sejengkal tanah setetes darah · padepokan sekar keluwih sidoarjo sejengkal tanah setetes darah...

83
Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis sejarah semasa Kerajaan Mataram di bawah Panembahan Hanyakrawati dan Sultan Agung. Melanjutkan cerita Api di Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416.

Upload: lamkhanh

Post on 18-Sep-2018

755 views

Category:

Documents


41 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh)

Panembahan Mandaraka (mbah_man)

Cerita fiksi berbasis sejarah semasa Kerajaan Mataram di bawah Panembahan Hanyakrawati dan Sultan Agung. Melanjutkan cerita Api di Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416.

Page 2: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

ii

Page 3: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iii

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

(Lanjutan T ADBM)

Karya mbah_man

Jilid 3

Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo

Page 4: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iv

Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri

Bagi sanak-kadang yang berkumpul di “Padepokan” gagakseta Naskah ini diupload di

http://cersilindonesia.wordpress.com, dan

http://tamanbacaanmbahman.blogspot.co.id/ boleh saja

didownload dan dikoleksi, tetapi tidak untuk dikomersilkan

Page 5: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

KETIKA Ki Rangga kemudian mendengar Ki Waskita terbatuk-batuk kecil, barulah Ki Rangga teringat akan pertanyaan Ki Waskita itu. Maka jawabnya kemudian, “Ki Waskita, pada awalnya memang ada niat untuk meninggalkan Ki Kebo Mengo dan kemudian mengejar Eyang Guru. Namun entah mengapa tiba-tiba saja terbersit di dalam hatiku untuk mengetrapkan aji kakang pembarep dan adi wuragil sekaligus. Dengan demikian aku berharap kedua ujud semuku akan dapat menghadapi lawan-lawanku secara terpisah,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun yang terjadi kemudian justru telah membuat aku benar-benar tidak habis mengerti. Dengan mengetrapkan aji kakang pembarep dan adi wuragil, pengetrapanku terhadap aji pengangen-angen menjadi melemah dan akhirnya aku tersadar dari samadiku.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Ki Rangga. Setelah terdiam beberapa saat, barulah dengan suara yang sangat sareh Ki Waksita pun berkata, “Ngger, memang tidak ada ilmu yang sempurna di atas bumi ini. Pada dasarnya aji kakang pembarep dan adi wuragil mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan aji pengangen-angen, walaupun keduanya bertumpu pada ujud semu yang sama,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aji kakang pembarep adi wuragil menuntut kehadiran wadagmu sedekat mungkin, bahkan menuntut wadagmu untuk ikut dalam setiap keberadaan ujud semu itu. Sedangkan aji pengangen-angen tidak menuntut akan kehadiran ujud wadagmu. Justru aji pengangen-angen akan meninggalkan wadagmu sejauh dapat engkau lakukan, menyeberangi lautan misalnya. Semua itu tergantung dari kekuatan pancaran ilmu dari sumbernya, yaitu wadagmu sendiri.”

Page 6: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

2

Sejenak Ki Rangga termenung. Berbagai tanggapan dan harapan sedang bergolak di dalam dadanya.

“Dalam sebuah kancah pertempuran pasukan segelar sepapan yang sebenarnya, aji pengangen-angen ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi membutuhkan bantuan orang lain,” berkata ki Waskita selanjutnya, “Kehadirannya mungkin akan sempat membingungkan lawan. Namun jika lawan sempat mengetahui kelemahannya dan menemukan tempat persembunyian ujud wadagnya, tentu akan sangat berbahaya. Demikian juga jika seseorang diminta secara khusus untuk menjaga wadagnya selama dia dalam puncak samadinya, siapakah yang dapat menjamin jika orang yang menjaganya itu tidak akan berkhianat?”

Ki Rangga masih berdiam diri dan belum menanggapi penjelasan Ki Waskita. Angan-angannya sedang menerawang entah ke mana.

“Ngger,” berkata Ki Waskita seterusnya begitu melihat Ki Rangga masih termangu-mangu, “Berbeda dengan aji kakang pembarep dan adi wuragil yang kehadirannya di medan pertempuran yang sebenarnya akan sangat berarti. Lawan akan memperhitungkan keberadaan bentuk semu itu karena engkau telah mampu memancarkan ilmumu melalui kedua ujud semu itu. Sehingga lawan akan mendapatkan perlawanan tiga kali lipat dari kekuatan yang sesungguhnya,” Ki Waskita berhenti sejenak sambil mencoba mengamati raut wajah Ki Rangga. Lanjutnya kemudian, “Jika angger ingin menggabungkan kedua aji itu, tentu diperlukan laku khusus yang tentu akan melibatkan persyaratan dari kedua cabang ilmu itu. Dengan demikian, apabila seseorang telah mampu menguasai gabungan kedua aji tersebut, dia akan benar-benar mampu menjaga wadagnya dengan salah satu bentuk semunya, sedangkan bentuk semu yang lain akan mampu bergerak ke tempat yang sangat jauh, sejauh angan-angan dari manusia itu sendiri.”

Kali ini Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun tampaknya memang masih ada yang membebani pikirannya.

Page 7: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

3

Agaknya Ki Waskita dapat membaca wajah Ki Rangga yang terlihat sedang menyimpan sebuah beban dalam hatinya itu. Maka katanya kemudian, “Ngger, aku melihat sebuah kegelisahan yang terpancar pada wajah angger. Jika memang aku boleh mengetahuinya, apakah sebenarnya yang masih menjadi beban di hati angger?”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menjawab. Setelah membetulkan letak duduknya, barulah Ki Rangga menjawab, “Ki Waskita, penggabungan aji kakang pembarep dan adi wuragil dengan aji pengangen-angen itu sebaiknya kita pikirkan di kemudian hari,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas panjang. Lanjutnya kemudian, “Adapun yang masih membebani hatiku sampai saat ini adalah, sejak aku mendalami aji pengangen-angen, aku merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi dalam diriku, terutama panggraitaku. Beberapa kali aku merasakan sepertinya aku mendapatkan firasat tentang sesuatu. Ketika aku menganggapnya itu hanyalah sebagai bentuk kegelisahanku saja, ternyata firasat itu benar-benar terjadi. Namun tidak jarang aku tidak mampu mengurai makna firasat itu sehingga yang terjadi kemudian hanyalah sebuah kegelisahan yang tak berujung pangkal. Aku tidak tahu apakah kejadian dalam diriku ini ada hubungannya dengan usahaku untuk menekuni aji pengangen-angen?”

Untuk beberapa saat Ki Waskita termenung. Setelah menarik nafas dalam-dalam, barulah Ki Waskita menjawab, “Ngger, agaknya angger sedang mengalami keadaan yang sebenarnya wajar bagi angger. Aji pengangen-angen itu pada awalnya adalah suatu bentuk ilmu yang hanya berlandaskan pada sebuah angan-angan. Kemudian dengan memusatkan nalar dan budi serta menyelaraskan ilmu itu dengan pikiran serta persangkaan orang lain, maka akan terciptalah bentuk-bentuk semu sesuai dengan apa yang ada di dalam angan-angan kita,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi kering. Lanjutnya kemudian, “Semasa mudaku dulu, aku hanya mampu mempelajari sampai batas ini, walaupun guruku telah memberikan tuntunan sampai sejauh apa yang telah tertulis

Page 8: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

4

dalam kitab perguruan kami. Aku memang terlampau puas dengan apa yang telah aku capai waktu itu, tanpa memperhitungkan bahwa ternyata ilmu itu jika disempurnakan dan dikembangkan akan mempunyai kekuatan yang sangat ngedab-edabi.”

Ki Rangga tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk. Sementara Ki Waskita meneruskan kata-katanya, “Dalam mendalami ilmu ini, aku pun pada awalnya juga mengalami seperti apa yang sedang engkau alami, ngger. Ketika hal itu aku sampaikan kepada guruku, ternyata aku telah diberi wawasan yang luas bagaimana cara mempelajari dan kemudian mempertajam panggraita kita dalam menyikapi peristiwa itu. Aku pun kemudian justru telah tertarik untuk mengembangkan ilmu dalam mengurai isyarat yang merupakan cabang dari aji pengangen-angen dan telah mengabaikan kelanjutan dari aji pengangen-angen itu sendiri sehingga kemampuanku tidak lebih dari sebuah permainan kanak-kanak,” Ki Waskita berhenti sejenak sambil kembali mencoba mengamati perubahan wajah Ki Rangga. Namun Ki Rangga hanya menundukkan kepalanya saja. Maka Ki Waskita pun melanjutkan kata-katanya, “Ngger, jika memang engkau tertarik dengan ilmu dalam mengurai isyarat ini, usahakan untuk mendalami dan meresapi setiap isyarat yang muncul. Memang kadang-kadang kita salah dalam menafsirkan makna isyarat itu karena memang sesungguhnya tiada daya dan upaya kecuali atas seijin Yang Maha Agung. Oleh karena itu, ngger, semakin kita mendekatkan diri dengan Dzat Yang Maha Mengetahui seluruh alam semesta ini, akan semakin terbukalah cakrawala angan-angan kita sehingga kita akan diijinkan untuk mengetahui sedikit rahasia yang selama ini tersembunyi.”

Kembali Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini hatinya mulai tertata kembali. Tidak ada kegelisahan yang selama ini selalu menggelayuti hatinya. Semuanya yang telah terjadi, sedang terjadi maupun yang akan terjadi adalah di dalam genggamanNYA, di dalam kekuasaanNYA. Jika memang seorang hamba diperkenankan untuk mengetahui sedikit dari apa yang akan terjadi di hari esok, sesungguhnyalah itu adalah sebuah karunia yang tiada taranya.

Page 9: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

5

“Ngger,” tiba-tiba suara Ki Waskita membuyarkan lamunannya, “Jika aku boleh mengetahuinya, sebenarnya isyarat apakah yang sekarang ini sedang angger terima?”

Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya. Ada sedikit keragu-raguan yang tampak terpancar dari sorot kedua matanya. Namun akhirnya meluncur juga kata-kata dari bibirnya, “Ki Waskita, akhir-akhir ini aku sedang digelisahkan oleh sebuah isyarat yang berhubungan dengan masa depan Kademangan Sangkal Putung sepeninggal Adi Swandaru. Aku sering diperlihatkan sebuah pemandangan yang mengerikan, baik dalam mimpi-mimpiku maupun sebuah firasat yang tiba-tiba saja terasa mencengkam jantungku sehingga telah menggelisahkan hatiku. Namun aku tidak tahu dengan pasti, firasat apakah itu sebenarnya. Yang justru kemudian muncul dalam benakku adalah wajah-wajah yang begitu aku kenal, Sekar Mirah dan Pandan Wangi.”

Sejenak Ki Waskita menahan nafas. Apa yang disampaikan Ki Rangga itu telah menggores jantungnya. Ayah Rudita yang juga diberi karunia untuk menerima isyarat tentang masa depan itu sejenak bagaikan telah membeku.

“Ngger,” berkata Ki Waskita akhirnya sambil menarik nafas dalam-dalam, “Sebagaimana angger, aku juga menerima isyarat yang kurang menyenangkan tentang masa depan Sangkal Putung. Akan tetapi, marilah semua itu kita kembalikan kepada Yang Maha Mengetahui. Kita sebagai hambaNYA hanya dapat berusaha dan berdoa, sekiranya kita dapat membantu Sekar Mirah maupun Pandan Wangi untuk semakin memajukan Sangkal Putung maupun Tanah Perdikan Menoreh.”

Mendengar Ki Waskita menyebut kedua wilayah itu, tiba-tiba saja dada Ki Rangga berdesir tajam. Tanpa sadar Ki Rangga berdesis perlahan, “Siapakah sebenarnya yang berhak atas kedua wilayah itu?”

Ki Waskita hanya menarik nafas panjang mendengar pertanyaan Ki Rangga. Kedua daerah yang subur itu memang kelak di kemudian hari tidak menutup kemungkinan akan menjadi

Page 10: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

6

bahan persengketaan oleh beberapa pihak yang berkepentingan maupun yang tidak berkepentingan.

“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Sangkal Putung harus segera mengambil sikap sehubungan dengan niat Pandan Wangi untuk kembali ke Menoreh.”

Untuk kesekian kalinya Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Beberapa hari setelah pemakaman suaminya, Pandan Wangi memang secara khusus telah berbicara dengannya tentang masa depan Bayu Swandana.

“Kakang,” berkata Pandan Wangi pada saat itu ketika mereka berdua saja sedang duduk-duduk di pringgitan, “Sepeninggal kakang Swandaru, rasa-rasanya sudah tidak ada lagi yang dapat mengikatku di Kademangan ini, kakang.”

“Wangi?” terkejut Ki Rangga mendengar ucapan Pandan Wangi, “Mengapa engkau berkata demikian? Bukankah masih ada Ki Demang sebagai mertuamu? Serta Bayu Swandana sebagai penerus Adi Swandaru yang kelak akan memimpin Kademangan Sangkal Putung?”

Pandan Wangi sejenak termangu-mangu. Pandangan matanya jatuh ke tikar tempat duduknya. Seakan-akan Pandan Wangi sedang menghitung helai demi helai anyaman tikar pandan itu di setiap jengkalnya.

“Wangi,” kembali terdengar Ki Rangga bertanya ketika dilihatnya Pandan Wangi hanya tertunduk diam, “Apakah engkau mempunyai keinginan untuk kembali ke Menoreh?”

Kali ini Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Ketika dua pasang mata itu saling beradu, alangkah terkejutnya Ki Rangga. Sepasang mata itu terlihat sayu dan penuh air mata. Betapa sepasang mata itu dulu pernah menatapnya seperti itu, berpuluh tahun yang lalu. Masih jelas dalam ingatan Ki Rangga yang pada saat itu menggunakan nama Gupita, dia harus menyampaikan pesan adik seperguruannya, Gupala kepada putri Menoreh itu.

Page 11: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

7

“Sepasang mata yang kecewa, tanpa harapan dan cinta,” desis Ki Rangga dalam hati sambil mencoba menghindari tatapan mata Pandan Wangi. Dilemparkan pandangan matanya jauh keluar pintu pringgitan yang terbuka lebar.

“Kakang,” tiba-tiba terdengar lirih kata-kata Pandan Wangi, “Aku sudah cukup menderita di Sangkal Putung ini, walaupun sebagai istri, aku telah berusaha menjadi istri yang baik. Aku tetap berharap kakang Swandaru dengan bersungguh-sungguh berusaha untuk memperbaiki hubungan kami sebagaimana dulu pertama kali kita telah berjanji untuk merajut masa depan bersama,” Pandan Wangi berhenti sejenak. Nafasnya menjadi sesak bersamaan dengan air mata yang mulai tumpah membasahi wajahnya. Sambil berusaha menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya, Pandan Wangi pun kemudian meneruskan kata-katanya walaupun terdengar timbul tenggelam dalam isak tangisnya, “Kakang, salahkan aku jika aku ingin menghapus kenangan masa laluku yang begitu pahit ini? Aku ingin kembali ke tanah kelahiranku untuk memulai hidup baru sekalian membesarkan anakku serta menunjukkan baktiku kepada orang tuaku yang telah tua dan renta.”

Ki Rangga terdiam. Hanya degup jantungnya saja yang terdengar bertalu-talu.

“Ngger,” tiba-tiba terdengar suara Ki Waskita membangunkan Ki Rangga dari lamunannya, “Sebaiknya memang permasalahan Sangkal Putung segera dibicarakan bersama. Jika Pandan Wangi berkeinginan untuk pulang ke tanah kelahirannya, berarti harus segera ditunjuk Pemangku sementara kademangan Sangkal Putung untuk mendampingi Ki Demang yang sudah sangat sepuh itu.”

“Ki Waskita benar,” jawab Ki Rangga, “Namun siapakah yang berhak untuk menjadi pemangku sementara, sedangkan Bayu Swandana masih terlalu kecil? Sementara Pandan Wangi sebagai istri Adi Swandaru serta ibu Bayu Swandana telah menyampaikan keinginannya untuk kembali ke Menoreh?”

Page 12: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

8

Ki Waskita tersenyum sekilas. Jawabnya kemudian, “Masih ada saudara sedarah Ki Swandaru yang dapat menjadi pemangku sementara di kademangan Sangkal Putung.”

Ki Rangga mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil memandang tajam ke arah Ki Waskita. Katanya kemudian dengan nada yang sedikit ragu-ragu, “Maksud Ki Waskita, Sekar Mirah?”

“Ya, ngger,” jawab Ki Waskita sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Sekar Mirah dapat ditunjuk untuk menjadi pemangku sementara sambil menunggu Bayu Swandana dewasa.”

“Tidak, Ki Waskita,” dengan serta-merta Ki Rangga menyela, “Akulah yang berkeberatan jika Sekar Mirah yang akan ditunjuk menjadi pemangku sementara kademangan Sangkal Putung.”

Ki Waskita terkejut mendengar kata-kata Ki Rangga. Orang tua itu sejenak termangu-mangu sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Adalah hal yang diluar kewajaran jika seseorang dengan sadar telah menolak sebuah kedudukan, pangkat dan derajat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya.

“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian dengan sareh, “Nyi Sekar Mirah mempunyai hak untuk menerima itu walaupun angger sebagai suaminya juga mempunyai hak untuk menentukan seberapa jauh seorang istri diperbolehkan oleh suaminya untuk berbuat diluar dunianya. Jangan tergesa-gesa untuk memutuskannya sekarang, ngger. Ajaklah istrimu untuk bermusyawarah.”

Untuk beberapa saat Ki Rangga terdiam. Berbagai persoalan sedang bergulat di dalam benaknya.

“Alangkah beruntungnya Bayu Swandana,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Dari garis ibunya dia mewarisi Tanah Perdikan Menoreh yang luas, sedangkan dari garis ayahnya, dia adalah pewaris kademangan Sangkal Putung yang subur.”

Tiba-tiba dada Ki Rangga berdesir tajam. Ingatannya melayang kepada anak laki-laki satu-satunya, Bagus Sadewa. Dan tiba-tiba saja hati Ki Rangga telah tersentuh

Page 13: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

9

“Bagus Sadewa,” hampir saja nama itu terloncat dari bibirnya, namun cepat-cepat ki Rangga menelan kembali kata-katanya sendiri yang sudah berada di ujung bibirnya.

“Aku takut seandainya Sekar Mirah ditunjuk menjadi Pemangku sementara Kademangan Sangkal Putung, Bagus Sadewa setelah beranjak dewasa akan mempunyai tanggapan tersendiri atas hak Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Rangga dalam hati kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam, “Apalagi jika Sekar Mirah sebagai ibu ingin melihat anak laki-laki satu-satunya mempunyai masa depan yang lebih baik, tentu akan timbul pertentangan yang justru berawal dari dalam keluarga sendiri.”

Diam-diam Ki Rangga mengeluh dalam hati. Isyarat yang diterimanya tentang masa depan Sangkal Putung benar-benar telah menggelisahkan hatinya.

“Ngger,” kembali kata-kata Ki Waskita membuyarkan lamunan Ki Rangga, “Biarlah urusan Sangkal Putung kita kesampingkan terlebih dahulu. Sekarang sebaiknya kita bicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan kita lakukan sehubungan dengan telah diketahuinya kehadiran kita di Padukuhan Klangon ini.”

Ki Rangga berpikir sejenak. Jawabnya kemudian, “Ki Waskita, salah satu pengikut Trah Sekar Seda Lepen yang disebut Eyang Guru itu telah mengetahui kehadiranku. Demikian juga dengan orang yang selama ini telah menghantui Perdikan Matesih, Raden Surengpati. Tidak menutup kemungkinan tempat ini akan segera diserbu oleh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen.”

Ki Waskita menarik nafas panjang sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang kemungkinan itulah yang bisa terjadi dalam waktu dekat ini, dan mereka benar-benar harus mempersiapkan diri.

“Kita menunggu Ki Jayaraga dan yang lainnya, ngger,” berkata Ki Waskita kemudian, “Semoga pekerjaan mereka segera selesai dan tidak ada satu aral pun yang melintang dalam perjalanan mereka kembali ke banjar ini.”

Page 14: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

10

Ki Rangga tidak menjawab. Hanya tampak kepalanya saja yang terangguk-angguk.

Dalam pada itu Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah putih telah selesai mengubur mayat orang yang belum diketahui jati dirinya itu. Dengan berjalan sedikit tergesa-gesa, ketiganya pun telah memutuskan untuk segera kembali ke banjar padukuhan.

Namun sesampainya mereka di kelokan jalan yang mengarah ke banjar padukuhan itu, ketiga orang itu telah dikejutkan oleh bayangan seseorang yang tampak berjalan perlahan-lahan di dalam kegelapan malam berlawanan arah dengan mereka.

Agaknya orang itu pun juga melihat Ki Jayaraga dan kawan-kawannya yang sedang berjalan ke arahnya. Tanpa sadar orang itu pun telah menghentikan langkahnya.

“Guru,” desis Glagah Putih yang tampak berjalan di sebelah kiri gurunya sambil memanggul cangkul di pundaknya, “Siapakah orang itu?”

“Aku tidak tahu Glagah Putih,” jawab gurunya, Ki Jayaraga sambil terus melangkah, “Dalam keadaan seperti ini, kita harus berhati-hati dan waspada ketika berhadapan dengan siapapun yang belum kita ketahui jati dirinya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Ki Bango Lamatan. Namun tampaknya Ki Bango Lamatan sedang sibuk mengamati orang yang berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang di tengah jalan itu.

Ketika jarak antara mereka tinggal beberapa tombak, tiba-tiba saja orang yang berdiri tegak itu tanpa membuat sebuah ancang-ancang, demikian saja melontarkan tubuhnya ke samping dan menghilang di antara gerumbul-gerumbul perdu yang banyak berserakan di tepi jalan.

Bagaikan sudah berjanji sebelumnya, Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan pun segera meloncat memburu ke tempat orang itu menghilang. Sementara Glagah Putih harus melempar

Page 15: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

11

cangkulnya terlebih dahulu ke tepi jalan sebelum menyusul kedua orang tua itu kemudian.

Sejenak kemudian, terjadilah kejar-kejaran di antara keempat orang itu. Ki Jayaraga yang berlari di depan sendiri merasa heran. Guru Glagah Putih itu telah mengerahkan segenap kemampuannya, namun orang itu masih saja berada beberapa langkah di depannya.

Untuk beberapa saat mereka masih berputar-putar di sekitar tempat itu. Memang ada beberapa petak rumah yang telah di bangun di sekitar kelokan jalan itu, namun selebihnya masih berupa gerumbul perdu dan tanah kosong yang ditumbuhi rumput tinggi rapat berjajar-jajar.

Tanpa terasa keempat orang yang sedang bermain kejar-kejaran itu telah merambah pada kemampuan ilmu mereka yang tinggi, baik kemampuan dalam berlari maupun kemampuan untuk menyerap bunyi yang dapat ditimbulkan oleh suara gesekan mereka dengan alam sekitarnya.

Tiba-tiba saja orang yang sedang mereka kejar itu telah mengubah arah larinya. Dia tidak lagi lari berputar-putar, namun telah berlari menjauhi tempat itu menuju ke barat.

Ketika orang itu kemudian menyusup ke dalam rimbunan pohon bambu yang tumbuh membujur di belakang sebuah rumah kecil di tepi jalan, tiba-tiba saja Ki Jayaraga dan kawan-kawannya telah kehilangan jejak.

Serentak mereka bertiga segera menghentikan langkah.

“Kemana perginya orang itu, Guru?” bertanya Glagah Putih kemudian sambil mengatur nafasnya yang sedikit tersengal.

KI Jayaraga tidak menjawab. Disilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ternyata Ki Bango Lamatan pun telah berbuat serupa.

Page 16: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

12

..........“Sudahlah Ki Sanak. Tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi. Lebih baik Ki Sanak segera berterus terang apa maksud Ki Sanak melakukan semua ini?”

Page 17: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

13

Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengetahui keberadaan buruannya. Sambil mengangkat kepalanya dan mengurai kedua tangannya, Ki Jayaraga pun kemudian berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi. Lebih baik Ki Sanak segera berterus terang apa maksud Ki Sanak melakukan semua ini?”

Tidak ada jawaban. Sementara itu Glagah Putih telah mencoba mempertajam penglihatannya dengan lambaran aji sapta pandulu. Segera saja tampak beberapa tombak di depannya, di bawah sebatang pohon keluwih yang tumbuh beberapa langkah dari gerumbul pohon bambu itu, bayangan seseorang sedang berdiri bersandaran pada batang pohon keluwih itu dengan asyiknya.

“Ki Sanak,” Ki Bango Lamatan yang jarang berbicara itu telah maju selangkah, “Apa maksud Ki Sanak melakukan semua ini? Jangan salahkan kami jika Ki Sanak tidak dapat memberikan alasan yang jelas dan masuk akal, kami akan menangkap Ki Sanak.”

Tiba-tiba terdengar bayangan di bawah pohon keluwih itu tertawa perlahan-lahan. Suara tawa yang benar-benar memuakkan.

Berkata bayangan itu kemudian di sela-sela tawanya, “Dan selanjutnya akan diserahkan kepada Ki Jagabaya Dukuh Klangon? Begitu?”

Ketiga orang itu terkejut. Orang itu telah menyebut Ki Jagabaya Dukuh Klangon. Tentu orang itu telah mengetahui serba sedikit tentang mereka dalam hubungannya dengan Ki Jagabaya Dukuh Klangon.

Namun sebelum Ki Jayaraga menjawab, orang itu telah berkata lagi, “Bagaimana mungkin kalian mau menangkap aku, berlari saja kalian masih seperti kanak-kanak,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, aku akan berlari lagi. Silahkan kalau mau menangkap aku jika kalian merasa mampu.”

Selesai berkata demikian, hampir tidak kasat mata, bayangan itu pun melesat meninggalkan tempat itu menuju ke arah barat.

Page 18: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

14

Ki Jayaraga dan kawan-kawannya merasa tertantang untuk mengejar bayangan itu. Maka sejenak kemudian kejar-kejaran di antara keempat orang itu pun terjadi lagi.

Semakin lama mereka telah semakin jauh meninggalkan padukuhan Klangon dan kini tak terasa mereka telah mendekati tapal batas antara Padukuhan Klangon dengan Tanah Perdikan Matesih sebelah barat.

Sesekali ketiga orang itu kembali kehilangan buruan mereka sehingga ketiga orang itu pun telah menghentikan langkah mereka untuk sejenak. Namun entah mengapa, dengan sengaja orang yang sedang mereka cari itu tiba-tiba saja telah menampakkan diri lagi tidak jauh dari tempat mereka berhenti, sehingga kejar-kejaran itu pun kembali terjadi.

Ketika ketiga orang itu merasakan tanah yang mereka lewati kemudian terasa agak landai, tahulah mereka bahwa sebentar lagi mereka akan mencapai sebuah sungai yang mengalir di sepanjang sisi barat Tanah Perdikan Matesih, kali Praga.

Tiba-tiba saja Ki Jayaraga yang berlari di paling depan telah memperlambat langkahnya. Lamat-lamat Ki Jayaraga mendengar suara aliran air. Sedangkan kedua kawannya yang berlari di belakangnya pun kemudian ikut memperlambat langkah mereka.

“Kita kehilangan jejak kembali,” desis Ki Jayaraga sambil mengatur pernafasannya yang sedikit memburu. Sementara Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih pun telah berbuat serupa.

“Apa maksud orang itu membawa kita ke tepian kali Praga ini?” geram Ki Bango Lamatan sambil menekan lambungnya untuk mengurangi rasa sakit yang tiba-tiba saja terasa menyengat.

“Orang gila,” geram Glagah Putih yang berdiri tersengal-sengal di sebelah Ki Bango Lamatan, “Orang itu berlari seperti setan dan sepertinya memang dengan sengaja dia ingin mempermainkan kita.”

“Sudahlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian ketika pernafasannya sudah teratur kembali, “Kita coba untuk turun ke

Page 19: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

15

tepian, barangkali di sana ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian.”

Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih tidak menjawab. Hanya kepala mereka saja yang terlihat mengangguk.

Sejenak kemudian ketiga orang itu pun mulai menuruni tebing yang agak curam. Ketika sisi tebing itu mulai landai, mereka pun kemudian mulai berjalan di tepian kali Praga yang berpasir lembut.

Namun baru saja mereka berjalan beberapa langkah, pendengaran mereka yang tajam telah mendengar langkah beberapa orang yang tampak tergesa-gesa menyusuri tepian dari arah yang berlawanan. Memang masih cukup jauh namun ketiga orang itu dengan sangat jelas telah mendengar suara mereka.

Bagaikan sudah berjanji sebelumnya, ketiga orang itu pun segera berloncatan dan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu yang banyak bertebaran di sisi tebing.

Sejenak kemudian tampak dalam kegelapan malam, beberapa orang muncul dari kelokan sungai. Dengan langkah yang tergesa-gesa mereka menyusuri tepian yang berpasir basah.

“Sebelum ayam jantan berkokok untuk terakhir kalinya, kita sudah harus sampai di banjar Padukuhan Klangon,” berkata seseorang yang berjalan paling depan. Tubuhnya tinggi menjulang dengan sebuah tombak pendek di tangan kanannya, “Perintah Kakang Putut Sambernyawa sudah jelas, kita kepung banjar Padukuhan Klangon tepung gelang agar tidak ada seekor semut pun yang dapat lolos dari pengamatan kita.”

“Kakang Putut Jangkung,” menyela seseorang yang bertubuh gemuk dan pendek yang berjalan di sebelahnya, “Menurut Kakang Putut Sambernyawa tadi, kita sebaiknya membuat hubungan terlebih dahulu dengan Ki Kebo Mengo, orang kepercayaan Raden Wirasena.”

“Persetan dengan Kerbau bodoh itu,” geram Putut Jangkung sambil menghentakkan kakinya ke tanah. Segera saja terasa bumi

Page 20: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

16

di sekitar tempat itu bergetar, “Aku sudah muak sebenarnya dengan orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen beserta para pengikutnya itu. Mereka telah merayu Guru untuk mendukung perjuangan mereka. Dengan berbekal keyakinan seolah-olah wahyu keprabon itu akan menjadi milik mereka, Guru telah dirayu dengan janji-janji yang memabokkan.”

“Apakah janji mereka?” pertanyaan itu dengan serta merta telah terloncat begitu saja hampir dari mulut setiap orang.

Putut Jangkung menarik nafas panjang sebelum menjawab. Sambil mengeluarkan sebuah dengusan dari hidungnya dia menjawab, “Guru dijanjikan akan diangkat menjadi seorang Adipati jika perjuangan mereka berhasil.”

“Sebuah mimpi yang indah,” tiba-tiba saja seseorang yang berjalan di belakang Putut Jangkung terdengar menyahut.

Ki Jangkung berpaling sekilas ke belakang. Katanya kemudian, “Engkau benar, Ki Brukut. Sebuah mimpi yang indah, bahkan terlalu indah jika kita bermimpi ingin menjadi seorang Adipati.”

Ki Brukut menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Kedatanganku ke Padepokan Sapta Dhahana sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan segala tingkah polah orang-orang yang menyebut dirinya sebagai pewaris Trah Sekar Seda Lepen itu.”

“Nah, mengapa Ki Brukut ikut rombongan kami?”” sahut orang yang berperawakan gemuk dan pendek yang berjalan di samping Putut Jangkung dengan serta-merta.

Ki Brukut tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Aku datang ke Padepokan Sapta Dhahana sekedar untuk menengok keadaan anakku, Putut Sambernyawa. Anakku lah yang telah meminta aku untuk mengikuti kalian ke Dukuh Klangon, dan memastikan bahwa kalian akan sampai di sana dengan selamat.”

Hampir saja setiap mulut mengumpat mendengar kata-kata Ki Brukut. Namun mereka segera menyadari siapakah Ki Brukut itu. Ayah dari Putut Sambernyawa, Putut tertua dan terpercaya dari

Page 21: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

17

Kiai Damar Sasangka, pemimpin tertinggi padepokan Sapta Dhahana.

“Menilik rasa hornat yang diperlihatkan oleh Guru kepada Ki Brukut ini, tentu tingkat ilmunya tidak jauh berbeda dengan Guru,” demikian beberapa orang yang berada dalam rombongan itu berkata dalam hati.

“Atau mungkin keseganan Guru hanya karena Ki Brukut adalah ayah kakang Putut Sambernyawa, bukan tingkat ilmunya,” yang lain justru mempunyai tanggapan yang berbeda.

Tak terasa langkah orang-orang itu pun telah mendekati tempat dimana Ki Jayaraga dan kawan-kawannya sedang bersembunyi.

“Lima belas orang,” berkata Ki Jayaraga dalam hati. Berbagai pertimbangan tengah hilir-mudik dalam benaknya.

Agaknya Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih pun juga telah ikut menghitung jumlah orang-orang yang sedang lewat beberapa langkah di hadapan mereka itu.

“Terlalu banyak dan terlalu berat akibat yang akan ditimbulkan,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati. Memang melawan lima belas orang dengan tingkatan ilmu yang belum mereka ketahui sama saja dengan membunuh diri.

Demikianlah ketika rombongan itu telah berlalu dan tidak tampak lagi bayangannya, ketiga orang yang sedang bersembunyi itu pun berniat untuk keluar dari persembunyiannya. Namun baru saja mereka beringsut setapak, tiba-tiba pendengaran mereka menangkap kembali langkah-langkah mendekati tempat itu. Bahkan sekarang terdengar langkah-langkah itu lebih banyak dari yang pertama.

Segera saja ketiga orang itu membenamkan diri mereka kembali ke dalam gerumbul-gerumbul perdu sambil menahan nafas.

Ternyata yang lewat kemudian adalah serombongan orang yang berjumlah sangat besar, hampir dua kali lipat dari yang

Page 22: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

18

pertama. Rombongan yang kedua itu pun kemudian disusul dengan rombongan yang ketiga, keempat dan rombongan kelima adalah rombongan yang terbesar, hampir lima puluh orang.

“Gila!” geram KI Jayaraga perlahan sambil bangkit dari persembunyiannya ketika dirasa sudah tidak ada lagi rombongan yang akan lewat. “Agaknya murid-murid Padepokan Sapta Dhahana telah dikerahkan untuk menutup setiap jalan keluar dari Padukuhan Klangon.”

“Kakang Agung Sedayu dan Ki Waskita pasti akan menemui kesulitan, jika tidak segera diberitahu,” sahut Glagah Putih sambil bangkit berdiri dan mengibas-kibaskan kain panjangnya yang terkena pasir tepian.

Sedangkan Ki Bango Lamatan tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita harus berterima kasih kepada orang yang telah membawa kita ke tepian ini. Secara tidak langsung dia telah memberitahukan kepada kita, gerakan padepokan Sapta Dhahana yang akan mengepung banjar Padukuhan Klangon.”

Dada Ki Jayaraga dan Glagah Putih berdesir tajam begitu mendengar kata-kata Ki Bango Lamatan. Secara tidak langsung orang itu telah membantu mereka dengan memberitahukan bahaya besar yang akan mengancam jika mereka tetap bertahan di banjar padukuhan.

“Marilah kita segera kembali ke banjar,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil melangkah tergesa-gesa menaiki tebing, “Sesampainya di atas tebing, kita akan berlari kembali sesuai jalur yang telah ditunjukkan oleh orang tadi. Agaknya jalur tadi adalah jalan pintas. Semoga kita dapat mendahului rombongan orang-orang padepokan Sapta Dhahana.”

“Ya, Ki,” sahut Ki Bango Lamatan sambil mengikuti langkah Ki Jayaraga, “Ki Rangga dan Ki Waskita harus segera menyingkir sebelum kedatangan orang-orang itu.”

Glagah Putih yang melihat kedua orang tua itu telah menaiki tebing segera menyusul. Dengan cepat dia segera meloncat di

Page 23: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

19

antara batu-batu yang menjorok di lereng untuk menyusul kedua orang tua yang sudah hampir mencapai bibir tebing.

Dalam pada itu di banjar Padukuhan Klangon Ki Rangga dan Ki Waskita masih belum menyadari bahwa bahaya sedang mendekat ke arah mereka. Murid-murid perguruan Sapta Dhahana dari lereng Gunung Tidar secara bergelombang telah memasuki Padukuhan Klangon dari arah barat.

Namun kedua orang yang telah mempelajari ilmu dari sumber yang sama itu ternyata hampir bersamaan panggraita mereka telah menerima getaran-getaran isyarat yang mendebarkan.

Hampir bersamaan keduanya pun segera menyilangkan kedua tangan di depan dada. Sambil menundukkan kepala dalam-dalam dan memejamkan mata, keduanya berusaha memusatkan segenap nalar dan budi untuk memperjelas getaran-getaran isyarat yang mereka terima.

Sejenak kemudian keduanya telah tenggelam dalam pemusatan nalar dan budi. Namun baru beberapa saat berlalu, mereka berdua telah terganggu dengan kedatangan Ki Jayaraga bertiga.

Segera saja Ki Waskita menghentikan usahanya untuk mempertajam panggraitanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam dan mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, Ki Waskita pun segera menyapa Ki Jayaraga bertiga.

“Bagaimana keadaan kalian bertiga?” bertanya Ki Waskita kemudian sambil mempersilahkan mereka bertiga untuk duduk di atas tikar, “Apakah semuanya dapat berjalan lancar?”

Ketiga orang itu saling pandang sejenak. Perhatian mereka masih tertuju kepada Ki Rangga yang tampak masih mencoba menghentakkan kemampuan panggraitanya untuk memantau keadaan di sekitar Padukuhan Klangon.

Melihat ketiga orang itu tidak menjawab dan justru telah tertarik melihat apa yang sedang dilakukan oleh Ki Rangga, Ki Waskita pun kemudian berusaha memberikan penjelasan, “Ki

Page 24: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

20

Rangga sedang berusaha mempertajam panggraitanya. Agaknya tempat ini sudah tidak nyaman dan aman lagi bagi kita.”

“Benar, Ki Waskita,” tiba-tiba Ki Rangga menyahut sambil membuka kedua matanya dan mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, “Sepertinya Padukuhan Klangon ini telah kedatangan banyak orang dari arah utara. Aku tidak tahu mereka berasal dari Perdikan Matesih ataukah Gunung Tidar.”

Mendengar Ki Rangga menyebut gunung Tidar, Ki Jayaraga segera beringsut maju. Katanya kemudian, “Ki Rangga, kami bertiga tadi sempat menjumpai murid-murid gunung Tidar sedang berbondong-bondong menuju ke Padukuhan Klangon,” Ki Jayaraga berhenti sebentar sambil memandang ke arah Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih yang tampak mengangguk-angguk. Lanjut Ki Jayaraga kemudian, “Bahkan kami sempat mendengar percakapan mereka. Murid-murid perguruan Sapta Dhahana itu memang sengaja dikirim ke Padukuhan Klangon untuk mengepung serta menutup semua jalan keluar terutama di banjar padukuhan ini.”

Kemudian secara singkat Ki Jayaraga segera menceritakan tentang orang aneh yang telah dengan sengaja menuntun mereka ke tepian kali Praga yang terletak di sebelah barat Perdikan Matesih.

Mendengar cerita Ki Jayaraga, tampak kening Ki Rangga berkerut-merut. Berbagai dugaan telah muncul dalam benaknya tentang orang yang dengan sengaja membawa ketiga orang itu ke tepian Kali Progo.

Namun Ki Rangga benar-benar tidak dapat menduga dengan pasti, siapakah sebenarnya orang itu.

“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian menyadarkan Ki Rangga dari lamunannya, “Apakah tidak sebaiknya kita segera menyingkir?”

Sejenak Ki Rangga memandang ke arah orang-orang yang berada di ruangan itu. Ketika semuanya terlihat mengangguk, Ki Rangga pun segera berkata, “Baiklah, kita segera berkemas. Besok

Page 25: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

21

pagi sebelum wayah pasar temawon, salah satu dari kita harus menghubungi Ki Gede Matesih agar membatalkan rencananya untuk mengundang kita.”

Hampir bersamaan yang lainnya telah mengangguk-angguk.

Demikianlah, sejenak kemudian kelima orang itu pun telah berkemas dan meninggalkan tempat itu melalui pintu butulan.

Ketika Ki Rangga sempat melihat para pengawal yang tertidur silang melintang di teritisan, Ki Rangga pun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sebuah sirep yang sangat halus,” desis Ki Rangga kemudian sambil berjalan di sebelah Ki Waskita, “Seseorang telah menebarkan sirep yang sangat halus sejak sore tadi. Hampir tidak ada seorang pun dari kita yang menyadarinya.”

“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita sambil mendahului melangkahi tlundak pintu butulan di pagar belakang, “Aku hanya merasakan udara begitu sejuk dan sangat nyaman untuk beristirahat sehingga aku tidak menyadari bahwa seseorang telah menebarkan sirep.”

Glagah Putih yang mendengar kata-kata Ki Waskita hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala. Sementara Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan yang mempunyai pengalaman dalam hal ilmu yang dapat membuat orang kehilangan kesadaran itu justru telah tersenyum.

“Diperlukan ketelatenan dalam mengetrapkan sirep sejenis ini,” berkata Ki Jayaraga dalam hati, “Berbeda dengan sirep tajam yang dengan serta merta akan mempengaruhi orang dengan rasa kantuk yang tak tertahankan. Sirep halus ini harus terus menerus ditebarkan di sepanjang waktu dengan kekuatan yang tidak terlalu tajam untuk menyamarkan keberadaan sirep itu sendiri.”

Sedangkan Ki Bango Lamatan yang pernah menebarkan sirep di kediaman Ki Gede Menoreh beberapa waktu yang lalu telah berkata dalam hati, “Aku belum pernah mempelajari sirep jenis ini. Aku lebih senang menebarkan sirep yang langsung dapat membuat orang jatuh pingsan sehingga apa yang menjadi tujuan

Page 26: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

22

kita segera dapat tercapai,” Ki bango Lamatan berhenti berangan-angan sejenak. Kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Ki Bango Lamatan pun meneruskan angan-angannya, “Namun dengan demikian jika ada seseorang yang mempunyai kemampuan mumpuni akan segera menyadari bahwa seseorang sedang menebarkan sirep.”

Tak terasa langkah-langkah mereka telah semakin jauh meninggalkan banjar Padukuhan Klangon.

Dalam pada itu, ketika ayam jantan telah berkokok untuk terakhir kalinya, banjar padukuhan itu benar-benar telah terkepung rapat dari segala penjuru. Tidak ada sejengkal tanah pun yang luput dari pengamatan murid-murid Padepokan Sapta Dhahana. Namun mereka belum menyadari bahwa buruan mereka telah lolos beberapa saat yang lalu.

Ketika kepungan itu semakin merapat dan mulai mendekati regol banjar, mereka pun mulai melihat sebuah keanehan. Tidak tampak seorang penjaga pun yang sedang berdiri di depan regol.

“He? Kemana perginya para penjaga itu?” geram Putut Jangkung yang memimpin pengepungan itu.

“Apakah mereka belum menyadari akan kehadiran kita?” bertanya kawannya yang bertubuh gemuk dan pendek, “Bukankah kita juga telah mengirimkan para cantrik untuk membantu Ki Dukuh?”

Putut Jangkung tidak menjawab. Sejenak dipicingkan kedua matanya untuk mempertajam penglihatannya. Jarak mereka dengan regol banjar itu hanya tinggal beberapa tombak saja, namun Putut Jangkung masih belum melihat seorang penjaga pun yang berdiri di sebelah menyebelah regol.

“Mereka tentu telah tertidur nyenyak di bawah selimut kain panjang mereka!” geram Putut Jangkung. Kemudian katanya kepada orang yang di sebelahnya, “Putut Pendek, ajak tiga cantrik untuk menemanimu melihat keadaan regol terlebih dahulu.”

Page 27: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

23

“Baik kakang,” jawab Putut Pendek sambil memberi isyarat tiga orang cantrik di dekatnya untuk mengawaninya.

Tanpa meninggalkan kewaspadaan, keempat orang itu pun kemudian segera berjalan mengendap-endap mendekati regol. Masing-masing telah menggenggam tangkai senjata mereka dan setiap saat siap untuk dihunus.

“Sepi,” desis Putut Pendek begitu mereka telah semakin dekat dengan regol.

Salah satu cantrik dengan memberanikan diri telah meloncat ke samping regol. Dengan sangat hati-hati dia mencoba menjengukkan kepalanya ke dalam.

Apa yang dilihatnya kemudian benar-benar telah membuat cantrik itu mengumpat-umpat tak ada habis-habisnya. Di sebelah regol bagian dalam memang ada gardu penjagaan tempat para penjaga regol untuk sekedar melepas lelah. Namun gardu penjagaan itu kini telah dipenuhi oleh para cantrik dan pengawal Padukuhan Klangon yang sedang bertugas malam itu. Mereka terlihat tertidur dengan nyenyak. Ada yang tidur silang melintang di lantai gardu, namun ada juga yang tertidur hanya dengan bersandaran dinding.

Putut Pendek yang melihat cantrik itu justru segera melangkah dengan tergesa-gesa. Namun sebagaimana cantrik itu, Putut Pendek pun telah mengumpat dengan umpatan yang sangat kotor begitu mendapatkan para cantrik dan pengawal yang bertugas menjaga regol justru telah tertidur nyenyak.

“Orang-orang yang tak tahu diri!” geram Putut Pendek kemudian sambil menendang salah satu cantrik yang tertidur sambil bersandaran dinding.

Tentu saja cantrik itu terkejut bukan alang-kapalang merasakan sesuatu telah menghantam pinggulnya dengan keras.

“He?!” teriak cantrik itu sambil terlonjak dari duduknya. Dengan cepat dia segera melenting berdiri.

Page 28: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

24

Namun cantrik itu justru telah membeku begitu menyadari siapa yang sedang berdiri di hadapannya dengan wajah merah padam, Putut Pendek dari perguruan Sapta Dhahana.

“Apa kerja kalian, he?!” terdengar Putu Pendek itu membentuk dengan suara menggelegar. Sementara para cantrik dan pengawal yang lainnya segera tersadar dari tidur nyenyak mereka begitu mendengar suara ribut-ribut.

Dalam pada itu Putut Jangkung yang mendengar suara ribut-ribut di regol segera melangkah mendekat. Yang dilihatnya kemudian adalah para cantrik dan pengawal Padukuhan Klangon yang berdiri dengan kebingungan sementara Putut Pendek telah membentak-bentak mereka tak henti-hentinya.

“Sudahlah, Pendek,” berkata Putut Jangkung kemudian sambil melangkah semakin dekat, “Tentu ada alasannya mengapa mereka telah meninggalkan tugas dan lebih memilih tidur di dalam gardu.”

Putut Pendek menarik nafas panjang untuk meredakan gejolak di dalam dadanya. Katanya kemudian sambil berpaling ke arah Putut Jangkung, “Kakang, tidak ada ampun bagi mereka yang telah melalaikan tugas. Setiap kesalahan harus mendapatkan hukuman yang setimpal, terutama para cantrik padepokan Sapta Dhahana.

Sedang para pengawal Padukuhan Klangon akan kita laporkan kepada Ki Dukuh.”

Putut Jangkung mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Aku setuju dengan alasanmu itu. Namun kita juga tidak boleh menutup mata sebab musabab yang telah membuat mereka lalai dalam menunaikan tugas.”

“Maaf Kakang Jangkung,” tiba-tiba salah satu cantrik memberanikan diri maju selangkah ke depan, “Kami memang mengakui kesalahan kami. Namun apa yang telah terjadi ini benar-benar diluar kuasa kami. Kami merasakan udara tadi malam memang terasa sangat sejuk. Entah awalnya dari mana, tahu-tahu kami telah dikuasai oleh kantuk yang perlahan–lahan mulai menyergap dan membelenggu kami sejak saat sirep bocah tadi.”

Page 29: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

25

Putut Pendek akan menanggapi kata-kata cantrik itu, namun dengan cepat Putut Jangkung memberi isyarat untuk berdiam diri. Berkata Putut Jangkung kemudian, “Mungkin kalian telah terpengaruh oleh sirep atau sejenisnya yang dapat membuat kalian terserang kantuk tak tertahankan,” Putut Jangkung berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Sebelum Matahari terbenam sore tadi, memang Raden Wirasena telah menerima laporan akan kedatangan orang asing di Padukuhan Klangon ini. Untuk itulah Raden Wirasena telah meminta bantuan Guru agar mengutus beberapa murid padepokan Sapta Dhahana untuk menghubungi dan membantu Ki Dukuh. Ternyata Ki Dukuh pun telah menyanggupi dan menyiapkan para pengawal Dukuh Klangon untuk berjaga-jaga bersama para cantrik di banjar padukuhan. Ternyata kalian di sini hanya pindah tidur saja.”

Para cantrik dan pengawal dukuh Klangon itu semakin menundukkan kepala mereka. Entah apa jawab mereka nantinya jika Ki Dukuh menanyakan hal itu.

“Sudahlah,” tiba-tiba Ki Brukut yang telah berada di samping Putut Jangkung menyela, “Yang terpenting sekarang ini adalah keberadaan orang-orang asing itu. Apakah mereka masih berada di dalam banjar?”

Bagaikan disambar halilintar di siang bolong, serentak Putut Jangkung dan Putut Pendek segera meloncat dan berlari menuju ke dalam banjar.

Setelah melewati pendapa yang tidak begitu luas, dengan tergesa-gesa keduanya telah mendorong pintu pringgitan dengan kasar. Ketika keduanya kemudian telah sampai di ruang dalam, yang mereka jumpai hanyalah selembar tikar usang yang terhampar di tengah-tengah ruangan.

“Setan gendruwo, tetekan!” geram Putut Jangkung sambil berjalan mengitari ruangan. Tiba-tiba pandangan matanya tertumbuk pada sebuah lobang yang tidak seberapa besar yang terdapat di pojok ruangan.

Page 30: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

26

“Lubang ini terlihat masih baru,” desis Putut Jangkung sambil meraba sudut dinding kayu itu, “Seseorang dengan sengaja telah membuat lubang ini dengan suatu tujuan.”

Sedang Putut Pendek dan Ki Brukut yang datang kemudian ternyata lebih memilih menelusuri dapur untuk kemudian lewat pintu butulan ke halaman belakang.

Ternyata di halaman belakang pun kedua orang itu juga dikejutkan oleh para pengawal padukuhan yang terlihat sedang tidur silang melintang di teritisan.

“Sirep,” hampir bersamaan kedua orang itu berdesis.

“Siapakah yang telah menebarkan sirep ini?” tiba-tiba Putut Pendek mengajukan sebuah pertanyaan.

Sejenak Ki Brukut termenung. Jawabnya kemudian, “Tidak menutup kemungkinan orang-orang asing itulah yang telah menebarkan sirep dalam usaha mereka untuk meloloskan diri.”

“Tapi menurut cerita para cantrik dan pengawal yang berjaga di regol depan tadi, mereka merasa di serang kantuk mulai saat sirep bocah,” sela Putut Pendek.

“Entahlah,” akhirnya Ki Brukut menggeleng lemah, “Namun yang jelas kelima orang itu telah pergi dan kita harus memberi jawaban kepada Raden Wirasena dan Kiai Damar Sasangka.”

Berdesir dada Putut Pendek. Jika mereka para cantrik perguruan Sapta Dhahana itu tidak mampu menunaikan tugas karena kelalaian atau ketidak-mampuan mereka, tentu tidak segan-segan guru mereka, Kiai Damar Sasangka, akan memberikan hukuman.

“Sebaiknya kita segera mengirim isyarat,” berkata Putut Pendek kemudian sambil melangkah kembali memasuki bangunan induk banjar.

“Sebaiknya memang demikian,” sahut Ki Brukut sambil mengikuti langkah Putut Pendek, “Dengan demikian Raden Wirasena segera dapat mengambil tindakan dan langkah-langkah berikutnya.”

Page 31: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

27

Ternyata di halaman belakang pun kedua orang itu juga dikejutkan oleh para pengawal padukuhan yang terlihat sedang tidur silang melintang di teritisan.

“Sirep,” hampir bersamaan kedua orang itu berdesis.

Page 32: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

28

Demikianlah setelah berunding terlebih dahulu dengan Putut Jangkung, Putut Pendek segera memerintahkan seorang cantrik yang membawa busur dan anak panah sendaren untuk segera mengirim isyarat ke Gunung Tidar.

Sejenak kemudian kesunyian dini hari langit Padukuhan Klangon itu pun telah dipecahkan oleh suara panah sendaren yang meraung-raung dua kali berturut-turut.

Dalam pada itu langit di sebelah timur telah menampakkan cahaya semburat kemerahan. Mendung sisa hujan semalam telah tertiup angin dan bergerak berarak-arak ke arah selatan. Mungkin menjelang pasar temawon hujan akan turun di laut selatan.

Di Perdikan Matesih, seorang pengawal yang sedang berjaga di sebuah gardu perondan telah mendengar isyarat itu. Dengan bergegas diambilnya busur dan anak panah sendaren yang disimpan di gardu perondan. Namun sebelum tangannya meraih busur dan anak panah itu, terdengar seseorang bergumam di belakangnya.

Ketika dia kemudian memutar tubuhnya, tampak Kepala pengawal Perdikan Matesih berdiri hanya dua langkah di depannya dengan kedua tangan bertolak pinggang.

“Ki Wiyaga,” desis pengawal itu mencoba menyapa.

Ki Wiyaga, kepala pengawal Perdikan Matesih itu tersenyum hambar. Tanyanya kemudian, “Untuk apa engkau akan mengambil busur dan anak panah sendaren itu?”

Pengawal itu tidak menjawab. Dia belum yakin, di pihak manakah Ki Wiyaga berdiri. Memang keadaan di Perdikan Matesih saat itu tidak menentu, terutama para perangkatnya telah terpecah menjadi dua.

Sebagian telah ikut arus para pengikut Trah Sekar Seda Lepen, sedangkan sisanya masih bersetia kepada Ki Gede Matesih sebagai kawula Mataram.

“Engkau tidak usah termakan janji-janji ngayawara itu, Lajuwit,” terdengar suara ki Wiyaga berat dan dalam, “Mereka

Page 33: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

29

adalah segolongan orang-orang yang sedang kalap dan edan kamukten. Apapun akan diterjang demi meraih mimpi mereka tanpa menyadari bahwa hari sudah menjelang siang dan bukan waktunya lagi bagi mereka untuk bermimpi.”

Lajuwit termenung sejenak. Ada sedikit kebimbangan di dalam hati untuk sekedar menyampaikan apa yang menjadi ganjalan hatinya.

Agaknya Ki Wiyaga dapat membaca raut wajah Lajuwit yang gelisah. Maka katanya kemudian, “Lajuwit, jangan ragu-ragu untuk menyampaikan apa yang tersirat di dalam hatimu. Mungkin pandangan kita berbeda. Namun setelah engkau menyampaikan apa yang telah menjadi arah kiblatmu selama ini, kita dapat saling berbagai dan mempelajari, arah manakah sebenarnya yang paling masuk akal untuk kita ikuti?”

Kembali Lajuwit termenung namun hanya sekejap. Katanya kemudian, “Ki Wiyaga, sebenarnya janji-janji yang disampaikan oleh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu terlalu jauh dari kenyataan. Namun jika kita tetap berharap akan adanya perubahan hidup kita dibawah pemerintahan yang sekarang ini, sepertinya itu juga sebuah mimpi. Kedua-duanya bagiku memang hanya sebatas mimpi, namun jika aku mengikuti Trah Sekar Seda Lepen, setidaknya aku telah menggantungkan sebuah harapan, bukan sekedar mimpi sebagaimana yang telah terjadi saat ini.”

Ki Wiyaga menarik nafas dalam-dalam. Dilemparkan pandangan matanya ke jauh ke depan, ke arah tanah pesawahan yang terbentang luas yang mulai digarap.

“Lajuwit,” berkata Ki Wiyaga kemudian sambil tangan kanannya menunjuk jauh ke tanah pesawahan, “Lihatlah tanah pesawahan yang luas itu. Itu bukan sekedar mimpi. Itu adalah kenyataan yang harus kita garap, kita kelola sehingga pada saatnya nanti akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan. Manfaat yang dapat dipetik turun temurun sampai anak cucu kita.”

Page 34: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

30

Namun jawaban Lajuwit sungguh diluar dugaan kepala pengawal Perdikan Matesih itu.

Jawab Lajuwit kemudian, “Maafkan aku Ki Wiyaga. Bagiku tanah pesawahan itu bukan kenyataan lagi, tapi itu mimpi buruk yang akan terus menghantui sampai anak cucu kita nanti. Tanah-tanah itu dulunya milik para petani, namun kini para tuan tanahlah yang menguasai. Di musim kemarau ketika petak-petak sawah tidak dapat menghasilkan lagi, sedangkan para petani mempunyai keluarga dan anak-anak yang mulut mereka harus tetap disuapi setiap hari, mereka pun tidak mempunyai pilihan lagi. Atau membiarkan saja anak dan istri kelaparan dan mati sehingga hidup merekapun tidak akan berarti lagi.”

“Cukup!” bentak Ki Wiyaga, “Tidak usah menggurui aku. Aku tahu para petani telah terlilit hutang sampai mencekik leher mereka sendiri. Akhirnya sepetak sawah sebagai sumber hidup mereka pun kini sudah terjual kepada para tuan tanah itu dan kini mereka menjadi buruh di atas tanah mereka sendiri. Tapi itu semua akibat dari cara hidup mereka sendiri. Disaat panen mereka tidak berusaha berhemat sehingga di saat musim kering tiba, mereka menjadi kelaparan dan akhirnya hanya menggantungkan hutang kepada para tuan tanah itu.”

Lajuwit hanya berdiam diri saja mendengar bentakan Ki Wiyaga. Namun diam-diam dia telah mempersiapkan diri. Apa boleh buat, jika perselisihan tidak dapat dihindarkan lagi, dia telah menyiapkan dirinya lahir maupun batin.

“Nah,” berkata Ki Wiyaga kemudian, “Agaknya memang kita telah berselisih jalan. Apapun yang terjadi, aku akan tetap bersetia kepada Ki Gede Matesih sebagai kawula Mataram.”

Mendengar kata-kata terakhir kepala pengawal Perdikan Matesih ini, Lajuwit sudah dapat menduga akhir dari perdebatan itu. Maka katanya kemudian, “Maafkan aku Ki Wiyaga. Aku sudah terlanjur mengikatkan diriku dengan Trah Sekar Seda Lepen. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.”

Page 35: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

31

Selesai berkata demikian Lajuwit segera menggeser kaki kanannya selangkah ke samping. Sedangkan kedua tangannya telah terkepal di kedua sisi lambungnya.

Ki Wiyaga yang melihat Lajuwit telah mempersiapkan diri, tidak ingin ketinggalan. Maka segera saja Ki Wiyaga menekuk lutut salah satu kakinya sambil bergeser setapak ke belakang.

Ternyata Lajuwit tidak ingin membuang-buang waktu. Dia harus segera mengirim panah sendaren untuk menyambung pesan yang telah diterimanya dari Padukuhan Klangon. Maka sambil membentuk keras, serangannya pun telah meluncur mengarah dada.

Tentu saja Ki Wiyaga tidak ingin dadanya rontok mendapat serangan lawan. Dengan sedikit menggeser kakinya ke samping serangan kaki lawannya itu lewat sejengkal dari dadanya. Kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata, tangan kiri Ki Wiyaga pun mencoba menangkap pergelangan kaki Lajuwit.

Menyadari lawannya mencoba menangkap pergelangan kakinya, Lajuwit segera mengubah arah serangannya. Ketika kaki kanannya sedang terjulur lurus, tiba-tiba saja lututnya telah ditekuk. Kemudian dengan bertumpu pada tumit kaki yang lainnya, tubuhnya pun berputar untuk mengarahkan lututnya menghantam dada lawan.

Terkejut Ki Wiyaga mendapat serangan susulan itu. Namun kepala pengawal Perdikan Matesih itu tidak menjadi gugup. Dengan cepat tangannya yang sedianya akan menangkap pergelangan kaki lawan itu segera ditarik dan disilangkan di depan dadanya.

Sejenak kemudian terjadilah benturan yang cukup keras. Kedua-duanya telah meloncat ke belakang untuk mengambil jarak.

Untuk sejenak Ki Wiyaga termangu-mangu. Sebenarnyalah Ki Wiyaga sebagai kepala pengawal Perdikan Matesih merasa sayang. Lajuwit adalah salah seorang pengawal Perdikan Matesih yang dapat diandalkan karena Lajuwit pernah berguru dan menimba

Page 36: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

32

ilmu di padepokan Sapta Dhahana. Padepokan yang terletak di lereng Gunung Tidar di sebelah timur Perdikan Matesih.

“Ki Wiyaga,” tiba-tiba terdengar Lajuwit bertanya begitu melihat kepala pengawal itu termangu-mangu sejenak, “Apakah Ki Wiyaga berubah pikiran? Ingat, Perguruan gunung Tidar telah berdiri di belakang perjuangan Trah Sekar Seda Lepen. Aku kira Ki Wiyaga cukup menyadari kekuatan yang tersembunyi di Gunung Tidar. Kekuatan yang aku yakin akan mampu mengimbangi Mataram.”

“Cukup!” kembali Ki Wiyaga membentak, “Kita buktikan dulu semua itu.”

Selesai berkata demikian, Ki Wiyaga segera mempersiapkan serangannya. Bagaikan tatit yang meloncat di udara, tubuh Ki Wiyaga pun melesat ke depan dengan sebuah serangan yang mengarah ke ulu hati.

Demikianlah sejenak kemudian pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin sengit. Keduanya adalah pengawal Perdikan Matesih yang dapat dibanggakan, namun yang ternyata mempunyai kiblat yang berbeda sehingga harus berselisih jalan.

Dalam pada itu, tanpa mereka sadari, beberapa pasang mata sedang mengawasi jalannya pertempuran itu. Orang-orang yang sedang bersembunyi di balik tanggul dekat gardu perondan itu telah melihat dan mendengar semua yang telah terjadi.

“Itulah gambaran keadaan para perangkat Perdikan Matesih sekarang ini,” desis orang yang usianya sudah lewat setengah abad namun masih tampak muda dan gagah, “Ki Gede Matesih benar-benar prihatin dengan keadaan kawulanya. Apalagi para perangkat tanah perdikan sudah banyak yang terpengaruh dengan janji-janji Raden Mas Harya Surengpati.”

“Kakang,” tiba-tiba terdengar seorang yang masih cukup muda menyela, “Bagaimana jika kita datangi saja rumah tempat kediaman Raden Surengpati itu di Matesih dan kita hancurkan?”

Page 37: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

33

“Tidak semudah itu Glagah Putih,” jawab orang itu, “Dengan demikian kita akan memancing para pengikut Trah Sekar Seda Lepen serta para Cantrik perguruan Sapta Dhahana turun berbondong-bondong ke Perdikan Matesih. Kita akan kesulitan untuk melawan mereka semua.”

“Ki Rangga,” tiba-tiba seseorang yang sudah tua menyahut cepat, “Kita harus ikut mencegah berita lolosnya kita dari banjar padukuhan itu sampai ke telinga orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen.”

“Benar Ki Jayaraga,” jawab orang itu yang ternyata Ki Rangga Agung Sedayu, “Aku mempunyai rencana, selagi para murid padepokan Sapta Dhahana dan para pengawal Padukuhan Klangon disibukkan di banjar Padukuhan Klangon, kita dapat bergerak menyelidiki keadaan di Gunung Tidar.”

“Bagaimana rencana kakang?” sela Glagah Putih tidak sabar.

Ki Rangga menarik nafas panjang terlebih dahulu sebelum menjawab. Dilemparkan pandangan matanya kearah pertempuran antara kedua pengawal perdikan Matesih itu. Tampak Ki Wiyaga sedikit demi sedikit mulai tampak menguasai jalannya pertempuran.

“Kita sebaiknya berpencar untuk menghindari kemungkinan adanya pengamatan para telik sandi lawan,” berkata Ki Rangga kemudian, “Kita akan bergerak dalam dua kelompok. Aku akan bersama dengan Ki Waskita bergerak menyusur ke arah timur lereng Gunung Tidar. Sementara Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih menyusur sebelah barat lereng Gunung Tidar.”

Tampak kepala orang-orang yang berada di situ terangguk-angguk. Agaknya semuanya setuju dengan rencana Ki Rangga.

“Ngger,’ tiba-tiba Ki Waskita berkata setelah mereka terdiam sejenak, “Bagaimana dengan Ki Gede Matesih? Ki Gede telah berencana untuk mengundang kita sebagai tamu-tamunya, namun ternyata keadaan telah berkembang lain. Kita harus memberitahu perkembangan keadaan ini kepada ki Gede.”

Page 38: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

34

Mendengar pertanyaan Ki Waskita itu, tanpa sadar Ki Rangga telah berpaling ke medan pertempuran antara kedua pengawal itu. Agaknya orang-orang itu dapat membaca pikiran Ki Rangga. Maka kata Ki Waskita kemudian, “Sebuah pemikiran yang bagus, ngger. Kita akan meminta Ki Wiyaga untuk memberitahu Ki Gede.”

Yang mendengar kata-kata Ki Waskita itu pun telah mengangguk-anggukkan kepala mereka.

Demikianlah sejenak kemudian, Ki Wiyaga benar-benar telah menguasai pertempuran. Lajuwit yang berbadan tinggi besar itu tidak mampu mengatasi kelincahan Ki Wiyaga yang berbadan sedikit lebih pendek. Pengalaman serta ketekunan yang dimiliki oleh kepala pengawal Perdikan Matesih itu selama ini ternyata telah menunjukkan hasil yang gemilang. Lajuwit benar-benar sudah hampir tak berdaya.

Ketika sebuah pukulan kembali mendarat di bagian tubuh Lajuwit, salah satu pengawal yang pernah menimba ilmu di Perguruan Sapta Dhahana itu telah terhuyung-huyung ke samping. Dengan menggeretakkan giginya, Lajuwit mencoba memperbaiki kedudukannya. Namun sebelum tubuhnya benar-benar berdiri tegak, ujung tumit kaki Ki Wiyaga telah mendarat di lambungnya.

Terdengar keluhan tertahan dari mulut Lajuwit. Tanpa dapat dikendalikan lagi, tubuhnya pun terdorong beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya jatuh terlentang di atas tanah.

Ki Wiyaga yang melihat lawannya telah terlempar dan jatuh terlentang di atas tanah telah menghentikan serangannya.

Namun yang terjadi kemudian benar-benar diluar dugaan Ki Wiyaga maupun orang-orang yang bersembunyi di balik tanggul itu. Lajuwit yang terlihat sudah tak berdaya itu, tiba-tiba dengan susah payah telah bangkit berdiri. Dengan berdiri sedikit terhuyung-huyung salah satu tangannya telah mengambil sesuatu dari balik bajunya. Belum sempat Ki Wiyaga menyadari apa yang akan dilakukan oleh Lajuwit, tiba-tiba saja dua buah pisau kecil berwarna gelap telah meluncur menyambar dadanya.

Page 39: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

35

Jarak Lajuwit dengan Ki Wiyaga hanya sekitar empat langkah sehingga Ki Wiyaga benar-benar sedang dalam kesulitan. Sambaran pisau yang pertama masih sempat dihindarinya dengan memiringkan tubuhnya, namun pisau yang kedua telah berhasil menyambar pundaknya.

Terdengar Ki Wiyaga berdesis tertahan. Mulutnya tampak menyeringai menahan rasa pedih yang menyengat pundaknya. Luka itu memang tidak terlalu dalam, namun darah yang mengalir dari luka itu berwarna kehitam hitaman.

“Racun!” seru Ki Wiyaga sambil berusaha menekan sekitar luka itu agar racun yang terlanjur memasuki tubuhnya tidak menjalar mengikuti arus darahnya.

Melihat Ki Wiyaga sibuk dengan lukanya, Lajuwit ternyata tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan cepat diraihnya lagi sebilah pisau belati dari balik bajunya. Sambil tertawa penuh rasa kemenangan, sekali lagi sebuah pisau meluncur dari tangannya mengarah ke leher Ki Wiyaga.

Namun di saat yang menentukan itu, tiba-tiba saja dari balik tanggul di dekat gardu perondan meluncur sebuah batu sebesar kepalan orang dewasa menyongsong pisau belati yang mengarah ke leher Ki Wiyaga.

Sejenak kemudian terdengar benturan yang cukup keras. Batu sebesar kepalan orang dewasa itu telah menghantam pisau belati itu. Akibatnya adalah diluar dugaan semua orang. Kekuatan lontaran batu yang berlebihan itu ternyata telah menghantam balik pisau belati itu kembali ke pemiliknya. Arah lontaran batu itu memang segaris dengan arah pisau belati itu. Tanpa dapat dicegah lagi, pisau belati itu pun dengan deras berbalik ke pemiliknya dan dengan tepat menghunjam jantungnya.

Lajuwit hanya sempat mengeluh pendek sebelum tubuhnya terdorong selangkah ke belakang. Sejenak tubuh tinggi besar itu masih limbung sebelum akhirnya jatuh terjerembab tidak bernafas lagi.

Page 40: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

36

Dalam pada itu kelima orang yang bersembunyi di balik tanggul itu pun telah terkejut bukan alang kepalang, terutama Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan segera mereka pun kemudian berloncatan keluar dari persembunyian mereka dan berlari menuju ke bekas medan pertempuran kedua pengawal itu.

Ki Rangga segera berlari ke tempat Ki Wiyaga yang tampak terjatuh pada kedua lututnya. Wajahnya pucat serta bibirnya bergetar menahan sakit di pundaknya akibat racun yang mulai menjalar di aliran darahnya. Pandangan matanya mulai gelap dan kesadarannya pun perlahan menghilang bersamaan dengan tubuhnya yang limbung.

Dengan cepat Ki Rangga segera menangkap tubuh ki Wiyaga yang terlihat mulai limbung akan terjatuh. Setelah dibaringkan di atas tanah, dengan cekatan jari-jemari Ki Rangga segera memijat urat-urat nadi yang berada di sekitar pundak Ki Wiyaga agar racun itu tidak menjalar semakin jauh.

“Kakang,” bisik Glagah Putih yang telah ikut berlutut di sisi tubuh Ki Wiyaga, “Ini barangkali dapat membantu kakang.”

Ki Rangga berpaling. Dilihatnya Glagah Putih mengangsurkan sebuah cincin bermata batu yang berwarna kebiru-biruan dengan garis-garis putih di dalamnya.

Sejenak Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil tersenyum. Cincin bermata batu itu mengingatkan Ki Rangga kepada gurunya, Kiai Gringsing.

“Terima kasih Glagah Putih,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menerima uluran tangan Glagah Putih. Dengan tanpa membuang waktu lagi, ditempelkannya batu yang terdapat pada cincin itu di luka Ki Wiyaga.

Beberapa saat kemudian, tampak warna garis-garis putih di dalam batu itu berubah menjadi kehitam-hitaman, sedangkan luka yang terdapat di pundak Ki Wiyaga pun berangsur-angsur mulai mengalirkan darah yang berwarna merah segar, tidak lagi kehitam-hitaman.

Page 41: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

37

“Syukurlah,” berkata Ki Rangga kemudian sambil mengangkat cincin itu dari luka ki Wiyaga dan kemudian mengembalikannya kepada Glagah Putih, “Agaknya Yang Maha Agung telah mengabulkan permohonan dan usaha kita.”

“Ya ngger,” terdengar suara Ki Waskita yang telah ikut berlutut di sisi tubuh Ki Wiyaga, “Racun ini sangat kuat dan jahat. Agaknya orang-orang Gunung Tidur memang senang bermain-main dengan racun.”

Ki Rangga menganggukkan kepalanya sambil tangannya sibuk menaburkan sejenis bubuk berwarna kehijau-hijaun di atas luka Ki Wiyaga. Sejenak kemudian luka itu pun telah mampat walaupun masih belum sempurna.

“Glagah Putih,” berkata Ki Rangga kemudian tanpa berpaling, “Tolong carikan air.”

“Baik kakang,” jawab Glagah Putih dengan serta merta sambil bangkit berdiri.

Sepeninggal Glagah Putih, Ki Waskita segera berbisik, “Ngger. Agaknya tenaga lontaranmu terlalu kuat sehingga pisau itu telah berbalik arah dan mengenai orang itu sendiri.”

Ki Rangga menarik nafas panjang sambil mengangkat kepalanya. Dilihatnya Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan sedang melihat keadaan Lajuwit yang telah terbujur menjadi mayat. Ada rasa penyesalan di dalam hati ki Rangga, namun semua itu dilakukan tanpa kesengajaan sama sekali. Ki Rangga tidak menduga bahwa pengawal itu akan berbuat curang selagi Ki Wiyaga lengah.

“Aku betul-betul tidak sengaja, Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian sambil membebat luka yang ada di pundak Ki Wiyaga dengan secarik kain yang didapat dari sobekan kain panjang kepala pengawal itu, “Aku benar-benar dicengkam kecemasan yang luar biasa begitu melihat pisau berikutnya itu meluncur ke arah leher Ki Wiyaga yang sedang tak berdaya.”

Page 42: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

38

Ki Waskita tidak menjawab hanya tampak kepalanya saja yang terangguk-angguk. Sementara Glagah Putih telah datang sambil membawa kendi yang penuh berisi air.

“Dari mana engkau dapatkan kendi ini, Glagah Putih?” bertanya Ki Rangga sambil menerima kendi itu dari tangan adik sepupunya itu.

Glagah Putih tersenyum sambil kembali berlutut. Jawabnya kemudian, “Di setiap gardu perondan pasti disiapkan air minum, namun kadang sudah kosong tidak ada isinya. Untunglah kendi ini masih cukup banyak isinya.”

Ki Rangga tersenyum sambil mengambil sebutir obat yang berwarna hijau dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian katanya kepada Glagah Putih, “Bantu aku mengangkat kepalanya.”

Dengan cepat Glagah Putih segera menyangga kepala Ki Wiyaga. Sementara Ki Rangga telah membuka mulut Ki Wiyaga dan memasukkan sebutir obat yang berwarna hijau itu ke dalam mulutnya. Sambil memijat urat leher Ki Wiyaga dengan tangan kirinya, tangan kanan Ki Rangga meraih kendi berisi air itu dan menuangkan isinya perlahan-lahan ke mulut Ki Wiyaga. Sejenak kemudian obat itu pun telah memasuki perut Ki Wiyaga.

“Turunkan,” perintah Ki Rangga kepada Glagah Putih. Dengan perlahan Glagah Putih pun kemudian menurunkan kepala Ki Wiyaga kembali ke atas tanah.

Demikianlah Ki Rangga pun kemudian segera berusaha untuk menyadarkan Ki Wiyaga. Dengan pijatan perlahan di belakang lehernya, Ki Wiyaga pun tampak mulai menunjukkan tanda-tanda kesadarannya.

Ketika sekali lagi Ki Rangga mengusap tengkuknya, Ki Wiyaga pun telah berdesah perlahan sambil menarik nafas panjang dan menggeliat. Ketika Ki Wiyaga pertama kali membuka matanya, yang tampak kemudian hanyalah bayangan kabur beberapa orang yang sedang mengerumuninya.

Page 43: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

39

Setelah mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali, barulah Ki Wiyaga melihat dengan jelas orang-orang yang sedang mengerumuninya, namun tak satu pun dari mereka yang dikenalnya.

“Siapa?’ bertanya Ki Wiyaga kemudian sambil mencoba bangkit berdiri. Ki Rangga pun segera membantu kepala pengawal perdikan Matesih itu untuk duduk.

“Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian setelah melihat Ki Wiyaga duduk dengan sempurna, “Kami berlima adalah para pengembara dari Prambanan yang kebetulan saja sedang lewat di tempat ini dan melihat kalian sedang bertempur.”

Terkejut Ki Wiyaga mendengar pengakuan Ki Rangga. Tanpa sadar diedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Ketika pandangan matanya kemudian tertumbuk pada Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan yang sedang mengangkat jasad Lajuwit untuk dibawa ke gardu, wajah Ki Wiyaga pun telah menegang.

“Apa yang telah mereka lakukan pada Lajuwit?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir ki Wiyaga.

“Tenanglah Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menahan tubuh kepala pengawal itu yang tiba-tiba saja akan bangkit berdiri, “Temanmu itu telah mati terkena pisau beracunnya sendiri.”

“He?” seru Ki Wiyaga seakan tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Sambil berpaling ke arah Ki Rangga, dia melanjutkan pertanyaannya, “Bagaimana itu bisa terjadi?”

Orang-orang yang sedang mengerumuni Ki Wiyaga itu saling pandang sejenak. Ki Rangga lah yang akhirnya menjawab, “Ki Sanak, dia kurang hati-hati mempergunakan pisau belatinya yang sangat beracun itu sehingga telah merenggut nyawanya sendiri.”

Ki Wiyaga mengerutkan keningnya mendengar penjelasan ki Rangga. Pada saat dia sibuk dengan lukanya beberapa saat tadi, dia telah mendengar sebuah benturan. Namun selanjutnya dia sudah tidak ingat lagi.

Page 44: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

40

“Sudahlah Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian sambil membantu Ki Wiyaga ketika kepala pengawal itu mencoba bangkit dari duduknya, “Sekarang sebaiknya segera kita selenggarakan jasad pengawal itu.”

“Ya Ki Wiyaga,” sahut Ki Waskita, “Bukankah nama Ki Sanak, Ki Wiyaga? Kepala pengawal Perdikan Matesih?”

Ki Wiyaga yang sudah berdiri di atas kedua kakinya berpaling ke arah Ki Waskita. Pertanyaan Ki Waskita tidak dijawabnya, justru dia telah balik bertanya, “Dari mana Ki Sanak mengetahuinya?”

Ki Waskita tersenyum. Jawabnya kemudian, “Sedari tadi kami sudah berada di balik tanggul dekat gardu itu.”

Ki Wiyaga termangu-mangu. Berbagai dugaan muncul dalam benaknya tentang kelima orang yang mengaku berasal dari Prambanan itu.

Ketika Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan kemudian berjalan mendekat, Ki Wiyaga pun tiba-tiba telah melangkah mundur sambil berdesis, “Siapakah kalian ini sebenarnya?”

“Ki Wiyaga,” jawab Ki Rangga sambil maju selangkah, “Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ki Waskita tadi, kami berlima adalah pengembara dari Prambanan. Kami tidak akan mengganggu keberadaan Perdikan Matesih, justru kami ingin membantu tanah Perdikan Matesih ini.”

Kepala pengawal perdikan Matesih itu sejenak mengerutkan keningnya. Tentu saja dia tidak dapat mempercayai keterangan Ki Rangga begitu saja. Tanah Perdikan Matesih sedang mengalami goncangan dan setiap orang dapat saja mengaku sebagai kawan atau bahkan lawan.

“Ki Wiyaga,” berkata Ki Rangga selanjutnya begitu menyadari keragu-raguan tampak menyelimuti wajah Ki Wiyaga, “Percayalah, kami berlima tidak mempunyai maksud jelek, jika kami adalah bagian dari orang yang menyebut dirinya Trah Sekar

Page 45: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

41

Seda Lepen itu, tentu kami akan membiarkan saja Ki Wiyaga terluka dan mati direnggut oleh racun yang sangat kuat dan jahat.”

Terkejut Ki Wiyaga mendengar keterangan Ki Rangga. Tanpa sadar dia meraba pundak kirinya yang dibebat dengan sobekan kain panjangnya sendiri. Menyadari akan keterlanjurannya, Ki Wiyaga pun segera maju mendekati Ki Rangga.

“Maafkan akan keterlanjuranku Ki Sanak,” berkata Ki Wiyaga kemudian sambil berjalan memutar dan menjabat tangan kelima orang itu. Ki Rangga dan kawan-kawannya pun kemudian menyambut uluran tangan Ki Wiyaga sambil satu-persatu menyebutkan nama mereka.

“Nah, Ki Sedayu,” berkata Ki Wiyaga kemudian setelah mengetahui nama Ki Rangga, “Apakah yang dapat aku bantu?”

Sejenak Ki Rangga memandang ke arah kawan-kawannya, namun agaknya kali ini terutama Ki Waskita telah menyerahkan purba wasesa kepada Ki Rangga. Maka jawab Ki Rangga kemudian, “Hari telah semakin terang. Sebaiknya jasad pengawal itu segera dikuburkan.”

“Apakah pengawal itu mempunyai keluarga?” tiba-tiba Glagah Putih bertanya.

Ki Wiyaga menggeleng. Jawabnya kemudian, “Sebenarnya Lajuwit bukanlah orang Matesih. Dia datang entah dari mana dan berguru ke padepokan Sapta Dhahana. Selang beberapa saat kemudian setelah dia merasa cukup menimba ilmu, dia telah turun gunung dan menetap di Matesih.”

“Dan kemudian menjadi salah satu pengawal perdikan Matesih,” sahut Glagah Putih.

“Aku lah yang telah mengusulkan kepada Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga dengan serta merta, “Karena aku melihat kemampuannya yang lebih dari cukup untuk membantu menjaga keamanan di Matesih.”

Page 46: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

42

.....Namun sebelum tangannya meraih busur dan anak panah itu, terdengar seseorang bergumam di belakangnya.

Page 47: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

43

Orang-orang yang hadir di tempat itu pun telah mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sebenarnya lah Lajuwit memang masih mempunyai hubungan yang erat dengan Perguruan Sapta Dhahana.

“Nah, sekarang bagaimana dengan mayat itu?” sekarang giliran Ki Jayaraga yang bertanya.

Mendapatkan pertanyaan Ki Jayaraga, Ki Wiyaga pun segera berpaling ke arah Ki Rangga.

“Ki Wiyaga,” berkata Ki Rangga kemudian, “Sebaiknya engkau melaporkan kejadian ini terlebih dahulu kepada Ki Gede. Demikian juga dengan keberadaan kami berlima. Sampaikan kepada Ki Gede bahwa Ki Gede tidak usah mengirim utusan untuk menjemput kami di banjar Padukuhan Klangon. Sampaikan kepada Ki Gede bahwa kami berlima telah memutuskan untuk lolos dari banjar karena menjelang dini hari tadi, banjar Klangon telah dikepung oleh murid-murid dari perguruan Sapta Dhahana.”

Terkejut Ki Wiyaga mendengar keterangan Ki Rangga. Dengan segera dia membungkukkan badannya dalam-dalam sambil berkata, “Maafkan aku yang terlalu deksura terhadap kalian berlima. Aku tidak tahu kalau ternyata kalian adalah tamu-tamu Ki Gede. Sesungguhnya aku telah ditugasi oleh Ki Gede untuk menjemput kalian berlima nanti menjelang saat pasar temawon.”

“Sudahlah Ki Wiyaga,” sahut Ki Jayaraga sambil tertawa pendek, “Kami bukan para bangsawan yang harus dihormati dengan berlebihan. Kami memang masih terhitung saudara jauh dari Ki Gede.”

Ki Wiyaga mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam dalam hati Ki Wiyaga bersyukur. Agaknya kelima tamu Ki Gede ini yang akan membantu mengurai benang kusut yang sedang terjadi di Perdikan Matesih.

“Nah, sekarang apakah Ki Sanak berlima akan pergi ke kediaman Ki Gede?” bertanya Ki Wiyaga kemudian.

Page 48: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

44

“O, tidak, tidak,” jawab Ki Rangga dengan serta merta, “Kami masih ada urusan yang harus kami selesaikan. Sampaikan kepada Ki Gede, setelah urusan kami selesai, kami pasti akan menghadap.”

Ki Wiyaga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia tidak berani bertanya lebih jauh tentang urusan kelima orang itu.

“Sebaiknya jasad pengawal itu disembunyikan terlebih dahulu sambil menunggu arahan Ki Gede,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka terdiam.

“Ki Rangga benar,” sahut Ki Waskita, “Ki Wiyaga dapat memohon arahan Ki Gede tentang jasad pengawal itu, dan jika memang harus dikuburkan, Ki Wiyaga dapat meminta bantuan kawan-kawan Ki Wiyaga yang dapat dipercaya.”

Ki Wiyaga tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.

“Marilah,” berkata Ki Rangga kemudian sambil melangkah mendekati gardu, “Kita sembunyikan jasad pengawal itu di bawah gardu.”

Demikianlah sejenak kemudian orang–orang itu segera menyembunyikan mayat itu di bawah gardu. Glagah Putih telah mencari rumput-rumput kering untuk menimbuni mayat itu agar tidak terlihat apabila ada orang yang lewat di sekitar tempat itu.

Setelah pekerjaan itu selesai, mereka pun segera berpencar, Ki Wiyaga berjalan menuju ke kediaman Ki Gede, sedangkan kelima orang itu pun telah menempuh jalan mereka sendiri-sendiri sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat.

Dalam pada itu Matahari telah semakin terang sinarnya. Butir-butir embun yang menebar di atas rerumputan serta bergelayutan di pucuk-pucuk dedaunan telah menguap. Burung-burung pun berkicau tak henti-hentinya menyambut terbitnya Matahari pagi.

Di padepokan Sapta Dhahana, beberapa cantrik tampak sedang berjaga-jaga di regol depan. Mereka bersenda-gurau dengan riangnya seolah-olah tidak ada beban sama sekali sehingga

Page 49: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

45

tidak menyadari bahwa seseorang sedang berjalan menuju ke arah mereka.

Ketika jarak orang itu tinggal beberapa langkah saja dari regol, barulah para cantrik itu menyadari atas kelengahan mereka. Segera saja mereka berloncatan ke tengah-tengah regol menghadang orang itu.

“Berhenti!” bentak cantrik tertua diantara mereka, “Kakek tua, engkau harus minta ijin dulu kepada kami jika ingin memasuki padepokan.”

Orang yang mendatangi regol padepokan itu memang seorang yang sudah sangat renta. Tubuhnya kurus kering dan hanya tubuh bagian bawahnya saja yang dibalut dengan selembar kain panjang yang sangat kumal dan lusuh. Sedangkan bagian atas tubuhnya telanjang sehingga terlihat dengan jelas tulang-tulang iganya yang menonjol. Sementara rambutnya yang panjang dan gimbal itu digelung ke atas dan diikat dengan secarik kain usang.

“Kakek!” kembali cantrik tertua itu membentak begitu dilihatnya kakek tua itu tidak menanggapinya justru malah berdiri sambil memejamkan kedua matanya. Tubuhnya tampak bergoyang-goyang mengikuti aliran angin yang bertiup cukup keras pagi itu.

Melihat kakek itu acuh tak acuh, salah satu cantrik yang berbadan tinggi besar segera maju ke depan. Tanpa basa-basi dicengkeramnya leher kakek tua itu dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya mengepal keras dan disorongkannya tepat di depan hidung kakek tua itu.

“Jangan macam-macam gembel tua!” geram cantrik itu kemudian, “Di sini padepokan Sapta Dhahana, tempat orang-orang sakti. Bukan gardu perondan yang dapat engkau singgahi dengan seenaknya!”

Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar dugaan setiap orang. Tiba-tiba saja kakek tua itu telah membuka mulutnya lebar-lebar dan kemudian menjulurkan lidahnya keluar. Lidah

Page 50: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

46

yang panjang itu pun kemudian menjilat pergelangan tangan cantrik itu.

Bagaikan tersentuh bara api dari tempurung kelapa, cantrik itu pun telah menjerit keras sambil meloncat mundur. Dengan tergesa-gesa diperiksanya pergelangan tangan kirinya. Beberapa kawannya pun telah mendekat untuk melihat apa sebenarnya yang telah terjadi.

Sejenak kemudian, setiap jantung orang yang berada di tempat itu pun bagaikan terlepas dari tangkainya. Kulit pergelangan tangan kiri cantrik itu ternyata telah hangus terbakar.

“Gila!” hampir setiap mulut telah mengumpat. Namun kini mereka tidak berani lagi dengan gegabah untuk mendekati kakek aneh itu.

“Kau, pergilah ke dalam,” perintah cantrik tertua itu kemudian kepada cantrik yang pergelangan tangannya terluka, “Laporkan kejadian ini kepada Kakang Putut Sambernyawa, sekalian ke balai pengobatan untuk mengobati lukamu.”

“Baik, kakang,” jawab cantrik itu. Dengan mulut menyeringai menahan sakit dan tangan kanan menekan seputar pergelangan tangan kirinya, cantrik itu pun segera bergeser mundur dan kemudian berlari ke dalam padepokan.

Dalam pada itu, kakek aneh itu ternyata tetap pada sikapnya semula. Berdiri tegak sambil memejamkan kedua matanya dengan tubuh yang bergoyang-goyang mengikuti hembusan angin pagi.

Dengan memberi isyarat kepada kawan-kawannya terlebih dahulu, cantrik tertua itu pun kemudian segera bergeser mundur selangkah. Kawan-kawannya ternyata telah tanggap dan segera mengikuti bergerak setapak demi setapak sambil berpencar sehingga sejenak kemudian, kakek tua itu telah berada di dalam lingkaran para cantrik.

Untuk beberapa saat suasana benar-benar menegangkan. Para cantrik itu tidak ada yang berani mendahului bergerak. Mereka

Page 51: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

47

hanya berusaha menahan kakek tua itu agar tidak meloloskan diri sambil menunggu kedatangan cantrik tertua, Putut Sambernyawa.

Dalam keheningan yang menegangkan itu, tiba-tiba saja kakek tua itu dengan tetap memejamkan keduanya matanya, bibirnya telah mengeluarkan suara siulan yang aneh. Pada awalnya suara siulan itu terdengar seperti desis seekor ular. Namun lama kelamaan suara siulan itu terdengar meninggi mirip seperti suara jeritan seekor burung elang. Sesaat kemudian tiba-tiba saja suara siulan itu menurun dan terdengar menyayat seperti rintihan seekor burung kedasih.

Para cantrik yang mendengarkan suara siulan yang berubah-ubah itu menjadi heran. Mereka tidak mengetahui maksud dari kakek aneh itu. Mereka hanya dapat berdiri termangu-mangu sambil tetap tidak meninggalkan kewaspadaan.

Dalam pada itu, di ruang dalam padepokan, Raden Wirasena yang sedang duduk-duduk ditemani Kiai Damar Sasangka telah dikejutkan oleh suara siulan aneh yang terdengar sangat jelas dari ruang dalam itu.

“Begawan Cipta Hening?” desis Raden Wirasena. Namun terdengar nada suaranya sedikit ragu-ragu.

“He?!” Kiai Damar Sasangka pun tak kalah terkejutnya mendengar Raden Wirasena telah menyebut sebuah nama.

“Tidak mungkin Raden,” berkata Kiai Damar Sasangka kemudian, “Keberadaan Begawan itu sepertinya hanya sebuah dongeng belaka. Jika memang dia itu benar-benar ada dan masih hidup sampai sekarang ini, tentu umurnya telah mencapai ratusan tahun lebih.”

Sejenak Raden Wirasena termenung. Memang Raden Wirasena sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Begawan Cipta Hening itu.

“Aku memang belum pernah bertemu secara pribadi dengan begawan itu,” berkata Raden Wirasena dalam hati, “Sesuai saran Panembahan Cahaya Warastra, sebelum pecah perang di

Page 52: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

48

Menoreh, seharusnya aku sudah menghadap Begawan Cipta Hening di puncak pebukitan Menoreh,” Raden Wirasena berhenti berangan-angan. Lanjutnya kemudian, “Namun aku belum sempat dan Panembahan Cahya Warastra ternyata telah terbunuh di Menoreh.”

Seakan masih jelas tergambar dalam ingatan Raden Wirasena, ketika suatu hari dia sedang mengunjungi padepokan Cahya Warastra. Panembahan Cahya Warastra pada saat itu sedang mempersiapkan penyerbuan ke Menoreh dan berpesan untuk meminta bantuan dan dukungan kepada Begawan Cipta Hening yang sedang bertapa di puncak pebukitan Menoreh. Namun belum sempat Raden Wirasena mendaki pebukitan Menoreh, terdengar kabar bahwa Panembahan Cahaya Warastra telah terbunuh dalam peperangan di Menoreh.

“Walaupun aku belum pernah bertemu dengan Begawan itu, namun Panembahan telah memberiku petunjuk ciri-ciri orang yang bernama Begawan Cipta Hening itu” berkata Raden Wirasena dalam hati, “Panembahan Cahaya Warastra juga telah mengajari aku bagaimana cara menghubungi Begawan itu dengan sebuah isyarat khusus,”

Raden Wirasena berhenti berangan-angan sejenak. Lanjutnya, “Mungkin sebelum pecah perang di Menoreh, Panembahan itu masih sempat menghadap Begawan dan menyampaikan keinginanku untuk memohon bantuannya.”

Ketika suara siulan itu tiba-tiba terdengar melengking tinggi, Raden Wirasena pun sudah tidak dapat menahan diri lagi. Maka katanya kemudian, “Marilah Kiai, kita lihat siapakah sebenarnya yang telah datang mengunjungi padepokan Sapta Dhahana ini.”

“Baik Raden,” sahut Kiai Damar Sasangka sambil bangkit dari duduknya mengikuti Raden Wirasena yang telah terlebih dahulu bangkit berdiri.

Sejenak kemudian, kedua orang itu pun dengan berjalan beriringan segera menuju ke pringgitan untuk kemudian keluar ke pendapa.

Page 53: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

49

Begitu keduanya membuka pintu pringgitan, dari jauh mereka telah melihat orang-orang yang berkerumun di depan regol. Tampak Putut Sambernyawa sedang membentak-bentak seorang kakek-kakek yang hanya mengenakan kain panjang yang dibebatkan pada bagian tubuhnya dari pinggang sampai ke lutut.

“Begawan Cipta Hening,” tanpa sadar bibir Raden Wirasena berdesis perlahan.

“Benarkah Raden?” sela Kiai Damar Sasangka. Hatinya sedikit ragu akan keberadaan Begawan itu yang hidup ratusan tahun yang lalu.

“Marilah Kiai,” jawab Raden Wirasena kemudian, “Semua itu memang perlu dibuktikan.”

Dengan langkah yang sedikit bergegas, keduanya segera menyeberangi pendapa yang cukup luas itu untuk kemudian turun ke halaman.

Namun ternyata ada salah satu cantrik yang melihat kedatangan kedua orang itu. Maka katanya kemudian setengah berteriak, “Kiai Damar Sasangka pemimpin padepokan Sapta Dhahana bersama Raden Wirasena Trah Sekar Seda Lepen telah berkenan hadir!”

Tiba-tiba saja suara siulan itu berhenti dan kakek yang aneh itu pun segera membuka kedua matanya. Sementara kerumunan para cantrik di depan regol itu segera menyibak memberi jalan kepada kedua orang yang sangat disegani itu.

Raden Wirasena segera saja mengenali kakek tua itu sebagai Begawan Cipta Hening, sesuai ciri-ciri yang diberitahukan oleh Panembahan Cahya Warastra.

“Selamat datang Begawan,” sapa Raden Wirasena ramah, “Mohon dimaafkan sambutan para Cantrik yang kurang menyenangkan. Sesungguhnyalah mereka hanya menjalankan tugas.”

Begawan Cipta Hening mengerutkan keningnya yang sudah keriput itu. Dipandanginya kedua orang yang datang kemudian itu

Page 54: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

50

ganti berganti. Tanyanya kemudian dengan sorot mata yang menyala, “Siapakah di antara kalian yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen?”

Berdesir dada Raden Wirasena mendapat pertanyaan itu. Namun dengan cepat Raden Wirasena segera maju selangkah. Jawabnya kemudian, “Begawan, akulah Trah Sekar Seda Lepen yang seharusnya berhak atas tahta di negeri ini.”

“Omong kosong!” sergah Begawan Cipta Hening, “Setiap orang dapat saja mengaku berhak atas tahta negeri ini. Aku pun juga berhak,” Begawan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian sambil membusungkan dadanya yang kurus, “Aku adalah keturunan Jaka Umbaran yang kemudian bergelar Menak Jingga di Blambangan. Bukankah seharusnya yang menjadi Raja Majapahit adalah Jaka Umbaran? Mengapa dia justru telah difitnah dan disingkirkan?”

Orang-orang yang hadir di tempat itu telah membeku. Kebanyakan dari mereka memang tidak begitu mengetahui sejarah, atau bahkan oleh orang-orang tertentu sejarah itu dengan sengaja telah dikaburkan.

“Maaf Begawan,” berkata Raden Wirasena kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Sejarah memang harus diluruskan, dan sudah menjadi kewajiban kita bersama. Aku selaku Trah dari Pangeran Sekar tidak akan menutup mata terhadap para pendahulu yang juga mempunyai trah dari Majapahit atau lainnya. Kita akan bersama-sama bahu membahu mengusir orang-orang dari trah pidak pedarakan yang sekarang ini justru sedang berkuasa di Mataram.”

Begawan menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Memang seharusnya negeri ini tetap dipimpin dari trah Kusuma Rembesing Madu, bukan para petani dari Sela yang hanya karena minum air kelapa muda kemudian keturunannya bisa menjadi Raja.”

“Begawan benar,” jawab Raden Wirasena, “Sekarang marilah kita bicarakan segala sesuatunya di dalam agar lebih tenang dan nyaman.”

Page 55: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

51

Begawan Cipta Hening tertawa pendek mendengar ajakan Raden Wirasena. Jawabnya kemudian, “Apakah aku sudah disiapkan makanan yang enak-enak? Tuak yang terbaik dan terkeras? Gadis-gadis cantik yang akan melayani aku sepanjang malam?”

Berdesir dada Raden Wirasena mendengar permintaan Begawan aneh itu. Tanpa sadar dia telah berpaling ke arah Kiai Damar Sasangka.

Kiai Damar Sasangka tersenyum sekilas. Setelah maju selangkah, barulah Kiai Damar Sasangka itu berkata, “Kami atas nama seluruh penghuni padepokan Sapta Dhahana mengucapkan selamat datang kepada Begawan Cipta Hening. Marilah Begawan, kami persilahkan untuk beristirahat sejenak di tempat yang telah kami sediakan. Urusan selanjutnya akan kita bicarakan kemudian.”

Begawan Cipta Hening untuk sejenak kembali mengerutkan keningnya yang sudah keriput itu. Dipandanginya wajah pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sapta Dhahana yang berarti api yang panasnya tujuh kali lipat dengan panasnya api biasa,” Begawan itu berhenti sejenak.

Lanjutnya kemudian setengah berteriak, “He! Aku sepertinya pernah mengenal orang sakti dari Sapta Dhahana, Kiai Guntur Geni. Dimana dia sekarang? Panggil dia untuk menyambut aku.”

Kiai Sapta Dhahana tertegun, orang yang disebutkan oleh Begawan Cipta Hening itu adalah Kakek Gurunya yang telah meninggal puluhan tahun yang lalu. Maka katanya kemudian, “Begawan memang benar, Kiai Guntur Geni itu adalah Kakek guru kami. Beliau telah meninggal dunia berpuluh tahun yang lalu. Dan sekarang aku, Kiai Damar Sasangka adalah cucu beliau yang memimpin perguruan Sapta Dhahana ini.”

Begawan Cipta Hening menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kemudian, “Semua

Page 56: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

52

sahabatku telah mati, tinggal aku sendiri. Rasanya dunia ini menjadi sepi.”

Mendengar ucapan begawan yang bernada keluh kesah itu, Raden Wirasena pun segera berkata, “Marilah Begawan. Kita dapat membicarakan segala sesuatunya di dalam agar lebih nyaman.”

Selesai berkata demikian Raden Wirasena segera mempersilahkan Begawan Cipta Hening untuk berjalan di depan.

Demikianlah kedatangan Begawan Itu telah menambah kekuatan dari orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen. Kekuatan yang belum disadari dan diperhitungkan dengan cermat oleh Ki Rangga dan kawan-kawannya.

Dalam pada itu ketika Matahari sudah bersinar dengan cerahnya, di rumah ki Gede Matesih, Ki Gede sedang mengumpulkan para bebahu tanah Perdikan yang masih setia mendukung setiap kebijakan Ki Gede dan dapat dipercaya.

“Keadaan telah berkembang semakin tidak menentu,” berkata Ki Gede memulai pembicaraan, “Kita harus semakin waspada justru di antara kawan sendiri. Aku berharap kelima tamu yang akan datang ke rumah ini akan menambah kekuatan kita untuk melawan pengaruh Raden Surengpati.”

Orang-orang yang hadir di ruang dalam itu pun tampak mengangguk-angguk. Berkata seorang yang berkumis tipis kemudian, “Ma’af Ki Gede. Apakah Ki Gede sudah yakin dengan kemampuan mereka? Maksudku dalam hal ilmu olah kanuragan. Kita semua menyadari bahwa Raden Surengpati dan para pengikutnya tidak dapat dipandang dengan sebelah mata.”

“Engkau benar Ki Jagatirta,” jawab Ki Gede, “Aku memang belum mempunyai gambaran yang jelas tentang kemampuan kelima orang tersebut. Namun aku percaya menilik sorot mata mereka yang tajam dan tenang serta ketegasan mereka dalam berbicara terutama orang yang bernama Ki Sedayu itu. Aku telah menaruh harapan yang besar kepada mereka untuk membebaskan

Page 57: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

53

tanah perdikan ini dari pengaruh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen.”

Ki Jagatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara orang di sebelahnya yang sudah cukup berumur telah beringsut dari duduknya sejengkal sambil bertanya, “Maaf Ki Gede, apakah telah ditunjuk seseorang untuk menjemput para tamu itu?”

“Sudah Ki Kamitua,” sahut ki Gede cepat, “Aku telah memerintahkan kepada Ki Wiyaga pagi tadi sebelum Matahari terbit untuk pergi ke dukuh Klangon menjemput para tamu kita.”

Ki Kamitua mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Ki Gede, para pengawal di Perdikan Matesih ini telah terpecah menjadi dua golongan. Sebagian tetap bersetia kepada Perdikan Matesih di bawah panji-panji kebesaran Mataram, sedangkan yang lainnya, terutama yang muda-muda, mereka lebih senang berangan-angan bersama para pengikut Trah Sekar Seda Lepen. Aku khawatir jika Ki Wiyaga sebagai pemimpin pengawal Perdikan Matesih lebih condong untuk mengikuti golongan yang terakhir.”

Terdengar orang-orang yang hadir di ruang dalam itu bergeremang satu dengan lainnya. Agaknya masing-masing mempunyai tanggapan yang berbeda.

“Ki Kamitua,” berkata Ki Gede kemudian sambil mengangkat tangan kanannya untuk memberi isyarat agar semua orang diam sejenak, “Aku percaya dengan Ki Wiyaga. Dia telah menjadi pengawal perdikan Matesih sejak masih muda. Kedudukan pemimpin pengawal itu pun aku percayakan kepadanya setelah ayahnya mengundurkan diri karena usia tua. Jadi aku percaya kepada Ki Wiyaga sebagaimana dulu aku juga percaya kepada ayahnya.”

Sejenak mereka yang hadir di tempat itu terdiam. Masing-masing telah tenggelam dalam kenangan masa lalu yang tenang dan tentram.

“Perdikan Matesih adalah perdikan yang tenang dan damai,” berkata seorang yang rambutnya sudah putih semua dalam hati, “Hampir tidak ada gejolak sama sekali di tanah perdikan ini.

Page 58: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

54

Semua penghuninya hidup rukun, guyup dan saling membantu. Namun dengan kedatangan orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen dan para pengikutnya itu, penghuni tanah Perdikan ini telah terpecah belah dan jauh dari yang disebut rukun dan damai.”

Pembicaraan itu terhenti sejenak ketika tiba-tiba saja terdengar pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan dapur berderit. Sejenak kemudian dari pintu yang terbuka muncullah seorang gadis yang sedang beranjak dewasa sambil membawa nampan berisi minuman dan makanan.

Semua orang segera menundukkan wajahnya kecuali Ki Gede Matesih. Dipandanginya wajah anak perempuan satu-satunya itu dengan kening yang berkerut merut. Seraut wajah yang menginjak dewasa dengan segala kelebihannya dibanding dengan gadis-gadis sebayanya.

Ratri, nama gadis semata wayang Ki Gede itu segera berjongkok dan meletakkan minuman dan makanan di depan para tamu. Setelah semuanya selesai, Ratri pun kemudian segera mundur setapak untuk kemudian berdiri dan membalikkan badan. Sejenak kemudian gadis cantik dengan keindahan bentuk tubuh yang mulai beranjak dewasa itu pun telah hilang di balik pintu yang tertutup rapat.

Sepeninggal putrinya, tampak wajah Ki Gede menjadi muram, semuram langit yang sedang turun hujan.

Sambil menarik nafas dalam-dalam dan menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, Ki Gede pun kemudian berdesis perlahan seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, “Aku mungkin salah satu dari sekian banyak orang tua yang tidak mampu memberikan tuntunan yang baik kepada anaknya.”

Suara itu terdengar seperti sebuah keluh kesah atau penyesalan yang tiada taranya.

Orang-orang yang mendengar keluh kesah Ki Gede itu tidak ada yang berani mengangkat kepalanya atau pun membuka suara.

Page 59: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

55

Mereka tetap menundukkan kepala dalam-dalam menunggu apa yang akan disampaikan oleh Ki Gede.

“Ah, sudahlah,” berkata Ki Gede kemudian mencoba mencairkan suasana, “Semoga sebelum wayah tengange, para tamu kita telah hadir di rumah ini.”

Orang-orang itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Nah,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Apakah masih ada yang ingin disampaikan?”

Namun sebelum salah satu dari orang-orang yang hadir itu membuka suara, tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu, pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan pringgitan.

“Masuklah!” terdengar suara Ki Gede cukup lantang.

Sejenak kemudian terdengar pintu berderit dan seseorang telah muncul dari balik pintu.

“Ki Wiyaga?” hampir serentak mereka yang berada di ruang dalam itu telah berdesis.

Orang yang memasuki ruang dalam itu memang Ki Wiyaga. Namun tidak tampak luka di pundaknya. Bahkan bajunya tampak bersih serta memakai kain panjang yang bersih pula. Agaknya Ki Wiyaga sempat mampir ke rumah terlebih dahulu untuk berganti baju sebelum menghadap Ki Gede.

Setelah mengangguk terlebih dahulu kepada orang-orang yang hadir, terutama Ki Gede, Ki Wiyaga pun segera mengambil duduk di sebelah Ki Jagatirta.

Setelah menanyakan keselamatan Ki Wiyaga terlebih dahulu, barulah Ki Gede bertanya, “Ki Wiyaga, mengapa sepagi ini engkau sudah kembali?”

Sejenak Ki Wiyaga menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan getaran di dalam dadanya. Jawabnya kemudian, “Maaf Ki Gede, aku belum sempat menjemput tamu-tamu kita di banjar Padukuhan Klangon.”

Page 60: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

56

“Mengapa?” tiba-tiba dengan serta-merta Ki Jagatirta telah menyela. Namun begitu disadarinya Ki Gede telah berpaling ke arahnya, dengan cepat segera ditundukkan wajahnya.

“Ya, Ki Wiyaga,” sahut Ki Gede kemudian, “Apa sebenarnya yang telah terjadi?”

“Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga kemudian, “Telah terjadi suatu peristiwa diluar rencana kita.”

Ki Gede mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Jangan berputar-putar Ki Wiyaga. Ceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi.”

Ki Wiyaga sejenak ragu-ragu. Tanpa sadar, diedarkan pandangan matanya ke arah orang-orang yang hadir di ruangan itu.

Agaknya Ki Gede tanggap akan keragu-raguan kepala pengawal Perdikan Matesih itu. Maka katanya kemudian, “Ki Wiyaga, engkau berada di antara para bebahu perdikan Matesih yang dapat dipercaya.”

“Terima kasih ki Gede,” berkata Ki Wiyaga kemudian, “Kelima tamu kita itu ternyata dengan sengaja telah meloloskan diri dari banjar Padukuhan Klangon.”

“He?!” serentak mereka yang ada di ruangan itu terlonjak kaget, terutama Ki Gede. Sejenak wajahnya menjadi merah padam.

“Siapakah sebenarnya mereka itu?” geram Ki Gede, “Apakah mereka mencoba mempermainkan Ki Gede Matesih?”

“O, tidak, tidak Ki Gede,” sahut Ki Wiyaga cepat, “Sungguh mereka berlima itu orang-orang yang dapat dipercaya.”

“Dari mana Ki Wiyaga tahu?” sela Ki Kamitua.

Ki Wiyaga tersenyum. Sambil menyingkapkan baju di bagian pundak kirinya, Ki Wiyaga pun memperlihatkan bekas lukanya yang telah dibebat dengan secarik kain. Katanya kemudian, “Inilah buktinya. Salah satu dari mereka telah menolongku dari luka yang

Page 61: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

57

Dalam pada itu, di ruang dalam padepokan, Raden Wirasena yang sedang duduk-duduk ditemani Kiai Damar Sasangka telah dikejutkan oleh suara siulan aneh yang terdengar sangat jelas dari ruang dalam itu.

“Begawan Cipta Hening?” desis Raden Wirasena. Namun terdengar nada suaranya sedikit ragu-ragu.

Page 62: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

58

akan dapat membunuhku. Luka akibat goresan pisau belati yang sangat beracun.”

“He?!” kembali orang-orang itu terkejut. Bertanya Ki Gede kemudian, “Bagaimana itu bisa terjadi?”

Ki Wiyaga menarik nafas panjang sambil membetulkan bajunya kembali. Jawabnya kemudian, “Ceritanya panjang Ki Gede. Cerita itu dimulai ketika aku tanpa sengaja telah menemukan salah seorang pengawal perdikan Matesih, Lajuwit, sedang berusaha mengirim isyarat ke Perguruan Sapta Dhahana di lereng Gunung Tidar.”

Kemudian secara singkat Ki Wiyaga segera menceritakan kejadian di dekat gardu perondan itu serta pertemuannya dengan kelima orang yang mengaku dari Prambanan itu.

“Jadi engkau telah ditolong oleh mereka?” bertanya Ki Gede kemudian.

“Ya Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga, “Jika saja lukaku itu tidak segera diobati oleh orang yang bernama Ki Sedayu itu, mungkin aku sudah tidak dapat lagi berkumpul di tempat ini.”

“Ah!” beberapa orang justru telah berdesah. Sedangkan Ki Gede segera berkata, “Syukurlah agaknya Yang Maha Agung masih melindungi kita untuk menyelamatkan tanah perdikan ini dari segolongan orang yang tidak bertanggung jawab.”

Setiap orang yang ada di ruangan itu pun telah mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Bagaimana dengan Lajuwit?” tiba-tiba Ki Gede bertanya sambil memandang kearah Ki Wiyaga.

Sejenak Ki Wiyaga ragu-ragu. Bagaimanapun juga secara tidak sengaja dia telah ikut berperan dalam terjadinya rajapati, walaupun kejadian yang sebenarnya dia tidak begitu jelas.

“Mengapa engkau terlihat ragu-ragu Ki Wiyaga?” desak Ki Gede, “Katakanlah sejujurnya apa sebenarnya yang telah terjadi pada diri Lajuwit.”

Page 63: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

59

“Maaf Ki Gede, jawab Ki Wiyaga kemudian setelah Menimbang-nimbang beberapa saat, “Lajuwit telah terbunuh oleh pisau beracunnya sendiri.”

“He?!” orang-orang yang berada di ruang itu pun kembali tersentak.

“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?” hampir setiap mulut telah mengajukan pertanyaan yang serupa.

Namun Ki Wiyaga justru telah menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu, karena pengaruh racun itu begitu kuat sehingga aku telah jatuh pingsan. Namun sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku, aku masih sempat mendengar suara benturan yang keras.”

“Mungkin Lajuwit telah menyerangmu sekali lagi dengan pisau belatinya di saat engkau lengah karena pengaruh racun itu,” berkata Ki Kamitua memberikan pendapatnya.

“Mungkin saja,” sahut Ki Gede, “Dan suara benturan keras yang engkau dengar itu adalah lontaran belati berikutnya yang mungkin telah dipatahkan oleh salah satu dari kelima orang itu.”

“Mungkin Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga sambil mengangguk-angguk, “Kemungkinan itulah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Berarti engkau telah berhutang nyawa dua kali kepada mereka, Ki Wiyaga,” kali ini Ki Jagatirta yang menyahut.

Ki Wiyaga tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.

Untuk beberapa saat ruangan itu pun justru telah menjadi hening.

Namun Ki Gede segera berusaha untuk menguasai keadaan. Maka katanya kemudian, “Semua itu mungkin sudah takdir dari Yang Maha Agung. Menurut pendapatku, Lajuwit telah memetik buah dari apa yang telah ditanamnya selama ini.”

Tampak semua orang mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil menarik nafas dalam-dalam.

Page 64: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

60

“Di manakah mayatnya sekarang?” bertanya Ki Gede kemudian.

“Mayat itu kami sembunyikan di bawah gardu,” jawab Ki Wiyaga, “Salah satu dari kelima orang itu telah menimbuninya dengan rumput-rumput kering agar tidak begitu tampak jika ada orang yang melewati gardu itu.”

“Baiklah,” berkata Ki Gede sambil memandang ke arah Ki Jagatirta, “Ki Jagatirta, bawalah beberapa orang yang dapat dipercaya bersama Ki Wiyaga nanti menjelang sirep uwong. Usahakan untuk tidak begitu menarik perhatian dan hanya kalangan kita saja yang mengetahui peristiwa ini.”

“Baik Ki Gede,” jawab Ki Jagatirta sambil menarik nafas panjang. Mengubur mayat di malam hari memang tidak menyenangkan, namun apa boleh buat. Perintah Ki Gede harus dilaksanakan.

“Nah, Ki Wiyaga,” berkata Ki Gede kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Mengapa engkau tadi mengatakan bahwa kelima orang itu dengan sengaja telah lolos dari banjar Padukuhan Klangon?”

Serentak semua mata segera tertuju ke arah Ki Wiyaga.

Menyadari semua orang sedang menunggu jawabannya, Ki Wiyaga pun segera beringsut setapak ke depan. Sambil membetulkan letak kain panjangnya terlebih dahulu, Ki Wiyaga pun kemudian bercerita tentang pengepungan para murid Padepokan Sapta Dhahana di banjar Padukuhan Klangon menjelang dini hari tadi. Sebagaimana seperti yang telah disampaikan oleh Ki Sedayu.

“Gila!’ geram Ki Gede begitu Ki Wiyaga selesai bercerita, “Ternyata kita kalah cepat dengan mereka,” Ki Gede berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Jagatirta, Ki Gede bertanya, “Ki Jagatirta, apakah engkau tahu di mana Ki Jagabaya sekarang ini?”

Page 65: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

61

Untuk sejenak Ki Jagatirta memandang para bebahu lainnya untuk meminta pertimbangan. Namun semua bebahu yang hadir disitu telah menggelengkan kepala mereka. Maka jawab Ki Jagatirta kemudian, “Maaf Ki Gede, kami tidak tahu keberadaan Ki Jagabaya beberapa hari ini. Menurut keterangan yang aku peroleh, Ki Jagabaya sering terlihat berkunjung ke rumah yang ditempati Raden Surengpati dan pengikutnya.”

Kembali terdengar Ki Gede menggeram. Wajahnya terlihat sangat keruh. Berkata Ki Gede kemudian, “Kalian semua berhati-hatilah jika berbicara dengan Ki Jagabaya Perdikan Matesih. Aku melihat gelagat yang mencurigakan dari Ki Jagabaya,” Ki Gede berhenti sejenak.

Lanjutnya kemudian, “Lain halnya dengan Padukuhan Klangon, kalian dapat mempercayai Ki Jagabaya dukuh Klangon, namun jangan sekali-kali berbicara dengan Ki Dukuh Klangon. Dia telah terpengaruh dengan Raden Surengpati, sehingga Ki Dukuh Klangon sore tadi telah mengerahkan para pengawalnya untuk berjaga-jaga di banjar.”

“Untunglah kelima orang dari Prambanan itu mampu lolos dari pengamatan mereka,” sahut Ki Kamitua.

“Benar Ki Kamitua,” berkata Ki Wiyaga menanggapi kata-kata Ki Kamitua, “Dan yang lebih untung lagi, mereka berlima ternyata juga terhindar dari kepungan para murid gunung Tidar.”

“Itu menunjukkan bahwa mereka bukan segolongan orang-orang kebanyakan,” sahut Ki Gede dengan nada suara yang yakin dan mantap.

Para bebahu yang hadir di dalam ruangan itu pun tampak mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Nah, sekarang,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Bagaimana cara kita untuk menghubungi mereka?”

Kembali semua mata tertuju ke arah Ki Wiyaga. Mereka berharap kepala pengawal perdikan Matesih itu dapat memberikan jawabannya.

Page 66: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

62

Namun alangkah kecewanya para bebahu perdikan Matesih itu, terutama Ki Gede. Mereka melihat Ki Wiyaga justru telah menggelengkan kepalanya.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang ini, Ki Gede?” bertanya seorang yang rambutnya sudah putih semua.

Sejenak Ki Gede menarik nafas panjang. Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ki Wiyaga, Ki Wiyaga pun segera tanggap. Maka katanya kemudian, “Ki Jagawana, kelima orang itu sudah berjanji akan menghadap Ki Gede, hanya waktunya saja yang belum pasti, sebab mereka masih mempunyai sebuah urusan untuk segera diselesaikan.”

“Urusan apa itu?” hampir bersamaan pertanyaan itu terdengar di ruangan itu.

Ki Wiyaga menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu dan aku tidak berani menanyakannya.”

Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi kembali. Masing-masing sedang tenggelam dalam angan-angan tentang permasalahan yang sedang dihadapi Perdikan Matesih.

“Nah, aku kira sudah cukup pembicaraan kita kali ini,” berkata Ki Gede kemudian memecah kesunyian, “Kalian dapat kembali ke tempat kerja masing-masing. Aku akan nganglang bersama Ki Wiyaga.”

Kemudian sambil berpaling ke arah kepala pengawal itu, Ki Gede pun telah menjatuhkan perintah, “Siagakan beberapa pengawal yang dapat dipercaya. Kita akan mengelilingi Tanah Perdikan Matesih ini untuk memberi kesan kepada para pengikut Trah Sekar Seda Lepen bahwa Perdikan Matesih masih ada dan akan tetap ada selama pemerintahan Mataram masih berdiri tegak.”

Demikianlah, perintah Ki Gede itu merupakan suatu perintah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sejenak kemudian pertemuan para bebahu itu pun telah selesai dan mereka segera kembali ke tempat tugas masing-masing.

Page 67: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

63

Dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan serta Glagah Putih yang mendapat tugas menyelidiki keberadaan Perguruan Sapta Dhahana dari lereng sebelah barat telah mendapat pesan dari Ki Rangga untuk mengamat-amati kediaman Ki Gede Matesih. Tanpa menarik perhatian mereka berjalan di antara ramainya lalu-lalang para pejalan kaki serta pedati-pedati yang sarat mengangkut hasil bumi. Sesekali mereka juga berpapasan dengan orang-orang yang berkuda.

“Guru, mengapa sejauh ini kita tidak melihat para pengawal Perdikan Matesih sedang meronda?” bertanya Glagah Putih yang berjalan di samping gurunya. Sementara beberapa langkah di belakang mereka, tampak Ki Bango Lamatan berjalan sambil menundukkan kepalanya.

“Entahlah Glagah Putih,” jawab gurunya, “Mungkin mereka merasa Perdikan ini sudah begitu aman, terutama di siang hari.”

“Kejahatan tidak mengenal waktu,” tanpa sadar Glagah Putih berdesis perlahan seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri.

“Engkau benar Glagah Putih,” sahut Gurunya, “Memang kejahatan tidak mengenal waktu dan tempat, akan tetapi lebih tepatnya, kejahatan pun memperhitungkan tempat dan waktu, karena seseorang yang akan melakukan sebuah tindak kejahatan juga mempunyai perhitungan-perhitungan.”

Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan gurunya itu. Tanpa sadar dia kemudian berpaling ke belakang. Tampak Ki Bango Lamatan sedang berjalan sambil menundukkan kepalanya.

“Orang itu telah mengalami perubahan yang luar biasa dalam dirinya,” berkata Glagah Putih dalam hati sambil kembali memandang ke depan, “Aku masih ingat peristiwa di tepian kali Opak. Ki Bango Lamatan saat itu berada di pihak Panembahan Cahya Warastra dan sekarang tiba-tiba telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Pati,” angan-angan Glagah Putih berhenti sejenak. Kemudian sambil tersenyum sekilas dia melanjutkan angan-angannya, “Semua itu berkat jasa Kanjeng Sunan.”

Page 68: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

64

Tanpa terasa langkah mereka telah mendekati regol halaman rumah Ki Gede Matesih.

Ketiga orang itu pun kemudian berjalan sebagaimana orang-orang yang lain. Namun ketika mereka lewat tepat di depan regol, Glagah Putih telah menyempatkan diri untuk berpaling sekilas.

Tampak kening Glagah Putih berkerut. Apa yang dilihatnya hanya sekilas itu ternyata sangat berkesan. Diujung tangga pendapa dia sempat melihat seorang gadis cantik yang sedang beranjak dewasa tampak sedang bercakap-cakap dengan seseorang.

“Ratri,” tanpa sadar bibir Glagah Putih menyebut sebuah nama.

Ki Jayaraga yang berjalan di sampingnya terkejut. Sambil berpaling dia bertanya, “Siapa Glagah Putih?”

“O,” Glagah Putih tergagap. Setelah menarik nafas panjang barulah Glagah Putih menjawab, “Guru, aku tadi melihat seorang gadis yang sedang beranjak dewasa di tangga pendapa kediaman Ki Gede. Mungkin itu Ratri, putri satu-satunya Ki Gede Matesih.”

Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Mungkin Glagah Putih. Gadis yang telah terpikat oleh seorang pria dewasa, yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen.”

“Tentu Ratri telah terbuai oleh angan-angan dan janji-janji dari Raden Surengpati,” sahut Glagah Putih, “Jika perjuangan Trah Sekar Seda Lepen itu berhasil, dia akan ikut menikmati hasilnya. Hidup di kalangan istana, berlimpah ruah dengan harta benda, serta disuyuti dan dihormati oleh kawula seluruh negeri.”

“Ah,” Ki Jayaraga tertawa pendek mendengar ucapan Glagah Putih. Bahkan Ki Bango Lamatan yang berjalan beberapa langkah di belakang mereka pun ikut tersenyum.

Tanpa terasa langkah mereka telah semakin jauh dari regol halaman Ki Gede. Ketika mereka kemudian menjumpai sebuah

Page 69: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

65

jalan simpang, tiba-tiba Glagah Putih telah menghentikan langkahnya.

“Ada apa Glagah Putih?” bertanya Ki Jayaraga yang juga ikut berhenti. Sementara Ki Bango Lamatan yang berjalan beberapa langkah di belakang mereka telah memperlambat langkahnya.

“Guru, kita mengambil jalan ke kanan,” jawab Glagah Putih kemudian.

“Glagah Putih, jalan menuju ke Gunung Tidar adalah lurus ke depan,” tiba-tiba Ki Bango Lamatan yang telah ikut berhenti menyahut.

“Ki Bango Lamatan benar,” berkata Ki Jayaraga ikut menimpali, “Sebaiknya kita mengambil jalan lurus.”

Sejenak Glagah Putih ragu-ragu. Namun entah mengapa, seraut wajah cantik gadis putri ki Gede Matesih itu tidak mau hilang dari benaknya, walaupun beberapa saat tadi dia hanya melihatnya sekilas.

Setelah menarik nafas dalam-dalam, barulah Glagah Putih mengutarakan kegelisahannya.

“Guru,” berkata Glagah Putih kemudian, “Entah mengapa begitu melihat putri ki Gede tadi, rasa-rasanya aku telah mengkhawatirkan keselamatannya.”

Kedua orang tua itu sejenak saling pandang. Mereka segera menyadari, Glagah Putih agaknya telah tertarik dengan putri Matesih itu, apapun alasannya.

“Glagah Putih,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah melihat Ki Bango Lamatan yang tersenyum dan mengangguk-angguk, “Engkau tertarik pada putri Ki Gede itu memang sudah sewajarnya. Engkau masih muda dan putri Matesih itu pun seorang gadis yang sedang mekar-mekarnya. Namun sejauh manakah ketertarikanmu itu yang harus dipertanyakan.”

“Ah,” Glagah Putih berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Rona merah segera saja menghiasi wajahnya, namun dengan cepat segera saja Glagah Putih berusaha menghilangkan

Page 70: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

66

kesan itu dari wajahnya. Katanya kemudian, “Guru, aku menyadari bahwa aku adalah laki-laki yang sudah beristri. Aku hanya memikirkan bagaimana nasib putri Matesih itu jika dia benar-benar terjebak dalam jeratan orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu.”

Untuk beberapa saat kedua orang tua itu justru telah terdiam. Memang akan saat mengenaskan nasib putri Matesih yang masih hijau itu jika dia sampai terperangkap jebakan Raden Mas Harya Surengpati.

“Ah, sudahlah,” akhirnya Ki Jayaraga berkata memecah kesunyian setelah sejenak mereka terdiam, “Kita hanya bisa mendoakan masa depan yang baik bagi putri Ki Gede itu.”

Ki Bango Lamatan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar ucapan Ki Jayaraga, namun Glagah Putih justru mengerutkan keningnya dalam-dalam.

Ki Jayaraga yang melihat muridnya termenung telah menarik nafas panjang. Tanyanya kemudian, “Ada apa lagi Glagah Putih?”

“Maafkan aku Guru dan juga Ki Bango Lamatan,” jawab Glagah Putih kemudian, “Marilah kita bicarakan dengan sungguh-sungguh permasalahan ini”

Selesai berkata demikian Glagah Putih segera mempersilahkan kedua orang tua itu untuk berjalan menepi dan duduk di bawah sebatang pohon peneduh yang tumbuh di kanan jalan.

Setelah ketiganya menempatkan diri duduk di bawah bayangan pohon yang teduh itu, barulah Glagah Putih meneruskan kata-katanya, “Guru, aku mempunyai perhitungan bahwa saat ini Ki Wiyaga tentu telah melaporkan kejadian pagi tadi kepada Ki Gede Matesih.”

Serentak bagaikan telah berjanji, kedua orang tua itu mendongakkan wajahnya ke langit.

“Sudah hampir wayah tengange,” desis Ki Jayaraga

“Ya Ki Jayaraga,” sahut Ki Bango Lamatan, “Tentu Ki Gede sudah mendapat laporan dari Ki Wiyaga.’

Page 71: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

67

“Nah Glagah Putih,” berkata Ki Jayaraga selanjutnya, “Apa hubungannya dengan Ratri, putri Ki Gede?”

“Guru,” jawab Glagah Putih kemudian. Tampak wajahnya bersungguh-sungguh sehingga kedua orang itu pun telah menaruh perhatian sepenuhnya, “Aku mempunyai dugaan bahwa apa yang telah dilaporkan oleh Ki Wiyaga kepada Ki Gede sedikit banyak akan diketahui oleh Raden Surengpati.”

Kedua orang tua itu saling pandang sejenak. Ki Jayaraga lah yang menanggapi, “Bagaimana mungkin, Glagah Putih? Ki Wiyaga tentu tidak gegabah dalam memberikan laporannya.”

“Benar, guru,” sahut Glagah Putih cepat, “Akan tetapi bagaimana dengan keluarga Ki Gede sendiri? Apakah tidak menutup kemungkinan Ratri mendengar walaupun hanya sekilas-sekilas dan kemudian menyampaikannya kepada Raden Surengpati.”

Kini kedua orang tua itu termenung. Memang hal itu sangat mungkin terjadi.

“Jadi apa rencanamu sekarang Glagah Putih?’ bertanya Ki Bango Lamatan kemudian.

Sejenak Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun baru saja Glagah Putih akan menjawab pertanyaan Ki Bango Lamatan, tiba-tiba dari kejauhan Glagah Putih melihat seseorang mendatangi tempat itu.

“Penjual dawet serabi,” desis Glagah Putih kemudian. Serentak kedua orang tua itu pun mengikuti arah pandang Glagah Putih.

“Apakah engkau haus Glagah Putih?” bertanya Ki Jayaraga kemudian sambil tersenyum.

Glagah Putih tidak segera menjawab. Pandangan matanya justru mengarah kepada Ki Bango Lamatan.

Ki Bango Lamatan pun lantas tertawa pendek. Katanya kemudian, “Alangkah segarnya minum dawet serabi di siang hari yang terik seperti ini.”

Page 72: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

68

Ki Jayaraga dan Glagah Putih pun akhirnya ikut tertawa.

Demikianlah sejenak kemudian mereka bertiga telah memanggil penjual dawet serabi yang lewat di depan mereka.

Penjual dawet serabi itu pun segera berhenti dan menurunkan dagangannya. Dengan cekatan dilayaninya para pembelinya itu satu persatu.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian setelah dia menyelesaikan minumnya lebih cepat dari kedua orang tua itu, “Kelihatannya mangkukku ini lebih kecil dibanding dengan mangkuk yang lainnya.”

“Ah,” penjual dawet itu tertawa, “Apakah engkau bermaksud menambah lagi, anak muda?”

Glagah Putih pun mengangguk sambil tertawa. Sementara Ki Jayaraga sambil menyenduk minumannya telah berkata kepada Glagah Putih, “Lain kali engkau membawa wadah sendiri saja, tempayan atau genthong barangkali.”

Yang mendengar kelakar Ki Jayaraga itu pun telah tertawa.

“Ki Sanak,” tiba-tiba penjual dawet itu berkata sambil memandang satu-persatu pembelinya, “Rasa-rasanya aku belum pernah melihat kalian. Dari manakah Ki Sanak semua ini?”

Sejenak mereka bertiga saling berpandangan. Ki Jayaraga lah yang akhirnya menjawab sambil mengembalikan mangkuknya yang telah kosong.

“Kami berasal dari Sangkal Putung,” jawab Ki Jayaraga sekenanya, “Dan kami sedang menuju ke Padukuhan Paran-paran.”

Penjual dawet ini mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Di manakah letak Padukuhan Paran-paran itu Ki Sanak?”

Ki Jayaraga tersenyum. Jawabnya kemudian, “Padukuhan Paran-paran terletak di antara lembah Gunung Sindara dan Sumbing.”

Page 73: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

69

“O,” penjual dawet itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya walaupun sebenarnya dia tidak mengetahui dengan pasti letak padukuhan itu.

“Terima Kasih Ki Sanak,” berkata penjual dawet itu kemudian ketika Ki Jayaraga membayar harga empat mangkuk dawet serabi, “Semoga perjalanan kalian menyenangkan.”

“Terima kasih,” jawab mereka bertiga hampir bersamaan.

“Semoga sekembalinya kami dari Paran-paran, kita dapat berjumpa kembali,” tambah Glagah Putih.

“O, tentu, tentu ki Sanak,” jawab penjual dawet itu sambil mengangkat pikulannya dan kemudian menaruh di pundaknya, “Hampir setiap hari aku melewati jalan ini.”

“Tapi engkau jangan lupa membawa tempayan,” sahut Ki Jayaraga sambil menggamit Glagah Putih yang segera saja disambut dengan gelak tawa.

Demikianlah setelah penjual dawet serabi itu pergi, Glagah Putih pun segera menyampaikan rencananya.

“Guru,” berkata Glagah kemudian, “Sebaiknya perjalanan kita ke Gunung Tidar kita tunda sebentar. Siang ini sampai nanti menjelang sore kita coba untuk mengamati kediaman Ki Gede. Barangkali putri Ki Gede akan keluar menemui Raden Surengpati untuk menyampaikan berita yang telah dibawa oleh Ki Wiyaga.”

Ki Jayaraga mengerutkan keningnya sambil memandang Ki Bango Lamatan. Agaknya guru Glagah Putih itu meminta pertimbangan untuk menyetujui rencana Glagah Putih.

Untuk sejenak Ki Bango Lamatan termenung. Namun tiba-tiba saja Ki Bango Lamatan berdesis perlahan, “Bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya? Raden Surengpati itu yang menemui Ratri di kediaman Ki Gede?”

Sekarang giliran Glagah Putih yang tertegun. Kemungkinan itu memang ada, namun menilik tanggapan Ki Gede yang tidak menginginkan putri satu-satunya itu menjalin hubungan dengan orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu,

Page 74: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

70

kemungkinannya sangat kecil jika Ki Gede mengijinkan Raden Surengpati menemui putrinya.

Maka jawab Glagah Putih kemudian, “Kemungkinan itu sangat kecil, Ki Bango Lamatan. Aku justru cenderung hubungan mereka berdua itu masih sebatas sembunyi-sembunyi. Aku yakin mereka berdua belum berani berterus terang justru karena Ki Gede telah memperlihatkan sambutan yang kurang ramah atas kehadiran para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu di perdikan Matesih.”

“Engkau benar Glagah Putih,” berkata ki Jayaraga kemudian setelah sejenak berpikir, “Memang sebaiknya kita mengamati kediaman Ki Gede siang ini sampai sore nanti. Semoga apa yang kita khawatirkan itu tidak terjadi.”

Demikianlah sejenak kemudian ketiga orang itu segera meneruskan perjalanan. Mereka mengambil jalan yang berbelok ke kanan, jalan yang terlihat lebih kecil dari jalan sebelumnya.

“Agaknya jalan ini sangat jarang dilewati orang,” berkata Ki Jayaraga sambil mengayunkan langkahnya.

“Kelihatannya memang demikian, Ki,” sahut Ki Bango Lamatan sambil mengamat-amati pohon-pohon perdu liar yang tumbuh di sepanjang jalan, “Jalan ini sepertinya sebuah jalan pintas.”

“Aku juga mengira demikian,” kembali Ki Jayaraga berkata sambil ikut mengamati tanah pategalan yang kelihatannya sudah tidak terurus.

Sejenak kemudian jalan yang mereka lewati itu semakin lama menjadi semakin menyempit dan hanya tinggal jalan setapak saja yang terlihat menjelujur di antara rumput-rumput dan ilalang yang tumbuh liar di sana sini.

Selagi mereka berjalan sambil merenungi semak belukar yang semakin lebat, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang tajam lamat-lamat telah mendengar langkah seseorang yang terdengar sangat tergesa-gesa dari arah kanan jalan. Memang masih cukup jauh, namun suara langkah itu begitu jelas terdengar di antara

Page 75: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

71

suara daun-daun yang tersibak dan ranting-ranting kecil yang berpatahan.

Untuk beberapa saat ketiga orang itu tidak tahu harus berbuat apa untuk menyikapi suara langkah yang terdengar semakin dekat itu. Namun ketika Ki Jayaraga kemudian menganggukkan kepalanya, serentak mereka bertiga pun segera bersembunyi di balik perdu-perdu yang banyak berserakan di tempat itu.

Sambil menahan nafas, mereka bertiga mencoba mengintip dari sela-sela dedaunan untuk melihat siapakah yang akan muncul dari pategalan di kanan jalan yang sudah tak terurus lagi itu.

Semakin lama suara langkah itu terdengar semakin keras. Sejenak kemudian dari balik sebatang pohon sawo kecik, muncul seraut wajah yang sangat dikenal oleh Glagah Putih.

“Ratri?” desis Glagah Putih dengan suara yang bergetar.

Kedua orang tua itu terkejut mendengar desis Glagah Putih sehingga telah berpaling ke arahnya.

“O, jadi itukah Ratri? Pantas!” bisik Ki Bango Lamatan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Maksud Ki Bango Lamatan?” tanya Glagah Putih sambil berpaling.

Ki Bango Lamatan berpaling sekilas sambil tersenyum. Jawabnya kemudian, “Gadis yang bernama Ratri itu sangat cantik. Tentu banyak laki-laki yang ingin menyuntingnya.”

“Termasuk Ki Bango Lamatan barangkali,” sahut Ki Jayaraga

“Ah,” Ki Bango Lamatan hampir saja tidak dapat menahan tawanya, namun yang menjadi merah mukanya justru Glagah Putih.

“Lihatlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian mengalihkan pembicaraan, “Putri Ki Gede itu memotong jalan dan memasuki pategalan di sebelah kiri jalan.”

Page 76: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

72

“Kita ikuti,” sahut Glagah Putih cepat sambil berdiri dan kemudian melangkah menuju ke tempat putri Matesih itu menghilang.

Kedua orang tua itu sejenak saling berpandangan. Sambil menahan senyum akhirnya kedua orang tua itu pun berdiri dan melangkah mengikuti Glagah Putih.

Bukanlah sebuah pekerjaan yang sulit bagi ketiga orang itu untuk mengikuti jejak Ratri. Putri Ki Gede Matesih itu hanyalah seorang gadis kebanyakan yang tidak pernah diperkenalkan pada olah kanuragan sejak kecil.

Semakin lama ketiga orang itu semakin jauh memasuki pategalan yang sudah berubah menjadi seperti hutan kecil itu. Setelah melalui jalan setapak yang nyaris tak terlihat dan kemudian menurun, terlihat sebuah parit yang airnya mengalir bening.

“Parit ini mungkin digunakan sebagai pengairan ketika pategalan-pategalan ini masih digarap,” berkata Ki Jayaraga dalam hati sambil meloncati batang pohon yang tumbang karena lapuk dimakan usia.

Beberapa saat kemudian ketiga orang itu melihat Ratri telah berhenti di sepetak tanah yang ditumbuhi rumput. Di tanah sepetak itu kelihatannya dulu pernah didirikan sebuah gubuk untuk tempat beristirahat.

Sejenak Ratri terlihat masih berdiri termangu-mangu. Tampaknya dia sedang menunggu seseorang. Dengan raut wajah yang terlihat gelisah dia kemudian duduk di atas batu yang menjorok di sebelah parit yang airnya mengalir dengan bening.

Dalam pada itu di salah satu jalan di sebelah barat perdikan Matesih, tampak dua orang penunggang kuda, Eyang guru dan Raden Surengpati sedang memacu kudanya dengan sedikit kencang.

“Eyang guru,” berkata Raden Surengpati, “Di depan ada simpang tiga. Sebelum kita meneruskan perjalanan melalui jalan

Page 77: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

73

yang membelok ke kiri, ijinkan aku untuk menemui Ratri terlebih dahulu.”

“Raden,” jawab Eyang guru, “Apakah pertemuan itu dapat ditunda? Kita sebaiknya sampai di Tidar sebelum Matahari tergelincir jauh ke barat. Banyak hal yang harus kita bicarakan sehubungan dengan kedatangan Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Aku paham Eyang guru,” jawab Raden Surengpati kemudian, “Namun sekarang ini adalah waktunya aku bertemu Ratri di tempat yang sudah kita sepakati. Mungkin Ratri membawa berita yang penting.”

Eyang guru menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah Raden. Kalau begitu aku menunggu saja di persimpangan. Aku tidak ingin mengganggu keasyikan kalian berdua.”

“Ah,” desah Raden Surengpati, “Ratri adalah gadis yang masih lugu. Dia selalu membawa kawan jika bertemu denganku.”

“He?!” terkejut Eyang guru mendengar keterangan Raden Surengpati.

Sambil berpaling sekilas, Eyang guru pun kemudian bertanya, “Apakah teman Ratri itu dapat dipercaya?”

“Ya, Eyang guru,” jawab Raden Surengpati mantap, “Kawannya itu adalah pemomongnya sejak kecil, jadi sudah dianggap seperti biyungnya sendiri. Apalagi sejak Nyi Gede meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, pemomongnya itu seolah-olah telah dianggap sebagai pengganti biyungnya.”

Eyang guru menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Tak terasa derap langkah kaki-kaki kuda mereka telah mendekati simpang tiga.

“Aku akan menunggu di sini,” berkata Eyang guru kemudian sambil meloncat turun dan kemudian menambatkan kudanya pada sebatang pohon di pinggir jalan. Sementara Raden Surengpati masih belum turun dari kudanya.

Page 78: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

74

“Apakah Raden akan berkuda?” bertanya Eyang guru sambil mengambil duduk di bawah sebatang pohon besar yang akar-akarnya tampak menonjol keluar.

Sejenak Raden Surengpati termenung. Namun akhirnya dia pun menjawab, “Aku akan berkuda saja Eyang guru. Tempatnya memang agak jauh dari sini.”

“Pergilah!” berkata Eyang guru sambil merebahkan dirinya bersandaran pada batang pohon itu.

“Terima kasih Eyang guru,” jawab Raden Surengpati kemudian, “Aku pergi dulu.”

Tanpa menunggu lagi, Raden Surengpati pun kemudian segera menghentak perut kudanya agar berlari maju.

Jarak antara simpang tiga dengan tempat yang biasa dijadikan pertemuan Raden Surengpati dengan Ratri memang cukup jauh. Setelah melalui jalan yang menurun, barulah Raden Surengpati membelokkan kudanya menyusuri jalan setapak memasuki sebuah pategalan.

Ketika jalan setapak itu telah menghilang tertutup rumput-rumput liar dan ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar, Raden Surengpati pun segera menghentikan kudanya dan meloncat turun.

Sejenak Raden Surengpati menarik nafas panjang untuk memenuhi rongga dadanya dengan udara segar siang hari itu. Entah mengapa setiap akan berjumpa dengan Ratri, jantungnya selalu berdebar. Sebenarnyalah bagi Raden Surengpati bukan sekali ini saja dia berhubungan dengan perempuan, namun terhadap Ratri, dia mempunyai tujuan tersendiri.

“Ratri harus bisa membujuk dan meyakinkan ayahnya bahwa perjuangan Trah Sekar Seda Lepen ini memerlukan dukungan penuh dari perdikan Matesih,” berkata Raden Surengpati dalam hati sambil menambatkan tali kekang kudanya pada sebuah batang pohon, “Dengan direstuinya hubungan kami berdua, aku berharap Ki Gede akan legawa untuk melintirkan Perdikan

Page 79: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

75

Matesih ini kepadaku sehingga perdikan Matesih akan menjadi tumpuan utama dalam berjuang melawan Mataram.”

Sekali lagi Raden Surengpati menarik nafas panjang. Kemudian dengan langkah yang mantap dia mulai menuruni tanah yang agak miring menuju ke sebuah parit yang sudah tampak dari tempatnya berdiri.

Setelah sampai di tepi parit yang airnya mengalir bening, Raden Surengpati pun menyusuri parit itu mendekati tempat Ratri menunggu dari arah barat. Sementara Ki Jayaraga dan kawan-kawannya telah menempatkan diri di tempat yang agak jauh di sebelah timur dari tempat Ratri menunggu.

Dalam pada itu, Ratri yang sedang menunggu kedatangan Raden Surengpati itu menjadi semakin gelisah. Sesekali dia berdiri dari duduknya dan berjalan mondar-mandir. Namun ketika dirasakan kakinya menjadi penat, dia pun duduk kembali.

“Mengapa aku tadi tidak menunggu mbok Pariyem saja,” berkata Ratri dalam hati sambil sesekali mendongakkan kepalanya ke arah barat, “Tapi mbok Pariyem pergi dari pagi dan belum kembali, sedangkan berita ini sangat penting bagi Raden Mas Harya Surengpati.”

Teringat akan Raden Surengpati, tiba-tiba saja wajah Ratri menjadi cerah. Sebuah senyum manis tersungging di bibirnya yang merah menawan. Gadis putri satu-satunya Ki Gede itu sedang beranjak dewasa bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya. Mengalami masa-masa remaja yang ingin selalu dipuja dan dimanja, dan agaknya Raden Surengpati telah paham akan hal itu. Pengalaman panjangnya bergaul dengan perempuan telah membuat Ratri menjadi mabuk kepayang.

Tiba-tiba Ratri yang sedang termenung itu mendengar langkah-langkah mendekat dari arah barat. Dengan segera dia berpaling sambil bangkit dari duduknya.

“Raden...” desis Ratri dengan suara yang riang penuh kegembiraan begitu mengetahui siapa yang datang.

Page 80: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

76

Yang datang itu memang Raden Surengpati. Sejenak langkahnya tertegun. Dia tidak melihat kawan Ratri yang biasanya selalu setia menemani.

“Engkau sendiri, Ratri?” bertanya Raden Surengpati kemudian dengan pandangan nanar merayapi sekujur tubuh Ratri.

“Ya, Raden,” jawab Ratri sambil menundukkan wajahnya. Jauh di lubuk hatinya dia telah menyesali ketergesa-gesaannya untuk datang ke tempat itu tanpa mbok Pariyem.

“Nah, berita apakah yang engkau bawa kali ini, Ratri?” bertanya Raden Surengpati kemudian sambil berjalan mendekat.

Sejenak Ratri mengangkat wajahnya. Ketika sepasang matanya memandang ke wajah Raden Surengpati, tiba-tiba saja dadanya berdesir tajam. Wajah itu tidak menampakkan sebagaimana biasanya yang ramah dan lembut. Wajah itu tampak mengerikan, merah membara dengan sepasang mata yang liar menelusuri lekuk-lekuk sekujur tubuhnya.

Dengan segera Ratri menundukkan wajahnya kembali. Sambil berusaha menguasai degup jantungnya yang melonjak-lonjak, dia menjawab pertanyaan Raden Surengpati dengan suara bergetar, “Raden, tadi pagi ayah telah mengadakan pertemuan dengan para bebahu perdikan Matesih.”

“O,” desis Raden Surengpati sambil menarik nafas panjang. Darah di sekujur tubuhnya telah mendidih. Dengan langkah satu-satu, orang yang mengaku trah Sekar Seda Lepen itu berjalan semakin dekat.

“Apa yang mereka bicarakan, Ratri?” terdengar suara Raden Surengpati berbisik di dekat telinganya. Begitu dekatnya sehingga Ratri dengan jelas dapat mendengar desah nafasnya yang memburu.

Seketika gemetar sekujur tubuh putri Matesih itu. Berbagai dugaan muncul dalam benaknya. Ada perasaan takut yang menyergap hatinya begitu menyadari apapun bisa terjadi selagi mereka hanya berdua saja di tempat yang sepi itu.

Page 81: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

77

Menyadari bahaya yang setiap saat dapat saja menerkamnya, Ratri segera berusaha menghindar dari tempat itu. Katanya kemudian sambil melangkah surut, “Maaf Raden, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Setiap saat ayah akan memerlukan aku. Aku harus segera kembali ke bilikku.”

“Tidak Ratri,” tiba-tiba terdengar suara Raden Surengpati itu mirip lolong seekor serigala lapar di telinga Ratri, “Akulah yang sekarang memerlukanmu disini. Tidak ada seorang pun yang akan menggangu. Percayalah, aku tidak akan menyakitimu, justru aku akan membahagiakanmu dan sekaligus memberikan sebuah pengalaman yang belum pernah engkau rasakan seumur hidup,” Raden Surengpati berhenti sebentar untuk sedikit meredakan dadanya yang seakan-akan mau meledak. Lanjutnya kemudian, “Inilah kesempatan bagiku untuk membuat Ki Gede menyerah dan menuruti segala kemauanku.”

Bersambung ke jilid 04

Page 82: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

78

Page 83: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

79