atau terkait dengan akhlak, atau terkait dengan ibadah, atau terkait
dengan mu‗amalah, atau terkait dengan urusan pribadi, rumah tangga, masyarakat,
37
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, (Jurnal Karsa, Vol IX, 2006) h. 809. 38
Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan,
(Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015) h. 204. 39
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, h. 809.
41
negara dan yang lainnya yang sudah diatur dalam Islam.40
Semua masuk dalam
perintah ini: ―Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kepada Islam secara
kāffah (menyeluruh).41
Perspektif lain Islam kāffah dimaknai secara ritual. Dalam pandangan ini,
muslim yang kāffah tidak berhenti pada ritual-ritual keagamaan saja, tetapi sudah
menjajaki substansi dari ritual-ritual tersebut. Seperti seorang Muslim yang rajin
shalat berjamaah di masjid, rajin i„tikaf, rajin berpuasa sunnah, rajin ―memutar‖
tasbih, tetapi perilakunya kurang baik, misalnya, sering menggunjing dan lain-
lain. Itu terjadi karena ibadah ritual yang ia lakukan tidak sampai pada
substansinya.42
Sebagian yang lain memandang QS. Al-Baqarah [2]: 208,
mengindikasikan hanya ada dua buah pilihan. Pertama, masuk ke dalam Islam
secara keseluruhan dengan melaksanakan ajarannya yang komprehensif dan
paripurna, atau apabila tidak mau melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan,
maka yang ada hanya pilihan kedua, yaitu mengikuti langkah-langkah setan
dengan melakukan pembeda-bedaan ajaran Islam atau meremehkan sebagian
ajarannya.43
40
Tanpa penulis, Islam Kaffah. Di unduh dari http://www.assunnah.mobie.in/. Diakses
pada tanggal 1/November/2016. 41
Tanpa penulis, Memahami dan Mengamalkan Islam Secara Kaffah Solusi Satu-satunya
Bagi Umat Islam, di unduh dari http://kajiansalafyui.wordpress.com/2009/06/06/ Diakses pada
tanggal 1/November/2016. 42
Nanang Rosyidi, Apa itu Muslim Yang Kaffah, di unduh dari
http://m.kompasiana.com/nanagrosidi/. Diakses pada tanggal 1/November/2016. 43
Muhammad Nur Ichwan Muslim, Kaffah dalam Beragama, di unduh dari
http://muslim.or.id. Diakses pada tanggal 1/November/2016.
42
Tulisan Muhammad Shiddiq al-Jawi dengan judul ―Menjadi Muslim
Kaffah: Menerjunkan Diri dalam Syariat Islam Secara Total,” menjelaskan
bahwa seorang Muslim wajib masuk Islam secara kāffah, yaitu masuk ke dalam
segala syariat dan hukum Islam secara keseluruhan, bukan berislam sebagian dan
mengambil selain syariat Islam untuk sebagian lainnya. Lebih tegas Shiddiq
mengatakan merupakan kesesatan yang nyata, apabila ada orang yang mengaku
dirinya Islam, namun mereka mengingkari atau mencampakkan sebagian syari‗at
Islam dari realitas kehidupan—seperti mengikuti sekulerisme.44
Pemahaman tentang Islam yang menyeluruh ini mencapai titik kulminasi
(tertinggi) ketika Islam dipandang bukan hanya persoalan pribadi melainkan juga
berbaur dengan struktur negara—sesuai dengan apa yang Bassam Tibi katakan
bahwa ciri-ciri kalangan Islamis adalah bersifat totaliter.45
Menurut Nadirsyah
Hosen, bagi mereka yang berpandangan bahwa Islam itu mewajibkan bentuk dan
sistem ketatanegaraan tertentu, maka berislam secara kāffah artinya mendukung
dan berjuang untuk menegakkan sistem dan bentuk ketatanegaraan tersebut.
44
Muhammad Shiddiq al-Jawi, Menjadi Muslim Kaffah Menerjunkan Diri Dalam Syariat
Islam Secara Total, di unduh dari http://jasawebenigma.wordpress.com/2012/12/13. Diakses pada
tanggal 28/November/2016. 45
Argumentasi yang ditulis Bassam Tibi sebagai respon terhadap slogan kalangan Islamis
yang mengatakan al-Islām huwa al-hāll (Islam adalah solusi). Dalam menyikapi hal demikian
Bassam Tibi mengatakan bahwa Islam bukanlah solusi, setidaknya bukan solusi politik bagi krisis
pembangunan yang ada dan bagi krisis pemerintahan politik rezim otoriter. Kalangan Islamis
sudah tepat merujuk pada krisis yang ada (dalam pembangunan, ekonomi, legitimasi kekuasaan,
dan alienasi budaya), tetapi solusi yang mereka hadirkan, ketika mengambil bentuk konkret
sebagai negara syariat, malah menunjuk kepada pemerintahan totaliter. Jika mereka merebut
kekuasaan, baik melalui jihad maupun melalui kotak suara, mereka tidak berada dalam posisi
untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat Islam. Sebaliknya, Islamisme menciptakan suatu
kode perilaku eksklusif yang kaku dengan maksud memaksa orang menjadi patuh, bukan
menggunakan syariat sebagai ―hukum‖ tetapi menyatakan hukum dari gerakan tersebut agar
menjadi syariat. Pemaksaan ini yang menurut Tibi merupakan ciri-ciri totaliter yang tidak pernah
ada dalam Islam tradisional. Bassam Tibi, Islam dan Islamisme. Penerjemah: Alfathri Adlin,
(Bandung: Mizan, 2016) h. 225.
43
Sebaliknya bagi mereka yang berpandangan bahwa Islam itu tidak mewajibkan
secara syar„i akan bentuk dan sistem ketatanegaraan tertentu, maka mereka tidak
merasa berkurang ke-kāffah-an mereka dalam ber-islam hanya karena tidak
mendukung sistem dan bentuk ketatanegaraan tersebut.46
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah Islam kāffah
merujuk kepada dua perspektif. Pertama, Islam kāffah dipahami secara moderat
dengan mengandaikan menjadi seorang muslim yang kāffah pada persoalan
pribadi. Kedua, Islam kāffah yang dipahami sebagai suatu gagasan yang
menghendaki Islam tidak hanya memperhatikan persoalan pribadi, juga
mengandaikan Islam diterapkan secara menyeluruh (kāffah) meliputi struktur
kenegaraan. Namun, dalam penelitian ini, penulis hendak mengurai Islam kāffah
dalam perspektif kedua.
B. Pandangan Ulama Terhadap Islam Kāffah
Quraish Shihab mengatakan dalam tafsirnya bahwa kata al-silm, yang
diterjemahkan dengan kedamaian atau Islam, makna dasarnya adalah damai atau
tidak mengganggu.47
Kedamaian oleh ayat ini diibaratkan berada dalam suatu
wadah yang dipahami dari kata fī, yakni dalam; orang yang beriman diminta
untuk memasukkan totalitas dirinya ke dalam wadah itu secara menyeluruh
sehingga semua kegiatannya berada dalam wadah atau koridor kedamaian. Ia
damai dengan dirinya, keluarganya, dengan seluruh manusia, binatang, dan
46
Nadirsyah Husein, Islam Kaffah, di unduh dari
http://media.isnet.org/kmi/isnet/Nadirsyah/. Diakses pada tanggal 1/November/2016.
47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h. 543.
44
tumbuh-tumbuhan serta alam raya, walhasil kāffah, yakni secara menyeluruh
tanpa kecuali.48
Lebih lanjut Shihab menegaskan bahwa ayat ini menuntut setiap yang
beriman agar melaksanakan seluruh ajaran Islam, jangan hanya percaya dan
mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian yang
lain. Ia dapat juga bermakna masuklah kamu semua kāffah tanpa kecuali, jangan
seorang pun di antara kamu yang tidak masuk ke dalam kedamaian/Islam.
Berbeda dengan Quraish Shihab, dalam menafsirkan ayat tersebut Ibnu
Katsīr mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang
beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, hendaklah mereka berpegang
kepada tali Islam dan semua syariatnya serta mengamalkan semua perintahnya
dan meninggalkan semua larangannya dengan segala kemampuan yang ada pada
mereka.49
Al-‗Aufi sebagaimana Ibnu Katsīr kutip dalam penafsirannya mengatakan
bahwasannya maknanya adalah ‗Islam‘ (Diriwayatkan dari Ibnu ‗Abbās, Mujāhid,
Tawūs, Al-Dhahāk, Qatādah, Al-Suddi, dan Ibnu Zaid), sementara al-Dhahāk
mengatakan ‗ia bermakna ketaatan‘ (Diriwayatkan dari Ibnu ‗Abbās, Abū al-
‗Aliyah, dan Rabī‗ bin Anas). Mengenai firman-Nya ‗kāffah‟, Ibnu ‗Abbas,
Mujāhid, Abū al-‗Aliyah, ‗Ikrimah, Rabī‗ bin Anas, Al-Suddi, Muqātil bin
Hayyān, Qatādah, dan al-Dhahāk mengatakan ‗maknanya berarti jamī„ān
48 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h.
544.
49 Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, h. 273.
45
(keseluruhan),‘ sementara Mujāhid mengatakan, ―Artinya, kerjakanlah semua
amal shalih dan segala macam kebajikan.‖ Oleh karena itu, makna
keseluruhannya adalah bahwa mereka seluruhnya diperintahkan untuk
mengerjakan semua cabang iman dan syariat Islam, yang jumlahnya sangat
banyak, sesuai dengan kemampuan mereka.50
Berbeda dengan mufassir lainnya, dengan perspektif yang berbeda
TabāTabā‘ī dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa ayat yā ayyuha
alladzīna āmanū merujuk firman-Nya: اال اى صش هللا قشة ‖ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu deket.‖ QS. Al-Baqarah [2]: 214. Tujuh ayat
sempurna yang menjelaskan suatu cara saling menjaga persatuan agama di dalam
komunitas manusia. Cara tersebut yaitu dengan masuk ke dalam al-silm
(perdamaian). Secara ringkas Allah telah menjelaskan dari ucapan dan sesuatu
yang Allah pandang dari suatu perbuatan. Sesugguhnya Allah tidak menghendaki
perpecahan dalam satu agama, dan tidak mengendalikan kebahagian di dunia dan
di akhirat. Tidak ada solusi kerusakan bagi suatu kaum kecuali karena keluar dari
perdamaian dan menggunakan ayat-ayat Allah dengan merubahnya, dan
menempatkan ayat tidak sesuai dengan tempatnya. Hal seperti itu bisa disaksikan
dalam Bani Israil dan selain mereka dari umat-umat masa lampau dan yang
membuat pandangannya di dalam umat. Akan tetapi Allah telah menjanjikan
mereka dengan pertolongan: alā inna nashra Allah qarīb.
50 Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, h. 273.
46
Sementara firman-Nya ف السلن كافح ا اها الزي آهىا , al-silm yakni Islam
dan berserah diri maknanya adalah satu, sementara kāffah sebagai kalimat ta‟kid
(penguat) bermakna jamī„ān (seluruhnya). Ketika khitab tersebut ditujukan
kepada orang-orang mukmin, sungguh mereka telah diperintahkan untuk masuk
ke dalam Islam secara menyeluruh. Bentuk perintah tersebut berbentuk jamak,
setiap orang mendapatkan bagian-bagiannya. Perintah tersebut merupakan wajib
bagi setiap mukmin dan juga wajib bagi semuanya. Bahwasannya mereka tidak
terjadi perselisihan di dalam perintah tersebut, dan mereka berserah diri terhadap
perintah Allah dan Rasul-Nya SAW.51
Khitab ayat tersebut juga ditujukan kepada orang-orang mukmin secara
khusus, maka al-silm tersebut ditujukan kepada orang-orang yang diajak kepada
jalan Allah yaitu berserah kepada-Nya setelah iman kepada-Nya, maka wajib bagi
setiap orang-orang mukmin untuk memasrahkan kamu sekalian terhadap perintah
kepada-Nya. Dan janganlah kalian semua mentaati mereka dengan dalih
perdamaian yang menggunakan pendapat yang diktator (istibdād). Dan kalian
semua tidak meletakkan bagi diri kalian di samping mereka dengan cara
mengikutinya dari selain apa yang sudah Allah dan Rasulnya jelaskan. Maka
tidaklah rusak suatu kaum kecuali dengan mengikuti hawa nafsu dan ucapan yang
didasari tanpa ilmu. Dan suatu kaum tidak akan merusak karena kebenaran hidup
51 Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, (Teheran: Dār al-
Kutub al-Islamiyyah, 1973) Cet. II Juz II, h. 103.
47
dan kebahagiaan yang sesungguhnya dari kaum tersebut kecuali dari ikhtilāf
(perbedaan).52
Pada tataran bahasa, kata al-silm bisa dibaca dengan harakat fathah pada
sin (yakni al-salmu) dan bisa juga dengan harakat kasrah (yakni al-silmi). Al-
Kisā‘i mengatakan bahwa maknanya adalah sama. Demikian juga menurut ulama
Bashrah. Keduanya bisa dimaknai al-islām (pasrah) dan al-musȃlamȃh
(perdamaian). Kata kāffah menurut Imam al-Syaukani adalah hāl dari al-silm atau
dari dhamir kalimat ―orang-orang beriman‖.
Imam al-Syaukani menjelaskan lebih lanjut, berdasarkan makna yang
pertama adalah: Janganlah seorang pun dari kalian keluar. Sedangkan yang kedua:
janganlah keluar sedikit pun dari Islam, akan tetapi masukilah seluruhnya, yakni:
masuklah ke dalam semua karakter Islam. Kata kāffah merupakan derivasi dari
kata: kafaftu yang artinya mencegah, yakni: Janganlah seorang pun dari kalian
yang enggan memasuki Islam. Al-kaffu artinya al-man„u (mencegah).53
Selain itu, al-silm dengan kasrah dan fathah yakni al-istislām
(menyerahkan diri) dan ketaatan, oleh karena itu dimaknai dengan perdamaian
dan Islam. Kāffah yaitu isim dalam bentuk makna jumlah, karenanya mencegah
beberapa bagian dari perpecahan.54
Lebih lanjut Wahbah al-Zuhailī dalam
tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud al-silm dalam QS. Al-Baqarah [2]:
208 yakni Islam, memuliakan orang yang beriman dengan menjadikan Islam
52 Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, h. 103.
53
Imam Al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) Cet. I, Jilid I,
h. 813.
54
Wahbah al-Zuhailī, Al-Tafsīr al-Wasīt, (Damasykus: Dār al-Fikr, 2001) Cet. I, Juz I, h.
103.
48
sebagai agama berupa melakukan amal dengan seluruh cabangnya dan hukum-
hukumnya. Dan tidak beriman seseorang yang beramal dengan sebagian
hukumnya seperti shalat, puasa, dan meninggalkan sebagian hukum yang lain
seperti zakat, jihad dan berhukum dengan kitab Allah dan batasan-batasannya, dan
juga meninggalkan keharaman seluruhnya dan mencegah khamr (mabuk), riba,
zina, menyuap, dan kezaliman.55
Makna menyerahkan diri kalian semua kepada Allah dan mentaati-Nya
tersebut menurut al-Zuhailī dalam bentuk jumlah, baik yang zahir maupun batin.
Dan khitab yang ditujukan kepada orang-orang munafik, atau masuklah kalian
semua ke dalam Islam seluruhnya dan janganlah kalian semua mencampurkan
Islam dengan selainnya. Sedangkan khitab yang ditujukan untuk orang mukmin
Ahl al-Kitab, bahwasannya setelah masuk Islam mereka masih mengagungkan
hari sabtu dan mengharamkan unta dan susunya. Atau di dalam syariat Allah
seluruhnya dengan iman terhadap nabi-nabi dan kitab-kitabnya secara
menyeluruh.56
Berbeda dengan al-Zuhailī, Sayyid Qutb menjelaskan secara tegas dalam
tafsirnya, ia mengatakan, ―ketika menyeru orang-orang yang beriman agar masuk
ke dalam kedamaian (Islam) secara total, Allah SWT memperingatkan mereka
dari mengikuti langkah-langkah setan. Petunjuk atau kesesatan. Islam atau
jahiliyah. Jalan Allah SWT atau jalan setan. Petunjuk Allah SWT atau kesesatan
setan. Dengan ketegasan seperti ini seharusnya seorang muslim bisa mengetahui
55
Wahbah al-Zuhailī, Al-Tafsīr al-Wasīt, h. 103.
56
Muhammad al-Syairazī al-Baidhāwī, Tafsīr al-Baidhāwī al-Musammā Anwār al-Tanzīl
wa Asrār al-Ta‟wīl, (Cairo: Al-Maktabah al-Taufȋqiyyah, t.th) Juz I, h. 146.
49
sikapnya, sehingga tidak terombang-ambing, tidak ragu-ragu, dan tidak bingung
di antara berbagai jalan dan dua arah.57
Sesungguhnya di sana tidak ada beraneka ragam manhaj (metodologi)
yang harus dipilih salah satunya oleh seorang mukmin, atau dicampur aduk salah
satunya dengan yang lain. Tidak! Sesungguhnya orang yang tidak masuk ke
dalam kedamaian (Islam) secara total, orang yang tidak menyerahkan dirinya
secara murni kepada Allah SWT dan syariat-Nya, orang yang tidak melepaskan
semua tashawwur (konsepsi), manhaj dan syariat lain, sesungguhnya ia berada di
jalan setan dan berjalan di atas langkah-langkah setan.58
Di sana tidak ada solusi tengah, tidak ada manjah selain Islam, tidak ada
langkah setengah-setengah! Di sana hanya ada kebenaran dan kebatilan. Petunjuk
dan kesesatan. Islam dan jahiliyah. Manhaj Allah atau kesesatan setan. Allah SWT
menyeru orang-orang yang beriman pada bagian pertama untuk masuk ke dalam
kedamaian (Islam) secara total; dan memperingatkan pada bagian kedua dari
mengikuti langkah-langkah setan. Kemudian hati dan perasaan mereka tersadar
dan rasa khawatir mereka tersentak dengan peringatan tentang permusuhan setan
terhadap mereka tersebut. Permusuhan yang sangat jelas lagi gamblang, yang
tidak akan pernah dilupakan kecuali oleh orang yang lengah, sedangkan
kelengahan memang tidak pernah terjadi bersama keimanan.59
Berbeda dengan mufassir lainnya, al-Rāzī mempunyai pandangan
tersendiri. Menurutnya yang pertama, ayat yā ayyuhā alladzīna āmanū,
57 Sayyid Qutb, Fī Zilāl al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Syūrūq, 1998) Juz I-IV, h. 211.
58
Sayyid Qutb Fī Zilāl al-Qur‟ān, h. 211.
59 Sayyid Qutb, Fī Zilāl al-Qur‟ān, h. 211.
50
mengisyaratkan pengetahuan dan kepercayaan di dalam hati, dan ayat udkhulū fī
al-silm kāffah, mengisyaratkan untuk meninggalkan segala dosa dan kemaksiatan.
Karena maksiat itu bertentangan dengan Allah dan Rasul-Nya. Sehingga
meninggalkannya disebut dengan al-silm (selamat). Atau bisa jadi yang dimaksud
ayat itu, jadilah kalian semua orang-orang yang meyakini Allah, dan
membuktikan dengan ketaatan dan meninggalkan sesuatu yang diharamkan.
Karena menurut madzhab kami, iman itu masih akan tetap ada meskipun iman
tersebut disibukkan dengan kemaksiatan. Inilah takwilan yang nyata.
Kedua, yang dimaksud dengan al-silm yaitu keadaan seorang hamba yang
ridha dan hatinya tidak ada ketertekanan. Sebagaimana dalam sebuah hadits
diriwayatkan, ―Ridha terhadap takdir itu adalah pintu Allah yang paling agung.”
Ketiga, yang dimaksud dengan al-silm yaitu meninggalkan sifat balas dendam,
sebagaimana yang dikatakan firman-Nya, ―Ketika kalian berjalan, berjalanlah
kalian dengan mulia, ambillah maaf, dan perintahkanlah sesuatu yang baik, dan
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.‖ Menurut al-Rāzī, inilah yang
dikatakan dalam penafsiran ayat tersebut.60
Dalam menyikapi QS. Al-Baqarah [2]: 208, al-Sa‗di menafsirkan bahwa
ini merupakan perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk
masuk ―al-silm kāffah,‖ ke dalam Islam keseluruhan. Maksudnya, dalam seluruh
syariat-syariat agama, mereka tidak meninggalkan sesuatu pun darinya, dan agar
mereka tidak seperti orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Apabila hawa nafsunya itu sejalan dengan perkara yang disyariatkan, maka dia
60 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, h. 225.
51
kerjakan, namun bila bertentangan dengannya, maka dia tinggalkan. Yang wajib
adalah menundukkan hawa nafsunya kepada Agama, dan ia melakukan segala
perbuatan baik dengan segala kemampuannya, dan apa yang tidak mampu
dilakukan, maka dia berusaha dan berniat melakukannya dan menjangkaunya
dengan niatnya tersebut. Ketika masuk ke dalam Islam dengan keseluruhan, maka
tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan terjadi, kecuali bertentangan dengan
jalan-jalan setan.61
C. Cara Pandang Islam Kāffah
Di kalangan umat Islam, sampai sekarang sangat akrab dikenal doktrin
yang berbunyi al-Islām huwa al-Dīn wa al-Daulah (Islam adalah agama dan
negara).62
Islam di sini menurut Komaruddin Hidayat adalah agama dan sekaligus
kekuasaan. Sehingga hubungan antara agama dan negara, antara aspek ritual dan
politik, sangat erat kaitannya, bahkan tidak bisa dipisahkan.63
Islam bagi sebagian
pemeluknya merupakan agama yang kāffah (holistis dan universal), yang
memiliki sistem yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali
urusan negara.64
Sehubungan dengan ini menurut Munawir Sjadzali, di kalangan
61 Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‗di Zulharman, Tafsir Al-Qur‟an, Penerjemah:
Muhammad Iqbal, Izzudin Karimi, Muhammad Ashim, Mustofa Aini, Zuhdi Amin, (Jakarta:
Darul Haq, 2015) Cet. VI, Jilid I, h. 356. 62
Zaprulkhan, Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, (Jurnal Walisongo,
2014) Vol. 22, h. 106. Selain doktrin tersebut tumbuh doktrin lain yang mengemuka di antaranya,
―Islam sebuah alternatif‖ (al-Islām huwa al-hāl), menegakkan Syariat Islam (Tatbīq al-Syarī„ah),
mendirikan negara Islam (al-Khilāfah al-Islāmiyyah), Zuhairi Misrawi dalam kata pengantar buku
Fundamentalisme Progressif: Era Baru Dunia Islam, h. 19. Islam adalah akidah dan syariat,
agama dan negara, metode dan budaya serta tata cara hidup. Muhammad Rasyād ‗Abd al-‗Azīz
Mahmūd, Atsar al-Fikr al-„Ulmānī fī al-Mujtama„ al-Islāmī, (Cairo: Dār al-Muhadditstsīn, 1988)
h. 14. 63
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban Islam
di Panggung Sejarah, (Jakara: Paramadina, 2003) h. 93. 64
Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu
Aktual, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 74. Misalnya dalam pandangan Gamal al-Banna, kata negara
52
umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam
dan ketatanegaraan.
Pertama, aliran yang berpendirian Islam bukanlah semata-mata agama
dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan
Tuhan. Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan
pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.
Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem
yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan oleh empat al-Khulafah al-
Rasyidin.65
Kedua, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.
Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya
Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada
kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Nabi tidak
pernah mendirikan dan mengepalai satu negara. Agama adalah sesuatu yang
(daulah) tidak ditemukan dalam al-Qur‘an, melainkan hanya terdapat dalam satu tempat saja dan
itu pun berkenaan dengan harta rampasan perang: ―agar tidak ada ‗penguasaan‘orang-orang kaya
dari kalian‖ dan satu lagi kata ―Nudawiluha‖ pecahan dari kata ―Daulah‖ dalam ayat: ―watilka al-
ayyamu nudawiluha baina al-nas‖. Sementara, dalam kamus manapun tidak ada yang memberikan
makna terhadap kata ―Daulah‖, kecuali dengan makna yang ada pada kandungan ayat al-Qur‘an
tersebut, yaitu dengan makna ―Ghalabah‖, yaitu ―penguasaan‖, atau mengalahkan. Lihat Gamal
al-Banna, Relasi Agama & Negara, h. 6. 65
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1993) Cet. V, h. 1. Menurut Ali Masykur Musa, kelompok ini terdiri kelompok tradisionalis
dan fundamentalis. Faksi tradisionalis yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi praktik
dan tradsisi pemikiran politik Islam klasik dan pertengahan. Tokoh faksi ini seperti Rasyid Ridha.
Sementara faksi fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial
dengan kembali kepada ajaran Islam secara total dan menolak sistem yang buat manusia. Tokoh-
tokohnya seperti Sayyid Quṯb, al-Maudūdī, dan Hasan al-Turabi. Lihat Ali Masykur Musa,
Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual, h. 38.
53
terpisah sama sekali dengan negara. Agama adalah urusan pemeluknya masing-
masing yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara. 66
Ketiga, aliran yang menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha
Penciptaannya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara.67
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa cara pandang yang
digunakan oleh Islam kāffah ialah aliran yang mengatakan bahwa Islam adalah
sebuah perangkat alat yang lengkap meliputi berbagai aspek termasuk kehidupan
negara.
Setelah melihat pemaparan terkait term Islam dan kāffah di atas, dapat
disimpulkan perdebatan tersebut bermuara pada dua kecenderungan yakni
bagaimana Islam ditafsirkan secara formalistik dan Islam ditafsirkan secara nilai
(etika). Pertama, individu atau kelompok Islam yang menghendaki syariat Islam
diterapkan secara kāffah dalam seluruh sendi kehidupan. Sementara yang kedua
adalah anti-tesis dari poin pertama yakni menolak pemahaman Islam kāffah dalam
ranah institusi. Kecenderungan yang ditempuh oleh kelompok kedua adalah Islam
66
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 1.
Kelompok sekuler atau liberal yang ingin memisahkan antara Islam dan negara. Pengusung
kelompok ini adalah Ṯaha Husein dan ‗Ali ‗Abd al-Rāziq. Lihat Ali Masykur Musa, Membumikan
Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 38. 67
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1993), cet ke-5, h. 2. Ali Masykur Musa mengelompokkannya ke dalam kelompok modernis
dan neomodernis, dalam pengertian bahwa Islam mengatur masalah keduniaan atau
kemasyarakatan secara garis besarnya saja. Sementara secara teknis terbukti untuk mengadopsi
sistem lain yang dalam hal ini adalah sistem Barat yang telah menunjukkan kelebihannya. Di
antara tokoh kelompok ini adalah Muhammad ‗Abduh, Husein Haikal, dan Muhammad Asad.
Lihat Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual,
h. 38.
54
yang mengedapankan nilai seperti kepasrahan, ketundukan serta menghendaki
perdamaian secara kāffah (menyeluruh) dengan menyesuaikan terhadap prinsip-
prinsip demokrasi dan pancasila seperti menghargai perbedaan, menegakkan
keadilan, dan menjunjung tinggi toleransi beragama.
55
BAB III
PENAFSIRAN KLASIK DAN MODERN ATAS AYAT AL-SILM
KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]: 208
Isu Islam kāffah menjadi salah satu isu terpanas dalam pemikiran Islam
kontemporer—khususnya di Indonesia. Jika dilihat dari sudut penafsiran itu
sendiri masih terjadi ikhtilāf—sebagian mengartikan dengan Islam, ketaatan,
sebagian yang lain mengartikan dengan perdamaian. Misalnya sebagian mufassir
klasik menilai bahwa ayat tersebut sebagai perintah untuk masuk ke dalam agama
Islam secara komprehensif. Senada dengan itu, sebagian mufassir modern juga
menilai QS. Al-Baqarah [2]: 208, sebagai bentuk perintah untuk masuk ke dalam
Islam secara total dan juga dimaknai dengan perdamaian.
Namun, antara mufassir klasik dan modern terdapat perbedaan pendekatan
yang digunakan. Bila sebagian mufassir klasik memfokuskan pada persoalan
tekstualis1
(bahasa, atsar2
dan qira‘at), sementara mufassir modern lebih
1 Penulis memakai istilah Abdullah Saeed dalam menganalisis pendekatan tafsir. Menurut
Saeed, pendekatan testual menekankan pemahaman teks berbasis riwayat, yang sering berbasis
pada pembacaan teks secara literal. Tekanan kepada tekstualisme dalam tafsir (yang saya rujuk
sebagai ―pendekatan tekstual‖) bertujuan untuk mempertahankan pemahaman berbasis riwayat
setepat mungkin dan mendukung pemahaman itu dengan mengutip serangkaian teks, misalnya teks
al-Qur‘an dan hadis, serta atsar (pendapat para teolog, ulama fikih dan mufassir generasi awal).
Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h. 38. 2 Atsar adalah apa yang diriwayatkan dari Rasul SAW. dan apa yang diriwayatkan dari
para sahabat atau dari tabi‗in secara mauqūf kepada mereka atau secara marfū‗ (kepada Nabi).
Lihat Musa‗id Muslim ‗Ali Ja‗far, Manāhij al-Mufassirīn, (Dār al-Ma‗rifah, 1980) h. 33. Para
ulama berbeda pendapat dalam merujuk pada tafsir tabi‗in dan mengambil perkataan mereka
56
menekankan konteks, serta meminimalisir persoalan penafsiran secara tekstual
sebagaimana yang dilakukan mayoritas mufassir klasik. Berangkat dari hal
tersebut, maka pada bab ini penulis akan mengkaji penafsiran atas ayat al-Qur‘an
yang menjadi fokus perdebatan mengenai isu seputar Islam kāffah yang lantas
sangat akrab dalam gerakan keagamaan Islam era kontemporer. Al-Qur‘an
menyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam al-silm
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 208)
Fokus bab ini adalah bagian ayat al-silm kāffah dan tidak mendiskusikan
penggalan ayat setelahnya. Pembatasan lainnya adalah dalam ranah penafsiran.
Dalam mengkaji kata tersebut, penulis menggunakan penafsiran klasik dan
modern. Mufassir klasik direpresentasikan oleh al-Ṯabarī dan al-Qurṯubī,
sementara penafsiran modern direpresentasikan oleh Muẖammad ‗Abduh dan al-
Marāghī.
A. Asbāb al-Nuzūl QS. Al-Baqarah [2]: 208
Al-Qur‘an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menghadapi
berbagai situasi-kondisi dan persoalan hidup. Ayat-ayat tersebut diturunkan dalam
apabila tidak diriwayatkan dalam riwayat tersebut sesuatu dari Rasul SAW. atau dari para sahabat.
Mayoritas para mufassir membolehkan mengambil ucapan tab‘in dalam penafsiran, karena mereka
bertemu dan bahwa mereka mayoritas tafsirnya dari para sahabat. Lihat Muẖammad Husain al-
Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Kuwaīt: Dār al-Nawādir, 2010) Jilid I, h. 128.
57
keadaan dan waktu yang berbeda sesuai dengan situasi-kondisi yang dihadapi oleh
orang yang menerimanya yaitu Nabi Muhammad SAW. Kata asbāb (tunggal:
sabab) berarti alasan atau sebab.3 Jadi, asbāb al-nuzūl berarti pengetahuan tentang
sebab-sebab diturunkannya sebuah ayat.4
Adapun sebab turunnya ayat ini,
terdapat beberapa riwayat sebagai berikut:
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata, ―Abdullah bin Salām,
Tsa‗labah, Ibnu Yamin, Asad bin Ka‗āb, Usaid bin Ka‗āb, Sa‗ad bin ‗Amr dan
Qais bin Zaid, semuanya adalah orang-orang Yahudi. Mereka berkata pada
Rasulullah SAW:
ا سسىل هللا، ىم السثد ىم كا عظو، فذعا فلسثد ف! وإى الرىساج كراب هللا،
فذعا فلقن تها تاللل ! فضلد:" ا أها الزي آهىا ادخلىا ف السلن كافح وال ذرثعىا
.خطىاخ الشطاى
―Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan. Maka
biarkanlah kami melakukan ritual kami pada hari itu. Dan Taurat adalah
Kitab Allah, maka biarkanlah kami bangun malam dengannya. Maka
turunlah ayat yang berbunyi سلن كافحا أها الزي آهىا ادخلىا ف ال . Hai
orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhannya.‖5
Riwayat lain dari Ibnu ‗Abbas sebagaimana yang dikutip al-Qurṯubī. Ibnu
‗Abbās berkata, ayat ini diturunkan kepada Ahli Kitab:
3
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997) Cet. XIV, h. 602. 4 Ahmad Izzan, Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur‟an,
(Bandung: Tafakur, 2011) cet-IV, h. 96. Lihat juga Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu
Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h. 132. 5
‗Abdul Fataẖ ‗Abd al-Ghānī al-Qādhī, Asbāb al-Nuzūl „an al-Shaẖābah wa al-
Mufassirīn, (Cairo: Dār al-Salām, 2007) Cet. III, h. 36. Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an
Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Fikr, 2005) Jilid II, h. 400. Lihat juga Jalāl al-Dīn al-Suyūṯī,
Al-Dur al-Mantsūr fȋ Tafsīr bi al-Ma‟tsūr, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1990) Juz I, Cet I,
h. 433. Hal serupa terdapat dalam tafsir Imām al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī fī Tafsīr al-
Qur‟ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-Matsānī, (Bairūt: Dār Iẖya al-Turats al-‗Arabī, 1985) Cet. IV, Juz I
h. 97. Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. Al-Wahidi al-Nisaburi, Asbāb al-
Nuzūl: Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-Qur‟an, Penerjemah: Moh. Syamsi, (Surabaya:
Amelia Surabaya, 2014) h. 96.
58
وسلن والوع، ا أها الزي آهىا توىس وعس عل ادخلىا ف اإلسالم توحوذ صل للا
كافح―Pengertian (ayat ini adalah) : Hai orang-orang yang beriman kepada
Musa dan Isa, masuklah kalian ke dalam Islam yang dibawa oleh
Muhammad SAW. secara keseluruhan.‖6
Al-Rāzī mengatakan bahwa ayat ini sebetulnya diturunkan kepada
golongan orang-orang muslim dari kalangan Ahli Kitab.7 Sebagaimana dalam
riwayat al-Ṯabarȋ di atas, ayat tersebut merujuk kepada kalangan Yahudi yang
masih mengagungkan syariatnya seperti Abdullah bin Salām,8 Tsa‗labah, Ibnu
Yamīn, Asad bin Ka‗āb, Usaid bin Ka‗āb, Sa‗ad bin Amr dan Qais bin Zaid.
Seperti mengagungkan hari sabtu, membenci daging unta dan susunya.9 Kalangan
Ahli Kitab tersebut meliputi yang beriman kepada Musa dan Isa. Kemudian Allah
benci terhadap mereka, dan memerintahkan mereka untuk masuk Islam secara
kāffah, artinya dalam syariat Islam secara keseluruhan.10
Berdasarkan beberapa riwayat sebab turunnya ayat di atas, secara seragam
dapat dikatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan
kalangan muslim dari Ahli Kitab yang masih mengagungkan syariat Nabi Musa,
sementara mereka sudah masuk Islam. Maka turunlah ayat tersebut untuk
memerintahkan mereka agar masuk ke dalam Islam secara menyeluruh.
6 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz II, h. 329. Lihat juga Al-Imām al-Wāhidī, Asbāb al-Nuzūl, (Bairūt: Dār al-Kutub al-
‗Ilmiyyah, 2009) Cet. IV, h. 68. 7 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, (Bairūt: Dār al-Fikr, 1994) Juz V, h. 225.
8 Seperti tafsir al-Syaikh Muẖammad al-Nawāwī al-Jāwī, Maraẖ Labīd Tafsīr al-Nawawī,
(Dār al-Fikr, t.th) Juz I, h. 54. 9 Sayyid Maẖmūd al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī fī Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa
al-Sab„ al-Matsānī, h. 97. 10
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, h. 225.
59
B. Penafsiran Klasik atas al-Silm Kāffah
Al-Ṯabarī11
mengatakan bahwa para ahli takwil12
berbeda pendapat dalam
memaknai al-silm pada ayat ini. Sebagian berkata maknanya adalah Islam.13
Ia
mengutip riwayat:
―Muhammad bin ‗Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abū
‗Āshim menceritakan kepada kami, dari Isa, dari Ibnu Abī Nājih, dari
Mujāhid tentang firman Allah: لن ia berkata: masuklah ke ادخلىا ف الس
dalam Islam.
Al-Hasan bin Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: ‗Abd
al-Razāq memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ma‘mar
memberitahukan kepada kami, dari Qatādah dalam firman Allah: ادخلىا ف
لن .ia berkata: masuklah ke dalam Islam الس
Muhammad bin Sa‗d menceritakan kepadaku, ia berkata: Bapakku
menceritakan kepadaku, ia berkata: Pamanku menceritakan kepadaku, ia
berkata: Bapakku menceritakan kepadaku, dari bapaknya, dari ‗Ibnu
‗Abbās ": لن ادخلىا ف الس ia berkata: السلن : Islam.
Musa bin Harūn menceritakan kepadaku, ia berkata: ‗Amr
memberitahukan kepada kami, ia berkata: Asbat menceritakan kepada
kami, dari Al-Suddi ادخلىا ف السلن ia berkata: ke dalam Islam.
11
Nama lengkapnya adalah Mujāhid bin Jabr al-Makki Abȗ al-Hajjaj al-Makhzūmī al-
Muqri‘, maulā al-Sai‘ib bin Abū al-Sa‘īb. Ia banyak meriwayatkan dari ‗Ali, Sa‘d bin Abī
Waqqas, empat orang Abdullah, Rafi‗ bin Khudaij, ‗Āisyah, Ummu Salamah, Abū Hurairah,
Suraqah bin Malik, ‗Abdullah bin al-Sa‘ib al-Makhzȗmi dan lainnya. Sedang yang meriwayatkan
darinya adalah ‗Atā‗, ‗Ikrimah, ‗Amr bin Dinar, Qatādah, Sulaimān al-Ahwal, Sulaimān al-
A‗masy, Abduulah bin Katsīr ‗Umar, dan wafat pada 102 atau 103 H. Tetapi menurut Yahya al-
Qattan, ia wafat pada tahun 104 H. Lihat Manna‗ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an,
penerjemah: Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2012) h. 525. 12
Para ulama klasik dan modern berbeda pendapat perihal perbedaan antara tafsir dan
takwil. Sebagian menyamakan takwil dengan tafsir dan sebagian lagi menolaknya. Mayoritas para
ulama klasik menyamakan tafsir dengan takwil. Namun pada era sekarang, menurut Hamdi tafsir
berkaitan dengan aspek eksternal sebuah teks, seperti asbāb al-nuzūl, cerita, makkiyyah,
madaniyyah, nāsikh, mansūkh, ‗amm, khash, mutlaq, muqayyad, mujmal, mufassar, dan
sebagainya. Semua ilmu ini bersifat riwāyah. Dalam arti bahwa aspek-aspek tersebut hanya
disebut sebagai ―pengetahuan‖ tentang apa saja di seputar permasalahan tersebut. Dari sini terlihat
bahwa tafsir merupakan ilmu yang menjadi pengantar bagi aktivitas takwil, yaitu aktivitas
pengalihan ayat ke makna yang dimungkinkannya. Jadi, tafsir merupakan bagian dari proses
takwil. Pada proses takwil inilah signifikansi makna ayat bisa ditemukan sesuai dengan horison
kesejarahan seorang muawwil (penakwil). Lihat A. Zainul Hamdi, Hermeneutika Islam:
Intertekstualitas, Dekonstruksi, Rekonstruksi, dalam Gerbang: Jurnal Studi Agama dan Demokrasi,
No. 14, Vol. V, 2003. h. 69. Lihat juga Aksin Wijaya, Arah Baru Ulum Al-Qur‟an: Memburu
Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) h. 147. Lihat juga
‗Abd al-Rahman ibn Sulaimān al-Rūmī, Buhūtsu fī Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhu, (Riyādh:
Maktabah al-Taubah, 1994) Cet. IV, h. 8. 13
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 397.
60
Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Wahhab
memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ibnu Zaid berkata mengenai
firman Allah: ادخلىا ف السلن ia berkata: السلن yakni Islam.
Aku telah diberitahu dari Al-Husain bin Faraj, ia berkata: aku
mendengar Abu Muadz bin Fadl bin Khālid, ia berkata: Usaid bin
Sulaimān, ia berkata: aku mendengar al-Dhahāk berkata: ادخلىا ف السلن ke
dalam Islam.‖
Yang lain berpendapat: maknanya adalah masuklah ke dalam ketaatan.
Sebagaimana riwayat berikut:
―Aku telah diberitahu dari Amar, ia berkata: Ibnu Abī Ja‗far
menceritakan kepada kami, dari bapaknya, dari al-Rabi‘: ادخلىا ف السلن ia
berkata: masuklah ke dalam ketaatan.‖
Al-Ṯabarī menyimpulkan riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan
bahwa tafsiran yang lebih utama tentang firman: ادخلىا ف السلن adalah pendapat
yang mengatakan: Bahwa maknanya adalah masuklah ke dalam Islam dengan
sepenuhnya.14
Ia memilih tafsir pada ayat " ادخلىا ف السلن " maknanya dengan
Islam, dengan dalih bahwa karena sesungguhnya ayat tersebut ditujukan kepada
orang-orang mukmin, dan jika khiṯab tersebut ditujukan kepada orang mukmin
maka tidak akan keluar dari dua masalah ini:
Pertama, Khiṯab ini ditujukan kepada orang yang percaya dengan Nabi
Muhammad SAW. dan membenarkannya serta membenarkan apa yang datang
padanya. Maka ayat tersebut tidak bisa dikatakan kepada mereka sementara
mereka ahli iman: ―masuklah ke dalam perdamaian dengan orang mukmin dan
penyerahan‖ karena perdamaian dan penyerahan itu ditujukan kepada golongan
yang sedang berperang agar mereka memberhentikan perang, sedangkan kepada
14 Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399.
61
sekutu tidak boleh dikatakan ―berdamailah dengan fulan‖, sedangkan tidak ada
perang dan tidak ada permusuhan di antara mereka.
Kedua, khiṯab ini ditujukan kepada orang yang beriman dan membenarkan
terhadap para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. dan apa yang datang bersama
mereka, akan tetapi mereka mengingkari kenabian Muhammad SAW, maka
dikatakan kepada mereka: ادخلىا ف السلن"" , yakni Islam dan bukan perdamaian,
karena Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk percaya dengan-Nya,
dengan Nabi-Nya Muhammad dan apa yang datang bersamanya, dan terhadap apa
yang diserukan oleh mereka, bukan memerintahkan untuk menyerah dan
melakukan perdamaian, bahkan dalam keadaan tertentu melarang nabi-Nya untuk
melakukan perdamaian dengan orang kafir.15
Allah berfirman: ―Jangan kamu
lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah bersamamu”
(QS. Muhammad [47]: 35).
Dibolehkan dalam keadaan tertentu jika diajak untuk melakukan
perdamaian, Allah berfirman :“Jika mereka condong kepada perdamian maka
condonglah kepadanya”. (QS. Al-Anfāl [8]: 61). Sedangkan untuk memulai
mengajak perdamaian tidak ada di dalam al-Qur‘an. Maka menurut al-Ṯabarī
boleh ayat " ادخلىا ف السلن " ditafsirkan demikian.
Selain penjelasan khiṯab di atas, dalam menafsirkan ayat ini al-Ṯabarī
mengutip beberapa perbedaan qira‗at.16
Menurutnya, Ahl al-Hijaz membaca "
15
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399. 16
Menurut al-Dzahabī, yang menyebabkan Ibnu Jarir memberi perhatian terhadap sisi
qira‘at karena ia tergolong ulama qira‘at, sehingga para ulama berkomentar, ―Ibnu Jarīr telah
mengarang kitab khusus tentang qira‘at dalam 18 volume yang di dalamnya menjelaskan semua
qira‘at yang masyhur dan yang syadz (ganjil) bahkan ia menguraikannya. Lalu ia memilih qira‘at
62
"ادخلىا ف السلن dengan mem-fatẖah-kan sin, sedangkan orang-orang Kuffah17
membaca " ادخلىا ف السلن " dengan meng-kasrah-kan sin. Sedangkan yang
membaca fatẖah pada huruf sin dari ayat ادخلىا ف السلن, mereka menakwilkan
ayat tersebut dengan makna الوسالوح yaitu rekonsiliasi, dengan arti: masuklah
kamu sekalian dalam perdamaian dan egalitarian atau perbaikan, meninggalkan
perang dan membayar jizyah atau upeti.18
Sedangkan orang-orang yang membaca ayat tersebut dengan meng-
kasrah-kan sin, maka bahwasannya mereka telah berbeda pendapat dalam
menafsirkannya. Sebagian dari mereka ada yang mengartikannya dengan Islam,
dengan arti masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan.19
Dan sebagian dari
mereka mengartikannya dengan perdamaian, dengan arti: masuklah kalian semua
ke dalam kedamaian. Dan mereka mengambil dalil bahwa sin yang di-kasrah-kan
itu bermakna perdamaian sesuai perkataan Zuhair bin Abī Salma.
Dalam masalah qira‘at, al-Ṯabarī menyimpulkan:
―Bahwa qira‘at yang lebih utama bacaan ayat itu adalah qira‘at yang
membaca sin dengan kasrah, karena hal itu jika dibaca demikian juga
mengandung makna perdamaian.‖
yang tidak keluar dari yang masyhur. Sayangnya karya besarnya itu lenyap di telan masa, sehingga
tidak sampai kepada kita sebagaimana karya-karyanya yang lain. Lihat Muhammad Husein al-
Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1. Penerjemah: H. Nabhani Idris, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
h. 204. 17
Menurut Shālih al-‗Utsaimīn, Ahli Kuffah mereka adalah para pengikut Ibnu Mas‘ūd
seperti Qatādah, ‗Alqamah, dan Sya‗bi. Lihat Muẖammad Shālih al-‗Utsaimīn, Ushūl fī al-Tafsīr,
(al-Maktabah al-Islāmiyyah, 2001) h. 38. 18
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398.
19 Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398.
63
Sesungguhnya makna Islam adalah kelanggengan perbuatan yang baik
bagi orang Arab lebih diutamakan daripada perdamaian dan penyerahan,
kemudian mereka menyebut syair Akhi Kindah:
لن لوا... س رهن ذىلىا هذتشادعىخ عششذ للس أ
―Aku menyeru keluargaku untuk menganut agama Islam ketika aku
melihat mereka berpaling ke belakang.‖
Setelah melihat perbedaan ahli takwil, kemudian al-Ṯabarī men-tarjih:
―Pendapat yang benar menurutku adalah bahwasannya Allah
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengamalkan
semua syariat Islam, masuk di dalamnya orang-orang yang beriman dan
membenarkan dengan Muhammad SAW. serta apa yang datang
bersamanya dan orang-orang yang beriman dengan para nabi sebelum
Muhammad SAW. dan apa yang dibawa oleh mereka, Allah telah menyeru
kedua golongan tersebut untuk mengamalkan syariat Islam dan ketentuan-
ketentuannya, menjaga kewajiban yang telah Allah bebankan kepada
mereka, dan melarang untuk meninggalkan satu pun dari ajaran tersebut,
ayat ini umum masuk di dalamnya semua yang beriman, tidak ada
kekhususan antara yang satu dengan yang lain.‖20
Setelah melihat penafsiran al-Ṯabarī dalam ayat ini, dapat disimpulkan
bahwa ia secara eksplisit lebih memilih penafsiran al-silm dengan Islam tenimbang
(daripada) dengan perdamaian. Hal ini yang kemudian mempengaruhi mufassir
klasik setelahnya seperti al-Qurṯubī.21
Penafsiran al-Qurṯubī tidak jauh berbeda
dengan al-Ṯabarī. Al-Qurṯubī menegaskan pilihan tafsirannya terhadap kata al-silm
pada awal penafsirannya dengan mengkaitkan ayat sebelumnya bahwa Allah
menjelaskan manusia terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu orang yang
20
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401.
21 Beliau adalah Abū ‗Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn al-Farīd al-Anshārī al-Hazraj
al-Andalūsī. Beliau adalah seorang yang zuhud, wara‘ dan bertakwa kepada Allah SWT. Beliau
senantiasa menyibukkan diri dalam menulis dan beribadah. Al-Dzahabī mencatat tentang tahun
wafat beliau yakni tertulis bahwa beliau wafat tepatnya pada bulan syawwal tahun 671 H. Lihat
Muhammad Husaīn al-Dzahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Cairo: Maktabah al-Wahbah, 2003)
Cet. II, Jilid II, h. 336.
64
beriman, orang kafir, dan orang munafik,22
maka Allah berfirman, ―Anutlah oleh
kalian semua agama yang satu dan peluklah agama Islam, serta konsistenlah kalian
terhadapnya.‖ Jika demikian, maka makna kata al-silm yang tertera dalam ayat ini
menurut al-Qurṯubī adalah Islam.23
Al-Qurṯubī mengutip syair al-Kindi sebagai riwayat yang mendukung
penafsiran al-silm dengan Islam sebagai berikut:
رهن ذىلىا هذتشا لن لوا... سأ دعىخ عششذ للس
―Aku menyeru keluargaku untuk menganut agama Islam ketika aku
melihat mereka berpaling ke belakang.‖
Yakni (menyeruh) untuk memeluk agama Islam ketika orang-orang Kindi
murtad sepeninggal Nabi SAW. bersama Asy‘ats bin Qais al-Kindi.24
Serupa
dengan al-Ṯabarī, al-Qurṯubī pun mengutip beberapa riwayat:
―Menurut satu pendapat, (dalam ayat ini) Allah memerintahkan
orang-orang beriman dengan mulutnya saja agar masuk Islam dengan
sepenuh hati mereka.
Ṯāwus dan Mujāhid berkata, Masuklah kalian ke dalam urusan
agama.25
Sufyān al-Tsauri berkata, (masuklah kalian) ke dalam semua
bentuk kebajikan.‖26
Hal serupa lain penafsiran al-Qurṯubī dengan al-Ṯabarī dalam aspek
kebahasaan. Menurut al-Qurṯubī, kata al-silm dibaca kasrah pada huruf sin. Al-
22 Dilontarkannya kata ‗iman‘ untuk ketiga kelompok ini, karena Ahli Kitab adalah
orang-orang yang beriman kepada nabi dan kitab mereka, dan orang munafik juga menyatakan
keimanan dengan lisan walaupun hatinya tidak beriman. Lihat Imam Al-Syaukani, Tafsir Fathul
Qadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) Cet. I, Jilid I, h. 813.
23
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 392. 24
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393. 25
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393. 26
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
65
Kisā‗i berkata, ―Makna al-silm dan al-salm itu sama.‖ Demikian pula menurut
pendapat mayoritas ulama Bashrah. Kedua kata itu bisa berarti Islam dan
rekonsiliasi. Namun Abū ‗Amr al-‗Ala membedakan makna keduanya, dia
membaca, udkhulū fī al-silm ―masuklah kamu ke dalam Islam.” Dia berkata, ―Al-
silm adalah Islam.‖Sementara dalam surat al-Anfāl dan Muẖammad dia membaca
dengan ―al-salm.‖ Dia berkata, ―dengan fatẖah huruf sin, yakni rekonsiliasi.‖
Namun pemilahan ini diingkari oleh al-Mubarrad. ‗Āshim al-Jahdari
berkata, ―al-silm adalah Islam, al-salm adalah perdamaian (al-shulh), dan al-
salām adalah tunduk (al-istislām).‖27
Muhammad bin Yazid juga mengingkari pemilahan ini. Dia berkata,
―Bahasa Arab dipahami melalui jalur pendengaran, bukan melalui jalur aturan
atau tata bahasa. Orang yang membuat perbedaan tersebut memerlukan
pembuktian. Sementara itu orang-orang Bashrah meriwayatkan bahwa banu fulȃn
(anak cucu) adalah silm, salm dan salam, yang maknanya adalah sama.‖
Al-Jauhari berkata, ―Al-silm yang mengandung makna perdamaian boleh
di-fatẖah-kan atau di-kasrah-kan (huruf sin-nya). Boleh juga diucapkan dalam
bentuk mudzakar dan mu‟annats. Makna asalnya adalah al-istislām (tunduk) dan
al-inqiyād (patuh). Oleh karena itu, al-shulẖ (perdamaian) disebut juga dengan
salm atau silm.‖28
27
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān,h. 393. 28
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
66
Sedangkan penafsiran terhadap firman Allah: كافح sendiri, al-Ṯabarī
menafsirkannya menyeluruh dan kesemuanya (جوع ا).29
Hal senada al-Qurṯubī
menafsirkan kata كافح adalah jamī„ān (seluruhnya). Namun al-Qurṯubī memberi
penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut. Menurutnya kata ini di-nashab-kan
karena menjadi ẖāl dari kata al-silm, atau dari dhamir orang-orang yang
beriman.30
Maka bisa dikatakan, “Masuklah kalian semua orang-orang yang
beriman secara kāffah di dalam Islam atau perdamaian”.
Lebih lanjut al-Qurṯubī menjelaskan bahwa kata ( كافح) ini diambil dari
ucapan mereka ―kafaftu,‖ yakni mana„tu (aku mencegah). Maksudnya, tidak ada
seorang pun dari kalian yang tercegah atau terlarang untuk masuk ke dalam Islam.
Itu karena makna al-kaff adalah al-man„u (larangan). Contohnya adalah kuffah al-
qamīsh (tepi baju), sebab bagian tepi ini mencegah baju berantakan. Contoh
lainnya adalah kiffah al-mīzān (piring timbangan), sebab piringan inilah yang
menampung sesuatu yang ditimbang dan mencegahnya berhamburan. Contoh lain
lagi adalah kaff al-insān (telapak tangan manusia), yang mencakup hal-hal
manfaat dan mudharat bagi dirinya. Setiap yang bundar adalah kiffah dan setiap
yang memanjang adalah kuffah. Adapun makna rajulun makfūf al-bashar adalah
orang yang tercegah untuk melihat. Dengan demikin, jamaah dinamakan kāffah
karena mereka tidak mungkin tercerai-berai.31
29
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401. 30
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394. 31
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394.
67
C. Penafsiran Modern atas al-Silm Kāffah
Berbeda dengan penafsiran klasik yang hanya berfokus pada ranah
tekstualis (kebahasaan), penafsiran modern menafsirkan kata al-silm kāffah
dengan pendekatan lain, yakni lebih mengedepankan upaya kontekstualisasi
penafsiran dengan realitas. Sebagaimana tertera pada penafsiran Muẖammad32
‗Abduh dan al-Marāghī.33
Dalam hal ini tidak bisa lepas—sebagaimana menurut
Hamim Ilyas sebagai pijakan bagi pembaruan agama dan sosial yang mereka cita-
citakan.34
Muẖammad ‗Abduh memulai penafsirannya terhadap QS. Al-Baqarah [2]:
208, dengan menjelaskan munāsabah (keserasian) ayat al-silm kāffah dengan ayat
sebelumnya sebagaimana yang juga dilakukan al-Qurṯubī. Menurut ‗Abduh, ayat
sebelumnya menjelaskan perbedaan manusia tentang kebaikan dan keburukan dan
tentang perbaikan dan perusakan, lalu Allah hendak memberi petunjuk kepada
kita tentang sesuatu yang dapat mengumpulkan manusia secara keseluruhan
dalam keadaan yang baik dan damai.35
Kesepakatan yang telah ditetapkan oleh
Islam yaitu sesuatu yang telah ditentukan berupa iman kepada Allah dan hari
32 Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‗Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di
desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun
1905 M. Ayahnya, ‗Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa
Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar ibn
Khattab. Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu‟tazilah, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1981) h. 19.
33 Nama lengkapnya adalah Ahmad Mushtafa ibn Mushtafa ibn Muhammad ‗Abd al-
Mun‗īm al-Qādhī al-Marāghī. Ia lahir pada tahun 1300H/1883M di kota al-Marāghah, Provinsi
Suhaj, kira-kira 700 km arah selatan kota Kairo. lihat Adil Nuwayhid, Mu„jam al-Mufassirīn
Shadr al-Islām hatta al-„Ashr al-Hādir, (Bairūt: Mu‘assasah al-Nuwayhid al-Tsaqāfiyyah, 1988)
Cet. II, Jilid I, h. 80. 34
Hamim Ilyas, Mengembalikan Fungsi al-Qur‟an: Paradigma dan Metode Tafsir al-
Manar, dalam Syafa‘atun Almirzanah, Sahiron Syamsuddin, Upaya Integrasi Hermeneutika
dalam Kajian Qur‟an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), (Yogyakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 20120 Cet. II, h. 104. 35
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al-
‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, h. 207.
68
akhir. Dan petunjuk ini dijadikan redaksinya dengan menggunakan redaksi
perintah dan memuliakan ahli iman.
Berbeda dengan ‗Abduh, Menurut al-Marāghī ayat-ayat sebelumnya yang
telah lalu perihal pembagian manusia menjadi dua golongan yaitu ada yang baik
dan ada yang rusak; golongan pertama menurut al-Marāghī hanya mengharapkan
keridhaan dari Allah atas amal perbuatannya, sedangkan golongan kedua mereka
yang selalu menimbulkan kerusakan di muka bumi dengan merusak tanaman dan
membunuh hewan ternak.36
Maka pada ayat ini menurut al-Marāghī, Allah
memberi nasehat kepada kita bahwa ciri khas orang mukmin adalah bersatu dan
bersepakat bukan pecah belah dan terbagi-bagi.37
Muẖammad ‗Abduh berpendapat bahwa makna kata al-silm adalah
rekonsiliasi (saling membangun perdamaian), tunduk, dan penyerahan. Makna al-
silm bisa ditunjukan dengan perdamaian dan keselamatan, dan juga bisa dimaknai
dengan agama Islam.38
Menurut ‗Abduh, sebagian mufassir menafsirkan silmi
dengan perdamaian dan sebagian lain menafsirkan al-silm dengan Islam.
Sementara كافح menjadi hāl dari kata al-silm, artinya semua syariat-Nya. Berbeda
dengan ‗Abduh, menurut al-Marāghī, كافح artinya menuruti hukum Allah secara
keseluruhan, dilandasi dengan berserah diri, tunduk dan ikhlas kepada Allah. Al-
Marāghī memberikan gambaran maksud berserah diri kepada Allah yaitu:
.وهي اصىل الىفاق والوسالح تي الاط وذشك الحشوب تي الوهرذي تهذح
36
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa
Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz II, h. 114. 37
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. 38
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 207.
69
Di antara pokok-pokok berserah diri kepada Allah ialah cinta damai dan
meninggalkan pertempuran di antara orang-orang yang sehidayah.39
‗Abduh mengatakan bahwa prinsip al-silm adalah mematuhi perintah
Allah dan ikhlas menjalankannya, serta adanya kesepakatan dan saling memberi
keselamatan di antara manusia, meninggalkan peperangan dan pembunuhan di
antara orang-orang yang sudah diberi petunjuk. Kata al-silm mencakup semua
makna, dan perintah untuk masuk tersebut adalah orang-orang yang sudah masuk
harus secara sempurna menjalankannya dengan secara tetap dan konsisten.40
Sebagaimana dalam satu pendapat, menurut ‗Abduh khiṯab ayat ini
diperuntukkan untuk Ahli Kitab atau semua orang yang beriman kepada Allah,
maka pada hakekatnya masuk di dalamnya. Allah berkata kepada mereka, jika
kalian tidak masuk ke dalam agama Islam yang sempurna dengan mengikuti
akhlak Islam secara sempurna dengan diutusnya nabi terakhir, maka iman kalian
tidak akan bermanfaat dan kalian akan tetap melakukan permusuhan dan
perpecahan, sementara agama Allah ingin mempersatukan dan tidak ingin
memecah belah.41
Dan ini saya tulis setelah mempelajari tafsir guru kami terhadap
ayat ini.
Selanjutnya ‗Abduh memberikan penjelasan secara lebih luas. Ia
mengatakan bahwa kalimat ini adalah kalimat yang agung. Dan kaidahnya, kalau
semua ulama membangun madzhabnya di atas pondasi kalimat ini maka tidak
dikhawatirkan terjadi perpecahan di dalam umat. Karena ayat ini menjelaskan
39
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. 40
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 207. 41
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 207.
70
wajib mengambil Islam secara komprehensif.42
Kita melihat semua yang datang
dari al-Syāri„ (Allah dan Rasul) di semua masalah dari teks firman-Ku dan dari
Sunnah yang harus diikuti, kita memahami apa yang dikehendaki secara
keseluruhan dan kita mengamalkanya. Tidak dengan cara seporadis dengan
mengambil kalimat atau satu hadis saja dan dijadikan hujjah kepada madzhab
yang lain. Dan kamu meninggalkan sesuatu yang bertentangan dengan teks al-
Qur‘an dan hadis, juga harus memahami nasakh mansūkh, atau menghukumi
dengan ragu-ragu (ihtimal).
Kalau anda mengajak para ulama untuk mengamalkan ayat ini menurut
‗Abduh, artinya mereka mengetahui dan tidak mengingkari di antara keduanya
dan sebagian ulama men-tarjih tafsiran yang lain secara tetap, dan mereka
menolak karena merasa besar dan kalian berkata, ―kami menentang terhadap
orang-orang yang sombong‖. Karena itu kita harus meninggalkan madzhab dan
berusaha mengajak umat Islam konsisten pada satu madzhab.43
Pada sisi lain, menurut ‗Abduh ayat ini dalam suatu keadaan kita bisa
menemukan petunjuk dan pencerahan dalam perkataan ulama-ulama. Kalau umat
mengikutinya maka dia akan bisa konsisten berada dalam jalannya dan bisa
mencapai suatu kebenaran setelah keluar dari kesempitan perbedaan dan
pertentangan menuju persatuan dan kesepakatan. Sebab, eksisnya kuasa
perbedaan dan pertentangan itu terjadi karena kebodohan dan fanatisme orang-
42
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208. 43
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
71
orang yang cinta jabatan dari golongan ulama yang mempertahankan madzhab,
dan dengan jabatannya itu mereka hidup dan mereka dimuliakan.
Para Umara dan penguasa mendukung para ulama untuk menolong kepada
mereka agar para umat itu mematuhinya dan memutus jalan kebebasan akal
(berfikir) dan kemandirian umat. Karena itu, hal ini membantu mereka
menciptakan suatu kediktatoran (istibdād). Sehingga kita akan terus-terusan tidak
bisa lepas dari kerusakan dan kerusakan. Kesepakatan ucapan umat dan ulama
secara otomatis sudah diketahui kebenarannya, dan lalu ditetapkan oleh hakim
agar umat itu mengikutinya. Karena orang elit harus diikuti orang awam, dan ini
salah satu jalan untuk membatalkan otoritas hakim.44
Inilah tafsir yang mendukung dengan mencela orang-orang yang telah
menjadikan al-Qur‘an itu terbagi-bagi (idhdhīn). Mereka mengingkari orang-
orang yang mengimani sebagian dan mengkafirkan bagian yang lain. Artinya
mereka mengamalkan sebagian ayat al-Qur‘an sebagai agama dan meninggalkan
sebagian yang lain dengan cara ditakwil atau tidak. Seperti keyakinan seseorang
yang tidak mempercayai bahwa ayat itu dari Allah. Padahal wajib mengambil al-
Qur‘an dan agama secara komprehensif dan memahami hidayah secara
keseluruhan dari nabi. Ini sudah ketetapan, baik ayat itu ditafsirkan atau tidak.45
Sebagian mufassir berpendapat bahwa kāffah menjadi ẖāl yang kembali ke
orang-orang yang beriman dengan artian masuklah kalian semua ke dalam Islam
secara menyeluruh, jangan ada yang tersisa satu pun dari kalian. Orang yang
44
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208. 45
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
72
berpendapat demikian bahwa nidā (panggilan) orang-orang yang beriman
ditujukan kepada Ahli Kitab. Maka dari itu tidak bisa dikatakan bahwa iman di
sini diharuskan masuk ke dalam Islam, seandainya perintah orang-orang beriman
untuk masuk Islam memang harusnya demikian. Iman itu mempercayai secara
pasti serta memproklamirkan diri, barang siapa yang percaya sesuatu maka harus
masuk ke dalamnya tanpa terkecuali.46
Sedangkan pendapat mayoritas ulama bahwa ilmu yang tidak wajib
diamalkan sudah tentu salah. Ilmu yang dipercayai berkaitan dengan kemanfaatan
atau kemadharatan wajib diamalkan selama tidak bertentangan dalam
objektivitasnya dengan ilmu yang lebih kuat. Adapun ilmu teoritik yang
bertentangan ilmu dengan ilmu dharuri (yang pasti benarnya) atau bertentangan
dengan ilmu yang lebih kuat, maka kedua ilmu itu tidak wajib diamalkan.47
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazalī, Ibn Taimiyyah dan
al-Syāṯībī pengarang kitab al-Muwaffaqāt bahwa ilmu yang benar adalah ilmu
yang harus diamalkan. Dan kebenaran yang akan terperinci, didukung oleh ayat-
ayat al-Qur‘an sebagai dalilnya. Dan Allah menunjukkan kepada orag yang
berkata bahwa ayat tersebut diturunkan kepada Ahli Kitab. Sebagaiamana yang
diriwayatkan Ibnu Jarīr dari ‗Ikrimah berkata:
‗Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan. Maka
biarkanlah kami melakukan ritual kami pada hari itu. Dan Taurat adalah
Kitab Allah, maka biarkanlah kami bangun malam dengannya. Maka
turunlah ayat yang berbunyi ا أها الزي آهىا ادخلىا ف السلن كافح. Hai
46
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208. 47
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
73
orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhan.48
Menurut ‗Abduh, khiṯab tersebut tertuju untuk kalangan Yahudi secara
khusus, tidak untuk Ahli Kitab secara umum. Akan tetapi menurutnya riwayat
tersebut tidak shaẖih, dan riwayat tersebut menunjukan atas dirinya, maka riwayat
tersebut adalah yang objektif terhadap ayat tersebut.49
Aspek kedua, dalam arti al-silm yang diartikan dengan rekonsiliasi dan
kesepakatan. Karena hal tersebut merupakan sesuatu yang dapat menghilangkan
permusuhan dan pertentangan, dan dengan cara menjaga persatuan, serta
memperkokoh persaudaraan. Tidak bisa menghilangkan sesuatu kecuali dengan
menghilangkan sebab-sebabnya (permusuhan dan pertentangan). Dan tidak bisa
menjadi nyata kecuali dengan memantapkan mediasi-mediasinya (persatuan dan
memperkokoh persaudaraan).50
Ini sesuai dengan ayat, ―Berpegang tegulah pada
tali Allah secara berjamaah dan jangan berpecah belah, ayat yang lain, ―Dan
janganlah kalian saling bertentang, dan nabi bersabda: Setelah aku wafat
janganlah kalian kembali menjadi orang kafir yang sebagian kalian akan
menggorok leher sebagian yang lain.‖
Tapi menurut ‗Abduh, kita masih menentang ayat-ayat ini sehingga kita
masih tetap berpecah belah, bermusuhan, membunuh, memfitnah, dengan syubhat
agama. Karena kita masih berpegang teguh pada perbedaan madzhab. Setiap
golongan pasti akan fanatik buta terhadap mazhabnya dan menghina madzhab
48
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209. 49
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209. 50
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
74
yang lain dengan menyangka ia sedang menolong agama. Seperti pembunuhan
Sunni terhadap Syi‗ah, Syi‗ah melengserkan ‗Ibadiyya, Syafi‗iyyah menuduh
Hanafiyyah sebagai Tar-Tar, Hanafiyyah meng-qiyas-kan Syafi‗iyyah sebagai
kafir dzimmi. Inilah orang-orang yang ber-taklid yang mengakibatkan Islam
mundur, maka menurut ‗Abduh marilah kita mengikuti jalan salaf.
Sementara menurut al-Marāghī, makna ayat tersebut adalah ―wahai orang-
orang yang beriman dengan sepenuh hati dan tingkah laku, tetaplah kalian
menjalankan ajaran-ajaran Islam sejak hari ini dan seterusnya,‖ jangan sekali-kali
kalian melepaskan salah satu dari syariat-syariatnya. Bahkan ambillah Islam
secara keseluruhan dan pahamilah maksud Islam yang sebenarnya.51
Dalam setiap
tingkah laku dan menghadapi setiap masalah, pakailah nash-nash al-Qur‘an dan
sunnah-sunnah rasulullah, lalu amalkanlah setiap anjurannya. Jangan mengambil
satu dalil nash atau dalil sunnah saja tanpa memperdulikan dalil-dalil nash atau
sunnah lainnya, sebab mungkin berselisih paham dengan hujjah yang dipakainya.
Dan hal ini bisa menimbulkan perpecahan dan percekcokan yang semakin seru di
antara kalian dan akhirnya kehancuranlah bagi kalian semua.52
Al-Marāghī memberikan contoh akibat dari permusuhan dan perpecahan
sebagaimana penafsiran ‗Abduh. Ia mengatakan:
―Tetapi kaum muslimin telah menyimpang dari anjuran ini. Kini mereka
berpecah belah dan saling baku hantam, sebagian memusuhi sebagian
lainnya. Mereka mendirikan madzhab-madzhab yang saling berlainan.
Setiap madzhab memusuhi madzhab lainnya dengan anggapan bahwa
mereka sendirilah yang menegakkan agama. Padahal hakikatnya mereka
menghina agama, karena membuat perpecahan di kalangan kaum
51
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. 52
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
75
muslimin. Yang bermadzhab Sunni menghantam saudaranya sendiri yang
bermadzhab Syi‗ah, yang bermadzhab Syafi‗i menghina bangsa Tar-Tar,
oleh karena mereka menganut madzhab Abu Hanifah, dan mereka yang
mengikuti ulama khalaf (mutaakhirīn) mengecam pengikut-pengikut
madzhab ulama salaf, demikian seterusnya.‖53
Dengan melihat penafsiran-penafsiran di atas, para mufassir klasik
menunjukkan tingkat kompleksitas penafsiran yang tinggi khususnya pada ranah
kebahasaan. Seperti al-Ṯabarī dan al-Qurṯubī yang dalam penafsirannya mengutip
beberapa perbedaan para ahli takwil terkait riwayat dan qira‘at dalam menyikapi
kata al-silm kāffah. Dengan mediasi tersebut, kemudian keduanya memilih,
seperti al-Ṯabarī yang mentarjih penafsiran kata al-silm kāffah dengan Islam
secara menyeluruh.
Sementara mufassir modern seperti Muẖammad ‗Abduh dan al-Marāghī,
kendati pun dalam beberapa penafsirannya mereka mengutip perbedaan qira‘at
dan riwayat atau kebahasaan, tetapi mereka lebih menekankan konteks sosial yang
mengitarinya. Konteks pertikaian antara madzhab, hilangnya perdamaian dan
adanya permusuhan di antara umat Islam yang mengantarkan mufassir modern
menafsirkan kata al-silm kāffah dengan islam (nilai) yang harus diterapkan secara
komprehensif. Dari perbedaan natijah (hasil) penafsiran yang sangat siginifikan
dari kedua mufassir tersebut yang selanjutnya akan penulis paparkan analisis-
komparatif di antara keduanya; mufassir klasik dan modern dalam menafsirkan
kata al-silm kāffah.
53
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
76
BAB IV
ANALISIS-KOMPARATIF PENAFSIRAN KLASIK DAN MODERN ATAS
AYAT AL-SILM KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]:208 DAN
RELEVANSINYA DENGAN KONTEKS INDONESIA
A. Corak penafsiran
Setiap tafsir mempunyai corak yang berbeda-beda meskipun masih dalam
ruang lingkup yang sama sebagai model tafsir tahliīī.1
Penafsiran dengan
menggunakan metode penulisan tahliīī tentu tidak bisa dilepaskan dari
subyektifitas penulisnya, yaitu kecenderungan atau orientasi pemikiran yang
dilatar belakangi oleh pendidikan, bacaan dan lingkungan hidup penulisnya.2
Beberapa hal tersebut yang kemudian memunculkan corak penafsiran yang
berbeda-beda.
Di antara keempat mufassir, hanya penafsiran al-Ṯabarī yang tidak
memiliki corak khusus karena al-Ṯabarī menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an
berdasarkan riwayat.3
Berbeda dengan al-Ṯabarī, al-Qurṯubī memiliki corak
1 Metode tahliīī adalah metode penafsiran ayat-ayat al-Qur‘an secara analitis dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya. Penafsiran dengan
metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan terhadap ayat demi ayat dan surah
demi surah, sesuai dengan urutannya yang terdapat dalam mushhaf ‗Utsmani yang ada sekarang.
Mulai dari awal surah al-Fatihah sampai dengan akhir surat al-Nas. Acep Hermawan, „Ulumul
Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) h. 117. Lihat juga
Musa‗īd ibn Sulaimān al-Ṯayyār, Fushūl fī Ushūl al-Tafsīr, (Riyādh: Dār al-Nasyr al-Daulī, 1993)
Cet. I, h. 19. 2
Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h. 96. 3 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 11.
77
fiqih.4 Sedangkan Muẖammad ‗Abduh dan al-Marāghī memiliki corak adabi
ijtima„i.5
B. Keserasian Ayat al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208
Mengenai keserasian ayat ini, penafsiran klasik dan modern mempunyai
perbedaan pendapat. Al-Ṯabarī dalam hal ini tidak mencantumkan pembahasan
tentang keserasian ayat QS. Al-Baqarah [2]: 208, dengan ayat sebelumnya.
Mufassir klasik seperti al-Qurṯubī dalam pembahasan awal penafsirannya
menjelaskan bahwa pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan manusia terbagi ke
dalam beberapa kelompok, yaitu orang yang beriman, orang kafir, dan orang
munafik, maka Allah berfirman, ―Anutlah oleh kalian semua agama yang satu dan
peluklah agama Islam, serta konsistenlah kalian terhadapnya.‖ Jika demikian,
maka makna kata al-silm yang tertera dalam ayat ini menurut al-Qurṯubī adalah
Islam.6
Sementara dalam pandangan ‗Abduh, ayat sebelumnya menjelaskan
perbedaan manusia tentang kebaikan dan keburukan dan tentang perbaikan dan
perusakan, lalu Allah hendak memberi petunjuk kepada kita tentang sesuatu yang
dapat mengumpulkan manusia secara keseluruhan dalam keadaan yang baik dan
damai.7 Berbeda dengan al-Qurṯubī dan ‗Abduh, menurut al-Marāghī, ayat-ayat
sebelumnya yang telah lalu menjelaskan perihal pembagian manusia menjadi dua
4 Acep Hermawan, „Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, h. 116.
5 Arie Machlina Amri, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, (INSYIRAH, Jurnal Ilmu Bahasa
Arab dan Studi Islam, Vol. 2, No. 1, Juni 2014) h. 8. Tafsir al-adȃb al-ijtima„i, yaitu tafsir yang
menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Acep Hermawan,
„Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, h. 116. 6 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah,
2006) Juz II, h. 392. 7
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al-
‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, h. 207.
78
golongan yaitu ada yang baik dan ada yang rusak; golongan pertama menurut al-
Marāghī hanya mengharapkan keridhaan dari Allah atas amal perbuatannya,
sedangkan golongan kedua mereka yang selalu menimbulkan kerusakan di muka
bumi dengan merusak tanaman dan membunuh hewan ternak.8 Maka pada ayat ini
menurut al-Marāghī, Allah memberi nasehat kepada kita bahwa ciri khas orang
mukmin adalah bersatu dan bersepakat bukan pecah belah dan terbagi-bagi.9
C. Segi Penafsiran
Al-Tabarī tetap sangat dekat dengan pemahaman literal atas kata-kata
dalam ayat ini, dan mengedepankan ragam riwayat yang secara esensial
merupakan parafrase (interpretasi) atas ayat tersebut.10
Misalnya, dia mengutip
tujuh riwayat dalam mengupas kata al-silm. Al-Tabarī menyimpulkan riwayat-
riwayat yang berkait dengan kata al-silm dengan mengatakan bahwa ayat ini lebih
tepat ditafsirkan al-silm dengan Islam. Maka takwilannya adalah perintah untuk
masuk ke dalam Islam secara kāffah. Alasan yang ia berikan untuk hal ini adalah
karena sesungguhnya ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang mukmin.
Sementara kata kāffah secara sepakat dimaknai dengan menyeluruh.
Namun, al-Tabarī menggarisbawahi terkait khitab tersebut. Ia secara tegas
mengatakan bahwa khitab tersebut apabila ditujukan kepada orang-orang
mukmin, maka tidaklah mungkin kata al-silm diartikan dengan perdamaian
sementara orang-orang mukmin dalam kondisi tidak berperang atau damai. Dalam
8
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa
Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz II, h. 114. 9 Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
10
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h.
186.
79
hal ini al-Tabarī secara eksplisit menekankan konteks perang dan damai dalam
memahami makna al-silm kāffah. Sedangkan dalam kesempatan lain bila khitab
tersebut ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada nabi-nabi terdahulu
sementara mereka mengingkari kenabian Nabi Muhammad SAW. maka khitab
tersebut memerintahkan kepada mereka untuk memasuki agama Islam dan
mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. secara kāffah.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Tabarī dengan
didukung beberapa riwayat yang ia masukkan dalam menakwilkan ayat ini
kemudian ia jelaskan secara lebih luas terhadap al-silm kāffah yaitu bahwasannya
Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengamalkan
semua syariat Islam, masuk di dalamnya orang-orang yang beriman dan
membenarkan dengan Muhammad SAW. serta apa yang datang bersamanya dan
orang-orang yang beriman dengan para nabi sebelum Muhammad SAW. dan apa
yang dibawa oleh mereka, Allah telah menyeru kedua golongan tersebut untuk
mengamalkan syariat Islam dan ketentuan-ketentuannya, menjaga kewajiban yang
telah Allah bebankan kepada mereka, dan melarang untuk meninggalkan satu pun
dari ajaran tersebut, ayat ini umum masuk di dalamnya semua yang beriman, tidak
ada kekhususan antara yang satu dengan yang lain.‖11
Para mufassir generasi modern seperti ‗Abduh dan al-Marāghī berbeda
dengan al-Tabarī dalam menyikapi ayat tersebut. Berbeda dengan mufassir klasik
yang menyandarkan penafsirannya pada pendekatan tekstual. Sebaliknya,
11
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Fikr,
2005) Jilid II, h. 401.
80
mufassir modern secara kuat menyadari adanya tantangan bagaimana
menghubungkan al-Qur‘an dengan berbagai masalah dan kebutuhan masyarakat
modern.12
Sebagaimana diketahui bahwa kata al-silm dalam literatur tafsir
menyebutkan sebagian maknanya adalah Islam. Namun, makna Islam kemudian
bergeser ketika sebagian kalangan dalam ranah sosial melegitimasi penafsiran al-
silm kāffah dengan suatu idiom Islam kāffah. Masalah demikian sesuai apa yang
disajikan ‗Abduh dan al-Marāghī dalam penafsirannya.
‗Abduh dan al-Marāghī memberikan ruang kosong pada mufassir klasik
ihwal konteks yang mengitarinya dalam menafsirkan al-silm kāffah QS. [2]: 208.
Perhatian mereka berdua terhadap konteks tersebut dapat diidentifikasi dalam
penafsirannya sebagai berikut:
―Menurut al-Marāghī, di antara pokok-pokok berserah diri kepada Allah
ialah cinta damai dan meninggalkan pertempuran di antara orang-orang
yang sehidayah.13
Sementara menurut ‗Abduh: Prinsip al-silm adalah
mematuhi perintah Allah dan ikhlas menjalankannya, serta adanya
kesepakatan dan saling memberi keselamatan di antara manusia,
meninggalkan peperangan dan pembunuhan di antara orang-orang yang
sudah diberi petunjuk.‖14
Penafsiran ini secara garis besar mewakili makna lain dari al-silm yaitu
perdamaian. Meskipun demikian, secara panjang lebar ‗Abduh telah menjabarkan
kontekstualisasi dari ayat tersebut. ‗Abduh dalam penjelasan penafsirannya
membagi dua persoalan yang menjadi perhatian umat Islam. Pertama, fanatisme
madzhab, kedua, upaya rekonsiliasi.15
Yang pertama ia angkat berdasarkan realitas
12
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 40. 13
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
14
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
15 Menurut Saeed, para ulama modern termasuk ‗Abduh, konteks modern menuntut
peninjauan ulang terhadap warisan intelektual Muslim di mana umat Islam saat itu cenderung
81
yang terjadi pada masanya terkait fanatisme antar madzhab. Dalam penafsirannya,
‗Abduh mengatakan bahwa teks al-Qur‘an harus dipahami secara keseluruhan,
tidak dengan cara seporadis mengambil satu ayat atau hadis saja untuk dijadikan
pembenaran madzhabnya.16
Dalam hal aspek rekonsiliasi, ‗Abduh menjelaskan bahwa upaya
rekonsiliasi merupakan suatu yang dapat menghilangkan permusuhan dan
pertentangan, dengan cara menjaga persatuan, serta memperkokoh persaudaraan.17
Ia berpendapat bahwa akibat persoalan madzhab manusia menjadi terpecah belah.
Maka ia menyimpulkan bahwa penafsiran al-silm kāffah yang tepat adalah
memasuki islam secara komprehensif dengan sarat adanya kesepakatan dan
perdamaian di antara sesama umat Islam serta meninggalkan fanatisme madzhab.
Upaya mengkontekstualisasikan ayat seperti yang dijelaskan ‗Abduh
tersebut merupakan sesuatu yang tidak terdapat pada mufassir klasik. Bahkan jika
melihat penafsiran al-Qurtubī, ini sesuai dengan perkataan Abdullah Saeed bahwa
sebuah usaha untuk kembali kepada pendekatan text-centric (berpusat pada teks)
al-Tabarī.18
Ini sesuai dengan perkataannya yang mengutip al-Tabarī bahwa al-
Tabarī menafsirkan kata (al-silm dalam ayat ini) dengan Islam karena alasan yang
telah disebutkan.19
Ia sama dengan al-Tabarī yaitu memasukkan beberapa riwayat,
akan tetapi berbeda dengan al-Tabarī, al-Qurtubī memberikan penafsiran hukum
setelahnya.
mengikutinya secara buta (taqlīd). Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual,
h. 41.
16
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
17
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
18 Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 194.
19 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
82
Sejak awal al-Qurtubī menjelaskan bahwa ayat sebelumnya membicarakan
tentang orang-orang beriman, orang munafik dan orang kafir. Maka makna kata
al-silm yang tertera dalam ayat ini menurut al-Qurtubī adalah Islam.20
Penjabaran
tentang Islam yang dimaksud, al-Qurtubī tempatkan dalam corak penafsirannya
yaitu corak fiqh. Dalam hal ini ia menyebut bahwa Islam terdiri dari delapan
bagian, yaitu shalat, zakat, puasa, haji, umrah, jihad, memerintahkan kepada yang
ma„ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merugi sekali orang tidak mempunyai
bagian dalam Islam.21
Demikian menurut al-Qurtubī. Penemuan al-Qurtubī
terhadap makna al-silm dengan Islam juga ia perkuat dari salah satu syair:
رهن ذىلىا هذتشا لن لوا... سأ دعىخ عششذ للس
―Aku menyeru keluargaku untuk menganut agama Islam ketika aku
melihat mereka berpaling ke belakang.‖
Partikel al-silm dalam syair tersebut bermakna Islam karena konteks yang
mempengaruhi syair tersebut berkaitan dengan adanya sebagian kabilah Kindi
yang murtad setelah Rasulullah meninggal. Maka jelas al-silm dalam konteks
syair tersebut bermakna dengan Islam.
Jika melihat pendekatan al-Tabarī dan al-Qurtubī dalam menafsirkan ayat
ini, maka keduanya sama-sama memberi perhatian yang khusus terhadap—
meminjam istilah Abdullah Saeed yaitu tekstual.22
Untuk kasus ayat ini, al-Tabarī
20 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 392.
21
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
22 Salah satu yang menjadi perhatian Saeed dalam memahami tafsir tekstual adalah ada
pada aspek qira‘at dan riwayat yang menurutnya diberlakukan secara statis. Pendekatan ini
didasarkan pada pandangan bahwa makna yang sudah baku ini memungkinkan sang pembaca tetap
83
dan al-Qurtubī dalam tafsirnya lebih didominasi oleh sumber-sumber riwayat
(atsar) dan perdebatan qira‘at (kebahasaan). Sebagaimana telah disebutkan bahwa
sesuatu yang tidak terdapat dalam diri al-Qurtubī adalah terletak pada tidak
adanya pen-tarjih-an terhadap riwayat sebagaimana yang dilakukan oleh al-
Tabarī. Namun keduanya sama-sama menaruh perhatian pada aspek qira‘at yang
cukup serius.
Perihal qira‘at menjadi elemen yang sangat penting dalam tafsir al-Tabarī
dan al-Qurtubī. Karena dengan cara menelusuri perdebatan qira‘at bisa ditemukan
suatu makna dasar terhadap suatu kata. Secara garis besar, mufassir klasik seperti
al-Tabarī dan al-Qurtubī mengutip perdebatan qira‘at dalam menafsirkan ayat al-
silm kāffah terdapat tiga kelompok. Pertama, kelompok yang membaca kata al-
silm dengan kasrah bermakna Islam. Kedua, kelompok yang membaca al-silm
dengan fathah bermakna perdamaian. Ketiga, kelompok yang mengakomodir
keduanya yaitu al-silm bisa dibaca dengan kasrah dan fathah yang bermakna
Islam dan perdamaian. Sementara kata kāffah tidak ada perdebatan secara kata
atau pun makna.
Sampai pada tahap ini dapat disimpulkan bahwa mufassir klasik seperti al-
Tabarī dan al-Qurtubī menafsirkan kata al-silm kāffah dengan agama Islam secara
menyeluruh, melalui perangkat riwayat-riwayat, qira‘at atau pun syair pada masa
awal Islam. Mesikpun al-Tabarī telah melakukan penafsiran yang secara tekstual
tersebut, sisi lain yang harus menjadi pertimbangan adalah bahwa al-Tabarī tetap
loyal dengan teks dan menjauhkan diri dari subjektivitas yang bisa masuk ke dalam penafsiran
teks. Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 39.
84
mengakomodir berbagai takwilan yang ada. Sedangkan Muhammad ‗Abduh dan
al-Marāghī menafsirkan kata al-silm kāffah dengan mengkaitkan dengan konteks
sosial yang mengitarinya yaitu perihal fanatisme madzhab dan rekonsiliasi di
antara umat Islam.
D. Relevansi Penafsiran ayat al-Silm Kāffah dalam Konteks Indonesia
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Islam kāffah hingga kini masih
multi-tafsir dalam pandangan para mufassir. Ada sebagian yang memahami Islam
kāffah sebagai pelaksanaan syariat Islam secara total (kāffah) termasuk dengan
memberi label negara Islam dan sejenisnya.23
Mereka beranggapan kelompok
yang tidak sehaluan, dituduh tidak Islami dan menolak syariat Islam. Salah satu
dalil yang kerap dijadikan landasar dasar teologinya adalah QS. Al-Baqarah [2]:
208. Di samping menafsirkan dengan Islam, sebagian mufassir memahami kata
al-silm tersebut dengan tunduk, patuh, dan perdamaian.
Kalau Islam kāffah itu kemudian dimaknai dengan keharusan untuk
mendirikan negara Islam, maka sebenarnya nabi sendiri secara eksplisit tidak
memerintahkan atau mewariskan konsep negara tertentu.24
Ayat di atas juga
secara implisit tidak menegaskan bahwa berislam secara kāffah tidak harus
23
Misalnya para mufassir klasik seperti dalam Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an
Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 323. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 329. Al-Hāfiz
‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm, (Cairo:
Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. 24
Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi merupakan hasil dari banyak peristiwa
yang terjadi secara kebetulan, meskipun ia merupakan pemecahan yang paling sesuai dengan
praktik-praktik tradisional Arab. Jelas tidak ada motif agama dalam pemilihan itu. Sumber-sumber
sejarah menunjukkan bahwa mereka merasa kehilangan akal pada saat itu, karena tidak punya
aturan eksplisit untuk menghadapi keadaan itu, dan reflek-reflek politiklah yang dominan saat itu.
Lihat Abdelmajid Charfi, Sudah Tibakah Waktu Pembaruan Islam? dalam Abdou Filali-Ansary,
Pembaruan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana? Penerjemah: Machasin, (Bandung: Mizan,
2009) h. 284.
85
dengan sebuah negara yang berlabelkan Islam. Apalagi usaha untuk
memformalkan ajaran Islam ke dalam bentuk negara dalam konteks Indonesia
jelas bertentangan dengan konteks ayat di atas. Sebab tidak hanya akan
bermasalah pada aspek penafsiran, tetapi juga akan menimbulkan konflik sosial
dan agama. Persatuan dan kesatuan yang sekian lama diikat oleh Pancasila25
dalam bentuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan terancam.26
Namun, sampai sekarang kalangan fundamentalisme Islam selalu
menggembor-gemborkan apa yang Kuntowijoyo sebut dengan konsep kehidupan
teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat kepada Tuhan. Sehubungan
dengan ini Kuntowijoyo menulis:
―Dalam banyak sekali ayat kita melihat bahwa iman, yaitu keyakinan
religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan
amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia; keduanya merupakan suatu
kesatuan yang tak terpisahkan. Ini berarti bahwa iman harus selalu
diaktualisasikan menjadi amal; bahwa konsep tentang iman, tentang
tauhid, harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari
perintah zakat—misalnya—adalah iman, adalah keyakinan kepada Tuhan;
tapi ujungnya adalah untuk terwujudnya kesejahteraan sosial.‖27
25
Rumusan Pancasila secara imperatif harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral,
yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan
bernegara, tetapi diletakkan dalam konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi
paham perseorangan dan golongan; selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemimpin MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode
2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI, 2012) Cet. II, h. 88. 26
Pada batas-batas tertentu, Indonesia menganut atau menerapkan nilai-nilai sekularistik,
dan secara bersamaan juga menganut nilai-nilai religius. Kenyataan ini harus dipertimbangkan
dalam hubungannya dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika dicermati, aspek
persinggungan antara syariat Islam (sebagai konsep penerapan hukum positif) dan kepentingan
warga negara di Indonesia juga akan mengalami banyak kendala. Sebagaimana menurut Gus Dur,
kehadiran sistem Islami tersebut secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama
Islam secara otomatis menjadi warga negara kelas dua. Lihat Halid Alkaf, Quo Vadis: Liberalisme
Islam Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011) h.235. Lihat juga Abdurrahman
Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. h. 4 27
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008) Cet.
I, h. 383.
86
Tulisan Kuntowijoyo di atas relevan bila dikaitkan dengan QS. Al-Baqarah
[2]: 208,28
berbicara tentang seruan untuk orang-orang yang beriman lalu
keimanannya direalisasikan dengan perintah untuk masuk ke dalam
Islam/perdamaian secara kāffah. Dikotomi dua makna antara Islam dan
perdamaian tersebut yang mengantarkan pada implikasi yang sangat vital dalam
konteks sekarang. Gus Dur telah mengatakan bahwa implikasi penafsiran al-silmi
menjadi Islam mengharuskan adanya sebuah entitas formal, sedangkan secara
perkembangannya, pengandaian Islam secara formalis tersebut selalu
mendapatkan tindakan repressif oleh kelompok Islam arus utama29
sebagaimana
beberapa contoh kasus di atas.
Kalangan Islam yang cara berfikirnya fundamental mensematkan al-silm
dengan Islam kāffah, mereka merujuk ke beberapa kitab tafsir klasik yang
representatif seperti tafsir al-Ṯabarī.30
Seperti contoh tulisan Rokhmat S. Labib
yang berjudul Masuk Islam Secara Kāffah, ia menafikan makna lain dari al-silm
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam al-silm keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang
nyata bagimu.” 29
Penyebutan kelompok Islam arus utama untuk menggambarkan perlawan terhadap
gerakan Islam yang Kuntowijoyo sebut dengan kelompok sempalan. Kelompok sempalan tersebut
yang selalu mendapatkan resistensi oleh kelompok Islam arus utama. Kuntowijoyo membagi dua
jenis kelompok sempalan. Pertama, kelompok sempalan dalam arti keagamaan dan kedua,
kelompok sempalan dalam arti politik. Jika kelompok pertama berada di luar main-stream,
kelompok kedua—sekalipun cenderung mempunyai berbeda—masih tetap dalam main-stream
umat. Selengkapnya lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, h. 340. 30
Menurut al-Ṯabarī, tafsiran yang lebih utama tentang firman: ادخلىا ف السلن adalah
pendapat yang mengatakan: Bahwa maknanya adalah masuklah ke dalam Islam dengan
sepenuhnya. Lihat Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399. Lihat juga
Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm,
(Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam
al-Qur‟ān, h. 329.
87
yakni al-musālamāh yang bermakna perdamaian, atau meninggalkan perang.31
Menurutnya, bila menafsirkan al-silm dengan perdamaian, maka jelas
bertentangan dengan banyak ayat dan hadits yang mewajibkan perang melawan
kafir.32
Implikasi penafsiran demikian yang telah banyak diadopsi oleh kalangan
Islam fundamentalis untuk memperkokoh visi-misinya sebagai golongan yang
mempresentasikan muslim yang total (kāffah).33
Oleh karena itu, apabila menafsirkan al-silm kāffah dengan Islam kāffah
tersebut kontradiktif pada tataran sosiologis, maka alternatif lain yang harus
ditekankan di sini adalah mencari penafsiran yang relevan—berdimensi inklusif.
Karena penafsiran yang berdimensi eksklusif yang digencarkan oleh sebagian
kelompok Islam, terkadang cenderung menghasilkan produk tafsir yang radikal.34
Implikasi dari penafsiran yang harfiah (tekstual) tersebut, kemudian banyak yang
31 Beberapa kitab tafsir mengaitkan makna al-silm sebagai bagian untuk menegakkan
perdamaian dan meninggalkan peperangan. Misalnya Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-
Marāghī, Juz II, h. 114. Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399.
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1990) Juz 5-6, h. 176. 32
Rokhmat S. Labib mengutip QS. Al-Baqarah [2]: 216 tentang ayat yang artinya,
diwajibkan atas kalian perang. Ia mempertegas bahwa kewajiban tersebut makin dikukuhkan
dengan adanya perintah kepada kaum Muslim untuk berangkat perang, baik dalam keadaan ringan
maupun berat (QS. Al-Taubah [9]: 41. Bagi yang tidak mau berangkat, diancam dengan azab yang
pedih (QS Al-Taubah [9]: 39). Bahkan, perang yang diwajibkan itu bukan hanya ketika kaum
Muslim diserang musuh (QS. Al-Baqarah [2]: 190). Bertolak dari fakta tersebut menurut Rakhmat,
kata al-silm tidak bisa dimaknai al-musālamah (perdamaian). Selebihnya bisa diakses di
http://mediaumat.com/telaah-wahyu/917.html. Diakses pada tanggal 5/November/2016. 33
Syu‘bah Asa memberikan komentarnya terkait penggunaan makna antara Islam dan
perdamaian dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 tersebut. Ia mengajukan pertanyaan, mengapa arti
‗kedamaian‘ jarang sekali dipilih? Karena, dalam rangkaian ayat sebelumnya terdapat pernyataan
tentang para munafik yang, kalau diambil sebagai dasar pertimbangan (meski tidak harus,
mengingat kadar kaitan yang tidak mutlak), menjadikan arti ‗kedamaian‘ dalam ayat ini mungkin
terasa sedikit antagonistis. Kasus munafik pula yang menyebabkan mayoritas mufassir (tidak
semua) menghubungkan silm dengan keberislaman secara keseluruhan. Lihat Syu‘bah Asa, Dalam
Cahaya Al-Qur‟an Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000) h.
113. 34
Menurut Baharudin, tradisi muslim ‗radikal‘ sering menafsirkan beberapa ayat al-
Qur‘an secara sepotong-potong untuk menguatkan pendirian dan ideologinya. Lihat Mohammad
Baharudin, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012) h. 41. Zuhairi Misrawi,
Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007)
h. 38. Lihat juga Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin
Washil, (Bandung: Mizan Publika, 2013) h. 104.
88
menstigmatisasi Islam sebagai agama yang keras.35
Oleh karena itu, kebutuhan
mengadopsi penafsiran yang inklusif lebih bertujuan untuk membela al-Qur‘an
sebagai kitab toleransi,36
dan mengembalikan citra Islam sebagai agama yang
damai.37
Dalam konteks inilah, menafsirkan al-silm kāffah dengan perdamaian
yang menyeluruh (kāffah) menemukan lokusnya. Al-Qur‘an tidak lagi ditafsirkan
secara eksklusif, melainkan al-Qur‘an dilegitimasi untuk sebuah pembenaran yang
positif untuk menebarkan benih Islam yang penuh dengan kasih sayang bukan
Islam yang garang, akan tetapi Islam rahmah li al-„ālamīn.38
Al-Qur‘an
menggunakan istilah al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 bukan kemudian
ditafsirkan menjadi sebuah doktrin yaitu Islam kāffah, melainkan berupa seruan
35
Roni Ismail, Islam dan Damai (Kajian Atas Pluralisme Agama Dalam Islam), dalam
Kompetisi Damai dalam Keragaman, (Religi: Jurnal Studi Agama-agama, Vol. IX, No. 1, 2013) h.
53. 36
Contoh buku yang membahas tentang ini adalah karangan Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an
Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007). 37
Salah satu dari sembilan puluh sembilan Asma Allah adalah al-Salām (Maha Damai).
Setiap lafaz (kata) yang diucapkan umat Islam dalam setiap shalat yang lima kali sehari semalam
adalah kata-kata perdamaian. Ucapan pertama ketika selesai dari shalat adalah ―salam‖
(perdamaian). Ketika umat Islam saling berjumpa pun mengucapkan ―salam‖ (perdamaian).
Demikian juga, kata sifat dari muslim artinya perdamaian dan surga dalam Islam adalah suatu
tempat yang damai (Dār al-Salām). Semua ini memperlihatkan betapa mendasar dan kuatnya
pengertian perdamaian dalam Islam. Lihat Supriyanto, Perdamaian dan Kemanusiaan Dalam
Pandangan Islam, (Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 2, Desember
2013) h. 311. Lihat juga Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama: Menjadikan Hidup Lebih
Ramah dan Santun, (Jakarta: Hikmah, 2010) Cet. II, h. 35. 38
Al-Qur‘an secara tegas dan gamblang menyatakan bahwa seruan Islam diturunkan
untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiyā‘ [21]: 107). Nabi Muhammad Saw. sendiri
telah mengidentifikasi dakwahnya ketika bersabda: Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak manusia.” Sabda ini menurut Mahmud Hamdi Zaqzuq, merupakan
penolakan kuat terhadap segala bentuk radikalisme, fanatisme, dan bentuk kekerasan lainnya.
Lihat Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi. Penerjemah: Abdullah Hakam
Shah, (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 112. Lihat juga M. Ridwan Lubis, Agama dalam Diskursus
Intelektual dan Pergumulan Kehidupan Beragama di Indonesia, (Jakarta: Kementerian Agama
Republik Indonesia Pusat Kerukunan Umat Beragama, t.th) h. 385.
89
membangun perdamaian secara total, tidak setengah-setengah.39
Ketika seseorang
telah menjalankan perdamaian secara kāffah, ia akan menemukan kedamaian di
dunia yang ia dambakan.40
Seruan perdamaian telah dibahas pada mufassir modern seperti ‗Abduh
dan al-Marāghī dalam penafsirannya terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 208.
Kecenderungan menafsirkan al-silm dengan perdamaian ini dipertegas kembali
oleh mufassir Indonesia seperti Hasbi Ash-Shiddieqy,41
Mahmud Yunus,42
dan
Quraish Shihab. Dalam penafsirannya mereka lebih cenderung memaknai al-silm
dengan perdamaian bukan dengan Islam. Penafsiran menarik dari Hasby dalam
tafsirannya, ia mengemukakan bahwa di antara dasar-dasar Islam adalah
39
Bagi Tariq Ramadhan sebagaimana dikutip Abd. Muid, umat Muslim seharusnya
melakukan rekonsiliasi antara keinginannya dengan pesan-pesan keadilan, kesetaraan, dan
pluralisme, daripada terobsesi terhadap aplikasi formalistik atas hukuman-hukuman dalam Islam
yang sebenarnya lebih merupakan bentuk frustasi atau perasaan ter-alienasi terhadap kenyataan
dominasi Barat. Abd. Muid N. Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi
Multikultural, dalam Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 no. 4, Tahun 2013, h. 649. 40
Menarik mengutip pendapatnya Imam Taufiq, ia mengatakan bahwa istilah al-silm
kāffah ia sebut sebagai perdamaian fluktuatif, yaitu perwujudan sinergi antara karakter perdamaian
dan strategi perdamaian guna mewujudkan perdamaian. Sesuai sifatnya, perdamaian fluktuatif ini
bersifat dinamis karena pada dasarnya perdamaian dunia yang dijelaskan al-Qur‘an tidak lepas dari
fluktuasi perubahan kondisi psikis seseorang dan kondisi sosial. Lihat Imam Taufiq, Al-Qur‟an
Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur‟an, (Bandung: Bentang, 2016) h.
113. 41
Prof. DR. Hasbi al-Shiddieqy lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904/22 Zulhijah 1321
H, wafat di Jakarta, 9 Desember 1975/5 Dulhijah 1395 H. Ia seorang ulama Indonesia, ahli ilmu
fiqh dan ushul fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Ayahnya, Teungku Qadhi Chik Maharaja
Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su‘ud, seorang ulama terkenal di kampungnya dan
mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik
Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut
silsilah, Hasbi al-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar al-Shiddieq (573-634 M/13 H), khalifah
pertama. Ia sebagai generasi ke 37 dari khalifah tersebut melekatkan gelar al-Shiddieqy di
belakang namanya. Lihat Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013)
Cet. II h. 159. 42
Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899 Masehi. Bertepatan dengan
tanggal 29 Ramadhan 1316 H di desa Sungayang Baru Sangkar Sumatera Barat. Tahun
kelahirannya bersamaan dengan dicetuskannya politik etics, assosiate politik, atau lebih dikenal
oleh masyarakat dengan zaman politik balas jasa dari pemerintah kolonial Belanda.uapaya balas
budi terhadap masyarakat Indonesia dilakukan melalui jalur pendidikan. Meskipun secara yuridis
formal sudah ditetapkan pada tahun 1899, namun secara efektif baru terealisir awal abad kedua
puluh. Selebihnya lihat Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 58.
90
kerukunan dan perdamaian sesama manusia, dan tidak saling menyerang antar-
pemeluknya.43
Hampir senada dengan Hasby, Shihab menafsirkan al-silm dalam
ayat tersebut dengan kedamaian atau Islam, makna dasarnya adalah damai atau
tidak mengganggu.44
Perdamaian menurut Quraish Shihab merupakan salah satu
ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah. Tuhan
Yang Mahakuasa, alam, dan manusia.45
Islam adalah agama perdamaian.46
Perdamaian merupakan dasar hubungan
dalam Islam. Sehingga menurut Imam Taufiq, Islam mengajarkan perdamaian
sebagai prinsip hubungan antarmanusia. Hal itu tercermin dari kata Islam yang
mengandung arti perdamaian, sehingga setiap insan yang mengikrarkan diri
sebagai muslim sepatutnya mengejewantahkan perdamaian sebagai prinsip
interaksi sosial.47
Jika mengkaitkan penafsiran mufassir modern dan diikuti oleh mufassir
Indonesia di atas, secara substansi memiliki nilai dasar yang sama dengan
pemikiran-pemikiran cendekiawan Muslim seperti Gus Dur maupun Cak Nur
terkait masalah demikian. Dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus
Dur mempertegas bahwa nilai yang terkandung dari sebuah perdamaian,
menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah
43
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000) h. 434. 44
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 543. 45
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1999) Cet IX, h. 378. 46
Askar, Mengembangkan Budaya Damai di Sekolah Melalui Manajemen Kelas Yang
Demokratis Berbasis Nilai-nilai Keislaman, (Palu: Jurnal Hunafa, Vol. 6, No. 2, Agustus 2009) h.
143. 47
Imam Taufiq, Al-Qur‟an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-
Qur‟an, h. 202.
91
sistem tertentu, termasuk sistem Islami.48
Sementara Cak Nur menekankan bahwa
inti ajaran Islam menurutnya, yaitu damai, kedamaian, perdamaian dan semua
pengertian perluasannya yang dalam bahasa Arab dinyatakan dalam kata-kata
yang di-tashrif-kan dari akar kata s-l-m seperti salām, salāmah atau salāmatun,
salam, salm, silm, adalah juga bersifat universal atau menjagad-raya.49
Dalam hal
ini bukan al-silm yang diartikan Islam lalu bergeser ke arah ideologisasi.
Sebab Islam itulah inti hidup keagamaan, yaitu sikap tunduk (dīn, dari kata
kerja dāna-yadinu) kepada Allah Swt. Yang menghasilkan salam (damai) dengan
Allah, diri sendiri, sesama manusia dan alam sekelilingnya. Maka Islam
menghasilkan salāmah (salamat, selamat), sejahtera dan sentosa.50
Dengan
demikian Islam berarti damai, dan juga berarti tunduk dan patuh kepada kehendak
Allah. Dua pengertian ini mempunyai akar yang sama secara psikologis. Allah
berarti kehendak universal yang kreatif dan abadi dari setiap keberadaan; Allah
berpihak pada keharmonisan dan segala sesuatu yang memihak kepada konflik
atau ketidakharmonisan berarti anti Tuhan (Allah).51
Terkait kemungkinan makna kedua, harus disadari bahwa saat ini
kedamaian merupakan kebutuhan urgen umat Muslim; kedamaian internal dan
kedamaian eksternal menyangkut hubungan umat Islam dengan kelompok lain
(non-Muslim). Umat Muslim perlu menanamkan penolakan, di dalam jiwa
48
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi. h. 3. 49
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 2008) Cet. III, h. 220. 50
Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2010) Cet. IV, h. 78. 51
Khalifah Abdul Hakim, Hidup yang Islami: Menyeharikan Pemikiran Transedental
(Akidah dan Ubudiah), Penerjemah: Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Press, 1986) h. 3.
92
mereka, terhadap segala bentuk pertikaian di antara mereka sendiri. Pertikaian
tersebut sebagaimana ‗Abduh dan al-Marāghī gambarkan dalam penafsirannya:
―Setiap madzhab memusuhi madzhab lainnya dengan anggapan bahwa
mereka sendirilah yang menegakkan agama. Padahal hakikatnya mereka
menghina agama, karena membuat perpecahan di kalangan kaum
muslimin. Yang bermazhab Sunni menghantam saudaranya sendiri yang
bermadzhab Syi‗ah, yang bermadzhab Syafi‗i menghina Bangsa Tar-Tar,
oleh karena mereka menganut madzhab Abu Hanifah, dan mereka yang
mengikuti ulama khalaf (mutaakhirin) mengecam pengikut-pengikut
madzhab ulama salaf, demikian seterusnya.‖52
Maka dengan demikian, berdasarkan pertimbangan di atas menurut hemat
penulis, menafsirkan al-silm kāffah dengan perdamaian secara menyeluruh lebih
relevan daripada menafsirkan al-silm kāffah dengan Islam secara menyeluruh atas
dasar segala pertimbangan atau implikasi-implikasi yang akan mengarah kepada
sikap eksklusif, seperti intoleransi, dan bahkan ekstrimisme apabila menafsirkan
al-silm kāffah dengan Islam secara menyeluruh bukan dengan perdamaian yang
kāffah (menyeluruh).
52
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. Senada dengan ini, kasus lain
misalnya; yang berjilbab mencela yang tidak berjilbab; yang berjenggot memandang rendah yang
tidak berjenggot; Ahl al-Sunnah mengkafirkan Syi‟ah, dan begitu sebaliknya. Belum lagi
pertentangan-pertentangan dengan para penganut agama-agama lain, khususnya Kristen dan
Yahudi. Demikianlah kondisi umat Muslim; dari dulu hingga sekarang. Pengantar Penyunting,
Menembus Dinding Pembatas, dalam Mukti Ali, Islam Mazhab Cinta (Bandung: Mizan, 2015) h.
35.
93
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan skripsi ini menunjukkan bahwa kata al-silm dimaknai dengan
―lembaga‖ oleh mufassir klasik dan ―nilai‖ oleh mufassir modern. Kata al-silm
dalam tafsir al-Tabarī dan al-Qurtubī diartikan dengan agama islam, sementara al-
silm dalam tafsir Muhammad ‗Abduh dan al-Marāghī diartikan dengan
kepasrahan, ketundukan dan perdamaian. Kedua pemaknaan ini berimplikasi
terhadap penafsiran al-silm kāffah yang ditafsirkan dengan penerapan syariat
Islam secara menyeluruh dalam kehidupan, sebagaimana penafsiran al-Tabarī dan
al-Qurtubī. Sedangkan mufassir modern, Muhammad ‗Abduh dan al-Marāghī,
menafsirkan al-silm kāffah dengan mematuhi perintah Allah secara komprehensif
dan ikhlas menjalankan-Nya, saling memberi keselamatan di antara manusia,
meninggalkan peperangan/permusuhan dan pembunuhan, serta memperkokoh
persaudaraan.
Dari kedua penafsiran mufassir klasik dan modern tersebut, penafsiran
‗Abduh dan al-Marāghī lebih relevan dengan konteks Indonesia saat ini karena
masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural yang bertumpu pada ideologi
pancasila dan UUD 1945 mengharuskan saling menjaga persatuan dan kesatuan
untuk mencapai kemaslahatan dan keharmonisan bersama di dalam bernegara.
Sedangkan sebaliknya, penafsiran al-Tabarī dan al-Qurtubī tidak relevan karena
94
mengharuskan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh yang secara jelas
bertentangan dengan ideologi pancasila dan UUD 1945.
B. Saran-saran
Seperti termaktub dalam al-Qur‘an bahwa ―kebenaran itu dari Tuhanmu
(QS. Al-Baqarah [2]: 147).‖ Begitu pula dengan skripsi ini yang sangat jauh dari
kesempurnaan dan kebenaran, karenanya yang absolut hanya milik Allah semata.
Berkenaan dengan pembahasan ini bahwasannya masih banyak yang bisa lebih
dieksplorasi dalam skripsi ini, seperti halnya bagaimana masih ada upaya
beberapa sebagian kelompok Islam yang menafsirkan al-Qur‘an secara literaris
akhir-akhir ini di Indonesia.
Selain itu, teks ini berangkat dari ayat yang sifatnya qaṯ‟i. Namun ayat ini
sering dipolitisasi untuk dijadikan senjata dalam mendukung ideologi kaum
tertentu. Oleh karena itu, penting untuk penelitian selanjutnya perlu diteliti lebih
jauh tentang ―Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208‖ dalam spektrum
pembahasan yang lebih luas dan komprehensif.
95
Daftar Pustaka
Abdillah, Junaidi, Dekontruksi Tafsir Ayat-ayat Kekerasan, Lampung: Analisis,
Volume XI, Nomor 1, Juni 2011.
‗Ali Ja‗far, Musa‗īd Muslim, Manāhij al-Mufassirīn, Dār al-Ma‗rifah, 1980.
Ali, Mukti, Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang Dunia, Bandung: Mizan,
2015.
Amir, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013.
Amri, Arie Machlina, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, INSYIRAH: Jurnal Ilmu
Bahasa Arab dan Studi Islam, Vol. 2, No. 1, Juni 2014.
Andalūsī, Abī Hayyān al-, al-Bahr al-Muhīt, Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah,
Cet. I Juz II, 1993.
Andalūsī, Ibnu ‗Atiyyah al-, al-Muharrar al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-„Azīz,
Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, Juz I, 2001.
Anwar, M. Syafi‘i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.
Asa, Syu‘bah, Dalam Cahaya Al-Qur‟an Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
Askar, Mengembangkan Budaya Damai di Sekolah Melalui Manajemen Kelas
Yang Demokratis Berbasis Nilai-nilai Keislaman, Palu: Jurnal Hunafa,
Vol. 6, No. 2, Agustus 2009.
Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab - Indonesia,
Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak 1996.
Audah, Ali, Dari Khazanah Dunia Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Badarussyamsi, Fundamentalisme Islam: Kritik atas Barat, Yogyakarta: LKiS,
2015.
Badruzzaman, Abad, Menggagas Tafsir Ala Indonesia: Sebuah Upaya
Revitalisasi dan Pribumisasi Al-Qur‟an, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.),
96
Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas, Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur‘an, 2013.
Baghdādī, Imȃm al-Alūsī al-, Rūẖ al-Ma‟ānī fī Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa al-
Sab„ al-Matsānī, Bairūt: Dār Iẖyā‘ al-Turats al-‗Arabī, t.th. Juz II.
Baharudin, Mohammad, Islam Idealitas Islam Realitas, Jakarta: Gema Insani,
2012.
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005.
Baidhāwī, Muhammad al-Syairazī al-, Tafsīr al-Baidhāwī al-Musammā Anwār al-
Tanzīl wa Asrār al-Ta‟wīl. Cairo: Al-Maktabah al-Taufīqiyyah. Juz I, t.th.
Barry, M. Dahlan Al-, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, t.th.
Dzahabī, Muẖammad Husaīn al-, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Kuwait: Dār al-
Nawādir, Jilid I, 2010.
————, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1. Penerjemah: H. Nabhani Idris, Jakarta:
Kalam Mulia, 2010.
Dimasyqī, Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗il Ibn Katsīr al-, Tafsīr al-
Qur‟ān al-„Azīm, Mu‘assasah Qurtubah, Juz II, Cet. I, 2000.
Esack, Farid, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur‟an, Liberalisme, Pluralisme,
Penerjemah: Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000.
Filali-Ansary, Abdou, Pembaruan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana.
Penerjemah: Machasin, Bandung: Mizan, 2009.
Fouda, Farag, Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan
dalam Sejarah Kaum Muslim, Penerjemah: Novriantoni, Jakarta:
Paramadina, 2008 Cet. II, h. 9.
Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis Al-Qur‟an, Jakarta: KataKita, 2009.
Ghazali, Abd. Moqsith, Ummu Kaltsum, Lilik, Tafsir Ahkam, Ciputat: UIN Press,
2015.
Ghazali, Syaikh Muhammad Al-, Al-Qur‟an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan
Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini, Bandung: Mizan, 2008.
97
Glasse, Cyril, Ensiklopedia Islam, Penerjemah: Ghufron A. Mas‘udi, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1999.
Hadi, Umar, Mu‘ti, Abdul, Rahman, Izza, Mundzir, Ilham, (ed.), Islam in
Indonesia: A to Z Basic Reference, (Jakarta: Directorate of Public
Diplomacy of the Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia,
2011) Cet. II.
Hakim, Khalifah Abdul, Hidup yang Islami: Menyeharikan pemikiran
Transedental (Akidah dan Ubudiah), Penerjemah: Machnun Husein,
Jakarta: Rajawali Press, 1986.
Hamdi, A. Zainul, Hermeneutika Islam: Intertekstualitas, Dekonstruksi,
Rekonstruksi, dalam Gerbang: Jurnal Studi Agama dan Demokrasi, No. 14,
Vol. V, 2003.
Hanafi, Muhlis M. (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas,
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‘an, 2013.
Hanafi, Hassan & ‗Abid al-Jabiri, Muhammad, Dialog Timur & Barat: Menuju
Rekonstruksi Metodologis Pemikiran Politik Arab yang Progresif dan
Egaliter, Penerjemah: Umar Bukhory, Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.
Hermawan, Acep, „Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011.
Heywood, Andrew, Ideologi Politik: Sebuah Pengantar, Penerjemah: Yudi
Santoso, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.
Hidayat, Komaruddin, Psikologi Beragama, Jakarta: Hikmah, 2010.
————, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban di
Panggung Sejarah, Jakarta: Paramadina, 2003.
————, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Noura Books, 2012.
———— (ed.), Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila, Jakarta:
Mizan, 2014.
Idris, Irfan, Membumikan Deradikalisasi, Jakarta: Daulat Press, 2016.
Ishfahānī, Al-Rāghib al-, Mufradāt al-Qur‟ān, Bairȗt: Dār al-Syamiyyah. 1996.
Ismail, Roni, Islam dan Damai (Kajian Atas Pluralisme Agama Dalam Islam),
dalam Kompetisi Damai dalam Keragaman, Religi: Jurnal Studi Agama-
agama, Vol. IX, No. 1, 2013.
98
Izzan, Ahmad, Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-
Qur‟an, Bandung: Tafakur, 2011, cet-IV.
Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-
Qur‘an, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Jamal, Misbahuddin, Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur‟an. Manado: Jurnal Al-
Ulum, Volume. 11, Nomor 2, Desember 2011.
Jāwī, Muẖammad al-Nawāwī al-, Maraẖ Labīd Tafsīr al-Nawawī, Dār al-Fikr,
t.th.
Kamal, Adnan Taufik, Rekonstruksi Sejarah al-Qu‟an, Jakarta: Pustaka Alvabet,
2013.
Kimball, Charles, Kala Agama Jadi Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin
Washil, Bandung: Mizan Publika, 2013.
Khoir, Tholkhatul, Tujuh Karakter Fundamentalisme Islam, dalam Al-Tahrir,
Vol. 14, No. 1 Mei 2014.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 2008.
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah
Sosiologi, Penerjemah: Samekto, Jakarta: Gramedia, 1983.
Lewis, Bernard, Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror Yang Keji, Penerjemah
Ahmad Lukman, Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004.
Lubis, M. Ridwan, Agama dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan
Kehidupan Beragama di Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama Republik
Indonesia Pusat Kerukunan Umat Beragama, t.th.
Misrawi, Zuhairi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme, Jakarta: Fitroh, 2007.
Machmudi, Yon, Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The
Prosperous Justice Party (PKS), Australia: ANU E Press, 2008.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta:
Paramadina, 1992.
————, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat: Kolom-kolom di Tabloid
Tekad, Jakarta: Paramadina, 1999.
99
————, Nurcholis, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2008.
————, Nurcholis, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi
Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2010.
Maẖallī Jalāl al-Dīn Muẖammad ibn Aẖmad Muẖammad al-, dan Suyūṯī, Jalāl al-
Dīn ‗Abd al-Rahman ibn Abī Bakr al, Tafsīr al-Jalālaīn, Damasykus: Dār
Ibn Katsīr, t.th. Juz II.
Maẖmūd, Muẖammad Rasyād ‗Abd al-‗Azīz, Atsar al-Fikr al-„Ulmānȋ fī al-
Mujtama„ al-Islāmī, Cairo: Dār al-Muẖadditstsīn, 1988.
Manzūr, Ibnu, Lisān al-„Arab, Bairūt: Dār al-Shādir, Jilid IX, t.th.
Martin van Bruinessen (ed.), Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman
Fundamentalisme, Bandung: Mizan, 2014.
Marāghī, Ahmad Mushṯafa al-, Tafsīr al-Marāghī, Mesir: Syarkah Maktabah wa
Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, Juz II, 1946.
Maudūdī, Abū al-‗Ala al-, al-Khilāfah wa al-Mulk, Dār el-Qalam, 1978.
Luīs Ma‗lūf, Al-Munjīd fī al-Lughah wa al-Adāb wa al-„Ulūm, Bairūt: Al-
Maṯba‗ah al-Katsulikiyyah, t.th.
Morgan, Kenneth W, Islam Jalan Lurus, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1980.
Muid N, Abd, Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi
Multikultural, dalam Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 no. 4, Tahun 2013.
Mufid, Ahmad Syafi‘i, Faham Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di
Indonesia, dalam Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius,Vol.
VIII, No. 30, April-Juni 2009.
Muhtadi, Burhanuddin, Dilema PKS: Suara dan Syariah, Jakarta: KPG
Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997.
Munggaran, Rizky, Penafsiran Inklusif Nurcholis Madjid Mengenai Makna Al-
Islam: Telaah Surah Ali-Imran ayat 19 dan 85, Ciputat: Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
100
Mursi, Muhammad Said, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2012.
Mustaqim, Abdul, Deradikalisasi Penafsiran al-Qur‟an dalam Konteks
Keindonesiaan yang Multikultur, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.), Al-
Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas, Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur‘an, 2013.
Mushṯafa, Bisyrī, Al-Ibrīz liMa„rifati Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīz, Kudus: Menara
Kudus, t.th.
Nabẖani, Taqiyuddin al-, Mafāhim Hizbut Tahrir, Jakarta: Hizbut Tahrir
Indonesia, 2011.
Nashir, Haedar, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,
Bandung: Mizan, 2013.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 2010.
Nazir, Moh, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Nimer, Muhammad Abu, Nirkekerasan dan Bina-Damai Dalam Islam: Teori dan
Praktik, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010.
Nisaburi, Al-Wahidi al-, Asbȃb al-Nuzȗl: Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-
Qur‟an, Penerjemah: Moh. Syamsi, Surabaya: Amelia Surabaya, 2014.
Qādhī, ‗Abdul Fatah ‗Abd al-Ghānī al-, Asbāb al-Nuzūl „an al-Shaẖābah wa al-
Mufassirīn, Cairo: Dār al-Salam, 2007. Cet. III.
Qomar, Mujamil, Fajar Baru Islam Indonesia: Kajian Komprehensif atas Arah
Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara, Bandung: Mizan,
2012.
Qutb, Sayyid, Fī Zilāl al-Qur‟ān, Bairūt: Dār al-Syūrūq. Juz I-IV, 1998.
————, Petunjuk Sepanjang Jalan. t.p, t.th.
Qurṯubī, Abī Bakr al-, al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, Bairūt: Mu‘assasah al-
Risālah, 2006.
Rahman, Yusuf, Penafsiran Tekstual dan Kontekstual terhadap al-Qur‟an dan
Hadits (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif), Journal of
Qur‘an and Hadith Studies – Vol. 1, No. 2, 2012.
Rāzī, Fakhr al-Dīn al-, al-Tafsīr al-Kabīr, Bairūt: Dār al-Fikr, Juz V, 1994.
101
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsīr al-Manār. Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah,
Juz II,1999.
Rodhi, Muhammad Muhsin, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam
Mendirikan Negara Khilafah Islamiyyah, Penerjemah: Muhammad Bajuri
dan Romli Abu Wafa, Bangil: Al-Izzah, 2008.
Rusli, Ris‘an, Pembaharuan Pemikiran modern dalam Islam, Jakarta: Rajawali
Pers, 2013.
Rūmī, ‗Abd al-Rahman ibn Sulaimān al-, Buhūtsu fī Ushūl al-Tafsīr wa
Manāhijuhu, Riyādh: Maktabah al-Taubah, 1994. Cet. IV.
Saeed, Abdullah, Al-Quran Abad 21: Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan, 2015.
Sadjali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
Jakarta: UI Press, 1993, Cet. V.
Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer dalam
Pandangan Fazlur Rahman, Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007.
Sardar, Ziauddin, Ngaji Qur‟an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab
Persoalan Mutakhir, Jakarta: Serambi, 2014.
Sa‘di Zulharman, Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-, Tafsir Al-Qur‟an,
Penerjemah: Muhammad Iqbal, Izzudin Karimi, Muhammad Ashim,
Mustofa Aini, Zuhdi Amin, Jakarta: Darul Haq, Cet. VI, Jilid I, 2015.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
Ciputat: Lentera Hati, Cet. I, Vol. I, 2009.
————, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
Bandung: Mizan, 1999. Cet IX.
Solahudin, NII Sampai JI: Salafy Jihadisme Indonesia, Jakarta: Komunitas
Bambu, 2011.
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001.
Sulaimān al-Ṯayyār, Muhammad Sa‘īd ibn, Fushūl fī Ushūl al-Tafsīr, Riyādh: Dār
al-Nasyr al-Daulī, 1993.
Supriadi, Cecep, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan
Keindonesiaan, Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015.
102
Supriyanto, Perdamaian dan Kemanusiaan Dalam Pandangan Islam, Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 2, Desember 2013.
Suyūṯī, Jalāl al-Dīn al-, Al-Dur al-Mantsūr fī Tafsīr bi al-Ma‟tsūr, Bairūt: Dār al-
Kutub al-‗Ilmiyyah, 1990, Juz I, Cet I.
Syaukani, Imam Al-, Tafsir Fathul Qadir, Jakarta: Pustaka Azzam. Cet. I, Jilid I,
2008.
Syibromalisi, Faizah Ali, Azizy, Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Ṯabarī, Ibnu Jarīr al-, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, Bairūt: Dār al-
Fikr, 2005.
TabāTabā‘ȋ, Muhammad Husaīn al-, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, Teheran: Dār
al-Kutub al-Islamiyyah. Cet. II. Juz II, 1973.
Taher, Tarmidzi, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, dalam
Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM, 1998.
Tāhir ibn ‗Asyūr, Muhammad, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Tunis: Dār Sahnūn
li al-Nasyr wa al-Tauzī‗, Juz II, t.th.
Taufiq, Imam, Al-Qur‟an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis
Al-Qur‟an, Bandung: Bentang, 2016.
Tibi, Bassam, Islam dan Islamisme. Penerjemah: Alfathri Adlin, Bandung: Mizan,
2016.
Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014 dan, Pemimpin MPR, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR
RI, 2012. Cet. II.
Turmudi, Endang dan Sihbudi, Riza (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia,
Jakarta: LIPI Press, 2005.
Utsaimīn, Muhammad bin Shāliẖ al-, Politik Islam. Penerjemah: Ajmal Arif,
Jakarta: Griya Ilmu, 2014.
————, Ushūl fī al-Tafsīr, al-Maktabah al-Islāmiyyah, 2001.
————, Syarh Ushūl fī al-Tafsīr, Riyādh: Mu‘assasah al-Syaikh Muhammad
Shāliẖ ibn al-‗Utsaimīn al-Khairiyyah, 2013.
103
Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat
Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institue, 2006.
————, (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia, Jakarta: Desantara Utama Media, 2009.
Wahid, Marzuki, Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Bandung: Marja,
2014.
Wāẖidī, Al-Imām al-, Asbāb al-Nuzūl, Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2009.
Cet. IV.
Wijaya, Aksin, Arah Baru Ulum Al-Qur‟an: Memburu Pesan Tuhan di Balik
Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Yusuf, Kadar M, Studi Al-Qur‟an, Jakarta: Amzah, 2009.
Zada, Khamami, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di
Indonesia, Jakarta: Teraju, 2012.
————, Wacana Syariat Islam: Menangkap Potret Gerakan Islam di
Indonesia, dalam Deformalisasi Syariat, Jakarta: Tashwirul Afkar: Jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 12 tahun 2002.
Zahid, Moh. Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas Nama Islam, Jurnal Karsa, Vol IX, 2006.
Zamakhsyarī, Abī al-Qāsim Mahmūd ibn ‗Umar al-, al-Kasysyāf, Riyādh:
Maktabah al-‗Abīkan, Cet. I Juz II, 1998.
Zamharir, Muhammad Hari, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran
Politik Nurcholis Madjid, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Zaprulkhan, Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jurnal Walisongo,
2014. Vol. 22.
Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Reposisi Islam di Era Globalisasi. Penerjemah:
Abdullah Hakam Shah, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Za‘rur, Azu, Seputar Gerakan Islam. Penerjemah: Yahya Abdurrahman, Bogor:
Al-Azhar Press, 2014. Cet XIV.
————, Ensiklopedia: Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, Dan
Gerakan Islam, Penerjemah: Muhtarom, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu,
2006.
104
————, Menuju Persatuan Umat: Pandangan Intelektual Muslim Indonesia,
Bandung: Mizan, 2012.
Zuhailī, Wahbah al-, al-Tafsīr al-Wasīt, Damasykus: Dār al-Fikr. Cet. I, Juz I,
2001.
Sumber internet:
http://www.assunnah.mobie.in/artikel/islam_kaffah.
http://kajiansalafyui.wordpress.com/2009/06/06/kajian-islam-ilmiah-memahami-
dan-mengamalkan-islam-secara-kaffah-solusi-satu-satunya-bagi-umat-
islam/.
http://m.kompasiana.com/nanagrosidi/apa-itu-muslim-yang-kaffah
http://muslim.or.id/2067-kaffah-dalam-beragama.html.
http://media.isnet.org/kmi/isnet/Nadirsyah/kaffah.html.
http://jasawebenigma.wordpress.com/2012/12/13/menjadi-muslim-kaffah-
menerjunkan-diri-dalam-syariat-islam-secara-total.
https://hizbut-tahrir.or.id.