syarat, hukum dengar khutbah, penting

Upload: norbihasedik

Post on 13-Oct-2015

101 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hukum fiqh hukum mendengar khutbah

TRANSCRIPT

A. Latar Belakang MasalahKhutbah Jumat merupakan salah rangkaian ibadah yang terdapat pada pelaksanaan shalat Jumat, karena khutbah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian ibadah Jumat. Pelaksanaan khutbah tersebut pada sebelum melaksanakan shalat Jumat.Khutbah Jumat juga sebagai salah satu media yang strategis untuk dalam rangka memberikan masukan yang positif kepada umat Islam, karena bersifat rutin dan dihadiri oleh kaum muslimin secara berjamaah. Khutbah Jumat memiliki kedudukan penting dalam Islam, karena merupakan penopang utama dalam penyebaran dakwah Islam di seluruh dunia. Khutbah juga merupakan salah satu sarana penting guna menyampaikan pesan dan nasehat kepada orang lain atau suatu kaum. Hal ini sebagaimana kaidah yang ada dalam Islam : menyeru kepada kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.Secara lebih khusus Khutbah Jumat merupakan syiar besar Islam yang menjadi nilai istimewa. Tidak diragukan lagi bahwa khutbah dalam syiar agama kita mempunyai kedudukan yang tinggi. Demikian karena khutbah mempunyai peran yang besar dalam rangka menasehatai umat dan mewujudkan tugas dakwah Islam.Disyariatkan bagi kaum muslimin untuk berkumpul di dalam hari itu sebagai peringatan bagi mereka akan besarnya nikmat Allah kepada mereka dan disyariatkan khutbah untuk memperingatkan mereka dengan adanya nikmat tersebut, juga menganjurkan kepada mereka agar selalu mensyukurinya.Secara umum khutbah tersebut bertujuan untuk memuji dan memuliakan Allah SWT serta kesaksian bahwa dia adalah esa, juga kesaksian bahwa pada diri Rasulullah SAW terdapat risalah yang bertujuan untuk memberikan peringatan bagi para hamba. Khutbah memiliki kedudukan dan manfaat yang sangat besar dari pelaksanaan shalat Jumat, karena didalamnya mengandung zikir kepada Allah, peringatan bagi kaum muslimin serta nasehat bagi yang mendengarkannya.Khutbah Jumat mempunyai dua sisi yang tak terpisahkan. Pertama, sebagai bagian dari ibadah shalat Jumat yang melekat. Kedua, Khutbah Jumat menjadi media untuk menyampaikan dan memberi pelajaran kepada para jamaah atau umat manusia secara umum. Bisa juga dikatakan, selain ritual ibadah, Khutbah Jumat juga merupakan salah satu media dakwah yang memunyai kaitan langsung dengan pembinaan umat.Khutbah Jumat memunyai posisi yang sangat strategis, dalam hal pelaksanaannya, khutbah Jumat tak terpisahkan dengan shalat Jumat yang dilaksanakan rutin seminggu sekali. Pada posisi ini, khutbah Jumat bisa menjadi media yang terprogram dengan muatan yang berkesinambungan dari mingu ke minggu. Isi khutbah pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan jamaah atau masyarakat setempat. Melalui Khutbah Jumat ini pembinaan umat bisa dilaksanakan secara berkelanjutan.Dilihat dari sasaran dakwah, Khutbah Jumat selalu memunyai sasaran dakwah (audience) karena ada kewajiban melaksanakan shalat Jumat bagi setiap orang beriman. Allah menyeru kepada orang-orang beriman untuk meninggalkan segala aktivitas (tak hanya jual beli saja) dan bersegera dengan tekad dan langkah yang kuat untuk pergi ke masjid guna mendengarkan khutbah dan melaksanakan shalat Jumat.Tata cara Khutbah Jumat juga berbeda dibanding ceramah-ceramah yang lain. Khutbah dilakukan satu arah, tanpa ada dialog. Jamaah wajib mendengarkan dan menyimak apa yang disampaikan khatib. Tak diperbolehkan pula berbicara, apalagi menyela atau memotong khutbah. Ini berarti, apa pun yang disampaikan khatib akan didengar oleh jamaah tanpa ada bantahan.Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khutbah merupakan syarat shalat Jumat (tidak sah shalat jumat kalau tidak ada khutbah). Sedangkan fuqaha lainnya berpendapat bahwa khutbah tidaklah wajib. Fuqaha Malikiyah berpendapat bahwa khutbah merupakan fardhu, terkecuali sikap yang dipegangi Ibnu Majasyun. Perbedaan pendirian di kalangan mereka terjadi lantaran adanya perbedaan mereka dalam hal adanya berbagai kemungkinan yang berkaitan dengan shalat Jumat, yaitu apakah merupakan salah satu syarat atau bukan. Kelompok fuqaha yang berpendapat bahwa khutbah merupakan hal yang khusus ketika hendak shalat, dan dimungkinkan khutbah itu sebagai pengganti dua rakaat yang hilang (sebab, shalat Jumat hanya dua rakaat, sedang zuhur empat rakaat). Mereka berkesimpulan bahwa khutbah merupakan syarat shalat , bahkan merupakan syarat sahnya shalat Jumat. Sedangkan kelompok fuqaha yang berpendirian bahwa yang dimaksud dengan khutbah adalah di dalam rangka menasehati , sebagaimana di dalam khutbah-khutbah selain Jumat, mereka menyimpulkan bahwa khutbah bukan merupakan pilar shalat Jumat. Perselisihannya terdapat pada hukum khutbah tersebut, apakah hukumnya wajib atau tidak, karena Khutbah Jumat tersebut sudah ditetapkan, tidak seperti khutbah-khutbah lainnya.Sementara itu kalau kita menelusuri tentang hukum melakukan Khutbah Jumat tersebut, jumhur ulama berpendapat bahwa Khutbah Jumat adalah wajib. Mereka berpegang kepada hadits-hadits shahih yang menyatakan bahwa setiap kali Nabi SAW mengerjakan shalat Jumat, maka selalu disertai dengan khutbah. Merekapun mengambil alasan kepada sabda Nabi SAW.

Artinya : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat

Firman Allah dalam surat al-Jumah ayat 9 :

Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Dalam ayat di atas, ada perintah untuk pergi berzikir, hingga dengan demikian, zikri itu hukumnya wajib. Sekiranya pergi itu tidak wajib, tentunya zikir juga tidak wajib. Maksud zikir di sini adalah sebagaimana mereka tafsirkan yang bermakna khutbah, karena di dalamnya terdapat zikir.Alasan- alasan yang dikemukan oleh jumhur ulama tersebut disanggah oleh Syaukani. Ia menjawab alasan pertama mengerjakan belum berarti wajib. Alasan kedua bahwa Nabi menyuruh umatnya supaya melakukan shalat sebagaimana yang dilakukannya, maka yang diperintahkan untuk mencontohkannya adalah shalatnya bukan khutbahnya, sebab khutbah itu tidak termasuk kepada shalat. Syaukani juga menjawab alasan ketiga, bahwa zikir yang diperintahkan Allah untuk dihadiri adalah tidak lain Shalat. Bisa jadi pula bahwa yang dimaksudkan dengan zikir itu adalah shalat dan khutbah. Akan tetapi, shalat telah disepakati hukum wajibnya, sedangkan khutbah masih diperbantahkan, sehingga dengan demikian, ayat tersebut tidak mungkin menjadi dalil atas wajibnya khutbah. Selanjutnya Syaukani mengatakan bahwa pendapat yangbenar itu adalah apa yang dikemukakan oleh Hasan Bashri, Daud Zahiri, dan Juwaini bahwa hukum khutbah itu hanyalah sunnah. Dari penjabaran Sayukani tersebut , jelaslah terdapat perbedaan pendapat antara beberapa ulama tentang hukum khutbah Jumat.Sementara kalau ditelusuri hukum khutbah Jumat menurut Zhahiriyah (madzhab Zhahiri) tidak lah wajib, tapi melainkan sunnat. Ulama Zhahiriyah berbeda pendapat dari jumhur ulama mengenai firman Allah dalam surat al-Jumah ayat 9:

Artinya :Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui

Ibnu Hazm menafsirkannya ayat diatas dengan firman Allah surat al-Jumah ayat 11 :

Artinya:Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung

Maka menurut Ibnu Hazm dapat diyakini bahwasanya zikir yang diperintahkan adalah mengerjakan shalat dan berzikir pada Allah dalam shalat itu dengan takbir, tasbih, tahmid, membaca al-Quran, tasyahud, bukan selain itu (khutbah).Dari paparan di atas penulis melihat adanya khilafiah terkait hukum khutbah Jumat, selain itu berkemungkinan masih adanya keraguan bagi sebahagian masyarakat muslim terkait hukum Khutbah Jumat ini. Untuk itu penulis tertarik untuk membahas masalah ini dengan judul penelitian: Hukum Khutbah Jumat (Studi Komparatif Antara Jumhur Ulama dan Madzhab Zhahiri).

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah1. Perumusan MasalahUntuk mencapai sasaran dalam penulisan skripsi ini maka penulis merumuskan masalah ini adalah Mengapa terjadi perbedaan hukum Khutbah Jumat menurut Jumhur Ulama dan Madzhab Dzahiri?

2. Pembatasan Masalaha. Hukum Khutbah Jumat menurut Jumhur Ulamab. Hukum Khutbah Jumat menurut Mazhab Dzahiric. Analisis tentang hukum Khutbah Jumat

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian1. Tujuan Penelitiana. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan madzhab Zhahiri tentang hukum khutbah jumat.b. Untuk menelusuri pendapat mana yang lebih kuat tentang hukum Khutbah Jum

2. Kegunaan Penelitiana. Secara teoritis, agar terwujudnya kesimpulan hukum yang berkaitan dengan khutbah Jumat.b. Secara praktis penelitian ini untuk mewujudkan nilai tambah dalam keilmuan tentang hukum Islam, dan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada semua pembaca.

D. Penjelasan JudulAgar tidak terjadi salah pengertian dalam skripsi ini, maka penulis perlu menjelaskan beberapa istilah yang dianggap perlu sebagai berikut :Hukum : Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.Khutbah Jumat : Ceramah (pidato) yang berhubungan dengan masalah keagamaan yang disampaikan oleh khatib dan dilaksanakan sebelum melakukan shalat Jumat.Jumhur Ulama :Golongan mayoritas ulama, orang yang memiliki kualitas ilmu yang luas (mendalam) tentang pengetahuan agama Islam dan ilmu pengetahuan kealaman, yang mana dengan hal tersebut memiliki rasa taqwa, takut, dan tunduk kepada Allah SWT. Yang penulis maksud, jumhur ulama tersebut ialah golongan mayoritas ulama, yaitunya ulama Malikiyah, Hanafiyah, Syafiiyah, dan HanabilahMadzhab Zhahiri : Madzhab kelima setelah empat mazhab yang terkenal, mazhab ini didirikan oleh Dawud bin Khalaf al-Asfahani yang lebih dikenal dengan nama Daud az- BaruZhahiri.Yang penulis maksud dengan judul ini secara keseluruhan adalah studi perbandingan pendapat jumhur ulama dan ulama Zhahiri tentang hukum Khutbah Jumat.

E. Metode Penelitian1. Sumber DataSumber data dari penelitian ini terdiri dari sumber primer dan skunder. Sumber primer diambil karya-karya fiqih karangan ulama-ulama pengikut madzhab, Hanafi, Syafii, Maliki, Hanbali, Madzhab Dzahiri serta Sayyid Sabiq, Yusuf Qardhawi, juga buku-buku fiqh yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan madzhab-madzhab lainnya yang berlandasan pengembangan hukum Islam dan bekaitan dengan hukum khutbah Jumat.2. Metode Pengumpulan DataUntuk mendapatkan data-data yang akurat dalam penulisan skripsi ini penulis mengumpulkan data-data melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan menelusuri, menelaah dan menyimpulkan buku-buku yang berkaitan dengan masalah ini.Selanjutnya data primer dari kalangan jumhur ulama, yang mencakupi buku-buku dari ualama Syafiyah, Hanabilah, Malikiyah, dan juga Hanafiyah. Kemudian dari kalangan ualama Zahiriyah antara lain: al-Muhalla, dan al-Ihkam fil ushul al-Ahkam, yang dikarang oleh Ibnu Hazm. Disamping itu diperlukan juga data skunder yaitunya kitab atau buku buku lain yang ada kaitannya dengan permasalahan ini, seperti al-Fiqh Islam waadillathuh karangan Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhu Ala Madzahib al-Arbaah karangan Abdur Rahman al-Jazuri, dan juga buku-buku lain yang ada hubungannya dengan pembahasan ini.3. Metode Analisis DataSetelah memperoleh data melalui cara-cara di atas, dan untuk pembahasan selanjutnya penulis menggunakan metode analisa data sebagai berikut :a. Metode Induktif, yaitu metode pengetahuan yang berangkat dari data yang bersifat umum, lalu ditarik kesimpulannya yang bersifat khusus.b. Metode Deduktis, yaitu metode pengetahuan yang berangkat dari data yang bersifat khusus, lalu ditarik kesimpulannya yang bersifat umum.c. Metode Takhrij Hadits, yaitu meneliti kriteria masing-masing hadits yang dijadikan sebagai dalil oleh masing-masing ulama tersebut dari segi matan, sanad, dan juga perawi haditsnya.d. Komparatif, yaitu dengan membandingkan suatu pendapat dengan pendapat lainnya secara objektif dan memilih salah satu pendapat yang kuat.

F. Tinjauan KepustakaanDalam tinjauan perpustakaan, penulis menemukan sebuah karya ilmiah dari saudari Fitriati, Bp 396. 019 Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum yang membahas masalah khutbah Jumat yaitu dengan judul Kedudukan Berbahasa Arab dalam Khutbah Jumat (Studi Komperatif Anatara Hanafiyah dan Syafiiyah). Maksudnya ialah hukum Khutbah berbahasa Arab, dan juga bagaimana pula hukumnya berkhutbah kalau tidak memakai Bahasa Arab.Sedangkat judul yang penulis angkat ialah Hukum Khutbah Jumat (Studi Komparatif Antara Jumhur Ulama dan Ulama Zaahiriyah). Maksud dari judul tersebut ialah hukum menyelenggarakan khutbah Jumat menurut jumhul ulama dan madzhab Zhahiri. Rumusan masalahnya ialah untuk mencapai sasaran bagaimana hukum khutbah Jumat menurut Jumhur Ulama dan madzhab Zhahiri?, dan batasan masalahnya ialah hukum Khutbah Jumat menurut Jumhur Ulama, hukum khutbah Jumat menurut Mazhab Dzahiri , dan analisis tentang hukum khutbah Jumat.

BAB IIURGENSI KHUTBAH TERHADAP PELAKSANAANSHALAT JUMAT

A. Pengertian Khutbah JumatPengertian khutbah Jumat secara etimologis ialah dilihat dari kata khutbah Jumat terdiri dari dua kata yaitu khutbah dan Jumat. Kata khutbah merupakan mashdar dari - yang berarti berkhutbah, berpidato. Sementara lafadz Jumat adalah bentuk mashdar dari kata , yang berarti berkumpul dan juga diartikan hari Jumat. Jadi secara umum lafadz khutbah Jumat mengandung arti berkhutbah, berpidato pada pelaksanaan shalat Jumat atau nasehat yang disampaikan pada hari Jumat di tengah jamaah pada sebuah masjid dan pelaksanaannya sebelum melakukan ibadah shalat Jumat.Selanjutnya pengertian Khutbah Jumat secara terminologis ialah, antara lain :

1.

Khutbah Jumat adalah namayang biasa disebut oleh orang Islam yang kedua khutbah tersebut disampaikan oleh imam sebelum shalat Jumat

2. Khutbah mempunyai arti yaitu memberi nasihat,. Dan ada sebagian fuqaha berpendapat bahwa khutbah Jumat adalah dalam rangka memberikan nasehat sebagaimana nasehat-nasehat yang diberikan kepada para jamaah Jumat. Khutbah Jumat juga merupakan salah satu media yang strategis untuk dakwah Islam, karena ia bersifat rutin dan wajib dihadiri oleh kaum muslimin secara berjamaah.3. Abu Ahmadi dan Abdullah, mendefenisikan khutbah Jumat ialah khutbah yang dilakukan atau diucapkan pada shalat Jumat, dan dilaksanakan sebelum menunaikan shalat Jumat.4. Menurut M. Abdul Mujieb, khutbah Jumat ialah pidato, ceramah atau perkataan yang mengandung mauizah dan tuntunan ibadah , diucapkan oleh khatib dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan, dan juga khutbah Jumat diartikan dalam rangka menasehati sebagaimana di dalam khutbah-khutbah selain Jumat .5. Didalam Kamus Istilah Agama yang dikarang oleh Drs. Shodiq dan Shalahuddin Chaery, khutbah Jumat diartikan : pidato, ceramah yang dilakukan sebelum shalat Jumat dengan memenuhi syarat dan rukunnya. Mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW, membaca dua kalimat syahadat, berwasiat dengan taqwa, memberikan nasehat-nasehat, membaca ayat al-Quran pada salah satu dua khutbah, mendoakan sekalian umat Islam, dilakukan setelah tergelincirnya matahari, juga dilakukan dengan berdiri bagi yang kuasa, dengan suara fasih dan lantang, menghadap kepada jamaah, dan khatib dalam keadaan suci dari hadas dan najis, tertib (khutbah dilakukan dengan berturut-turut sesuai dengan syarat dan rukunnya.Dari beberapa defenisi di atas dapat dipahami dan disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan khutbah Jumat ialah pidato atau ceramah yang dilakuan sebelum melaksanakan shalat Jumat dengan memenuhi syarat dan rukunnya yang mengandung tuntunan ibadah dengan cara yang telah ditentukan oleh al-Quran dan sunnah yang bertujuan untuk memberikan nasehat, pengertian, dan peringatan serta himbauan untuk menuju kebaikan kepada jamaah yang hadir ketika shalat Jumat tersebut.

B. Tata Cara Pelaksanaan Khutbah JumatSebuah ibadah dikatakan sah apabila telah dipenuhi rukun dan syaratnya, oleh karena itu supaya khutbah yang disampaikan dalam pelaksanaan shalat Jumat menjadi sah maka kita harus mengetahui syarat dan rukun khutbah1. Rukun KhutbahDalam hal ini terjadi perbedaan pendapat para ulama, yaitunya :a. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa khutbah itu mempunyai satu rukun, yaitunya harus berupa bacaan zikir baik sedikit atau banyak. Maka untuk memenuhi ketentuan khutbah yang difardhukan cukup dengan tahmid, sekali tasbih, dan sekali tahlil.b. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa rukun khutbah itu ada lima, yaitu :1) Memuji Allah, pujian tersebut disyaratkan berupa bacaan pujian dan hendaknya pujian itu mencakup lafadz jalalah (Allah). Rukun ini harus dilakukan dalam masing-masing khutbah pertama dan kedua.2) Membaca shalawat atas Nabi SAW pada masing-masing dari kedua khutbah.3) Berwasiat (berpesan) agar supaya bertaqwa (kepada Allah) dalam masing-masing kedua khutbah.4) Membaca satu ayat dari al-Quran dalam salah satu dari kedua khutbah. Membacanya pada khutbah pertama lebih utama. Dan disyaratkan hendaknya ayat tersebut sempurna atau sebagian dari ayat yang panjang dan hendaknya dipahami maknanya.5) Berdoa untuk orang mukmin dan mukminat, khususnya dalam kedua khutbah tersebut.c. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khutbah itu mempunyai satu rukun, yaitunya khutbah mencakup kabar gembira dan kabar menakutkan. Dan dalam kedua khutbah itu tidak disyaratkan mengguanakan kalimat bersajak, jika khatib mengguanakan kalimat-kalimat puisi dalam khutbah, maka yang demikian sah. Dan disunnahkan mengulangi khutbah bila tidak membaca shalawat.d. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa rukun kedua khutbah itu ada empat, yaitu :1) Memuji Allah SWT pada awal masing-masing kedua khutbah dengan lafadz Alhamdulillah.2) Membaca shalawat kepada Rasulullah SAW dan harus dengan mengguanakan lafadz shalawat.3) Membaca satu ayat al-Quran, dan ayat tersebut harus utuh dalam makna dan hukumnya.4) Berwasiat (berpesan) agar bertaqwa kepada Allah SWT sedikitnya dengan mengucapkan ittaqullah dan lain sebagainya.

2. Syarat-syarat Khutbah JumatSementara mengenai syarat-syarat khutbah Jumat juga terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh, yaitunya :a. Pendapat Ulama Hanafi berpendapat bahwa syarat sah khutbah ada enam, yaitunya :1) Khutbah itu dilakukan sebelum shalat2) Khutbah dilakukan dengan niat untuk berkhutbah3) Khutbah dilakukan pada waktunya4) Setidaknya khutbah dihadiri oleh satu orang5) Hendaknya antara khutbah dengan shalat tidak terdapat pemisah diluar kepentingan ibadah6) Hendaklah khatib mengeraskan suaranya ketika khutbah, sehingga dapat didengar oleh jamaah yang hadirb. Menurut Pendapat Ulama Malikiyah berpendapat untuk sahnya kedua khutbah ada Sembilan syarat :1) Kedua khutbah dilakukan sebelum shalat2) Shalat Jumat itu bersambung dengan kedua khutbahnya3) Hendaknya bagian-bagian dari kedua khutbah itu bersambung antara satu sama lain4) Kedua khutbah itu disampaikan dengan bahasa Arab5) Khatib mengeraskan suara dalam kedua khutbah6) Kedua khutbah dilakukan dalam Masjid7) Kedua khutbah dapat dikategorikan khutbah oleh orang Arab8) Kedua khutbah dihadiri oleh jamaah yang telah sah shalat Jumat, sekurangnya 12 orang laki-laki sekalipun mereka tidak mendengarkan khutbah tersebut.Hadits Nabi : ( )

Dari Jabir R.A Bahwa pernah sewaktu Nabi SAW sedang khubah dalam keadaan berdiri, maka datanglah kafilah onta dari Syam, lalu orang-orang keluar menyonsongnya, sehingga tidak ada yang tinggal kecuali dua belas orang. (HR. Muslim)

Hadits di atas mengisyaratkan bahwa seorang khatib itu berkhutbah dalam keadaan berdiri. Dan juga untuk melaksanakan Jumat itu setidaknya 12 orang sudah bisa untuk memenuhi syarat melaksanakan Jumat.c. Ulama Syafiiyah, mereka berpendapat bahwa syarat sah khutbah terdiri dari 15, yaitunya :1) Khutbah dilaksanakan sebelum shalat2) Khutbah dilaksanakan pada waktunya3) Tidak melakukan perbuatan yang menyimpang saat khutbah4) Khutbah disampaikan dengan bahasa Arab5) Menyegerakan antara dua khutbah dengan shalat6) Hendaklah khatib suci dari hadas dan najis yang tidak bias dimaafkan7) Khatib harus menutup aurat dalam kedua khutbah8) Hendaklah berkhutbah berdiri jika mampu, kalau tidak mampu, maka boleh berkhutbah sambil duduk

Hadits Nabi : . ( )

Dari Jabir R.A, bahwasanya Nabi SAW biasanya berkhutbah dalam keadaan berdiri, kemudian beliau duduk, kemudian berdiri, lalu beliau berdiri dalam keadaan berdiri. Maka siapa-siapa yang memberitahukan engkau bahwa beliau pernah berkhutbah dalam keadaan duduk, maka sungguh dia sudah berdusta. (H.R. Muslim)

9) Hendaklah duduk di antara dua khutbah sebatas lamanya mutmainnah10) Hendaklah mengeraskan bacaan rukun kedua khutbah, sehingga dapat didengar oleh jamaah yang empat puluh orang, yaitu mereka yang dapat mengesahkan shalat.11) Hendaklah jamaah yang empat puluh tersebut bias mendengar sekalipun dengan usaha keras.12) Kedua khutbah dilaksanakan di tempat yang sah untuk melaksanakan shalat Jumat13) Khatib hendaknya seorang laki-laki14) Keimaman khatib tersebut sah bagi jamaah Jumat15) Hendaknya khatib meyakini yang rukun itu sebagai rukun, dan yang sunat sebagai sunat bila ia termasuk ahli ilmu.d. Ulama Hanabilah, mereka berpendapat bahwa syarat sahnya khutbah Jumat ada 10, yaitu :1) Khutbah dilakukan pada waktunya2) Khatib adalah orang yang telah diwajibkan shalat Jumat3) Hendaknya khutbah mengandung pujian kepada Allah SWT4) Khutbah disampaikan dengan bahasa Arab5) Masing-masing dari kedua khutbah itu mengandung wasiat (pesan) untuk bertaqwa kepada Allah SWT6) Membaca shalawat atas Rasulullah SAW7) Membaca satu ayat al-Quran secara sempurna pada masing-masing dari kedua khutbah.8) Menyegerakan antara bagian-bagian kedua khutbah tersebut, dan antara kedua khutbah dengan shalat9) Hendaknya khatib berkhutbah diawali dengan niat10) Mengeraskan rukun-rukun kedua khutbah itu sehingga dapat didengar oleh jamaah.

3. Sunnat-sunnat Khutbah Jumat

a. Syafiiah, Mereka berpendapat bahwa sunnat-sunnat Khutbah Jumat itu sebagai berikut :1) Menertibkan rukun-rukun khutbah2) Menambah ucapan salam atas Nabi SAW setelah mengucapkan shalawat kepadanya.3) Mengucapkan shalawat dan salam untuk keuarga dan sahabat-sahabat Nabi.4) Tidak berbicara ketika khutbah bagi orang yang dapat mendengarnya dengan tidak berbicara. Sedangkan bagi yang tidak dapat mendengarnya, disunnatkan untuk berdzikir. Dzikir yang paling utama adalah membaca surat al-Kahfi, kemudian membaca shalawat atas Nabi SAW.5) Khutbah tersebut disampaikan diatas mimbar. Jika mimbar itu tidak ada, maka hendaknya disampaikan diatas tempat yang lebih tinggi dari dataran (tempat duduknya) orang-orang (jamaah).6) Mimbar itu berada di sebelah kanan yang berhadapan dengan mihrab.7) Hendaknya khatib mengucapkan salam kepada orang-orang yang ada disisi mimbar sebelum naik ke atas mimbar ia keluar dari tempat pengasingan yang disediakan untuknya. Jika ia masuk dari pintu masjid, maka hendaknya mengucapkan salam kepada setiap orang yang dilaluinya seperti juga kepada lainnya.8) Menatap wajah jamaah bila ia telah naik ke atas mimbar.9) Duduk diatas mimbar sebelum khutbah pertama.10) Sebelum duduk hendaknya ia mengucapkan salam kepada jamaah, sedangkan hukum menjawab salam bagi jamaah pada setiap kali mengucapkan salam adalah wajib.11) Ada orang yang mengumandangkan azan diahadapan khatib, bukan dihadapan jamaah. Jika bukan dihadapan khatib, maka hukumnya makruh. Sedangkan adzan yang dikumandangkan sebelumnya diatas menara hukumnya sunnat jika berkumpulnya orang-orang untuk mendengarkan khutbah itu bergantung kepada azan tersebut.12) Khutbah itu disampaikan secara fasih dan dekat kepada pemahaman orang-orang secara umum, dan disunatkan sedang (tidak panjang dan tidak pula pendek).13) Hendaknya khutbah itu lebih pendek dari shalat Jumat.14) Hendaknya khatib tidak menoleh ketika berkhutbah, melainkan tetap menghadap kepada jamaah.15) Hendaknya tangan kirinya memegang pedang sekalipun terbuat dari dari kayu, atau tongkat dan sebaginya. Sedangkan tangan kanannya memegang tepi mimbar.b. Hanabilah, mereka berpendapat bahwa sunnat-sunnat khutbah itu adalah :1) Hendaklah khatib berkhutbah diatas mimbar atau ditempat yang tinggi.2) Mmengucapkan salam kepada para makmum ketika khatib tampail di tengah tengah mereka, begitu juga mengucapkan salam setelah naik ke atas mimbar dan menatap mereka dengan wajahnya.3) Hendaklah khatib duduk (setelah mengucapkan salam) hingga muadzin mengumandangkan adzan dihadapannya.4) Duduk sejenak antara dua khutbah sebatas lama membaca surat al-Ikhlas.5) Hendaklah berkhutbah dengan berdiri.6) Hendaklah berpegang pada pedang atau busur atau tongkat.7) Menghadap ke depan, dan tidak perlu menoleh kekiri dan ke kanan.8) Memendekkan kedua khutbah.9) Khutbah pertama hendaknya lebih panjang dari pada khutbah kedua.10) Mengeraskan suara ketika berkhutbah.11) Berdoa untuk kaum muslimin dan dobolehkan juga mendoakan orang tertentu, seperti penguasa, anaknya, ayahnya atau yang lainnya.12) Berkhutbah dengan menggunakan teks.

c. Malikiyah, mereka berpendapat ialah :1) Sebelum khutbah pertama, hendaklah duduk sehingga muadzin selesai mengumandangkan adzannya.2) Duduk sejenak antara dua khutbah. Sebahagian mereka menentukan batas lamanya dengan membaca surat al-Ikhlas.3) Khutbah tersebut disampaikan diatas mimbar. Yang paling utama hendaknya ia tidak naik ke undak yang tertinggi, melainkan cukup naik sekiranya jamaah dapat mendengarkan khutbahnya.4) Mengucapkan salam kepada jamaah ketika khatib keluar untuk berkhutbah.5) Hendaklah ia berpegang pada tongkat atau lainnya ketika menyampaikan kedua khutbahnya.6) Memulai masing-masing dari kedua khutbah itu dengan memuji Allah SWT.7) Setelah memuji Allah hendaklah ia memulai kedua khutbahnya dengan membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW.8) Menutup khutbah pertama dengan membaca sebagian dari ayat al-Quran.9) Menutup khutbah kedua dengan membaca (yaghfirullahu lanaa walakum) Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa kami dan kamu sekalian atau kalimat udzkurullaha yazdkurkum ingatlah kepada Allah, niscaya dia akan ingat kepadamu.10) Hendaklah kedua khutbah itu mengandung ajakan untuk bertaqwa dan berdoa untuk kaum Muslimin.11) Mendoakan para sahabat agar memperoleh ridha Allah.12) Mendoakan penguasa agar memperoleh pertolongan dalam menghadapi musuh-musuh dan berdoa untuk kemuliaan Islam.13) Disunnatkan agar khatib tetap dalam keadaan suci ketika menyampaikan kedua khutbahnya.14) Berdoa dalam kedua khutbah agar dilimpahkan nikmat, selamat dari siksa, memperoleh pertolongan dalam menghadapi musuh-musuh, dan disembuhkan dari penyakit. Dan boleh juga berdoa untuk penguasa agar berlaku adil dan baik.15) Hendaknya khatib mengeraskan suaranya ketika berkhutbah sehingga dapat didengar oleh jamaah.16) Hendaknya pada khutbah kedua tidak sekeras khutbah pertama.17) Khutbah kedua lebih pendek dari yang pertama.18) Hendaknya khatib menyederhanakan kedua khutbahnya.

d. Hanafiyah, mereka berpendapat ialah :1) Khatib hendaknya suci dari hadas besar dan kecil, jika tidak maka khutbahnya tetap sah, tapi makruh.2) Disunnatkan mengulang khutbahnya bagi yang junub bila jarak waktunya belum berlansung lama.3) Duduk diatas mimbar sebelum memulai khutbah.4) Berkhutbah dengan berdiri, jika sambil duduk atau berbaring, maka yang demikian itu tetap sah tapi makruh.5) Berpegang pada pedang sambil bersandar kepadanya dengan tangan kirinya untuk negeri yang ditaklukkan dengan cara kekerasan. Tapi bagi negeri yang ditaukkan dengan cara damai, maka khatib tidak perlu menggunakan pedang ketika berkhutbah.6) Menghadap pada jamaah, maka khatib tidak perlu menoleh ke kanan dan ke kiri.7) Berkhutbah dua kali, salah satunya sunnat, dan satunya lagi merupakan syarat sah shalat Jumat.8) Duduk diantara dua khutbah sebatas lama membaca tiga ayat, menurut madzhab ini jika khatib tidak duduk maka tidak baik.9) Memulai khutbahnya dengan taawwuds (membacanya tidak dikeraskan), kemudian mengeraskan pujian kepada Allah dengan pujian yang layak.10) Mengeraskan bacaan kedua syahadat.11) Membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW.12) Memberi nasehat agar supaya mencegah perbuatan maksiat.13) Menakut-nakuti serta memperingatkan untuk menghindari apa-apa yang dapat menyebabkan kebencian Allah dan siksaannya.14) Member peringatan dengan apa-apa yang yang dapat memberikan keselamatan dunia dan akhirat.15) Memulai khutbah yang kedua dengan memuji Allah serta membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW.16) Pada khutbah yang kedua hendaknya khatib berdoa untuk orang-orang mukmin serta memohon ampun baginya mereka. Sedangkan berdoa untuk raja dan penguasa agar memperoleh pertolongan, kekuatan, dan taufiq yang membawa kemaslahatan bagi rakyat dan lain sebgainya, maka yang demikian itu hukumnya mandub, karena Abu Musa al-Asyari pernah mendoakan Umar dalam khutbahnya dan ternyata tak seorangpun dari sahabat Nabi yang menyalahkannya.17) Duduk di bagian tapi tempat khawatnya, dan makruh mengucapkan salam kepada jamaah.18) Melaksanakan shalat (sunnat) didalam mihrab sebelum berkhutbah.19) Dalam kedua khutbah itu tidak berbicara selain perintah untuk melakukan kebaikan dan larangan untuk melakukan kemungkaran.

C. Hukum Khutbah JumatMenurut jumhur Ulama hukum khutbah Jumat adalah wajib, adapun alasannya jumhur Ulama tersebut ialah, sebagai mana yang dijelaskan Sayyid Sabiq dalam buku fiqhussunnah : : ( )). : ( )

Jumhur ulama berpendapat bahwa khutbah Jumat itu adalah wajib. Mereka berpegang kepada hadits-hadits shahih yang menyatakan bahwa setiap kali Nabi SAW mengerjakan shalat Jumat maka selalu disertai dengan khutbah. Merekapun mengambil alasan kepada sabda Nabi SAW : Shlatlah kamu sebagaimana aku shalat Dan firman Allah azza wajalla : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah, ini perintah untuk melaksanakan untuk berzikir wajib, karena bahwasanya tidak wajib mengerjakannya kecuali wajib dan para ulama menafsirkannya (dzikrillah) dengan khutbah karena merupakan karena masuk kedalam jumat.

Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk pergi berzikir, hingga demikian zikir itu hukumnya wajib. Sekiranya pergi itu tidak wajib maka zikir tidak juga wajib. Dan maksud zikir disini sebagaimana yang mereka tafsirkan adalah khutbah, karena didalam khutbah tersebut terdapat zikir.Sementara itu dari kalangan ulama Zhahiriyah berpendepat bahwa hukum menyelenggarakan khutbah Jumat itu bukanlah wajib, melainkan sunnat. alasan Ulama Zhahiriyah ialah bahwa tidak adanya dalil atau hujjah yang menyerukan untuk melaksanakan khutbah, hanya yang ada dalil seputar pelaksanaan khutbah Jumat, bukan yang mewajibkan khutbah Jumat. Selanjutnya mengenai firman Allah (apabila telah diserukan shalat di hari Jumat maka bersegeralah kepada mengingat Allah. Ibnu Hazm menafsirkannya dengan firman Allah dan apabila telah selesai melaksanakan shalat maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah dari karunia Allah dan berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya), maka menurut Ibnu Hazm dapat diyakini bahwasanya zikir yang diperintahkan adalah mengerjakan shalat dan berzikir pada Allah dalam shalat itu dengan takbir, tasbih, tahmid, membaca al-Quran, tasyahud, bukan selain itu (khutbah).Selain itu, menurut Ibn Hazm jika jumhur ulama berkata rasulullah tidak pernah meninggalkan khutbah pada shalat Jumat. Menurut Ibn Hazm: Rasulullah senantiasa shalat Jumat pada kedua khutbah, beliau dalam keadaan berdiri dan duduk diantara dua khutbah. Rasulullah ketika shalat mengangkat kedua tangannya pada takbir pertama, maka batal shalat dengan meninggalkan itu artinya batal shalat jika tidak demikian, bukan batalnya shalat meninggalkan khutbah.Selanjutnya mengenai hujjah yang digunakan oleh sebahagian ulama yaitunya surat al-Jumuah ayat 11 Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Menurut Ibn Hazm hujjah tersebut menunjukkan wajibnya berdiri waktu khutbah, bukan wajibnya khutbah.D. Hikmah Khutbah JumatShalat Jumat didahului oleh dua khutbah. Tugas pokok khatib dalam khutbahnya adalah menjelaskan kepada kaum muslimin tentang pokok-pokok iman. Dengan ayat-ayat Allah khatib menjelaskan kepada kaum muslimin agar mengingat dan mensyukuri nikmat Allah, maka Allah akan mencintai hambanya. Dari petuah-petuah khatib tersebut diharapkan mampu menebalkan keyakinan tauhid para jamaah yang mendengarkannya, sehingga mereka semakin mencintai Allah dan demikian pula Allah mencintai mereka.Sebaiknya lama khutbah sedang-sedang saja, khutbah terlalu panjang akan berakibat membosankan dan kosong dari apa yang hendak disimpulkan. Sebaiknya khutbah yang terlalu singkat bisa jadi tidak mampu mengungkapkan apa yang akan diutarakan. Setiap orang yang sadar tentu mengetahui dan megakui bahwa tujuan utama khutbah adalah memberi nasehat dan bukan bacaan Alhamdulillah atau Shalawat Nabi. Memang adalah suatu hal yang lazim bagi bangsga Arab, bila hendak mengucapkan pidato, selalu dimulai dengan pujian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hal ini memang baik dan terpuji, tapi ini bukanlah sebagai tujuan, karena sebenarnya yang dituju adalah uraian sesudahnya.Selain itu bahan atau topik untuk berkhutbah bagi seorang khatib hendaklah dipilih yang bias untuk membangun keimanan bagi jamaah yang mendengarnya, sehingga mereka terasa dibimbing kepada agama Allah, bukan menimbulkan sakit hati terhadap yang lain.Oleh karena itu, hikmah khutbah dimaksudkan sebagai nasehat, peringatan dan ancaman, maka langkah baiknya apabila isi khutbah dapat menjadi obat bagi penyakit-penyakit atau persoalan-persoalan kehidupan masyarakat. Sebagaimana hadits Rasullah SAW : ( )

Dari Amar bi Yasir R.A berkata aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khutbah menunjukkan kefaqihannya, maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah. Ketahuilah bahwa khutbah tersebut dimaksudkan untuk menyihir (membuat orang terkesima dan membawa pengaruh bagi yang mendengarkannya. (H.R Muslim)

Hadis di atas menerangkan bahwa khutbah yang pendek dan shalat yang panjang itu sebagai tanda pengertian seseorang dalam agama, sebab karena seseorang yang mengerti dapat memilih uraian yang padat dan ber nash serta tidak melantur, sehingga khutbahnya tersebut bisa dipahamai dan dimengerti oleh jamah Jumat.Selanjutnya terkait batas minimal khutbah Jumat, Ibnu Qasim menyebutkan bahwa ukuran minimal khutbah Jumat ialah mnurut kebiasaan orang arab, yakni pembicaraan yang tersusun dan dimulai dengan bacaan hamdalah. Sementara menurut pendapat ulama Syafiiyah ukuran minimal khutbah Jumat tersebut yaitunya dua khutbah yang keduanya dilakukan dengan berdiri, keduanya dipisah dengan duduk sesaat, khatib membaca hamdalah pada setiap permulaan khutbah, membaca shalawat untuk Nabi SAW, berwasiat dengan taqwa, membaca ayat al-Quran pada khutbah pertama dan membaca doa pada khutbah kedua. Kelompok yang mengatakan bahwa ukuran minimal khutbah adalah sesuai dengan batas minimal secara bahasa tidak mensyaratkan adanya sabda Rasulullah SAW yang dinukilkan dari beliau. Adapun yang berpendapat bahwa batas minimal khutbah sesuai dengan ketentuan syariat, mereka mensyaratkan dasar-dasar perkataan yang dikutip dari khutbah Rasulullah SAW.Khutbah itu dapat membangunkan (menyadarkan hati) orang-orang yang tertutup selama ini untuk beribadah. Pembicaraan yang menyentuh hati yang mendorongnya berfikir akan bangun, karena dalam khutbah tersebut banyak mengandung kegunaan dan petunjuk dan pemberian pengertian yang banyak.Dalam hadits terkandung dalil yang menunjukkan keharusan membaca suatu ayat al-Quran dalam khutbah Jumat. Akan tetapi para ulama sepakat tidak membaca surat tersebut, seluruhnya atau sebahagian dalam khutbah, karena berdasarkan pilihan beliau bahwa dalam surat itu terkandung nasehat yang paling baik dan peringatan yang baik. Dan dalam hadits tersebut juga terkandung dalil yang menunjukkan perlunya berulang-ulangnya nasehat dan wejangan dalam khutbah.Sewaktu imam sedang khutbah itu termasuk amar maruf, bahwa perintah untuk mendengarkan bacaan al-Quran juga perintah agama. Supaya dapat mengambil hikmah dari khutbah tersebut, sebaiknya para jamaah yang hadir memperhatikan apa yang disampaikan khatib dalam khutbahnya.Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hikmah khutbah Jumat antara lain:1. Dapat menebalkan keyakinan tauhid para jamaah yang mendengarkannya, sehingga mereka semakin mencintai Allah dan semakin kuat beribadah.2. Dengan adanya kabar gembira dan pertakut, sehingga umat manusia leih berhati-hati dalam menjalankan segala pekerjaan yang dilakukannya.3. Memberikan nasehat kepada manusia, khususnya bagi jamaah yang hadir.4. Memberikan peringatan dan ancaman5. Agar menjadi obat atau penawar hati bagi jamaah dalam menghadapi persoalan yang ada pada masyarakat.6. Supaya manusia sadar dari perbuatan yang sering dilakukan, dan untuk mana yang akan datang tidak terulangi lagi.

BAB IIIPERBEDAAN PENDAPAT JUMHUR ULAMADENGAN ZHAHIRIYAH TENTANGHUKUM KHUTBAH JUMAT

A. Metode Istinbath Hukum Jumhur UlamaPada bab sebelumnya sudah diterangkan bahwa jumhur ulama tersebut ialah golongan mayoritas ulama, yaitunya ulama Malikiyah, Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. Menurut jumhur ulama hukum khutbah Jumat adalah wajib, tidak sah shalat Jumat tanpa didahului oleh dua khutbah. Memang secara jelas tidak adanya dalil dalam al-Quran dan Hadits tentang anjuran melaksanakan khutbah Jumat tersebut, tapi Nabi SAW setiap kali melaksanakan ibadah Jumat selalu didahului oleh dua khutbah. Itulah salah satu hujjah yang digunakan oleh Jumhur Ulama sebagai alasan untuk mewajibkan khutbah. Dan hujjah tersebut juga dikuatkan oleh firman Allah dalam surat al-Jumah ayat 9 ( ) yang ditafsirkan sebagai khutbah Jumat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa ulama fiqih, yaitunya :B. Hukum Khutbah Jumat Menurut Jumhur Ulama

1. Hukum Khutbah Jumat Menurut MalikiyahAdapun menurut ulama Malikiyah hukum khutbah Jumat adalah wajib, sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Kawakibi dalam kitab Al-Fawakihud Dawani : : ) ( : : ( )

Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jumat ialah (apabila telah sdiserukan untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah untuk mengingat Allah). Berkata al-Qarafi amar disini dengan makna wajib atas pendapat para ulama, walaupun ada ulama yang berbeda pendapat bahwa shalat Jumat merupakan fardhu kifayah, maka ayat ini juga sebagai dalil atas wajibnya khutbah, yaitunya ( ).

Berdasarkan keterangan diatas dapatlah dipahami bahwa hukum khutbah Jumat menurut ulama Malikiyah adalah wajib. Adapun yang menjadi dalil (alasan) oleh ulama Malikiyah ialah pemahaman mereka terhadap surat al-Jumat ayat 9 sebagai berikut :

Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Dalam memahami ayat diatas, Malikiyah menjadikan dalil dalam menetapkan hukum khutbah Jumat adalah kalimat menurut malikiyah zikrillah merupakan khutbah. Jadi himbauan bersegera menuju mengingat Allah pada ayat diatas diartikan sebagai bersegera untuk melakukan khutbah dalam shalat Jumat.2. Hukum Khutbah Jumat Menurut HanafiyahMenurut ulama Hanafiyah hukum khutbah Jumat adalah wajib, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syamsudin al-Syarkhsy, dalam kitab al-Mabsuth juz 2 halaman 21: " " " " : : " " :

Khutbah merupakan syarat dari shalat Jumat, dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar dan Aisyah R.ASesungguhnya dipendekkan shalat Jumat untuk menempati khutbah,dan sesuai dengan firman Allah : ( ) maksudnya ialah Khutbah, dan suruhan untuk menyegerakannya sebagai dalil wajibnya khutbah, karena Nabi SAW melaksankan shalat Jumat selalu dengan berkhutbah, jikalau boleh shalat Jumat tanpa Khutbah untuk menjadikan hukum bolehnya.

Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa hukum khutbah Jumat menurut ulama Hanafiyah adalah wajib. Adapun yang menjadi dalil oleh Hanafiyah dalam mendukung pendapatnya adalah hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Aisyah R.A :

Sesungguhnya di pendekkan shalat Jumat untuk menempati khutbah

Selanjutnya dalil yang digunakan Hanafiyah yaitu pemahaman kalimat dalam surat al-Jumah ayat 9 diartikan sebagai khutbah.3. Hukum Khutbah Jumat Menurut SyafiiyahMenurut ulama Syafiiyah hukum menyelenggarakan khutbah Jumat adalah wajib, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Inatut Thalibin :( ) . : .

(Hai orang-orang yang beriman apabila diserukan kepadamu shalat di hari Jumat, maka bersegeralah kepada mengingat Allah, dan tinggalkannlah jual beli) cara pengambilan dalil bahwasanya yang dimaksud dengan dzikir ialah shalat secara majaz, ada juga yang mengatakan khutbah, maka suruhan untuk mengerjakannya khutbah tersebut, dan jelas khutbah tersebut wajib, dan apabila wajib menyegerakannya dan wajib pula sesuatu yang disegerakan kepadanyat.

Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa hukum khutbah Jumat menurut ulama Syafiiyah tidaklah wajib. Karena menurut Syafiiyah kata dalam surat al-Jumah ayat 9, kata zikir dari ayat tersebut diartikan sebagai shalat secara majazi, dan juga bisa dimaknai dengan khutbah, oleh sebab itu Syafiiyah tidak secara tegas memaknainya sebagai khutbah, akan tetapi dimaknai sebagai shalat.Selanjutnya menurut pendapat Syaukani dari kalangan Syafiiyah mengatakan bahwa hukum khutbah Jumat tidaklah wajib sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama, menurt Syaukani khutbah tersebut adalah sunnat, karena ayat alquran tidak bias diartika sebagai khutbah, sebaga mana yang dijelaskan dalam buku Fiqhus Snnah: , , , , . :

Alasan Jumhur ulama dibantah oleh Syaukani, ia menjawab alasan pertama adalah bahwa semata-mata mengerjakan belum berarti wajib. Alasan kedua bahwa Nabi menyuruh umatnya untuk melakukan shlat sebagaimana ia shalat, maka yang diperintahkan untuk dicontoh itu hanyalah shalatnya, bukan khutbahnya, sebab khutbah itu tidak termasuk shalat. Syaukani juga menajawab alasan ketiga bahwa zikir yang diperintahkan Allah untuk dihadiri adalah shalat, bias jadi yang dimaksud dengan zikir itu adalah shalat dan khutbah. Akan tetatpi shalat telah dispekati hukum wajibnya, sedangkan khutbah masih diperbantahkan, sehingga dengan demikian ayat tersebut tidak mungkin menjadi dalil atas wajibnya khutbah. Selanjutnya kata Syaukani, pendapat yang benar ialah apa yang dikemukakan oleh Hasan Bashri, Dawud Zhahiri, Juwaini bahwa hukum khutbah Jumat hanyalah sunnat. Demikian pula pendapat Abdul Malik bin Habib dan Ibnu Majisyun dari kalangan Malikiyah.

Dari keterangan diatas dapatlah dipahami bahwa menurut Syaukani hukum khutbah Jumat tidaklah wajib, alasan yang dikemukakan Syaukani ialah hadits nabi yang mengatakan bahwa shalatlah kamu sebagai mana aku shalat yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama tidak bisa dijadikan dalil wajib khutbah, karena yang diperintahkan shlatnya bukan khutbah.Selanjutnya, zikir yang diperintahkan Allah untuk dihadiri adalah shalat, bias jadi yang dimaksud dengan zikir itu adalah shalat dan khutbah. Akan tetatpi shalat telah dispekati hukum wajibnya, sedangkan khutbah masih diperbantahkan, sehingga dengan demikian ayat tersebut tidak mungkin menjadi dalil atas wajibnya khutbah.Selanjutnya dari keterangan diatas juga dijelaskan bahwa ada beberapa ulama yang menyatakan bahwa hukum khutbah jumat adalah sunnat (tidak wajib), ialah Hasan Bashri, Dawud Zhahiri, Juwaini bahwa hukum khutbah Jumat hanyalah sunnat. Demikian pula pendapat Abdul Malik bin Habib dan Ibnu Majisyun dari kalangan Malikiyah

4. Hukum Khutbah Jumat Menurut HanabilahMenurut ulama Hanabilah hukum khutbah Jumat juga wajib, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah, al-Mughny juz 2 : : ( ) : ( ) : :

Dan bagi kami firman Allah taala ( ) merupakan dzikir ialah Khutbah, karena Nabi SAW tidak pernah meninggalkan Khutbah dalam melaksankan shalat Jumat dalam keadaan apapun, sabda Nabi : (Shalatlah kamu sebagaiaman aku shalat) dan dari Umar R.A, Nabi berkata : (pendekknya shalat Jumat karena untuk tempat Khutbah), dan Aisyah berkata seperti ini juga, dan berkata Sid bin Jabir : adalah shalat Jumat itu empat rakaat, maka dijadikan Khutbah untuk dua rakaat.

Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa hukum khutbah Jumat menurut ulama Hanabilah adalah wajib. Adapun yang menjadi dalil oleh Hanabilah dalam mendukung pendapatnya adalah kalimat dalam surat al-Jumah ayat 9, yang mana kata zikir pada ayat tersebut diartikan sebagai khutbah. Selanjutnya ulama Hanabilah juga menggunakan beberapa hadits Nabi SAW untuk menjadikan khutbah Jumat itu wajib, yaitunya (Shalatlah kamu sebagaiaman aku shalat) dan dari Umar R.A, Nabi berkata : (pendeknya shalat Jumat karena untuk menempati Khutbah), dan Aisyah berkata seperti ini juga, dan berkata Sid bin Jabir : adalah shalat Jumat itu empat rakaat, maka dijadikan Khutbah untuk dua rakaat.

C. Hukum Khutbah Jumat Menurut Madzhab Zhahiri1. Gambaran Umum Madzhab Zhahiria. Biografi Pendiri Madzhab ZhahiriMadzhab adalah suatu madzhab yang metetapkan hukum Islam berdasarkan nash zahir saja, tidak memberikan tawil atau tafsir terhadap nash, baik al-Quran maupun Sunnah Rasul. Mereka menafsirkan ayat al-Quran atau hadits dengan menggunakan ayat al-Quran atau Hadits yang lain.Pendiri madzhab ini ialah Daud ibnu Ali al-Ashfahany yang dilahirkan pada tahun 202 H di Kuffah, dan beliau wafaty pada tahun 270 H di Bagdad. Imam Daud al-Zhahiry tinggal di Bagdad dan ia berasal dari kalangan penduduk Qasyam, yaitu sebuah negeri di Ashafahan, tetapi ia dilahirkan di Kufah dan dibesarkan di Bagdad. Ayahnya adalah seorang panitera Qadhi Abdullah ibn Khalid al-Kufy yang bertugas di Ashafan pada masa khalifa al-Makmun (khalifah ke tujuh Bani Abbasiyah).Imam Daud al-Zhahiry diberi kunyah dengan Abu Sulaiman, sedangkan laqabnya adalah al-Zhahiry, karena ia seorang yang pertama kali menyatakan Zhahiriyah Syariah. Ia berpegang dengan pengertian lahir nash-nash al-Quran dan Sunnah, dan tanpa mentawilkan, menganalisa, dan menggali dengan ilah atau kuasa hukum. Demikian pula ia tidak berpegang dengan rasio, istihsan, istishab, mashlahah mursalah dan dalil-dalil yang semisalnya. Dia tidak memandang satupun dari yang demikian itu sebagai dalil hukum. Pemikiran Daud al-Zahiry ini didasarkan kepada al-Quran Surah an-Nisa yat 59 : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Daud al-Zhahiry semula menganut madzhab Syafii, bahkan menjadi salah seorang pengikut terbaik madzhab Syafii dalam memahami dan mendalami ilmu-ilmu agama, ia termasuk salah seorang ulama yang tekun dan rajin, terutama dalam mempelajari hadits Nabi SAW. Dalam mempelajari hadits, Daud al-Zhahiry belajar dengan seorang ulama hadits yang terkenal di masa itu, yaitu Ishaq ibn Rawahih. Demikian juga ia selalu menerima dan menemui para ulama dalam usahanya mempelajari dan mengumpulkan berbagai hadits.Setelah Imam Daud al-Zahiri memahami dan mendalami berbagai hadits Nabi SAW, ia meninggalkan madzhab Syafii, dengan demikian mulai pada saat itu ia membangun madzhabnya sendiri. Alasan Daud al-Zhahiry meninggalkan madzhab Syafii ialah antara lain karena madzhab Syafii terlalu banyak menggunakan qiyas dan rayu dalam menetapkan hukum Islam.Sementara Daud al-Zhahiry dalam menggunakan Qiyas dan Rayu hanya apabila tidak dijumpai nashnya dalam al-Quran dan Sunnah Rasul, dan juga harus dimusyawarahkan dengan para ulama, tidak boleh mendahulukan ijtihad perorangan, karena musyawarah itu lebih baik dari pada ijtihad perorangan.Imam Daud al-Zhahiry merupakan salah seorang ulama yang terkenal dengan anti taqlid, mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar-dasarnya. Menurt Daud al-Zhahiry walaupun seseorang tidak dapat memahami ajaran Islam sehingga tidak dapat mengetahui maksud-maksud ayat al-Quran dan Hadits, maka sekurang-kurangnya ia dapat mengetahui apakah ibadah yang dikerjakannya itu benar-benar berlandasan al-Quran dan hadits atau tidak.Di antara kitab Fiqh yang dikarang oleh Daud al-Zhahiry, yang mana pada saat ini kitab-kitab tersebut sudah tidak ada lagi, ialah : Kitab Ibthalu al-Taqlid, Kitab Ibthalu al-Qiyas, Kitab Khabar Ahad, Kitab Mujib li al-Islami, Kitab al-Hujjah, dan Kitab al-Mufassar al al-Mujmal.Adapun para murid Imam Daud al-Zhahiy ialah :1. Ibrahim ibn Muhammad (244-323 H) yang bergelar Naf- Thawwaih.2. Zakaria ibn Yahya al-Sajy (wafat 307 H).3. Abbas ibn Ahmad ibn al-Fadhl Quraisyiy.4. Abdullah ibn Muflis ( wafat 324 H)5. Muhammad ibn Daud al-Zhahiry (255-297 H)6. Muhammad ibn Ishak al-Qasyaniy.7. Yusuf ibn Yaqub ibn Mahran.Sedangkan para pendukung dan pengembang madzhab Zhahiry setelah Daud al-Zhahiry wafat ialah :1. Ahmad ibn Muhammad al-Qadhiy al-manshuriy.2. Abdullah ibn Ali al-Husain ibn Muhammad al-Nakhaiy al-Daudiy.3. Abdul Aziz Ahmadal-Jaziry al-Ashfahaniy.4. Ibn al-Kholal yang dikenal dengan Abu Thayyib.5. Ali ibn Hazmin al-Zhahiry (384-456 H) (Dialah yang banyak mengembangkan madzhab Zhahiry).Di antara pendukung Madzhab Zhahiry yang mengembangkan madzhab tersebut ialah Ali ibn Hazmin al-Zhahiry atau yang dikenal dengan Ibnu Hazm.

b. Kelahiran dan Pendidikan Ibnu Hazm az-Zhahiria) Kelahiran Ibnu Hazm az-ZhahiriNama lengkap Ibnu Hazm adalah Ali Ibnu Ahmad Ibnu Said Ibnu Hazm Ibnu Ghalib Ibnu Sholeh Ibnu Sofyan ibnu Yazid. Ia bergelar Abu Muhammad sebagaimana yang tertulis dalam kitab-kitabnya, namun dalam masyarakat luas lebih dikenal dengan Ibnu Hazm. Ia lahir di Cordoba/ Spanyol pada akhir Ramadhan 384 H/7 November 994 M dan wafat di Manta Lisham (Cordoba), pada tanggal 28 Syaban 456/15 Agustus 1064 M.Menurut suatu riwayat dikatakan bawa ayah Ibnu Hazm pernah memberi tahu kepadanya bahwa dirinya adalah seorang Quraisy dari Bani Umayyah, nenek moyangnya tiba di Andalusia bersama kaum muslim yang berhasil menaklukkan negeri itu. Ayah Ibnu Hazm yaitu Ahmad bin Said pernah menduduki posisi penting dalam jajaran pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol yaitu sebagai seorang menteri yang terkemuka dibawah khalifah al-Mansur dan al-Muzaffar. Ibnu Hazm meninggalkan beberapa orang putra, diantaranya Abu Rafi al-Fadl, Abu Usamah Yakub dan Abu Sulaiman al-Masab, mereka mendapat pendidikan langsung dari ayah mereka dan turut menyebarluaska fahamnya. Dalam membela aliran hukum yang dipelopori oleh Daud Zhahiry banyak rintangan yang dihadapinya, kritik-kritik tajam dari aliran-aliran hukum Islam yang lain, sehingga membuat dia dikucilkan oleh kalangan ulama pada waktu itu.Ibnu Hazm lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang terhormat, walaupun demikian ayahnya tidak mengabaikan akan pendidikannya, hal ini terbukti bahwa ketika itu Ibnu Hazm berumur 10 tahun ia sudah hafal al-Quran dan Hadist. Waktu kanak-kanak sudah mulai bersama guru-guru yang dicarikan ayahnya, umumnya guru Ibnu Hazm adalah wanita yang mempunyai hubungan dekat dengannya. karena pada masa itu, di cordova wanita banyak menguasai ilmu fiqh, mengenal sejarah puisi, mengajar al-Quran dan Hadist, banyak juga yang berprofesi sebagai dokter, mengetahui ilmu falak dan filsafat.Ibnu Hazm selalu diajak oleh ayahnya untuk menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah dan budaya yang sering diadakan oleh khalifah al-Mansur yang dihadiri oleh para ahli syair, ilmuan. Selain itu Ibnu Hazm yang berada dibawah bimbingan seorang ahli, alim, wara yang bernama Abu Ali al-Husein Ibnu Ali al-Fasy dalam majlis Abu Qasim Abdul Rahman Ibnu Abi Yazid al-Azdiy. Ketika usianya menginjak dewasa, pendidikannya diarahkan ke majelis taklim di masjid-masjid Cordova. Di sana ia mulai berdialog dengan berbagai guru dan pakar agama. Beberapa gurunya dibidang hadist, bahasa logika, dan teologi adalah Ahmad bin Muhammad bin al-Jasur, Yahya bin Masud bin Wajah al-Jannah, Abu al-Qasim Abdurrahman bin Abi Yazid al-Azdi. Di bidang fiqh dan peradilan, ia belajar pada al-Khiyar al-Lughawiy, Abi Amr Ahmad bin al-Husain, Yusuf bin Abdullah (hakim di Cordova), Abdullah bin Rabiat at-Tamimi, dan Abi Amr al-Talmanki.Menjelang usianya 20 tahun banyak cobaan dan ujian yang dihadapinya antara lain: saudara kandungnya yang bernama Abu Bakar wafat pada tahun 410 H, kemudian setahun kemudian meninggal ayahnya dan pada tahun berikutnya rumah keluarganya di Balath Mughits diserang oleh bangsa Barbar.b) Pendidikan Ibnu Hazm az-ZhahiriPada mulanya ia mempelajari fiqh mazhab Maliki karena penduduk Spanyol mazhab Maliki dan merupakan mazhab resmi yang ditetapkan oleh penguasa resmi Bani Umayyah, mereka tidak mengangkat Qadhi dan tidak mengizinkan ulama fiqh atau ulama lainnya mengeluarkan fatwa atau mengajarkan kecuali bermazhab Maliki. Jadi, di Andalus mazhab selain mazhab Maliki dilarang, cara yang ditempuh penguasa Andalus sama dengan cara yang ditempuh oleh penguasa Bani Abbsiyah di timur yaitu menetapkan mazhab imam Abu Hanifah (mazhab Hanafi) sebagai mazhab resmi.Selanjutnya Ibnu Hazm menemukan kritikan-kritikan imam Syafii terhadap imam Maliki, karena itu ia mempelajari mazhab Syafii dengan sunguh-sunguh, walaupun mazhab itu tidak populer di Andalus. Ketika gurunya dan pengikut imam Maliki bertanya kepadanya ia menjawab: aku mencintai Maliki, akan tetapi cintaku pada kebenaran lebih besar dari pada cintaku pada Maliki. Diantara mazhab-mazhab fiqh yang ada ia paling mengagumi Mazhab Syafii karena menurut penilaiannya Mazhab Syafi paling teguh berpegang kepada nash-nash al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Akan tetapi, Mazhab Syafii ditinggalkannya karena menurutnya Mazhab Syafii juga banyak menggunakan Rayu. Khususnya mengenai persoalan Qiasy. Pada akhirnya ia tertarik pada Mazhab Zahiry selain melalui pembacaan kitab, juga melalui seorang guru yang bernama Masud bin Sulaiman mazhab inilah yang dipegangnya sampai akhir hayatnya.Dari keterang di atas jelaslah bahwa Ibnu Hazm mempelajari fiqh dan tidak terikat pada satu mazhab saja, maka apabila satu mazhab bertentangan dengan pemikirannya ia akan membandingkan dengan mazhab yang lain sehingga ia bertemu dengan yang sesuai dengan pola pokirnya yaitu mazhab Zahiry.

c) Karya-karya Ibnu Hazm az-ZhahiriIbnu Hazm adalah seorang ulama yang menguasai beberapa disiplin ilmu. Dia merupakan seorang yang ahli filsafat, logika, sejarah, dan penulis dalam bidang sastra. Menurut pengakuan putranya yang bernama Abu Rafi al-Fadl bin Ali sepanjang hidup Ibnu Hazm sempat menulis lebih kurang 400 judul buku yang meliputi lebih dari 80.000 halaman. Buku-buku tersebut mencakup berbagai disiplin ilmu. Namun, tidak semua bukunya dapat ditemukan karena banyak yang dibakar dan dimusnakan oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan Ibnu Hazm.Beberapa dari karya Ibnu Hazm adalah sebagai berikut :1. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (8 jilid) memuat ushul fiqh mazhab Zahiry, menampilkan juga pendapat-pendapat ulama diluar mazhab Zahiry sebagai perbandingan2. Al-Muhalla (13 jilid), buku fiqh yang disusun melalui metode perbandingan, penjelasannya luas, argumenya dalam bentuk al-Quran, Hadits dan ijma yang dikemukakan pun memadai.3. Ibtal al-Qiyas, pemikiran dan berbagai argumentasi dalam menolak kehujjahan qias.4. Tauq al-Hamamah, karya autobiografi Ibnu Hazm yang meliputi perkembangan pendidikan dan pemikirannya, ditulis pada tahun 418 H.5. Nuqat al-Arus fi Tawarikh al-Khulafa, yang mengungkap para khalifah di timur dan Spanyol.6. Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal, teologi yang disajikan dalam dalam metode perbandingan agama dan sekte-sekte dalam Islam.7. Al-Abtal, pemaparan Ibnu Hazm mengenai argumen-argumen mazhab Zahiry.8. At-Talkhis wa at-Takhlis, pembahasan rasional pembahasan yang tidak disinggung oleh al-Quran dan Hadits.9. Al-Imamah wa al-Khilafah al-Fihrasah, sejarah Bani Hazm dan asal-usul leluhur mereka.10. Al-Akhlaq wa as-Siyar fi Mudawwanah an-Nufus, sebuah buku sastra Arab.11. Risalah fi Fadail ahl al-Andalus, catatan-catatan Ibnu Hazm tentang Spanyol, ditulis untuk sahabatnya, Abu Bakar Muhammad bin Ishaq.

2. Metode Istinbath Hukum Madzhab Zhahiri (Ibnu Hazm)Ibnu Hazm adalah seorang faqih, dalam menyelesaikan berbagai permasalah fiqh Ibnu Hazm mempunyai beberapa metode istimbath hukum yang dijadikan sebagai rujukan. Hal ini sesuai dengan apa yang Ibnu Hazm kemukakan dalam kitabnya: : .

Ushul yaitu yang tidak dapat diketahui pada syariat melainkan dari 4 rujukan yaitu : Nash al-Quran, nash sabda Nabi SAW yang berasal dari Allah Taala dan dari apa-apa yang telah dishahehkan dani yang dinukilkan perawi yang Tsiqat dan Mutawatir,dan Ijma seluruh ulama umat dan menunjukkan darinya yang tidak terhimpun kecuali satu pemahaman.

Dari perkataan Ibnu Hazm di atas dapat kita pahami bahwa pegangan Ibnu Hazm dalam menetapkan suatu hukum adalah al-Quran, Sunnah, Ijma dan Dalil. Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan keempat rujukan Ibnu Hazm dalam menetapkan hukum tersebut, sebagai berikut:

a. Al-QuranAl-Quran adalah kalamullah yang diturunkan oleh-Nya kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan malaikat jibril dengan lafas yang berbahasa Arab dan makna-makna yang benar untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah menjadi Undang-Undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya dan menjadi qurbah (amal yang menjadi mendekatkan diri kepada Allah) dimana mereka beribadah dengan membacanya.Al-Quran merupakan sumber dari segala sumber (mashadirul mashadir) dalam menetapkan suatu hukum hal ini sesuai dengan apa yang Ibnu Hazm kemukakan dalam bukunya al-Ihkam fi Ushulil Ahkam sebagai berikut: : , , , , , , .

Ibnu Hazm berkata: dan tatkala telah terbukti dengan argumentasi yang kuat dan kemujizatannya bahwa al-Quran adalah pesan Allah kepada kita yang mengharuskan kita untuk mengikutinya dan mengamalkan segala isinya dan dinukilkan secara mutawatir yang tidak dapat diragukan lagi bahwa al-Quran itu ditulis di beberapa mushaf yang masyhur di segala penjuru dan wajib dipatuhi segala isinya, dengan demikian al-Quran merupakan rujukan utama bagi kita.

Dari apa yang dikemukakan Ibnu Hazm di atas jelaslah bahwa dalam menetapkan suatu hukum Ibnu Hazm menjadikan al-Quran sebagai sumber rujukan yang pertama.Ibnu Hazm dalam menetapkan suatu hukum selalu memandang pada zhahir lafaz, semua perintah (al-Amr) dalam al-Quran dan Hadits bagi Ibnu Hazm menunjukkan wajib dilakukan kecuali ada dalil yang mengalihkan menjadi sunat atau mubah.Para ulama ushul fiqh dan lainnya sepakat menyatakan bahwa al-Quran merupakan sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib diamalkan, dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat al-Quran. Apabila hukum permasalahan yang ia cari tidaj ditemukan dalam al-Quran, maka barulah mujtahid tersebut mempergunakan dalil lain. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh ulama fiqh tentang kewajiban berhujjah dengan al-Quran, di antaranya:1) Al-Quran itu diturunkan kepada Nabi Muhammad diketahui secara mutawatir, dan ini memberikan keyakinan bahwa al-Quran itu benar-benar datang dari Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad yang bergelar al-Amin.2) Banyak ayat al-Quran yang menyatakan al-Quran itu datangnya dari Allah, diantaranya dalam surat Ali Imran ayat 3:

Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.

3) Mujizat al-Quran merupakan dalil yang pasti akan kebenaran al-Quran itu datangnya dari Allah. Mujizat al-Quran bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi Muhammad SAW.Adapun hukum-hukum yang terkandung dalam ayat-ayat suci al-Quran adalah sebagai berikut:1) Hukum-hukum Itiqad yaitu kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Allah, Rasul, Kitab dan hari kiamat.2) Hukum yang berkaitan dengan akhlak dalam mencapai keutamaan pribadi mukallaf.3) Hukum praktis yang terkenal dengan hubungan antara manusia dengan penciftanya dan antar sesama manusia. Hukum-hukum praktis ini dibagi menjadi:a) Hukum yang berkaitan dengan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nazar, dan sumpah.b) Hukum yang berkaitan dengan muamalah seperti berbagai transaksi jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, yang dibagi lagi menjadi:1) Hukum perorangan seperti kawin, talak, waris, wasiat, wakaf.2) Hukum-hukum perdata seperti jual beli, pinjam meminjam perserikatan dagang dan transaksi harta dan hak lainnya.4) Hukum yang berkaitan dengan masalah pidana5) Hukum yang berkaitan dengan masalah peradilan dan ketatanegaraan6) Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar negara.7) Hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi.

b. SunnahIbnu Hazm menetapkan bahwa al-Quran merupakan sumber rujukan dalam syariat islam. Dalam al-Quran jua didapati sebuah perintah untuk mentaati perintah Nabi SAW dan Allah menegaskan bahwa Rasul tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya saja tetapi apa yang disampaikan nabi merupakan bagian wahyu yang diwahyukan. Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam al-Quran suarat an-Najm ayat 3-4:

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Mengenai kehujjaan sunnah Allah menerangkan di dalam al-Quran terdapat dalam surat an-Nisa ayat 59 yang berbunyi:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dari kedua ayat di atas jelaslah bahwa umat Islam diperintahkan untuk mentaati Allah yaitu mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan dalam al-Quran dan menjauhi apa-apa yang dilarang, serta melaksanakan apa yang telah dianjurkan kepada kita melalui syariat yang telah di bawah oleh Rasul yaitu Sunnah.Ulama ushul memberikan definisi sunnah dengan segala sesuatu dari Rasul SAW dalam kafasitas beliau sebagai pembentuk syara yang menjelaskan kepada manusia Undang-Undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid sepeninggalan beliau. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian serius mereka adalah sabda, perbuatan dan taqrir beliau yang membawa konsekuensi hukum dan menetapkannya.Berdasarkan definisi sunnah di atas sunnah yang menjadi sumber kedua hukum Islam itu ada 3 (macam) macam:1) Sunnah Quliyah, yaitu ucapan nabi yang didengar oleh dan disampaikan seseorang atau beberapa sahabat kepada orang lain, misalnya sabda Rasulullah SAW: .Telah berbicara/mengabarkan kepada kami Ali bin Abdullah dari Supyan dari Zuhri dari Mahmud bin Rabi dari Ubadah bin Shamat bahwasanya Rasulullah SAW bersabda tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca fatihah al-Kitab (surat al-Fatihah).

2) Sunnah Filiyah, yaitu peruatan yang dilakukan nabi dilihat atau diketahui dan disampaikan para sahabat kepada orang lain. Misalnya tata cara shalat yang ditunjukkan Nabi kemudian disampaikan sahabat yang melihat atau mengetahuinya kepada orang lain.3) Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi SAW tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegahnya. Sikap diam dan tidak mencegahnya Nabi menunjukkan persetujuan Nabi. Misalnya kasus Amr bin al-Ash yang berada dalam keadaan junub pada suatu malam yang sangat dingin. Ia tidak sanggup mandi karena khawatir sakit. Amr al-Ash ketika itu hanya bertayamum. Lalu hal ini disampaikan kepada Rasulullah SAW, kemudian Nabi bertanya kepada Amr al-Ash engkau melaksanakan shalat bersama-sama teman engkau sedangkan engkau dalam keadaan junub? Amr bin Ash menjawab saya ingat firman Allah Taala yang mengatakan jangan kamun bunuh diri kamu sesungguhnya Allah maha pengasih lagi maha penyayang. Lalu saya bertayamum dan langsung shalat, mendengar jawaban Amr bin Ash itu Rasulullah tertawa dan tidak berkomentar apapun. Tidak berkomentarnya Rasul dipandang sebagai pengakuan bolehnya bertayamum bagi orang yang junub dalam keadaan hari sangat dingin sekalipun air untuk mandi ada.

c. IjmaDalam kitab al-Ihkam fi ushulil Ahkam tidak ada memberikan pengertian Ijma secara definitif, namun Ijma menurut Ibnu Hazm dapat dipahami bahwa mengikuti teks al-Quran dan Sunnah. Hal ini dapat dilihat dari perkataan beliau dalam kitabnya, sebagai berikut: , .

Maka ketahilah olehmu mudah-mudahan Allah merahmatimu bahwa barang siapa yang mengikuti nash al-Quran dan sesuatu yang disandarkan dari sesuatu yang dapat dipercaya kepada Rasulullah SAW berarti ia mengikuti ijma secara yakin, dan barang siapa yang berpaling dari yang demikian maka tiadalah ia mengikuti ijma.

Ibnu Hazm membagi Ijma kepada:1) Semua masalah yang tidak diragukan lagi oleh setiap muslim. Misalnya membaca syahadat, kewajiban shalat lima waktu, puasa satu bulan selama bulan Ramadhan, haramnya bangkai, darah, daging babi, wajib membayar zakat dan lain sebagainya. Inilah yang dinamakan Ijma seluruh umat.2) Perbuatan Nabi Muhammad yang diyakini oleh sahabat lainnya yang tidak hadir dalam peristiwa itu. Misalnya, perbuatan memberikan setengah dari hasil pertanian Khaibar kepada orang Yahudi.

Ibnu Hazm hanya menerima Ijma yang terjadi pada masa sahabat Nabi, karena mereka menyaksikan penjelasan Nabi dan oleh sebab itu Ijma mereka adalah Ijma yang benar. Maka diriwayatkan oleh pendapat Umar Curigailah pendapatmu dalam persoalan agama.Sesungguhnya pendapat Nabi Muhammad adalah benar karena yang menuntun pendapat Nabi adalah Allah sedangkan pendapat yang diperoleh dari kita adalah persangkaan yang dipaksakan dalam penggunaan rayu (logika semata, bisa benar dan bisa juga salah).Adapun tuntutan dari ijma itu sendiri harus merupakan kesepakatan seluruh mujtahid dalam satu majlis dengan mengemukakan pandangan masing-masing, sementara hari ini wilayah kekuasaan Islam sudah luas terbentang sehingga sangat sulit untuk mengumpulkan mujtahid dan mustahil untuk menghitung setiap pendapat ulama di setiap daerah, belum lagi diketahui diantara mereka ada yang lemah agamanya. Ibnu Hazm mengingkari keshahihan hadits tentang Muaz bin Jabal yang di utus ke Yaman dan beliau juga mengingkari/ tidak menerima keshahihan kitab qudhah umar kepada Musa al-Asyary yang mencari persamaan demi persama dalam menetapkan hukum.d. Ad-DalilAd-Dalil adalah metode pemahaman suatu nash (al-Istidlal al-Fiqh) yang menurut ulama mazhab az-Zahiri, pada hakikatnya tidak keluar dari nash dan Ijma. Dengan pendekatan ad-Dalil dilakukan pengembangan suatu nash atau Ijmamelalui dilalah (petunjuknya) secara langsung tanpa harus mengeluarkan ilatnya terlebih dahulu. Dengan demikian, konsep ad-Dalil tidak sama dengan qiyas karena untuk melakukan proses qiyas diperlukan adanya kesamaan ilat antara kasus asal dan kasus baru, sedangkan pada ad-Dalil tidak diperlukan pengetahuan ilat tersebut. ad-Dalil menurut Ibnu Hazm, memiliki dua bentuk, yaitu:: ad-Dalil yang terambil dari nash, ad-Dalil yang terambil dari Ijma (Mazhab az-Zahiri). Ibnu Hazm tidak memandang bahwa illat dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menetapkan suatu hukum. Hal ini tidak menunjukkan bahwa Ia tidak menyakini bahwa setiap hukum yang ditetapkan Allah SWT bagi manusia mengandung hikmah dan kebaikan pada manusia itu sendiri. Ia juga mengakui bahwa sebagian dari illat dan hikmah suatu hukum itu dapat diketahui. Dengan demikian, Ibnu Hazm menolak Qiyas sebagai pendekatan dalam berijtihad.Istidlal secara etimologi berarti minta petunjuk. Sedangkan menutut Ibnu Hazm mengemukakan pengertian istidlal sebagai berikut:

Istidlal adalah mencari dalil (alasan) dari sesuatu yang tidak diperoleh hukumnya.

Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam dikemukakan pengertian istidlal dengan alasan dan cara beralasan yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu masalah.Dari pengertian di atas, dapat dijelaskan bahwa istidlal adalah upaya untuk mengemukakan alasan dalam menentapkan hukum yang tidak ditemui secara jelas dalam al-Quran, sunnah dan ijma. Upaya seperti ini menurut Mazhab Zhahiri dikenal dengan ad-Dalil. Karena ad-Dalil adalah sesuatu yang diambil dari nash dan Ijma serta langsung dipahami dari keduanya, tetapi secara esensi ad-Dalil memiliki kesamaan dengan an-Nash dan ijma tetapi tidak sama dengan qias.Selanjutnya Ibnu Hazm mengatakan dan membatalkan ijtihad yang menggunakan rayu dan hanya mengakui penunjukan dalil secara zhahir lafaz saja, dengan dalil al-Quran surat al-Anam ayat 38 sebagai berikut: Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab.

Kalau dalam ayat di atas ada lahan ijtihad dalam al-Quran berarti benar telah luput sesuatu dalam al-Quran itu sendiri. Diantara alasan lain dalam penolakan qias adalah sebagai berikut:a. Penggunaan dalil qias disamping mengandung pengertian dan anggapan bahwa al-Quran itu belum lengkap dan ada yang masih belum terjangkau oleh dalil al-Quran sementara Allah menegaskan dalam surat al-Maidah ayat 3: Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.

b. Tidak dibenarkan seseorang mengikuti tasyabuh (persamaan) dalam al-Quran dan tidak boleh mencari makna ayat yang mutasyabih.c. Terdapat beberapa nash al-Quran yang dengan jelas menolak penggunaan akal dalam menetapkan hukum antara lain dalam surat al-hujurat ayat 1, sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

3. Hukum Khutbah Jumat Menurut Madzhab ZhahiriMenurut Madzhab Zhahiri sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm, hukum menyelenggarakan Khutbah Jumat itu adalah sunnat, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab al-Muhalla Juz 5 : . : ( : : : . . .Khutbah itu tidaklah wajib, jikalau seorang imam shalat (Jumat) tidak berkhotbah sholatlah dua rakaat secara jelas. Dan hujjah (dalil) sebahagian mereka (jumhur ulama) tentang wajibnya khutbah jumat dengan firman Allah taala (Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah)(al-Jumuah ayat 11). Berkata Abu Muhammad: hujjah tersebut tidak ada manfaat untuk membenarkan perkataan mereka. Hanya saja sesungguhnya pada ayat diatas mereka meninggalkan rasul dalam keadaan berdiri, oleh karena itu kami berkata : dalil ini menunjukkan menolak bagi orang mengatakan mereka meninggalkan dalam keadaan duduk, tidak ada satu orangpun yang berpendapat seperti ini, bukanlah pengingkaran kepada Allah dikarenakan mereka meninggalkan nabinya dalam keadaan berdiri, dalil tersebut menunjukkan wajibnya berdiri waktu khutbah, bukan wajibnya khutbah. Maka adalah yang demikian itu menurut pendapat jumhur seperti yang dikemukakan diatas, maka tetaplah bagi mereka (jumhur) bahwasanya barang siapa yang berkhutbah dalam keadaan duduk tidak ada jumat baginya, perkataan ini tidak ada yang mengatakan satu orang pun dari kalangan mereka (jumhur ulama), sesungguhnya ini membatalkan bagi perkataan mereka tentang yang demikian jikalau wajibnya khutbah berdiri, tidak ada satupun atsar yang menyerukan tentang wajibnya khutbah, hanya saja khutbah itu dengan berdri.

Menurut Zhahiriyah hukum Khutbah Jumat ialah sunnat, firman Allah taala (Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah)(al-Jumuah ayat 11) yang dijadikan hujjah oleh sebahagian jumhur ualam, menurut Ibnu Hazm dalil tersebut menunjukkan wajibnya berdiri waktu khutbah, bukan wajibnya khutbah dan tidak ada satupun atsar yang menyerukan tentang wajibnya khutbah, hanya saja khutbah itu dengan berdri. : " ". . : : ( ) ! . : : ( ) : ( ) .

Jikalau mereka (jumhur ulama) mengatakan khutbah jumat wajib secara Ijma apakah mereka mengingkari apa yang diriwayatkan dari Said ibnu Abi Arubah dari Qatadah dari Hasan al-Bishri Siapa yang tidak berkhutbah di hari Jumat shalatlah dua rakaat pada tiap hal dan berkata juga Ibnu Sairin. dan sebahagian mereka telah mendirikan apa pada kebiasaan mereka pada mengingkari atas Allah Taalah. Sesungguhnya firman Allah (maka bersegaralah kepada mengingat Allah), sesungguhnya maksud ayat ini khutbah, dan menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya khutbah.Abu Muhammad berkata: adakah kiranya Allah menginginkan zikir sebagai khutbah?, akan tetapi awal dan akhir ayat menolak dugaan mereka yang fasid. Hanya saja Allah SWT berfirman (apabila telah diserukan shalat di hari Jumat maka bersegeralah kepada mengingat Allah, kemudian Allah SWT berfirman dan apabila telah selesai melaksanakan shalat maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah dari karunia Allah dan berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya), maka benarlah bahwasanya Allah mewajibkan untuk mengerjakan shalat, apabila shalat tersebut telah dilaksankan dan diperintahkan juga setelah melaksanakan shalat untuk bertebaran dan berzikir yang banyak. Maka dapat diyakini kebenarnnya bahwasanya zikir yang diperintahkan untuk mengerjakannya adalah shalat dan juga termasuk zikir adalah takbir, tasbih, tahmid, membaca al-Quran. Tasyahud, bukan selain itu.Keterangan diatas menjelaskan bahwa Sesungguhnya firman Allah (maka bersegaralah kepada mengingat Allah) menurut jumhur ulama diartikan sebagai khutbah, dan menjadikan ayat tersebut sebagai dalil wajibnya khutbah. Menurut Ibnu Hazm kata zikir dalam ayat tersebut tidak dimaknai sebagai khutbah, akan tetapi bahwasanya zikir yang diperintahkan untuk mengerjakannya adalah shalat dan juga termasuk zikir adalah takbir, tasbih, tahmid, membaca al-Quran. Tasyahud, bukan selain itu. : . : .

Jika mereka (jumhur ulama) berkata : rasulullah tidak pernah meninggalkan khutbah pada shalat Jumat.Menurut pendapat kami (Ibn Hazm) : rasulullah senantiasa shalat Jumat pada kedua khutbah, beliau dalam keadaan berdiri dan duduk diantara dua khutbah, maka mereka menjadikannya sebagai wajibnya khutbah dan tidak sah shalat Jumat tanpa ada khutbah. Dan Rasulullah SAW tidak melaksanakan shalat kecuali mengangkat tangannya pada takbir yang pertama, maka apakah batal shalat dengan meninggalkan demikian .

Keterangan diatas menjelaskan bahwa Ibnu Hazm menbantah dalil yang digunaka jumhur ulama tentang wajibnya khutbah, yang mana menurut jumhur ulama Rasulullah tidak pernah meninggalkan khutbah pada shalat Jumat. Menurut Ibn Hazm kalau menurut Jumhur ulama Rasulullah selalu berkhutbah ketika menyelenggarakan ibadah Jumat dan menjadikannya sebagai dalil wajibnya khutbah, maka dibandingkan dengan perbuatan Rasulullah ketika melaksanakan shalat selalu mengangkat tangannya ketika takbir yang pertama, apakah batal shalat kalau kita tidak mengangkat tangan pada takbir yang pertama.

D. Analisis Penulis Terhadap Hukum Khutbah Jumat Menurut Jumhur Ulama dan Madzhab ZhahiriDalam mentapkan hukum khutbah Jumat terdapat perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan Zhahiriyah. Menurt jumhu ulama khutbah Jumat hukumnya wajib, sedangkan menurt Zhairiyah adalah sunnat. Adapun yang menjadi penyebab perbedaan pendapat anatar jumhur Ulama dan Zhahiriyah sebagai berikut :1) Sebab Perbedaan Pendapat antara Jumhur Ulama dan Zhahiriyah tentang Hukum Khutbah Jumat

A. Perbedaan dalam memahami ayatDalam menetapkan hukum khutbah Jumat Jumhur Ulama dan Zhahiriyah berbeda dalam menggunakan dalil, serta dalam memahami surat al-Jumuah ayat 9, perbedaan tersebut dapat penulis klasifikasikan sebagai berikut:a) Menurut Jumhur UlamaDalam menetapkan hukum khutbah jumat jumhur ulama dalam mendukung pendapatnya mengunakan dua dalil, yaitu:1) Pemahaman terhadap Surat al-Jumuah ayat 9Menurut jumhur Ulama kalimat (maka bersegeralah kepada mengingat Allah) dalam surat al-Jumah ayat 9 dipahami sebagai anjuran untuk shalat dan pada ayat tersebut juga dimaknai sebagai anjuran untuk berkhutbah. Dalam ayat tersebut terdapat peintah untuk pergi berzikir (mengingat Allah), hingga demikian zikir itu hukumnya wajib, sebab pada ayat tersebut merupakan amar (perintah) yang hukumnya wajib. Sekiranya pergi itu tidak wajib maka zikir tidak juga wajib. Dan maksud zikir disini sebagaimana yang mereka tafsirkan adalah khutbah, karena didalam khutbah tersebut terdapat zikir.Selanjutnya hukum khutbah Jumat menurut ulama Malikiyah adalah wajib, adapun yang menjadi dalil (alasan) oleh ulama Malikiyah ialah pemahaman mereka terhadap dalam memahami surat al-Jumah ayat 9, Malikiyah menjadikan dalil dalam menetapkan hukum khutbah Jumat adalah kalimat menurut malikiyah zikrillah merupakan khutbah. Ulama Hanafiyah juga memahami kalimat dalam surat al-Jumah ayat 9 diartikan sebagai khutbah. Ulama Syafiiyah adalah juga menjadi dalil kata dalam surat al-Jumah ayat 9 tentang wajibnya khutbah, yang mana menurut Syafiiyah kata zikir dari ayat tersebut diartikan sebagai shalat secara majazi, dan juga bisa dimaknai dengan khutbah. Selanjutnya ulama Hanaibilah juga memahami kalimat dalam surat al-Jumah ayat 9, yang mana kata zikir pada ayat tersebut diartikan sebagai khutbah.Berdasarkan keterangan diatas secara mayoritas madzhab yang empat (Malikiyah, Hanafiyah, Syafiyah, dan Hanabilah) sepakat dalam menafsirkan kalimat dalam surat al-Jumah ayat 9 sebagai anjuran terhadap khutbah Jumat, dan Syafiiyah menafsirkan sebagai anjuran shalat Jumat dan juga meliputi terhadap anjuran untuk khutbah. Namun ada juga sebahagian jumhur mengatakan sebagai shalat seperti pendapat Syaukani dari kalangan ulama Syafiiyah, dan Abdul Malik bin Habib dan Ibnu Majisyun dari kalangan MalikiyahB. Perbedaan Dalam Menggunakan DalilDalam menetapkan wajibnya khutbah Jumat jumhur ulama berpegang kepada atsar, seperti apa yang telah penulis kemukakan sebelumnya, hadits yang menjadi landasan Jumhur Ulama adalah sebgai berikut:

Dari Atho bin Abi Robah dan selainnya, dari Said bin Jubair dia berkata : adalah Jumat itu empat rakaat , dan khutbah itu menempati dua rakaat.

Dari atsar diatas dapatlah dipahami bahwa khutbah Jumat menempati dua rakaat. Oleh karena itu, maka khutbah itu hukumnya wajib. Namun, untuk melihat kwalitas atsar tersebut penulis perlu melakukan takhrij untuk menentukan apakah atsar tersebut shahih, hasan, atau dhaif serta dapatkah atsar tersebut dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum wajibnya khutbah Jumat. Berikut ini takhrij yang penulis lakukan :

1. al-BaihaqiNama lengkap Abi Bakar Ahmad bin Husain Ibnu Ali al-Baihaqy, baihaqy merupakan periwaya hadits, buku haditsnya yaitu Sunan al-Kubra, tidak diragukan lagi mengenai keilmuan dari al-Baihaqy.2. Atha bin AbiRabaha. Nama lengkap Aslam al-Quraisy al-Fahry Abu Muhammad al-Makkyb. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadisGuru Atha bin Abi Rabah Jabir bin Abdullah, Zaid bin Arqam, Habib bin Abi Tsabit, Said bin al-Musayyab dan penulis tidak menjumpai dalam Tahzibul Kamal dan Tahzibut Tahzib mengenai guru beliau Said bin Jubair. murid banyak sekali diantaranuya Jafar bin Muhammad bin Ali, Alibin Hakam al-Banany, Ikrimah bin Ammar dan lain-lain, penulis tidak menjumpai bahwa Atha bin Abi Rabah guru dari al-Baihaqy.c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya1) Menurut Yakub bin Sofyan, dia mendengar Sulaiman bin harb menyebutkan tentang Atha bin Abi Rabah, aku melihat Qais bin Saad meninggalkan majlis Atha bin Abi Rabah, lalu aku menanyakannnya, kemudian dia menjawab, Atha bin Abi Rabah adalah pelupa.2) menurut Ibnu Hajar Tsiqat, Faqih, namun hadits yang diriwayakannya banyak yang mursal.3) Abu Ashimas-Syaqafi berkata: aku mendengar Abu Jafar berkata kepada masyarakat lalu mereka berkumpul lalu berkata : hendaklah kalian mengikuti Atha bin Abi Rabah karena dia lebih baik dari ku.Dari pernyataan para kritikus ulama di atas, dapatlah dipahami bahwa Atha bin Abi Rabah memang faqih, serta seorang guru, namun diantara komentar yang ditujukan kepdanya mengatakan bahwa dia sering lupa, dan sanad Atha bin Abi Rabah tidak bersambung ke al-Baihaqy.3. Said bin Jubaira. Nama lengkap Said bin Jubair bin Hisyam al-Asady al-Walabyb. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadisGuru Said bin Jubair adalah Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Musa al-Asyary, penulis tidak menjumpai dalam Tahzibul Kamal dan Tahzibut Tahzib mengenai guru beliau Nabi Muhammad. murid banyak sekali diantaranuya Atha bin Dinar, Atha bin Saib, Usman bin Abi Sulaiman dan lain-lain, penulis tidak menjumpai bahwa Said bin Jubair guru Atha bin Abi Rabah.

c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinyaMenurut Ibnu Hajar Tsiqah, Tsabat, Faqih, dari kitab Tahzibu at-Tahzib dan Tahzibul Kamal penulis tidak menemui komentar atau kritik yang buruk terhadap Said bin JubairDari takhrij yang penulis lakukan di atas dapatlah disimpulkan bahwa atsar di atas munqati karena sanadnya tidak bersambung, oleh karena itu atsar ini termasuk dhaif serta tidak bisa dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum.

b) ZhariyahMenurut Zhahiriyah mengenai firman Allah dalam surat al-Jumah ayat 9:

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Ibnu Hazm menafsirkannya ayat diatas dengan firman Allah surat al-Jumah ayat 11 :

Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Maka menurut Ibnu Hazm dapat diyakini bahwasanya zikir yang diperintahkan adalah mengerjakan shalat dan berzikir pada Allah dalam shalat itu dengan takbir, tasbih, tahmid, membaca al-Quran, tasyahud, bukan selain itu (khutbah).Berdasarkan keterangan diatas dapat dipahamai bahwa menurut Zhahiriyah bahwa kata zikir pada kalimat dalam surat al-Jumah ayat 9 bukan diartikan sebagai anjuran khutbah sebagaimana menurut pemahaman jumhur Ulama, tetapi zikir disini merupakan takbir, tashbih, tahmid, membaca al-Quran, dan tasyahud, bukan dipahami sebagai khutbah.Penafsiran Zhairiyah tersebut sesuai dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh madzhab tersebut, yang mana madzhab zhahiri hanya memahami zhahir ayatnya saja, atau menafsirkan ayat dengan ayat.2. TarjihSetelah penulis memperhatikan pendapat dari Jumhur dan Ibnu Hazm di atas dapatlah penulis pahami bahwa khutbah Jumat merupakan satu kewajiban dalam shalat Jumat.Memang secara jelas tidak ditemukan ayat al-quran yang menyerukan wajibnya khutbah. Seperti surat al-Jumuah ayat 9 yang digunakan oleh jumhur ulama untuk mewajibkan khutbah :

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Dalam memahami ayat diatas sebagai dasar wajibnya khutbah, dikalangan jumhur ulama masih terdapat perbedaan pendapat, tidak semunya yang mendefenisikan zikir dalam ayat tersebut sebagai khutbah, tapi ada juga yang mengatakan sebagai shalat seperti pendapat Syaukani dari kalangan ulama Syafiiyah, dan Abdul Malik bin Habib dan Ibnu Majisyun dari kalangan Malikiyah.Setelah penulis menganalisa bahwa memang ayat tersebut diatas tidak kuat untuk dijadikan hujjah wajibnya khutbah, namun dalam pelaksanaan shalat Jumat mesti menyelenggarakan khutbah. Alasan yang nyatanya ialah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah meninggalkan khutbah dalam pelaksanaan shalat Jumat, dan juga bisa kita jadikan pedoman (untuk menenangkan hati) bahwa dari masa Nabi Muhammad sampai saat ini secara umum dalam pelaksanaan ibadah Jumat selalu memakai khutbah. Dan hal tersebut sangat mungkin kita jadikan pedoman dalam menerapkan khutbah dalam shalat Jumat.Dari keterangan-keterangan di atas jelaslah, bahwa pendapat jumhur dapat digunakan sebagai panduan dalam menetapkan hukum wajibnya khutbah jumat namun mengenai atsar yang menjadi dalil mereka maka hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum wajibnya khutbah jumat karena atsar tersebut dhaif, sanad atsar tersebut terputus. khutbah Jumat memiliki kedudukan yang agung dalam syariat Islam, dan jangan menganggap khutbah itu hal yang remeh karena berdasarkan keterangan di atas dapatlah penulis pahami bahwa khutbah jumat tersebut memang harus dilaksankan dalam shalat Jumat, karena khutbah merupakan bagian dari shalat Jumat .Pendapat penulis ini sesuai dengan apa yang dikemukan dalam buku-buku tafsir diantaranya yang dikemukakan oleh Quraisy Shihab dalam buku tafsirnya al-Misbah bahwa surat al-Jumuah ayat 9, diatas menyatakan hai orang-orang yang beriman apabila diseru yakni dikumandangkan adzan oleh siapapun untuk shalat pada zhuhur hari Jumat, maka bersegeralah kuatkan tekad dan langkah, jangan bermalas-malas apalagi mengabaikannya untuk menuju dzikrullah menghadiri shalat dan khutbah jumat.Kata yang diamksud ialah shalat dan khutbah, karena itulah sehingga ayat diatas menggunakan kata zikrullah. Kata terambil dari kata yang pada mulanya berarti berjalan cepat tapi bukan berlari, tentu saja bukan itu yang dimaksud disini, apalagi ada perintah Nabi SAW agar menuju Masjid, berjalan dengan penuh wibawa. Nabi bersabda : apabila shalat telah segera akan dilaksanakan, maka janganlah kesana dengan berjalan cepat, tapi hadirilah dengan sakinah (tenang).Walaupun diantara jumhur ulama tidak seluruhnya mendefenisikan kata zikir tersebut sebagai khutbah, namun yang menguatkan bagi penulis adalah lebih banyak dari kalangan jumhur ulama yang mendefenisikan kata zikir sebagai khutbah dari pada yang tidak mengartikan sebagai khutbah.

BAB IVPENUTUPA. KesimpulanBerdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulannya sebagai berikut :1. Penyebab Perbedaan Pendapat Antara Jumhur Ulama dan ZhahiriyahMenurut jumhur ulama, hukum menyelenggarakan khutbah Jumat adalah wajib, atau sebagai syarat sahnya untuk menyelenggarakan ibadah Jumat. Sedangkan menurut ulama Zhahiriyah (madzhab Zhahiri), hukum menyelenggarakan khutbah Jumat itu bukanlah wajib, melainkan sunnat. Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan madzhab Zhahiri dilatarbelakangi oleh pola fakir yang berbeda, berarti metode istinbath hukumnya juga berbeda.Alasan jumhur ulama mewajibkan khutbah Jumat ialah, sebagai mana yang dijelaskan dalam firman Allah surat al-Jumah ayat 9 Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.Dalam ayat tersebut terdapat peintah untuk pergi berzikir (mengingat Allah), hingga demikian zikir itu hukumnya wajib, sebab pada ayat tersebut merupakan amar (perintah) yang hukumnya wajib. Sekiranya pergi itu tidak wajib maka zikir tidak juga wajib. Dan maksud zikir disini sebagaimana yang mereka tafsirkan adalah khutbah, karena didalam khutbah tersebut terdapat zikir.Kemudian jumhur Ulama menguatkan pendapatnya bahwa Nabi SAW tidak pernah meninggalkan Khutbah dalam melaksankan shalat Jumat dalam keadaan apapun, dan sabda Nabi Shalatlah kamu sebagaiaman aku shalat.Sementara alasan Ulama Zhahiriyah ialah bahwa tidak adanya dalil atau hujjah yang menyerukan untuk melaksanakan khutbah, hanya yang ada dalil seputar pelaksanaan khutbah Jumat, bukan yang mewajibkan khutbah Jumat. Selanjutnya mengenai firman Allah (apabila telah diserukan shalat di hari Jumat maka bersegeralah kepada mengingat Allah. Ibnu Hazm menafsirkannya dengan firman Allah dan apabila telah selesai melaksanakan shalat maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah dari karunia Allah dan berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya), maka menurut Ibnu Hazm dapat diyakini bahwasanya zikir yang diperintahkan adalah mengerjakan shalat dan berzikir pada Allah dalam shalat itu dengan takbir, tasbih, tahmid, membaca al-Quran, tasyahud, bukan selain itu (khutbah).2. Dengan menganalisa pendapat jumhur Ulama dengan Zhairiyah tersebut, penulis menyepakati pendapat dari jumhur Ulama. Alasannya, walaupun tidak ada seruan secara jelas dalam al-Quran maupun Hadits tentang kewajiban khutbah Jumat, tapi sudah sangat jelas hukumnya wajib dengan melihat perbuatan shalat Nabi, yang mana Nabi tidak pernah meninggalkan Khutbah dalam melaksanakan ibadah shalat Jumat. Selanjutnya juga sangat jelas dalam firman Allah ( )dapat diartikan sebagai anjuran untuk berkhutbah. Sebab dalam ayat tersebut terdapat perintah yang hukumnya wajib, s