si tampok pinang · pdf filebanyuasin menerbitkan antologi cerita rakyat banyuasin si tampok...

21
SI TAMPOK PINANG Neny Tryana, dkk SI TAMPOK PINANG Legenda | Dongeng Sekapur Sirih: Irwan P. Ratu Bangsawan, S.Pd., M,Pd. Dewan Kesenian Banyuasin 2011

Upload: lamduong

Post on 11-Feb-2018

291 views

Category:

Documents


24 download

TRANSCRIPT

SI TAMPOK PINANG

Neny Tryana, dkk

SI TAMPOK PINANG Legenda | Dongeng

Sekapur Sirih: Irwan P. Ratu Bangsawan, S.Pd., M,Pd.

Dewan Kesenian Banyuasin

2011

Si Tampok Pinang/ Neny Tryana

Pangkalan Balai, Penerbit Dewan Kesenian Banyuasin

Diterbitkan oleh:

Dewan Kesenian Banyuasin

Hak Cipta © Neny Tryana

Cetakan I, Mei 2011

Sekapur Sirih : Irwan P. Ratu Bangsawan, S.Pd., M.Pd.

Penyunting : Istiqomah, S.Pd., M.Pd.

Pemeriksa Aksara : Irma Pheraliesa, S.Kom.

Desain Sampul dan Isi : Joko Martono

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang

Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1987

tentang Hak Cipta Sebagaimana Telah Diubah dengan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987.

Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan dan tanpa hak melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2

ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana

masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan

dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu

juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7

(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan,

memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada

umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran

Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Isi Buku

Dari Kami Perkembangan sastra daerah di Kabupaten Banyuasin saat ini ibarat ”kerakap tumbuh di batu”. Semuanya serba sulit. Padahal, sastra daerah seperti sastra tutur serambe, saat ini seniman yang masih bisa mementaskannya jumlahnya sudah sangat terbatas. Oleh sebab itu, upaya revitalisasi, dokumentasi, dan publikasi sastra daerah, baik yang lisan maupun yang tertulis, sudah tidak dapat ditunda-tunda lagi. Semua pemangku kepentingan wajib saling membahu untuk menggiatkan kembali sastra daerah sebagai warisan lokal yang berisi pandangan-pandangan dan kearifan para leluhur kita. Berangkat dari pandangan tersebut, Dewan Kesenian Banyuasin menerbitkan antologi Cerita Rakyat Banyuasin Si Tampok Pinang yang dihimpun oleh Neny Tryana, S.Pd. dan sekapur sirih dari Irwan P. Ratu Bangsawan, S.Pd., M.Pd.

Kami berharap upaya ini dapat menjadi langkah awal bagi kita semua untuk terus membina dan mengembangkan sastra daerah di Bumi Sedulang Setudung ini.

Pangkalan Balai, 2011 Badan Pengurus Harian Dewan Kesenian Banyuasin

Hazairin H. Zabidi

Ketua

Sekapur Sirih

REVITALISASI SASTRA DAERAH Oleh: Irwan P. Ratu Bangsawan

Saat ini sastra daerah seperti sastra tutur serambe di Banyuasin sudah sangat jarang ditampilkan. Serambe adalah seni bercerita di mana sang penutur bercerita dengan menggunakan syair sambil duduk di atas panggung. Cabang seni tradisional khas Banyuasin ini dapat dikatakan sudah hampir punah. Sebagai contoh, di Kota Pangkalanbalai, yang masih bisa ber-serambe adalah Saudara Affanul Z. Khair. Semakin tersingkirnya sastra tutur sebenarnya bukan hanya dialami serambe saja, melainkan hampir di semua cabang sastra tutur lainnya yang ada di Sumatera Selatan. Bermacam-macam sastra tutur itu, antara lain Njang Panjang dan Bujang Jelihim (Ogan Komering Ulu), Jelihiman (Ogan Ilir), Senjang (Musi Banyuasin dan Banyuasin), Geguritan, Betadur, dan Tangis Ayam (Lahat), serta Nyanyian Panjang dan Bujang Jemaran (Ogan Komering Ilir). Pengamat sastra dari Universitas Sriwijaya Latifah Ratnawati, mengungkapkan bahwa saat ini guru-guru sekolah sudah jarang yang memahami tradisi sastra lisan (tutur), seperti pitutur Bujang Jelihim, pertunjukan cerita Putri Dayang Merindu, dan dongeng Putri Pinang Masak. Dari survei yang pernah dilakukan, hanya 40 persen dari sekitar 100 guru SD di Sumatera Selatan yang mengetahui nama-nama sastra tradisi itu. Padahal, karya-karya itu telah hidup di masyarakat Sumatera Selatan sejak ratusan tahun

Irwan P. Ratu Bangsawan, S.Pd., M.Pd. Pekerja Seni dan Sekretaris BPH Dewan Kesenian Banyuasin

silam. Jika kekayaan tradisi itu benar-benar punah, masyarakat Sumatera Selatan akan kehilangan akar budaya yang membentuk karakternya. Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra tutur dapat digunakan untuk menularkan kearifan lokal kepada generasi muda.

Sastra Tutur dan Bahasa Daerah

Di tahun 1970-an hingga awal 1980-an, penulis biasa berbicara dalam Bahasa Melayu dialek Lalang. Ketika itu, penduduk Desa Lalang Sembawa, Kecamatan Sembawa, Banyuasin sebagian menggunakan bahasa lokal Melayu dialek Lalang dan sebagian menggunakan Bahasa Jawa. Bahasa Jawa dipakai oleh masyarakat keturunan Jawa yang memang banyak di sana. Namun, saat ini penulis turut menyaksikan berangsur-angsur punahnya Bahasa Melayu dialek Lalang tersebut. Penyebabnya adalah migrasi penduduk dari berbagai daerah yang menyebabkan perlunya lingua franca (bahasa penghubung) baru. Pilihan lingua franca jatuh pada Bahasa Melayu dialek Palembang. Akibatnya bisa ditebak, Bahasa Melayu dialek Lalang menjadi tersingkir dan bukan mustahil 10-15 mendatang, dialek tersebut akan benar-benar punah. Sastra tutur merupakan media yang tepat untuk melestarikan bahasa daerah maupun dialeknya sebab sastra tutur merupakan sastra tradisional yang menggunakan media bahasa daerah. Upaya merevitalisasi sastra tutur juga dapat diartikan sebagai upaya untuk melestarikan penggunaan bahasa daerah ataupun dialeknya dalam masyarakat.

Revitalisasi sastra tutur saat ini sudah merupakan keharusan yang tak dapat ditunda-tunda lagi. Pemerintah dan masyarakat harus saling membahu untuk melestarikan sastra tutur dan juga bahasa daerah.

Sastra Banyuasin dan Bahasa Daerah

Sastra yang ditulis dalam Bahasa Melayu Banyuasin hingga saat ini dapat dikatakan belum ada yang dipublikasikan. Akibatnya, kita kesulitan untuk mendokumentasikan perkembangan sastra daerah Banyuasin.

Tidak terdeteksinya perkembangan tersebut tentu saja merupakan kerugian tersendiri bagi kita sebab sastra daerah merupakan salah satu bentuk kearifan lokal dari suatu daerah dalam bentuk bahasa. Kemunduran sastra daerah merupakan salah satu bentuk kemunduran bahasa daerah juga.

Secara genealogis, sastra Banyuasin merupakan rumpun sastra Melayu Islam. Di Banyuasin, sastra daerah yang pernah berkembang adalah teater rakyat Dul Muluk. Dalam Dul Muluk, syiar Islam sangat kental sebab biasanya hanya ditampilkan dalam acara-acara yang sangat sakral semacam acara khitanan. Pantun dan seloka Melayu mengalir deras dalam pentas Dul Muluk. Menurut sejarahnya Dul Muluk merupakan sastra tutur yang dibacakan Ahmad Bakar atau akrab dipanggil Wan Bakar, warga keturunan Arab.

Walaupun seperti menegakkan benang basah, sastra daerah Banyuasin harus sudah mulai diperhatikan. Sekolah-sekolah sudah harus mengajarkan Bahasa Melayu Banyuasin dalam kurikulum muatan lokal mereka. Selain itu, perlu juga diajarkan kembali huruf arab pegon (arab jawi atau arab gundul).

Penguasaan bahasa daerah yang baik akan sangat membantu dalam produksi sastra daerah. Sebaliknya, perkembangan sastra daerah akan sangat menunjang tetap terpeliharanya bahasa daerah dalam warisan lokal kita. Kita tentu tidak ingin bahasa daerah kita akan punah pada suatu hari nanti.

Revitalisasi Sekarang Juga

Terpuruknya sastra daerah mau tidak mau harus segera mendapat perhatian dari semua pihak, terutama di Kabupaten Banyuasin, seperti Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata Seni Budaya Pemuda dan Olahraha, dan Dewan Kesenian Banyuasin. Sastra daerah harus segera direvitalisasi. Secara leksikon, revitalisasi sastra daerah bermakna menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai kegiatan kesenian sastra daerah.

Revitalisasi tidak hanya menyangkut dipentaskannya kembali sastra daerah dalam berbagai festival, tetapi juga harus menyentuh aspek bagaimana mengemas kembali sastra tersebut

dalam format yang lebih atraktif sehingga layak untuk bersaing dengan berbagai budaya pop yang saat ini sudah sangat menggurita.

Seperti kata pepatah, sastra daerah saat ini ”ibarat kerakap tumbuh di batu, hidup enggan mati tak mau”. Geliat sastra daerah yang semakin menyuram bukan tak mungkin suatu saat ia benar-benar mati dan tinggal cerita indah saja untuk dikenang. Sudah mulai berkurangnya orang yang bisa bersastra daerah juga bisa menjadi lampu kuning bagi kelangsungan hidup sastra daerah ini. Para pelakunya rata-rata sudah berusia di atas 50 tahun dan mereka tidak memiliki kader yang akan menggantikan mereka kelak.

Masyarakat, terutama kaum muda, harus dikenalkan kembali dengan khasanah kesenian tradisional semacam sastra tutur serambe di atas. Dalam berbagai kegiatan pribadi maupun publik, sastra daerah sudah harus kembali ditampilkan, walaupun mungkin untuk tahap awal hanya merupakan selingan. Dengan berbagai modifikasi dan pelatihan yang memadai, sastra daerah masih bisa berharap untuk eksis di tengah masyarakat. Masyarakat sesungguhnya masih memiliki memori tentang masa lalu mereka. Namun, karena kesibukan dan perubahan zaman, masyarakat menjadi abai dengan warisan leluhur yang sesungguhnya memiliki begitu banyak ajaran moral dan tuntunan kehidupan. Dekadensi moral seperti saat ini, salah satunya disebabkan karena masyarakat sudah ”kehilangan” nilai-nilai moral yang harus mereka anut. Sastra daerah Banyuasin yang berbasis budaya Melayu Islam, dapat merupakan penawar dahaga di tengah lautan kehidupan yang semakin gersang seperti saat ini ☼

ASAL-USUL NAMA DESA RIMBA TERAP

Diceritakan kembali oleh Neny Tryana dan Mentari

Zaman dahulu kala hiduplah seorang putri. Ia tinggal bersama beberapa prajuritnya. Ia menyimpan banyak emas. Suatu hari datanglah para perampok ke desa tempat tinggal putri. Para perampok sengaja datang ke desa itu karena mereka mengetahui bahwa putri menyimpan banyak emas. Perampok yang datang hendak mengambil emas yang dimiliki putri terkenal sangat jahat dan keji. Kedatangan perampok diketahui putri. Putri dan prajuritnya segera menyelamatkan diri dengan cara melarikan diri. Dalam perjalanan putri dan prajurit membawa 7 kendi emas. Mengetahui putri melarikan diri, para perampok pun mengejar. Putri pun berlari sejauh mungkin hingga mereka menemukan tempat bersembunyi. Setelah lama mereka bersembunyi, perampok pun mengetahui di mana putri dan prajurit berada. Sebelum perampok itu menemukan putri, mereka segera pergi. Putri bersama prajuritnya berjalan melewati sungai memakai perahu hingga sampailah mereka di suatu daerah. Di daerah tersebut banyak terdapat pohon serdang. Mereka pun beristirahat di

daerah tersebut. Cukup lama mereka beristirahat hingga mereka memutuskan untuk tinggal beberapa hari.

Suatu pagi, putri berjalan di sekitar pepohonan. Diamatinya pohon-pohon yang ada. Mata putri tertuju pada sebatang pohon yang berduri. Ia sangat penasaran. Segera didekatinya pohon tersebut. Diamatinya dengan teliti, “Batang pohon ini sangat unik. Apa ya yang membedakannya dengan pohon lain?” tanya putri dalam hati. Ternyata, batang pohon tersebut menyerupai manusia. Pohon itu seolah tersenyum pada putri. Putri sangat terkejut melihat keanehan tersebut.

“Batang ini seperti ajaib,” kata putri pada prajuritnya. Prajuritnya pun bersama-sama memperhatikan pohon tersebut. “Alangkah enak jika kita tinggal di sini, Prajurit. Bagaimana kalau kita tinggal di sini saja. Lagi pula perampok tidak akan mengetahui kalau kita tinggal di sini.”

“Kami setuju, Putri, ” jawab prajurit bersamaan. Mereka pun tinggal di batang ajaib itu.

Beberapa bulan kemudian datanglah seorang laki-laki. Setelah melihat putri ia langsung jatuh hati. Ia langsung memersunting putri. Putri pun menyetujuinya. Setelah ditentukan harinya, menikahlah putri dengan laki-laki tersebut.

Setelah menikah, laki-laki itu mengajak putri tinggal di suatu tempat. Tempat tersebut banyak terdapat rimba. Di sana banyak pohon terap. Mereka hidup bahagia di sana dan mempunyai anak. Ketika anaknya beranjak dewasa, anaknya sering sakit-sakitan. Orang tuanya telah pergi ke semua tabib untuk menyembuhkan anaknya. Namun, semua itu belum mendatangkan hasil.

Suatu hari putri mendapatkan kabar adanya seorang tabib yang mampu mengobati berbagai penyakit. Putri dan suaminya pun segera datang ke tabib yang sudah terkenal tersebut. Tabib itu menjelaskan bahwa anak mereka tidak boleh tidur di bawah daun pisang.

Mereka pun pulang dan segera melaksanakan pesan tabib. Setelah beberapa hari menuruti apa kata tabib itu, anak mereka

berhasil sembuh. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, anak mereka kembali sakit, bahkan penyakitnya bertambah parah. Mereka hanya bisa pasrah karena belum ada yang bisa menyembuhkan penyakit anak mereka. Suatu hari laki-laki itu pergi ke salah satu rimba pohon terap yang tak jauh dari rumah mereka. Ia mendapat ide untuk membawa anaknya ke rimba tersebut. Setelah dibawa ke rimba terap, anak mereka pun sembuh dan tidak pernah sakit lagi. Laki-laki itu pun berpikir untuk memberikan nama daerah tempat tinggalnya dengan nama pohon terap. Putri menyetujui usul suaminya. Mereka sepakat memberi nama daerah mereka dengan nama Desa Rimba Terap. Desa Rimba Terap sekarang terletak di Kecamatan Betung, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan ☼

PUTRI REJUNG

Diceritakan kembali oleh Neny Tryana dan

Biduri Bulan

Zaman dahulu hiduplah seekor kerbau yang mempunyai tiga anak manusia. Semua anaknya perempuan. Anaknya yang pertama bernama Putri Lebak, anaknya yang kedua Putri Penengah, dan anaknya yang bungsu bernama Putri Rinduwati. Kerbau itu menitipkan anaknya ke masing-masing rejung (bambu) muda. Seiring bertambahnya waktu, rejung tersebut membesar dan anak-anak kerbau pun menjadi dewasa. Mereka pun telah menemukan jodohnya masing-masing. Mereka juga masing-masing mempunyai rejung. Suatu hari si kerbau mencari tiga anaknya untuk melepas kerinduannya. Si kerbau mencari anak pertamanya Putri Lebak. Ia bertanya dengan seorang petani yang sedang di sawah. “Wahai petani, di mana anak pertamaku Putri Lebak?” “Di sana, di rejung yang besar. Di sana Putri Lebak tinggal bersama suaminya,” jawab petani. “Terima kasih,” jawab si kerbau. Segera kerbau menemui Putri Lebak di dekat rejung yang besar.

“Putri Lebak, Putri Penengah, Putri Rinduwatiku,” bertutur kerbau dengan dengan nada sangat lembut sambil berjalan menuju tempat Putri Lebak. Setelah sampai di rejung yang besar tempat Putri Lebak. Si kerbau masuk ke rumah Putri Lebak. “Anakku Putri Lebak, apa kabarmu?” “Siapa kau?” “Aku ibumu, anakku. Aku sangat rindu padamu.”

“Bohong!” teriak Putri Lebak dengan kasar. “Benar anakku, aku ibumu.” “Tidak mungkin! Tidak mungkin aku mempunyai ibu yang

jelek seperti kamu!” “Demi Tuhan anakku, Ibu tidak bohong. Aku Ibumu. Ibu

yang melahirkanmu,” jawab si kerbau sambil menangis. “Pergi kau dari hadapanku, aku tidak sudi punya ibu seekor kerbau jelek sepertimu,” hardik Putri Lebak.

Si kerbau mencoba bertahan di tempat Putri Lebak. Melihat si kerbau tetap bertahan, Putri Lebak mengambil batu yang besar dan langsung melemparkan batu besar tersebut ke kepala ibunya. Sambil merasakan kepedihan yang dalam, kerbau pergi dari tempat anaknya.

Kerbau pun melanjutkan perjalanannya mencari putri keduanya, yakni Putri Penengah. Dalam perjalanannya, kerbau bertemu dengan seorang nelayan. “Wahai nelayan, di mana anakku Putri Penengah?” tanya si kerbau kepada nelayan tersebut.

“Putri Penengah ada di rejung yang besar. Di sana ia hidup dengan suaminya,” jawab nelayan.

“Terima kasih,” kata si kerbau. Tanpa membuang waktu kerbau langsung pergi menemui

Putri Penengah. Sambil berjalan menuju tempat Putri Penengah, kerbau

kembali bertutur dengan nada sangat lembut, “Putri Lebak, Putri Penengah, Putri Rinduwatiku.”

Setelah lama berjalan, sampailah si kerbau di rejung yang besar tempat Putri Penengah tinggal.

“Putri Penengah anakku, bagaimana kabarmu?” “Siapa kau?” “Aku Ibumu, anakku.” “Bohong! Aku tidak punya ibu sepertimu.” “Benar anakku, aku Ibumu.” “Jangan membual. Enyahlah kau sekarang. Aku tidak punya

ibu seekor kerbau, bau dan jelek sepertimu!” teriak Putri Penengah sambil melemparkan sebuah batu besar. Batu besar yang dilempar Putri Penengah tepat mengenai kepala si kerbau. Darah segar langsung mengucur deras dari kepala si kerbau.

Dengan hati yang sedih dan sambil menahan sakit karena luka di kepalanya ia pun pergi dari tempat anaknya Putri Penengah. Si kerbau merasakan luka di kepalanya sangat sakit. Namun, sakitnya tidak seberapa dibandingkan sakit hatinya karena perlakuan kedua anaknya.

Si kerbau pun melanjutkan perjalanan mencari anak ketiganya, Putri Rinduwati. Dalam perjalannya ia bertemu dengan seorang yang sedang menjemur padi. “Wahai seorang penjemur padi, di manakah anakku Putri Rinduwati?” “Putri Rinduwati ada di rejung yang besar di sana. Ia hidup dengan suaminya.” “Terima kasih,” ucap si kerbau senang.

Si kerbau pun langsung pergi menuju rejung tempat Putri Rinduwati. Dalam perjalanannya, kerbau kembali bertutur dengan lemah lembut, “Putri Lebak, Putri Penengah, Putri Rinduwatiku.”

Cukup lama ia berjalan hingga sampailah ia setelah sampai di rejung yang besar tempat putrinya, Putri Rinduwati. Mendengar ibunya menyair namanya, Putri Rinduwati pun mendekati si kerbau. Segera dibersihkannya darah-darah yang mengalir dari kepala si kerbau. Luka di kepala si kerbau segera diobatinya. Putri Rinduwati pun mengajak si kerbau tinggal dengannya. Putri Rinduwati sangat menyayangi si kerbau. Sikapnya sangat berbeda dengan kedua saudaranya. Ia tidak pernah bersikap kurang ajar dengan ibunya. Akan tetapi, mereka tinggal bersama tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian si kerbau, yakni ibunya meninggal dunia.

Suatu hari setiap orang lewat di depan rejung milik Putri Lebak, mereka mengisi rejung besar tersebut dengan kotoran-kotoran hewan dan batu-batuan. Karena terlalu banyak, rejung tersebut jatuh dan menimpa rumah Putri Lebak. Demikian juga ketika orang-orang lewat di depan rejung milik Putri Penengah. Orang-orang menganggap rejung milik Putri Penengah sangat jelek hingga mereka mengisi rejung tersebut dengan kotoran-kotoran dan batu-batuan. Rejung tersebut pun jatuh dan menimpa rumah Putri Penengah. Sementara itu, orang-orang pun lewat di depan rejung milik Putri Rinduwati. Mereka mengisi emas dan uang ke rejung tersebut. Semua ini adalah balasan bagi Putri Rinduwati yang berbakti pada ibunya. Balasan yang jahat menimpa Putri Lebak dan Putri Penengah yang durhaka pada ibunya ☼

PAK PANDIR

Diceritakan kembali oleh Neny Tryana dan

Rismitha Andini

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang laki-laki yang bernama Pak Pandir. Pak Pandir tinggal bersama istri dan putra tunggalnya yang masih kecil. Setiap harinya Pak Pandir memenuhi kebutuhannya dengan cara memancing dan menangkap burung. Suatu hari Pak Pandir pergi menangkap burung punai, Setelah mendapatkan seekor burung, ia langsung melepasnya sambil berkata, “Hai burung, pergilah kau ke rumahku. Temuilah Mak Mandir dan mintalah ia menyembelihmu untuk dimasak sebagai lauk makan siang ini.”. Hal yang sama juga dilakukan Pak Pandir pada setiap burung yang berhasil ia tangkap. Tujuh burung yang ia dapatkan selalu dilepaskan. Setelah merasa lelah dan Pak Pandir sudah merasakan lapar, ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Pak Pandir segera menemui istrinya yang sedang memasak di dapur. “Mak, mana pindang burung punai tadi?” tanya Pak Pandir dengan semangat. Mak Mandir bingung dengan karena tidak tahu apa yang dimaksudkan suaminya. Ia balik bertanya kepada suaminya. “Apa yang kamu maksudkan, Pak?”.

“Tadi saya menangkap burung. Setiap burung yang berhasil saya tangkap saya suruh ke sini untuk disembelih dan dimasak olehmu,” jawab Pak Pandir santai dengan cara bicaranya cedal. “Ya ampun Pak, alangkah bodohnya kamu. Yang namanya burung itu kalau dilepaskan pasti mereka kabur,” keluh istrinya kesal. Pak Pandir hanya diam saja. Ia duduk tanpa rasa bersalah mendengar ucapan istrinya. Keesokan harinya Pak Pandir kembali pergi menangkap burung di hutan.

“Kalau sudah dapat burungnya, jangan lupa diikatkan di kayu atau di kaki Bapak supaya burungnya tidak terbang!” pesan istrinya sebelum Pak Pandir pergi.

“Iya,” jawab Pak Pandir singkat seraya menuju hutan. Belum lama berburu, sudah ada seekor burung yang berhasil ia dapatkan. Sesuai pesan Mak Mandir, ia segera mengikatkan burung yang ditangkapnya di kakinya. Selanjutnya banyak sekali burung yang berhasil yang ia tangkap. Selain mengikatkan burung yang didapatnya pada kakinya, ia juga mengikatkan pada tangan dan kedua kakinya. Karena begitu banyak burung yang dia ikatkan pada tubuhnya, Pak Pandir pun terbang jauh oleh burung-burung itu. Akan tetapi, karena semakin lama menahan tubuh Pak Pandir yang berat, tali-tali pengikat burung Pak Pandir tersebut putus dan lepas. Akibatnya, Pak Pandir terjatuh. Pak Pandir sangat beruntung. Ia jatuh di atas istana raja dan dilihat oleh putri tunggal raja. “Kak, apa pekerjaan kakak di sana? Dari mana kakak berasal?” tanya Putri dengan ramah. “Oh, kakak dari kahyangan,” jawab Pak Pandir berbohong. Sementara di kakinya masih ada tali-tali bekas ikatan burung-burung tadi. Tali-tali itu pun langsung dilepasnya karena ia malu dan takut ketahuan putri. Putri pun menyuruh Pak Pandir turun dan mengajaknya menghadap raja. “Apa benar kamu berasal dari kahyangan?” tanya Raja kepada Pak Pandir untuk meyakinkan. “Iya,” jawab Pak Pandir kembali berbohong.

Hal Ini merupakan suatu kebahagiaan bagi raja dan putrinya. Selama ini raja menunggu-nunggu kehadiran seorang dari kahyangan untuk dinikahkan dengan putrinya. Raja pun berniat untuk menikahkan Pak Pandir dengan putrinya.

Beberapa hari sebelum pesta pernikahan digelar, raja memerintahkan prajuritnya untuk mengundang warga-warga dari tujuh desa ke timur, tujuh desa ke barat, tujuh desa ke utara, dan tujuh desa ke selatan. Pesta pun digelar selama tujuh hari tujuh malam. Setelah selesai pesta, pagi harinya Pak Pandir bangun dan membuat api di bawah istana raja sambil melamun. Dalam lamunannya Pak Pandir teringat dengan istri dan anaknya.

“Bagaimana kabar anak dan istriku?” gumamnya dengan keras. Raja pun mendengar ucapan Pak Pandir tersebut. “Hah, ternyata kamu Pak Pandir, bukan pangeran dari kahyangan,” tegur Raja dengan keras. “Benar, Raja.” “Berarti engkau sudah membohongiku. Engkau harus dihukum seberat-beratnya,” hardik raja dengan gusarnya. Karena pada zaman itu tidak ada hukum yang berlaku, Raja menghukum Pak Pandir dengan cara menguliti bagian atas kepala Pak Pandir. Pak Pandir menjerit kesakitan. Kulit kepalanya terlepas. Darah bercucuran keluar. Kepalanya jadi berwarna merah berlumuran darah. Dalam kondisi yang seperti itu, Pak Pandir pulang ke rumahnya. Ia berjalan dengan dengan langkah tergopoh-gopoh dan menahan rasa perih di kepalanya.

Ketika sudah mendekati rumahnya, dari kejauhan anaknya melihat Pak Pandir pulang. Anaknya pun bersorang kegirangan, “Hore… hore bapak pulang! Bapak pulang pakai peci merah.” “Dasar keparat! Tidak tahu apa kepala orang sakit perih begini dibilang peci merah!” gerutu Pak Pandir sambil terus berjalan mendekati rumahnya.

“Alhamdulillah, bapak pulang. Bapak pulang dengan memakai peci merah,” seru Mak Mandir bahagia. Sampai di rumah, Pak Pandir langsung duduk di teras rumahnya karena kelelahan. “Apa yang terjadi dengan kepalamu, Pak?” tanya istrinya setelah melihat kondisi suaminya dari dekat. Istrinya segera membersihkan kepala Pak Pandir, mengobatinya, dan membalut kepala Pak Pandir.

Di teras rumahnya Pak Pandir beristirahat sambil menceritakan apa yang dialaminya kepada anak dan istrinya. “Alangkah bodohnya kamu, Pak! jangan mau disakiti orang seperti itu!” sesal istrinya. “Tidak apa Mak, yang penting sekarang saya sudah selamat. Saya senang sekarang kita bisa berkumpul lagi,” jawab Pak Pandir pasrah dan sekaligus bahagia. Mereka sekeluarga pun berbahagia karena dapat berkumpul bersama lagi ☼

BETU BELAH BETU BETANGKOP

Diceritakan kembali oleh Neny Tryana dan

Anggun Zarela

Dahulu kala di Pangkalan Balai hiduplah seorang janda bersama dengan kedua anaknya. Anaknya yang pertama masih berumur 10 tahun dan anaknya yang kedua masih bayi. Kedua anaknya telah menjadi yatim. Mereka hidup sangat sederhana. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibunya mencari apa saja yang ada di hutan untuk dimakan. Sesekali Ibunya juga mencari ikan di sungai. Suatu hari ibunya mencari ikan di sungai dan ia berhasil mendapat seekor ikan mas yang cukup besar. Segera ikan mas tersebut dibawanya pulang. Sampai di rumah ikan mas yang didapatnya langsung dibersihkan dan dimasaknya. Setelah matang, ikan mas tersebut disimpannya dalam lemari. Ia pun pergi ke hutan. Sampai di hutan ibunya langsung mencari jangkrik. Selama berjam-jam ia mencari jangkrik untuk santapan ia dan anak-anaknya dan juga untuk dijual. Uang hasil penjualan jangkrik digunakan untuk membeli kebutuhan yang diperlukan. Setelah mendapatkan jangkrik yang banyak, ia pulang ke rumahnya. Sampai di rumah, ia menyimpan jangkrik yang didapatnya. Karena kelaparan, ia bermaksud makan. Akan tetapi, ia sangat kecewa. Makanan telah habis. Tidak sedikitpun disisakan oleh anaknya. Apa boleh buat. Ibunya hanya bisa menahan lapar.

Ternyata, kenakalan anaknya tidak sampai di situ. Perbuatan anaknya kembali mengecewakan ibunya. Jangkrik-jangkrik yang ditangkap ibunya dari sore hingga malam itu dimain-mainkannya dan dilepaskannya begitu saja. Berterbanganlah seluruh jangkrik yang telah dengan susah payah ditangkap ibunya. Ibunya mencoba kembali menangkap jangkrik yang ada, tetapi sia-sia, jangkrik-jangkrik itu sudah berterbangan ke sana ke mari. Apa boleh buat, ibunya menangis melihat sikap anaknya yang kurang ajar terhadapnya. Untuk melepaskan kekecewaannya, Ia pun pergi ke hutan. Lama ia berjalan hingga ia sampai di sebuah batu yang sangat besar. Ia berhenti berjalan dan berdiri di balik batu tersebut. Ia menumpahkan tangisnya dan menangis di batu besar tersebut. “Ya Tuhan, alangkah kurang ajar anakku,” ucapnya sambil terisak. “Ya Tuhan, temukanlah aku dengan betu belah betu betangkop. Biar aku ditelannya dan aku tidak akan bertemu lagi dengan anakku.” “ Diamlah kau! Akulah betu belah betu betangkop yang kau cari. Aku akan menelanmu jika kau mau,” ujar batu besar yang ia duduki. Seketika batu itu terbelah dua dan langsung menelannya. Hanya jari jempolnya yang tersisa di luar batu. Setelah menunggu lama ibunya pergi dan belum pulang-pulang, anaknya mulai khawatir. Anaknya mulai merasa bersalah akan kelakuan yang ia perbuat pada ibunya. Ia pun memutuskan untuk mencari ibunya di hutan. Ia pergi ke hutan sambil menggendong adiknya yang masih bayi. Sambil berjalan, ia terus menjerit memanggil ibunya. “ Umak... Umak, engkau di mana?” jeritnya sambil berjalan ke sana ke mari. “Oi umakku, maafkan aku. Aku telah bersikap kurang ajar.” Ia mulai menangis, “Umak, aku berjanji tidak akan berbuat nakal lagi padamu.” Tiba-tiba ia teringat dengan perkataan ibunya bahwa di dalam hutan terdapat betu belah betu betangkop. Menurut ibunya, batu tersebut dapat menelan manusia. Ia pun memutuskan mencari batu

tersebut sesulit apapun rintangan yang akan ia hadapi. Ia terus mencari sambil bertembang, “betu belah, betu betangkop, jengan kau telan umakku, kau di mane” Ia terus menjerit memanggil ibunya. dan tidak henti-hentinya bertembang, “betu belah, betu betangkop, jengan kau telan umakku, kau di mane” “betu belah, betu betangkop, jengan kau telan umakku, kau di mane” Adiknya yang masih bayi pun menangis. Adiknya menangis karena kelaparan. Adiknya ingin menyusu dengan ibunya. Tiba-tiba sebuah batu besar memanggilnya, “Hei anak kecil, cepatlah ke sini!” teriak sebuah batu. “Siapa kamu?” “Akulah batu yang kau cari.” “Di mana umakku?” “Umakmu sudah kumakan. Sekarang potonglah jempol tangan umakmu ini dan berikanlah pada adikmu,” ujar batu. Anaknya segera menuruti perintah si batu. Dipotongnyalah jempol Ibunya dan diberikannya kepada adiknya. Jempol ibunya menjadi pengganti ASI dari ibunya untuk adiknya. Setelah memberikan jempol ibunya kepada adiknya, ia secepatnya berlari meninggalkan hutan. Ia terus mengingat kejadian itu sampai tua. Sejak saat itu kedua anak tersebut menjadi yatim piatu ☼

PUTRI SERAPAH

Diceritakan kembali oleh Neny Tryana dan

Nia Indah Pratiwi

Alkisah pada zaman dahulu terdapat sebuah kerajaan yang

sangat terkenal di Pangkalan Balai. Kerajaan tersebut dipimpin oleh raja yang sangat bijaksana. Ia mempunyai seorang istri yang sangat pengertian kepadanya. Ia juga mempunyai seorang putri yang sangat cantik, Kecantikannya terkenal diseluruh penjuru negeri. Raja sangat menyayangi anak dan istrinya. Ia juga selalu mengambil keputusan yang sangat bijak. Ia membuat peraturan yang sesuai dan dipatuhi warga kerajaannya. Putri yang juga dihargai serta dihormati oleh semua warganya itu, selalu mendapatkan perhatian yang lebih. Apalagi ia memiliki paras yang sangat cantik. Tidak salah jika ia banyak disukai para pemuda dan pangeran-pangeran dari negeri lain. Satu hal yang sangat tidak disukai putri adalah bersumpah. Ia sangat membenci yang namanya bersumpah. Selain itu, ada satu kekurangan putri yang cukup mengganggu yaitu ia selalu mengambil keputusan secara gegabah. Akan tetapi, ia menyadari kekurangannya. Ia selalu mencoba untuk mengubah sikap gegabahnya itu.

Suatu hari putri bertemu dengan seorang pemuda yang sangat tampan. Si pemuda bersikap sangat baik terhadap putri. Semua kehendak putri selalu diturutinya. Pemuda tersebut

mengetahui bahwa putri sangat kaya raya. Ia mempunyai harta yang berlimpah ruah. Karena selalu bersikap baik kepada putri, hubungan putri dan pemuda itu semakin dekat. Putri dan pemuda tersebut terlihat selalu jalan berdua. Pemuda itu pun setiap hari menyempat diri mengunjungi putri di kerajaannya. Karena kepandaiannya mengambil hati raja, raja pun menyukainya. Ia sangat pandai menunjukan sifat yang baik kepada raja dan putri. Setidaknya raja dan putri menganggap pemuda itu orang baik-baik. Semakin lama raja dan putri terpengaruh akan kebaikan pemuda itu. Raja pun menyetujui hubungan antara putri dan pemuda itu. Pemuda itu sangat senang dengan keputusan raja. Pemuda itu bermaksud untuk melamar sang putri untuk dijadikannya istri. Sang putri menerima tawaran dari pemuda. Mereka lalu menikah dan hidup bersama.. Ketika ia telah menjalani hidup dengan putri, ia memulai aksi ingin merebut tahta dan harta dari raja. Hal pertama yang dilakukannnya adalah membunuh raja. Ia memberikan racun pada makanan raja. Karena tidak tahu makanan yang disajikannya mengandung racun, seperti biasa raja menyantap makanannya. Tidak lama setelah menyantap makanan yang telah diracun, raja meninggal dunia. Sepeningggal raja, seketika tahta kerajaan dikuasai oleh pemuda tersebut. Mulanya putri tidak mengetahui niat jahat suaminya. ia hanya mengikuti peraturan yang ada. Ketika Putri mengetahui niat jahat suaminya, ia memerintahkan prajuritnya untuk menangkap suaminya. Akan tetapi apa daya, malah ia yang ditangkap prajuritnya dan akan dibunuh oleh suaminya sendiri.

Putri bersumpah, “Jika kau ingin membunuhku, silahkan! Akan tetapi, ingatlah, kerajaan ini akan hancur dan menjadi sebuah serapah.” “Aku tidak percaya ucapanmu!” jawab suaminya.

Ia pun langsung memanggil prajuritnya, “Prajurit, kemari!” “hamba tuanku.” “Cepatlah kau bunuh wanita ini.”

Prajurit pun langsung membunuh putri. Setelah putri dibunuh, kerajaan itu hancur karena sebuah serapah. Kerajaan itu menjadi batu kemudian menghilang selamanya. Pemuda yang menjadi suami dari putri menjelma menjadi sebuah batu besar yang terdapat di aliran Sungai Tampok Penen ☼

ASAL USUL DESA GALANG TINGGI

Diceritakan kembali oleh Neny Tryana

Alkisah pada zaman dahulu terdapat sebuah desa terpencil,

yaitu Desa Tanjung Remas. Desa ini dipimpin oleh seorang pemangku adat bernama Herkut. Selama ia berkuasa, banyak sekali rakyat yang menderita karena kekejamannya. Akan tetapi, pertanian di daerah ini berkembang dengan pesat. Setelah menjadi orang yang berkuasa di daerah tersebut, ia mempersunting seorang gadis yang bernama Cik Atel. Mereka berdua hidup rukun dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Bujang Henya.

Henya tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan. Semua yang melihat Henya akan terpesona dan terkagum-kagum dengan ketampanannya, sehingga tidak heran semua gadis desa mendambakan Henya menjadi kekasih mereka. Ketika Henya masih remaja, ayahnya meninggal dunia. Semua harta kekayaan ayahnya jatuh kepadanya karena ia anak semata wayang. Kekuasaan ayahnya pun jatuh pada Henya. Ia pun memerintah di desa tersebut. Henya memerintah lebih baik daripada ayahnya. Ia berhasil mendirikan pabrik penggilingan padi, sehingga dapat meringankan beban penderitaaan rakyat setelah dikuasai ayahnya yang penuh dengan penindasan dan kekejaman.

Belum lama ayahnya meninggal, ibunya pun menyusul. Ibunya meninggal tepat pada saat Henya akan mempersunting seorang gadis cantik keturunan Bangsa Arab. Ibunya meninggal

karena serangan penyakit yang sama seperti ayahnya, yaitu demam berdarah.

Pernikahan Henya dengan gadis keturunan Arab yang dicintainya tetap berlanjut. Setahun menikah, mereka dikaruniai anak kembar. Anak kembar tersebut mereka beri nama Jebah dan Baker.

Seiring bertambahnya waktu, Jebar dan Baker pun tumbuh besar. Akan tetapi, musibah kembali menghampiri keluarga mereka. Tidak disangka Baker jatuh sakit dan meninggal karena penyakit yang sama dengan kakek dan neneknya. Jebah sangat sedih karena ia telah kehilangan orang yang disayanginya. Ia juga kehilangan teman bermain.

Kehidupan masyarakat di desa tersebut semakin lama semakin baik. Mereka sudah tahu bagaimana cara beternak hewan peliharaan, seperti ayam, sapi, dan kambing. Mereka juga sudah bisa memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Setelah Jebah berusia 20 tahun, ia meminta kepada ayahnya agar bisa memerintah di Desa Remas. Orang tuanya memberi syarat bahwa ia harus menikah dulu sebelum ia memerintah suatu kerajaan. Hal tersebut merupakan syarat untuk memerintah suatu daerah pada saat itu. Agar bisa memerintah, Jebah pun mau menikah. Ia menikah dengan seorang gadis yang cacat fisik dan kurang cantik.

Satu tahun menikah mereka berdua dikaruniai seorang anak. Akan tetapi, mereka dikaruniai anak yang cacat fisik. Ciri fisik yang dimiliki anak itu sama seperti fisik ibunya. Anaknya memiliki badan yang bungkuk. Karena anaknya lahir bungkuk, ia pun diberi nama Si Bungkuk.

Bungkuk pun tumbuh besar. Akan tetapi, karena ia bungkuk, ia tumbuh tidak seperti anak yang lain. Setelah ia berumur delapan belas tahun, musibah kembali menghampiri keluarga mereka. Kedua orang tua Bungkuk jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang tuanya meningal karena penyakit yang sama seperti buyutnya dulu, yakni demam berdarah. Mengapa daerah ini setiap tahun pasti ada saja yang meninggal karena penyakit itu? Ada

seorang pemuka adat mengatakan bahwa daerah ini minta tumbal yaitu ayam hitam putih sebanyak 1000 ekor.

Setelah sebelas tahun bungkuk memerintah, dia berniat untuk berpindah ke daerah Pangkalan Balai. Kepindahan bungkuk terjadi karena perpecahan dan permusuhan antara Depati Bungkuk dengan dukun pemegang Tanjung Remas. Sejak terjadi permusuhan itu tumbal dusun dicabut. Akibatnya, banyak sekali korban yang meninggal karena wabah penyakit. Mereka memberi istilah Tanjung Remas menjadi pandangan bagi burung terkuku. Para tetua dusun mengadakan rembuk dusun. Hasil mufakat mereka bahwa dusun itu harus dipindahkan ke daerah hulu sungai. Daerah hulu sungai tersebut masih rawa-rawa. Supaya daerah tersebut tinggi, diusahakanlah untuk digalang dan ditimbun. Karena daerah sudah menjadi tinggi, seorang pemuka adat daerah ini memberi nama daerah tersebut dengan sebutan Galang Tinggi. Desa Galang tinggi saat ini terletak di Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan ☼

DUA BEREDEK NGEBET BERUGE

Diceritakan kembali oleh Neny Tryana

Zaman dahulu di sebuah desa hiduplah seorang janda

miskin. Ia tinggal bersama kedua anaknya. Anaknya yang besar bernama Badar dan yang kecil bernama Badui.Suaminya baru saja meninggal. Keluarga ini masih merasakan kesedihan. Kedua anaknya sangat menyayangi ibunya. Mereka berdua rajin membantu ibunya mencari kayu bakar karena anaknya kasihan melihat ibunya yang sudah tua mencari kayu bakar sendirian. Kayu bakar yang mereka dapat untuk dijual guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Suatu hari Badar minta izin kepada ibunya agar bisa mencari bruge (ayam hutan) di hutan.

“Bu, aku ingin pergi ngebet beruge di hutan dan aku akan mengajak Badui. Boleh kan, Bu?”

“Iya, pergilah. Hati-hati. Jangan lama-lama. Kalau ayamnya sudah dapat, segera kau dan adikmu pulang,” jawab ibunya.

“Iya, Bu. Kalau sudah dapat, aku dan Badui akan segera pulang.”

Setelah diiizinkan ibunya, berangkatlah Badar dan Badui ke hutan. Cukup lama mereka berjalan hingga sampailah mereka di hutan. Badar langsung memasang perangkap untuk menangkap ayam. Perangkap tersebut dipasangnya di dekat pohon-pohon yang besar. Setelah perangkap selesai mereka pasang, mereka pun

menunggu. Lama mereka menunggu, tetapi belum ada ayam yang berhasil masuk perangkap.

”Ayo Kak, kita pulang saja. Sepertinya tidak ada ayam yang mau masuk perangkap kita,” ucap Badui.

“Nanti, Dik. Siapa tahu sebentar lagi akan ada ayam yang masuk perangkap kita,” jawab Badar.

“Ya, sudah kalau begitu.” Hari semakin malam, sementara belum satu ayam pun yang

masuk perangkap yang mereka buat. “Kak, aku takut. Kita kan tidak tahu jalan pulang.

Bagaimana ini, Kak?” tanya Badui. “Tenang, Dik. Kita memanjat pohon besar itu saja. Siapa

tahu ada kampung untuk kita menginap.” “Iya, Kak,” jawab Badui polos. Sebelum memanjat pohon yang besar, Badui bertembang,

“Allahu lillahi Robbi, kayu rendah jadi tinggi, Tunjukkan jalan bagi kami

agar kami berdua bisa keluar dari sini.”

Setelah bertembang, memanjatlah Badar dan Badui ke atas pohon. Badar memanjat paling tinggi dan Badui di bawahnya. Ketika berada semakin tinggi di atas pohon, Badar melihat cahaya di kejauhan.

”Dik, di sana ada cahaya, tetapi tidak jelas, cahaya kampung atau cahaya bulan.”

“Kalau begitu kita ke sana saja, Kak. Siapa tahu itu kampung dan ada tempat untuk kita menginap,” jawab Badui.

Turunlah dua beradik ini dari atas pohon. Sesaat setelah sampai di bawah, mereka bertemu dengan orang yang sudah tua.

“Wahai cucuku, kalian boleh menginap di tempat yang ada cahaya itu dengan syarat kalian harus mengucapkan assalamualaikum.”

Setelah menyampaikan pesan, orang tua tersebut menghilang. Terkejutlah Badar dan Badui. Tanpa berpikir panjang lagi mereka langsung pergi menuju tempat yang ada cahaya. Tidak lama mereka berjalan, sampailah mereka di tempat cahaya tersebut.

“Wahai yang punya kampung, kami datang bermaksud menginap. Apakah kami diizinkan?”

“Iya. Kami bersedia menampung kalian, tapi kalian harus mengucapkan assalamualaikum,” jawab seorang perempuan dari dalam.

“Assalamualaikum,” ucap Badar dan Badui bersamaan. Masuklah Badar dan Badui ke tempat tersebut. Mereka

berdua ditempatkan di tempat yang sangat bagus, luas, dan peralatannya yang sangat lengkap. Akan tetapi, ada yang aneh dari perempuan itu. Dia tidak pernah keluar dari kamarnya. Dia hanya mempersilakan dua beradik itu makan tanpa menemui Badar dan Badui.

Mereka berdua pun makan dengan lahap. Karena kekenyangan, mereka berdua tertidur. Mereka baru terbangun ketika hari sudah siang.

Ketika terbangun mereka sangat terkejut melihat mereka berdua tertidur di kuburan. Sisa-sisa makanan malam tadi berubah jadi ulat.

Tidak lama datanglah orang tua yang bertemu dengan mereka semalam.

”Wahai cucuku, kalian telah selamat dari penunggu kampung ini. Sekarang berjalanlah kalian ke arah utara. Di situlah jalan pulang ke rumahmu,” ucap orang tua tersebut dan ia langsung menghilang, sama seperti semalam.

Mendengar ucapan orang tua tersebut, Badar dan Badui segera berlari ke arah utara. Setelah beberapa lama, sampailah mereka di rumah dengan selamat ☼

PUTRI BULAN

Diceritakan kembali oleh Neny Tryana

Pada zaman dahulu,hiduplah seorang puteri yang cantik

jelita di kerajaan kayangan. Putri cantik itu bernama Puteri Bulan. Dahulunya kerajaan kayangan sangat damai dan asri, tetapi kedamaian itu hilang dalam sekejap oleh raksasa gerhana. Raksasa gerhana adalah makhluk besar yang sangat mengerikan yang ingin memakan Puteri Bulan. Keinginan Raksasa Gerhana belum berhasil karena Puteri Bulan bersembunyi di dalam sebuah istana yang tidak bisa ditemukan oleh siapapun. Sementara itu, di suatu desa yang bernama Desa Rimba ada seorang pemuda yang hampir setiap malam selalu memainkan seruling dengan suaranya yang sangat merdu. Pemuda itu bernama Kilip. Sambil bermain seruling, kedua temannya yang bernama Klowo dan Wongso ikut bersorak gembira. Pekerjaan Kilip sehari-harinya adalah membajak sawah warisan orang tuanya. Karena orang tuanya sudah meninggal, Kilip membajak sawah sendirian. Selain membajak sawah, Kilip juga sering berburu dengan teman-temannya. Kegiatan ini biasa ia lakukan pada siang hari,

Suatu hari Klowo dan Wongso mengajak Kilip berburu. Mereka pun berjanji berkumpul di tempat biasa. Kilip datang lebih dahulu. Lama Kilip menunggu, Klowo dan Wongso belum juga muncul. Kilip merasa ada yang janggal. Ia bertanya-tanya dalam hati

penyebab kedua temannya tidak datang karena selama ini mereka tidak pernah mengingkari janji. Malam harinya, Kilip bermain seruling seperti biasa. Kilip tidak mengetahui kalau di kayangan sedang terjadi keributan. Sang Raksasa Gerhana berhasil menemukan Putri Bulan dan tanpa membuang waktu ia langsung mengejar Puteri Bulan. Puteri Bulan berusaha melawan dan terjadilah pertempuran sengit. Adu kekuatan pun tidak bisa terhindar lagi. Setelah lama bertarung Puteri Bulan terkena pukulan raksasa dan dia jatuh ke bumi. Raksasa Gerhana pun mengejar ke bumi. Akan tetapi, ia merasa sangat kesakitan karena mendengarkan suara seruling. Karena suara seruling semakin lama semakin menyakitkan, Raksasa Gerhana pun pergi meninggalkan bumi dengan terburu-buru. Puteri Bulan terbebas. Ia segera mencari sumber suara seruling itu.

“Wah, ternyata engkau yang memainkan seruling dengan merdu,” ujar puteri mengagetkan Kilip.

“Siapa kau?” tanya Kilip. “Tenang, jangan takut. Aku adalah Puteri Bulan.” “Dari mana kau datang?” “Aku berasal dari khayangan. Tadi aku dikejar-kejar

Raksasa Gerhana. Suara serulingmu telah menyelamatkanku.” “Maksudmu?” “Iya, suara serulingmu telah menyelamatkanku. Sang

raksasa sangat kesakitan mendengar suaramu. Karena tidak tahan kesakitan, akhirnya ia pergi.”

“Oh, begitu,” jawab Kilip sambil menganguk-angguk. “Terimakasih ya, telah membantuku.” “Sama-sama.” “Karena engkau telah menolongku, sekarang aku persilakan

engkau menyampaikan permintaan kepadaku. Apapun permintaanmu akan aku kabulkan.”

“Baiklah. permintaanku adalah aku ingin menjelajahi negeri ini.”

“Tidak masalah. Permintaanmu akan aku kabulkan. Akan tetapi, sebelum aku mengabulkan permintaanmu, aku punya satu syarat.”

“Apa syaratmu?” “Jangan kau ceritakan hal ini pada orang lain.” “Baik. Aku berjanji.”

Setelah menyetujui perjanjian itu, Putri Bulan pun mengantar Kilip mengelilingi negerinya dengan menaiki burung raksasa. Ia sangat senang bisa mengelilingi negerinya, sesuatu yang sangat diimpikannya selama ini bisa menjadi kenyataan. Dalam perjalanan itu Kilip melihat seluruh bagian desanya, Kilip sadar bahwa masih banyak lagi orang yang tidak seberuntung dirinya. Kilip sangat bersyukur karena dia dilahirkan di negerinya, yakni di Desa Rimba. Nama Desa Rimba tersebut kini berubah menjadi Pulau Rimau ☼

BUJANG KRENGOT

Diceritakan kembali oleh Neny Tryana

Alkisah pada zaman dahulu terdapat sebuah kerajaan.

Dalam kerajaan tersebut terdapat seorang putri yang sedang mencari suami. Ia sangat mendambakan seorang lelaki yang perkasa, baik hati, dan pandai mengaji. Atas kesepakatan putri, ayah dan ibunya akan mengadakan sayembara. Raja segera memanggil pegawai istana untuk segera mengumumkan sayembara ini ke seluruh negeri. Mendapat perintah dari raja, para pengawai istana segera mengumumkan kepada khalayak ramai. “Wahai seluruh penduduk negeri, segeralah berkumpul ada pengumuman penting,” seru pengawal raja.

Penduduk yang mendengar adanya pengumuman langsung berkumpul. Setelah semua penduduk berkumpul pengawal segera membacakan isi pengumuman.

“Pengumuman-pengumuman, bagi pemuda-pemuda perkasa, baik hati dan yang paling utama pandai mengaji, datanglah beramai-ramai ke istana karena sang putri sedang mencari pendamping hidupnya!” Berita tersebut sampai ke telinga seorang pemuda tua yang cacat. Ia memiliki cacat di antara mulut dan hidungnya atau sering disebut sumbing. Penduduk desa sering memanggilnya bujang krengot.

Mendengar sayembara itu, ia bergegas menuju istana. Semangat dan kepercayaan diri yang tinggi serta sangat menggebu-gebu ia melangkahkan kakinya ke istana. Satu per satu pemuda negeri diuji oleh sang putri. Namun, belum ada satu pun yang cocok. Tibalah giliran Bujang Krengot yang akan diuji oleh sang putri. “Apa yang bisa kau tunjukkan padaku?” Tanya putri. “Aku bisa mengaji, Sang Putri!,“ jawab Bujang Krengot dengan suara sengaunya. “Kalau begitu silahkan, aku akan mendengarkanmu!” perintah sang putri yang saat itu ditemani oleh raja. “Ehm... ehm... Auzubillahiminasyaitonirrojim... bismillahirohmanirohim… kola’kollabu dengan gulo abang, nasinyo dengan nasi puteh, sambal cong kediro lalap petai…” Bujang Krengot mengaji dengan semangatnya. Semua orang di istana tertegun melihat Bujang Krengot, termasuk sang Raja. Tapi karena kebodohannya, sang Raja tidak tahu bahwa yang telah dibacakan oleh Bujang Krengot itu salah. Sang Raja menerima Bujang Krengot untuk tinggal sementara di istana. “Kakak hari ini mau makan apa?” tanya sang putri. “Aku mau makan yang enak-enak. Daging ya, Dik !” perintahnya “Kak dagingkan keras, sedangkan kakak tidak punya gigi?” tanya sang putri. “Tidak apa-apa, aku kan sakt.i Jadi, walaupun tidak punya gigi aku masih bisa makan semua yang ku mau. Nah, sekarang pergilah ke pasar. Jangan lupa belikan aku permen kojek ,” perintahnya pada sang putri. Pulang dari pasar putri segera ke dapur. Dengan terpaksa ia segera memerintahkan juru masak dapur untuk memasakkan Bujang Krengot makan siang. Putri sangat kesal dengan tingkah laku Bujang Krengot karena bertindak sesuka hatinya, padahal mereka belum menikah. Hanya karena perintah ayahnya, ia tetap melaksanakannya. Tak lupa putri memberikan permen kojek yang dipesan oleh Bujang Krengot. Putri heran mengapa permen

kojeknya yang dibelinya bisa habis hingga satu toples, padahal Bujang Krengot tidak punya gigi lagi. Ternyata, setelah diselidiki, permen kojek yang ia makan selalu keluar dari bibir sumbingnya. Ia mengatakan kepada sang putri bahwa permen itu telah habis dimakannya. Setelah hal tersebut diketahui oleh sang raja, Bujang Krengot langsung diusir dari istana. Saat malam tiba Bujang Krengot memakai pakaian serba putih sehingga wujudnya terlihat seperti pocong. Ia naik ke atas pohon di sebelah kamar raja. Ia berniat menakut-nakuti raja. Sang raja terkejut dengan apa yang dilihatnya. “Sepertinya itu pocong?” tanya raja dalam hati. Karena penasaran, raja melihat keluar dan berdiri di bawah pohon itu. Sang raja mencoba mendekati pocong jadi-jadian itu. Raja tidak mengetahui kalau pocong itu adalah Bujang krengot. Pocong jadi-jadian itu berkata, “Hai Raja terimalah Bujang Krengot kembali ke istana. Izinkanlah dia menikah dengan sang putri karena dia adalah orang yang sakti. Kalau tidak, kau akan kucekik dan kubunuh.” “Baiklah, aku akan memerintahkan pengawalku untuk mencari Bujang Krengot,” jawab sang raja. Ia sangat ketakutan. Bergegas Sang Raja kembali ke kamarnya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali raja memerintahkan seluruh pengawal istana untuk mencari Bujang Krengot. Seluruh pengawal istana menyebar ke seluruh negeri. Padahal, Bujang Krengot tak jauh dari istana. Salah seorang pengawal melihatnya sedang tertidur di atas pohon di sebelah kamar sang raja. Pengawal yang melihat Bujang Krengot segera melaporkan kepada raja, mendengar hal itu raja menemui Bujang Krengot. Raja pun jadi tahu bahwa pocong yang dilihatnya semalam adalah Bujang Krengot. Raja sangat marah atas kebohongan Bujang Krengot. Segera ia diseret keluar dari istana. la pun diusir dari negeri tempat tinggalnya ☼

ASAL MULA TANJUNG MAHLIGAI

Diceritakan kembali oleh Neny Tryana

Zaman dahulu di salah satu desa di Sumatera Selatan, yakni

di Desa Tebing Abang hiduplah seorang Sunan. Ia adalah seorang raja yang sakti. Selain itu, ia juga banyak memiliki selir. Di antara seluruh selirnya, ia sangat menyayangi salah seorang selirnya yang bernama Putri Mahligai.

Suatu hari pasukan Belanda yang dipimpin seorang jendral datang ke desa tersebut. Saat sang jendral melihat kecantikan Putri Mahligai, ia langsung jatuh cinta pada sang putri. Hati kecilnya langsung berkata, “Aku harus mendapatkan Putri Mahligai. walau harus menempuh cara apapun. Perempuan ini terlalu cantik untuk disia-siakan.”

Melihat perlakuan jendral terhadap Putri Mahligai, akhirnya Sunan dan Putri Mahligai pun mengetahui maksud dari jendral yang ingin memiliki Putri. Mengetahui maksud tersebut, menjadikan Putri Mahligai takut dan panik. Sunan pun mengerti akan hal itu. Ia juga tidak ingin selir kesayangannya diambil orang lain, siapapun itu.

Sunan pun bersama seorang pengawalnya bernama Siden Ali pergi membawa Putri Mahligai ke sebuah tanjung. Setelah lama berjalan, sampailah mereka di tanjung,

“Putri, untuk menyelamatkanmu dari incaran jendral, aku membawamu ke sini. Tenang-tenanglah engkau di sini. Nanti pasti ada wahyu yang akan memberikan petunjuk untukmu.” ujar Sunan.

“Baik, Tuanku. Hamba akan tenang di sini. Hamba percaya apa yang Tuan lakukan adalah yang terbaik untuk hamba.”

”Sekarang kami pamit pulang, Putri,” ucap Sunan. “Tuanku, bolehkah hamba berpesan kepada Siden Ali?” “Silakan,” jawab raja. “Terima kasih, Tuanku. Siden, aku titip tanah masyarakat

desaku padamu. Tolong engkau jaga baik-baik.” “Baik, hamba berjanji akan menjaganya dengan baik,” jawab

Siden Ali. Sunan dan Siden Ali pun pergi meningggalkan Putri

Mahligai sendirian di Tanjung itu. Selama tinggal sendiri di tanjung, Putri membuat sebuah

tempat yang sangat tinggi. Tempat ini digunakannya untuk berlindung dan mengintip pasukan jendral.

Setelah mengetahui Putri Mahligai disembunyikan oleh Sunan, sang jendral segera memerintahkan anak buahnya untuk mencari ke berbagai tempat. Usaha jendral ternyata tidak sia-sia. ia berhasil mendapatkan kabar bahwa Putri Mahligai berada di Tanjung.

Tanpa membuang waktu, ia bersama pasukannya segera ke tanjung untuk mencari Putri Mahligai. Ketika kapal jendral mendekati tanjung, Putri langsung mengetahuinya. Ia sempat panik. Akan tetapi, kepanikannya tidak berlangsung lama. ia ingat pesan Sunan bahwa akan ada wahyu yang akan datang padanya. Ternyata benar. Putri memiliki kekuatan untuk terbang.

Saat pasukan sampai di tanjung, ia langsung terbang hingga sampai di sebuah hutan yang berada di Desa Pengumbuk. Pasukan jendral tidak tinggal diam dan langsung mengejar Putri hingga sampai di Pengumbuk, Putri pun terbang kembali ke tanjung. Bekali-kali hal itu dilakukan Putri hingga menjadikan ia sangat kelelahan. Saat Putri mulai lemah karena kelelahan, pasukan jendral masih mengejarnya. Ketika kapal pasukan jendral berhasil mendekati Putri Mahligai, sesuatu yang aneh terjadi. Seketika

ombak besar datang dan langsung menggulung kapal pasukan jendral. Jendral bersama pasukannya tenggelam beserta kapal yang mereka tumpangi. Tidak lama setelah kapal jendral tenggelam, ombak yang datang berubah menjadi tanah daratan. Namun, saat itu pula hidup Putri Mahligai berakhir. Tanah yang dulunya ombak yang berubah menjadi tanah diberi nama Tanah Tanjung Mahligai oleh masyarakat Tebing Abang. Pemberian nama ini mereka lakukan dengan maksud untuk mengenang Putri Mahligai. Tanah Tanjung Mahligai terletak di kecamatan Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin ☼