skripsi diajukan kepada fakultas ushuluddin untuk memenuhi
TRANSCRIPT
ḌAYQ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’ĀN
(Kajian Komparatif Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al-Sya’rāwī Tentang Ayat-
Ayat Ḍayq)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Alvi Luthfiyah Destari
NIM. 11140340000096
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H/ 2018 M
ḌAYQ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’ĀN
(Kajian Komparatif Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al-Sya’rāwī Tentang Ayat-
Ayat Ḍayq)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun oleh:
Alvi Luthfiyah Destari
NIM. 11140340000096
Di bawah bimbingan:
Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA
NIP. 19550725 200012 2 001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H/ 2018 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Kedudukan Anak Terhadap Orang Tua (Kajian
Tafsir Tematik)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu, 19 September 2018. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada
program Studi Ilmu al-Qur’ān dan Tafsir.
Ciputat, 19 September 2018
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M. Si
NIP. 19651129 199403 1 002
Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Banun Binaningrum, M.Pd
NIP. 19680618199903 2 001
Penguji I
Dr. Ahsin Sakho M Asyrofuddin,
MA
NIP. 19560221 199602 1 001
Penguji II
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA
NIP. 19690822 199703 1 002
Pembimbing
Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA
NIP. 19550725 200012 2 001
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Alvi Luthfiyah Destari
NIM : 11140340000096
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/Prodi : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Alamat Rumah : Kp. Bulak No. 13 RT/RW: 002/015 Klender Duren Sawit
Jakarta Timur
Judul Skripsi : Ḍayq Dalam Perspektif Al-Qur’ān (Kajian Komparatif
Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Sya’rāwī Tentang Ayat-Ayat
Ḍayq)
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 19 September 2018
Alvi Luthfiyah Destari
i
ABSTRAK
Alvi Luthfiyah Destari
Ḍayq Dalam Perspektif Al-Qur’ān (Kajian Komparatif Tafsir Al-Azhar dan
Tafsir Al-Sya’rāwī Tentang Ayat-Ayat Ḍayq), 2018
Ḍayq merupakan sebuah kalimat yang menunjukkan akan perbedaannya
dari kelapangan (antonim kelapangan), dan itu merupakan kesempitan. Dalam
penelitian ini penulis ingin memfokuskan kepada kata ḍayq al-Ṣadr. ḍayq al-Ṣadr
merupakan suatu keadaan sempitnya dada yang menyebabkan dadanya manusia
menjadi galau, gelisah, sedih, takut, dan lain-lain. Zaman sekarang yang serba
modern ini semakin banyak permasalahan yang timbul dikalangan umat Islam,
kebanyakan manusia lebih mementingkan dunia daripada akhirat. Karena setiap
manusia pasti memikul beban persoalan yang harus diselesaikan. Di mana
persoalan yang datang terkadang membuat hidup ini begitu sempit. Hampir setiap
hari manusia dihadapi dengan permasalahan-permasalahan yang membuat dada
menjadi sempit. Contoh, tidak sedikit orang bahkan yang muslim sekalipun
mereka pernah merasakan yang namanya sempit dada seperti sedih, gelisah, galau,
takut. Banyak orang yang merasakan sempit dada dikarenakan faktor ekonomi
atau faktor kemiskinan, sehingga karena faktor tersebut membuat dada manusia
menjadi sempit. Dari sini penulis ingin mengkaji tentang ayat-ayat ḍayq al-ṣadr
dalam tafsir al-Azhar dan tafsir al-Sya’rawi. Penulis merujuk kepada Hamka dan
al-Sya’rāwī karena keduanya merupakan mufassir terkenal di zaman kontemporer,
dan keduanya sangat familiar dan mudah dipahami dalam menjelaskan masalah
agama. Selain itu kedua mufassir ini lahir dari kondisi dan lingkungan yang
berbeda.
Penelitian skripsi ini, secara keseluruhan penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif. Dalam metode pengumpulan data, penulis menggunakan
metode kepustakaan (Library Research) yaitu tehnik pengumpulan data dengan
mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-
catatan, dan laporan-laporan yang ada sehingga diperoleh data-data yang
diperlukan yang berhubungan dengan masalah yang dipecahkan. Dalam metode
analisis data, penulis mengolah data tersebut dengan menggunakan metode
tematik dan muqaran (komparatif).
Hasil dari penelitian ini penulis menemukan bahwa Hamka dan al-
Sya’rāwī memiliki persamaan dan perbedaan dalam menafsirkan ḍayq al-ṣadr. Di
mana persamaan dari penafsiran keduanya tersebut terletak dalam QS. al-
Taubah/9: 25 dan QS. al-Ankabūt/29: 33, bahwa Hamka dan al-Sya’rāwī
mengartikan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa takut karena menghadapi jumlah musuh
yang jauh lebih besar. Sedangkan perbedaan penafsiran dari keduanya terletak
pada QS. Hūd/11: 12 bahwa Hamka mengartikan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa
jengkel atau kecewa dan al-Sya’rāwī menafsirkan ḍayq al-ṣadr sebagai sikap
matrealistis. Kemudian dalam QS. al-Syu’ara’/26: 13 bahwa Hamka mengartikan
ḍayq al-ṣadr sebagai rasa khawatir dan al-Sya’rāwī menafsirkan ḍayq al-ṣadr
sebagai rasa kesal.
Kata kunci: Ḍayq al-Ṣadr, Tafsir al-Azhar, Tafsir al-Sya’rāwī
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan Taufik, Hidayah, dan Inayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul
“ḌAYQ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’ĀN (Kajian Komparatif Tafsir Al-
Azhar dan Tafsir Al-Sya’rāwī Tentang Ayat-Ayat Ḍayq)” dapat penulis
selesaikan.
Sholawat dan salam tak lupa pula kita haturkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW. serta keluarga dan para sahabatnya, dan juga para pengikutnya.
Kemudian, penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai
tanpa adanya bantuan dan juga dukungan dari kedua orang tua, keluarga, dosen
pembimbing, dan teman-teman yang selalu mensupport atau mendukung penulis.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’ān dan
Tafsir dan Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-
Qur’ān dan Tafsir.
4. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA. selaku Dosen Pembimbing Skripsi
penulis yang telah banyak membimbing, memberi masukan dan saran
iii
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga
sehat selalu, panjang umur, dan dimudahkan segala urusannya.
5. Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA dan Drs. Ahmad Rifqi Muchtar,
MA selaku dosen penguji sidang skripsi penulis. Mudah-mudahan bapak
selalu dalam lindungan Allah SWT.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen jurusan Ilmu
Al-Qur’ān dan Tafsir. Yang telah sabar dalam mendidik dan telah banyak
memberikan berbagai macam ilmu. Mudah-mudahan ilmu yang penulis
dapatkan bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.
7. Pimpinan dan staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan
Utama (PU), Perpustakaan Iman Jama’, dan Pusat Studi Al-Qur’ān.
8. Untuk kedua orang tuaku tercinta, Papah Endang Ejib dan Mamah S.
Rosyidah yang senantiasa selalu mendoakan, memberikan semangat, dan
juga motivasi kepada penulis. Semoga senantiasa Allah sehatkan
badannya, panjangkan umurnya, dimurahkan rezekinya dan selalu dalam
lindungan Allah SWT. Aamiin.
9. Untuk saudara kandung penulis yaitu Dika Komalasari, Rikza Gustianti,
dan juga kakak ipar penulis yaitu Nurjaman dan Rendi Febrianto. Semoga
selalu dalam lindungan Allah SWT.
10. Untuk keponakan-keponakan penulis yaitu M. Adzin Farras Anajka, M.
Syabil Zuhair Alrenza, dan Sabrina Inara Sakhi Anajka yang selalu
memberikan semangat disaat penulis mulai merasa jenuh. Semoga kelak
menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.
iv
11. Kepada teman-teman jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014
khususnya kelas TH. C, dan juga teman-teman seperjuangan penulis yaitu
Umdatul Banat, Pramudita Suciati, Ulfah Nurazizah, Qurrata A’yun, Zahra
Luthfiana, Iva Rustiana, Ilham Dwi, M. Asywar dan teman-teman
bimbingan bersama ibu Faizah, Sayyidah, Fayyadhah, Aidah.
12. Dan semua teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 9
E. Kajian Pustaka ................................................................................... 10
F. Metodologi Penelitian ....................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ḌAYQ AL-ṢADR .......................... 16
A. Pengertian Ḍayq Al-Ṣadr menurut bahasa ........................................ 16
B. Pengertian Ḍayq Al-Ṣadr menurut istilah .......................................... 18
C. Derivasi kata Ḍayq Al-Ṣadr dalam al-Qur’an ................................... 20
D. Urgensi mengetahui Ḍayq Al-Ṣadr ................................................... 26
BAB III BIOGRAFI HAMKA DAN AL-SYA’RĀWĪ SERTA PROFIL
TAFSIR KEDUANYA .................................................................... 27
A. Biografi Hamka dan Profil Tafsir Al-Azhar ..................................... 27
1. Riwayat Hidup ............................................................................ 27
2. Karirnya....................................................................................... 29
vi
3. Karya-karyanya ........................................................................... 31
4. Profil Tafsir Al-Azhar ................................................................. 32
a. Metode Penafsiran dan Corak Penafsiran ............................. 32
B. Biografi Al-Sya’rāwī dan Profil Tafsir Al-Sya’rāwī ........................ 33
1. Riwayat Hidup ...................................................................... 33
2. Karirnya................................................................................. 34
3. Karya-karyanya ..................................................................... 36
4. Profil Tafsir Al-Sya’rāwī ...................................................... 36
a. Metode Penafsiran dan Corak Penafsiran ....................... 37
BAB IV ASPEK-ASPEK YANG MENYEBABKAN ḌAYQ AL-ṢADR DAN
PETUNJUK AL-QUR’ĀN DALAM MENYIKAPINYA ............... 38
A. Aspek-Aspek Yang Menyebabkan Ḍayq Al-Ṣadr Dalam Penafsiran
Hamka Dan Al-Sya’rāwī ................................................................... 38
1. Ḍayq al-Ṣadr yang berkaitan dengan faktor luar ........................ 38
a. Ḍayq al-Ṣadr akibat beratnya tantangan yang dihadapi seorang
Da’i ........................................................................................ 39
b. Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan Nabi Luth ketika malaikat
mendatangi kaumnya ............................................................ 47
c. Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan bagi orang yang tersalah ..... 51
d. Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan ketika menghadapi musuh yang
jumlahnya jauh lebih besar ................................................... 54
2. Ḍayq al-Ṣadr yang berkaitan dengan faktor diri sendiri ............. 57
vii
a. Ḍayq al-Ṣadr karena kesesatan dan kesyirikan menyebabkan
Ḍayq al-Ṣadr ......................................................................... 57
B. Petunjuk Al-Qur’ān Dalam Menyikapi Ḍayq Al-Ṣadr Menurut
Penafsiran Hamka Dan Al-Sya’rāwī ................................................. 59
1. Beriman dan bertakwa kepada akidah tauhid.............................. 60
2. Sholat .......................................................................................... 61
3. Berdo’a ........................................................................................ 63
4. Berżikir ........................................................................................ 65
5. Bersabar....................................................................................... 68
6. Tawakkal ..................................................................................... 70
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 72
A. Kesimpulan ....................................................................................... 72
B. Saran .................................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 75
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Derivasi kata ḍayq al-ṣadr ..................................................................... 21
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang merupakan hasil keputusan
bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
A. Konsonan
ARAB NAMA LATIN KETERANGAN
Alif Tidak
dilambangkan
Tidak dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Tsa Ṡ Te dan es ث
Jim J Je ج
Ḥa Ḥ Ha dengan titik di bawah ح
Kha Kh Ka dan Ha خ
Dal D De د
Żal Ż Zet dengan titik di atas ذ
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Es dan ye ش
Ṣad Ṣ Es dengan titik di bawah ص
Ḍad Ḍ De dengan titik di bawah ض
Ṭa Ṭ Te dengan titik di bawah ط
Ẓa Ẓ Zet dengan titik di bawah ظ
Ain ‘ Koma terbalik‘ ع
Ghain Gh Ge dan ha غ
Fa F Fa ف
Qaf Q Qi ق
Kaf K Ka ك
x
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
Ha H Ha ه
Hamzah ‘ Apostrof ء
Ya Y Ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong, vocal
rangkap atau diftong dan vocal panjang. Ketiganya adalah sebagai berikut:
1. Vokal Tunggal
Tanda Vokal Nama Latin Keterangan
Fatḥaḥ A A ا
Kasraḥ I I ا
Ḍammaḥ U U ا
Contoh:
Kataba : كتة Naṣaara dan : نصر
2. Vokal rangkap
Tanda
Vokal
Nama Latin Keterangan
Fatḥaḥ dan Ya’sakun Ai A dan I ىي
Fatḥaḥ dan Wau sakun Au A dan U ىو
Contoh:
ḥaula : حول Laisa : ليس
xi
3. Vokal panjang
Tanda Vokal Nama Latin Keterangan
Fatḥaḥ dan Ba ā A dengan garis di atas تا
Kasroh dan Ba Ī I dengan garis di atas تي
Ḍammah dan Ba Ū U dengan garis di atas تو
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟ān sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan firman
Allah (kalam Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW., yang
membuktikan risalah kenabian-Nya. Diantara tujuan diturunkannya Al-Qur‟ān
adalah untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia dalam mengarungi
kehidupan mencapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat
kelak.1 Selain sebagai kitab petunjuk, juga sebagai kitab sastra yang memiliki
i‟jaz dari sisi redaksi dan susunan kata. Karena setiap kata dalam Al-Qur‟ān
memiliki makna tersendiri dan tidak tergantikan oleh kata lain.2
Diantara petunjuk-petunjuk al-Qur‟ān adalah perintah untuk
mensucikan diri, oleh karenanya di dalam ayat-Nya terkandung pesan-pesan
pensucian hati.3 Al-Qur‟ān menjadi penasihat, penawar hati yang sedang
gelisah, tidak tenang, dada terasa sempit.
Pada saat ini di dalam dunia yang telah maju terjadinya pertentangan-
pertentangan yang mengusik dan mengganggu dalam kehidupan seseorang.
Meskipun apa yang ada pada zaman dahulu belum dikenal oleh manusia
namun sekarang bukan perkara yang baru lagi. Ini membuktikan bahwa
keadaan manusia terus berkembang.4
1 Muhammad Noor Ichwan, Memasuki Dunia Al-Qur’an (Semarang: Lubuk Raya, 2001),
h. 48. 2 Mahmud Saltut, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), h.
786. 3 Muhammad Djarot Sansa, Komunikasi Qur’aniyah Tadzabur Untuk Pensucian Jiwa
(Bandung: Pustaka Islamika, 2005), h. 142. 4 Muhammad Isa Selamat, Penawar Jiwa dan Pikiran, Cet. 3 (Jakarta: Kalam Mulia,
2005), h. 6.
2
Persoalan hidup yang dihadapi manusia begitu banyak dan kompleks.5
Setiap kita pasti memikul beban persoalan yang harus diselesaikan.6 Semua
ketidaknyamanan dalam hidup mendatangkan persoalan yang mengharuskan
kita untuk terampil dalam menghadapinya. Persoalan yang datang terkadang
membuat hidup ini begitu sempit. Dada sesak dibuatnya dan hidup pun serasa
begitu menyiksa.7
Ketika hati kita lapang, masalah apapun dapat kita hadapi dengan baik,
pekerjaan seberat apapun dapat kita selesaikan, karena hati kita merasa lapang.
Namun sebaliknya, jika hati terasa sempit, masalah sekecil apapun akan kita
rasakan berat sekali, karena belum apa-apa hati kita tidak mampu
menerimanya.8 Terkadang, ada godaan untuk menyalahkan Allah atas semua
masalah yang kita alami.9 Banyak orang yang tidak tahu apa sebabnya mereka
gelisah, galau dan tidak tenang. Mereka merasakan jiwa yang hampa dan
kosong, meskipun sebenarnya mereka memiliki harta yang banyak.10
Seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manusia berdasar tindakan yang
diinginkan oleh hati.11
Hati dalam tubuh manusia bagaikan komandan dalam
satu barisan tentara, yang merupakan sumber perintah untuk melakukan
sesuatu.12
Hati adalah landasan tempat mendarat atau turunnya semua perintah
Allah, pada hati pula muara segala sesuatu. Hati merasakan kepedihan,
5 Mustofa B. Santoso, Vitamin Shalat: Agar Ringan Bersujud, Cet. 1 (Bandung: DAR!
Mizan, 2006), h. 49. 6 Mustofa B. Santoso, Vitamin Shalat: Agar Ringan Bersujud, h. 50.
7 Mustofa B. Santoso, Vitamin Shalat: Agar Ringan Bersujud, h. 51.
8 Ratna Dewi Idrus, “Ketika Hati Terasa Sempit”, artikel diakses pada Jum‟at, 9 Februari
2018, pukul 15.30 WIB dari http://www.google.co.id/amp/s/www.islampos.com/amp/ketika-hati-
terasa-sempit-11524 9 Mustofa B. Santoso, Vitamin Shalat: Agar Ringan Bersujud, h. 51.
10 Muhammad Isa Selamat, Penawar Jiwa dan Pikiran, h. 1.
11 Muhammad Dahlan dan Muhtarom, Menjadi Guru Yang Bening Hati: Strategi
Mengelola Hati, Cet. 1 (Yogyakarta: Deepublish, 2016), h. 105. 12
Ahmad Farid, Tazkiyah an-Nafs, (Sukoharjo: Al-Hambra Publishing, 2012), h. 36.
3
merasakan senang dan bahagia. Itulah wajah hati, kadang gembira, sedih,
lapang, sempit.13
Hati adalah mudghat dari tubuh manusia, sedangkan mudghat ialah
segumpal daging, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits14
: Rasulullah
SAW. bersabda,
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ini ada sebongkah daging.
Apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan bila ia rusak, maka rusak
pula seluruh tubuh. Ketahuilah, sebongkah daging itu ialah hati”. (HR,
Bukhari dan Muslim)
Ada empat istilah yang dipakai oleh al-Qur‟ān yang dapat diartikan
sebagai hati, yaitu ṣadr15
, qalb16
, fu’ad17
, dan albab18
. Ṣadr disebutkan dalam
Al-Qur‟ān sebanyak 43 kali.19
Ṣadr berarti hati bagian luar.20
Karena
pengertiannya hati bagian luar, maka istilah “ṣadr” bisa pula diartikan sebagai
dada. Hanya dada di sini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga non fisik,
seperti akal dan hati.
Dada disebut ṣadr karena ia merupakan bagian terluar atau terdepan
pada jiwa atau hati.21
Kata ṣadr yang arti asalnya dada dari manusia dan
13
Muhammad Shayyim, Bila Hati Telah Mati: 7 Penyakit Hati Paling Berbahaya
Beserta 6 Obat Penyembuh Dan Penawarnya, (Mirqat, 2010), h. 1. 14
Said Abdul Azhim, Rahasia Kesucian Hati, Cet. 1 (Jakarta: QultumMedia, 2006), h. 3. 15
Tempat bersemayamnya keislaman, yakni penyerahan diri secara total kepada Allah
SWT. Lihat: Heri MS Faridy, dkk, Ensiklopedi Tasawuf, Cet. 1 (Bandung: Angkasa, 2008), h.
1117. 16
Tempat Iman. Lihat: Heri MS Faridy, dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 1117. 17
Tempat pengetahuan (ma’rifah). Lihat: Heri MS Faridy, dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h.
1117. 18
Tempat tauhid. Lihat: Heri MS Faridy, dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 1117. 19
Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fâz al-Qur’ân al-Karîm
(Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H), h. 404. 20
Sudirman Tebba, Tafsir Al-Qur’an: Menyingkap Rahasia Hati (Jakarta: Pustaka Irvan,
2007), h. 1. 21
Sudirman Tebba, Tafsir Al-Qur’an: Menyingkap Rahasia Hati, h. 2.
4
makhluk lainnya, sebagai tempat yang tinggi dan jalan yang luas. Ṣadr
digunakan juga untuk makna hati, karena dada adalah tempat beradanya qalb,
yakni qalb tidak ada kecuali dalam dada.22
Al-ṣadr atau yang disebut dada
diumpamakan sebagai wilayah pertempuran utama antara kekuatan positif dan
negatif di dalam diri kita, tempat kita diuji dengan kecenderungan-
kecenderungan negatif kita. Jika kekuatan positif kita kuat, maka dapat
dipenuhi oleh cahaya dan berada di bawah pengaruh jiwa ilahiyah23
, yang
terletak di lubuk hati terdalam. Di sisi lain, jika pikiran dan perasaan negatif,
seperti dengki, syahwat, dan sombong masuk ke dalam dada, atau jika dada
diliputi oleh kepedihan, penderitaan, atau pun tragedi, yang berlangsung
dalam waktu yang lama, maka dada akan dilingkupi kegelapan.24
Setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda. Berulang kali al-
Qur‟ān menyinggung dua tipe manusia dengan uraian yang sangat indah. Tipe
yang dadanya lapang dan luas serta tipe yang dadanya sempit dan kaku.25
Dada yang dirasakan lapang adalah suatu tujuan yang tinggi dan cita-cita yang
utama.
Jika Allah SWT. mengaruniakan kelapangan dada pada seseorang
akibat dimudahkan urusannya, akan tercapailah kemashlahatan dunia dan
akhirat bagi orang tersebut. Adapun jika dada dirasakan sesak dan sempit,
seseorang akan jauh dari hal-hal yang mashlahat untuknya. Ia tidak mampu
22
Suparlan, Mendidik Hati Membentuk Karakter: Panduan al-Qur’an Melejitkan Hati
Memperindah Karakter, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 17. 23
Sesuatu yang digandrungi hati dengan penuh cinta, inabah, penghormatan,
pengagungan, merendahkan diri, tunduk, takut, berharap, dan tawakal. Lihat: Ibnu Qayyim al-
Jauziyah, Keajaiban Hati, penerjemah Fadhli Bahri, Cet. 1 (Batavia: Pustaka Azam, 1999), h. 47. 24
Robert Frager, Hati, Diri, dan Jiwa, penerjemah Hasmiyah Rauf, Cet 3 (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 59. 25
Muhammad bin Alwi, “Khazanah al-Qur‟an”, artikel diakses pada pada Selasa, 9
Januari 2018, pukul 16.19 WIB dari http://www.khazanahalquran.com/apa-sebab-hati-seseorang-
susah-menerima-kebenaran.html
5
dan tidak merasa bergairah untuk melakukan sesuatu. Keadaannya hanya silih
berganti antara kesedihan, kebingungan, dan kegundahan.26
Orang yang
mendapatkan hidayah dan iman, maka pribadinya lapang dada, sedangkan
orang yang sesat maka pribadinya sempit dada.27
Allah Ta‟ala berfirman,
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk
(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya
(sama dengan orang yang membatu hatinya?) Maka kecelakaan yang
besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat
Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Al-Zumar/39:
22)
Dada lapang mudah menerima pemahaman dan keyakinan Islam,
sebaliknya dada dirasakan sesak dan sempit jika menolak kebenaran dan
akhirnya tersesat.28
Sempit dalam Al-Qur‟ān disebut ḍayq. Dalam penelitian
ini penulis ingin mengkaji sempit dada yang terdapat dalam al-Qur‟ān yang
disebut dengan kata ḍayq al-ṣadr. Ungkapan dari kata ḍayq al-ṣadr atau dada
yang sesak maksudnya adalah ibarat berkurangnya udara yang masuk melalui
proses pernapasan ke dalam paru-paru. Udara ini yang membawa oksigen
pada paru-paru dan mengeluarkan karbondioksida dari dalamnya. Oksigen
bekerja memompa paru-paru sebagaimana makanan dalam menghasilkan
energi.
26
Artikel diakses pada Selasa, 9 Januari 2018, pukul 16.33 WIB dari
https://khotbahjumat.com/3212-lapang-dada.html 27
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Membersihkan Hati Dari Gangguan Setan (Jakarta: Gema
Insani, 2004), h. 35. 28
Agus Purwanto, Nalar Ayat-Ayat Semesta: Menjadikan Al-Qur’an Sebagai Basis
Kontruksi Ilmu Pengetahuan (Bandung: Mizan, 2015), h. 423.
6
Maka apabila dada dirasakan sesak, kekuatan akan berkurang.29
Sedih,
galau, gelisah, marah, dan dendam adalah sifat dari sejumlah tindakan yang
menyebabkan dada kita terasa sempit. Terkadang sifat-sifat ini ada di dalam
diri dalam jangka waktu yang panjang dan terkadang hanya dalam jangka
waktu yang pendek saja. Setiap wadah jika dimasuki sesuatu maka wadah
tersebut akan menjadi sempit. Apabila dimasuki sesuatu yang lain, wadah
akan menjadi sesak, kecuali hati yang lembut.30
Zaman sekarang di mana zaman yang sudah modern ini semakin
banyak permasalahan yang timbul dikalangan umat Islam, kebanyakan
manusia lebih mementingkan dunia daripada akhirat. Misalnya, ketika
seseorang sedang dilanda sebuah masalah, karena dia merasa sempit dada,
maka dia akan merasakan sedih, gelisah, galau, takut, dan akhirnya dia tidak
bisa mengatasi masalahnya itu sendiri. Hampir setiap hari kita dihadapi
dengan permasalahan-permasalahan yang membuat dada kita merasa sesak
atau sempit. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui bagaimana ḍayq al-
ṣadr dalam perspektif al-Qur‟ān.
Untuk menggali ḍayq al-ṣadr yang digambarkan dalam al-Qur‟ān,
maka penulis memerlukan istilah tafsir al-Qur‟ān. Tafsir al-Qur‟ān adalah
penjelasan makna kata-kata dalam susunan kalimatnya, dan makna susunan
ayat-ayatnya menurut apa adanya (tanpa mengada-ada dan tidak menyimpang
sedikit pun dari makna yang sebenarnya).31
29
Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya‟rāwī , penerjemah Tim Terjemah Safir al-Azhar,
Tafsir Sya’rāwī , Jilid 7, Cet. 1 (Medan: Duta Azhar, 2007), h. 475. 30
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Qadha dan Qada: Referensi Lengkap Tentang Takdir
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits (Jakarta: Qisthi Press, 2016), h. 286. 31
Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’ân (Jakarta: Gema Insani,
2007), h. 49.
7
Dalam penelitian ini penulis mengambil kajian perbandingan atau
komparasi dengan menggunakan penafsiran al-Sya‟rāwī dalam kitab tafsir al-
Sya‟rāwī dan Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dalam kitab tafsir al-
Azhār. Alasan penulis memilih tafsir al-Sya‟rāwī dan tafsir al-Azhār yaitu:
Pertama, karena al-Sya‟rāwī dan Hamka merupakan mufassir yang
terkenal di zaman kontemporer dan keduanya sangat familiar dan mudah
dipahami dalam menjelaskan masalah agama. Kedua, al-Sya‟rāwī dan Hamka
mempunyai persamaan dan perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat ḍayq al-
ṣadr. Ketiga, kedua mufassir ini dalam bentuk penafsiran dan corak
penafsirannya sama-sama memakai corak tafsir adabi ijtima’i yaitu suatu
corak tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang mengungkapkan dari
segi balaghah dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan susunan-
susunan yang dituju oleh al-Qur‟an mengungkapkan hukum-hukum alam dan
tatanan-tatanan masyarakat yang dikandung di dalamnya.32
Maka, menurut hemat penulis mengkomparasikan pandangan-
pandangan yang ada di dalam tafsir al-Azhār dan tafsir al-Sya‟rāwī
merupakan kajian yang cukup menarik, karena kedua mufassir ini lahir dari
kondisi dan lingkungan yang berbeda dengan jarak waktu yang tidak terlalu
jauh. Oleh karena itulah alasan penulis memilih untuk mengkomparasikan
kedua mufassir tersebut.
Jadi, dari pemaparan di atas, itulah yang mendorong penulis ingin
mengangkat sebuah tema “ḌAYQ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’ĀN
32
Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum, Literatur Tafsir Indonesia, Cet. 1 (Jakarta:
Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 170.
8
(Kajian Komparatif Tafsir Al-Azhār dan Tafsir al-Sya’rāwī Tentang
Ayat-Ayat Ḍayq)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah ditulis, permasalahan
penelitian yang penulis ajukan ini dapat diidentifikasi permasalahannya yang
akan dijadikan bahan penelitian sebagai berikut:
a. Apakah definisi ḍayq?
b. Apakah kata ḍayq itu hakiki atau majazi?
c. Apakah penyebab ḍayq dalam al-Qur‟ān?
d. Apa pengaruh ḍayq terhadap kehidupan?
e. Bagaimana petunjuk al-Qur‟ān dalam mengobati penyakit ḍayq?
f. Bagaimana penafsiran Hamka dan al-Sya‟rāwī dalam menafsirkan
ayat-ayat ḍayq?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sebagaimana yang sudah penulis paparkan di latar belakang masalah,
Dalam al-Qur‟ān, sempit menggunakan istilah ḍayq. Dalam penelitian ini
penulis memfokuskan dengan mengambil kata ḍayq al-ṣadr. Masalah ḍayq al-
ṣadr dalam al-Qur‟ān merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dibahas,
supaya kita tidak terjerumus ke dalamnya.
Dalam penelitian ini penulis memandang permasalahan penelitian yang
diangkat perlu dibatasi. Ayat-ayat ḍayq al-ṣadr dan derivasinya berjumlah 12
kali. Setelah penulis teliti, penulis mendapati 10 ayat yang berkaitan dengan
ḍayq al-ṣadr yakni QS. Hūd: 12 dan 77, QS. al-An’ām: 125, QS. at-Taubah:
25 dan 118, QS. al-Hijr: 97, QS. al-Nahl: 127, QS. al-Naml: 70, QS. asy-
9
Syu’ara’: 13, dan QS. al-Ankabut: 33. Tujuan pembatasan ini agar
pembahasan tentang ḍayq al-ṣadr tidak keluar dari tema yang dibahas.
Kemudian penulis membatasi hanya menggunakan penafsiran Hamka dan al-
Sya‟rāwī.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis dapat
merumuskan permasalahan penelitian ini dalam bentuk pertanyaan yakni:
“Bagaimana Ḍayq al-Ṣadr dalam perspektif Al-Qur‟ān menurut Hamka dan
al-Sya‟rāwī?”.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
melalui penelitian ini, ialah:
1. Untuk mengetahui penafsiran Hamka dan al-Sya‟rāwī dalam
menafsirkan ayat-ayat ḍayq al-ṣadr.
2. Untuk memperkaya khazanah keilmuan tentang penyakit hati
seperti ḍayq al-ṣadr.
3. Untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh
gelar sarjana Strata 1 (S1) dalam Fakultas Ushuluddin Program
Studi Ilmu Al-Qur‟ān dan Tafsir.
Adapun manfaat dari penelitian ini, secara teoritis, penelitian tentang
ayat-ayat ḍayq al-ṣadr dalam perspektif al-Qur‟ān diharapkan bisa
memberikan kontribusi bagi masyarakat, dan bisa memberikan pemahaman
baru yang akan merevisi cara pandang kita terhadap masalah-masalah
kejiwaan yang kita hadapi sehari-hari, sekaligus bisa menjadi sumbangan
sederhana dalam pengembangan studi Ilmu Al-Qur‟ān dan Tafsir. Dan juga
10
secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan, khususnya
bagi mahasiswa dalam memahami penafsiran al-Qur‟ān, khususnya dalam
konteks petunjuk al-Qur‟ān tentang penyakit-penyakit hati. Sebagaimana
Allah berfirman dalam QS. Yunus/10: 57,
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (al-
Qur’ān) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam
dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman”.
E. Kajian Pustaka
Adapun sebagai bahan perbandingan bagi penulis dan untuk
mendukung kevalidan dalam skripsi ini, maka akan penulis sampaikan
beberapa karya yang mungkin terkait dengan skripsi yang penulis bahas,
antara lain:
Skripsi yang berjudul “Konsep Ḍayq al-Ṣadr Dalam al-Qur’ān (Kajian
Tafsir Tematik)” karya Misbahul Muhajirah tahun 2012. Penulis
menyimpulkan bahwa hakikat dada yang sempit dalam al-Qur‟ān terbagi
menjadi dua bagian, yaitu pertama, ḍayq al-ṣadr yang terlihat secara fisik yg
terdapat dalam surah al-An‟ām ayat 125. Kedua, ḍayq al-ṣadr secara mental
yang terdapat dalam surah Hud ayat 12 dan surah al-Hijr ayat 97. Tema
penelitian ini merupakan salah satu bagian pembahasan yang akan penulis
lakukan, akan tetapi penelitian penulis berbeda dengan penelitian ini, karena
penelitian ini secara umum dan juga hanya tiga ayat saja yang diangkat
sebagai fokus permasalahan. Sedangkan penelitian penulis membahas ayat-
11
ayat ḍayq al-ṣadr secara keseluruhan menurut penafsiran Hamka dan al-
Sya‟rāwī.33
Skripsi yang berjudul “Kesedihan Dalam Perspektif al-Qur’ān (Telaah
Atas Sebab dan Solusi Kesedihan Dalam Ayat-Ayat al-Hazan)” karya Siti
Amanah tahun 2016. Penulis menyimpulkan bahwa Allah SWT. mengungkap
kesedihan dalam al-Qur‟an melalui ayat-ayat al-Hazan dalam tiga kategori:
kesedihan yang hadir dalam konteks larangan, kesedihan yang hadir dalam
konteks penafian, dan kesedihan yang hadir tidak dalam konteks larangan dan
penafian. Sebab-sebab yang melatarbelakangi seseorang bersedih adalah: jauh
dari Allah maka solusinya dengan memperbanyak mengingat dan mengikuti
petunjuk Allah, dosa maka solusinya adalah bertaubat, dan ketidakmampuan
untuk berbuat baik maka solusinya adalah menyadari bahwa masih ada
kebaikan lainnya.34
Jurnal yang berjudul “Penyakit Gelisah (Anxiety / Al-Halu’) Dalam
Masyarakat Islam Dan Penyelesaiannya Menurut Psiko-Spiritual Islam” yang
ditulis oleh Che Zarrina Sa'ari tahun 2001. Penulis menyimpulkan bahwa
psikologi modern hanya menitikberatkan permasalahan penyakit gelisah ini
dari aspek luaran saja. Sedangkan Islam yang menekankan masalah
keruhanian menyarankan salah satu cara yang paling berkesan untuk
mengobatinya ialah dengan melaksanakan ibadah wajib dalam Islam yaitu
sholat.35
33
Misbahul Muhajirah, Konsep Ḍayq al-Ṣadr Dalam al-Qur’ān (Kajian Tafsir Tematik),
2012. 34
Siti Amanah, Kesedihan Dalam Perspektif al-Qur’an (Telaah Atas Sebab dan Solusi
Kesedihan Dalam Ayat-Ayat al-Hazan), 2016. 35
Che Zarrina Sa‟ari, Penyakit Gelisah (Anxiety / Al-Halu’) Dalam Masyarakat Islam
Dan Penyelesaiannya Menurut Psiko-Spiritual Islam, 2001.
12
Dengan demikian, setelah penulis meneliti karya-karya di atas, penulis
berpendapat bahwa tema yang diangkat dalam skripsi ini berbeda dengan yang
lain. Adapun yang membedakan skripsi ini dengan yang lain yaitu bahwa
skripsi ini akan mengkaji ayat-ayat ḍayq al-ṣadr dengan membandingkan
penafsiran Hamka dan al-Sya‟rāwī.
F. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan sebuah karya ilmiah harus menggunakan metodologi
penelitian. Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan
rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah
disusun tercapai secara optimal.36
Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian skripsi ini bersifat deskriptif analisis (descriptive analysis) adalah
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif. Dalam metode pengumpulan data, penulis
menggunakan metode kepustakaan (Library Research) yaitu tehnik
pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap
buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan
yang ada sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang
berhubungan dengan masalah yang dipecahkan.37
Adapun tehnik
penulisan skripsi ini merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan
36
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 147. 37
Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h. 27.
13
Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.38
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data
yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer39
dalam penulisan skripsi ini merujuk
pada kitab suci Al-Qur‟ān yang berkaitan dengan ayat-ayat
ḍayq al-ṣadr. Adapun literatur pokok yang menjadi acuan
dalam penelitian ini merujuk pada kitab tafsir al-Sya’rāwī
karya Muhammad Mutawalli al-Sya‟rāwī dan tafsir al-
Azhār karya Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).
b. Sumber data sekunder40
dalam penelitian ini penulis
merujuk pada kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fāż Al-
Qur’ān al-Karīm karya Muhammad Fu‟ād „Abd al-Bāqī,
kamus-kamus bahasa Arab, ensiklopedi, dan merujuk pada
buku-buku, jurnal, tesis, disertasi, artikel, makalah yang
berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas.
3. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, setelah mengumpulkan data-data dari
sumber primer dan sekunder, penulis ingin mencoba mengolah data
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,
Disertasi). 39
Sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli atau pihak pertama. Data
primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab riset atau penelitian. Lihat:
http://accounting-media.blogspot.co.id/2014/06/data-primer-dan-data-sekunder.html?m=1 diakses
pada hari Sabtu, 25 November 2017, Jam 21.14 WIB. 40
Sumber data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara.
Lihat: http://accounting-media.blogspot.co.id/2014/06/data-primer-dan-data-sekunder.html?m=1
diakses pada hari Sabtu, 25 November 2017, Jam 21.19 WIB.
14
tersebut dengan menggunakan metode tematik41
dan muqaran42
(komparatif). Penulis menggunakan metode tematik karena penulis
mengumpulkan ayat-ayat terlebih dahulu, kemudian penulis
membandingkannya.
Melalui metode ini, penulis ingin mencoba memaparkan
bagaimana ḍayq al-ṣadr menurut penafsiran Hamka al-Sya‟rāwī yang
kemudian dikomparasikan dengan penafsiran al-Sya‟rāwī .
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab, setiap bab
masing-masing memiliki sub bab dan disusun dengan sistematika sebagai
berikut:
BAB I dimulai dengan pendahuluan, dalam bab ini tujuannya untuk
menggambarkan secara umum atau sebagai landasan dari skripsi ini, adapun
sub dari bab ini adalah membahas mengenai latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah yang dimaksud untuk
mempertegas masalah yang akan diteliti agar lebih terfokus, tujuan dan
manfaat penelitian untuk menjelaskan pentingnya penelitian ini, kajian
pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.
41
Menghimpun ayat-ayat al-Qur‟ān yang mempunyai maksud yang sama dalam arti
sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab-
sebab turunnya ayat tersebut. Lihat: „Abd al-Hayy al-Farmāwi, Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-
Mauḍū’i: Dirasah Manhajiyyah Mauḍiyyah (Cairo: Al-Hadharah al-„Arabiyyah, 1977), h. 23. 42
Tafsir yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat-ayat al-Qur‟ān yang
memiliki redaksi berbeda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang memiliki
redaksi yang mirip padahal kandungannya berlainan. Juga termasuk ke dalam metode komparatif ,
ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟ān yang selintas tinjau tampak berlawanan dengan al-hadits,
padahal dalam hakikatnya sama sekali tidak bertentangan. Lihat: Muhammad Amin Suma, Ulumul
Qur’an, Cet. 2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 383.
15
BAB II membahas tentang ḍayq al-ṣadr, yang meliputi pengertian
menurut bahasa dan istilah, derivasi kata ḍayq al-ṣadr dalam al-Qur‟ān, dan
urgensi mengetahui ḍayq al-ṣadr.
BAB III membahas tentang biografi Hamka dan al-Sya‟rāwī serta
profil tafsirnya. Yang meliputi riwayat hidup, karir, karya-karya, metode
penafsiran dan corak penafsirannya.
BAB IV membahas tentang aspek-aspek yang menyebabkan ḍayq al-
ṣadr dalam penafsiran Hamka dan al-Sya‟rāwī yakni, ḍayq al-ṣadr akibat
beratnya tantangan yang dihadapi seorang da‟i, ḍayq al-ṣadr karena kesesatan
dan kesyirikan, ḍayq al-ṣadr karena ketakutan Nabi Luth ketika malaikat
mendatangi kaumnya, ḍayq al-ṣadr karena ketakutan bagi orang yang tersalah,
dan ḍayq al-ṣadr karena ketakutan ketika menghadapi musuh yang jumlahnya
jauh lebih besar, serta petunjuk al-Qur‟ān dalam menyikapi ḍayq al-ṣadr
menurut Hamka dan al-Sya‟rāwī yaitu beriman dan bertakwa kepada akidah
tauhid, sholat, berdo‟a, berdzikir, bersabar, dan tawakkal.
BAB V merupakan bab terakhir atau penutup dari penelitian skripsi
ini, yang berisi kesimpulan dengan tujuan untuk memberikan jawaban dari
hasil penelitian. Kemudian saran-saran dari peneliti untuk para peneliti
selanjutnya.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ḌAYQ AL-ṢADR
Pada bab ini, penulis ingin memaparkan tentang tinjauan umum ḍayq al-
ṣadr, yang meliputi pengertian ḍayq al-ṣadr menurut bahasa dan istilah, derivasi
dari kata ḍayq al-ṣadr, dan urgensi mengetahui ḍayq al-ṣadr.
A. Pengertian Ḍayq al-Ṣadr Menurut Bahasa
Ḍayq al-Ṣadr terdiri dari dua kata, yaitu ḍayq dan al-ṣadr. Secara
bahasa dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, kata ḍayq berasal dari
kata ḍāqa – yaḍīqu - ḍayqan ( ) yang artinya sempit.1
Kata ḍayq diambil dari kata ḍīq yang berarti “sempit” dan biasanya
digunakan untuk melukiskan kemiskinan, kikir, dan sedih. Dalam al-Qur‟ān
surah Hud ayat 12 terdapat kata (ḍā‟iqun bihi ṣadruka) yang
artinya “hatimu sempit karenanya”.2
Lafadz ḍayq disebutkan dalam al-Qur‟ān sebanyak 12 kali.3 Dalam
kitab Mu‟jam al-Maqāyas Fī al-Lughah, kata ḍayq huruf
merupakan sebuah kalimat yang menunjukkan akan perbedaannya dari
kelapangan (antonim kelapangan), dan itu merupakan kesempitan.4
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab –Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 834. 2 Departemen Agama RI, al-Qur‟ān dan Tafsirnya, Cet. 4 (Jakarta: Departemen Agama
RI, 2009), h. 391. 3 Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fâz al-Qur‟ân al-Karîm
(Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H), h. 424. 4 Abu al-Husayn Ahmad bin fāris bin zakariyyā, Mu‟jam al-Maqāyas Fī al-Lughah, Jilid
II (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1970), h. 607.
17
Dalam kamus Lisan al-„Arab, dikatakan bahwa ḍayq adalah batalnya
keluasan atau sempitnya perkara.5 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
sempit artinya lekas marah dan tidak sabar.6 Adapun sesak menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia artinya sendat atau senak, sukar bernapas, berasa
sesak di dada sehingga tidak dapat bernapas dengan lega.7
Sedangkan kata ṣadr adalah maṣdar dari kata ṣadara – yaṣduru –
ṣadran ( صدر –يصدر –صدر ) yang secara bahasa memiliki beberapa arti,
antara lain yaitu, datang, pergi, dan memulai. Kata ṣadr juga berarti anggota
badan bagian depan (dada).8
Lafadz ṣadr disebutkan dalam al-Qur‟ān sebanyak 43 kali.9 Dalam
kitab Mu‟jam al-Maqāyas Fī al-Lughah, kata ṣadr huruf ص , د , ر merupakan
dua asal yang ṣahih: salah satu diantara keduanya menunjukkan terhadap
perbedaan kedatangan, dari yang lainnya merupakan dadanya manusia dan
selainnya.10
Adapun dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, lafadz ṣadr ( صدر
) artinya dada.11
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dada berarti bagian
tubuh sebelah depan di antara perut dan leher.12
Dalam kamus Lisān al-„Arab,
5 Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-Afriqiy al-Mishriy,
Lisān al-Arab, Jilid 10, Cet. 3 (Beirut: Darus Shadir, 1994), h. 208. 6 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, Cet. 4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utara, 2008), h. 1264. 7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, Cet. 4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utara, 2008), h. 1292. 8 Heri MS Faridy, dkk, Ensiklopedi Tasawuf, Cet. 1 (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1116.
9 Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fâz al-Qur‟ân al-Karîm
(Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H), h. 404. 10
Abu al-Husayn Ahmad bin fāris bin zakariyyā, Mu‟jam al-Maqāyas Fī al-Lughah, Jilid
II (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1970), h. 587. 11
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab –Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 768. 12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, Cet. 4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utara, 2008), h. 282.
18
kata ṣadr dengan bentuk jamak ṣudur berarti bagian atas atau bagian depan
dari segala sesuatu, atau bisa dikatakan permulaan sesuatu.13
Secara umum kata ṣadr tidak diartikan sebagai dada secara fisik,
seperti yang disebutkan di dalam QS. Ṭāhā ayat 25, Rabbi Syrah Lī Ṣadrī (
= wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku). Jadi ḍayq al-ṣadr
menurut bahasa adalah sempitnya dada atau sempitnya hati.
B. Pengertian Ḍayq al-Ṣadr Menurut Istilah
Dalam Ensiklopedi al-Qur‟ān, kata ḍayq memiliki makna yang sama
dengan kata al-Haraj yang artinya sempit.14
Kata al-Haraj menurut
kesepakatan ahli bahasa berarti asy-syadid adh-dhayyiq (kondisi yang sangat
sempit). Seperti seorang laki-laki disebut rajulun haraj manakala hatinya
sangat sempit.15
Maka dari kedua kata tersebut memiliki perbedaan, yakni al-
Haraj lebih sempit daripada ḍayq.16
Kelapangan dada adalah isyarat kepada suatu kekuatan untuk
menerima dan menemukan kebenaran, hikmah, dan kebijaksanaan; serta
kekuatan untuk menahan diri dari keinginan hawa nafsu, kemarahan dan
sebagainya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan dada bukanlah suatu
benda berbentuk materi, tetapi sesuatu yang immateri yang berada di balik
dada.
13
Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-Afriqiy al-Mishriy,
Lisān al-Arab, Jilid 4, Cet. 3 (Beirut: Darus Shadir, 1994), h. 445. 14
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur‟ān Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya (Jakarta:
Yayasan Bimantara, 1997), h. 126. 15
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Qadha dan Qadar: Referensi Lengkap Tentang Takdir
Berdasarkan al-Qur‟an dan Hadis, (Jakarta: Qisthi Press, 2016), h. 285. 16
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur‟ān Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya (Jakarta:
Yayasan Bimantara, 1997), h. 126.
19
Orang yang telah dilapangkan oleh Allah SWT. akan mendapat
cahaya, sehingga kekuatan di dalam dada manusia (kalbu) dapat menerima
kebenaran, hikmah, dan kebijaksanaan, seperti firman Allah SWT., dalam QS.
al-Zumar/39: 22,
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk
(menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya
(sama dengan orang yang hatinya telah membatu)? Maka celakalah
mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka
itu dalam kesesatan yang nyata”.
Sebaliknya orang yang tidak mendapat cahaya kalbunya, tidak akan
memiliki kekuatan untuk menerima kebenaran, tetapi mendapat kesesatan
yang dikatakan “sempit dadanya”, seperti firman Allah QS. al-An‟ām/6: 125,
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya
petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama)
Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya
Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang
mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-
orang yang tidak beriman”.
Ṣadr berarti hati bagian luar.17
Karena pengertiannya hati bagian luar,
maka istilah “ṣadr” bisa pula diartikan sebagai dada. Hanya dada di sini tidak
17
Sudirman Tebba, Tafsir Al-Qur‟an: Menyingkap Rahasia Hati (Jakarta: Pustaka Irvan,
2007), h. 1.
20
hanya bersifat fisik, tetapi juga non fisik, seperti akal dan hati. Dada disebut
ṣadr karena ia merupakan bagian terluar atau terdepan pada jiwa atau hati.18
Kata ṣadr yang arti asalnya dada dari manusia dan makhluk lainnya,
sebagai tempat yang tinggi dan jalan yang luas. Ṣadr digunakan juga untuk
makna hati, karena dada adalah tempat beradanya qalb, yakni qalb tidak ada
kecuali dalam dada.19 Al-Ṣadr atau yang disebut dada diumpamakan sebagai
wilayah pertempuran utama antara kekuatan positif dan negatif di dalam diri
kita, tempat kita diuji dengan kecenderungan-kecenderungan negatif kita. Jika
kekuatan positif kita kuat, maka dapat dipenuhi oleh cahaya dan berada di
bawah pengaruh jiwa ilahiyah20
, yang terletak di lubuk hati terdalam.
Jadi, ḍayq al-ṣadr menurut istilah adalah suatu peristiwa sempitnya
dada yang menyebabkan dadanya manusia atau hatinya manusia menjadi
galau, gelisah, sedih, takut, dan lain-lain.
C. Derivasi Kata Ḍayq Al-Ṣadr Dalam Al-Qur’ān
Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bāqī dalam kitab Mu‟jam al-Mufahras Li
al-Fāz al-Qur‟ān al-Karīm mencatat bahwa kata ḍayq dengan berbagai
derivasinya dalam al-Qur‟ān disebutkan sebanyak 12 kali21
Ḍāqa ( ),
18
Sudirman Tebba, Tafsir Al-Qur‟an: Menyingkap Rahasia Hati (Jakarta: Pustaka Irvan,
2007), h. 2. 19
Suparlan, Mendidik Hati Membentuk Karakter: Panduan al-Qur‟an Melejitkan Hati
Memperindah Karakter, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 17. 20
Sesuatu yang digandrungi hati dengan penuh cinta, inabah, penghormatan,
pengagungan, merendahkan diri, tunduk, takut, berharap, dan tawakal. Lihat: Ibnu Qayyim al-
Jauziyah, Keajaiban Hati, penerjemah Fadhli Bahri, Cet. 1 (Batavia: Pustaka Azam, 1999), h. 47. 21
Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fâz al-Qur‟ân al-Karîm
(Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H), h. 424.
21
Ḍāqat ( ), Yaḍīqu ( ), Lituḍayyiqū ( ), Ḍayqin ( ),
Ḍayqān ( ), Ḍāiqun ( ).
Dalam bentuk fi‟il māḍī, ḍāqa dan ḍāqat disebut dua kali, bentuk fi‟il
muḍari, yaḍīqu disebut dua kali dan lituḍayyiqū disebut satu kali, bentuk
maṣdar, ḍayqin dan ḍayaqān disebut dua kali, dan dalam bentuk isim fā‟il,
ḍāiqun disebut satu kali. Sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2.1: Derivasi kata ḍayq al-ṣadr
Bentuk
Derivasi
Surat dan
No. Ayat
Ayat Makkiyah/
Madaniyah
QS. Hud:
77
Dan ketika para utusan Kami
(para malaikat) itu datang kepada
Luth, dia merasa curiga dan
dadanya merasa sempit karena
(kedatangan) nya. Dia (Luth)
berkata, “ini hari yang sangat
sulit”.
Makkiyah
QS. al-
Ankabūt:
33
Dan ketika para utusan Kami
(para malaikat) datang kepada
Luth, dia merasa bersedih hati
Makkiyah
22
karena (kedatangan) mereka, dan
(merasa) tidak mempunyai
kekuatan untuk melindungi
mereka, dan mereka (para utusan)
berkata, “Janganlah engkau takut
dan jangan (pula) bersedih hati.
Sesungguhnya kami akan
menyelamatkanmu dan pengikut-
pengikutmu, kecuali istrimu, dia
termasuk orang-orang yang
tinggal (dibinasakan)
QS. at-
Taubah:
25
Sesungguhnya Allah telah
menolong kamu (hai Para
mukminin) di medan peperangan
yang banyak, dan (ingatlah)
peperangan Hunain, Yaitu diwaktu
kamu menjadi congkak karena
banyaknya jumlah (mu), Maka
jumlah yang banyak itu tidak
memberi manfaat kepadamu
sedikitpun, dan bumi yang Luas itu
telah terasa sempit olehmu,
kemudian kamu lari kebelakang
dengan bercerai-berai.
Madaniyah
QS. At-
Taubah:
118
Madaniyah
23
Dan terhadap tiga orang22
yang
ditangguhkan (penerimaan taubat)
mereka, hingga apabila bumi telah
menjadi sempit bagi mereka.
Padahal bumi itu luas dan jiwa
merekapun telah sempit (pula
terasa) oleh mereka, serta mereka
telah mengetahui bahwa tidak ada
tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian Allah menerima taubat
mereka agar mereka tetap dalam
taubatnya. Sesungguhnya Allah-
lah yang Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang.
QS. al-
Hijr: 97 Dan Kami sungguh-sungguh
mengetahui, bahwa dadamu
menjadi sempit disebabkan apa
yang mereka ucapkan.
Makkiyah
QS. Asy-
Syu‟ara‟:
13 Dan (karenanya) sempitlah
dadaku dan tidak lancar lidahku
maka utuslah (Jibril) kepada
Harun
Makkiyah
QS. al-
Nahl: 127
Danbersabarlah (Muhammad) dan
kesabaranmu itu semata-mata
dengan pertolongan Allah dan
Makkiyah
22
Tiga orang itu adalah Ka‟ab bin Malik dari Bani Salamah, Hilal bin Umayah dari Bani
„Auf, dan Marrah bin Rabi‟ dari Bani „Amr bin „Auf. Lihat: Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XI
(Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 73.
24
janganlah engkau bersedih hati
terhadap (kekafiran) mereka dan
jangan (pula) bersempit dada
terhadap tipu daya yang mereka
rencanakan
QS. al-
Naml: 70
Dan janganlah engkau bersedih
hati terhadap mereka, dan
janganlah (dadamu) merasa
sempit terhadap upaya tipu daya
mereka.
Makkiyah
QS. al-
An‟ām:
125
Barangsiapa yang Allah meng-
hendaki akan memberikan
kepadanya petunjuk, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk
(memeluk agama) Islam. Dan
barangsiapa yang dikehendaki
Allah ke-sesatannya, niscaya Allah
menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seolah-olah ia sedang
mendaki langit. Begitulah Allah
menimpakan siksa kepada orang-
orang yang tidak beriman.
Makkiyah
25
QS. Hud:
12
Maka boleh jadi kamu hendak
meninggalkan sebahagian dari
apa yang diwahyukan kepadamu
dan sempit karenanya dadamu,
karena khawatir bahwa mereka
akan mengatakan: “mengapa
tidak diturunkan kepadanya
perbendaharaan (kekayaan) atau
datang bersama-sama dengan dia
seorang malaikat?”.
Sesungguhnya kamu hanyalah
seorang pemberi peringatan dan
Allah Pemelihara segala sesuatu
Makkiyah
QS. at-
Thalaq: 6
Tempatkanlah mereka (para istri)
di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (istri-
istri yang sudah ditalak) itu
sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya sampai
mereka melahirkan
kandungannya, , kemudian jika
mereka menyusukan (anak-
anak)mu maka berikanlah
imbalannya kepada mereka, dan
Madaniyah
26
dan musyawarahkanlah di antara
kamu (segala sesuatu) dengan
baik, dan jika kamu menemui
kesulitan, maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu)
untuknya.
Sumber: Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bāqī, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāz
al-Qur‟ān al-Karīm (Kairo: Dār al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H), h. 424.
Dari tabel-tabel yang penulis sebutkan di atas, maka penulis bisa
mengklasifikasikan ḍayq yang ada di dalam al-Qur‟ān terutama adalah ḍayq
al-ṣadr yang terdapat pada QS. Hud: 12, QS. Asy-Syu‟ara‟: 13, dan QS. al-
Hijr: 97.
D. Urgensi Mengetahui Ḍayq al-Ṣadr
Ḍayq al-şadr merupakan salah satu bagian dari penyakit hati. Di sini
penulis ingin memaparkan betapa pentingnya mengetahui ḍayq al-ṣadr,
sebagai berikut: Pertama, agar selalu mengikat hatinya dengan iman dan
tawakal kepada Allah SWT. dalam segala urusan. Kedua, selalu menghindari
sekecil apapun semua perbuatan maksiat. Ketiga, selalu membersihkan hati
dari sifat-sifat tercela, kemudian menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji.23
23
Uwes al-Qorni, 60 Penyakit Hati, Cet. 9 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), h.
9.
27
BAB III
BIOGRAFI HAMKA DAN AL-SYA’RĀWĪ SERTA PROFIL TAFSIR
KEDUANYA
Dalam bab ini penulis ingin memaparkan tentang biografi Hamka dan al-
Sya‟rāwī serta profil tafsir keduanya.
A. Biografi Hamka dan Profil Tafsir Al-Azhar
1. Riwayat Hidup Hamka
Hamka merupakan nama singkatan dari nama Haji Abdul Malik
Karim Amrullah. Nama ini adalah nama sesudah beliau menunaikan
ibadah haji pada 1927 dan mendapat tambahan Haji.1 Hamka adalah tokoh
yang fenomenal tidak hanya pada lapangan kesusastraan, tapi juga
lapangan keagamaan, kenegaraan, sosial, politik, dan budaya.2 Hamka
pernah menjadi salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis
dan menerbitkan buku sehingga sempat dijuluki “Hamzah Fansuri” di era
modern.3 Beliau dilahirkan pada tanggal 14 Muharram 1326 H bertepatan
dengan 17 Februari 1908 M4 di sebuah desa bernama Tanah Sirah, dalam
Nagari Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau.5 Hamka dibesarkan dalam
keluarga yang alim dan taat menjunjung tinggi agama.6 Ayahnya seorang
1 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum, Literatur Tafsir Indonesia, Cet. 1 (Jakarta:
Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 156. 2 Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling
Berpengaruh, Cet. 1 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 79. 3 M. Iqbal Dawami, Kamus Istilah Populer Islam: Kata-Kata yang Paling Sering
Digunakan di Dunia Islam (t.t: Penerbit Erlangga, 2013), h. 80. 4 Nasir Tamara, Hamka Di Mata Hati Ummat, Cet. 3 (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), h.
51. 5 Danau Maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam,
Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Lihat: Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum, Literatur Tafsir
Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 156. 6 Nasir Tamara, Hamka Di Mata Hati Ummat, Cet. 3 (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), h.
51.
28
ulama terkenal Dr. H. Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul pembawa
faham-faham Islam di Minangkabau. Ibu Hamka bernama Shofiyah.7
Hamka adalah salah seorang murid tokoh perherakan Islam, H.O.S.
Tjokroaminoto. Tidak mengherankan kalau ia tumbuh dalam naungan
kaidah-kaidah Islam. Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi
Islam modern Muhammadiyah. Bahkan Hamka bisa disebut sebagai tokoh
utama berdirinya organisasi itu di wilayah Sumatera Barat.8
Sebagai putra dari seorang tokoh Islam, kehidupan dan
pendidikannya kental dengan nuansa keagamaan. Hamka mengawali
pendidikan membaca al-Qur‟an di rumah orang tuanya ketika mereka
sekeluarga memutuskan pindah dari Maninjau ke Padang Panjang, pada
tahun 1914 M. Dan setahun kemudian, setelah Hamka mencapai tujuh
tahun, dia dimasukan ke sekolah desa.9 Ia mengecap pendidikan Sekolah
Desa sampai kelas 2. Kemudian mengikuti pendidikan agama dan bahasa
Arab di Perguruan Thawalib, Parabek, Bukittinggi Sumatera Barat.10
Hamka mempunyai bakat dalam bidang bahasa Arab yang menyebabkan
ia dengan cepat daapat menguasai bahasa Arab sehingga ia mampu
membaca secara luas literatur Arab, termasuk terjemahan tulisan-tulisan
barat.11
Bakat tulis menulis tampaknya memang telah dibawanya sejak
7 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, Cet. 2 (Tangerang: Mazhab Ciputat, 2013), h.
171. 8 Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus
Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, Cet 3 (Yogyakarta:
Penerbit NARASI, 2007), h. 79. 9 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum, Literatur Tafsir Indonesia, Cet. 1 (Jakarta:
Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 157. 10
Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, 33 Tokoh Sastra Indonesia
Paling Berpengaruh, Cet. 1 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 79. 11
Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve,
1993), h. 75.
29
kecil, yang diwarisinya dari ayahnya, yang selain tokoh ulama juga
penulis, terutama majalah al-Munir.12
Keadaan ini membuat Hamka menjadi jenuh dan ditambah pula
dengan sikap ayahnya yang keras. Semua orang mengetahui bahwa
ayahnya Hamka seorang yang keras kepala dan apa yang menjadi
pendiriannya akan diperintahkan dengan segenap pengetahuan dan
pengalamannya. Karena Hamka merasa terkekang dan hilang
kebebasannya, akhirnya Hamka menimbulkan sikap menyimpang. Hamka
sering mengunjungi perpustakaan yang dikelola oleh Zainuddi Labai untuk
menghilangkan rasa jenuhnya.13
Pada bulan Februari tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah
untuk menunaikan ibadah Haji dan bermukim di sana kurang lebih enam
bulan. Selama di Mekkah Hamka bekerja di sebuah percetakan dan
kembali pada bulan Juli tahun 1927. Pada tahun 1928, Hamka menjadi
peserta ketika organisasi Muhammadiyah mengadakan Mukhtamar di
Solo. Saat itu Hamka tidak pernah absen dalam setiap Mukhtamar
Muhammadiyah. Pada tahun 1930, Hamka diutus oleh pengurus cabang
Padang Panjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada
tahun 1953, berdirinya Mukhtamar Muhammadiyah yang ke-32 Hamka
terpilih menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai akhir
hayatnya.14
2. Karir Hamka
12
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta:t.p, 1988), h. 313-314. 13
Hamka, Falsafah Hidup, Cet. 2 (Jakarta: Pustaka Punjimas, 1984), h. 2. 14
Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, h. 76.
30
Hamka pindah ke Jakarta dan memulai karirnya sebagai pegawai
negeri golongan F di kementrian Agama yang dipimpin oleh Wahid
Hasyim pada tahun 1949. Di sana beliau memberikan kuliah pada
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta,
Universitas Islam Jakarta, Universitas Muslim Indonesia, dan Universitas
Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan. Pada tahun 1955, Hamka menjadi
anggota Konstituante untuk mewakili Masyumi.15
Sepulangnya ke Indonesia, Hamka sempat menjadi guru agama di
Deli Sumatera Timur, selanjutnya pergi ke Medan dan terjun dalam
lapangan jurnalistik (penerbitan). Dalam bidang ini, Hamka pernah
memimpin majalah Pedoman Masyarakat, Gema Islam, dan Panji
Masyarakat. Kontribusi lainnya dari sastrawan penerima gelar doctor
kehormatan dari Universitas al-Azhar Mesir (1956) ini adalah menjadi
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, meski sempat
mengundurkan diri karena teguh mempertahankan prinsipnya. Hamka
memusatkan kegiatannya dalam dakwah Islamiyyah dan menjadi Imam di
Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Jakarta setelah konstituante
dibubarkan pada tahun 1956 dan Masyumi dibubarkan pada tahun 1960.16
Pada tahun 1962 Hamka mulai menafsirkan al-Qur‟an dengan
nama Tafsir al-Azhar. Sebagian besar terselesaikan selama di tahanan dua
tahun tujuh bulan. Pada hari sabtu, 6 Juni 1974 Hamka mendapat gelar DR
dalam kesusasteraan di Malaysia.17
Pada tahun 1975, ketika berdirinya
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hamka terpilih menjadi ketua umum
15
Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, h. 76. 16
Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, h. 76. 17
Hamka, Tasawwuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 11.
31
pertama dan pada tahun 1980 beliau terpilih lagi untuk periode
kepengurusan kedua.18
Pada bulan Mei tahun 1981, Hamka mengundurkan
diri dari jabatan Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia).19
3. Karya-karya Hamka
Pada usia tujuh belas tahun, sekitar tahun 1925. Hamka telah
menerbitkan bukunya yang pertama, Khatibul Ummah, yang berarti Khatib
dan Ummat. Kisah perjalanan naik haji ke tanah suci ditulisnya dalam
surat kabar Pelita Andalas. Pada tahun 1928, ia menerbitkan majalah
Kemajuan Zaman dan pada tahun 1932 ia terbitkan pula majalah al-
Mahdi. Kedua majalah ini bercorak kesusastraan dan keagamaan.20
Karya-
karya Hamka lainnya yang tidak kalah berpengaruh di masyarakat adalah
Di Bawah Lindungan Ka’bah yang diterbitkan pada tahun 1936, Merantau
Ke Deli dan Tuan Direktur diterbitkan pada tahun 1939.21
Karya-karya di atas hanyalah sebagian kecil dari karya-karya
Hamka yang sangat begitu luas. Dari berbagai sumber yang diketahui
bahwa kurang lebih ada 100 judul buku yang telat terbit, yang terus
mengalami cetak ulang dari waktu ke waktu. Ada beberapa karya Hamka
dalam bidang keilmuan, keagamaan, dan falsafah, diantaranya adalah
Tasawuf Modern dan Falsafah Hidup diterbitkan pada tahun 1939, dan
Lembaga Hidup dan Lembaga Budi diterbitkan pada tahun 1940. Buku-
18
Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, h. 76. 19
Hamka, Tasawwuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 159. 20
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta:t.p, 1988), h. 313-314. 21
Jamal D. Rahman, dkk, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Cet. I
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 78.
32
buku tersebut dicetak ulang, kemudian diterbitkan menjadi satu buku
yakni dengan judul Mutiara Filsafat.22
Karya-karya Hamka yang lainnya, yaitu:
1. Pelajaran Agama Islam (1952).
2. Tafsir al-Azhar Juz 1-30.
3. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958).
4. Kedudukan Perempuan Dalam Islam (1973).
5. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1974).
4. Profil Tafsir Al-Azhār
Tafsir al-Azhār ditulis ketika Hamka berada dalam penjara pada
tahun 1962. Dalam penahanan inilah Seri Tafsir al-Azhār dapat
diselesaikan pada tahun 1964.23
Di sini penulis hanya memaparkan metode
penafsiran dan corak penafsiran Hamka saja.
a. Metode Penafsiran dan Corak Penafsiran
Dalam setiap karya tafsir pastinya akan tampak dengan apa
yang dinamakan dengan bentuk, metode, dan karakteristik atau
corak penafsiran, tidak kecuali dengan tafsir al-Azhār.24
Namun di
sini penulis hanya membahas metode dan corak penafsirannya saja.
Hamka memiliki metode penafsiran yang berbeda-beda.
Beliau mempunyai ciri tersendiri dalam menafsirkan al-Qur‟ān.
Metode penafsiran Hamka termasuk dalam metode tahlili, yaitu
22
Jamal D. Rahman, dkk, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Cet. I
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 80. 23
Jamal D. Rahman, dkk, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, h. 81. 24
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka panji Mas,
1990) h. 53.
33
menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟ān dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufassirnya.25
Corak tafsir al-Azhār dapat dikategorikan sebagai tafsir
yang bercorak adabi ijtima’i. Dinamakan adabi karena Hamka
adalah seorang pujangga yang menggeluti sastra sehingga setiap
karyanya dipengaruhi nilai-nilai sastra, sedangkan dinamakan
ijtima’i karena Hamka dalam tafsirnya tidak hanya menyajikan
potret kehidupan bangsa Arab abad ke-6 saja akan tetapi Hamka
membawa permasalahan kontemporer ke dalam tafsirnya.26
B. Biografi Al-Sya’rāwī dan Profil Tafsir Al-Sya’rāwī
1. Riwayat hidup al-Sya‟rāwī
Nama lengkap al-Sya‟rāwī adalah Muhammad Mutawallī al-
Sya‟rāwī al-Husnia. Al-Sya‟rāwī lahir pada hari Ahad, tanggal 17 Rabi‟
al-Tsani 1329 H bertepatan dengan 16 April 1911 M, di desa Daqadus,
Kecamatan Midghamar, Kabupaten Daqhaliyah.27
Al-Sya‟rāwī wafat pada
tanggal 17 Juni 1998 M/ 22 Shafar 1419 H.28
Dia tamat menghafal al-
Qur‟ān bersama para kuttāb di kampungnya pada usia 11 tahun.
Kemudian al-Sya‟rāwī di sekolahkan oleh ayahnya di sekolah
dasar (ma’had ibtidāī) al-Azhār di Zaqaziq pada 1926 M. Setelah
25
Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Cet. 2 (Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), h. 31. 26
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), h. 137. 27
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
Cet. 2 (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 143 28
Herry Muhammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006), h. 277.
34
memndapat ijazah sekolah dasar al-Azhār pada tahun 1932M, lalu dia
melanjutkan sekolah ke tingkat menengah (qism tsanawi) dan
mendapatkan ijazah sekolah menengah al-Azhār pada 1936 M.29
Kemudia
al-Sya‟rāwī melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhār dengan
mengambil jurusan bahasa Arab pada tahun 1937 M hingga tahun 1941 M.
pada tahun 1940 ia melanjutkan ke jenjang doctoral dan memperoleh gelar
„Ālamiyyat (LC) dalam bidang bahasa dan sastra Arab.30
2. Karir al-Sya‟rāwī
Al-Sya‟rāwī semasa hidupnya memangku berbagai jabatan.
Adapun awal karir yang ia tekuni adalah sebagai guru di sekolah al-Azhār
yang berada di kota Ṭanṭa31 pada tahun 1943 M.
32 Dari sini dia dimutasi
ke sekolah al-Azhār yang berada di kota Iskandaria (Alexandria) lalu
dipindahkan kembali ke kota Zaqaziq, tempat beliau menimba ilmu
sebelumnya.33
Dia juga pengajar mata kuliah Tafsir dan Hadis di Fakultas
Syariah Universitas Malik Abdul Aziz di Makkah pada 1951. Pada tahun
1960 M, ia diangkat menjadi wakil kepala sekolah Lembaga Pendidikan
al-Azhar di Thantha.34
Sepulangnya dari kerajaan Saudi Arabia, dia
ditempatkan sebagai staf Ma‟had al-Azhar Thantha. Dia menerima jabatan
29
Syaikh Mutawalli al-Sya‟rawi penerjemah A. hanafi, Tirulah Shalat Nabi: Jangan Asal
Shalat (Bandung: PT Mizania Pustaka), h. 1. 30
Ahmad al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi: Imam al-‘Asr (al-
Qāhirah: Handar Misr, 1990), h. 74. 31
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
Cet. 2 (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 145 32
Muhammad Fauzi, As-Syeikh al-Sya’rawi: Baina al-Islam wa al-Siyasah (Kairo: Dar
al-Nashr, 1990), h. 8. 33
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
Cet. 2 (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 145 34
Muhammad Musthafa al-Mursy, Rihlah fī A’maq al-Sya’rawi (Kairo: Dar al-Sahwah,
1991) h. 9.
35
sebagai mudīr (Kepala Bagian) Da‟wah Islamiyyah Wizāratul Auqāf
(Kementrian Perwakafan) pada tahun 1961 di Provinsi Gharbiyyah.
Pada 1962, Syaikh Mutawalli al-Sya‟rāwī ditempatkan sebagai
peneliti ilmu-ilmu Arab di Universitas al-Azhar. Pada 1964, Imam Akbar
Syaikh Hasan Ma‟mun yang juga Syaikh Azhar memilih dia sebagai
Kepala Bagian Perpustakaan Universitas al-Azhar. Pada tahun 1964, al-
Sya‟rawi menjadi pengawas Departemen Bahasa Arab al-Azhar dan ia
dipilih sebagai asisten pribadi Grand Syaikh al-Azhar Hasan Ma‟mun.35
Pada 1966, Syaikh Mutawalli al-Sya‟rāwī diutus sebagai rektor di cabang
Universitas al-Azhar Aljazair setelah Negara tersebut merdeka.36
Pada
tahun 1967 M, al-Sya‟rāwī kembali ke Kairo dan bekerja menjabat sebagai
direktur di kantor Grand Syaikh al-Azhar Hasan Ma‟mun. Kemudian pada
tahun 1970 M, al-Sya‟rāwī menjadi tenaga pengajar tamu di Universitas
King Abdul Malik Abdul Aziz di Mekkah, lalu ia diangkat menjadi
direktur pada program Pascasarjana.37
Kemudian pada tahun 1973 M, al-Sya‟rāwī tampil sebagai da‟i di
salah satu stasiun televisi.38
Pada tahun 1976 M, al-Sya‟rāwī dipilih oleh
Mamdūh Salim yaitu seorang pimpinan Kabinet sebagai Menteri Wakaf.
Pada tanggal 26 Oktober 1977 M, ia ditunjuk kembali menjadi Menteri
Wakaf dan Menteri Negara yang berkaitan erat dengan al-Azhar dalam
cabinet yang dibentuk oleh Mamdūh Salim. Pada tanggal 15 Oktober 1978
35
Arif Munandar Riswanto, Khazanah Buku Pintar Islam (Bandung: Mizan, 2010), h.
468. 36
Syaikh Mutawalli al-Sya‟rawi, penerjemah A. hanafi, Tirulah Shalat Nabi: Jangan
Asal Shalat (Bandung: PT Mizania Pustaka), h. 2. 37
Herry Muhammad, Tokoh-Tokoh yang Berpengaruh pada Abad 20 (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006), h. 275. 38
Sa‟id Abu al-„Ainain, Al-Sya’rawi Alladzi lā Na’rifuh (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1995),
h. 226.
36
M, ia diturunkan dengan hormat dalam formatur kabinet yang dibentuk
oleh Mustofa Khalil.39
3. Karya-Karya al-Sya‟rāwī
Dari sekian banyak karya tulisnya bahkan hampir seluruhnya
bukan ditulis oleh al-Sya‟rāwī sendiri, akan tetapi ditulis oleh murid-
muridnya. Al-Sya‟rāwī tidak menulis buku-bukunya karena menurut
beliau bahwa kalimat yang disampaikan secara langsung dan
diperdengarkan akan lebih mengena daripada kalimat yang disebarluaskan
dengan prantara tulisan. Adapun karya-karya al-Sya‟rāwī diantaranya:
1. Al-Isra’ wa al-Mi’raj (Peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj).
2. Asrar Bismillāhirrahmānirrahīm (Rahasia dibalik kalimat
Bismillāhirrahmānirrahīm).
3. Al-Islam wa al-Fikr al-Mu’ashir (Islam dan Pemikiran Modern).
4. Al-Islam wa al-Mar’ah: ‘Aqidah wa Manhaj (Islam dan
Perempuan, Akidah dan Metode).
5. Asy-Syura wa Arkan al-Islam (Musyawarah dan Pensyariatan
dalam Islam).
6. Al-Qadha wa al-Qadar (Qadha dan Qadar)40
.
4. Profil Tafsir al-Sya‟rāwī
Syeikh Muhammad Mutawalli al-Sya‟rāwī saat menafsirkan al-
Qur‟an, dalam ungkapan beliau, ia adalah getaran-getaran hati (khawatir),
menggunakan berbagai cara dan sarana sehingga tafsirnya dapat sampai ke
39
Mahmūd Rizq al-Amāl, Tarīkh al-Imām al-Sya’rawi dalam Majalah Manar al-Islam,
no. 6, vol. 27 (September, 2001), h. 35. 40
Pustaka Pejaten, “Biografi Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi”, artikel diakses pada
Selasa, 17 Juli 2018, pukul 15.01 WIB dari https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-
biografi/6-masyaikh/asy-syaikh-muhammad-mutawalli-as-sya-rawi
37
hati dan akal. Dalam masa yang sama beliau menggunakan mantiq, bahasa
yang sederhana, mengutarakan berbagai pendapat yang ada dalam sesuatu
perkara, sehingga tafsir beliau dapat diterima oleh para pendengar dengan
kepuasan yang sempurna.41
Kitab tafsir al-Sya‟rāwī direkam oleh murid al-Sya‟rāwī, yaitu
Muhammad al-Sinrāwī dan Abd al-Waris al-Dasūqi dari kumpulan pidato-
pidato atau ceramah-ceramah yang telah disampaikan oleh al-Sya‟rāwī.
Dengan demikian tafsir al-Sya‟rāwī ini merupakan kumpulan hasil-hasil
pidato atau ceramah al-Sya‟rāwī yang kemudian diedit dalam bentuk
tulisan buku oleh murid-muridnya.
a. Metode Penafsiran dan Corak Penafsiran
Al-Sya‟rāwī dalam tafsirnya yaitu menggunakan metode tahlili
yaitu suatu metode tafsir yang menjelaskan makna-makna yang
dikandung oleh al-Qur‟ān.
Corak penafsiran tafsir al-Sya‟rāwī adalah al-Adabi Ijtima’i,
yaitu corak penafsiran yang cenderung kepada persoalan sosial
masyarakat.42
Tafsir al-Sya‟rāwī ini dikategorikan sebagai tafsir bi al-
Ra’yi.43
41
Muhammad Fauzi, As-Syeikh al-Sya’rawi: Baina al-Islam wa al-Siyasah (Kairo: Dar
al-Nashr, 1990), h. 30-31. 42
Abdul Mun‟in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 45. 43
Shohibul Abid, dkk, Ulumul Qur’ān Profil Para Mufassir (Ciputat Timur: Pustaka
Dunia, 2011), h. 252.
38
BAB IV
ASPEK-ASPEK YANG MENYEBABKAN ḌAYQ AL-ṢADR DAN
PETUNJUK AL-QUR’ĀN DALAM MENYIKAPINYA
Dalam bab tiga ini, penulis akan memaparkan tentang aspek-aspek yang
menyebabkan ḍayq al-ṣadr dan petunjuk al-Qur‟ān dalam menyikapinya menurut
penafsiran Hamka dan al-Sya‟rāwī.
A. Aspek-Aspek yang Menyebabkan Ḍayq al-Ṣadr Dalam Penafsiran
Hamka dan al-Sya’rāwī
Zaman sekarang di mana zaman yang sudah modern ini semakin
banyak permasalahan yang timbul dikalangan umat Islam, kebanyakan
manusia lebih mementingkan dunia daripada akhirat. Hampir setiap hari kita
dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang membuat dada kita
merasa sesak atau sempit. Ayat-ayat ḍayq al-ṣadr dalam al-Qur‟ān
menyebutkan adanya aspek-aspek yang menyebabkan ḍayq al-ṣadr. Adapun
ayat-ayat ḍayq al-ṣadr diantaranya ada yang berkaitan dengan faktor luar da
nada yang berkaitan dengan faktor diri sendiri. Ḍayq al-Ṣadr yang berkaitan
dengan faktor luar yaitu, akibat beratnya tantangan yang dihadapi seorang
da‟i, ḍayq al-ṣadr karena ketakutan Nabi Luth ketika malaikat mendatangi
kaumnya, ḍayq al-ṣadr karena ketakuta bagi orang yang tidak ikut berjihad,
dan ḍayq al-ṣadr karena ketakutan ketika menghadapi jumlah musuh yang
banyak. Sedangkan ḍayq al-ṣadr yang berkaitan dengan faktor diri sendiri
yaitu, ḍayq al-ṣadr karena kesesatan dan kesyirikan. Adapun rincian dari
aspek-aspek yang menyebabkan ḍayq al-ṣadr adalah sebagai berikut:
1. Ḍayq Al-Ṣadr yang Berkaitan Dengan Faktor Luar
39
Di sini penulis ingin memaparkan terlebih dahulu ḍayq al-ṣadr
yang berkaitan dengan faktor luar yaitu, akibat beratnya tantangan
yang dihadapi seorang da‟i, ḍayq al-ṣadr karena ketakutan Nabi Luth
ketika malaikat mendatangi kaumnya, ḍayq al-ṣadr karena ketakuta
bagi orang yang tidak ikut berjihad, dan ḍayq al-ṣadr karena ketakutan
ketika menghadapi jumlah musuh yang banyak.
a. Ḍayq al-Ṣadr Akibat Beratnya Tantangan yang Dihadapi
Seorang Da’i
Ḍayq al-Ṣadr akibat beratnya tantangan yang dihadapi
seorang da‟i yang digambarkan al-Qur‟ān dalam QS. Hūd/11: 12,
“Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian
dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit
karenanya dadamu, karena khawatir bahwa mereka akan
mengatakan: “mengapa tidak diturunkan kepadanya
perbendaharaan (kekayaan) atau datang bersama-sama
dengan dia seorang malaikat?”. Sesungguhnya kamu
hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah
Pemelihara segala sesuatu”.
Ketika menafsirkan ayat di atas, Hamka menjelaskan
bahwa perasaan Nabi Muhammad yang menggelora dalam hati itu
tidak dapat dihilangkan. Ketika orang-orang kafir Quraisy itu tidak
ingin mempercayai wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad
SAW., maka timbullah rasa dalam hati Nabi untuk tidak ingin
menyampaikan wahyu lagi karena kecewanya Nabi melihat sikap
kaumnya, maka dada beliau menjadi sempit. Mereka tidak menilai
40
ajaran dan petunjuk yang terkandung dalam wahyu, tetapi mereka
meminta tanda bukti berupa benda.1 Sikap yang seperti ini pasti
menimbulkan rasa kecewa dalam hati Nabi sebagai Rasul Tuhan.
Timbul perasaan bahwa wahyu itu tidak usah seluruhnya
disampaikan, karena mereka juga tidak akan menerimanya.
Kemudian Hamka menjelaskan tentang peran Rasulullah
sebagai pemberi peringatan. Artinya Rasulullah diperintahkan
untuk menyampaikan ancaman kekafiran itu karena setengah dari
isi wahyu itu ada yang menyakitkan hati kaum kafir yaitu celaan
kepada berhala-berhala yang mereka sembah dan perbuatan-
perbuatan mereka yang keji. Di mana diperintahkan untuk
berdakwah menerangkan sesatnya perbuatan mereka, karena itulah
tugas Nabi.
Oleh karena itu, Hamka memberi nasihat kepada kaumnya
bahwa manusia itu tidak seharusnya bersempit dada dan tidak usah
bimbang terhadap ajaran yang dibawa Nabi karena setiap langkah
Nabi, senantiasa Allah akan menjaga dan melindungi-Nya. Sebab
segala sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW.,
adalah atas kehendak dan perintah Allah SWT.2 Dengan demikian
ḍayq al-ṣadr menurut Hamka adalah bentuk hati yang semula
tenang menjadi jengkel dan membuat dada menjadi sesak, karena
kaumnya tidak mau menerima wahyu yang diturunkan kepada
Nabi SAW.
1 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XII, Cet. 2 (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1992), h. 23.
2 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XII, Cet. 2 (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1992), h. 24.
41
Begitu pula dengan al-Sya‟rāwī yang mengatakan bahwa
dalam ayat tersebut Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad
untuk tidak merasakan sesak dada karena Nabi hanyalah seorang
utusan. Dan yang menjadi tugasnya adalah menyampaikan apa
yang diturunkan kepada Nabi SAW., karena penyampaian tersebut
akan menjadi bukti atas mereka. Apabila dada Nabi merasa sesak
karena perlakuan mereka, lalu Nabi mengurangi apa yang telah
disampaikan kepada Nabi, karena setiap kali Nabi menyampaikan
kepada mereka sebuah ayat, mereka selalu mendustakannya. Maka
Allah akan menambah hukuman bagi mereka sesuai dengan apa
yang mereka dustakan.3
Al-Sya‟rāwī, memaknai kata di ayat ini dengan
menjelaskan suatu fase sekejap yang tidak lebih dari sekedar
tindakan berlebihan mereka untuk mengingkari Rasulullah SAW.
dan apa yang mereka minta dari Nabi adalah berada di luar
kemampuan manusia, yaitu: mereka meminta untuk diturunkannya
harta karun. Allah menjelaskan masalah harta terpendam (harta
karun) di sini maksudnya untuk menunjukkan kepada kita nilai
kehidupan yang mereka miliki, yang hanya terfokus pada materi
sehingga materilah yang menjadi tolak ukur sebuah kehormatan.4
Mereka menginginkan agar harta yang banyak itu diturunkan
3 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 484. 4 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 484.
42
kepada Rasulullah SAW. karena mereka menganggap bahwa
kekayaan itu akan membuat Nabi Muhammad dan orang-orang
yang bersamanya lalai untuk menyampaikan dakwah dari Allah
SWT.5
Menurut al-Sya‟rāwī, ayat di atas menjelaskan bahwa yang
pertama kaum kafir Quraisy harapkan adalah harta, kemudian
mereka mengharapkan datangnya malaikat. Lalu pertanyaannya,
bagaimana malaikat itu turun? Apakah dia turun dalam wujud laki-
laki? Allah berfirman: “dan kalau Kami jadikan rasul itu (dari)
malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki). (QS. al-
An‟ām/6: 9)”. Seandainya malaikat turun dalam wujud laki-laki,
lalu bagaimana mereka dapat mengetahui wujud aslinya? Semua
ini merupakan kebodohan.6
Pada potongan ayat selanjutnya al-Sya‟rāwī menjelaskan
bahwa rasul hanya pemberi peringatan dan kabar gembira. Mereka
meminta bukti atas kerasulannya, tetapi ketika bukti-bukti yang
telah mereka minta itu datang, mereka tidak ingin mengakuinya
dan malah mendustakannya. Oleh karena itu, Allah menurunkan
azab-Nya.
Al-Sya‟rāwī selanjutnya mengambil contoh dalam
kehidupan manusia bahwa ketika kamu menyuruh orang untuk
mewakilkan pembelian, maka dia memiliki kebebasan untuk
5 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, h. 485. 6 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, h. 486.
43
melakukan apa saja yang menjadi tugasnya. Kamu hanya
mengamati dan memantau tindakannya. Apabila kamu setuju
dengan tindakannya, maka kamu akan terus mewakilkan
kepadanya. Akan tetapi sebaliknya, jika kamu tidak setuju dengan
tindakannya, maka kamu akan membatalkan perwakilan tersebut.
Jadi perwakilan Allah kepada hamba-Nya itu akan selalu kekal
meskipun orang-orang kafir menolaknya.7 Dengan demikian ḍayq
al-ṣadr menurut al-Sya‟rāwī adalah sikap materialistis yang
tertanam dalam hati seseorang sehingga segala hal yang mustahil
menurut mereka tidak diterima.
Pada ayat berikut ini kata ḍayq al-ṣadr dimaknai berbeda
dari ayat sebelumnya. Hal itu sebagaimana tercantum di dalam QS.
al-Syu‟ara/26:13,
“Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar
lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun”.
Ayat di atas digambarkan Hamka sebagai beratnya tugas
atau tantangan yang dihadapi seorang da‟i yaitu menghadapi
Fir‟aun. Menghadapi kaum yang menyokong Fir‟aun dan kaum
yang tidak mengenal takwa. Musa merasakan betapa berat tugas itu
jika diukur dengan kelemahan dirinya sebagai seorang manusia.
Musa merasa ketakutan bahwa misinya itu akan gagal, dan
7 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, h. 487.
44
tugasnya tidak akan berhasil. Dia akan didustakan orang, dan
seruannya akan ditolak mentah-mentah.
Allah menunjukkan penyebab timbulnya rasa takut untuk
menghadapi tugas berat itu. Di antara sebab-sebab itu ialah
pertama, tindakan kaum Nabi Musa menyempitkan dadanya. Dada
yang sempit menyebabkan orang lekas marah apalagi kalau cita-
citanya terhalang. Dan kalau dia terlanjur marah karena dihalangi,
maka akan gagallah tugas yang diserahkan kepada dirinya. Kedua,
lidahnya tidak lancar berkata-kata, dia penggugup. Memang, gugup
berkata-kata itu bertali juga dengan kesempitan dada tadi. Kalau
seorang yang lidahnya tidak begitu lancar berkata atau agak gugup,
niscaya akan ditertawakan orang. Dan kalau ditertawakan niscaya
akan timbul rasa marah. Ketiga, dia mempunyai kesalahan besar
yang telah tercatat dalam catatan kaum Fir‟aun itu, yaitu dia lari
meninggalkan Mesir karena dahulu tangannya terdorong
membunuh orang.8 Akan tetapi ketakutan atau kecemasan yang
kedua ini dapatlah diatasi kesulitannya apabila Tuhan sudi
memberinya bantuan, yaitu agar diangkat pula saudaranya Harun
menjadi Rasul pula, sebab lidahnya fasih berkata-kata. Musa
memohon, kalau tugas ini diberikan kepadanya, supaya saudaranya
Harun itu diangkat menjadi pembantunya.9 Dengan demikian ḍayq
al-ṣadr di sini dimaknai sebagai rasa khawatir yang menyebabkan
8 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXI, h. 68.
9 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXI, h. 69.
45
lisan Nabi Musa tidak dapat berkata fasih. Sehingga wahyu yang
hendak beliau sampaikan tidak tercapai.
Sedangkan menurut al-Sya‟rāwī, ḍayq al-ṣadr dimaknai
sebagai sikap kekesalan diri dan susahnya untuk berbicara dengan
baik. Hal itu terjadi karena Musa melihat kebatilan secara jelas
dilawan dengan kebenaran, namun hal itu tidak merubah apa-apa
hingga timbullah sikap kesal dalam dada. Bertambah kesal lagi
apabila Musa harus menerangkan hal itu dalam keadaan dirinya
yang sedikit sukar untuk berbicara.
Ḍayq al-Ṣadr yang digambarkan al-Qur‟ān dalam QS. al-
Hijr/15: 97 juga berkaitan dengan akibat tantangan yang dihadapi
seorang da‟i,
Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu
menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan.
Sebab nuzul ayat ini berkaitan dengan lima golongan yang
sangat keterlaluan dalam menghina Rasulullah SAW. Dalam segala
sepak terjang beliau ketika mendakwahkan Islam selalu diintai
untuk ditertawakan dan diperolokkan. Personil dari lima golongan
itu ialah Abu Zam‟ah. Orang ini ketika sudah keterlaluan menghina
Rasulullah, didoakan oleh beliau: “Yaa Allah, butakanlah mata
Abu Zam’ah dan sengsarakanlah anak cucunya”. Setelah mereka
sangat keterlaluan, bahkan sudah melebihi batas kemanusiaan
dalam menghina, menertawakan dan memperolokkan Rasulullah
SAW. maka Allah SWT. menurunkan ayat ke 94 sampai 99. Yakni
46
sebagai ketegasan bahwa Rasulullah harus segera berdakwah
terang-terangan, sekalipun kaum musyrikin semakin ganas
membuat reaksi. Dan obat dari semua itu, hanyalah bertasbih
kepada Allah SWT. juga beliau dan kaum muslimin dihimbau agar
berpegang teguh kepada al-Islam sampai ajal tiba. (HR. Bazzar dan
Ibnu Ishak dari Urwah bin Zubair).10
Ketika menafsirkan ayat di atas Hamka menjelaskan bahwa
ḍayq al-ṣadr di artikan sebagai rasa sedih karena kaum kafir
Quraisy saat itu tidak mau menerima ajaran yang dibawa
Rasulullah. Bahkan Rasulullah hanya menerima tuduhan gila,
tukang sihir, dikatakan akan putus keturunan, dinyatakan penyebar
berita bohong, dan lain-lain. Rasa sedih karena kehilangan orang
yang dicintai, rasa sakit hati karena diejek dan diolok-olok, rasa
marah karena dihina, semuanya itu termasuk watak asli manusia
yang tidak dapat dihilangkan. Hanya akal budi manusia saja yang
dapat mengendalikan dirinya, sehingga rasa-rasa yang demikian
jangan sampai mendorong kepada sikap-sikap yang salah.11
Begitupun dengan al-Sya‟rāwī, ḍayq al-ṣadr pada ayat ini
dimaknai sebagai rasa sedih. Al-Sya‟rāwī mengatakan dalam
perkataan yang mulia ini tampak dengan jelas penetapan Allah
terhadap perasaan kenabian. Allah juga mengetahui apa yang
dialami Rasulullah ketika melaksanakan perintah-perintah Allah.
10
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’ān Surat Al-Baqarah-
Al-Nās, Cet. 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 525-526. 11
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz 13-14, Cet. 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 213.
47
Makna ini juga terdapat dalam firman Allah SWT dalam QS. al-
An‟ām/6: 33,
“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang
mereka katakana itu menyedihkan hatimu (janganlah kamu
bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan
mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu
mengingkari ayat-ayat Allah”.
Rasulullah terlalu mulia untuk berdusta, apalagi bahwa
mereka telah menyaksikan kejujuran Rasul dalam kehidupan
mereka sebelum turunnya risalah.12
b. Ḍayq Al-Ṣadr Karena Ketakutan Nabi Luth Ketika
Malaikat Mendatangi Kaumnya
Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan Nabi Luth ketika malaikat
mendatangi kaumnya yang digambarkan al-Qur‟ān dalam QS.
Hud/11: 77,
Dan ketika para utusan Kami (para malaikat) itu datang
kepada Luth, dia merasa curiga dan dadanya merasa
sempit karena (kedatangan)nya. Dia (Luth) berkata, “ini
hari yang sangat sulit”.
Ketika menafsirkan ayat ini Hamka menjelaskan bahwa,
ketika para malaikat itu datang kepada Nabi Luth, dia merasa
curiga dan dadanya menjadi sempit karena menurut Hamka
12
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, Jilid. 7, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 475.
48
bukannya Nabi Luth tidak senang menerima kedatangan para tamu,
akan tetapi dia tidak senang memikirkan kerakusan dan kerusakan
jiwa kaumnya. Sebab kaum Nabi Luth merasa bahwa utusan-
utusan malaikat itu adalah manusia biasa yang muda-muda dan
ganteng, sehingga dapat menimbulkan nafsu syahwat laki-laki,
karena jiwa mereka sudah sangat rusak. Mereka lebih tertarik
melihat laki-laki muda daripada melihat perempuan muda. Nabi
Luth merasa tidak akan sanggup membela tamu-tamunya itu.
Karena pada mulanya Nabi Luth belum tahu bahwa tamunya itu
adalah malaikat. Oleh karena itu, Nabi mengeluh “Ini hari yang
sangat sulit” ketika menafsirkan potongan ayat terakhir, Hamka
menjelaskan bahwa memang sulit itu dapat dirasakan. Seharusnya
Nabi Luth menghormati dan memuliakan tamu, padahal besar
kemungkinan tamu-tamu itu akan diganggu dan akan membuat
Nabi Luth malu.13
Dengan demikian Hamka memaknai ḍayq al-
ṣadr di ayat ini sebagai rasa takut ketika datang para malaikat pada
kaumnya.
Di sisi lain al-Sya‟rāwī menjelaskan ayat ini bahwa Nabi
Luth merasa susah dan sesak dadanya ketika kedatangan para
malaikat. Para malaikat datang dengan menjelma dalam bentuk
laki-laki yang sangat tampan. Nabi Luth tahu bahwa penyakit
kaumnya adalah membudayanya homoseksual. Sedangkan
sebenarnya istri Luth mengetahui penyakit ini, tetapi dia
13
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XII (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 97.
49
menyikapinya dengan sikap yang berbeda dengan sikap Nabi Luth,
bahkan dia menyetujui penyakit tersebut.14
Oleh karena itu, ketika
Nabi Luth melihat kedatangan para laki-laki yang tampan, dia
segera naik ke atas atap rumah dan bertepuk tangan untuk menarik
perhatian orang-orang, namun nyatanya tidak ada seorang pun
yang memperhatikannya.15
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. al-Ankabūt/29: 33,
“Dan ketika para utusan Kami (para malaikat) datang
kepada Luth, dia merasa bersedih hati karena (kedatangan)
mereka, dan (merasa) tidak mempunyai kekuatan untuk
melindungi mereka, dan mereka (para utusan) berkata,
“Janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati.
Sesungguhnya kami akan menyelamatkanmu dan pengikut-
pengikutmu, kecuali istrimu, dia termasuk orang-orang
yang tinggal (dibinasakan)”.
Ketika menafsirkan ayat “dan ketika para utusan Kami
(para malaikat) datang kepada Luth” Hamka menjelaskan bahwa
ketika para malaikat singgah di rumah Nabi Ibrahim, utusan itu
menyampaikan berita gembira kepada Ibrahim, mereka
meneruskan perjalanan menuju negeri tempat tinggal Luth itu,
yaitu negeri Sadum. Luth telah menerima mereka sebagai tamu,
tetapi “dia merasa bersedih hati” karena malaikat-malaikat yang
jadi utusan-utusan Allah itu berubah menyerupai diri mereka
14 Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, Jilid. 6, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 589. 15
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, h. 590.
50
dengan anak laki-laki muda. Maka, orang seisi negeri itu mendesak
Luth agar anak-anak muda itu diserahkan kepada mereka.16
Ketika menafsirkan potongan ayat selanjutnya, Hamka
mengatakan bahwa Luth mempunyai kewajiban budi untuk
memelihara dan melindungi para tamu itu. Tetapi kalau kaumnya
yang banyak itu mendesak supaya anak-anak muda itu diserahkan
kepada mereka, maka Luth tidak akan kuat untuk bertahan. Itulah
yang membuat Luth bersedih hati kalau desakan kaumnya itu
bertambah keras sampai mereka rampas atau menangkap utusan-
utusan itu.
Maka di akhir ayat ini Hamka mengatakan bahwa jangan
takut karena mereka tidak akan sanggup menangkapnya. Kami
adalah utusan Allah yang datang untuk membela engkau. Nabi
Luth dan keluarganya yang telah menyampaikan iman kepada
dakwah yang dia bawa semuanya akan diselamatkan. Akan tetapi,
hanya istri Nabi Luth saja yang tidak akan diselamatkan karena dia
berpihak kepada orang-orang yang durhaka itu.17
Di sisi lain al-Sya‟rāwī menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim
menyaksikan peristiwa yang dialami Nabi Luth. Tepatnya, saat
Luth mengetahui kedatangan para malaikat ke rumahnya dia pun
takut kepada mereka. Nabi Luth takut kepada mereka karena
kaumnya adalah kaum homo. Nabi Luth takut kalau tamu-tamunya
diperlakukan jahat oleh kaumnya.
16
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XX (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 177. 17
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XX (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 177.
51
Al-Sya‟rāwī memaknai kata Zar’a/lengan maksudnya
adalah mengambil sesuatu dengan mudah. Maksud pada ayat ini
adalah dia tidak memiliki kemampuan yang maksimal untuk
melindungi para tamu dari kejahatan kaumnya.18
Kemudian al-
Sya‟rāwī menjelaskan bahwa, jangan takut kepada kaum homo itu,
kami bukan manusia akan tetapi kami adalah malaikat. Kedatangan
kami hanya ingin menyelamatka Nabi Luth dari mereka. Kecuali
istri Nabi Luth karena dia banyak mempersusah dakwah Luth,
membuka rahasianya kepada kaumnya dengan menunjukkan
kepada mereka bahwa di rumah Nabi Luth ada tamu-tamu yang
gagah.19
c. Ḍayq Al-Ṣadr Karena Ketakutan Bagi Orang yang Tersalah
Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan bagi orang yang tidak ikut
berperang digambarkan dalam QS. al-Taubah/9: 118,
Dan terhadap tiga orang20
yang ditangguhkan (penerimaan
taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit
bagi mereka, Padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun
telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah
mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima
taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.
18
Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,
Jilid 10, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2011), h. 435. 19
Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar, h.
436. 20
Tiga orang itu adalah Ka‟ab bin Malik dari Bani Salamah, Hilal bin Umayah dari Bani
„Auf, dan Marrah bin Rabi‟ dari Bani „Amr bin „Auf. Lihat: Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XI
(Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 73.
52
Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang.
Sebab nuzul ayat ini ketika Rasulullah SAW., berangkat
perang Tabuk Ka‟ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah
bin Rabi yang keseluruhannya dari kalangan sahabat Anṣar, tidak
ikut hadir. Mereka sangat menyesal, lantaran uzur yang
mengakibatkan dirinya tidak dapat menghadiri perang. Selama
kurang dari lima puluh hari, mereka diboikot kaum muslimin,
sehingga terasa dunia sangat sempit. Mereka bertaubat kepada
Allah disertai dengan penyesalan yang sangat dalam. Maka
sehubungan dengan itu, Allah SWT. menurunkan ayat ini sebagai
ketegasan bahwa taubat mereka diterima Allah SWT. dan mulai
saat itu kaum muslimin tidak memboikot mereka lagi. (HR.
Bukhari dan Muslim dari Zuhri).21
Ketika menafsirkan ayat “dan terhadap tiga orang22
yang
ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka” Hamka menjelaskan
bahwa di antara orang-orang yang meminta izin untuk tidak ikut
berperang adalah nyaris terhitung jadi munafik. Mereka minta izin
untuk tidak ikut perang Tabuk, karena mereka telah ditinggalkan di
belakang atau tidak diikut sertakan, padahal mereka mengeluarkan
alasan yang dicari-cari. Setelah Rasulullah kembali dari perang
Tabuk itu, mereka langsung ditanya oleh Rasulullah mengapa tidak
21
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’ān Surat Al-Baqarah-
Al-Nās, Cet. 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 500. 22
Tiga orang itu adalah Ka‟ab bin Malik dari Bani Salamah, Hilal bin Umayah dari Bani
„Auf, dan Marrah bin Rabi‟ dari Bani „Amr bin „Auf. Lihat: Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XI
(Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 73.
53
pergi, lalu jawaban yang mereka kemukakan itu hanyalah sebuah
alasan yang dicari-cari saja. Sebenarnya mereka itu sanggup pergi
ke perang Tabuk, tapi karena mereka malas jadinya mereka minta
izin untuk tidak mengikuti perang Tabuk. Setelah mendengar
jawaban dari mereka, Rasulullah tidak ingin mengambil keputusan
tentang nasib mereka. Akan tetapi, Rasulullah memulangkan
keputusan mereka kepada ketentuan Tuhan.23
Ketika menafsirkan potongan ayat selanjutnya, Hamka
menjelaskan bahwa jika saya diasingkan orang, maka kalau pergi
ke mana-mana pasti tidak akan ada orang yang mau menegur sapa,
niscaya sempitlah bumi ini walaupun bumi itu luas.24
Hati rasanya
menjadi sempit dan pengharapan telah tertutup, semuanya
memutuskan hubungan sehingga timbul perasaan dalam hati Nabi,
lebih baik mati saja daripada hidup. Dalam keadaan yang sudah
sangat gelap itu harapan satu-satunya yaitu memohon ampunan
dari Allah SWT. Di akhir ayat ini, Hamka mengatakan bahwa
taubat mereka diterima oleh Allah, karena mereka benar-benar
menyesal atas kesalahan yang mereka lakukan.25
Dengan demikian
Hamka mengartikan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa takut karena tidak
ikut berperang.
Di sisi lain al-Sya‟rāwī menafsirkan ayat ini dengan
menjelaskan bahwa ketiga orang itu tidak ikut berperang bukan
karena halangan akan tetapi karena malas dan berleha-leha. Maka
23
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X, Cet. 1 (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1985), h. 73. 24
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X, h. 73. 25
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X, h. 73.
54
Rasulullah menyuruh muslim untuk memutuskan hubungan dengan
mereka. Hubungan bagi mereka meningkat dengan cara
pengasingan. Hal ini terus berlangsung hingga pengasingan itu
sampai kepada keadaan yang sangat sulit buat mereka. Pertama,
pengasingan dari masyarakat; kedua, pengasingan dari orang
terdekat yaitu istri-istri mereka. Tiga orang itu terus dikucilkan
selama 50 hari oleh keluarganya maupun masyarakatnya sampai
Allah mengampuninya.26
d. Ḍayq Al-Ṣadr Karena Ketakutan Ketika Menghadapi
Musuh Yang Jumlahnya Jauh Lebih Besar
Ḍayq al-Ṣadr karena ketakutan ketika menghadapi musuh
yang jumlahnya jauh lebih besar sebagaimana yang digambarkan
al-Qur‟ān dalam QS. al-Taubah/9: 25,
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai Para
mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan
(ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu
menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka
jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu
sedikitpun, dan bumi yang Luas itu telah terasa sempit
olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-
berai.
Sebab nuzul ayat ini berkaitan dengan seseorang yang
menghadiri perang Hunain berkata: “Kita sekarang tidak mungkin
akan menderita karena kekalahan. Sebab jumlah pasukan kita lebih
26
Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,
Jilid 6, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 74.
55
besar atau lebih banyak dibandingkan dengan kaum musyrikin”.
Pada waktu itu pasukan kaum muslimin berjumlah dua belas ribu
orang. Mendengar kata-kata orang tersebut, Rasulullah merasa
sesak dada. Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT.
menurunkan ayat ini sebagai teguran terhadap mereka dan
mengingatkan atas kesalahan yang telah mereka lakukan pada
perang Hunain karena kesombongan yang mengandalkan pasukan
perang yang banyak jumlahnya. (HR. Baihaqi dalam kitab Dalail
dari Rabi’ bin Anas).27
Ketika menafsirkan ayat ini Hamka menjelaskan bahwa
ayat ini diturunkan sesudah Rasulullah SAW. kembali dari Perang
Tabuk, dan dibacakan di muka umum ketika Haji tahun kesembilan
yang di bawah pimpinan Abu Bakar itu. Diperingatkan kepada
kaum Muslimin, bahwa “Bukankah telah berkali-kali kamu
ditolong Tuhan di dalam peperangan?”. Di potongan ayat
selanjutnya Hamka mengatakan bahwa di peperangan Hunain pun
kamu diberi kemenangan juga. Banyak bilangan yang membuatmu
bangga itu tidak akan berguna, bahkan bumi menjadi sempit
padahal bilanganmu banyak.
Jadi menurut Hamka, penjelasan ayat ini bahwa di segala
perang yang pernah kamu tempuh lantaran cintamu telah kamu
bulatkan kepada Allah, maka Allah selalu menolongmu. Bahkan di
perang Hunain pun kamu ditolong juga, padahal kamu telah nyaris
27
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’ān Surat Al-Baqarah-
Al-Nās, Cet. 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 453.
56
kalah dalam peperangan itu. yang menyebabkan kamu nyaris kalah
ialah karena kamu telah dipesona oleh banyak bilangan kamu.
Kemudian setelah berhadap-hadapan dengan musuh, ternyata
banyak bilangan yang kamu banggakan itu tidak menolong sama
sekali. Malahan bumi yang begitu luasnya telah menjadi sempit
karena kamu telah diburu oleh musuh, maka kamupun telah
kehilangan akal, bumi yang luas jadi sempit, sampai ada yang
mundur. Sungguh begitu keadaan kamu pada waktu iu, namun
akhirnya Tuhan menolongmu juga.28
Begitu pula dengan al-Sya‟rāwī ketika menafsirkan ayat ini
bahwa Allah menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah telah banyak
menolong umat Islam di berbagai tempat. Pertolongan yang
dimaksud tentunya adalah pertolongan dalam peperangan dalam
peperangann melawan musuh, seperti dalam perang Badar,
Hudaibiyah, perang Bani Nadhir, dll. Semua itu adalah tempat-
tempat di mana Allah menolong pasukan muslim. Kemudian
potongan ayat selanjutnya al-Sya‟rāwī menerangkan bahwa jumlah
pasukan Muslimin dalam perang Hunain itu menjadi perhatian
khusus dalam ayat ini. Berbeda dengan peperangan yang lain
seperti perang Badhar dan Fathu Mekah, Allah tidak
mempermasalahkan jumlah pasukannya. Karena dalam perang
Hunain ini umat Islam jadi sombong dan juga lupa diri karena
jumlahnya yang sangat banyak. Oleh karena itu kejadian ini
28
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984), h. 143-144.
57
menjadi perhatian khusus karena keangkuhan mereka akan jumlah
yang banyak sehingga Allah menegur kesombongan mereka itu.29
2. Ḍayq Al-Ṣadr yang Berkaitan Dengan Faktor Diri Sendiri
a. Ḍayq Al-Ṣadr Karena Kesesatan Dan Kesyirikan
Ḍayq al-Ṣadr karena kesesatan dan kesyikrikan juga
merupakan salah satu yang menyebabkan ḍayq al-ṣadr.
Sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur‟ān QS. al-An‟ām/6:
125,
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan
kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya
untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki
langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-
orang yang tidak beriman”.
Ketika menafsirkan ayat di atas, Hamka menjelaskan
bahwa ayat ini membuka pintu kesempatan yang besar bagi setiap
manusia yang cinta akan kebenaran. Bagaimana seseorang
diselubungi dosa, syirik dan kegelapan selama ini? Jika petunjuk
datang, wajah hidupnya bisa saja berubah. Yang penting ialah
penerangan agama yang diterimanya. Itulah sebabnya maka
Rasulullah SAW. diperintahkan oleh Allah SWT untuk
menyampaikan seruan Allah dengan sebaik-baiknya penyampaian.
29
Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,
Jilid 5, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2006), h. 512.
58
Di dalam ayat ini disabdakan oleh Allah SWT, bahwa kalau Allah
menghendaki agar seseorang memperoleh petunjuk, niscaya
dilapangkanlah atau dibukakanlah dadanya untuk menerima
Islam.30
Potongan ayat selanjutnya, Hamka memaknai ḍayq al-ṣadr
dalam ayat ini adalah orang yang dirinya telah dikurung oleh hawa
nafsunya sendiri. Contoh, sempit dadanya seakan-akan orang yang
mencoba naik ke langit. Selain daripada mukjizat yang diberikan
oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW., seketika beliau
melakukan isra‟ mi‟raj, barulah di dalam Abad Keduapuluh ini
manusia mencoba naik ke angkasa. Mulanya dengan menggunakan
kapal terbang, dan akhir-akhir ini telah diperbuat oleh manusia
yaitu alat-alat modern untuk mencapai ruang angkasa yang lebih
tinggi. Ternyata dada manusia memang sempit kalau naik ke ruang
angkasa yang lebih tinggi, bahkan bisa mati karena kesusahan
nafas karena di sana tidak ada oksigen buat bernafas.
Maka di akhir ayat ini Hamka menjelaskan penyebab dada
menjadi sempit menerima kebenaran Islam yaitu karena dada itu
penuh dengan berbagai kotoran, sehingga udara yang bersih tidak
mau lagi masuk ke dalamnya. Dosalah yang mengotori jiwa itu.31
Al-Sya‟rāwī mengatakan bahwa Allah akan melapangkan
dadanya pada Islam, setelah dia rela masuk ke dalam tauhid yang
suci. Allah telah menjanjikan: “Karena kamu telah beriman
30
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz VIII (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984), h. 41-42. 31
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz VIII (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984), h. 44.
59
kepada-Ku dan datang menghadap-Ku, maka Aku ringankan beban
amal dan Aku lapangkan dadamu kepada Islam”. Dan itu
merupakan balasan untukmu. “bukankah Kami telah melapangkan
untukmu dadamu?”.32
Dalam potongan ayat selanjutnya al-Sya‟rāwī memaknai
kata adalah menghalangi sesuatu perbuatan. Makna
adalah naik, maksudnya adalah berkonotasi ke atas dan pekerjaan
ini sulit karena harus melawan daya gravitasi bumi. Oleh karena itu
dibutuhkan dua kekuatan: kekuatan bergerak dan kekuatan untuk
menahan tarikan gravitasi bumi.33
Orang yang naik ke udara itu
selalu merasa kesusahan dan memerlukan dua usaha. Pertama,
mendaki; kedua, melawan tarikan gaya gravitasi. Oleh sebab itu,
pendaki akan merasakan dadanya sesak karena tidak mendapatkan
udara yang cukup untuk membantunya melahirkan energi yang
baru.34
B. Petunjuk Al-Qur’ān Dalam Menyikapi Ḍayq Al-Ṣadr Menurut
Penafsiran Hamka dan Al-Sya’rāwī
Di sini penulis ingin memaparkan tentang petunjuk al-Qur‟ān
dalam menyikapi ḍayq al-ṣadr menurut penafsiran Hamka dan al-
Sya‟rāwī. Adapun petunjuk al-Qur‟ān dalam menyikapi ḍayq al-ṣadr
adalah sebagai berikut:
32
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, Jilid. 4, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2006), h. 480. 33
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, h. 483. 34
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, h. 484.
60
1. Beriman dan bertakwa kepada akidah tauhid
Beriman dan bertakwa adalah cara yang paling afdhal (utama).
Orang-orang yang beriman dan bertakwa adalah hamba-hamba Allah
yang paling mulia dan paling bersih jiwanya.35
Sebagaimana Allah
berfirman dalam QS. al-Baqarah/2: 103,
“Dan jika mereka beriman dan bertakwa, pahala dari Allah
pasti lebih baik, sekiranya mereka tahu”.
Ketika menafsirkan ayat “dan jika mereka beriman dan
bertakwa, pahala dari Allah pasti lebih baik, sekiranya mereka tahu”
Hamka menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan kepada kafir Quraisy,
sehingga kalau mereka tidak menentang apa yang dibawa oleh
Rasulullah maka yang didapatkan adalah kebahagiaan bukan siksa dan
azab.36
Menurut al-Sya‟rāwī, makna takwa ialah takut dengan
sifat-sifat Allah yang Mahaperkasa. Ketika Allah mengatakan
pada ayat yang dikaji ini, Allah SWT., melafalkannya secara mutlak.
Allah menghendaki manusia agar memahami bahwa mempercayai
sesuatu yang dilarang oleh Allah itu adalah cobaan dan fitnah yang
membawa manusia kepada kekufuran, maka takutlah kepada Allah dan
35
Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, terj. Fuad Syaifudin Nur
(Jakarta: Republika, 2013), h. 100. 36
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 256.
61
azab-Nya di neraka.37
Oleh karena itu, agar selalu mengikat hatinya
dengan iman dan tawakal kepada Allah SWT., dalam segala urusan,
dengan cara memohon perlindungan-Nya dari godaan dan kejahatan
setan. Tanpa bertawakal kepada Allah, kita tidak akan mampu untuk
melawan kejahatan setan.38
2. Sholat
Sholat merupakan petunjuk al-Qur‟ān dalam menyikapi ḍayq
al-ṣadr. Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah/2: 45,
“Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu’”. (QS. al-Baqarah: 45)
Ketika menafsirkan ayat “jadikanlah sabar dan sholat sebagai
penolongmu” Hamka menjelaskan bahwa sabar itu adalah sebuah
benteng. Ketika sholat jiwa itu akan selalu dekat dan lekat kepada
Tuhan. Oleh karena itu, untuk meminta agar selalu mendapat
pertolongan dari Tuhan kita sebagai manusia tidak boleh terpisah dari
sabar dan sholat yakni membuat hati jadi tabah dan selalu mengerjakan
sholat.
Kemudian potongan ayat selanjutnya Hamka menjelaskan
bahwa maksud dari kata “sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat” adalah sholat. Bahwa mengerjakan sholat itu sangat berat.
Ketika manusia disuruh sabar, padahal hatinya sedang susah. Lalu
37
Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,
Jilid 1, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2004), h. 378. 38
Uwes al-Qorni, 60 Penyakit Hati, Cet. 9 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h.
9.
62
ketika dia disuruh sholat, dia menjawab bahwa hatinya sedang susah,
dan tidak bisa sholat. Dia merasa berat untuk melaksanakan sholat
karena jiwanya masih gelap dan sulit untuk menerima nasihat supaya
sabar dan sholat. Di akhir ayat Hamka mengartikan bahwa khusyu’
artinya tunduk, rendah hati, dan insaf bahwa kita ini adalah hamba
Allah. Nikmat Allah itu lebih banyak daripada cobaan-Nya. 39
Begitu pula dengan al-Sya‟rāwī, beliau mengatakan bahwa
mintalah tolong kepada dua hal yang saling berkaitan satu sama lain,
yaitu sabar dan sholat. Dalam mewujudkan sabar itu harus dengan
sholat, dan pelaksanaan sholat itu harus dengan sabar. Lebih dari itu,
keduanya merupakan senjata dalam kehidupan manusia.40
Kemudian
khusyu’ menurut al-Sya‟rāwī adalah tunduk kepada Allah yang
Mahatinggi dengan cara tidak membantah sedikitpun atas apa yang
diperintahkannya. Siapakah orang-orang yang khusyu’ itu? yaitu orang
yang taat kepada Allah dan menahan diri dari perbuatan haram, yang
sabar akan kodrat Allah, yang mengetahui dengan pasti dalam dirinya
bahwa semua perkara hanya milik Allah semata.41
Menurut ayat ini, jika manusia diliputi dengan penyakit ḍayq
al-ṣadr berupa ketakutan, kesedihan, kerisauan, keresahan, dan lain-
lain. Maka segeralah bangkit untuk melaksanakan sholat. Niscaya jiwa
kita akan kembali tentram dan tenang. Sesungguhnya sholat itu atas
39
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 191. 40
Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,
Jilid 1, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2004), h. 214. 41
Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar, h.
216.
63
izin Allah sangatlah cukup untuk hanya sekadar menyirnakan
sempitnya hati.42
3. Berdo’a
Do‟a merupakan pokok atau inti dari ibadah. Sebagaimana
Allah SWT. memerintahkan hamba-Nya untuk selalu berdo‟a. Dalam
firman Allah SWT., QS. al-Mu‟min/40: 60,
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya
akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang
yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. al-Mu‟min: 60)
Dalam ayat ini, Hamka mengatakan bahwa berserulah dan
memohonlah kepada Allah SWT., untuk memanjatkan do‟a yang suci
dengan penuh harap dan hati yang ikhlas serta percaya bahwa akan
dikabulkannya do‟a tersebut, maka Allah akan senantiasa berkenan
untuk mengabulkan do‟a tersebut.43
Kemudian ketika menafsirkan potongan ayat selanjutnya
Hamka mengartikan bahwa orang-orang yang sombong ialah orang
yang terlalu percaya kepada diri sendiri, dan tidak ingat lagi akan
adanya Allah. Sehingga dia tidak beribadah, tidak bermunajat, tidak
bertawakkal dan tidak cinta kepada Allah. Di akhir ayat Hamka
menjelaskan bahwa orang yang hidupnya biasa sombong dan angkuh,
maka seketika badannya kuat, hartanya banyak dan mendapat
42
„Aidh al-Qarni, Lā Tahzan; Jangan Bersedih!, penerjemah , Samson Rahman, Cet. 18
(Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 35. 43
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXIV (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 161.
64
kekuasaan yang tinggi. Mereka lupa bahwa keadaan silih berganti.
Kalau manusia ingat akan pergantian keadaan, maka manusia tidak
akan sombong.44
Menurut al-Sya‟rāwī, Rabbukum adalah Tuhan yang mendidik
dan memelihara manusia. Maksudnya adalah yang menciptakan
manusia dan memberikannya kelangsungan hidup. Ketika Allah
menciptakan manusia, maka Allah yang membekalinya dengan prinsip
kasih sayang dan kebutuhan. Allah menciptakan sebagian manusia
kuat dan yang lain lemah. Sebagian sehat dan yang lain sakit. Yang
kuat bekerja maksimal agar dapat membantu yang lemah.
Ketika menafsirkan ayat ini al-Sya‟rāwī memberi nasihat
bahwa pada saat manusia lemah untuk berusaha dan tidak ada orang
lain yang menolongnya, maka berdo‟alah kepada Allah. Niscaya Allah
akan kabulkan do‟a itu. Selanjutnya al-Sya‟rāwī menjelaskan bahwa
orang yang tidak mau berdo‟a, merendah, dan meratap disebut
sombong. Do‟a itu bukan tujuannya dikabulkan, akan tetapi rasa
rendah yang penuh harapan kepada Tuhan pemberi kebaikan. Oleh
karena itu, kita sebagai manusia perlu bersyukur apabila do‟a belum
dikabulkan, boleh jadi Allah sedang melindungi kita dari mara
bahaya.45
Selanjutnya, di akhir ayat al-Sya‟rāwī menjelaskan bahwa
orang yang tidak mau berdo‟a sama dengan orang yang enggan
44
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXIV, h. 162. 45
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, Jilid. 11, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2011), h. 702.
65
beribadah. Maka, dia akan masuk neraka dan menjadi hina. Semua itu
karena kesombongan dan keangkuhan mereka kepada Allah SWT.46
4. Berżikir
Adapun dengan cara bertasbih kepada Allah, kita dapat
menghilangkan segala kesesakan dalam dada. Sebagaimana firman
Allah SWT., dalam QS. al-Hijr/15: 98,
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah
kamu di antara orang-orang yang bersujud”. (QS. al-Hijr/15:
98)
Sebab nuzul ayat ini berkaitan dengan lima golongan yang
sangat keterlaluan dalam menghina Rasulullah SAW. Dalam segala
sepak terjang beliau ketika mendakwahkan Islam selalu diintai untuk
ditertawakan dan diperolokkan. Personil dari lima golongan itu ialah
Abu Zam‟ah. Orang ini ketika sudah keterlaluan menghina Rasulullah,
didoakan oleh beliau: “Yaa Allah, butakanlah mata Abu Zam’ah dan
sengsarakanlah anak cucunya”. Setelah mereka sangat keterlaluan,
bahkan sudah melebihi batas kemanusiaan dalam menghina,
menertawakan dan memperolokkan Rasulullah SAW. maka Allah
SWT. menurunkan ayat ke 94 sampai 99. Yakni sebagai ketegasan
bahwa Rasulullah harus segera berdakwah terang-terangan, sekalipun
kaum musyrikin semakin ganas membuat reaksi. Dan obat dari semua
itu, hanyalah bertasbih kepada Allah SWT. juga beliau dan kaum
46
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, h. 703.
66
muslimin dihimbau agar berpegang teguh kepada al-Islam sampai ajal
tiba. (HR. Bazzar dan Ibnu Ishak dari Urwah bin Zubair).47
Dalam ayat ini, Hamka menerangkan bahwa bertasbihlah
kepada Tuhan dan sujudlah kepada-Nya. Dekatkanlah Allah dan
jangan melanggar perintah-Nya. Karena tidak satu pun di dunia ini
yang dapat menggoncangkan engkau dan mengganggu engkau.48
Pada ayat ini al-Sya‟rāwī mengatakan bahwa jika seseorang
ada yang menekan kita, maka ketahuilah bahwa kita mampu untuk
mengatasinya dengan cara bertasbih dan kita tidak akan mendapatkan
orang yang lebih mengasihimu selain Allah. Ketika kita bertasbih
kepada Allah, maka kita menyucikan-Nya dari segala sesuatu dan
memuji-Nya agar kita dapat hidup dalam naungan rahmat-Nya.
Kemudian, żikir juga merupakan salah satu cara al-Qur‟ān untuk
menyikapi sempitnya dada atau sempitnya hati. Allah SWT berfirman
dalam QS. al-Ra‟d/13: 28,
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tentram dengan mengingat Allah (berżikir). Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah (berżikir) hati menjadi tentram)”.
(QS. al-Ra‟d/13: 28)
Ketika menafsirkan ayat ini, Hamka menerangkan bahwa iman
yang senantiasa menyebabkan kita ingat kepada Allah, atau żikir. Iman
yang menyebabkan hati kita mempunyai pusat ingatan dan tujuan
ingatan. Dan ingatan kepada Tuhan, itulah yang membuat hati kita
47
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’ān Surat Al-Baqarah-
Al-Nās, Cet. 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 525-526. 48
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz 13-14, Cet. 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 213.
67
menjadi tentram, dan hilanglah segala macam kegelisahan, ketakutan,
kecemasan, keraguan, dll. Kalau hati telah ditumbuhi penyakit, dan
tidak segera diobatinya dengan Iman, yaitu Iman yang menimbulkan
żikir, maka celakalah yang akan menimpa. Hati yang sakit akan
bertambah sakit, dan puncak dari segala penyakit hati ialah kufur dan
nikmat Allah.49
Kemudian potongan ayat selanjutnya al-Sya‟rāwī memaknai
kata żikir menurut istilah al-Qur‟ān memiliki arti yang beragam.
Pertama, al-Qur‟ān. Seperti dalam surah al-Hijr ayat 9: Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan żikir/al-Qur’ān, dan Kamilah yang
memelihara dan menjaganya. (QS. al-Hir/15: 9). Kedua, Rasul. Seperti
dalam surah al-Nahl ayat 43: dan tidaklah Kami mengutus Rasul-rasul
sebelummu (wahai Muhammad), melainkan dari kalangan orang-
orang lelaki, yang Kami wahyukan kepada mereka. Oleh itu
bertanyalah kamu (wahai golongan musyrik) kepada ahli żikir/orang-
orang yang berpengetahuan agama jika kamu tidak mengetahui. (QS.
al-Nahl/16: 43). Ketiga, mengingat Allah. Seperti dalam surah al-
Baqarah ayat 152: Oleh karena itu, żikir/ingatlah kamu kepada-Ku
(dengan mematuhi hukum dan undang-undang-Ku), supaya Aku
membalas kamu dengan kebaikan; dan bersyukurlah kamu kepada-Ku
dan janganlah kamu kufur (akan nikmat-Ku). (QS. al-Baqarah/2: 152).
Kemudian al-Sya‟rāwī mengomentari ayat di atas dengan
mengatakan bahwa ketentraman memenuhi setiap relung jiwa orang
49
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz 13-14, Cet. 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 93.
68
yang berżikir. Saat dia berżikir, maka dia akan menemukan
ketentraman dan kedamaian dalam hatinya.50
5. Bersabar
Al-Qur‟ān mengajak kaum muslimin agar berhias diri dengan
kesabaran. Sebab kesabaran mempunyai faedah yang sangat besar
dalam menghadapi masalah hidup, musibah, dan bencana.51
Sebagaimana dalam QS. al-Nahl/16: 127,
“Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-
mata dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau
bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula)
bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan”.
Sebab nuzul ayat ini berkaitan dengan waktu Rasulullah SAW.
berdiri di depan jenazah pamannya Hamzah yang mati syahid dalam
kondisi rusak tubuhnya, Rasulullah bersabda: “Aku akan membunuh
tujuh puluh orang dari kaum musyrikin sebagaimana mereka telah
berlaku semena-mena terhadapmu, wahai pamanku”. Ketika beliau
sedang berdiri di situ, malaikat Jibril turun dengan membawa ayat ke
126-128 yang memerintahkan kepada Rasulullah agar mengurungkan
niatnya tersebut. Sebab kesabaran akan membawa dampak yang lebih
50
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi; Renungan Seputar Kitab Suci
al-Qur’ān, Jilid. 7, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 249. 51
Muhammad Utsman Najati, Psikologi Dalam al-Qur’ān (Terapi Qur’ani Dalam
Penyembuhan Gangguan Kejiwaan), Cet. 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), h. 466.
69
positif daripada membalas mereka dengan kekerasan. (HR. Hakim dan
Baihaqi dalam kitab Dalail).52
Dalam ayat ini Hamka menjelaskan macam-macam sikap yang
akan dihadapi yaitu kasar budinya dan sikap yang sombong. Hamka
mengatakan syarat kemenangan adalah bersabar. Sabar bukan berarti
lemah. Akan tetapi itulah sebenarnya kekuatan, karena kuat
mengendalikan diri. Dalam hal ini, Tuhan tidak akan membiarkan
manusia sendiri. Jadi, hadapi semuanya dengan lapang dada. Apabila
nanti menang ketika menghadapi mereka dan mereka masih hidup,
maka mereka akan tunduk tersipu-sipu kepadamu.53
Ketika menafsirkan ayat “dan bersabarlah (Muhammad) dan
kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah” al-Sya‟rāwī
menjelaskan bahwa ini merupakan hikmah Allah dan rahmat-Nya yang
membuatmu dapat bersabar dan sanggup menerima gangguan atau
siksaan, karena di dalam kesabaran terdapat kebaikan bagimu.54
Dalam potongan ayat selanjutnya al-Sya‟rāwī menjelaskan
maksud kesempitan di ayat ini adalah berkurangnya luas sesuatu di
hadapanmu dari apa yang kamu perkirakan. Kesempitan yang
menimpa manusia memiliki beberapa derajat. Terkadang dia merasa
negaranya sempit sehingga dia harus pindah ke negara lain. Terkadang
dia merasa dunia ini sangat sempit. Dalam keadaan ini dia dapat
melapangkan jiwanya terlebih dahulu. Jika dia merasa dirinya sendiri
52
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’ān Surat Al-Baqarah-
Al-Nās, Cet. 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 538. 53
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XIV (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982), h. 323. 54
Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,
Jilid 7, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2007), h. 783.
70
telah sempit, berarti dia telah sampai pada puncak kesempitan
sebagaimana yang diceritakan oleh Allah SWT. tentang tiga orang
yang menghindar untuk berjihad bersama Rasulullah SAW.55
6. Tawakkal
Dalam QS. al-Naml/27: 70,
“Dan janganlah engkau bersedih hati terhadap mereka, dan
janganlah (dadamu) merasa sempit terhadap upaya tipu daya
mereka”.
Ketika menafsirkan ayat ini, Hamka menerangkan bahwa
Rasulullah SAW., sangatlah merasa berduka cita atau bersedih
memikirkan nasib kaumnya yang mendustakan kebenaran itu, yang
menyambut peringatan Rasul tentang hari kiamat, bahwa itu hanya
semata-mata dongeng purbakala. Beliau sedih memikirkan betapa
nasib ummat Nabi-nabi dahulu yang mendustakan Nabi-nabi Allah.
Akan tetapi dalam ayat ini Nabi SAW., dibujuk oleh Tuhan, tak
usaklah dia berduka cita memikirkan mereka.
Dalam ayat ini, Hamka mengartikan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa
jengkel atau kecewa. Karena kaum itu melakukan tipudaya atau
melakukan makar. Perbuatan rencana-rencana yang tidak jujur yang
akan membawa celaka bagi diri mereka sendiri. Dengan ayat ini Nabi
SAW., dilunakkan hatinya oleh Tuhan, disuruh bersabar dan
membiarkan saja. Karena segala tipudaya dan makar itu tidaklah
berhasil. Sebab rencana itu tidak akan dibantu oleh Tuhan. Bahkan
55
Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar, h.
785.
71
Nabi SAW., yang akan berhasil di dalam perjuangan menegakkan
agama ini.56
Di sini al-Sya‟rāwī sependapat dengan Hamka, al-Sya‟rāwī
menjelaskan bahwa tugas Nabi hanya menyampaikan dakwah. Nabi
tidak akan dihukum akibat kekufuran orang yang kufur itu. Nabi cinta
kepada umatnya agar mereka tidak masuk neraka, namun Nabi
bersedih apabila umatnya tidak mendengar ajakannya,57
56
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XX (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 17. 57
Syekh Muhammad Mutawally Sya‟rawi, Tafsir Sya’rawi Penerj. Tim Safir al-Azhar,
Jilid 10, Cet. 1 (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2011), h. 230.
72
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian di atas penulis ingin memaparkan ḍayq
al-ṣadr menurut penafsiran Hamka dan al-Sya’rāwī. Di mana pemaparan
tersebut yang menjadi jawaban dari permasalahan yang dikaji. Maka penulis
dapat menyimpulkannya sebagai berikut:
Kata ḍayq al-ṣadr dapat diartikan ke dalam beberapa pemahaman.
Dengan demikian penafsiran Hamka dan al-Sya’rāwī terhadap kata ḍayq al-
ṣadr berbeda pada setiap ayatnya.
Menurut penafsiran Hamka, penulis menyimpulkan bahwa ḍayq al-
ṣadr dalam QS. Hūd/11: 12 merupakan bentuk hati yang semula tenang
menjadi jengkel karena kaumnya tidak mau menerima wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam QS. al-Syu’ara’/26: 13 merupakan
perasaan khawatir yang menyebabkan lisan Nabi Musa tidak dapat berkata
fasih. Bersumber dari Allah dalam QS. al-Hijr/15: 97, ḍayq al-ṣadr
digambarkan sebagai rasa sedih karena kaum kafir Quraisy saat itu tidak mau
menerima ajaran yang dibawa Rasulullah. Dalam QS. al-An’ām/6: 125 ini
ḍayq al-ṣadr diibaratkan ketika seseorang sedang mendaki ke langit kemudian
merasakan sesak nafas akibat kekurangan oksigen. Kemudian dalam QS.
Hūd/11: 77 dan QS. al-Ankabūt/29: 33, ḍayq al-ṣadr merupakan perasaan
takut ketika datang para malaikat kepada kaumnya. Ḍayq al-Ṣadr dalam QS.
al-Taubah/9: 118 merupakan rasa takut karena tidak ikut berperang. Dalam
73
QS. al-Taubah/9: 25 ḍayq al-ṣadr diartikan sebagai rasa takut karena
menghadapi jumlah musuh yang jauh lebih besar.
Menurut penafsiran al-Sya’rāwī, penulis menyimpulkan bahwa dalam
QS. Hūd/11: 12 ḍayq al-ṣadr merupakan sikap materialistis yang tertanam
dalam hati seseorang sehingga segala hal yang mustahil menurut mereka tidak
dapat diterima. Ḍayq al-Ṣadr dalam QS. al-Syu’ara’/26: 13 diartikan sebagai
rasa kekesalan diri dan susahnya untuk berbicara dengan baik. Dalam QS. al-
Hijr/15: 97, ḍayq al-ṣadr merupakan perasaan sedih akibat perkataan yang
mereka ucapkan. Kemudian dalam QS. al-An’ām/6: 125, ḍayq al-ṣadr
diibaratkan ketika seseorang sedang mendaki ke langit kemudian merasakan
sesak nafas akibat kekurangan oksigen. Dalam QS. Hūd/11: 77 dan QS. al-
Ankabūt/29: 33, ḍayq al-ṣadr dimaknai sebagai perasaan susah dan sesak dada
Nabi Luth ketika kedatangan para tamu. Dalam QS. al-Taubah/9: 118, ḍayq
al-ṣadr merupakan perasaan takut karena tidak ikut berperang. Kemudian
dalam QS. al-Taubah/9: 25 ḍayq al-ṣadr diartikan sebagai rasa takut karena
menghadapi jumlah musuh yang jauh lebih besar.
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa Hamka dan al-
Sya’rāwī memiliki persamaan dan perbedaan dalam menafsirkan ḍayq al-ṣadr.
Di mana persamaan dari penafsiran keduanya tersebut terletak pada QS. al-
An’ām/6: 125, QS. Hūd/11: 77, QS. al-Ankabūt/29: 33, al-Taubah/9: 118, al-
Taubah/9: 25 dan QS. al-Hijr/15: 97. Dalam QS. al-An’ām/6: 125 bahwa
keduanya sama-sama menafsirkan ḍayq al-ṣadr dengan mengibaratkan ketika
seseorang sedang mendaki ke langit kemudian merasakan sesak nafas akibat
kekurang oksigen. Kemudian dalam QS. Hūd/11: 77, QS. al-Ankabūt/29: 33,
74
al-Taubah/9: 118 , dan al-Taubah/9: 25 bahwa ḍayq al-ṣadr dimaknai oleh
keduanya sebagai rasa takut. Dan dalam QS. al-Hijr/15: 97, keduanya sama-
sama menafsirkan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa sedih.
Sedangkan perbedaan penafsiran dari keduanya terletak pada QS.
Hūd/11: 12 bahwa Hamka mengartikan ḍayq al-ṣadr sebagai rasa jengkel atau
kecewa dan al-Sya’rāwī menafsirkan ḍayq al-ṣadr sebagai sikap matrealistis.
Kemudian dalam QS. al-Syu’ara’/26: 13 bahwa Hamka mengartikan ḍayq al-
ṣadr sebagai rasa khawatir dan al-Sya’rāwī menafsirkan ḍayq al-ṣadr sebagai
rasa kesal.
Adapun dari pendapat kedua mufassir tersebut penulis menarik
kesimpulan bahwa Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat ḍayq al-ṣadr lebih
rinci dibandingkan dengan al-Sya’rāwī, karena dilihat dari metodenya, tafsir
al-Sya’rāwī susah untuk dipetakan, sebab tafsir ini merupakan tafsir bi al-lisan
(hasil pidato atau ceramah).
B. Saran-saran
Kajian mengenai ḍayq al-ṣadr sangatlah penting untuk dikaji, sebab
hampir setiap hari manusia merasakan ḍayq al-ṣadr. Oleh karena itu,
penelitian ini belum cukup sampai di sini, untuk itu penulis berharap agar para
pembaca yang membaca skripsi ini bersedia untuk melajutkan penelitian ini
dengan lebih meluas dan lebih baik lagi. Karena penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dalam penulisan ini meskipun skripsi ini ditulis
dengan semaksimal mungkin, akan tetapi penulis menyadari kemampuan dan
keterbatasan penulis.
75
Dengan adanya skripsi ini, penulis berharap agar kajian mengenai ḍayq
al-ṣadr bisa memberikan pemahaman baru yang akan merevisi cara pandang
kita terhadap masalah-masalah yang kita hadapi sehari-hari. Āmīn..
75
DAFTAR PUSTAKA
Abid, Shohibul dkk. Ulumul Qur‟ān Profil Para Mufassir. Ciputat Timur: Pustaka
Dunia, 2011.
Al-Adnani, Abu Fatiah. Dari Alam Barzakh Menuju Padang Mahsyar. Solo:
Granada, 2013. Cet. I.
Al-„Ainain, Sa‟id Abu. Al-Sya‟rāwī Alladzi lā Na‟rifuh. Kairo: Akhbar al-Yaum,
1995.
Alaydrus, Habib Syarief Muhammad. Agar Hidup Selalu Berkah: Meraih
Ketentraman Hati Dengan Hidup Penuh Berkah. Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2009. Cet. I.
Al-Amāl, Mahmūd Rizq. Tarīkh al-Imām Al-Sya‟rāwī dalam Majalah Manar al-
Islam. no. 6. vol. 27 September, 2001.
Amanah, Siti. Kesedihan Dalam Perspektif al-Qur‟an (Telaah Atas Sebab dan
Solusi Kesedihan Dalam Ayat-Ayat al-Hazan). 2016.
Amir, Mafri dan Lilik Ummi Kaltsum. Literatur Tafsir Indonesia. Jakarta:
Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Cet. I.
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Tangerang: Mazhab Ciputat, 2013. Cet.
II.
Azhim, Said Abdul. Rahasia Kesucian Hati. Jakarta: QultumMedia, 2006. Cet. I.
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur‟an. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2000. Cet. II.
Al-Baghdadi, Abdurrahman. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur‟ân. Jakarta: Gema
Insani, 2007.
Al-Bāqî, Muhammad Fu‟ad „Abd. al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fāz al-Qur‟ān
al-Karīm. Kairo: Dār al-Kutub al-Mishriyah, 1324 H.
Dahlan, Muhammad dan Muhtarom. Menjadi Guru Yang Bening Hati: Strategi
Mengelola Hati. Yogyakarta: Deepublish, 2016. Cet. I.
Dawami, M. Iqbal. Kamus Istilah Populer Islam: Kata-Kata yang Paling Sering
Digunakan di Dunia Islam. t.t: Penerbit Erlangga, 2013.
Departemen Agama RI. al-Qur‟ān dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI,
2009. Cet. IV.
Farid, Ahmad. Tazkiyah an-Nafs. Sukoharjo: Al-Hambra Publishing, 2012.
Faridly, Heri MS dkk. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa, 2008. Cet. I.
76
Fauzi, Muhammad. As-Syeikh Al-Sya‟rāwī : Baina al-Islam wa al-Siyasah. Kairo:
Dar al-Nashr, 1990.
Federspiel, Howard M. Kajian al-Qur‟an di Indonesia. Bandung: Mizan, 1996.
Gulen, Muhammad Fethullah. Tasawuf Untuk Kita Semua. terj. Fuad Syaifudin
Nur. Jakarta: Republika, 2013.
Hamka. Falsafah Hidup. Jakarta: Pustaka Punjimas, 1984. Cet. II.
_______. Tafsir al-Azhar Juz VIII. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984.
_______. Tafsir al-Azhar Juz XII. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1992. Cet. II.
_______. Tafsir al-Azhar Juz X. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984.
_______. Tafsir al-Azhar Juz XI. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982.
_______. Tafsir al-Azhar Juz XIII-XIV. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. Cet. II.
_______. Tafsir al-Azhar Juz XX. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983.
_______. Tasawwuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001.
_______. Tafsir al-Azhar Juz XXI. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1982.
Ichwan, Muhammad Noor. Memasuki Dunia Al-Qur‟an. Semarang: Lubuk Raya,
2001.
Islam, Dewan Ensiklopedia. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve,
1993.
Jauhar, Ahmad al-Marsi Husein. Muhammad Mutawalli Al-Sya‟rāwī : Imam al-
„Asr. al-Qāhirah: Handar Misr, 1990.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Keajaiban Hati. penerjemah Fadhli Bahri. Batavia:
Pustaka Azam, 1999. Cet. I.
_______. Membersihkan Hati Dari Gangguan Setan. Jakarta: Gema Insani, 2004.
_______. Qadha dan Qada: Referensi Lengkap Tentang Takdir Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Hadits. Jakarta: Qisthi Press, 2016.
Katsir, Ibnu Katsir. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. terj. Salim Bahresy.
Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1988. Cet. I.
Al-Mishriy, Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-
Afriqiy. Lisān al-Arab, Jilid 10. Beirut: Darus Shadir, 1994. Cet. III.
Muhajirah, Muhajirah. Konsep Ḍayq al-Ṣadr Dalam al-Qur‟ān (Kajian Tafsir
Tematik). 2012.
77
Muhammad, Herry. Tokoh-Tokoh yang Berpengaruh pada Abad 20. Jakarta:
Gema Insani Press, 2006.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab –Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Al-Mursy, Muhammad Musthafa. Rihlah fī A‟maq Al-Sya‟rāwī . Kairo: Dar al-
Sahwah, 1991.
Najati, Muhammad Utsman. Psikologi Dalam al-Qur‟ān (Terapi Qur‟ani Dalam
Penyembuhan Gangguan Kejiwaan). Bandung: CV Pustaka Setia, 2005.
Cet. I.
Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utara, 2008. Cet. IV.
Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003.
Noor, Acep Zamzam, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus. 33 Tokoh Sastra Indonesia
Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014. Cet.
I.
Purwanto, Agus. Nalar Ayat-Ayat Semesta: Menjadikan Al-Qur‟an Sebagai Basis
Kontruksi Ilmu Pengetahuan. Bandung: Mizan, 2015.
Al-Qarni, „Aidh al-Qarni. Lā Tahzan; Jangan Bersedih!. Penerjemah, Samson
Rahman. Jakarta: Qisthi Press, 2004. Cet. XVIII.
Al-Qorni, Uwes al-Qorni. 60 Penyakit Hati. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2003, Cet. 9.
Riswanto, Arif Munandar. Khazanah Buku Pintar Islam. Bandung: Mizan, 2010.
S. Floriberta Aning. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat
Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di
Abad 20. Yogyakarta: Penerbit NARASI, 2007. Cet. III.
Salim, Abdul Mun‟in. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.
Saltut, Mahmud. Tafsir Al-Qur‟an Al-Karim. Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2000.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Sansa, Muhammad Djarot. Komunikasi Qur‟aniyah Tadzabur Untuk Pensucian
Jiwa. Bandung: Pustaka Islamika, 2005.
Santoso, Mustofa B. Vitamin Shalat: Agar Ringan Bersujud. Bandung: DAR!
Mizan, 2006. Cet. I.
78
Selamat, Muhammad Isa. Penawar Jiwa dan Pikiran. Jakarta: Kalam Mulia,
2005. Cet. III.
Shayyim, Muhammad. Bila Hati Telah Mati: 7 Penyakit Hati Paling Berbahaya
Beserta 6 Obat Penyembuh Dan Penawarnya. Mirqat, 2010.
Shihab, M. Quraish. Ensiklopedi Al-Qur‟ān Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya.
Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997.
_______. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Suparlan. Mendidik Hati Membentuk Karakter: Panduan al-Qur‟an Melejitkan
Hati Memperindah Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015. Cet. I.
Sya‟rāwī , Syekh Muhammad Mutawalli. Tafsir Sya‟rāwī ; Renungan Seputar
Kitab Suci al-Qur‟ān, Jilid. 4. Medan: Penerbit Duta Azhar, 2006. Cet. I.
_______. Tafsir Sya‟rāwī . Penerj. Tim Safir al-Azhar. Jilid 7. Medan: Penerbit
Duta Azhar, 2007. Cet. I.
_______. Tafsir Sya‟rāwī Penerj. Tim Safir al-Azhar. Jilid 10. Medan: Penerbit
Duta Azhar, 2011. Cet. I.
_______. penerjemah Tim Terjemah Safir al-Azhar. Tafsir Sya‟rāwī . Jilid 7.
Medan: Duta Azhar, 2007. Cet. I.
_______. Tafsir Sya‟rāwī ; Renungan Seputar Kitab Suci al-Qur‟ān. Medan:
Penerbit Duta Azhar, 2007. Cet. I.
_______. penerjemah A. hanafi, Tirulah Shalat Nabi: Jangan Asal Shalat.
Bandung: PT Mizania Pustaka.
Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2012. Cet. II.
Tamara, Nasir. Hamka Di Mata Hati Ummat. Jakarta: Sinar Harapan, 1996. Cet.
III.
Tebba, Sudirman. Tafsir Al-Qur‟an: Menyingkap Rahasia Hati. Jakarta: Pustaka
Irvan, 2007.
Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka panji
Mas, 1990.
Zakariyyā, Abu al-Husayn Ahmad bin fāris bin. Mu‟jam al-Maqāyas Fī al-
Lughah. Jilid II. Mesir: Musthafa al-Halabi, 1970.
Jurnal:
79
Sa‟ari, Che Zarrina. Penyakit Gelisah (Anxiety / Al-Halu‟) Dalam Masyarakat
Islam Dan Penyelesaiannya Menurut Psiko-Spiritual Islam. 2001.
Website:
Alwi, Muhammad bin. “Khazanah al-Qur‟an”. Artikel diakses pada pada Selasa,
9 Januari 2018, pukul 16.19 WIB dari
http://www.khazanahalquran.com/apa-sebab-hati-seseorang-susah-
menerima-kebenaran.html
Idrus, Ratna Dewi. “Ketika Hati Terasa Sempit”. Artikel diakses pada Jum‟at, 9
Februari 2018. Pukul 15.30 WIB dari
http://www.google.co.id/amp/s/www.islampos.com/amp/ketika-hati-
terasa-sempit-11524
Media, Accounting. http://accounting-media.blogspot.co.id/2014/06/data-primer-
dan-data-sekunder.html?m=1 diakses pada hari Sabtu, 25 November 2017,
Jam 21.14 WIB.