al dakhil dalam tafsir mafatih al ghaib

Upload: nur-fajriyyah

Post on 03-Apr-2018

451 views

Category:

Documents


29 download

TRANSCRIPT

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    1/28

    1

    ABSTRAK:

    AL-DAKHIL DALAM TAFSIR MAFATIH AL-GHAIB

    Setiap mufassir dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan sosio-kulturnya. Menurut

    catatan sejarah, abad ke 5 H merupakan puncak perdebatan pemikiran di dunia lslam. Dimanaperdebatan antar aliran kalam tumbuh subur, dan hal ini terus memberikan pengaruh negatif pada

    perkembangan pemikiran selanjutnya. Pada akhir abad ke 6 H posisi politik dan peradaban umatlslam mengalami kemunduran akibat hancurnya Dinasti Abbasiyah, serangan Tartar dan Perang

    Salib. Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi pemikiran Fakhruddin al-Razi sehingga

    mendorong beliau untuk mensistematisasi dogma kalam, berusaha membangkitkan kembali posisipolitik dan peradaban umat lslam dengan membangkitkan semangat keilmuan. Usahanya itu

    tercermin dalam karya besarnya Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib, sebagai wujudkepeduliannya atas nasib umat lslam waktu itu. Keluasan al-Razi dalam berbagai disiplin ilmu dan

    maksudnya yang mulia untuk membangkitkan semangat keilmuan di kalangan umat lslam tersebut

    mengakibatkan karya tafsirnya itu terkesan keluar dari konteks tafsir itu sendiri. Penilalaian

    , yang dituduhkan kepada Tafsiral-KabiratauMafatih al-Ghaib sepertiini beredar di kalangan ahli tafsir.Penelitian ini bertujuan untuk membedakan penjelasan al-Razi yang termasuk tafsir dan

    bukan tafsir dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, yang selanjutnya dinamai al-Dakhil dan al-Ashil,sehingga dapat diketahui jenis dan bentuk al-Dakhil tersebut.

    Penelitian ini dilakukan dengan cara content analisis, yaitu menganalisis tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi kemudian membandingkannya dengan tafsir lain yang bisa

    dijadikan pegangan (al-Ashil).

    Hasil penelitian ini menunjukkan adanya unsur-unsur al-Dakhil dalam tafsir al-Razi, baik

    al-dakhil al-naqli maupun al-dakhil al- rayi. Diantara bentuk al-Dakhil al-Naqli adalah:Penggunaan riwayat israiliyat baik yang dikomentari maupun yang dibiarkan tanpa komentar,

    penggunaan hadits dlaif, baik yang marfu, mauquf dan maqthu, bahkan riwayat-riwayat tersebut

    sering dikutif dengan tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya secara utuh.

    Sedangkan diantara bentuk al-Dakhil al-Rayi adalah pemaksaan pembahasan kalam secara panjang lebar

    hampir di tiap ayat, meliputi perdebatan kalam antara aliran Asyariah yang selalu dibelanya dengan aliran Mutazilah yangmenjadi lawannya, meskipun terkadang dhalir ayat tersebut tidak terkait langsung dengan pemikiran kalam yang

    diperdebatkannya. Argumentasi-argumentasi logika sangat mewarnai penafsiran al-Razi. Hampir seluruh disiplin ilmu, baik

    ilmu-ilmu keagamaan yang sudah berkembang saat itu seperti ilmu kalam, ilmu Fikih, ilmu Tasawuf, ilmu Bahasa, dan

    Filsafat, maupun ilmu-ilmu baru seperti ilmu Astronomi dan ilmu-ilmu Alam lainnya dijadikan pisau analisis untuk

    memahami al-Quran. Hal inilah yang menjadikan tafsir tersebut memiliki kelebihan dibanding karya tafsir lainnya.

    Meskipun keluasan pembahasan dari berbagai disiplin ilmu tadi menjadikannya terkesan kabur dari konteks tafsir, sehingga

    untuk bisa menangkap makna dan kandungan tafsir ayat al-Quran di balik pembahasannya yang luas menuntut kejelian

    dan kesunguhan.

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    2/28

    2

    KRITIK METODOLOGI TAFSIR

    (Studi al-Dakhil dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib

    Karya Fakhruddin al-Razi)

    Pendahuluan

    Upaya untuk memahami pesan-pesan al-Quran sudah dimulai sejak masa

    Rasulullah SAW dimana beliau sendiri sebagai mubayyin-nya. Pada masa ini tidak

    terdapat perbedaan dalam upaya memahami kandungan makna ayat al-Quran,

    karena referensi utama sebagai mubayyin masih ada sehingga para sahabat dapat

    bertanya langsung kepada Rasulullah.

    Perbedaan penafsiran mulai muncul setelah Rasulullah wafat, dan terus

    berkembang seiring rentang waktu yang menjauh dari masa Rasul. Hal ini

    dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: Kecerdasan, pengetahuan, entitas

    kehidupan, sosio kultural, doktrin teologis dan normatif.

    Para mufassir telah berupaya untuk menggali makna al-Quran dengan

    berbagai metode dan pendekatan yang dimilikinya, dengan merujuk kepada

    sumber-sumber penafsiran yang ada. Yang dimaksud sumber-sumber tafsir

    adalah, sumber-sumber yang dikutip mufassir dan diletakkannya dalam tafsir

    mereka, terlepas dari pandangan mereka dalam menafsirkan al-Quran. Terdapat

    empat macam sumber penafsiran yaitu: al-Qur'an, Hadits, ijtihad mufassir, dan

    cerita-cerita Israiliyyat1. Berdasarkan sumbernya tersebut di atas, dikenal dua jenis

    tafsir yaitu tafsir bi al-ma'tsurdan tafsir bi al-ra'y.

    Penggunaan riwayat-riwayat yang lemah bahkan maudlu serta

    pengutipan riwayat israiliyat oleh sebagian mufassir sebagai salah satu sumber

    1Al-Baghdadi, Nazharatun fi tafsir al-'Ashri li al-Qur'an al-Karim, terj. Abu Laila dan

    Muhammad Tohir (Bandung : al-Ma'arif, 1988), h. 29-35.

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    3/28

    3

    penafsiran al-Quran, sejak pengkodifikasian tafsir sampai sekarang,

    memperkaya khazanah kepustakaan kitab-kitab tafsir dengan intensitas yang

    cukup beragam, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Persoalan israiliyat

    menjadi isu penting bagi para mufassir modern. Persoalannya tidak hanya

    berkaitan dengan aspek teologis semata yang memandang bahwa islam adalah

    agama sempurna sehingga tidak perlu lagi merujuk pada ajaran-ajaran Yahudi dan

    Nasrani, dan tidak juga karena statemen al-Quran yang menyatakan bahwa kedua

    kelompok tersebut yakni Yahudi dan Nasrani telah melakukan penyimpangan

    (Tahrif) terhadap kitab suci mereka, tetapi juga karena israiliyat pada umumnya

    berisi khurafat-khurafat yang merusak akidah umat islam. Menyadari akan

    bahayanya, Muhammad Abduh sangat gencar mengkritik kebiasaan ulama tafsir

    yang biasa menggunakan cerita israiliyyat sebagai sumber penafsiran al-Quran.

    Dalam nada yang lebih keras, Saltut menuduh bahwa israiliyyat telah

    menghalangi umat islam menemukan petunjuk al-Quran.

    Pada perkembangan berikutnya, masalah-masalah yang timbul dalam

    tafsir tidak lagi dapat dijawab oleh hadits-hadits atau riwayat yang ada, sehingga

    tafsir bi al-matsur dipandang tidak lagi relevan karena kurang bisa memberikan

    jawaban terhadap masalah kehidupan yang semakin berkembang dan kompleks

    Berdasarkan pandangan tersebut, maka penggunaan pemikiran (ray)

    sangat diperlukan dalam menafsirkan al-Quran. Penafsiran semacam ini

    kemudian dikenal dengan tafsir bi al-ra'y. Hal ini mendapat dorongan yang lebih

    kuat dari luar, ketika umat lslam terpecah-pecah ke dalam berbagai aliran teologi,

    fiqih, dan tasawuf, sehingga tidak jarang perdebatan aliran-aliran tersebut masuk

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    4/28

    4

    kedalam tafsir. Di samping itu wawasan para mufasir tentang ilmu pengetahuan

    pun sering mewarnai tafsir al-Quran. Hal ini dapat dilihat dalam tafsirMafatih al-

    Ghaib karya Fakhruddin al-Razi. Sebagai tafsir yang didominasi oleh al-ra'y

    namun tetap berpegang pada riwayat, Mafatih al-Ghaib mampu mengungkapkan

    makna dan kandungan al-Quran bahkan memuat hal-hal lainnya yang tidak

    terkait langsung dengan al-Quran seperti perdebatan teologi, pembahasan ilmu-

    ilmu kealaman, dan lain-lain.

    Keluasan al-Razi dalam berbagai disiplin ilmu dan maksudnya yang mulia

    untuk membangkitkan semangat keilmuan di kalangan umat lslam tersebut

    mengakibatkan karya tafsirnya itu terkesan keluar dari konteks tafsir itu sendiri.

    Penilalaian , yang dituduhkan kepada Tafsir al-Kabir atau

    Mafatih al-Ghaib seperti ini beredar di kalangan ahli tafsir.

    Penilaian para ulama seperti itu mengindikasikan akan adanya unsur-unsur

    al-Dakhil dalam tafsir al-Razi. Penggunaan riwayat israiliyat sebagai rujukan

    tafsir, baik yang dikomentari maupun yang dibiarkan tanpa komentar, banyak

    terdapat dalam tafsir al-Razi, seperti ketika menafsirkan kisah tentang para Nabi,

    kisah umat terdahulu, tanda-tanda kiamat, kisah yajuj Majuj, Kisah Harut dan

    Marut, dan kisah-kisah lainnya.

    Lahirnya disiplin ilmu al-Dakhil diharapkan mampu membersihkan tafsir

    al-Quran dari unsur-unsur yang menjauhkan terbukanya pesan al-Quran tadi.

    Perkembangan Metodologi Tafsir

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    5/28

    5

    Ada dua sumber yang banyak dibicarakan oleh para ulama tafsir yakni;

    matsur dan maqul. Dalam konteks ini, sumber penafsiran al-Quran berarti

    informasi tafsir yang diambil dari sumber terdahulu. Para ulama tafsir membatasi

    maksud sumbermatsurdengan informasi tafsir yang diterima dari Nabi, sahabat

    dan tabiin. Definisi ini dilontarkan oleh banyak ulama diantaranya oleh Abu Hay

    al-Farmawi. Sementara itu Muhammad Ali al-Shabuni mengatakan bahwa sumber

    tafsirmatsuradalah rujukan tafsir yang diambil dari Nabi Muhammad saw, dan

    para sahabat saja dengan tidak memasukkan dari tabiin.

    Sedangkan tafsir bil rayi adalah tafsir yang penjelasannya diambil

    berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufasir yang telah menguasai bahasa Arab dan

    metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti

    asbab al-nuzul, nasikh mansukh, dan sebagainya. Al-Farmawi mendefinisikan

    tafsir bil rayi sebagai penafsiran al-Quran dengan ijtihad setelah mufasir

    tersebut mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara

    dan ia pun mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya.

    Basuni Faudah mengatakan bahwa banyak aliran dan ragam cara untuk

    memahami alquran. Masing-masing orang menafsirkan alquran berdasarkan

    kehendak hawa nafsunya untuk memenuhi kepentingan madzhabnya. Selain itu,

    muncul pula kitab-kitab tafsir yang hanya dimaksudkan untuk melayani astu

    cabang ilmu saja dengan mengorbankan kepentingan alquran. Sebagian mufasir

    mencurahkan perhatiaanya pada masalah-masalah nahwu (gramatika) dan

    kebahasaan, padahal bahasa dan gramatika tidak lain hanya merupakan alat untuk

    memahami maksud yang dikehendaki Allah. Begitu pula para mutakallimun

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    6/28

    6

    berupaya untuk menitikberatkan penafsiran pada masalah yang terkait dengan

    kalam.

    Perkataan Faudah diatas mengindikasikan bahwa pada tiap corak tafsir

    terdapat al-Dakhil, sehingga harus diteliti kembali kelayakan penafsiran terbut

    agar tidak jauh menyimpang dari apa yang dikehendaki dari kandungan alquran.

    Penelitian khusus tentang segala sesuatu yang terdapat dalam tafsir

    Mafatih al-Ghaib selain tafsir itu sendiri belum ada. Sesuatu di luar tafsir inilah

    yang kemudian di sebut al- Dakhil fi al-tafsir.

    Istilah al- Dakhil fi al-tafsir sendiri mulai dikembangkan di Jamiat al-

    Azhar Mesir oleh Dr. Ibrahim Abdurrahman khalifah. Pemikirannya tersebut

    masih tertuang dalam bentuk diktat yang berjudul al- Dakhil fi al-Tafsir dan

    menjadi muqarrar di Fakultas Ushuluddin Jamiat al-Azhar Mesir. Bersamaan

    dengan beliau adalah Abdul Wahab Fayid, yang kebetulan menjadi lawan

    pemikiran Ibrahim Khalifah, dengan judul yang sama yaitu al- Dakhil fi al-Tafsir

    al-Quran al-Karim.

    Dalam kenyataannya, penggunaan riwayat dan ra'y sebagai sumber

    penafsiran senantiasa terjadi dalam sebuah karya tafsir. Sangat jarang tafsir yang

    hanya menggunakan riwayat tanpa menggunakan ra'y dan begitu juga sebaliknya.

    Mafatih al-Ghaib sebagai tafsir yang dikelompokkan kedalam tafsir bi al- ray

    tetap saja menggunakan riwayat sebagai salah satu rujukan penafsirannya.

    Padahal penggunaan ke dua sumber tafsir tersebut belum pasti tepat dan benar,

    sehingga peluang terjadinya al- Dakhil dalam riwayat dan dalam ra'y bisa terjadi

    dalam semua tafsir, termasuk dalam tafsir Mafatih al-Ghaib.

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    7/28

    7

    Al-Dakhil fi al-Tafsir

    Berdasarkan beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ahli, dapat

    disimpulkan bahwa tafsir, takwil, dan terjemah adalah merupakan usaha nalar atau

    ijtihad manusia untuk memahami dan menyingkapkan kandungan makna dan

    nilai-nilai al-Quran.

    Tumbuhnya unsur-unsur yang kemudian diistilahkan dengan al-Dakhil

    mulai terjadi pada tafsir masa Tabiin. Tafsir pada masa tabiin memiliki ciri khas

    sebagai berikut:

    1) Tafsir periode tabiin pada umumnya belum ada yang tertulis dan senantiasadipengaruhi oleh kajian-kajian keilmuan dan riwayat-riwayat yang menjadi

    ciri khusus identitas madrasah tempat mereka belajar, seperti mufasir Mekkah

    dari Ibn Abbas sedangkan mufasir Iraq dari Ibn Masud.

    2) Masuknya riwayat-riwayat israiliyyat dari tokoh ahlul kitab yang masukislam. Meskipun riwayat tersebut tidak berkaitan dengan masalah akidah,

    tetapi lebih berkaitan dengan penjelasan masalah asal mula kejadian, rahasia

    di balik wujud dan qishah umat terdahulu yang bersipat mujmal dalam al-

    Quran. Diantara tokoh muslim dari ahlul kitab yang menjadi sumber

    israiliyyat adalah Abdullah ibn Salam, Kaab al- Akhbar, Wahab ibn

    Munabbih, Abdul Malik ibn Abdul Aziz Ibn Juraij.

    3) Timbulnya pertentangan dan perselisihan pendapat seputar tafsir ayat yangberkaitan dengan akidah.

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    8/28

    8

    Berdasarkan pengertian bahasa, kata al- Dakhil dalam tafsir berarti suatu

    aib dan kerusakan yang tersembunyi dan hakikatnya samar yang disisipkan di

    dalam tafsir al-Quran. Akibat kesamaran tersebut, usaha untuk mengetahui dan

    mengungkapkannya membutuhkan suatu penelitian. Ibrahim Khalifah dan Hasyim

    Nayil menulis pengertian al-dakhil sebagai berikut:

    "

    ."

    Berdasarkan kandungan makna kebahasaan, pengertian al- Dakhil

    dalam tafsir adalah suatu kecacatan dan kesalahan yang tidak

    diungkapkan secara jelas dan terdapat di sela-sela tafsir al-Quran al-Karim. Akibat kerahasiaan (ksamaran) aib tersebut, maka usaha untuk

    mengungkapkannya membutuhkan suatu pemikiran yang serius.

    Sedangkan definisi al- Dakhil dalam tafsir menurut istilah adalah:

    " ."

    Al- Dakhil dalam tafsir adalah penafsiran al-Quran dengan riwayat (al-

    matsur) yang tidak sahih, atau penafsiran al-Quran dengan riwayat sahih

    tetapi tidak memenuhi syarat-syarat untuk diterima (ghair maqbul), atau

    juga penafsiran al-Quran dengan nalar yang salah.

    Menurut Abdul Wahab Fayid seperti yang dikutip oleh Ibrahim Nayil, al-

    Dakhil dalam tafsir adalah:

    "

    ."

    Lebih jelas lagi pengertian yang diungkapkan oleh Sayid Mursy Ibrahim

    al-Buyumy seperti yang dikutif oleh Ibrahim Nayil. Menurutnya al-Dakhil adalah:

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    9/28

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    10/28

    10

    yang mengutarakannya adalah sahabat yang dikenal sebagai sahabat yang

    sering menjadikan cerita israiliyat sebagai sumber informasi dan periwayatan.

    Pendapat sahabat seperti ini dikelompokkan dalam al-dakhiil al- naqli dengan

    dua syarat, yaitu: Pertama, tidak adanya ayat al-Quran atau hadits sahih yang

    sesuai atau senada dengan riwayat tersebut; Kedua, riwayat israiliyat tersebut

    bertentangan dengan al-Quran dan hadits sahih. Sebaliknya, jika riwayat

    tersebut sesuai dengan al-Quran atau dengan hadits sahih maka penafsiran

    dengan riwayat tersebut termasuk ke dalam al-ashiil al- naqli.

    4. Menafsirkan al-Quran dengan pendapat sahabat yang kontradiktif denganpendapat sahabat yang lain, sedang pertentangan tersebut sangat kontras dan

    tidak dapat dikompromikan atau ditarjih.

    5. Menafsirkan al-Quran dengan pendapat tabiin yang tidak valid, sepertimenafsirkan al- Quran dengan hadits maqthu yang dipalsukan atas nama

    tabiin atau sanad hadits tersebut dhaif.

    6. Menafsirkan al-Quran dengan hadits maqthu yang matannya bersumber padariwayat israiliyyat.

    7. Menafsirkan al-Quran dengan riwayat yang bertentangan dengan salah satubentukal-ashiil al-naqli dari keempat bentukal-ashiil al- naqli yang pertama,

    sedangkan kontradiksinya sangat kontras dan tidak dapat dikompromikan.

    8.

    Menafsirkan al-Quran dengan riwayat dari salah satu bentuk al-ashiil al-

    naqli ketiga terakhir yang bertentangan dengan nalar.

    9. Menafsirkan al- Quran dengan riwayat yang bertentangan dengan penafsiranyang lebih kuat dari salah satu bentukal-ashiil al- naqli.

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    11/28

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    12/28

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    13/28

    13

    2. Riwayat yang bersumber dari Al-Hasan, bahwa setelah Ayub as ditimpamusibat selama 7 tahun 7 bulan.

    3. Riwayat yang bersumber dari Dhahak dan Muqatil. Menurutnya, Ayubditimpa musibat selama 7 tahun 7 bulan 7 hari dan 7 jam.

    4. Wahab ibn Munabbih menuturkan bahwa untuk mendapatkan makananterpaksa istri Ayub as menjual (qarn) rambutnya untuk ditukar dengan roti.

    Ketika Ayub as mengetahuinya maka Ayub berkata,

    5. Menurut Ismail al- Sudy, ada tiga alasan yang menjadi penyebab perkataanAyub as , yaitu: Pertama, perkataan kedua

    temannya yang meragukan keihlasan perbuatan Ayub; Kedua, perbuatan

    istrinya yang mau menjual rambutnya demi mendapatkan makanan

    sehingga penampilannya menyerupai laki-laki dan hal ini dilakukan atas

    godaan iblis; Ketiga, ketika istrinya mengatakan perbuatan yang telah

    dilakukannya.

    6. Diceritakan bahwa setiap ulat yang jatuh dari pahanya, Ayub selalumenempatkannya kembali pada tempatnya dan berkata, Allah telah

    menjadikanku sebagai makanan begimu. sehingga ulat tersebut

    menggigitnya kembali menyebabkan rasa sakit yang sangat. Ketika itulah

    Ayub berkata,

    Kesahihan riwayat Ibn Syihab diatas yang lengkapnya diriwayatkan oleh

    Ibn Abi Hatim dengan rangkaian sanad diterima dari Ibn Syihab al-Zuhri dari

    Anas ibn Malik ra. dari Nabi saw. telah disangkal oleh para Muhaditsin.

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    14/28

    14

    Meskipun Ibn Hajar menilai sanad tersebut merupakan yang paling sahih, namun

    para ulama menyatakan bahwa penisbatan pernyataan tersebut kepada Nabi saw

    merupakan perbuatan sebagian para pemalsu hadits yang selalu memanfaatkan

    rangkaian sanad untuk memperkuat matan, atau merupakan kesalahan sebagian

    rawi hadits. Padahal kesahihan sanad tersebut tidak dapat mengingkari kenyataan

    bahwa kisah tersebut merupakan cerita dan bualan israiliyat yang semuanya

    bersumber dari Wahab ibn Munabih yang tidak didukung oleh dalil aqli dan naqli.

    Bahkan Ibn Katsir berkomentar, .2

    Menurut Ibrahim Nayil, semua riwayat yang menceritakan kisah Ayub as

    di atas merupakan dakhilat mardudat sebab semua nabi terhindar dari penyakit

    yang dapat mengurangi martabat kemanusiaan sehingga mereka diasingkan oleh

    umatnya, seperti penyakit lepra yang menyebarkan bau tidak enak.3

    Dengan tegas al-Alamah Muhamad al-Dasuki menyatakan, Segala

    sesuatu yang dapat mengurangi martabat kenabian, seperti penyakit lepra dan

    corob, mustahil menimpa para nabi.4

    Begitu pula mengenai lamanya penyakit atau musibah yang menimpa

    Ayub as, tidak ada riwayat sahih yang menerangkan hal tersebut. Imam al-

    Qurthubi menuturkan pendapat Ibn al-Arabi, Tidak ada satu khabar sahih pun

    yang menerangkan lamanya musibah Ayub as.5

    Contoh lain penggunaan riwayat Israiliyat adalah penafsiran al-Razi

    tentang Kisah Ratu Bilqis dalam QS. Al-Naml ayat 44.

    2Abu Syuhbah, Loc.Cit, hal. 279

    3Nayil, Loc.cit, hal. 198.

    4Al-Dasuki, Hasyiah al-Alamah Muahamad al-Dasuki ala Syarh Umm al-Barahin li Syaikh

    Muhamad al-Sanusi, Dar al-Kutub al-Arabiah al-Kubra, hal, 186.5 Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Quran, Jilid 11, hal. 327.

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    15/28

    15

    Al-Razi mengutip cerita yang menerangkan alasan Nabi Sulaiman as

    membangun istana kaca di atas air, yaitu disamping untuk membuktikan

    keagungan dan kenabiaannya, juga agar beliau dapat mengetahui keadaan Ratu

    Bilqis. Menurut riwayat yang dikutif al-Razi, Hal ini dilakukan karena beliau

    mendengar cerita Jin yang menyatakan bahawa kaki Ratu Bilqis dipenuhi bulu

    dan menyerupai kaki keledai. Hal ini dilakukan Jin agar Nabi Sulaiman tidak jadi

    menikahi Bilqis. Jika Sulaiman mehirkan keturunan dari Bilqis, Jin khawatir

    mereka akan tetap berada di bawah kekuasaan keturunan Sulaiman.

    Riwayat ini menurut Ibrahim Nayil, termasuk al-Dakhil yang mesti

    ditolak. Selain itu tidak ada satu khabar sahih pun yang menjelaskan apakah Nabi

    Sulaiman menikahi Bilqis atau tidak.6

    Dan menurut Ibn Katsir, semua informasi

    dalam konteks ini bersumber dari ahli kitab, seperti Wahab ibn Munabbih dan

    Kaab al-Akhbar yang diberi keleluasaan oleh Allah untuk meriwayatkan cerita-

    cerita menarik dan asing, baik yang masih asli maupun yang sudah berubah,

    kepada umat islam. Tetapi Allah memberikan informasi lain yang lebih kuat dan

    bermanfaat sehingga umat islam tidak perlu lagi memperhatikan cerita-cerita

    tersebut.7

    Riwayat Israiliyat lain yang dipakai sumber penafsiran al-Razi dapat

    ditemukan dalam penafsirannya tentang Kisah Nabi Ibrahim as. Dalam QS.

    Ibrahim ayat 68-69; Kisah Nabi Sholih as dalam QS. Al-Araf ayat 73; Kisah

    tentang Nabi Musa as dalam QS. Al-Qshshash ayat 31; Jumlah Tukang sihir

    Firaun dalam QS.Thaha ayat 65; Kisah Dua Anak Adam dalamQS. Al-Maidah

    6Al-Nayil, Loc. Cit. hal. 178-179

    7 Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Karim, Jilid 3, hal. 366

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    16/28

    16

    ayat 27; Kisah Nabi Idris as dalam QS Maryam ayat 56-57; Kisah Ashab al-

    Kahfi; Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir; Kisah Dzul Qarnain; Kisah Yajuj wa

    Majuj; Kisah Nabi Isa as dalam QS. Al-Maidah ayat 115;

    2. Al-Dakhil dalam bentuk penafsiran dengan Hadits Dlaif

    Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib terdapat penafsiran dengan menggunakan

    Hadits Dlaif. Diantara contoh al-Dakhil al-Naqli dalam bentuk penafsiran dengan

    menggunakan Hadits Dlaif adalah:

    a. Penafsiran ayat tentang munculnya binatang sebagai tanda akan terjadinya

    kiamat yaitu QS. Al-Naml ayat 82.

    Menurut al-Razi ayat ini menerangkan tanda akan terjadinya kiamat, yaitu

    munculnya seekor binatang. Ada beberapa pendapat yang menjelaskan kehadiran

    binatang tersebut, yaitu:

    1. Disebutkan dalam sebuah Hadits, bahwa tinggi binatang tersebut adalah enamhasta. Diriwayatkan lagi bahwa kepalanya mencapai awan. Diterima dari Abi

    Hurairah bahwa jarak antara dua tanduknya sepanjang dua Farsakh (mil).

    2. Diriwayatkan bahwa binatang tersebut tingginya empat kali manusia, berbuludan bertanduk. Menurut Ibn Juraij, Kepala binatang tersebut seperti kepala

    sapi jantang, matanya seperti mata babi, telinganya seperti telinga gajah,

    tanduknya seperti tanduk unta, dadanya seperti dada singa, kulitnya seperti

    kulit harimau, perutnya seperti perut sapi, ekornya seperti ekor kambing, dan

    telapak kakinya seperti telapak kaki unta.

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    17/28

    17

    3. Menurut Ali ra, binatang tersebut muncul selama tiga hari sedangkanmanusia tidak berani keluar rumah kecuali sepertiga jumlah manusia.

    Menurut Hasan al-Bashri, Binatang tersebut tidak muncul dengan sempurna

    kecuali setelah tiga hari.

    4. Rasulullah saw ditanya mengenai tempat keluarnya binatang tersebut. Beliaumenjawab, Binatang itu keluar dari mesjid yang paling besar, sebagai

    penghormatan terhadap al- Masjid al-Haram. Diriwayatkan lagi bahwa ia

    keluar dari Bukit Shafa dan berbicara dengan Bahasa Arab sambil membawa

    tongkat Nabi Musa dan cincin Nabi Sulaiman. Kemudian binatang tersebut

    memukul muka orang beriman tepat antara dua matanya yang mengakibatkan

    wajah orang tersebut menjadi bercahaya (terang), berbeda dengan wajah orang

    kafir yang berubah menjadi hitam setelah dipukul telinganya.

    5. Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa ia muncul sebanyak tiga kali, yaitu:Pertama muncul dan menetap di pinggir kota Yaman; Kemudian muncul dan

    menetap lama di pegunungan; Kemudian yang terakhir muncul dari antara

    tiang tepat di rumah Bani Makhzum yaitu sebelah kanan al- Masjid al-Haram,

    sehingga sebagian orang melarikan diri dan sebagian lagi tetap tinggal di

    dalam mesjid.8

    Komentar al-Razi tentang kisah di atas:

    Ketahuilah bahwa tidak ada keterangan yang jelas dalam alquran

    mengenai hal ini, jika informasi tentang hal tersebut benar- benar dari

    8 Al-Razi, Ibid, Juz. 23, hal. 217-218.

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    18/28

    18

    Rasul saw maka dapat diterima, tetapi jika tidak maka informasi tersebut

    jangan dihiraukan.

    3. Al-Dakhil dalam bentuk Penafsiran dengan Hadits Mauquf yang

    berlawanan dengan Hadits Mauquf lainnya dan tidak dapat dikompromikan

    Hadits Mauquf adalah hadits yang bersumber dari sahabat. Al-Razi biasa

    menyebut hadits mauquf dengan istilah Atsar. Diantara contoh penafsiran dengan

    menggunakan Atsar dan termasuk al-Dakhil al-Naqli adalah penafsiran al-Quran

    surat al-Anbiya ayat 37.

    Dalam ayat ini al-Razi mengungkapkan dua pendapat berbeda mengenai

    tafsir kata . Pendapat pertama menyatakan behwa maksud kata disini

    adalah spesies manusia, artinya manusia secara keseluruhan. Pendapat inilah yang

    dipegang oleh al-Razi sesuai komentarnya:

    Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa kata diatas tertuju

    pada manusia tertentu. Menurut pendapat Mujahid, Said ibn Jubair, Ikrimah, al-

    Sudy, al-Kalaby, Muqatil, dan al-Dhahak, maksud kata adalah Adam as.

    Pendapat ini didasarkan pada riwayat Ibn Juraij dan al-Laits ibn Sulaim dari

    Mujahid, bahwa ia berkata:

    .

    .

    Setelah beres segala urusan penciptaan, maka Allah menciptakan Adampada akhir hari Jumat. Ketika ruh baru memasuki kepalanya dan belum

    sampai ke bawah, Adam berkata, Ya Rabbi, percepatlah penciptaanku

    sebelum terbenamnya matahari. Menurut Laits, gara-gara perkataan

    inilah turun firman Allah .

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    19/28

    19

    ,

    ,

    Diriwayatkan dari al-Sudiy, bahwa ketika ruh memasuki kepala, tiba-tiba Adam

    bersin. Kemudian Malaikat menyuruhnya untuk mengucapkan alhamdulillah.Adam pun mengucapkannya dan dijawab oleh malaikat dengan ucapan .

    Ketika ruh memasuki matanya, adam melihat-lihat buah-buahan surga.

    Kemudian ketika ruh memasuki perutnya, Adam merasa lapar ingin makanan,

    dan ia pun lompat mengambil buah surga sebelum ruh memasuki kedua kakinya.

    Peristiwa inilah yang mengakibatkan keturunannya bersifat tergesa-gesa.

    Adapun menurut Ibn Abas yang diriwayatkan oleh Atha, kata

    dalam ayat tersebut ditujukan kepada al-Nadhar ibn al-Harits.9

    2.Al- Dakhil al-Rayi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib

    Ada beberapa bentukAl- Dakhil al-Rayi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib,

    diantaranya:

    1. Pemaksaan pemikiran Kalam

    Sesuai kapasitasnya sebagai teolog, tafsir yang dikembangkan al-Razi

    lebih banyak diwarnai pembahasan dan perdebatan kalam. Hampir tiap ayat

    digiring dalam perdebatan kalam, terutama perdebatan antara Jabari dan Qodari,

    dan antara Mutazili dan Asyari, padahal tidak semua ayat alquran terkait

    langsung dengan pembahasan yang digiring oleh al-Razi. Misalnya, ada ayat yang

    langsung terkait dengan masalah kalam Allah seperti alquran surat al-Zuhruf ayat

    2,10

    sehingga pembahasan tentang itu akan dianggap tepat, tetapi al-Razi

    memaksakan perdebatan itu dalam ayat lain yang secara dlahir tidak terkait

    9Al-Razi, Ibid, juz.22, hal. 171

    10

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    20/28

    20

    dengan masalah kalam Allah, seperti QS. Al-Araf ayat 54. Tentunya argumentasi

    yang dianggap kuat adalah argumentasi yang dipegang oleh pengikut Asyari. Hal

    ini karena al-Razi adalah dikenal sebagai salah seorang ulama yang membela

    paham Asyari. Argumentasi dan pemikiran Asyari yang dipegang dalam tafsir

    ini sering dibahasakan dengan istilahAshabuna.

    2. Pemaksaan pemikiran Tasawuf

    Al-Razi berusaha menggiring makna ayat kedalam pembahasan tasawuf

    dengan menampilkan rahasia-rahasia yang terkandung di balik ayat, seperti ketika

    menafsirkan Surat al-Fatihah, al-Razi memaparkan rahasia-rahasia yang

    terkandung di dalam surat tersebut. Diantara rahasia Surat al-Fatihah yang

    termasuk unsur al-Dakhil dalam tafsir, yaitu ketika menafsirkan ayat:

    .

    Dalam permasalahan pertama sub ke lima, al-Razi mengungkapkan

    beberapa rahasia atau makna batin (lathaif) yang terkandung ayat di atas dan

    termasuk unsur al-Dakhil, yaitu:

    a. Pada rahasia pertama, menurut al-Razi, bahwa merupakan jalanyang benar baik dalam keyakinan maupun dalam amal ibadah. Ada tiga alasan

    merupakan jalan keyakinan dan amal yang benar, yaitu:

    Pertama, Orang yang berlebihan dalam mensucikan (tanzih) akan mengingkari

    sifat-sifat Tuhan, sedangkan orang yang berlebihan dalam menetapkan sifat

    akan terjerumus kepada tasybih dan tajsim. Adapun jalan

    keyakinan yang terbebas dari unsur tasybih dan pengingkaran sifat Tuhan;

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    21/28

    21

    Kedua, orang yang menyakini bahwa semua perbuatan manusia berasal dari

    manusia itu sendiri maka ia terjerumus kepada paham qadariah, sedangkan

    jika meyakini bahwa manusia sama sekali tidak melakukan perbuatan ia

    terjerumus kepada paham jabariah padahal kedua paham tersebut merupakan

    paham yang menyimpang. Adapun , menetapkan perbuatan

    dilakukan manusia sambil mengakui bahwa semuanya itu merupakan

    keputusan Allah; dan ketiga, dalam amal ibadah, orang yang

    berlebihan dalam perbuatan syahwaniah akan terjerumus kedalam kejahatan

    (dosa), sedangkan orang yang tidak melakukan suatu pekerjaan akan statis.

    Adapun amal , melahirkan kehati-hatian. Amal

    melahirkan keberanian, bukan pengecut dan sembrono.

    b. Pada rahasia ketiga, bahwa menurut sebagian ulama, Allah menyempurnakankata dengan ayat . Ini menunjukkan bahwa

    tidak ada jalan dan cara bagi seorang murid untuk dapat sampai kepada

    maqam al-hidaya dan al-mukasyafat, kecuali ia mengikuti seorang guru yang

    membimbingnya dari jalan yang menyimpang dan menjauhkannya dari

    kesesatan dan penyimpangan tersebut. Hal ini karena kebanyakan manusia

    berada dalam kekurangan, akalnya tidak cukup untuk dapat melihat kebenaran

    (al-haq) dan membedakannya dari yang salah. Dengan demikian, guna

    mencapai derajat kebahagiaan dan naik kemaqam kesempurnaan, mesti ada

    orang sempurna yang dapat diikuti oleh orang yang kurang tadi, sehingga

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    22/28

    22

    kekurangan akal tersebut diperkuat oleh cahaya akal orang sempurna

    tersebut.11

    Dalam masalah kedua, a-Razi menyatakan, bahwa setelah menetapkan

    masalah ketuhanan, kemudian Allah memerintahkan untuk membenahi tiga

    tahapan kesempurnaan manusia, yaitu: pertama Maqam al-Syaria,tyaitu dengan

    melakukan amal perbuatan jawarih, inilah yang dimaksud dengan ayat ;

    KeduaMaqam al-Thariqat,yaitu perpindahan dari alam syahadah ke alam ghaib,

    sehingga terlihat bahwa alam syahadah seakan akan tunduk ke alam ghaib, inilah

    maksud ayat ; dan ketiga Maqam al-Haqiqat, yaitu melepaskan seluruh

    ketergantungan dengan alam syahadah, semua urusan hanya di tangan Allah,

    inilah maksud ayat .12

    3. Pemaksaan argumentasi akal

    Selain sebagai seorang teolog, al-Razi dikenal sebagai filusuf. Hal ini

    mengakibatkan tafsirnya banyak diwarnai argumentasi-argumentasi akal. Padahal

    terkadang argumentasi tersebut tidak dapat menambah kejelasan makna dan

    kandungan alquran. Diantara contoh al-Dakhil dalam bentuk ini adalah penafsiran

    kata dalam ayat:

    13

    Dalam masalah keempat, al-Razi menuturkan bahwa Allah menjadikan

    bumi terhampar dan dapat didiami ( ) seperti yang terkandung dalam ayat-

    11

    Al-Razi,Ibid, Juz 1, hal. 189-190.12

    Al-Razi, Ibid, hal. 191-192.13 QS. Al-Baqarah : 22

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    23/28

    23

    ayat lainnya. Kemudian al-Razi mengajukan empat syarat agar bumi ini dapat

    terhampar, yaitu:14

    Syarat Pertama adalah keadaan bumi harus diam tidak bergerak, baikgerakan vertikal ( turun-naik ) maupun memutar. Jika bumi bergerak

    turunnaik maka bumi kehilangan grafitasinya sehingga manusia akan

    melayang-layang. Hal ini karena bumi lebih berat dibanding manusia,

    sedangkan sesuatu yang lebih berat akan akan lebih cepat turun dibanding

    sesuatu yang lebih ringan. Sedangkan jika bumi bergerak memutar maka

    manusia akan jalan di tempat, manusia tidak akan sampai ke tujuannya.

    Hal ini karena perputaran bumi lebih cepat dibanding jalan manusia. Maka

    semua gerakan itu mangakibatkan bumi tidak dapat dimanfaatkan oleh

    manusia.

    Syarat kedua adalah keadaan bumi tidak terlalu keras sekeras batu. Jikasekeras batu, akan menyakitkan badan ketika ditiduri dan berjalan, bumi

    susah ditanami, dan manusia tidak akan dapat membangun karena susah

    untuk menggali sesuai keinginannya. Begitu pula bumi tidak terlalu

    lembek selembek air, sebab manusia akan terbenam kedalamnya.

    Syarat ketiga adalah keadaan bumi tidak terlalu lembut dan tipis, karenasesuatu yang tipis tidak akan dapat menahan cahaya bintang dan matahari

    sehingga bumi akan menjadi dingin. Dengan demikian Allah pun

    menjadikan bumi sebagai debu yang dapat menahan cahaya sehingga

    dapat didiami oleh makhluk hidup.

    14 Al-Razi, Ibid, Juz 2, hal. 113-114

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    24/28

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    25/28

    25

    Menurutnya ayat ini mempunyai enam permasalahan, yaitu:

    1. Perbuatan Allah Swt tidak didasarkan atas satu kepentingan. Karena kalauAllah mempunyai kepentingan, maka Dia tidak sempurna dalam dzat-Nya;

    sedangkan hal itu mustahil bagi Allah.

    2. Ayat ini menjadi dalil para Fuqaha bahwa hukum asal pemanfaatan adalah al-ibahat(boleh).

    3. Dengan demikian diperbolehkan untuk memanfaatkan kekayaan dankandungan bumi.

    4. Allah tidak membutuhkan sesuatu, karena kalau membutuhkan sesuatu makasemua perbuatan-Nya pun pasti diarahkan untuk memenuhi kebutuhan-Nya itu

    dan bukan untuk kepentingan yang lain-Nya (untuk makhluk-Nya).

    5. Ayat ini menunjukkan keberadaan 7 macam langit. Tetapi maksud langitmenurut al-Razi dalam ayat tersebut adalah bintang dan planet. Ketujuh langit

    tersebut adalah sama seperti keyakinan ashab al-haiat, yaitu: Planet terdekat

    dengan bumi adalah Qamar (bulan), diatasnya ada Atharid (Merkurius),

    kemudian Zahrah (Venus), Syams (Matahari), Murikh (Mars), Musytary

    (Jupiter), dan Zuhal (Saturnus). Kemudian al-Razi menjelaskan secara

    panjang lebar mengenai posisi dan pergerakan masing-masing planet tersebut

    disertai pendapat para ahli. Pada akhirnya, al-Razi mengakui bahwa jumlah

    tersebut masih mungkin untuk bertambah karena penggunaan redaksi al-Saba

    dalam ayat tersebut tidak menafikan untuk adanya tambahan.15

    15 Al-Razi, Ibid, Juz 2. hal. 169-173

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    26/28

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    27/28

    27

    sangat dipengaruhi pendapat al-Syafii. Sedangkan dalam bidang kalam, tafsir ini

    sangat diwarnai aliran Asariyah.

    Penelitian ini menunjukkan adanya unsur-unsur al-Dakhil dalam tafsir al-

    Razi, baik al-dakhil al-naqli maupun al-dakhil al- rayi. Diantara bentuk al-Dakhil

    al-Naqli adalah: Penggunaan riwayat israiliyat baik yang dikomentari maupun

    yang dibiarkan tanpa komentar, penggunaan hadits dlaif, baik yang marfu,

    mauquf dan maqthu, bahkan riwayat-riwayat tersebut sering dikutif dengan tanpa

    menyebutkan rangkaian sanadnya secara utuh.

    Sedangkan diantara bentuk al-Dakhil al-Rayi adalah pemaksaan

    pembahasan kalam secara panjang lebar hampir di tiap ayat, meliputi perdebatan

    kalam antara aliran Asyariah yang selalu dibelanya dengan aliran Mutazilah

    yang menjadi lawannya, meskipun terkadang dhahir ayat tersebut tidak terkait

    langsung dengan pemikiran kalam yang diperdebatkannya. Argumentasi-

    argumentasi logika sangat mewarnai penafsiran al-Razi. Hampir seluruh disiplin

    ilmu, baik ilmu-ilmu keagamaan yang sudah berkembang saat itu seperti ilmu

    kalam, ilmu Fikih, ilmu Tasawuf, ilmu Bahasa, dan Filsafat, maupun ilmu-ilmu

    baru seperti ilmu Astronomi dan ilmu-ilmu Alam lainnya dijadikan pisau analisis

    untuk memahami al-Quran. Hal inilah yang menjadikan tafsir tersebut memiliki

    kelebihan dibanding karya tafsir lainnya. Meskipun keluasan pembahasan dari

    berbagai disiplin ilmu tadi menjadikannya terkesan kabur dari konteks tafsir,

    sehingga untuk bisa menangkap makna dan kandungan tafsir ayat al-Quran di

    balik pembahasannya yang luas menuntut kejelian dan kesunguhan.

  • 7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib

    28/28

    28