sejengkal tanah setetes darah - gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya...

82

Upload: others

Post on 14-Nov-2020

56 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan
Page 2: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

ii

Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri

Bagi sanak-kadang yang berkumpul di “Padepokan” gagakseta Naskah ini diupload di

http://cersilindonesia.wordpress.com, dan

http://tamanbacaanmbahman.blogspot.co.id/ boleh saja

didownload dan dikoleksi, tetapi tidak untuk dikomersilkan

Page 3: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iii

SEJENGKAL TANAH SETETES

DARAH

JILID 05

OLEH

paneMBAHan MANdaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Mbah Man

Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

Page 4: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iv

Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita Dari bumi yang tercinta Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah karya Untuk dilestarikan sepanjang masa Sekar keluwih, Maret 2017

Terima kasih atas dukungan: Istri dan anak-anak tercinta Serta handai taulan semua

Page 5: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENAK wajah pengawal itu bagaikan kapas, putih pucat seakan-akan tanpa ada setetes darah pun yang mengaliri wajahnya.

“Majulah!” perintah Ki Gede kepada pengawal itu kemudian, “Jangan takut. Kita harus mengetahui terlebih dahulu duduk permasalahan yang sebenarnya sebelum memutuskan sebuah perkara.”

Kata-kata Ki Gede itu memang terdengar sareh, tidak ada nada kemarahan sama sekali. Namun betapapun juga, tubuh pengawal itu tampak gemetaran dan wajahnya pucat sepucat kapas. Dengan langkah satu-satu, pengawal itu pun akhir bergeser mendekati Ki Gede.

“Nah,” berkata Ki Gede kemudian setelah pengawal itu berdiri di hadapannya, “Ceritakanlah sejujurnya apa sebenarnya yang telah terjadi.”

Sejenak pengawal itu masih menundukkan wajahnya dalam-dalam dengan tubuh menggigil seperti orang kedinginan. Ketika dicobanya untuk mengangkat kepala, segera saja pandangan matanya berbenturan dengan pandangan mata Ki Gede, dan ternyata Ki Gede justru telah tersenyum sareh.

Bagaikan tersiram embun pagi, hati pengawal itupun menjadi sedikit tenang. Setelah menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, akhirnya pengawal itu pun memulai laporannya.

Page 6: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

2

“Ki Gede, kami berdua mendapat tugas untuk mengantar makan malam bagi tawanan,” berkata pengawal itu kemudian memulai laporannya, “Kawanku itu yang bertugas membawa makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan untuk melarikan diri.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Kedengarannya apa yang dilaporkan oleh pengawal itu sepertinya sudah sewajarnya. Maka kata Ki Gede kemudian, “Lanjutkan ceritamu.”

Pengawal itu menganggukkan kepalanya sebelum menjawab. Katanya kemudian, “Begitu kami membuka selarak bilik, ternyata tawanan itu masih terikat erat pada tiang yang terdapat di tengah-tengah ruangan itu. Namun ketika kawanku itu kemudian meletakkan semangkuk nasi dan semangkuk kuah yang masih panas di hadapannya, dia telah berteriak untuk meminta salah satu ikatan tangannya untuk dibebaskan.”

“Jika kalian masih menganggap aku sebagai manusia sebagaimana kalian berdua, tentu kalian tidak akan membiarkan aku makan langsung dengan mulutku seperti seekor binatang, begitu berkata tawanan itu selanjutnya,” pengawal itu berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Ketika kawanku meminta persetujuanku, aku pun tidak keberatan untuk melepaskan ikatan salah satu tangannya.”

“Siapakah yang melepas ikatan tangan tawanan itu?” potong Ki Gede cepat.

Sejenak pengawal itu mengkerutkan lehernya. Jawabnya kemudian dengan suara sedikit tersendat, “Aku Ki Gede.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Seharusnya kawanmu itulah yang melepas ikatan tangan tawanan itu. Bukan kamu.”

Pengawal itu tampak menundukkan wajahnya semakin dalam. Memang seharusnya kawannya itu yang membuka ikatan, bukan dirinya yang sedang memegang senjata.

Page 7: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

3

Agaknya Ki Gede tanggap melihat pengawal itu hanya menundukkan wajahnya dalam-dalam. Maka kata Ki Gede kemudian, “Memang engkau pada saat itu berada di belakang tawanan itu sehingga tanpa sadar engkau telah melakukannya tanpa banyak pertimbangan.”

“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal itu kemudian, “Memang pada saat itu aku berada tepat di belakangnya sehingga tanpa sadar aku telah membuka ikatan tangannya tanpa banyak pertimbangan.”

Kembali Ki Gede mengerutkan keningnya. Bertanya Ki Gede kemudian, “Akan tetapi bukankah kamu hanya melepaskan salah satu tangannya? Bagaimana mungkin dia kemudian dapat melepaskan diri?”

Pengawal itu tampak menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan Ki Gede. Rasa-rasanya tenggorokannya menjadi sangat kering.

“Maaf Ki Gede,” jawab pengawal itu kemudian dengan suara sedikit bergetar, “Disitulah letaknya kelengahan kami berdua. Ketika aku sedang membuka ikatan salah satu tangannya, senjataku tanpa sadar telah aku letakkan di sampingnya. Demikian salah satu tangannya bebas, dengan cepat dia meraih mangkuk yang berisi kuah panas itu dan menyiramkannya ke wajah kawanku yang sedang berjongkok di hadapannya. Setelah itu dia segera meraih senjataku yang tergeletak di sebelahnya sebelum aku menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi.”

Orang-orang yang hadir di tempat itu menjadi berdebar debar. Dalam keadaan yang tidak menentu itu, segala sesuatunya bisa saja terjadi dan berlangsung dalam waktu yang cepat.

“Apakah engkau tidak segera menyadari keadaan itu dan segera meraih senjatamu kembali?” bertanya Ki Gede kemudian.

Pengawal itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak sempat mencegahnya. Begitu senjata itu tergenggam di tangannya dia segera mengayunkan senjata itu ke arah belakang untuk mencoba melukaiku. Namun aku masih sempat berguling ke samping.”

Page 8: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

4

“Dan selanjutnya tawanan itu mampu meloloskan diri dengan memotong tali pengikatnya menggunakan senjatamu sendiri. Bukankah begitu cerita selanjutnya?” potong Ki Gede dengan serta merta.

Tampak pengawal itu mengangguk lemah dengan wajah yang pucat.

Berkata pengawal itu kemudian, “Maafkan kami Ki Gede. Kami berdua memang lengah. Pada saat tawanan itu sudah mampu melepaskan ikatannya, dia segera menyerang kawanku yang masih sibuk membersihkan wajahnya yang tersiram kuah panas tadi. Namun naluri keprajuritannya segera muncul dan segera menyadari keadaan yang gawat itu. Dengan sekuat tenaga dia menghalangi tawanan yang mencoba untuk meloloskan diri itu, namun dia tidak berhasil dan bahkan terluka.”

Ki Gede Matesih menarik nafas dalam-dalam sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Tampak wajah-wajah yang tegang sedang menunggu keputusannya.

“Kedua pengawal itu memang bersalah,” berkata Ki Gede dalam hati, “Namun kesalahannya bukan karena kesengajaan. Semua peristiwa ini terjadi karena kekurang-waspadaan saja.”

Berpikir sampai disitu Ki Gede segera berkata, “Baiklah, aku sudah mengetahui duduk permasalahannya. Sekarang selenggarakan mayat Gegedug Dukuh Salam ini. dan aku minta kalian lebih berhati-hati lagi di lain kesempatan.”

Selesai berkata demikian Ki Gede segera membalikkan badan dan kemudian melangkah kembali ke pendapa. Beberapa bebahu pun segera mengikutinya, kecuali Ki Wiyaga yang masih mengurus jasad tawanan yang telah terbujur kaku di halaman samping itu. Sementara pengawal yang merasa nasibnya sudah berada di ujung tanduk itu, bagaikan mendapat siraman banyu sewindu.

Dalam pada itu di tengah kelebatan hutan sebelah timur gunung Tidar, tampak Ki Rangga sedang bercakap-cakap di bawah sebatang pohon dengan cantrik Gatra Bumi.

Page 9: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

5

“Sukra,” berkata Ki Rangga sambil memandang wajah anak muda yang berkulit kehitam-hitaman itu, “Mengapa engkau pergi dari rumah tanpa meninggalkan pesan apapun kepada Nyi Sekar Mirah?”

Cantrik Gatra Bumi yang lebih dikenal sebagai nama Sukra itu sejenak terdiam. Wajahnya menunduk dalam-dalam sementara mulutnya terkunci rapat-rapat.

Ki Rangga yang menyadari tentu ada sesuatu yang sedang menjadi ganjalan di dalam hati anak muda itu, segera menepuk bahunya pelahan sambil berkata, “Sukra, katakanlah kebenaran itu, sekalipun itu pahit. Dengan demikian, diharapkan sudah tidak ada lagi ganjalan di antara kita. Untuk seterusnya engkau bebas untuk memilih jalan hidupmu sendiri.”

Sukra tampak termenung beberapa saat. Namun akhirnya dengan tetap menundukkan wajahnya, Sukra pun kemudian menjawab, “Maaf Ki Sedayu, memang tidak ada maksud sebiji sawi pun dalam hatiku untuk meninggalkan kediaman Ki Sedayu tanpa pamit. Semua itu karena aku tidak mampu menahan godaan dalam hatiku pada saat itu.”’

Ki Rangga mengerutkan keningnya mendengar keterangan Sukra. Bertanya Ki Rangga kemudian, “Apa maksudmu dengan godaan dalam hatimu itu, Sukra?”

Sejenak Sukra membetulkan letak duduknya sebelum menjawab pertanyaan Ki Rangga. Setelah menarik nafas dalam-dalam, barulah Sukra menjawab, “Ki Sedayu, ijinkan aku menceritakan peristiwa beberapa saat yang lalu yang terjadi di kediaman Ki Sedayu.”

“Silahkan,” jawab Ki Rangga singkat.

Kembali Sukra menarik nafas panjang. Setelah itu barulah Sukra memulai ceritanya.

“Malam itu hujan turun sangat deras,” berkata Sukra kemudian memulai ceritanya, “Aku mendengar suara titik-titik air hujan yang menerobos di sela-sela atap yang mungkin mulai

Page 10: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

6

bocor. Namun karena hari sudah larut malam, aku memutuskan untuk melihatnya keesokan harinya saja.”

Sukra berhenti sejenak untuk sekedar mengambil nafas. Sementara Ki Rangga yang duduk di hadapannya tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Keesokan harinya,” berkata Sukra selanjutnya, “Sebelum aku memeriksa atap yang mungkin bocor, Nyi Sekar Mirah ternyata telah menyuruhku untuk memperbaiki atap yang berada tepat di atas bilik Nyi Sekar Mirah, karena semalam Nyi Sekar Mirah merasakan ada titik-titik air yang jatuh cukup banyak dari atap .”

Tiba-tiba jantung Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Dia sudah mulai dapat meraba ke arah mana cerita Sukra. Jika Sukra kemudian memanjat atap yang berada tepat di atas biliknya itu, tentu Sukra akan mendapatkan sesuatu yang mungkin akan sangat mengherankannya.

“Demikianlah Ki Sedayu, aku pun akhirnya memanjat atap dan mencoba membenahi sirap yang berada di atas bilik Nyi Sekar Mirah.”

Sampai disini tiba-tiba saja suara Sukra bagaikan tercekat. Beberapa kali dia tampak menelan ludah untuk melonggarkan kerongkongannya serta menarik nafas dalam-dalam beberapa kali.

Ki Rangga yang melihat Sukra menjadi sedikit ragu-ragu untuk meneruskan cerita segera menyahut, “Sukra, apakah pada saat berada di atas atap, engkau telah melihat sesuatu yang aneh di dalam bilikku?”

Dengan suara sedikit tergagap Sukra pun menjawab, “Ya, Ki Sedayu.”

“Apakah yang aneh itu menurutmu?”

Sejenak Sukra ragu-ragu. Namun jawabnya kemudian, “Sekat antara bilik Ki Sedayu dan bilik sebelah yang kosong itu ternyata ada dua.”

Page 11: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

7

Ki Rangga tersenyum sekilas. Bertanya Ki Rangga seterusnya, “Apakah engkau melihat apa yang berada di dalam kedua sekat itu?”

Sukra menganggukkan kepalanya.

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah anak muda yang tertunduk dalam-dalam itu dengan rasa kasihan. Anak muda itu agaknya telah mengalami goncangan batin setelah bertemu dan ditolong oleh Kanjeng Sunan. Kini Sukra yang berada di hadapannya bukanlah Sukra pembantu rumah tangganya beberapa saat yang lalu.

“Sudahlah Sukra,” berkata Ki Rangga kemudian memecahkan kesunyian, “Cerita selanjutnya aku sudah tahu karena Kanjeng Sunan telah menceritakannya kepadaku pada saat aku bertemu beliau di Panaraga.”

Tampak kepala Sukra semakin tunduk. Rasa bersalah yang tiada taranya telah melanda hatinya. Maka katanya kemudian, “Aku mohon maaf Ki Sedayu. Aku telah tergoda untuk melihat isi kotak kayu itu dan kemudian membawa isinya pergi dari rumah tanpa seijin Ki Sedayu.”

“Sukra,” berkata Ki Rangga sambil menegakkan tubuhnya, “Segala peristiwa yang terjadi di muka bumi ini tidak ada satu pun yang terlepas dari pengawasan Yang Maha Agung,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bukankah engkau telah dicegat oleh orang-orang tak dikenal di tepian sungai yang berada tidak jauh dari rumah kita?”

“Ya, Ki Sedayu,” jawab Sukra sambil menganggukkan kepalanya.

“Nah, seandainya kitab itu tidak engkau bawa, mungkin orang-orang itu akan dengan mudah menemukan tempat penyimpanan kitab itu dan kemudian membawanya pergi. Jika itu yang terjadi, aku tidak tahu harus kemana aku akan melacaknya untuk menemukan kitab itu kembali.”

Page 12: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

8

Tampak kening Sukra berkerut merut mendengar keterangan Ki Rangga. Namun Ki Rangga agaknya mampu membaca pikiran Sukra. Maka kata Ki Rangga selanjutnya, “Memang jika engkau akan mempertahankan kitab itu sendiri pasti tidak akan mampu. Itulah sebabnya Yang Maha Agung telah menolongmu melalui kehadiran Kanjeng Sunan sehingga akhirnya kitab itu sekarang sudah kembali kepadaku.”

Kali ini kepala Sukra tampak terangguk-angguk. Memang seluruh kejadian di atas bumi ini tidak akan lepas dari pengawasan Yang Maha Agung yang mengetahui segala mobah mosiking jagad.

“Nah Sukra,” berkata Ki Rangga kemudian, “Apakah masih ada sesuatu yang ingin engkau sampaikan?”

Sekarang tampak wajah Sukra tidak murung lagi. Sambil mengangkat wajahnya, Sukra pun menjawab, “Ki Sedayu, sampaikan permintaan maafku kepada Nyi Sekar Mirah. Aku sudah tidak dapat membantunya lagi. Untuk selanjutnya aku telah diperintah oleh Kanjeng Sunan agar mengikuti dan menuntut ilmu kepada Ki Ajar Mintaraga.”

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika Ki Rangga kemudian berpaling ke arah kanan, tampak Ki Waskita sedang asyik berbincang dengan Ki Ajar Mintaraga. Tampaknya kedua orang yang sudah sepuh itu dengan cepat menjadi akrab.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Ketika Ki Rangga kemudian mendongakkan kepalanya ke langit, tampak langit sedikit disaput mendung. Hanya beberapa bintang yang berkeredipan menghiasi wajah langit. Sedangkan bulan tua belum menampakkan dirinya.

Teringat akan bulan yang mungkin sudah waktunya gelap, tiba-tiba Ki Rangga bangkit berdiri sambil berkata, “Marilah Sukra, kita bergabung dengan orang-orang tua itu. Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.”

Namun Sukra ternyata telah menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Maaf Ki Sedayu, aku lebih baik di sini saja.”

Page 13: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

9

Mendengar jawaban Sukra, langkah Ki Rangga yang sudah terayun itu sejenak tertegun. Namun Ki Rangga segera menyadari bahwa kelihatannya Sukra memang tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam masalah yang sedang mereka hadapi.

“Baiklah Sukra kalau memang engkau lebih senang duduk di sini,” berkata Ki Rangga kemudian sambil melanjutkan langkahnya mendekat ke tempat kedua orang tua itu sedang berbincang-bincang.

“O, marilah Ki Rangga,” sambut Ki Ajar kemudian begitu melihat Ki Rangga berjalan mendekat.

“Terima kasih Ki Ajar,” jawab Ki Rangga kemudian sambil menempatkan diri duduk bersila di atas rerumputan di hadapan kedua orang tua itu.

“Ki Rangga,” berkata Ki Waskita kemudian begitu melihat Ki Rangga telah duduk dengan nyaman, “Kami sedang membicarakan kemungkinan untuk mengadakan penyelidikan ke Perguruan Sapta Dhahana malam ini.”

Tanpa sadar ki Rangga mengalihkan pandangannya kepada Ki Ajar Mintaraga. Betapapun juga keberadaan Ki Ajar di tempat itu adalah atas petunjuk Kanjeng Sunan. Tentu ada pertimbangan khusus dari Kanjeng Sunan yang mungkin telah disampaikan kepada Ki Ajar.

Ki Ajar yang mengerti maksud Ki Rangga segera menyahut, “Ki Rangga, Kanjeng Sunan memang tidak memberikan pesan khusus dalam hal penyelidikan ke Perguruan Sapta Dhahana. Namun ada satu pesan beliau yang perlu dipertimbangkan.”

“Pesan apakah itu, Ki Ajar?” sahut Ki Rangga dengan serta merta.

Ki Ajar tersenyum melihat wajah Ki Rangga yang menjadi sedikit tegang. Maka jawabnya kemudian, “Ki Rangga, Kanjeng Sunan berpesan agar jangan membiarkan gerombolan serigala menjadi semakin besar. Semakin besar gerombolan serigala itu terbentuk, akan semakin sulit untuk menghancurkannya.”

Page 14: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

10

Ki Rangga dan Ki Waskita sejenak saling pandang sambil menarik nafas dalam-dalam. Tampak kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka segera maklum dengan apa yang dimaksud oleh Kanjeng Sunan.

“Malam ini setelah lewat wayah sepi uwong kita berangkat, Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Biarlah Ki Ajar dan Sukra di tempat ini saja sambil menunggu perkembangan.”

“Aku lebih senang jika cantrik Gatra Bumi ikut serta dalam penyelidikan ini,” sahut Ki Ajar cepat sambil tersenyum, “Semoga dia akan menjadi tambahan kekuatan, bukan sebaliknya menjadi tambahan beban bagi Ki Rangga berdua.”

Sekejab Ki Rangga tertegun. Bertanya Ki Rangga kemudian, “Apakah Sukra sudah dipersiapkan untuk melakukan pekerjaan ini, Ki Ajar?”

“Aku berharap demikian, Ki Rangga,” jawab Ki Ajar masih dengan senyum yang menghiasi bibirnya, “Semoga cantrik Gatra Bumi mendapatkan pengalaman baru sebagai bekal masa depannya.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Waskita telah menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sadar Ki Rangga berpaling ke arah Sukra yang tampak duduk merenung beberapa tombak jauhnya dari tempat ketiga orang itu duduk.

“Nah, sekarang,” berkata Ki Ajar kemudian sambil berpaling ke arah Ki Rangga, “Apakah masih ada yang ingin disampaikan, Ki Rangga?”

“Ya, Ki Ajar,” jawab Ki Rangga sambil beringsut setapak, “Sesuai dengan keterangan Ki Jayaraga dan Glagah Putih yang telah melakukan penyelidikan di Perguruan Sapta Dhahana beberapa saat yang lalu, menjelang bulan gelap mereka mempunyai suatu kebiasaan yang aneh, kebiasaan untuk bermain-main dengan api dan tidak menutup kemungkinan mereka juga melakukan persembahan kepada api yang mereka anggap sebagai Dewa.”

Page 15: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

11

Tanpa sadar kedua orang tua itu mendongakkan wajah mereka ke langit. Bulan tua memang belum tampak, atau mungkin saat itu memang sudah saatnya bulan gelap.

Tiba-tiba dada Ki Waskita berdesir tajam. Katanya kemudian sambil beringsut sejengkal ke depan, “Ki Rangga, sepertinya malam ini sudah waktunya bulan gelap. Tentu pada saat ini adalah puncaknya kemampuan pemimpin Perguruan Sapta Dhahana yang senang bermain-main dengan api itu. Apakah tidak sebaiknya kita tunda dulu penyelidikan ini barang sehari atau dua hari?”

Ki Rangga tertegun, tanpa sadar dia berpaling kearah Ki Ajar.

“Aku rasa tidak,” sahut Ki Ajar kemudian, “Menurut perhitunganku nanti menjelang dini hari bulan tua masih akan muncul.”

Sejenak Ki Rangga merenung. Berbagai pertimbangan bergolak di dalam dadanya.

“Kita sudah berjanji dengan Ki Jayaraga untuk mengadakan penyelidikan malam ini,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak terdiam, “Kita hanya akan mendekat dan melihat Perguruan Sapta Dhahana secara keseluruhan sebagai bahan pertimbangan apa yang akan kita lakukan kemudian.”

Hampir bersamaan kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Baiklah ngger,” berkata Ki Waskita kemudian, “Sekarang masih belum waktunya sepi uwong. Kita masih sempat untuk mempersiapkan segala sesuatunya.”

Serentak Ki Ajar dan Ki Rangga pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.

Dalam pada itu, di lereng sebelah utara gunung Tidar, tampak dua orang berkuda dengan sangat hati-hati menuruni lereng yang cukup terjal. Namun agaknya kuda-kuda itu sudah sangat terlatih. Demikian juga kedua orang yang berada di atas punggung kuda-kuda itu juga bukan orang kebanyakan sehingga kedua orang itu

Page 16: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

12

mampu mengendalikan kuda-kuda mereka untuk menuruni lereng tanpa banyak menemui kesulitan.

Dalam pada itu, di lereng sebelah utara gunung Tidar, tampak dua orang berkuda dengan sangat hati-hati menuruni lereng yang cukup terjal.

Page 17: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

13

“Kita mengambil jalan memutar untuk menghindari pantauan para telik sandi Mataram yang tentu telah tersebar sepanjang jalan dari perdikan Matesih sampai ke Mataram,” berkata salah satu penunggang kuda itu yang berusia hampir paro baya.

Orang yang berkuda di sebelahnya tertawa pendek. Katanya kemudian, “Sebenarnya tidak ada seorang pun yang aku takuti di Mataram saat ini. Namun semua ini kita lakukan karena kita memang harus bergerak dengan sangat rahasia agar rencana Raden dapat berjalan dengan sempurna.”

“Bagaimana dengan Ki Rangga Agung Sedayu?” bertanya orang yang dipanggil Raden itu kemudian.

Orang yang berumur sangat sepuh tapi tampak masih sangat sehat dan kuat itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Bukankah aku tadi mengatakan di Mataram saat ini? Ki Rangga sekarang sedang berada di Perdikan Matesih sehingga di Mataram tidak ada orang yang perlu ditakutkan,” orang yang sudah sangat sepuh itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sebenarnya dengan Ki Rangga pun aku tidak takut. Aku sedikit banyak sudah dapat meraba kelemahan ilmu semunya. Namun tetap diperlukan orang lain untuk membantu menemukan tempat samadinya.”

Orang yang dipanggil Raden itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilemparkan pandangan matanya jauh ke kegelapan di hadapannya. Mereka berdua harus mengambil jalan memutar yang cukup jauh demi tetap terjaganya rencana mereka dari penciuman para petugas sandi Mataram.

“Kita berbelok ke kiri saja Raden,” berkata orang yang sudah sangat sepuh tapi masih terlihat sangat sehat dan kuat itu, “Aku rasa kita lebih baik menyeberangi kali Praga dan kemudian menyusuri tepian sebelah barat untuk sekedar menghilangkan jejak.”

Page 18: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

14

Orang yang dipanggil Raden itu tampak mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Eyang Guru, di waktu seperti ini, apakah ada para tukang satang yang mau menyeberangkan kita ke tepian sebelah barat?”

Orang tua yang ternyata Eyang Guru itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Raden, tentu saja kita harus membayar lebih untuk menyeberang diluar waktu yang wajar. Namun jika mereka tetap menolak, aku akan mencekik lehernya dan kemudian melemparkan mayatnya ke Kali Praga. Dengan demikian kita dapat menyeberang dengan menggunakan rakit mereka tanpa ada kewajiban harus membayar.”

Orang yang di panggil Raden itu menarik nafas panjang mendengar kelakar Eyang Guru itu. Namun sesungguhnya lah apa yang dikatakan oleh Eyang Guru itu bukan sekedar kelakar, namun benar-benar dapat terjadi jika Eyang Guru menghendaki.

“Raden Wirasena,” bertanya Eyang Guru kemudian, “Apakah kawan-kawan kita yang berada di Mataram sudah mempersiapkan segala sesuatunya sehubungan dengan rencana kita ini?”

“Sudah Eyang Guru,” jawab orang paro baya itu yang ternyata adalah Raden Wirasena, “Jika perjalanan kita ini lancar, kita akan tiba di Mataram besuk menjelang wayah pasar temawon. Kita masih punya cukup banyak waktu untuk mengatur segala sesuatunya sampai besuk pagi berikutnya.”

“Baiklah, Raden,” sahut Eyang Guru cepat, “Menurut berita telik sandi kita tadi sore, memang besuk pagi rombongan Panembahan Hanyakrawati akan berangkat menuju hutan Krapyak. Namun tidak mungkin mereka akan langsung berburu. Mereka tentu memerlukan waktu barang semalam untuk sekedar beristirahat.”

Raden Wirasena mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Apakah sudah ada berita dari kawan-kawan kita yang berada di istana Kapangeranan?”

Eyang Guru menggeleng. Jawabnya kemudian, “Petugas sandi kita tadi sore tidak menyebutkan berita dari istana Kapangeranan,

Page 19: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

15

namun aku yakin tentu Putra Mahkota Raden Mas Rangsang akan ikut dalam rombongan itu.”

Tampak sebuah senyum menghias wajah Raden Wirasena. Katanya kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Jika memang kesempatan itu ada, apa salahnya jika kita lenyapkan sekalian Putra Mahkota itu, sehingga jalan kita akan menjadi semakin lapang.”

“Raden benar,” jawab Eyang Guru dengan serta merta, “Kita akan mengumpulkan kawan-kawan kita yang tersebar di Mataram. Segala kemungkinan memang harus diperhitungkan agar kita mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan.”

Raden Wirasena tersenyum. Sebuah senyum yang penuh dengan keyakinan bahwa jalan menuju tahta sudah terbentang di depan mata.

“Eyang Guru,” berkata Raden Wirasena kemudian memecah kesepian, “Sebenarnya aku agak ragu-ragu untuk meninggalkan Perguruan Sapta Dhahana. Namun karena berita yang dibawa oleh petugas sandi kita sangat penting, dengan terpaksa kita harus pergi ke Mataram.”

Eyang Guru tertawa pendek. Katanya kemudian, “Raden, di Perguruan Sapta Dhahana ada Begawan Cipta Hening yang aku yakin kesaktiannya pada saat ini sudah jarang ada bandingnya. Kemudian, pemimpin Perguruan Sapta Dhahana itu sendiri Kiai Damar Sasangka yang aku yakin akan mampu menandingi ilmu Ki Rangga. Selebihnya masih ada lagi Ki Brukut, Ki Kebo Mengo, dan Putut Sambernyawa serta adik Raden sendiri, Raden Surengpati.”

Raden Wirasena menarik nafas panjang. Tanpa sadar wajahnya mendongak ke langit. Tampak langit yang sedikit buram tersaput mendung. Sementara hanya beberapa bintang yang tampak berkelip di angkasa. Sedangkan bulan tua sama sekali belum tampak.

“Sudah waktunya bulan tua,” desis Raden Wirasena tanpa sadar.

Page 20: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

16

“Ya Raden,” sahut Eyang Guru, “Di saat inilah puncak kemampuan ilmu Kiai Damar Sasangka, Aji Sapta Dhahana yang nggegirisi itu akan mampu membakar dan meluluh-lantakkan apa saja yang dikehendakinya.”

Kembali Raden Wirasena menarik nafas panjang. Memang di dalam Padepokan Sapta Dhahana telah berkumpul orang-orang pilih tanding. Namun entah mengapa, setiap kali teringat akan Ki Rangga Agung Sedayu agul-agulnya Mataram yang sekarang mungkin sedang mendekati padepokan, hati Raden Wirasena selalu gelisah tidak menentu.

“Siapakah sebenarnya orang-orang tua yang dibawa oleh Ki Rangga itu?” bertanya Raden Wirasena dalam hati, “Selain Ki Rangga sendiri, ada anak muda yang bernama Glagah Putih. Menurut keterangan Adimas Surengpati, kemampuannya cukup ngedab-edabi. Sedangkan menurut telik sandi yang datang sore tadi, Ki Patih Mandaraka masih terlihat berada di Kepatihan sehingga dugaan Adimas Surengpati sebelumnya ternyata salah,” sejenak Raden Wirasena berhenti berangan-angan. Lanjutnya kemudian, “Namun dengan demikian kekuatan orang-orang yang dibawa oleh Ki Rangga itu menjadi sulit untuk diketahui.”

Raden Wirasena menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya. Dihirupnya udara malam yang sejuk untuk memenuhi rongga dadanya yang terasa sedikit sesak.

“Mungkin hanya sebuah kekhawatiran yang tidak beralasan,” berkata Raden Wirasena kembali dalam hati mencoba menghibur hatinya yang sedikit gelisah, “Siapapun yang dibawa oleh Ki Rangga, kemampuan mereka tentu tidak akan melebihi Ki Patih Mandaraka dan Ki Rangga sendiri.”

Berpikir sampai disitu hati Raden Wirasena menjadi sedikit agak tenang. Bagaimana pun juga dia telah meninggalkan adiknya disana, Raden Mas Harya Surengpati.

“Surengpati memang terlalu malas untuk meningkatkan ilmunya,” geram Raden Wirasena dalam hati, “Kesenangannya bermain-main dengan perempuan telah menghambat pematangan

Page 21: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

17

ilmunya. Semoga kekalahannya dari Ki Gede Matesih akan menjadi pelajaran yang berharga baginya.”

Tanpa terasa jalan yang mereka lalui mulai landai. Setelah melewati sebuah padang perdu yang tidak seberapa luas, mereka berdua pun kemudian memacu kuda-kuda mereka di atas jalan setapak yang tampak menjelujur di dalam keremangan malam.

“Hampir wayah sepi uwong,” desis Raden Wirasena sambil mendongakkan wajahnya ke langit.

Eyang guru yang berkuda di sebelahnya agaknya mendengar desis Raden Wirasena. Maka katanya kemudian, “Raden, apakah kita akan mengambil jalan lurus yang menuju padukuhan kecil di depan kita, ataukah kita menyusur jalan setapak ini yang nantinya akan berbelok ke kanan dan melintasi hutan di sebelah barat padukuhan yang cukup lebat?”

Sejenak Raden Wirasena mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Kita mengambil jalan lurus saja melewati padukuhan kecil itu. Aku rasa jika kita berkuda dengan kecepatan wajar tentu para peronda tidak akan mempermasalahkannya.”

“Dan kita dapat membuat seribu satu macam alasan untuk meyakinkan para peronda,” sahut Eyang Guru.

“Atau sekalian mencekik leher mereka agar tidak banyak bertanya,” timpal Raden Wirasena.

“Ah,” Eyang Guru pun tertawa masam.

Demikianlah akhirnya mereka berdua segera melihat sebuah regol padukuhan yang sangat sederhana. Sebuah lampu dlupak tampak tersangkut di salah satu tiang regol itu.

“Tidak ada satu pun penjaga,” gumam Raden Wirasena begitu keduanya memasuki regol yang terbuka lebar.

“Padukuhan ini kelihatannya terlalu miskin,” berkata Eyang Guru menanggapi, “Mungkin para penghuni padukuhan ini merasa aman karena justru mereka tidak memiliki harta benda yang cukup berharga untuk menjadi incaran para pencuri atau perampok.”

Page 22: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

18

Raden Wirasena mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara kuda-kuda mereka telah berderap dengan irama yang tidak terlalu kencang. Bahkan seakan-akan mereka berdua adalah para peronda itu sendiri yang sedang nganglang.

Sebenarnyalah suara derap kaki-kaki kuda itu telah mengejutkan para penghuni padukuhan itu. Salah satunya adalah Ki Dukuh sendiri.

“Semoga bukan sebuah pertanda buruk,” desis Ki Dukuh sambil bangkit dari tidurnya dan kemudian duduk di bibir pembaringan.

Tanpa sadar pandangan matanya tersangkut pada sebilah pedang yang masih tersimpan dengan rapi dalam sarungnya. Pedang itu tergantung di dekat geledek dan sudah bertahun-tahun tidak pernah dijamahnya.

Tiba-tiba terbersit keinginan di dalam hatinya untuk bangkit dan meraih senjatanya itu. Namun niat itu segera diurungkannya begitu mendengar derap kaki-kaki kuda itu terdengar semakin menjauh dan akhirnya menghilang dari pendengarannya.

“Syukurlah,” gumam Ki Dukuh perlahan sambil memandangi istrinya yang tertidur lelap di pembaringan, “Mungkin mereka hanya para perantau yang tersesat jalan. Padukuhan ini letaknya sangat terpencil dan sangat jarang dilewati orang asing.”

Setelah suara derap kaki-kaki kuda itu menghilang dari pendengarannya, Ki Dukuh pun segera membaringkan tubuhnya kembali di sisi istrinya yang tercinta.

Dalam pada itu Raden Wirasena dan Eyang Guru telah mencapai tepian Kali Praga sebelah timur. Dengan mudah mereka menemukan seorang tukang satang yang sedang tidur meringkuk berselimutkan kain panjangnya. Tukang satang itu tidur di atas rakitnya yang ditambatkan dengan kuat pada sebatang pohon di tepian sungai.

Page 23: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

19

Dengan segera kedua orang itu meloncat turun dari kudanya. Sambil menuntun kuda-kuda itu, kedua orang itu pun kemudian menghampiri ke tempat tukang satang itu tidur.

“Ki Sanak, bangunlah!” seru Raden Wirasena sambil berjongkok dan mengguncang-guncang tubuh tukang satang itu. Sementara Eyang Guru di belakangnya memegangi kendali kedua ekor kuda mereka.

Sejenak tukang satang itu menggeliat sambil meluruskan tubuhnya. Setelah menguap lebar-lebar barulah tukang satang itu bangkit dan kemudian duduk di atas rakitnya.

“Ada apa Ki Sanak berdua malam-malam begini datang ke tepian?” bertanya tukang satang itu kemudian sambil menguap sekali lagi dan mengucak-ucak matanya.

“Tolong seberangkan kami,” jawab Raden Wirasena kemudian.

Sejenak tukang satang itu memandang calon penumpangnya ganti berganti. Setelah yakin dengan pengamatannya, barulah tukang satang itu menjawab sambil bangkit dari duduknya, “Marilah. Sebenarnya aku malas menyeberangkan penumpang di malam-malam seperti ini. Namun aku yakin, jika tidak ada suatu kepentingan yang sangat mendesak, kalian berdua tentu tidak akan menyeberang di saat seperti ini.”

“Ki Sanak benar,” sahut Raden Wirasena dengan serta merta sambil menuntun kudanya naik ke atas rakit, “Kami telah mendapat berita musibah. Kerabat kami yang tinggal di lereng sebelah selatan Gunung Sumbing telah meninggal dunia.”

“O,” seru tukang satang itu dengan suara sedikit tertahan, “Aku ikut berbela sungkawa Ki Sanak. Semoga keluarga yang ditinggalkan mendapat kekuatan lahir dan batin serta yang meninggal dunia mendapat tempat yang layak di sisi Yang Maha Agung.”

“Terima kasih,” jawab Raden Wirasena dan Eyang Guru hampir bersamaan.

Page 24: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

20

Demikian lah setelah kedua orang beserta kuda-kuda itu naik ke atas rakit, dengan cekatan tukang satang itu segera melepaskan tali pengikat rakitnya. Sejenak kemudian rakit itu pun telah meluncur di atas air kali Praga yang berwarna keruh kecoklat-coklatan.

Tidak ada sepenginang sirih, rakit itupun kemudian telah merapat di sisi sebelah barat kali Praga.

“Terima kasih Ki Sanak,” berkata Raden Wirasena kemudian sambil merogoh beberapa keping uang yang tersimpan di ikat pinggangnya.

“O, tidak usah Ki Sanak, tidak usah!” berkata tukang satang itu dengan cepat sambil memberi isyarat menolak dengan tangannya, “Kalian tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit sehubungan dengan kerabat Ki Sanak yang meninggal itu.”

Untuk sejenak kedua orang itu saling pandang. Namun ternyata mereka berdua mempunyai pendapat yang sama.

Berkata Eyang Guru kemudian sambil menuntun kudanya turun dari rakit, “Ki Sanak, terimalah upah itu. Karena Ki sanak memang berhak menerimanya. Selain itu Ki sanak juga mempunyai keluarga yang tentu membutuhkan biaya untuk menghidupi mereka.”

“Ah,” tukang satang itu tertawa pendek. Katanya kemudian, “Kami sudah terbiasa hidup miskin. Kemiskinan sudah sedemikian akrabnya dengan kehidupan kami sehari-hari. Jadi, apapun yang terjadi dalam keseharian kami, hanya itu yang dapat kami jalani sambil senantiasa tidak pernah lupa berdoa kepada Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengetahui kebutuhan hambaNYA. Kami mempunyai keyakinan bahwa hidup ini hanyalah mampir ngombe. Kita tidak akan lama hidup di dunia ini, Ki Sanak. Jangan sampai kita justru disibukkan mengurusi yang hanya akan berlangsung sebentar. Sementara kehidupan yang jauh lebih lama dan langgeng justru telah kita abaikan.”

Untuk beberapa saat kedua orang itu justru telah membeku di tempat masing-masing. Mereka benar-benar tidak menyangka jika

Page 25: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

21

di malam-malam seperti itu, di tepian sungai Praga yang jauh dari pemukiman penduduk, mereka berdua telah mendapatkan sebuah kawruh kehidupan yang bermakna sangat dalam namun dalam bingkai kehidupan yang sangat sederhana, sesederhana kehidupan tukang satang itu sendiri.

“Ah, sudahlah,” berkata tukang satang itu kemudian menyadarkan mereka berdua, “Silahkan melanjutkan perjalanan. Semoga perjalanan kalian selamat sampai tujuan.”

Kedua orang itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil saling berpandangan. Ketika Raden Wirasena sekali lagi berusaha menawarkan upah kepada tukang satang itu, sambil tersenyum tukang satang itu tetap menolaknya.

“Terima kasih Ki Sanak,” berkata tukang satang itu sambil mulai menggerakkan rakitnya, “Tolong jangan pengaruhi aku untuk membatalkan niatku berbuat baik bagi sesama. Kesempatan berbuat baik kepada sesama itu sebenarnya terbuka setiap saat, namun justru kita lah yang kadang mengabaikannya atau bahkan kemudian mengotorinya dengan niat yang menyimpang.”

Kata-kata terakhir tukang satang yang semakin menjauh ke tengah aliran Kali Praga itu telah mengetuk hati kedua orang itu. Untuk sejenak mereka berdua kembali berdiri termangu-mangu tanpa mengetahui harus berbuat apa.

“Persetan dengan tukang satang itu!” tiba-tiba terdengar Eyang Guru menggeram, “Untung dia sudah kembali ke timur. Jika masih disini, tentu mulutnya sudah aku robek-robek!”

Raden Wirasena hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah mengapa, kata-kata terakhir dari tukang satang itu telah menghunjam ke dalam jantungnya dan meninggalkan bekas yang tak mungkin terhapuskan.

“Tukang satang yang aneh,” desis Raden Wirasena kemudian sambil meloncat ke atas punggung kudanya, “Marilah Eyang Guru. Semakin cepat kita tiba di Mataram, akan semakin cepat kita menyusun rencana kita.”

Page 26: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

22

Namun nada suara Raden Wirasena terdengar agak meragu.

Eyang Guru yang juga telah meloncat ke atas punggung kudanya agaknya dapat meraba isi hati Raden Wirasena. Maka katanya kemudian sambil menggerakkan kendali kudanya, “Raden, aku harap Raden jangan sampai terpengaruh dengan kata-kata tukang satang gila itu. Memang orang-orang yang tidak mampu memperjuangkan masa depan dan cita-citanya kadang-kadang melampiaskan ketidak-berdayaan dan kegagalan mereka dalam bentuk yang lain. Mereka akan banyak berbicara tentang kawruh batin yang menuntun manusia menuju ke alam kelanggengan. Namun sebenarnyalah mereka itu telah mengalami kegagalan dalam mengejar cita-cita di dunia ini.”

Raden Wirasena yang mendengar kata-kata Eyang Guru itu tidak menanggapi. Namun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam telah terjadi pergolakan batin yang dahsyat.

Dalam pada itu, tukang satang yang telah kembali menepi di sisi timur, sejenak masih berdiri di atas rakitnya. Dipandanginya kedua orang yang tampak samar-samar dalam kegelapan malam di tepian sebelah barat. Ketika kedua orang itu kemudian bergerak meninggalkan tepian, tampak tukang satang itu menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Semoga hati kedua orang itu terketuk,” gumam tukang satang itu seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Namun jika Yang Maha Kuasa sudah berkehendak, tidak ada satu pun makhluk di dunia ini yang akan mampu menghalangiNYA.”

Sejenak kemudian tukang satang itu segera melangkahkan kakinya meninggalkan tepian setelah terlebih dahulu menambatkan rakitnya pada sebatang pohon yang tumbuh di pinggir sungai.

Namun ternyata tukang satang itu tidak terlalu jauh meninggalkan tepian. Beberapa tombak dari tepian, dia segera berbelok ke kiri dan berjalan mendekati sebuah gubuk reyot yang terletak tidak seberapa jauh dari tepian.

Page 27: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

23

Setelah berada di depan pintu gubuk yang terbuat dari anyaman bambu itu, tukang satang itu pun kemudian mengguncang-guncang pintu gubuk sambil berkata sedikit keras, “Ki Sanak! Ki Sanak! Bangunlah! Aku sudah selesai! Rakitmu aku kembalikan!”

Terdengar suara orang terbatuk-batuk dari dalam gubuk reyot itu. Sejenak kemudian pintu pun terbuka dan seorang yang rambutnya sudah putih semua muncul. Dengan dahi yang berkerut-merut, orang itu pun kemudian melangkah keluar.

“Ini uang sewa rakitmu,” berkata tukang satang itu kemudian sambil mengulurkan tangannya begitu orang itu sudah berdiri di hadapannya.

Sejenak orang berambut putih tertegun. Namun tanpa memperhatikan tangan tukang satang yang menggenggam kepingan uang itu, kepingan uang itu pun kemudian segera berpindah tangan.

Berkata orang berambut putih itu kemudian sambil tersenyum, “Terima kasih Ki Sanak. Apakah Ki sanak sudah mendapat wangsit?”

Tukang satang itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Ya, setelah tidur sejenak di rakitmu, aku telah mendapat wisik gaib.”

“He?!” Wajah orang berambut putih itu menegang sejenak. Tanyanya kemudian, “Apakah isi wisik gaib itu Ki Sanak?”

Tukang satang itu tersenyum. Jawabnya kemudian sambil tetap tersenyum, “Aku harus segera meninggalkan tepian ini dan selanjutnya diperintahkan untuk mencari wangsit di Kota Mataram.”

“Di Kota Mataram?” ulang orang berambut putih itu.

“Ya, di Kota Mataram,” jawab tukang satang itu, “Apakah ada yang aneh jika aku mencari wangsit di Kota Mataram?”

Orang berambut putih itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Tidak ada yang aneh dengan Kota Mataram. Namun yang aneh

Page 28: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

24

adalah Ki Sanak sendiri. Apakah Ki Sanak bermaksud ingin menjadi Raja sehingga harus pergi ke Mataram?”

“Ah,” tukang satang itu tertawa pendek sambil melangkah meninggalkan tempat itu, “Jika aku berhasil menjadi Raja, atas jasamu meminjamkan rakit kepadaku, engkau akan aku angkat menjadi Patih.”

“He? Patih? Aku menjadi Patih?!” seru orang berambut putih itu terlonjak kaget. Namun orang yang mengaku sebagai tukang satang itu telah melangkah semakin jauh.

“Orang aneh,” desis orang berambut putih itu sambil menimang-nimang beberapa kepingan uang yang berada di dalam genggaman tangannya.

Ketika dia kemudian membuka genggaman tangannya dan melihat ke arah telapak tangannya dengan seksama, alangkah terkejutnya orang itu. Kepingan uang itu tampak bersinar kekuning-kuningan dibawah cahaya lemah bintang-bintang di langit.

“He?!” teriak orang berambut putih itu dengan suara gemetar menahan gejolak di dalam dadanya.

Bagaikan melihat seekor hantu di siang bolong, dengan pandangan nanar orang itupun segera mendekatkan kepingan uang yang berada di telapak tangannya ke arah wajahnya.

“Emas?! Uang emas..?!” desis orang itu dengan suara gemetar.

“Mbokneee. Kita kaya Mbokneee..!” teriak orang berambut putih itu sambil berlari menyerbu ke dalam gubuk dengan langkah terhuyung-huyung bagaikan orang yang sedang mabuk tuak.

***

Dalam pada itu malam telah menghunjam ke pusatnya. Ki Waskita bersama Ki Rangga tampak sedang berjalan menerobos hutan yang cukup lebat dari arah timur Padepokan Sapta Dhahana.

Page 29: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

25

Hutan itu memang masih cukup lebat dan kelihatannya belum pernah terjamah oleh tangan manusia. Sesekali terdengar lolongan serigala bersahut-sahutan jauh di dalam hutan serta sesekali auman si raja hutan yang cukup menggetarkan dada siapapun yang mendengarnya.

“Ngger,” terdengar suara Ki Waskita memecah kesunyian, “Sepertinya Ki Ajar sangat kecewa ketika Sukra menolak untuk mengikuti perjalanan kita ini.”

Ki Rangga menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kemudian, “Memang Sukra berhak untuk menentukan arah perjalanan hidupnya sendiri. Dia telah memilih yang terbaik menurut kata hatinya, dan jika itu telah menjadi keputusannya, tidak seorang pun yang berhak mencampurinya.”

Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba Ki Waskita berkata dengan nada suara yang sedikit cemas, “Ngger, aku mengkhawatirkan perkembangan jiwa Sukra. Aku takut perkembangan jiwa anak muda itu nantinya akan menjadi seperti anakku, Rudita.”

Ki Rangga yang berjalan di sebelah Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Berkata Ki Rangga kemudian, “Ada sedikit perbedaan, Ki Waskita. Rudita sama sekali tidak menyukai dan selalu berusaha menghindari kekerasan. Bahkan dia akan membiarkan seseorang itu menganiaya dirinya kalau memang orang itu menghendaki. Aku jadi teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu sewaktu Ajar Tal Pitu mencari aku di Menoreh. Rudita telah menjadi sasaran kemarahan Ajar Tal Pitu. Untung anak itu tidak dibunuhnya,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun perkembangan jiwa Sukra agak berbeda. Sepertinya dia hanya menghindari perselisihan sejauh mungkin itu dapat dihindarkan. Jika memang tindak kekerasan atau kejahatan itu berada di depan matanya, apalagi menyangkut keselamatan dirinya, maka dia merasa wajib untuk membela diri. Itu yang disampaikannya kepadaku sewaktu dia menolak untuk aku ajak berangkat.”

Page 30: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

26

Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas teringat akan anak semata wayangnya dari istri pertamanya. Rudita benar-benar menjauhi dunia kekerasan walaupun itu menyangkut keselamatan diri pribadinya.

“Namun bagaimana pun juga, Rudita masih memikirkan keselamatan dirinya,” berkata Ki Waskita dalam hati sambil mengenang anak laki-laki satu-satunya itu, “Dia telah mempelajari dan membekali dirinya dengan ilmu kebal, walaupun tanpa tuntunan dari seorang guru. Aku sama sekali tidak menyangka jika dia telah berani mengambil kitab itu tanpa seijinku dan kemudian mempelajarinya sendiri.”

Tanpa terasa perjalanan mereka berdua telah semakin mendekati Padepokan Sapta Dhahana. Hutan sudah mulai menipis dan terlihat sudah sering dijamah oleh tangan manusia.

“Hutan ini tentu menjadi salah satu penyokong kehidupan di Padepokan Sapta Dhahana,” desis Ki Rangga tanpa sesadarnya.

“Ya, ngger,” jawab Ki Waskita sambil mengamat-amati bekas beberapa pokok pohon yang terlihat baru ditebang beberapa saat yang lalu. “Padepokan itu tentu memerlukan bahan bangunan untuk menggantikan beberapa bagian dari bangunan padepokan yang mungkin sudah mulai rusak dimakan waktu. Selebihnya beberapa hasil hutan ini pun dapat diambil manfaatnya.”

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkata Ki Rangga selanjutnya, “Mungkin sesekali mereka juga mencari binatang buruan yang masih banyak terdapat di hutan ini.”

“Ya, ngger. Aku yakin itu,” sahut Ki Waskita kemudian, “Berburu juga dapat dijadikan sarana untuk melatih ketangkasan membidik yang salah satunya adalah menggunakan anak panah.”

“Apakah ada kemungkinannya para murid padepokan itu melatih ketrampilan membidik mereka dengan cara berburu?”

“Sangat mungkin, ngger. Selain melatih ketrampilan, berburu juga dapat mendatangkan kesenangan dan keasyikan tersendiri. Para keluarga kerajaan, terutama Sinuhun Prabu Hanyakrawati

Page 31: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

27

mempunyai kebiasaan untuk sesekali berburu di sela-sela kesibukannya.”

Tiba-tiba dada Ki Rangga berdesir tajam mendengar Ki Waskita menyebut Sinuhun Prabu Hanyakrawati. Entah mengapa, panggraita Ki Rangga yang sangat tajam telah tersentuh dan membuat jantungnya berdebar-debar tanpa mengetahui sebab musababnya.

“Memang sudah menjadi kebiasaan para Bangsawan terutama keluarga Kerajaan untuk berburu,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Tidak ada yang aneh jika Sinuhun Prabu Panembahan Hanyakrawati mempunyai kesenangan berburu untuk sejenak menghilangkan kepenatan dan kejenuhan dalam kesibukan sehari-hari. Mengapa aku harus mengkhawatirkan.”

Namun betapapun juga, kegelisahannya itu pun kemudian disampaikan juga kepada Ki Waskita.

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian sambil tetap melangkah menyusuri hutan yang terlihat semakin menipis, “Entah mengapa, ketika Ki Waskita menyebut nama Sinuhun Prabu Hanyakrawati tadi, jantungku rasa-rasanya telah berdetak semakin kencang. Panggraitaku telah mengisyaratkan sesuatu yang aku sendiri belum mampu untuk menguraikannya.”

Ki Waskita tertegun sejenak. Tanpa sadar dia telah menghentikan langkahnya. Katanya kemudian, “Ngger, aku memang sudah menduga. Agaknya angger juga berbakat untuk menerima karunia itu, walaupun yang kita terima hanyalah berupa sebuah isyarat. Semua masih harus diuraikan oleh penalaran kita. Justru disitulah letak kuasa Yang Maha Agung. Manusia memang telah diberi isyarat akan kejadian di masa mendatang. Namun kedangkalan penalarannya serta keburaman hatinya sendiri lah yang telah membuat manusia itu gagal menguraikan isyarat itu.”

Ki Rangga yang telah ikut menghentikan langkahnya itu sejenak termenung. Jauh di dasar hatinya yang paling dalam, Ki Rangga sendiri sebenarnya tidak menginginkan akan karunia kemampuan itu. Ada sebuah rasa takut yang membelenggu

Page 32: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

28

hatinya jika dia kemudian mempunyai kelebihan itu, kelebihan yang disatu sisi dapat untuk menolong sesama dalam hidup bebrayan, namun disisi lainnya akan dapat menjerumuskan dirinya dalam kesesatan. Karena sesungguhnya hanya Yang Maha Sempurna yang berhak mengetahui dan menentukan masa yang telah silam, masa sekarang dan masa yang akan datang.

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Aku belum berani mengatakan jika aku telah dikaruniai kemampuan ini. Sesungguhnya isyarat itu lebih sering datang dengan tiba-tiba tanpa aku kehendaki.”

“Memang demikian ngger pada awalnya,” sahut Ki Waskita cepat, “Dulu di masa mudaku, aku juga mengalami hal seperti itu. Karunia itu harus diasah dan kemudian dilatih dengan tujuan untuk menolong sesama dalam kehidupan bebrayan ini.”

Wajah Ki Rangga masih menampakkan keragu-raguan dan agaknya itu telah dibaca oleh ayah Rudita itu. Maka berkata Ki Waskita selanjutnya, “Namun semua itu tergantung pada diri angger pribadi. Jika memang angger tidak ingin memperdalam ilmu itu, angger dapat mengabaikannya sehingga apapun isyarat yang datang tidak akan membebani dan menggelisahkan hati angger lagi.”

Kembali Ki Rangga termenung. Memang kadang Ki Rangga mencoba mengabaikan isyarat yang datang itu. Namun jika kemudian isyarat yang diterima itu menjadi kenyataan, ada rasa bersalah dan penyesalan dalam hatinya.

“Mungkin aku memerlukan bimbingan dari seseorang yang mengerti permasalahanku ini. Mungkin suatu saat aku harus ke Gunung Muria untuk menghadap Kanjeng Sunan dan memohon petunjuknya sehubungan dengan permasalahan yang menggelisahkanku ini,” berkata Ki Rangga dalam hati kemudian.

“Ah, sudahlah ngger,” berkata Ki Waskita kemudian begitu melihat Ki Rangga tampak termenung, “Permasalahanmu itu aku yakin akan mendapat pemecahannya seiring dengan berlalunya waktu. Lebih baik kita segera memasuki padepokan untuk melihat dan menjajagi kekuatan mereka.”

Page 33: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

29

“Marilah Ki,” berkata Ki Rangga kemudian, “Kita sudah cukup dekat dengan Padepokan Sapta Dhahana.”

Page 34: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

30

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil melemparkan pandangan matanya ke kegelapan yang menyelimuti keadaan di sekelilingnya. Dengan Aji Sapta Pandulu, Ki Rangga sudah dapat melihat dinding padepokan yang tinggi beberapa puluh tombak di hadapan mereka.

“Marilah Ki,” berkata Ki Rangga kemudian, “Kita sudah cukup dekat dengan Padepokan Sapta Dhahana.”

Sejenak kemudian kedua orang itu segera meneruskan perjalanan mereka menembus hutan yang mulai menipis. Di beberapa tempat tampak samar-samar jalur-jalur jalan setapak yang menjelujur di sela-sela pepohonan yang tumbuh semakin jarang.

“Dimanakah Ki Jayaraga dan kawan-kawannya sekarang ini?” bertanya Ki Waskita sambil berhenti di bawah sebatang pohon ketika mereka telah tinggal beberapa langkah saja dari dinding padepokan.

“Mungkin mereka juga sedang mendekati dinding padepokan ini dari arah sebelah barat,” jawab Ki Rangga sambil mengamat-amati dinding batu Padepokan Sapta Dhahana yang cukup tinggi.

“Aku akan mencoba meloncatinya,” berkata Ki Waskita kemudian sambil melangkah mendekat.

Namun tiba-tiba panggraita Ki Waskita dan Ki Rangga telah menangkap sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi di sekitarnya.

“Aneh,” desis Ki Waskita perlahan, “Udara malam ini terasa semakin dingin menusuk tulang. Rasa-rasanya aku telah diserang oleh kantuk yang tak tertahankan.”

“Ki Waskita benar,” Ki Rangga yang berada di sebelahnya menanggapi, “Menurut panggraitaku, seseorang sedang menebar sirep di tempat ini, entah dengan tujuan apa. Namun sirep ini sepertinya sejenis dengan sirep yang telah dilontarkan oleh seseorang di banjar padukuhan Klangon kemarin malam.”

Ki Waskita masih mencoba meyakinkan temuan Ki Rangga itu. Dengan memusatkan nalar dan budinya sekejap saja, Ki Waskita

Page 35: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

31

pun segera mengetahui bahwa apa yang disampaikan oleh Ki Rangga itu benar adanya.

“Gila!” geram Ki Waskita tanpa sadar, “Apa maksud semua ini? Dengan adanya tebaran sirep ini, kedatangan kita dengan mudah akan diketahui. Orang-orang yang mumpuni di padepokan ini yang terlepas dari pengaruh sirep akan menjadi curiga dan semakin waspada.”

“Nah, apakah Ki Waskita tetap memutuskan untuk meloncati dinding?” bertanya Ki Rangga kemudian.

Sepertinya Ki Waskita masih belum yakin dengan apa yang akan diperbuatnya. Maka katanya kemudian, “Ngger, apakah tidak sebaiknya kita berjalan saja memutari dinding ini untuk menemui Ki Jayaraga dan kawan-kawan?”

Sejenak Ki Rangga termenung. Usaha mereka untuk mengadakan penyelidikan di Perguruan Sapta Dhahana ternyata menemui permasalahan yang cukup pelik.

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Aku mempunyai panggraita bahwa orang yang sedang menebarkan sirep ini sesungguhnya telah membantu kita.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Ngger, disisi lain sirep ini memang dapat membantu penyelidikan kita. Namun orang-orang yang mempunyai kelebihan tidak akan dengan mudah tersentuh oleh pengaruh sirep ini. Justru aku yakin sekarang ini mereka sedang bersiap-siap menyambut kedatangan kita.”

“Itulah yang aku maksudkan, Ki Waskita,” sahut Ki Rangga dengan serta merta, “Mungkin sekarang ini waktu yang tepat untuk menghancurkan kekuatan orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu, sebagaimana pesan Kanjeng Sunan. Sebelum gerombolan serigala itu menyusun kekuatan yang lebih besar lagi, kita sudah harus mampu menghancurkannya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan, “Angger benar. Ki Patih

Page 36: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

32

Mandaraka juga telah berpesan demikian kepada kita sebelum kita berangkat. Kita harus dapat menghancurkan mereka tanpa melibatkan Mataram, dan itu hanya dapat kita lakukan sebelum gerombolan mereka menjadi semakin besar,” Ki Waskita berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah, kita belum mengetahui kekuatan mereka secara pasti. Dengan hanya berbekal kekuatan lima orang, apakah angger yakin dapat mengatasi kekuatan Trah Sekar Seda Lepen?”

Sekarang giliran Ki Rangga yang mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Ki Waskita. Untuk itulah sebaiknya kita segera mengadakan penyelidikan ke dalam padepokan. Jika kekuatan mereka ternyata memang tidak teratasi, kita segera dapat mengambil keputusan untuk menghindar.”

“Baiklah ngger. Aku setuju,” berkata Ki Waskita kemudian.

Demikianlah akhirnya, kedua orang itupun kemudian memutuskan untuk segera memasuki padepokan.

Sambil melangkah mendekati dinding, Ki Rangga pun kemudian berkata, “Marilah Ki Waskita. Aku yakin Ki Jayaraga dan kawan-kawan sekarang ini juga sedang berusaha untuk memasuki padepokan melalui dinding sebelah barat.”

“Marilah, ngger,” jawab Ki Waskita kemudian sambil mengikuti langkah Ki Rangga, “Aku akan meloncatinya terlebih dahulu. Dinding padepokan ini sangat tinggi. Tidak mungkin bagiku untuk melampauinya dengan sekali loncatan. Tolong amati keadaan di sekitar tempat ini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Demikanlah, setelah mengambil jarak yang cukup, Ki Waskita pun mulai mengerahkan tenaga cadangannya yang bertumpu pada kedua kakinya untuk melontarkan tubuhnya meloncati dinding padepokan yang sangat tinggi itu.

Dengan mengerahkan tenaga cadangannya, orang yang semasa mudanya bernama Jaka Raras itu telah meloncat bagaikan tatit yang meloncat di udara. Ketika tubuhnya sudah berada di

Page 37: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

33

udara dan dorongan kekuatan lontarannya sudah habis, tangan kanannya terayun ke atas menggapai dinding bagian atas. Begitu tangannya menyentuh dinding bagian atas itu, dengan menggunakan pancadan tangan kanannya yang telah menggapai dinding, tubuhnya terlontar kembali ke atas dan kemudian dengan cepat menelungkup di atas dinding.

Ki Rangga tersenyum melihat cara Ki Waskita meloncati dinding. Bagi Ki Rangga yang telah menguasai ilmu untuk mengurangi bobot tubuhnya, meloncati dinding setinggi itu bukan menjadi suatu masalah.

“Aneh,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Agaknya Ki Waskita semasa mudanya tidak begitu mendalami berjenis-jenis ilmu yang berada di dalam kitab itu. Sebagaimana yang pernah dikatakannya, Ki Waskita sudah merasa puas dengan ilmu bayangan semunya.”

Ketika Ki Rangga kemudian mendengar isyarat dari Ki Waskita yang masih menelungkup di atas dinding, Ki Rangga pun segera mengetrapkan ilmu yang dapat mengurangi bobot tubuhnya. Sejenak kemudian tubuh Ki Rangga pun telah melenting tinggi dan kemudian hinggap di atas dinding dengan kedua kakinya.

Ki Waskita yang melihat cara Ki Rangga meloncati dinding telah tersenyum. Berkata Ki Waskita dalam hati kemudian, “Semasa mudaku memang aku tidak sempat mempelajari ilmu itu. Aku sudah merasa puas dengan ilmu bayangan semu yang aku anggap pada saat itu sudah tiada bandingnya.”

“Sebaiknya kita segera turun, ngger,” bisik Ki Waskita kemudian.

Belum sempat Ki Waskita menutup bibirnya rapat-rapat, tubuh Ki Rangga tanpa mengeluarkan bunyi sedikitpun telah meluncur turun dan menghilang dalam semak-semak.

Dengan segera Ki Waskita pun menyusul Ki Rangga meloncat turun.

Page 38: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

34

Dalam pada itu di sebelah barat Padepokan Sapta Dhahana, Ki Jayaraga dan kawan-kawannya ternyata mengalami hal yang sama. Mereka merasakan pengaruh sirep yang sangat tajam sedang menebar di sekitar tempat itu.

“Agaknya ada seseorang yang sedang menebar sirep” berkata Ki Bango Lamatan kemudian kepada Ki Jayaraga.

“Aku juga berpikir demikian,” sahut Ki Jayaraga sambil menahan pundak Glagah Putih yang sudah mendahului melangkah ke depan.

“Tunggu sebentar Glagah Putih. Jangan tergesa-gesa memasuki padepokan. Sirep ini tentu telah menjadi peringatan bagi orang-orang Sapta Dhahana sehingga kedatangan kita akan terpantau dan mungkin justru telah ditunggu-tunggu.”

Glagah putih yang sudah melangkah hampir mencapai dinding itu segera menghentikan langkahnya begitu mendengar penjelasan gurunya.

“Jadi, kita harus bagaimana?” bertanya Glagah Putih kemudian sambil berpaling ke arah gurunya.

“Entahlah,” jawab Ki Jayaraga sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam, “Sepertinya ada seseorang yang ikut campur dengan rencana kita ini.”

Untuk sejenak ketiga orang itu hanya dapat berdiri termangu-mangu. Berbagai pertimbangan sedang bergolak di dalam benak mereka.

“Apakah tidak sebaiknya kita tetap memasuki padepokan dan mengadakan penyelidikan?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian sambil melangkah mendekat, “Di satu sisi kita diuntungkan dengan adanya sirep ini. Kita dengan mudah dapat menerobos penjagaan para cantrik. Namun para pemimpinnya tentu tidak terpengaruh dengan sirep ini. Mereka tentu telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Demikian juga dengan kita. Sejak awal kita memang sudah siap menghadapi

Page 39: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

35

segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling pahit sekalipun.”

Hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Baiklah, aku setuju dengan Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Kita tidak usah meloncati dinding padepokan. Dinding ini terlalu tinggi. Lebih baik kita lewat regol padepokan.”

Namun sebelum mereka melangkah menyusuri dinding menuju ke regol depan, tiba-tiba saja mereka merasakan udara di sekitar tempat itu mendadak menjadi sangat dingin menggigit tulang. Perubahan itu begitu tiba-tiba sehingga telah mengejutkan ketiga orang itu. Agaknya pengaruh sirep itu telah meningkat sedemikian tajamnya sehingga telah mengubah udara menjadi sangat dingin menggigit tulang.

“He! Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?” bertanya Glagah Putih sambil mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencegah rasa kantuk yang luar biasa yang tiba-tiba saja telah menyergapnya.

Kedua orang tua yang berdiri di sebelahnya juga ikut terkejut. Namun kedua orang tua yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu segera dapat menarik sebuah kesimpulan. Agaknya orang yang menebar sirep itu telah meningkatkan serangan sirepnya. Udara menjadi semakin dingin dan rasa kantuk pun menjadi tidak tertahankan lagi.

“Sirep Megananda!” hampir berbareng kedua orang tua itu berdesis cukup keras.

“Sirep Megananda?’ ulang Glagah Putih dengan wajah terheran-heran, “Dari mana guru tahu?”

Ki Jayaraga tersenyum. Sambil berpaling ke arah Ki Bango Lamatan, Ki Jayaraga pun menjawab, “Bertanyalah kepada Ki Bango Lamatan. Tentu dia lebih mengetahuinya dari pada aku.”

Page 40: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

36

“Ah,” desah Ki Bango Lamatan, “Aku mengetahui nama sirep ini hanya dari cerita pewayangan. Bukankah pasukan Sri Rama pernah mengalami hal ini? Ketika mereka sedang bermalam di Gunung Suwelagiri, perbatasan Kerajaan Ngalengka Diraja, pasukan Sri Rama telah diserang seseorang dengan menggunakan aji sirep Megananda.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Memang berbagai aji kesaktian jaya kawijayaan banyak yang berasal dari cerita babat dalam pewayangan.

“Bertahanlah Glagah Putih,” berkata gurunya kemudian, “Beruntunglah kita mengalami peningkatan tajamnya sirep ini pada saat kita sedang terjaga. Jika tidak, mungkin kita pun juga tidak akan mampu untuk bertahan.”

Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan lambaran tenaga cadangannya, Glagah Putih pun akhirnya mampu mengatasi serangan sirep itu.

“Siapakah yang telah menebar sirep ini? Tentu dia seorang yang sangat sakti.” tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Glagah Putih.

Gurunya tersenyum mendengar pertanyaan muridnya. Jawabnya kemudian, “Engkau benar Glagah Putih. Tentu seorang yang sakti telah menebar sirep Megananda ini. Namun yang perlu diwaspadai, apakah tujuan orang itu menebar sirep ini? Dan siapakah yang menjadi sasarannya?”

“Guru, apakah ada kemungkinan kitalah yang menjadi sasarannya?” bertanya Glagah Putih kemudian.

“Ah, tentu tidak,” jawab Ki Bango Lamatan dengan serta merta, “Sirep Megananda diperuntukkan pada sekumpulan orang yang banyak jumlahnya, sebuah pasukan yang besar misalnya. Dengan demikian musuh akan dengan sangat mudah menghancurkannya di saat pasukan itu terlelap tidur, tanpa bersusah payah harus bertempur terlebih dahulu.”

Page 41: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

37

Tiba-tiba Ki Jayaraga teringat dengan orang aneh yang telah membawa mereka ke tepian Kali Praga kemarin.

“Mungkin orang aneh itu kembali ingin menolong kita,” desis Ki Jayaraga tanpa sadar.

“Siapa Guru?” bertanya Glagah Putih begitu mendengar gurunya berdesis.

“Orang yang mengajak bermain kejar-kejaran kemarin malam,” jawab Ki Jayaraga, “Namun aku hanya menduga-duga saja. Seandainya memang benar orang itu yang kembali membantu kita, alangkah dahsyatnya kemampuannya. Sudah sangat jarang ditemui pada saat sekarang ini orang yang mempunyai kemampuan seperti itu.”

Glagah Putih tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan Ki Bango Lamatan yang ikut mendengar keterangan Ki Jayaraga juga telah ikut mengangguk-angguk.

“Sudahlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah beberapa saat mereka merenungi sirep Megananda yang dahsyat itu, “Kita akan memasuki regol. Dengan adanya sirep Megananda ini, aku yakin hanya orang-orang tertentu di dalam Padepokan Sapta Dhahana yang masih mampu bertahan.”

Demikianlah ketiga orang itu pun kemudian segera menyusuri dinding menuju ke regol depan.

Dalam pada itu di ruang tengah rumah induk Padepokan Sapta Dhahana, tampak beberapa orang sedang berkumpul.

“Gila!” geram Kiai Damar Sasangka sambil mengepalkan tangan kanannya, “Sirep ini semakin tajam. Orang yang menebar sirep ini harus dihentikan. Jika tidak, satu persatu orang kita akan jatuh pingsan.”

Tiba-tiba terdengar seseorang tertawa. Ketika mereka yang hadir di ruangan itu berpaling, ternyata Begawan Cipta Hening yang tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Berkata Begawan Cipta Hening kemudian, “Mengapa mesti takut dengan permainan kanak-kanak semacam ini? Biarlah aku

Page 42: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

38

bungkam orang yang menebar sirep ini. Menurut panggraitaku, sumber sirep ini berada tidak jauh di sebelah barat padepokan.”

Selesai berkata demikian, tanpa menunggu tanggapan orang-orang yang berada di dalam ruangan itu, Begawan Cipta Hening segera bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu butulan samping yang menuju ke arah barat padepokan.

Sepeninggal Begawan Cipta Hening, Kiai Damar Sasangka segera berkata, “Apakah masih ada di antara kita yang dapat bertahan melawan sirep ini?”

Putut Sambernyawa yang duduk di hadapan gurunya segera menyahut, “Guru, Ki Kebo Mengo dan Ki Brukut tadi aku lihat sedang mengamati keadaan di belakang padepokan.”

“Panggil mereka!” berkata pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu kemudian, “Kita perlu menghitung kekuatan. Kita belum tahu kekuatan lawan yang akan memasuki padepokan ini.”

“Baik, Guru,” jawab Putut Sambernyawa sambil bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu belakang.

“Nah, Raden,” berkata Kiai Damar Sasangka kemudian, “Kita dapat mulai menghitung kekuatan kita,” pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sayang Raden Wirasena dan Eyang Guru telah meninggalkan padepokan. Namun tidak masalah, mereka pergi ke Mataram untuk suatu tugas yang sangat penting. Jika mereka berdua berhasil, langkah Raden Wirasena menduduki tahta akan semakin terbuka lebar.”

Orang yang hadir di ruangan itu tinggal Raden Mas Harya Surengpati. Tampak kepalanya terangguk-angguk mendengar penjelasan pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu.

Dalam pada itu malam telah semakin dalam. Hawa dingin yang menusuk tulang rasa-rasa bagaikan tak tertahankan. Namun ternyata masih ada beberapa orang yang mampu menghadapi keadaan yang semakin lama semakin mencengkam itu.

Dalam pada itu, di istana Kapangeranan, Rara Anjani sedang gelisah di dalam biliknya. Beberapa kali dicobanya untuk

Page 43: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

39

memejamkan mata. Namun entah mengapa bayangan kenangan masa lalu itu selalu saja hilir mudik di dalam rongga matanya sehingga membuatnya sulit untuk memejamkan mata.

“Aku akan ke pakiwan sebentar,” desis Rara Anjani kemudian sambil turun dari pembaringan.

Dengan langkah ringan perempuan muda yang berparas cantik itu menuju ke pintu bilik. Setelah membuka selaraknya, Rara Anjani pun kemudian melangkah keluar.

Entah dorongan apa yang membuat perempuan muda itu ingin ke pakiwan yang berada di dekat taman, bukan pakiwan dalam yang biasa digunakan oleh keluarga istana Kapangeranan.

“Pakiwan itu berada di dekat taman dalam,” berkata Rara Anjani dalam hati sambil berjalan melintasi teritisan.

Namun tiba-tiba pendengaran Rara Anjani yang tajam dan terlatih itu telah mendengar suara seseorang sedang bercakap-cakap.

“Siapakah malam-malam begini masih belum tidur?’ bertanya Rara Anjani dalam hati, “Tidak mungkin para prajurit jaga sampai masuk ke dalam istana Kapangeranan. Mereka hanya berjaga di seputar bangunan induk.”

Rasa penasaran Rara Anjani ternyata telah membawa langkahnya menuju ke pojok taman.

Namun langkah Rara Anjani segera terhenti begitu telinganya mendengar nama Sinuhun Prabu Hanyakrawati disebut.

“Apakah tempat tetirah Sinuhun telah ditetapkan?” terdengar suara lirih seorang perempuan.

“Ya,” terdengar jawaban yang juga lirih dari seorang laki-laki, “Sebenarnya Sinuhun lebih memilih hutan Prawata, namun kawan-kawan kita yang berada di Istana Raja telah berhasil meyakinkan Sinuhun bahwa di hutan Prawata sudah sangat jarang binatang buruannya.”

Page 44: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

40

“Itu karena terlalu seringnya para kerabat Istana berburu di hutan itu,” sahut suara perempuan, “Tapi bagaimana dengan hutan Krapyak sendiri?”

“Hutan Krapyak masih merupakan hutan yang liar walaupun di beberapa tempat telah di bangun jalur-jalur jalan untuk memasuki hutan itu,” jawab laki-laki itu. Kemudian terdengar dia melanjutkan, “Tadi pagi telah didirikan pesanggrahan sementara untuk kepentingan tetirah Sinuwun.”

Sejenak suasana menjadi sunyi. Rara Anjani yang bersembunyi di balik gerumbul perdu menahan nafas dengan jantung yang berdebaran. Agaknya kedua orang itu sedang membicarakan sesuatu yang penting.

“Usahakan besuk Pangeran Pati ikut tetirah ke hutan Krapyak,” tiba-tiba terdengar kembali suara bisik-bisik laki-laki itu.

“Sore tadi aku sudah meyakinkan Raden Mas Rangsang untuk mengikuti Ayahandanya ke hutan Krapyak,” kembali terdengar bisikan suara seorang perempuan.

Terdengar laki-laki itu tertawa tertahan. Berkata laki-laki itu kemudian, “Segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan matang. Tinggal menunggu kedatangan Trah Sekar Seda Lepen. Dan jika rencana kita dapat berjalan dengan lancar, beberapa pekan ke depan kita sudah mempunyai Raja yang baru, Raja yang benar-benar berhak atas tahta di tanah ini. Bukan trah dari pidak pedarakan yang sekarang ini menguasai tahta Mataram.”

Sekarang perempuan itu yang terdengar tertawa tertahan.

“Dan nasib kita akan berubah. Tidak hanya sebagai emban dan jajar. Setidaknya kakang akan mendapat jabatan sebagai Demang sebagaimana janji yang diberikan kepada kita,” kembali terdengar perempuan itu berbisik dengan nada yang penuh riang gembira.

Kembali terdengar laki-laki itu tertawa, kini agak sedikit keras sehingga perempuan yang diajak bicara itu telah memperingatkannya.

Page 45: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

41

“Kakang, jangan keras-keras,” berkata perempuan itu memperingatkan, “Awas nanti ketahuan. Siapa tahu masih ada penghuni istana Kapangeranan yang belum tidur dan mendengarkan percakapan kita ini.”

“Ah, jangan khawatir,” desis laki-laki itu, “Aku tadi sempat berjalan berkeliling sebelum menjumpaimu di taman ini.”

Untuk sejenak suasana kembali menjadi hening. Ketika Rara Anjani hampir saja memutuskan untuk bergeser dari tempat itu, tiba-tiba saja kembali terdengar suara perempuan itu.

“Ingat kakang, setelah menjadi Demang, hanya aku saja yang boleh menjadi istrimu. Engkau tidak boleh kawin lagi. Apalagi kawin dengan janda kembang sebelah pasar itu. Hampir setiap hari jika aku ke pasar, kakang selalu tampak makan dan minum di kedai miliknya. Aku tidak suka melihat itu.”

“He?” terdengar nada keheranan dari laki-laki itu, “Bukankah sudah sewajarnya jika aku membeli makan dan minum di kedai miliknya? Apa salahnya?”

“Tidak ada yang salah memang,” sergah perempuan itu dengan suara agak ketus, “Yang salah adalah janda itu sendiri. Mengapa dia terlalu cantik dan janda lagi. Sebaiknya dia segera kawin lagi agar tidak menimbulkan keributan di antara kalian para laki-laki hidung belang.”

Terdengar helaan nafas panjang. Kemudian terdengar laki-laki itu berkata lirih, “Engkau benar. Dia memang harus segera kawin. Kemarin siang Dugel telah ribut dengan Tumpak. Mereka berebut tempat duduk yang lebih dekat agar dapat memandang lebih jelas wajah janda yang cantik itu.”

“Engkau sendiri bagaimana?” tiba-tiba terdengar perempuan itu memotong.

“Kalau aku sedang berpikir untuk menyelesaikan masalah yang timbul di antara kita para laki-laki,” terdengar laki-laki itu berkata dengan nada rendah.

Page 46: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

42

“Bagaimana caranya?” kembali terdengar perempuan itu mendesak.

Sejenak tidak terdengar suara. Namun kemudian terdengar laki-laki itu menjawab dengan nada rendah, “Janda muda itu harus segera kawin.”

“Dengan siapa?” kembali terdengar perempuan itu mendesak dengan suara agak keras.

“Ya, kalau bisa dengan aku sendiri.”

“Apa?!” kali ini perempuan itu sudah tidak dapat menahan diri lagi sehingga dia telah menjerit.

Namun agaknya laki-laki itu telah membungkam mulut perempuan itu dengan tangannya sehingga yang terdengar kemudian hanyalah suara geraman yang tidak jelas. Namun tampaknya perempuan itu mulai mengamuk dan mencakar laki-laki itu.

“Jangan, jangan... sakit!” terdengar suara laki-laki itu memelas.

Dalam pada itu Rara Anjani yang sedari tadi telah mengikuti percakapan itu menjadi semakin berdebar-debar. Tanpa sadar dia melongokkan kepalanya untuk mengintip siapakah kedua orang itu, walaupun menilik dari suara mereka Rara Anjani sepertinya sudah sangat mengenal mereka berdua.

“Tidak salah, Emban Menik dan Jajar Kawung,” desis Rara Anjani perlahan dengan jantung berdebaran begitu mengenali kedua orang itu.

Dengan bergegas Rara Anjani pun segera meninggalkan tempat itu. Tujuannya hanya satu, dia harus segera melaporkan kejadian itu kepada suaminya, Pangeran Pati.

Dalam pada itu malam telah mencapai puncaknya. Lamat-lamat terdengar kentong dengan nada dara muluk dari gardu-gardu perondan dari padukuhan-padukuhan terdekat. Sementara Raden Mas Rangsang yang baru saja terlelap telah mendengar ketukan lemah di pintu biliknya.

Page 47: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

43

Perlahan Pangeran Pati itu terbangun. Untuk beberapa saat Putra Mahkota itu masih tertegun di pembaringannya. Pendengarannya yang terlatih telah menangkap ketukan di pintu biliknya walaupun Putra Mahkota itu sedang tidur.

“Siapa?” bertanya Pangeran Pati kemudian sambil bangkit dan kemudian duduk di pinggir pembaringan ketika sekali lagi terdengar ketukan lemah.

“Hamba Pangeran, Rara Anjani,” terdengar suara lembut dan perlahan dari balik pintu bilik.

Pangeran Pati mengerutkan keningnya. Tidak sewajarnya Rara Anjani menghadap di waktu yang sedemikin larut. Tentu ada sesuatu yang sangat penting.

Maka berkata Pangeran Pati kemudian, “Masuklah Rara, pintu tidak diselarak.”

Sejenak kemudian terdengar derit lemah pintu bilik. Ketika Pangeran Pati kemudian berpaling, seraut wajah yang sangat cantik dengan bentuk tubuh nyaris sempurna muncul dari balik pintu sambil menghaturkan sembah.

Pangeran Pati tersenyum. Semenjak mempunyai selir Rara Anjani, Putra Mahkota itu merasakan kehidupan yang tenang dan damai, walaupun Putra Mahkota itu sepenuhnya menyadari, cinta Rara Anjani bukan untuk dirinya. Namun Pangeran Pati yang berhati seluas lautan itu telah merencanakan sesuatu yang akan dapat membahagiakan selirnya, sebagai balasan atas pelayanan Rara Anjani terhadap Pangeran Pati selama ini.

“Kemarilah Rara,” berkata Pangeran Pati kemudian sambil tetap tersenyum dan melambaikan tangannya, “Duduklah di sampingku ini.”

Rara Anjani yang masih berdiri termangu-mangu itu segera melangkah setelah menutup pintu bilik terlebih dahulu.

“Duduklah,” berkata Pangeran Pati kemudian sambil menggeser duduknya sejengkal.

Page 48: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

44

Pangeran Pati terkejut mendengar ucapan Rara Anjani. Diraihnya kedua pundak selirnya itu dan kemudian ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam.

Page 49: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

45

Dengan wajah tunduk, Rara Anjani pun kemudian sekali lagi menghaturkan sembah sebelum mengambil tempat duduk di pinggir pembaringan di sisi Pangeran Pati.

“Nah,” berkata Pangeran Pati kemudian sambil tangan kanannya membelai rambut Rara Anjani yang terurai indah bak kembang mayang itu, “Apakah ada sesuatu yang sangat penting sehingga selirku yang tercinta ini memerlukan menghadap?”

Sejenak Rara Anjani menghela nafas panjang untuk sekedar mengurangi debar jantungnya. Jawabnya kemudian dengan kepala tetap tertunduk, “Ampun Pangeran. Hamba menghadap di waktu yang tidak tepat ini karena sangat mengkhawatirkan keselamatan Pangeran dan Sinuhun Panembahan,”

Pangeran Pati terkejut mendengar ucapan Rara Anjani. Diraihnya kedua pundak selirnya itu dan kemudian ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam.

“Ada apa Rara?” bertanya Pangeran Pati kemudian tanpa melepaskan kedua tangannya dari pundak Rara Anjani, “Mengapa engkau mengatakan mengkhawatirkan keselamatanku dan Ayahanda Prabu?”

Sejenak Rara Anjani membisu. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam sambil kedua jari-jemari tangannya sibuk mempermainkan ujung bajunya.

Melihat selirnya hanya diam saja, Pangeran Pati segera menyentuh dagu yang runcing dan indah itu dengan lembut dan kemudian mengangkatnya perlahan. Kini sepasang mata telah beradu. Betapa desir tajam telah menggores jantung Putra Mahkota itu.

“Engkau sangat cantik, Rara,” desis Pangeran Pati dengan nafas sedikit memburu.

Rara Anjani yang menyadari keadaan dapat berkembang tidak sesuai dengan harapannya segera berusaha meredam gejolak suaminya.

Page 50: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

46

Maka katanya kemudian sambil menarik perlahan wajahnya dari hadapan Pangeran Pati, “Hamba, Pangeran. Beberapa saat tadi hamba telah mendengarkan sebuah rahasia dari dua orang yang agaknya telah berkhianat terhadap Mataram.”

Kali ini Pangeran Pati benar-benar terkejut sehingga tanpa sadar telah melepaskan tangannya dari pundak Rara Anjani.

Melihat Pangeran Pati agaknya tertarik dengan ucapannya, Rara Anjani tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera saja diceritakan kejadian yang baru saja dialaminya, tanpa ditambah dan dikurangi sedikit pun,

“Emban Menik dan Jajar Kawung?” desis Pangeran Pati dengan terheran-heran, “Aku sudah tahu mereka berdua memang telah mengikat janji untuk menikah bulan depan. Khususnya Emban Menik sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri. Biyungnya dahulu adalah emban yang bekerja sejak jaman Eyang Panembahan Senapati masih bergelar Senapati Ing Ngalaga. Emban Menik lahir dan dibesarkan di dalam lingkungan istana ini. Aku sendirilah yang mewakili keluarga Menik untuk menerima pinangan Jajar Kawung karena dia sudah yatim piatu semenjak ditinggal ayahnya yang juga seorang jajar dan ibunya beberapa tahun yang lalu.”

Berdesir dada Rara Anjani mendengar penjelasan Pangeran Pati. Dia benar-benar tidak menyangka hubungan yang sedemikian dekat antara Emban Menik dengan keluarga istana.

“Nah,” berkata Pangeran Pati kemudian setelah melihat selirnya hanya diam termangu-mangu, “Mungkin engkau telah salah dengar atau mendapat mimpi buruk sehingga telah mempengaruhi penalaranmu. Apa yang terjadi di dalam mimpimu itu engkau anggap seolah-olah benar-benar telah terjadi.”

Rara Anjani tetap tertunduk. Berbagai pertimbangan telah bergolak di dalam dadanya.

Namun karena sangat mengkawatirkan keselamatan suaminya dan Panembahan Prabu, maka Rara Anjani pun kemudian memberanikan diri untuk berkata, “Mohon ampun Pangeran.

Page 51: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

47

Kejadian yang hamba alami itu benar-benar terjadi dan hamba yakin itu bukan sebuah mimpi buruk. Hamba takut jika memang Emban Menik dan Jajar Kawung benar-benar telah menjadi kaki tangan orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu. Hamba hanya sebatas mengkhawatirkan keselamatan Ayahanda Prabu dan Pangeran.”

Sejenak Pangeran Pati menarik nafas dalam-dalam. Betapapun juga Rara Anjani adalah bukan seorang perempuan kebanyakan. Sudah dua kali Pangeran Pati diselamatkan oleh Rara Anjani. Sedangkan orang yang menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu memang sudah didengarnya. Bahkan Ki Patih Mandaraka telah mengirim utusan ke Gunung Tidar yang dipimpin oleh Ki Rangga Agung Sedayu.

“Menurut berita petugas sandi, orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu sedang menyusun kekuatan dengan perguruan Sapta Dhahana di lereng gunung Tidar. Jika sekarang ini mereka sedang merencanakan suatu gerakan di sini, apakah Ki Rangga dan kawan-kawannya serta para petugas sandi Mataram yang telah disebar tidak mengetahuinya?” berkata Pangeran Pati kemudian dalam hati.

Berbagai pertimbangan hilir mudik dalam benak Pangeran Pati. Di satu sisi Pangeran Pati itu sudah begitu mengenal dan percaya kepada Emban Menik yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, namun di sisi lain Putra Mahkota itu tidak menampik kemungkinan adanya pengaruh Trah Sekar Seda Lepen yang telah menyusup sampai ke dalam istana Kapangeranan.

“Mengapa harus Emban Menik?” bertanya Pangeran Pati dalam hati.

Hatinya benar-benar tidak bisa menerima begitu saja laporan dari selirnya itu.

“Baiklah Rara,” berkata Pangeran Pati kemudian setelah mereka berdua terdiam sejenak, “Laporanmu akan aku perhatikan. Besuk aku akan mengiringi Ayahanda Prabu untuk tetirah di hutan Krapyak. Apa yang engkau khawatirkan itu tidak

Page 52: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

48

akan terjadi. Aku akan mengusulkan kepada Eyang Buyut Patih Mandaraka untuk menambah jumlah pasukan yang akan dibawa ke Hutan Krapyak,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Selebihnya engkau jangan membuat cerita yang tidak berdasar tentang Emban Menik. Aku telah bergaul lebih lama dengan Emban Menik jauh sebelum Rara menjadi bagian dari keluarga Istana Kapangeranan ini.”

Berdesir jantung Rara Anjani. Dengan sekuat tenaga ditahannya setetes air bening di sudut kedua matanya agar tidak terjatuh. Ternyata Pangeran Pati lebih percaya kepada seorang Emban dari pada dirinya sebagai seorang selir.

“Nah, kembalilah ke bilikmu Rara,” titah Pangeran Pati kemudian, “Malam masih panjang dan semoga engkau mendapat mimpi yang indah.”

Rara Anjani tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan perlahan dia bangkit dari duduknya sambil memberikan sembah. Setelah berjalan ke pintu bilik, sekali lagi Rara Anjani menghaturkan sembah sebelum menghilang di balik pintu.

Sekeluarnya Rara Anjani dari bilik Pangeran Pati, hatinya menjadi gelisah. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Namun janji Pangeran Pati untuk menambah jumlah prajurit yang akan mengawal Sinuhun Prabu ke Hutan Krapyak sedikit banyak telah menenangkan hatinya.

“Tapi apa rencana mereka sebenarnya aku belum tahu,” berkata Rara Anjani dalam hati sambil melangkah menjauhi bilik Pangeran.

Namun baru saja beberapa langkah, Rara Anjani telah dikejutkan oleh munculnya Emban Menik dari lorong samping.

Kedua-duanya saling terkejut sehingga sejenak kedua perempuan muda itu saling pandang dengan penuh kecurigaan.

Namun Emban Menik segera menyadari kedudukannya. Maka katanya kemudian sambil menyembah dan sedikit

Page 53: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

49

membungkukkan badan, “Mohon ampun Rara. Dari manakah Rara malam-malam begini?”

Terkesiap Rara Anjani mendapat pertanyaan seperti itu. Namun dengan cepat selir Pangeran Pati itu menguasai dirinya. Jawabnya kemudian, “Aku baru saja menghadap Pangeran Pati. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan sehubungan dengan keberangkatan Pangeran Pati besuk pagi mengikuti tetirah Sinuhun Prabu.”

Untuk sejenak Emban Menik tertegun dengan wajah memerah. Perempuan itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya mendengar ucapan Rara Anjani. Dan itu semua telah ditangkap oleh selir Pangeran Pati itu.

“Dan engkau sendiri akan kemana Menik?” tiba-tiba pertanyaan Rara Anjani telah mengejutkan Emban yang sedang termenung itu.

Dengan sedikit tergagap Emban Menik pun kemudian menjawab, “Maafkan hamba Rara. Hamba hanya berjalan-jalan mencari angin segar. Rasa-rasanya bilikku yang sempit itu seperti mau terbakar.”

Rara Anjani tersenyum sambil memandang tajam Emban Menik. Berkata Rara Anjani kemudian, “Memang jika seseorang sedang dilanda asmara, dada ini rasanya bergelora terus dan jantung pun berdegup semakin kencang. Itulah sebenarnya yang membuat sekujur tubuhmu menjadi panas, bukan udara di dalam bilikmu.”

Selesai berkata demikian Rara Anjani segera berlalu dari tempat itu. Memang Rara Anjani sengaja menyindir Emban Menik karena hatinya sedang kesal kepada Pangeran Pati. Bagaimana mungkin seorang Emban lebih dipercaya dari pada selirnya sendiri, walaupun Emban itu sudah mengabdi sedemikian lama di istana itu.

Namun kekesalan hati Rara Anjani yang diungkapkan kepada Emban Menik ternyata telah berbuntut panjang. Emban Menik yang menjumpai Rara Anjani ternyata belum tidur di saat itu, serta

Page 54: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

50

pengakuan Rara Anjani sendiri yang baru saja menghadap Pangeran Pati, telah menumbuhkan kecurigaan.

“Mungkinkah Rara ini mendengar percakapanku dengan Kakang Jajar Kawung,” berkata Emban Menik dalam hati sambil pandangan matanya tak lepas dari tubuh Rara Anjani yang berjalan menyusuri lorong menuju ke biliknya.

Tiba-tiba saja jantung Emban Menik berdesir tajam begitu menyadari bahwa bilik Rara Anjani berada di dekat taman tempat dia berdua dengan Jajar Kawung beberapa saat yang lalu.

“Gila!” geram Emban Menik kemudian dalam hati sambil menyingsingkan kain panjangnya sedikit, “Aku harus segera memberi tahu kakang Jajar Kawung.”

Tanpa menunda-nunda lagi, Emban Menik segera berjalan setengah berlari menyusul Jajar Kawung yang telah terlebih dahulu meninggalkan taman.

Ternyata usaha Emban Menik tidak sia-sia. Jajar Kawung masih berada di regol dalam ndalem Kapangeranan. Tampak Jajar yang tampan dan berkumis tipis itu sedang bercakap-cakap dengan para prajurit jaga. Terdengar sesekali gelak tawa mereka.

“Kakang!” seru Emban Menik dari jauh tanpa memperhatikan suba sita lagi.

Orang-orang yang sedang berada di regol dalam itu terkejut mendengar seruan Emban Menik. Namun ketika mereka kemudian berpaling, segera saja sebuah senyum menghiasi setiap bibir orang-orang yang berada di tempat itu, kecuali Jajar Kawung.

“Ah, kau!” desis salah seorang prajurit jaga sambil mendorong pundak Jajar Kawung, “Agaknya calon istrimu itu masih belum puas bertemu. Mengapa engkau tinggalkan begitu saja?”

“Ya,” sahut yang lainnya, “Engkau harus mulai belajar memahami hasrat seorang wanita. Jangan sampai setelah kawin nanti istrimu malah engkau terlantarkan.”

“Apalagi engkau malah sibuk mengejar janda muda dekat pasar itu,” sahut yang lain.

Page 55: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

51

Segera saja gelak tawa memenuhi penjagaan regol dalam istana Kapangeranan itu.

Sebenarnya Jajar Kawung sama sekali tidak menanggapi gurauan para prajurit jaga itu. Namun tak urung wajahnya memerah juga.

“Kakang!” kembali Emban Menik memanggil dari jauh sambil melambaikan tangan. Sengaja dia tidak mau mendekat agar telinganya tidak memerah mendengar gurauan para prajurit itu.

Jajar Kawung yang menyadari tentu ada suatu hal yang penting segera bergegas menghampiri. Tidak dihiraukannya lagi candaan para prajurit yang sedang bertugas jaga itu.

“Ada apa?” bisik Jajar Kawung setibanya di hadapan Emban Menik.

“Kakang,” bisik Emban Menik kemudian dengan sangat hati-hati, “Ketika aku meninggalkan taman tadi, aku menjumpai Rara Anjani sedang keluar dari bilik Pangeran Pati.”

Jajar Kawung mengerutkan keningnya dalam-dalam. Adalah sangat wajar jika seorang selir keluar dari bilik suaminya. Maka katanya kemudian, “Tidak ada yang aneh Menik. Bukankah Rara Anjani itu selir Pangeran Pati? Setiap saat Pangeran Pati dapat saja memanggilnya, walaupun di malam-malam yang sudah larut sekali pun.”

“Ya, kakang. Aku menyadari itu,” jawab Emban Menik kemudian, “Namun Rara Anjani mengatakan sendiri kepentingannya menghadap Pangeran Pati. Sepertinya dia sengaja memberitahukan kepadaku bahwa rahasia kita telah diketahuinya.”

“Ah, belum tentu,” jawab Jajar Kawung dengan serta merta, “Apa katanya?””

“Dia mengatakan bahwa dia baru saja menghadap berkenaan dengan keberangkatan Pangeran Pati menyertai Sinuhun Prabu besuk pagi ke hutan Krapyak.”

Page 56: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

52

Jajar Kawung kembali mengerutkan keningnya. Bertanya Jajar muda itu kemudian dengan sangat hati-hati, “Menik, apakah selir itu menyebut-nyebut rencana kita?”

Sejenak Emban Menik mengingat-ingat. Namun Emban muda berwajah manis itu kemudian menggeleng.

“Jadi? Dari mana engkau tahu bahwa selir itu sudah mengetahui rencana kita?”

Untuk beberapa saat Emban Menik menjadi bingung. Namun akhirnya dia menjawab, “Kakang, aku bisa merasakannya ketika aku berpapasan dengan dia di lorong dekat bilik Pangeran. Dari sorot matanya terlihat dia sangat mencurigai aku. Ketika dia kemudian berbicara kepadaku, dia terlihat sangat membenciku.”

Jajar Kawung menarik nafas panjang. Diam-diam dia ikut menjadi gelisah walaupun semua itu masih belum terbukti. Namun jika dugaan Emban Menik benar adanya, nyawa mereka berdua tidak akan bertahan sampai besuk siang.

“Menik,” berkata Jajar Kawung kemudian, “Kembalilah ke bilikmu. Semua dugaanmu itu masih belum terbukti. Aku akan berbicara dengan guru. Lebih baik engkau menunggu perkembangan saja.”

“Kakang,” tiba-tiba Emban Menik memotong karena teringat akan sesuatu, “Bilik selir itu berdekatan dengan taman yang berada di dalam ndalem Kapangeranan ini. Mungkin dia memang telah mendengar percakapan kita.”

“Mendengar pembicaraan kita dari dalam biliknya?” sahut Jajar Kawung serta merta dengan kening yang sedikit berkerut.

Emban Menik terdiam sejenak. Memang tidak masuk akal jika selir itu dapat mendengar percakapan mereka dari dalam biliknya.

“Kakang,” berkata Emban Menik kemudian setelah sejenak dia berpikir, “Apakah tidak menutup kemungkinan selir itu keluar dari biliknya dan kemudian mencuri dengar pembicaraan kita?”

Page 57: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

53

Untuk beberapa saat Jajar Kawung berpikir. Memang tidak menutup kemungkinan selir itu keluar dari biliknya untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.

“Menik, kemungkinan itu memang ada,” jawab Jajar muda itu akhirnya, “Mungkin selir itu sebelumnya telah mendengar suara bergeremang yang tidak jelas dari dalam biliknya. Karena rasa penasaran, tidak menutup kemungkinan selir itu kemudian keluar bilik untuk mencari arah sumber suara yang didengarnya itu.”

“Dan ternyata dia mendengar rahasia rencana kita itu, kemudian melaporkannya kepada Pangeran Pati,” sahut Emban Menik dengan nada suara yang sangat cemas.

Berdesir tajam jantung Jajar Kawung. Namun dicobanya untuk tetap berpikir jernih. Maka katanya kemudian, “Menik, Pangeran Pati sangat sayang kepadamu. Bahkan ketika engkau aku lamar, Pangeran Pati sendiri yang berkenan menerimanya. Aku tidak yakin kalau Pangeran Pati akan mempercayai laporan selirnya itu.”

“Itu aku tahu Kakang,” desis Emban Menik dengan suara yang mulai merengek, “Tapi aku takut kakang. Jika memang benar rahasia kita ini sudah terbongkar, tentu kita akan tetap dihukum mati. Aku tidak mau mati kakang, aku tidak mau mati!”

Kali ini Emban Menik sudah tidak dapat menahan diri lagi dan mulai terisak-isak sambil mengguncang-guncang lengan calon suaminya itu.

Melihat suasana menjadi kisruh seperti itu, Jajar Kawung pun segera berpikir cepat. Katanya kemudian dengan sedikit berbisik, “Sudahlah Menik, jangan khawatir. Kita harus menghilangkan jejak. Sebelum Matahari terbit di ufuk timur, selir Pangeran Pati itu sudah harus lenyap dari muka bumi. Sehingga jika memang benar Pangeran Pati sudah mendapat laporan dan akan memanggil kita besuk pagi, tidak ada seorang pun yang dapat menjadi saksi.”

Emban Menik terkejut bukan alang kepalang mendengar rencana calon suaminya itu. Sejenak wajahnya menegang sambil

Page 58: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

54

memandang wajah Jajar Kawung dengan pandangan tidak percaya.

“Mengapa?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya yang pucat dan bergetar.

“Harus, Menik. Itu harus kita lakukan jika kita sendiri ingin selamat dari tiang gantungan,” mantap terdengar suara Jajar Kawung.

“Nah,” berkata Jajar Kawung kemudian begitu melihat kekasihnya masih diam termangu-mangu, “Kembalilah ke bilikmu. Aku akan menyelesaikan selir itu dengan saudara-saudara seperguruanku. Kalau perlu guru sendiri akan turun tangan agar pekerjaan itu sebelum fajar terbit telah selesai.”

Emban Menik tidak dapat berkata-kata lagi. Wajahnya pucat dan dadanya menjadi sesak. Dia sungguh tidak mengira jika pada akhirnya jalan itu yang harus ditempuh.

“Kasihan Rara Anjani,” berkata Emban Menik dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Dia harus dikorbankan untuk sesuatu hal yang mungkin dia tidak begitu mengerti. Namun memang benar apa yang dikatakan kakang Jajar Kawung. Lebih baik mengorbankan orang lain dari pada kita sendiri yang menjadi korban.”

Berpikir sampai disitu Emban Menik menjadi sedikit tabah. Maka katanya kemudian, “Baiklah kakang. Aku akan kembali ke bilikku. Hati-hatilah dan jangan sampai rencana kita kali ini gagal. Nyawa taruhannya.”

Jajar Kawung tersenyum sambil menepuk mesra pipi gembil calon istrinya itu. Katanya kemudian, “Percayalah, kakangmu ini akan mengajakmu mukti wibawa. Bukan hanya menjadi istri seorang jajar juru taman, tetapi istri seorang Demang yang disuyuti oleh seluruh kawula Kademangan.”

“Ah,” desah Emban Menik manja sambil melengoskan wajahnya. Dalam-dalam hati emban itu telah terdengar kidung Asmarandana yang ngelangut tentang masa depan mereka berdua.

Page 59: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

55

Sekembalinya Emban Menik ke biliknya, Jajar Kawung segera bergegas keluar dari ndalem Kapangeranan. Tidak dipedulikan lagi gurauan para prajurit regol yang berusaha untuk menggoda dan menahannya sejenak.

Dalam pada itu, tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa seseorang dengan pakaian ringkas dan berwarna gelap serta menutupi sebagian wajahnya dengan kain hitam telah mengikuti segala percakapan Jajar Kawung dan Emban Menik dari balik gerumbul bunga yang ada di samping lorong.

Sambil menarik nafas dalam-dalam, orang berpakaian serba gelap dan ringkas itu bergeser setapak demi setapak untuk kemudian dengan sangat hati-hati meninggalkan tempat itu.

Dengan gerakan yang sangat hati-hati sosok berpakaian ringkas dan berwarna gelap itupun kemudian menuju ke bilik Rara Anjani. Sesampainya di depan pintu bilik, dengan cepat dia segera menyelinap masuk.

“Keadaan berkembang semakin gawat,” desis orang itu sambil membuka penutup wajahnya. Terlihat seraut wajah cantik Rara Anjani.

Sejenak Rara Anjani berjalan hilir mudik di dalam biliknya sambil kedua tangannya menimang-nimang kain hitam yang tadi dipergunakan untuk menutup wajahnya. Kelihatannya Rara Anjani sedang berpikir keras untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.

“Sebenarnya aku tidak ada sangkut pautnya dengan mereka,” desis Rara Anjani perlahan, “Aku hanyalah seorang selir Pangeran Pati. Namun tentu saja aku tidak dapat tinggal diam mengetahui rencana jahat mereka.”

Rara Anjani menarik nafas dalam-dalam sambil menghempaskan tubuhnya ke pembaringan. Pikirannya benar-benar sedang kalut. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk mencegah rencana jahat mereka di Hutan Krapyak nanti.

Page 60: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

56

“Jika sekali lagi aku menghadap Pangeran Pati, mungkin Pangeran Pati akan semakin marah karena tuduhanku terhadap Emban Menik dan Jajar Kawung tidak ada saksinya,” keluh Rara Anjani sambil bangkit dan kemudian duduk di pinggir pembaringan, “Namun jika aku membiarkan rencana mereka berlanjut, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian.”

Tiba-tiba jantung Rara Anjani berdesir tajam ketika dia teringat akan rencana Jajar Kawung untuk menghilangkan jejak. Sebelum Matahari terbit di ufuk timur, dirinya akan dilenyapkan untuk selama-lamanya.

Sebenarnyalah Rara Anjani bukan seorang perempuan kebanyakan. Namun dia tampaknya mulai berpikir untuk menghindar dari pusaran masalah yang dia sendiri kurang memahaminya.

Tanpa sadar tangan kanannya meraba perutnya. Memang masih belum terlihat, namun tanda-tanda itu sudah datang. Agaknya karunia Yang Maha Agung telah diterimanya. Rara Anjani telah diperkenankan untuk menerima anugerah dari Yang Maha Agung menjadi perantara agar kehidupan di atas bumi ini tetap berlangsung.

“Tidak ada gunanya aku bertahan disini,” berpikir Rara Anjani sambil pandangan matanya menatap langit-langit bilik, “Jika rencana Jajar Kawung itu benar-benar akan dilaksanakan, tentu sebentar lagi beberapa orang akan mendatangi bilik ini. Aku belum tahu kekuatan mereka. Namun yang pasti, aku harus menyelamatkan calon bayi yang berada dalam kandunganku ini. Jika aku mengerahkan tenaga berlebihan untuk melawan mereka atau sekedar mempertahankan diri, aku khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan dengan kandunganku ini.”

Berpikir sampai disitu, Rara Anjani segera memutuskan untuk menghindar dari tempat itu sebelum semuanya terlambat.

“Semoga seandainya Pangeran Pati besuk menyadari kepergianku, beliau segera tanggap bahwa apa yang aku lakukan ini sebagai pertanda keadaan yang berkembang semakin gawat,”

Page 61: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

57

berkata Rara Anjani dalam hati kemudian sambil mengemasi beberapa pakaiannya.

Setelah membungkus beberapa lembar pakaiannya dengan sebuah kain panjang, Rara Anjani pun kemudian segera menyelinap keluar dari biliknya. Tak lupa selembar kain hitam digunakan untuk menutupi sebagian wajahnya lagi.

Dalam pada itu, malam semakin dalam dan mulai bergeser dari pusatnya. Beberapa pengawal yang berjaga di regol dalam ndalem Kapangeranan mulai bergiliran untuk istirahat. Hanya tinggal dua prajurit jaga saja yang menjaga regol dalam. Sementara lainnya mengambil istirahat di gardu penjagaan yang terdapat di samping regol.

Kedua prajurit jaga itu tampak berjalan mondar-mandir untuk mengusir kantuk yang mulai menggelayuti pelupuk mata. Sesekali salah satu prajurit jaga itu menggeliatkan pinggangnya untuk sekedar menghilangkan kepenatan yang rasa-rasanya akan mematahkan pinggang.

Tanpa mereka sadari, empat bayangan menyelinap di sudut dinding pembatas ndalem Kapangeranan. Dengan sangat cekatan dan tanpa menimbulkan bunyi sama sekali, keempat bayangan itu tahu-tahu sudah meloncati dinding dan kemudian masuk ke dalam lingkungan istana.

Agaknya salah satu dari keempat orang itu sudah begitu hafal dengan seluk beluk istana. Dengan tanpa membuang waktu lagi, keempat orang itu langsung menuju bilik selir pangeran Pati yang berada di dekat taman dalam.

Dengan cekatan mereka segera berdiri merapat di sebelah menyebelah pintu bilik yang tertutup rapat. Ketika salah satu mencoba mengungkit pintu dengan ujung belati yang tergenggam di tangan kanannya, dia segera tahu bahwa pintu itu tidak diselarak dari dalam.

Segera saja orang itu memberi isyarat kepada ketiga kawannya yang juga telah menggenggam sebuah pisau belati di tangan kanan masing-masing.

Page 62: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

58

Sejenak kemudian, dengan sebuah isyarat kecil, hampir bersamaan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun keempat orang itu segera menyerbu ke dalam bilik. Namun alangkah terkejutnya mereka, ternyata bilik itu sudah kosong. Di atas pembaringan tidak tampak seorang pun yang sedang tidur.

“Gila!” geram seorang yang berjenggot putih dan terlihat sudah berumur, “Kemana perginya mangsa kita ini, Kawung?”

Keempat orang yang salah satunya memang Jajar Kawung itu menggeram. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu Guru. Menurut laporan Menik, selir Pangeran Pati itu langsung memasuki biliknya.”

“Atau mungkin dia kembali ke bilik Pangeran Pati?” tiba-tiba seorang yang lain menyeletuk.

Ketiga kawannya saling pandang. Jika kemungkinan itu memang yang terjadi, mereka harus berpikir seribu kali untuk memasuki bilik Pangeran Pati.

Tiba-tiba terlintas dalam benak Jajar Kawung kemungkinan yang lain begitu melihat geledek dari kayu jati berukir indah yang berada di sudut bilik itu pintunya tampak terbuka.

“Kita periksa dulu bilik ini,” katanya kemudian sambil melangkah tergesa-gesa ke sudut bilik.

Ternyata kawan-kawannya dapat mengerti jalan pikiran Jajar Kawung. Maka sejenak kemudian keempat orang itu telah meneliti setiap jengkal dari bilik itu.

“Beberapa pakaian tampak diambil dengan tergesa-gesa,” berkata Jajar Kawung kemudian sambil membuka pintu geledek itu lebar-lebar. Tampak tumpukan pakaian yang berada di dalam geledek itu berserakan, “Agaknya selir Pangeran Pati itu telah memutuskan untuk pergi.”

“Mungkin,” sahut Gurunya cepat, “Tetapi mengapa dia memutuskan untuk pergi?”

Jajar Kawung dan kedua kawannya tampak saling pandang sambil mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Mereka benar-

Page 63: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

59

benar tidak mampu untuk sekedar menebak mengapa selir Pangeran itu justru telah meninggalkan istana.

“Sudahlah,” berkata Guru Jajar Kawung kemudian, “Sebaiknya bilik ini kita rapikan terlebih dahulu. Kita tinggalkan kesan bahwa selir Pangeran itu masih tetap berada di istana ini. Jika seseorang menemukan bilik ini kosong, tentu dia menyangka selir itu sedang berada di luar bilik untuk suatu keperluan.”

Jajar Kawung dan kawan-kawannya tampak mengangguk-angguk. Dengan segera mereka bergerak merapikan bilik itu sehingga terkesan tidak pernah terjadi sesuatu apapun.

Demikianlah akhirnya, sebagaimana datangnya tadi, keempat orang itu pun kemudian menyelinap dengan tanpa menarik perhatian keluar dari lingkungan istana ndalem Kapangeranan.

***

Dalam pada itu Ki Jayaraga dan kawan-kawannya dengan sangat hati-hati telah mendekati regol depan Padepokan Sapta Dhahana. Tampak para cantrik yang bertugas jaga sedang tertidur silang melintang di dalam gardu. Bahkan dua orang yang bertugas jaga di sebelah menyebelah regol telah tertidur sambil bersandaran pintu gerbang dan memeluk senjata masing-masing.

“Kita berpencar,” berkata Ki Jayaraga kemudian begitu mereka bertiga memasuki gerbang.

“Kita ke halaman padepokan sebelah barat, Ki,” sahut Ki Bango Lamatan sambil bergerak cepat menyusup gerumbul perdu di samping gardu.

Ketika Ki Jayaraga sudah hampir melangkah, Glagah Putih segera bertanya, “Guru, bagaimana dengan aku?”

Sejenak Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Sebaiknya engkau di sini saja, Glagah Putih. Menunggu kakangmu. Aku tahu sifat kakangmu itu. Dia pasti akan mendatangi pendapa dan kemudian mengetuk pintu pringgitan.”

Page 64: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

60

“Ah,” Glagah Putih tertawa tertahan. Memang dalam setiap keadaan Ki Rangga selalu berusaha untuk menjunjung trapsila dan suba sita.

“Nah, aku pergi dulu,” berkata Ki Jayaraga kemudian.

Selesai berkata demikian, tubuh Ki Jayaraga pun segera menghilang di antara gerumbul tanaman perdu dan pepohonan di samping regol.

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih termangu-mangu di dekat gardu penjagaan. Namun ketika pandangan matanya yang tajam melihat sebuah bayangan berjalan dengan tenang dari arah timur padepokan, Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam.

“Kakang Agung Sedayu,” desis Glagah Putih tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dugaan gurunya memang benar adanya.

Ki Rangga yang sedang melintasi halaman dari arah timur itu pun semenjak tadi sudah melihat Glagah Putih. Bahkan ketika mereka bertiga memasuki pintu gerbang, Ki Rangga dan Ki Waskita sudah mengetahui mereka.

“Aku akan ke halaman belakang, ngger,” berkata Ki Waskita pada saat melihat Ki Jayaraga dan kawan-kawannya memasuki regol depan, “Silahkan kalau angger memang akan ke halaman depan. Sebaiknya salah satu dari mereka menemani angger.”

Demikianlah akhirnya, Ki Waskita segera bergeser dari tempatnya menuju ke halaman belakang. Sedangkan Ki Rangga yang melihat Glagah Putih berdiri sendirian segera menghampirinya.

“Kakang,” sapa Glagah Putih kemudian begitu melihat kakak sepupunya itu berjalan mendekat.

“Kemanakah Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan?” bertanya Ki Rangga begitu Glagah Putih berjalan menghampirinya.

“Mereka berdua ke halaman sebelah barat,” jawab Glagah Putih kemudian.

Page 65: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

61

“Baiklah Glagah Putih. Mari kita bertamu ke padepokan ini, walaupun waktunya sungguh sangat tidak tepat. Namun sebaiknya kita tetap menghormati tuan rumah.”

Glagah Putih tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat mengangguk.

Dalam pada itu di ruang Padepokan Sapta Dhahana, Kiai Damar Sasangka dan Raden Surengpati tampak gelisah menunggu Begawan Cipta Hening dan Putut Sambernyawa yang belum kembali. Berbagai dugaan telah memenuhi benak mereka.

“Jangan-jangan musuh telah menjebak mereka,” tanpa sadar Raden Surengpati berdesis sekedar mengurangi kepepatan dadanya.

“Tidak mungkin, Raden,” sahut Kiai Damar Sasangka dengan serta merta, “Diperlukan orang satu padukuhan untuk menjebak Sang Begawan. Mungkin Begawan sedang sibuk membungkam orang yang menebar sirep ini.”

“Bagaimana dengan Putut Sambernyawa?” bertanya Raden Surengpati selanjutnya.

“Putut Sambernyawa bukan anak kemarin sore,” jawab Kiai Damar Sasangka, “Dia hanya selapis tipis di bawah ilmuku. Hanya orang-orang yang benar-benar pilih tanding yang akan mampu menghentikannya.”

Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam. Untuk sejenak suasana menjadi sunyi. Namun kesunyian itu tiba-tiba saja dipecahkan oleh suara ketukan perlahan di pintu pringgitan.

Segera saja wajah kedua orang itu menegang sejenak. Namun Kiai Damar Sasangka segera dapat menguasai diri. Katanya kemudian sambil bangkit dari duduknya, “Marilah Raden, kita lihat siapa yang datang berkunjung malam-malam begini. Jika mereka adalah salah satu dari orang yang telah menebar sirep ini, alangkah sombongnya.”

Raden Surengpati tidak menjawab. Dengan segera dia ikut bangkit dari duduknya dan melangkah mengikuti Pemimpin

Page 66: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

62

perguruan Sapta Dhahana itu yang telah terlebih dahulu melangkah ke pringgitan.

Dalam pada itu Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan yang menyusuri dinding bagian dalam sebelah barat padepokan telah dikejutkan oleh suara tawa yang tertahan-tahan.

“Ki Brukut,” terdengar suara seseorang di sela-sela tawanya, “Apakah Ki Brukut tertarik untuk menangkap dua ekor tikus clurut yang sedang menyusup di antara semak-semak dekat dinding padepokan?”

Terdengar seseorang ikut tertawa. Jawabnya kemudian, “Tentu saja kita harus menangkap dua ekor tikus clurut itu, Ki Kebo Mengo. Namun aku tidak yakin, apakah kedua tikus clurut itu cukup berharga bagi kita? Sebaiknya kita jangan terlalu banyak membuang waktu dan tenaga.”

Ternyata kedua orang itu adalah Ki Brukut dan Ki Kebo Mengo. Mereka berdua yang tadinya mengamati halaman belakang padepokan telah bergeser ke halaman sebelah barat.

Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan yang mendengar percakapan itu segera menyadari bahwa kehadiran mereka berdua telah diketahui. Mereka berdua pun kemudian memutuskan untuk menampakkan diri.

“Marilah Ki Jayaraga,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian sedikit keras sambil keluar dari semak-belukar, “Malam ini agaknya kita berjodoh. Sudah lama aku nyidam sate kelinci. Mari kita tangkap dua ekor kelinci jinak ini. Aku nanti yang menyembelih mereka, sedangkan Ki Jayaraga bagian yang menguliti.”

“Tutup mulutmu!” terdengar seseorang membentak keras, “Jangan pernah bergurau di hadapan Kebo Mengo. Umurmu tidak akan lebih dari sepenginang sirih!”

Page 67: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

63

Dalam keremangan malam, pandangan Ki Waskita yang tajam segera melihat seseorang yang berbadan tinggi tegap dengan wajah yang keras, sekeras batu padas di gerojokan........

Page 68: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

64

“O, kami tidak bermaksud bergurau, Ki Sanak,” jawab Ki Bango Lamatan sambil berjalan mendekat dan berdiri tepat beberapa langkah saja di hadapan orang yang menyebut dirinya Ki Kebo Mengo itu, “Kami berdua sengaja malam-malam datang ke padepokan ini untuk menangkap kelinci-kelinci penghuni padepokan ini. Keberadaan kelinci-kelinci itu telah meresahkan kawula di Perdikan Matesih.”

Merah padam wajah Ki Kebo Mengo. Demikian juga dengan Ki Brukut. Dengan tanpa ancang-ancang sama sekali, keduanya tiba-tiba saja telah meluncur menerjang lawan-lawannya.

Namun Ki Bango Lamatan dan Ki Jayaraga sudah menduga sebelumnya. Maka dengan lincahnya Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan pun segera berloncatan menghindar sambil sekaligus mengambil jarak.

Demikianlah, agaknya pancingan Ki Bango Lamatan telah mengenai sasaran. Kedua orang pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu tanpa banyak cakap segera melibat kedua lawan mereka dengan serangan-serangan yang nggegirisi.

Namun lawan Ki Kebo Mengo adalah Ki Bango Lamatan. Orang yang telah malang melintang dalam dunia hitam serta pernah menjadi orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra.

Sedangkan lawan Ki Brukut adalah Ki Jayaraga. Orang yang pernah menjadi guru dari Tumenggung Prabandaru serta ketiga bajak laut yang pernah menggegerkan Mataram.

Setelah beberapa saat pertempuran itu berlangsung, Ki Kebo Mengo dan Ki Brukut menjadi heran. Menilik dari wajahnya, lawan-lawan mereka adalah orang-orang yang sudah cukup berumur, namun tandangnya masih ngedab-edabi.

“Tentu kalian adalah kawan-kawan Ki Rangga Agung Sedayu yang bermalam di banjar Padukuhan Klangon kemarin malam,” berkata Ki Brukut kemudian sambil terus bertempur.

“Ki Sanak benar,” jawab Ki Jayaraga sambil merunduk menghindari sambaran tangan lawannya, “Kami memang kawan-

Page 69: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

65

kawan Ki Rangga. Nah, apakah kalian sudah mulai tergelitik untuk menyerah?”

“Iblis!” geram Ki Brukut sambil menghentakkan serangannya. Tangannya dengan jari-jari terbuka membentuk cakar menyambar wajah Ki Jayaraga.

Namun Ki Jayaraga adalah orang yang sudah malang melintang dalam dunia olah kanuragan, baik dunia hitam maupun dunia putih. Pengenalannya pada berbagai macam ilmu telah membuat Ki Jayaraga menjadi seorang yang berpengalaman dan pilih tanding.

Sedangkan Ki Kebo Mengo yang bertempur beberapa tombak dari Ki Brukut ternyata mengalami hal yang diluar dugaannya. Lawannya benar-benar orang yang tangguh tanggon dengan bekal ilmu yang tak habis-habisnya.

Ki Kebo Mengo dengan penuh kemarahan segera menghentakkan kekuatannya. Dia bertempur bagaikan seekor Kebo ndanu yang sedang mengamuk. Diterjangnya segala rintangan yang ada di hadapannya. Namun Ki Bango Lamatan benar-benar bagaikan seekor bangau yang cerdik dan lincah. Dengan kedua tangannya yang bagaikan paruh seekor bangau, dia mematuk-matuk lawannya dari segala penjuru.

Dalam pada itu Ki Waskita yang memutari padepokan dari arah timur telah sampai di halaman belakang. Namun langkah ayah Rudita itu terhenti ketika dia mendengar seseorang bergumam.

Dalam keremangan malam, pandangan Ki Waskita yang tajam segera melihat seseorang yang berbadan tinggi tegap dengan wajah yang keras, sekeras batu padas di gerojokan sedang berdiri sambil bertolak pinggang menghadap tepat ke arahnya.

“Sebentar Ki Sanak,” terdengar suara orang berwajah keras itu bergulung-gulung seperti guntur yang meledak di langit, “Apakah Ki Sanak benar-benar sudah siap untuk mati sehingga Ki Sanak telah memberanikan diri memasuki sarang serigala ini?”

Page 70: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

66

Ki Waskita menarik nafas panjang terlebih dahulu sebelum menjawab. Dipandanginya wajah yang keras itu. Dengan sekali pandang saja Ki Waskita segera maklum bahwa orang yang dihadapinya itu adalah orang yang sama sekali tidak berjantung, tidak mempunyai rasa belas kasihan sama sekali.

“Ki Sanak!” kali ini yang terdengar adalah bentakan yang mengguntur, “Apakah Ki Sanak bisu atau tuli sehingga tidak mampu menjawab pertanyaanku?”

Kembali Ki Waskita menarik nafas panjang sambil menjawab, “Maafkan aku Ki Sanak. Bukan maksudku untuk mengabaikan pertanyaan Ki Sanak. Namun aku tadi sempat menduga bahwa aku sedang berhadapan dengan pemimpin perguruan Sapta Dhahana.”

Orang berwajah keras itu tampak mengerutkan keningnya sejenak. Jawabnya kemudian sambil tertawa pendek, “Engkau salah Ki Sanak. Aku adalah murid terpercaya Perguruan Sapta Dhahana, Putut Sambernyawa. Namun dalam perbandingan ilmu, dapat dikatakan aku hanya berada selapis tipis di bawah guru. Ingat, hanya selapis tipis, dan aku yakin kekuranganku yang hanya selapis tipis itu dapat aku tutup dengan tenaga serta semangatku yang lebih muda dari guru.”

Kembali Ki Waskita menarik nafas dalam, dalam sekali. Dilihat dari cara berbicara serta mengungkapkan kata-kata, Putut Sambernyawa itu agaknya orang yang mempunyai kepercayaan diri terlalu berlebihan. Namun Ki Waskita juga menyadari, jika Putut Sambernyawa ini tidak memiliki bekal yang lebih dari cukup, tentu dia tidak akan berbicara seperti itu.

“Engkau belum menjawab pertanyaanku Ki Sanak!” kembali Putut Sambernyawa membentak sehingga telah membuat Ki Waskita terlonjak.

“O,” seru Ki Waskita kemudian sambil mendekap dadanya, “Ki Sanak telah membuat jantung tuaku melonjak-lonjak. Sebaiknya aku berterus terang. Kedatangan kami berlima ini adalah untuk menangkap orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen yang telah meresahkan para kawula di Perdikan Matesih.”

Page 71: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

67

“Omong kosong!” kembali bentakan Putut Sambernyawa terdengar menggelegar, “Aku tahu dengan pasti. Para kawula Perdikan Matesih banyak yang berpihak pada perjuangan kami. Telah terlalu lama mereka berada di bawah tekanan dan penindasan Ki Gede Matesih. Para kawula Matesih menginginkan perubahan dan kami para pengikut Trah Sekar Seda Lepen telah menjawab keinginan itu.”

“Tunggu dulu Ki Sanak,” sela Ki Waskita, “Menurutmu, apakah perjuangan kalian nantinya hanya sebatas di lingkungan perdikan Matesih, ataukah akan merembet ke wilayah yang lain?”

“Itu bukan urusanmu!” kembali bentakan Putut Sambernyawa terdengar menggelegar, “Sekarang bersiaplah untuk mati. Barang siapa yang berani memasuki padepokan ini dengan tujuan membuat keonaran, pulang hanya akan tinggal nama saja.”

Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan Ki Waskita, Putut Sambernyawa segera bersiap melancarkan serangan pertamanya.

Agaknya Ki Waskita segera tanggap. Tanpa membuang waktu lagi, Ki Waskita segera melepas ikat kepalanya dan kemudian membalutkannya di tangan kirinya.

Sejenak lawannya menjadi heran melihat tingkah Ki Waskita. Namun untuk selanjutnya dia sepertinya sudah tidak memperdulikan lagi. Dengan segera serangan pertamanya pun meluncur bagaikan tatit yang meloncat di udara.

Dalam pada itu, Begawan Cipta Hening yang sedang menelusuri sumber sirep yang menebar dengan tajamnya di padepokan itu menjadi heran. Setelah meloncati dinding sebelah barat dan kemudian mengikuti panggraitanya menuju ke arah sumber yang memancarkan sirep itu, Begawan Cipta Hening ternyata masih belum menemukan apa yang dicarinya.

“Gila!” geram Begawan Cipta Hening, “Seseorang agaknya sedang mempermainkan aku. Sumber sirep itu sepertinya selalu berpindah tempat. Sejenis ilmu untuk menghilangkan atau pun

Page 72: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

68

mengaburkan jejak. Tetapi aku tidak akan tertipu dengan permainan kanak-kanak ini.”

Begawan yang lama bertapa di puncak perbukitan Menoreh itu segera duduk bersila dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sejenak kemudian Begawan Cipta Hening pun segera tenggelam dalam samadinya.

Ternyata dalam samadinya, Begawan Cipta Hening merasakan adanya perlawanan dari orang yang menebarkan sirep itu. Berkali-kali Sang Begawan mencoba menelusuri jejak keberadaannya. Namun setiap kali Sang Begawan hampir menemukannya, jejak-jejak itu pun menghilang kembali atau bahkan kadang seperti bergerak terus sehingga sulit dilacak keberadaan yang sebenarnya.

Dalam pada itu Kiai Damar Sasangka dan Raden Surengpati sedang berdiri tertegun di tengah-tengah pintu pringgitan. Demikian Pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu membuka pintu yang menghubungkan pringgitan dengan pendapa, tampak dua orang sedang berdiri tegak dengan kaki renggang di tengah-tengah pendapa.

“Kau?” tiba-tiba terdengar Raden Surengpati menggeram keras sambil menunjuk ke arah wajah Glagah Putih.

Namun begitu Raden Surengpati menyadari orang yang berdiri di sebelah Glagah Putih, nyawanya pun bagaikan terbang meninggalkan raganya.

“Kiai,” desis Raden Surengpati dengan suara bergetar menahan gejolak jantungnya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak, “Orang yang berdiri di sebelah anak muda itulah yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu.”

Kiai Damar Sasangka mengerutkan keningnya. Hatinya memang sedikit bergetar begitu mengetahui dua orang yang berdiri di tengah-tengah pendapa itu salah satunya adalah Ki Rangga Agung Sedayu.

“O,”’ gumam Kiai Damar Sasangka kemudian sambil melangkah turun ke pendapa, “Selama ini aku mengenal Ki

Page 73: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

69

Rangga Agung Sedayu agul-agulnya Mataram hanya dari namanya saja yang kawentar dari ujung ke ujung tanah ini. Namun baru sekarang ini aku mendapat kehormatan untuk bertemu langsung serta berhadapan dengan Ki Rangga Agung Sedayu.”

Ki Rangga yang juga belum begitu mengenal pemimpin Padepokan Sapta Dhahana itu segera menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil berkata, “Selamat malam Kiai Damar Sasangka. Terima kasih atas sanjungan yang berlebihan ini. Namun sesungguhnya gambaran yang diberikan kepadaku itu terlalu berlebihan.”

“Sombong sekali,” sergah Kiai Damar Sasangka sambil berdiri tegak dengan kaki renggang di hadapan kedua orang itu, “Apakah Ki Rangga ingin mengatakan bahwa pengenalanku atas diri Ki Rangga itu terlalu sempit atau jauh dari kenyataan yang sebenarnya? Sehingga dapat diibaratkan, aku mengenal Ki Rangga hanyalah sebagai sebuah bukit kecil, namun sesungguhnya pada kenyataannya Ki Rangga adalah sebuah gunung yang tinggi menjulang?”

“Ah,” Ki Rangga berdesah, “Semua perbandingan itu tergantung dari apa yang menjadi lawan bandingnya. Jika aku dibandingkan dengan pemimpin Perguruan Sapta Dhahana, tentu aku hanya sebuah mentimun di dekat sebuah durian.”

Kiai Damar Sasangka tertawa. Jawabnya kemudian, “Aku memang sudah mendengar bahwa agul-agulnya Mataram ini terlalu merendahkan diri. Namun aku yakin dibalik kata-kata yang selalu merendah itu tersirat sebuah kesombongan yang tiada taranya.”

“Tentu tidak, Kiai,” sahut Ki Rangga dengan serta merta, “Aku selalu berusaha membawa diriku di setiap kesempatan agar dapat diterima oleh kehidupan bebrayan di sekitarku. Apapun tanggapan orang, namun aku selalu berusaha untuk tidak terpengaruh dengan sikap yang telah aku pilih ini.”

Kiai Damar Sasangka kembali tertawa. Katanya kemudian, “Itu terserah dirimu, Ki Rangga. Aku tidak peduli,” pemimpin

Page 74: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

70

perguruan Sapta Dhahana itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Nah, sekarang ternyata engkau telah datang sendiri untuk mengantarkan nyawa. Silahkan memilih cara kematian yang engkau senangi, Ki Rangga. Dendam kakang Pideksa hari ini harus dibayar lunas dan tuntas.”

Ki Rangga mengerutkan keningnya. Agaknya pemimpin perguruan Sapta Dhahana ini masih menuntut kematian Ki Pideksa dan bukan berbicara atas nama kepentingan Trah Sekar Seda Lepen. Maka berkata Ki Rangga kemudian, “Maaf Kiai Damar Sasangka, apakah tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah di antara kita? Bukankah sebenarnya permasalahan itu sudah selesai sebelum Ki Pideksa meninggal? Ki Pideksa telah meminta kedua muridnya untuk tidak menuntut balas.”

“Engkau benar Ki Rangga,” potong Kiai Damar Sasangka cepat, “Memang murid-murid perguruan Kumuda telah berjanji untuk tidak mengungkit dendam ini. Namun aku bukanlah murid perguruan Kumuda. Jadi sudah menjadi keputusanku untuk membalaskan dendam ini bukan atas nama perguruan Kumuda, namun atas nama diriku sendiri, Kiai Damar Sasangka dari perguruan Sapta Dhahana.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan Glagah Putih telah menarik nafas dalam-dalam. Agaknya pemimpin perguruan Sapta Dhahana ini sudah tidak dapat lagi untuk dilunakkan hatinya.

“Nah, apakah engkau sudah siap menjemput ajalmu, Ki Rangga?” bertanya Kiai Damar Sasangka kemudian, “Jika engkau sudah siap, kita tidak perlu berpanjang kata. Marilah kita turun ke halaman.”

Selesai berkata demikian Kiai Damar Sasangka segera melangkahkan kakinya diikuti oleh Raden Surengpati.

Melihat pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu sudah melangkahkan kakinya, mau tak mau Ki Rangga dan Glagah Putih pun kemudian mengikutinya.

“Kali ini aku tidak akan menghindar lagi,” geram Raden Surengpati yang berjalan beberapa langkah di samping Glagah

Page 75: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

71

Putih, “Engkau akan mati dengan cara yang paling mengerikan. Tubuhmu akan hangus terbakar menjadi abu.”

Glagah Putih berpaling sekilas sambil tersenyum. Katanya kemudian, “Mengapa Raden meninggalkan Ratri begitu saja di pategalan itu? Aku menjadi sedikit kesulitan untuk menyadarkan dia dari pingsannya. Selebihnya aku terpaksa menggendongnya untuk mengantarkan dia pulang ke rumah karena dia terlalu lemah dan tak berdaya.’

“Persetan!” geram Raden Surengpati sambil menghentikan langkahnya dan menghadap ke Glagah Putih yang juga telah berhenti, “Aku bunuh kau kalau berani menyentuh Ratri walaupun hanya seujung rambutnya.”

“Ah, terlambat Raden,” jawab Glagah Putih sambil tertawa, “Aku bahkan telah menggendongnya.”

“Persetan!” geram Raden Surengpati sambil meloncat menerjang Glagah Putih.

Namun Glagah Putih sudah siap. Dengan cekatan serangan Raden Surengpati itu dapat dihindarinya dengan mudah.

Demikianlah akhirnya kedua anak muda itu telah bertemu kembali dan agaknya kali ini mereka benar-benar akan menuntaskan perkelahian yang sempat tertunda beberapa saat yang lalu.

Dalam pada itu Ki Rangga yang juga telah berhenti beberapa tombak dari Glagah Putih sempat mendengar percakapan kedua anak muda itu. Ki Rangga pun segera maklum ketika Glagah Putih menyebut nama Ratri dan telah membuat gusar Raden Surengpati.

“Agaknya Glagah Putih telah bertemu dengan putri Ki Gede Matesih itu,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil sekilas mengikuti jalannya pertempuran, “Namun aku tidak yakin dengan cerita Glagah Putih itu. Mungkin Glagah Putih sengaja membuat lawannya tersinggung dan cemburu sehingga penalarannya pun akan menjadi buram. Semoga badai yang menerjang keluarga ki Gede Matesih maupun tanah perdikan ini segera berlalu.”

Page 76: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

72

Namun lamunan Ki Rangga terputus ketika didengarnya Kiai Damar Sasangka berteriak, “Ki Rangga, bukan saatnya sekarang ini untuk merenungi dosa-dosamu. Sekarang adalah saat-saat menjelang ajalmu. Maka bersiaplah.”

Ki Rangga sudah tidak sempat untuk membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Sejenak kemudian serangan pertama Kiai Damar Sasangka pun telah meluncur dengan dahsyatnya.

Dalam pada itu Begawan Cipta Hening yang sedang melacak keberadaan orang yang menebar sirep ternyata mulai menemukan titik terang.

“Hem,” gumam Begawan Cipta Hening kemudian, “Sebuah permainan yang cukup menarik. Namun jejak-jejak semu ini tidak akan mengelabuhi aku.”

Selesai berkata demikian Begawan Cipta Hening segera bangkit dari duduknya dan berjalan dengan tergesa-gesa ke arah utara.

Kira-kira sepenginang sirih lamanya, Begawan Cipta Hening telah mencapai sebuah padang rumput yang cukup luas di pinggir sebuah hutan yang lebat. Di tengah-tengah padang itu tampak tumbuh menjulang sebuah pohon besar. Di bawah pohon itu tampak seseorang sedang duduk bersila dengan menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil menyilang kedua tangannya di depan dada.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Begawan Cipta Hening segera menghampiri orang yang duduk bersila itu. Ketika jarak mereka tinggal empat langkah, Begawan Cipta Hening pun segera ikut duduk bersila tepat di hadapannya. Sejenak kemudian Begawan Cipta Hening pun telah tenggelam dalam samadinya menyusul orang yang duduk di bawah pohon itu.

Tidak terdengar teriakan, benturan atau pun ledakan yang memekakkan telinga. Demikian juga tidak tampak pameran ilmu yang nggegirisi. Namun sebenarnyalah telah terjadi pertempuran batin yang dahsyat antara kedua orang itu. Di alam sonyaruri kedua orang itu sedang bertempur dengan cara mereka sendiri.

Page 77: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

73

Dalam pada itu malam telah bergeser semakin menjauhi pusatnya. Pertempuran di sebelah timur Padepokan Sapta Dhahana semakin lama semakin sengit. Ki Kebo Mengo yang merupakan orang kepercayaan Raden Wirasena bertempur bagaikan seekor Kebo ndanu yang gila. Setelah beberapa saat menjajagi kekuatan lawannya, tahulah Ki Kebo Mengo bahwa lawannya itu tidak dapat dipandang sebelah mata.

“Orang ini sudah cukup tua tapi gerakannya masih selincah anak muda,” geram Ki Kebo Mengo dalam hati sambil mengurung lawannya dengan gempuran-gempuran yang nggegirisi. Kedua tangannya bagaikan sepasang tanduk kebo ndanu yang menggempur pertahanan lawannya dari segala arah.

Namun lawannya kali ini adalah Ki Bango Lamatan yang pernah menjadi orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra. Dengan bekal ilmu yang lebih dari cukup, Ki Bango Lamatan sampai saat ini masih mampu mengimbangi tandang Ki Kebo Mengo.

“Aku harus mencoba sampai dimana batas kekuatan orang ini,” berkata Ki Kebo Mengo dalam hati yang melihat sedari tadi lawannya tidak pernah membenturkan kekuatannya, “Dia selalu mengandalkan kelincahannya untuk menghindari seranganku.”

Berpikir sampai disitu, Ki Kebo Mengo segera meningkatkan kecepatan serangannya. Dengan dahsyatnya dia melibat lawannya dari jarak dekat sehingga tidak memberi ruang bagi Ki Bango Lamatan untuk selalu menghindar dan menghindar.

Demikianlah akhirnya kesempatan itu datang juga. Ketika Ki Kebo Mengo mendesak lawannya dengan sebuah sambaran kaki kanannya ke arah lambung yang kemudian disusul dengan pukulan mengarah wajah, Ki Bango Lamatan tidak mempunyai pilihan lain. Sambaran kaki lawan itu masih dapat dihindarinya dengan bergeser setapak ke samping. Namun ternyata serangan pertama itu hanya sebagai pancingan saja. Begitu Ki Bango Lamatan bergeser setapak ke samping, belum sempat dia meletakkan telapak kakinya dengan sempurna, sebuah serangan

Page 78: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

74

yang didahului oleh sambaran angin yang dahsyat mengarah ke wajahnya.

Tidak ada pilihan lain bagi Ki Bango Lamatan selain menghentakkan segenap kekuatannya sambil menyilangkan kedua tangannya di atas kepala. Sejenak kemudian sebuah benturan keras pun telah terjadi.

Ledakan yang terdengar dari benturan itu memang tidak seberapa keras. Namun getarannya benar-benar mampu mengguncang udara di sekitarnya. Daun-daun yang sudah menguning telah rontok dan berguguran dari tangkainya karena pohonnya bagaikan diguncang oleh badai. Sedangkan debu-debu pun berhamburan dan memenuhi udara di sekitar pertempuran itu.

Sejenak kedua orang yang telah mengadu tenaga itu terlontar beberapa langkah ke belakang. Namun masing-masing ternyata mampu menguasai keseimbangan tubuh mereka sehingga dengan mudah dapat mendarat kembali di atas kaki mereka yang renggang.

Untuk beberapa saat kedua orang itu tampak sedang berusaha mengatur pernafasan. Betapapun juga, benturan itu telah menyesakkan dada mereka.

“Nah,” berkata Ki Kebo Mengo kemudian, “Aku telah berhasil menjajagi kekuatan Ki Sanak. Untuk selanjutnya aku tidak akan mengekang diri lagi. Jika ternyata Ki Sanak tidak mampu bertahan dalam waktu sepenginang sirih, jangan salahkan aku. Itu adalah salah Ki Sanak sendiri yang terlalu dangkal dalam menguasai ilmu.”

Ki Bango Lamatan tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis perlahan, “Luar biasa. Aku benar-benar tidak menyangka jika Padepokan Sapta Dhahana ini menyimpan kekuatan yang ngedab-edabi. Sekarang ini aku justru menjadi ragu-ragu..?”

“He?” seru Ki Kebo Mengo, “Apakah Ki Sanak memutuskan untuk menyerah?”

Page 79: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

75

“O, tidak, tidak,” sahut Ki Bango Lamatan cepat, “Aku menjadi sedikit ragu. Masalahnya aku mempunyai seekor kerbau betina di rumah, aku memerlukan seekor pejantan yang tangguh...”

Belum sempat Ki Bango Lamatan menyelesaikan kata-katanya, serangan Ki Kebo Mengo kembali datang dengan membadai.

“Aku hancurkan mulutmu!” bentak Ki Kebo Mengo sambil kaki kanannya terjulur lurus mengarah wajah lawannya.

Demikianlah pertempuran kedua orang itu pun kembali berlangsung dengan sengitnya.

Beberapa tombak dari lingkaran pertempuran itu, Ki Brukut sedang melayani lawannya yang tandangnya sangat ngedab-edabi. Seorang yang sudah tua namun masih dapat bergerak dengan sangat lincah serta berkekuatan seperti seekor gajah.

“Aku yakin, betapapun dahsyatnya ilmu orang ini, namun umur akan menentukan akhir dari pertempuran ini. Tidak ada sepenginang sirih, orang ini pasti akan terkapar kehabisan nafas,” Ki Brukut berangan-angan sambil terus mendesak lawannya.

Namun ternyata apa yang dibayangkan oleh Ki Brukut itu belum menjadi kenyataan. Sudah lebih dari sepenginang sirih, namun Ki Jayaraga masih terlihat segar dan kekuatannya tidak berkurang sedikit pun.

“He! Ki Sanak! Setan mana yang telah merasuki tubuhmu?!” geram Ki Brukut sambil menghindari serangan beruntun Ki Jayaraga.

“Tidak ada setan yang berani merasuki tubuhku,” jawab Ki Jayaraga sambil terus mengurung Ki Brukut dengan serangannya yang membadai, “Jangankan merasuki tubuhku, mendekat pun setan tidak akan berani.”

“Sombong!” geram Ki Brukut kembali. Namun benturan-benturan berikutnya yang datang beruntun telah memaksa Ki Brukut mengerahkan segenap kemampuannya.

Ketika Ki Jayaraga kemudian membenturkan kekuatannya pada lawannya, guru Glagah Putih itu telah dikejutkan oleh

Page 80: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

76

peningkatan kemampuan lawannya. Getaran dari benturan yang terjadi kemudian rasa-rasanya seperti menyusup ke dalam kulit dan dagingnya serta kemudian meremas tulang-tulangnya.

“Gila!” geram Ki Jayaraga sambil meloncat mundur mengambil jarak. Ki Jayaraga harus mengerahkan tenaga cadangannya agar getaran yang menyusup ke dalam tubuhnya itu tidak benar-benar meremas tulang.

Ki Brukut yang melihat lawannya meloncat mundur telah tertawa pendek. Katanya kemudian, “Jangan khawatir Ki Sanak. Aku akan memberimu cukup waktu untuk beristirahat jika memang engkau membutuhkan. Aku akan sabar menunggu sampai Ki Sanak siap kembali untuk bertempur.”

Ki Jayaraga hanya dapat menggeretakkan giginya mendengar ejekan lawan. Namun sekarang guru Glagah Putih itu harus lebih waspada. Dia harus sedapat mungkin menghindari benturan kekuatan dengan lawannya kalau tidak ingin tulang belulangnya remuk tak berbentuk.

“Apakah Ki Sanak sudah cukup beristirahat?” bertanya Ki Brukut kemudian dengan nada sangat menghina.

Ki Jayaraga tidak menjawab. Namun diam-diam Ki Jayaraga telah mengungkapkan sebagian ilmunya. Namun Ki Jayaraga sengaja memilih unsur api saja untuk mengejutkan lawannya.

Maka ketika lawannya kemudian sekali lagi bertanya kepadanya dengan nada yang sangat menyakitkan hati, Ki Jayaraga pun telah meloncat menyerang dengan kekuatan api terhimpun di sisi telapak tangannya yang terbuka dengan jari-jari merapat.

Dengan keyakinan yang sangat tinggi, Ki Brukut pun segera menyambut serangan Ki Jayaraga. Ketika tangan Ki Jayaraga kemudian terayun deras menghantam wajahnya, dengan kepercayaan diri yang tinggi Ki Brukut segera mengangkat salah satu tangannya untuk menangkis.

Page 81: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

77

Namun alangkah terkejutnya Ayah Putut Sambernyawa itu. Sebelum serangan lawannya itu datang, serangkum hawa panas terasa telah menerpa kulit lengannya. Namun sudah tidak ada kesempatan lagi bagi Ki Brukut untuk menarik lengannya.

Sejenak kemudian, benturan untuk yang ke sekian kalinya itu pun terjadi lagi. Namun kali ini sangat berbeda. Ki Jayaraga memang masih merasakan tangannya menjadi kesemutan dan getaran yang menyusup di lubang pori-pori kulitnya mampu menembus daging. Namun getaran itu tidak sampai menyentuh tulang, walaupun rasa-rasanya tangannya menjadi mati rasa dan untuk beberapa saat sulit untuk digerakkan.

Sedangkan Ki Brukut yang sangat yakin dengan kemampuan ilmunya menjadi terkejut bukan alang kepalang. Panas yang terpancar dari sisi telapak tangan lawannya dengan jari-jari merapat itu tepat membentur lengannya dan akibatnya sangat dahsyat. Panas yang menyengat segera saja membakar kulitnya.

Bersambung ke jilid 06

Page 82: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

78