sejengkal tanah setetes darah jilid 10 · gambar sampul & gambar dalam ki adi suta tahun 2018...

85
Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

Upload: others

Post on 13-Nov-2020

43 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

Page 2: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

ii

Page 3: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

iii

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

JILID 10

OLEH

PanemBahan Mandaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Ki Adi Suta

Tahun 2018 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

Page 4: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

iv

Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita Dari bumi yang tercinta Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah karya Untuk dilestarikan sepanjang masa Sekar keluwih, April 2018

Terima kasih atas dukungan:

Istri dan anak-anak tercinta

Serta handai taulan semua

Page 5: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

DALAM PADA ITU, pendengaran Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Pati yang sangat tajam melebihi orang kebanyakan ternyata telah menangkap suara ringkikan kuda Panembahan Hanyakrawati. Suara ringkikan kuda itu terdengar cukup keras seolah-olah mengisyaratkan kuda itu sedang mendapatkan sebuah petaka.

“Sebentar, Pangeran!” seru Ki Patih sambil mengekang tali kendali kudanya dengan tiba-tiba sehingga kuda itu telah terkejut dan berhenti seketika dengan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Sementara Pangeran Pati yang berkuda di sebelahnya pun kemudian berbuat serupa.

“Eyang Buyut Mandaraka,” berkata Pangeran Pati kemudian sambil mengendalikan kudanya yang agak terkejut karena dikekang dengan tiba-tiba, “Mengapa kita justru berhenti? Aku mendengar kuda Ayahanda Prabu telah meringkik keras. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan Sinuhun Prabu.”

“Sabarlah Pangeran,” jawab Ki Patih perlahan sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sejenak dipandanginya hutan di hadapannya yang membujur di sebelah barat padang rumput itu. Panggraita Ki Patih merasakan sebuah isyarat tentang bahaya yang sedang menghadang di sepanjang jalur jalan setapak yang menjelujur di hadapan mereka berdua.

Page 6: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

2

“Apakah kita akan meneruskan perjalanan, Eyang Buyut?” bertanya Pangeran Pati kemudian dengan suara terdengar sedikit tidak sabar begitu melihat Ki Patih hanya termangu-mangu di atas punggung kudanya.

“Ya, Pangeran,” jawab Ki Patih kemudian sambil meloncat turun dari kudanya, “Kita lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.”

Pangeran Pati Mataram itu pun menjadi heran. Namun Pangeran yang semasa mudanya bernama Mas Rangsang itu pun akhirnya ikut meloncat turun juga dari kudanya.

“Mengapa kita justru berjalan kaki, Eyang Buyut?” kembali Pangeran Pati bertanya sambil menuntun kudanya mengikuti langkah kaki Ki Patih.

“Pangeran,” jawab Ki Patih yang juga menuntun kudanya sambil menjajari Raden Mas Rangsang, “Aku merasakan ada suatu bahaya yang sedang menunggu di sepanjang jalur jalan setapak di hadapan kita itu. Firasatku mengatakan demikian. Sebaiknya kita berjalan kaki saja agar lebih siap jika menghadapi sesuatu yang tak terduga.”

Terasa sebuah desir yang sangat tajam menggores jantung Pangeran Pati. Betapapun juga jawaban Ki Patih itu telah membuatnya semakin gelisah dan mengkhawatirkan akan nasib Ayahandanya.

Setelah menarik nafas panjang untuk sekedar meredakan getar-getar di dalam dadanya, Pangeran Pati itu pun kemudian kembali bertanya, “Bagaimana dengan Ayahanda Prabu? Apakah kita tidak segera menyusulnya? Aku takut bahaya itu justru menghadang Ayahanda Prabu sendiri.”

Sekilas Ki Patih berpaling. Jawabnya kemudian, “Pangeran, kadang kita memang dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit. Namun jika memang aku diharuskan memilih, aku memilih untuk menyelamatkan masa depan, masa depan seluruh kawula

Page 7: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

3

Mataram yang sangat bergantung dengan apa yang mungkin saja akan terjadi pada saat ini.”

Tampak kerut merut di dahi Pangeran Pati itu semakin dalam. Sambil berpaling ke arah Ki Patih yang berjalan di sisinya, dia kembali bertanya, “Apa maksud Eyang Buyut dengan masa depan itu? Aku benar-benar tidak mengerti.”

Ki Patih tersenyum mendengar pertanyaan Pangeran Pati itu. Jawabnya kemudian sambil menggeleng lemah, “Aku juga tidak mengerti apa yang akan terjadi kemudian, Pangeran. Namun aku hanya berusaha mengurai getar-getar firasat yang begitu kuatnya mencengkam jantungku. Semoga semua firasat ini hanyalah sebuah kegelisahan orang tua yang sudah mulai pikun seperti aku ini. Tetapi aku yakin Yang Maha Agung pasti akan memberikan yang terbaik bagi hambaNya yang selalu berjalan mengikuti paugeran-paugeran yang telah disampaikan melalui utusanNya.”

Keterangan Ki Patih itu ternyata tidak menjadikan hati Pangeran Pati menjadi tenang. Justru kegelisahan semakin terasa menghentak-hentak jantungnya. Sementara langkah kedua Priyagung Mataram itu sudah semakin mendekati jalur jalan setapak di dalam hutan sebelah barat padang rumput itu.

Dalam pada itu Raden Wirasena menjadi heran karena derap langkah kaki-kaki kuda itu tiba-tiba saja telah berhenti dan tidak terdengar lagi.

“He? Apa sebenarnya yang telah terjadi?” bertanya Raden Wirasena dengan suara berbisik kepada Kiai Dandang Mangore yang bersembunyi di sebelahnya, “Langkah-langkah kuda itu tidak terdengar lagi?”

Kiai Dandang Mangore tidak menjawab. Sambil mencoba mengetrapkan kemampuan aji sapta pangrungu setinggi-tingginya dia menundukkan kepalanya dalam-dalam dengan kedua tangan bersilang di dada. Sementara Eyang Guru yang bersembunyi beberapa langkah dari mereka berdua itu agaknya telah berbuat serupa, mengetrapkan kemampuannya untuk mendengarkan bunyi alam sekitarnya.

Page 8: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

4

“Mereka berdua agaknya memilih turun dari kuda,” desis Eyang Guru yang membuat Raden Wirasena terkejut. Bahkan ketika dia kemudian berpaling ke arah Kiai Dandang Mangore, pemimpin perguruan Gandamayit itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Gila!” geram Raden Wirasena kemudian sambil mengepalkan kedua tangannya, “Apakah sebaiknya yang kita lakukan?”

Sejenak kedua orang tua itu tampak termangu-mangu. Namun Eyang Guru yang menyadari betapa berharganya waktu saat itu segera bergeser mendekat sambil berdesis, “Kita bergeser mendekati kelokan jalan itu. Begitu kedua orang itu muncul, kita sergap tanpa ampun.”

“Baiklah,” sahut Kiai Dandang Mangore kemudian, “Serahkan Pewaris Mataram itu kepadaku. Sementara Raden berdua dapat menahan orang dari Sela itu. Aku hanya memerlukan waktu sekejab untuk melumatkan Raden Mas Rangsang. Setelah itu aku akan membantu Raden berdua menghancurkan orang yang paling licik di seluruh tlatah Mataram itu.”

“Bagaimana jika mereka berdua ternyata bukan Ki Patih dan Mas Rangsang?” sela Raden Wirasena tiba-tiba mengungkapkan begitu saja apa yang terlintas di dalam benaknya.

“Itu mungkin saja bisa terjadi, Raden,” sahut Eyang Guru dengan serta merta.

Sejenak Kiai Dandang Mangore mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil memandang kedua orang yang berdiri di depannya itu ganti-berganti. Jawabnya kemudian tanpa banyak pertimbangan, “Siapapun yang muncul di kelokan jalan itu harus mati.”

Raden Wirasena dan Eyang Guru tidak menyahut lagi. Hanya tampak kepala kedua orang itu yang terangguk- angguk.

Namun baru saja mereka bertiga akan bergeser mendekati kelokan jalan setapak itu, tiba-tiba bumi yang mereka pijak terasa

Page 9: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

5

bergetar dan lamat-lamat terdengar suara gemuruh yang semakin lama semakin mendekat.

“Gila! Ada apa lagi ini?!” geram Raden Wirasena dengan raut wajah menegang sambil menengadahkan wajahnya dan mempertajam pendengarannya.

Namun agaknya Eyang Guru dan Kiai Dandang Mangore yang sudah putus segala kawruh lahir maupun batin itu segera menyadari bahwa suara gemuruh yang semakin mendekat itu adalah suara derap puluhan ekor kuda yang sedang dipacu menuju ke tempat mereka.

Dalam pada itu Ki Patih dan Mas Rangsang yang sudah mulai memasuki lorong jalan setapak dalam hutan itu juga terkejut ketika merasakan bumi yang mereka pijak bergetar bersamaan dengan terdengarnya suara bergemuruh.

Ketika kedua Priyagung itu kemudian berpaling ke belakang, tampak puluhan ekor kuda sedang dipacu memasuki padang dari arah pesanggrahan.

“Para Sentana Dalem,” desis Ki Patih tanpa sadar, “Mengapa mereka tertarik untuk mengikuti kita?”

Pangeran Pati yang sedang digelisahkan akan keselamatan Ayahandanya itu sama sekali tidak menanggapi kata-kata Ki Patih. Bahkan dengan sedikit mempercepat langkahnya dia berkata, “Marilah Eyang Buyut. Aku benar-benar mengkhawatirkan keselamatan Ayahanda Prabu.”

Ki Patih yang dapat merasakan kegelisahan Pangeran Pati itu pun akhirnya segera mengikuti langkahnya.

Namun ketika langkah mereka berdua hampir mencapai kelokan jalan setapak itu, tiba-tiba saja Ki Patih kembali menahan lengan Pangeran Pati.

“Ada apa lagi, Eyang Buyut?” sergah Pangeran Pati tanpa dapat lagi menahan kesabarannya.

Page 10: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

6

Ki Patih menarik nafas panjang sambil berdesis perlahan, “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat lemah di antara suara gemuruh kaki-kaki kuda itu, namun aku masih mampu menangkapnya.”

Pangeran Pati mengerutkan keningnya dengan dada yang semakin berdentangan. Tanyanya kemudian, “Maksud Eyang Buyut, bahaya sedang menunggu kita di kelokan itu?”

“Aku tidak begitu pasti, Cucunda Buyut,” jawab Ki Patih sambil berbisik.

Sekejab kemudian sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, Ki Patih kembali mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencoba mendengar setiap desir ranting kering yang patah terinjak maupun daun-daun perdu yang tersibak.

Namun akhirnya Ki Patih kembali mengangkat kepalanya dan mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada. Dengan perlahan Ki Patih pun kemudian berdesis, “Syukurlah, mereka agaknya memilih untuk menghindar. Agaknya kedatangan rombongan berkuda itu telah mengubah jalan pikiran mereka.”

Selesai berkata demikian, Ki Patih justru telah berlari meninggalkan kudanya begitu saja serta Pangeran Pati untuk kemudian menghilang di kelokan jalan setapak itu.

Pangeran Pati terkejut melihat Ki Patih Mandaraka meninggalkannya begitu saja. Tanpa sadar dia segera ikut melepaskan kudanya dan berlari menyusul Ki Patih. Sementara rombongan berkuda yang berjumlah hampir dua puluhan itu telah hampir mencapai tengah-tengah padang.

Dalam pada itu, begitu Ki Patih mencapai kelokan jalan setapak itu, pemandangan yang terhampar di hadapannya benar-benar telah membuat jantung orang tua itu seakan terlepas dari tangkainya.

“Cucunda Panembahan!” teriak Ki Patih sambil memburu ke tempat Panembahan Hanyakrawati tergeletak.

Page 11: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

7

Sedangkan Pangeran Pati yang belum mencapai kelokan dan telah mendengar teriakan Ki Patih telah meloncat berlari sekencang-kencangnya bagaikan dikejar hantu di siang bolong.

“Ayahanda Prabu!” teriak Pangeran Pati begitu melihat Panembahan Hanyakrawati tampak terbaring diam. Sementara Ki Patih sedang berlutut di sebelahnya.

Pangeran Pati benar-benar tidak mampu mengendalikan diri lagi. Dengan tangkasnya dia telah meloncat menghambur ke tempat Ki Patih berlutut di sebelah Panembahan Hanyakrawati. Sambil menghunus keris pusakanya dan mengangkatnya tinggi-tinggi seolah ingin menusuk langit, pewaris trah Mataram itu segera berteriak lantang, “Siapa yang telah berani dengan deksura mencederai Ayahanda Prabu?! Keluarlah! Aku tantang berperang tanding sampai salah satu di antara kita terbujur menjadi mayat!”

Namun yang terdengar justru jawaban sareh di sebelahnya, “Cucunda Buyut, sarungkanlah keris pusakamu. Mereka telah pergi dari tempat ini beberapa saat tadi. Mungkin mereka sekarang telah cukup jauh dan adalah sangat berbahaya untuk mengejar mereka di antara pepatnya hutan Krapyak ini.”

“Eyang Buyut,” sahut Pangeran Pati dengan suara bergetar serta dada yang bergelombang, “Aku bersumpah, sampai ke ujung dunia pun akan aku kejar orang yang telah berani mencederai Ayahanda Prabu.”

“Pangeran,” perlahan terdengar suara Ki Patih yang tersendat, “Cucunda Panembahan Hanyakrawati telah mangkat.”

“He?!” jika saja ada petir yang menyambar sejengkal di atas kepalanya, Pangeran Pati tidak akan sedemikian terkejut mendengar kata-kata Ki Patih. Dengan tergesa-gesa disarungkan kembali keris pusakanya sambil berlutut di sebelah Ki Patih.

“Ayahanda Prabu! Ayahanda Prabu!” seru Pangeran Pati berulang ulang sambil mengguncang-guncang tubuh Penguasa Mataram yang telah terbujur diam itu.

Page 12: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

8

“Sudahlah Pangeran, kita harus bertindak cepat,” bisik Ki Patih kemudian sambil menengok ke arah kelokan jalan setapak beberapa tombak dari tempat mereka, “Sebentar lagi………

Page 13: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

9

“Sudahlah Pangeran, kita harus bertindak cepat,” bisik Ki Patih kemudian sambil menengok ke arah kelokan jalan setapak beberapa tombak dari tempat mereka, “Sebentar lagi para Sentana Dalem akan tiba. Kita harus menyembunyikan sebab mangkatnya Sang Prabu. Aku telah membuang paser yang menancap di dadanya. Lepaskanlah baju luarmu dan selimuti jasad Kanjeng Prabu agar bekas lukanya tidak tampak. Sementara aku akan membuang paser satunya yang menancap di leher kuda itu.”

Selesai berkata demikian Ki Patih segera bangkit berdiri dan berjalan ke arah kuda tunggangan Panembahan Hanyakrawati yang tergeletak beberapa langkah dari tempat itu. Sementara Pangeran Pati segera tanggap apa yang di pikirkan oleh Ki Patih. Setelah melepaskan baju luarnya dan diselimutkan ke jasad Ayahandanya, Pangeran Pati pun kemudian duduk bersimpuh dan meletakkan kepala Panembahan Hanyakrawati di pangkuannya.

Sambil duduk bersimpuh dan memangku kepala Ayahandanya, lamunan Pangeran Pati pun melayang ke peristiwa semalam ketika menerima laporan dari selir terkasihnya Rara Anjani.

“Rara Anjani,” desah Pangeran Pati kemudian sambil menatap kosong ke kejauhan, “Ternyata berita yang dibawa benar adanya. Ada sekelompok orang yang menginginkan kematian Ayahanda. Aku saja yang kurang tanggap dan terlalu percaya kepada Emban Menik.”

Teringat akan Emban Menik tiba-tiba saja darah Pangeran Pati bagaikan mendidih sampai ke ubun-ubun.

“Setelah sampai di pesanggrahan nanti, orang pertama-tama yang akan aku cari adalah Emban Menik,” geram Pangeran Pati sambil mengepalkan kedua tangannya, “Jika memang dia terbukti terlibat dalam persekongkolan jahat ini, akan aku jatuhi hukuman gantung. Tidak perduli dengan jasa-jasa dan darma bakti para pendahulunya selama ini.”

Berpikir sampai disitu hati Pangeran Pati menjadi gelisah. Pandangan matanya tak lepas dari kelokan jalan setapak itu.

Page 14: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

10

Menunggu memang pekerjaan yang membosankan, namun Pangeran Pati harus menunggu para penunggang kuda itu benar-benar muncul di kelokan.

Dalam pada itu rombongan berkuda para Sentana Dalem telah menyusuri jalan setapak yang menjelujur ke arah barat. Dengan segera mereka memperlambat langkah-langkah kuda itu agar mereka tidak berdesak desakan di jalan setapak yang sempit itu.

“He? Lihat! Ada dua ekor kuda yang terlepas!” seru salah seorang Sentana Dalem yang berkuda di paling depan begitu mendapatkan kuda Ki Patih dan Mas Rangsang dengan tenangnya sedang merumput di pinggir jalan.

“Tentu kuda Ki Patih dan Pangeran Pati,” sahut yang lainnya, “Tapi kemanakah mereka berdua?”

Tidak ada seorang pun yang mampu menjawab pertanyaan itu. Namun ketika rombongan itu kemudian semakin memperlambat laju kuda-kuda mereka karena melewati kelokan jalan, jantung para Sentana Dalem itu pun bagaikan meledak melihat pemandangan yang terhampar di hadapan mereka.

Bagaikan sudah berjanji sebelumnya, para Sentana Dalem itu pun segera mengekang kendali kuda-kuda mereka dan kemudian meloncat turun.

Tidak ada seorang pun yang menghiraukan kuda-kuda itu. Mereka serentak segera berlari ke tempat Pangeran Pati yang sedang memangku kepala Sinuhun Prabu dan Ki Patih yang berdiri termangu-mangu di sebelah kuda yang tergeletak tak bergerak.

“Ampun Ki Patih, ampun Pangeran, apa yang telah terjadi?” pertanyaan itu terdengar bertubi-tubi dari para Sentana Dalem yang telah mencapai tempat itu.

Pangeran Pati sama sekali tidak menjawab. Bahkan mengangkat kepalanya pun tidak. Kesedihan yang tiada taranya tampak menghiasi wajah pewaris Mataram itu.

Page 15: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

11

Ki Patih yang berdiri beberapa langkah dari Pangeran Pati segera melangkah mendekat. Katanya kemudian, “Telah terjadi kecelakaan yang mengakibatkan Sinuhun Prabu meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Agaknya kuda tunggangan Sinuhun Prabu telah terjatuh dan mengakibatkan penunggangnya terjatuh pula.”

Para Sentana Dalem itu menjadi heran mendengar keterangan Ki Patih. Bagaimana mungkin putra Panembahan Senapati yang kemampuan menunggang kudanya tak diragukan lagi itu bisa tewas hanya karena terjatuh dari seekor kuda? Mereka benar-benar tidak dapat mempercayai keterangan itu.

Ketika mereka kemudian berpaling ke arah Pangeran Pati, tampak pewaris Mataram itu mengangkat kepalanya. Sorot matanya menampakkan kesedihan yang tiada taranya. Setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu, barulah Pangeran Pati kemudian menjatuhkan titahnya, “Beberapa di antara kalian kembalilah ke pesanggrahan. Carilah tandu untuk membawa jasad Panembahan Prabu kembali ke pesanggrahan,” Pangeran Pati berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Kirim utusan ke kota Raja malam ini juga untuk mengabarkan berita duka ini.”

“Jangan lupa untuk memerintahkan beberapa Pekatik dengan membawa peralatan untuk mengubur kuda tunggangan Sinuhun Prabu,” Ki Patih menambahkan sambil ikut berlutut di sebelah Pangeran Pati.

Untuk beberapa saat para Sentana Dalem itu masih berdiri termangu-mangu. Mereka benar-benar tidak dapat mempercayai apa yang telah terjadi. Namun ketika Ki Patih kemudian memberi isyarat untuk segera melaksanakan perintah Pangeran Pati itu, beberapa Sentana Dalem pun segera menghaturkan sembah dan kemudian berlari menuju ke arah kuda-kuda mereka. Sedangkan sisanya setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu telah ikut duduk bersila beberapa langkah di hadapan jasad Panembahan Hanyakrawati sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

Page 16: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

12

Sementara langit pun mulai diliputi kegelapan, segelap hati orang-orang yang sedang menunggui jasad Panembahan Hanyakrawati.

Dalam pada itu, pesanggrahan hutan Krapyak pun menjadi gempar ketika para Sentana Dalem yang mengabarkan berita duka itu telah sampai. Jerit tangis para emban yang telah mendengar mangkatnya Sang Prabu telah menambah suasana menjadi kisruh. Penjagaan prajurit di pesanggrahan pun telah ditingkatkan menjadi kesiagaan tertinggi. Pasukan khusus pengawal Raja pun sebagian telah dikirim ke hutan Krapyak untuk menjemput jasad Sinuhun Prabu. Sementara Ki Lurah Adiwaswa sebagai salah satu perwira yang bertugas malam itu segera mengumpulkan anak buahnya.

“Awasi setiap jengkal tanah di pesanggrahan ini. Jangan sampai ada yang berusaha lolos di saat kita sedang disibukkan menyambut jenazah sang Prabu,” berkata Ki Lurah Adiwaswa kemudian memberikan perintah kepada para pemimpin kelompok prajurit yang bertugas malam itu.

“Ki Lurah,” berkata seorang pemimpin kelompok prajurit yang berbadan kekar, “Di beberapa tempat di pesanggrahan ini tidak dilindungi oleh dinding yang tinggi, terutama di sebelah barat dekat dengan padang rumput itu. Apakah kita perlu memasang pagar betis di sekelilingnya untuk menjaga segala kemungkinan.”

“Engkau benar,” jawab Ki Lurah Adiwaswa dengan serta merta, “Panggil beberapa prajurit yang sedang lepas tugas. Keadaan benar-benar darurat. Kita kerahkan segala kekuatan untuk menjaga keamanan dan kemungkinan lain yang dapat saja terjadi,” Ki Lurah berhenti sejenak. Diedarkan pandangan matanya ke arah para pemimpin kelompok prajurit itu sejenak. Lanjutnya kemudian dengan suara yang sedikit perlahan, “Aku tidak yakin sang Prabu mangkat karena terjatuh dari kuda. Aku mempunyai perhitungan lain. Untuk itu tidak ada jeleknya kita waspada. Kita tidak tahu sekarang ini siapa yang menjadi kawan dan siapa sebenarnya yang telah menyeberang menjadi lawan. Namun jangan saling bercuriga, tetaplah menjaga kewaspadaan di

Page 17: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

13

setiap saat. Jika terjadi hal-hal yang mencurigakan, segera laporkan.”

Para pemimpin kelompok prajurit itu terlihat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Memang berita yang mereka terima dari para Sentana Dalem, Sinuhun Panembahan Hanyakrawati telah terjatuh dari kuda tunggangannya sehingga tewas. Namun banyak orang meragukan keterangan itu. Putra Panembahan Senopati itu sebagaimana Ayahandanya, juga seorang yang ahli menunggang kuda. Bagaimana mungkin bisa terjatuh dari kuda dan mengakibatkan meninggalnya sang Prabu.

“Panembahan Senapati semasa mudanya memang terkenal sebagai seorang ahli penunggang kuda yang tiada taranya di seluruh Pajang,” berkata seorang pemimpin kelompok prajurit yang bermata sipit dalam hati, “Dengan kepiawiannya menunggang kuda itulah Panembahan Senapati yang waktu itu bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar berhasil menyarangkan ujung tombak Kiai Pleret ke lambung Harya Penangsang.”

“Nah, aku kira sudah cukup,” berkata Ki Lurah Adiwaswa kemudian membuyarkan lamunan pemimpin kelompok prajurit yang bermata sipit itu, “Silahkan kembali ke tempat tugas masing-masing,” Ki Lurah berhenti sejenak. Kemudian kepada pemimpin kelompok prajurit yang berbadan kekar itu dia melanjutkan, “Jangan lupa tugasmu membuat pagar betis di pesanggrahan sebelah barat dekat padang rumput itu.”

“Baik Ki Lurah,” pemimpin kelompok yang berbadan kekar itu pun menyahut.

*****

Demikianlah pesanggrahan yang semula tenang itu telah berubah menjadi hiruk pikuk sehubungan dengan berita mangkatnya Panembahan Hanyakrawati, Penguasa Mataram kedua setelah Panembahan Senapati.

Dalam pada itu, Matahari di langit sebelah barat baru saja terbenam. Namun sinar kemerahan yang redup masih tampak

Page 18: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

14

menghiasi langit sehingga suasana benar-benar belum gelap seluruhnya. Di saat para penghuni pesanggrahan hutan Krapyak sedang disibukkan dengan penyembuhan jenasah Sang Prabu, tanpa menarik perhatian, dua orang perempuan sedang berjalan tersaruk-saruk di dalam lebatnya hutan Krapyak sebelah timur. Dua orang perempuan yang berbeda USIA cukup jauh itu tampak masing-masing menggendong sebuah buntalan kecil.

Berkali-kali mereka berdua harus berpindah jalur yang mereka lalui. Selain hutan Krapyak memang masih cukup lebat di beberapa tempat, langit pun mulai diselimuti oleh kegelapan walaupun warna semburat merah di langit barat sedikit banyak masih menerangi alam sekitarnya.

“Menik,” berkata salah satu perempuan yang tampak sudah parobaya, “Mengapa engkau memilih menyingkir? Bukankah tidak ada seorang saksi pun ketika engkau menunjukkan kidang kencana atracak waja itu kepada Sinuhun Prabu?”

“Memang aku yakin tidak ada yang melihat kami berdua saat itu, mbok,” sahut perempuan muda yang berjalan di sebelahnya yang ternyata Emban Menik, “Namun Raden Mas Rangsang ternyata masih hidup, tidak ikut terbunuh sebagaimana rencana yang engkau sampaikan padaku, mbok. Aku yakin, begitu sampai di pesanggrahan, orang pertama kali yang akan dicari oleh Pangeran Pati adalah aku.”

“Mengapa engkau begitu yakin dengan dugaanmu itu?” bertanya perempuan parobaya itu kemudian, “Bukankah rencana itu sangat rahasia dan tidak ada seorang pun yang mengetahuinya selain kita? Atas dasar apa Pangeran Pati akan mencarimu?”

“Tidak, mbok. Tidak,” desah Emban Menik dengan suara yang mirip dengan sebuah tangisan, “Rencana itu telah bocor sebelum kita berangkat ke hutan Krapyak tadi pagi.”

“He?!” seru perempuan parobaya itu tanpa mampu mengendalikan suaranya, “Apa katamu? Rencana itu sudah bocor sejak tadi pagi?”

Page 19: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

15

“Ya, mbok,” jawab Emban Menik dengan suara sendat, “Bahkan rencana itu memang sudah bocor sejak semalam.”

Perempuan parobaya itu menjadi heran sehingga telah menghentikan langkah. Tanyanya kemudian dengan suara sedikit membentak, “Menik! Jika engkau sudah tahu rencana itu telah bocor, mengapa engkau diam saja? Mengapa engkau tidak memberitahu aku sehingga ketika Ki Lurah Wirabakti siang tadi menghubungi aku, aku dapat melaporkan hal itu!”

Tampak betapa wajah Emban Menik mulai bersimbah air mata lagi. Beberapa saat tadi ketika mendengar berita mangkatnya sang Prabu, hati Emban Menik sempat mengembang dan dipenuhi dengan harapan yang indah. Namun begitu didengarnya Pangeran Pati dan Ki Patih masih hidup dan sedang menunggui jasad Sang Prabu di hutan Krapyak sebelah barat, hatinya yang sudah mengembang itu langsung menciut kembali disertai dengan rasa was-was dan takut yang tiada taranya.

“Menik!” tiba-tiba bentakan kembali perempuan parobaya itu membuyarkan lamunannya, “Mengapa engkau diam saja? Di pihak manakah sebenarnya engkau sekarang ini berpijak? Kalau memang engkau sendiri yang telah membocorkan rencana itu, sekarang juga aku yang akan mencekikmu sampai mati!”

“Jangan, mbok jangan!” terdengar suara Emban Menik yang memelas sambil menjatuhkan diri berlutut di hadapan perempuan parobaya itu dan menangis sejadi-jadinya.

Perempuan parobaya itu menjadi geram melihat tingkah Emban Menik. Dengan mengumpat kasar, diraihnya sanggul Emban Menik dan kemudian ditariknya dengan kasar. Rambut Emban Menik yang hitam dan lebat itu pun jatuh terurai sampai ke pinggang.

“Ampunkan aku, mbok. Ampunkan aku mbok,” rengek Emban Menik di antara sedu sedannya sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Page 20: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

16

“Menik!” kembali perempuan parobaya itu membentak keras. Kali ini dia telah mencengkeram rambut Emban Menik dengan kedua tangannya sehingga kepala Emban Menik sedikit terangkat, “Aku tidak mau membunuhmu sebelum mendengar pengakuanmu. Sehingga jika aku memang harus membunuh, aku telah membunuh dengan benar. Membunuh seorang pengkianat!”

Kali ini Emban Menik berusaha untuk mengatasi tangisnya. Dia harus menjelaskan semua duduk permasalahannya atau perempuan parobaya yang terkenal dengan sebutan sepasang belati iblis itu terlanjur mencekiknya sampai mati.

Namun sebelum Emban Menik mampu benar-benar meredakan tangisnya, perempuan parobaya itu justru telah mendorongnya sehingga dia telah jatuh terjengkang ke belakang.

“Menik!” geram perempuan parobaya itu kemudian mirip geraman seekor harimau lapar, “Permainan apa pula yang sedang engkau tunjukkan kepadaku, he?”

Sejenak Emban Menik justru telah menghentikan tangisnya karena heran melihat perubahan sikap perempuan parobaya itu. Tanpa sadar dia telah beringsut setapak demi setapak berusaha untuk menjauhi perempuan mengerikan itu.

Namun belum sempat Emban Menik bergeser menjauh, kembali perempuan parobaya itu membentak sambil menunjuk ke arah hidungnya, “Apakah engkau sangka aku dengan mudahnya dapat dijebak, he? Beritahu kawanmu itu untuk segera menampakkan diri! Jangan hanya berani sembunyi dan kemudian menyerangku dengan cara seorang pengecut!”

Emban Menik benar-benar tidak tahu apa maksud perempuan parobaya itu membentak-bentaknya. Untuk beberapa saat dia justru telah membeku di tempatnya.

Agaknya perempuan parobaya itu sudah tidak sabar lagi. Sambil matanya memandang ke arah pohon besar beberapa langkah di samping kiri Emban Menik, dia membentak kasar, “Keluarlah pengecut! Jangan hanya berani bersembunyi di balik

Page 21: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

17

pohon! Jika engkau memang punya cukup nyali, hadapi sepasang belati iblis dari lembah Merapi ini!”

Selesai berkata demikian perempuan parobaya itu dengan cepat segera menyingsingkan kain panjangnya. Kini tampak pakaian khusus yang dikenakan di balik kain panjangnya tadi. Sementara kedua tangannya telah menggenggam sepasang belati panjang yang selama ini disembunyikan di dalam buntalan pakaiannya.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Emban Menik yang telah menghentikan tangisnya itu benar-benar membeku bagaikan patung batu. Dia benar-benar tidak mengerti dan belum mampu menilai segala tingkah polah perempuan parobaya itu.

Namun belum sempat Emban Menik menilai perubahan keadaan itu, tiba-tiba terdengar sebuah desir langkah dari arah samping kirinya. Ketika Emban Menik kemudian berpaling, dari balik sebuah pohon di samping kirinya muncul bayangan seseorang yang sudah sangat dikenalnya.

“Kakang! Kakang Jajar Kawung!” teriak Emban Menik sambil tergesa-gesa bangkit berdiri dan langsung menghambur ke dalam pelukan orang yang baru datang itu.

Begitu dirinya berada dalam pelukan Jajar Kawung, orang yang menjadi tempatnya bergantung selama ini, tangis Emban Menik pun pecah kembali.

“Kakang, aku takut kakang,” rengek Emban Menik di antara isaknya sambil menyembunyikan kepalanya dalam-dalam di dada kekasihnya itu.

“Sudahlah Menik. Tahan tangismu,” bisik Jajar Kawung sambil membelai rambut Emban Menik yang terurai panjang sampai pinggang, “Aku ada di sini. Jangan takut lagi. Semuanya sudah terlanjur terjadi, kita harus berani bersama-sama untuk menghadapi semua kejadian ini.”

Selesai berkata demikian, Jajar Kawung segera melepaskan pelukan Emban Menik. Dia harus waspada dengan perempuan

Page 22: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

18

parobaya yang berdiri beberapa langkah saja dari mereka berdua itu. Perempuan kepercayaan Kiai Dandang Mangore yang sengaja disusupkan ke kalangan Istana.

Emban Menik agaknya tanggap dengan maksud kekasihnya itu. Setelah mengusap air matanya terlebih dahulu, dia segera bergeser dan berdiri di belakang Jajar Kawung.

“Nah, apakah sudah cukup kalian berdua berkesan?” bertanya perempuan parobaya itu kemudian sambil tertawa mengejek, “Jika sudah cukup puas, aku akan segera meresmikan dan sekaligus mengantarkan kalian menjadi sepasang pengantin di alam baka. Di alam sana kalian akan bebas bercumbu rayu tanpa merasa terganggu oleh siapapun.”

Jajar Kawung menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata perempuan parobaya itu. Jauh di lubuk hatinya terbesit sebuah penyesalan telah ikut bergabung dengan perempuan parobaya itu. Apalagi dia juga telah melibatkan kekasihnya. Padahal hari-hari bahagia mereka berdua tinggal menghitung hari saja.

“Apakah engkau akan pasrah, Jajar Kawung?” geram perempuan parobaya itu begitu melihat Jajar Kawung hanya berdiri diam termangu-mangu, “Jika engkau memutuskan untuk pasrah dan menyerah, ketahuilah! Aku harus mematuk mata rantai itu sampai pada kalian berdua. Percayalah, aku akan melaksanakan tugasku dengan sebaik-baiknya. Kalian berdua tidak akan mengalami kesakitan yang lama. Dengan sekali tusukan yang dalam, belati panjangku ini akan menembus jantung kalian sampai ke punggung dan sekaligus akan mencabut nyawa kalian.”

Namun yang terdengar justru suara tawa Jajar Kawung yang memuakkan. Jawabnya kemudian, “Aku setuju dengan rencanamu itu perempuan iblis! Memang mata rantai itu harus diputus, namun bukan pada kami. Aku justru berpikir untuk memutus mata rantai itu pada dirimu, perempuan iblis! Setelah itu aku akan bebas dari kejaran para pengikut orang yang

Page 23: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

19

mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu. Aku dan Menik akan pergi sejauh-jauhnya dan hidup berumah tangga dengan damai, tanpa disibukkan dengan segala urusan tetek bengek dunia ini.”

“Kakang!” tiba-tiba Emban Menik yang berdiri di belakang Jajar Kawung itu telah menjerit kecil sambil kedua tangannya berpegangan erat pada lengan kekasihnya. Hatinya benar-benar ngeri membayangkan kekasihnya itu telah mengambil keputusan untuk berhadapan langsung dengan perempuan iblis itu.

Namun sekarang perempuan iblis itulah yang justru tertawa. Katanya kemudian, “Luar biasa. Seorang Jajar Juru taman ndalem Kapangeranan telah berani menantangku. Aku cabut keputusanku. Aku akan membunuhmu dengan perlahan-lahan sehingga engkau akan merasakan penderitaan yang luar biasa. Cara yang akan aku gunakan untuk menyiksamu pun belum pernah terbayangkan oleh makhluk yang bernama manusia. Engkau akan mengalami siksaan beberapa hari lamanya sebelum akhirnya mayatmu akan aku lempar ke jurang agar menjadi makanan serigala lapar.”

Emban Menik yang bersembunyi di belakang Jajar Kawung menjadi semakin gemetar. Kedua tangannya yang memeluk erat lengan kekasihnya menjadi semakin erat disertai dengan isak tangis yang tertahan-tahan.

“Menik,” desis Jajar Kawung kemudian sambil berpaling ke belakang sekilas, “Jika engkau terus memegangi lenganku, bagaimana aku akan membela diri jika perempuan itu tiba-tiba saja menyerangku?”

Mendengar perkataan Jajar Kawung, Emban Menik menjadi sadar. Perlahan dilepaskan lengan kekasihnya sambil berbisik, “Tapi aku takut kakang. Perempuan itu sangat kejam.”

Jajar Kawung tersenyum. Jawabnya kemudian sambil berbisik sangat perlahan, “Menepilah agak jauh. Jika memang terlihat aku tidak mampu lagi mengatasi perempuan iblis itu, tinggalkan tempat ini dengan segera. Pergilah sejauh mungkin dari jangkauan perempuan iblis ini.”

Page 24: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

20

Mendengar perkataan kekasihnya, Emban Menik bukannya menjadi lebih tenang. Jantungnya justru terasa semakin lama semakin berdegup kencang. Namun apapun yang akan terjadi, Emban Menik telah pasrah dan percaya bahwa kekasihnya itu akan dapat mengatasi keadaan.

“Aku akan berdoa,” berkata Emban Menik dalam hati sambil melangkah menjauh dengan lutut gemetar.

Namun tiba-tiba sebuah pertanyaan melonjak dalam dadanya, “Apakah Yang Maha Agung masih berkenan mendengar doaku?”

Namun Emban Menik terus melangkah dan memilih duduk di bawah sebatang pohon besar yang akar-akarnya tampak menonjol keluar.

Dalam pada itu, Jajar Kawung segera menghunus senjatanya, sebuah pedang pendek yang tampak berkilat-kilat tertimpa cahaya lemah dalam hutan itu.

Perempuan parobaya itu mendengus keras begitu melihat Jajar Kawung telah menggenggam senjatanya. Medan tempat mereka akan bertempur dalam hutan itu memang sangat sempit. Mereka harus membuat perhitungan-perhitungan yang cukup jeli agar tidak terjebak di antara pohon-pohon yang tumbuh cukup rapat berjajar-jajar.

“Aku belum mengetahui tingkat ilmu orang ini,” membatin perempuan parobaya itu sambil menggeser kakinya selangkah ke samping, “Yang aku tahu dia adalah murid salah satu perguruan yang berada di pinggiran kota Raja. Perguruan yang tidak begitu terkenal dan didirikan oleh seseorang yang juga kurang terkenal.”

Berpikir sampai disitu, perempuan parobaya itu segera membentak nyaring sambil meloncat maju. Sepasang belati panjangnya bergerak menyilang membabat leher.

Jajar Kawung sadar lawannya tentu memiliki kekuatan yang besar menilik suara angin bersiutan yang menyertai serangannya. Akan sangat berbahaya jika dia mencoba untuk menangkis serangan itu. Namun Jajar Kawung juga harus berpikir keras

Page 25: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

21

untuk menghindar karena medan pertempuran itu benar-benar sempit. Mereka harus bertempur di antara pohon-pohon dan semak belukar.

Namun Jajar Kawung yang telah tuntas menyadap ilmu dari perguruannya itu segera mengambil sikap. Sebelum serangan lawannya menebas leher, dia segera meloncat ke samping, ke balik sebuah pohon. Ketika serangan lawannya itu mengenai tempat kosong, dari balik pohon justru Jajar Kawung yang menjulurkan senjatanya mengarah lambung lawannya yang terbuka lebar.

“Iblis!” umpat perempuan itu sambil menggerakkan tangan kanannya ke bawah menangkis serangan Jajar Kawung.

Benturan keras pun segera terjadi. Sejenak suasana yang remang itu menjadi terang sekejab karena percikan bunga-bunga api yang terlontar ke udara.

Dengan cepat keduanya segera mundur ke belakang untuk memeriksa senjata masing-masing. Ternyata senjata-senjata itu memang terbuat dari bahan pilihan sehingga benturan yang cukup keras tadi tidak membuat senjata-senjata itu cidera.

Untuk beberapa saat keduanya tampak masih berdiam diri. Masing-masing mencoba menilai kekuatan dan kemampuan lawan. Jajar Kawung yang lebih muda segera memikirkan siasat untuk mengulur waktu.

“Perempuan iblis ini menurut cerita yang aku dengar kemampuannya ngedab edabi,” berkata Jajar Kawung dalam hati, “Namun aku tidak yakin, di usianya yang sudah separuh abad ini kemampuannya masih sedahsyat dulu. Aku akan memancingnya bertempur berputaran di antara pohon dan semak belukar. Di saat dia kehabisan nafas, aku akan menyelesaikannya.”

Namun lamunan Jajar Kawung menjadi buyar ketika kembali perempuan itu berteriak keras sambil melancarkan serangannya kembali.

Pertempuran pun segera berkobar menjadi sengit. Jajar Kawung benar-benar menggunakan kelincahan dan kemudaannya

Page 26: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

22

untuk meladeni lawannya. Sedang perempuan parobaya yang merasa dirinya mempunyai kelebihan dari lawannya itu benar-benar menjadi sangat marah. Kemana pun lawannya bergerak selalu dikejarnya.

Dalam pada itu warna langit pun semakin kelam. Suasana di dalam hutan tempat kedua orang menyabung nyawa itu pun semakin gelap. Emban Menik yang duduk bersimpuh sambil tak henti-henti bibirnya memanjatkan doa, hanya dapat melihat bayangan-bayangan hitam yang berkelebatan. Dia benar-benar tidak mampu membedakan kedua ujud itu.

“Bagaimana aku harus mengambil sikap?” bertanya Emban Menik dalam hati sambil matanya tak lepas mengawasi bayangan-bayangan yang bergerak sangat cepat di hadapannya, “Aku tidak dapat membedakan mana kakang Kawung dan mana lawannya. Jika kakang Kawung terdesak dan tidak mungkin lagi bertahan, aku harus segera melarikan diri. Namun aku benar-benar kesulitan untuk membedakan dan mengikuti gerakan mereka.”

*****

Dalam pada itu, di pesanggrahan hutan Krapyak, jasad Panembahan Hanyakrawati telah disemayamkan di pringgitan. Beberapa Sentana Dalem dan Ki Patih Mandaraka tampak menunggui jenasah sang Prabu. Tidak ada seorang pun yang tampak berbicara. Semua tenggelam dalam doa masing-masing. Rencananya malam itu juga jasad sang Prabu akan dibawa kembali ke kota Raja.

Suasana di pesanggrahan itu benar-benar diselimuti duka yang mendalam. Rencana sang Prabu untuk tetirah di hutan Krapyak ternyata telah menuai bencana. Bencana yang terjadi pun tidak tanggung-tanggung, telah merenggut nyawa Panembahan Hanyakrawati sendiri sebagai penguasa tertinggi Mataram.

Ki Patih yang duduk di antara para Sentana Dalem itu tiba-tiba teringat akan Pangeran Pati. Tanpa sadar Ki Patih segera mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling pringgitan, namun bayangan Pangeran Pati itu sama sekali tidak dilihatnya.

Page 27: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

23

“Kemanakah Pangeran Pati?” bertanya Ki Patih dalam hati sambil sekali lagi mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Satu-persatu diamat-amatinya wajah-wajah yang menunduk dalam keremangan cahaya lampu dlupak. Namun wajah yang sangat dikenalnya itu tidak tampak di antara mereka.

“Akan aku cari, kemana Mas Rangsang pergi,” berkata Ki Patih sambil bangkit berdiri.

Ketika seorang Sentana Dalem yang duduk di sebelahnya mengangkat wajah dan memandanginya dengan pandangan heran, Ki Patih segera berkata lirih, “Aku akan ke belakang sebentar.”

Sentana Dalem itu tidak menyahut hanya mengangguk kecil dan kemudian menundukkan wajahnya kembali. Sedangkan Ki Patih dengan tergesa-gesa segera berjalan keluar melewati pintu pringgitan.

Demikian Ki Patih berada di pendapa, segera saja dipanggilnya salah seorang prajurit yang sedang berjaga di regol depan.

Dengan bergegas prajurit itu segera berlari mendapatkan Ki Patih yang telah berdiri di ujung pendapa.

“Apakah kalian melihat Pangeran Pati?” bertanya Ki Patih kemudian begitu prajurit itu sudah berada di hadapannya.

Sambil menyembah prajurit itu pun menjawab, “Ampun Ki Patih. Sepengetahuan kami, Pangeran Pati tadi datang bersama-sama dengan rombongan yang membawa jenasah Sinuhun Prabu.”

“Ya, ya aku tahu,” sahut Ki Patih dengan serta merta, “Aku tadi juga ikut dalam rombongan itu. Maksudku, apakah kalian kemudian melihat Pangeran Pati keluar lagi dari pesanggrahan ini?”

Page 28: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

24

Kembali prajurit itu menyembah sebelum menjawab. Katanya kemudian, “Mohon beribu ampun Ki Patih, kami tidak melihat lagi Pangeran Pati itu keluar lagi dari pesanggrahan.”

“Baiklah. Terima kasih atas keteranganmu,” berkata Ki Patih kemudian, “Kembalilah bertugas.”

“Sendika Ki Patih,” jawab prajurit itu kemudian sambil menyembah dan kemudian kembali ke regol depan.

Sepeninggal prajurit itu, untuk beberapa saat Ki Patih masih berdiri termangu-mangu. Berbagai tanggapan sedang memenuhi benaknya. Ki Patih benar-benar sedang digelisahkan oleh keberadaan Pangeran Pati.

“Sasaran orang-orang yang tak bertanggung jawab itu selain Sinuhun Prabu pasti Pangeran Pati,” berkata Ki Patih kemudian dalam hati, “Kemudian sasaran berikutnya kemungkinannya adalah aku sendiri.”

“Ah,” tiba-tiba Ki Patih tersenyum sendiri.

“Apakah aku cukup berharga untuk dijadikan sasaran selanjutnya?” membatin Ki Patih kemudian sambil berjalan kembali menyeberangi pendapa menuju ke pringgitan.

Namun baru saja Ki Patih berjalan selangkah dua langkah, dari samping pendapa tampak seseorang sedang menaiki tlundak pendapa.

“Cucunda Buyut?!” seru Ki Patih agak tertahan begitu mengenali siapa yang sedang menaiki tlundak samping pendapa itu.

Yang sedang menaiki tlundak samping pendapa itu memang Pangeran Pati. Begitu mendengar seseorang telah memanggil namanya, Pangeran Pati pun segera berjalan mendekat.

“Pangeran?” sapa Ki Patih kemudian dengan kening yang berkerut-merut, “Dari mana sajakah, Pangeran?”

Page 29: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

25

Sejenak Pangeran Pati menarik nafas panjang sebelum menjawab. Kemudian sambil duduk di sehelai tikar yang ada di pendapa itu, dia pun kemudian berkata, “Eyang buyut, sebaiknya kita duduk-duduk sebentar untuk membicarakan persoalan yang menurutku ada sangkut pautnya dengan mangkatnya sang Prabu.”

Ki Patih terkejut. Dengan tergesa-gesa dia segera menempatkan diri duduk bersila tepat di hadapan Pangeran Pati.

“Katakan, Pangeran!” berkata Ki Patih kemudian setelah keduanya duduk.

Kembali Pangeran Pati menarik nafas panjang. Setelah sejenak meredakan gejolak di dalam dadanya, Pangeran Pati pun segera menceritakan kejadian semalam ketika Rara Anjani menghadap di biliknya.

“Jadi sebenarnya Rara Anjani mengetahui rencana pembunuhan ini?” bertanya Ki Patih kemudian dengan wajah yang menegang.

“Tidak seluruhnya Eyang Buyut,” jawab Pangeran Pati dengan serta merta, “Rara Anjani hanya mendengar sepotong-sepotong. Sedangkan siapakah yang bercakap-cakap di pinggir taman itu pun Rara Anjani tidak dapat memastikan, hanya menduga-duga menilik suaranya yang sepertinya pernah dikenal.”

Ki Patih termenung sejenak. Bertanya Ki Patih kemudian, “Apakah Pangeran tidak mempercayai laporan Rara Anjani?”

Pangeran Pati menggeleng lemah. Jawabnya kemudian, “Memang pada awalnya aku tidak begitu menaruh perhatian atas laporan Rara Anjani. Bagiku Emban Menik sudah aku anggap sebagai keluargaku sendiri.”

“Nah,” tiba-tiba Ki Patih sepertinya teringat akan sesuatu, “Apakah tidak sebaiknya kita menelusuri kejadian ini dari seorang emban yang bernama Menik itu, Pangeran? Bukankah Pangeran membawanya serta ke pesanggrahan ini untuk melayani kebutuhan Pangeran pribadi?”

Page 30: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

26

“Sudah terlambat Eyang Buyut,” sahut Pangeran Pati perlahan.

“He, terlambat?” Ki Patih berseru tertahan. Lanjutnya kemudian, “Mengapa terlambat Pangeran?”

Sambil menggeleng lemah Pangeran Pati menjawab, “Emban Menik telah pergi bersama kawan sebiliknya. Entah kemana tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.”

Ki Patih menjadi heran. Sambil mengerutkan keningnya Ki Patih pun bertanya kembali, “Begitu cepat Pangeran? Bukankah sekeliling pesanggrahan ini telah dijaga ketat dan di pagar betis?”

Pangeran Pati kembali menggeleng. Jawabnya kemudian, “Menurut panggraitaku, Emban Menik mungkin sudah merasa bahwa keselamatannya terancam. Mungkin aku juga menjadi salah satu sasaran selain Kanjeng Prabu. Sehingga ketika para Sentana Dalem datang ke pesanggrahan memberitahukan kabar duka itu, Emban Menik merasa terancam keselamatannya karena mendengar aku masih hidup, tidak ikut pralaya bersama Kanjeng Prabu.”

Sejenak wajah Ki Patih menegang. Segera saja ingatan Ki Patih tertuju saat dia berdua dengan Pangeran Pati menyusul sang Prabu.

“Agaknya rencana ini benar-benar telah tersusun dengan rapi,” berkata Ki Patih kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Untunglah aku telah menahan Pangeran untuk menyusul Sinuhun Prabu , sehingga dengan lantaran itulah Yang Maha Agung masih melindungi Pangeran.”

“Tapi justru pada akhirnya kita tidak mampu menyelamatkan Kanjeng Prabu,” sahut Pangeran Pati cepat sehingga membuat wajah Ki Patih memerah sejenak.

“Pangeran,” berkata Ki Patih kemudian perlahan dengan suara yang sedikit ditekan, “Siapakah yang mampu menjamin keselamatan seseorang di muka bumi ini? Walaupun orang itu di beri perlindungan berupa benteng baja dan berlaksa-laksa

Page 31: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

27

pasukan, namun jika Yang Maha Agung menghendaki, tidak ada seorang pun yang mampu menghindar atau menolak dari kuasaNya.”

“Namun setidaknya kita harus menunjukkan sebuah usaha,” sahut Pangeran Pati kemudian, “Usaha itu penting kita lakukan sebagai bentuk perwujudan dari perjuangan kita dalam meraih rahmatNya. Tanpa sebuah perjuangan, kita akan menjadi makhluk yang tak bernilai di hadapanNya.”

Sejenak Ki Patih terdiam. Apa yang disampaikan oleh Pangeran Pati itu memang benar adanya. Namun saat itu Ki Patih benar-benar tidak mau mengambil keputusan gegabah. Panggraitanya mengatakan bahwa yang terpenting saat itu adalah menyelamatkan masa depan Mataram.

“Sudahlah Pangeran,” berkata Ki Patih kemudian, “Seperti yang sudah aku sampaikan beberapa saat tadi di pinggir hutan sebelah barat itu. Jika aku memang diperkenankan olehNya untuk memilih, aku memilih untuk menyelamatkan masa depan. Karena kita tidak tahu jebakan apa yang telah dipasang oleh orang-orang yang bersembunyi di kelokan jalan setapak sore tadi. Jika kita menuruti hawa nafsu, walaupun itu dapat dikatakan sebuah usaha menyelamatkan Sinuhun Prabu, namun aku cenderung mengatakan itu tidak lebih dari sebuah usaha untuk membunuh diri. Mereka yang bersembunyi itu dengan jelas dapat mengetahui keberadaan kita, kekuatan kita. Sedangkan kita tidak mampu meraba sedikitpun tentang mereka. Bukankah itu sama saja dengan sebuah usaha untuk membunuh diri?”

Kali ini Pangeran Pati terdiam. Masih jelas terbayang dalam ingatannya, betapa Ki Patih telah mengajaknya turun dari kuda. Seandainya saja mereka berdua dengan sangat bernafsu mengejar Sinuhun Prabu dengan berkuda, entah apa yang akan terjadi kemudian.

“Sinuhun Prabu dengan licik telah diserang dengan sumpit yang sangat beracun,” berkata Pangeran Pati dalam hati sambil mengerutkan kening dan menundukkan kepalanya dalam-dalam,

Page 32: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

28

“Agaknya mereka menyumpit kuda tunggangan sang Prabu terlebih dahulu, sehingga ketika kuda itu terkejut dan melonjak, Ayahanda Prabu tidak mampu menguasainya lagi. Di saat-saat yang sulit itulah paser beracun berikutnya menyerang Ayahanda Prabu.”

“Nah, Pangeran,” berkata Ki Patih kemudian membuyarkan lamunan Pangeran Pati, “Apakah Pangeran menyadari bahaya yang mengintai kita saat itu jika aku tidak menahan Pangeran?”

Kali ini Pangeran Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Semula Pangeran Pati memang menyesali tindakan Ki Patih yang mencegahnya menyusul Sinuhun Prabu. Namun kini semua terbukti bahwa tindakan Ki Patih itu semata-mata untuk menyelamatkan dirinya, menyelamatkan masa depan Mataram.

“Sudah berapa kali Eyang Buyut Mandaraka berperan dalam kancah sejarah negeri ini?” bertanya Pangeran Pati dalam hati kemudian, “Semenjak pemberontakan Jipang sampai pecah perang antara Pajang dan Mataram yang saat itu baru saja berdiri tegak. Sekarang sekali lagi Eyang Buyut Mandaraka menunjukkan kesetiaannya dan sekaligus kepeduliannya akan masa depan Mataram.”

Sampai disini Pangeran Pati hatinya menjadi tersentuh. Bahkan tanpa sadar di dalam hatinya telah terucap sebuah janji, “Jika tiba saatnya nanti aku memang direstui oleh para kerabat Istana dan juga para Wali sebagai penasehat Raja untuk memerintah seluruh negeri Mataram, aku akan tetap meminta Eyang Buyut Mandaraka untuk menjadi Warangka Praja.”

“Nah, Pangeran,” berkata Ki Patih kembali membuyarkan lamunan Pangeran Pati, “Sambil menunggu kereta merta dari kota Raja untuk menjemput jenasah Sang Prabu, ada baiknya kita menunggui jenasah Sang Prabu sambil mendoakan semoga segala amal baktinya diterima dan segala kesalahannya diampuni.”

“Marilah Eyang Buyut,” jawab Pangeran Pati kemudian sambil bangkit berdiri dan mengikuti langkah Ki Patih menuju pintu pringgitan.

Page 33: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

29

Dalam pada itu di hutan Krapyak sebelah timur, agak jauh dari pesanggrahan, pertempuran antara Jajar Kawung dan perempuan yang berjuluk sepasang belati iblis dari lembah Merapi itu semakin dahsyat. Keduanya sudah tidak mengekang diri lagi. Setiap serangan adalah ibarat maut yang datang menjemput. Jika sekejap saja lengah, senjata lawan akan dapat menghantar ke alam kelanggengan.

Jajar Kawung yang lebih muda ternyata dapat menggunakan kelebihannya dengan sempurna. Dia sengaja berputar-putar di antara gerumbul perdu dan batang-batang pohon. Sengaja dia menciptakan lingkaran pertempuran yang semakin menjauhi tempat emban Menik duduk bersimpuh menunggu nasib. Dengan demikian dia tidak khawatir lawan akan berbuat curang dengan cara menyerang dan menguasai Menik agar dia mengakhiri perlawanannya dan menyerah.

Ternyata perempuan parobaya itu tidak menyadari akal cerdik dari Jajar Kawung. Kemarahannya terasa semakin lama semakin membakar jantung sehingga darahnya telah menggelegak mencapai ubun-ubun.

“Aku bunuh dan aku cincang, engkau. Bocah edan!” geram perempuan parobaya itu sambil menghentakkan ilmunya menyambar leher lawannya yang tampak berlindung di balik sebuah pohon.

Namun dengan menarik satu kakinya ke belakang Jajar Kawung terlepas dari serangan lawan. Belati panjang itu hanya menyambar pohon tempat Jajar Kawung bersembunyi. Namun akibat yang ditimbulkannya sangat nggegirisi. Batang pohon sebesar paha orang dewasa itu berderak-derak hampir patah. Ternyata mata pisau belati itu telah menggores hampir separuhnya.

Diam-diam Jajar Kawung bergidik ngeri. Jika saja keduanya bertempur di tempat terbuka, mungkin sudah sejak tadi mayatnya tergeletak di atas tanah dengan luka arang kranjang.

Page 34: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

30

Namun Jajar Kawung merasa bersyukur. Walaupun dia tidak mampu mengimbangi kedahsyatan ilmu lawannya, namun kelincahan serta usia muda telah membuatnya mampu bertahan selama ini. Ditambah dengan keadaan medan yang sangat menguntungkan baginya.

Semakin lama pertempuran menjadi semakin sengit dan rumit. Ilmu yang tersimpan di dalam diri seseorang menjadi tak berguna jika wadagnya telah rapuh. Demikian juga perempuan parobaya itu. Kemarahannya yang menghentak-hentak dada telah menambah wadagnya menjadi cepat lelah.

“Aku bunuh engkau bocah iblis!” berkali-kali perempuan parobaya itu mengumpat-umpat sambil mengejar bayangan Jajar Kawung yang berloncatan kian kemari.

Kini Jajar Kawung merasa sudah cukup bermain petak umpet di dalam hutan yang pepat itu. Bagaimanapun juga dia harus berkejaran dengan waktu. Tidak menutup kemungkinan pelariannya dengan Emban Menik akan tercium oleh prajurit Mataram yang mungkin memang sengaja ditugaskan untuk mencari mereka.

Demikianlah akhirnya, ketika perempuan parobaya itu mulai terlihat terhuyung-huyung sambil berteriak-teriak tak karuan dan menggerakkan sepasang senjatanya kian kemari tanpa arah, Jajar Kawung memutuskan untuk segera mengakhiri pertempuran itu.

Ketika perempuan parobaya itu suatu ketika terhuyung kesamping karena dorongan tenaganya sendiri yang mengayunkan senjata ke arah Jajar Kawung, dengan cepat calon suami Emban Menik itu berkelit ke balik sebuah pohon untuk kemudian muncul lagi di sisi yang lain.

Selagi lawannya belum sempat memperbaiki kedudukannya, tiba-tiba saja ujung senjata Jajar Kawung telah menggores lambungnya.

Page 35: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

31

“Bocah iblis!” umpat perempuan itu sekeras-kerasnya. Kemarahannya benar-benar telah meledakkan dadanya. Darah telah tertumpah dari lukanya.

Dengan menggeram keras dia menubruk ke arah bayangan Jajar Kawung yang sedang melangkah surut. Kedua senjatanya secara bersamaan menyilang membabat leher.

Namun gerakan sepasang belati iblis dari lembah Merapi itu sudah sangat lamban. Hanya dengan bergeser ke samping kanan, tubrukan perempuan itu mengenai tempat kosong. Di saat tubuh lawannya masih terdorong ke depan oleh kekuatannya sendiri itulah, Jajar Kawung telah memutuskan untuk segera mengakhiri pertempuran.

Sebuah ayunan yang sangat deras dari pedang pendek Jajar Kawung ternyata telah mengakhiri pertempuran itu. Terdengar pekik tinggi yang segera terputus dari mulut perempuan parobaya itu. Tubuhnya terjerembab di atas tanah yang lembab dengan kepala yang hampir terpisah dari tubuhnya.

Untuk sejenak Jajar Kawung masih berdiri termangu-mangu sambil mengatur nafas serta debar jantungnya. Dia benar-benar merasa bersyukur mampu mengakhiri pertempuran yang sangat mendebarkan itu.

“Tidak ada waktu untuk mengubur mayatnya,” berkata Jajar Kawung kemudian sambil mengamati keadaan di sekelilingnya yang cukup gelap, “Lebih baik aku segera meninggalkan tempat ini bersama Menik.”

Teringat akan Emban Menik, Jajar Kawung segera mengayunkan langkahnya. Lingkaran pertempuran itu memang telah bergeser cukup jauh dari tempat Emban Menik duduk bersimpuh menunggu. Ketika pandangan Jajar Kawung yang cukup tajam itu kemudian melihat sebuah bayangan seseorang sedang duduk di bawah sebatang pohon, dengan bergegas dia segera melangkah mendekat.

Page 36: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

32

Ketika jarak keduanya tinggal beberapa langkah saja, Jajar Kawung pun segera menyapa, “Menik, engkau masih disitu?”

Emban Menik yang hampir membeku dan tidak dapat melihat karena gelapnya hutan itu terkejut mendengar suara Jajar Kawung. Dengan bergegas dia segera berdiri sambil berteriak, “Kakang! Kakang Jajar Kawung! Aku di sini!”

Jajar Kawung tersenyum sambil mendekat. Tanyanya kemudian, “Engkau tidak apa-apa Menik?”

Sekarang Emban Menik telah mampu melihat bayangan orang yang hanya tinggal tiga langkah saja di hadapannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Emban Menik segera menghambur ke dalam pelukan kekasihnya itu.

“Kakang,” bisik Emban Menik di antara isak tangisnya, “Engkau selamat, kakang?”

“Seperti yang engkau lihat, Menik,” jawab Jajar Kawung sambil membelai rambut Emban Menik dan kemudian menciumnya mesra, “Semua telah berakhir dan semoga ini adalah awal langkah baru bagi kita. Ternyata langkah kita sebelumnya memang keliru, Menik. Maafkan aku yang telah menyeretmu ke dalam pusaran masalah ini. Marilah kita tinggalkan tempat ini sejauh-jauhnya. Aku berjanji untuk membahagiakanmu walaupun aku tidak mampu menjadi seorang Demang atau apapun. Namun aku akan membahagiakanmu dengan caraku sendiri yang mungkin bagi orang lain sangat sederhana dan tidak berarti sama sekali.”

“Sudahlah kakang,” bisik Emban Menik kemudian sambil melepaskan pelukannya, “Mari kita tinggalkan tempat ini dan sekaligus kita tanggalkan mimpi kita. Lebih baik hidup sederhana dan apa adanya dalam kenyataan dari pada hidup mewah dan bergelimang harta namun hanya ada dalam khayalan.”

Jajar Kawung hanya tersenyum masam menanggapi ucapan kekasihnya itu. Sejenak kemudian kedua sejoli itu segera berjalan beriringan dengan bergandengan tangan menembus lebatnya hutan Krapyak menuju ke arah timur.

Page 37: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

33

Dalam pada itu, Glagah Putih yang sedang tak sadarkan diri, perlahan mulai merasakan hembusan angin yang semilir menerpa wajahnya. Telinganya pun lamat-lamat mulai mendengar suara panggilan untuk menunaikan kewajiban menghadap kepada Yang Maha Agung.

Page 38: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

34

“Di manakah aku sekarang ini?” bertanya Glagah Putih dalam hati sambil bangkit dan kemudian duduk di pembaringan. Diamatinya….

Perlahan kedua mata Glagah Putih mulai terbuka. Yang pertama dilihatnya adalah keburaman semata. Namun lambat laun sambil mengerjab-kerjabkan kelopak matanya, dalam keremangan lampu dlupak yang tersangkut di ajug-ajug, Glagah Putih pun kemudian mampu melihat dengan jelas apa yang ada di sekitarnya.

“Di manakah aku sekarang ini?” bertanya Glagah Putih dalam hati sambil bangkit dan kemudian duduk di pembaringan. Diamatinya keadaan di sekitarnya yang terasa masih asing baginya. Ketika kesadaran Glagah Putih benar-benar telah pulih, dia segera menyadari bahwa dirinya ternyata sedang berada di dalam sebuah bilik.

“Bilik siapakah ini?” bertanya Glagah Putih kemudian dalam hati sambil mencoba mengamat-amati keadaan di sekelilingnya. Bilik itu ternyata tidak begitu luas. Hanya ada sebuah amben bambu sederhana tempatnya berbaring dan sebuah geledeg bambu di sudut bilik, serta sebuah pintu keluar yang terlihat tertutup rapat. Sedangkan di sudut bilik dekat geledeg, sebuah lampu dlupak yang menyala redup tersangkut di ajug-ajug.

Ketika Glagah Putih kemudian berpaling ke belakang, tampak sebuah jendela kecil yang setengah terbuka. Dari arah jendela kecil itu lah ternyata angin bertiup memasuki bilik. Sementara suara panggilan untuk menunaikan kewajiban kepada yang Maha Agung itu telah selesai.

“Hari ternyata sudah malam,” desis Glagah Putih sambil mencoba mengamati kegelapan malam yang terlihat dari jendela kecil yang setengah terbuka itu.

Setelah menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya, Glagah Putih kemudian bangkit dan berjalan menuju ke arah

Page 39: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

35

jendela kecil yang setengah terbuka itu. Dengan sedikit ragu Glagah Putih pun kemudian mencoba untuk melongok ke luar.

Namun alangkah terkejutnya anak laki-laki Ki Widura itu begitu mendapati pemandangan yang sangat asing di luar sana. Tampak beberapa orang sedang berjalan berbondong-bondong menuju sebuah bangunan yang cukup besar. Agaknya bangunan itu memang khusus dipergunakan untuk menunaikan kewajiban hamba kepada Penciptanya.

“Ah,” desah Glagah Putih kemudian begitu menyadari dengan apa yang sedang terjadi di luar bilik, “Sepertinya sudah memasuki waktu sholat Isyak. Bangunan itu pasti sebuah Masjid.”

Menyadari akan kewajibannya, dengan bergegas Glagah Putih segera melangkah menuju pintu bilik yang terlihat masih tertutup rapat.

“Aku akan mengikuti mereka,” berkata Glagah Putih kemudian dalam hati, “Mungkin aku akan mendapat jawaban tentang tempat ini dan siapa yang telah membawaku ke tempat ini.”

Ketika Glagah Putih kemudian mendorong pintu bilik, segera saja terhampar di hadapannya sebuah ruangan yang cukup luas dengan beberapa bilik yang terdapat di sebelah menyebelah.

“Aku ternyata berada di salah satu bilik di ruang dalam,” gumam Glagah Putih perlahan sambil melangkah keluar bilik, “Namun rumah siapakah sebenarnya ini?”

Pertanyaan dalam hati Glagah Putih itu tentu saja tidak akan terjawab. Ketika terpandang olehnya sebuah pintu di sebelah kiri, segera saja Glagah Putih melangkah menuju ke pintu yang terbuka itu.

Setelah sekali lagi melalui sebuah ruangan yang dia percaya sebagai pringgitan, Glagah Putih pun segera membuka pintu pringgitan yang menghubungkan dengan pendapa.

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu pringgitan. Angin malam yang

Page 40: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

36

lembut terasa mengusap wajahnya. Namun ketika pandangan matanya melihat telah banyak orang yang berkumpul di dalam Masjid, dengan bergegas Glagah Putih pun segera mengayunkan langkahnya.

Setelah bersuci terlebih dahulu di Pasucen yang terdapat di sebelah kiri Masjid, Glagah Putih pun segera menaiki tlundak dan bergabung dengan orang-orang yang telah berada di tempat itu sebelumnya.

Baru saja Glagah Putih masuk, terdengar seruan untuk memulai menunaikan sembahyang berjamaah. Orang-orang yang telah berkumpul itu pun serentak segera berdiri dan membentuk barisan, tak terkecuali Glagah Putih.

“Luruskan barisan, dan jangan bengkok. Sesungguhnya jika barisan kalian bengkok, demikian jualah hati kamu sekalian,” tiba-tiba terdengar suara perlahan namun terdengar sangat dalam dan berwibawa. Betapa getaran itu terasa memasuki dada dan mengetuk setiap hati yang mendengarnya.

Sambil meluruskan barisan, Glagah Putih mencoba memandang ke depan dari sela-sela bahu orang-orang yang berjajar-jajar itu. Begitu terpandang seraut wajah yang tenang dan dalam, sedalam lautan, Glagah Putih pun segera menyadari bahwa orang yang memimpin sembahyang berjamaah itu adalah Kanjeng Sunan Muria yang pernah dilihatnya ketika Wali yang waskita itu mengunjungi Menoreh.

“Ternyata aku sekarang ini sedang berada di pesantren gunung Muria,” berkata Glagah Putih dalam hati sambil menggeser kedua ujung telapak kakinya agar lurus dengan orang yang berdiri di sebelah menyebelah.

Sejenak kemudian, ketika barisan yang berderet-deret itu sudah tenang dan tidak bergerak lagi, Kanjeng Sunan Muria pun kemudian memutar tubuhnya menghadap Kiblat dan memulai memimpin sholat berjamaah.

Page 41: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

37

Lantunan ayat-ayat suci pun segera bergema di dalam Masjid yang cukup luas itu. Betapa suara Kanjeng Sunan yang terdengar perlahan dan sangat merdu itu bagaikan membelai dan mengethuk hati setiap jamaah. Ketika ayat-ayat yang dikumandangkan Kanjeng Sunan itu sampai pada sebuah pertanyaan yang sangat menghentak setiap dada, tak terasa beberapa jamaah telah menitikkan air mata. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?

Glagah Putih yang belum sepenuhnya memahami arti ayat-ayat itu hanya dapat diam termangu-mangu. Betapapun juga, hatinya telah tersentuh. Betapa tidak, selama ini dia dan Rara Wulan hanya berkutat dengan ilmu olah kanuragan, jaya kawijayan dan guna kasantikan sehingga telah melalaikan ilmu olah kajiwan yang ternyata lebih utama dibandingkan dengan segala ilmu yang terhampar di atas jagad raya ini. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?

Ketika sholat berjamaah itu telah selesai ditunaikan, maka para jamaah dengan tertib segera duduk bersila sambil berdzikir menyebut dan mengagungkan Asma Allah, Pemilik dan Raja segala yang ada di jagad raya ini.

Ketika pada satu kesempatan Glagah Putih sekilas sempat membuang pandangan matanya ke arah kanan, tiba-tiba dadanya berdesir tajam. Tampak seseorang yang rasa-rasanya pernah dikenalnya sedang duduk di barisan tepat di belakangnya beberapa langkah di samping kanan.

Dengan menahan debar jantungnya sekali lagi Glagah Putih mencoba memperhatikan orang itu. Ternyata orang yang sedang dipandanginya itu juga telah memandang ke arahnya. Sebuah senyum pun tersungging di bibir orang yang sudah cukup tua itu.

“He?!” terlonjak Glagah Putih sehingga telah menggeser duduknya sejengkal ke depan. Katanya kemudian dalam hati, “Bukankah orang itu salah satu paman Petani yang aku jumpai siang tadi di tanah pesawahan lereng gunung Tidar?”

Page 42: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

38

Ketika sekali lagi Glagah Putih itu memandang dengan tajamnya ke arah orang tua itu, tampak orang tua itu justru kembali tersenyum sareh kepadanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Seakan-akan dia mampu membaca apa yang terbersit di dalam hati Glagah Putih.

“Ah,” desah Glagah Putih kemudian dalam hati sambil kembali menundukkan kepalanya. Berbagai dugaan telah muncul dalam benaknya. Jika yang membuat dirinya pingsan itu adalah para Petani yang dijumpainya di lereng gunung Tidar siang tadi, tentu semua itu ada hubungannya dengan Kanjeng Sunan Muria.

Tiba-tiba lamunan Glagah Putih terputus ketika dengan serentak orang-orang yang berada di dalam Masjid itu bangkit berdiri. Glagah Putih pun segera ikut berdiri.

Sejenak kemudian para jamaah yang telah selesai menunaikan sholat Isyak itu pun segera berdiri berjajar-jajar untuk menunggu giliran bersalaman dengan Kanjeng Sunan.

“Inilah kesempatan bagiku untuk bertemu langsung dengan Kanjeng Sunan,” berkata Glagah Putih kemudian sambil mendesak ikut berdiri berjajar-jajar, “Mungkin Kanjeng Sunan akan mengenali aku dan aku dapat bertanya serba sedikit tentang keberadaan kakang Agung Sedayu.”

Berpikir sampai disitu, hati Glagah Putih menjadi sangat gelisah. Antrian panjang itu rasa-rasanya tidak bergerak sama sekali. Ingin rasanya dia meloncat langsung ke hadapan Kanjeng Sunan, namun hal itu tentu saja akan sangat melanggar suba sita dan tata krama.

Ketika pada akhirnya tiba giliran Glagah Putih untuk bersalaman dengan Kanjeng Sunan, segera diraihnya tangan Wali yang waskita itu dan kemudian diciumnya dengan khidmat.

“Glagah Putih, bukankah namamu Glagah Putih?” bertanya Kanjeng Sunan kemudian sambil perlahan melepaskan tangannya.

“Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Glagah Putih dengan suara bergetar menahan gejolak di dalam dadanya.

Page 43: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

39

“Apakah engkau sudah menengok keadaan kakak sepupumu?” pertanyaan Kanjeng Sunan selanjutnya terdengar bagaikan guruh yang meledak hanya sejengkal di atas kepalanya.

Tanpa sadar Glagah Putih mengangkat wajahnya. Namun ketika terpandang olehnya sepasang mata yang tajam bagaikan menembus jantungnya, dengan cepat Glagah Putih segera menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Mohon ampun Kanjeng Sunan, hamba mohon petunjuk,” lirih terdengar suara Glagah Putih sambil membungkuk dalam-dalam.

Sekilas tampak Kanjeng Sunan tersenyum tipis. Berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Bukankah kakak sepupumu itu tinggal di bilik sebelahmu? Apakah engkau belum menyadarinya?”

Jika saja bukan Kanjeng Sunan yang berdiri di hadapannya, tentu Glagah Putih sudah meloncat dan berlari sekencang-kencangnya kembali ke bilik yang beberapa saat tadi telah ditinggalkannya.

“Hamba Kanjeng Sunan,” desis Glagah Putih sambil kembali membungkukkan badannya dalam-dalam.

Demikianlah akhirnya Glagah Putih pun segera bergeser ketika orang-orang yang di belakangnya mendesak maju. Begitu Glagah Putih lepas dari hadapan Kanjeng Sunan, dengan sedikit menahan kesabaran Glagah Putih segera melangkah cepat-cepat keluar dari Masjid.

Begitu kakinya menginjak tlundak yang terakhir, Glagah Putih sudah tidak mampu menahan diri lagi. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, dia segera meloncat berlari bagaikan seekor kijang yang sedang dikejar oleh seekor harimau lapar.

Hampir saja Glagah Putih melanggar seseorang yang sedang keluar dari pintu pringgitan. Orang itu tampak terkejut dan segera menarik salah satu kakinya kesamping sehingga tubuh Glagah Putih yang meluncur deras memasuki pintu pringgitan itu tidak melanggarnya.

Page 44: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

40

“Hati-hatilah kakang!” tegur orang itu sambil menarik nafas dalam-dalam dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kakang sedang berada di pesantren gunung Muria, jagalah sedikit kesopanan!”

Glagah Putih yang merasa bersalah segera menghentikan langkahnya dan berpaling. Tampak seorang anak muda yang terlihat masih sangat muda berdiri termangu-mangu di samping pintu pringgitan.

“O,” desis Glagah Putih kemudian sambil menganggukkan kepalanya, “Maafkan aku Adi. Bolehkah aku memanggilmu Adi? Karena aku yakin umurku pasti lebih tua dari Adi.”

Anak yang masih sangat muda itu tersenyum sambil mengangguk. Jawabnya kemudian, “Terima kasih kakang. Perkenalkan namaku Santri. Orang-orang memanggilku Mas Santri,” anak yang masih sangat muda itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, "Bukankah kakang ini yang bernama Glagah Putih? Adik sepupu Ki Rangga?”

Glagah Putih menjadi heran mengetahui Mas Santri sudah mengenal namanya. Namun sebelum dia mengajukan pertanyaan, Mas Santri telah mendahului berkata, “Aku diberi tahu paman Ronggungjiwan yang telah membawa kakang Glagah Putih beberapa saat yang lalu ke tempat ini atas perintah Kanjeng Rama.”

“Kanjeng Rama?” ulang Glagah Putih dengan terheran-heran. Namun keheranan itu hanya berlangsung sekejab. Otak Glagah Putih segera dapat merunut peristiwa demi peristiwa itu sehingga sampai pada sebuah kesimpulan.

“Maafkan aku Mas Santri,” berkata Glagah Putih kemudian sambil menghadap penuh ke arah Mas Santri dan membungkukkan badannya dalam-dalam, “Sungguh aku tidak mengetahui jika Adinda adalah putra Kanjeng Sunan Muria.”

“Ah,” desah Mas Santri sambil ikut membungkukkan badannya dalam-dalam untuk membalas penghormatan Glagah

Page 45: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

41

Putih, “Tidak ada yang istimewa. Siapapun diriku, dari manapun asalku, jika dalam bebrayan agung ini aku tidak bisa membawakan diriku sesuai dengan paugeran yang telah digariskan oleh Yang Maha Agung, diriku akan luwih aji tinimbang godong jati aking, dan kelak di hadapanNYA, aku akan menjadi orang-orang yang merugi.”

Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar uraian anak yang masih sangat muda itu. Dalam hati diam-diam Glagah Putih bertekad untuk suatu saat mendalami kawruh kajiwan itu sebagai bekalnya untuk hidup di alam kelanggengan nanti.

“Apakah kakang bermaksud menengok keadaan Ki Rangga?” bertanya Mas Santri kemudian sambil melangkah menyeberangi ruang pringgitan.

Dengan cepat Glagah Putih menganggukkan kepalanya sambil mengikuti langkah Mas Santri.

“Marilah aku antar kakang Glagah Putih,” berkata Mas Santri kemudian sambil mempercepat langkahnya.

Glagah Putih hanya mengangguk dan mengikuti saja ketika Mas Santri kemudian mengajaknya memasuki ruang dalam dan menuju ke salah satu bilik yang ada di ruang itu.

“Jadi selama ini kakang Agung Sedayu hanya bersebelahan bilik saja denganku,” berkata Glagah Putih dalam hati begitu melihat Mas Santri mengethuk bilik yang bersebelahan dengan bilik tempatnya beberapa saat tadi.

“Masuklah,” terdengar suara berat dan dalam dari dalam bilik.

Mendengar suara itu, hampir saja Glagah Putih berteriak kegirangan. Tidak salah lagi, suara itu begitu dikenalnya. Suara kakak sepupunya dan sekaligus gurunya.

“Kakang saja yang masuk,” bisik Mas Santri kemudian sambil surut selangkah untuk memberi jalan Glagah Putih.

Page 46: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

42

Glagah Putih mengerutkan keningnya sejenak sambil menatap tajam wajah putra Kanjeng Sunan itu. Tanyanya kemudian dengan suara berbisik pula, “Mengapa adi tidak ikut masuk?”

“O, tidak-tidak,” jawab Mas Santri dengan serta merta sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali, “Aku hanya mengantar kakang Glagah Putih saja. Selanjutnya aku mohon diri karena masih ada urusan yang lain.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Berkata Glagah Putih kemudian, “Silahkan adi, silahkan,”

Demikianlah akhirnya Mas Santri pun segera meninggalkan Glagah Putih yang masih berdiri termangu-mangu di depan pintu bilik Ki Rangga.

Dalam pada itu di banjar padukuhan induk perdikan Matesih sudah tidak tampak lagi kesibukan yang luar biasa sebagaimana sore tadi. Jasad para pengawal yang gugur telah dimakamkan. Sedangkan yang masih memerlukan perawatan ditempatkan di dalam ruang pringgitan. Sementara yang mengalami luka ringan telah dipersilahkan pulang bersama keluarga yang menjemputnya.

Di antara orang-orang yang hilir mudik itu tampak seorang pengawal kediaman Ki Gede dengan tergesa-gesa menaiki tlundak pendapa. Lampu dlupak yang tergantung di tengah-tengah pendapa menyinari wajahnya yang tampak memendam kegelisahan.

“Di manakah Ki Gede?” bertanya pengawal itu kemudian kepada seseorang yang dijumpainya di pendapa.

Orang itu sejenak mengerutkan keningnya. Namun begitu dia mengenali wajah pengawal itu, dia segera tersenyum sambil berkata, “O, engkau kiranya! Ada apa mencari Ki Gede? Beberapa saat sebelum Matahari terbenam, Ki Gede telah meninggalkan banjar.”

“Meninggalkan banjar?” ulang pengawal itu dengan wajah terheran-heran, “Jika Ki Gede telah meninggalkan banjar hanya

Page 47: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

43

beberapa saat sebelum Matahari terbenam tadi, seharusnya aku berpapasan dengan Ki Gede di tengah jalan.”

Orang itu kembali mengerutkan keningnya. Sebuah pertanyaan pun kemudian meluncur dari mulutnya, “Mengapa engkau menduga demikian? Apakah Ki Gede telah berjanji denganmu untuk melalui jalan yang sama? Ada berapa banyak jalan di padukuhan induk ini?”

“Bukan begitu maksudku,” sela pengawal itu, “Sebelum Matahari benar-benar terbenam sore tadi, aku telah berangkat dari kediaman Ki Gede ke banjar padukuhan induk ini untuk menghadap Ki Gede.”

Tiba-tiba orang itu tersenyum, sebuah senyum yang terlihat sangat memuakkan.

“He? Mengapa engkau tersenyum? Sepertinya engkau tidak percaya dengan keteranganku?” bertanya pengawal itu kemudian dengan suara agak sedikit kesal.

“Bukan begitu maksudku. Aku tersenyum karena ternyata kita telah berbeda pendapat,” sahut orang itu dengan serta merta.

Pengawal itulah yang kini terlihat mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Engkau jangan mengajak berteka-teki. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk bermain-main.”

“Baiklah, baiklah,” sahut orang itu cepat. Kemudian sambil mencondongkan tubuhnya ke dekat pengawal itu, dia berbisik, “Tentu saja engkau tidak akan berpapasan dengan Ki Gede. Ki Gede tidak pulang ke rumahnya. Ki Gede langsung ke rumah Ki Kamituwa untuk menjenguk Nyi Selasih dan anaknya.”

“O,” desis pengawal itu akhirnya sambil ikut tersenyum. Sebuah senyum yang juga terlihat sangat memuakkan.

“Nah, pergilah!” berkata orang itu kemudian, “Tapi jika Ki Gede merasa terganggu, tentu kepalamu yang akan dipluntirnya.”

Page 48: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

44

“Ah,” desah pengawal itu sambil meraba lehernya. Seolah-olah dia sudah merasakan cengkeram kedua tangan Ki Gede yang akan memluntir kepalanya.

Orang itu tertawa pendek melihat wajah pengawal itu menjadi sedikit pucat. Katanya kemudian, “Sudahlah. Pergilah dan temui Ki Gede jika memang ada kepentingan yang sangat mendesak. Jika aku menjadi Ki Gede, Nyi Selasih dan anaknya jauh-jauh hari sudah aku boyong ke Matesih. Apa masalahnya?”

Pengawal itu sejenak terdiam mendengar kata-kata orang itu. Agaknya orang itu tidak mengetahui seluk beluk keluarga Ki Gede. Namun anggapan itu segera lenyap bagaikan asap yang tertiup angin ketika orang itu melanjutkan ucapannya, “Semua orang Matesih sudah mengetahui permasalahan Nyi Selasih dan Ratri. Namun sebagai orang tua dan sekaligus pemimpin tertinggi di perdikan ini, Ki Gede seharusnya menunjukkan wibawanya. Agar menjadi contoh dan tauladan bagi seluruh kawula di Matesih.”

Selesai berkata demikian orang itu segera berlalu dari hadapan pengawal Matesih itu dan kemudian berjalan memasuki pringgitan.

Untuk beberapa saat pengawal itu masih berdiri termangu-mangu. Berbagai tanggapan hilir mudik di dalam benaknya. Keberadaan seorang ibu tiri memang kadang menjadi masalah di dalam sebuah keluarga. Namun jika seorang ayah sebagai kepala keluarga dan sekaligus pemimpin dalam rumah tangga itu mampu menunjukkan wibawa serta kemampuannya dalam mengatur rumah tangganya, tentu permasalahan itu dapat diselesaikan dengan bijaksana.

“Apa yang harus aku katakan kepada Ki Gede,” berkata pengawal itu kemudian dalam hati, “Ternyata Ki Gede sudah tidak ada di banjar dan aku juga tidak melihat bayangan Ratri ada di sini. Seandainya Ratri tadi sempat ke banjar mencari Ki Gede, orang itu tadi pasti mengatakannya.”

Page 49: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

45

Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benaknya, “Bagaimana jika Ratri sudah ditemukan? Bukankah aku tadi diperintah pergi ke banjar hanya untuk melihat keberadaan Ratri?”

Kembali pengawal itu termenung. Dia benar-benar bingung menghadapi keadaan yang tidak menentu itu. Jika dia menyusul Ki Gede ke rumah Ki Kamituwa, apakah yang akan disampaikannya kepada Ki Gede? Sedangkan keberadaan Ratri masih belum jelas.

Ketika pengawal itu kemudian tersadar dari lamunannya, tiba-tiba sudut matanya melihat bayangan seseorang memasuki regol. Bayangan seseorang yang sudah sangat dikenalnya sebagai sesama pengawal yang bertugas di kediaman Ki Gede.

“Kakang Sangkan!” teriak pengawal itu memanggil sambil bergegas menuruni tangga pendapa.

“O, engkau kiranya,” berkata pengawal yang bernama Sangkan itu kemudian sambil menghentikan langkahnya, “Bagaimana? Apakah engkau sudah melihat Ratri dan Ki Gede?”

Pengawal yang telah sampai di hadapan Sangkan itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Ratri tidak ada di sini kakang, sedangkan Ki Gede telah meninggalkan banjar dan bermalam di rumah Ki Kamituwa.”

Sejenak Sangkan tertegun. Berbagai pertimbangan hilir mudik dalam benaknya. Namun akhirnya dia harus mengambil sebuah keputusan. Katanya kemudian, “Sampai saat ini Ratri belum diketahui keberadaannya. Sebaiknya engkau kembali saja. Aku akan menghadap Ki Gede di rumah Ki Kamituwa.”

Bagaikan diguyur banyu sewindu, pengawal itu pun telah menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika bibirnya hampir saja menyunggingkan sebuah senyum, cepat-cepat senyum itu ditariknya kembali.

“Sungguh tidak pantas,” berkata pengawal itu dalam hati, “Kakang Sangkan telah mengambil alih tugasku dan aku justru malah tersenyum bahagia.”

Page 50: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

46

“Nah, pergilah!” berkata Sangkan kemudian membuyarkan lamunan pengawal itu, “Jika perlu sampaikan kepada mbok Pariyem bahwa aku akan berusaha menghadap Ki Gede.”

“Baik kakang,” jawab pengawal itu sambil melangkah pergi dan berlalu dari tempat itu.

Sepeninggal pengawal itu, Sangkan dengan bergegas segera membalikkan badan dan langsung mengayunkan langkahnya menuju ke rumah Ki Kamituwa yang terletak tidak jauh dari banjar padukuhan induk.

Sesampainya Sangkan di depan regol rumah Ki Kamituwa, sejenak dia menjadi ragu-ragu. Namun dengan mengeraskan hati, daun pintu regol yang ternyata tidak diselarak itu didorongnya perlahan.

“Sudah menjadi akibat yang harus aku tanggung jika kedatanganku akan membuat Ki Gede marah,” berkata Sangkan kemudian dalam hati sambil melangkah melintasi halaman yang tidak seberapa luas.

Hari memang masih menjelang sirep bocah, namun rumah Ki Kamituwa tampak lengang. Pintu pringgitan terlihat tertutup rapat, namun sinar lampu dlupak dari dalam pringgitan tampak menerobos di sela-sela dinding kayu yang sedikit rengang. Sementara lampu dlupak yang tergantung di tengah-tengah pendapa itu tampak terayun-ayun oleh semilir angin malam.

Dengan langkah sedikit ragu, Sangkan pun kemudian menaiki tlundak pendapa. Ketika pintu pringgitan itu sudah berada tepat di hadapannya, dengan perlahan diketuknya pintu itu sedikit keras.

Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban. Namun ketika sekali lagi Sangkan mengulangi kethukannya, terdengar suara langkah-langkah kaki seseorang mendekati pintu.

“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan dari balik pintu. Dengan segera Sangkan mengenalinya sebagai suara Ki Kamituwa.

Page 51: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

47

“Aku Ki Kamituwa, Sangkan,” jawab Sangkan kemudian sambil bergeser mundur selangkah.

“O,” terdengar kembali suara jawaban dari balik pintu. Sejenak kemudian terdengar suara selarak pintu yang diangkat. Ketika pintu pringgitan itu kemudian terbuka, tampak seraut wajah yang sudah sangat dikenalnya, Ki Kamituwa perdikan Matesih.

“Ada apa Sangkan?” bertanya Ki Kamituwa kemudian sambil bergeser mundur memberi jalan kepada Sangkan, “Masuklah!”

Sejenak Sangkan ragu-ragu untuk melangkah masuk. Katanya kemudian, “Maafkan aku Ki Kamituwa. Aku telah mengganggu istirahat Ki Kamituwa yang baru saja datang dari gunung Tidar.”

“O, tidak mengapa,” jawab Ki Kamituwa sambil sekali lagi mempersilahkan Sangkan masuk, “Duduklah. Agaknya ada persoalan yang ingin engkau sampaikan.”

Sangkan tidak mampu menolak lagi. Sebenarnyalah dia hanya ingin menyampaikan pesan kepada Ki Gede melalui Ki Kamituwa. Dia benar-benar tidak ingin bertemu langsung dengan Ki Gede yang tentu saja sekarang ini sedang beristirahat dengan Nyi Selasih.

Setelah menutup pintu pringgitan terlebih dahulu, barulah Sangkan kemudian menyusul Ki Kamituwa duduk di atas sehelai tikar pandan yang dibentangkan di tengah-tengah pringgitan.

“Maaf Sangkan,” berkata Ki Kamituwa kemudian setelah Sangkan duduk di hadapannya, “Aku tidak dapat menjamu walaupun hanya sekedar air putih. Keluargaku semuanya sudah tidur. Seharian mereka telah digelisahkan tentang keberadaanku. Berita penyerbuan ke gunung Tidar itu memang simpang siur dan sempat menggelisahkan kawula perdikan Matesih. Syukurlah semuanya telah berakhir.”

Sangkan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, “Tidak menjadi masalah Ki Kamituwa. Aku hanya sebentar saja.”

Page 52: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

48

“Baiklah,” sahut Ki Kamituwa kemudian sambil tersenyum dan memandang wajah Sangkan yang gelisah, “Kita dapat berbincang dengan leluasa sekarang ini,” Ki Kamituwa berhenti sejenak. Sambil beringsut setapak maju dia melanjutkan kata-katanya, “Katakanlah apa yang menjadi kepentinganmu datang malam ini ke rumahku.”

Namun baru saja Sangkan akan membuka mulut, mereka berdua telah dikejutkan oleh suara derap beberapa ekor kuda. Derap kuda-kuda itu memang terdengar cukup dekat.

Sejenak Sangkan mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil mengangkat wajahnya. Namun agaknya Ki Kamituwa telah tanggap.

Berkata Ki Kamituwa kemudian, “Kuda-kuda itu agaknya dari banjar padukuhan induk. Sore tadi Ki Gede memang telah memerintahkan aku untuk mengatur para pengawal yang melakukan nganglang keliling padukuhan induk agar berangkat lebih awal. Sementara Ki Wiyaga bertugas di gunung Tidar, aku ditunjuk oleh Ki Gede untuk mengatur keamanan perdikan Matesih ini,” Ki Kamituwa berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Keadaan masih belum menentu. Kita harus siap sedia dan selalu waspada menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Sisa-sisa cantrik padepokan Sapta Dhahana yang putus asa dapat saja melampiaskan dendam mereka ke perdikan Matesih ini.”

Sangkan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Ki Kamituwa. Bertanya Sangkan kemudian, “Apakah padukuhan-padukuhan selain padukuhan induk juga mendapat perintah yang serupa?”

“Ya,” jawab Ki Kamituwa dengan serta merta, “Aku telah mengirim utusan-utusan ke padukuhan-padukuhan untuk lebih meningkatkan kewaspadaan.”

Kembali kepala Sangkan terangguk-angguk. Sementara suara derap kaki-kaki kuda itu terdengar semakin keras dan jelas. Agaknya para pengawal yang sedang nganglang itu telah mengambil jalur jalan di depan rumah Ki Kamituwa.

Page 53: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

49

“Sudahlah,” berkata Ki Kamituwa kemudian setelah mereka berdua sejenak terdiam, “Kita lanjutkan pembicaraan kita.”

Sangkan mengangguk. Namun kembali kedua orang itu tertegun ketika dengan sangat jelas mereka mendengar suara derap kaki-kaki kuda itu telah berhenti justru tepat di depan regol rumah Ki Kamituwa.

“Ada apa mereka berhenti?” desis Ki Kamituwa perlahan dengan wajah penuh tanda tanya.

Sangkan yang duduk di hadapannya pun telah bergeser sejengkal menghadap penuh ke arah pintu pringgitan. Wajahnya menjadi sedikit tegang. Tanpa sadar tangan kanannya telah meraba hulu senjata yang terselip di pinggangnya.

Untuk beberapa saat kedua orang itu menunggu dengan jantung yang berdebaran. Mereka berdua benar-benar telah dicengkam oleh kegelisahan karena rombongan berkuda itu justru telah berhenti di depan regol.

Sejenak kemudian terdengar langkah-langkah beberapa orang yang sedang menyeberangi pendapa. Ketika kegelisahan kedua orang itu hampir tak tertahankan, tiba-tiba terdengar pintu pringgitan dikethuk dengan irama gandha dua kali berturut-turut.

Mendengar irama kethukan itu, ketegangan di wajah kedua orang itu pun segera mencair. Berkata Ki Kamituwa kemudian dengan suara agak keras, “Masuklah! Pintu tidak diselarak!”

Sejenak kemudian terdengar derit pintu pringgitan terbuka dan beberapa wajah muncul dari balik pintu.

Untuk beberapa saat orang-orang yang berdiri di depan pintu pringgitan itu justru telah membeku begitu menyadari Ki Kamituwa sedang menerima tamu di ruang pringgitan. Namun mereka segera mengenali Sangkan sebagai salah satu pengawal di kediaman Ki Gede Matesih.

“Masuklah!” berkata Ki Kamituwa kemudian tanpa berdiri dari tempat duduknya, “Apakah ada sesuatu yang penting?”

Page 54: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

50

Orang-orang yang berdiri di depan pintu pringgitan itu sejenak saling pandang. Seorang yang bertubuh jangkung segera menjawab, “Maafkan kami sebelumnya Ki Kamituwa. Kami tidak tahu kalau Ki Kamituwa sedang menerima tamu. Kami hanya mampir sejenak untuk meyakinkan bahwa di rumah ini tidak terjadi apa-apa.”

Ki Kamituwa mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Mengapa kalian berpikiran seperti itu? Bukankah rumahku terlihat aman-aman saja?”

Kembali orang-orang yang berdiri di depan pintu pringgitan itu saling pandang. Namun orang yang bertubuh jangkung itu kembali menjawab, “Kami melihat pintu regol Ki Kamituwa terbuka. Mungkin Ki Kamituwa lupa menutup dan menyelaraknya. Atau kami menduga ada seseorang yang dengan sengaja telah membukanya. Untuk itulah kami harus meyakinkan dugaan kami ini karena bukankah Ki Gede dan keluarganya sedang menginap di rumah ini?”

Hampir bersamaan Ki Kamituwa dan Sangkan menarik nafas dalam-dalam. Sangkan lah yang kemudian menyahut, “Akulah yang membuka regol itu. Memang regol itu belum diselarak. Agaknya Ki Kamituwa memang sengaja belum menyelaraknya karena malam masih belum wayah sirep uwong.”

Para pengawal yang sedang nganglang itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.

Berkata Ki Kamituwa kemudian, “Terima kasih atas perhatian kalian. Kami semua baik-baik saja termasuk keluarga Ki Gede. Apakah kalian akan mampir sejenak atau langsung melanjutkan nganglang?”

“Kami segera mohon diri Ki Kamituwa,” jawab salah satu pengawal itu dengan serta merta, “Sekali lagi maafkan kami yang telah mengganggu waktu Ki Kamituwa.”

Page 55: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

51

“O, tidak, tidak,” sahut Ki Kamituwa cepat, “Setelah ini aku justru akan bisa tidur dengan nyenyak karena melihat kesiap-siagaan para pengawal Perdikan Matesih.”

“Terima kasih Ki Kamituwa,” hampir bersamaan mereka menyahut sambil melangkah mundur dan menutup pintu pringgitan kembali.

Sepeninggal para pengawal itu, kembali Ki Kamituwa bertanya kepada Sangkan, “Nah, persoalan apakah sebenarnya yang sedang engkau bawa kemari?”

Sangkan menelan ludah beberapa kali untuk sekedar membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering. Berkata Sangkan kemudian, “Sekali lagi aku mohon maaf Ki Kamituwa. Sebenarnyalah kedatanganku ke rumah ini untuk menanyakan keberadaan Ki Gede.”

Untuk beberapa saat Ki Kamituwa menjadi heran. Dia benar-benar tidak menduga jika kedatangan Sangkan, salah satu pengawal perdikan Matesih yang sangat dikenalnya itu ternyata untuk mencari Ki Gede.

“Engkau datang kemari untuk mencari Ki Gede?” bertanya Ki Kamituwa kemudian seolah-olah tidak mempercayai keterangan Sangkan.

“Ya, Ki Kamituwa,” jawab Sangkan dengan serta merta, “Aku tadi sempat mampir di banjar padukuhan induk. Ternyata menurut keterangan salah seorang yang berada di banjar itu, Ki Gede bermalam di rumah Ki Kamituwa.”

Sejenak wajah Ki Kamituwa menegang. Namun itu tidak berlangsung lama dan wajah orang tua itu pun segera mencair kembali. Jawabnya kemudian, “Memang benar Ki Gede sedang bermalam di rumah ini bersama Nyi Selasih dan putranya. Namun menurut pertimbanganku saat ini bukanlah saat yang tepat untuk mengganggu istirahat Ki Gede dan keluarganya.”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam mendengar keterangan Ki Kamituwa. Dia juga mempunyai pemikiran yang sama.

Page 56: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

52

Sebaiknya memang Ki Gede saat ini benar-benar jangan diganggu. Namun ketika terlintas dalam benaknya persoalan yang sedang dibawanya, Sangkan pun menjadi ragu-ragu jika Ki Gede tidak segera diberitahu malam ini juga.

Melihat wajah Sangkan yang berkerut merut itu, Ki Kamituwa pun segera mengajukan pertanyaan, “Sangkan, persoalan apakah sebenarnya yang engkau bawa? Apakah sedemikian gawatnya sehingga harus Ki Gede sendiri yang mengambil keputusan?”

Sangkan yang sedang termenung itu seakan terbangun dari sebuah mimpi buruk. Sambil bergeser beberapa jengkal mendekat, dia berbisik perlahan, “Ki Kamituwa, persoalan yang aku bawa adalah masalah putri satu-satunya Ki Gede, Ratri.”

“He?” bagaikan disengat seekor kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa, Ki Kamituwa terperanjat. Dengan tergesa-gesa dia segera balik bertanya, “Ada apa dengan Ratri?”

Sejenak Sangkan menarik nafas terlebih dahulu sebelum menjawab. Katanya kemudian, “Ratri telah meninggalkan rumah.”

“He?” kembali Ki Kamituwa terperanjat. Kali ini wajah Ki Kamituwa benar-benar terlihat sangat cemas.

“Mengapa Ratri meninggalkan rumah?” bertanya Ki Kamituwa kemudian setelah debar di jantungnya sedikit menurun.

“Menurut keterangan mbok Pariyem, Ratri telah mendengar kedatangan Nyi Selasih dan putranya di tanah perdikan ini,” jawab Sangkan kemudian dengan suara yang dibuat selirih mungkin, “Menurut perhitunganku Ratri masih belum bisa menerima kehadiran Nyi Selasih dan putranya di lingkungan rumah Ki Gede.”

Ki Kamituwa menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng gelengkan kepalanya beberapa kali. Persoalan rumah tangga Ki Gede memang sudah bukan rahasia lagi. Hampir setiap kawula Matesih mengetahui keberatan Ratri untuk mendapatkan ibu tiri.

Page 57: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

53

“Sebuah persoalan yang rumit,” desis Ki Kamituwa kemudian, “Sebaiknya Ki Gede memang harus segera mengetahui persoalan ini sebelum persoalannya berkembang menjadi besar dan justru dapat membahayakan keselamatan putri satu-satunya Ki Gede itu,” Ki Kamituwa berhenti sejenak. Tiba-tiba terlintas suatu pemikiran di benak Ki Kamituwa. Maka katanya kemudian, “Apa jadinya jika Ratri tiba-tiba saja nekat mencari Raden Surengpati? Pergi ke gunung Tidar misalnya? Walaupun perguruan Sapta Dhahana sudah jatuh dan sekarang sedang dijaga oleh sebagian pengawal Matesih yang tinggal untuk sementara disana. Namun tidak menutup kemungkinan Ratri di tengah perjalanan dapat bertemu dengan para cantrik padepokan Sapta Dhahana yang sedang melarikan diri.”

“Dan Ratri dapat saja dijadikan tawanan oleh mereka untuk memaksa Ki Gede menyerah atau meminta tebusan diluar kewajaran?” timpal Sangkan dengan wajah yang menegang.

“Atau paling tidak keselamatan Ratri sangat rawan di tangan para cantrik yang putus asa itu,” berkata Ki Kamituwa selanjutnya, “Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Aku akan menghadap Ki Gede sekarang juga. Apapun kata Ki Gede kemudian kepadaku.”

Selesai berkata demikian dengan bergegas Ki Gede segera bangkit dari duduknya dan berjalan memasuki ruang dalam. Sementara Sangkan hanya dapat mengikuti dengan pandangan matanya serta jantung yang berdebaran.

Sepeninggal Ki Kamituwa, Sangkan hanya dapat merenung dengan hati gelisah memikirkan putri satu-satunya Ki Gede itu. Sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya jika Ratri telah nekat berbuat seperti dugaan mbok Pariyem, meninggalkan rumah yang telah dihuninya semenjak lahir.

“Jika Ratri hanya bersembunyi di sekitar rumah, tentu dengan mudah sudah dapat ditemukan,” gumam Sangkan sambil menarik nafas panjang, “Anak itu memang terlihat sangat dimanja oleh Ki Gede. Semenjak Nyi Gede meninggal dunia, seolah-olah semua keinginan Ratri dikabulkan. Bahkan ketika semua orang membicarakan hubungan Ratri dengan Raden Surengpati, Ki

Page 58: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

54

Gede terlihat tidak berusaha melarang, bahkan cenderung membiarkan dan pura-pura tidak tahu.”

Page 59: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

55

“Selamat malam Ki Gede,” sapa Ki Kamituwa kemudian dengan suara perlahan dan sedikit membungkukkan badan, “Mohon dimaafkan telah mengganggu istirahat Ki Gede.”

Page 60: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

56

Kembali Sangkan menarik nafas dalam-dalam untuk memenuhi rongga dadanya dengan udara malam yang sejuk. Sesekali dia menengok ke arah pintu ruang dalam yang tertutup rapat dengan harapan dari pintu itu segera muncul Ki Kamituwa bersama Ki Gede Matesih.

Namun harapan Sangkan itu agaknya masih belum dapat terwujud. Sudah hampir sepenginang sirih namun pintu ruang dalam itu masih terlihat tertutup rapat.

Dalam pada itu Ki Kamituwa telah berdiri di depan pintu bilik yang digunakan oleh keluarga Ki Gede untuk bermalam. Berbagai pertimbangan hilir mudik di dalam benaknya sebelum memutuskan untuk mengethuk pintu. Ki Kamituwa mencoba mempertajam pendengarannya untuk mendengar setiap bunyi yang berasal dari dalam bilik. “Gila!” geram Ki Kamituwa dalam hati kemudian dengan muka sedikit memerah, “Mengapa tiba-tiba saja aku mengharapkan mendengar suara yang aneh-aneh dari dalam bilik ini? Otak tua ini sudah tidak sepantasnya lagi berpikiran yang aneh-aneh.”

Namun Ki Kamituwa masih belum mempunyai keberanian untuk mengethuk pintu sehingga hanya berdiam diri saja di depan bilik.

Jika saja Ki Kamituwa tidak mendengar suara Ki Gede di dalam bilik terbatuk-batuk kecil, tentu Ki Kamituwa tetap akan berdiri di depan bilik itu semalaman.

Sejenak kemudian Ki Kamituwa pun segera mengethuk pintu bilik itu perlahan-lahan dengan irama ganda dua kali berturut-turut.

“Siapa?” terdengar suara Ki Gede yang berat dan dalam.

Berdesir dada Ki Kamituwa mendengar suara Ki Gede. Namun Ki Kamituwa telah membulatkan tekadnya apapun yang akan terjadi, keselamatan Ratri harus lebih diutamakan.

“Aku, Ki Gede. Kamituwa,” jawab Ki Kamituwa kemudian dengan suara sedikit keras.

Page 61: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

57

Terdengar suara Ki Gede bangkit dari pembaringan dan kemudian melangkah ke pintu bilik. Ketika terdengar selarak pintu terangkat, seraut wajah yang letih pun kemudian muncul dari balik pintu bilik, Ki Gede Matesih.

“Selamat malam Ki Gede,” sapa Ki Kamituwa kemudian dengan suara perlahan dan sedikit membungkukkan badan, “Mohon dimaafkan telah mengganggu istirahat Ki Gede.”

Ki Gede tersenyum hambar sambil menjawab, “Aku menyadari Ki Kamituwa. Jika tidak ada persoalan yang sangat penting, tidak mungkin engkau membangunkan aku.”

Sambil bergeser sedikit menjauh ke samping pintu agar tidak melihat apa yang ada di dalam bilik itu, Ki Kamituwa pun kemudian menjawab, “Benar Ki Gede. Ada utusan dari kediaman Ki Gede yang ingin menghadap.”

“Utusan?” bertanya Ki Gede dengan raut wajah yang diliputi keheranan, “Siapa?”

“Sangkan Ki Gede. Pengawal dari kediaman Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa.

Sejenak Ki Gede mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Apakah Sangkan sudah mengutarakan maksudnya untuk menghadap?”

“Sudah, Ki Gede. Sangkan menghadap atas permintaan mbok Pariyem,” Ki Kamituwa berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Menurut mbok Pariyem, putri Ki Gede Nimas Ratri telah pergi dari rumah sejak sore tadi.”

“He?!” seru Ki Gede tertahan. Lir kadya sinamber ing gelap luput, Ki Gede terkejut bukan buatan. Sejenak ayah Ratri itu justru tidak mampu untuk berkata-kata. Wajahnya begitu tegang serta terdengar nafasnya yang sedikit memburu.

“Ratri,” desis Ki Gede kemudian perlahan seolah menyesali apa yang telah didengarnya, “Ada apa engkau nekat pergi dari rumah, nduk?”

Page 62: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

58

Nada suara Ki Gede yang terakhir itu terdengar sangat memelas sehingga Ki Kamituwa yang mendengarnya pun ikut tersentuh.

“Marilah Ki Gede,” berkata Ki Kamituwa kemudian menyadarkan Ki Gede, “Kita harus segera bertindak. Jika benar-benar Nimas Ratri pergi dari rumah, suasana tanah perdikan Matesih belum sepenuhnya aman. Ada kemungkinan para cantrik padepokan Sapta Dhahana yang melarikan diri akan membalas dendam ke perdikan ini. Dan ini akan sangat berbahaya jika mereka bertemu dengan Nimas Ratri di tengah jalan.”

Tersirap darah Ki Gede sampai ke ubun-ubun begitu mendengar kemungkinan yang disampaikan oleh Ki Kamituwa. Katanya kemudian dengan suara yang bergetar penuh kecemasan, “Aku akan kembali ke rumah sekarang juga. Biarlah Nyi Selasih dan putranya tetap tinggal di sini. Aku mohon maaf telah merepotkan Ki Kamituwa.”

“Tidak masalah Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa dengan serta merta, “Aku akan mengiringi Ki Gede kembali ke kediaman.”

“Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian, “Aku akan mempersiapkan diri terlebih dahulu. Katakan kepada Sangkan untuk mendahului aku.”

“Baik Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa kemudian sambil melangkah meninggalkan tempat itu. Sedangkan Ki Gede segera menutup kembali pintu bilik untuk mempersiapkan diri.

Dalam pada itu, Sangkan yang sedang duduk terkantuk-kantuk di ruang pringgitan terkejut begitu mendengar pintu ruang dalam berderit terbuka.

“Ki Kamituwa, bagaimana?” dengan serta merta sebuah pertanyaan pun meluncur dari bibir Sangkan.

Ki Kamituwa tidak segera menjawab akan tetapi mengambil tempat duduk terlebih dahulu di hadapan Sangkan. Barulah Ki Kamituwa kemudian menjawab, “Sangkan, aku telah berhasil

Page 63: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

59

menghadap Ki Gede. Ki Gede telah memutuskan untuk kembali ke kediaman sekarang juga. Aku akan mengiringi Ki Gede.”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Ki Kamituwa. Namun sebelum Sangkan bertanya lebih lanjut, ternyata Ki Kamituwa telah melanjutkan ucapannya, “Engkau telah diperkenankan mendahului. Katakan kepada mbok Pariyem bahwa Ki Gede sedang dalam perjalanan menuju ke kediaman.”

“Baiklah Ki Kamituwa,” berkata Sangkan kemudian sambil bangkit berdiri, “Sekali lagi aku mohon maaf telah merepotkan dan terima kasih atas segala bantuan Ki Kamituwa.”

“Ah,” Ki Kamituwa tersenyum masam sambil ikut bangkit berdiri, “Tidak masalah Sangkan. Semua itu adalah demi kelancaran tugas yang kita emban masing-masing. Tugasmu menyampaikan pesan mbok Pariyem kepada Ki Gede, dan tugasku adalah menjaga keselamatan keluarga Ki Gede.”

Kini Sangkan ikut tersenyum. Sambil melangkah dia pun kemudian berkata, “Aku mohon diri.”

“Silahkan,” sahut Ki Kamituwa, “Biarkan saja pintu regol terbuka. Sebentar lagi aku dan Ki Gede akan melewatinya.”

“Ya, Ki Kamituwa,” sahut Sangkan yang sudah melangkah keluar pintu pringgitan.

Dalam pada itu di salah satu bilik di gandhok sebelah kiri kediaman Ki Gede Matesih, Ki Ajar Mintaraga dan cantrik Gatra Bumi tampak sedang duduk-duduk di atas sebuah amben bambu yang besar. Mereka berdua baru saja turun dari surau yang terletak di halaman rumah Ki Gede sebelah kanan. Suasana dalam bilik itu tampak remang-remang karena memang belum ada lampu dlupak yang dinyalakan.

“Ki Ajar,” berkata Gatra Bumi kemudian memecah kesunyian, “Tadi siang sepertinya aku melihat sebuah lampu dlupak di atas ajug-ajug itu. Mengapa sekarang tidak ada?”

Page 64: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

60

“O,” jawab Ki Ajar sambil tersenyum, “Pada saat engkau pergi ke pendapa tadi, seorang pembantu laki-laki Ki Gede telah mengambilnya untuk diisi minyak. Sebentar lagi mungkin dia akan kembali dengan lampu dlupak yang sudah menyala.”

Gatra Bumi mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Ki Ajar. Suasana memang kurang menyenangkan berada di dalam bilik yang gelap tanpa sebuah penerangan pun.

“Gatra Bumi,” berkata Ki Ajar kemudian setelah sejenak keduanya terdiam, “apakah belum ada sisik melik tentang keberadaan putri Ki Gede itu?”

Gatra Bumi menggeleng. Jawabnya kemudian, “Belum Ki Ajar. Para pengawal yang sedang bertugas jaga sebagian telah menyusuri halaman belakang dan samping untuk melihat barangkali anak itu bersembunyi di antara gerumbul dan semak. Demikian juga yang aku dengar mbok Pariyem dan perempuan-perempuan pembantu Ki Gede telah mengaduk-aduk seluruh ruangan yang ada di kediaman Ki Gede, namun anak itu belum juga diketemukan.”

Sejenak Ki Ajar termenung. Kebimbangan yang sangat tampak di wajah orang tua itu, namun hanya sekejap. Selanjutnya wajah itu kembali tampak sejuk dan sareh.

Tiba-tiba terdengar pintu bilik dikethuk dari luar dan tampak seorang pembantu laki-laki Ki Gede membuka pintu sejengkal sambil mengangsurkan sebuah dlupak yang menyala terang.

“Maaf Kiai, mengantarkan dlupak,” berkata orang itu sambil mengangsurkan lampu dlupak itu dari luar pintu.

Dengan bergegas Gatra Bumi segera bangkit dan menerima lampu dlupak itu.

“Terima kasih,” berkata Gatra Bumi sambil menerima lampu dlupak yang menyala cukup terang itu.

Page 65: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

61

Pembantu laki-laki Ki Gede itu tidak menjawab hanya mengangguk sambil tersenyum dan segera menghilang di balik pintu bilik yang tertutup kembali.

Setelah menaruh lampu dlupak itu di ajug-ajug, Gatra Bumi pun kembali duduk di hadapan Ki Ajar.

“Gatra Bumi,” berkata Ki Ajar selanjutnya setelah Gatra Bumi duduk kembali, “Apakah Ki Gede sudah kembali?”

Gatra Bumi mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu Ki Ajar. Sebelum Matahari terbenam tadi telah diutus seorang pengawal pergi ke banjar padukuhan induk untuk melihat-lihat keadaan. Barangkali Ratri menyusul Ki Gede ke banjar.”

Tampak kepala Ki Ajar terangguk-angguk. Berkata Ki Ajar kemudian, “Pergilah ke pendapa. Tunggulah di sana. Jika Ki Gede telah tiba, beritahu aku, aku akan menghadap Ki Gede.”

Gatra Bumi mengangguk sambil bangkit berdiri. Ada keinginan di dalam hatinya untuk sekedar bertanya akan maksud Ki Ajar menghadap Ki Gede. Namun niat itu segera diurungkannya dan Gatra Bumi pun melanjutkan langkahnya keluar bilik.

Sesampainya Gatra Bumi di luar bilik, tampak beberapa oncor telah dinyalakan di sudut-sudut halaman. Sedangkan di tengah-tengah pendapa rumah Ki Gede yang besar dan luas itu telah tergantung sebuah dlupak yang cukup besar.

Dengan tanpa ragu-ragu Gatra Bumi segera mengayunkan langkahnya menuju ke pendapa. Ketika dia sedang menaiki tlundak samping pendapa, tampak beberapa pengawal di regol depan sedang memperhatikannya.

Sejenak para pengawal itu mencoba mengenali wajah cantrik Gatra Bumi dari kejauhan. Ketika pengawal yang tertua kemudian mengenalnya sebagai tamu Ki Gede, dia segera memerintahkan seorang pengawal untuk mendekatinya.

Page 66: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

62

“Anak muda itu adalah tamu Ki Gede,” berkata pengawal tertua itu kemudian, “Aku telah mendengar berita dari pengawal yang jaga di pagi hari tadi. Anak muda itu mampu mengalahkan Ki Jagabaya dan membuatnya tak sadarkan diri,” pengawal tertua itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tanyakan kepadanya. Mungkin dia memerlukan sesuatu.”

“Baik kakang,” jawab pengawal itu sambil berjalan menuju ke pendapa. Sedangkan Gatra Bumi ternyata justru telah duduk di atas sehelai tikar pandan yang dibentangkan di tengah-tengah pendapa itu.

Ketika pengawal itu sedang menaiki tlundak pendapa dari arah depan, Gatra Bumi pun telah berpaling.

“O,” berkata Gatra Bumi kemudian sambil bangkit berdiri, “Aku minta ijin untuk duduk di pendapa ini sambil menunggu kedatangan Ki Gede.”

Pengawal itu tersenyum sambil mengangguk dan mempersilahkan Gatra Bumi untuk duduk kembali. Pengawal itu pun kemudian ikut duduk di hadapan murid Ki Ajar itu.

“Apakah engkau mempunyai kepentingan khusus dengan Ki Gede?” bertanya pengawal itu kemudian sambil membetulkan letak duduknya.

“Sebenarnya bukan aku yang mempunyai kepentingan dengan Ki Gede,” jawab Gatra Bumi, “Namun guruku, Ki Ajar Mintaraga yang ingin menghadap Ki Gede.”

“O,” tampak kepala pengawal itu terangguk-angguk. Berkata pengawal itu selanjutnya, “Kalau aku boleh tahu, apakah kepentingan gurumu itu untuk menghadap Ki Gede?”

Gatra Bumi menggeleng sambil tersenyum. Jawabnya kemudian, “Aku sendiri juga tidak diberi tahu.”

Kembali kepala pengawal itu terangguk-angguk. Bertanya pengawal itu kemudian, “Mengapa engkau mesti menunggu disini? Bukankah lebih nyaman menunggu di dalam bilik saja?

Page 67: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

63

Jika Ki Gede nanti memang sudah datang, aku akan memberitahukan kepada kalian.”

Untuk beberapa saat Gatra Bumi termenung. Memang saran pengawal itu sangat masuk akal. Lebih baik dia dan gurunya menunggu saja di dalam bilik. Nanti jika Ki Gede sudah datang, mereka akan diberitahu oleh pengawal itu. Namun cantrik Gatra Bumi tidak berani melanggar perintah gurunya.

“Aku diperintah oleh guru untuk menunggu di pendapa ini,” berkata Gatra Bumi kemudian, “Terima kasih atas tawaranmu. Namun aku tidak berani melanggar perintah guruku.”

Pengawal itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Gatra Bumi. Diam-diam pengawal itu dalam hati memuji kepatuhan cantrik Gatra Bumi.

“Baiklah,” berkata pengawal itu pada akhirnya sambil bangkit berdiri, “Aku tidak dapat berlama-lama menemanimu di sini. Aku sedang bertugas. Jika engkau memerlukan sesuatu, panggil kami yang ada di regol. Dengan senang hati kami akan membantu.”

“Ah,” desah cantrik Gatra Bumi sambil tersenyum masam, “Terima kasih atas kebaikan hati kalian. Tapi kami berdua bukan tamu agung yang harus dilayani setiap saat.”

“Kalian berdua memang bukan tamu agung,” sahut pengawal itu cepat, “Namun bagi kami, kalian lebih dari itu. Kalian sangat berjasa kepada perdikan Matesih, terutama kepada keluarga Ki Gede. Kami telah mendengar apa yang telah engkau lakukan untuk menyelamatkan Ratri dari usaha penculikan tadi pagi.”

“Ah, aku mohon jangan sebut peristiwa itu lagi Ki Sanak,” potong Gatra Bumi dengan serta merta, “Sekarang yang lebih penting adalah menemukan keberadaan putri Ki Gede itu. Aku tidak dapat membayangkan, betapa sedihnya Ki Gede nanti jika mendapatkan putri satu-satunya itu tidak berada di rumah.”

Pengawal itu tampak menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kemudian sambil

Page 68: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

64

melangkah, “Keluarga Ki Gede sudah cukup banyak menderita semenjak kepergian Nyi Gede. Semoga semua ini segera berakhir.”

Cantrik Gatra Bumi tidak menyahut. Dipandanginya saja langkah-langkah pengawal itu kembali ke penjagaan regol depan.

Dalam pada itu Ki Gede dan Ki Kamituwa ternyata sedang berpacu di atas punggung kuda masing-masing. Namun mereka berdua tidak berani memacu kuda-kuda itu terlalu cepat. Malam memang baru saja turun dan mereka tidak mau derap kaki-kaki kuda mereka yang terlalu cepat akan menggelisahkan para penghuni padukuhan induk.

“Ki Gede,” berkata Ki Kamituwa kemudian sambil berpacu di sebelah Ki Gede, “Besuk pagi pasukan pengawal yang akan menggantikan di gunung Tidar sudah siap. Sore tadi aku sudah menunjuk para pengawal yang akan berangkat besuk pagi-pagi sekali.”

Ki Gede yang berkuda di sebelah Ki Kamituwa tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Jangan lupa membekali mereka dengan bahan makanan Ki Kamituwa. Aku khawatir persediaan bahan makanan di padepokan Sapta Dhahana sudah menipis.”

“Benar Ki Gede,” sahut Ki Kamituwa kemudian, “Sebelum kita meninggalkan padepokan kemarin, aku menyempatkan diri untuk melihat di tempat-tempat penyimpanan bahan makanan. Apa yang aku lihat mungkin hanya cukup untuk mendukung pasukan pengawal Ki Wiyaga sehari saja.”

“Aku mempunyai dugaan para cantrik padepokan yang melarikan diri itu masih sempat membawa bekal untuk mereka sekedarnya,” sahut Ki Gede kemudian, “Mereka memang punya cukup waktu untuk melakukan itu, karena Ki Wiyaga dan pasukannya tidak berani langsung melakukan pengejaran ke dalam bangunan induk dan bangunan lainnya.”

“Tentu saja Ki Gede,” sahut Ki Kamituwa kembali sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Para cantrik itu berada di

Page 69: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

65

rumah mereka sendiri sedangkan Ki Wiyaga dan pasukan yang di siapkan untuk melakukan pembersihan harus bergerak dengan sangat hati-hati.”

Untuk sejenak mereka berdua terdiam, terombang-ambing oleh lamunan masing-masing. Hanya derap kaki-kaki kuda mereka yang terdengar ajeg menapaki jalan berbatu-batu.

Tak terasa perjalanan mereka berdua telah mendekati regol halaman Ki Gede. Suara derap kaki-kaki kuda itu sudah terdengar sebelum kedua penunggangnya terlihat.

“Ki Gede telah datang!” seru pengawal tertua yang berada di regol depan itu.

Para pengawal yang sedang bertugas di regol itu pun segera berloncatan dan kemudian berdiri berjajar-jajar di samping kiri kanan regol. Sementara cantrik Gatra Bumi yang mendengar teriakan pengawal tertua itu segera bangkit berdiri. Dengan tergesa-gesa dia segera meninggalkan pendapa dan kembali ke biliknya.

Dalam pada itu, dada Ki Gede telah berdesir tajam begitu melihat regol halaman rumahnya yang berdiri kokoh dalam keremangan malam. Rumah yang telah sekian lama ditempati bersama keluarganya, namun rumah itu kini justru telah ditinggal pergi oleh anak perempuan satu-satunya.

“Benarkah Ratri tega meninggalkan rumah ini?” pertanyaan itu berputar-putar dalam benak Ki Gede.

Ketika kedua penunggang kuda itu telah mendekati regol, keduanya segera mengurangi laju kuda masing-masing. Tanpa turun dari kuda, keduanya pun segera meluncur menuju ke pendapa.

Tepat di hadapan pendapa, barulah kuda-kuda itu berhenti dan para penunggangnya segera meloncat turun. Dua orang pengawal dengan tergopoh-gopoh segera menerima kendali kuda-kuda itu.

Page 70: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

66

Dengan bergegas Ki Gede segera menaiki tlundak pendapa dan kemudian menuju ke pintu pringgitan. Hanya ada satu tujuannya, berbicara dari hati ke hati dengan mbok Pariyem.

Ki Kamituwa yang menyadari pemimpinnya terlihat sangat gelisah itu tidak berusaha untuk menggangu. Dengan langkah satu-satu Ki Kamituwa pun kemudian menaiki tlundak pendapa dan duduk di atas sehelai tikar yang dibentangkan di tengah-tengah pendapa.

Dalam pada itu, cantrik Gatra Bumi yang merasa tugasnya menunggu Ki Gede telah selesai segera kembali ke bilik di gandhok kiri. Sambil berjalan di antara rimbunnya pepohonan yang ditanam di depan gandhok kiri itu, cantrik Gatra Bumi pun mencoba mereka-reka apa kira-kira tujuan gurunya untuk menghadap Ki Gede.

“Mungkin guru hanya akan berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh Ki Gede,” berkata cantrik Gatra Bumi dalam hati menduga-duga. Namun jauh di lubuk hatinya terbersit sebuah kesedihan jika harus meninggalkan perdikan Matesih secepat itu.

“Ah, apa peduliku!” geram cantrik Gatra Bumi dalam hati sambil berjalan terbungkuk-bungkuk menghindari ranting-ranting pepohonan yang menjulur rendah, “Aku tidak mengenal gadis itu dan gadis itu pun tidak peduli siapa aku. Mengapa aku mesti merasa menyesal meninggalkan Matesih ini?”

Namun menipu diri sendiri adalah pekerjaan yang sangat mustahil dalam hidup ini. Begitu pula dengan cantrik Gatra Bumi. Entah mengapa bayangan wajah gadis yang sedang beranjak dewasa itu selalu terbayang di rongga matanya. Kecantikannya, gerak-geriknya, tutur katanya dan tak ketinggalan sorot matanya yang menunjukkan sedikit ketinggian hatinya itu seolah mengikuti kemana saja cantrik Gatra Bumi melangkah.

“Barangkali aku mulai dijangkiti penyakit gila,” kembali cantrik Gatra Bumi menggeram dalam hati. Tak terasa langkahnya telah sampai di depan bilik.

Page 71: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

67

Dengan perlahan cantrik Gatra Bumi pun kemudian mengethuk pintu bilik untuk sekedar memberitahu gurunya akan kehadirannya. Kemudian tanpa prasangka apapun dia segera mendorong pintu bilik itu perlahan.

Namun alangkah terkejutnya dia. Begitu daun pintu itu terbuka beberapa jengkal, seraut wajah dari seseorang yang sangat dikenalnya sedang duduk di sebuah dingklik kayu, menghadap Ki Ajar yang duduk di amben.

“Ratri?!” desis Cantrik Gatra Bumi dengan dada yang berdebaran. Dia benar-benar tidak menyangka gadis yang sedang dicari-cari itu ternyata sedang berada di biliknya bersama Ki Ajar Mintaraga.

“Masuklah,” berkata Ki Ajar kemudian menyadarkan Gatra Bumi, “Dan tutuplah pintu bilik. Sebaiknya tidak perlu ada yang mengetahui bahwa ada seorang gadis di dalam bilik ini.”

Cantrik Gatra Bumi tertegun sejenak. Namun begitu kesadaran memasuki benaknya, dia segera melangkah masuk dan kemudian menutup pintu bilik.

Sejenak cantrik Gatra Bumi ragu-ragu untuk melangkah mendekat. Pandangan matanya tak lepas dari wajah gadis putri Matesih yang sedari tadi hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Duduklah,” suara gurunya telah menyadarkan cantrik Gatra Bumi. Dengan langkah satu-satu Gatra Bumi pun kemudian duduk di ujung amben.

Untuk beberapa saat mereka yang berada di dalam bilik itu terdiam. Cantrik Gatra Bumi yang seolah-olah tak percaya dengan penglihatannya sendiri itu masih terus memandangi wajah gadis yang duduk di depan Ki Ajar. Ketika terdengar Ki Ajar kemudian bergumam perlahan, cantrik Gatra Bumi pun segera sadar akan kesalahannya. Dengan segera dibuangnya pandangan matanya ke arah geledek bambu yang cukup besar yang terletak di sudut bilik.

Page 72: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

68

“He?” desis cantrik Gatra Bumi dalam hati, “Seingatku geledek bambu itu selalu tertutup. Mengapa sekarang pintunya bergeser terbuka? Mungkinkah Ratri tadi bersembunyi di dalamnya?”

Tiba-tiba terlintas dalam benaknya perintah gurunya untuk meninggalkan bilik beberapa saat tadi untuk menunggu kedatangan Ki Gede.

“Itulah agaknya guru menyuruhku keluar dari bilik,” berkata cantrik Gatra Bumi kembali dalam hati, “Agaknya gadis itu sudah cukup lelah berada di dalam geledek bambu dan ingin keluar.”

“Gatra Bumi,” tiba-tiba terdengar suara gurunya membangunkan Gatra Bumi dari lamunannya, “Aku tadi mendengar Ki Gede sudah datang. Nah, aku akan menghadap bersama dengan Ratri.”

Ratri yang sedari tadi menundukkan kepalanya itu dengan serta merta segera mengangkat wajahnya. Dari sinar matanya tampak sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh Ki Ajar.

Ki Ajar tersenyum sareh melihat sorot mata Ratri. Katanya kemudian, “Aku mengerti akan keinginanmu, nduk. Namun semua itu berpulang kepada ayahmu, orang tuamu yang selama ini membesarkanmu dengan segenap kasih sayang. Ki Gede mempunyai hak untuk mengijinkan ataupun bahkan melarang sekalipun.”

Gadis itu kembali menundukkan wajahnya. Tampak sepasang alis yang bak wulan tumanggal itu hampir menyatu. Sedangkan bibir tipis memerah dadu itu terkatup rapat-rapat.

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sadar dipalingkan wajahnya ke arah cantrik Gatra Bumi yang tampak termangu-mangu memandangi seraut wajah cantik nan ayu itu.

“Gatra Bumi,” berkata Ki Ajar kemudian perlahan namun terlihat sangat mengagetkan cantrik Gatra Bumi yang sedang dibuai oleh lamunan indah itu, “Beberapa saat tadi putri Ki Gede ini menyampaikan keinginannya untuk mempelajari olah kanuragan sebagaimana kebanyakan laki-laki.”

Page 73: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

69

Terkejut Gatra Bumi mendengar ucapan gurunya sehingga telah bergeser sejengkal mendekat.

“Mempelajari olah kanuragan? Untuk apa?” tanpa sadar pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Gatra Bumi.

“Tentu saja untuk melindungi diriku sendiri,” tiba-tiba Ratri menyahut cepat tanpa mengangkat wajahnya sama sekali, “Aku tidak ingin kejadian pagi tadi terulang kembali dalam hidupku. Aku tidak mau keselamatanku seumur hidup hanya tergantung pada laki-laki. Aku ingin menunjukkan bahwa tanpa laki-laki, seorang perempuan seperti aku mampu melindungi dirinya sendiri.”

Sejenak cantrik Gatra Bumi tercekat mendengar jawaban yang sedikit ketus itu. Namun ketika disadarinya siapa Ratri itu, cantrik Gatra Bumi pun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

“Gatra Bumi,” kembali Ki Ajar melanjutkan kata-katanya, “Terus terang aku tidak dapat mengajarkan olah kanuragan kepada putri Matesih ini. Sebaiknya jika memang Ratri benar-benar mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar olah kanuragan, dia sebaiknya mencari seorang guru yang juga perempuan.”

Tiba-tiba cantrik Gatra Bumi segera teringat akan perempuan-perempuan yang tinggal di Menoreh. Mereka mempunyai ilmu olah kanuragan yang sangat tinggi. Mungkin salah satu dari mereka dapat menjadi guru Ratri.

“Ki Ajar,” berkata cantrik Gatra Bumi kemudian, “Sejauh pengetahuanku di Menoreh ada beberapa perempuan yang memiliki kemampuan olah kanuragan tinggi,” cantrik Gatra Bumi berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Yang pertama adalah Nyi Sekar Mirah istri Ki Rangga Agung Sedayu. Yang kedua adalah Rara Wulan, murid Nyi Sekar Mirah yang sekaligus istri kakang Glagah Putih. Dan yang terakhir adalah Nyi Dwani yang tinggal bersama ayahnya tidak jauh dari rumah Ki Rangga Agung Sedayu.”

Page 74: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

70

Ki Ajar mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun sedikit banyak Ki Ajar sudah tahu keberadaan perempuan-perempuan perkasa di perdikan Menoreh itu, namun dengan sengaja Ki Ajar memberikan kesempatan kepada cantrik Gatra Bumi untuk menyampaikannya. Dengan demikian Ki Ajar ingin melihat kesan yang tersirat di wajah Ratri.

Namun wajah Ratri terlihat datar-datar saja. Bahkan katanya kemudian dengan sedikit mengangkat wajahnya, “Ki Ajar, bagiku tidak masalah siapa yang akan menjadi guruku kelak. Namun yang lebih penting adalah ijin dari ayah. Apakah ayah mengijinkan aku pergi ke Menoreh atau tidak?”

Hampir bersamaan Ki Ajar dan cantrik Gatra Bumi mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ijin dari Ki Gede adalah sangat mutlak. Jika Ki Gede tidak mengijinkan dan Ratri tetap memaksakan kehendaknya pergi ke Menoreh tanpa pamit, tentu semua orang akan menilai Ratri sebagai anak yang durhaka.

“Nah, aku kira sudah cukup,” berkata Ki Ajar kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Aku dan Ratri akan menghadap Ki Gede. Apapun keputusan Ki Gede nantinya, harus kita patuhi.”

Selesai berkata demikian, Ki Ajar segera beringsut turun dari amben. Tak lupa tangan kanannya segera meraih tongkat kayu yang disandarkan di bibir amben.

Demikianlah akhirnya Ratri pun segera ikut bangkit dari duduknya. Sambil berjalan mengiringi Ki Ajar menuju pintu bilik, sekilas sepasang mata yang indah itu menyambar wajah cantrik Gatra Bumi yang telah ikut berdiri di ujung amben.

Bagaikan tersengat ribuan lebah, sekujur tubuh cantrik Gatra Bumi pun terasa panas dingin. Sambaran sepasang mata yang indah itu memang tepat pada saat cantrik Gatra Bumi juga sedang memandang wajah gadis itu. Pertemuan dua pasang mata anak manusia yang berlainan jenis itupun telah menggoreskan kesan di hati masing-masing.

Page 75: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

71

Dalam pada itu di ruang dalam kediaman Ki Gede Matesih, tampak Ki Gede sedang duduk termenung seorang diri. Tampak betapa wajah yang sebenarnya belum terlalu tua itu terlihat sangat letih. Pagi tadi Ki Gede harus memimpin pasukan pengawal menggempur padepokan Sapta Dhahana. Kemudian berjalan pulang kembali dengan membawa korban serta pengawal yang luka-luka. Baru menjelang Matahari terbenam tadi Ki Gede menyempatkan diri untuk menengok Nyi Selasih, janda anak satu yang telah dinikahinya setahun lalu. Namun baru saja Ki Gede akan beristirahat sejenak, datang Sangkan memberitahukan akan hilangnya Ratri, putri satu satunya yang sangat disayanginya.

Berkali-kali Ki Gede tampak menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Berbagai kenangan masa lalu hilir mudik dalam benaknya bagaikan segerombolan lebah yang terbang berputar-putar mengelilingi sarangnya.

“Aku terpaksa melakukannya,” desis Ki Gede perlahan tanpa sadar, “Mbok Pariyem dengan sangat terpaksa telah aku minta untuk kembali ke kampung halamannya.”

Kembali Ki Gede menghela nafas panjang. Beberapa saat tadi, ketika Ki Gede memasuki pringgitan ternyata mbok Pariyem telah menunggunya di ruang dalam.

Terkejut Ki Gede begitu membuka pintu ruang dalam, mbok Pariyem sedang menunggunya duduk di atas sehelai tikar yang dibentangkan di tengah-tengah ruangan.

“Ki Gede,” sapa mbok Pariyem kemudian sambil berusaha bangkit berdiri, namun dengan serta merta Ki Gede segera memberi isyarat untuk mencegahnya.

“Duduk sajalah, mbok,” berkata Ki Gede kemudian sambil mengambil tempat untuk duduk berhadapan dengan mbok Pariyem, “Bagaimana keadaan rumah ini selama aku tinggal pergi?”

Page 76: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

72

“Ki Gede,” sapa mbok Pariyem kemudian sambil berusaha bangkit berdiri, namun dengan serta merta Ki Gede…….

Page 77: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

73

Mbok Pariyem sejenak terdiam. Sepasang mata tua itu tampak memandang Ki Gede tanpa ewuh pakewuh sehingga membuat Ki Gede sedikit resah.

“Mbok,” berkata Ki Gede kemudian berusaha mengalihkan pembicaraan, “Di manakah Ratri? Aku mendapat laporan Ratri telah pergi dari rumah ini. Mengapa itu bisa terjadi?”

Tiba-tiba sepasang mata mbok Pariyem terlihat basah namun tak ada isak tangis yang keluar dari bibirnya yang keriput itu. Berkata mbok Pariyem kemudian dengan nada yang dalam dan penuh tekanan sambil sepasang matanya menatap tajam Ki Gede, “Kakang Wikan, belum cukupkah pengorbananku selama ini?”

Pertanyaan mbok Pariyem itu telah menghentak jantung Ki Gede dari tangkainya. Namun Ki Gede berusaha tetap tegar walaupun dadanya terasa bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur dari lereng bukit.

Tiba-tiba lamunan Ki Gede terputus ketika pendengaran Ki Gede yang tajam itu mendengar suara derit pintu pringgitan dibuka. Kemudian langkah-langkah kaki yang menyeberangi ruang pringgitan. Dan akhirnya terdengar pintu yang menghubungkan pringgitan dengan ruang dalam itu berderit terbuka.

Ketika Ki Gede kemudian berpaling, tampak Ki Kamituwa berdiri termangu-mangu di sela-sela pintu yang terbuka beberapa jengkal.

“Masuklah Ki Kamituwa,” berkata Ki Gede kemudian sambil beringsut setapak dari tempat duduknya. Ki Kamituwa pun kemudian membuka pintu itu lebar-lebar dan melangkah masuk.

“Silahkan duduk, Ki Kamituwa,” berkata Ki Gede kemudian mempersilahkan Ki Kamituwa yang berjalan terbungkuk-bungkuk menuju ke tempat Ki Gede duduk.

“Terima kasih Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa kemudian sambil duduk bersila tepat di hadapan Ki Gede.

Page 78: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

74

Sejenak suasana menjadi sunyi. Ki Kamituwa merasa segan untuk memulai pembicaraan. Sekilas dipandanginya wajah Ki Gede yang buram bagaikan langit menjelang turun hujan.

Agaknya Ki Gede menyadari keseganan Ki Kamituwa. Maka tanyanya kemudian, “Adakah sesuatu yang penting, Ki Kamituwa?”

Mendapat pertanyaan itu Ki Kamituwa segera beringsut setapak maju sambil menjawab, “Ya, Ki Gede, ada kepentingan yang mendesak. Ki Ajar Mintaraga mohon waktu untuk menghadap Ki Gede.”

“Ki Ajar Mintaraga?” ulang Ki Gede dengan kening berkerut-merut. Karena kesibukan yang luar biasa, Ki Gede menjadi lupa jika di rumah itu ada dua orang tamu.

“Ya, Ki Gede. Ki Ajar Mintaraga yang semalam memberi kabar kita tentang padepokan Sapta Dhahana.”

“Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku akan menemuinya di pendapa.”

“Jangan Ki Gede,” sahut Ki Kamituwa cepat, “Sebaiknya Ki Gede menemui mereka berdua di ruang dalam saja.”

“Mereka berdua?” bertanya Ki Gede keheranan, “Jadi murid Ki Ajar itu juga akan ikut menghadap?”

“Bukan, Ki Gede, bukan muridnya yang akan ikut menghadap,” kembali Ki Kamituwa menyahut dengan suara setengah berbisik, “Tapi Ki Ajar akan menghadap bersama Nimas Ratri.”

“He?” seru Ki Gede sedikit tertahan.

Sejenak wajah Ki Gede menegang. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam akhirnya Ki Gede menjawab perlahan, “Baiklah Ki Kamituwa, sampaikan kepada Ki Ajar, aku menunggu mereka di sini.”

Page 79: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

75

“Baik, Ki Gede,” berkata Ki Kamituwa kemudian sambil berdiri dan kemudian berjalan terbongkok-bongkok meninggalkan ruang dalam.

Sepeninggal Ki Kamituwa, Ki Gede menjadi gelisah. Dia benar-benar tidak habis mengerti apa yang dikehendaki oleh anak perempuan satu-satunya itu. Beberapa saat yang lalu, dia telah mendapat laporan tentang hilangnya Ratri, dan kini tiba-tiba saja Ratri telah muncul bersama Ki Ajar.

“Apa sebenarnya keinginan anak ini,” membatin Ki Gede sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam, “Aku sudah berusaha memenuhi hampir semua keinginannya asalkan keinginan itu wajar dan tidak melanggar paugeran bebrayan agung,” lamunan Ki Gede berhenti sejenak. Setelah menarik nafas panjang Ki Gede pun melanjutkan lamunannya, “Bahkan aku tidak sampai hati untuk melarang hubungannya dengan adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu, walaupun dalam hati aku sangat menentang hubungan itu. Ratri hanyalah seorang gadis yang masih bau kencur, sedangkan Raden Surengpati adalah laki-laki dewasa yang tentu sudah terbiasa bermain-main dengan berbagai macam perempuan.”

Sampai disini Ki Gede hatinya semakin nelangsa. Namun di sudut hati Ki Gede telah muncul sebuah harapan baru untuk masa depan tanah perdikannya.

Tiba-tiba terdengar pintu pringgitan terbuka. Kemudian langkah-langkah tertatih-tatih Ki Ajar bersama Ratri menyeberangi ruang pringgitan. Ketika pintu ruang dalam terbuka, Ki Gede segera berdiri menyambut keduanya.

“Ayah!” jerit Ratri begitu melihat ayahnya yang tampak letih dan lelah. Segera saja dia berlari menghambur ke dalam pelukan orang tua yang tinggal satu-satunya itu.

“Sudahlah Ratri,” bisik Ki Gede kemudian, “Duduklah. Semuanya dapat kita bicarakan bersama agar menjadi jelas duduk permasalahannya.”

Page 80: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

76

Kemudian sambil melepaskan pelukan putrinya, Ki Gede pun berkata kepada Ki Ajar, “Silahkan Ki Ajar, Silahkan.”

“Terima kasih Ki Gede,” jawab Ki Ajar sambil duduk bersila. Ki Gede dan Ratri pun kemudian mengambil duduk beberapa langkah di hadapan Ki Ajar.

Setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing, Ki Gede pun kemudian memulai pembicaraan.

“Maafkan Ki Ajar,” berkata Ki Gede kemudian, “Jika selama Ki Ajar dan murid Ki Ajar bertempat di rumahku ini, ada pelayanan yang barangkali kurang memuaskan.”

“O, sama sekali tidak Ki Gede,” sahut Ki Ajar dengan serta merta, “Aku berdua dengan Gatra Bumi justru merasa telah merepotkan keluarga Ki Gede.”

“Ah,” desah Ki Gede sambil tertawa pendek, “Justru kami seluruh kawula Matesih merasa bersyukur dan berterima kasih yang tak terhingga atas bantuan Ki Ajar sehingga klilip yang selama ini mengganggu perdikan Matesih telah hilang. Setidaknya untuk sementara ini.”

“Ah,” sekarang ganti Ki Ajar yang tertawa pendek. Katanya kemudian, “Kami berdua hanya sebagai sraya dari Kanjeng Sunan. Namun jika Ki Gede tidak keberatan, sudilah kiranya menceritakan serba sedikit apa yang telah terjadi di bukit Tidar pagi tadi.”

Sejenak Ki Gede tertegun. Tanpa sadar Kepala tanah perdikan Matesih itu berpaling sekilas ke arah Ratri. Namun Ratri terlihat hanya menundukkan wajahnya sambil jari-jemarinya memainkan ujung bajunya.

“Semoga Ratri dapat mengambil pelajaran dari semua peristiwa ini,” berkata Ki Gede dalam hati, “Mungkin hubungannya dengan Raden Surengpati telah terputus dengan sendirinya begitu dia menyadari peran apa yang telah dilakukan oleh adik orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen di perdikan ini.”

Page 81: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

77

“Baiklah Ki Ajar,” jawab Ki Gede kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Dengan pertolongan yang Maha Agung pasukan pengawal Matesih telah berhasil merebut dan menguasai padepokan Sapta Dhahana.”

“Bagaimana dengan orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu beserta para pengikutnya?” bertanya Ki Ajar selanjutnya.

“Selama pertempuran berlangsung, baik orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen yang belum pernah aku lihat ujudnya, dan adiknya, Raden Surengpati yang selama ini menghantui perdikan Matesih, sama sekali tidak terlihat melibatkan diri dalam pertempuran.”

Ki Ajar mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sementara Ratri hanya menundukkan wajahnya dalam-dalam. Tidak ada sebuah kesan pun yang tergores di wajahnya.

“Semoga dugaanku benar,” berkata Ki Gede sambil mencuri pandang ke arah wajah putrinya, “Ratri sudah mulai menyadari kedewasaannya dan dapat menilai hubungannya selama ini dengan Raden Surengpati.”

Sebenarnyalah Ratri, remaja yang mulai menginjak dewasa itu sudah dapat meraba apa yang diinginkan oleh Raden Surengpati ketika mereka berdua saja di pategalan beberapa hari yang lalu. Ketika kesadaran akan jati dirinya sebagai perempuan dan juga sebagai putri satu-satunya Kepala tanah perdikan Matesih, Ratri justru merasa muak dengan perlakuan Raden Surengpati selama ini kepada dirinya.

“Ternyata tutur katanya yang manis dan selalu menyanjung, sikap sopan santun dan trapsilanya yang menunjukkan dirinya adalah dari Trah bangsawan hanyalah untuk menutupi maksud jahatnya. Benar-benar seekor serigala berbulu domba,” membatin Ratri dalam hati dengan hati penuh kebencian.

Page 82: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

78

“Ki Gede,” tiba-tiba terdengar Ki Ajar berkata memecah kesunyian, “Bagaimana dengan kelima perantau dari Prambanan itu? Di manakah mereka sekarang?”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam mendapat pertanyaan dari Ki Ajar. Kini Ki Gede baru sadar telah meninggalkan ketiga orang tua itu di banjar padukuhan induk.

“Aku begitu terburu-buru ingin menengok Nyi Selasih dan putranya sehingga ketiga orang tua itu telah aku abaikan,” berkata Ki Gede dalam hati sambil pandangannya menerawang ke langit-langit, “Padahal aku sudah berjanji untuk menyediakan masakan yang menjadi klangenan mereka, nasi putih, sayur keluwih dengan lauk dendeng sapi dan sambal tomat yang pedas.”

“Ki Gede?” tiba-tiba terdengar suara Ki Ajar membangunkan Ki Gede dari lamunannya.

“O, maafkan aku Ki Ajar,” berkata Ki Gede kemudian sambil tersenyum, “Aku sedang teringat ketiga orang tua yang aku tinggalkan di banjar padukuhan induk. Semoga mereka bertiga mendapat pelayanan yang cukup baik di sana.”

Ki Ajar mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Siapa sajakah ketiga orang itu Ki Gede?”

“Ki Jayaraga yang terluka cukup parah namun sudah mendapat perawatan dari tabib terbaik di perdikan ini, kemudian Ki Waskita dan yang terakhir orang tinggi besar dengan muka penuh kumis dan jambang, Ki Bango Lamatan,” jawab Ki Gede kemudian.

Kembali kerut merut terlihat di kening guru cantrik Gatra Bumi itu. Katanya kemudian, “Bagaimana dengan Ki Rangga Agung Sedayu dan Glagah Putih?”

Untuk beberapa saat Ki Gede menjadi bingung. Namun jawabnya kemudian, “Aku tidak begitu paham dengan keadaan mereka berdua Ki Ajar. Tadi sewaktu dalam perjalanan dari gunung Tidar kembali ke Matesih, Ki Waskita sempat menyebut

Page 83: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

79

jika Ki Rangga telah terluka parah dan dibawa pergi oleh seseorang untuk mendapatkan perawatan.”

Wajah Ki Ajar sejenak menegang mendengar keterangan Ki Gede. Tanyanya kemudian, “Siapakah yang membawa Ki Rangga, Ki Gede?”

Ki Gede menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Tidak ada seorang pun yang tahu. Menurut Ki Waskita, ada seorang anak muda yang menemuinya dan mengaku bernama Mas Santri. Dia menyampaikan bahwa Ki Rangga telah di bawa oleh ayahnya untuk menyingkir.”

“Mas Santri?” ulang Ki Ajar keheranan. Namun raut wajah keheranan itu hanya sekejab. Segera saja tersungging sebuah senyum di bibir Ki Ajar.

“Syukurlah,” berkata Ki Ajar kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku yakin Ki Rangga akan mendapatkan perawatan yang baik sehingga segera cepat pulih kembali.”

Ki Gede yang melihat senyum sekilas di bibir Ki Ajar itu sejenak mengerutkan keningnya. Bertanya Ki Gede kemudian, “Apakah Ki Ajar mengenal anak muda yang mengaku bernama Mas Santri itu?”

Ki Ajar menganggukkan kepalanya. Namun jawaban Ki Ajar kemudian justru telah membuat Ki Gede kecewa.

“Aku mengenalnya, namun nama Mas Santri mungkin banyak yang menggunakan. Semoga saja dugaanku benar,” Ki Ajar berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sudahlah Ki Gede, aku yakin Ki Rangga sudah berada di tangan yang tepat. Aku tidak berani mengungkapkan jati diri orang itu walaupun aku mempunyai dugaan yang kuat. Sebaiknya kita doakan saja semoga Ki Rangga segera cepat sembuh dan dapat melaksanakan tugas-tugasnya kembali.”

“Kita ikut mendoakan Ki Ajar,” sahut Ki Gede sambil ikut mengangguk-anggukkan kepalanya.

Page 84: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

80

“Nah,” berkata Ki Ajar kemudian, “Bagaimana dengan anak muda yang bernama Glagah Putih itu? Apakah dia ikut rombongan yang kembali ke Matesih?”

Ki Gede menggeleng, “Menurut cerita Ki Waskita, Glagah Putih telah pergi menyusul kakak sepupunya itu.”

Sejenak Ki Ajar termenung. Namun kemudian wajah tua yang sareh itu kembali tersenyum sambil mengangguk-angguk. Namun tidak ada sepatah kata pun yang terucap.

“Ayah,” tiba-tiba Ratri yang sedari tadi hanya menjadi pendengar telah menyeletuk, “Apakah ayah sudah mendengar berita yang terjadi di rumah ini selama di tinggal ayah pergi?”

Ki Gede terperanjat mendapat pertanyaan dari putrinya itu. Tanpa sadar dia memandang ke arah Ki Ajar yang duduk di hadapannya. Jika selama dia pergi di rumah itu telah terjadi sesuatu, paling tidak Ki Ajar pasti mengetahuinya.

Ki Ajar yang maklum akan sorot mata Ki Gede itu segera mengangguk sambil menjawab, “Nimas Ratri benar Ki Gede. Memang pagi tadi telah terjadi ontran-ontran kecil di rumah ini. Namun untuk lebih jelasnya, biarlah Nimas Ratri sendiri yang bercerita karena dia sendiri yang mengalaminya.”

Berdesir tajam dada Ki Gede mendengar keterangan Ki Ajar. Dengan serta merta dia segera berpaling ke arah Ratri yang duduk di sebelah kirinya.

“Ya, ayah,” berkata Ratri kemudian yang melihat pandangan mata ayahnya ditujukan kepada dirinya, “Pagi tadi memang telah terjadi sebuah peristiwa yang hampir-hampir saja mencelakakan aku.”

“He?!” seru Ki Gede tertahan. Jika saja ada seekor kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa menyengat telapak kaki Ki Gede, tentu Ki Gede tidak akan menjadi seterkejut itu.

----------0O0----------

Bersambung ke jilid 11

Page 85: Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2018 ... “Ada gerakan mencurigakan di kelokan jalan setapak itu. Walaupun terdengar sangat

Sejengkal Tanah Setetes Darah Jilid 10

81