semnas-matematika.stkip-pgri-sumbar.ac.idsemnas-matematika.stkip-pgri-sumbar.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/... ·...

739

Upload: others

Post on 08-Oct-2019

165 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

  • Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 29 April 2017, Vol 3 No.1, ISSN : 2443-1257

    ii

    PROSIDING SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN

    PENDIDIKAN MATEMATIKA

    “Menjawab Tantangan Abad 21 Melalui 4C’s dengan PMR”

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

    SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

    (STKIP) PGRI SUMATERA BARAT

    Editor:

    Prof. Dr. Syafrizal Sy (Universitas Andalas) Dr. M.Imran (Universitas Riau)

    Dr. Admi Nazra (Universitas Andalas) Dra. Rahmi, M.Pd (STKIP PGRI Sumbar)

    Tika Septia, S.Si, M.Pd (STKIP PGRI Sumbar) Ratulani Juwita, M.Pd (STKIP PGRI Sumbar)

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT PRESS

  • Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 29 April 2017, Vol 3, No.1, ISSN : 2443-1257

    iii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT sehingga Prosiding

    Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika ini dapat diselesaikan. Prosiding

    ini bertujuan mendokumentasikan dan mengkomunikasikan hasil presentasi

    makalah pada Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika yang

    terselenggara pada Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera

    Barat. Jumlah makalah yang masuk 69 makalah dari 29 Perguruan Tinggi dan

    Institusi yang terkait. Makalah-makalah tersebut telah dipresentasikan di Seminar

    Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 29 April 2017. Makalah

    terdiri dari 14,49 % makalah untuk Matematika dan 85,51 % untuk Pendidikan

    Matematika.

    Terima kasih disampaikan kepada pemakalah yang telah berpartisipasi

    pada desiminasi hasil kajian/penelitian yang dimuat pada Prosiding ini. Terima

    kasih juga disampaikan kepada Tim Prosiding dan segenap panitia yang terlibat.

    Semoga Prosiding ini bermanfaat.

    Ketua Panitia,

    Melisa, M.Pd

  • Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 29 April 2017, Vol 3 No.1, ISSN : 2443-1257

    iv

    DAFTAR ISI

    Halaman Judul ................................................................................................ i

    Kata Pengantar ............................................................................................... iii

    Daftar Isi .......................................................................................................... iv

    Makalah Sidang Utama

    No Pemakalah Judul Halaman

    1 Ahmad Fauzan

    MENUMBUHKEMBANGKAN THE 4C’S DENGAN PENDEKATAN RME

    MU1-MU11

    2 Abdur Rahman As’ari REORIENTASI PEMBELAJARAN

    MATEMATIKA: SUATU KENISCAYAAN MU12-MU27

    3

    Zusmelia, Irwan, Ramadoni, Rani Valicia Anggela

    TANTANGAN PROFESIONALISME GURU

    PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA

    MELALUI 4C’s DITINJAU DARI PERSPEKTIF

    SOSIOLOGI

    MU28-MU45

    Makalah Sidang Paralel (Matematika)

    No Pemakalah Judul Halaman

    1 Ali Subroto, Mashadi, Sri Gemawati, dan Hasriati

    PENGEMBANGAN TEOREMA KOSNITA DENGAN MENGGUNAKAN ORTHOCENTER

    M1-M7

    2 Amza Baharudin, Mashadi, Habibis Saleh, Hasriati

    MODIFIKASI TEOREMA VAN AUBEL PADA SEGITIGA

    M8-M16

    3 Aniswita

    HUBUNGAN FUNGSI TERINTEGRAL HENSTOCK-KURZWEIL SERENTAK DENGAN UNIFOMLY FUNCTIONALLY SMALL

    RIEMANN SUMS DARI RUANG EUCLIDE nℜ

    KE RUANG BARISAN pl , (1≤p

  • Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 29 April 2017, Vol 3, No.1, ISSN : 2443-1257

    v

    10 Wahyu Indah Rahmawati

    EVALUASI ALGORITMA MD5 DENGAN UJI COVERAGE

    M90-M94

    Makalah Sidang Paralel (Pendidikan Matematika)

    No Pemakalah Judul Halaman

    1.

    Ade Olanda Safitri, Sofia Edriati, Ratulani Juwita

    PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE DISERTAI KUIS TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA SMA KELAS XI IPS

    PM1-PM5

    2

    Adevi Murni Adel, Yenni Kurniawati

    TAHAP DEFINE (PENDEFINISIAN)

    PENGEMBANGAN MODUL KALKULUS 2

    BERBASIS INQUIRY DI FKIP UMMY SOLOK

    PM6-PM11

    3

    Al-nindu Bunga Sabrina, Darmawijoyo, Yusuf Hartono

    PEMBELAJARAN PECAHAN SENILAI MENGGUNAKAN MODEL HIMPUNAN

    PM12-PM24

    4 Apriya Mayati,

    Somakim, Hapizah BAHAN AJAR MATERI PERSEN GANDA MENGGUNAKAN PENDEKATAN PMRI

    PM25-PM32

    5 Afria Rahmi, Armiati, Hendra Syarifuddin

    PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENGGUNAKAN MACROMEDIA FLASH PADA MATERI TRANSFORMASI GEOMETRI KELAS XI SMA/MA

    PM33-PM40

    6 Ariyani Muljo

    KORELASI KECERDASAN VISUAL SPASIAL DAN KECERDASAN LOGIS MATEMATIS DENGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DI SMA NEGERI 1 KEJURUAN MUDA

    PM41-

    PM48

    7 Dian Nofriyanto, Anny Sovia, Lita Lovia

    PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE PAIR CHECKS TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA SMP KELAS IX

    PM49-PM54

    8 Dina Usiani

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS KONTEKSTUAL BERORIENTASI PADA KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP

    PM55-PM62

    9 Dini Fajria Trisna

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS PESERTA DIDIK KELAS VII SMP

    PM63-PM71

  • Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 29 April 2017, Vol 3 No.1, ISSN : 2443-1257

    vi

    10

    Eka Jihadah Syaspasbandah, Hendra Syarifuddin, Jasrial

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS CONCEPT ATTAINMENT MODEL (CAM) UNTUK PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP

    PM72-PM85

    11

    Elva Rahma Julia, Anna Cesaria, Hamdunah

    PENGEMBANGAN LEMBAR KEGIATAN SISWA (LKS) BERBASIS KONSTRUKTIVISME UNTUK MATERI GRAFIK FUNGSI PADA KELAS VIII SMP NEGERI 1 BATANG ANAI

    PM86-PM91

    12 Fimatesa Windari

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMK BISNIS MANAJEMEN BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING KELAS XI PADA MATERI TRANSFORMASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA

    PM92-PM100

    13 Fadhilaturrahmi

    PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN GI TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIK SISWA SEKOLAH DASAR

    PM101-PM110

    14 Fitri Apriani, Zulkardi, Darmawijoyo

    PENDEKATAN PMRI MEMBANTU SISWA BERPIKIR KRITIS PADA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DI KELAS X

    PM111-PM122

    15 Fitri Rahmi, Edwin Musdi, Irwan

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS PESERTA DIDIK KELAS VII SMP/MTs

    PM123-PM134

    16 Gustina Andriani

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP

    PM135-PM144

    17 Helma, Mirna, Edizon

    ANALISIS KEBUTUHAN PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATEMATIKA KONTEKSTUAL MENGINTEGRASIKAN PENGETAHUAN TERKAIT DAN MODEL PMR UNTUK PEMBELAJARAN SISWA KELAS XI SMA

    PM145-PM154

    18 Hermanto

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMA KELAS X SEMESTER 2

    PM155-PM162

  • Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 29 April 2017, Vol 3, No.1, ISSN : 2443-1257

    vii

    19 Hester Admas

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS DISCOVERY LEARNING UNTUK PESERTA DIDIK KELAS XI SMA

    PM163-PM171

    20

    Ida Ratna Sari, Rahmi, Hafizah Delyana

    PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE THE LEARNING CELL TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS VII SMPN 4 BATANG ANAI KABUPATEN PADANG PARIAMAN

    PM172-PM177

    21 Iltavia, M.Pd

    PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE ROTATING TRIO EXCHANGE (RTE) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMA NEGERI 2 PADANGPANJANG

    PM178-PM189

    22

    Kiki Rizkiah Pertiwi, Zulkardi, Darmawijoyo

    DESAIN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MATERI PECAHAN SENILAI DENGAN MENGGUNAKAN MANIK SUSUN KELAS IV

    PM190-PM202

    23 Masrita Okto Baylly

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMP SEMESTER 2

    PM203-PM210

    24 Mukhni, Yarman, Ayu Rahmadani

    KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA SISWA KELAS XI IPS SMAN 2 BUKITTINGGI MELALUI PENERAPAN MODEL PENEMUAN TERBIMBING

    PM211-PM224

    25 Muthia Rahmi, Yerizon, Edwin Musdi

    TAHAP PRELIMINARY RESEARCH PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS PESERTA DIDIK KELAS VIII MTs/SMP

    PM225-PM234

    26 Nike Astiswijaya

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS MODEL PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP/MTs

    PM235-PM243

    27 Novel Riska Ananda, Rahmi, Yulia Haryono

    PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA DENGAN MENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SQUARE DAN TIPE THINK PAIR SHARE DI KELAS XI PARIWISATA SMKN 6 PADANG TAHUN PELAJARAN 2016/2017

    PM244-PM251

  • Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 29 April 2017, Vol 3 No.1, ISSN : 2443-1257

    viii

    28

    Nursa Fatri Nofriati, Yusuf Hartono, Somakim

    PEMBELAJARAN PERBANDINGAN SENILAI MENGGUNAKAN RATIO TABLE DENGAN KONTEKS MUSI TOUR

    PM252-PM260

    29

    Annisa Muliani, Tika

    Septia, Radhya Yusri

    PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DIIRINGIPEMBELAJARAN AKTIF TIPE TEKA-TEKISILANG TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII MTsN MODEL PADANG

    PM261-PM267

    30 Paramita Susrizal

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MODEL PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH PESERTA DIDIK KELAS VII SMP

    PM268-PM277

    31 Putri Dewi Wardawati

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN MODEL ELICITING ACTIVITIES (MEAs) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS PESERTA DIDIK KELAS X SMA

    PM278-PM287

    32 Rahmat Mushlihuddin

    PERBEDAAN HASIL BELAJAR MAHASISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PEMECAHAN MASALAH PADA MATA KULIAH ANALISA VEKTOR DI FKIP UMSU

    PM288-PM300

    33 Ramadoni

    PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN TOPIK BARISAN DAN DERET BERBASIS REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION DI KELAS IX SMP

    PM301-PM325

    34

    Rani Ayu Setianingsih, Zulfitri Aima, Melisa

    PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE LEARNING TOURNAMENT TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS XI IPA SMA NEGERI 12 PADANG

    PM326-PM333

    35 Reno Warni Pratiwi, Rita Oktavinora

    VALIDITAS BUKU KERJA METODE NUMERIK BERBASIS KONSTRUKTIVISME DI FKIP UMMY SOLOK

    PM334-PM340

    36 Resi Niscaya

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS FLIPPED CLASSROOM UNTUK KELAS X SMA

    PM341-PM348

    37 Riren Rostari

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN MODEL ELICITING ACTIVITIES (MEAs)UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI

    PM349-PM356

  • Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 29 April 2017, Vol 3, No.1, ISSN : 2443-1257

    ix

    MATEMATIS PESERTA DIDIK KELAS X SMA

    38 Roza Zaimil, Rosmiyati

    PRAKTIKALITAS PENGEMBANGAN MODUL BERBASIS MASALAH PADA PERKULIAHAN GEOMETRI ANALITIK BIDANG DI FKIP UMMY SOLOK

    PM357-PM364

    39 Safitri Sholehat

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMP/MTs

    PM365-PM372

    40

    Satrama R. Hadinata, I.Made Arnawa, Atmazaki

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 7 SUNGAI PENUH

    PM373-PM387

    41 Selvia Erita

    PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) MATEMATIKA BERBASIS REALISTIC MATHEMATICEDUCATION DI KELAS VIII MTsN MODEL SUNGAI PENUH

    PM388-PM403

    42 Seprina Eliza

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS V SD

    PM404-PM410

    43 Shelvia Mandasari

    PENGEMBANGAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) DAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD) PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MODEL M-APOS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERFIKIR KREATIF PESERTA DIDIK KELAS X SMA

    PM411-PM419

    44

    Shofiyatul Hilmi, Zulfitri Aima, Ainil Mardiyah

    PENGARUH PENDEKATAN BRAIN BASED LEARNING (BBL) TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMPN 29 PADANG

    PM420-PM427

    45 Silvia

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN MODEL ELECITING ACTIVITIES (MEAS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS KELAS X SMA

    PM428-PM436

    46 Siti Halimah, I Made Arnawa, Ellizar

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

    PM437-PM447

  • Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 29 April 2017, Vol 3 No.1, ISSN : 2443-1257

    x

    PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA PESERTA DIDIK KELAS V SD

    47 Siti Zulaika

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN KONTRUKTIVISME UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS KELAS VIII SMP

    PM448-PM458

    48 Sri Hartati, Zulkardi, Yusuf Hartono

    DESAIN PEMBELAJARAN PENCERMINAN DENGAN MENGGUNAKAN PERMAINAN BOM-BOMAN DI KELAS VII

    PM459-PM469

    49

    Steffani Komala Sari, Ahmad Fauzan, Yerizon

    PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN STATISTIKA BERBASIS IT MENGGUNAKAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION UNTUK KELAS VIII SMP

    PM470-PM485

    50

    Susi Aria Susanti, Edwin Musdi, Ali Asmar

    PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA PESERTA DIDIK PADA MATERI ARITMATIKA SOSIAL KELAS VII MTSN GURUN PANJANG

    PM486-PM501

    51 Wiwi Oktriani, Ahmad Fauzan, Ellizar

    PENINGKATAN AKTIVITAS DAN KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS PESERTA DIDIK MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER BERBANTUAN MEDIA QUIPPER SCHOOL DI KELAS X MULTIMEDIA SMKN 1 ENAM LINGKUNG

    PM502-PM510

    52 Yona Arisca, Edwin Musdi, Irwan

    TAHAP PRELIMINARY RESEARCH PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN BANGUN RUANG SISI DATAR BERBASIS REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) UNTUK SISWA KELAS VIII SMP/MTs

    PM511-PM517

    53

    Yulia Vita Ramayona, I.Made Arnawa, Edwin Musdi

    PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN TOPIK KPK DAN FPB BERBASIS PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION UNTUK SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR

    PM518-PM535

    54 Yurnalis PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN RECIPROCAL TEACHING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

    PM536-PM553

    55

    Desy Amelia, Ratu

    Ilma Indra Putri,

    Somakim,

    STRUK TIKET KERETA API UNTUK

    PEMBELAJARAN MATERI SISTEM

    PERSAMAAN LINIER DUA VARIABEL

    PM554-PM562

    56 Rizki Ananda PENERAPAN PENDEKATAN REALISTICS MATHEMATICS EDUCATION (RME) UNTUK

    PM563-PM572

  • Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 29 April 2017, Vol 3, No.1, ISSN : 2443-1257

    xi

    MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI PECAHAN SISWA KELAS IV SDN 018 LANGGINI BANGKINANG KOTA

    57 Zaharatul Jannah

    PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN FILM KARTUN INTERAKTIF MATEMATIKA PADA MATERI BENTUK ALJABAR UNTUK KELAS VII SMP

    PM573-PM579

    58 Zamzaili PENGARUH MODEL ASSESSMENT FOR LEARNING ANALISIS HUBUNGAN TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIKA

    PM580-PM589

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Ahmad Fauzan

    MU-1

    Menumbuhkembangkan the 4C’s dengan Pendekatan RME

    Ahmad Fauzan Universitas Negeri Padang

    Email: [email protected]

    Abstrak. Tulisan ini membahas potensi pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dalam

    menumbuhkembangkan keterampilan yang diperlukan siswa agar ‘survive’ dalam menghadapi

    abad ke 21. Pada bagian awal akan dibahas prinsip-prinsip dan karakteristik RME terkait dengan

    disain instruksional dan pembelajaran matematika di kelas. Berikutnya akan dikemukakan secara

    ringkas keterampilan-keterampilan abad ke 21, khususnya yang terkait dengan the 4C’s. Pada

    bagian akhir akan didiskusikan keterkaitan the 4C’s dengan RME.

    PENDAHULUAN

    Realistic Mathematics Education (RME) adalah pendekatan pembelajaran yang

    digagas oleh Freudenthal Institute di Belanda sejak lebih dari 40 tahun yang lalu (lihat de

    Lange,1987; Freudenthal, 1991; Streefland, 1991; Treffers, 1991; Gravemeijer, 1994). Di

    Indonesia, RME dikenal dengan nama Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dan mulai

    berkembang sejak tahun 2000 (lihat Fauzan, 2002; Sembiring dkk., 2010, Suryanto dkk.,

    2010). Prinsip utama dalam pendekatan RME adalah bahwa matematika dipandang sebagai

    kegiatan manusia (human activities) dan belajar matematika berati bekerja dengan

    matematika (doing mathematics) (Fauzan, Plomp & Gravemeijer, 2013).

    Meskipun telah terkesan ‘tua’, namun pendekatan RME masih tetap relevan untuk

    pembelajaran matematika saat ini, dan diyakini juga relevan untuk pembelajaran

    matematika di masa depan. Ada beberapa hal yang mendasari keyakinan ini. Pertama,

    permasalahan utama pembelajaran matematika yang terus berlangsung sampai saat ini

    bukanlah disebabkan oleh perubahan atau pergantian kurikulum, buku teks, pendekatan,

    atau metode yang digunakan, melainkan disebabkan oleh belum optimalnya proses

    pembelajaran yang berlangsung di kelas. Dengan kata lain, pengalaman belajar matematika

    yang diperoleh siswa di kelas sering belum optimal dalam membantu mereka mencapai

    tujuan pembelajaran matematika. Permasalahan ini dapat diatasi melalui pendekatan RME,

    karena fokus utama RME adalah membahas bagaima semestinya topik-topik matematika

    diajarkan di kelas dan bagaimana semestinya siswa belajar matematika di kelas (Fauzan &

    Yezita, 2016)

    Ke dua, sampai saat ini masih banyak penelitian-penelitian baru yang dilakukan

    untuk menggali potensi RME, baik yang dilakukan di luar negeri (lihat Gravemeijer dkk.,

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-2

    2016; Bahamonde, dkk., 2016; Larson dkk., 2017), atau yang dilakukan di Indonesia

    sendiri (lihat Ilma, 2009; Rangkuti, 2015; Lubis, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa

    pendekatan RME dianggap masih up to date untuk mengoptimalkan pembelajaran

    matematika.

    Ke tiga, pendekatan RME memiliki prinsip-prinsip dan karakteristik esensial yang

    perlu dan semestinya ada dalam suatu pembelajaran matematika. Prinsip dan karakteristik

    tersebut akan menjadi kajian utama dalam tulisan ini karena diyakini dapat

    menumbuhkembangkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan siswa dalam abad ke

    21.

    PEMBAHASAN

    Pada bagian ini akan dibahas beberapa prinsip kunci RME untuk disain

    instruksional dan untuk pembelajaran matematika di kelas, serta beberapa karakteristik

    RME. Selanjutnya, akan dikemukakan beberapa rumusan tentang keterampilan-

    keterampilan abad ke 21, yang kemudian dikaitkan dengan prinsip-prinsp dan karakteristik

    RME.

    1. Prinsip-prinsip Kunci RME untuk Instruksional Disain

    Secara umum PMRI mengkaji: materi apa yang akan diajarkan kepada siswa beserta

    rasionalnya (mengapa materi itu perlu diajarkan), bagaimana siswa belajar matematika,

    bagaimana topik-topik matematika seharusnya diajarkan, serta bagaimana menilai

    kemajuan belajar siswa. Mengacu pada bidang kajian ini, terutama yang berkaitan dengan

    disain instruksional, Gravemeijer (1994) mengemukakan tiga prinsip kunci sebagai

    berikut.

    a. Penemuan (kembali) Secara Terbimbing (Guided Reinvention): melalui topik-topik

    matematika yang disajikan, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang

    sama dengan proses yang dilalui oleh para pakar matematika ketika menemukan konsep-

    konsep matematika. Hal ini dilakukan dengan cara: memasukkan sejarah matematika,

    memberikan soal-soal kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi (soal

    divergen), dilanjutkan dengan mematematisasi prosedur pemecahan yang sama, serta

    perancangan rute belajar sedemikian rupa, sehingga siswa menemukan sendiri konsep-

    konsep formal atau algoritma. Proses penemuan kembali secara terbimbing dapat

    direpsentasikan seperti Gambar 1.

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Ahmad Fauzan

    MU-3

    Sumber: Webb, Koiij, and Geist (2011)

    b. Fenomena Didaktik (Didactical Phenomenology): topik-topik matematika yang

    diajarkan berasal dari fenomena sehari-hari. Topik-topik ini dipilih dengan dua

    pertimbangan: (1) aplikasinya, (2) kontribusinya untuk perkembangan matematika

    lanjut.

    c. Pemodelan (Emerging Models): siswa mengembangkan model sendiri sewaktu

    memecahkan soal-soal kontekstual. Pada awalnya siswa akan menggunakan model

    pemecahan yang informal (model of). Setelah terjadi interaksi dan diskusi di kelas, salah

    satu pemecahan yang dikemukakan siswa akan berkembang menjadi model yang formal

    (model for).

    2. Prinsip-prinsip RME untuk Proses Pembelajaran

    Proses pembelajaran dalam RME mempunyai lima prinsip yaitu: constructing and

    concretizing, level and models, reflection and special assignment, social context and

    interaction, structuring and intertwining (de Lange; 1987, Streefland; 1991, Gravemeijer;

    1994).

    a. Constructing and Concretizing; menurut prinsip ini belajar matematika merupakan

    aktivitas yang sifatnya membangun. Ciri dari sifat yang membangun ini adalah siswa

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-4

    menemukan sendiri prosedur pemecahan dari suatu masalah kontekstual. Untuk tujuan

    ini pembelajaran matematika harus dimulai dengan sesuatu yang familiar bagi siswa.

    b. Levels and Models; menurut prinsip ini penguasaan konsep dan keterampilan oleh siswa

    merupakan suatu proses yang panjang, dan berpindah pada bermacam-macam tingkatan

    abstraksi (dari informal ke formal, dan dari tingkatan intuitif ke tingkatan yang

    sistematis).

    c. Reflection and Special Assignment; prinsip ini berhubungan dengan peningkatan proses

    pembelajaran dari suatu level ke level selanjutnya. Proses peningkatan tersebut

    dilakukan melalui refleksi dan pemberian tugas-tugas khusus dimana perhatian yang

    serius mesti diberikan terhadap hasil-hasil pekerjaan siswa.

    d. Social Context and Interaction; proses belajar terjadi dalam suatu konteks sosial

    tertentu. Interaksi, baik antara siswa dengan guru, maupun antara siswa dengan siswa,

    memegang peran penting penting dalam terjadinya proses belajar yang bermakna.

    e. Structuring and Intertwining; matematika terdiri dari beberapa struktur yang

    membentuknya. Dalam belajar matematika siswa perlu memahami keterkaitan antara

    struktur yang satu dengan yang lain. Di samping itu, perlu ditunjukkan bahwa

    matematika mempunyai kaitan yang erat dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti fisika, kimia,

    ekonomi, dan lain-lain.

    Di samping prinsip-prinsip di atas, de Lange (1987) dan Gravemeijer (1994) juga

    mengemukakan beberapa karakteristik lain dari RME yaitu;

    - The use of contextual problems; pembelajaran dengan pendekatan RME selalu dimulai

    dengan pemberian masalah kontekstual (lihat kriterinya dalam de Figuirerdo, 1999) yang

    memungkinkan siswa untuk melakukan proses horizontal matematisasi (menyelesaikan

    masalah menggunakan strategi informal yang mereka miliki). Secara bertahap, masalah-

    masalah kontekstual akan menggiring siswa untuk melakuakan proses vertikal

    matematisasi (menyelesaikan masalah menggunakan simbol formal atau bahasa

    matematika, untuk menemukan suatu konsep matematika atau algoritma). Proses

    horizontal dan vertikal matematisasi dalam RME dapat dilihat pada Gambar 2.

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Ahmad Fauzan

    MU-5

    Gambar 1. Proses Horizontal dan Vertikal Matematisasi

    - Students Free Production; masalah kontekstual yang digunakan sebagai starting point

    dalam pembelajaran dengan RME pada umumnya dapat diselesaikan siswa

    menggunakan strategi informal yang mereka miliki. Dengan demikian, siswa distimulasi

    untuk menggunakan ide-ide mereka sendiri dalam pemecahan masalah kontekstual,

    sehingga akan deperoleh strategi pemecahan masalah yang bervariasi.

    - Students’ Contribution; ide-ide atau strategi pemecahan masalah kreatif, yang ditemukan

    siswa sewaktu menyelesaikan masalah-masalah kontekstual akan di share dalam diskusi

    kelompok atau diskusi kelas. Proses ini menunjukkan bahwa siswa difasilitasi untuk

    berkontribusi dalam pembentukan pengetahuan teman-temannya.

    3. Keterampilan-keterampilan Abad ke 21(21st Century Skills)

    Pada awal tahun 1980-an, berbagai pihak yang terdiri dari unsur pemerintah,

    akademisi, organisasi, dan praktisi mulai membicarakan aspek-aspek kunci, keterampilan,

    dan kompetensi akademik yang dibutuhkan dalam menghadapi abad ke 21. Diskusi dan

    penelitian tentang ini pada awalnya digagas oleh Amerika Serikat, kemudian diikuti oleh

    Kanada, Inggris, dan New Zealand, serta beberapa organisasi seperti, Asia-Pasific

    Economic Cooperation (APEC) dan Organization for Economic Cooperation and

    Development (OECD).

    Vertikal

    Matematisasi

    Bahasa

    Matematika

    Algoritma

    Analisa

    Pemecahan

    Soal-soal Kontekstual

    Horizontal

    Matematisasi

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-6

    Dari berbagai kegiatan diskusi dan penelitian yang telah dilakukan, muncul

    beragam ide tentang formulasi keterampilan-keterampilan abad ke 21. Secara umum ide-ide

    tersebut dapat diformulasi menjadi tiga kelompok keterampilan sebagai berikut.

    • Learning and innovation Skills; critical thinking and problem solving, communications

    and collaboration, dan creativity and innovation.

    • Digital Literacy Skills; information literacy, media literacy, dan information and

    communication technology (ICT) literacy.

    • Career and Life Skills; flexibility and adaptability, initiative and self-direction, social

    and cross-cultural interaction, productivity and accountability, dan leadership

    (sumber: www.wikipedia.org)

    Khusus untuk learning and innovation skills, Partnership for 21st Century Skills

    mengemukakan ide tentang the 4C’s. (catatan: sekarang organisasi ini bernama

    Partnership for 21st Century Learning (P21) dan beranggotakan lebih dari 10 asosiasi

    dan perusahan terkemuka di Amerika Serikat). The 4C’s merupakan hasil penelitian P21

    dalam upaya mengidentifikasi keterampilan dan kompetensi belajar yang lebih mendalam,

    yang perlu ditumbuhkembangkan melalui proses pendidikan, khususnya di tingkat

    pendidikan dasar dan menengah. The 4Cs oleh P21 juga diistilahkan dengan super skills

    for 21st century, dan terdiri dari communication, collaboration, critical thinking, dan

    creativity (lihat www.p21.org)

    Pada bagian berikut akan dibahas bagaimana tiap C dalam the 4Cs dapat

    ditumbuhkembangkan melalui pendekatan RME. Unsur the 4C’s yang dibahas merupakan

    perpaduan dari learning and innovation skills dan the four Cs of 21st century learning dari

    P21.

    4. The 4C’s dan RME

    Pada bagian Pendahuluan dinyatakan bahwa pendekatan RME masih relevan untuk

    pembelajaran matematika saat ini dan di masa yang akan datang, khususnya dalam

    menumbuhkembangkan the 4C’s . Relevansi tersebut akan dibahas satu persatu sebagai

    berikut.

    a. Communication (komunikasi)

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Ahmad Fauzan

    MU-7

    Menurut P21, dalam pembelajaran, komunikasi hendaknya difokuskan pada berbagi

    pemikiran/pendapat, pertanyaan, ide, dan penyelesaian dari suatu pemecahan masalah.

    Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara lisan, tertulis, maupun secara non-verbal.

    Dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan RME, siswa difasilitasi untuk

    berkomunikasi dalam berbagai kesempatan, karena pembelajaran mengutamakan proses

    dan interaktivitas (de Lange, 1999). Interaktivitas tidak akan tercipta jika siswa tidak

    berkomunikasi satu sama lain. Berbagi pemikiran/pendapat dilakukan siswa ketika mereka

    berdiskusi dalam menyelesaikan masalah-masalah kontekstual. Strategi penyelesaian

    masalah kontekstual yang diperoleh sekolompok siswa akan dikomunikasikan dalam math

    congress (diskusi kelas).

    Pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan RME

    juga dikemukakan oleh Widjaja, Dolk & Fauzan (2010), yang menyatakan bahwa:

    One norm of participation promoted in the mathematics classroom is that

    students are not only expected to give answers, but also to publicly

    explain, justify, and defend their reasoning. This immediately requires

    listen to each other and to understand and to examine other students’

    reasoning

    Pendapat ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan norma kunci yang perlu ada

    dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan RME.

    b. Collaboration (kerja sama)

    P21 memaknai collaboration sebagai working together to reach a goal, putting

    talent, expertise, and smarts to work. Hal ini sangat sejalan dengan prinsip RME, karena

    proses pengkonstruksian konsep-konsep matematika dalam RME mesti terjadi dalam

    konteks sosial (socio constructivist) (lihat Gravemeijer, 1994, 1997). Artinya, RME

    meyakini bahwa proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa akan bermakna jika hal

    tersebut dilakukan melalui kerja sama dan berbagi ide dalam suatu konteks sosial.

    Terkait dengan pentingnya kerja sama dalam belajar matematika, Treffers (1991a)

    berargumen bahwa learning mathematics is not a solo activity, but it occurs in a ‘society’

    and is directed and stimulated by socio-cultural context. Ini bermakna bahwa belajar

    matematika dengan pendekatan RME mestinya berlangsung dalam kelompok. Hal ini juga

    didukung oleh de Moor (1994) yang mengungkapkan bahwa:

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-8

    RME does not resemble individual paper and pencil work nor is it a matter of

    the teacher doing the explanation and pupil imitating the activity. It calls for

    work to be done in-groups where investigation, experimentation, discussion

    and reflection are the core of teaching learning process

    Pernyataan dari de Moor menunjukkan bahwa belajar matematika ‘ala’ RME bukanlah

    dengan cara guru menjelaskan, memberi contoh, kemudian siswa “meniru” apa yang

    dicontohkan oleh guru, melainkan ‘menghendaki’ siswa untuk bekerja dalam kelompok,

    melakukan penyelidikan, eksperimen, diskusi, dan refleksi. Begitu pentingnya aspek kerja

    kelompok dalam pendekatan RME, menunjukkan bahwa pendekatan ini sangat potensial

    untuk menumbuhkembangkan keterampilan collaboration pada diri siswa.

    c. Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan pemecahan masalah)

    Berpikir kritis adalah keterampilan utama yang ingin dicapai melalui pembelajaran

    matematika. Hal ini dapat dicapai jika siswa terlatih dalam menyelesaikan masalah-masalah

    yang menantang, yang dapat men- trigger pemikiran mereka. P21 mendefinisikan critical

    thinking sebagai looking at a problem in a new way, linking learning across subject &

    disciplines. Melihat suatu masalah dalam perspektif baru merupakan suatu kegiatan rutin

    yang dilakukan dalam pendekatan RME, karena setiap pembelajaran dimulai dengan

    penyajian masalah kontekstual yang diharapkan dapat diselesaikan siswa menggunkan

    pengetahuan informal yang mereka miliki (Gravemeijer, 1994). Artinya, pada awal

    penyelesaian suatu masalah kontekstual, siswa akan menggunakan perspektif mereka

    sendiri. Perspektif ini akan didiskusikan dalam kelompok dan akan dipertahankan dalam

    diskusi kelas.

    Proses pemecahan masalah kontekstual dalam RME menuntut siswa untuk

    berargumen: Apa ide mereka untuk menyelesaikan suatu masalah kontekstual? Mengapa

    mereka menganggap ide tersebut tepat? Mengapa ide yang lain kurang tepat digunakan

    untuk konteks tersebut? Mengapa solusi yang satu lebih baik dari solusi yang lain? …

    Proses seperti ini diyakini dapat melatih siswa untuk berpikir kritis. Di samping itu,

    masalah kontekstual yang menjadi bagian integral dalam pembelajaran matematika dengan

    pendekatan RME, diyakini juga akan membekali siswa untuk dapat menjadi problem solver

    yang tangguh.

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Ahmad Fauzan

    MU-9

    d. Creativity and Innovation (kreativitas dan inovasi)

    Dalam RME siswa distimulasi dengan masalah-masalah yang menimbulkan

    ‘konflik’ dalam pemikiran mereka (conflict problems) (Treffers, 1991a). Hal ini diharapkan

    dapat mendorong munculnya ide-ide orisinil dari siswa dalam memecahkan masalah

    kontekstual tersebut (students’ free production). Ide-ide orisinil yang akan muncul dari

    siswa merupakan suatu bentuk kreativitas dan dapat juga menjadi suatu ‘inovasi’ dalam

    belajar matematika. Di samping itu, masalah-masalah kontekstual yang disajikan dalam

    pendekatan RME cenderung bersifat terbuka (open-ended), sehingga potensi yang dimiliki

    siswa untuk melahirkan ide-ide kreatif dan inovatif dapat terfasilitasi.

    PENUTUP

    Pendekatan RME telah digagas sejak lebih dari 40 tahun yang lalu. Meskipun demikian,

    pendekatan ini tetap up to date untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika saat ini dan juga

    di masa depan. Berbagai penelitian dalam 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa masih banyak

    potensi RME yang perlu digali untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran matematika.

    Yang tidak kalah pentingnya, pendekatan RME sangat relevan dalam menumbuhkembangkan

    keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup pada abad ke 21, khususnya yang terkait

    dengan the 4Cs. Bahkan, jika dicermati lebih jauh, pendekatan RME juga potensial untuk

    meningkatkan career and life skills. Analisis tentang hal ini akan diberikan pada kesempatan lain.

    REFERENSI

    Bahamonde, A., Aymemi, J., Urgelles, J. 2016. Mathematical modeling and learning

    trajectory: tools to support the teaching of linear algebra. In International Journal of

    mathematics Education in Science and Technology (online journal:

    http://dx.doi.org)

    Fauzan, A. 2002. Applying Realistic Mathematics Education (RME) in Teaching Geometry

    in Indonesian Primary Schools. Enschede, The Netherlands: PrintPartners Ipskamp.

    Fauzan, A., Plomp, T., Gravemeijer, K. 2013. The Development of RME-based Geometry

    Course for Indonesian Primary Schools. In An Introduction to Educational Design

    Research. T. Plomp, T., N. Nieveen N. (Eds). The Netherlands: SLO.

    Fauzan, A. & Yezita, E. 2016. Pengembangan alur belajar topik perbandingan dengan

    pendekatan RME. Dalam Prosiding Konaspi VIII, Tahun 2016. Jakarta: Panitia

    Konaspi.

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-10

    de Figueirerdo, N.J.C. 1999. Ethnic Minority Students Solving Contextual Problems.

    Doctoral Dissertation, Utrecht: Freudenthal Institute

    Freudenthal, H. 1991. Revisiting mathematics education. Dordrecht, The Netherlands:

    Kluwer Academic.

    Gravemeijer, K.P.E. 1994. Developing realistic mathematics education. Utrecht, The

    Nederlands: Freudenthal Institute.

    Gravemeijer, K.P.E. 1997. Instructional design for reform in mathematics education. In M.

    Beishuizen, K.P.E. Gravemeijer, & E.C.D.M. van Lieshout (Eds.), The Role of

    Contexts and Models in the Development of Mathematical Strategies and

    Procedures. Freudenthal Institute, Utrecht, 1997.

    Gravemeijer, K, Muurling, G.B, Kraemer, J.M, and van Stiphout, I. 2016. Shortcoming of

    Mathematics Education Reform in The Netherlands: A Paradigm Case? In

    Mathematics and Learning Vol 18(I), p 25-44.

    Ilma, Ratu. 2009. Efek Potensial Pelatihan PMRI terhadap Guru-Guru Matematika di

    Palembang. Dalam Jurnal Pendidikan Matematika. Vol. 3(2) Desember 2009.

    de Lange, Jan. 1987. Mathematics, Insight, and Meaning. OW & OC, Utrecht, The

    Netherlands.

    de Lange, Jan. 1999. Using and applying mathematics in education. In A.J. Bishop et al.

    (Eds.), International Handbook of Mathematics Education, 49 – 97. The

    Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

    Larson, C., Wawro, M., and Zandieh, M., 2017. A hypothetical learning trajectory for

    conceptualizing matrices as linear transformations. In In International Journal of

    mathematics Education in Science and Technology (online journal:

    http://dx.doi.org)

    Lubis, M.S. 2016. Pengembangan Alur Pembelajaran Topik Bilangan dengan Pendekatan

    Matematika Realistik di Madrasah Ibtidaiyah (disertasi). Padang: PPs UNP

    Moor, Ed de. 1994. Geometry Instruction in the Netherlands (ages 4-14)-the Realistic

    Approach. In Realistic Mathematics Education in Primary School, L. Streefland

    (ed.). Utrecht: CD-B Press, Freudenthal Institute.

    Rangkuti, Ahmad Nizar. 2015. Pengembangan Alur Belajar Topik Pecahan di Sekolah

    Dasar dengan pendekatan PMRI (disertasi). Padang: PPs UNP

    Sembiring, R.K. dkk. 2010. A Decade of PMRI in Indonesia. APS: The Netherlands

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Ahmad Fauzan

    MU-11

    Streefland, L. 1991. Realistic Mathematics Education in Primary Schools. Utrecht:

    Freudenthal Institute.

    Suryanto, dkk. 2010. Sejarah PMRI di Indonesia. Jakarta: Dikti

    Treffers, A. 1991. Realistic mathematics education in the Netherlands 1980 - 1990. In Leen

    Streefland (Ed.), Realistic Mathematics Education in Primary Schools. Utrecht:

    Freudenthal Institute, Utrecht University.

    Treffers, A. 1991a. Three dimensions: A model of Goal and Theory Description in

    Mathematics Education, Dordrecht: Reidel.

    Widjaja, Dolk, & Fauzan. 2010. The role of contexts and teacher's questioning to enhance

    students' thinking. In Journal of Science and Mathematics Education in Southeast

    Asia, Vol 33(2), p 168-186.

    www.wikipedia.org

    www.p21.org

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Abdur Rahman As’ari

    MU-12

    REORIENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA: SUATU KENISCAYAAN

    Abdur Rahman As’ari Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Malang

    [email protected]

    Abstrak. Berdasarkan kajian para pakar, ada empat keterampilan dasar yang perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan agar siswa mampu bertahan hidup atau bahkan mewarnai kehidupan di era global. Empat keterampilan tersebut adalah Critical thinking, Creative Thinking, Collaboration, dan Communication Skills (Biasa disingkat 4Cs). Dalam kenyataannya, kurikulum yang ada masih belum secara eksplisit memfasilitasi pengembangan 4Cs tersebut. Praktik pembelajaran matematika yang selama ini dikembangkan pun belum bisa optimal mengembangkan 4Cs. Karena itu, reorientasi pembelajaran matematika merupakan suatu keniscayaan. Guru harus mengubah model pembelajaran mereka kalau ingin menyiapkan anak didiknya sukses di era global. Mereka bisa menggunakan pendekatan general, infusion, immersion, atau mixed untuk mengembangkan 4Cs. Bahkan dalam penerapan PMRI pun, guru perlu memanfaatkan momen-momen formulate, employ, interpret, dan evaluate untuk pengembangan 4Cs. Untuk lebih berhasilnya pengembangan 4Cs, Pemerintah perlu mengembangkan kelengkapan dari Kurikulum 2013 edisi revisi agar pengembangan 4Cs bisa dilaksanakan secara lebih sistematis, efektif, dan efisien, yaitu mengadakan ujian kemampuan 4Cs.

    Kata kunci: 4Cs, Pembelajaran Matematika, Reorientasi, Era Global

    PENDAHULUAN

    Bangsa Indonesia, selama ini, dikenal sebagai bangsa yang agraris. Akan tetapi,

    fakta menunjukkan bahwa kita banyak mengimpor bahan pangan yang harusnya bisa

    diproduksi bangsa Indonesia sendiri. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2013)

    menunjukkan bahwa pada tahun 2013 Indonesia ternyata harus mengimpor 29 jenis

    komoditas pangan, termasuk beras, jagung kedelai, dan gandum. Bahkan, hamparan

    pantai yang tampaknya paling panjang di dunia sepertinya tidak memberikan manfaat

    sama sekali.Indonesia juga mengimpor garam.

    Pada tahun 2015,impor beras 225.029 ton dengan nilai US$ 97,8 juta, jagung 2,3

    juta ton dengan nilai US$ 522,9 juta, kedelai 1,52 juta ton dengan nilai US$ 719,8 juta,

    impor biji gandum dan mesin 4,5 juta ton dengan nilai US$ 1,3 miliar, tepung terigu

    61.178 ton dengan nilai US$ 22,3 juta, gula pasir 46.298 ton dengan nilai US$ 19,5 juta,

    impor gula tebu (Raw Sugar) 1,98 juta ton dengan nilai US$ 789 juta, impor garam 1,04

    juta ton dengan nilai US$ 46,6 juta. Total nilai impor untuk 8 komoditas pangan di atas

    ini mencapai US$ 3,5 miliar atau hampir setara dengan 51 Triliun (Detikfinance, 2017).

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-13

    Bisa dibayangkan betapa besar uang yang harus dikeluarkan oleh bangsa ini untuk

    membeli barang-barang yang sebenarnya bisa dipenuhi sendiri dari dalam negeri

    sendiri.Wajar kalau nilai mata uang rupiah selalu lemah.

    Banyak dan besarnya nilai impor bahan komoditas pangan di atas adalah salah

    satu dari keberhasilan bangsa lain menjajah atau ‘membodohi’ bangsa kita. Bangsa kita

    dibuat tidak mampu berpikir dengan baik. Bangsa Indonesia dibuat menjadi sangat

    bergantung kepada bahan makanan yang mengandung karbohidrat.

    Yang lebih aneh lagi adalah ketergantungan bangsa ini dengan produk gandum,

    yang secara teori sangat sulit ditanam di dataran luas di Indonesia karena menuntut suhu

    15 sd 25 derajat celcius dengan pH netral antara 6.5 sd 7.0. Pada tahun 2015/2016,

    Indonesia bahkan menempati peringkat kedua negara pengimpor gandum terbesar di

    dunia, di bawah Mesir (Detikfinance, 2016).

    Kegemaran masyarakat Indonesia mengkonsumsi makanan olahan yang berasal

    dari gandum adalah salah satu sebab ketergantungan tersebut. Masyarakat Indonesia

    sangat menggemari makanan mie instan. Indonesia tercatat menempati peringkat ke dua

    negara pengguna mie instan di dunia. Konsumsi per kapita masyarakat Indonesia hanya

    satu tingkat di bawah Korea yakni mencapai 60.3 layanan per tahun. Berikut tabel

    pengguna mie instant terbesar dunia.

    Sumber: Kompasiana 21 Januari 2015.

    Mengingat gandum sangat jarang ditanam dan dibudidayakan di Indonesia, dan

    begitu besarnya kebergantungan masyarakat Indonesia kepada produk dari gandum ini,

    tentu ada hal yang salah dalam pemikiran bangsa Indonesia. Mengapa masyarakat

    Indonesia kurang menyukai produk-produk yang menghasilkan karbohidrat dari sumber

    daya alam yang ada dan bisa dibudidayakan di Indonesia. Mengapa makanan penghasil

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Abdur Rahman As’ari

    MU-14

    karbohidrat dengan bahan baku ketela pohon, sagu, umbi-umbian kurang begitu

    diminati? Mengapa harus gandum? Bukankah gandum sulit dibudidayakan di

    Indonesia?

    Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan baik kalau kita tidak ingin selalu

    bergantung kepada bangsa lain. Kita harus mampu mandiri memenuhi semua kebutuhan

    kita. Meskipun bangsa Indonesia bersahabat dengan bangsa lain, kita perlu menyadari

    bahwa di dalam persahabatan itu tetap ada kompetisi. Ada hasrat dari suatu bangsa

    untuk mempengaruhi atau bahkan menguasai bangsa lain. Saat ini, penguasaan terhadap

    negara lain itu mungkin tidak dilakukan secara militer. Penguasaan terhadap negara lain

    saat ini lebih banyak dilakukan dengan cara non militer. Menjadikan bangsa Indonesia

    bergantung kepada bahan pangan yang harus diimpor dari negara lain adalah salah satu

    bentuk kemenangan mereka atas bangsa Indonesia.

    Kita seolah dibikin tidak bisa berpikir kritis dan kreatif. Kita dibikin terlena

    sehingga tidak menyadari bahwa kita sudah bergantung kepada mereka. Kita juga dibuat

    tidak berdaya untuk menghasilkan produk lain yang memiliki fungsi sama dengan

    memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalam negeri. Hakikatnya, kita

    sebenarnya sudah dijajah. Kita harus mengeluarkan uang yang banyak untuk memenuhi

    kebutuhan kita yang diatur mereka.

    Bagi kita guru dan pendidik matematika pada umumnya, fakta ini mungkin akan

    dianggap wajar-wajar saja. Guru matematika pada umumnya hanya akan mengajarkan

    matematika. Prinsip utamanya adalah bagaimana membuat siswa menyukai matematika,

    menguasai konsep matematika, dan menyelesaikan masalah matematis.

    Tapi bagi kita guru dan pendidik matematika yang memiliki visi tentang

    pentingnya menjaga jatidiri dan keberlangsungan hidup bangsa Indonesia di masa

    depan, fakta di atas tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Guru dan pndidik

    Matematika tidak boleh berdiam diri dengan hanya membekalkan matematika kepada

    murid-muridnya. Guru dan pendidik matematika harus menyadari bahwa murid-murid

    yang sekarang dalam binaannya itu akan hidup dalam era global yang memberikan

    ancaman yang jauh lebih besar dari ancaman yang ada sekarang. Kalau di saat ini saja

    kita sudah dibuat bergantung kepada negara lain, di Era global, mungkin akan lebih

    besar lagi kebergantungan kita kepada bangsa lain. Penulis khawatir bahwa di era global

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-15

    nanti eksistensi bangsa Indonesia akan terancam. Bangsa Indonesia akan menjadi

    bangsa yang bangkrut dan kehilangan jatidiri sama sekali. Na’udzubillah min dzaalik.

    Untuk itu, mari kita bangun dan bangkit berdiri. Mari kita singsingkan lengan

    baju kita dan bekerja keras (juga bekerja cerdas) mempersiapkan generasi lebih baik

    yang sanggup menjaga eksistensi dan jati diri bangsa Indonesia. Mari kita persiapkan

    generasi muda agar mampu mengibarkan bendera Indonesia yang mendapat posisi

    terhormat dalam kancah percaturan global. Untuk itu, mari kita perhatikan karakteristik

    dan tantangan yang akan dihadapi oleh anak didik kita ketika mereka kelak hidup di era

    global. Kita harus membekali mereka untuk sukses di jamannya, seperti anjuran

    Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyatakan:

    Didiklah anak sesuai dengan jamannya.Didiklah anak sesuai dengan jamannya.Didiklah anak sesuai dengan jamannya.Didiklah anak sesuai dengan jamannya.

    PEMBAHASAN

    Untuk keperluan pembahasan, di dalam makalah ini akan diuraikan beberapa

    hal. Pertama, penulis akan membahas tentang Karakteritstik dan Tantangan Era Global.

    Kedua, Kedudukan 4Cs di Era Global. Ketiga, Praktik Pembelajaran Matematika di

    Indonesia. Keempat, Kurikulum 2013 Edisi Revisi. Kelima, Pendidikan Matematika

    Indonesia Kedepan. Keenam. Potensi PMRI dalam Mengembangkan 4Cs.

    1. Karakteristik dan Tantangan Era Global

    Ada dua hal penting yang perlu dicermati dalam kehidupan global. Pertama. Era

    global ditandai dengan kemajuan ICT (Information Communication Technology) yang

    luar biasa, dan bahkan berkembang liar. ICT telah menjadikan dunia layaknya seperti

    global village (Dhameja & Medury, tanpa tahun). Bahkan, TIK telah berkembang

    menjadi infrastruktur ekonomi yang penting (Vidas-Bubanja & Bubanja, 2015), serta

    menjadi fondasi setiap sektor ekonomi dunia (Kramer, dkk, 2007).

    Di era global, penulis hampir sepenuhnya yakin bahwa seluruh aspek kehidupan

    tidak akan terbebas dari sentuhan kemajuan ICT. Bahkan, aspek spiritual pun, yang

    biasanya sangat sakral, dan tabu untuk dimasuki ICT, juga tidak akan luput dari

    sentuhan kemajuan ICT.

    Saat ini saja, ICT sudah terasa sangat mewarnai kehidupan dan mengubah

    budaya manusia. Dengan ICT, aktivitas sosial jaman dulu dengan jaman sekarang sudah

    jauh sekali berbeda. Penguasaan ilmu pengetahuan pun sekarang bahkan bisa tanpa

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Abdur Rahman As’ari

    MU-16

    bantuan guru. Asal mahir ICT, memiliki reading and learning skills, setiap orang

    dengan sangat mudahnya akan memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. Di

    Matematika, dengan aplikasi Malmat yang tersedia di handphone, jawaban terhadap

    soal matematika, bahkan termasuk integral, inferensial, limit yang biasanya sulit dengan

    sangat mudah diperoleh solusinya. Kalau hanya sekedar jawaban akhir masih tidak

    seberapa. Dengan Malmat, langkah demi langkah dalam proses penyelesaiannya pun

    bisa ditampilkan. Untuk apa mengajarkan matematika kalau bisa diselesaikan oleh

    Malmat?

    Kedua. Era global ditandai juga dengan semakin samarnya batas antar negara

    (Sujarwo, 2006; Yeung, 1998). Lalu lintas pergerakan barang dan jasa dunia seakan

    tidak lagi mengenal batas negara. Apa yang diproduksi di negara A bisa dengan

    mudahnya dikonsumsi di negara B serta sebaliknya. Bahkan, dengan ICT, pergerakan

    distribusi barang dan jasa tersebut mungkin bisa hanya dalam hitungan detik atau menit

    saja, tanpa menunggu kehadiran fisik pihak-pihak yang berkepentingan.

    Terkait dengan dua karakteristik di atas, ada beberapa tantangan yang perlu

    mendapatkan perhatian guru. Tantangan tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Informasi yang tersedia untuk dipahami dan digunakan sebagai dasar untuk pengambilan

    keputusan akan semakin banyak. Lebih parahnya lagi, informasi itu bercampur antara

    yang valid dan yang palsu (hoax). Setiap orang menghadapi tantangan dalam menentukan

    informasi mana yang seharusnya digunakan untuk pengembilan keputusannya. Salah

    memilih informasi, dampaknya bisa luar biasa. Terorisme, perang, penghancuran, dan

    berbagai tindak destruktif lainnya berpeluang muncul manakala informasi yang

    digunakan adalah salah dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya.

    2. Inovasi yang dilakukan oleh suatu perusahaan akan dengan mudah diketahui. Ini

    akan memberikan inspirasi bagi competitor untuk menganalisis kekuatan dan

    kekurangannya, serta mengubah dan mengembangkan inovasi baru. Akibatnya,

    masyarakat akan menghadapi tantangan yang berupa tawaran inovasi yang

    bertubi-tubi. Cepatnya perubahan ini bisa mengakibatkan seseorang memiliki

    ketergantungan dan tidak merdeka.

    3. Permintaan dan penyediaan barang dan jasa akan berlangsung lintas negara.

    Karena itu, sangat dimungkinkan adanya suatu perusahaan A yang dikendalikan

    oleh penduduk negara B dan memiliki pabrik di negara C, D, E, dan F, serta

    memiliki kantor distribusi di negara G dan H. Perusahaan itu maju dan

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-17

    memberikan keuntungan besar meskipun pemiliknya bisa saja tidak pernah

    mengunjungi pabrik dan kator distribusinya yang berada di negara lain. Jejaring

    yang kuat yang dibangun oleh pemilik perusahaan A tersebut yang

    memungkikannya terjadi.

    4. Keberhasilan membangun jejaring di atas sangat ditentukan oleh kemampuan

    seseorang dalam berkomunikasi. Orang harus mampu menjadi pendengar yang

    baik, tetapi juga harus menjadi pembicara yang baik. Orang harus mahir membaca

    dan juga harus bagus dalam menuliskan idenya. Tanpa kemampuan komunikasi

    tersebut, jejaring akan sangat susah dibentuk.

    Karena itu, guru, termasuk guru matematika, tidak boleh membatasi diri dengan

    hanya membelajarkan matematika. Adalah percuma menjadikan anak mahir matematika

    bila mereka tidak mampu menghadapi tantangan-tantangan yang penulis uraikan di atas.

    Siswa harus dididik beyond mathematical content, dan juga bukan sekedar thinking

    mathematically. Siswa harus kita siapkan agar mampu bertahan hidup atau mewarnai

    kehidupan di era global.

    2. Kedudukan 4Cs di Era Global.

    Beberapa tantangan kehidupan di era global tersebut sebenarnya telah dikaji oleh

    banyak pakar. Hasil kajian menunjukkan diperlukannya 4Cs (critical thinking, creative

    thinking, collaboration, and communication skills) untuk menghadai kehidupan di era

    global (As’ari, 2016a; Devlin-Foltz & McInvaine, 2008; dan Partnership for 21st

    Century Skills, 2008). Critical thinking skills diperlukan dalam mengambil keputusan

    tentang apa yang harus dipercaya dan apa yang harus dilakukan (Ennis, 2011).

    As’ari (2016b) mengklaim beberapa keunggulan dari orang yang berpikir kritis.

    Dikatakan bahwa ketika seseorang diberi tawaran yang didalamnya memuat argumen-

    argumen tertentu, seseorang dengan kemampuan berpikir kritis akan mampu

    membedakan apakah argumennya itu valid atau tidak. Orang yang memiliki

    kemampuan berpikir kritis akan mampu menentukan kapan argumen itu bernilai benar

    dan kapan bernilai salah. Orang yang berpikir kritis akan mampu menentukan asumsi

    yang dipakai untuk menggunakan argumen tersebut. Orang yang berpikir krits juga

    mampu mengambil kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang ada dalam argumen

    tersebut. Karena itu, orang yang berpikir kritis cenderung tidak akan mudah dihasut dan

    “dibodohin”.

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Abdur Rahman As’ari

    MU-18

    Selanjutnya, Critical thinking skills yang dipadu dengan creative thinking skills

    merupakan hal yang diperlukan dalam menghasilkan produk baru yang memiliki

    kelebihan dari produk yang ada. Dengan critical thinking skills-nya, seseorang bisa

    menentukan kekuatan dan kekurangan dari suatu produk. Dengan critical thinking

    skills-nya, seseorang akan bisa menentukan aspek apa yang masih bisa dikembangkan

    lebih jauh. Selanjutnya, dengan creative thinking skills-nya, seseorang bisa menciptakan

    sesuatu yang baru yang lebih potensial sesuai dengan hasil analisis kritisnya. Ini sesuai

    dengan pendapat Muchtadi (2016) yang setelah mengkaji beberapa definisi tentang

    keterampilan berpikir kreatif (Creative Thinking Skills) berkesimpulan bahwa

    kemampuan berpikir kreatif memungkinkan seseorang berpikir berbeda dengan yang

    biasa dilakukan sehingga dimungkinkan suatu hasil pemikiran baru.

    Sementara itu, Collaboration didefinisikan oleh Roshelle & Teasly (1995)

    sebagai “coordinated, sychronous activity that is the result of a continued attempt to

    construct and maintain a shared conception of a problem”. Sementara itu, Hesse, Care,

    Buder, Sassenberd, & Griffin (2015) mendefinisikan collaboration sebagai “the activity

    of working together towards a common goal”. Dengan demikian, keterampilan

    kolaborasi ini adalah keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk bekerja sama

    dengan orang-orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Karenanya, agar terbentuk

    kolaborasi yang baik, orang yang akan melakukan kolaborasi dituntut untuk mengetahui

    siapa saja yang memiliki atau mungkin memiliki kepentingan bersama, dan mau diajak

    bekerjasama.

    Collaboration skills, dikombinasikan dengan critical dan creative thinking skills

    diperlukan seseorang dalam rangka mengidentifkasi siapa yang bisa dan layak diajak

    bekerjasama, untuk waktu berapa lama, dalam bidang apa dan aspek lainnya sehingga

    kepentingan orang tersebut bisa berjalan lancar, efektif, efisien, dan menguntungkan

    semua pihak. Collaboration skills diperlukan untuk memanfaatkan peluang terbaik yang

    dimilikinya.

    Communication skills diperlukan untuk memastikan jaringan yang dikehendaki

    bisa terwujud dan berjalan sesuai dengan keinginan dan rencananya. Communication

    skills diperlukan untuk memahami maksud dan kehendak orang lain dalam jaringannya.

    Communication skills juga diperlukan untuk memahamkan orang lain akan statusnya,

    tawarannya, dan potensi keutungan yang bakal dimiliki oleh mitra kerjanya. Ini sesuai

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-19

    dengan pendapat McCroskey (1988) yang menyatakan bahwa kemampuan komunikasi

    adalah “the adequate ability to pass along or give information; the ability to make

    known by talking or writing”.

    Penulis menekankan bahwa empat kemampuan di atas (baca: 4Cs) adalah

    kemampuan penting untuk hidup di era global. Oleh karenanya, praktik pembelajaran di

    Indonesia hendaknya diarahkan untuk menghasilkan insan-insan yang memiliki 4Cs

    tersebut. Pembelajaran Matematika juga harus memfasilitasi terbentuknya 4Cs tersebut.

    Akan tetapi, bagaimana praktik pembelajaran matematika di Indonesia sejauh ini?

    Praktik Pembelajaran Matematika di Indonesia

    Sebagaimana kecenderungan pembelajaran matematika di dunia, karakteristik

    praktik pembelajaran matematika di Indonesia dapat dikemukakan sebagai berikut:

    1. Pembelajaran untuk Mahir Mengoperasikan Matematika,

    2. Pembelajaran untuk Menguasai Konsep Matematika.

    3. Pembelajaran untuk Mengembangkan Literasi Matematis.

    Sampai saat ini, bahkan meskipun ujian nasional sudah tidak lagi menentukan

    kelulusan seorang siswa, pembelajaran matematika masih banyak yang diorientasikan

    untuk menjadikan anak mahir mengoperasikan matematika, terutama prosedur

    matematis. Hasil pengamatan penulis terhadap praktik pembelajaran di sekolah, dan

    diskusi penulis dengan beberapa orang pakar pendidikan di banyak tempat

    menunjukkan bahwa anak masih terus didorong agar memiliki kemampuan untuk

    memecahkan masalah dengan cepat, kendatipun mereka bisa saja tidak memahami

    secara pasti mengapa metode itu yang harus digunakan, dan apa makna dari hasil

    pengerjaannya, serta apa manfaatnya dalam kehidupan. Model pembelajaran ceramah

    yang dipenuhi dengan kegiatan drill and practice menjadi penciri utama dari

    pembelajaran matematika yang demikian. Penerapan psikologi behavioristik sangat

    nyata dalam praktik pembelajaran matematika yang seperti ini.

    Sejak dikenalkan psikologi kognitif, yang mengklaim bahwa anak tidak sekedar

    menerima mentah-mentah semua informasi melainkan selalu melakukan proses

    asimilasi dan akomodasi struktur berpikirnya, praktik pembelajaran matematika

    mengalami sedikit perubahan. Pembelajaran matematika tidak lagi didominasi oleh guru

    menerangkan dan siswa menyimak dan mencatat. Guru sudah mendorong siswa untuk

    aktif memahami konsep dengan mengamati, melakukan percobaan, berdiskusi, dan

    kegiatan aktif fisik dan metal lainnya. Pembelajaran matematika sudah lebih melibatkan

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Abdur Rahman As’ari

    MU-20

    siswa secara aktif. Bahkan, diskusi dengan berbagai bentuknya (pasangan, kelompok

    kecil, kelompok besar) juga mencirikan praktik pembelajaran matematika. Penggunaan

    konteks yang sesuai dengan latar belakang siswa juga sudah lebih didorong. Karena itu,

    muncul berbagai model pembelajaran baru seperti Contextual Teaching and Learning,

    CBSA/PAKEM, dan Cooperative Learning.

    Seiring dengan penerapan filfafat konstruktivistik dimana matematika juga

    dipandang sebagai human activity, pembelajaran yang lebih menekankan kepada

    peningkatan literasi matematis juga tumbuh berkembang. Pembelajaran matematika

    dikembangkan dari masalah sehari-hari, dan dikembangkan melalui progressive

    mathematization sehingga terbentuk pemahaman matematis terhadap problema dalam

    kehidupan sehari-hari. Realistic Mathematics Education yang di Indonesia dikenal

    dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia, disingkat PMRI, adalah satu model

    pembelajaran yang sepertinya dengan sengaja diarahkan agar siswa memiliki literasi

    matematis. Pembelajaran dengan pendekatan PMRI pun terkesan belum diminati guru.

    Di samping itu, sebenarnya ada pula usaha yang cukup intensif yaitu mencoba

    menerapkan pembelajaran matematika model Jepang. Pembelajaran yang cenderung

    menerapkan prinsip teaching via problem solving ini banyak dicoba melalui kegiatan

    Lesson Study oleh tiga perguruan tinggi besar di Indonesia yaitu UM, UNY dan UPI.

    Demikian pula dengan penerapan open-ended approach.

    Sehubungan dengan berbagai macam praktik pembelajaran matematika di atas,

    timbul pertanyaan dalam diri penulir:

    Sudah siapkan pendidikan Matematika Indonesia mengembangkan 4Cs siswa

    Indonesia?

    Untuk menjawab ini, penulis akan melihat dari dua aspek. Pertama dari

    kurikulum yang ada, dan kedua dari model-model pembelajaran yang selama ini telah

    digunakan.

    3. Kurikulum 2013 Edisi Revisi

    Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 20 tahun 2016 tentang

    Standar Kompetensi Lulusan (SKL) secara eksplisit dalam ranah keterampilan telah

    menyatakan bahwa lulusan harus memiliki keterampilan berpikir dan bertindak: (1)

    kreatif, (2) produktif, (3) mandiri, (4) kritis, (5) kolaboratif, dan (6) komunikatif.

    Artinya, tujuan akhir dari sistem pendidikan di Indonesia adalah menciptakan lulusan

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-21

    yang memiliki bukan hanya 4Cs, tetapi juga ditambah dengan produktifitas, dan

    kemandirian. Dengan kata lain, sebenarnya tujuan pendidian kita sudah mengnatisipasi

    tuntutan hidup di era global, bahkan lebih lagi.

    Namun demikian, kalau melihat standar isi dan kompetensi dasar yang tertuang

    dalam Permendikbud No 24 tahun 2016, kompetensi dasar yang dirumuskan kurang

    mencerminkan kepemilikian 4Cs tersebut. Kompetensi dasar yang ada cenderung berisi

    penguasaan konten. Andaikata ada nuansa keterampilan di dalamnya, maka

    keterampilan yang dirumuskan lebih banyak kepada keterampilan menjelaskan.

    Mungkin termasuk kemampuan komunikasi, tetapi tentunya tidak mencakup semua

    unsur dari 4Cs. Bahkan, unsur communication skills-nya pun tidak lengkap

    (Permendikbud No 24 Tahun 2016).

    Sejauh ini, Pemerintah tampaknya belum mengeluarkan secara khusus pedoman

    yang mengatur bagaimana 6 (enam) keterampilan yang ada dalam SKL dimensi

    keterampilan itu harus diwujudkan melalui pembelajaran. Belum ada pedoman teknis

    tentang bagaimana melaksanakan pembelajaran matematika agar keterampilan berpikir

    dan bertindak kreatif, produktif, mandiri, kritis, kolaboratif, dan komunikatif tersebut

    bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Standar proses (Permendikbud No 22 tahun

    2016) yang ada hanya sekedar menyarankan penggunaan model pembelajaran yang

    mengaktifkan siswa. Bahkan, pendekatan saintifik pun tidak lagi menjadi satu-satunya

    metode pembelajaran.

    Pengembangan 6 (enam) keterampilan yang ada dalam SKL dimensi

    keterampilan pun terkesan tidak perlu dievaluasi. Ini karena Permendikbud No 23 tahun

    2016 merujuk kegiatan evaluasi itu kepada evaluasi pencapaian standar isi dan

    kompetensi dasar, bukan SKL, apalagi yang dimensi keterampilan. Pemerintah juga

    belum menerbitkan secara resmi panduan penilaian 6 (enam) keterampilan yang ada

    dalam SKL tersebut.

    Dari uraian di atas, tampaknya pengembangan 4Cs ini dianggap penting oleh

    pemerintah. Akan tetapi, perangkat untuk mendukung upaya pengembangan 4Cs

    tersebut masih belum dikembangkan.

    4. Bagaimana Pembelajaran Matematika ke depan?

    Di bagian sebelumnya penulis telah mencoba mengklasifikasikan model-model

    pembelajaran matematika yang dipraktikkan di kelas-kelas. Model-model pembelajaran

    tersebut secara garis besar diarahkan untuk: (a) penguasaan prosedur matematis siswa,

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Abdur Rahman As’ari

    MU-22

    (b) pemahaman konsep matematis siswa, dan (c) penguasaan literasi matematis siswa.

    Menurut hemat penulis, model-model pembelajaran matematika yang dipraktikkan di

    Indonesia tersebut masih belum dirancang untuk mengembangkan 4Cs siswa. Dengan

    model pembelajaran seperti itu saja, 4Cs siswa sulit untuk dikembangkan secara

    optimal.

    Pengembangan 4Cs ini perlu dirancang secara lebih seksama. Menurut Abrami,

    Bernard, Borokhovski, Wade, Surkes, Tamim & Zhang (2008), ada empat cara yang

    bisa digunakan oleh guru untuk mengembangkan 4Cs siswa, yaitu: general, infusion,

    immersion, dan mixed. Dengan cara general, 4Cs itu dijelaskan secara eksplisit kepada

    para siswa. Mereka diberi tahu apa itu 4Cs, apa ciri-ciri dari orang yang memiliki 4Cs,

    dan selanjutnya mereka diminta berlatih menampilkan kepemilikan 4Cs-nya.

    Kalau dengan cara infusion, guru membelajarkan matematika seperti biasa, akan

    tetapi sambil belajar matematika, siswa diajak untuk berpikir kritis. Dengan cara

    infusion ini, prinsip umum penerapan 4Cs masih disajikan secara eksplisit. Akan tetapi,

    kalau dengan cara immersion, prinsip-prinsip 4Cs-nya dibuat implisit. Si guru

    matematika sama sekali tidak pernah menyinggung nama 4Cs itu, akan tetapi siswa

    tetap dituntut untuk berpikir dan bertindak yang memenuhi kaidah-kaidah 4Cs.

    Sementara itu, pada mixed approach, guru kadang menggunakan infusion dan kadang

    juga immersion.

    Berikut penulis sajikan satu contoh penerapan infusion atau immersion

    approach.

    Ketika kita meminta siswa menentukan himpunan penyelesaian dari persamaan

    kuadrat �� = 1, apapun jawaban siswa, apalagi kalau mereka menjawab dengan {−1,1}

    sebagaimana pada umumnya, kita ajak mereka berpikir kritis. Mungkin kita bisa ajak

    mereka untuk menentukan semesta pembicaraan dari variabelnya sehingga himpunan

    penyelesainnya berupa himpunan kosong, {1}, {−1}, atau bahkan memiliki lebih dari

    dua selesaian. Dengan cara demikian, siswa tidak hanya dibelajarkan prosedur untuk

    menentukan himpunan selesaian, akan tetapi meninjau ulang proses pengerjaan dan

    jawabannya dengan mempertimbangkan asumsi yang mungkin ada. Dengan cara ini,

    siswa akan dibiasakan untuk berpikir kritis.

    Momen lain adalah misalkan kita memasukkan data yang tidak diperlukan di

    samping data-data lain yang memang diperlukan untuk pemecahan masalah. Kita juga

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-23

    bisa memberikan soal yang salah, untuk menjadi dasar bagi kita mengajak siswa

    berpikir kritis. Sebagai contoh, kita bisa berikan soal salah berikut kepada siswa: Pada

    segitiga siku-siku ABC, dimana sudut B adalah sudut siku-siku, dibuat garis tinggi dari

    B dan memotong AC di D. Diketahui bahwa panjang AD adalah 1 cm, AB 3 cm, dan BC

    4 cm. Jika ukuran sudut BCA adalah 30 derajat, berapakah keliling segitiga ABD?

    Setelah siswa menjawab, kita bisa ajak mereka untuk menganalisis apakah informasi-

    informasi di dalam soal itu bisa dipercaya. Dengan cara ini, kita akan mengajak mereka

    berpikir kritis.

    Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa, alih-alih meminta

    siswa menerapkan algoritma tetentu, akan lebih baik kalau siswa kita minta

    menghasilkan algotitmen atau prosedur. Sebagai contoh, daripada meminta siswa

    menentukan berapa nilai dari 18 + 19, akan lebih baik meminta siswa memikirkan

    beberapa cara menjumlahkan 18 dan 19 agar diperoleh 37. Daripada memberikan rumus

    cara menentukan banyaknya persegipanjang yang bisa ditemukan pada grid × , lebih

    baik bila siswa diminta untuk menemukan algoritma untuk menentukan rumusnya.

    Untuk membantu siswa mengembangkan collaboration dan communication

    skills siswa, daripada kita menggunakan cooperative learning, dimana anggota

    kelompoknya sudah ditata secara terstruktur oleh guru, akan lebih baik kalau siswa kita

    ajak brainstorming untuk mengidentifikasi mitra kerjanya yang paling menguntungkan,

    dan menyiapkan rayuan atau bujukan yang membuat orang yang ingin diajak

    bekerjasama mengabulkan keinginan mereka.

    Pengalaman penulis menunjukkan bahwa Project Based Learning (PjBL)yang

    masalahnya bersifat ill-structured dan multidisciplinary oriented memberikan

    kesempatan untuk pengembangan 4Cs ini. Karena itu, guru matematika perlu

    mempertimbangkan penggunaan PjBL. Namun begitu, kalau ingin menggunakan PjBL,

    guru matematika perlu mengadakan kerjasama dengan guru-guru mata pelajaran lain,

    guna menghasilkan tema yang daripadanya bisa dibuat projek yang mendorong siswa

    belajar matematika dan materi pelajaran lain yang terkait.

    5. Potensi PMRI dalam Mengembangkan 4Cs

    Penulis mencoba mengikuti penerapan PMRI. Dari kajian penulis terhadap

    laporan di internet, serta apa yang dicantumkan dalam buku karangan Hadi (2016),

    penulis melihat bahwa PMRI cenderung diarahkan untuk membantu siswa memahami

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Abdur Rahman As’ari

    MU-24

    konsep. PMRI yang diterapkan di Indonesia, sepertinya belum diarahkan untuk

    mengembangkan 4Cs.

    PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) sebenarnya memiliki

    potensi yang sangat besar untuk mengembangkan 4Cs. Di dalam PISA 2015

    Framework for Mathematics (OECD 2016), disajikan adanya empat tahap dalam

    pemecahan masalah matematis. Empat tahap tersebut adalah: (a) formulate, yaitu

    merumuskan masalah kontekstual ke dalam masalah matematis, (b) employ, yaitu

    menerapkan konsep, prinsip, dan prosedur matematis yang ada untuk mengubah model

    matematika menjadi bentuk akhir yang mungkin menjadi selesaian dari masalahnya, (c)

    interpret, yaitu mengubah selesaian matematis yang diperoleh dari kegiatan employ

    menjadi selesaian kontekstual, dan (d) evaluate, yaitu menilai kemasukakalan selesaian

    kontekstual. Empat kegiatan di atas pada dasarnya memberikan peluang dilakukannya

    pemikiran kritis dan kreatif.

    Hasil dari kegiatan formulate kita bisa manfaatkan untuk siswa berpikir kritis.

    Untuk itu, kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan kritis antara lain: (a) apakah

    model matematis yang diberikan memang harus seperti itu? (b) Apakah semua variabel

    sudah dipertimbangkan dengan seksama? (c) Apakah tidak dimungkinkan ada asumsi

    lain yang belum sempat dipertimbangkan? Pertanyaan-pertanyaan kritis juga bisa

    diajukan terhadap hasil employ, interpret, dan evaluate siswa agar siswa terlatih berpikir

    kritis.

    Kalau kita menginginkan siswa berpikir kreatif, kita mungkin bisa meminta anak

    untuk menghasilkan multiple representation yang setara dengan model matematika

    yang telah dirumuskan. Ketika siswa menjalankan kegiatan employ, kita bisa meminta

    siswa untuk mengindentifikasi berbagai macam cara menghasilkan solusi tersebut.

    Untuk keperluan pengembangan collaboration skills, kita bisa meminta siswa

    untuk membentuk kelompok yang menurut mereka akan produktif dan efektif dalam

    menyelesaikan masalah. Mereka perlu didorong untuk mengidentifikasi potensi teman

    mereka, dan belajar membangun jejaring yang produktif.

    Terakhir, siswa juga perlu didorong untuk pandai mengomunikasikan ide

    mereka sehingga semua orang terpesona dan mengakui kebenaran pesan yang

    disampaikan. Siswa perlu dilatih bagaimana berbicara yang baik dan meyakinkan lawan

    bicaranya. Kegiatan presentasi yang biasanya dilakukan harus diberi alokasi yang

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-25

    memadai agar siswa mampu mempersiapkan bahan presentasi yang baik, dan mampu

    menyampaikannya dengan meyakinkan.

    Terakhir, di samping hal yang telah diuraikan di atas, tampaknya perlu ada

    asesmen yang secara khusus menilai kemampuan 4Cs siswa. Pemerintah perlu

    mengembangkan sistem pengujian 4Cs dengan status sebagai Ujian Nasional. Prinsip

    Washback effect sebagaimana yang dialami guru ketika UN masih menjadi penentu

    kelulusan perlu dijadikan dasar untuk mengembangkan asesmen yang mengukur 4Cs

    siswa. Dengan dasar itu, guru tidak hanya akan membelajarkan matematika, tetapi juga

    4Cs-nya. Mungkin konten matematika perlu dikurangi sehingga guru bisa

    berkesempatan untuk mengembangkan 4Cs siswa.

    KESIMPULAN

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik pembelajaran yang selama

    ini dipraktikkan masih belum optimal mengembangkan 4Cs siswa. Perlu dikembangkan

    pembelajaran yang lebih mengembangkan 4Cs siswa, baik dengan cara general (ada

    pembelajaran secara khusus tentang wawasan 4Cs), atau dengan memanfaatkan pembelajaran

    yang ada dengan memasukkan 4Cs ke dalamnya dengan cara infuse, immerse, atau mixed.

    PMRI sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan 4Cs. Akan tetapi,

    dalam menerapkan PMRI, guru tidak boleh fokus kepada penguasaan konsep matematika saja.

    Guru harus cermat dan pandai memanfaatkan peluang untuk bertanya atau memberikan

    penugasan agar ketika siswa melakuan kegiatan-kegiatan formulate, employ, interpret, dan

    evaluate, kemampuan 4Cs nya juga turut berkembang.

    Selanjutnya, Kurikulum 2013 edisi revisi yang sebenarnya dikembangkan atas dasar

    filosofi futuristic ini juga masih perlu dilengkapi dengan perangkat-perangkat khusus yang

    memungkinkan semua pihak mengembangkan 4Cs. Perlu ada buku pedoman yang secara

    khusus memberikan arahan tentang pentingnya 4Cs, dan bagaimana melaksanakan

    pembelajaran untuk meningkatkan 4Cs. Bahkan, sistem evaluasi juga harus diarahkan untuk

    mengevaluasi 4Cs siswa, bukan sekedar kompetensi dasar yang bernada konten matematis.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abrami, P.C., Bernard, R.M., Borokhovski, E., Wade, A., Surkes, M.A., Tamim, R. & Zhang, D. (2008). Instructional interventions affecting critical thinking skills and dispositions: A stage 1 meta-analysis. Review of Educational Research, 78(4). 1102 – 1134

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Abdur Rahman As’ari

    MU-26

    As’ari, A.R. 2016a. Pengembangan Karakter dalam Pembelajaran Matematika: Prioritas dalam rangka Mengembangkan 4Cs. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Maret 2016

    As’ari, A.R. 2016n. Berpikir Kritis. Dalam A. R. As’ari & E. B. Irawan (eds). Variasi Konstruk dalam Pembelajaran Matematika. Malang: CV Bintang Sejahtera.

    Badan Pusat Statistik. 2013. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri: Impor. Jakarta: BPS

    DetikFinance. 2017. Daftar Impor RI Senilai Puluhan Triliun Rupiah (Online). https://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/3027833/daftar-impor-pangan-ri-

    senilai-puluhan-triliun-rupiah. Diunduh Ahad 2 April 2017, pukul 16.30 WIB

    DetikFInance. 2016. RI Pengimpor Gandum Terbesar Kedua Dunia. (Online). http://finance.detik.com/industri/1938780/ri-pengimpor-gandum-terbesar-kedua-di-dunia. Diunduh Ahad 2 April 2017, pukul 16.44 WIB.

    Devlin-Foltz, B. & McInvaine, S. 2008. Teacher Preparation for the Global Age: The Imperative for Change. Longview Foundation

    Dhameja, A. & Medury, U. Tanpa tahun. Information and Communication Technology in the Globalization Era: The Socio-Economic Concerns. New Delhi: Indira Gandhi National Open University

    Ennis, R.H. 2011. The Nature of Critical Thinking: an Outline of Critical Thinking Dispositions and Abilities. Several times revision of a presentation at the Six International Conference on Thinking at MIT, Cambridge, MA, July 1994.

    Hesse, F., Care, E., Buder, J., Sassenberg, K., & Griffin, P. (2015). A framework for teachable collaborative problem solving skills. In P. Griffin & E. Care (Eds.), Assessment and teaching of 21st century skills:Methods and approach (pp. 37-56). Dordrecht, NL: Springer.

    Kompasiana. 2015. Konsumsi Mie Instan Masyarakat Indonesia. http://www.kompasiana.com/kadirsaja/konsumsi-mie-instan-masyarakat-indonesia_54f36ad4745513902b6c743b. Diunduh Ahad 2 April 2017, pukul 16.53.

    Kramer, W.J., Jenkins, B., & Katz, R.S. 2007. The Role of The Information and Communications Technology Sector in Expanding Economic Opportunity. Corporate Social Responsibility Initiative Report No. 22. Cambridge, MA: Kennedy School of Government, Harvard University.

    McCroskey, J. C., & McCroskey, L. L. 1988. Selfreport as an approach to measuring communication competence. Communication Research Reports, 5(2), 108 – 113.

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-27

    Muchtadi. 2016. Berpikir Kreatif. Dalam A. R. As’ari & E. B. Irawan (eds). Variasi Konstruk dalam Pembelajaran Matematika. Malang: CV Bintang Sejahtera.

    OECD. 2016. PISA 2015: Mathematics Framework. Dalam Pisa 2015 Assessment And Analytical Framework: Science, Reading, Mathematic And Financial Literacy. (Online). http://www.oecd.org/publications/pisa-2015-assessment-and-analytical-framework-9789264255425-en.htm. Diunduh tanggal 1 April 2017 pukul 15.00 WIB

    Partnership for 21st Century Skills. 2008. 21st century skills, education & competitiveness: a resounce and policy guide. Tuczon, AZ

    Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Nomo 20 tahun 2016. Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah.

    Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Nomor 24 tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2016.

    Roschelle, J., & Teasley S. D. 1995. The construction of shared knowledge in collaborative problem solving. In C. E. O’Malley (Ed), Computer-supported collaborative learning (pp. 169-197). Berlin: Springer- Verlag.

    Sujarwo, 2006. Reorientasi Pengembangan Pendidikan di Era Global. Dinamika Pendidikan: Majalah Ilmu Pendidikan. Nomor 2. Tahun XIII. September 2006.

    Vidas-Bubanja, M. & Bubanja, I. 2015. ICT as Prerequisite for Economic Growth and Competitiveness – Case Study Print Media Industri. Journal of Engineering Management and Competitiveness (JEMC). Vol 5 No 1 pp. 21 – 28

    Yeung, H.W. 1998. Capital, State, Space: Contesting the Borderless World. Singapore: National University of Singapore.

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Zusmelia, Irwan, Ramadoni, Rani Valicia Anggela

    MU-28

    TANTANGAN PROFESIONALISME GURU PADA PEMBELAJARAN

    MATEMATIKA MELALUI 4C’s DITINJAU DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI

    Zusmelia, Irwan, Ramadoni, Rani Valicia Anggela

    STKIP PGRI Sumatera Barat

    [email protected]

    Abstrak. Pembelajaran yang berhasil adalah pembelajaran yang mampu menghasilkan lulusan

    yang yang memiliki kemampuan tidak hanya dari segi hard skills tetapi juga kemampuan soft skills yang semua ini akan menjadi modal dasar bagi seorang individu - sebagai makhluk sosial

    untuk meraih sukses dalam dunia kerja, begitu juga halnya dalam pembelajaran matematika.

    Fokus studi ini adalah untuk mengkaji tentang persepsi peserta didik terhadap pembelajaran matematika terutama dilihat dari materi pembelajaran dan dari guru sebagai individu yang

    diamanah secara profesional untuk melakukan “transfer of value” dan “transfer of knowledge”

    kepada peserta didik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan

    pendekatan multi metode. Penelitian ini memposisikan diri pada paradigma konstruktivis yang

    dianggap mampu untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang subjek kajian. Hasil

    penelitian menunjukan bahwa di tingkat satuan pendidikan SMP hanya11,13% peserta didik

    yang menjadikan guru matematika sebagai guru idola/favorit, dan 15,60% peserta didik yang

    menyenangi mata pelajaran matematika. Untuk tingkat SMA, 20,54% peserta didik yang

    menyenangi guru matematika, dan 17,46% yang menyenangi mata pelajaran matematika. Bahkan peserta didik yang menyenangi mata pelajaran matematika dengan nilai pelajaran

    matematika yang tinggi itu terbentuk dan mereka dapatkan dari tempat les dan dengan belajar

    kelompok. Artinya, capaian pembelajaran matematika jika dilihat dari segi soft skills atau dengan harapan seseorang dengan nilai matematika yang bagus akan mampu melahirkan dan

    mengembangkan keterampilan yang disebut dengan 4C’s (Critical thinking, Creative thinking,

    Collaboration, dan Communication skills) sebagai perwujudan dari tuntutan sikap dan tata nilai

    yang diharapkan masih jauh/ masih belum sepenuhnya dapat diwujudkan oleh guru/ pendidik

    matematika. Jika ditarik ke tingkat abstraksi yang paling tinggi, dalam pandangan teori

    interaksionisme symbolic, guru masih lemah dari segi simbol-simbol yang dipantulkan dalam

    kesehariannya, baik dari segi simbol verbal maupun dari segi simbol non verbal, secara intra

    maupun interpersonal. Sehingga ini sangat mempengaruhi persepsi peserta didik terhadap guru.

    Pada gilirannya mempengaruhi mereka dalam menekuni pelajaran matematika itu sendiri. Ini tentu harus menjadi perhatian yang serius bagi kita sebagai pendidik ke depannya, jika kita mau

    pelajaran matematika menjadi pelajaran yang memiliki makna yang “berbeda”.

    Kata Kunci: Pembelajaran matematika, 4C’s, dan Perspektif sosiologi

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Teori ketergantungan melakukan kritikan terhadap teori modernisasi mengenai

    sektor pendidikan. Beberapa kritikan yang muncul terkait dengan tindakan radikal

    secara umum terhadap konteks pendidikan dalam sosiologi Barat dan adanya kritikan

    dalam konteks dunia ketiga. Kritikan tyersebut tentunya terkait dengan pembangunan

    yang oleh pemerintah berlandaskan kepada asumsi modernisasi, dengan adanya

    lembaga-lembaga yang berkembang, menjalani fungsi pendidikan secara umum dan

  • VOL.3 NO.1

    APRIL 2017

    ISSN: 2443-1257

    MU-29

    menerapkan Undang-undang pendidikan serta melaksanakan tujuan dari pendidikan itu

    sendiri (Irwan, 2015: 210-211). Sektor pendidikan sangat dependensi dari semua unsur,

    untuk menjadikan pendidikan yang bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan,

    berdasarkan kepada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan tujuan pendidikan

    nasional.

    Secara klasik, permaslahan yang terjadi di Indonesia mengenai pembangunan

    pendidikan yaitu kualitas pendidikan yang dikatakan dalam beberapa hal masih jauh

    tertinggal dari negara lain. Pendidikan yang dihasilkan belum menjadikan peserta didik

    yang unggul dan mandiri serta mencapai tujuan pendidikan. Artinya kualitas pendidikan

    di Indonesia belum menghasilkan insan yang kreatif, inovasi, kritis dan mandiri serta

    unggul secara intelectual dan emotional intelligence. Untuk mencapai itu semua salah

    satu yang berperan aktif adalah guru . kualitas pendidikan sangat tergantung kepada

    guru dan guru sangat penting dalam sektor pendidikan. Tugas seorang guru mulai dari

    transfer of knowledge hingga ke transfer of values serta memberi contoh yang baik

    kepada peserta didik (Zusmelia dan Irwan, 2016: 1919-1993).

    Guru tentunya memiliki beban yang cukup tinggi dan berat untuk mewujudkan

    pendidikan yang berkualitas. Guru sebagai penentu untuk baik atau tidaknya kualitas

    pendidikan baik secara proses maupun hasil. Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas

    dapat terlihat atas dua variabel yaitu kondisi pembelajaran yang sedang berlangsung dan

    hasil yang diharapkan dalam proses pembelajaran (Degeng, 1989). Kondisi

    pembelajaran yang berlangsung terkait dengan suasana atau lingkungan yang terjadi

    dalam dunia pendidikan. Hal tersebut akan memberi muara bagaimana peserta didik

    mampu menguasai dan menyenangi proses pembelajaran yang berlangsung. Selain itu,

    peserta didik merasa nyaman dan tidak terganggu atas lingkunagn yang terjadi di

    sekitarnya. Pada hasil pembelajaran tentunya yang diharapkan oleh guru sesuai dengan

    KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang telah ditetapkan atau melebihi standar yang

    diharapkan. Sehingga proses pembelajaran dengan berbagai cara akan membawa hasil

    yang memuaskan untuk mencapai standar pendidikan nasional. Berikut ini ilustrasi

    untuk mencapai pendidikan yang berkualitas.

  • PROSIDING SEMINAR NASIONAL

    STKIP PGRI SUMATERA BARAT

    Zusmelia, Irwan, Ramadoni, Rani Valicia Anggela

    MU-30

    Gambar 1. Korelasi Variabel dalam Pembelajaran Mencapai Pendidikan

    yang Berkualitas

    Kondisi pembelajaran dan hasil pembelajaran bersifat dinamis. Artinya guru

    harus memiliki inovasi untuk menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan bagi

    peserta didik. Kualitas pendidikan yang tidak berhasil salah satunya proses

    pembelajaran yang kurang menyenangkan bagi peserta didik (Suryana, et.al, 2014:1).

    Berdasarkan hasil observasi, penulis menemukan bahwa salah satu mata

    pelajaran yang dikatakan oleh sebahagian siswa kurang disenangi, membosankan atau

    dianggap sulit oleh peserta didik yaitu mata pelajaran matematika, bahkan, hasil

    observasi menunjukan lebih dari 70 % peserta didik tidak menyukai pelajaran

    matematika dan sekitar 82,41 % mereka tidak suka dengan gaya, cara, komunikasi dan

    “penampilan” guru ketika mengajar matematika.

    Pembelajaran matematika yang berhasil akan menghasilkan proses berpikir

    kritis, penalaran, dan berfikir tingkat tinggi. Untuk mencapai hal tersebut tentunya guru

    matematika mendesain persiapan pembelajaran yang lebih optimal dan menarik bagi

    peserta didik. Alat pembelajaran, metode, strategi dan gaya penampilan guru

    matematika dalam bersikap dan bertindak mencerminkan pembelajaran yang

    menyenangkan. Jika ditelusuri lebih dalam dikatakan bahwa pembelajaran matematika

    yang berhas