seri thiansan 6.wanita gagah perkasa

Download Seri thiansan  6.Wanita Gagah Perkasa

If you can't read please download the document

Upload: kehicap

Post on 24-Nov-2015

142 views

Category:

Documents


40 download

DESCRIPTION

Buku ini adalah cetak ulang dari hasil kerja Oey Kim Tiang yang dulu diterbitkan di sekitar tahun 1959 oleh Bagian Penerbitan Keng Po di Jakarta. Sesudah 45 tahun, barulah buku cerita silat yang sangat memikat ini dapat diterbitkan kembali dengan seizin (ahli waris) penutur aslinya.

TRANSCRIPT

WANITA GAGAH PERKASA (GIOK LO SAT) Ebook gratis http://ebukita.wordpress.com PENGANTAR Buku ini adalah cetak ulang dari hasil kerja Oey Kim Tiang yang dulu diterbitkan di sekitar tahun 1959 oleh Bagian Penerbitan Keng Po di Jakarta. Sesudah 45 tahun, barulah buku cerita silat yang sangat memikat ini dapat diterbitkan kembali dengan seizin (ahli waris) penutur aslinya. Giok Lo Sat dan Pek Hoat Mo Lie mengisahkan lika-liku kehidupan Lian Nie Siang, seorang pendekar wanita yang bergelar Giok Lo Sat atau Rasaksi Cantik (oleh OKT diterjemahkan dengan Wanita Gagah Berani), ia adalah seorang luar biasa pada masa ahala Beng mendekati keruntuhannya di perempat pertama dan kedua abad ke 17. Ia luar biasa karena ilmu silat yang dikuasainya sangat tinggi, tetapi juga karena tingkah lakunya yang amat bebas (modern, sebenarnya). Di masa ketika wanita kebanyakan tidak pernah melangkah keluar dari pekarangan rumah, maka Lian Nie Siang menjadi kepala begal dan menentukan nasibnya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Ia benar-benar cerminan wanita modern masa kini, di masyarakat industri, yang mengakui kesetaraan antara pria dan wanita... Kisah bagian pertama berakhir pada salah satu titik balik kehidupan Giok Lo Sat. Peristiwa penyerbuan markasnya di Beng Goat Kiap yang mengakibatkan ia harus hengkang dari sana merubah arah hidupnya. Ia terpaksa harus kembali menjadi wanita biasa yang membutuhkan dampingan laki-laki agar ia paripurna sebagai wanita. Lanjutan itu dikisahkan dalam bagian kedua, yang sayangnya berujung pada kekecewaan, yang membuat tokoh kita dalam semalam rambutnya berubah menjadi putih semua. Karena inilah ia memperoleh julukan barunya, Pek Hoat Mo Lie, atau Hantu Wanita Berambut Putih. Entah mengapa OKT memisah cerita silat ini menjadi dua judul, yaitu Giok Lo Sat untuk bagian pertama yang terdiri dari 7 jilid dan Pek Hoat Mo Lie untuk bagian kedua yang terdiri hanya 3 jilid. Padahal seharusnya cerita ini satu kesatuan dengan judul Pek Hoat Mo Lie {Baifa Monu). Kami berpendapat bahwa kedua buku itu tidak terpisahkan, maka kedua judul ini kami satukan kembali dalam penerbitan ulang ini. Kisah ini merupakan bagian dari rangkaian cerita Thian San yang amat panjang. Dalam urutan penulisan, Pek Hoat Mo Lie adalah nomor dua sesudah Tjhit Kiam Hee Thian San (QijianXia Tiansan), walaupun dalam keseluruhan siklus Thian San menduduki nomor enam yaitu di antara Khong Ling Kiam (Guang Ling Jian) dan Tjhauw Goan Eng Hiong (Sai Wai QiXia Zhuari). Episode ini menjadi sangat penting karena dalam kisah inilah dipaparkan para cikal-bakal tokoh-tokoh Thian San (Gunung Langit) yang nantinya akan mencapai klimaksnya di Tjhit Kiam Hee Thian San (Tujuh Pedang di bawah Gunung Langit) yang legendaris itu. Dalam buku inilah tokoh-tokoh tua yang berdiam di Gunung Langit itu diperikan masa mudanya dan pertautan nasib dia antara mereka. Gak Beng Kie (Ye Mingji), yang kemudian bergelar Hoei Beng Siansoe (Feiming Xianzi atau Begawan Cahaya Berkilauan) adalah pendiri Thian San Pay atau Persaudaraan Gunung Langit. Lian Nie Siang sendiri juga bertapa di Gunung Langit ini, disusul oleh To It Hang yang bekas Ketua Bu Tong Pay (Wudangbai). Ketiga tokoh inilah yang nantinya akan menurunkan rangkaian pendekar yang mengisi sebutan Thian San Tjhit Kiam (Tujuh Pedang dari Gunung Langit). Nasib perorangan yang berbenturan dengan peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah terjalin dengan sangat pas, seakan tokoh-tokoh itu benar-benar pernah ada. Arah kehidupan nasib tokoh-tokohnya tak bisa dilepaskan dari kekuatan-kekuatan sosial yang menghempas mereka sebagai manusia biasa. Banyak pembaca yang memperoleh anggapan bahwa tokoh cerita ini memang pernah ada dan peristiwa sejarah memang terjadi seperti dikisahkan disini. Jika Anda membaca sampai baris ini, sangat mungkin Anda akan menjadi salah satu dari mereka yang terbius, terbuai oleh kepiawaian cerita ini. I Pada suatu hari di bulan sembilan dalam musim rontok ketika di jalan pegunungan Taypa san di perbatasan kedua propinsi Soetjoan dan Siamsay tampak bererot jalan serombongan kereta tengah menuju ke arah barat. Orang yang jalan terdepan adalah satu penunggang kuda yang dandan sebagai satu boesoe, seorang yang mengerti ilmu silat. Dalam sebuah kereta keledai, di tengah-tengah rombongan itu ada berduduk seorang tua umur kira-kira enam puluh tahun, dandanannya sebagai seorang bekas pembesar negeri, sikapnya agung. Sebagai pakaian luarnya adalah selembar mantel. Satu penunggang kuda mendampingi kendaraan orang tua ini. usianya masih muda, romannya cakap dan gagah, sedang sebilah pedang di pinggangnya saban-saban berbunyi sendirinya disebabkan goncangan kudanya yang tinggi dan besar itu. Orang tua di dalam kendaraan itu bernama To Tiong Liam, bekas tjongtok (gubernur jenderal), dari kedua propinsi Inlam Kwesay. Baru saja dia meletakkan jabatannya. Dia dapat dikatakan tepat juga dengan namanya (Liam sederhana), sebab walaupun berpangkat besar tetapi dia tidak rakus, cocok dengan pepatah: "Sam lian tjeng tiehoe, Sipban soat hoa gin" atau "Tiga tahun menjadi residen yang putih bersih, hartanya toh sepuluh laksa tail perak putih bagaikan salju". Memang, sebagai tjongtok dia tidak usah serakah atau rakus, dengan hasilnya dari uang komisi dan hadiah dari pelbagai sebawahannya saja sudah tidak sedikit. Maka itu. untuk pulang ke kampung halamannya sekarang, dia minta bantuannya beberapa piauvvsoe atau pelindung, untuk melindungi padanya di sepanjangjalan. Melainkan pemuda di dampingnya itu, yang romannya cakap dan gagah bukanlah salah satu piauwsoe, dia ikut mengiringnya karena suatu sebab lain. Bekas tjongtok To Tiong 1am ini orang asal Siamsay Utara, dari keluarga berpangkat turun-temurun, tidak hartawan besar tapi dalam kecukupan, selalu dari turunan tunggal, seperti sekarang dia hanya mempunyai satu anak dan satu cucu. Puteranya itu, Kee Hian namanya, menjabat pangkat di kota raja sebagai Houwpou sielong, ketua muda Departemen Pendapatan dan Penduduk. Sedang cucunya, yang bernama It Hang, mengikuti ayahnya berdiam di kota raja. To It Hang sudah berumur delapan atau sembilan belas tahun, seorang pemuda yang cerdik, dia sangat disayang oleh engkongnya. Maka itu, ketika Tiong Liam meletakkan jabatannya, ia telah tulis surat kepada puteranya. Kee Hian, minta supaya cucunya diantar pulang ke kampung halamannya. Di luar dugaannya, bukan cucunya yang datang tetapi seorang pemuda cakap dan beroman gagah yang menjenguk padanya. Pemuda ini, yang perkenalkan diri sebagai Keng Tjiauw Liam, membawa serta suratnya Kee Hian, yang menerangkan bahwa, karena It Hang sedang belajar keras untuk menempuh ujian, tak dapat dia pulang. Dan tentang Tjiauw Lam ini, dalam surat itu diterangkan sebagai teman sekolahnya It Hang, dia mengerti ilmu silat, kebetulan dia hendak pergi ke Siamsee, maka ia minta sang ayah ajak dia bersama. Hanya mengenai Tjiauw Lam ini, Tiong Liam merasa aneh dan lucu. Tjiauw Lam katanya belajar bersama It Hang, tetapi ketika ditanya ini dan itu yang berhubungan sama ilmu sastera. pemuda ini lebih banyak menjawab "tak tahu". Maka ia anggap kalau satu sasterawan meyakinkan ilmu silat, pasti ilmu silatnya tidak sempurna, kedua-duanya akan menjadi kepalang tanggung. Tapi yang membuat ia heran dan tidak mengerti ialah beberapa piauwsoe yang ia sewa itu, semuanya bersikap sangat hormat kepada pemuda ini. Inilah yang ia sangat tak mengerti! Ketika itu di tahun Banlek ke 43 dari kerajaan Beng, di timur utara, bangsa Boantjiu telah membangun diri, sering mereka melanggar tanah perbatasan Tionggoan, sedang di lain pihak, Kaisar Sin Tjong sudah mengadakan pemungutan cukai berat yang dibebankan kepada rakyat tani, tidak perduli daerah barat utara itu tanahnya tandus dan rakyatnya melarat, hingga karenanya, di sana-sini telah muncul rombongan-rombongan penyamun. Disebabkan itu pula To Tiong Liam telah pakai beberapa piauwsoe di samping pengiring-pengiringnya sendiri, tetapi ia masih saja tak tenteram hatinya. Hari itu baru saja rombongan ini melewati lamping pegunungan Padjoekwan, mereka telah dilombai dua penunggang kuda yang larinya pesat sekali. Menampak kedua penunggang kuda itu. air mukanya beberapa piauwsoe jadi berubah sendirinya! Keng Tjiauw Lam majukan kudanya kepada si piauwsoe. "Siapa mereka itu?" ia tanya. "Itulah Seetjoan Siangsat!" sahut piauwsoe tertua. "Oh, dua saudara Peng!" mengatakan Tjiauw Lam. "Mereka itu tersohor untuk kekuatan tangannya yang dinamakan Tiatsee Tjiang, Tangan Pasir Besi, yang telah dilatih untuk banyak tahun. Baiklah berhati-hati saja." Pemuda ini segera putar kembali kudanya, tanpa ia menoleh lagi. "Melihat gerak-geriknya, mereka agaknya tidak niat turun tangan," kata si piauwsoe. Tjiauw Lam bersenyum dan terus tahan kudanya. Lekas sekali, kereta keledainya Tiong Liam telah datang mendekat. "Aman, lootaydjin, tidak apa-apa." mengatakan pemuda ini dengan tawar kepada bekas tjongtok itu. "Yang barusan lewat hanyalah dua penjahat cilik yang tiada artinya." Mereka jalan terus, sampai mereka dilombai pula oleh tiga penunggang kuda lainnya, tetapi mereka ini berpalingpun tidak kepada kereta-kereta barang. "Heran, ketiga totjoe dari Liongboen pang sampai keluar berbareng!" kata si piawsoe tua, agaknya dia heran sekali. "Mungkinkah telah terjadi sesuatu yang hebat dalam kalangan Rimba Persilatan?..." Tampaknya piawsoe ini kenal baik orang-orang kaum kangouw. "Perduli apa mereka dari kaum Rimba Hijau atau bukan!" kata Keng Tjiauw Lam dengan jumawa. "Jikalau mereka berani ganggu kita, tidak usah aku gunakan gegamanku yang biasa, dengan hanya panah peluru aku nanti bikin mereka seperti bunga rontok atau air mengalir!" Semua piauwsoe manggut-manggut, agaknya mereka mengiakan. To Tiong Liam lihat orang sangat jumawa, tak puas hatinya. "Kelihatannya anak muda ini terlalu kepala besar" pikirnya. Rombongan kereta jalan terus ke baiat. Di waktu magrib mereka sudah mendekati Tjitpoankwan. jalan lamping gunung di luar kota Kiangleng. Lamping ini sempit sekali, pula yang paling berbahaya di perbatasan Soetjoan dan Siamsay. Sebab, di belakangnya jalan ini menyender kepada gunung, di depannya berdampingan dengan sungai yang gili-gilinya tinggi bagaikan tergantung, airnya mengalir deras sehingga muncrat-muncrat sendirinya, nampaknya seperti kabut saja. Dengan waspada rombongan melalui jalan ini. Sekeluarnya dari mulut gunung, mereka tampak di depannya kira-kira setengah lie jauhnya, satu penunggang kuda sedang kasih jalan kudanya -- kuda putih -- dengan perlahan-lahan ke jurusan yang sama, nampaknya tenang sekali. Dia dapat tertampak tegas, karena pakaiannya serba putih seperti putihnya bulu kudanya. "Pemuda di depan itu rupanya seperti satu anak sekolah." kata To Tiong Liam. "Dia jalan seorang diri tanpa kawan, apakah tidak berbahaya bagi dirinya? Mari kita susul dia untuk jalan bersama-sama." Atas ajakan itu, Keng Tjiauw Lam menggoyang-goyangkan tangan. Dapat dikatakan berbareng dengan penolakannya pemuda she Keng ini, dari belakangnya mereka dengar riuh suara derapnya kaki kuda disertai berisiknya kelenengan dari pelbagai binatang tunggangan itu, yang dalam sekejap saja telah kabur melewati rombongan keretanya bekas tjongtok itu. Sama sekali mereka terdiri dari tujuh penunggang kuda. Pemuda serba putih di depan itu justeru berada dijalan yang sempit. "Celakalah kalau dia tidak lekas-lekas minggir!" seru si piauwsoe tua, bahna kagetnya. Piauwsoe ini belum sempat tutup mulutnya, ketika itu dari arah depanpun muncul belasan penunggang ke arah si pemuda serba putih itu. Dengan demikian pemuda itu jadi terjepit dua rombongan dari kedua jurusan itu... To Tiong Liam kaget hingga ia menjerit keras sekali. Berbareng pemuda serba putih itupun perdengarkan suaranya, sambil berseru dia larikan kudanya ke arah sungai, atas mana kuda itu kabur sambil terus berlompat melewati kali itu dan sampai di seberangnya dengan tidak kurang suatu apa! Tiong Liam ternganga dan akhirnya bernapas lega... Kedua rombongan penunggang kuda itupun tidak bentrok satu dengan lain. Keduanya dengan cepat dan tangkas telah dapat tahan binatang tunggangannya masing-masing. Setelah itu, rombongan yang tadi lewati rerotan kereta segera memutar diri, hingga kedua rombongan itu sekarang menjurus berhadapan dengan rombongannya Tiong Liam, yang terus mendatangi semakin dekat. Keng Tjiauw Lam majukan kudanya, untuk memapaki rombongan itu. "Para hoohan, mohon kalian membagi jalan," ia minta sambil bersoja. (Hoohan ialah "orang gagah"). Seorang berewokan yang rupanya menjadi kepala, mengawasi pemuda ini. "Kau punyakan alasan apa untuk memohon jalan?" tanyanya dengan katak. "Hartanya pembesar rakus, setiap orang dapat mengambilnya!" "Tetapi harus kalian ketahui, dia ini bukannya pembesar rakus," Tjiauw Lam kata. "Untuk memohon jalan juga tidak sukar," kata satu penyamun lainnya. "Asal kalian tinggalkan semua barang-barangmu!" Kata-kata ini disusul dengan majunya beberapa penyamun ke arah kereta barang-barang. Keng Tjiauw Lam tidak banyak omong lagi, dengan sebat ia ambil busur peluru dari bebokongnya. akan di lain saat beberapa butir pelurunya sudah menyerang beberapa penyamun itu. yang berkaok kesakitan dan roboh, sebab tepat sekali mereka terserang. Si penyamun berewokan tertawa terbahak-bahak. Masih Tjiauw Lam tidak sudi bicara, sebagai gantinya peluru, ia cabut sebatang panah, dengan itu ia memanah patah sebatang bendera hitam di antara rombongan penjahat itu. Wajahnya si berewok lantas saja berubah, dia lompat maju. "Tahukah kau undang-undang dari kaum Rimba Hijau?" tegurnya. Tjiauw Lam tidak jawab teguran itu. malah ia melepaskan pula beberapa peluru beruntun ke arah pemimpin penyamun ini, hingga dia ini terpaksa mainkan goloknya menangkis serangan peluru-peluru itu, yang dapat ditangkisnya terpental berhamburan jatuh ke tanah semuanya. Tjiauw Lam tidak hiraukan atau ia memang penasaran orang dapat tangkis semua pelurunya, ia teruskan serangannya yang bertubi-tubi, hingga kali ini ia membuat repot kepada penyamun itu, yang menjadi keteter menghalau peluru-peluru yang terus menerus menyerang padanya. Dalam rombongan penyamun ada seorang yang alisnya gompiok dan mata gede. "Jikalau kehormatan tidak dibalas, kita telah berlaku tidak hormat!" katanya dengan suaranya yang keren sambil diapun turunkan busurnya, untuk balas menyerang. Panahnya yang dinamakan "tjoayamtjian" atau "ular berkobar", biru tua warnanya. Tjiauw Lam tangkis jatuh setiap panah berapi yang menuju ke arah tubuhnya, tetapi ia tidak berdaya untuk panah yang menyambar ke kereta, maka ketika sebatang panah mengenai sebuah kantong, terdengarlah suara menghembus, lantas kantong itu menyala, apinya lantas berkobar! Dalam kantong ada uang perak, dengan terbakarnya itu, berhamburanlah uangnya! Akan tetapi, si berewok yang melihat itu telah menggeleng-geleng kepala, nampaknya ia kecewa. Masih Tjiauw Lam menyerang dengan pelurunya, ia telah gunakan ilmu memanah "Pathong hongie", yaitu "Hujan angin di empat penjuru", maka salah satu pelurunya mengenai gelang-gelangan tangan kirinya si berewok itu hingga dia ini lompat mundur. Tapi dia tidak gusar atau niat membalasnya, bahkan ia rangkap kedua tangannya memberi hormat! "Ilmu panah peluru Boetong pay benar-benar liehay!" katanya dengan nyaring. "Kami telah keliru melihat, maafkanlah kami!" Penyamun yang menggunakan panah api itu. yang telah lompat turun ke tanah, kinipun lompat naik pula ke atas kudanya, iapun berkata dengan keras: "Tolong sampaikan ke hadapan Tjie Yang Tootiang, kami semua mengharap kesehatannya! Tolong sampaikan juga terima kasih kami, Hweeleng wan dan Poan San Houw, atas kebaikan hatinya Tootiang dahulu yang tidak membinasakan kami Sehabis mengucap demikian, dia perdengarkan satu seruan, atas mana kawan-kawan-nya lantas menolongi mereka yang terluka untuk sama-sama berlalu... Keng Tjiauw Lam kasih turun busurnya, ia dongak dan tertawa besar. "Tuan, sungguh kau pandai sekali memanah!" tiba-tiba satu suara. Orang she Keng ini terkejut, dia segera menoleh ke belakang dari mana suara itu datang. Dalam sedetik itu ia ternganga bahna herannya. Entah kapan menyeberangnya dan datangnya, pemuda serba putih itu tahu-tahu sudah berada di belakangnya. "Kepandaian tidak berarti yang sebenarnya hanya memalukan saja," ia kata. "Justeru kaulah yang liehay sekali!" "Akupun tidak punyakan kepandaian, melulu mengandalkan kuda ini, yang tidak terlalu mengecewakan, baru aku dapat lolos dari bahaya tabrakan," sahut pemuda serba putih itu. To Tiong Lam sementara itu telah awasi pemuda itu, yang tidak bawa barang-barang apapun di bebokong kudanya, halus bicaranya seperti satu anak sekolah. Tiong Lam ketarik hati. "Apakah tjiokhee sedang pesiar mencari kepandaian?" tanyanya. (Tjiokhee artinya "tuan"). "Sekarang di jalan sangat tidak aman, maka untuk lakukan suatu perjalanan jauh sungguh berbahaya..." Pemuda serba putih itu menjura. "Boanseng datang dari kota Yananhoe." berkata dia, yang membahasakan dirinya sebagai "yang muda" (boanseng). "Boanseng ingin sekali lekas-lekas pulang sampai di rumah. Bolehkah boanseng ketahui nama loope?" (Loope ialah "mamak". Itulah panggilan untuk orang yang usianya lebih tua daripada orang tua seseorang). Sambil tersenyum, To Tiong Liam beritahukan she dan namanya. Pemuda itu agaknya jadi sibuk sekali. "Oh, kiranya To Lootaydjin dari sesama kampung halaman!" katanya dengan cepat. "Maaf" lootaydjin, maaf!" Iapun segera perkenalkan diri sebagai Ong Tjiauw Hie. "Boanseng lakukan perjalanan tanpa kawan," katanya pula, "maka itu boanseng ingin minta perkenan untuk dapat berjalan di belakang rombongan lootaydjin, untuk dapatkan berkah perlindungan..." Keng Tjiau Lam sudah lantas lirik pemuda ini. Tiong Liam memang seorang yang murah hati. ia sudah lantas mengabulkan. "Ada apa halangannya untuk jalan bersama?" katanya. "Tidak usah tjiokhee buat banyak pikiran." Tjiauw Lam perdengarkan suara dingin ketika ia turut bicara: "Tuan adalah satu mahasiswa tetapi tuan telah menunggang seekor kuda yang jempol sekali, sungguh aku kagum terhadapmu!" demikian katanya. "Inilah kuda turunan Khan Besar dari tanah barat," berkata pemuda ini dengan suara halus. "Kuda ini aku berikan nama Yasaytjoe tetapi dia jinak sekali." (Yasaytjoe berarti "singa malam"). Di wilayah Barat utara ada banyak kuda jempolan dan umumnya penduduk setempat pandai menunggang kuda, karena demikian Tiong Liam tidak curiga. Selama Keng Tjiauw Lam layani penyamun, semua piauwsoe mengurung kereta-keretanya untuk melindungkannya, tadi mereka repot memadamkan api, akan tetapi setelah bahaya lewat, mereka datang menghampiri dan turun dari kudanya untuk beri hormat pada Tjiauw Lam. malah piauwsoe kepala memberi hormatnya sambil tekuk sebelah kakinya separuh berlutut. "Mataku sudah lamur." kata dia. "Telah aku duga bahwa Keng Enghiong seorang yang gagah, tetapi aku tak menyangkanya kau seorang anggauta dari Boetong pay yang kenamaan. Keng Enghiong, aku hendak mohon kau hadiahkan kami sesuap nasi!" Tiong Liam tidak mengerti akan ucapan piauwsoenya itu, herannya bertambah-tambah terhadap pelindungnya ini. Tjiauw Lam bersenyum, dengan kedua tangannya ia memimpin bangun. "Sebenarnya aku tidak punya guna." katanya dengan merendah, "akan tetapi tadi aku sudah kepalang tanggung, tidak nanti aku mundur setengah jalan. Harus kau ketahui, ikut sertaku ini bukan untuk popiauw (melindungkan angkutan barang sebagai piauwsoe). aku hanya bekerja untuk sahabatku. Loopiauwtauw, jangan kuatir." Tiong Liam pun dapat dengar perkataan itu, ia jadi semakin heran. Bekas tjongtok ini pasti tidak ketahui bahwa pemuda she Keng itu bukannya satu sasterawan atau mahasiswa tapi salah satu murid angkatan kedua (generasi ke-2) dari Boetong pay. Dalam kalangan ilmu silat, Siauwlim pay dan Boetong pay terhitung sebagai gunung Taysan atau Paktauw, Bintang Utara, keduanya ternama besar dan tersohor. Ketua Boetong pay. atau pemegang waris, adalah Tjie Yang Toodjin, yang liehay ilmu silatnya, yang bersama empat adik seperguruannya yakni Oey Yap Toodjin. Pek Sek Toodjin, Ang In Toodjin dan Tjeng Soo Toodjin, adalah yang dikenal sebagai "Boetong Ngoloo" -- Lima Tertua dari Boetong pay. Mereka mempunyai ratusan murid, dan Keng Tjiauw Lam adalah murid kepala dari Pek Sek Toodjin. maka dapat dimengerti tentang kepandaiannya. Dari rombongan pembegal, yang berewokan adalah Hoansanhouvv Tjioe Tong si Harimau Gunung, dan yang matanya gede dan alis gompiok adalah Hweelengwan Tjoe Poo Tjiang si Kera Api. dua penjahat besar di perbatasan Soetjoan dan Siamsay, tetapi keduanya jeri terhadap pihak Boetong pay, maka itu tadi mereka sudah lantas menyerah kalah. Di kalangan Boetong pay ada dua larangan utama, yaitu pertama larangan menjadi penjahat, dan kedua larangan untuk menjadi piauwsoe, karena inilah maka perbuatannya Keng Tjiauw Lam dapat dikatakan luar biasa. Ia tidak jadi piauwsoe tetapi ia melindungi piauw, atas nama sahabatnya seperti ia katakan tadi. Piauwsoe itu jeri terhadap rombongan Hweelengwan, dia juga heran atas sikapnya Keng Tjiauw Lam. dia sengaja mengucap demikian hanya untuk "ikat" jago Boetong ini supaya tetap turut mengiringnya. To Tiong Liam di lain pihak baru sekarang ia insyaf Keng Tjiauvv Lam gagah, hanya ia tidak mengerti mengapa cucunya bisa bersahabat kepada orang semacam ini. Ia menghaturkan terima kasih kepada pelindungnya ini. Tjiauw Lam sangat gembira karena ia telah berhasil menunduki kawanan penyamun, tapi terhadap Tiong Liam ia lantas bersikap sangat jumawa, ketika bekas tjongtok itu menanyakan padanya hal perkenalannya dengan cucunya, ia menjawabnya dengan senantiasa mengegos, atau lawan tertawa. Di samping itu. Ong Tjiauw Hie pemuda serba putih itu. sangat alim sekali, baik terhadap Tiong Liam maupun terhadap Tjiauw Lam, ia bersikap sangat menghormat. Dua hari sudah mereka berjalan bersama, Kiangleng telah dilalui. Selagi mendekati lamping Pengyangkwan, saban-saban mereka melihat orang-orang dengan tingkah laku yang mencurigakan, jalannya selalu berombongan bertiga atau berlima, baik dengan menunggang kuda atau dengan naik kereta keledai. Si piauwsoe tua menjadi tidak enak hatinya. Ia tahu bahwa mereka itu adalah pengintai-pengintai terhadap rombongannya. Syukur baginya, sampai sebegitu jauh perjalanan dilalui dengan selamat. Selewatnya Pengyangkwan, semua orang-orang yang mencurigakan itu tidak tertampak lagi. Sesampainya di perhentian Tayantek, rombongan itu singgah untuk bermalam, lega hatinya Tiong Liam. Ia telah pilih hotel yang terbesar. "Besok selewatnya gunung Iengkoen san, jalan akan sudah rata!" katanya. Artinya ialah, tidak lagi mereka jalan dijalan pegunungan. Semua piauwsoe juga bernapas lega. Keng Tjiauw Lam sebaliknya menganggap lain. Ia malah nampaknya gelisah, beda sikapnya dengan hari-hari yang lalu. Di dalam hotel tiba-tiba Ong Tjiauw Hie menjura pada Tiong Liam. "Boanseng menghaturkan banyak-banyak terima kasih yang selama di perjalanan, boanseng telah peroleh perlindungan," katanya dengan tegas. "Sama sekali boanseng tidak berani dustakan lootaydjin. sebenarnya boanseng mempunyai satu musuh yang liehay sekali, yang di sepanjang jalan telah menguntit aku. Bilamana malam ini dapat dilewatkan dengan tidak kurang suatu apa. selanjutnya selamatlah aku. Sebentar malam, kalau lootaydjin dapat dengar sesuatu, boanseng minta lootaydjin jangan kuatir. Asal lootaydjin gantung tengloleng (tanglung) tjongtok dari lnlam dan Kwietjioe, aku berani pastikan lootaydjin tidak akan terembet-rembet." To Tiong Liam terkejut tak kepalang. Ia telah dipesan piauvvsoenya dengan sangat, selama di tengah jalan supaya ia bawa sikap sebagai satu saudagar, jangan sekali-kali ia perlihatkan lagak sebagai pembesar negeri, sebab umumnya kaum Rimba Hijau paling gemar membegal pembesar-pembesar pensiunan. Tetapi sekarang, Ong Tjiauw Hie sudah minta sebaliknya daripada pesan piauwsoenya itu. "Sebegitu jauh aku menyangka dia seorang mahasiswa, tak aku sangka dia justeru seorang kangouw," pikir bekas tjongtok ini. (Kangouw = "sungai telaga", yakni nama umum untuk segolongan orang kosen, termasuk kaum Boelim = Rimba Persilatan, dan Lioklim = Rimba Hijau). "Dia bukan sanak ataupun pamili, maksud apa yang dikandungnya terhadap diriku..." Selagi orang tua ini ragu-ragu, Keng Tjiauw Lam dengan kedua biji matanya berputar campur bicara. "Sekarang ini, bersatu kita selamat, berpisah kita terancam!" katanya dengan nyaring. "Tjiokhee, lootaydjin pasti turut saranmu ini. Untuk bicara terus terang bagi kepentingan kita bersama, mari kita bekerja sama dan bersatu hati, untuk menjaga diri dari angkara murka malam ini!" Orang she Ong itu bersenyum manis. "Itulah pasti." ia berikan janjinya. Sikapnya tetap tenang sekali. Seorang diri Ong Tjiauw Hie ambil sebuah kamar berikut hoathia, ruang depan. Ia telah titahkan jongos atur sebuah hioto. meja sembahyang, berikut pedupaan kayu cendana serta dua batang lilin besar, yang dinyalakan terang-terangan. Ia juga minta dua poci arak wangi. Pelana, berikut injakan kakinya, ia gabrukkan di sudut kamar. "Silakan kalian semuanya sembunyi di kedua kamar samping itu," kata ia kemudian pada Keng Tjiauw Lam dan para piauwsoe. "Kecuali aku panggil, jangan kalian lancang keluar!" Tjiauw Lam semua undurkan diri dengan keheran-heranan. Walaupun mereka luas pengetahuan, mereka tak dapat terka maksudnya pemuda serba putih ini. Merekapun tidak tahu pemuda itu sebenarnya orang macam apa. Malam itu kebetulan angin menderu-deru, tapi bintang-bintang tampak bertaburan di langit. Selagi malam berlarut, jagat lantas menjadi sepi. Ong Tjiauw Hie duduk seorang diri di ruang hoathia itu, matanya mengawasi keluar, tubuhnya tidak bergerak. TiongLiam dan lain-lainnya tidak berani tidur. "Mungkinkah dia akan duduk bercokol demikian rupa terus sampai terang tanah?" kata si piauwsoe tua dalam herannya. "Hus, diam!" tiba-tiba Keng Tjiauw Lam berbisik. "Ada orang datang!" Baru sekarang Ong Tjiauw Hie gerakkan tangannya, sedang tubuhnya tetap diam tak bergerak. Ia angkat sebuah poci arak. "Tuan-tuan telah datang dari tempat jauh, maaf, maafkan aku yang telah tidak menyambut sebagaimana layaknya!" terdengar suaranya yang nyaring. Dari pintu luar segera muncul empat orang, yang semua berperawakan besar, terutama yang maju di muka, sepasang matanya mencilak, sikapnya sebagai juga di situ tidak ada orang lain. "Sahabat, jangan rewel, mari turut kami!" berkata dia. Ong Tjiauw Hie menyambutnya sambil tertawa. "Untuk apakah?" sahutnya dengan sabar. Muram wajahnya orang tadi, hampir dia berseru ketika tampak tengloleng bekas tjongtok dari Inlam dan Soetjoan tergantung di kamar samping. Dia kaget. "Sebenarnya apa yang kau sedang kerjakan?" tanyanya. "Bukankah kau..." "Aku sedang lindungkan piauw!" Tjiauw Hie memotong. "Tuan-tuan, aku mohon sukalah kalian memandang padaku, yang baru pertama kali ini bekerja, jangan kau bikin pecah mangkok nasiku... Jikalau kalian hendak pergi cari untung, pergilah ke lain tempat..." "Hm!" orang itu berseru, terus dia kata: "Kausalah lihat!" Kata-kata itu disusul dengan gerakan tubuhnya ke arah kamar samping. To Tiong Liam sedang mengintai, ia lihat empat orang itu. "Dia toh Kimiewie dari kota raya?" serunya tak disengaja. Kimiewie, Barisan Baju Sulam, adalah suatu organisasi istimewa dari pemerintah, orang yang menjadi kepala, touwtjiehoei, adalah Tjio Ho. To Tiong Liam kenal kepala Kimiewie itu ketika ia masih menjabat pangkat, pernah kepala itu datang padanya untuk menawan satu pembesar tinggi yang dianggap bersalah, untuk dibawa ke kota raja. Sekarang tiba-tiba touwtjiehoei Tjio Ho muncul di sini. Baru Tjio Ho mendekati pintu kamar, atau Tjiauw Lam sudah lompat keluar sambil angkat tangannya menghalaunya. "Siapa kau?" bentaknya. "Kau berani bikin kaget lootaydjin?" Dua tubuh, atau lebih benar dua tangan, bentrok dengan keras, dengan kesudahan kedua-duanya terhuyung mundur sendirinya. Tiong Liam segera menampakkan diri. "Tjio Tjiehoei, pietjit di sini!" bekas tjongtok ini perkenalkan diri. Ia menggunakan kata-kata "pietjit" yang rendah untuk bahasakan dirinya. "Apakah Sri Baginda menitahkan memanggil pietjit?" Di jaman Beng, memang biasa raya memperlakukan bengis pada menteri-menteri nya, untuk perkara yang sangat kecilpun orang bisa dicekuk Kimiewie, untuk dihukum siksa hingga binasa. Tiong Liam baru meletakan jabatan, maka ia kuatir ditangkap raja, karenanya, suaranya agak menggetar. Tjio Ho lantas awasi bekas tjongtok itu. iapun masih ingat. "Ah benar-benar To Lootaydjin di sini," katanya kemudian. "Hamba hendak tawan orang jahat, di sini hamba berlaku kurang ajar, harap lootaydjin suka memberi maaf." Tapi ia tertawa dan terus menambahkan: "Sri Baginda senantiasa ingat lootaydjin, sehingga ia mengatakan bahwa lootaydjin adalah satu pembesar yang baik..." Mendengar itu, lega juga hatinya Tiong Liam. Lantas ia memberi hormat. "Silakan duduk! Mari minum!" ia mengundang. "Lootaydjin begini sungkan, tidak dapat hamba menerimanya," berkata Tjio Ho. "Hamba sedang diberi tugas oleh Sri Baginda, tidak berani hamba berdiam lama di sini, harap lootaydjin maafkan." Segera dia ajak tiga anggauta Kimiewie kawannya itu mengundurkan diri. Selagi lewat di depan Tjiauw Lam dan Tjiauw Hie. dia melirik kepada kedua pemuda itu. Tiba-tiba dia tertawa. "Lootaydjin, sungguh hebat kedua piauwsoemu ini!" katanya. Tetapi Tiong Liam diam saja. Keng Tjiauw Lam melihat ke bawah, ia dapatkan tapak kaki dalamnya setengah dim di lantai, ia tertawa dingin. "Budak-budak itu gemar sekali mempertontonkan Iweekangnya, tetapi mereka masih tidak dapat lawan saudara she Ong ini. yang tidak banyak lagak seperti kosong tiada berkepandaian!" katanya secara mengejek. (Iweekang adalah ilmu "dalam", pokok dasarnya lemas). Dengan tiba-tiba terdengar suara kesusu dari Tiong Liam di dalam kamar: "Keng Hiantit, mari! Mari lekas!" Dengan tindakan pesat anak muda itu taati panggilan itu. Bekas tjongtok ini adalah seorang ulung dalam kalangannya, setelah hatinya tenteram, dia segera dapat berpikir. Lantas dia menduga jelek terhadap Ong Tjiauw Hie, sekarang ia menyangkanya, bahwa pemuda serba putih ini adalah satu penjahat yang sedang dicari pahlawan-pahlawan Kimiewie itu. Dia anggap dirinya sudah digunakan sebagai tameng oleh pemuda itu. Hal ini membuat ia berkuatir sekali Apabila hal ini diketahui raja mungkin ia akan dipandang berdosa sampai kepada seluruh keluarganya. Karenanya, ia segera teriaki Tjiauw Lam. untuk mengutarakan dugaan dan kekuatirannya itu. Tjiauw Lam tertawa dingin. "Hal ini siang-siang aku telah dapat melihatnya," katanya. Tiong Liam masih hendak bicara tetapi Tjiauw Lam sudah mendahului keluar. Di hoathia. sepasang lilin besar masih menyala menggenclang. Di situ Ong Tjiauw Hie masih berduduk seorang diri, akan tetapi sekarang ia sedang tenggak araknya dengan cawan yang besar. Ia menenggak dengan bernapsu. Tjiauw Lam datang menghampiri, wajahnya muram. "Hiantee, kau benar-benar seorang kangouw ulung, aku sangat kagum!!" kata orang she Keng ini sambil berulang-ulang perdengarkan suara "Hm! Hm!" "Jangan gusar, saudara Keng." sahut Tjiauw Hie dengan tenang. "Aku lakukan ini karena terpaksa..." Sepasang matanya Tjiauw Lam berputar, sekonyong-konyong tangan kanannya menjambak, sambil berbuat demikian, ia membentak: "Nyalimu besar sekali sudah berani permainkan orang Boetong pay!" Tjiauw Hie egos turun pundaknya yang hendak dijambak itu, tapi Tjiauw Lam segera susul dengan tonjokan tangan kiri ke arah dadanya. Tjiauw Hie bersenyum, ia mengkeratkan dadanya dan mengelak ke samping hingga jotosan lewat di sisinya. Karena ia tidak mengangkat tubuh untuk berbangkit, maka ia masih tetap bercokol di atas kursi, sikapnya pun sebagai tidak terjadi sesuatu. Tjiauw Lam heran berbareng penasaran sekali, ia menyerang pula, tangan kirinya menjambak, dan tangan kanannya menotok. Inilah serangan yang merupakan salah satu dari tiga puluh enam jurus dari Taykimna tjhioe, Tangan Menawan, dari Boetong pay. Ong Tjiauw Hie sedang duduk bercokol, nampaknya sukar untuk ia dapat bebaskan diri dari serangan hebat itu, akan tetapi kesudahannya adalah di luar sangkaannya murid dari Pek Sek Toodjin itu. Sebat luar biasa, dari samping Tjiauw Hie bentur tangan kiri penyerangnya, hingga ia lolos dari cengkeraman, berbareng pula tangan kanannya menolak sikut kanannya penyerang itu. hingga kembali ia luput dari bahaya. Hanya kali ini ia terus berseru: "Saudara Keng, tahan dahulu! Lihat, musuh tangguh sudah datang! Kalau bersatu kita selamat, berpisah kita celaka!" Tjiauw Lam tidak ulangi serangannya walaupun hatinya sangat penasaran. Ia sudah lantas dengar suara apa-apa dari kejauhan, hingga wajahnya menjadi berubah. Ong Tjiauw Hie tertawa. "Kali ini yang datang adalah penjahat sejati!" katanya. "Buat omong terus terang, ke lima rombongan penjahat yang paling liehay dari wilayah perbatasan Soetjoan Siamsay. malam ini datang semuanya!" Keng Tjiauw Lam menjadi sangat gusar. "To Taydjin tidak membawa banyak uang, mengapa kau main gila secara demikian ini, kau bersandiwara di dalam untuk sambut yang di luar?" ia menegur. Masih Tjiauw Hie tertawa. "Kau sangka aku menjadi cecolok di sebelah dalam?" dia tegaskan. "Kau keliru! Sasaran mereka itu adalah aku, bukan taydjinmu itu! Namun mereka akan sekalian mengulur tangan untuk menuntun kambing, yaitu setelah merampas aku, mereka akan rampas juga pihakmu!" Tjiauw Lam semakin dibikin terbenam dalam keragu-raguan. "Pundakmu tidak menggendol, tanganmu kosong kiri kanan, apa yang hendak dirampasnya darimu?" pikirnya. Tjiauw Hie tidak berikan orang kesempatan untuk melamun, "lekas mundur ke dalam kamar!" serunya, dengan sungguh-sungguh. "Lekas singkirkan tengloleng kepangkatan itu! Mungkin bencana tidak merembet kepadamu..." Tjiauw Lam masih agak sangsi, hingga ia berdiri diam saja. Tjiauw Hie lompat bangun akan membisikkan piauwsoe istimewa itu. Baru sekarang orang she Keng itu angguk-anggukkan kepala dan. lantas undurkan diri. Suara berisik tadi datang semakin dekat. Tjiauw Hie pergi kepintu untuk dipentangkan lebar-lebar, menyusul kemudian belasan orang merubut masuk, perawakan mereka ada yang jangkung dan cebol tidak berketentuan. Kong Tjiauw lam lihat, di antara mereka itu terdapat ketiga totjoe. ketua dari Liongboen pang, partai dari Pintu Naga (Liongboen). Melihat mereka itu, mukanya si piauwsoe tua menjadi pucat pias. "Celaka kali ini..." katanya dengan perlahan pada Tjiauw Lam"Telah datang tiga rombongan penjahat yang paling liehay. Di samping dari Liongboen Samtotjoe itu, datang juga Poeisie Hengtee dari Hekhouw gjam dari Taypa san dan Beksie Samhiong dari Tengkoen san." Poeisie Hengtee adalah dua saudara she Poei dan Beksie Samhiong tiga jago she Bek. "Masih ada dua rombongan yang belum sampai," Tjiauw Lam kasih tahu. "Kau tunggu saja!" Di antara belasan orang yang baru muncul itu. tampak berdiri di tengah Lootoa Bek Hong Tjoen. tertua dari Beksie Samhiong dari gunung Tengkoen san. Matanya mencilak memain, lantas dia tertawa terbahak-bahak. Dia awasi Tjiauw Hie dengan tajam. "Benar kau seorang cerdik!" katanya. "Di mana kau simpan barang-barang permatamu? Apakah kau tidak mau lekas-lekas mengeluarkan-nya? Apakah kau campurkan dengan barang-barangnya si pembesar anjing?" Ong Tjiauw Hie sedikitpun tidak menjadi takut, malah ia perdengarkan suara nyaring. "Bek Lootoa. kau seorang kangouw ulung, mustahil kau masih tidak dapat melihatnya?" katanya. Inilah teguran yang berupa ejekan. " Sudah lama aku dengar namamu yang besar, tak kusangka, kau kiranya begini saja! Belum kau gerakkan tangan, kau sudah kalah satu gebrakan!" Kata-kata ini disusul dengan tertawanya gelak-gelak Tie Keng Hiong, tjongtotjoe atau ketua dari Liongboen pang tertawa besar, dia perlihatkan jempolnya. "Saudara, kau cerdik sekali!" katanya. "Sekarang cobalah kau keluarkan untuk kami semua menambah pengalaman, supaya selanjutnya kita bisa ikat tali persahabatan !*' Ong Tjiauw Hie, yang tadi sudah duduk kembali lalu berbangkit dengan perlahan-lahan, dan dengan tindakan yang tenang ia menghampiri pelananya yang tadi digabrukkan di sudut kamar, la angkat dan bawa pelananya itu, ditaruh di atas meja hioto. Enteng tampaknya ia angkat pelananya itu, akan tetapi waktu mengenai meja, pelana itu perdengarkan satu suara bentrokan berat. Dengan mulut bungkam pemuda ini cabut pedangnya, dengan apa ia potong kulit pelananya itu. Pelana yang hitam dan tadinya tidak menarik perhatian itu segera memperlihatkan isinya yang bercahaya gemerlapan, ialah lempengan emas yang ditabur dengan belasan mutiara besar, hingga sinarnya menyilaukan mata. Tiga saudara Bek saling mengawasi dengan ternganga. Orang Rimba Hijau yang ulung pandai sekait menaksir berat atau banyaknya isi buntalan orang pelancongan, taksirannya jarang gagal. Demikian ke lima rombongan jago-jago dari perbatasan Soetjoan Siamsay ini. Sudah berhari-hari mereka memasang mata terhadap Ong Tjiauw Hie. mereka menduganya dia bawa barang berharga, tetapi mereka belum dapat menerkanya di mana ditaruh atau disimpannya harta besar itu. Baru sekarang mereka kecele menyaksikan harta itu hanya diumpetkan di dalam pelana! Ong Tjiauw Hie tertawa, ia angkat injakan kaki pelananya itu. "Semua sesama orang sendiri," katanya dengan tegas, "karena aku tak punyakan lain barang untuk dihaturkannya, aku serahkan saja injakan kaki ini untuk saudara-saudara. Aku minta supaya barang ini dipandang sebagai bingkisan yang tidak berarti." Semua jago Rimba Hijau itu saling mengawasi. "Kau cerdik, kami menyerah kalah!" kata Bek Hong Tjoen dengan suara yang dalam. Ia tidak sambutkan injakan kaki itu, ia hanya putar tubuhnya dan pergi. Keng Tjiauw Lam di dalam kamar saksikan kejadian itu, bukan main lega hatinya. Saat hebat telah lewat. Bek Hong Tjoen baru hendak melangkah di ambang pintu, atau dari luar terdengar suara tertawa hihi-hihi. menyusul berkelebat menerobos masuknya seorang. Setelah berada di dalam thia. orang lihat dia adalah seorang tua kate dan gemuk, sambil mengepulkan asap hoentjweenya. "Ha, bagus sekali!" katanya tiba-tiba. "Tidak menunggui aku lagi. kalian sudah membagi-bagi harta!" "Siauw Toako, kita telah jatuh pamor!" kata Bek Hong Tjoen. "Hm! siapa yang jatuh?" kata orang tua kate terokmok itu. "Dari siang-siang aku telah dapat melihatnya, dalam pelananya itu ada hantunya! Semua pembicaraanmu aku telah dapat dengar, tetapi aku bukannya satu pengemis! Aku tidak mau orang mengamatnya kepadaku hanya dengan injakan kaki saja!..." Tjiauw Lam belum pernah bertemu si kate ini, akan tetapi dengan melihat perawakan dan gerak-geriknya orang, tahulah ia bahwa orang ini Siauw Soan Yang. begal tunggal di Siamsay Selatan, yang biasa bekerja seorang diri saja. Iapun tahu bahwa hoentjweenya itu pipa panjang sebenarnya adalah penganggan-nya yang dapat digunakan sebagai alat penotok jalan darah berbareng sebagai pedang Ngoheng kiam. Ia hanya tidak sangka, orang yang kenamaan ini kelakuannya demikian rendah. Ong Tjiauw Hie bersenyum, agaknya ia tak jeri terhadap si kate ini. "Siauw Lootiatjoe." katanya, "kau seorang dari angkatan tua. jikalau injakan kakiku ini dipersembahkan kepadamu memang tidak ada artinya, akan tetapi di sini ada seorang sahabatku, dia tidak menyetujuinya." "Siapakah sahabatmu itu?" Soan Yang tanya. "Silakan dia keluar..." Belum habis ucapan itu dikeluarkan, dari dalam kamar sudah lompat keluar satu orang, siapa terus saja berkata: "Keng Tjiauw Lam murid Boetong pay memberi hormat kepada semua tjianpwee!" Kedua matanya Siauw Soan Yang berputar. "Oh, kau murid Boetong pay?" katanya. "Mari kita ikat persahabatan!" Ia angsurkan tangannya untuk berjabatan tetapi diam-diam ia kerahkan tiga jarinya untuk menyerang dengan ilmu silat Hoenkin tjokoet hoat ialah ilmu "Memecah urat membagi tulang". Keng Tjiauw Lam bisa duga serangan gelap itu ketika tangannya bentrok satu dengan lain. ia elakkan diri dengan gunakan tipu silat "Samhoan togoat" atau "Mengalungi rembulan". "Bagus!" seru Soan Yang sambil ia angkat tangan kirinya, akan tepuk pundak kanan orang. Tjiauw Lam kumpul tenaga di kedua lengan, yang ia rangkap satu dengan lain, lalu ia egos pundaknya dengan gerakan "Giehoc seebong" atau "Nelayan menjemur jala". Secara demikian, ia luput pula dari ancaman bahaya. "Ha-ha-ha-ha!" Soan Yang tertawa. "Benar-benar murid Boetong pay!" Kemenangannya Tjiauw Lam ini berkat kecerdikannya, pula karena pamor partainya. Mengenai ilmu silat, ia masih kalah dari Siauw Soan Yang, akan tetapi begal tunggal ini telah dipengaruhi nama partai itu. Boetong pay tersohor sekali dan dimalui. Akan tetapi Soan Yang masih penasaran. "Kenapa tjiokhee campur air keruh ini?" tanyanya kemudian. "Siapa kata air keruh?" kata Tjiauw Lam. "Kita adalah sesama golongan. Emas adalah perkara kecil tetapi nama Boetong pay tak dapat dijatuhkan di sini." Soan Yang tertawa secara tawar. "Murid-murid Boetong tidak pernah menjadi piauwsoe. mereka tidak pernah menjadi penjahat, kenapa kau dan dia bisa menjadi dari satu golongan?" dia tanya pula. "Bukankah urusan kangouw setiap orang berhak mengurusnya?" Tjiauw Lam balik tanya. "Kau hendak membegal karena andalkan jumlah yang jauh lebih banyak, maka aku yang telah melihatnya tidak dapat membiarkannya!" Masih begal tunggal dari Siamsay itu tertawa. "Adakah perbuatanmu ini karena suruhan gurumu?" dia tanya tegas-tegas. "Dan mengapa dia hanya utus kau seorang?" "Untuk membela keadilan, mengapa mesti tunggu titah guru?" Baru Tjiauw Lam mengucap demikian, ia lihat lirikannya Tjiauw Hie, ia lantas sadar dengan tiba-tiba. maka lekas-lekas ia menambahkan: "Sekarang ini angkatan kedua dan Boetong pay sedang berkumpul di Siamsay, rombongan itu memang ada niatan untuk membuat pertemuan dengan orang-orang Rimba Persilatan sebangsamu yang kenamaan." Soan Yang terperanjat. Ia baru saja dapat pikir, kalau orang Boetong pay ini tidak mempunyai lain kawan separtai, ia hendak mengerjakannya, dan mayatnya disingkirkan untuk melenyapkan bekas, tetapi sekarang mendengar pihak Boetong itu sedang berapat, ia menjadi jeri. la menduganya pihak itu tentulah berjumlah banyak. Maka walau nyalinya besar, ia tidak berani bentrok murid-murid Boetong pay itu. "Jangan gusar, tjiokhee," katanya setelah sedot hoentjweenya dan tertawa. "Karena dia sahabatmu, mustahil kami tidak ingat kepada persahabatan?" Mendengar demikian, lega hatinya Tjiauw Lam hingga tanpa merasa ia menyeka jidatnya yang telah mengeluarkan keringat. Dua kali ia telah berhasil elakkan diri dari serangan Soan Yang, ia insyaf, bahwa ia bukannya tandingan begal tunggal itu. Iapun mengerti, begal ini telah dapat digertak olehnya, yang mengatakan hal berapatnya murid-murid Boetong pay angkatan kedua. Keterangannya ini bukan tidak benar anteronya. Rapat memang tidak ada, akan tetapi Tjie Yang Toodjin telah utus empat muridnya ke Siamsay untuk suatu tugas, melainkan di antara ia dan empat saudara seperguruannya itu tidak ada hubungannya. Siauw Soan Yang lihat orang menyeka keringat, mendadak hatinya tergerak, karenanya ia terus berdiri tegak, kedua matanya mengawasi dengan sinarnya yang tajam. "Inilah hebat..." Ong Tjiauw Hie mengeluh dalam hatinya. Sekonyong-konyong Soan Yang tertawa sambil melenggak, lalu terdengar suaranya yang nyaring tegas: "Kwie Toako, bagus kau telah datang! Bagaimana pendengaranmu, bocah ini sedang berdusta atau tidak?" Pertanyaan itu disambut dengan berkelebatnya satu bayangan hitam dari luar melesat kedalam. Sehingga tertampak seseorang tua dengan muka merah, tubuhnya tinggi dan besar. Lantas orang ini tertawa gelak-gelak. "Memang Boetong pay telah kirim empat muridnya tetapi mereka semua telah orang dapat bekuk!" katanya dengan suara dahsyat. "Lain orang berani bentur Boetong pay, mengapa kita tidak? Bocah ini berada sendirian di sini, mari kita hajar mampus padanya, mayatnya kita lemparkan ketegalan untuk dikasihkan srigala berpesta! Bila Boetong Ngoloo datang kemari mencari padanya, perhitungan ini tidak mengenai kita, sudah ada orangnya yang akan jadi sasaranya!" Hatinya Keng Tjiauw Lam goncang dan berkuatir. Ia menduga pasti bahwa orang tua muka merah ini tentu Engdjiauw Ong Kwie Yoe Tjiang si Raja Kuku Garuda, satu begal tunggal pula yang kenamaan di Soetjoan Timur. Ia heran bagaimana orang ini dapat ketahui pihaknya hanya kirim empat orang. Ia lebih heran lagi, orang ini ketahui juga ke empat saudara seperguruan itu telah ditawan lain orang. Siapakah pihak penawan itu? Pun Siauw Soan Yang turut heran juga. "Kwie Toako, tunggu dulu!" ia berkata "Apakah kau artikan si Iblis Wanita ini telah turun tangan? Di sini toh bukan wilayah yang masuk lingkungan pengaruhnya?" Kwie Yoe Tjiang pandang sahabat itu. "Hai, mengapa nyalimu demikian kecil?" kata dia. "Kita kaum Rimba Hijau dari perbatasan Soetjoan Siamsay, tak dapat membiarkan diri kita ditindih oleh satu bocah cilik wanita!" Sambil mengucap demikian, begal tunggal inipun berbareng sudah lantas bekerja. Dengan bergerak pundaknya, tangannya yang besar dan lebar seumpama payung sudah menyambar ke arah Keng Tjiauw Lam. Murid Boetong pay itu kaget sekali, terutama karena ia tampak, telapakan tangannya orang she Kwie itu bersinar merah bagaikan nyalanya arang. la tidak berani menyambutinya, maka ia hanya berkelit dengan segera. Tapi di samping itu ia tidak mau menyerah dengan begitu saja, kaki kanannya telah diterbangkan ke arah jalan darah "peksiehiat" didengkul orang tua itu. Kwie Yoe Tjiang tertawa dingin. Cepat ia geser kakinya, lalu terus dimajukan kembali untuk berlompat menerjang, lima jari tangan kanannya menyambar kaki penendang yang sedang ditarik pulang itu. Tjiauw Lam tampak ancaman bahaya, ia berlaku sebat menarik pulang kakinya itu. Akan tetapi Engdjiauw Ong segera rangsek padanya, hingga ia mesti mundur berulang-ulang. Ia lantas jadi mendongkol terhadap Ong Tjiauw Hie, yang ia lihat tidak maju membantui padanya. Kwie Yoe Tjiang mendesak terus. Terdengar nyata sambaran angin dari serangannya yang bertubi-tubi itu, yang merepotkan sangat lawannya. Tjiauw Lam telah didesak sampai di pojok tembok. Di saat Engdjiauw Ong hendak turunkan tangan jahatnya yang berupa serangan terakhir, mendadak ia dengar ucapannya Tjiauw Hie: "Kalian mengarah! pelanaku, itulah tidak sulit! Akan tetapi pernahkah kalian menanyakannya kepada Giok LoSat?" Waktu itu bukan hanya Siauw Soan Yang seorang yang sedang desak Keng Tjiauw Lam, juga Poeisie Hengtee dan Beksie Samhiong sudah maju mengurung untuk menjaga orang loloskan diri, tetapi ketika mereka dengarsuaraitu, mereka menjadi kaget malah Kwie Yoe Tjiang sudah lantas mencelat mundur. "Apa? Giok Lo Sat si Wanita Raksasa katamu?" dia tegaskan sambil matanya mengawasi. Ong Tjiauw Hie tidak gubris pertanyaan itu. "Bagi orang-orang Rimba Hijau, dia boleh garong seribu rumah, tapi tidak rampas barang sumbangsih!" demikian dia kata, sikapnya tenang tetapi suaranya keras. "Ini adalah bingkisan orang untuk Giok Lo Sat! Apakah benar kalian hendak hitam gegares hitam?" Wajahnya Siauw Soan Yang menjadi pucat sekali. "Kwie Toako. tunggu dulu!" ia cegah kawannya. Tapi Yoe Tjiang sudah lantas maju pula, maju sambil berlompat. "He, bocah! Kau hendak gertak aku dengan namanya Giok Lo Sat?" kata dia dengan bengis karena murka "Siapa gertak kau?" membaliki Tjiauw Hie, tetap tenang. Ia angkat pelananya untuk di balik, hingga di kulit belakangnya dari pelana itu kelihatan ukiran dari beberapa huruf, bunyinya: "Dipersembahkan kepada Nona Lian Nie Siang." "Ini toh bukannya ukiran yang baru saja aku buat?" dia menambahkan dengan pertanyaannya. Soan Yang segera tarik Yoe Tjiang ke samping. "Kwie Toako. urusan ini kita harus percaya akan kebenarannya," kata begal tunggal dari Siamsay Selatan itu. "Turut pendapatku baiklah bocah ini kita berikan kebebasan." Kwie Yoe Tjiang bersuara MHm, hm!" beberapa kali, lantas dia tunduk untuk berpikir. Ketiga saudara Bek dan ketigajago Liongboen pang datang mengerumuni. Tinggal persaudaraan Poei, yang masih melakukan pengawasan. Keng Tjiauw Lam heran, hingga ia berdiri terpaku. "Siapa itu Giok Lo Sat?" ia menerka berulang-ulang. "Nama ini belum pernah aku mendengarnya... Kenapa semua jago ini tampaknya ketakutan sangat?" la masih menerka-nerkanya, tanpa hasil. Baru lewat beberapa detik, terlihatlah Kwie Yoe Tjiang si begal tunggal dari Soetjoan Timur tiba-tiba angkat kepalanya, kedua matanya memperlihatkan sinar tajam. "Tidak perduli barang kepunyaan Giok Lo Sat, aku hendak merampasnya juga!" kata ia separuh mengerutu. Siauw Soan Yang berjingkrak. "Toako. toako!..." katanya dengan suaranya tertahan-tahan. "Hm!" bersuara pula begal she Kwie itu. dibarengkan sebelah tangannya diayun, lalu: "Brak!" dan ujung meja hiotoh dihajar patah. Dia terus berseru dengan sengitnya: "Dalam satu tahun ini sudah cukup banyak kita terima gangguannya bocah perempuan itu, maka baiklah kita gunakan ketika ini untuk membebaskan diri dan lawan padanya!" Siauw Soan Yang mundur beberapa tindak. Ini...ini..." katanya, suaranya menggetar. "Kecewa namamu yang termasyur!" seru Kwie Yoe Tjiang pula. "Mengapa kau ketakutan demikian rupa? Toh tentang keliehayannya kita hanya baru dengar dari ceritanya orang, kita belum lihat dengan mata kepala sendiri! Hayo, siapa berani mari turut aku! Sudah pasti aku hendak rampas pelananya bocah ini!" Persaudaraan Bek dan jago-jago Liongboen pang berdiam saja. Tapi persaudaraan Poei berikan jawabannya. "Kita suka turut Kwie Toako!" demikian katanya. Kwie Yoe Tjiang berpaling kepada Siauw Soan Yang. matanya bersinar. "Baiklah!" kalanya, dengan kecele. "Persaudaraan kita selama beberapa puluh tahun nyata sia-sia belaka!..." Soan Yang tertawa meringis "Jikalau sudah pasti toako hendak turun tangan, baiklah aku turut." kata dia dengan sangat terpaksa. Kwie Yoe Tjiang tertawa puas, lalu dengan tiba-tiba ia ulur sebelah tangannya, dengan melalui meja ia jambak Tjiauw Hie. Pemuda she Ong itu berkelit dengan sebat Dua saudara Poei. menerjang berbareng dari kiri kanan. Tjiauw Hie memutar tubuh, lantas dia pentang kedua tangannya, dengan sikap "Tjo yoe kay kiong" -- "Mementang busur ke kiri dan kanan". Dengan cara ini, ia tangkis serangannya Poeisie Hengtee itu. Kwie Yoe Tjiang maju. kembali ia menyerang dengan kedua jari tangannya ditujukan ke arah sepasang matanya Tjiauw Hie. Dengan gerakan "Hong hong tiam tauw" --- "Burung hong menggoyang kepala", pemuda ini mencelat ke samping, menyingkir dari ancaman itu yang bisa menyebabkan mata buta. lalu ia tertawa dengan dingin. "Kwie Lootoa, kau telah terjebak ke dalam tipuku memperlambat waktu!" ia kata sambil mengejek. "Jikalau kau hendak merampas, seharusnya kau lakukan sejak siang-siang. Sekarang baru kau turun tangan, nyata kau terlambat! Coba kau dengar, suara apa itu di luar?" Yoe Tjiang melengak. ia memasang kuping. Ia dengar suara kentongan dipalu lima kali, tanda bahwa sang malam yang panjang sudah lewat dan mendekati pagi- Ong Tjiauw Hie lantas saja tertawa besar. "Kau sudah dengar, bukan? Itulah jam lima!" katanya dengan gembira. Sedikitpun ia tidak kenal takut. "Giok Lo Sat segera akan datang, maka. Kwie Lootoa, apakah kau masih tidak hendak berhenti? Ingat, jikalau nanti kau mampus, kau akan tidak punyakan tempat untuk kubur dirimu!" "Hm. binatang, kau hendak memperlambat-lambatkan tempo?" bentak Kwie Yoe Tjiang. "Baiklah terlebih dahulu aku akan antarkan kau kepada Giam Lo Ong si Raja Akherat!" Benar-benar jago dari Soetjoan Timur ini kirim pula kepalannya yang mengeluarkan suara angin. Dengan kegesitannya, Ong Tjiauw Hie kelit serangan dari kematian itu, segera terdengar suara tertawanya yang nyaring dan panjang, dibarengkan dengan kesehatan kedua tangannya yang bergerak bagaikan kilat, menyebabkan kedua api lilin padam dalam sekejap, hingga hoathia pun menjadi gelap petang seketika itu juga! Keng Tjiauw Lam menempelkan tubuhnya ke tembok dan menahan napas. Dalam tempat gelap itu, walaupun mereka berjumlah banyak, kawanan begal itu tidak berani sembrono turun tangan. Kwie Yoe Tjiang pun berdiri diam untuk memasang kuping dan mata. untuk dapat melihat di tempat gelap itu. Segera juga dan luar terdengar suara tertawa yang nyaring tetapi halus, agak jauh terdengarnya, akan tetapi dalam sekejap suara itu sudah berada di depan pintu, hingga semua mata lantas berpaling ke arah pintu itu, yang kedua daunnya sekarang telah terpentang, mata mereka segera bentrok kesilauan cahaya api tengloleng! Mereka pun menjadi kaget! Di muka pintu yang lebar berbaris masuk serombongan wanita, empat yang jalan di muka masing-masing menenteng tengloleng berkembang, di belakangnya tampak pula empat wanita lainnya, yang jalan menjadi dua baris di kiri kanan, mengapit satu nona cantik bagaikan bidadari. Nona ini mengenakan baju warna kuning jeruk dan pinggangnya terlibat angkin sutera warna putih. Alisnya yang lentik panjang menaungi kedua matanya yang bersih jernih. Dia bertindak sambil tertawa perlahan dengan sangat manisnya. Di dalam ruang itu. semua begal berdiri terpaku bagaikan patung-patung, antaranya ada yang mukanya pucat seperti mayat, ada juga yang merengkal. Dalam keadaan seperti itu, terdengarlah suara riang dari Ong Tjiauw Hie. "Lian Liehiap, ayahku menanyakan kesehatanmu!" demikian suaranya yang nyaring terdengar nyata di dalam ruang sunyi senyap itu. (Liehiap = nona gagah). Nona itu manggut-manggut. "Diapun banyak sehat, bukan?" balasnya, suaranya halus. "Terima kasih!" Tjiauw Hie mengucap. "Ayahku telah minta aku menyampaikan pelana ini kepadamu. akan tetapi mereka ini..." Alisnya nona itu bergerak-gerak, dia tertawa. "Ya, aku telah ketahui," dia memotong. "Bukankah mereka ini mengiler atas pelanamu itu?" Kembali alisnya bergerak, tapi sekarang bergerak berdiri. "Aku tak tahu bahwa pelana mi kepunyaanmu..." kata Siauw Soan Yang dengan cepat, suaranya tidak wajar. Mendengar sangkalan itu, Keng Tjiauw Lam tertawa di dalam hatinya. "Nona ini masih demikian muda, mungkin usianya belum dua puluh tahun." pikirnya, "tetapi aneh tua bangka ini sangat jeri kepadanya!..." Lagi-lagi alisnya si nona bergerak, lantas ia bersenyum. "Siapa tidak tidak tahu, dia tidak bersalah." katanya. "Mari kalian semua turut aku pulang ke gunung..." Ia merandek sebentar, lalu ia tertawa. Ia pandang Kwie Yoe Tjiang "Oh. Kwie Lootoa. kau juga datang kemari?" katanya, menambahkan: "Upetimu bagian bulan ini masih belum diantarkan, apakah kau lupa?" Jago Soetjoan Timur itu berdiri tegak mengawasi, tapi tiba-tiba ia perdengarkan suaranya: "Giok Lo Sat, lain orang jeri terhadapmu, aku tidak! Di sini bukan daerah pengaruhmu, aku kehendaki pelanamu itu!" Jago ini tidak hanya membentak, diapun lompat maju. Si nona yang orang sebutnya Giok Lo Sat itu berdiri diam, sikapnya tenang. "Hayo tuan-tuan, siapa lagi yang hendak turut memiliki pelana itu?" tanyanya dengan sabar. Beksie Samhiong undurkan diri berbareng bersama pihak Liongboen pang. "Kami tidak campur," kata mereka. Siauw Soan Yang yang mukanya menjadi pucat, tidak dapat buka mulutnya. Poeisie Hengtee juga berdiam, akan tetapi mereka berdiri di belakangnya Engdjiauw ong Kwie Yoe Tjiang yang nyalinya besar itu. Nona itu awasi semua orang, lalu ia tertawa panjang. "Kwie Lootoa, memang siapa orangnya yang membuat kau takut?" dia kata. Kwie Yoe Tjiang tidak menjawab, hanya tangannya ia ulur untuk menjambret Dengan sekonyong-konyong saja tubuhnya si nona seperti lenyap dari hadapan jago Soetjoan Timur itu. hingga jago ini kaget tak terkira, dia segera mundur Akan tetapi sudah kasep. bebokongnya mendadak dia rasakan sangat sakit, tidak ampun lagi dia roboh terbanting! Dua saudara Poei juga kaget tak kepalang, tapi seperti Yoe Tjiang, sebelum tahu apa-apa keduanya menjerit dengan tiba-tiba dan roboh bergulingan! Setelah itu, barulah terlihat lagi si nona berdiri dengan tertawanya yang manis, ia seperti tidak menghadapi peristiwa apa juga. Beksie Samhiong dan Liongboen Samto lantas maju memberi hormat. "Kalian bangun, inilah bukan urusanmu!" berkata si nona. Siauw Soan Yang lantas minta maaf berulang-ulang. Akan tetapi, menghadapi begal dari Siamsay Selatan ini, si nona hanya tertawa dingin. Di dalam rombongan penjahat itu. Kwie Yoe Tjiang adalah yang paling kosen, ia empos semangatnya untuk lawan rasa sakit dari serangan yang ia peroleh itu, karenanya, ia, tidak usah menjerit dan merintih-rintih sebagai persaudaraan Poei itu. Tapi ia hanya dapat berlawan sebentar saja, ia tidak dapat bertahan pula. rasa sakitnya bukan main, sebagai juga digigitnya ular-ular berbisa, sehingga ia tidak bisa bersuara lagi. Peluhnya (keringat) membasahi seluruh tubuhnya, ia bergelisah tidak keruan. "Nona, aku meminta kau segera bunuh kami, agar kami tidak menderita siksaan lebih lama," dua saudara Poei akhirnya memohon. Yoe Tjiang sendiri tetap tidak bisa bicara, hanya matanya seperti hendak copot karena menahankan sakit. Giok Lo Sat tertawa memandang kedua saudara Poei itu. "Persaudaraan Poei, kalian melainkan ikut-ikutan, dapat kalian diberi setingkat keringanan untuk peroleh kebebasan lebih cepat." katanya. Lantas ia angkat kedua kakinya saling susul menendang dua saudara itu hingga keduanya menjerit, terus mereka berdiam. Keng Tjiauw Lam yang menyaksikan itu kaget tak terkira. Ia tidak sangka, nona secantik itu mempunyai hati demikian telengas. seperti raja iblis. Setelah bereskan Poeisie Hengtee. Giok Lo Sat menggapai kepada Siauw SoanYang. "Mari kau!" demikian suara panggilannya, Dengan tubuh gemetar seluruhnya, Soan Yang menghampiri dengan tindakannya yang perlahan, sambil jalan kedua tangannya meraba-raba kepada tembok. "Kau dengan Kwie Lootoa adalah saudara-saudara angkat dari beberapa puluh tahun, pasti erat sekali persahabatanmu!" kata si nona. suaranya sabar. Hancur rasa hatinya Soan Yang. "Aku harap nona dapat maklumi bahwa di dalam urusan ini aku tidak ambil bagian." jawabnya. Wajahnya si nona bermuram durja karena jawaban ini. "Percuma kau telah menjadi begal untuk banyak tahun!" dia menegur "Apakah kau masih belum mengerti pantangannya satu penjahat? Matamu seperti tidak ada sinarnya, namun kau masih berani menjagoi dalam kalangan Rimba Hijau! Pikirlah masak-masak! Dia satu anak muda, tanpa tulang punggung, apakah dia berani bawa harta besar dengan bersendirian saja? Baik aku beri tabukan kau, jikalau barang bingkisan itu bukan untukku, tak berani aku datang kemari untuk mencampuri pekerjaanmu. Mengapa sebelum kau cari keterangan dahulu tentang dia ini, kau sudah turut saja ojokan orang dengan bekerja sama untuk ganggu padanya? Bukankah itu berarti kau buta melek?" Soan Yang terus membungkam, tetapi makin dicaci-maki makin hatinya lega. hingga akhirnya tenteramlah hatinya yang tadinya goncang keras. Ia ketahui baik adat tabiatnya Giok Lo Sat. Selagi menghadapi nrusan besar, kalau si nona berseri-seri, dan kata-katanya halus dan sabar, itu artinya dia akan menggunakan kekerasan, sebaliknya, kalau dia berlaku bengis, itu berarti tak akan terjadi kehebatan. Ia tunggu sampai si nona berhenti menegur, ia segera membarengkan dengan kedua tangannya ia gaploki mukanya sendiri berulang-ulang. "Ya, mataku buta. tidak berhak aku menjadi begal!" ia mengoceh seorang diri, mengakui kesalahannya "Harap nona sudi beri pengajaran kepadaku." "Jikalau kau insyaf akan kesalahanmu, aku suka memaafkannya." kata Giok Lo Sat kemudian. "Sekarang hayo kau bikin habis saudara angkatmu ini!" Soan Yang kaget sehingga pucat mukanya. Kwie Yoe Tjiang adalah sahabatnya untuk puluhan tahun, sampai hatikah dia membunuh sahabat ini? Kwie Yoe Tjiang bergulingan pergi pulang, ia bergelisah tidak keruan, kemudian ia berguling mendekati Soan Yang kepada siapa ia mengawasi, sinar matanya memohon supaya sahabat ini lekas-lekas bunuh padanya. Bukan main sangsinya Soan Yang, ia merasa berat tetapipun hatinya takut... Tjiauw Lam yang sedari tadi diam melihatkan semua kejadian itu. mendadak lompat maju. "Kwie Yoe Tjiang adalah begal tunggal yang jahat sekali dan sesat, jikalau kau bunuh padanya, itulah sebagai kau mewakilkan kaum Rimba Hijau menyingkirkan satu manusia busuk!" katanya dengan nyaring. "Dengan singkirkan begal ini. orang tidak akan menyalahi tindakanmu ini. Akan tetapi untuk memaksa mereka berdua saling bunuh, aku anggap tidak tepat, bukan perbuatannya orang terhormat!" Berubah wajahnya Giok Lo SaL tetapi ia tertawa. "Kau dari golongan mana?" dia tanya. "Murid Boetong pay angkatan kedua!" sahut Ijiauw Lam dengan angkuh. "Oh. dari Boetong pay! Maaf. maaf..." katanya, matanya memain. Terus ia pandang Soan Yang dan kata: "Siauw Soan Yang. aku sebenarnya sedang uji hatimu. Kau dan Kwie Yoe Tjiang adalah orang-orang segolongan, tetapi aku tahu kau tidak sejahat dia. Aku suruh kau bunuh dia. kau tidak lancang melakukan titahku itu, inilah bagus. Baik. karena sifatmu ini, aku tidak memaksa untuk kau menjadi algojo." Sehabis mengucap demikian, nona ini ayun sebelah kakinya terhadap Kwie Yoe Ijiang. Habislah riwayat begal tunggal dari Soetjoan Timur itu. ia berpulang ke tanah baka. Lalu. nona ini berpaling kepada semua orang. "Sekarang kau semuanya ikut aku ke Tengkoen san!" katanya. lapun tertawa. Kemudian ia tunjuk Keng Tjiauw Lam, akan tanya: "Kau hendak pergi ke mana? Apakah kau hendak lanjutkan melindungi To Taydjin? Kau juga harus turut aku. berikut To Taydj in serta semua barang bawaannya mesti diangkut ke atas gunung!" Tjiauw Lam kaget tidak kepalang. "Sungguh besar nyalinya Giok Lo Sat," pikirnya. "Bagaimana berani dia membentur aku dan Boetong pay!" Boetong pay telah jadi terlalu kesohor hingga ada banyak muridnya yang menjadi keras kepala, Keng Tjiauw Lam tidak terkecuali, akan tetapi sekarang ia toh bersangsi menghadapi sikapnya Giok Lo Sat. Jikalau tidak menurut, ia kualir kena dikalahkan, sebaliknya kalau turut, ia kuatirkan pamornya jatuh yang bersangkut paut dengan nama baiknya Bodong pay. Ong Tjiauw Hie melirik dan mengedipkan mata. ketika orang Boetong pay itu tengah terbenam dalam keragu-raguan. "Saudara Keng memang sangat pangeni Lian Licin.ip." kata Tjiauw Hie dengan terang tegas, "malah selama di perjalanan, dia telah utarakan niatnya mengunjungi liehiap kepadaku." Mendengar ini, mengertilah Tjiauw Lam bahwa orang hendak cegah ia bertindak secara sembrono, maka ia merasa tidak puas, ia harus kendalikan diri. la juga pikir: "Tidak boleh aku terima penghinaan di depan banyak mata. Baik aku turut padanya akan lihat apa yang hendak ia lakukan, andaikan dia tidak memberi muka dengan merampas juga harta benda To Taydjin, terpaksa aku mesti undang saudara-saudara seperguruanku untuk tempur padanya!" Lantas ia masuk ke dalam kamar untuk memberitahukan Tiong Liam, iapun minta bekas tjongtok ini bersabar dan ikut ke gunung. Tiong Liam bisa berpikir, apapula piauwsoenya pun membujuknya untuk mengikut saja. Maka ia kata: "Baiklah, asal jiwaku selamat. Harta benda adalah barang sampingan." Demikian, setelah kekacauan itu, selagi cuaca remang-remang. Giok Lo Sat serta delapan pengiringnya mengiringkan rombongannya To Tiong Liam dan kawanan begal itu menuju ke gunung Tengkoen san. yang menjadi cabang dari pegunungan Taypa san. Pesanggrahannya di atas gunung itu merupakan sebagai benteng, dari kaki gunung sampai di atas, dengan berjarak-jarak, ada bandit-bandit wanita yang melakukan penjagaan dan menyambut rombongan. Semua mereka nampaknya gagah. Ong Tjiauw Hie kagum melihat serdadu-serdadu wanita itu, di dalam hatinya ia kata: "Tampaknya nona-nona ini mungkin lebih gagah daripada serdadu-serdadunya ayahku." Sesampainya di atas gunung. Giok Lo Sat berikan titahnya supaya rombongan To Tiong Liam diantar ke kamar tetamu yang besar, dan barang-barang berikut kereta-keretanya dibawa ke belakang. Ong Tjiauw Hie dapat satu ruang tersendiri, akan tetapi ia bebas merdeka untuk temui Keng Tjiauw Lam dan lain-lainnya. "Loopiauwtauw," berbisik Tjjauw Lam kepada si kepala piauwsoe. "kau telah lama popiauw di Barat utara, tahukah kau Giok Lo Sat ini orang macam apa?" "Dia adalah penyamun wanita yang baru muncul selama dua tahun ini." jawab orang yang ditanya. "Orang mengatakan dia bernama Lian Nie Siang akan tetapi di dalam kalangan Rimba Persilatan tidak ada orang yang ketahui jelas tentang asal-usulnya, lebih-lebih tidak ada yang tahu dari mana dia peroleh kepandaiannya yang liehay itu. Aku dengar orang bercerita, walaupun dia baru muncul, dengan tangan kosong serta sebatang pedangnya dia pernah robohkan delapan belas penjahat besar, dan pertempurannya itu telah dilihatnyaoleh Lie Djie Hoe, jago silat kesohor dari Siamsee itu dengan mata kepala sendiri. Lie Djie Hoe nyatakan, ilmu silat bertangan kosong dan ilmu pedangnya si nona beda daripada orang banyak umumnya, belum pernah ia melihatnya, maka itu ia mau percaya, tidak usah sampai sepuluh tahun nona itu tentulah akan menjagoi seluruh golongan, mengalahkan semua jago silat lainnya." Tjiauw Lam perdengarkan suara "Hm!" Piauwsoe tua itu segera insyaf bahwa ia telah omong terlalu banyak, lantas ia tertawa dan menambahkannya: "Lie Djie Hoe luas penglihatannya akan tetapi mengenai Giok Lo Sat mungkin ia agak berlebihan. Dari pihakmu. Boetong pay. ilmu tangan kosong Kiockiong Sinheng tjiang dan ilmu pedang Tjittjapdjie tjhioe Lianhoan kiam adalah ilmu asli Rimba Persilatan, tak dapat dibandingkan dengan lain kaum..." Piauwsoe ini mengatakan demikian karena ia ingat, selama beberapa puluh tahun ini kaum Boelim atau Rimba Persilatan telah memandangnya Tjie Yang Toodjin dari Boetong pay sebagai ahli silat nomor satu. Kata-katanya tadi tidakkah ia telah menindih toodjin itu? Tjiauw Lam bersenyum mendengar perkataannya piauwsoe ini, ia masih bersikap jumawa, akan tetapi hatinya puas. Seantero hari itu, To Tiong Liam dan rombongannya telah disekap di dalam kamar, selindakpun mereka tak dapat keluar, akan tetapi mendekati sore. dua serdadu wanita datang kepada mereka. "Tjeetjoe kam i undang To Taydjin dan Keng Enghiong menghadiri perjamuan!" demikian katanya. (Dengan "tjeetjoe" diartikan ketua pesanggrahan). Undangan ini diterima dengan baik. Ruang pesanggrahan diterangi dengan banyak lentera, di situ disiapkan dua buah meja perjamuan, kecuali Giok Lo Sat Lian Nie Siang yang cantik bagaikan bidadari, ada berkumpul Hoansanhouw Tjioe Tong. Hweelengwan Tjoe Poo Tjiang dan lainnya, berikut Seetjoan Siangsat yang dikeiemukan di tengah jalan. Dua belas nona-nona disediakan untuk melayani hadirin. Di luar ruang pesanggrahan dijaga serdadu-serdadu (liauwlo) wanita. Meskipun mereka menghadapi pesta, tapi jago-jago Rimba Hijau itu semua kuncup hatinya "inilah pesta paling aneh." Keng Tjiauw Lam berpikir. "Di sini pria tunduk terhadap wanita..." Ia tetap tidak puas tetapi ia kagumi juga Giok Lo Sat "Silakan minum!" nona rumah mengundang. Kemudian, sesudah tiga edaran, dia berikan titah kepada orangnya: "Bawa bingkisan untuk Ong Kongtjoe kemari!" Titah ini diturut dengan segera. Lima liauwlo membawa datang lima buah nenampan yang ditutupi cita merah. Giok Lo Sat lantas buka tutupnya dua nenampan di sebelah kiri. melihat mana. Tiong Liam kaget hingga ia berseru. Di atas nenampan itu ada dua kepala manusia berlumuran darah! Giok Lo Sat bersenyum, ia terus pandang Tjiauw Hie, "Inilah yang dikehendaki ayahmu!" katanya. Sekarang si nona singkap kain penutup tiga nenampan lainnya, semua itupun bermuatkan masing-masing satu kepala orang yang darahnya masih berlepotan. la angkat setiap kepala yang ia ayun-ayun. kemudian ia bersenyum. "Mcreka bertiga telah berlaku kurang ajar terhadap kongtjoe. maka itu, aku ambil kepala mereka," katanya. "Aku harap kongtjoe pandang ini sebagai bingkisan untukmu. Mereka ini masih mempunyai satu kawan lainnya, yang telah mendapat bagiannya pula, aku percaya dia selanjutnya tidak akan berani membikin pusing pula kepada kongtjoe." Kembali Tiong Liam menjadi kaget. Ia dapat mengenali tiga kepala itu adalah tiga anggauta Kimiewie yang kemarin ikuti Touvvtjiehoei Tjio Ho. Tidak disangka mereka semua roboh di tangannya nona luar biasa ini. Satu kawan lainnya yang dimaksudkan oleh si nona mungkin Touwtjiehoei Tjio Ho. Ong Tjiauw Hie berbangku dengan hormat. "Tidak sanggup aku terima bingkisan semacam ini." katanya. "Lagipun. untuk sementara ini aku masih belum memikir untuk berangkat pulang." "Aku tahu kongtjoe hendak melakukan perjalanan jauh ribuan lie." berkata pula si nona. "Baiklah, bingkisan ini aku nanti titahkan orang mengamarkannya kepada ayahmu sekalian bersama surat perjanjian ikatan kita." "Terima kasih!" Tjiauw Hie mengucap. Si nona tertawa manis sekali, la awasi semua hadirin bandit. "Jikalau tidak bentrok lebih dahulu, kalian tidak akan mengenal satu dengan lain," berkata dia. "Baiklah di sini aku menjelaskannya, bahwa ayahnya Ong Kongtjoe ini adalah Ong Kee In dari Siamsay Utara." Mendengar itu, semua berandal tertawa. "Benar-benar hebat!" kata mereka. "Inilah yang dapat dikatakan, air bah menerjang kuilnya raja naga, orang tidak mengenali sesama orang sendiri! Kalau sedari siang-siang kami telah kenalkan Ong Toako, tak mungkin kami berani menguntit dan turun tangan!" Ong Kee In adalah kepala dari kaum Rimba Hijau di Siamsay Utara, di bawahnya adalah Kho Geng Siang, Ong Tjoh Kwa, Hoei San Houw. dan Tay Ang Long, pelbagai penyamun kesohor itu, tetapi pengaruhnya rombongan dari Siamsay Utara ini tidak sampai di Siamsay Selatan. Di propinsi Siamsay semuanya ada tiga belas gerombolan berandal, mereka tidak takluk satu pada lain. Salah satu di antaranya, Ong Kee In-lah yang bercita-cita besar, setelah bersama Kho Geng Siang mengangkat saudara, belum ada sepuluh tahun ia telah dapat diangkat menjadi bengtjoe. kepala dari pelbagai rombongan di Siamsay Utara. itu. Karenanya pula ia dapat bekerja secara luas. Melainkan rombongan-rombongan dari Siamsay Tengah dan Siamsay Selatan, yang tidak suka terima segala titahnya. lapun seorang yang cerdik, baru dua tahun munculnya Giok Lo Sat. berbareng mendapat tahu ada dua musuh di Siamsay Selatan yang hendak satrukan padanya, ia lantas utus puteranya, yaitu Ong Tjiauw Hie, membawa hadiah untuk Giok Lo Sat, guna ikat persahabatan. Pelbagai penyamun mempunyai daerahnya masing-masing, di manapun terdapat musuh, Ong Tjiauw Hie tidak mau berangkat secara menyolok mata, ia sengaja berangkat seorang diri dengan gunakan akal menyimpan barang hadiah di dalam pelana. Akan tetapi di luar dugaannya, pihak Kimiewie yang liehay itu dapat mencium bau, maka lantas ditugaskan Tjio Ho berempat untuk menguntit dan turun tangan. Di samping itu. lima rombongan penyamun di perbatasan Soetjoan Siamsay dapat dengar selentingan juga, bahna mengilerkan harta besar itu. merek a pun turut menguntit. Demikianlah telah terjadi, Tjiauw Hie tempel rombongannya To Tiong Liam sambil gunakan akalnya yang cerdik itu. Setelah mengetahui kelicinannya orang she Ong ini, Keng Tjiauw Lam mencaci di dalam hatinya, karena ia telah kenadiabui oleh pemuda ini. "Sungguh celaka bocah ini! Dia telah berkongkol sama Giok Lo Sat, dia telah pakai nama Boetong pay sebagai tameng, dia juga tempel pengaruhnya To Taydjin, tetapi sekarang setelah muncul, si Raksasi Kumala, dia telah bikin kami menjadi orang-orang tawanannya Raksasi Kumala ini," demikian pikirnya. Giok Lo Sat sudah lantas berkata pula: "Mulai saat ini. kita kaum Rimba Hijau di seluruh propinsi Siamsay telah menjadi satu keluarga. Aku telah berserikat kepada Toako Ong Kee In, aku harap semua saudara kelak sudi saling bantu. Andaikata saudara-saudara tidak memikir lainnya, silakan saudara-saudara keringkan cawan ini!" Ia angkat cawannya, untuk segera diceguk habis lebih dahulu. Tidak ada berandal yang berani menentangnya, merekapun keringkan cawan mereka masing-masing. Giok Lo Sat letakkan cawannya, ia tertawa, kemudian ia gapaikan seorang serdadunya, kepada siapa ia berbisik. Serdadu itu lantas masuk ke dalam tidak lama, ia sudah kembali tetapi tidak seorang diri, hanya bersama empat orang yang ia iringkan, menampak empat orang itu, Keng Tjiauw Lam ternganga. Empat orang itu adalah saudara-saudara seperguruannya Tjiauw Lam yang diberi tugas oleh guru mereka untuk mengerjakan sesuatu di Siamsay, mereka sudah berangkat terlebih dahulu daripadanya, ia tidak sangka, bahwa mereka sekarang muncul di sarang penyamun ini. "Apakah benar, seperti katanya Kwie Yoe Tjiang tadi, mereka sudah jadi tawanannya Giok Lo Sat?" pikir Tjiauw Lam. Akan tetapi, melihat keadaannya mereka itu, nampaknya mereka bukan sebagai orang-orang tawanan. Giok Lo Sat mengulapkan tangan, lantas ada orangnya yang mengeluarkan pula barang hidangan yang baru, yang disajikan di sebuah meja lain. Ia undang empat orang itu duduk di meja ini. "Mari kita duduk di meja sana!" kata dia pada Keng Tjiauw Lam. "Biarlah aku diberikan ketika untuk bersahabat dengan orang-orang pandai dari Boetong pay!" Dia tertawa manis. Keng Tjiauw Lam tetap merasa heran, akan tetapi melihat orang bersikap ramah tamah. hatinya lega. Ia berpikir: "Boetong pay sangat kenamaan, walau dia sangat ganas, rupanya dia masih j eri juga terhadap kaumku, maka sekarang dia berlaku manis dan meminta persahabatan..." Kepercayaannya Tjiauw Lam ini jadi semakin tebal setelah ia lihat si nona bersikap semakin ramah tamah. Tjiauw Lam bicara kepada empat saudara seperguruannya itu, tetapi mereka agaknya ada ganjelan di hati, sikapnya tidak gembira, malah dua di antaranya hanya menyengir, hingga pemuda ini menjadi heran. Lagi-lagi Giok Lo Sat panggil satu serdadunya, ia ucapkan beberapa perkataan perlahan, setelah mana, serdadu itu segera undurkan diri. "Entah apa lagi tindakannya lebih jauh," Tjiauw Lam menduga-duga. "Mari minum!" Giok Lo Sat mengundang secara sangat gembira. Ia tenggak pula araknya. Tjiauw Lam berlima juga minum arak mereka. Sebentar kemudian terdengarlah suara roda-roda kereta di muka hoathia, wajahnya si nona bercahaya sedang Tjiauw Lam berlima segera lihat beberapa serdadu menolak datang kereta barangnya To Tiong Liam. untuk ditunda di bawah tangga muka pesanggrahan Dengan tiba-tiba Giok Lo Sat berbangkit. "To Taydjin, mari kita membuat perhitungan!" tiba-tiba juga dia berkata kepada Tiong Liam. Bekas tjongtok itu heran, akan tetapi dia bisa tetapkan hati. "Itulah jumlah yang kecil, tjeetjoe, silakan kau ambil semua," berkata dia. yang menduga hartanya akan dirampas "Di rumah aku masih mempunyai sedikit milik, aku tidak mengharapi harta bekas jabatanku ini." Mendengar demikian, si nona perlihatkan tampang sungguh-sungguh. "Aku Lian Nie Siang, walaupun menjadi penyamun, aku berpegang kepada keadilan!" katanya dengan nyaring. "Tanyakan semua hadirin di sini, kapan dan di mana Lian Nie Siang pernah ambil harta orang secara serampangan. Terhadap pembesar yang putih bersih, uangnya satu boen pun aku tidak akan merampasnya! Tapi kalau dia satu pembesar rakus, uangnya tentu aku rampas, batok kepalanyapun aku maui! Apakah kau telah dengar nyata?" Tiong Liam kaget hingga tubuhnya menggigil. "Celaka, celaka, habislah jiwa tuaku di sini..." ia mengeluh dalam hatinya. Akan tetapi sikapnya si nona kemudian nampaknya menjadi tenang pula. "To Tiong Liam, kau dengarlah!" demikian katanya. "Kau telah menjabat pangkat belasan tahun, selama itu kau telah terima hadiah dari orang-orang sebawahanmu serta pelbagai hartawan setempat berjumlah tujuh puluh enam ribu tujuh ratus tail. Uang itu tidak halal, aku hendak ambil semuanya! Di samping itu, kau masih mempunyai tiga puluh dua ribu lima ratus tail. hadiah dari pemerintah, tetapi uang" itu berasal uang rakyat, maka aku hendak ambil juga untuk kemudian diamalkan kembali kepada rakyat yang melarat. Sekarang masih ada sisa enam belas ribu delapan ratus tail uang stmpananmu sendiri, itulah hakmu, sejumlah itu akan aku kembalikan kepadamu. Kau telah menjabat pangkat belasan tahun, kau punyakan hasil demikian banyak, walau kau bukannya satu pembesar bersih, tetapipun tidak termasuk pembesar rakus. Sekarang aku telah membuat perhitunganku, katakanlah terang-terang, kau puas atau tidak?" Tiong Liam kaget berbarengpun hatinya girang. Ia kaget karena ia tidak mengerti mengapa dan dari mana si nona ketahui demikian jelas tentang jumlah seluruh hartanya yang diperolehnya Itu. Dan girangnya, kepul Lisannya si nona itu berarti jiwanya tidak akan diganggu dan hartanya tidak ludas semua. Setelah mengatakan demikian, sambil tertawa dengan manis. Giok Lo Sat duduk kembali di kursinya. Ia cenderungkan tubuh kepada Keng Tjiauw Lam, yang duduk di sampingnya "Orang pandai dari Boetongpay." katanya sambil tertawa pula, "siauwmoay masih berusia muda dan cetek pengetahuannya, bilamana kau anggap perbuatanku ini tidak layak dan adil. sudi kau berikan petunjukmu." Ia gunakan kata-kata "siauwmoay" = "adik kecil", pula suaranyapun halus. Tjiauw Lam kagum sekali, hingga ia unjukkan jempolnya. "Pantaslah Lian Liehiap menggetarkan dunia Rimba Hijau, nyata kau pandai sekali mengambil keputusan!" dia memuji. "Kau membuatnya orang kagum terhadapmu!" Si nona bersenyum, ia menukar arak yang hangat, untuk minum bersama pemuda shc Keng ini, wajahnya ramai dengan senyumnya yang berseri-seri. Tanpa merasa Tjiauw Lam mulai terpengaruhi air kata-kata. Ia duduk dekat sekali kepada si nona, hidungnya dapat mencium bau harum dari tubuh nona itu. "Giok Lo Sat sungguh menarik hati," pikirnya. "Sayang, demikian elok dia ada. ia kesudian menjadi penyamun. Kalau dia kembali kepada jalan yang benar, entah berapa banyak pemuda gagah yang akan roboh hatinya..." Kemudian tiba-tiba ia tanya: "Lian Liehiap. kau demikian gagah, siapakah gurumu yang pandai itu? Bila ada ketikanya. sungguh aku si orang she Keng ingin mohon pengajaran d asi padamu Bagaimana menggirangkan... Aku kuatir sekali, lain waktu tidak mungkin ada pula ketika yang sehaik ini..." Ong Tjiauw Hie yang mendengar ucapanny a orang she Keng ini merasa kuatir. segera ia menyelak dan berkata: "Saudara Keng. kau sudah sinting, jangan minum lebih jauh!" Tjiauw Lam menggeleng-geleng kepala. "Aku belum mabuk! Siapa katakan aku mabuk?" kata dia yang menyangkalnya. Mendadak wajahnya si nona menjadi gelap suram, tetapi sedetik kemudian ia tertawa pula, terus ia angkat cawannya. "Keng Lnghiong, kau terlalu memuji aku!" katanya. "Sebenarnya aku seorang anak perempuan yang tak berayah ibu, tidak mempunyai guru juga, beberapa jurus ilmu silatku yang jelek adalah buah hasil dari belajar seorang diri, tidak dapat dibandingkan dengan kau yang dapat pimpinan dari perguruan kenamaan, dari kalangan persilatan yang asli!" Nona ini singkap rambut di dahinya. "Sebenarnya akupun ingin sekali mohon pengajaran darimu. Keng Enghiong," ia menambahkan. "Ketikanya yang baik tentu mesti ada. kau tak usah sibuki." Lantas ia duduk pula, matanya melirik jago muda dari Boetongpay itu dengan senyumnya yang sangat menggiurkan. Tjiauw Hie berkuatir sangat hingga ia rasakan bulu ramanya bangun berdiri. Di samping itu. diam-diam ia mentertawai orang she Keng ini, yang ia katakan tolol. Tapi ia segera berbangkit dan kata: "Tjeetjoe. terima kasih untuk perjamuan ini! Saudara Keng sudah mabuk, akupun tak kuat minum banyak, harap tjeetjoe maafkan kami, kami ingin undurkan diri." Giok Lo Sat merasa tidak puas. muram wajahnya. "Kelihatannya kau hendak bantu dia." katanya dengan dingin. Terbanglah semangatnya Tjiauw Hie, tetapi ia menjawabnya dengan perlahan: "Sebetulnya aku tidak kenal saudara Keng ini, hanya dapat berkenalan di tengah jalan, aku berterima kasih kepadanya yang telah bantu sedikit merintangi pihak lawan yang menguntit aku. karena dia anggap aku sebagai sahabat, akupun sudah selayaknya perlakukan dia sebagai sahabat." Giok Lo Sat perdengarkan suara tidak tegas, lalu ia ulapkan tangannya dan berkata dengan nyaring: "Tutup perjamuan!" Meski demikian, dengan suara perlahan ia ucapkan kata-kata pada Keng Tjiauw Lam: "Besok pagi harap kau datang kc tengah gunung untuk kita membuat pertemuan di dalam lembah. Harap Keng Enghiong jangan lupa." Sepasang alisnya Tjiauw Lam berdiri, ia nampaknya sangat gembira. "Tidak nanti aku lupakan titahmu mi. tjeetjoe!" sahutnya. Perjamuan sudah lantas ditutup, tapi Giok Lo Sat masih suruh orang-orangnya antar Keng Tjiauw Lam berlima ke sebuah kamar yang terpisah dari Ong Tjiauw Hie. hingga pemuda ini. yang masih hendak bicara kepada murid Boelong pay itu. tidak dapatkan kesempatannya. Keesokannya pagi. belum lagi pengaruh air kata-kata menghilang seluruhnya dari kepalanya Tjiauw Lam, satu serdadu wanita telah datang padanya. "Keng Enghiong, tjeetjoe kami undang padamu." kata serdadu ini. Tjiauw Lam lantas saja dandan dengan cepat, segera ia ikut serdadu itu menuju ke lembah di mana sudah ada empat saudara seperguruannya, sedangkan To Tiong Liam duduk seorang diri di atas sebuah batu ditemani dua serdadu wanita. Giok Lo Sat muncul tidak lama kemudian, jalan mendatangi di antara batu-batu gunung yang berserakan tak teratur, wajahnya ramai dengan senyuman. Rambutnya bergelang emas, pedangnya yang panjang tergantung di pingggangnya. Hingga selainnya cantik, iapun tampaknya sangat gagah. Bukan main kagumnya Tjiauw Lam. Hanya ia tidak sangka di situ telah berkumpul orang-orang lainnya, sedang pada mulanya ia menduga ia seorang dirilah yang diundangnya. "Selamat pagi, Keng Enghiong!" menegur si nona. "Apakah kau dapat tidur tenang semalam?" Suara itu menyatakan perhatian yang sungguh-sungguh. "Terima kasih," sahut Tjiauw Lam dengan jengah. "Harap tjeetjoe pun dapat tidur tenang." "Aku tadinya kuatir kau tak dapat tidur nyenyak," tertawa si nona. "Jikalau kau tidak dapat tidur nyenyak, pun sebentar lagi kau akan kurang tidur, oh, sungguh kau harus dikasihani!" Tjiauw Lam merasa heran dalam hatinya. "Aneh, cara bagaimana ia ketahui aku semalam tidak dapat tidur?" pikirnya. "Tidakkah dia melainkan menduga-duga saja?" Giok Lo Sat lantas berkata pula: "Jikalau kau dapat luka parah, umpama ada salah satu anggauta tubuhmu menjadi cacat, pasti sebentar malam kau tidak dapat tidur senang, bukankah?" Walau masih dalam keheranan, Tjiauw Lam tertawa juga. "Di atas bumi ada angin dan mega yang tak berketentuan, seperti juga manusia bisa terancam bencana siang dan malam," menyahut dia, "maka jikalau benar-benar ada bahaya yang mengancam aku, apa daya? Kecuali tjeetjoe niat membikin susah padaku, maka dari manakah datangnya angkara murka itu?" "Kau nyata terbuka pikiranmu," kata Giok Lo Sat. "Aku tidak berani membuat kau susah! Aku hanyalah hendak mohon pengajaran daripadamu. Aku dapat dengar ilmu pedang Boetong pay tidak ada keduanya di kolong langit, karenanya aku memikir hendak membuka mataku." Keng Tjiauw Lam menjadi tidak puas. "Oh, kiranya benar-benar tjeetjoe niat mencoba aku?" katanya. "Satu taytianghoe lebih suka binasa daripada terhina, karenanya, meski aku bakal terima tiga bacokan dan enam tikamannya tjeetjoe, tidak nanti aku bikin jatuh nama baiknya Boetong pay!" Nona itu tertawa dengan manis. "Bagus!" katanya. Sekarang kau sedikit waspada, aku hendak mulai dengan dengan seranganku..." Giok Lo Sat hunus pedangnya, terus ia menusuk. Tjiauw Lam lihat gerak tangannya si nona yang enteng tetapi perlahan, agaknya seperti sedang main-main, ia tidak dapat menduganya orang menyerang ia dengan benar-benar atau gertakan belaka, meski demikian, ia toh menangkis. Akan tetapi, ketika pedang si nona kena bentur, mendadak nona itu putar tangannya dan tahu-tahu ujung pedangnya sudah ancam tenggorokan' "Kali ini gagal, mesti ditukar dengan yang lainnya!" kata nona ini sambil tertawa. Tjiauw Lam kaget berbareng mendongkol, karena ia telah terpedaya. Tusukan si nona tidak diteruskan dan ia diejek. Dengan tiba-tiba ia mengelakkan tubuhnya ke samping sambil terus berikan tikaman, dengan salah satu dari tiga tusukan berantai, ialah "Kimtjiam touwsian" = "Jarum emas dimasukkan benang". Ketika serangan ini gagal, ia segera melanjutkan dengan tikaman y ang kedua yakni "Tjoesat lianhoan" atau "Tarik dan lepas bergantian" mengarah tenggorokan si nona Cepat serangannya yang berantai ini. akan tetapi serangan yang kedua inipun gagal pula. Maka ia hendak meneruskannya dengan runtunan yang ketiga. Tapi, belum ia sempat bergerak, ia telah rasakan pedang lawan menempel di bebokongnya. karena nona itu dengan tidak diketahui lagi sudah melejit ke sampingnya. Terpaksa ia berlompat sambil memutar tubuh, untuk menyelamatkan diri. Baru ia lompat, berbareng juga sambaran angin lewat di atasan kepalanya, hingga ia kaget tak terkira. Sambaran angin itu menyebabkan segumpal kecil rambutnya terbabat jatuh. Si nona tertawa ketika lawannj-a menaruh kaki di tanah. "Aku suruh kau waspada, mengapa kau justeru lengah?" tanya nona ini. la berdiri diam sambil rangkul pedangnya, kemudian dengan tangan kanannya ia menggapai kepada orang Boetong lainnya sambil berkata juga: "Orang-orang gagah Boetong pay, tegakah kalian akan tonton saja orang sesama perguruan main topeng monyet di sini?" Empat orang Boetong itu memang hatinya tidak puas, maka mendengar kata-kata si nona yang berupa tantangan itu. segera mereka maju menyerang dengan berbareng. Mereka tidak mengucap sepatah kata juga. "Nah, ini barulah menggembirakan!" tertawa si nona. Lalu, di antara sambaran-sambarannya lima batang pedang lawan, ia berkelebatan dengan pedangnya juga. Meski ia dikepung, ternyata ia adalah di pihak penyerang. Menampak demikian, Ong Tjiauw Hie merasa tidak enak hati. "Lian Liehiap sudahilah!" ia berseru sambil lompat maju. "Harap kau menaruh rasa kasihan!..." Suaranya pemuda ini belum berhenti, tiba-tiba terdengar bentrokannya pedang dengan pedang disusul jeritan-jeritan dari kesakitan. Nyatalah pedangnya ke lima jago Boetong pay putus buntung, dua jarinya Keng Tjiauw Lam turut berpisah dari tangannya, dan empat yang lainnya hilang masing-masing satu jari tangannya Giok Lo Sat balingkan pedangnya, wajahnya suram. "Sekarang kalian baru mengerti bahwa di luar langit masih ada langit, jangan kalian membuta mengandalkan nama besar dari rumah perguruanmu!" dia kata dengan nyaring. "Keng Tjiauw Lam. tadi malam kau berlaku sedikit tidak tahu adat. sebenarnya aku hendak buntungkan lenganmu dan korek kedua biji matamu, akan tetapi karena barusan kau perlihatkan juga semangatmu, aku kasih keringanan padamu! Sekarang lekas kalian pergi menggelinding turun dari gunung ini!" Mendengar bentakan itu, hatinya Tjiauw Hie menjadi lega. Ia lantas menghampiri Tjiauw Lam. Pucat mukanya murid Boetong pay ini, tanpa mengucapkan kata-kata lagi ia membalik tubuhnya lari turun gunung. Empat orang Boetong pay lainnya rangkap tangan mereka "Terima kasih untuk kemurahan hati tjeetjoe," kata mereka. "Budi kebaikanmu ini pasti kami tak akan lupakan untuk selama-lamanya!" Giok Lo Sat tertawa dingin. "Aku bersedia menanti tuntutan pembalasanmu!" katanya. Tjiauw Hie mengedipkan mata kepada empat orang itu, untuk cegah mereka berkata-kata lebih jauh Salah satu yang tertua dari ke empat orang itu hadapi Tjiauw Hie dan menjura. katanya: "Ong Kongtjoe. terima kasih yang kau sudah melindungi soetee kami. Sayang kami tidak lebih siang dapai ketemui kau. Aku ada membawa suratnya Beng Boesoe untukmu!" Orang Boetong pay itu rogoh sakunya akan keluarkan sesampul surat. Agaknya Tjiauw Hie terkejut, ia lirik si nona. "Dari tempat ribuan lie orang datang antarkan surat, sudah selayaknya kau haturkan terima kasihmu!" berkata Giok Lo Sat dengan nyaring. Tjiauw Hie tahu si nona tidak kandung maksud lain, barulah ia sambuti surat itu. "Terima kasih!" katanya. Orang Boetong pay itu serta tiga saudaranya bersenyum tawar, tanpa memberi hormat lagi mereka segera berlalu. Tjiauw Hie merasa sangat bersusah hati dan menyesal, karena ia merasa telah tidak berbuat sebagaimana mestinya terhadap orang-orang Boetong pay itu. Giok Lo Sat awasi Tjiauw Lam berlima sampai mereka lenyap dari pandangan mata, lalu ia berpaling kepada Ong Tjiauw Hie. "Saudara Ong, kau tentunya katakan aku terlalu kejam, bukan?" tanyanya dengan wajar. "Tidak berani aku mengatakan demikian," sahut Tjiauw Hie. Tetapi dal