skripsi diajukan kepada fakultas ushuluddin untuk memenuhi

95
AYQ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’ĀN (Kajian Komparatif Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al-Sya’rāwī Tentang Ayat- Ayat ayq) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Alvi Luthfiyah Destari NIM. 11140340000096 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/ 2018 M

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ḌAYQ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’ĀN

(Kajian Komparatif Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al-Sya’rāwī Tentang Ayat-

Ayat Ḍayq)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Alvi Luthfiyah Destari

NIM. 11140340000096

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1439 H/ 2018 M

ḌAYQ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’ĀN

(Kajian Komparatif Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al-Sya’rāwī Tentang Ayat-

Ayat Ḍayq)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh:

Alvi Luthfiyah Destari

NIM. 11140340000096

Di bawah bimbingan:

Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA

NIP. 19550725 200012 2 001

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1439 H/ 2018 M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Kedudukan Anak Terhadap Orang Tua (Kajian

Tafsir Tematik)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu, 19 September 2018. Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada

program Studi Ilmu al-Qur’ān dan Tafsir.

Ciputat, 19 September 2018

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M. Si

NIP. 19651129 199403 1 002

Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Banun Binaningrum, M.Pd

NIP. 19680618199903 2 001

Penguji I

Dr. Ahsin Sakho M Asyrofuddin,

MA

NIP. 19560221 199602 1 001

Penguji II

Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA

NIP. 19690822 199703 1 002

Pembimbing

Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA

NIP. 19550725 200012 2 001

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Alvi Luthfiyah Destari

NIM : 11140340000096

Fakultas : Ushuluddin

Jurusan/Prodi : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Alamat Rumah : Kp. Bulak No. 13 RT/RW: 002/015 Klender Duren Sawit

Jakarta Timur

Judul Skripsi : Ḍayq Dalam Perspektif Al-Qur’ān (Kajian Komparatif

Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Sya’rāwī Tentang Ayat-Ayat

Ḍayq)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 di Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 19 September 2018

Alvi Luthfiyah Destari

i

ABSTRAK

Alvi Luthfiyah Destari

Ḍayq Dalam Perspektif Al-Qur’ān (Kajian Komparatif Tafsir Al-Azhar dan

Tafsir Al-Sya’rāwī Tentang Ayat-Ayat Ḍayq), 2018

Ḍayq merupakan sebuah kalimat yang menunjukkan akan perbedaannya

dari kelapangan (antonim kelapangan), dan itu merupakan kesempitan. Dalam

penelitian ini penulis ingin memfokuskan kepada kata ḍayq al-Ṣadr. ḍayq al-Ṣadr

merupakan suatu keadaan sempitnya dada yang menyebabkan dadanya manusia

menjadi galau, gelisah, sedih, takut, dan lain-lain. Zaman sekarang yang serba

modern ini semakin banyak permasalahan yang timbul dikalangan umat Islam,

kebanyakan manusia lebih mementingkan dunia daripada akhirat. Karena setiap

manusia pasti memikul beban persoalan yang harus diselesaikan. Di mana

persoalan yang datang terkadang membuat hidup ini begitu sempit. Hampir setiap

hari manusia dihadapi dengan permasalahan-permasalahan yang membuat dada

menjadi sempit. Contoh, tidak sedikit orang bahkan yang muslim sekalipun

mereka pernah merasakan yang namanya sempit dada seperti sedih, gelisah, galau,

takut. Banyak orang yang merasakan sempit dada dikarenakan faktor ekonomi

atau faktor kemiskinan, sehingga karena faktor tersebut membuat dada manusia

menjadi sempit. Dari sini penulis ingin mengkaji tentang ayat-ayat ḍayq al-ṣadr

dalam tafsir al-Azhar dan tafsir al-Sya’rawi. Penulis merujuk kepada Hamka dan

al-Sya’rāwī karena keduanya merupakan mufassir terkenal di zaman kontemporer,

dan keduanya sangat familiar dan mudah dipahami dalam menjelaskan masalah

agama. Selain itu kedua mufassir ini lahir dari kondisi dan lingkungan yang

berbeda.

Penelitian skripsi ini, secara keseluruhan penulis menggunakan metode

penelitian kualitatif. Dalam metode pengumpulan data, penulis menggunakan

metode kepustakaan (Library Research) yaitu tehnik pengumpulan data dengan

mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-

catatan, dan laporan-laporan yang ada sehingga diperoleh data-data yang

diperlukan yang berhubungan dengan masalah yang dipecahkan. Dalam metode

analisis data, penulis mengolah data tersebut dengan menggunakan metode

tematik dan muqaran (komparatif).

Hasil dari penelitian ini penulis menemukan bahwa Hamka dan al-

Sya’rāwī memiliki persamaan dan perbedaan dalam menafsirkan ḍayq al-ṣadr. Di

mana persamaan dari penafsiran keduanya tersebut terletak dalam QS. al-

Taubah/9: 25 dan QS. al-Ankabūt/29: 33, bahwa Hamka dan al-Sya’rāwī

mengartikan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa takut karena menghadapi jumlah musuh

yang jauh lebih besar. Sedangkan perbedaan penafsiran dari keduanya terletak

pada QS. Hūd/11: 12 bahwa Hamka mengartikan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa

jengkel atau kecewa dan al-Sya’rāwī menafsirkan ḍayq al-ṣadr sebagai sikap

matrealistis. Kemudian dalam QS. al-Syu’ara’/26: 13 bahwa Hamka mengartikan

ḍayq al-ṣadr sebagai rasa khawatir dan al-Sya’rāwī menafsirkan ḍayq al-ṣadr

sebagai rasa kesal.

Kata kunci: Ḍayq al-Ṣadr, Tafsir al-Azhar, Tafsir al-Sya’rāwī

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah

memberikan Taufik, Hidayah, dan Inayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul

“ḌAYQ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’ĀN (Kajian Komparatif Tafsir Al-

Azhar dan Tafsir Al-Sya’rāwī Tentang Ayat-Ayat Ḍayq)” dapat penulis

selesaikan.

Sholawat dan salam tak lupa pula kita haturkan kepada Baginda Nabi

Muhammad SAW. serta keluarga dan para sahabatnya, dan juga para pengikutnya.

Kemudian, penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai

tanpa adanya bantuan dan juga dukungan dari kedua orang tua, keluarga, dosen

pembimbing, dan teman-teman yang selalu mensupport atau mendukung penulis.

Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’ān dan

Tafsir dan Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-

Qur’ān dan Tafsir.

4. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA. selaku Dosen Pembimbing Skripsi

penulis yang telah banyak membimbing, memberi masukan dan saran

iii

kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga

sehat selalu, panjang umur, dan dimudahkan segala urusannya.

5. Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA dan Drs. Ahmad Rifqi Muchtar,

MA selaku dosen penguji sidang skripsi penulis. Mudah-mudahan bapak

selalu dalam lindungan Allah SWT.

6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen jurusan Ilmu

Al-Qur’ān dan Tafsir. Yang telah sabar dalam mendidik dan telah banyak

memberikan berbagai macam ilmu. Mudah-mudahan ilmu yang penulis

dapatkan bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.

7. Pimpinan dan staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan

Utama (PU), Perpustakaan Iman Jama’, dan Pusat Studi Al-Qur’ān.

8. Untuk kedua orang tuaku tercinta, Papah Endang Ejib dan Mamah S.

Rosyidah yang senantiasa selalu mendoakan, memberikan semangat, dan

juga motivasi kepada penulis. Semoga senantiasa Allah sehatkan

badannya, panjangkan umurnya, dimurahkan rezekinya dan selalu dalam

lindungan Allah SWT. Aamiin.

9. Untuk saudara kandung penulis yaitu Dika Komalasari, Rikza Gustianti,

dan juga kakak ipar penulis yaitu Nurjaman dan Rendi Febrianto. Semoga

selalu dalam lindungan Allah SWT.

10. Untuk keponakan-keponakan penulis yaitu M. Adzin Farras Anajka, M.

Syabil Zuhair Alrenza, dan Sabrina Inara Sakhi Anajka yang selalu

memberikan semangat disaat penulis mulai merasa jenuh. Semoga kelak

menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

iv

11. Kepada teman-teman jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014

khususnya kelas TH. C, dan juga teman-teman seperjuangan penulis yaitu

Umdatul Banat, Pramudita Suciati, Ulfah Nurazizah, Qurrata A’yun, Zahra

Luthfiana, Iva Rustiana, Ilham Dwi, M. Asywar dan teman-teman

bimbingan bersama ibu Faizah, Sayyidah, Fayyadhah, Aidah.

12. Dan semua teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 7

C. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 9

E. Kajian Pustaka ................................................................................... 10

F. Metodologi Penelitian ....................................................................... 12

G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ḌAYQ AL-ṢADR .......................... 16

A. Pengertian Ḍayq Al-Ṣadr menurut bahasa ........................................ 16

B. Pengertian Ḍayq Al-Ṣadr menurut istilah .......................................... 18

C. Derivasi kata Ḍayq Al-Ṣadr dalam al-Qur’an ................................... 20

D. Urgensi mengetahui Ḍayq Al-Ṣadr ................................................... 26

BAB III BIOGRAFI HAMKA DAN AL-SYA’RĀWĪ SERTA PROFIL

TAFSIR KEDUANYA .................................................................... 27

A. Biografi Hamka dan Profil Tafsir Al-Azhar ..................................... 27

1. Riwayat Hidup ............................................................................ 27

2. Karirnya....................................................................................... 29

vi

3. Karya-karyanya ........................................................................... 31

4. Profil Tafsir Al-Azhar ................................................................. 32

a. Metode Penafsiran dan Corak Penafsiran ............................. 32

B. Biografi Al-Sya’rāwī dan Profil Tafsir Al-Sya’rāwī ........................ 33

1. Riwayat Hidup ...................................................................... 33

2. Karirnya................................................................................. 34

3. Karya-karyanya ..................................................................... 36

4. Profil Tafsir Al-Sya’rāwī ...................................................... 36

a. Metode Penafsiran dan Corak Penafsiran ....................... 37

BAB IV ASPEK-ASPEK YANG MENYEBABKAN ḌAYQ AL-ṢADR DAN

PETUNJUK AL-QUR’ĀN DALAM MENYIKAPINYA ............... 38

A. Aspek-Aspek Yang Menyebabkan Ḍayq Al-Ṣadr Dalam Penafsiran

Hamka Dan Al-Sya’rāwī ................................................................... 38

1. Ḍayq al-Ṣadr yang berkaitan dengan faktor luar ........................ 38

a. Ḍayq al-Ṣadr akibat beratnya tantangan yang dihadapi seorang

Da’i ........................................................................................ 39

b. Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan Nabi Luth ketika malaikat

mendatangi kaumnya ............................................................ 47

c. Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan bagi orang yang tersalah ..... 51

d. Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan ketika menghadapi musuh yang

jumlahnya jauh lebih besar ................................................... 54

2. Ḍayq al-Ṣadr yang berkaitan dengan faktor diri sendiri ............. 57

vii

a. Ḍayq al-Ṣadr karena kesesatan dan kesyirikan menyebabkan

Ḍayq al-Ṣadr ......................................................................... 57

B. Petunjuk Al-Qur’ān Dalam Menyikapi Ḍayq Al-Ṣadr Menurut

Penafsiran Hamka Dan Al-Sya’rāwī ................................................. 59

1. Beriman dan bertakwa kepada akidah tauhid.............................. 60

2. Sholat .......................................................................................... 61

3. Berdo’a ........................................................................................ 63

4. Berżikir ........................................................................................ 65

5. Bersabar....................................................................................... 68

6. Tawakkal ..................................................................................... 70

BAB V PENUTUP ............................................................................................. 72

A. Kesimpulan ....................................................................................... 72

B. Saran .................................................................................................. 74

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 75

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Derivasi kata ḍayq al-ṣadr ..................................................................... 21

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang merupakan hasil keputusan

bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI

Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

A. Konsonan

ARAB NAMA LATIN KETERANGAN

Alif Tidak

dilambangkan

Tidak dilambangkan

Ba B Be ب

Ta T Te ت

Tsa Ṡ Te dan es ث

Jim J Je ج

Ḥa Ḥ Ha dengan titik di bawah ح

Kha Kh Ka dan Ha خ

Dal D De د

Żal Ż Zet dengan titik di atas ذ

Ra R Er ر

Zai Z Zet ز

Sin S Es س

Syin Sy Es dan ye ش

Ṣad Ṣ Es dengan titik di bawah ص

Ḍad Ḍ De dengan titik di bawah ض

Ṭa Ṭ Te dengan titik di bawah ط

Ẓa Ẓ Zet dengan titik di bawah ظ

Ain ‘ Koma terbalik‘ ع

Ghain Gh Ge dan ha غ

Fa F Fa ف

Qaf Q Qi ق

Kaf K Ka ك

x

Lam L El ل

Mim M Em م

Nun N En ن

Wau W We و

Ha H Ha ه

Hamzah ‘ Apostrof ء

Ya Y Ye ي

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong, vocal

rangkap atau diftong dan vocal panjang. Ketiganya adalah sebagai berikut:

1. Vokal Tunggal

Tanda Vokal Nama Latin Keterangan

Fatḥaḥ A A ا

Kasraḥ I I ا

Ḍammaḥ U U ا

Contoh:

Kataba : كتة Naṣaara dan : نصر

2. Vokal rangkap

Tanda

Vokal

Nama Latin Keterangan

Fatḥaḥ dan Ya’sakun Ai A dan I ىي

Fatḥaḥ dan Wau sakun Au A dan U ىو

Contoh:

ḥaula : حول Laisa : ليس

xi

3. Vokal panjang

Tanda Vokal Nama Latin Keterangan

Fatḥaḥ dan Ba ā A dengan garis di atas تا

Kasroh dan Ba Ī I dengan garis di atas تي

Ḍammah dan Ba Ū U dengan garis di atas تو

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟ān sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan firman

Allah (kalam Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW., yang

membuktikan risalah kenabian-Nya. Diantara tujuan diturunkannya Al-Qur‟ān

adalah untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia dalam mengarungi

kehidupan mencapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat

kelak.1 Selain sebagai kitab petunjuk, juga sebagai kitab sastra yang memiliki

i‟jaz dari sisi redaksi dan susunan kata. Karena setiap kata dalam Al-Qur‟ān

memiliki makna tersendiri dan tidak tergantikan oleh kata lain.2

Diantara petunjuk-petunjuk al-Qur‟ān adalah perintah untuk

mensucikan diri, oleh karenanya di dalam ayat-Nya terkandung pesan-pesan

pensucian hati.3 Al-Qur‟ān menjadi penasihat, penawar hati yang sedang

gelisah, tidak tenang, dada terasa sempit.

Pada saat ini di dalam dunia yang telah maju terjadinya pertentangan-

pertentangan yang mengusik dan mengganggu dalam kehidupan seseorang.

Meskipun apa yang ada pada zaman dahulu belum dikenal oleh manusia

namun sekarang bukan perkara yang baru lagi. Ini membuktikan bahwa

keadaan manusia terus berkembang.4

1 Muhammad Noor Ichwan, Memasuki Dunia Al-Qur’an (Semarang: Lubuk Raya, 2001),

h. 48. 2 Mahmud Saltut, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), h.

786. 3 Muhammad Djarot Sansa, Komunikasi Qur’aniyah Tadzabur Untuk Pensucian Jiwa

(Bandung: Pustaka Islamika, 2005), h. 142. 4 Muhammad Isa Selamat, Penawar Jiwa dan Pikiran, Cet. 3 (Jakarta: Kalam Mulia,

2005), h. 6.

2

Persoalan hidup yang dihadapi manusia begitu banyak dan kompleks.5

Setiap kita pasti memikul beban persoalan yang harus diselesaikan.6 Semua

ketidaknyamanan dalam hidup mendatangkan persoalan yang mengharuskan

kita untuk terampil dalam menghadapinya. Persoalan yang datang terkadang

membuat hidup ini begitu sempit. Dada sesak dibuatnya dan hidup pun serasa

begitu menyiksa.7

Ketika hati kita lapang, masalah apapun dapat kita hadapi dengan baik,

pekerjaan seberat apapun dapat kita selesaikan, karena hati kita merasa lapang.

Namun sebaliknya, jika hati terasa sempit, masalah sekecil apapun akan kita

rasakan berat sekali, karena belum apa-apa hati kita tidak mampu

menerimanya.8 Terkadang, ada godaan untuk menyalahkan Allah atas semua

masalah yang kita alami.9 Banyak orang yang tidak tahu apa sebabnya mereka

gelisah, galau dan tidak tenang. Mereka merasakan jiwa yang hampa dan

kosong, meskipun sebenarnya mereka memiliki harta yang banyak.10

Seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manusia berdasar tindakan yang

diinginkan oleh hati.11

Hati dalam tubuh manusia bagaikan komandan dalam

satu barisan tentara, yang merupakan sumber perintah untuk melakukan

sesuatu.12

Hati adalah landasan tempat mendarat atau turunnya semua perintah

Allah, pada hati pula muara segala sesuatu. Hati merasakan kepedihan,

5 Mustofa B. Santoso, Vitamin Shalat: Agar Ringan Bersujud, Cet. 1 (Bandung: DAR!

Mizan, 2006), h. 49. 6 Mustofa B. Santoso, Vitamin Shalat: Agar Ringan Bersujud, h. 50.

7 Mustofa B. Santoso, Vitamin Shalat: Agar Ringan Bersujud, h. 51.

8 Ratna Dewi Idrus, “Ketika Hati Terasa Sempit”, artikel diakses pada Jum‟at, 9 Februari

2018, pukul 15.30 WIB dari http://www.google.co.id/amp/s/www.islampos.com/amp/ketika-hati-

terasa-sempit-11524 9 Mustofa B. Santoso, Vitamin Shalat: Agar Ringan Bersujud, h. 51.

10 Muhammad Isa Selamat, Penawar Jiwa dan Pikiran, h. 1.

11 Muhammad Dahlan dan Muhtarom, Menjadi Guru Yang Bening Hati: Strategi

Mengelola Hati, Cet. 1 (Yogyakarta: Deepublish, 2016), h. 105. 12

Ahmad Farid, Tazkiyah an-Nafs, (Sukoharjo: Al-Hambra Publishing, 2012), h. 36.

3

merasakan senang dan bahagia. Itulah wajah hati, kadang gembira, sedih,

lapang, sempit.13

Hati adalah mudghat dari tubuh manusia, sedangkan mudghat ialah

segumpal daging, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits14

: Rasulullah

SAW. bersabda,

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ini ada sebongkah daging.

Apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan bila ia rusak, maka rusak

pula seluruh tubuh. Ketahuilah, sebongkah daging itu ialah hati”. (HR,

Bukhari dan Muslim)

Ada empat istilah yang dipakai oleh al-Qur‟ān yang dapat diartikan

sebagai hati, yaitu ṣadr15

, qalb16

, fu’ad17

, dan albab18

. Ṣadr disebutkan dalam

Al-Qur‟ān sebanyak 43 kali.19

Ṣadr berarti hati bagian luar.20

Karena

pengertiannya hati bagian luar, maka istilah “ṣadr” bisa pula diartikan sebagai

dada. Hanya dada di sini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga non fisik,

seperti akal dan hati.

Dada disebut ṣadr karena ia merupakan bagian terluar atau terdepan

pada jiwa atau hati.21

Kata ṣadr yang arti asalnya dada dari manusia dan

13

Muhammad Shayyim, Bila Hati Telah Mati: 7 Penyakit Hati Paling Berbahaya

Beserta 6 Obat Penyembuh Dan Penawarnya, (Mirqat, 2010), h. 1. 14

Said Abdul Azhim, Rahasia Kesucian Hati, Cet. 1 (Jakarta: QultumMedia, 2006), h. 3. 15

Tempat bersemayamnya keislaman, yakni penyerahan diri secara total kepada Allah

SWT. Lihat: Heri MS Faridy, dkk, Ensiklopedi Tasawuf, Cet. 1 (Bandung: Angkasa, 2008), h.

1117. 16

Tempat Iman. Lihat: Heri MS Faridy, dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 1117. 17

Tempat pengetahuan (ma’rifah). Lihat: Heri MS Faridy, dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h.

1117. 18

Tempat tauhid. Lihat: Heri MS Faridy, dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 1117. 19

Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fâz al-Qur’ân al-Karîm

(Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H), h. 404. 20

Sudirman Tebba, Tafsir Al-Qur’an: Menyingkap Rahasia Hati (Jakarta: Pustaka Irvan,

2007), h. 1. 21

Sudirman Tebba, Tafsir Al-Qur’an: Menyingkap Rahasia Hati, h. 2.

4

makhluk lainnya, sebagai tempat yang tinggi dan jalan yang luas. Ṣadr

digunakan juga untuk makna hati, karena dada adalah tempat beradanya qalb,

yakni qalb tidak ada kecuali dalam dada.22

Al-ṣadr atau yang disebut dada

diumpamakan sebagai wilayah pertempuran utama antara kekuatan positif dan

negatif di dalam diri kita, tempat kita diuji dengan kecenderungan-

kecenderungan negatif kita. Jika kekuatan positif kita kuat, maka dapat

dipenuhi oleh cahaya dan berada di bawah pengaruh jiwa ilahiyah23

, yang

terletak di lubuk hati terdalam. Di sisi lain, jika pikiran dan perasaan negatif,

seperti dengki, syahwat, dan sombong masuk ke dalam dada, atau jika dada

diliputi oleh kepedihan, penderitaan, atau pun tragedi, yang berlangsung

dalam waktu yang lama, maka dada akan dilingkupi kegelapan.24

Setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda. Berulang kali al-

Qur‟ān menyinggung dua tipe manusia dengan uraian yang sangat indah. Tipe

yang dadanya lapang dan luas serta tipe yang dadanya sempit dan kaku.25

Dada yang dirasakan lapang adalah suatu tujuan yang tinggi dan cita-cita yang

utama.

Jika Allah SWT. mengaruniakan kelapangan dada pada seseorang

akibat dimudahkan urusannya, akan tercapailah kemashlahatan dunia dan

akhirat bagi orang tersebut. Adapun jika dada dirasakan sesak dan sempit,

seseorang akan jauh dari hal-hal yang mashlahat untuknya. Ia tidak mampu

22

Suparlan, Mendidik Hati Membentuk Karakter: Panduan al-Qur’an Melejitkan Hati

Memperindah Karakter, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 17. 23

Sesuatu yang digandrungi hati dengan penuh cinta, inabah, penghormatan,

pengagungan, merendahkan diri, tunduk, takut, berharap, dan tawakal. Lihat: Ibnu Qayyim al-

Jauziyah, Keajaiban Hati, penerjemah Fadhli Bahri, Cet. 1 (Batavia: Pustaka Azam, 1999), h. 47. 24

Robert Frager, Hati, Diri, dan Jiwa, penerjemah Hasmiyah Rauf, Cet 3 (Jakarta: PT

Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 59. 25

Muhammad bin Alwi, “Khazanah al-Qur‟an”, artikel diakses pada pada Selasa, 9

Januari 2018, pukul 16.19 WIB dari http://www.khazanahalquran.com/apa-sebab-hati-seseorang-

susah-menerima-kebenaran.html

5

dan tidak merasa bergairah untuk melakukan sesuatu. Keadaannya hanya silih

berganti antara kesedihan, kebingungan, dan kegundahan.26

Orang yang

mendapatkan hidayah dan iman, maka pribadinya lapang dada, sedangkan

orang yang sesat maka pribadinya sempit dada.27

Allah Ta‟ala berfirman,

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk

(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya

(sama dengan orang yang membatu hatinya?) Maka kecelakaan yang

besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat

Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Al-Zumar/39:

22)

Dada lapang mudah menerima pemahaman dan keyakinan Islam,

sebaliknya dada dirasakan sesak dan sempit jika menolak kebenaran dan

akhirnya tersesat.28

Sempit dalam Al-Qur‟ān disebut ḍayq. Dalam penelitian

ini penulis ingin mengkaji sempit dada yang terdapat dalam al-Qur‟ān yang

disebut dengan kata ḍayq al-ṣadr. Ungkapan dari kata ḍayq al-ṣadr atau dada

yang sesak maksudnya adalah ibarat berkurangnya udara yang masuk melalui

proses pernapasan ke dalam paru-paru. Udara ini yang membawa oksigen

pada paru-paru dan mengeluarkan karbondioksida dari dalamnya. Oksigen

bekerja memompa paru-paru sebagaimana makanan dalam menghasilkan

energi.

26

Artikel diakses pada Selasa, 9 Januari 2018, pukul 16.33 WIB dari

https://khotbahjumat.com/3212-lapang-dada.html 27

Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Membersihkan Hati Dari Gangguan Setan (Jakarta: Gema

Insani, 2004), h. 35. 28

Agus Purwanto, Nalar Ayat-Ayat Semesta: Menjadikan Al-Qur’an Sebagai Basis

Kontruksi Ilmu Pengetahuan (Bandung: Mizan, 2015), h. 423.

6

Maka apabila dada dirasakan sesak, kekuatan akan berkurang.29

Sedih,

galau, gelisah, marah, dan dendam adalah sifat dari sejumlah tindakan yang

menyebabkan dada kita terasa sempit. Terkadang sifat-sifat ini ada di dalam

diri dalam jangka waktu yang panjang dan terkadang hanya dalam jangka

waktu yang pendek saja. Setiap wadah jika dimasuki sesuatu maka wadah

tersebut akan menjadi sempit. Apabila dimasuki sesuatu yang lain, wadah

akan menjadi sesak, kecuali hati yang lembut.30

Zaman sekarang di mana zaman yang sudah modern ini semakin

banyak permasalahan yang timbul dikalangan umat Islam, kebanyakan

manusia lebih mementingkan dunia daripada akhirat. Misalnya, ketika

seseorang sedang dilanda sebuah masalah, karena dia merasa sempit dada,

maka dia akan merasakan sedih, gelisah, galau, takut, dan akhirnya dia tidak

bisa mengatasi masalahnya itu sendiri. Hampir setiap hari kita dihadapi

dengan permasalahan-permasalahan yang membuat dada kita merasa sesak

atau sempit. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui bagaimana ḍayq al-

ṣadr dalam perspektif al-Qur‟ān.

Untuk menggali ḍayq al-ṣadr yang digambarkan dalam al-Qur‟ān,

maka penulis memerlukan istilah tafsir al-Qur‟ān. Tafsir al-Qur‟ān adalah

penjelasan makna kata-kata dalam susunan kalimatnya, dan makna susunan

ayat-ayatnya menurut apa adanya (tanpa mengada-ada dan tidak menyimpang

sedikit pun dari makna yang sebenarnya).31

29

Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya‟rāwī , penerjemah Tim Terjemah Safir al-Azhar,

Tafsir Sya’rāwī , Jilid 7, Cet. 1 (Medan: Duta Azhar, 2007), h. 475. 30

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Qadha dan Qada: Referensi Lengkap Tentang Takdir

Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits (Jakarta: Qisthi Press, 2016), h. 286. 31

Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’ân (Jakarta: Gema Insani,

2007), h. 49.

7

Dalam penelitian ini penulis mengambil kajian perbandingan atau

komparasi dengan menggunakan penafsiran al-Sya‟rāwī dalam kitab tafsir al-

Sya‟rāwī dan Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dalam kitab tafsir al-

Azhār. Alasan penulis memilih tafsir al-Sya‟rāwī dan tafsir al-Azhār yaitu:

Pertama, karena al-Sya‟rāwī dan Hamka merupakan mufassir yang

terkenal di zaman kontemporer dan keduanya sangat familiar dan mudah

dipahami dalam menjelaskan masalah agama. Kedua, al-Sya‟rāwī dan Hamka

mempunyai persamaan dan perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat ḍayq al-

ṣadr. Ketiga, kedua mufassir ini dalam bentuk penafsiran dan corak

penafsirannya sama-sama memakai corak tafsir adabi ijtima’i yaitu suatu

corak tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang mengungkapkan dari

segi balaghah dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan susunan-

susunan yang dituju oleh al-Qur‟an mengungkapkan hukum-hukum alam dan

tatanan-tatanan masyarakat yang dikandung di dalamnya.32

Maka, menurut hemat penulis mengkomparasikan pandangan-

pandangan yang ada di dalam tafsir al-Azhār dan tafsir al-Sya‟rāwī

merupakan kajian yang cukup menarik, karena kedua mufassir ini lahir dari

kondisi dan lingkungan yang berbeda dengan jarak waktu yang tidak terlalu

jauh. Oleh karena itulah alasan penulis memilih untuk mengkomparasikan

kedua mufassir tersebut.

Jadi, dari pemaparan di atas, itulah yang mendorong penulis ingin

mengangkat sebuah tema “ḌAYQ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’ĀN

32

Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum, Literatur Tafsir Indonesia, Cet. 1 (Jakarta:

Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 170.

8

(Kajian Komparatif Tafsir Al-Azhār dan Tafsir al-Sya’rāwī Tentang

Ayat-Ayat Ḍayq)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah ditulis, permasalahan

penelitian yang penulis ajukan ini dapat diidentifikasi permasalahannya yang

akan dijadikan bahan penelitian sebagai berikut:

a. Apakah definisi ḍayq?

b. Apakah kata ḍayq itu hakiki atau majazi?

c. Apakah penyebab ḍayq dalam al-Qur‟ān?

d. Apa pengaruh ḍayq terhadap kehidupan?

e. Bagaimana petunjuk al-Qur‟ān dalam mengobati penyakit ḍayq?

f. Bagaimana penafsiran Hamka dan al-Sya‟rāwī dalam menafsirkan

ayat-ayat ḍayq?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sebagaimana yang sudah penulis paparkan di latar belakang masalah,

Dalam al-Qur‟ān, sempit menggunakan istilah ḍayq. Dalam penelitian ini

penulis memfokuskan dengan mengambil kata ḍayq al-ṣadr. Masalah ḍayq al-

ṣadr dalam al-Qur‟ān merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dibahas,

supaya kita tidak terjerumus ke dalamnya.

Dalam penelitian ini penulis memandang permasalahan penelitian yang

diangkat perlu dibatasi. Ayat-ayat ḍayq al-ṣadr dan derivasinya berjumlah 12

kali. Setelah penulis teliti, penulis mendapati 10 ayat yang berkaitan dengan

ḍayq al-ṣadr yakni QS. Hūd: 12 dan 77, QS. al-An’ām: 125, QS. at-Taubah:

25 dan 118, QS. al-Hijr: 97, QS. al-Nahl: 127, QS. al-Naml: 70, QS. asy-

9

Syu’ara’: 13, dan QS. al-Ankabut: 33. Tujuan pembatasan ini agar

pembahasan tentang ḍayq al-ṣadr tidak keluar dari tema yang dibahas.

Kemudian penulis membatasi hanya menggunakan penafsiran Hamka dan al-

Sya‟rāwī.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis dapat

merumuskan permasalahan penelitian ini dalam bentuk pertanyaan yakni:

“Bagaimana Ḍayq al-Ṣadr dalam perspektif Al-Qur‟ān menurut Hamka dan

al-Sya‟rāwī?”.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai

melalui penelitian ini, ialah:

1. Untuk mengetahui penafsiran Hamka dan al-Sya‟rāwī dalam

menafsirkan ayat-ayat ḍayq al-ṣadr.

2. Untuk memperkaya khazanah keilmuan tentang penyakit hati

seperti ḍayq al-ṣadr.

3. Untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh

gelar sarjana Strata 1 (S1) dalam Fakultas Ushuluddin Program

Studi Ilmu Al-Qur‟ān dan Tafsir.

Adapun manfaat dari penelitian ini, secara teoritis, penelitian tentang

ayat-ayat ḍayq al-ṣadr dalam perspektif al-Qur‟ān diharapkan bisa

memberikan kontribusi bagi masyarakat, dan bisa memberikan pemahaman

baru yang akan merevisi cara pandang kita terhadap masalah-masalah

kejiwaan yang kita hadapi sehari-hari, sekaligus bisa menjadi sumbangan

sederhana dalam pengembangan studi Ilmu Al-Qur‟ān dan Tafsir. Dan juga

10

secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan, khususnya

bagi mahasiswa dalam memahami penafsiran al-Qur‟ān, khususnya dalam

konteks petunjuk al-Qur‟ān tentang penyakit-penyakit hati. Sebagaimana

Allah berfirman dalam QS. Yunus/10: 57,

“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (al-

Qur’ān) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam

dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman”.

E. Kajian Pustaka

Adapun sebagai bahan perbandingan bagi penulis dan untuk

mendukung kevalidan dalam skripsi ini, maka akan penulis sampaikan

beberapa karya yang mungkin terkait dengan skripsi yang penulis bahas,

antara lain:

Skripsi yang berjudul “Konsep Ḍayq al-Ṣadr Dalam al-Qur’ān (Kajian

Tafsir Tematik)” karya Misbahul Muhajirah tahun 2012. Penulis

menyimpulkan bahwa hakikat dada yang sempit dalam al-Qur‟ān terbagi

menjadi dua bagian, yaitu pertama, ḍayq al-ṣadr yang terlihat secara fisik yg

terdapat dalam surah al-An‟ām ayat 125. Kedua, ḍayq al-ṣadr secara mental

yang terdapat dalam surah Hud ayat 12 dan surah al-Hijr ayat 97. Tema

penelitian ini merupakan salah satu bagian pembahasan yang akan penulis

lakukan, akan tetapi penelitian penulis berbeda dengan penelitian ini, karena

penelitian ini secara umum dan juga hanya tiga ayat saja yang diangkat

sebagai fokus permasalahan. Sedangkan penelitian penulis membahas ayat-

11

ayat ḍayq al-ṣadr secara keseluruhan menurut penafsiran Hamka dan al-

Sya‟rāwī.33

Skripsi yang berjudul “Kesedihan Dalam Perspektif al-Qur’ān (Telaah

Atas Sebab dan Solusi Kesedihan Dalam Ayat-Ayat al-Hazan)” karya Siti

Amanah tahun 2016. Penulis menyimpulkan bahwa Allah SWT. mengungkap

kesedihan dalam al-Qur‟an melalui ayat-ayat al-Hazan dalam tiga kategori:

kesedihan yang hadir dalam konteks larangan, kesedihan yang hadir dalam

konteks penafian, dan kesedihan yang hadir tidak dalam konteks larangan dan

penafian. Sebab-sebab yang melatarbelakangi seseorang bersedih adalah: jauh

dari Allah maka solusinya dengan memperbanyak mengingat dan mengikuti

petunjuk Allah, dosa maka solusinya adalah bertaubat, dan ketidakmampuan

untuk berbuat baik maka solusinya adalah menyadari bahwa masih ada

kebaikan lainnya.34

Jurnal yang berjudul “Penyakit Gelisah (Anxiety / Al-Halu’) Dalam

Masyarakat Islam Dan Penyelesaiannya Menurut Psiko-Spiritual Islam” yang

ditulis oleh Che Zarrina Sa'ari tahun 2001. Penulis menyimpulkan bahwa

psikologi modern hanya menitikberatkan permasalahan penyakit gelisah ini

dari aspek luaran saja. Sedangkan Islam yang menekankan masalah

keruhanian menyarankan salah satu cara yang paling berkesan untuk

mengobatinya ialah dengan melaksanakan ibadah wajib dalam Islam yaitu

sholat.35

33

Misbahul Muhajirah, Konsep Ḍayq al-Ṣadr Dalam al-Qur’ān (Kajian Tafsir Tematik),

2012. 34

Siti Amanah, Kesedihan Dalam Perspektif al-Qur’an (Telaah Atas Sebab dan Solusi

Kesedihan Dalam Ayat-Ayat al-Hazan), 2016. 35

Che Zarrina Sa‟ari, Penyakit Gelisah (Anxiety / Al-Halu’) Dalam Masyarakat Islam

Dan Penyelesaiannya Menurut Psiko-Spiritual Islam, 2001.

12

Dengan demikian, setelah penulis meneliti karya-karya di atas, penulis

berpendapat bahwa tema yang diangkat dalam skripsi ini berbeda dengan yang

lain. Adapun yang membedakan skripsi ini dengan yang lain yaitu bahwa

skripsi ini akan mengkaji ayat-ayat ḍayq al-ṣadr dengan membandingkan

penafsiran Hamka dan al-Sya‟rāwī.

F. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan sebuah karya ilmiah harus menggunakan metodologi

penelitian. Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan

rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah

disusun tercapai secara optimal.36

Adapun metode yang digunakan dalam

penelitian skripsi ini bersifat deskriptif analisis (descriptive analysis) adalah

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode

penelitian kualitatif. Dalam metode pengumpulan data, penulis

menggunakan metode kepustakaan (Library Research) yaitu tehnik

pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap

buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan

yang ada sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang

berhubungan dengan masalah yang dipecahkan.37

Adapun tehnik

penulisan skripsi ini merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan

36

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 147. 37

Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h. 27.

13

Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.38

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data

yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer39

dalam penulisan skripsi ini merujuk

pada kitab suci Al-Qur‟ān yang berkaitan dengan ayat-ayat

ḍayq al-ṣadr. Adapun literatur pokok yang menjadi acuan

dalam penelitian ini merujuk pada kitab tafsir al-Sya’rāwī

karya Muhammad Mutawalli al-Sya‟rāwī dan tafsir al-

Azhār karya Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).

b. Sumber data sekunder40

dalam penelitian ini penulis

merujuk pada kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fāż Al-

Qur’ān al-Karīm karya Muhammad Fu‟ād „Abd al-Bāqī,

kamus-kamus bahasa Arab, ensiklopedi, dan merujuk pada

buku-buku, jurnal, tesis, disertasi, artikel, makalah yang

berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas.

3. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, setelah mengumpulkan data-data dari

sumber primer dan sekunder, penulis ingin mencoba mengolah data

38

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,

Disertasi). 39

Sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli atau pihak pertama. Data

primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab riset atau penelitian. Lihat:

http://accounting-media.blogspot.co.id/2014/06/data-primer-dan-data-sekunder.html?m=1 diakses

pada hari Sabtu, 25 November 2017, Jam 21.14 WIB. 40

Sumber data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara.

Lihat: http://accounting-media.blogspot.co.id/2014/06/data-primer-dan-data-sekunder.html?m=1

diakses pada hari Sabtu, 25 November 2017, Jam 21.19 WIB.

14

tersebut dengan menggunakan metode tematik41

dan muqaran42

(komparatif). Penulis menggunakan metode tematik karena penulis

mengumpulkan ayat-ayat terlebih dahulu, kemudian penulis

membandingkannya.

Melalui metode ini, penulis ingin mencoba memaparkan

bagaimana ḍayq al-ṣadr menurut penafsiran Hamka al-Sya‟rāwī yang

kemudian dikomparasikan dengan penafsiran al-Sya‟rāwī .

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab, setiap bab

masing-masing memiliki sub bab dan disusun dengan sistematika sebagai

berikut:

BAB I dimulai dengan pendahuluan, dalam bab ini tujuannya untuk

menggambarkan secara umum atau sebagai landasan dari skripsi ini, adapun

sub dari bab ini adalah membahas mengenai latar belakang masalah,

identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah yang dimaksud untuk

mempertegas masalah yang akan diteliti agar lebih terfokus, tujuan dan

manfaat penelitian untuk menjelaskan pentingnya penelitian ini, kajian

pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

41

Menghimpun ayat-ayat al-Qur‟ān yang mempunyai maksud yang sama dalam arti

sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab-

sebab turunnya ayat tersebut. Lihat: „Abd al-Hayy al-Farmāwi, Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-

Mauḍū’i: Dirasah Manhajiyyah Mauḍiyyah (Cairo: Al-Hadharah al-„Arabiyyah, 1977), h. 23. 42

Tafsir yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat-ayat al-Qur‟ān yang

memiliki redaksi berbeda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang memiliki

redaksi yang mirip padahal kandungannya berlainan. Juga termasuk ke dalam metode komparatif ,

ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟ān yang selintas tinjau tampak berlawanan dengan al-hadits,

padahal dalam hakikatnya sama sekali tidak bertentangan. Lihat: Muhammad Amin Suma, Ulumul

Qur’an, Cet. 2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 383.

15

BAB II membahas tentang ḍayq al-ṣadr, yang meliputi pengertian

menurut bahasa dan istilah, derivasi kata ḍayq al-ṣadr dalam al-Qur‟ān, dan

urgensi mengetahui ḍayq al-ṣadr.

BAB III membahas tentang biografi Hamka dan al-Sya‟rāwī serta

profil tafsirnya. Yang meliputi riwayat hidup, karir, karya-karya, metode

penafsiran dan corak penafsirannya.

BAB IV membahas tentang aspek-aspek yang menyebabkan ḍayq al-

ṣadr dalam penafsiran Hamka dan al-Sya‟rāwī yakni, ḍayq al-ṣadr akibat

beratnya tantangan yang dihadapi seorang da‟i, ḍayq al-ṣadr karena kesesatan

dan kesyirikan, ḍayq al-ṣadr karena ketakutan Nabi Luth ketika malaikat

mendatangi kaumnya, ḍayq al-ṣadr karena ketakutan bagi orang yang tersalah,

dan ḍayq al-ṣadr karena ketakutan ketika menghadapi musuh yang jumlahnya

jauh lebih besar, serta petunjuk al-Qur‟ān dalam menyikapi ḍayq al-ṣadr

menurut Hamka dan al-Sya‟rāwī yaitu beriman dan bertakwa kepada akidah

tauhid, sholat, berdo‟a, berdzikir, bersabar, dan tawakkal.

BAB V merupakan bab terakhir atau penutup dari penelitian skripsi

ini, yang berisi kesimpulan dengan tujuan untuk memberikan jawaban dari

hasil penelitian. Kemudian saran-saran dari peneliti untuk para peneliti

selanjutnya.

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ḌAYQ AL-ṢADR

Pada bab ini, penulis ingin memaparkan tentang tinjauan umum ḍayq al-

ṣadr, yang meliputi pengertian ḍayq al-ṣadr menurut bahasa dan istilah, derivasi

dari kata ḍayq al-ṣadr, dan urgensi mengetahui ḍayq al-ṣadr.

A. Pengertian Ḍayq al-Ṣadr Menurut Bahasa

Ḍayq al-Ṣadr terdiri dari dua kata, yaitu ḍayq dan al-ṣadr. Secara

bahasa dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, kata ḍayq berasal dari

kata ḍāqa – yaḍīqu - ḍayqan ( ) yang artinya sempit.1

Kata ḍayq diambil dari kata ḍīq yang berarti “sempit” dan biasanya

digunakan untuk melukiskan kemiskinan, kikir, dan sedih. Dalam al-Qur‟ān

surah Hud ayat 12 terdapat kata (ḍā‟iqun bihi ṣadruka) yang

artinya “hatimu sempit karenanya”.2

Lafadz ḍayq disebutkan dalam al-Qur‟ān sebanyak 12 kali.3 Dalam

kitab Mu‟jam al-Maqāyas Fī al-Lughah, kata ḍayq huruf

merupakan sebuah kalimat yang menunjukkan akan perbedaannya dari

kelapangan (antonim kelapangan), dan itu merupakan kesempitan.4

1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab –Indonesia (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), h. 834. 2 Departemen Agama RI, al-Qur‟ān dan Tafsirnya, Cet. 4 (Jakarta: Departemen Agama

RI, 2009), h. 391. 3 Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fâz al-Qur‟ân al-Karîm

(Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H), h. 424. 4 Abu al-Husayn Ahmad bin fāris bin zakariyyā, Mu‟jam al-Maqāyas Fī al-Lughah, Jilid

II (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1970), h. 607.

17

Dalam kamus Lisan al-„Arab, dikatakan bahwa ḍayq adalah batalnya

keluasan atau sempitnya perkara.5 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

sempit artinya lekas marah dan tidak sabar.6 Adapun sesak menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia artinya sendat atau senak, sukar bernapas, berasa

sesak di dada sehingga tidak dapat bernapas dengan lega.7

Sedangkan kata ṣadr adalah maṣdar dari kata ṣadara – yaṣduru –

ṣadran ( صدر –يصدر –صدر ) yang secara bahasa memiliki beberapa arti,

antara lain yaitu, datang, pergi, dan memulai. Kata ṣadr juga berarti anggota

badan bagian depan (dada).8

Lafadz ṣadr disebutkan dalam al-Qur‟ān sebanyak 43 kali.9 Dalam

kitab Mu‟jam al-Maqāyas Fī al-Lughah, kata ṣadr huruf ص , د , ر merupakan

dua asal yang ṣahih: salah satu diantara keduanya menunjukkan terhadap

perbedaan kedatangan, dari yang lainnya merupakan dadanya manusia dan

selainnya.10

Adapun dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, lafadz ṣadr ( صدر

) artinya dada.11

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dada berarti bagian

tubuh sebelah depan di antara perut dan leher.12

Dalam kamus Lisān al-„Arab,

5 Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-Afriqiy al-Mishriy,

Lisān al-Arab, Jilid 10, Cet. 3 (Beirut: Darus Shadir, 1994), h. 208. 6 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, Cet. 4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utara, 2008), h. 1264. 7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, Cet. 4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utara, 2008), h. 1292. 8 Heri MS Faridy, dkk, Ensiklopedi Tasawuf, Cet. 1 (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1116.

9 Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fâz al-Qur‟ân al-Karîm

(Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H), h. 404. 10

Abu al-Husayn Ahmad bin fāris bin zakariyyā, Mu‟jam al-Maqāyas Fī al-Lughah, Jilid

II (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1970), h. 587. 11

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab –Indonesia (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997), h. 768. 12

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, Cet. 4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utara, 2008), h. 282.

18

kata ṣadr dengan bentuk jamak ṣudur berarti bagian atas atau bagian depan

dari segala sesuatu, atau bisa dikatakan permulaan sesuatu.13

Secara umum kata ṣadr tidak diartikan sebagai dada secara fisik,

seperti yang disebutkan di dalam QS. Ṭāhā ayat 25, Rabbi Syrah Lī Ṣadrī (

= wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku). Jadi ḍayq al-ṣadr

menurut bahasa adalah sempitnya dada atau sempitnya hati.

B. Pengertian Ḍayq al-Ṣadr Menurut Istilah

Dalam Ensiklopedi al-Qur‟ān, kata ḍayq memiliki makna yang sama

dengan kata al-Haraj yang artinya sempit.14

Kata al-Haraj menurut

kesepakatan ahli bahasa berarti asy-syadid adh-dhayyiq (kondisi yang sangat

sempit). Seperti seorang laki-laki disebut rajulun haraj manakala hatinya

sangat sempit.15

Maka dari kedua kata tersebut memiliki perbedaan, yakni al-

Haraj lebih sempit daripada ḍayq.16

Kelapangan dada adalah isyarat kepada suatu kekuatan untuk

menerima dan menemukan kebenaran, hikmah, dan kebijaksanaan; serta

kekuatan untuk menahan diri dari keinginan hawa nafsu, kemarahan dan

sebagainya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan dada bukanlah suatu

benda berbentuk materi, tetapi sesuatu yang immateri yang berada di balik

dada.

13

Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-Afriqiy al-Mishriy,

Lisān al-Arab, Jilid 4, Cet. 3 (Beirut: Darus Shadir, 1994), h. 445. 14

M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur‟ān Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya (Jakarta:

Yayasan Bimantara, 1997), h. 126. 15

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Qadha dan Qadar: Referensi Lengkap Tentang Takdir

Berdasarkan al-Qur‟an dan Hadis, (Jakarta: Qisthi Press, 2016), h. 285. 16

M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur‟ān Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya (Jakarta:

Yayasan Bimantara, 1997), h. 126.

19

Orang yang telah dilapangkan oleh Allah SWT. akan mendapat

cahaya, sehingga kekuatan di dalam dada manusia (kalbu) dapat menerima

kebenaran, hikmah, dan kebijaksanaan, seperti firman Allah SWT., dalam QS.

al-Zumar/39: 22,

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk

(menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya

(sama dengan orang yang hatinya telah membatu)? Maka celakalah

mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka

itu dalam kesesatan yang nyata”.

Sebaliknya orang yang tidak mendapat cahaya kalbunya, tidak akan

memiliki kekuatan untuk menerima kebenaran, tetapi mendapat kesesatan

yang dikatakan “sempit dadanya”, seperti firman Allah QS. al-An‟ām/6: 125,

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya

petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama)

Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya

Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang

mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-

orang yang tidak beriman”.

Ṣadr berarti hati bagian luar.17

Karena pengertiannya hati bagian luar,

maka istilah “ṣadr” bisa pula diartikan sebagai dada. Hanya dada di sini tidak

17

Sudirman Tebba, Tafsir Al-Qur‟an: Menyingkap Rahasia Hati (Jakarta: Pustaka Irvan,

2007), h. 1.

20

hanya bersifat fisik, tetapi juga non fisik, seperti akal dan hati. Dada disebut

ṣadr karena ia merupakan bagian terluar atau terdepan pada jiwa atau hati.18

Kata ṣadr yang arti asalnya dada dari manusia dan makhluk lainnya,

sebagai tempat yang tinggi dan jalan yang luas. Ṣadr digunakan juga untuk

makna hati, karena dada adalah tempat beradanya qalb, yakni qalb tidak ada

kecuali dalam dada.19 Al-Ṣadr atau yang disebut dada diumpamakan sebagai

wilayah pertempuran utama antara kekuatan positif dan negatif di dalam diri

kita, tempat kita diuji dengan kecenderungan-kecenderungan negatif kita. Jika

kekuatan positif kita kuat, maka dapat dipenuhi oleh cahaya dan berada di

bawah pengaruh jiwa ilahiyah20

, yang terletak di lubuk hati terdalam.

Jadi, ḍayq al-ṣadr menurut istilah adalah suatu peristiwa sempitnya

dada yang menyebabkan dadanya manusia atau hatinya manusia menjadi

galau, gelisah, sedih, takut, dan lain-lain.

C. Derivasi Kata Ḍayq Al-Ṣadr Dalam Al-Qur’ān

Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bāqī dalam kitab Mu‟jam al-Mufahras Li

al-Fāz al-Qur‟ān al-Karīm mencatat bahwa kata ḍayq dengan berbagai

derivasinya dalam al-Qur‟ān disebutkan sebanyak 12 kali21

Ḍāqa ( ),

18

Sudirman Tebba, Tafsir Al-Qur‟an: Menyingkap Rahasia Hati (Jakarta: Pustaka Irvan,

2007), h. 2. 19

Suparlan, Mendidik Hati Membentuk Karakter: Panduan al-Qur‟an Melejitkan Hati

Memperindah Karakter, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 17. 20

Sesuatu yang digandrungi hati dengan penuh cinta, inabah, penghormatan,

pengagungan, merendahkan diri, tunduk, takut, berharap, dan tawakal. Lihat: Ibnu Qayyim al-

Jauziyah, Keajaiban Hati, penerjemah Fadhli Bahri, Cet. 1 (Batavia: Pustaka Azam, 1999), h. 47. 21

Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fâz al-Qur‟ân al-Karîm

(Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H), h. 424.

21

Ḍāqat ( ), Yaḍīqu ( ), Lituḍayyiqū ( ), Ḍayqin ( ),

Ḍayqān ( ), Ḍāiqun ( ).

Dalam bentuk fi‟il māḍī, ḍāqa dan ḍāqat disebut dua kali, bentuk fi‟il

muḍari, yaḍīqu disebut dua kali dan lituḍayyiqū disebut satu kali, bentuk

maṣdar, ḍayqin dan ḍayaqān disebut dua kali, dan dalam bentuk isim fā‟il,

ḍāiqun disebut satu kali. Sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.1: Derivasi kata ḍayq al-ṣadr

Bentuk

Derivasi

Surat dan

No. Ayat

Ayat Makkiyah/

Madaniyah

QS. Hud:

77

Dan ketika para utusan Kami

(para malaikat) itu datang kepada

Luth, dia merasa curiga dan

dadanya merasa sempit karena

(kedatangan) nya. Dia (Luth)

berkata, “ini hari yang sangat

sulit”.

Makkiyah

QS. al-

Ankabūt:

33

Dan ketika para utusan Kami

(para malaikat) datang kepada

Luth, dia merasa bersedih hati

Makkiyah

22

karena (kedatangan) mereka, dan

(merasa) tidak mempunyai

kekuatan untuk melindungi

mereka, dan mereka (para utusan)

berkata, “Janganlah engkau takut

dan jangan (pula) bersedih hati.

Sesungguhnya kami akan

menyelamatkanmu dan pengikut-

pengikutmu, kecuali istrimu, dia

termasuk orang-orang yang

tinggal (dibinasakan)

QS. at-

Taubah:

25

Sesungguhnya Allah telah

menolong kamu (hai Para

mukminin) di medan peperangan

yang banyak, dan (ingatlah)

peperangan Hunain, Yaitu diwaktu

kamu menjadi congkak karena

banyaknya jumlah (mu), Maka

jumlah yang banyak itu tidak

memberi manfaat kepadamu

sedikitpun, dan bumi yang Luas itu

telah terasa sempit olehmu,

kemudian kamu lari kebelakang

dengan bercerai-berai.

Madaniyah

QS. At-

Taubah:

118

Madaniyah

23

Dan terhadap tiga orang22

yang

ditangguhkan (penerimaan taubat)

mereka, hingga apabila bumi telah

menjadi sempit bagi mereka.

Padahal bumi itu luas dan jiwa

merekapun telah sempit (pula

terasa) oleh mereka, serta mereka

telah mengetahui bahwa tidak ada

tempat lari dari (siksa) Allah,

melainkan kepada-Nya saja.

Kemudian Allah menerima taubat

mereka agar mereka tetap dalam

taubatnya. Sesungguhnya Allah-

lah yang Maha Penerima taubat

lagi Maha Penyayang.

QS. al-

Hijr: 97 Dan Kami sungguh-sungguh

mengetahui, bahwa dadamu

menjadi sempit disebabkan apa

yang mereka ucapkan.

Makkiyah

QS. Asy-

Syu‟ara‟:

13 Dan (karenanya) sempitlah

dadaku dan tidak lancar lidahku

maka utuslah (Jibril) kepada

Harun

Makkiyah

QS. al-

Nahl: 127

Danbersabarlah (Muhammad) dan

kesabaranmu itu semata-mata

dengan pertolongan Allah dan

Makkiyah

22

Tiga orang itu adalah Ka‟ab bin Malik dari Bani Salamah, Hilal bin Umayah dari Bani

„Auf, dan Marrah bin Rabi‟ dari Bani „Amr bin „Auf. Lihat: Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XI

(Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 73.

24

janganlah engkau bersedih hati

terhadap (kekafiran) mereka dan

jangan (pula) bersempit dada

terhadap tipu daya yang mereka

rencanakan

QS. al-

Naml: 70

Dan janganlah engkau bersedih

hati terhadap mereka, dan

janganlah (dadamu) merasa

sempit terhadap upaya tipu daya

mereka.

Makkiyah

QS. al-

An‟ām:

125

Barangsiapa yang Allah meng-

hendaki akan memberikan

kepadanya petunjuk, niscaya Dia

melapangkan dadanya untuk

(memeluk agama) Islam. Dan

barangsiapa yang dikehendaki

Allah ke-sesatannya, niscaya Allah

menjadikan dadanya sesak lagi

sempit, seolah-olah ia sedang

mendaki langit. Begitulah Allah

menimpakan siksa kepada orang-

orang yang tidak beriman.

Makkiyah

25

QS. Hud:

12

Maka boleh jadi kamu hendak

meninggalkan sebahagian dari

apa yang diwahyukan kepadamu

dan sempit karenanya dadamu,

karena khawatir bahwa mereka

akan mengatakan: “mengapa

tidak diturunkan kepadanya

perbendaharaan (kekayaan) atau

datang bersama-sama dengan dia

seorang malaikat?”.

Sesungguhnya kamu hanyalah

seorang pemberi peringatan dan

Allah Pemelihara segala sesuatu

Makkiyah

QS. at-

Thalaq: 6

Tempatkanlah mereka (para istri)

di mana kamu bertempat tinggal

menurut kemampuanmu dan

janganlah kamu menyusahkan

mereka untuk menyempitkan (hati)

mereka. Dan jika mereka (istri-

istri yang sudah ditalak) itu

sedang hamil, maka berikanlah

kepada mereka nafkahnya sampai

mereka melahirkan

kandungannya, , kemudian jika

mereka menyusukan (anak-

anak)mu maka berikanlah

imbalannya kepada mereka, dan

Madaniyah

26

dan musyawarahkanlah di antara

kamu (segala sesuatu) dengan

baik, dan jika kamu menemui

kesulitan, maka perempuan lain

boleh menyusukan (anak itu)

untuknya.

Sumber: Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bāqī, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāz

al-Qur‟ān al-Karīm (Kairo: Dār al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H), h. 424.

Dari tabel-tabel yang penulis sebutkan di atas, maka penulis bisa

mengklasifikasikan ḍayq yang ada di dalam al-Qur‟ān terutama adalah ḍayq

al-ṣadr yang terdapat pada QS. Hud: 12, QS. Asy-Syu‟ara‟: 13, dan QS. al-

Hijr: 97.

D. Urgensi Mengetahui Ḍayq al-Ṣadr

Ḍayq al-şadr merupakan salah satu bagian dari penyakit hati. Di sini

penulis ingin memaparkan betapa pentingnya mengetahui ḍayq al-ṣadr,

sebagai berikut: Pertama, agar selalu mengikat hatinya dengan iman dan

tawakal kepada Allah SWT. dalam segala urusan. Kedua, selalu menghindari

sekecil apapun semua perbuatan maksiat. Ketiga, selalu membersihkan hati

dari sifat-sifat tercela, kemudian menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji.23

23

Uwes al-Qorni, 60 Penyakit Hati, Cet. 9 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), h.

9.

27

BAB III

BIOGRAFI HAMKA DAN AL-SYA’RĀWĪ SERTA PROFIL TAFSIR

KEDUANYA

Dalam bab ini penulis ingin memaparkan tentang biografi Hamka dan al-

Sya‟rāwī serta profil tafsir keduanya.

A. Biografi Hamka dan Profil Tafsir Al-Azhar

1. Riwayat Hidup Hamka

Hamka merupakan nama singkatan dari nama Haji Abdul Malik

Karim Amrullah. Nama ini adalah nama sesudah beliau menunaikan

ibadah haji pada 1927 dan mendapat tambahan Haji.1 Hamka adalah tokoh

yang fenomenal tidak hanya pada lapangan kesusastraan, tapi juga

lapangan keagamaan, kenegaraan, sosial, politik, dan budaya.2 Hamka

pernah menjadi salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis

dan menerbitkan buku sehingga sempat dijuluki “Hamzah Fansuri” di era

modern.3 Beliau dilahirkan pada tanggal 14 Muharram 1326 H bertepatan

dengan 17 Februari 1908 M4 di sebuah desa bernama Tanah Sirah, dalam

Nagari Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau.5 Hamka dibesarkan dalam

keluarga yang alim dan taat menjunjung tinggi agama.6 Ayahnya seorang

1 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum, Literatur Tafsir Indonesia, Cet. 1 (Jakarta:

Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 156. 2 Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling

Berpengaruh, Cet. 1 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 79. 3 M. Iqbal Dawami, Kamus Istilah Populer Islam: Kata-Kata yang Paling Sering

Digunakan di Dunia Islam (t.t: Penerbit Erlangga, 2013), h. 80. 4 Nasir Tamara, Hamka Di Mata Hati Ummat, Cet. 3 (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), h.

51. 5 Danau Maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam,

Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Lihat: Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum, Literatur Tafsir

Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 156. 6 Nasir Tamara, Hamka Di Mata Hati Ummat, Cet. 3 (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), h.

51.

28

ulama terkenal Dr. H. Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul pembawa

faham-faham Islam di Minangkabau. Ibu Hamka bernama Shofiyah.7

Hamka adalah salah seorang murid tokoh perherakan Islam, H.O.S.

Tjokroaminoto. Tidak mengherankan kalau ia tumbuh dalam naungan

kaidah-kaidah Islam. Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi

Islam modern Muhammadiyah. Bahkan Hamka bisa disebut sebagai tokoh

utama berdirinya organisasi itu di wilayah Sumatera Barat.8

Sebagai putra dari seorang tokoh Islam, kehidupan dan

pendidikannya kental dengan nuansa keagamaan. Hamka mengawali

pendidikan membaca al-Qur‟an di rumah orang tuanya ketika mereka

sekeluarga memutuskan pindah dari Maninjau ke Padang Panjang, pada

tahun 1914 M. Dan setahun kemudian, setelah Hamka mencapai tujuh

tahun, dia dimasukan ke sekolah desa.9 Ia mengecap pendidikan Sekolah

Desa sampai kelas 2. Kemudian mengikuti pendidikan agama dan bahasa

Arab di Perguruan Thawalib, Parabek, Bukittinggi Sumatera Barat.10

Hamka mempunyai bakat dalam bidang bahasa Arab yang menyebabkan

ia dengan cepat daapat menguasai bahasa Arab sehingga ia mampu

membaca secara luas literatur Arab, termasuk terjemahan tulisan-tulisan

barat.11

Bakat tulis menulis tampaknya memang telah dibawanya sejak

7 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, Cet. 2 (Tangerang: Mazhab Ciputat, 2013), h.

171. 8 Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus

Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, Cet 3 (Yogyakarta:

Penerbit NARASI, 2007), h. 79. 9 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum, Literatur Tafsir Indonesia, Cet. 1 (Jakarta:

Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 157. 10

Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, 33 Tokoh Sastra Indonesia

Paling Berpengaruh, Cet. 1 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 79. 11

Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve,

1993), h. 75.

29

kecil, yang diwarisinya dari ayahnya, yang selain tokoh ulama juga

penulis, terutama majalah al-Munir.12

Keadaan ini membuat Hamka menjadi jenuh dan ditambah pula

dengan sikap ayahnya yang keras. Semua orang mengetahui bahwa

ayahnya Hamka seorang yang keras kepala dan apa yang menjadi

pendiriannya akan diperintahkan dengan segenap pengetahuan dan

pengalamannya. Karena Hamka merasa terkekang dan hilang

kebebasannya, akhirnya Hamka menimbulkan sikap menyimpang. Hamka

sering mengunjungi perpustakaan yang dikelola oleh Zainuddi Labai untuk

menghilangkan rasa jenuhnya.13

Pada bulan Februari tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah

untuk menunaikan ibadah Haji dan bermukim di sana kurang lebih enam

bulan. Selama di Mekkah Hamka bekerja di sebuah percetakan dan

kembali pada bulan Juli tahun 1927. Pada tahun 1928, Hamka menjadi

peserta ketika organisasi Muhammadiyah mengadakan Mukhtamar di

Solo. Saat itu Hamka tidak pernah absen dalam setiap Mukhtamar

Muhammadiyah. Pada tahun 1930, Hamka diutus oleh pengurus cabang

Padang Panjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada

tahun 1953, berdirinya Mukhtamar Muhammadiyah yang ke-32 Hamka

terpilih menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai akhir

hayatnya.14

2. Karir Hamka

12

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta:t.p, 1988), h. 313-314. 13

Hamka, Falsafah Hidup, Cet. 2 (Jakarta: Pustaka Punjimas, 1984), h. 2. 14

Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, h. 76.

30

Hamka pindah ke Jakarta dan memulai karirnya sebagai pegawai

negeri golongan F di kementrian Agama yang dipimpin oleh Wahid

Hasyim pada tahun 1949. Di sana beliau memberikan kuliah pada

Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta,

Universitas Islam Jakarta, Universitas Muslim Indonesia, dan Universitas

Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan. Pada tahun 1955, Hamka menjadi

anggota Konstituante untuk mewakili Masyumi.15

Sepulangnya ke Indonesia, Hamka sempat menjadi guru agama di

Deli Sumatera Timur, selanjutnya pergi ke Medan dan terjun dalam

lapangan jurnalistik (penerbitan). Dalam bidang ini, Hamka pernah

memimpin majalah Pedoman Masyarakat, Gema Islam, dan Panji

Masyarakat. Kontribusi lainnya dari sastrawan penerima gelar doctor

kehormatan dari Universitas al-Azhar Mesir (1956) ini adalah menjadi

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, meski sempat

mengundurkan diri karena teguh mempertahankan prinsipnya. Hamka

memusatkan kegiatannya dalam dakwah Islamiyyah dan menjadi Imam di

Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Jakarta setelah konstituante

dibubarkan pada tahun 1956 dan Masyumi dibubarkan pada tahun 1960.16

Pada tahun 1962 Hamka mulai menafsirkan al-Qur‟an dengan

nama Tafsir al-Azhar. Sebagian besar terselesaikan selama di tahanan dua

tahun tujuh bulan. Pada hari sabtu, 6 Juni 1974 Hamka mendapat gelar DR

dalam kesusasteraan di Malaysia.17

Pada tahun 1975, ketika berdirinya

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hamka terpilih menjadi ketua umum

15

Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, h. 76. 16

Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, h. 76. 17

Hamka, Tasawwuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 11.

31

pertama dan pada tahun 1980 beliau terpilih lagi untuk periode

kepengurusan kedua.18

Pada bulan Mei tahun 1981, Hamka mengundurkan

diri dari jabatan Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia).19

3. Karya-karya Hamka

Pada usia tujuh belas tahun, sekitar tahun 1925. Hamka telah

menerbitkan bukunya yang pertama, Khatibul Ummah, yang berarti Khatib

dan Ummat. Kisah perjalanan naik haji ke tanah suci ditulisnya dalam

surat kabar Pelita Andalas. Pada tahun 1928, ia menerbitkan majalah

Kemajuan Zaman dan pada tahun 1932 ia terbitkan pula majalah al-

Mahdi. Kedua majalah ini bercorak kesusastraan dan keagamaan.20

Karya-

karya Hamka lainnya yang tidak kalah berpengaruh di masyarakat adalah

Di Bawah Lindungan Ka’bah yang diterbitkan pada tahun 1936, Merantau

Ke Deli dan Tuan Direktur diterbitkan pada tahun 1939.21

Karya-karya di atas hanyalah sebagian kecil dari karya-karya

Hamka yang sangat begitu luas. Dari berbagai sumber yang diketahui

bahwa kurang lebih ada 100 judul buku yang telat terbit, yang terus

mengalami cetak ulang dari waktu ke waktu. Ada beberapa karya Hamka

dalam bidang keilmuan, keagamaan, dan falsafah, diantaranya adalah

Tasawuf Modern dan Falsafah Hidup diterbitkan pada tahun 1939, dan

Lembaga Hidup dan Lembaga Budi diterbitkan pada tahun 1940. Buku-

18

Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, h. 76. 19

Hamka, Tasawwuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 159. 20

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta:t.p, 1988), h. 313-314. 21

Jamal D. Rahman, dkk, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Cet. I

(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 78.

32

buku tersebut dicetak ulang, kemudian diterbitkan menjadi satu buku

yakni dengan judul Mutiara Filsafat.22

Karya-karya Hamka yang lainnya, yaitu:

1. Pelajaran Agama Islam (1952).

2. Tafsir al-Azhar Juz 1-30.

3. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan

Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958).

4. Kedudukan Perempuan Dalam Islam (1973).

5. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1974).

4. Profil Tafsir Al-Azhār

Tafsir al-Azhār ditulis ketika Hamka berada dalam penjara pada

tahun 1962. Dalam penahanan inilah Seri Tafsir al-Azhār dapat

diselesaikan pada tahun 1964.23

Di sini penulis hanya memaparkan metode

penafsiran dan corak penafsiran Hamka saja.

a. Metode Penafsiran dan Corak Penafsiran

Dalam setiap karya tafsir pastinya akan tampak dengan apa

yang dinamakan dengan bentuk, metode, dan karakteristik atau

corak penafsiran, tidak kecuali dengan tafsir al-Azhār.24

Namun di

sini penulis hanya membahas metode dan corak penafsirannya saja.

Hamka memiliki metode penafsiran yang berbeda-beda.

Beliau mempunyai ciri tersendiri dalam menafsirkan al-Qur‟ān.

Metode penafsiran Hamka termasuk dalam metode tahlili, yaitu

22

Jamal D. Rahman, dkk, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Cet. I

(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 80. 23

Jamal D. Rahman, dkk, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, h. 81. 24

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka panji Mas,

1990) h. 53.

33

menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟ān dengan memaparkan segala aspek

yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta

menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai

dengan keahlian dan kecenderungan mufassirnya.25

Corak tafsir al-Azhār dapat dikategorikan sebagai tafsir

yang bercorak adabi ijtima’i. Dinamakan adabi karena Hamka

adalah seorang pujangga yang menggeluti sastra sehingga setiap

karyanya dipengaruhi nilai-nilai sastra, sedangkan dinamakan

ijtima’i karena Hamka dalam tafsirnya tidak hanya menyajikan

potret kehidupan bangsa Arab abad ke-6 saja akan tetapi Hamka

membawa permasalahan kontemporer ke dalam tafsirnya.26

B. Biografi Al-Sya’rāwī dan Profil Tafsir Al-Sya’rāwī

1. Riwayat hidup al-Sya‟rāwī

Nama lengkap al-Sya‟rāwī adalah Muhammad Mutawallī al-

Sya‟rāwī al-Husnia. Al-Sya‟rāwī lahir pada hari Ahad, tanggal 17 Rabi‟

al-Tsani 1329 H bertepatan dengan 16 April 1911 M, di desa Daqadus,

Kecamatan Midghamar, Kabupaten Daqhaliyah.27

Al-Sya‟rāwī wafat pada

tanggal 17 Juni 1998 M/ 22 Shafar 1419 H.28

Dia tamat menghafal al-

Qur‟ān bersama para kuttāb di kampungnya pada usia 11 tahun.

Kemudian al-Sya‟rāwī di sekolahkan oleh ayahnya di sekolah

dasar (ma’had ibtidāī) al-Azhār di Zaqaziq pada 1926 M. Setelah

25

Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Cet. 2 (Jogjakarta: Pustaka

Pelajar, 2000), h. 31. 26

Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), h. 137. 27

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,

Cet. 2 (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 143 28

Herry Muhammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema

Insani Press, 2006), h. 277.

34

memndapat ijazah sekolah dasar al-Azhār pada tahun 1932M, lalu dia

melanjutkan sekolah ke tingkat menengah (qism tsanawi) dan

mendapatkan ijazah sekolah menengah al-Azhār pada 1936 M.29

Kemudia

al-Sya‟rāwī melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhār dengan

mengambil jurusan bahasa Arab pada tahun 1937 M hingga tahun 1941 M.

pada tahun 1940 ia melanjutkan ke jenjang doctoral dan memperoleh gelar

„Ālamiyyat (LC) dalam bidang bahasa dan sastra Arab.30

2. Karir al-Sya‟rāwī

Al-Sya‟rāwī semasa hidupnya memangku berbagai jabatan.

Adapun awal karir yang ia tekuni adalah sebagai guru di sekolah al-Azhār

yang berada di kota Ṭanṭa31 pada tahun 1943 M.

32 Dari sini dia dimutasi

ke sekolah al-Azhār yang berada di kota Iskandaria (Alexandria) lalu

dipindahkan kembali ke kota Zaqaziq, tempat beliau menimba ilmu

sebelumnya.33

Dia juga pengajar mata kuliah Tafsir dan Hadis di Fakultas

Syariah Universitas Malik Abdul Aziz di Makkah pada 1951. Pada tahun

1960 M, ia diangkat menjadi wakil kepala sekolah Lembaga Pendidikan

al-Azhar di Thantha.34

Sepulangnya dari kerajaan Saudi Arabia, dia

ditempatkan sebagai staf Ma‟had al-Azhar Thantha. Dia menerima jabatan

29

Syaikh Mutawalli al-Sya‟rawi penerjemah A. hanafi, Tirulah Shalat Nabi: Jangan Asal

Shalat (Bandung: PT Mizania Pustaka), h. 1. 30

Ahmad al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi: Imam al-‘Asr (al-

Qāhirah: Handar Misr, 1990), h. 74. 31

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,

Cet. 2 (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 145 32

Muhammad Fauzi, As-Syeikh al-Sya’rawi: Baina al-Islam wa al-Siyasah (Kairo: Dar

al-Nashr, 1990), h. 8. 33

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,

Cet. 2 (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 145 34

Muhammad Musthafa al-Mursy, Rihlah fī A’maq al-Sya’rawi (Kairo: Dar al-Sahwah,

1991) h. 9.

35

sebagai mudīr (Kepala Bagian) Da‟wah Islamiyyah Wizāratul Auqāf

(Kementrian Perwakafan) pada tahun 1961 di Provinsi Gharbiyyah.

Pada 1962, Syaikh Mutawalli al-Sya‟rāwī ditempatkan sebagai

peneliti ilmu-ilmu Arab di Universitas al-Azhar. Pada 1964, Imam Akbar

Syaikh Hasan Ma‟mun yang juga Syaikh Azhar memilih dia sebagai

Kepala Bagian Perpustakaan Universitas al-Azhar. Pada tahun 1964, al-

Sya‟rawi menjadi pengawas Departemen Bahasa Arab al-Azhar dan ia

dipilih sebagai asisten pribadi Grand Syaikh al-Azhar Hasan Ma‟mun.35

Pada 1966, Syaikh Mutawalli al-Sya‟rāwī diutus sebagai rektor di cabang

Universitas al-Azhar Aljazair setelah Negara tersebut merdeka.36

Pada

tahun 1967 M, al-Sya‟rāwī kembali ke Kairo dan bekerja menjabat sebagai

direktur di kantor Grand Syaikh al-Azhar Hasan Ma‟mun. Kemudian pada

tahun 1970 M, al-Sya‟rāwī menjadi tenaga pengajar tamu di Universitas

King Abdul Malik Abdul Aziz di Mekkah, lalu ia diangkat menjadi

direktur pada program Pascasarjana.37

Kemudian pada tahun 1973 M, al-Sya‟rāwī tampil sebagai da‟i di

salah satu stasiun televisi.38

Pada tahun 1976 M, al-Sya‟rāwī dipilih oleh

Mamdūh Salim yaitu seorang pimpinan Kabinet sebagai Menteri Wakaf.

Pada tanggal 26 Oktober 1977 M, ia ditunjuk kembali menjadi Menteri

Wakaf dan Menteri Negara yang berkaitan erat dengan al-Azhar dalam

cabinet yang dibentuk oleh Mamdūh Salim. Pada tanggal 15 Oktober 1978

35

Arif Munandar Riswanto, Khazanah Buku Pintar Islam (Bandung: Mizan, 2010), h.

468. 36

Syaikh Mutawalli al-Sya‟rawi, penerjemah A. hanafi, Tirulah Shalat Nabi: Jangan

Asal Shalat (Bandung: PT Mizania Pustaka), h. 2. 37

Herry Muhammad, Tokoh-Tokoh yang Berpengaruh pada Abad 20 (Jakarta: Gema

Insani Press, 2006), h. 275. 38

Sa‟id Abu al-„Ainain, Al-Sya’rawi Alladzi lā Na’rifuh (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1995),

h. 226.

36

M, ia diturunkan dengan hormat dalam formatur kabinet yang dibentuk

oleh Mustofa Khalil.39

3. Karya-Karya al-Sya‟rāwī

Dari sekian banyak karya tulisnya bahkan hampir seluruhnya

bukan ditulis oleh al-Sya‟rāwī sendiri, akan tetapi ditulis oleh murid-

muridnya. Al-Sya‟rāwī tidak menulis buku-bukunya karena menurut

beliau bahwa kalimat yang disampaikan secara langsung dan

diperdengarkan akan lebih mengena daripada kalimat yang disebarluaskan

dengan prantara tulisan. Adapun karya-karya al-Sya‟rāwī diantaranya:

1. Al-Isra’ wa al-Mi’raj (Peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj).

2. Asrar Bismillāhirrahmānirrahīm (Rahasia dibalik kalimat

Bismillāhirrahmānirrahīm).

3. Al-Islam wa al-Fikr al-Mu’ashir (Islam dan Pemikiran Modern).

4. Al-Islam wa al-Mar’ah: ‘Aqidah wa Manhaj (Islam dan

Perempuan, Akidah dan Metode).

5. Asy-Syura wa Arkan al-Islam (Musyawarah dan Pensyariatan

dalam Islam).

6. Al-Qadha wa al-Qadar (Qadha dan Qadar)40

.

4. Profil Tafsir al-Sya‟rāwī

Syeikh Muhammad Mutawalli al-Sya‟rāwī saat menafsirkan al-

Qur‟an, dalam ungkapan beliau, ia adalah getaran-getaran hati (khawatir),

menggunakan berbagai cara dan sarana sehingga tafsirnya dapat sampai ke

39

Mahmūd Rizq al-Amāl, Tarīkh al-Imām al-Sya’rawi dalam Majalah Manar al-Islam,

no. 6, vol. 27 (September, 2001), h. 35. 40

Pustaka Pejaten, “Biografi Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi”, artikel diakses pada

Selasa, 17 Juli 2018, pukul 15.01 WIB dari https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-

biografi/6-masyaikh/asy-syaikh-muhammad-mutawalli-as-sya-rawi

37

hati dan akal. Dalam masa yang sama beliau menggunakan mantiq, bahasa

yang sederhana, mengutarakan berbagai pendapat yang ada dalam sesuatu

perkara, sehingga tafsir beliau dapat diterima oleh para pendengar dengan

kepuasan yang sempurna.41

Kitab tafsir al-Sya‟rāwī direkam oleh murid al-Sya‟rāwī, yaitu

Muhammad al-Sinrāwī dan Abd al-Waris al-Dasūqi dari kumpulan pidato-

pidato atau ceramah-ceramah yang telah disampaikan oleh al-Sya‟rāwī.

Dengan demikian tafsir al-Sya‟rāwī ini merupakan kumpulan hasil-hasil

pidato atau ceramah al-Sya‟rāwī yang kemudian diedit dalam bentuk

tulisan buku oleh murid-muridnya.

a. Metode Penafsiran dan Corak Penafsiran

Al-Sya‟rāwī dalam tafsirnya yaitu menggunakan metode tahlili

yaitu suatu metode tafsir yang menjelaskan makna-makna yang

dikandung oleh al-Qur‟ān.

Corak penafsiran tafsir al-Sya‟rāwī adalah al-Adabi Ijtima’i,

yaitu corak penafsiran yang cenderung kepada persoalan sosial

masyarakat.42

Tafsir al-Sya‟rāwī ini dikategorikan sebagai tafsir bi al-

Ra’yi.43

41

Muhammad Fauzi, As-Syeikh al-Sya’rawi: Baina al-Islam wa al-Siyasah (Kairo: Dar

al-Nashr, 1990), h. 30-31. 42

Abdul Mun‟in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 45. 43

Shohibul Abid, dkk, Ulumul Qur’ān Profil Para Mufassir (Ciputat Timur: Pustaka

Dunia, 2011), h. 252.

38

BAB IV

ASPEK-ASPEK YANG MENYEBABKAN ḌAYQ AL-ṢADR DAN

PETUNJUK AL-QUR’ĀN DALAM MENYIKAPINYA

Dalam bab tiga ini, penulis akan memaparkan tentang aspek-aspek yang

menyebabkan ḍayq al-ṣadr dan petunjuk al-Qur‟ān dalam menyikapinya menurut

penafsiran Hamka dan al-Sya‟rāwī.

A. Aspek-Aspek yang Menyebabkan Ḍayq al-Ṣadr Dalam Penafsiran

Hamka dan al-Sya’rāwī

Zaman sekarang di mana zaman yang sudah modern ini semakin

banyak permasalahan yang timbul dikalangan umat Islam, kebanyakan

manusia lebih mementingkan dunia daripada akhirat. Hampir setiap hari kita

dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang membuat dada kita

merasa sesak atau sempit. Ayat-ayat ḍayq al-ṣadr dalam al-Qur‟ān

menyebutkan adanya aspek-aspek yang menyebabkan ḍayq al-ṣadr. Adapun

ayat-ayat ḍayq al-ṣadr diantaranya ada yang berkaitan dengan faktor luar da

nada yang berkaitan dengan faktor diri sendiri. Ḍayq al-Ṣadr yang berkaitan

dengan faktor luar yaitu, akibat beratnya tantangan yang dihadapi seorang

da‟i, ḍayq al-ṣadr karena ketakutan Nabi Luth ketika malaikat mendatangi

kaumnya, ḍayq al-ṣadr karena ketakuta bagi orang yang tidak ikut berjihad,

dan ḍayq al-ṣadr karena ketakutan ketika menghadapi jumlah musuh yang

banyak. Sedangkan ḍayq al-ṣadr yang berkaitan dengan faktor diri sendiri

yaitu, ḍayq al-ṣadr karena kesesatan dan kesyirikan. Adapun rincian dari

aspek-aspek yang menyebabkan ḍayq al-ṣadr adalah sebagai berikut:

1. Ḍayq Al-Ṣadr yang Berkaitan Dengan Faktor Luar

39

Di sini penulis ingin memaparkan terlebih dahulu ḍayq al-ṣadr

yang berkaitan dengan faktor luar yaitu, akibat beratnya tantangan

yang dihadapi seorang da‟i, ḍayq al-ṣadr karena ketakutan Nabi Luth

ketika malaikat mendatangi kaumnya, ḍayq al-ṣadr karena ketakuta

bagi orang yang tidak ikut berjihad, dan ḍayq al-ṣadr karena ketakutan

ketika menghadapi jumlah musuh yang banyak.

a. Ḍayq al-Ṣadr Akibat Beratnya Tantangan yang Dihadapi

Seorang Da’i

Ḍayq al-Ṣadr akibat beratnya tantangan yang dihadapi

seorang da‟i yang digambarkan al-Qur‟ān dalam QS. Hūd/11: 12,

“Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian

dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit

karenanya dadamu, karena khawatir bahwa mereka akan

mengatakan: “mengapa tidak diturunkan kepadanya

perbendaharaan (kekayaan) atau datang bersama-sama

dengan dia seorang malaikat?”. Sesungguhnya kamu

hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah

Pemelihara segala sesuatu”.

Ketika menafsirkan ayat di atas, Hamka menjelaskan

bahwa perasaan Nabi Muhammad yang menggelora dalam hati itu

tidak dapat dihilangkan. Ketika orang-orang kafir Quraisy itu tidak

ingin mempercayai wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad

SAW., maka timbullah rasa dalam hati Nabi untuk tidak ingin

menyampaikan wahyu lagi karena kecewanya Nabi melihat sikap

kaumnya, maka dada beliau menjadi sempit. Mereka tidak menilai

40

ajaran dan petunjuk yang terkandung dalam wahyu, tetapi mereka

meminta tanda bukti berupa benda.1 Sikap yang seperti ini pasti

menimbulkan rasa kecewa dalam hati Nabi sebagai Rasul Tuhan.

Timbul perasaan bahwa wahyu itu tidak usah seluruhnya

disampaikan, karena mereka juga tidak akan menerimanya.

Kemudian Hamka menjelaskan tentang peran Rasulullah

sebagai pemberi peringatan. Artinya Rasulullah diperintahkan

untuk menyampaikan ancaman kekafiran itu karena setengah dari

isi wahyu itu ada yang menyakitkan hati kaum kafir yaitu celaan

kepada berhala-berhala yang mereka sembah dan perbuatan-

perbuatan mereka yang keji. Di mana diperintahkan untuk

berdakwah menerangkan sesatnya perbuatan mereka, karena itulah

tugas Nabi.

Oleh karena itu, Hamka memberi nasihat kepada kaumnya

bahwa manusia itu tidak seharusnya bersempit dada dan tidak usah

bimbang terhadap ajaran yang dibawa Nabi karena setiap langkah

Nabi, senantiasa Allah akan menjaga dan melindungi-Nya. Sebab

segala sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW.,

adalah atas kehendak dan perintah Allah SWT.2 Dengan demikian

ḍayq al-ṣadr menurut Hamka adalah bentuk hati yang semula

tenang menjadi jengkel dan membuat dada menjadi sesak, karena

kaumnya tidak mau menerima wahyu yang diturunkan kepada

Nabi SAW.

1 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XII, Cet. 2 (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1992), h. 23.

2 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XII, Cet. 2 (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1992), h. 24.

41

Begitu pula dengan al-Sya‟rāwī yang mengatakan bahwa

dalam ayat tersebut Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad

untuk tidak merasakan sesak dada karena Nabi hanyalah seorang

utusan. Dan yang menjadi tugasnya adalah menyampaikan apa

yang diturunkan kepada Nabi SAW., karena penyampaian tersebut

akan menjadi bukti atas mereka. Apabila dada Nabi merasa sesak

karena perlakuan mereka, lalu Nabi mengurangi apa yang telah

disampaikan kepada Nabi, karena setiap kali Nabi menyampaikan

kepada mereka sebuah ayat, mereka selalu mendustakannya. Maka

Allah akan menambah hukuman bagi mereka sesuai dengan apa

yang mereka dustakan.3

Al-Sya‟rāwī, memaknai kata di ayat ini dengan

menjelaskan suatu fase sekejap yang tidak lebih dari sekedar

tindakan berlebihan mereka untuk mengingkari Rasulullah SAW.

dan apa yang mereka minta dari Nabi adalah berada di luar

kemampuan manusia, yaitu: mereka meminta untuk diturunkannya

harta karun. Allah menjelaskan masalah harta terpendam (harta

karun) di sini maksudnya untuk menunjukkan kepada kita nilai

kehidupan yang mereka miliki, yang hanya terfokus pada materi

sehingga materilah yang menjadi tolak ukur sebuah kehormatan.4

Mereka menginginkan agar harta yang banyak itu diturunkan

3 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 484. 4 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 484.

42

kepada Rasulullah SAW. karena mereka menganggap bahwa

kekayaan itu akan membuat Nabi Muhammad dan orang-orang

yang bersamanya lalai untuk menyampaikan dakwah dari Allah

SWT.5

Menurut al-Sya‟rāwī, ayat di atas menjelaskan bahwa yang

pertama kaum kafir Quraisy harapkan adalah harta, kemudian

mereka mengharapkan datangnya malaikat. Lalu pertanyaannya,

bagaimana malaikat itu turun? Apakah dia turun dalam wujud laki-

laki? Allah berfirman: “dan kalau Kami jadikan rasul itu (dari)

malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki). (QS. al-

An‟ām/6: 9)”. Seandainya malaikat turun dalam wujud laki-laki,

lalu bagaimana mereka dapat mengetahui wujud aslinya? Semua

ini merupakan kebodohan.6

Pada potongan ayat selanjutnya al-Sya‟rāwī menjelaskan

bahwa rasul hanya pemberi peringatan dan kabar gembira. Mereka

meminta bukti atas kerasulannya, tetapi ketika bukti-bukti yang

telah mereka minta itu datang, mereka tidak ingin mengakuinya

dan malah mendustakannya. Oleh karena itu, Allah menurunkan

azab-Nya.

Al-Sya‟rāwī selanjutnya mengambil contoh dalam

kehidupan manusia bahwa ketika kamu menyuruh orang untuk

mewakilkan pembelian, maka dia memiliki kebebasan untuk

5 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, h. 485. 6 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, h. 486.

43

melakukan apa saja yang menjadi tugasnya. Kamu hanya

mengamati dan memantau tindakannya. Apabila kamu setuju

dengan tindakannya, maka kamu akan terus mewakilkan

kepadanya. Akan tetapi sebaliknya, jika kamu tidak setuju dengan

tindakannya, maka kamu akan membatalkan perwakilan tersebut.

Jadi perwakilan Allah kepada hamba-Nya itu akan selalu kekal

meskipun orang-orang kafir menolaknya.7 Dengan demikian ḍayq

al-ṣadr menurut al-Sya‟rāwī adalah sikap materialistis yang

tertanam dalam hati seseorang sehingga segala hal yang mustahil

menurut mereka tidak diterima.

Pada ayat berikut ini kata ḍayq al-ṣadr dimaknai berbeda

dari ayat sebelumnya. Hal itu sebagaimana tercantum di dalam QS.

al-Syu‟ara/26:13,

“Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar

lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun”.

Ayat di atas digambarkan Hamka sebagai beratnya tugas

atau tantangan yang dihadapi seorang da‟i yaitu menghadapi

Fir‟aun. Menghadapi kaum yang menyokong Fir‟aun dan kaum

yang tidak mengenal takwa. Musa merasakan betapa berat tugas itu

jika diukur dengan kelemahan dirinya sebagai seorang manusia.

Musa merasa ketakutan bahwa misinya itu akan gagal, dan

7 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, h. 487.

44

tugasnya tidak akan berhasil. Dia akan didustakan orang, dan

seruannya akan ditolak mentah-mentah.

Allah menunjukkan penyebab timbulnya rasa takut untuk

menghadapi tugas berat itu. Di antara sebab-sebab itu ialah

pertama, tindakan kaum Nabi Musa menyempitkan dadanya. Dada

yang sempit menyebabkan orang lekas marah apalagi kalau cita-

citanya terhalang. Dan kalau dia terlanjur marah karena dihalangi,

maka akan gagallah tugas yang diserahkan kepada dirinya. Kedua,

lidahnya tidak lancar berkata-kata, dia penggugup. Memang, gugup

berkata-kata itu bertali juga dengan kesempitan dada tadi. Kalau

seorang yang lidahnya tidak begitu lancar berkata atau agak gugup,

niscaya akan ditertawakan orang. Dan kalau ditertawakan niscaya

akan timbul rasa marah. Ketiga, dia mempunyai kesalahan besar

yang telah tercatat dalam catatan kaum Fir‟aun itu, yaitu dia lari

meninggalkan Mesir karena dahulu tangannya terdorong

membunuh orang.8 Akan tetapi ketakutan atau kecemasan yang

kedua ini dapatlah diatasi kesulitannya apabila Tuhan sudi

memberinya bantuan, yaitu agar diangkat pula saudaranya Harun

menjadi Rasul pula, sebab lidahnya fasih berkata-kata. Musa

memohon, kalau tugas ini diberikan kepadanya, supaya saudaranya

Harun itu diangkat menjadi pembantunya.9 Dengan demikian ḍayq

al-ṣadr di sini dimaknai sebagai rasa khawatir yang menyebabkan

8 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXI, h. 68.

9 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXI, h. 69.

45

lisan Nabi Musa tidak dapat berkata fasih. Sehingga wahyu yang

hendak beliau sampaikan tidak tercapai.

Sedangkan menurut al-Sya‟rāwī, ḍayq al-ṣadr dimaknai

sebagai sikap kekesalan diri dan susahnya untuk berbicara dengan

baik. Hal itu terjadi karena Musa melihat kebatilan secara jelas

dilawan dengan kebenaran, namun hal itu tidak merubah apa-apa

hingga timbullah sikap kesal dalam dada. Bertambah kesal lagi

apabila Musa harus menerangkan hal itu dalam keadaan dirinya

yang sedikit sukar untuk berbicara.

Ḍayq al-Ṣadr yang digambarkan al-Qur‟ān dalam QS. al-

Hijr/15: 97 juga berkaitan dengan akibat tantangan yang dihadapi

seorang da‟i,

Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu

menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan.

Sebab nuzul ayat ini berkaitan dengan lima golongan yang

sangat keterlaluan dalam menghina Rasulullah SAW. Dalam segala

sepak terjang beliau ketika mendakwahkan Islam selalu diintai

untuk ditertawakan dan diperolokkan. Personil dari lima golongan

itu ialah Abu Zam‟ah. Orang ini ketika sudah keterlaluan menghina

Rasulullah, didoakan oleh beliau: “Yaa Allah, butakanlah mata

Abu Zam’ah dan sengsarakanlah anak cucunya”. Setelah mereka

sangat keterlaluan, bahkan sudah melebihi batas kemanusiaan

dalam menghina, menertawakan dan memperolokkan Rasulullah

SAW. maka Allah SWT. menurunkan ayat ke 94 sampai 99. Yakni

46

sebagai ketegasan bahwa Rasulullah harus segera berdakwah

terang-terangan, sekalipun kaum musyrikin semakin ganas

membuat reaksi. Dan obat dari semua itu, hanyalah bertasbih

kepada Allah SWT. juga beliau dan kaum muslimin dihimbau agar

berpegang teguh kepada al-Islam sampai ajal tiba. (HR. Bazzar dan

Ibnu Ishak dari Urwah bin Zubair).10

Ketika menafsirkan ayat di atas Hamka menjelaskan bahwa

ḍayq al-ṣadr di artikan sebagai rasa sedih karena kaum kafir

Quraisy saat itu tidak mau menerima ajaran yang dibawa

Rasulullah. Bahkan Rasulullah hanya menerima tuduhan gila,

tukang sihir, dikatakan akan putus keturunan, dinyatakan penyebar

berita bohong, dan lain-lain. Rasa sedih karena kehilangan orang

yang dicintai, rasa sakit hati karena diejek dan diolok-olok, rasa

marah karena dihina, semuanya itu termasuk watak asli manusia

yang tidak dapat dihilangkan. Hanya akal budi manusia saja yang

dapat mengendalikan dirinya, sehingga rasa-rasa yang demikian

jangan sampai mendorong kepada sikap-sikap yang salah.11

Begitupun dengan al-Sya‟rāwī, ḍayq al-ṣadr pada ayat ini

dimaknai sebagai rasa sedih. Al-Sya‟rāwī mengatakan dalam

perkataan yang mulia ini tampak dengan jelas penetapan Allah

terhadap perasaan kenabian. Allah juga mengetahui apa yang

dialami Rasulullah ketika melaksanakan perintah-perintah Allah.

10

A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’ān Surat Al-Baqarah-

Al-Nās, Cet. 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 525-526. 11

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz 13-14, Cet. 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 213.

47

Makna ini juga terdapat dalam firman Allah SWT dalam QS. al-

An‟ām/6: 33,

“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang

mereka katakana itu menyedihkan hatimu (janganlah kamu

bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan

mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu

mengingkari ayat-ayat Allah”.

Rasulullah terlalu mulia untuk berdusta, apalagi bahwa

mereka telah menyaksikan kejujuran Rasul dalam kehidupan

mereka sebelum turunnya risalah.12

b. Ḍayq Al-Ṣadr Karena Ketakutan Nabi Luth Ketika

Malaikat Mendatangi Kaumnya

Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan Nabi Luth ketika malaikat

mendatangi kaumnya yang digambarkan al-Qur‟ān dalam QS.

Hud/11: 77,

Dan ketika para utusan Kami (para malaikat) itu datang

kepada Luth, dia merasa curiga dan dadanya merasa

sempit karena (kedatangan)nya. Dia (Luth) berkata, “ini

hari yang sangat sulit”.

Ketika menafsirkan ayat ini Hamka menjelaskan bahwa,

ketika para malaikat itu datang kepada Nabi Luth, dia merasa

curiga dan dadanya menjadi sempit karena menurut Hamka

12

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, Jilid. 7, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 475.

48

bukannya Nabi Luth tidak senang menerima kedatangan para tamu,

akan tetapi dia tidak senang memikirkan kerakusan dan kerusakan

jiwa kaumnya. Sebab kaum Nabi Luth merasa bahwa utusan-

utusan malaikat itu adalah manusia biasa yang muda-muda dan

ganteng, sehingga dapat menimbulkan nafsu syahwat laki-laki,

karena jiwa mereka sudah sangat rusak. Mereka lebih tertarik

melihat laki-laki muda daripada melihat perempuan muda. Nabi

Luth merasa tidak akan sanggup membela tamu-tamunya itu.

Karena pada mulanya Nabi Luth belum tahu bahwa tamunya itu

adalah malaikat. Oleh karena itu, Nabi mengeluh “Ini hari yang

sangat sulit” ketika menafsirkan potongan ayat terakhir, Hamka

menjelaskan bahwa memang sulit itu dapat dirasakan. Seharusnya

Nabi Luth menghormati dan memuliakan tamu, padahal besar

kemungkinan tamu-tamu itu akan diganggu dan akan membuat

Nabi Luth malu.13

Dengan demikian Hamka memaknai ḍayq al-

ṣadr di ayat ini sebagai rasa takut ketika datang para malaikat pada

kaumnya.

Di sisi lain al-Sya‟rāwī menjelaskan ayat ini bahwa Nabi

Luth merasa susah dan sesak dadanya ketika kedatangan para

malaikat. Para malaikat datang dengan menjelma dalam bentuk

laki-laki yang sangat tampan. Nabi Luth tahu bahwa penyakit

kaumnya adalah membudayanya homoseksual. Sedangkan

sebenarnya istri Luth mengetahui penyakit ini, tetapi dia

13

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XII (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 97.

49

menyikapinya dengan sikap yang berbeda dengan sikap Nabi Luth,

bahkan dia menyetujui penyakit tersebut.14

Oleh karena itu, ketika

Nabi Luth melihat kedatangan para laki-laki yang tampan, dia

segera naik ke atas atap rumah dan bertepuk tangan untuk menarik

perhatian orang-orang, namun nyatanya tidak ada seorang pun

yang memperhatikannya.15

Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. al-Ankabūt/29: 33,

“Dan ketika para utusan Kami (para malaikat) datang

kepada Luth, dia merasa bersedih hati karena (kedatangan)

mereka, dan (merasa) tidak mempunyai kekuatan untuk

melindungi mereka, dan mereka (para utusan) berkata,

“Janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati.

Sesungguhnya kami akan menyelamatkanmu dan pengikut-

pengikutmu, kecuali istrimu, dia termasuk orang-orang

yang tinggal (dibinasakan)”.

Ketika menafsirkan ayat “dan ketika para utusan Kami

(para malaikat) datang kepada Luth” Hamka menjelaskan bahwa

ketika para malaikat singgah di rumah Nabi Ibrahim, utusan itu

menyampaikan berita gembira kepada Ibrahim, mereka

meneruskan perjalanan menuju negeri tempat tinggal Luth itu,

yaitu negeri Sadum. Luth telah menerima mereka sebagai tamu,

tetapi “dia merasa bersedih hati” karena malaikat-malaikat yang

jadi utusan-utusan Allah itu berubah menyerupai diri mereka

14 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, Jilid. 6, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 589. 15

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, h. 590.

50

dengan anak laki-laki muda. Maka, orang seisi negeri itu mendesak

Luth agar anak-anak muda itu diserahkan kepada mereka.16

Ketika menafsirkan potongan ayat selanjutnya, Hamka

mengatakan bahwa Luth mempunyai kewajiban budi untuk

memelihara dan melindungi para tamu itu. Tetapi kalau kaumnya

yang banyak itu mendesak supaya anak-anak muda itu diserahkan

kepada mereka, maka Luth tidak akan kuat untuk bertahan. Itulah

yang membuat Luth bersedih hati kalau desakan kaumnya itu

bertambah keras sampai mereka rampas atau menangkap utusan-

utusan itu.

Maka di akhir ayat ini Hamka mengatakan bahwa jangan

takut karena mereka tidak akan sanggup menangkapnya. Kami

adalah utusan Allah yang datang untuk membela engkau. Nabi

Luth dan keluarganya yang telah menyampaikan iman kepada

dakwah yang dia bawa semuanya akan diselamatkan. Akan tetapi,

hanya istri Nabi Luth saja yang tidak akan diselamatkan karena dia

berpihak kepada orang-orang yang durhaka itu.17

Di sisi lain al-Sya‟rāwī menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim

menyaksikan peristiwa yang dialami Nabi Luth. Tepatnya, saat

Luth mengetahui kedatangan para malaikat ke rumahnya dia pun

takut kepada mereka. Nabi Luth takut kepada mereka karena

kaumnya adalah kaum homo. Nabi Luth takut kalau tamu-tamunya

diperlakukan jahat oleh kaumnya.

16

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XX (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 177. 17

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XX (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 177.

51

Al-Sya‟rāwī memaknai kata Zar’a/lengan maksudnya

adalah mengambil sesuatu dengan mudah. Maksud pada ayat ini

adalah dia tidak memiliki kemampuan yang maksimal untuk

melindungi para tamu dari kejahatan kaumnya.18

Kemudian al-

Sya‟rāwī menjelaskan bahwa, jangan takut kepada kaum homo itu,

kami bukan manusia akan tetapi kami adalah malaikat. Kedatangan

kami hanya ingin menyelamatka Nabi Luth dari mereka. Kecuali

istri Nabi Luth karena dia banyak mempersusah dakwah Luth,

membuka rahasianya kepada kaumnya dengan menunjukkan

kepada mereka bahwa di rumah Nabi Luth ada tamu-tamu yang

gagah.19

c. Ḍayq Al-Ṣadr Karena Ketakutan Bagi Orang yang Tersalah

Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan bagi orang yang tidak ikut

berperang digambarkan dalam QS. al-Taubah/9: 118,

Dan terhadap tiga orang20

yang ditangguhkan (penerimaan

taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit

bagi mereka, Padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun

telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah

mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,

melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima

taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.

18

Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,

Jilid 10, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2011), h. 435. 19

Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar, h.

436. 20

Tiga orang itu adalah Ka‟ab bin Malik dari Bani Salamah, Hilal bin Umayah dari Bani

„Auf, dan Marrah bin Rabi‟ dari Bani „Amr bin „Auf. Lihat: Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XI

(Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 73.

52

Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi

Maha Penyayang.

Sebab nuzul ayat ini ketika Rasulullah SAW., berangkat

perang Tabuk Ka‟ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah

bin Rabi yang keseluruhannya dari kalangan sahabat Anṣar, tidak

ikut hadir. Mereka sangat menyesal, lantaran uzur yang

mengakibatkan dirinya tidak dapat menghadiri perang. Selama

kurang dari lima puluh hari, mereka diboikot kaum muslimin,

sehingga terasa dunia sangat sempit. Mereka bertaubat kepada

Allah disertai dengan penyesalan yang sangat dalam. Maka

sehubungan dengan itu, Allah SWT. menurunkan ayat ini sebagai

ketegasan bahwa taubat mereka diterima Allah SWT. dan mulai

saat itu kaum muslimin tidak memboikot mereka lagi. (HR.

Bukhari dan Muslim dari Zuhri).21

Ketika menafsirkan ayat “dan terhadap tiga orang22

yang

ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka” Hamka menjelaskan

bahwa di antara orang-orang yang meminta izin untuk tidak ikut

berperang adalah nyaris terhitung jadi munafik. Mereka minta izin

untuk tidak ikut perang Tabuk, karena mereka telah ditinggalkan di

belakang atau tidak diikut sertakan, padahal mereka mengeluarkan

alasan yang dicari-cari. Setelah Rasulullah kembali dari perang

Tabuk itu, mereka langsung ditanya oleh Rasulullah mengapa tidak

21

A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’ān Surat Al-Baqarah-

Al-Nās, Cet. 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 500. 22

Tiga orang itu adalah Ka‟ab bin Malik dari Bani Salamah, Hilal bin Umayah dari Bani

„Auf, dan Marrah bin Rabi‟ dari Bani „Amr bin „Auf. Lihat: Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XI

(Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 73.

53

pergi, lalu jawaban yang mereka kemukakan itu hanyalah sebuah

alasan yang dicari-cari saja. Sebenarnya mereka itu sanggup pergi

ke perang Tabuk, tapi karena mereka malas jadinya mereka minta

izin untuk tidak mengikuti perang Tabuk. Setelah mendengar

jawaban dari mereka, Rasulullah tidak ingin mengambil keputusan

tentang nasib mereka. Akan tetapi, Rasulullah memulangkan

keputusan mereka kepada ketentuan Tuhan.23

Ketika menafsirkan potongan ayat selanjutnya, Hamka

menjelaskan bahwa jika saya diasingkan orang, maka kalau pergi

ke mana-mana pasti tidak akan ada orang yang mau menegur sapa,

niscaya sempitlah bumi ini walaupun bumi itu luas.24

Hati rasanya

menjadi sempit dan pengharapan telah tertutup, semuanya

memutuskan hubungan sehingga timbul perasaan dalam hati Nabi,

lebih baik mati saja daripada hidup. Dalam keadaan yang sudah

sangat gelap itu harapan satu-satunya yaitu memohon ampunan

dari Allah SWT. Di akhir ayat ini, Hamka mengatakan bahwa

taubat mereka diterima oleh Allah, karena mereka benar-benar

menyesal atas kesalahan yang mereka lakukan.25

Dengan demikian

Hamka mengartikan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa takut karena tidak

ikut berperang.

Di sisi lain al-Sya‟rāwī menafsirkan ayat ini dengan

menjelaskan bahwa ketiga orang itu tidak ikut berperang bukan

karena halangan akan tetapi karena malas dan berleha-leha. Maka

23

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X, Cet. 1 (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1985), h. 73. 24

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X, h. 73. 25

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X, h. 73.

54

Rasulullah menyuruh muslim untuk memutuskan hubungan dengan

mereka. Hubungan bagi mereka meningkat dengan cara

pengasingan. Hal ini terus berlangsung hingga pengasingan itu

sampai kepada keadaan yang sangat sulit buat mereka. Pertama,

pengasingan dari masyarakat; kedua, pengasingan dari orang

terdekat yaitu istri-istri mereka. Tiga orang itu terus dikucilkan

selama 50 hari oleh keluarganya maupun masyarakatnya sampai

Allah mengampuninya.26

d. Ḍayq Al-Ṣadr Karena Ketakutan Ketika Menghadapi

Musuh Yang Jumlahnya Jauh Lebih Besar

Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan ketika menghadapi musuh

yang jumlahnya jauh lebih besar sebagaimana yang digambarkan

al-Qur‟ān dalam QS. al-Taubah/9: 25,

Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai Para

mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan

(ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu

menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka

jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu

sedikitpun, dan bumi yang Luas itu telah terasa sempit

olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-

berai.

Sebab nuzul ayat ini berkaitan dengan seseorang yang

menghadiri perang Hunain berkata: “Kita sekarang tidak mungkin

akan menderita karena kekalahan. Sebab jumlah pasukan kita lebih

26

Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,

Jilid 6, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 74.

55

besar atau lebih banyak dibandingkan dengan kaum musyrikin”.

Pada waktu itu pasukan kaum muslimin berjumlah dua belas ribu

orang. Mendengar kata-kata orang tersebut, Rasulullah merasa

sesak dada. Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT.

menurunkan ayat ini sebagai teguran terhadap mereka dan

mengingatkan atas kesalahan yang telah mereka lakukan pada

perang Hunain karena kesombongan yang mengandalkan pasukan

perang yang banyak jumlahnya. (HR. Baihaqi dalam kitab Dalail

dari Rabi’ bin Anas).27

Ketika menafsirkan ayat ini Hamka menjelaskan bahwa

ayat ini diturunkan sesudah Rasulullah SAW. kembali dari Perang

Tabuk, dan dibacakan di muka umum ketika Haji tahun kesembilan

yang di bawah pimpinan Abu Bakar itu. Diperingatkan kepada

kaum Muslimin, bahwa “Bukankah telah berkali-kali kamu

ditolong Tuhan di dalam peperangan?”. Di potongan ayat

selanjutnya Hamka mengatakan bahwa di peperangan Hunain pun

kamu diberi kemenangan juga. Banyak bilangan yang membuatmu

bangga itu tidak akan berguna, bahkan bumi menjadi sempit

padahal bilanganmu banyak.

Jadi menurut Hamka, penjelasan ayat ini bahwa di segala

perang yang pernah kamu tempuh lantaran cintamu telah kamu

bulatkan kepada Allah, maka Allah selalu menolongmu. Bahkan di

perang Hunain pun kamu ditolong juga, padahal kamu telah nyaris

27

A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’ān Surat Al-Baqarah-

Al-Nās, Cet. 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 453.

56

kalah dalam peperangan itu. yang menyebabkan kamu nyaris kalah

ialah karena kamu telah dipesona oleh banyak bilangan kamu.

Kemudian setelah berhadap-hadapan dengan musuh, ternyata

banyak bilangan yang kamu banggakan itu tidak menolong sama

sekali. Malahan bumi yang begitu luasnya telah menjadi sempit

karena kamu telah diburu oleh musuh, maka kamupun telah

kehilangan akal, bumi yang luas jadi sempit, sampai ada yang

mundur. Sungguh begitu keadaan kamu pada waktu iu, namun

akhirnya Tuhan menolongmu juga.28

Begitu pula dengan al-Sya‟rāwī ketika menafsirkan ayat ini

bahwa Allah menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah telah banyak

menolong umat Islam di berbagai tempat. Pertolongan yang

dimaksud tentunya adalah pertolongan dalam peperangan dalam

peperangann melawan musuh, seperti dalam perang Badar,

Hudaibiyah, perang Bani Nadhir, dll. Semua itu adalah tempat-

tempat di mana Allah menolong pasukan muslim. Kemudian

potongan ayat selanjutnya al-Sya‟rāwī menerangkan bahwa jumlah

pasukan Muslimin dalam perang Hunain itu menjadi perhatian

khusus dalam ayat ini. Berbeda dengan peperangan yang lain

seperti perang Badhar dan Fathu Mekah, Allah tidak

mempermasalahkan jumlah pasukannya. Karena dalam perang

Hunain ini umat Islam jadi sombong dan juga lupa diri karena

jumlahnya yang sangat banyak. Oleh karena itu kejadian ini

28

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984), h. 143-144.

57

menjadi perhatian khusus karena keangkuhan mereka akan jumlah

yang banyak sehingga Allah menegur kesombongan mereka itu.29

2. Ḍayq Al-Ṣadr yang Berkaitan Dengan Faktor Diri Sendiri

a. Ḍayq Al-Ṣadr Karena Kesesatan Dan Kesyirikan

Ḍayq al-Ṣadr karena kesesatan dan kesyikrikan juga

merupakan salah satu yang menyebabkan ḍayq al-ṣadr.

Sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur‟ān QS. al-An‟ām/6:

125,

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan

kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya

untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang

dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan

dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki

langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-

orang yang tidak beriman”.

Ketika menafsirkan ayat di atas, Hamka menjelaskan

bahwa ayat ini membuka pintu kesempatan yang besar bagi setiap

manusia yang cinta akan kebenaran. Bagaimana seseorang

diselubungi dosa, syirik dan kegelapan selama ini? Jika petunjuk

datang, wajah hidupnya bisa saja berubah. Yang penting ialah

penerangan agama yang diterimanya. Itulah sebabnya maka

Rasulullah SAW. diperintahkan oleh Allah SWT untuk

menyampaikan seruan Allah dengan sebaik-baiknya penyampaian.

29

Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,

Jilid 5, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2006), h. 512.

58

Di dalam ayat ini disabdakan oleh Allah SWT, bahwa kalau Allah

menghendaki agar seseorang memperoleh petunjuk, niscaya

dilapangkanlah atau dibukakanlah dadanya untuk menerima

Islam.30

Potongan ayat selanjutnya, Hamka memaknai ḍayq al-ṣadr

dalam ayat ini adalah orang yang dirinya telah dikurung oleh hawa

nafsunya sendiri. Contoh, sempit dadanya seakan-akan orang yang

mencoba naik ke langit. Selain daripada mukjizat yang diberikan

oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW., seketika beliau

melakukan isra‟ mi‟raj, barulah di dalam Abad Keduapuluh ini

manusia mencoba naik ke angkasa. Mulanya dengan menggunakan

kapal terbang, dan akhir-akhir ini telah diperbuat oleh manusia

yaitu alat-alat modern untuk mencapai ruang angkasa yang lebih

tinggi. Ternyata dada manusia memang sempit kalau naik ke ruang

angkasa yang lebih tinggi, bahkan bisa mati karena kesusahan

nafas karena di sana tidak ada oksigen buat bernafas.

Maka di akhir ayat ini Hamka menjelaskan penyebab dada

menjadi sempit menerima kebenaran Islam yaitu karena dada itu

penuh dengan berbagai kotoran, sehingga udara yang bersih tidak

mau lagi masuk ke dalamnya. Dosalah yang mengotori jiwa itu.31

Al-Sya‟rāwī mengatakan bahwa Allah akan melapangkan

dadanya pada Islam, setelah dia rela masuk ke dalam tauhid yang

suci. Allah telah menjanjikan: “Karena kamu telah beriman

30

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz VIII (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984), h. 41-42. 31

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz VIII (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984), h. 44.

59

kepada-Ku dan datang menghadap-Ku, maka Aku ringankan beban

amal dan Aku lapangkan dadamu kepada Islam”. Dan itu

merupakan balasan untukmu. “bukankah Kami telah melapangkan

untukmu dadamu?”.32

Dalam potongan ayat selanjutnya al-Sya‟rāwī memaknai

kata adalah menghalangi sesuatu perbuatan. Makna

adalah naik, maksudnya adalah berkonotasi ke atas dan pekerjaan

ini sulit karena harus melawan daya gravitasi bumi. Oleh karena itu

dibutuhkan dua kekuatan: kekuatan bergerak dan kekuatan untuk

menahan tarikan gravitasi bumi.33

Orang yang naik ke udara itu

selalu merasa kesusahan dan memerlukan dua usaha. Pertama,

mendaki; kedua, melawan tarikan gaya gravitasi. Oleh sebab itu,

pendaki akan merasakan dadanya sesak karena tidak mendapatkan

udara yang cukup untuk membantunya melahirkan energi yang

baru.34

B. Petunjuk Al-Qur’ān Dalam Menyikapi Ḍayq Al-Ṣadr Menurut

Penafsiran Hamka dan Al-Sya’rāwī

Di sini penulis ingin memaparkan tentang petunjuk al-Qur‟ān

dalam menyikapi ḍayq al-ṣadr menurut penafsiran Hamka dan al-

Sya‟rāwī. Adapun petunjuk al-Qur‟ān dalam menyikapi ḍayq al-ṣadr

adalah sebagai berikut:

32

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, Jilid. 4, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2006), h. 480. 33

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, h. 483. 34

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, h. 484.

60

1. Beriman dan bertakwa kepada akidah tauhid

Beriman dan bertakwa adalah cara yang paling afdhal (utama).

Orang-orang yang beriman dan bertakwa adalah hamba-hamba Allah

yang paling mulia dan paling bersih jiwanya.35

Sebagaimana Allah

berfirman dalam QS. al-Baqarah/2: 103,

“Dan jika mereka beriman dan bertakwa, pahala dari Allah

pasti lebih baik, sekiranya mereka tahu”.

Ketika menafsirkan ayat “dan jika mereka beriman dan

bertakwa, pahala dari Allah pasti lebih baik, sekiranya mereka tahu”

Hamka menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan kepada kafir Quraisy,

sehingga kalau mereka tidak menentang apa yang dibawa oleh

Rasulullah maka yang didapatkan adalah kebahagiaan bukan siksa dan

azab.36

Menurut al-Sya‟rāwī, makna takwa ialah takut dengan

sifat-sifat Allah yang Mahaperkasa. Ketika Allah mengatakan

pada ayat yang dikaji ini, Allah SWT., melafalkannya secara mutlak.

Allah menghendaki manusia agar memahami bahwa mempercayai

sesuatu yang dilarang oleh Allah itu adalah cobaan dan fitnah yang

membawa manusia kepada kekufuran, maka takutlah kepada Allah dan

35

Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, terj. Fuad Syaifudin Nur

(Jakarta: Republika, 2013), h. 100. 36

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 256.

61

azab-Nya di neraka.37

Oleh karena itu, agar selalu mengikat hatinya

dengan iman dan tawakal kepada Allah SWT., dalam segala urusan,

dengan cara memohon perlindungan-Nya dari godaan dan kejahatan

setan. Tanpa bertawakal kepada Allah, kita tidak akan mampu untuk

melawan kejahatan setan.38

2. Sholat

Sholat merupakan petunjuk al-Qur‟ān dalam menyikapi ḍayq

al-ṣadr. Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah/2: 45,

“Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan

sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi

orang-orang yang khusyu’”. (QS. al-Baqarah: 45)

Ketika menafsirkan ayat “jadikanlah sabar dan sholat sebagai

penolongmu” Hamka menjelaskan bahwa sabar itu adalah sebuah

benteng. Ketika sholat jiwa itu akan selalu dekat dan lekat kepada

Tuhan. Oleh karena itu, untuk meminta agar selalu mendapat

pertolongan dari Tuhan kita sebagai manusia tidak boleh terpisah dari

sabar dan sholat yakni membuat hati jadi tabah dan selalu mengerjakan

sholat.

Kemudian potongan ayat selanjutnya Hamka menjelaskan

bahwa maksud dari kata “sesungguhnya yang demikian itu sungguh

berat” adalah sholat. Bahwa mengerjakan sholat itu sangat berat.

Ketika manusia disuruh sabar, padahal hatinya sedang susah. Lalu

37

Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,

Jilid 1, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2004), h. 378. 38

Uwes al-Qorni, 60 Penyakit Hati, Cet. 9 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h.

9.

62

ketika dia disuruh sholat, dia menjawab bahwa hatinya sedang susah,

dan tidak bisa sholat. Dia merasa berat untuk melaksanakan sholat

karena jiwanya masih gelap dan sulit untuk menerima nasihat supaya

sabar dan sholat. Di akhir ayat Hamka mengartikan bahwa khusyu’

artinya tunduk, rendah hati, dan insaf bahwa kita ini adalah hamba

Allah. Nikmat Allah itu lebih banyak daripada cobaan-Nya. 39

Begitu pula dengan al-Sya‟rāwī, beliau mengatakan bahwa

mintalah tolong kepada dua hal yang saling berkaitan satu sama lain,

yaitu sabar dan sholat. Dalam mewujudkan sabar itu harus dengan

sholat, dan pelaksanaan sholat itu harus dengan sabar. Lebih dari itu,

keduanya merupakan senjata dalam kehidupan manusia.40

Kemudian

khusyu’ menurut al-Sya‟rāwī adalah tunduk kepada Allah yang

Mahatinggi dengan cara tidak membantah sedikitpun atas apa yang

diperintahkannya. Siapakah orang-orang yang khusyu’ itu? yaitu orang

yang taat kepada Allah dan menahan diri dari perbuatan haram, yang

sabar akan kodrat Allah, yang mengetahui dengan pasti dalam dirinya

bahwa semua perkara hanya milik Allah semata.41

Menurut ayat ini, jika manusia diliputi dengan penyakit ḍayq

al-ṣadr berupa ketakutan, kesedihan, kerisauan, keresahan, dan lain-

lain. Maka segeralah bangkit untuk melaksanakan sholat. Niscaya jiwa

kita akan kembali tentram dan tenang. Sesungguhnya sholat itu atas

39

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 191. 40

Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,

Jilid 1, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2004), h. 214. 41

Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar, h.

216.

63

izin Allah sangatlah cukup untuk hanya sekadar menyirnakan

sempitnya hati.42

3. Berdo’a

Do‟a merupakan pokok atau inti dari ibadah. Sebagaimana

Allah SWT. memerintahkan hamba-Nya untuk selalu berdo‟a. Dalam

firman Allah SWT., QS. al-Mu‟min/40: 60,

“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya

akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang

yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka

Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. al-Mu‟min: 60)

Dalam ayat ini, Hamka mengatakan bahwa berserulah dan

memohonlah kepada Allah SWT., untuk memanjatkan do‟a yang suci

dengan penuh harap dan hati yang ikhlas serta percaya bahwa akan

dikabulkannya do‟a tersebut, maka Allah akan senantiasa berkenan

untuk mengabulkan do‟a tersebut.43

Kemudian ketika menafsirkan potongan ayat selanjutnya

Hamka mengartikan bahwa orang-orang yang sombong ialah orang

yang terlalu percaya kepada diri sendiri, dan tidak ingat lagi akan

adanya Allah. Sehingga dia tidak beribadah, tidak bermunajat, tidak

bertawakkal dan tidak cinta kepada Allah. Di akhir ayat Hamka

menjelaskan bahwa orang yang hidupnya biasa sombong dan angkuh,

maka seketika badannya kuat, hartanya banyak dan mendapat

42

„Aidh al-Qarni, Lā Tahzan; Jangan Bersedih!, penerjemah , Samson Rahman, Cet. 18

(Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 35. 43

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXIV (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 161.

64

kekuasaan yang tinggi. Mereka lupa bahwa keadaan silih berganti.

Kalau manusia ingat akan pergantian keadaan, maka manusia tidak

akan sombong.44

Menurut al-Sya‟rāwī, Rabbukum adalah Tuhan yang mendidik

dan memelihara manusia. Maksudnya adalah yang menciptakan

manusia dan memberikannya kelangsungan hidup. Ketika Allah

menciptakan manusia, maka Allah yang membekalinya dengan prinsip

kasih sayang dan kebutuhan. Allah menciptakan sebagian manusia

kuat dan yang lain lemah. Sebagian sehat dan yang lain sakit. Yang

kuat bekerja maksimal agar dapat membantu yang lemah.

Ketika menafsirkan ayat ini al-Sya‟rāwī memberi nasihat

bahwa pada saat manusia lemah untuk berusaha dan tidak ada orang

lain yang menolongnya, maka berdo‟alah kepada Allah. Niscaya Allah

akan kabulkan do‟a itu. Selanjutnya al-Sya‟rāwī menjelaskan bahwa

orang yang tidak mau berdo‟a, merendah, dan meratap disebut

sombong. Do‟a itu bukan tujuannya dikabulkan, akan tetapi rasa

rendah yang penuh harapan kepada Tuhan pemberi kebaikan. Oleh

karena itu, kita sebagai manusia perlu bersyukur apabila do‟a belum

dikabulkan, boleh jadi Allah sedang melindungi kita dari mara

bahaya.45

Selanjutnya, di akhir ayat al-Sya‟rāwī menjelaskan bahwa

orang yang tidak mau berdo‟a sama dengan orang yang enggan

44

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXIV, h. 162. 45

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, Jilid. 11, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2011), h. 702.

65

beribadah. Maka, dia akan masuk neraka dan menjadi hina. Semua itu

karena kesombongan dan keangkuhan mereka kepada Allah SWT.46

4. Berżikir

Adapun dengan cara bertasbih kepada Allah, kita dapat

menghilangkan segala kesesakan dalam dada. Sebagaimana firman

Allah SWT., dalam QS. al-Hijr/15: 98,

“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah

kamu di antara orang-orang yang bersujud”. (QS. al-Hijr/15:

98)

Sebab nuzul ayat ini berkaitan dengan lima golongan yang

sangat keterlaluan dalam menghina Rasulullah SAW. Dalam segala

sepak terjang beliau ketika mendakwahkan Islam selalu diintai untuk

ditertawakan dan diperolokkan. Personil dari lima golongan itu ialah

Abu Zam‟ah. Orang ini ketika sudah keterlaluan menghina Rasulullah,

didoakan oleh beliau: “Yaa Allah, butakanlah mata Abu Zam’ah dan

sengsarakanlah anak cucunya”. Setelah mereka sangat keterlaluan,

bahkan sudah melebihi batas kemanusiaan dalam menghina,

menertawakan dan memperolokkan Rasulullah SAW. maka Allah

SWT. menurunkan ayat ke 94 sampai 99. Yakni sebagai ketegasan

bahwa Rasulullah harus segera berdakwah terang-terangan, sekalipun

kaum musyrikin semakin ganas membuat reaksi. Dan obat dari semua

itu, hanyalah bertasbih kepada Allah SWT. juga beliau dan kaum

46

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, h. 703.

66

muslimin dihimbau agar berpegang teguh kepada al-Islam sampai ajal

tiba. (HR. Bazzar dan Ibnu Ishak dari Urwah bin Zubair).47

Dalam ayat ini, Hamka menerangkan bahwa bertasbihlah

kepada Tuhan dan sujudlah kepada-Nya. Dekatkanlah Allah dan

jangan melanggar perintah-Nya. Karena tidak satu pun di dunia ini

yang dapat menggoncangkan engkau dan mengganggu engkau.48

Pada ayat ini al-Sya‟rāwī mengatakan bahwa jika seseorang

ada yang menekan kita, maka ketahuilah bahwa kita mampu untuk

mengatasinya dengan cara bertasbih dan kita tidak akan mendapatkan

orang yang lebih mengasihimu selain Allah. Ketika kita bertasbih

kepada Allah, maka kita menyucikan-Nya dari segala sesuatu dan

memuji-Nya agar kita dapat hidup dalam naungan rahmat-Nya.

Kemudian, żikir juga merupakan salah satu cara al-Qur‟ān untuk

menyikapi sempitnya dada atau sempitnya hati. Allah SWT berfirman

dalam QS. al-Ra‟d/13: 28,

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi

tentram dengan mengingat Allah (berżikir). Ingatlah, hanya

dengan mengingat Allah (berżikir) hati menjadi tentram)”.

(QS. al-Ra‟d/13: 28)

Ketika menafsirkan ayat ini, Hamka menerangkan bahwa iman

yang senantiasa menyebabkan kita ingat kepada Allah, atau żikir. Iman

yang menyebabkan hati kita mempunyai pusat ingatan dan tujuan

ingatan. Dan ingatan kepada Tuhan, itulah yang membuat hati kita

47

A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’ān Surat Al-Baqarah-

Al-Nās, Cet. 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 525-526. 48

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz 13-14, Cet. 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 213.

67

menjadi tentram, dan hilanglah segala macam kegelisahan, ketakutan,

kecemasan, keraguan, dll. Kalau hati telah ditumbuhi penyakit, dan

tidak segera diobatinya dengan Iman, yaitu Iman yang menimbulkan

żikir, maka celakalah yang akan menimpa. Hati yang sakit akan

bertambah sakit, dan puncak dari segala penyakit hati ialah kufur dan

nikmat Allah.49

Kemudian potongan ayat selanjutnya al-Sya‟rāwī memaknai

kata żikir menurut istilah al-Qur‟ān memiliki arti yang beragam.

Pertama, al-Qur‟ān. Seperti dalam surah al-Hijr ayat 9: Sesungguhnya

Kamilah yang menurunkan żikir/al-Qur’ān, dan Kamilah yang

memelihara dan menjaganya. (QS. al-Hir/15: 9). Kedua, Rasul. Seperti

dalam surah al-Nahl ayat 43: dan tidaklah Kami mengutus Rasul-rasul

sebelummu (wahai Muhammad), melainkan dari kalangan orang-

orang lelaki, yang Kami wahyukan kepada mereka. Oleh itu

bertanyalah kamu (wahai golongan musyrik) kepada ahli żikir/orang-

orang yang berpengetahuan agama jika kamu tidak mengetahui. (QS.

al-Nahl/16: 43). Ketiga, mengingat Allah. Seperti dalam surah al-

Baqarah ayat 152: Oleh karena itu, żikir/ingatlah kamu kepada-Ku

(dengan mematuhi hukum dan undang-undang-Ku), supaya Aku

membalas kamu dengan kebaikan; dan bersyukurlah kamu kepada-Ku

dan janganlah kamu kufur (akan nikmat-Ku). (QS. al-Baqarah/2: 152).

Kemudian al-Sya‟rāwī mengomentari ayat di atas dengan

mengatakan bahwa ketentraman memenuhi setiap relung jiwa orang

49

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz 13-14, Cet. 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 93.

68

yang berżikir. Saat dia berżikir, maka dia akan menemukan

ketentraman dan kedamaian dalam hatinya.50

5. Bersabar

Al-Qur‟ān mengajak kaum muslimin agar berhias diri dengan

kesabaran. Sebab kesabaran mempunyai faedah yang sangat besar

dalam menghadapi masalah hidup, musibah, dan bencana.51

Sebagaimana dalam QS. al-Nahl/16: 127,

“Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-

mata dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau

bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula)

bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan”.

Sebab nuzul ayat ini berkaitan dengan waktu Rasulullah SAW.

berdiri di depan jenazah pamannya Hamzah yang mati syahid dalam

kondisi rusak tubuhnya, Rasulullah bersabda: “Aku akan membunuh

tujuh puluh orang dari kaum musyrikin sebagaimana mereka telah

berlaku semena-mena terhadapmu, wahai pamanku”. Ketika beliau

sedang berdiri di situ, malaikat Jibril turun dengan membawa ayat ke

126-128 yang memerintahkan kepada Rasulullah agar mengurungkan

niatnya tersebut. Sebab kesabaran akan membawa dampak yang lebih

50

Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci

al-Qur’ān, Jilid. 7, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 249. 51

Muhammad Utsman Najati, Psikologi Dalam al-Qur’ān (Terapi Qur’ani Dalam

Penyembuhan Gangguan Kejiwaan), Cet. 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), h. 466.

69

positif daripada membalas mereka dengan kekerasan. (HR. Hakim dan

Baihaqi dalam kitab Dalail).52

Dalam ayat ini Hamka menjelaskan macam-macam sikap yang

akan dihadapi yaitu kasar budinya dan sikap yang sombong. Hamka

mengatakan syarat kemenangan adalah bersabar. Sabar bukan berarti

lemah. Akan tetapi itulah sebenarnya kekuatan, karena kuat

mengendalikan diri. Dalam hal ini, Tuhan tidak akan membiarkan

manusia sendiri. Jadi, hadapi semuanya dengan lapang dada. Apabila

nanti menang ketika menghadapi mereka dan mereka masih hidup,

maka mereka akan tunduk tersipu-sipu kepadamu.53

Ketika menafsirkan ayat “dan bersabarlah (Muhammad) dan

kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah” al-Sya‟rāwī

menjelaskan bahwa ini merupakan hikmah Allah dan rahmat-Nya yang

membuatmu dapat bersabar dan sanggup menerima gangguan atau

siksaan, karena di dalam kesabaran terdapat kebaikan bagimu.54

Dalam potongan ayat selanjutnya al-Sya‟rāwī menjelaskan

maksud kesempitan di ayat ini adalah berkurangnya luas sesuatu di

hadapanmu dari apa yang kamu perkirakan. Kesempitan yang

menimpa manusia memiliki beberapa derajat. Terkadang dia merasa

negaranya sempit sehingga dia harus pindah ke negara lain. Terkadang

dia merasa dunia ini sangat sempit. Dalam keadaan ini dia dapat

melapangkan jiwanya terlebih dahulu. Jika dia merasa dirinya sendiri

52

A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’ān Surat Al-Baqarah-

Al-Nās, Cet. 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 538. 53

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XIV (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 323. 54

Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,

Jilid 7, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 783.

70

telah sempit, berarti dia telah sampai pada puncak kesempitan

sebagaimana yang diceritakan oleh Allah SWT. tentang tiga orang

yang menghindar untuk berjihad bersama Rasulullah SAW.55

6. Tawakkal

Dalam QS. al-Naml/27: 70,

“Dan janganlah engkau bersedih hati terhadap mereka, dan

janganlah (dadamu) merasa sempit terhadap upaya tipu daya

mereka”.

Ketika menafsirkan ayat ini, Hamka menerangkan bahwa

Rasulullah SAW., sangatlah merasa berduka cita atau bersedih

memikirkan nasib kaumnya yang mendustakan kebenaran itu, yang

menyambut peringatan Rasul tentang hari kiamat, bahwa itu hanya

semata-mata dongeng purbakala. Beliau sedih memikirkan betapa

nasib ummat Nabi-nabi dahulu yang mendustakan Nabi-nabi Allah.

Akan tetapi dalam ayat ini Nabi SAW., dibujuk oleh Tuhan, tak

usaklah dia berduka cita memikirkan mereka.

Dalam ayat ini, Hamka mengartikan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa

jengkel atau kecewa. Karena kaum itu melakukan tipudaya atau

melakukan makar. Perbuatan rencana-rencana yang tidak jujur yang

akan membawa celaka bagi diri mereka sendiri. Dengan ayat ini Nabi

SAW., dilunakkan hatinya oleh Tuhan, disuruh bersabar dan

membiarkan saja. Karena segala tipudaya dan makar itu tidaklah

berhasil. Sebab rencana itu tidak akan dibantu oleh Tuhan. Bahkan

55

Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar, h.

785.

71

Nabi SAW., yang akan berhasil di dalam perjuangan menegakkan

agama ini.56

Di sini al-Sya‟rāwī sependapat dengan Hamka, al-Sya‟rāwī

menjelaskan bahwa tugas Nabi hanya menyampaikan dakwah. Nabi

tidak akan dihukum akibat kekufuran orang yang kufur itu. Nabi cinta

kepada umatnya agar mereka tidak masuk neraka, namun Nabi

bersedih apabila umatnya tidak mendengar ajakannya,57

56

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XX (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 17. 57

Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,

Jilid 10, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2011), h. 230.

72

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian di atas penulis ingin memaparkan ḍayq

al-ṣadr menurut penafsiran Hamka dan al-Sya’rāwī. Di mana pemaparan

tersebut yang menjadi jawaban dari permasalahan yang dikaji. Maka penulis

dapat menyimpulkannya sebagai berikut:

Kata ḍayq al-ṣadr dapat diartikan ke dalam beberapa pemahaman.

Dengan demikian penafsiran Hamka dan al-Sya’rāwī terhadap kata ḍayq al-

ṣadr berbeda pada setiap ayatnya.

Menurut penafsiran Hamka, penulis menyimpulkan bahwa ḍayq al-

ṣadr dalam QS. Hūd/11: 12 merupakan bentuk hati yang semula tenang

menjadi jengkel karena kaumnya tidak mau menerima wahyu yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam QS. al-Syu’ara’/26: 13 merupakan

perasaan khawatir yang menyebabkan lisan Nabi Musa tidak dapat berkata

fasih. Bersumber dari Allah dalam QS. al-Hijr/15: 97, ḍayq al-ṣadr

digambarkan sebagai rasa sedih karena kaum kafir Quraisy saat itu tidak mau

menerima ajaran yang dibawa Rasulullah. Dalam QS. al-An’ām/6: 125 ini

ḍayq al-ṣadr diibaratkan ketika seseorang sedang mendaki ke langit kemudian

merasakan sesak nafas akibat kekurangan oksigen. Kemudian dalam QS.

Hūd/11: 77 dan QS. al-Ankabūt/29: 33, ḍayq al-ṣadr merupakan perasaan

takut ketika datang para malaikat kepada kaumnya. Ḍayq al-Ṣadr dalam QS.

al-Taubah/9: 118 merupakan rasa takut karena tidak ikut berperang. Dalam

73

QS. al-Taubah/9: 25 ḍayq al-ṣadr diartikan sebagai rasa takut karena

menghadapi jumlah musuh yang jauh lebih besar.

Menurut penafsiran al-Sya’rāwī, penulis menyimpulkan bahwa dalam

QS. Hūd/11: 12 ḍayq al-ṣadr merupakan sikap materialistis yang tertanam

dalam hati seseorang sehingga segala hal yang mustahil menurut mereka tidak

dapat diterima. Ḍayq al-Ṣadr dalam QS. al-Syu’ara’/26: 13 diartikan sebagai

rasa kekesalan diri dan susahnya untuk berbicara dengan baik. Dalam QS. al-

Hijr/15: 97, ḍayq al-ṣadr merupakan perasaan sedih akibat perkataan yang

mereka ucapkan. Kemudian dalam QS. al-An’ām/6: 125, ḍayq al-ṣadr

diibaratkan ketika seseorang sedang mendaki ke langit kemudian merasakan

sesak nafas akibat kekurangan oksigen. Dalam QS. Hūd/11: 77 dan QS. al-

Ankabūt/29: 33, ḍayq al-ṣadr dimaknai sebagai perasaan susah dan sesak dada

Nabi Luth ketika kedatangan para tamu. Dalam QS. al-Taubah/9: 118, ḍayq

al-ṣadr merupakan perasaan takut karena tidak ikut berperang. Kemudian

dalam QS. al-Taubah/9: 25 ḍayq al-ṣadr diartikan sebagai rasa takut karena

menghadapi jumlah musuh yang jauh lebih besar.

Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa Hamka dan al-

Sya’rāwī memiliki persamaan dan perbedaan dalam menafsirkan ḍayq al-ṣadr.

Di mana persamaan dari penafsiran keduanya tersebut terletak pada QS. al-

An’ām/6: 125, QS. Hūd/11: 77, QS. al-Ankabūt/29: 33, al-Taubah/9: 118, al-

Taubah/9: 25 dan QS. al-Hijr/15: 97. Dalam QS. al-An’ām/6: 125 bahwa

keduanya sama-sama menafsirkan ḍayq al-ṣadr dengan mengibaratkan ketika

seseorang sedang mendaki ke langit kemudian merasakan sesak nafas akibat

kekurang oksigen. Kemudian dalam QS. Hūd/11: 77, QS. al-Ankabūt/29: 33,

74

al-Taubah/9: 118 , dan al-Taubah/9: 25 bahwa ḍayq al-ṣadr dimaknai oleh

keduanya sebagai rasa takut. Dan dalam QS. al-Hijr/15: 97, keduanya sama-

sama menafsirkan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa sedih.

Sedangkan perbedaan penafsiran dari keduanya terletak pada QS.

Hūd/11: 12 bahwa Hamka mengartikan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa jengkel atau

kecewa dan al-Sya’rāwī menafsirkan ḍayq al-ṣadr sebagai sikap matrealistis.

Kemudian dalam QS. al-Syu’ara’/26: 13 bahwa Hamka mengartikan ḍayq al-

ṣadr sebagai rasa khawatir dan al-Sya’rāwī menafsirkan ḍayq al-ṣadr sebagai

rasa kesal.

Adapun dari pendapat kedua mufassir tersebut penulis menarik

kesimpulan bahwa Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat ḍayq al-ṣadr lebih

rinci dibandingkan dengan al-Sya’rāwī, karena dilihat dari metodenya, tafsir

al-Sya’rāwī susah untuk dipetakan, sebab tafsir ini merupakan tafsir bi al-lisan

(hasil pidato atau ceramah).

B. Saran-saran

Kajian mengenai ḍayq al-ṣadr sangatlah penting untuk dikaji, sebab

hampir setiap hari manusia merasakan ḍayq al-ṣadr. Oleh karena itu,

penelitian ini belum cukup sampai di sini, untuk itu penulis berharap agar para

pembaca yang membaca skripsi ini bersedia untuk melajutkan penelitian ini

dengan lebih meluas dan lebih baik lagi. Karena penulis menyadari bahwa

masih banyak kekurangan dalam penulisan ini meskipun skripsi ini ditulis

dengan semaksimal mungkin, akan tetapi penulis menyadari kemampuan dan

keterbatasan penulis.

75

Dengan adanya skripsi ini, penulis berharap agar kajian mengenai ḍayq

al-ṣadr bisa memberikan pemahaman baru yang akan merevisi cara pandang

kita terhadap masalah-masalah yang kita hadapi sehari-hari. Āmīn..

75

DAFTAR PUSTAKA

Abid, Shohibul dkk. Ulumul Qur‟ān Profil Para Mufassir. Ciputat Timur: Pustaka

Dunia, 2011.

Al-Adnani, Abu Fatiah. Dari Alam Barzakh Menuju Padang Mahsyar. Solo:

Granada, 2013. Cet. I.

Al-„Ainain, Sa‟id Abu. Al-Sya‟rāwī Alladzi lā Na‟rifuh. Kairo: Akhbar al-Yaum,

1995.

Alaydrus, Habib Syarief Muhammad. Agar Hidup Selalu Berkah: Meraih

Ketentraman Hati Dengan Hidup Penuh Berkah. Bandung: PT Mizan

Pustaka, 2009. Cet. I.

Al-Amāl, Mahmūd Rizq. Tarīkh al-Imām Al-Sya‟rāwī dalam Majalah Manar al-

Islam. no. 6. vol. 27 September, 2001.

Amanah, Siti. Kesedihan Dalam Perspektif al-Qur‟an (Telaah Atas Sebab dan

Solusi Kesedihan Dalam Ayat-Ayat al-Hazan). 2016.

Amir, Mafri dan Lilik Ummi Kaltsum. Literatur Tafsir Indonesia. Jakarta:

Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Cet. I.

Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Tangerang: Mazhab Ciputat, 2013. Cet.

II.

Azhim, Said Abdul. Rahasia Kesucian Hati. Jakarta: QultumMedia, 2006. Cet. I.

Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur‟an. Jogjakarta: Pustaka

Pelajar, 2000. Cet. II.

Al-Baghdadi, Abdurrahman. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur‟ân. Jakarta: Gema

Insani, 2007.

Al-Bāqî, Muhammad Fu‟ad „Abd. al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāz al-Qur‟ān

al-Karīm. Kairo: Dār al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H.

Dahlan, Muhammad dan Muhtarom. Menjadi Guru Yang Bening Hati: Strategi

Mengelola Hati. Yogyakarta: Deepublish, 2016. Cet. I.

Dawami, M. Iqbal. Kamus Istilah Populer Islam: Kata-Kata yang Paling Sering

Digunakan di Dunia Islam. t.t: Penerbit Erlangga, 2013.

Departemen Agama RI. al-Qur‟ān dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI,

2009. Cet. IV.

Farid, Ahmad. Tazkiyah an-Nafs. Sukoharjo: Al-Hambra Publishing, 2012.

Faridly, Heri MS dkk. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa, 2008. Cet. I.

76

Fauzi, Muhammad. As-Syeikh Al-Sya‟rāwī : Baina al-Islam wa al-Siyasah. Kairo:

Dar al-Nashr, 1990.

Federspiel, Howard M. Kajian al-Qur‟an di Indonesia. Bandung: Mizan, 1996.

Gulen, Muhammad Fethullah. Tasawuf Untuk Kita Semua. terj. Fuad Syaifudin

Nur. Jakarta: Republika, 2013.

Hamka. Falsafah Hidup. Jakarta: Pustaka Punjimas, 1984. Cet. II.

_______. Tafsir al-Azhar Juz VIII. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984.

_______. Tafsir al-Azhar Juz XII. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1992. Cet. II.

_______. Tafsir al-Azhar Juz X. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984.

_______. Tafsir al-Azhar Juz XI. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982.

_______. Tafsir al-Azhar Juz XIII-XIV. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. Cet. II.

_______. Tafsir al-Azhar Juz XX. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983.

_______. Tasawwuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001.

_______. Tafsir al-Azhar Juz XXI. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982.

Ichwan, Muhammad Noor. Memasuki Dunia Al-Qur‟an. Semarang: Lubuk Raya,

2001.

Islam, Dewan Ensiklopedia. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve,

1993.

Jauhar, Ahmad al-Marsi Husein. Muhammad Mutawalli Al-Sya‟rāwī : Imam al-

„Asr. al-Qāhirah: Handar Misr, 1990.

Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Keajaiban Hati. penerjemah Fadhli Bahri. Batavia:

Pustaka Azam, 1999. Cet. I.

_______. Membersihkan Hati Dari Gangguan Setan. Jakarta: Gema Insani, 2004.

_______. Qadha dan Qada: Referensi Lengkap Tentang Takdir Berdasarkan Al-

Qur‟an dan Hadits. Jakarta: Qisthi Press, 2016.

Katsir, Ibnu Katsir. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. terj. Salim Bahresy.

Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1988. Cet. I.

Al-Mishriy, Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-

Afriqiy. Lisān al-Arab, Jilid 10. Beirut: Darus Shadir, 1994. Cet. III.

Muhajirah, Muhajirah. Konsep Ḍayq al-Ṣadr Dalam al-Qur‟ān (Kajian Tafsir

Tematik). 2012.

77

Muhammad, Herry. Tokoh-Tokoh yang Berpengaruh pada Abad 20. Jakarta:

Gema Insani Press, 2006.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab –Indonesia. Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997.

Al-Mursy, Muhammad Musthafa. Rihlah fī A‟maq Al-Sya‟rāwī . Kairo: Dar al-

Sahwah, 1991.

Najati, Muhammad Utsman. Psikologi Dalam al-Qur‟ān (Terapi Qur‟ani Dalam

Penyembuhan Gangguan Kejiwaan). Bandung: CV Pustaka Setia, 2005.

Cet. I.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa

Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utara, 2008. Cet. IV.

Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003.

Noor, Acep Zamzam, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus. 33 Tokoh Sastra Indonesia

Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014. Cet.

I.

Purwanto, Agus. Nalar Ayat-Ayat Semesta: Menjadikan Al-Qur‟an Sebagai Basis

Kontruksi Ilmu Pengetahuan. Bandung: Mizan, 2015.

Al-Qarni, „Aidh al-Qarni. Lā Tahzan; Jangan Bersedih!. Penerjemah, Samson

Rahman. Jakarta: Qisthi Press, 2004. Cet. XVIII.

Al-Qorni, Uwes al-Qorni. 60 Penyakit Hati. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2003, Cet. 9.

Riswanto, Arif Munandar. Khazanah Buku Pintar Islam. Bandung: Mizan, 2010.

S. Floriberta Aning. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat

Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di

Abad 20. Yogyakarta: Penerbit NARASI, 2007. Cet. III.

Salim, Abdul Mun‟in. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.

Saltut, Mahmud. Tafsir Al-Qur‟an Al-Karim. Bandung: Sinar Baru Algensindo,

2000.

Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Sansa, Muhammad Djarot. Komunikasi Qur‟aniyah Tadzabur Untuk Pensucian

Jiwa. Bandung: Pustaka Islamika, 2005.

Santoso, Mustofa B. Vitamin Shalat: Agar Ringan Bersujud. Bandung: DAR!

Mizan, 2006. Cet. I.

78

Selamat, Muhammad Isa. Penawar Jiwa dan Pikiran. Jakarta: Kalam Mulia,

2005. Cet. III.

Shayyim, Muhammad. Bila Hati Telah Mati: 7 Penyakit Hati Paling Berbahaya

Beserta 6 Obat Penyembuh Dan Penawarnya. Mirqat, 2010.

Shihab, M. Quraish. Ensiklopedi Al-Qur‟ān Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya.

Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997.

_______. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta:

Lentera Hati, 2002.

Suparlan. Mendidik Hati Membentuk Karakter: Panduan al-Qur‟an Melejitkan

Hati Memperindah Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015. Cet. I.

Sya‟rāwī , Syekh Muhammad Mutawalli. Tafsir Sya‟rāwī ; Renungan Seputar

Kitab Suci al-Qur‟ān, Jilid. 4. Medan: Penerbit Duta Azhar, 2006. Cet. I.

_______. Tafsir Sya‟rāwī . Penerj. Tim Safir al-Azhar. Jilid 7. Medan: Penerbit

Duta Azhar, 2007. Cet. I.

_______. Tafsir Sya‟rāwī Penerj. Tim Safir al-Azhar. Jilid 10. Medan: Penerbit

Duta Azhar, 2011. Cet. I.

_______. penerjemah Tim Terjemah Safir al-Azhar. Tafsir Sya‟rāwī . Jilid 7.

Medan: Duta Azhar, 2007. Cet. I.

_______. Tafsir Sya‟rāwī ; Renungan Seputar Kitab Suci al-Qur‟ān. Medan:

Penerbit Duta Azhar, 2007. Cet. I.

_______. penerjemah A. hanafi, Tirulah Shalat Nabi: Jangan Asal Shalat.

Bandung: PT Mizania Pustaka.

Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2012. Cet. II.

Tamara, Nasir. Hamka Di Mata Hati Ummat. Jakarta: Sinar Harapan, 1996. Cet.

III.

Tebba, Sudirman. Tafsir Al-Qur‟an: Menyingkap Rahasia Hati. Jakarta: Pustaka

Irvan, 2007.

Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka panji

Mas, 1990.

Zakariyyā, Abu al-Husayn Ahmad bin fāris bin. Mu‟jam al-Maqāyas Fī al-

Lughah. Jilid II. Mesir: Musthafa al-Halabi, 1970.

Jurnal:

79

Sa‟ari, Che Zarrina. Penyakit Gelisah (Anxiety / Al-Halu‟) Dalam Masyarakat

Islam Dan Penyelesaiannya Menurut Psiko-Spiritual Islam. 2001.

Website:

Alwi, Muhammad bin. “Khazanah al-Qur‟an”. Artikel diakses pada pada Selasa,

9 Januari 2018, pukul 16.19 WIB dari

http://www.khazanahalquran.com/apa-sebab-hati-seseorang-susah-

menerima-kebenaran.html

Idrus, Ratna Dewi. “Ketika Hati Terasa Sempit”. Artikel diakses pada Jum‟at, 9

Februari 2018. Pukul 15.30 WIB dari

http://www.google.co.id/amp/s/www.islampos.com/amp/ketika-hati-

terasa-sempit-11524

Media, Accounting. http://accounting-media.blogspot.co.id/2014/06/data-primer-

dan-data-sekunder.html?m=1 diakses pada hari Sabtu, 25 November 2017,

Jam 21.14 WIB.