sejengkal tanah setetes darah · 2019. 6. 22. · bukit menoreh karya sh mintardja yang tidak...

83
Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) Cerita fiksi berbasis sejarah semasa Kerajaan Mataram di bawah Panembahan Hanyakrawati dan Sultan Agung. Melanjutkan cerita Api di Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416.

Upload: others

Post on 05-Sep-2020

87 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh)

Panembahan Mandaraka (mbah_man)

Cerita fiksi berbasis sejarah semasa Kerajaan Mataram di bawah Panembahan Hanyakrawati dan Sultan Agung. Melanjutkan cerita Api di Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416.

Page 2: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

ii

Page 3: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iii

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

(Lanjutan T ADBM)

Karya mbah_man

Jilid 4

Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo

Page 4: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iv

Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri

Bagi sanak-kadang yang berkumpul di “Padepokan” gagakseta Naskah ini diupload di

http://cersilindonesia.wordpress.com, dan

http://tamanbacaanmbahman.blogspot.co.id/ boleh saja

didownload dan dikoleksi, tetapi tidak untuk dikomersilkan

Page 5: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

Selesai berkata demikian, dengan langkah satu-satu Raden Surengpati pun kemudian melangkah semakin dekat. Sementara Ratri benar-benar bagaikan melihat seekor serigala lapar dengan sepasang mata merah menyala serta gigi-gigi runcing menyeringai mengerikan.

Ada sebersit penyesalan yang menyelinap di dalam hati anak perempuan satu-satunya Ki Gede Matesih itu. Jika dia sedikit bersabar menunggu kedatangan mbok Pariyem, mungkin Raden Surengpati akan bersikap lain.

“Raden,” berkata Ratri kemudian mencoba untuk mengalihkan perhatian Raden Surengpati, “Menurut berita yang aku dengar, kelima orang yang bermalam di banjar padukuhan Klangon itu telah lolos.”

“Persetan dengan segala macam tetek bengek itu!” geram Raden Surengpati, “Aku sudah tidak peduli lagi kepada mereka. Yang ada sekarang ini adalah antara engkau dan aku!”

Selesai berkata demikian, Raden Surengpati maju selangkah lebih dekat. Penalarannya benar-benar telah gelap. Di dalam benaknya hanya ada satu keinginan, menguasai Ratri dengan sepenuhnya kalau perlu dengan paksaan.

Namun putri Matesih itu belum menyerah. Dengan menguatkan hatinya, Ratri pun akhirnya berkata dengan nada sedikit memelas, “Raden, kasihanilah aku. Aku harus cepat kembali, dan Raden pun tentu mempunyai kepentingan lain yang tidak dapat ditunda -tunda. Ijinkanlah aku pergi, Raden.”

Suara Ratri yang terdengar memelas itu di telinga Raden Surengpati bagaikan sebuah rengekan manja dari seorang gadis yang haus akan cinta. Darah di sekujur tubuhnya pun bagaikan mendidih dan kemudian menggelegak menelusuri segenap urat-urat nadinya.

Page 6: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

2

“Ratri,” terdengar suara Raden Surengpati yang bergetar hebat menahan gejolak yang sudah menghanguskan jantungnya, “Engkau begitu cantik dan menawan. Aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk menikmati tubuhmu sejengkal demi sejengkal. Percayalah, aku tidak akan menyakitimu walau hanya seujung rambutmu. Engkau akan kubawa ke alam keindahan dan kenikmatan yang belum pernah terbayangkan dalam seumur hidupmu.”

Mulut Ratri benar-benar sudah terkunci, tidak mampu lagi untuk berkata-kata maupun berteriak. Kengerian yang sangat telah menjalar ke sekujur tubuhnya sehingga tubuhnya telah kaku seperti sebuah tonggak kayu. Bahkan hanya untuk menggerakkan ujung ibu jari kakinya pun dia sudah tidak mampu lagi.

Ketika salah satu tangan Raden Surengpati yang kekar itu kemudian merengkuh pundaknya, hanya terdengar sebuah jeritan kecil dari mulutnya yang mungil. Sejenak kemudian segalanya terlihat gelap dalam rongga matanya dan Ratri pun jatuh pingsan dalam pelukan Raden Surengpati.

Melihat mangsanya ternyata telah jatuh pingsan, Raden Surengpati pun bagaikan menjadi kalap. Dengan kedua tangan yang gemetar menahan nafsu yang bergejolak, dicobanya untuk membuka pakaian bagian atas putri Matesih itu.

Namun belum sempat dia melakukannya, tiba-tiba telinganya mendengar suara seseorang bergumam tidak seberapa jauh di depannya.

Ketika Raden Surengpati kemudian mengangkat wajahnya, tampak seorang anak muda dengan wajah yang merah padam berdiri beberapa langkah saja di hadapannya dengan kaki renggang dan kedua tangan bersilang di depan dada.

“Iblis!” geram Raden Surengpati kemudian sambil menurunkan tubuh Ratri perlahan-lahan dan kemudian membaringkannya di atas t anah. Sambil maju dua langkah, Raden Surengpati pun kemudian membentak keras, “Siapa yang berani mengganggu kesenangan Raden Surengpati, he?!”

Page 7: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

3

Namun Raden Surengpati menjadi heran sendiri. Pemuda yang berdiri di hadapannya itu tidak menampakkan rasa gentar sedikit pun mendengar dia menyebut nama serta gelar kebangsawanannya. Bahkan sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di depan dada, tangan kanan Pemuda itu justru telah menunjuk ke arah wajahnya sambil membentak tak kalah kerasnya, “Surengpati, namamu yang selama ini menghantui Perdikan Matesih akan berakhir hari ini. Sebelum Matahari terbenam di langit sebelah barat, aku jamin mayatmu akan terbujur di pategalan ini sebagai tumbal tanah Perdikan Matesih untuk menemukan masa depannya kembali.”

“Tutup mulutmu! ” bentak Raden Surengpati kemudian dengan wajah membara, “Sebut namamu sebelum aku membunuhmu! ”

Pemuda itu melangkah setapak ke depan. Sambil membusungkan dada, dia pun kemudian berteriak lantang, “Dengarkan baik-baik. Aku Glagah Putih dari Prambanan yang akan mengakhiri petualanganmu hari ini.”

Belum sempat Glagah Putih menutup mulutnya dengan sempurna, terpaan angin yang keras terasa mendahului serangan Raden Surengpati yang telah meluncur dengan deras menyambar dagunya.

Namun Glagah Putih bukanlah anak kemarin sore yang baru saja berlatih loncat-loncatan dalam olah kanuragan. Dengan tangkasnya dia bergeser selangkah ke samping kiri. Kemudian dengan bertumpu pada tumit salah satu kakinya, kaki yang lainnya berputar menyambar lambung lawannya yang terbuka.

Raden Surengpati yang menyadari sambaran kaki lawannya mengarah ke lambung segera menggeliat. Tumit Glagah Putih pun lewat hanya sejengkal dari lambungnya.

Demikian lah sejenak kemudian kedua orang itu segera bertempur dengan sengitnya. Kedua-duanya masih muda dan berdarah panas, sehingga keduanya segera saja telah merambah pada tingkat ilmu mereka yang semakin tinggi.

Page 8: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

4

Dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan diam-diam menjadi semakin berdebar-debar melihat tandang Glagah Putih. Dari tempat persembunyian mereka, terlihat Glagah Putih bertempur dengan segenap tenaga dan terlihat sedikit menuruti gejolak dalam dadanya.

“Ki Jayaraga, mengapa Glagah Putih terlihat begitu bernafsu untuk segera menjatuhkan lawannya?” bisik Ki Bango Lamatan kepada Ki Jayaraga yang berada di sampingnya.

Ki Jayaraga tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu. Mungkin terdorong kemarahan yang membakar jantungnya melihat putri satu-satu Ki Gede Matesih itu dalam bahaya.”

Ki Bango Lamatan mengerutkan keningnya mendengar jawaban Ki Jayaraga. Katanya kemudian, “Seharusnya Glagah Putih mengekang diri. Jika terjadi kesalahan tangan sehingga Raden Surengpati terbunuh, apakah tidak akan membahayakan para kawula tanah Perdikan Matesih ini?”

“Maksud Ki Bango Lamatan, Raden Wirasena sebagai saudara kandung Raden Surengpati pasti akan membalas dendam?”

“Benar, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan, “Dan tidak menutup kemungkinan Raden Wirasena akan meminta bantuan perguruan Sapta Dhahana untuk membuat Perdikan Matesih menjadi karang abang.”

Sekarang giliran Ki Jayaraga yang mengerutkan keningnya. Namun sambil tertawa lirih Ki Jayaraga pun kemudian berkata, “Jika memang itu yang kemudian terjadi, sekali lagi kita harus menyembunyikan mayatnya agar untuk sementara orang-orang pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu tidak mengetahuinya.”

Ki Bango Lamatan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban Ki Jayaraga. Pandangan matanya kembali melihat ke arah medan pertempuran kedua anak muda itu yang semakin lama semakin sengit.

Page 9: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

5

Lingkaran perkelahian itu semakin lama semakin menjauhi tempat Ratri tergeletak tak sadarkan diri. Agaknya kedua anak muda itu pun menyadari bahaya dari akibat yang dapat ditimbulkan dari benturan ilmu mereka jika Ratri masih berada di dekat mereka.

Demikianlah kedua anak muda itu benar-benar sudah tidak dapat mengekang diri lagi. Semakin lama mereka semakin merambah pada tingkat ilmu yang semakin tinggi. Tanah tempat mereka berpijak telah hancur bagaikan sehabis dibajak berpuluh ekor lembu. Sementara gerumbul-gerumbul dan batang-batang perdu telah hancur lumat diterjang oleh sambaran ilmu mereka.

Ketika pada suatu kesempatan serangan Glagah Putih tidak dapat dihindarkan lagi, maka Raden Surengpati telah menyilangkan kedua tangannya di depan dada menghadang tumit lawannya yang meluncur mengarah dada.

Sejenak kemudian terjadilah benturan yang tak terhindarkan. Kedua-duanya terkejut mendapati kekuatan lawannya. Ternyata kedua anak muda itu telah terlempar beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya mereka jatuh bergulingan di atas tanah. Namun dengan cepat keduanya pun segera melenting berdiri.

Untuk beberapa saat mereka masing-masing saling menilai kekuatan lawannya. Raden Surengpati yang merasakan kekuatan terjangan lawannya itu bagaikan menghentak dadanya telah menarik nafas dalam-dalam sekedar untuk melonggarkan jalan pernafasannya yang tiba-tiba saja bagaikan tersumbat.

Sedangkan Glagah Putih ternyata telah berbuat serupa. Serangannya bagaikan membentur dinding baja setebal satu jengkal. Akibatnya, kekuatan yang tertumpu pada tumitnya itu telah membalik dan rasa-rasanya tulang tumitnya telah retak serta lututnya bagaikan terlepas dari persendian.

“Ternyata nama Raden Surengpati ini bukan omong kosong,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Pantas saja Ki Gede Matesih tidak mempunyai nyali untuk menentangnya. Mungkin dia telah

Page 10: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

6

membuat sebuah pengeram-eram di Perdikan Matesih ini sehingga semua orang mengetahui tingkat ilmunya dan menjadi ketakutan karenanya.”

“Anak Muda,” tiba-tiba terdengar suara Raden Surengpati lantang memecah kesunyian, “Menurut laporan yang aku terima, salah seorang dari para perantau yang menginap di banjar padukuhan Klangon itu berusia masih muda. Menilik pengakuanmu tadi yang berasal dari Prambanan, apakah engkau adalah salah satu dari para perantau itu?”

“Engkau benar,” jawab Glagah Putih dengan serta merta, “Setelah engkau mengetahui aku adalah salah satu dari kelima perantau itu, apa katamu sekarang?”

Seketika wajah Raden Surengpati menjadi sedikit pucat. Tanpa sadar dia segera mengedarkan pandangan mata ke sekelilingnya.

“Siapa yang sedang engkau cari, Raden Surengpati?” bertanya Glagah Putih kemudian dengan nada sedikit mengejek begitu melihat pandangan mata lawannya tampak seperti sedang mencari seseorang di sekitar tempat itu, “Akulah lawanmu dan aku masih berdiri tegak di hadapanmu. Engkau tidak usah menjadi yang lainnya.”

“Gila!” umpat Raden Surengpati dalam hati. Segera saja jantung Raden Surengpati bergetar dahsyat. Tidak menutup kemungkinan Ki Rangga Agung Sedayu beserta yang lainnya berada di sekitar tempat itu dan sedang mengawasi mereka berdua.

“Eyang Guru saja menghindari pertemuan dengan Ki Rangga,” berkata Raden Surengpati dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Apalagi aku. Tentu dengan sangat mudahnya Ki Rangga akan membunuhku, tidak perlu dengan menggunakan ujud semunya yang nggegirisi itu. Atau mereka memang sengaja memberikan pendadaran dan pengalaman kepada anak muda ini. Setelah itu mereka akan menangkapku dan kemudian menyanderaku untuk memberikan tekanan kepada Kakanda Wirasena agar menyerah.”

Page 11: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

7

Berpikir sampai disitu, Raden Surengpati tiba-tiba saja telah memutuskan untuk segera menghindar dari tempat itu secepat-cepatnya, sebelum semuanya terlambat.

Demikianlah akhirnya, sebelum Glagah Putih menyadari apa yang akan diperbuat oleh lawannya, tiba-tiba saja Raden Surengpati telah mengambil sikap. Diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi dengan telapak tangan terbuka ke atas, sementara tangan kirinya mengepal sejajar lambung. Disertai dengan suara teriakan menggelegar, Raden Surengpati pun kemudian meloncat sambil tangan kanannya diputar di atas kepala.

Akibatnya benar-benar diluar dugaan. Sebuah pusaran angin tiba-tiba saja telah tercipta di sekeliling Raden Surengpati. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, pusaran badai itu pun kemudian berputar dahsyat dan menyambar Glagah Putih.

Glagah Putih yang tidak menyadari lawannya telah menghentakkan ilmu puncaknya menjadi terkejut. Dengan cepat dia melenting ke belakang beberapa langkah. Dalam sekejap Glagah Putih pun telah siap dengan ajinya yang nggegirisi, aji sigar bumi.

Namun alangkah terkejutnya Glagah Putih. Ternyata Raden Surengpati itu tidak bermaksud untuk benar-benar menyerang ke arahnya. Namun pusaran angin badai itu telah menghantam tanah yang berjarak selangkah dari tempatnya berdiri tadi. Akibatnya tanah dan debu serta daun-daun kering berhamburan ke udara. Dalam sekejap pandangan mata Glagah Putih menjadi terhalang oleh debu dan daun-daun kering yang berhamburan. Glagah Putih pun harus kembali meloncat ke belakang untuk mengambil jarak.

Kesempatan itu ternyata tidak disia-siakan oleh Raden Surengpati. Dengan beberapa kali lompatan panjang, adik dari orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itupun telah berhasil menyingkir dari tempat itu.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan yang sedang bersembunyi di balik pohon-pohon perdu itu terkejut begitu menyadari lawan Glagah Putih telah melarikan diri. Jarak

Page 12: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

8

kedua orang tua itu dengan Raden Surengpati cukup jauh sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk mencegah atau pun melakukan pengejaran.

Sedangkan Glagah Putih yang menyadari lawannya ternyata telah melarikan diri, segera melompat ke depan untuk mengadakan pengejaran. Namun baru saja kakinya akan melangkah lagi, tiba-tiba saja Ratri yang sedang tergolek pingsan itu terdengar mengeluh pendek.

Hampir saja Glagah Putih meloncat mendekat jika saja Ki Jayaraga tidak melontarkan isyarat kearahnya.

Sejenak Glagah Putih berpaling. Ketika dilihat gurunya itu melambaikan tangan, Glagah Putih pun segera maklum bahwa dirinya harus cepat-cepat bersembunyi kembali sebelum Ratri menyadari keadaannya.

Demikianlah, perlahan-lahan kesadaran telah memasuki benak Ratri seiring dengan semilir angin pategalan yang membelai wajahnya. Ketika kedua mata putri Matesih itu kemudian mulai terbuka, segala sesuatunya memang masih terlihat remang-remang. Setelah mengerjap-kerjapkan kelopak matanya berkali-kali, barulah Ratri bisa melihat keadaan di sekelilingnya dengan jelas.

“Dimanakah aku? Apa yang telah terjadi pada diriku?” pertanyaan itulah yang pertama-tama melonjak dalam hatinya. Dengan bertelekan pada kedua sikunya, Ratri pun kemudian mencoba untuk duduk.

Perlahan-lahan ingatan Ratri pun mulai pulih kembali. Ketika disadari dirinya disaat-saat terakhir sebelum jatuh pingsan berada dalam pelukan Raden Surengpati, tiba-tiba saja gadis itu telah memekik kecil sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tangis Ratri pun tiba-tiba saja telah meledak sejadi-jadinya.

Hampir saja Glagah Putih meloncat dari persembunyiannya kalau saja Ki Jayaraga tidak segera menekan pundaknya.

Page 13: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

9

“Engkau mau kemana Glagah Putih?” bertanya gurunya dengan setengah berbisik.

“Guru,” jawab Glagah Putih sambil berpaling kearah Gurunya, “Kasihan Gadis itu. Kita harus memberitahukan kepadanya bahwa segala sesuatu yang dikhawatirkan itu belum terjadi. Dia masih utuh dan tidak kurang suatu apapun.”

“O, maksudmu, engkau akan menunjukkan kepada gadis itu bahwa dia masih utuh dan belum ternoda. Bagaimana caranya?” sela Ki Jayaraga kemudian.

Sejenak Glagah Putih menjadi bingung. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Ki Bango Lamatan. Namun ternyata Ki Bango Lamatan justru telah tersenyum ke arahnya.

“Gila!” geram Glagah Putih dalam hati. Ternyata setelah bergaul beberapa saat lamanya, Ki Bango Lamatan yang pendiam itu mulai terbiasa dengan kebiasaan mereka, bercanda dan menggoda.

“Sudahlah Glagah Putih,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil menepuk pundak muridnya, “Dia akan mengetahui dengan sendirinya. Sebaiknya kita tunggu saja sampai dia menyadari keadaannya dan pergi dari tempat ini dengan aman dan selamat.”

Apa yang dikatakan oleh Ki Jayaraga itu ternyata benar. Perlahan-lahan tangis Ratri pun mulai mereda. Sejenak gadis itu masih termangu-mangu di tempat duduknya. Beberapa kali dia menarik nafas dalam-dalam sambil mengamati pakaian di sekujur tubuhnya. Tidak ada yang robek maupun yang terlepas, semuanya terlihat masih rapi dan utuh di tempatnya.

Ratri kembali menarik nafas panjang, panjang sekali. Seolah-olah ingin dihirupnya udara di pinggir parit yang jernih itu untuk memenuhi rongga dadanya.

“Mungkin Raden Surengpati telah berbelas kasihan begitu melihat aku jatuh pingsan,” berkata Ratri kemudian dalam hati sambil bangkit berdiri, “Aku tidak percaya jika Raden Surengpati

Page 14: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

10

akan tega berbuat itu kepadaku. Dia begitu lembut dan penuh pengertian kepadaku. Semoga saja dugaanku ini benar.”

Setelah mengibas-kibaskan debu yang melekat di beberapa tempat di tubuhnya, serta rumput-rumput yang mengotori rambutnya, putri Ki Gede Matesih itu pun dengan langkah yang masih gemetar segera meninggalkan tempat itu.

Ketika tanpa sadar Ratri kemudian berpaling kearah tempat bekas pertempuran Raden Surengpati dan Glagah Putih, sejenak kening gadis itu pun menjadi berkerut-merut. Seingatnya tempat itu tadi terlihat hijau dan sejuk. Namun sekarang tanahnya bagaikan baru saja dibajak. Gerumbul-gerumbul perdu tercerabut dari akarnya dan berserakan bagaikan baru saja tersapu oleh badai.

Namun gadis itu tidak dapat menemukan jawabannya. Setelah menggeleng lemah sambil menarik nafas panjang, Ratri pun kemudian meneruskan langkahnya.

Sepeninggal Ratri, ketiga orang itu pun kemudian segera keluar dari tempat persembunyian mereka. Ketika kedua orang tua itu mulai melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, tampak Glagah Putih masih berdiri termangu-mangu. Pandangan matanya masih tertuju ke arah menghilangnya Ratri di balik pohon-pohon dan gerumbul yang tumbuh lebat di pategalan itu.

Tanpa sadar kedua orang tua itu saling berpandangan sejenak. Ki Jayaraga lah yang kemudian bertanya, “Ada apa lagi Glagah Putih? Apakah engkau mendapat firasat lagi atau engkau mempunyai perhitungan yang lain tentang gadis itu?”

Sejenak Glagah Putih masih termangu-mangu. Namun kemudian sambil menggelengkan kepalanya, dia segera melangkahkan kakinya menyusul kedua orang tua itu.

Dalam pada itu, Ki Rangga dan Ki Waskita yang menyusuri daerah Perdikan Matesih dari arah timur hampir tidak menjumpai rintangan apapun. Daerah tanah Perdikan Matesih sebelah timur memang masih berupa hutan belukar yang pepat. Memang ada beberapa bagian yang tampak sudah mulai dijamah oleh tangan-

Page 15: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

11

tangan manusia. Mungkin mereka mencari beberapa hasil hutan yang dapat dipergunakan untuk suatu keperluan, atau bahkan tidak menutup kemungkinan hasil hutan itu dapat mereka pergunakan sebagai mata pencaharian mereka sehari-hari.

“Hutan ini sangat luas,” berkata Ki Waskita yang berjalan di sebelah Ki Rangga, “Sebenarnya para penghuni padukuhan yang terdekat dapat memanfaatkan sebagian hutan ini untuk pategalan atau persawahan.”

“Ya, Ki,” jawab Ki Rangga sambil mengamat-amati sebuah pohon raksasa yang tumbuh menjulang tinggi, “Pohon ini sepertinya sudah berusia ratusan tahun, menilik ujudnya yang sudah sedemikian besarnya.”

“Ya, ngger,” sahut ki Waskita sambil ikut mengamat -amati pohon besar itu. Mungkin tiga pelukan orang dewasa belum cukup untuk melingkari pohon itu.

Namun tiba-tiba saja pandangan mata Ki Rangga menangkap gurat -gurat aneh di sebagian kulit pohon raksasa itu.

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian sambil meraba guratan-guratan itu yang terlihat samar, “Apakah Ki Waskita dapat melihat guratan-guratan ini?”

Ki Waskita menjadi tertarik. Dengan segera dia ikut meraba guratan-guratan yang ditunjukkan oleh Ki Rangga.

“Menilik bekasnya, guratan-guratan ini sepertinya baru saja dibuat,” berkata Ki Rangga kemudian.

“Ya, ngger dan sepertinya guratan-guratan ini mengandung sebuah makna atau isyarat.” berkata Ki Waskita kemudian sambil tetap mengamat-amati guratan-guratan itu.

“Aku juga beranggapan demikian, Ki Waskita,” jawab Ki Rangga. Dicobanya untuk melihat guratan-guratan itu pada sisi yang lain dari pohon raksasa itu. Namun ternyata tidak diketemukan lagi.

“Aneh,” berkata Ki Rangga pada akhirnya, “Kelihatannya seseorang dengan sengaja telah membuat guratan-guratan ini.”

Page 16: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

12

“Ya ngger,” sahut Ki Waskita sambil melangkah mundur satu langkah. Tiba-tiba saja dia melihat seolah-olah guratan-guratan itu justru telah menjadi semakin jelas.

“He?!” seru Ki Waskita kemudian, “Lihatlah ngger! Guratan-guratan itu justru dapat terbaca dari tempat ini!”

Mendengar seruan Ki Waskita, Ki Rangga segera melangkah mendekati tempat Ki Waskita berdiri. Dengan jantung berdebaran Ki Rangga pun mulai mencoba membaca guratan-guratan itu dari samping Ki Waskita .

Sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam, Ki Rangga pun mulai mencoba merangkai guratan-guratan itu menjadi susunan kata..

“Begawan Cipta Hening,” desis Ki Rangga perlahan membaca guratan yang tertulis di kulit pohon raksasa itu.

“Begawan Cipta Hening? Apa maksudnya?” bertanya Ki Rangga kemudian seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri.

Ki Waskita ikut mengerutkan keningnya. Sebagai angkatan tua tentu saja dia pernah mendengar nama itu. Nama yang pernah terdengar namun mirip dengan nama-nama para tokoh dalam dongeng dan cerita dalam pewayangan.

“Dan apakah tulisan dibawahnya itu, ngger?” bertanya Ki Waskita kemudian begitu melihat Ki Rangga tampak sedikit membungkuk untuk membaca guratan yang lain.

“Gunung Tidar,” desis Ki Rangga perlahan

“Gunung Tidar?” tanpa sadar Ki Waskita mengulang sambil kembali mengerutkan keningnya dalam-dalam.

“Mungkin maksudnya ada seseorang yang bergelar Begawan Cipta Hening dan tinggal di gunung Tidar,” berkata Ki Rangga kemudian sambil tersenyum.

“Ah,” Ki Waskita tertawa pendek, “Mungkin saja tebakan teka-teki itu sedemikian mudahnya, ngger. Namun tujuan orang itu menulis di pohon raksasa ini yang masih belum kita ketahui.”

Page 17: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

13

Sejenak Ki Rangga merenung. Katanya kemudian, “Ki Waskita, apakah Ki Waskita mengenal atau setidaknya pernah mendengar orang yang bergelar Begawan Cipta Hening itu?”

Untuk beberapa saat Ki Waskita tampak sedang mengumpulkan ingatannya. Sambil menarik nafas panjang, akhirnya Ki Waskita pun menjawab, “Ngger, nama Begawan Cipta Hening itu seperti dongeng saja. Namun sepanjang pengetahuanku, orang yang bergelar Begawan Cipta Hening itu seorang Pertapa yang sangat sakti. Beliau selalu berpindah-pindah tempat untuk bertapa. Aku tidak pernah mendengar sang Pertapa itu terlibat akan urusan dunia. Hampir tidak pernah ada seorang pun yang pernah berjumpa dengan Pertapa itu. Orang mendengar namanya hanya dari ceritanya saja, selebihnya tidak ada yang tahu.”

Ki Rangga termenung. Semasa gurunya masih hidup dulu, dia juga sering mendapat cerita tentang orang-orang sakti pada jaman dahulu dengan berbagai jenis ilmunya yang aneh-aneh dan nggegirisi. Namun gurunya tidak pernah menyebut nama Begawan Cipta Hening itu.

“Jadi, apakah kesimpulan kita sehubungan dengan guratan-guratan aneh itu, Ki?” bertanya Ki Rangga kemudian.

Sejenak Ki Waskita termenung. Namun akhirnya ayah Rudita itu menjawab sambil tersenyum, “Ngger, mungkin jawaban yang sangat mudah dan sederhana adalah, orang yang bergelar Begawan Cipta Hening itu sekarang ini sedang bertapa di Gunung Tidar.”

“Ah,” Ki Rangga tertawa pendek. Namun tiba-tiba terasa jantung Ki Rangga berdebar keras. Maka katanya kemudian, “Ki Waskita, tidak menutup kemungkinan orang yang bergelar Begawan Cipta Hening itu telah bergabung dengan perguruan Sapta Dhahana di Gunung Tidar dan mendukung gerakan Trah Sekar Seda Lepen.”

“He?” Ki Waskita justru telah terlonjak kaget. Dengan cepat dia segera memberi tanggapan, “Ngger, jika memang benar dugaan itu

Page 18: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

14

bahwa Begawan Cipta Hening telah bergabung dengan Trah Sekar Seda Lepen, kita benar-benar akan menghadapi kekuatan yang tiada taranya.”

“Benar Ki,” jawab Ki Rangga sambil menarik nafas panjang untuk menguasai debar di dalam dadanya, “Kita harus memperhitungkan kekuatan mereka dengan cermat. Malam ini sebaiknya kita mengadakan penyelidikan ke tempat mereka berkumpul di perguruan Sapta Dhahana.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Yang masih menjadi pertanyaan dan sampai sekarang belum terjawab, adalah siapakah sebenarnya orang yang selama ini secara tersamar telah membantu kita?”

Untuk beberapa saat Ki Rangga termenung. Ingatannya kembali ke peristiwa dini hari tadi. Mereka dapat lolos dari pengepungan para murid Sapta Dhahana juga atas jasa seseorang yang tidak dikenal.

“Orang itu tidak mau membantu dengan semata-mata. Namun dengan membawa Ki Jayaraga dan kawan-kawannya ke tepi kali Praga secara tidak langsung telah menunjukkan kegiatan yang sedang dilakukan oleh murid-murid perguruan itu.,” berkata Ki Rangga dalam hati.

“Kali ini pun aku yakin, orang itu juga yang telah memperingatkan akan kehadiran orang yang bergelar Begawan Cipta Hening itu di gunung Tidar,” kembali Ki Rangga berangan-angan, “Setiap kekuatan harus dihitung dengan cermat.”

“Marilah, ngger,” berkata Ki Waskita kemudian membangunkan Ki Rangga dari lamunannya, “Matahari sudah tergelincir ke barat. Sebaiknya kita segera meneruskan perjalanan.”

Ki Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang tampak terangguk-angguk.

Page 19: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

15

Demikianlah kedua orang itu pun segera melanjutkan perjalanan menembus hutan yang masih pepat menuju ke gunung Tidar dari arah timur.

Dalam pada itu, Eyang guru yang sedang tidur-tiduran di bawah sebatang pohon di tepi jalan telah terkejut. Pendengarannya yang tajam telah menangkap bunyi derap seekor kuda yang sedang dipacu dengan kencang menuju ke arahnya.

Dengan malas-malasan Eyang Guru membuka kedua matanya dan kemudian duduk. Ketika dia kemudian berpaling, dari arah timur tampak seekor kuda sedang dipacu dengan kencangnya seperti sedang dikejar hantu.

“Raden Surengpati,” desis Eyang Guru begitu mengenali siapa yang berada di atas punggung kuda itu, “Mengapa dia memacu kudanya seperti orang yang sedang dikejar hantu?”

Memang orang yang sedang berkuda itu Raden Surengpati. Beberapa saat tadi, begitu menyadari lawannya adalah salah satu kawan dari Ki Rangga Agung Sedayu, Raden Surengpati pun telah memutuskan untuk melarikan diri.

Sambil memacu kudanya dengan kencang, sesekali Raden Surengpati menengok ke belakang. Hatinya benar-benar kecut dan kacau jika tiba-tiba saja bayangan semu Ki Rangga mengejarnya.

“Bayangan semu itu dapat menghilang dan kemudian muncul sesuka hatinya,” berkata Raden Surengpati dengan keringat dingin yang membasahi punggungnya, “Dengan mudahnya dia akan mencekik leherku tanpa aku dapat melakukan perlawanan sedikitpun.”

Ketika pandangan matanya telah dapat menangkap sesosok tubuh yang duduk di bawah sebatang pohon rindang di pertigaan jalan itu, hati Raden Surengpati pun menjadi sedikit tenang.

“Eyang Guru,” desis Raden Surengpati kemudian, “Setidaknya Eyang Guru akan mampu mengenali jika Ki Rangga muncul dengan ilmunya yang ngedab-edabi itu.”

Page 20: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

16

Sejenak kemudian Raden Surengpati pun telah mengurangi kecepatan kudanya. Ketika kuda itu tinggal beberapa tombak lagi dari tempat Eyang Guru duduk, Raden Surengpati segera menarik tali kendali kudanya perlahan-lahan. Setelah kuda itu benar-benar berhenti hanya beberapa langkah saja di depan Eyang Guru, tanpa turun dari kudanya, Raden Surengpati segera berteriak, “Eyang Guru, sebaiknya kita segera meneruskan perjalanan!”

Eyang Guru yang masih duduk dengan tenang di bawah sebatang pohon itu menjadi heran. Dari raut wajahnya, adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu tampak seperti orang yang sedang ketakutan.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi, Raden?” bertanya Eyang Guru kemudian sambil bangkit berdiri. Diraihnya kendali kuda yang berada selangkah di sampingnya.

“Marilah Eyang Guru,” sahut Raden Surengpati tanpa menjawab pertanyaan Eyang Guru, “Nanti akan aku ceritakan sambil kita meneruskan perjalanan.”

Eyang Guru hanya dapat tersenyum, sekilas. Tanpa berkata-kata lagi, Eyang Guru itu pun segera meloncat ke atas punggung kudanya. Sejenak kemudian kedua orang itu pun telah berderap di atas punggung kuda masing-masing menyusuri bulak panjang menuju ke Gunung Tidar.

Page 21: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

17

Dalam pada itu, Eyang guru yang sedang tidur-tiduran di bawah sebatang pohon di tepi jalan telah terkejut. Pendengarannya yang tajam telah menangkap bunyi derap seekor kuda yang sedang dipacu dengan kencang menuju ke arahnya.

Page 22: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

18

“Nah,” berkata Eyang Guru kemudian setelah beberapa saat keduanya terdiam, “Raden sekarang dapat menceritakan pertemuan Raden dengan putri Matesih itu. Apakah ada sesuatu yang penting bagi perjuangan kita?”

Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Eyang Guru. Dilemparkan pandangan matanya ke arah titik-titik di kejauhan. Jawabnya kemudian, “Eyang Guru, berita tentang kelima orang perantauan itu sudah bukan hal yang baru bagi kita,” Raden Surengpati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun keberadaan kelima perantau itu sekarang yang sangat menarik perhatian.”

“Maksud Raden?” sela Eyang Guru sambil berpaling.

Kembali Raden Surengpati menarik nafas panjang. Jawabnya kemudian, “Aku baru saja bertemu dengan mereka.”

“He?!” seru Eyang Guru terkejut bukan alang kepalang, “Jangan bergurau Raden. Di saat-saat seperti ini rasa-rasanya kurang tepat untuk bergurau. Berita kedatangan kelima perantau itu yang salah satunya ternyata Ki Rangga Agung Sedayu telah menggemparkan perguruan Sapta Dhahana.”

“Aku tidak sedang bergurau, Eyang Guru,” jawab Raden Surengpati dengan suara berat dan dalam, “Aku memang tidak bertemu dengan Ki Rangga, namun dengan anak muda yang bernama Glagah Putih. Dan ternyata dalam usia semuda itu dia telah menguasai ilmu yang ngedab-edabi.”

Sejenak Eyang Guru termangu-mangu di atas punggung kudanya. Dengan tetap mengendalikan kudanya sehingga berderap dengan ajeg, Eyang Guru pun kemudian bertanya, “Di manakah Raden bertemu dengan anak muda yang bernama Glagah Putih itu?”

Raden Surengpati tersenyum masam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian diceritakannya pengalaman sewaktu menemui Ratri di tengah pategalan yang sepi itu.

Page 23: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

19

“Raden telah dijebak,” tiba-tiba Eyang Guru mengemukakan pendapatnya, “Bukankah menurut cerita Raden, putri Matesih itu tidak pernah sendirian ketika menjumpai Raden? Nah, aku mempunyai prasangka bahwa Raden sengaja telah dijebak.”

Untuk beberapa saat Raden Surengpati termenung. Namun katanya kemudian, “Tetapi itu tidak mungkin Eyang Guru. Ratri pasti tidak dengan sengaja menjebakku. Ratri begitu mencintaiku, itu bisa aku lihat dari sikap dan pandangan matanya kepadaku,” Raden Surengpati berhenti sejenak untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering begitu teringat akan keindahan dan kehangatan tubuh gadis itu dalam pelukannya. Lanjutnya kemudian, “Kemungkinannya para perantau itulah yang telah membuntuti Ratri tanpa sepengetahuan gadis itu.”

“Tetapi mengapa Ratri dengan sengaja datang sendirian? Apakah dia tidak takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan?” sahut Eyang Guru cepat.

Sejenak Raden Surengpati tertegun. Namun jawabnya kemudian sambil menggelengkan kepala, “Aku tidak tahu. Namun segala sesuatunya mungkin saja terjadi. Mungkin Ratri yang tergesa-gesa untuk menemui aku sehingga lupa atau tidak sempat membawa kawan. atau masih ada banyak kemungkinan lain yang kita hanya dapat menduga-duga.”

Eyang Guru menarik nafas panjang. Memang sangat tidak masuk akal dan merupakan suatu tindakan yang sangat berbahaya jika Ki Gede dengan sengaja mengumpankan Ratri. Ki Gede tidak akan mengorbankan putri satu-satunya itu sementara Ki Gede belum mengetahui tingkat ilmu kelima perantau itu.

“Kecuali Ki Gede telah mengetahui bahwa salah satu dari perantau itu adalah Ki Rangga Agung Sedayu, Agul-agulnya Mataram,” berkata Eyang Guru dalam hati. Namun kemungkinan itu sangat kecil. Agaknya kelima perantau itu memang dengan sengaja telah menyamarkan jati diri mereka.

Page 24: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

20

“Apakah tidak menutup kemungkinan kelima orang itu sekarang berada di kediaman Ki Gede Matesih?” tiba-tiba saja Eyang Guru bertanya seolah-olah sambil lalu saja.

Raden Surengpati terkejut. Tanpa sadar dia telah berpaling ke arah Eyang Guru yang berkuda di sebelahnya. Katanya kemudian, “Kemungkinan itu memang ada, Eyang Guru. Tetapi berita yang dibawa Ratri tidak menyebutkannya. Ratri hanya memberitahu bahwa kelima orang itu telah lolos dari banjar padukuhan Klangon.”

“Atau memang dia belum sempat untuk menyebutkannya,” sahut Eyang Guru sambil tertawa hambar.

Untuk sejenak wajah Raden Surengpati menjadi merah padam. Namun dengan cepat dia segera dapat menguasai perasaannya dan menghapus kesan itu dari wajahnya.

Untuk sejenak mereka berdua telah terdiam di atas punggung kuda masing-masing.

Namun pandangan kedua orang itu tiba-tiba saja telah dikejutkan oleh titik-titik di kejauhan yang bergerak -gerak menuju ke arah mereka. Di belakang titik-titik itu tampak debu yang berwarna keputih-putihan mengepul tinggi.

“Siapakah siang-siang begini berkuda di sepanjang bulak?” desis Raden Surengpati sambil menatap jauh ke depan.

“Ki Gede Matesih dan para pengawal,” tiba-tiba Eyang Guru yang mempunyai pandangan lebih tajam dari Raden Surengpati telah berdesis.

“He?” seru Raden Surengpati dengan kening berkerut, “Bukankah Ki Gede Matesih dan para pengawalnya sudah tidak punya nyali lagi untuk meronda sejak peristiwa beberapa bulan yang lalu?”

Eyang Guru tersenyum. Katanya kemudian, “Agaknya kedatangan kelima orang itu telah membangkitkan kembali keberanian para penghuni Tanah Perdikan Matesih.”

Page 25: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

21

“Gila!” geram Raden Surengpati, “Orang-orang itu harus dibuat jera agar tidak banyak tingkah di kemudian hari.”

Selesai berkata demikian Raden Surengpati bermaksud untuk memacu kudanya menyongsong rombongan Ki Gede yang sudah semakin dekat.

Namun baru saja Raden Surengpati akan menggerakkan kendali kudanya, tiba-tiba saja Eyang Guru menyelutuk, “Siapa sajakah yang berada dalam rombongan Ki Gede itu? Jangan-jangan Ki Rangga Agung Sedayu ada dalam rombongan itu.”

Mendengar kata-kata Eyang Guru, untuk sejenak Raden Surengpati bagaikan membeku di atas punggung kudanya. Matanya nanar menatap jauh ke depan mencoba untuk mengenali setiap wajah yang berada dalam rombongan itu.

Melihat Raden Surengpati terlihat gugup, Eyang Guru justru tertawa berkepanjangan sampai-sampai tubuhnya terguncang-guncang.

“Eyang Guru,” sergah Raden Surengpati kemudian, “Bukan saat yang tepat untuk bergurau. Musuh sudah berada di depan hidung, dan kita masih belum menentukan sikap.”

“O,” seru Eyang Guru sambil mencoba menahan tawanya, “Jangan khawatir, Raden. Menurut panggraitaku, Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan-kawannya pasti belum bergabung dengan Ki Gede Matesih. Agaknya Mataram sengaja tidak ingin terlibat langsung dengan gerakan Ki Rangga dan kawan-kawannya itu. Ini yang harus kita waspadai. Ki Rangga dan kawan-kawannya sepertinya sedang menjalankan sebuah tugas khusus.”

Raden Surengpati menarik nafas panjang untuk mengendorkan rongga dadanya yang menjadi sedikit sesak. Ketika dia kemudian melemparkan pandangannya ke depan, tampak Ki Gede Matesih yang berkuda di paling depan telah mengangkat tangan kanannya.

Page 26: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

22

Hampir bersamaan Raden Surengpati dan Eyang Guru segera mengekang kendali kuda masing-masing. Sementara Ki Gede dan rombongannya pun juga telah menghentikan kuda-kuda mereka.

“Selamat siang Raden,” sapa Ki Gede Matesih kemudian sambil menganggukkan kepalanya, “Maafkan kami mengganggu perjalanan kalian. Siang ini sengaja kami nganglang ke seluruh tanah Perdikan Matesih sejauh yang dapat kami jangkau.”

“Itu bukan urusanku!” jawab Raden Surengpati dengan nada sedikit keras, “Sejak kapan Ki Gede peduli dengan tanah perdikan ini?”

“O, aku selalu peduli dengan tanah perdikan ini, Raden,” jawab Ki Gede dengan serta merta, “Dulu sudah menjadi kebiasaanku untuk nganglang bersama-sama dengan para pengawal. Namun sejak peristiwa rajapati yang menimpa salah satu pengawal kami, untuk sementara kegiatan nganglang itu kami hentikan,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kini kegiatan itu kami lakukan kembali.”

“Apakah Ki Gede tidak takut atau sudah lupa dengan ancaman itu?” menyela Raden Surengpati.

“Maksud Raden, ancaman orang yang telah membunuh pengawal yang sedang nganglang itu?”

“Ya,” sahut Raden Surengpati cepat, “Bukankah Ki Gede telah menerima ancaman untuk tidak melakukan nganglang lagi? Jika larangan itu dilanggar, maka akan ada rajapati lagi dan itu tidak menutup kemungkinan Ki Gede lah yang akan menjadi korban berikutnya.”

Berdesir dada Ki Gede mendengar ucapan Raden Surengpati. Sambil menatap tajam ke arah adik orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu, Ki Gede pun dengar suara yang berat dan dalam kemudian berkata, “Aku tidak peduli lagi dengan segala ancaman yang menyangkut tanah perdikan ini. Aku sebagai pemimpin tertinggi Perdikan Matesih, akan mengambil alih semua tanggung jawab. Apapun yang akan terjadi.”

Page 27: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

23

Kata-kata ki Gede itu sejenak telah membungkam Raden Surengpati. Dia benar-benar tidak menyangka jika pemimpin Perdikan Matesih itu yang pada awalnya menurut persangkaannya silau dengan tingkatan ilmunya, kini sudah tidak memandang sebelah mata pun kepadanya.

Sedangkan para bebahu dan pengawal yang ikut dalam rombongan nganglang itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak menyangka jika pemimpin mereka itu ternyata telah berani berkata sedemikian tegas dan lugas, tanpa tedeng aling-aling.

Hampir saja Ki Jagatirta yang berkuda di sebelah Ki Gede menggamit pemimpin tertinggi Perdikan Matesih itu, namun niat itu segera diurungkannya. Ternyata Ki Wiyaga yang berkuda di belakangnya telah terlebih dahulu menggamitnya.

Berkata Ki Wiyaga kemudian dengan setengah berbisik, “Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya Ki Jagatirta. Ki Gede pasti punya pertimbangan-pertimbangan tersendiri sehingga Ki Gede berani mengambil sikap demikian.”

Ki Jagatirta berpaling ke belakang sekilas. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Jagatirta pun kemudian menjawab ucapan Ki Wiyaga dengan sebuah anggukan kecil.

Dalam pada itu, Raden Surengpati pun telah dihinggapi sebuah pertanyaan aneh yang melingkar-lingkar di dalam benaknya tentang sikap Ki Gede itu.

“Apakah Ki Gede telah kehilangan penalaran dan menjadi gila karena tidak adanya keseimbangan antara keinginan dan kemampuannya?” bertanya Raden Surengpati dalam hati. Namun menilik sorot mata Ki Gede yang tajam dan berbinar, jauh dari persangkaan Raden Surengpati yang menganggap Ki Gede telah menjadi gila.

“Nah,” berkata Ki Gede kemudian begitu melihat kedua orang di hadapannya itu hanya diam termangu-mangu di atas punggung kuda masing-masing, “Kami akan meneruskan nganglang kami sampai ke tempat yang paling ujung dari tanah Perdikan Matesih ini. Sekedar untuk menumbuhkan kepercayaan para kawula

Page 28: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

24

Matesih bahwa pemimpin mereka masih dapat dipercaya dan diandalkan untuk menghadapi keadaan seberat apapun.”

Selesai berkata demikian, Ki Gede segera bermaksud untuk menggerakkan kendali kudanya. Namun tiba-tiba saja selarik cahaya menyilaukan meluncur dan menghantam tanah hanya selangkah di depan kuda Ki Gede. Akibatnya sangat dahsyat. Tanah itu bagaikan meledak dan menghamburkan tanah dan batu-batu kerikil ke udara.

Kuda tunggangan Ki Gede pun terlonjak kaget dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil meringkik keras. Untunglah Ki Gede adalah seorang penunggang kuda yang baik. Dengan cekatan Ki Gede segera mampu mengendalikan kudanya dan membuatnya tenang kembali.

Sedangkan kuda-kuda yang lain pun ternyata telah ikut terkejut dan menjadi bertingkah serta meringkik-ringkik. Namun dengan cekatan masing-masing penunggangnya segera berhasil menguasainya.

Berdesir dada Ki Gede mendapatkan perlakuan seperti itu. Sudah beberapa kali Ki Gede mendapat laporan tentang pengeram-eram yang dibuat oleh Raden Surengpati. Namun baru kali ini Ki Gede mengalaminya sendiri.

“Luar biasa,” desis Ki Gede perlahan dengan nada suara yang datar. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kekaguman atau pun kegentaran sama sekali. Ini benar-benar telah mengejutkan dan diluar dugaan Raden Surengpati dan Eyang Guru.

“Orang ini benar-benar telah menjadi gila,” berkata Raden Surengpati dalam hati, “Tekanan rasa takut yang berlebihan selama ini serta kekerdilan jiwanya untuk menghadapi kenyataan yang sebenarnya telah membuat penalaran Ki Gede mengalami owah gingsir.”

Sedangkan Eyang Guru ternyata mempunyai tanggapan yang lain.

Page 29: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

25

“Selama ini Ki Gede mengetahui pengeram-eram yang dibuat Raden Surengpati hanya dari cerita para pengawal,” berkata Eyang Guru dalam hati, “Mungkin Ki Gede telah mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu sehingga dia berani mengambil sikap seperti itu.”

Sedangkan Ki Wiyaga dan para bebahu lainnya serta para pengawal menjadi terguncang melihat peristiwa itu. Sebenarnyalah beberapa di antara mereka sudah pernah melihat pengeram-eram yang dilakukan oleh Raden Surengpati, namun tetap saja membuat dada mereka terguncang.

Ki Jagatirta yang berada di dekat Ki Gede sudah tidak dapat menahan diri lagi. Maka katanya kemudian sambil berbisik, “Ki Gede, tidak ada gunanya memancing kemarahan Raden Surengpati. Lebih baik kita menghindari perselisihan dengan orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen ini.”

“Tenanglah, Ki Jagatirta,” desis Ki Gede perlahan sekali sambil berpaling sekilas, “Aku sudah memperhitungkan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Percayalah, Yang Maha Agung pasti akan menolong hambaNYA yang sabar dan berpasrah diri.”

Ki Jagatirta menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban Ki Gede. Tanpa sadar diedarkan pandangan matanya ke setiap orang yang ikut dalam rombongan nganglang Ki Gede itu. Namun wajah-wajah itu tampak kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Raden,” berkata Ki Gede kemudian, “Apakah aku harus menunjukkan kekuatan sesungguhnya yang tersimpan di Perdikan Matesih ini? Selama ini aku memang hanya diam saja mendengar para pengawalku mengalami kesewenang-wenangan dari Raden. Namun untuk kali ini aku tidak akan membiarkan kesewenang-wenangan dan kesombongan itu terjadi di hadapanku. Para pengawal akan menjadi saksi bahwa Perdikan Matesih masih mempunyai pemimpin yang dapat dibanggakan.”

Merah padam wajah Raden Surengpati mendengar ucapan Ki Gede. Secara tidak langsung pemimpin Perdikan Matesih itu telah

Page 30: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

26

menantang dirinya untuk mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang serta jaya kawijayan guna kasantikan.

Ketika tanpa sadar Raden Surengpati kemudian berpaling ke arah Eyang Guru yang berada di sampingnya, dilihatnya Eyang Guru tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

“Baiklah Ki Gede,” geram Raden Surengpati kemudian, “Kita akan mengadakan penjajagan ilmu. Selama ini aku hanya mendengar bahwa Ki Gede Matesih adalah murid dari jalur perguruan Gunung Kidul yang terkenal akan kedahsyatan Aji Cundha Maniknya. Namun aku pun tahu bahwa tingkatan Aji Cundha Manik itu pun bermacam-macam. Jika yang berdiri di hadapanku sekarang ini adalah Ki Demang Sarayudha, tentu jauh-jauh hari aku sudah berpikir untuk menghindarinya.”

Berdesir dada Ki Gede mendengar Raden Surengpati menyebut perguruan serta aji andalannya, Cundha manik. Jika saja Ki Gede tidak mengalami dan merasakan hal yang aneh yang terjadi di dalam tubuhnya setelah bertemu dengan orang bertopeng malam tadi, tentu dirinya tidak seberani dan segegabah itu untuk menghadapi Raden Surengpati.

“Kemungkinannya orang bertopeng itulah yang telah menolongku selama aku tak sadarkan diri,” berkata Ki Gede dalam hati, “Agaknya dia telah menolong mengurai simpul-simpul syaraf di beberapa titik di tubuhku sehingga membuat aliran darah serta tenaga cadanganku dapat mengalir dengan deras, tanpa ada hambatan lagi.”

Sebenarnyalah menjelang dini hari tadi Ki Gede memang sempat dibuat heran dengan keadaan tubuhnya. Sekembalinya dari banjar padukuhan Klangon, Ki Gede tidak merasa lelah maupun letih. Badannya tetap terasa segar walaupun dia telah melakukan perkelahian melawan orang bertopeng itu serta kemudian berjalan pulang ke Perdikan Matesih.

Bahkan Ki Gede telah menyempatkan diri memasuki sanggar untuk sekedar mengenali tingkatan ilmunya, terutama ilmu puncaknya, Aji Cundha Manik.

Page 31: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

27

“Semoga pengenalanku akan tingkatan ilmuku yang hanya sekilas di dalam sanggar tadi tidak salah,” kembali Ki Gede berangan-angan, “Orang bertopeng itu telah membuka kemungkinan-kemungkinan jalur perguruan Gunung Kidul untuk berperan kembali di masa depan.”

Namun angan-angan Ki Gede terputus ketika mendengar bentakan Raden Surengpati yang telah turun dari kudanya.

“Ki Gede, bersiaplah!” bentak Raden Surengpati kemudian sambil menyerahkan kendali kudanya kepada Eyang Guru, “Engkau tidak dapat menarik mundur kata-katamu kembali. Kita akan bertempur sampai salah satu diantara kita terkapar tak bernyawa!”

“Itu tidak perlu Raden,” sahut Ki Gede sambil meloncat turun dari kudanya, “Kita hanya perlu menunjukkan kepada para pengawal bahwa keberadaan Perdikan Matesih ini masih dibawah kuasaku, Ki Gede Matesih, bukan dibawah pengaruh orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen.”

Hampir saja Raden Surengpati menjawab kata-kata Ki Gede kalau saja tidak didengarnya suara Eyang Guru berdenging di telinganya.

“Raden harus bisa menundukkan Ki Gede tanpa melukai perasaannya,” terdengar suara Eyang Guru berdenging di telinganya menggunakan aji pameling, ”Dengan demikian kita akan dapat mengambil hati Ki Gede dan sekaligus hati para pengawal agar berpihak kepada kita. Ingat, kita datang di Perdikan Matesih ini dengan tujuan menjadikan Perdikan Matesih sebagai pancadan untuk perjuangan kita,”

Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam. Ketika dia kemudian sekali lagi berpaling ke arah Eyang Guru yang sudah menuntun kedua ekor kuda itu menepi, tampak Eyang Guru tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Memang hatinya masih muda sehingga perasaannya mudah sekali terpancing. Kadangkala adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu mudah menuruti perasaannya dan

Page 32: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

28

melupakan tujuan utama mereka datang di Perdikan Matesih itu. Apalagi dia baru saja mengalami kekecewaan beruntun di pategalan tadi, gagal melampiaskan hasratnya kepada Ratri serta dipermalukan oleh seorang anak muda yang bernama Glagah Putih.

“Seandainya saja anak muda itu bukan kawan Ki Rangga, tentu tubuhnya sudah aku lumat dengan Aji Praharaku,” berkata Raden Surengpati dalam hati mengenang peristiwa di pategalan beberapa saat yang lalu.

Demikianlah, sejenak kemudian orang-orang yang hadir di tengah-tengah bulak itu segera menepi kecuali Ki Gede dan Raden Surenpati. Dengan tergopoh-gopoh seorang pengawal segera meminta kendali kuda Ki Gede. Sedangkan para bebahu yang mengikuti perjalanan nganglang itu dengan jantung berdebaran segera mengerumuni Ki Gede.

“Ki Gede,” berkata Ki Jagatirta kemudian sambil mengatur nafasnya yang memburu karena gejolak di dalam dadanya, “Apakah Ki Gede sudah memikirkan masak-masak akibat yang dapat ditimbulkan dari perang tanding ini.”

Ki Gede tersenyum sambil menyingsingkan kain panjangnya. Jawabnya kemudian, “Ki Jagatirta, sudah aku katakan sebelumnya. Akibat apapun dari hasil perang tanding ini akan aku tanggung semua. Aku sebagai pemimpin tertinggi Perdikan Matesih tidak akan membiarkan permasalahan ini berlarut-larut. Keberadaan orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu bagaikan duri dalam daging. Kita harus berani mengeluarkan duri itu dengan paksa, atau justru tubuh kita sendiri yang akan membusuk karenanya.”

Para bebahu itu hanya dapat saling pandang dan menarik nafas panjang. Mereka telah mengenal Ki Gede sejak masih muda, seorang yang keras hati dan pantang menyerah.

Demikianlah, akhirnya Ki Gede segera memberi isyarat kepada para bebahunya untuk menyingkir. Sementara kuda-kuda mereka telah ditambatkan di tempat yang agak jauh. Beberapa pengawal

Page 33: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

29

justru telah naik ke atas tanggul sungai di sebelah menyebelah jalan agar dapat mengikuti jalannya perang tanding dengan lebih jelas.

Sejenak kemudian di tengah-tengah bulak, Ki Gede dan Raden Surengpati pun sudah saling berhadap-hadapan. Kedua orang itu sudah membulatkan tekad untuk saling mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit.

“Ki Gede,” berkata Raden Surengpati kemudian, “Aku tidak akan mulai dari tataran yang paling rendah. Aku akan mulai dari tataran ilmuku yang cukup tinggi. Aku berharap Ki Gede masih mampu untuk mengimbangiku pada tataran ini.”

Kata-kata Raden Surengpati itu rasa-rasa sangat merendahkan Ki Gede, namun Ki Gede tidak menanggapinya. Adalah sangat wajar jika Raden Surengpati berkata demikian, karena selama ini memang orang tidak mengetahui tingkatan ilmu yang sebenarnya dari pemimpin tanah Perdikan Matesih itu.

“Baiklah Raden,” berkata Ki Gede kemudian, “Kita akan bertempur tanpa mengurangi rasa hormat di antara kita. Apapun hasilnya, Perdikan Matesih tetaplah sebuah perdikan di bawah kuasa Mataram. Demikian juga Raden beserta semua pengikut Trah Sekar Seda Lepen, akan tetap aku terima untuk tinggal di Perdikan Matesih, namun tidak ada lagi perlakuan istimewa, semua penghuni perdikan Matesih harus tunduk kepada paugeran yang berlaku serta diperlakukan sama dalam kehidupan bebrayan ini.”

“Sombong!” sergah Raden Surengpati dengan raut wajah merah padam, “Ki Gede berkata demikian seolah-olah sudah tahu dengan pasti hasil akhir dari perang tanding ini. Ketahuilah Ki Gede, jika aku keluar sebagai pemenang dalam perang tanding ini, Ki Gede tidak berhak lagi mencampuri urusanku sehubungan dengan kegiatan Trah Sekar Seda Lepen di perdikan ini.”

Ki Gede menarik nafas panjang. Tanpa sengaja diedarkan pandangan matanya ke arah para bebahu dan pengawal yang

Page 34: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

30

beridiri berjajar-jajar di atas tanggul. Betapa wajah-wajah itu menampakkan kecemasan yang sangat.

“Baiklah,” jawab Ki Gede kemudian, “Aku terima tawaran Raden dengan satu syarat, perang tanding ini hanya melibatkan kita berdua, demikian juga kesepakatan yang kita ambil, juga hanya mengikat antara kita berdua.”

Raden Surengpati mengumpat keras. Tanyanya kemudian, “Apa maksudmu Ki Gede? Jangan berputar-putar. Aku sudah muak mendengar suaramu.”

Ki Gede tersenyum. Memang dengan sengaja Ki Gede berusaha memancing kemarahan lawannya. Maka jawabnya kemudian, “Perang tanding ini hanya antara kita berdua, tidak melibatkan orang lain,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Jika aku berada di pihak yang kalah, aku akan membiarkan kegiatan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen di perdikan ini. Aku tidak akan menghalang-halangi namun aku juga tidak akan mendukung,” kembali Ki Gede berhenti untuk sekedar mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun jika Raden dapat aku kalahkan, Raden harus menghentikan segala kegiatan di perdikan ini dan aku lebih senang jika Raden dan para pengikut Raden meninggalkan perdikan ini dengan damai.”

Kembali Raden Surengpati mengumpat keras. Namun sebelum dia membuka mulut untuk menanggapi kata-kata Ki Gede, kembali terdengar suara Eyang Guru di telinganya dengan menggunakan aji pameling.

“Raden, biarkan saja orang itu mengoceh tidak keruan. Namun yang pasti, kita masih memerlukannya agar para kawula penghuni Perdikan Matesih ini tidak bergolak serta tidak memancing Mataram untuk menggerakkan pasukan segelar sepapan untuk meluluh lantakkan perdikan ini. Kita masih memerlukan waktu untuk menghimpun kekuatan yang sepadan dengan kekuatan Mataram.”

Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Eyang Guru. Raden Surengpati pun hanya dapat

Page 35: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

31

mengumpat dalam hati ketika dilihatnya Eyang Guru itu kembali tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

“Ki Gede,” berkata Raden Surengpati kemudian, “Aku terima semua persyaratanmu. Nah, sekarang kita perlu saksi dalam melakukan perang tanding ini,” Raden Surengpati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian sambil menunjuk Eyang Guru yang berdiri di bawah sebatang pohon yang rindang, “Kawanku itu sebagai saksi dari pihakku. Nah, siapakah di pihak Ki Gede yang bersedia menjadi saksi?”

Sejenak Ki Gede berpaling ke arah Eyang Guru sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Ki Gede memang belum mengenal Eyang Guru selama ini. Orang-orang Perdikan Matesih pun menganggap orang yang sering mendampingi Raden Surengpati itu hanyalah seorang pengikut biasa, tidak lebih dan tidak kurang.

“Baiklah Raden,” berkata Ki Gede kemudian, “Dari pihak Matesih, aku menunjuk Ki Jagatirta sebagai saksi.”

Ki Jagatirta yang mendengar namanya disebut menjadi semakin berdebaran jantungnya. Namun apapun yang akan terjadi, dengan sangat terpaksa dan jantung yang berdentangan, Ki Jagatirta pun kemudian menganggukkan kepalanya.

Demikianlah akhirnya, sejenak kemudian kedua orang itu segera mempersiapkan diri. Para bebahu dan pengawal yang berada di pinggir arena menjadi semakin berdebar-debar. Mereka belum dapat menarik sebuah kesimpulan apapun terkait dengan sikap Ki Gede terhadap Raden Surengpati itu. Selama ini setiap mendapat laporan tentang kesewang-wenangan yang dilakukan oleh adik Raden Wirasena itu, Ki Gede hanya menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Bersabarlah, suatu saat pasti akan datang pertolongan dari Yang Maha Agung.”

Page 36: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

32

Sejenak kemudian di tengah-tengah bulak, Ki Gede dan Raden Surengpati pun sudah saling berhadap-hadapan. Kedua orang itu sudah membulatkan tekad untuk saling mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit.

Page 37: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

33

Namun kini Ki Gede telah menunjukkan sikap sejati sebagai seorang pemimpin tanah perdikan yang berdaulat, yang berhak menentukan masa depannya sendiri walaupun masih dibawah kuasa pemerintahan yang lebih besar, Mataram.

“Apakah Ki Gede sudah siap?” tiba-tiba terdengar Raden Surengpati itu bertanya.

“Aku sudah siap sejak tadi, Raden,” jawab Ki Gede tenang, “Aku justru ingin bertanya kepada Raden. Kapan Raden akan mulai?”

“Gila!” geram adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu, “Jangan terlalu percaya diri dan berbangga dengan ilmu yang Ki Gede kuasai. Aku justru khawatir Ki Gede akan jatuh pada serangan pertamaku. Nah, jika itu yang terjadi, apa kata para bebahu dan pengawal Perdikan Matesih?”

“Tentu tidak,” jawab Ki Gede dengan serta merta, “Aku bukanlah anak kemarin sore yang baru belajar loncat-loncatan dalam olah kanuragan,” Ki Gede berhenti sejenak. Kemudian sambil tersenyum Ki Gede melanjutkan, “Nah, apakah penjajagan ilmu ini sudah dapat mulai?”

“Tutup mulutmu!” bentak Raden Surengpati menggelegar. Dengan tangkas serangan pertamanya pun meluncur mengarah dada lawan.

Para Bebahu dan pengawal yang sedang menyaksikan perang tanding itu jantungnya bagaikan terlepas dari tangkainya. Serangan pertama Raden Surengpati itu bagaikan tatit yang meloncat di udara. Kaki kanannya terjulur lurus mengarah ke dada.

Namun dengan tangkasnya Ki Gede segera menarik salah satu kakinya ke samping sehingga serangan lawannya itu lewat hanya sejengkal dari dadanya. Ketika tubuh lawannya sedang melayang itulah, dengan menggunakan sisi telapak tangan kanannya Ki Gede menebas tengkuk Raden Surengpati.

Page 38: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

34

Tentu saja Raden Surengpati tidak akan membiarkan tengkuknya ditebas Ki Gede karena akibatnya akan sangat berbahaya. Dengan mencondongkan tubuhnya ke depan serta menekuk lehernya lebih ke dalam, tebasan itu pun lewat hanya setebal jari dari tengkuknya.

Menyadari tebasannya tidak mengenai sasaran, dengan bertumpu pada salah satu kakinya, Ki Gede pun melenting menyusul tubuh lawannya yang baru saja menginjak tanah. Sebuah pukulan yang cukup deras menyambar wajah Raden Surengpati yang baru saja memutar tubuhnya.

Menghadapi serangan susulan itu, Raden Surengpati tidak menjadi gugup. Sambil merendahkan tubuhnya dengan cara menekuk kedua lututnya, Raden Surengpati pun terbebas dari serangan lawannya yang mengarah ke wajah. Sebagai gantinya, tangan kanan Raden Surengpati dengan telapak tangan terbuka dan jari-jari merapat bergerak lurus ke depan menusuk ulu hati.

Kali ini Ki Gede tidak mau mengambil akibat yang dapat membahayakan bagi dirinya. Sebelum ujung jari-jari lawannya yang merapat itu menyentuh ulu hati, salah satu kaki Ki Gede yang berkedudukan di belakang telah terayun deras menghantam perut.

Terkejut Raden Surengpati mendapat serangan cepat dan tak terduga itu. Tentu saja sebelum serangannya menyentuh ulu hati, tumit Ki Gede akan menghajar perutnya karena secara alamiah kaki lebih panjang dari pada tangan.

Tidak ada jalan lain bagi Raden Surengpati selain meloncat mundur untuk mengambil jarak.

Untuk beberapa saat orang-orang yang berada di seputar arena perang tanding itu dapat menarik nafas lega, terutama para Bebahu dan pengawal. Dalam beberapa serangan ini mereka menilai Ki Gede masih mampu mengimbangi baik dalam kecepatan gerak maupun tata gerak olah kanuragan lawannya.

Sejenak kedua orang yang sedang berperang tanding itu masih saling menilai lawannya. Diam-diam Raden Surengpati menjadi heran. Menurut berita yang dia terima, Ki Gede memang

Page 39: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

35

merupakan murid perguruan Pandan Alas dari jalur Gunung Kidul. Namun Ki Gede tidak sampai tuntas menyerap ilmu karena keburu Ki Surayudha meninggal dunia.

“Ki Gede, jangan berbesar hati dulu,” berkata Raden Surengpati kemudian, “Apa yang aku tunjukkan tadi hanyalah sebagai permulaan saja. Untuk selanjutnya, aku tidak akan menahan diri lagi. Bersiaplah Ki Gede! Jangan sampai Ki Gede mengecewakan para bebahu dan pengawalmu.”

“Terima kasih, Raden,” jawab Ki Gede, “Sejujurnya aku tadi juga masih ragu-ragu. Jika setelah ini Raden akan bersungguh-sungguh, aku pun akan berbuat serupa.”

“Diam!” bentak Raden Surengpati, “Jangan memancing kemarahan Raden Surengpati. Ki Gede akan menyesal!”

Selesai berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi, serangan Raden Surengpati pun kembali meluncur dengan derasnya.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua orang itu segera terlibat kembali dalam perkelahian yang sengit. Raden Surengpati sama sekali tidak berusaha untuk mengekang diri lagi. Serangannya bagaikan ombak di pantai yang datang susul menyusul menerjang Ki Gede Matesih.

Namun Ki Gede bukanlah anak kemarin sore yang baru berlatih loncat-loncatan dalam olah kanuragan. Dengan mengandalkan pertahanannya yang kokoh, Ki Gede bagaikan batu karang yang berdiri tegak dan kokoh tak tergoyahkan, walaupun ombak menerjang dan menghantamnya susul menyusul.

Dalam pada itu, Matahari di langit telah bergeser dari puncaknya ke arah barat. Sinarnya yang panas bagaikan membakar apa saja yang berada di atas muka bumi, tak terkecuali kedua orang yang sedang mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang.

Semakin lama pertempuran itu semakin sengit. Keringat telah semakin membasahi tubuh mereka. Sesekali mereka harus

Page 40: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

36

berbenturan ketika serangan-serangan semakin cepat dan tidak ada kesempatan untuk mengelak. Dalam setiap benturan yang terjadi, kedua orang itu segera menyadari bahwa ternyata kekuatan mereka dapat dikatakan cukup seimbang.

“Gila!” geram Raden Surengpati dalam hati sambil terus meningkatkan serangannya, “Ternyata ilmu Ki Gede Matesih ini cukup tinggi. Namun aku yakin, pada puncak ilmuku nanti, dia pasti tidak akan mampu lagi untuk bertahan.”

Sedangkan Ki Gede yang mendapatkan dirinya mampu mengimbangi kemampuan Raden Surengpati telah bersyukur dalam hati. Pertemuannya dengan orang bertopeng itu ternyata telah membawa manfaat yang sangat besar dalam dirinya. Memang Ki Gede Matesih sendiri menyadari, mendalami ilmu tanpa bimbingan seorang guru memang cukup sulit dan tidak akan dapat mengalami kemajuan yang pesat.

Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan jalannya perang tanding itu pun bagaikan telah terlempar ke alam mimpi, terutama para Bebahu dan pengawal Perdikan Matesih. Mereka tidak menyangka bahwa pemimpin mereka ternyata mampu mengimbangi orang yang selama ini menghantui tanah perdikan Matesih. Orang yang mereka anggap tidak ada duanya dan selalu menunjukkan kelebihan-kelebihannya untuk membuat para penghuni dan bebahu serta pengawal Perdikan Matesih takut dan tunduk akan segala perintahnya.

“Mengapa Ki Gede selama ini telah menyembunyikan kemampuannya?” pertanyaan itu melingkar-lingkar di dalam benak para Bebahu dan pengawal Matesih. Ada rasa bangga bercampur haru begitu mendapatkan pemimpin mereka ternyata mempunyai kelebihan yang dapat dibanggakan.

“Pantas Ki Gede selama ini selalu memerintahkan kita untuk bersabar,” berkata Ki Wiyaga dalam hati sambil matanya tidak berkedip mengawasi jalannya perang tanding, “Mungkin Ki Gede menunggu saat yang tepat. Dengan kedatangan kelima perantau itu, Ki Gede berani menentang Raden Surengpati dengan perhitungan, jika Raden Surengpati meminta bantuan perguruan

Page 41: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

37

Sapta Dhahana, Ki Gede pun dapat meminta bantuan pada kelima perantau itu.”

Ternyata para bebahu Perdikan Matesih hampir semuanya berpikir sejalan dengan Ki Wiyaga, kepala pengawal Perdikan Matesih itu.

“Sudah saatnya Perdikan Matesih mengadakan perlawanan,” berkata Ki Jagatirta dalam hati, “Kita harus segera menghimpun kekuatan yang masih setia kepada Ki Gede untuk bersiap menghadapi gempuran perguruan Sapta Dhahana.”

Demikianlah akhirnya. Ketika kedua orang itu benar-benar sudah tidak dapat menghindarkan diri lagi selain membenturkan ilmu puncak mereka, maka Raden Surengpati pun segera meloncat ke belakang beberapa langkah.

“Ki Gede,” berkata Raden Surengpati kemudian, “Sudah tidak ada jalan kembali. Aku akan menggunakan puncak ilmuku untuk melumpuhkan Ki Gede. Terserah, Ki Gede siap atau tidak siap. Tidak akan mengurungkan niatku untuk melepaskan ilmu puncakku.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Raden, aku pun juga akan membenturkan puncak ilmuku. Semua yang hadir di tempat ini akan menjadi saksi, siapakah yang masih akan tetap berdiri tegak, dan siapakah yang akan terkapar tak berdaya.”

Raden Surengpati tidak menanggapi kata-kata Ki Gede. Segera saja dipusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengetrapkan ilmu puncaknya. Tangan kanannya segera diangkat tinggi-tinggi di atas kepala dengan telapak tangan terbuka menghadap ke atas. Sementara tangan kirinya terkepal dan diletakkan sejajar lambung, siap melontarkan ilmu puncaknya yang dahsyat.

Ki Gede yang menyadari lawannya telah bersiap dengan ilmu puncaknya segera mundur dua langkah ke belakang. Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Disalurkan segala tenaganya yang dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan satu tangannya di atas dada,

Page 42: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

38

sedangkan tangan lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik dari Perguruan Gunung Kidul yang merupakan cabang dari perguruan Pandan Alas.

Sejenak kemudian dengan teriakan menggelegar keduanya pun kemudian meloncat maju sambil membenturkan ilmu puncaknya masing-masing.

Benturan yang terjadi kemudian benar-benar dahsyat. Pusaran angin yang tercipta dari puncak ilmu Raden Surengpati telah membelit dan memutar tubuh Ki Gede beberapa kali putaran sebelum akhirnya tubuh pemimpin tertinggi Perdikan Matesih itu terbanting dan jatuh bergulingan di atas tanah yang berdebu.

Sedangkan Aji Cundha Manik Ki Gede ternyata telah mampu menembus pusaran badai itu dan langsung menghantam dada adik orang yang mengaku pewaris tahta Demak yang syah itu. Tubuhnya terlontar ke belakang beberapa langkah. Sejenak Raden Surengpati masih terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terlentang tak sadarkan diri.

“Raden?!” teriak Eyang Guru terkejut sambil berlari mendapatkan tubuh Raden Surengpati yang terbujur diam. Eyang Guru benar - benar tidak menyangka bahwa Raden Surengpati akan terjatuh menghadapi ilmu puncak Ki Gede.

Sedangkan para bebahu dan pengawal yang melihat pemimpin mereka terlempar jatuh segera berlari-larian memburu ke tempat Ki Gede tergeletak. Namun Ki Wiyaga yang telah tiba terlebih dahulu segera menarik nafas panjang begitu melihat Ki Gede bergerak untuk bangkit.

“Ki Gede?’ desis Ki Wiyaga kemudian sambil berlutut di sisi Ki Gede yang sudah duduk sambil bertelekan pada kedua tangannya.

“Aku tidak apa-apa Ki Wiyaga,” jawab Ki Gede sambil tersenyum dengan nafas yang memburu. Betapapun senyum itu terlihat mirip sebuah seringai yang menahan sakit.

“Bantu aku berdiri,” desis Ki Gede kemudian.

Page 43: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

39

Ki Wiyaga bersama beberapa pengawal yang telah tiba di tempat itu segera membantu Ki Gede berdiri. Setelah menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk mengurai getar di dalam dadanya yang terasa pepat, Ki Gede pun ternyata sudah mampu untuk berdiri diatas kedua kakinya sendiri walaupun terlihat masih sedikit goyah.

“Bagaimana dengan Raden Surengpati?” bertanya Ki Gede kemudian.

Mendengar pertanyaan Ki Gede, serentak semua mata segera memandang ke tempat Raden Surengpati tadi terjatuh. Tampak Eyang Guru sedang berusaha untuk menyadarkan Raden Surengpati.

“Marilah kita melihat keadaannya,” berkata Ki Gede kemudian sambil melangkah diikuti oleh semua bebahu dan pengawal.

Menyadari orang-orang Matesih itu sedang berjalan ke arahnya, Eyang Guru yang sedang berusaha menyadarkan Raden Surengpati itu segera menghentikan usahanya. Berbagai pertimbangan telah memenuhi benak Eyang Guru.

“Kelihatannya Raden Surengpati tidak terluka dalam,” berkata Eyang Guru dalam hati sambil meletakkan kepala Raden Surengpati perlahan-lahan di atas tanah. Kemudian sambil bangkit berdiri Eyang Guru pun melanjutkan angan-angannya, “Lebih baik aku biarkan saja Raden Surengpati tak sadarkan diri sampai nanti tiba di Gunung Tidar.”

Ketika Eyang Guru kemudian melihat Ki Gede berjalan ke arahnya tanpa kurang suatu apapun, Eyang Guru pun telah mengumpat dan berkata dalam hati, “Ternyata Aji Cundha Manik Ki Gede tidak dapat dipandang sebelah mata!”

Sejenak kemudian Ki Gede dan rombongannya pun telah tiba di hadapan Eyang Guru.

“Maaf Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian, “Bagaimanakah keadaan Raden Surengpati?”

Page 44: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

40

Untuk beberapa saat Eyang Guru hanya memandang kearah Ki Gede dan para pengawal ganti berganti dengan pandangan yang menyala.

Namun ketika kesadaran memasuki benaknya akan pentingnya perjuangan Trah Sekar Seda Lepen dalam menggapai tahta, Eyang Guru pun segera menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba menjadi pepat.

Berkata Eyang Guru kemudian, “Sebagaimana yang Ki Gede lihat. Raden Surengpati telah menjadi pingsan karena kedahsyatan ilmu Ki Gede.’

“Ah,” desah Ki Gede, “Aku yakin, Raden Surengpati masih belum mengerahkan segenap kekuatannya. Raden Surengpati masih dihinggapi oleh keragu-raguan untuk melawan ilmu puncakku dengan segenap kekuatannya. Jika itu yang terjadi, kemungkinannya akulah yang akan tergeletak tak sadarkan diri.”

“Ki Gede terlalu merendah,” sahut Eyang Guru cepat, “Kini Raden Surengpati harus menjaga sikapnya selama berada di perdikan Matesih. Ternyata Perdikan Matesih tidak dipimpin oleh seekor harimau ompong sebagaimana yang telah aku dengar selama ini. Perdikan Matesih benar-benar mempunyai pemimpin yang tak kalah garangnya dengan seekor singa gurun.”

“Ah,” kembali Ki Gede berdesah, “Engkau terlalu melebih-lebihkan Ki Sanak. Namun aku berharap dengan adanya kejadian ini, kita dapat menyadari kedudukan kita sehingga dengan sadar dapat menempatkan diri kita masing-masing.”

Eyang Guru menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika saja tidak ada pertimbangan-pertimbangan dalam dadanya, mungkin Ki Gede dan seluruh pengawal itu akan dilumatkan dengan ilmu badai apinya yang ngedab-edabi.

“Siapakah sebenarnya Ki Sanak ini?” tiba-tiba Ki Gede bertanya dengan suara sedikit ragu-ragu, “Menilik usia Ki Sanak yang sudah sangat sepuh namun masih terlihat sangat sehat dan

Page 45: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

41

kuat, aku mempunyai dugaan Ki Sanak ini adalah guru Raden Surengpati.”

Yang mendengar pertanyaan Ki Gede ini menjadi berdebar-debar. Jika dugaan Ki Gede benar bahwa orang tua itu adalah guru Raden Surengpati, kemungkinannya mereka akan mendapat kesulitan.

Namun orang-orang Matesih itu segera menarik nafas dalam-dalam ketika mendengar Eyang Guru tertawa. Jawabnya kemudian, “Aku sama sekali bukan guru Raden Surengpati. Aku adalah pemomong nya sejak remora, menggantikan pemomong sebelumnya yang telah meninggal dunia.”

Orang-orang yang mendengar pengakuan Eyang Guru itu pun tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sudahlah Ki Gede,” berkata Eyang Guru pada akhirnya, “Aku mohon diri. Aku akan membawa Raden Surengpati yang masih tak sadarkan diri ini ke gunung Tidar agar segera mendapat perawatan yang sepertinya.”

Berdesir dada Ki Gede mendengar gunung Tidar disebut. Bukan Gunung Tidar itu yang membuat jantung Ki Gede bergejolak, namun nama sebuah perguruan yang mendukung gerakan Trah Sekar Seda Lepen itu yang membuat jantung Ki Gede bagaikan meledak, Perguruan Sapta Dhahana.

“Silahkan Ki Sanak,” namun akhirnya Ki Gede menjawab juga, “Sampaikan permohonan maafku kepada Raden Surengpati atas keterlanjuran sikap. Semoga apa yang terjadi ini akan menjadi peringatan bagi kita semua untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan mengambil sikap.”

Eyang Guru mengumpat dalam hati tak habis-habis nya. Namun betapapun juga Eyang Guru pun kemudian menjawab sambil mengikat kendali kuda Raden Surengpati ke pelana kudanya, “O, tentu, tentu Ki Gede. Aku akan menyampaikan nya kepada Raden Surengpati setelah dia sadarkan diri. Namun setelah Raden Surengpati sadarkan diri nanti, sikap apapun yang akan Diambilnya adalah diluar tanggung jawabku.”

Page 46: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

42

Kembali dada Ki Gede berdesir, kali ini lebih tajam. Agaknya kata-kata Eyang Guru ini terdengar di telinga Ki Gede dan para pengawalnya seperti sebuah ancaman balas dendam. Namun semuanya sudah terlanjur dan Ki Gede serta para pengawal harus siap menghadapi segala kemungkinan.

Selesai berkata demikian, Eyang Guru segera membungkuk dan kemudian mengangkat tubuh Raden Surengpati dan menundukkannya ke atas kudanya sendiri. Sambil tangan kirinya menjaga keseimbangan tubuh Raden Surengpati yang berada di atas punggung kuda, tangan kanan Eyang Guru pun berpegangan pada pelana kudanya untuk mengambil ancang-ancang meloncat. Betapa terlihat Eyang Guru dengan susah payah berusaha meloncat ke atas punggung kuda.

“Engkau perlu bantuan Ki sanak?” bertanya Ki Gede dengan serta merta.

Namun dengan cepat Eyang Guru menjawab, “Terima kasih Ki Gede. Walaupun sudah tua aku masih mampu berkuda dengan baik.”

Ki Gede hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil mengawasi Eyang Guru yang dengan susah payah meletakkan telapak kaki kirinya pada pancadan pelana kudanya. Namun ternyata pada akhirnya Eyang Guru pun berhasil duduk dengan sempurna di atas punggung kuda di belakang Raden Surengpati yang masih belum sadarkan diri.

“Orang-orang bodoh,” geram Eyang Guru dalam hati. Dia benar-benar berhasil mengelabuhi penilaian orang-orang Matesih itu terhadap kemampuannya, “Jika saatnya tiba nanti, kalian akan terkejut melihat kemampuanku yang sebenarnya.”

Demikianlah, sejenak kemudian Eyang Guru pun telah meninggalkan tempat itu bersama Raden Surengpati yang masih belum sadarkan diri.

Sepeninggal Eyang Guru, untuk beberapa saat Ki Gede masih termangu-mangu memandangi debu yang membubung tinggi di belakang kaki-kaki kuda Eyang Guru. Baru ketika bayangan kuda-

Page 47: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

43

kuda itu semakin mengecil dan hanya berupa titik-titik di kejauhan, Ki Gede pun bagaikan tersadar dari mimpi buruknya.

“Marilah,” berkata Ki Gede kemudian sambil melangkah mendekati kudanya. Seorang pengawal dengan tergopoh-gopoh segera mengangsurkan kendali kuda Ki Gede.

“Ki Gede, apakah kita akan meneruskan nganglang ataukah kembali ke kediaman Ki Gede?” tiba-tiba Ki Jagatirta mengajukan sebuah pertanyaan ketika mereka semua telah berada di atas punggung kuda masing-masing.

“Kita kembali,” jawab Ki Gede singkat.

Tidak ada seorang pun yang berani membantah. Semua hanya mengikuti derap langkah kuda Ki Gede tanpa berani bersuara.

Dalam pada itu Matahari telah semakin jauh meninggalkan puncaknya. Sinarnya tidak lagi segarang beberapa saat tadi. Di tengah hutan yang masih belum terjamah manusia, di lereng gunung Tidar sebelah timur tampak Ki Rangga dan Ki Waskita sedang berjalan menyusup di antara pepatnya pepohonan dan rimbunnya semak belukar.

“Hutan ini begitu lebat dan pepat,” desis Ki Rangga tanpa sadar.

“Ya, ngger,” jawab Ki Waskita, “Agaknya hutan di lereng sebelah timur gunung Tidar ini benar-benar belum terjamah.”

“Apakah kita akan maju terus sampai benar-benar dekat dengan perguruan Sapta Dhahana, Ki?” bertanya Ki Rangga kemudian.

“Sebaiknya tidak terlalu dekat. Kita masih bisa maju beberapa ratus tombak lagi. Setelah itu kita akan mencari tempat untuk beristirahat sambil menunggu malam tiba,” jawab Ki Waskita.

Ki Rangga tidak menjawab hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk. Kakinya terus melangkah menerobos semak belukar dan pohon-pohon yang tumbuh berjajar-jajar semakin lama semakin padat dan pepat.

Page 48: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

44

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian ketika melihat pepohonan semakin rapat dan padat, “Pohon-pohon rasa-rasanya telah tumbuh dengan tidak sewajarnya.”

Ki Waskita menghentikan langkahnya sejenak. Sambil berpaling Ki Waskita pun kemudian bertanya, “Maksud angger?”

Ki Rangga ikut menghentikan langkahnya. Sebelum menjawab pertanyaan Ki Waskita, diedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Pohon-pohon itu dalam pandangan ki Rangga seolah-olah bergerak saling merapat dan mulai menghimpit mereka berdua dari segala penjuru.

“Ki Waskita,” jawab Ki Rangga kemudian, “Aku merasa pohon-pohon ini seperti selalu bergerak mengikuti langkah kita dan semakin lama semakin menyempit sehingga rasa-rasanya kita menjadi terjepit.”

“Ah,” Ki Waskita tertawa pendek. Katanya kemudian, “Angger terlalu mengada-ada. Pohon-pohon ini memang hampir mirip antara satu dengan lainnya, sehingga seolah-olah kita selalu menjumpai pohon yang sama.”

“Mungkin Ki Waskita benar,” sahut Ki Rangga sambil mengamat -amati sebuah pohon yang berdahan rendah. Katanya kemudian, “Tapi lihatlah pohon ini Ki. Sepertinya kita sudah melihatnya lebih dari dua kali. Tidak menutup kemungkinan kita memang telah kehilangan arah dan sedari tadi hanya berputar-putar saja di sekitar tempat ini.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Perlahan-lahan Ki Waskita melangkah mendekat dan ikut mengamati pohon yang berdahan rendah itu. Rasa-rasanya memang Ki Waskita juga sudah melihatnya, entah untuk yang ke berapa kali.

“Aneh,” desis Ki Waskita sambil mengamati sekelilingnya. Tiba-tiba jantungnya berdesir. Tempat itu sepertinya memang sudah mereka lewati berkali-kali.

Page 49: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

45

“Sebaiknya kita beristirahat sejenak, ngger,” berkata ki Waskita pada akhirnya, “Panggraitaku mengatakan kita sedang mengalami sesuatu yang tidak sewajarnya.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Ketika dilihatnya Ki Waskita kemudian duduk di atas akar-akar pohon yang banyak terdapat di tempat itu, Ki Rangga pun segera menyusul.

Namun baru saja kedua orang itu duduk sejenak sambil melepas lelah, keduanya telah dikejutkan oleh suara yang terdengar lamat-lamat di telinga mereka. Suara itu terdengar timbul tenggelam ditingkah suara kicau burung dan sesekali suara-suara binatang buas serta deru angin yang menerobos dedaunan hutan yang sangat lebat itu.

“Ki Waskita,” bertanya Ki Rangga kemudian, “Apakah Ki Waskita mendengar suara orang? Sepertinya dia sedang bersenandung atau apa, aku kurang jelas.”

Ki Waskita tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Ya, ngger. Aku juga mendengarnya. Namun sungguh sangat janggal jika di tengah hutan lebat ini ada seseorang sedang bersenandung atau apapun itu. Orang kebanyakan tentu tidak akan memasuki hutan yang lebat sampai sejauh ini.”

Ki Rangga mengerutkan keningnya sambil mencoba mempertajam pendengarannya. Namun tiba-tiba suara itu lenyap begitu saja. Yang terdengar hanyalah suara kicau burung-burung di antara deru angin yang menerobos dedaunan hutan yang lebat.

“Suara itu berhenti,” desis Ki Rangga kemudian sambil pandangan matanya mencoba menerobos di antara sela-sela pepohonan dan gerumbul serta semak belukar.

“Ya ngger,” Jawab Ki Waskita sambil menunduk menghindari sulur-sulur pohon yang silang melintang yang terayun-ayun tertiup angin.

“Atau jangan-jangan pendengaran kita yang salah,” tiba-tiba Ki Waskita menyelutuk.

Page 50: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

46

“Ah,” desah Ki Rangga, “Selama yang kita dengar tadi adalah dalam ujud suara yang sebenarnya, tentu kita tidak salah, Ki.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Maksud angger?”

“Jika suara yang kita dengar tadi adalah suara orang kebanyakan, misalnya seorang pengalasan yang sedang mencari hasil hutan, tentu kita dapat mendengarnya dengan jelas dan tidak salah,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun jika suara yang kita dengar tadi berasal dari seorang yang sakti yang dengan sengaja sedang menguji kita, mungkin arah dari suara yang kita dengar tadi itu bisa salah dan kita diuji untuk menemukan arah yang sebenarnya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum Ki Waskita menanggapi kata-kata Ki Rangga, tiba-tiba saja suara itu terdengar lagi, bahkan kali ini terdengar sangat dekat. Seolah -olah hanya di balik pohon beberapa langkah di hadapan mereka berdua.

Page 51: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

47

Namun baru saja kedua orang itu duduk sejenak sambil melepas lelah, keduanya telah dikejutkan oleh suara yang terdengar lamat -lamat di telinga mereka. Suara itu terdengar..............

Page 52: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

48

Ki Rangga mengerutkan keningnya. Kali ini Ki Rangga tidak mempergunakan pendengaran wadagnya untuk mencari arah suara itu. Namun Ki Rangga telah merambah pada pendengaran batinnya untuk mencari sumber suara itu. Dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam, kedua tangannya pun kemudian bersilang di depan dada.

Ki Waskita yang melihat Ki Rangga telah bersikap untuk memusatkan segenap nalar dan budinya segera mengikutinya. Betapapun Ki Waskita juga mempunyai kemampuan untuk mencari arah atau paling tidak ancar-ancar dari mana suara itu berasal.

“Sudahlah Ki Sanak,” tiba-tiba terdengar Ki Rangga membuka suara sambil mengurai kedua tangannya dan menegakkan kepalanya, “Tidak ada gunanya lagi Ki Sanak bermain petak umpet. Jika memang Ki Sanak mempunyai kepentingan dengan kami, kita dapat membicarakannya dengan baik-baik.”

Selesai berkata demikian Ki Rangga segera berdiri dan melangkah menuju ke sebuah pohon yang paling besar dimana akar-akarnya tampak menonjol di atas tanah. Ki Rangga pun kemudian berdiri bersandaran pada batang pohon yang besar itu, menunggu kedatangan seseorang.

Ki Waskita yang telah yakin dengan kemampuan Ki Rangga itu pun segera mengikuti Ki Rangga, melangkah mendekati pohon besar itu dan berdiri selangkah saja di samping Ki Rangga.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Suara orang seperti sedang bersenandung yang tidak begitu jelas namun terdengar ngelangut itu telah berhenti dan tidak terdengar lagi. Namun kedua orang itu tetap pada sikap mereka, berdiri di samping pohon yang terbesar yang terdapat di tempat itu sambil menunggu.

Namun panggraita Ki Rangga terus memantau pergerakan orang yang telah melantunkan kidung atau apapun beberapa saat tadi. Sementara Ki Waskita juga ikut memantau walaupun kemampuan Ki Waskita tidak setinggi Ki Rangga, namun ayah Rudita itu masih mampu memantau keberadaan orang itu.

Page 53: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

49

Tiba-tiba Ki Rangga mengangkat wajahnya sambil berdesis perlahan, “Ki Waskita, orang itu ternyata telah pergi beberapa saat tadi.”

“He?” Ki Waskita terkejut mendengar keterangan Ki Rangga karena panggraitanya masih tetap menangkap keberadaan seseorang di sekitar tempat itu.

“Ya, Ki Waskita,” berkata Ki Rangga sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada. Lanjutnya kemudian, “Dia sudah pergi sejak pertama aku menyapanya tadi. Yang ditinggalkannya hanyalah jejak-jejak semu yang mengaburkan.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bertanya Ki Waskita kemudian dengan nada sedikit ragu, “Bagaimana angger mengetahuinya bahwa yang berada di sekitar tempat ini tinggal jejak-jejak semunya?”

Ki Rangga menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Ki Waskita. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Ki Rangga pun kemudian menjawab, “Pada awalnya aku juga tertipu dengan jejak semu yang ditinggalkannya. Aku menyangka dia masih berada di sekitar sini. Namun ternyata semua itu adalah jejak semunya, sedang orang itu sendiri telah pergi meninggalkan tempat ini beberapa saat yang lalu dan aku telah terlambat mengenalinya.”

Ki Waskita menarik nafas panjang sambil ikut menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku benar-benar tidak menyangka ngger. Suatu pameran ilmu yang ngedab-edabi. Suatu ilmu untuk menghindarkan diri sebelum lawannya menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi.”

“Benar Ki Waskita,” jawab Ki Rangga, “Kelihatannya ilmu ini memang tidak begitu penting dan berarti dalam sebuah pertempuran yang sebenarnya Namun jika suatu saat seseorang sedang terjebak dalam kepungan musuh, dia akan dapat mengelabuhi orang-orang yang sedang mengepungnya dengan cara meninggalkan jejak semu, sehingga dia dapat lolos dari kepungan tanpa seorang pun yang menyadarinya.”

Page 54: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

50

“Engkau benar ngger,” jawab Ki Waskita sambil mengangguk -anggukkan kepalanya, “Ilmu ini sangat penting dimiliki oleh para petugas sandi. Mereka akan dapat membingungkan lawan jika suatu saat para petugas sandi yang sedang mengadakan penyelidikan di tempat lawan itu terjebak. Dengan meninggalkan jejak-jejak semu di beberapa tempat, mereka akan dapat mengelabuhi lawan sehingga mempunyai cukup waktu untuk menghindar dari tempat itu.”

Untuk sejenak Ki Rangga termenung. Bertanya Ki Rangga kemudian, “Tapi apakah maksud sebenarnya orang itu?“

Ki Waskita tertegun mendengar pertanyaan Ki Rangga. Tentu ada maksud tersembunyi dari orang itu. Jika tidak, mengapa dia berusaha menarik perhatian mereka berdua?

“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian setelah mereka berdua terdiam sejenak, “Apakah angger masih dapat melacak jejak -jejak orang tadi? Walaupun mungkin hanya ancar-ancar saja?”

Ki Rangga menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Ki Waskita. Memang panggraitanya dapat melacak kepergian orang itu. Maka jawabnya kemudian, “Ki Waskita, menurut panggraitaku orang itu bergerak lurus ke arah utara. Apakah kita perlu untuk mengikutinya?”

“Sebaiknya demikian, ngger. Kita harus meyakinkan siapakah orang itu, kawan ataukah lawan?” jawab Ki Waskita cepat.

“Baiklah Ki,” jawab Ki Rangga kemudian sambil mulai melangkah, “Kita bergerak ke utara. Semoga kita bertemu dengan kawan yang sehaluan dan setujuan.”

Ki Waskita tersenyum sambil mengangguk-angguk. Demikianlah kedua orang itu pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka.

Semakin lama hutan yang mereka tembus semakin pepat. Ketika lebatnya hutan itu rasa-rasanya hampir tak tertembus, tiba-tiba saja pendengaran kedua orang itu kembali mendengar suara yang sangat merdu dan mendayu-dayu. Kali ini suara itu terdengar

Page 55: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

51

sangat jelas, suara seseorang yang sedang membaca ayat-ayat suci. Suara itu terdengar sangat dekat, di balik pepatnya pepohonan dan semak belukar di hadapan mereka.

Untuk sejenak kedua orang itu menghentikan langkah sambil menarik nafas panjang. Setelah saling berpandangan sejenak, kedua orang itu pun bersepakat untuk menerobos pepatnya pepohonan di hadapan mereka.

Demikianlah sejenak kemudian dengan mengerahkan kemampuan di atas kemampuan orang kebanyakan, kedua orang itupun telah berhasil menembus pohon-pohon yang tumbuh rapat berjajar-jajar bagaikan sebuah benteng yang kokoh.

Begitu kedua orang itu berhasil, pandangan mata mereka pun kemudian melihat suatu hal yang membuat mereka berdua takjub. Di hadapan mereka terbentang sebuah lapangan rumput yang tidak begitu luas. Di sekeliling lapangan rumpat itu tumbuh berjajar-jajar pohon-pohon yang seolah olah menjadi pagar. Sedangkan di tengah-tengahnya tampak seseorang yang sudah sangat sepuh duduk di atas sebuah batu hitam sedang asyik membaca kitab suci. Sementara di hadapannya duduk bersila di atas rumput, seorang anak muda yang sudah sangat dikenal oleh Ki Rangga Agung Sedayu.

“Sukra?” desis Ki Rangga setengah tertahan. Namun kedua orang yang berada di lapangan rumput kecil itu ternyata telah mengetahui kehadiran kedua orang itu.

“O,” berkata orang yang sangat sepuh itu sambil menutup kitabnya, “Silahkan, silahkan Ki Rangga. Silahkan Ki Waskita. Mohon maaf atas penyambutan kami yang deksura dan kurang trapsila.”

Ki Rangga dan Ki Waskita diam-diam terkejut dalam hati mendengar nama mereka berdua disebut. Namun ketika pandangan mata mereka melihat anak muda yang berkulit kehitam-hitaman itu bangkit berdiri sambil mengangguk ke arah mereka, keduanya pun segera maklum. Tentu Sukra yang telah

Page 56: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

52

memberitahukan nama mereka kepada orang yang sangat sepuh itu.

“O, tidak mengapa Kiai,” Ki Waskitalah yang kemudian menyahut, “Kami berdua sudah terbiasa dengan alam bebas seperti hutan ini. Di mana pun, kami berdua sudah terbiasa bertempat dan beristirahat.”

Orang yang sangat sepuh itu terlihat akan bangkit, namun terlihat sangat susah payah. Melihat itu Sukra dengan cepat segera menopang lengan orang sepuh itu di pundaknya.

“Sudahlah Kiai,” berkata Ki Rangga dengan serta merta, “Lebih baik Kiai tetap duduk saja. Kami berdua juga akan duduk.”

Selesai berkata demikian Ki Rangga segera memberi isyarat Ki Waskita. Dengan segera keduanya pun kemudian mengambil duduk beralaskan rerumputan dua langkah di depan batu tempat duduk orang sepuh itu.

“Terima kasih,” jawab orang sepuh itu sambil memberi isyarat Sukra untuk membantunya duduk kembali.

Setelah orang sepuh itu duduk kembali dengan sempurna, barulah dia berkata kembali, “Perkenalkan, orang memanggilku Ki Ajar Mintaraga dari pertapaan Mintaraga di pebukitan Menoreh,” Ki Ajar berhenti sejenak. Sambil berpaling ke arah Sukra, Ki Ajar melanjutkan, “Ini adalah Cantrik Gatra Bumi yang mungkin kalian telah mengenalnya sebagai Sukra. Kami berdua adalah Santri dari Kanjeng Sunan di gunung Muria.”

Sukra yang kini duduk di samping belakang Ki Ajar hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam mendengar namanya disebut. Sedangkan Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Bagaimana mungkin orang yang sudah sangat sepuh itu dapat melakukan perjalanan yang sedemikian jauhnya, walaupun dibantu oleh Sukra. Sementara Ki Rangga yang telah mendapat petunjuk dari Kanjeng Sunan, sama sekali tidak menjadi heran. Tentu Kanjeng Sunan juga telah mengajarkan kepada Santri-Santrinya yang lain tentang sebuah doa yang dapat dijadikan sebagai sarana memohon kepada Yang Maha Agung untuk

Page 57: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

53

memperpendek jarak dan mempersingkat waktu dalam menempuh sebuah perjalanan.

“Nah,” berkata Ki Ajar kemudian, “Apakah Ki Waskita dan Ki Rangga sejauh ini dalam keadaan sehat tak kurang suatu apapun?”

“Demikianlah Ki Ajar,” jawab Ki Waskita, “Atas limpahan rahmat dari Yang Maha Agung kami berdua tak kurang suatu apapun sampai saat ini.”

“Syukurlah,” sahut Ki Ajar sambil mengangguk -anggukkan kepalanya.

Sementara pandangan mata Ki Rangga tak pernah lepas dari raut wajah Ki Ajar. Ada sesuatu yang membuat jantung Ki Rangga berdesir setiap kali menatap sepasang mata yang terlihat bening bersinar itu.

“Rasa-rasanya sepasang mata yang bening itu sudah sering aku lihat,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Namun aku lupa, entah dimana sepasang mata yang jernih itu sering aku jumpai.”

Ki Rangga benar-benar telah mengerahkan segenap daya ingatnya. Namun sungguh sangat mengherankan. Ki Rangga yang mempunyai otak cemerlang dan daya ingat yang sangat kuat itu tiba-tiba saja bagaikan orang linglung, tidak mampu mengingat lagi, kapan dan dimana dia sering menjumpai sepasang mata yang bening itu.

Sedang Ki Waskita yang telah mempunyai pengalaman hidup lebih lama dari Ki Rangga justru tidak mempunyai gambaran sama sekali, siapakah sebenarnya orang yang mengaku bernama Ki Ajar Mintaraga itu.

“Ki Rangga,” terdengar suara Ki Ajar membangunkan Ki Rangga dari lamunannya, “Sebelumnya kami berdua mohon maaf jika kehadiran kami berdua di tengah hutan ini telah mengganggu tugas-tugas Ki Rangga.”

“O, sama sekali tidak, Ki Ajar,” sahut Ki Rangga cepat, “Justru kami merasa beruntung mendapat kesempatan untuk mendapat petunjuk dari Ki Ajar.”

Page 58: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

54

“Ah,” Ki Ajar tertawa pendek. Lanjutnya kemudian, “Sebenarnyalah aku berdua dengan Cantrik Gatra Bumi ini mengemban amanah dari Kanjeng Sunan.”

Berdesir dada kedua orang itu begitu mendengar nama Kanjeng Sunan disebut kembali. Tanpa sadar keduanya telah beringsut dari tempat duduk mereka sejengkal ke depan.

“Mohon maaf Ki Ajar,” kI Waskitalah yang kemudian bertanya, “Jika kami berdua diperkenankan mengetahui, untuk siapakah pesan dari Kanjeng Sunan itu?”

Ki Ajar tersenyum. Jawabnya kemudian, “Pesan ini khusus untuk Ki Rangga Agung Sedayu. Jika sudah tidak disibukkan lagi dengan tugas-tugasnya, kedatangan Ki Rangga di gunung Muria sangatlah ditunggu.”

Kembali dada Ki Rangga berdesir, dan kali ini terasa lebih tajam menggores jantungnya. Ki Rangga segera saja teringat pertemuannya yang pertama kali dengan Kanjeng Sunan di Panaraga. Dia telah berjanji untuk suatu saat mengunjungi Gunung Muria.

“Aku harus benar-benar menyempatkan waktu,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Namun kapan tugas-tugasku akan berakhir? Jika Yang Maha Agung mengijinkan aku selamat dari tugas di Gunung Tidar ini, masih menunggu tugas untuk mencari Pangeran Ranapati.”

Terdengar Ki Rangga menghela nafas panjang, panjang sekali. Ketika Ki Rangga kemudian menengadahkan wajahnya, tampak Ki Ajar sedang tersenyum ke arahnya. Sebuah senyum yang rasa-rasanya sangat dikenalnya. Senyum yang selalu muncul jika dia sedang diliputi oleh keragu-raguan dalam menentukan langkah, senyum yang selalu menghiburnya jika terjadi pertentangan di dalam dirinya akan keyakinan yang akan ditempuhnya bersama gadis Sangkal putung itu ketika mereka berdua belum memasuki jenjang rumah tangga.

Page 59: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

55

“Guru..?” hampir saja kata itu terloncat dari bibirnya jika saja pandangan matanya tidak melihat wajah Ki Ajar yang sama sekali tidak ada kemiripan dengan gurunya, Kiai Gringsing.

Dengan cepat Ki Rangga segera memalingkan wajahnya ke kejauhan. Dicobanya untuk mengendorkan getar-getar yang merayapi dadanya dengan menarik nafas dalam-dalam. Namun rasa-rasanya getar-getar yang merayapi dadanya itu semakin lama menjadi semakin keras.

“Bagaimana Ki Rangga?” pertanyaan dari Ki Ajar telah menyadarkan Ki Rangga.

Untuk sejenak Ki Rangga masih terdiam. Namun akhirnya keluar juga jawaban dari bibirnya, “Ki Ajar, aku memang pernah berjanji kepada Kanjeng Sunan untuk suatu saat mengunjungi gunung Muria, namun sampai saat ini aku benar-benar belum mempunyai waktu.”

Hampir bersamaan Ki Ajar dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Mereka menyadari kesibukan Ki Rangga sebagai Agul-agulnya Mataram yang setiap saat mendapat tugas khusus baik yang

langsung dari Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati maupun dari Ki Patih Mandaraka. Itu semua belum termasuk tugas keseharian Ki Rangga sebagai Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh.

“Baiklah Ki Rangga,” berkata Ki Ajar kemudian memecah kesunyian, “Aku sudah menyampaikan pesan dari Kanjeng Sunan. Untuk selanjutnya kami berdua walaupun tidak mempunyai kemampuan yang berarti, namun kami juga mendapat pesan dari Kanjeng Sunan untuk selalu membantu Ki Rangga dan Ki Waskita, walaupun ibaratnya kami berdua ini hanya mendapat tugas menjaga Ki Rangga di saat sedang tidur.”

Bagaikan disengat kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa, Ki Rangga dan Ki Waskita pun terlonjak kaget. Sejenak keduanya saling pandang. Kata-kata terakhir dari Ki Ajar itu telah membuka kemungkinan bagi ki Rangga untuk mengetrapkan aji

Page 60: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

56

pengangen-angen. Namun apa yang disampaikan oleh Ki Ajar itu telah menunjukkan betapa Kanjeng Sunan benar-benar telah dikaruniai kawaskitan oleh Yang Maha Agung.

“Ki Ajar,” berkata Ki Rangga kemudian, “Kami sangat bersyukur mendapat bantuan dari Ki Ajar berdua. Malam nanti kita dapat membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan rencana kita untuk mengadakan penyelidikan ke Gunung Tidar.”

Ki Ajar tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling ke arah Cantrik Gatra Bumi, Ki Ajar pun kemudian berkata, “Gatra Bumi, sebaiknya engkau mencari sesuatu yang dapat untuk menjamu tamu-tamu kita ini.”

“Ah,” hampir berbareng Ki Rangga dan Ki Waskita berdesah.

Namun agaknya Cantrik Gatra Bumi telah tanggap akan perintah Ki Ajar. Dengan segera dia bergeser mundur untuk kemudian berjalan menghilang ke balik pepohonan yang tumbuh rapat berjajar-jajar.

Dalam pada itu Matahari telah semakin condong ke barat, namun sinarnya masih terlihat terang benderang. Di bulak panjang yang menuju ke Gunung Tidar tampak Eyang Guru sedang berkuda berdua dengan Raden Surengpati yang belum sadarkan diri.

Jalan yang semakin sempit dan terjal telah menguncang-guncang tubuh Raden Surengpati. Tak seberapa lama kemudian, tubuh Raden Surengpati yang sedang di atas punggug kuda bersama Eyang Guru itupun perlahan-lahan mulai menemukan kesadarannya.

“Gila!” geram Raden Surengpati sambil mencoba mengenali keadaan di sekelilingnya, “Dimana aku, he?!”

Eyang Guru segera menghentikan kudanya. Katanya kemudian, “Raden sedang berkuda bersamaku. Aku kira sudah saatnya Raden berkuda sendiri.”

Selesai berkata demikian Eyang Guru segera meloncat turun. Sementara Raden Surengpati yang baru pulih kesadarannya

Page 61: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

57

menjadi terheran-heran mendapatkan dirinya duduk di atas seekor kuda.

“He? Apa yang terjadi?” kembali Raden Surengpati bertanya dengan suara sedikit keras.

“Turunlah Raden,” berkata Eyang Guru kemudian sambil melepaskan ikatan kuda yang satunya dari pelana kuda yang masih ditunggangi oleh Raden Surengpati.

Raden Surengpati tidak mempunyai pilihan lain selain menuruti kata-kata Eyang Guru untuk turun dari kuda. Maka sejenak kemudian adik Raden Wirasena itu pun telah meloncat turun dan berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh di atas tanah.

“Raden,” berkata Eyang Guru sambil menuntun kudanya menepi, “Kita perlu berbicara sedikit agar tidak terjadi kesalah-pahaman nanti di hadapan kakanda Raden.”

Raden Surengpati mengerutkan keningnya dalam dalam sambil ikut menuntun kudanya menepi. Katanya kemudian, “Rasa-rasanya aku sekarang sudah menjadi ingat kembali. Bukankah beberapa saat tadi aku sedang berperang tanding dengan ki Gede Matesih?”

“Raden benar,” jawab Eyang Guru sambi melepaskan kendali kudanya. Dibiarkan saja kuda itu merumput di pinggir jalan.

Raden Surengpati menjadi tidak sabar mendengar jawaban Eyang Guru. Tanyanya kemudian, “Maksud Eyang Guru?”

“Raden,” berkata Eyang Guru tanpa memperdulikan pertanyaan Raden Surengpati, “Duduklah. Kita akan membicarakan ini dengan kepala dingin agar tidak salah langkah di kemudian hari.”

Selesai berkata demikian Eyang Guru segera mengambil tempat duduk di atas sebuah batu yang banyak berserakan di pinggir jalan.

Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gemuruh di dalam dadanya. Namun dia tidak dapat menolak ajakan Eyang Guru. Setelah melepas kudanya agar dapat

Page 62: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

58

merumput dengan bebas, Raden Surengpati pun kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Eyang Guru.

“Raden,” berkata Eyang Guru kemudian setelah Raden Surengpati duduk di sebelahnya, “Aku ingin Raden berkata jujur. Apakah pada saat berperang tanding dengan Ki Gede tadi, Raden telah mengerahkan kemampuan Raden sampai ke puncak?”

Sejenak Raden Surengpati tertegun. Keningnya tampak berkerut-merut untuk mengingat kejadian yang baru lalu. Tiba-tiba saja Raden Surengpati menggeram keras sambil berteriak, “Gila! Agaknya aku telah jatuh pingsan ketika membenturkan ajiku dengan aji Ki Gede!”

“Benar, Raden. Raden telah jatuh pingsan, namun jangan khawatir, Raden tidak mengalami sesuatu hal yang dapat membahayakan diri Raden.”

Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang perlahan dia kemudian bertanya, “Bagaimana dengan Ki Gede?”

Sejenak Eyang Guru menjadi ragu-ragu. Ada sedikit keseganan untuk berterus terang. Namun akhirnya Eyang Guru pun menjawab, “Agaknya Aji Cundha Manik masih selapis tipis di atas Aji Prahara Raden. Ki Gede sempat terbanting jatuh namun dapat bangkit kembali, walaupun dengan susah payah.”

Kembali Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian perlahan seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Entah mengapa, di saat-saat terakhir benturan itu, tiba-tiba saja bayangan Ratri melintas di benakku, sehingga sedikit ada keraguan di hatiku untuk menghentakkan seluruh kemampuanku.”

Eyang Guru menarik nafas dalam-dalam mendengar pengakuan Raden Surengpati. Hatinya sedikit terhibur begitu mengetahui kejadian yang sebenarnya pada saat perang tanding tadi. Pada awalnya Eyang Guru menyangka ilmu Raden Surengpati berada di bawah ilmu Ki Gede.

Page 63: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

59

“Sekarang semuanya menjadi jelas,” berkata Eyang Guru dalam hati, “Namun ada satu hal yang mengherankan. Ternyata di dalam diri Ki Gede tersimpan kekuatan yang ngedab-edabi. Benar-benar diluar dugaanku selama ini.”

“Nah, Eyang Guru,” berkata Raden Surengpati kemudian, “Mengapa Eyang Guru tidak berusaha membantuku untuk sadarkan diri pada saat masih di arena perang tanding tadi?”

“Raden,” jawab Eyang Guru, “Aku berusaha agar Raden tidak kehilangan muka di hadapan orang-orang Perdikan Matesih. Selain itu aku juga menghindari benturan yang lebih jauh dengan mereka. Ingat kita memerlukan dukungan mereka untuk membantu mewujudkan cita-cita Raden Wirasena menduduki tahta.”

Raden Surengpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia dapat mengerti maksud dari Eyang Guru. Jika pada saat itu Eyang Guru membantunya untuk sadarkan diri, tentu dia akan terpancing untuk melampiaskan kemarahannya. Dan jika itu yang terjadi, tentu Eyang Guru tidak akan tinggal diam.

“Seandainya karena dorongan kemarahan yang tak tertahankan kemudian Eyang Guru menghancurkan Ki Gede dan para pengawalnya, tentu berita itu akan sampai ke Mataram,” berkata Raden Surengpati dalam hati, “Dalam hitungan hari saja, Mataram tentu akan mengirimkan pasukan segelar sepapan untuk menghancurkan kami.”

Untuk beberapa saat mereka berdua terdiam. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan mereka. Sementara itu Matahari telah semakin condong ke arah barat. Sinarnya yang mulai melemah tampak hinggap di atas pucuk -pucuk dedaunan meninggalkan warna kuning keemasan. Langit sebelah timur pun mulai terlihat suram bagaikan wajah seorang gadis yang telah ditinggal pergi oleh kekasihnya.

Page 64: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

60

“O,” Eyang Guru tersenyum. Jawabnya kemudian, “Bagaimana mungkin Adipati Jipang yang sakti mandraguna itu bisa terbunuh oleh anak ingusan semacam Loring Pasar? Semua itu bisa terjadi karena akal licik Juru Mertani,”................

Page 65: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

61

“Marilah Raden,” berkata Eyang Guru kemudian menyadarkan Raden Surengpati dari lamunannya, “Perjalanan ke gunung Tidar tinggal selangkah lagi. Sebaiknya kita tidak usah menyebut perang tanding itu di hadapan kakanda Raden. Pembicaraan kita lebih terpusat pada kedatangan Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan-kawannya.”

“Yang salah satunya tidak menutup kemungkinan adalah Ki Juru Mertani,” sahut Raden Surengpati cepat.

Eyang Guru tersenyum. Katanya kemudian, “Itu semua masih dugaan. Menurut panggraitaku belum tentu orang dari Sela itu mau turun sendiri. Pekerjaannya menjadi Patih tentu telah menyita waktunya. Selebihnya orang dari Sela itu memang terkenal sangat pengecut. Dalam setiap medan pertempuran, aku belum pernah mendengar dia menjadi orang penting dalam sebuah benturan kekuatan. Kerjanya hanya memberi nasihat serta mencari cara untuk berbuat licik agar dapat mengalahkan lawan tanpa susah payah.”

Raden Surengpati mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu dia bertanya, “Maksud Eyang Guru?”

Sekarang ganti Eyang Guru yang mengerutkan keningnya. Eyang Guru justru telah ganti bertanya, “Yang mana yang Raden maksud?”

“Cara yang licik itu?”

“O,” Eyang Guru tersenyum. Jawabnya kemudian, “Bagaimana mungkin Adipati Jipang yang sakti mandraguna itu bisa terbunuh oleh anak ingusan semacam Loring Pasar? Semua itu bisa terjadi karena akal licik Juru Mertani,” Eyang Guru berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sepanjang pengetahuanku, belum pernah dalam sebuah pertempuran seorang prajurit menunggang kuda betina, walaupun tidak ada paugeran yang mengatur itu. Namun kuda jantan tentu jauh lebih kuat dari pada kuda betina. Selain itu, kehadiran seekor kuda betina di dalam kancah pertempuran di

Page 66: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

62

antara kuda-kuda jantan tentu akan mempengaruhi kuda-kuda jantan itu sehingga akan sangat sulit untuk dikendalikan.”

“Dan itu telah terjadi pada kuda tunggangan Eyang Adipati Harya Penangsang,” sahut Raden Surengpati dengan serta merta.

“Raden benar,” jawab Eyang Guru, “Begitu Kyai Gagak Rimang yang tidak pernah bergaul dengan kuda betina itu melihat kuda tunggangan Loring Pasar, dia menjadi liar dan tak terkendali.”

“Apalagi ekor kuda tunggangan Raden Sutawijaya itu ternyata justru telah dipotong,” kembali Raden Surengpati menimpali.

Eyang Guru menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Raden berdua yang pada saat itu belum lahir pun sudah dapat menilai, bagaimana sesungguhnya watak orang yang bernama Juru Mertani itu?”

Raden Surengpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu baginya sudah seperti cerita babat kepahlawanan ksatria-ksatria dari bumi Jipang Panolan. Sejak kecil cerita itu sudah ditanamkan sedemikian kuatnya kedalam benak kedua orang kakak beradik itu.

“Trah Sekar Seda Lepen harus kembali merajai tanah Jawa,” berkata Raden Surengpati dalam hati, “Pada saat Pajang berhadap-hadapan dengan Jipang, orang yang bernama Juru Mertani itu telah memihak Pajang. Namun mengapa saat Raden Sutawijaya memberontak kepada Pajang, Ki Juru kemudian justru berbalik memihak kepada Mataram?”

Raden Surengpati menggeleng-gelengkan kepalanya. Peristiwa yang telah terjadi berpuluh tahun yang lalu itu masih menyisakan sebuah rahasia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Mengapa Pajang dalam hal ini Kanjeng Sultan Hadiwijaya membiarkan saja Mataram tumbuh menjadi besar? Seolah-olah Kanjeng Sultan Pajang pada saat itu secara tidak langsung telah merestui wahyu keprabon berpindah ke alas Mentaok.

“Ah, sudahlah Raden,” berkata Eyang Guru kemudian membangunkan Raden Surengpati dari lamunannya, “Matahari

Page 67: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

63

sudah menghilang di langit barat. Sebaiknya kita segera berangkat sebelum hari benar-benar gelap.”

Raden Surengpati tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk -angguk. Sejenak kemudian keduanya telah berada di atas punggung kuda masing-masing.

“Eyang Guru,” berkata Raden Surengpati kemudian sambil berderap di sebelah Eyang Guru, “Siapakah yang akan mampu mengimbangi kekauatan bayangan semu ki Rangga?”

Eyang Guru tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Sebenarnya aku tidak gentar untuk kembali berhadapan langsung dengan agul-agulnya Mataram itu. Namun rahasia ilmu semunya harus terpecahkan dulu,” Eyang Guru berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sebenarnya pada saat benturan yang pertama dahulu, aku telah mampu memecahkan rahasia ilmu semunya, namun aku tetap memerlukan orang lain untuk menghancurkan wadag Ki Rangga yang sebenarnya yang sedang bersembunyi.”

Raden Surengpati menarik nafas panjang. Ada sedikit rasa lega yang menyelinap ke sudut hatinya mendengar keterangan Eyang Guru itu. Namun hatinya masih saja diliputi oleh keragu-raguan. Kehadiran agul-agulnya Mataram itu ke tanah Perdikan Matesih ini benar-benar telah menggetarkan jantungnya

Ketika Raden Surengpati kemudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit yang mulai buram. Ada beberapa burung yang terbang bergerombol menuju ke arah utara. Agaknya burung-burung itu sedang pulang ke sarang mereka setelah seharian mencari makan.

“Burung-burung itu berangkat pagi-pagi dalam keadaan perut yang kosong, namun kini mereka pulang dalam keadaan kenyang,” berkata Raden Surengpati dalam hati.

Beberapa ekor kelelawar tampak mulai berkeliaran mencari mangsa. Sedangkan binatang-binatang malam yang lainnya pun mulai memperdengarkan suaranya yang nyaring dalam irama yang ajeg.

Page 68: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

64

Sejenak kemudian jalan yang mereka lalui mulai terasa menanjak dan sedikit terjal. Pohon-pohon yang besar serta semak belukar mulai terlihat menghiasi sepanjang jalan yang mereka lalui.

Tanpa sadar Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam ketika terdengar suara lolongan serigala bersahut-sahutan. Suara itu terdengar jauh di arah barat. Kemungkinannya di sekitar lereng gunung Tidar sebelah barat yang masih berupa hutan lebat dan pepat yang belum terjamah manusia.

“Eyang Guru,” tiba-tiba saja Raden Surengpati membuka suara, “Apakah tidak menutup kemungkinan Ki Rangga dan kawan-kawannya sekarang ini sedang merayap mendekati perguruan Sapta Dhahana?”

Eyang Guru tertawa pendek. Jawabnya kemudian sambil berpaling sekilas, “Raden, semua kemungkinan itu bisa terjadi, namun marilah kita berpikir dengan jernih. Seandainya memang Ki Rangga dan kawan-kawannya sekarang ini sedang mendekati padepokan Sapta Dhahana, mereka tidak akan sedemikian mudahnya untuk memasukinya. Ingat, Kiai Damar Sasangka adalah seorang angkatan tua yang ilmunya tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Selain itu Kakanda Raden, Raden Wirasena juga ada di sana. Kedatangan Ki Rangga dan kawan-kawannya pasti dengan mudah akan diketahui.”

Raden Surengpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba sesuatu terlintas di dalam benaknya sehingga membuat jantung adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu berdebar-debar.

“Apakah tidak menutup kemungkinan kelima orang itu sekarang sedang bermalam di kediaman Ki Gede Matesih?” pertanyaan itu tiba-tiba saja berputar-putar dalam benaknya.

Ketika Raden Surengpati kemudian teringat kepada Glagah Putih, jantungnya pun tiba-tiba saja bergejolak dan darah di sekujur tubuhnya terasa mendidih.

Page 69: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

65

“Glagah Putih,” geram Raden Surengpati dalam hati, “Jika engkau berani menyentuh Ratri walaupun hanya seujung rambutnya, nyawamu menjadi taruhannya.”

Berpikir sampai disitu, tiba-tiba saja hati Raden Surengpati menjadi gelisah. Ketika dia kemudian berpaling, dilihatnya Eyang Guru yang sedang berkuda di sampingnya itu duduk dengan terkantuk-kantuk.

“Orang tua ini mempunyai kesaktian yang tiada taranya,” berkata Raden Surengpati dalam hati sambil melemparkan pandangan matanya jauh ke depan, kearah kegelapan yang pekat.

“Namun jika penyakit pikunnya kumat, dia tak ubahnya dengan orang tua kebanyakan yang justru malah merepotkan,” berkata Raden Surengpati dalam hati selanjutnya.

Tak terasa perjalanan mereka telah mendekati padepokan Sapta Dhahana. Dari jauh regol padepokan sudah terlihat di bawah penerangan sinar sepasang obor yang disangkutkan di kanan kiri regol. Eyang Guru dan Raden Surengpati pun mulai mengurangi laju kuda mereka.

Beberapa cantrik padepokan yang sedang berjaga di regol depan sudah mendengar derap kaki-kaki kuda mereka. Namun karena kegelapan sudah melingkupi langit, para cantrik itu baru melihat kedua penunggang kuda itu beberapa saat kemudian.

Dengan cepat beberapa orang segera berdiri di tengah-tengah regol menghadang jalan. Tangan-tangan mereka mulai meraba hulu senjata yang tersangkut di lambung. Berita kedatangan Ki Rangga dan kawan-kawannya di dukuh Klangon telah membuat mereka selalu waspada.

Ketika jarak mereka dengan kuda-kuda itu tinggal beberapa tombak saja, sinar obor yang menerangi wajah para penunggang kuda itu pun telah membuat para cantrik mengenali mereka berdua.

“Raden Surengpati!” seru salah seorang cantrik. Serentak mereka yang berdiri di tengah-tengah regol segera berloncatan

Page 70: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

66

menepi. Dengan tanpa mengurangi kecepatan kuda-kuda mereka, kedua orang itu pun kemudian langsung memasuki halaman padepokan.

Dalam pada itu ketika Matahari benar-benar telah terbenam, di kediaman Ki Gede Matesih obor-obor penerangan di regol telah di nya akan. Sementara lampu dlupak yang tergantung di tengah-tengah pendapa tampak berkedip-kedip tertiup angin sore yang lemah.

Di Pendapa, tampak beberapa bebahu dan kepala pengawal Perdikan Matesih sedang berkumpul. Ki Gede Matesih sendiri telah hadir dan memimpin pertemuan itu.

“Nah,” berkata Ki Gede kemudian mengawali pertemuan itu, “Siapakah yang belum hadir?”

Serentak orang-orang yang hadir di tempat itu saling berpandangan satu sama lainnya. Mereka sedang mengenali para bebahu di antara mereka.

“Ki Jagabaya belum hadir , Ki Gede,” terdengar salah satu dari mereka melaporkan.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apakah ada yang mengetahui keberadaan Ki Jagabaya?”

Hampir semua kepala menggeleng, kecuali Ki Jagabaya dukuh Klangon. Dia segera bersingsut ke depan. Katanya kemudian, “Ki Gede, sebelumnya aku mengucapkan terima kasih atas undangan Ki Gede untuk menghadiri pertemuan ini, walaupun aku bukan termasuk bebahu Perdikan Matesih,” Ki Jagabaya dukuh Klangon berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Ketika dalam perjalanan menuju kemari, aku melewati rumah yang dipergunakan oleh Raden Surengpati dan pengikutnya. Melalui pintu regol yang terbuka, aku sekilas melihat sepertinya Ki Jagabaya Perdikan Matesih sedang duduk-duduk di pendapa bersama beberapa orang.”

Terdengar beberapa orang menarik nafas dalam-dalam. Beberapa orang justru tampak telah berbisik-bisik dan

Page 71: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

67

bergeremang antara satu dengan yang lainnya. Memang sudah bukan rahasia lagi jika Ki Jagabaya Matesih telah ikut mendukung gerakan Trah Sekar Seda Lepen di Perdikan Matesih.

“Para bebahu Matesih, dan juga Ki Jagabaya dukuh Klangon,” berkata Kin Gede Matesih kemudian sambil mengangkat tangan kanannya menenangkan suara yang hadir, “Mulai saat ini kita harus bersiap apapun yang akan terjadi di Perdikan Matesih yang kita cinta ini. Aku minta kepada Ki Wiyaga, selaku kepala pengawal perdikan Matesih untuk mengumpulkan para pengawal. Usahakan mereka yang dikumpulkan adalah yang masih setia kepada Matesih. Jangan sampai disaat kita sedang menghadapi musuh yang sebenarnya, justru kawan-kawan kita sendiri yang akan menusuk kita dari belakang.”

Semua yang hadir tampak mengangguk-anggukkan kepala.

“Ki Gede,” tiba-tiba Ki Jagatirta menyahut, “Bagaimana jika selain para pengawal, kita juga mengerahkan seluruh anak-anak muda serta orang-orang tua yang masih mampu mengangkat senjata untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan?”

Tampak Ki Gede mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sedangkan yang lain hanya saling berbisik dan bergeremang menanggapi susulan Ki Jagatirta.

“Apakah sudah sedemikian gawatnya keadaan perdikan ini, Ki Jagatirta?” bertanya Ki Gede kemudian.

“Aku rasa demikian Ki Gede,” jawab Ki Jagatirta dengan serta merta, “Berita yang terjadi di bulak siang tadi telah menyebar ke mana-mana, dan hampir semua kawula penghuni perdikan Matesih ini menyambutnya dengan suka cita, Ki Gede.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Berita perang tanding Ki Gede melawan Raden Surengpati memang telah tersebar hampir ke seluruh pelosok Perdikan Matesih. Agaknya para pengawal dan bebahu yang ikut nganglang bersama Ki Gede telah membawa berita yang membanggakan itu ke tempat masing-masing tanpa dapat dikejar, walaupun Ki Gede telah mewanti-wanti untuk tidak terlalu membesar-besarkannya.

Page 72: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

68

“Penghuni Perdikan Matesih sebagian besar mungkin telah muak dengan tingkah laku Raden Surengpati dan pengikutnya. Mereka memerlukan dukungan dari para bebahu dan pengawal. Khususnya pemimpin tertinggi Perdikan Matesih ini harus bisa menunjukkan kelebihannya dibanding Raden Surengpati. Dan agaknya itu telah ditunjukkan oleh Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya Klangon dalam hati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ki Gede,” tiba-tiba terdengar suara Ki Wiyaga membuyarkan lamunan Ki Jagabaya dukuh Klangon, “Aku setuju dengan usul Ki Jagatirta. Namun untuk sekarang ini, cukup para pemudanya saja yang akan kita kumpulkan di banjar. Kita adakan latihan olah kanuragan bersama para pengawal.”

“Setuju, ki Gede.”

“Setuju.”

“Aku juga setuju.”

Terdengar suara bersahut-sahutan dari orang-orang yang hadir di tempat itu.

Ki Gede menarik nafas panjang sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Ketika tatapan mata Ki Gede kemudian terhenti pada Ki Jagabaya dukuh Klangon, Ki Gede pun kemudian bertanya, “Bagaimana menurut Ki Jagabaya dukuh Klangon?”

Ki Jagabaya dukuh Klangon yang mendapat pertanyaan segera menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Pada dasarnya aku juga setuju, Ki Gede, walaupun aku bukan termasuk bebahu perdikan Matesih. Namun jika tenagaku yang tidak seberapa ini diperlukan, aku siap membantu.”

“Terima kasih,” jawab Ki Gede sambil tersenyum dan mengangguk -angguk.

Berkata Ki Gede kemudian kepada Ki Wiyaga, “Ki Wiyaga, usahakan mulai besuk pagi rencana ini dapat dilaksanakan. Namun jangan sampai memberikan kesan bahwa Matesih sedang bersiap menghadapi perang. Apa yang akan kita lakukan besuk

Page 73: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

69

adalah sekedar mengumpulkan para pengawal serta para pemuda. Ki Wiyaga dapat menggunakan dalih untuk kembali menggiatkan penjagaan di tanah perdikan ini yang akhir-akhir ini mengalami kemunduran yang sangat sejak peristiwa pembunuhan itu.”

“Ya, Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga, “Rencana kita malam ini akan menghubungi kepala-kepala kelompok pengawal yang ada di padukuhan-padukuhan Perdikan Matesih. Besuk pagi mereka harus bisa mendatangkan seluruh pengawal beserta anak-anak mudanya untuk berkumpul di banjar padukuhan induk Perdikan Matesih.”

“Bagus,” sahut Ki Gede cepat, “Sekali lagi aku tekankan, hindari kesan kita sedang menyiapkan pasukan segelar sepapan, walaupun tidak menutup kemungkinan malam ini Raden Surengpati telah mengadu kepada Kakandanya tentang peristiwa siang tadi. Namun aku tetap mempunyai keyakinan, orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu tidak akan gegabah menuruti permintaan Raden Surengpati,” Ki Gede berhenti sejenak untuk sekedar mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun tidak ada jeleknya kita selalu waspada menghadapi segala kemungkinan.”

Orang-orang yang hadir di pendapa itu terlihat mengangguk-angguk. Sejenak kemudian suasana menjadi sunyi. Beberapa di antara mereka sedang tenggelam dalam angan masing-masing. Sementara angin malam yang lembut bertiup menggoyangkan lampu dlupak yang tergantung di tengah-tengah pendapa.

“Ki Gede,” tiba-tiba terdengar Ki Wiyaga berkata memecah kesunyian, “Maafkan sebelumnya jika apa yang akan aku sampaikan ini sedikit menyinggung urusan pribadi Ki Gede.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Sementara orang-orang yang hadir di pendapa itu tampak saling pandang sambil menahan nafas.

“Katakanlah Ki Wiyaga,” jawab Ki Gede akhirnya, “Selama itu demi kepentingan Perdikan Matesih, aku akan mempertimbangkannya.”

Page 74: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

70

Untuk beberapa saat Ki Wiyaga tampak masih mengatur nafasnya. Katanya kemudian, “Ki Gede, keadaan akan dapat berkembang tidak terkendali. Seandainya terjadi benturan antara Perdikan Matesih dengan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen yang dibantu oleh perguruan Sapta Dhahana, tentu kita memikirkan keselamatan para kawula penghuni Perdikan Matesih, khususnya padukuhan induk ini.”

Semua yang hadir mengangguk-anggukkan kepala mereka. Berkata Ki Gede kemudian, “Ki Wiyaga, kita akan menjadikan padukuhan induk ini, terutama banjar padukuhan induk serta rumahku ini sebagai pertahanan terakhir. Jika memang terjadi peperangan, seluruh penghuni padukuhan induk akan kita kumpulkan di banjar dan di rumah ini.”

“Bagaimana dengan padukuhan-padukuhan yang lain, Ki Gede?” Ki Jagatirta menyela.

“Untuk padukuhan yang lain dapat mengumpulkan para penghuninya di banjar padukuhan masing-masing,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Untuk itulah para pengawal dari padukuhan-padukuhan sebagian akan tetap tinggal untuk menjaga keamanan padukuhan masing-masing.”

Kembali semua yang hadir di pendapa itu mengangguk-angguk. Namun raut wajah Ki Wiyaga kepala pengawal Perdikan Matesih masih menyisakan tanda tanya.

Melihat kepala pengawal itu terlihat masih termangu-mangu, Ki Gede pun kemudian bertanya, “Apakah engkau mempunyai pendapat lain, Ki Wiyaga?”

“O, tidak Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga dengan serta merta. Sambil beringsut kedepan sejengkal dia melanjutkan kata-katanya, “Hanya ada satu hal yang masih membebani hatiku, Ki Gede.”

“Katakan Ki Wiyaga,” sahut Ki Gede cepat.

Sejenak Ki Wiyaga masih ragu-ragu. Namun setelah menarik nafas panjang, akhirnya dia pun berkata, “Maaf Ki Gede. Aku

Page 75: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

71

sedang memikirkan keselamatan Nyi Gede yang baru. Walaupun Nyi Gede untuk sementara ini tidak tinggal di Perdikan Matesih, namun jika ada pihak-pihak yang mengetahui dan ingin berbuat curang, tentu keselamatan Nyi Gede perlu diperhatikan.”

Segera saja pendapa itu menjadi sunyi. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Bahkan bernafas pun seakan-akan mereka tahan jangan sampai terdengar oleh Ki Gede.

Untuk beberapa saat tampak Ki Gede menundukkan wajahnya dalam-dalam. Kesedihan yang mendalam tampak terpancar dari wajahnya. Berbagai persoalan keluarga silih berganti menderanya. Walaupun usia Ki Gede belum seberapa tua, namun karena beban pikiran yang berlebihan telah membuat rambutnya hampir memutih semua.

Tiba-tiba Ki Gede mengangkat wajahnya sambil berkata “Ki Wiyaga dan semua yang hadir di pendapa ini, aku minta maaf jika persoalan keluargaku telah mengganggu kepentingan perdikan ini. Bukan maksudku untuk menolak uluran tangan Ki Wiyaga. Aku tahu, seharusnya Nyi Selasih dan anaknya tinggal di rumah ini, berkumpul sebagai satu keluarga. Namun aku belum mampu meluluhkan hati Ratri. Aku tidak sampai hati untuk melukai hatinya untuk yang kesekian kalinya semenjak ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu.”

Mereka yang hadir di pendapa itu tampak menundukkan kepala dalam-dalam. Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat kepala, apalagi menentang pandang Ki Gede. Mereka semua telah maklum, semenjak kematian istrinya, usaha Ki Gede untuk mewujudkan keluarga yang lengkap telah menemui jalan buntu. Nyi Selasih janda beranak satu itu telah dinikahi hampir setahun yang lalu, namun mereka belum dapat berkumpul dalam satu rumah tangga.

“Pada awalnya Ratri menampakkan tanda-tanda persetujuan untuk mendapatkan ibu tiri,” berkata Ki Gede dalam hati, “Namun mengapa justru setelah pernikahan itu terjadi, Ratri telah menolak dengan keras dan mengancam akan pergi dari rumah?”

Page 76: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

72

Sekilas Ki Gede teringat dengan mbok Pariyem, pemomong Ratri sejak bayi. Tiba-tiba saja sebuah prasangka buruk terlintas di dalam benak Ki Gede. Namun dengan cepat prasangka buruk itu ditepisnya sendiri dan dibuangnya jauh-jauh.

“Tidak mungkin mbok Pariyem mempengaruhi Ratri. Kesetiannya kepada keluarga ini sudah tidak diragukan lagi,” berpikir Ki Gede selanjutnya.

“Ki Gede,” tiba-tiba terdengar suara Ki Kamituwa memecah kesunyian, “Aku mempunyai usul. Sebaiknya Nyi Gede dan putranya harus diboyong ke Perdikan Matesih, apapun yang terjadi. Keselamatan mereka berdua adalah taruhannya. Sedangkan rumah yang akan mereka tinggali tidak harus di rumah ini, kita akan mengusahakan rumah yang berdekatan dengan banjar padukuhan induk agar pengawasannya lebih mudah.”

Sejenak Ki Gede mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Tampak hampir semua yang hadir di situ mengangguk-anggukkan kepala.

“Aku minta pendapat kalian,” berkata Ki Gede kemudian menanggapi usul Ki Kamituwa, “Apakah dalam hal ini aku harus memberitahu Ratri?”

Sejenak suasana menjadi gaduh. Beberapa orang saling berbicara dengan orang di sebelahnya sehingga suara yang terdengar menjadi simpang siur.

“Tenanglah sebentar!” tiba-tiba Ki Wiyaga berkata dengan nada sedikit keras, “Silahkan memberikan pendapatnya satu-persatu, jangan berbicara sendiri-sendiri!”

Segera saja suasana menjadi tenang kembali. Ki Kamituwa lah yang kemudian berbicara, “Maaf Ki Gede. Sebaiknya Nimas Ratri jangan diberitahu terlebih dahulu. Keadaan sudah sedemikian gawat, itu jika dugaan kita benar bahwa saat ini Raden Surengpati sedang mengadu kepada Kakandanya. Malam ini juga harus ada utusan untuk menjemput Nyi Gede dan putranya. Aku menyediakan diri untuk menyiapkan rumahku sebagai tempat tinggal sementara Nyi Gede dan putranya.”

Page 77: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

73

Sekali lagi tampak mereka yang hadir di pendapa itu mengangguk-angguk.

“Nah, siapakah yang mendapat tugas menjemput Nyi Gede?” bertanya Ki Kamituwa kemudian.

Tanpa sadar Ki Gede berpaling ke arah Ki Wiyaga. Kepala pengawal Perdikan Matesih itu segera tanggap. Maka katanya kemudian, “Ki Gede, jika diperkenankan aku akan mengajak dua atau tiga pengawal untuk menjemput Nyi Gede dan putranya.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba sesuatu terlintas dalam benaknya. Maka bertanya Ki Gede kemudian, “Apakah jasad Ki Lajuwit sudah diselenggarakan?”

Serentak semua mata memandang ke arah Ki Jagatirta.

Agaknya Ki Jagatirta sudah menduga bahwa suatu saat dia pasti mendapatkan pertanyaan seperti itu. Maka jawabnya kemudian, “Sudah Ki Gede. Selesai nganglang tadi, aku dan beberapa pengawal telah membawa pedati melewati gardu tempat jasad Ki Lajuwit disembunyikan. Kami mengangkut mayat itu dengan sebuah pedati agar tidak mencolok dan sekaligus mengebumikannya.”

“Bukankah seharusnya Ki Jagatirta mengambil jasad Ki Lajuwit sehabis sirep bocah malam ini?” tiba-tiba terdengar seseorang mengajukan pertanyaan.

“Ya, sesuai perintah Ki Gede pagi tadi,” seorang lainnya menimpali.

“Tidak masalah,” sahut Ki Gede cepat menengahi, “Perhitunganku setelah sirep bocah mungkin tidak akan banyak menarik perhatian. Jika sudah diselenggarakan dan tidak menimbulkan pertanyaan, itu sudah cukup.”

Ki Jagatirta menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling sekilas ke arah orang yang berkata tadi. Tampak orang itu juga sedang memandang ke arahnya sambil menahan tawa.

Page 78: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

74

“Gila!” geram Ki Jagatirta dalam hati, “Dalam keadaan segenting ini, masih saja ada orang-orang yang senang bergurau. Mengubur mayat malam-malam tentu saja tidak menyenangkan.”

“Nah, kita sudah membagi tugas,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Untuk menghubungi para pengawal serta para pemuda di padukuhan-padukuhan, Ki Wiyaga dapat menunjuk beberapa pengawal yang sekarang sedang bertugas di rumah ini. Besuk pagi selepas jaga mereka dapat kembali ke rumah masing-masing sambil menghubungi para pemimpin kelompok pengawal di padukuhan-padukuhan.”

“Ya, Ki Gede,” sahut Ki Wiyaga, “Setelah pertemuan ini aku akan memberitahu mereka agar melaksanakan tugas ini dengan penuh rasa tanggung jawab.”

“Kita semua harus bertanggung jawab atas tugas masing-masing,” dengan serta merta Ki Gede menyela, “Selesai pertemuan ini, aku tidak ingin rencana kita bocor sampai kemana-mana. Hanya mereka yang terlibat dengan rencana kita ini saja yang berhak mengetahuinya. Selain itu tidak. Aku mohon semua yang hadir di tempat ini mengerti dan memahami.”

Serentak mereka yang hadir di pendapa itu menganggukkan kepala.

Namun suasana pertemuan di pendapa itu tiba-tiba saja telah terganggu oleh suara gaduh dari arah gandhok kanan. Terdengar beberapa orang berteriak-teriak.

“Tawanan lolos..!” terdengar teriakan cukup keras dari arah gandhok kanan.

“Tawanan telah lolos..! ” suara yang lain menimpali

“Tangkap tawanan..!”

“Tangkap dia..!”

“Jangan biarkan dia lolos..!”

“Awas dia bersenjata..!”

Page 79: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

75

Suara itu terdengar bersahut sahutan dari arah gandhok kanan.

Semua yang hadir di pendapa itu serentak memalingkan wajah mereka ke arah gandhok kanan. Namun Ki Wiyaga selaku kepala pengawal lebih tanggap. Dengan cepat dia segera berdiri dan meloncat berlari turun ke halaman. Sementara yang lainnya bagaikan baru tersadar dari mimpi buruk begitu melihat Ki Wiyaga berlari. Mereka pun kemudian dengan bergegas segera mengikuti.

Dalam pada itu para pengawal yang sedang berjaga di regol ternyata sebagian telah berlari-larian sambil menggenggam senjata mereka. Salah seorang pengawal justru telah menyambar sebuah tombak panjang yang tersandar di pojok gardu.

Sejenak kemudian tampak seseorang yang berbadan kekar dengan senjata di tangan kanan muncul dari gandhok yang paling ujung dan berlari menuju halaman samping. Tangannya yang menggenggam senjata terayun-ayun mengerikan. Siapa saja yang mencoba menghadang telah diserangnya dengan membabi-buta.

“Gegedug dukuh Salam lolos!” kembali terdengar suara teriakan.

“Dia merebut senjata pengawal..!” teriakan yang lain menimpali.

“Dia telah melukai kawan kita! Bunuh dia..!” kali ini suara itu terdengar sangat keras penuh kemarahan.

“Ya, bunuh saja..!”

“Bunuh..bunuh..bunuh..!”

Teriakan itu terdengar bersahut sahutan. Beberapa pengawal telah berdatangan dari segala penjuru mengepung Gegedug dukuh Salam yang berhasil meloloskan diri dari tempat tahanannya.

Dua orang pengawal segera mencoba menahannya. Dengan bersenjatakan pedang, kedua pengawal itu menyerang Gegedug dukuh Salam dari dua arah yang berbeda.

Page 80: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

76

Terdengar Gegedug dukuh Salam itu menggeram. Diputarnya senjata di tangan kanannya itu seperti kitiran. Tanpa memperhitungkan keselamatnnya sendiri, dia justru menyambut tusukan pada lambungnya dengan sebuah tebasan ke arah leher.

Tentu saja pengawal yang menyerangnya dari arah kanan itu harus berpikir seribu kali untuk meladeni serangannya. Dengan cepat pengawal itu pun menarik serangannya sambil meloncat mundur. Sementara kawannya yang menyerang dari arah kiri ternyata mendapat perlakuan yang sama. Begitu serangannya meluncur, Gegedug dukuh Salam itu ternyata telah menendang tanah di depannya dengan tumit kaki kirinya. Serangkum tanah pun meluncur ke arah mata pengawal itu.

“Licik!” teriak pengawal itu sambil menarik serangannya dan meloncat ke samping, menghindari gumpalan tanah yang meluncur mengarah matanya.

Gegedug dukuh Salam itu tertawa. Katanya kemudian, “Majulah kalian semua pengawal Matesih. Kalian akan aku jadikan bebanten di halaman rumah kalian sendiri.”

Selesai berkata demikian, kembali senjata di tangan kanannya berputaran mengerikan siap menerjang apapun yang menghalangi jalannya.

Ki Wiyaga yang telah sampai di tempat itu segera mencabut senjatanya, sebuah pedang pendek yang tampak berkilat-kilat tertimpa sinar obor.

“Menyerahlah!” berkata Ki Wiyaga kemudian sambil menyerang lambung lawannya.

Melihat seseorang mengancam lambungnya, dengan cepat Gegedug dukuh Salam justru menyambut dengan loncatan ke depan. Senjatanya pun terayun menebas kepala.

Ki Wiyaga terkejut. Agaknya lawannya itu sudah tidak mempergunakan nalar lagi dalam bertempur. Dia selalu membalas serangan lawan dengan serangan pula. Jika itu yang terjadi, kemungkinannya mereka berdua akan mati sampyuh.

Page 81: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

77

Tentu saja Ki Wiyaga tidak mau membunuh diri. Dengan cepat dia menarik serangannya sambil bergeser ke kiri selangkah. Ketika ayunan senjata lawannya itu lewat sejengkal dari tubuhnya, giliran senjata di tangan Ki Wiyaga yang bergerak lurus menusuk lambung.

Namun Ki Wiyaga kembali dikejutkan oleh tandang lawannya. Gegedug dukuh Salam itu sama sekali tidak berusaha menghindari serangannya. Pedangnya yang terayun dan tidak menemui sasaran itu berbalik menebas leher ki Wiyaga.

Ki Wiyaga mengumpat sambil meloncat mundur. Cara bertempur Gegedug dukuh Salam itu memang mirip dengan orang yang berputus asa. Dia siap mati berkalang tanah asalkan musuhnya juga mati.

Untuk beberapa saat para pengawal yang mengepungnya menemui kesulitan untuk menundukkan Gegedug dukuh Salam itu. Mereka selalu meloncat mundur setiap kali lawannya mengajak mengadu nyawa.

Dalam pada itu, salah seorang pengawal yang bersenjatakan tombak panjang telah tiba di tempat itu. Dengan segera dia menggabungkan diri bersama kawan-kawannya. Ketika salah seorang kawannya meloncat mundur, dia justru bergerak maju.

Gegedug dukuh Salam yang melihat dari sudut matanya seorang pengawal bergerak maju telah berbalik meloncat ke arahnya dengan sebuah ayunan yang deras menebas kepala.

Namun Gegedug dukuh Salam itu terlambat menyadari bahwa lawannya kini bersenjata sebuah tombak panjang. Ketika dia sedang meloncat dengan mengayunkan senjatanya, pengawal itu justru telah menjulurkan tombak panjangnya mengarah lambung.

Yang terjadi kemudian adalah sangat mengerikan. Gegedug dukuh Salam itu menjerit kesakitan begitu ujung tombak itu menembus lambungnya. Sementara pengawal yang bersenjata tombak panjang itu justru telah melepaskan senjatanya sambil meloncat mundur.

Page 82: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

78

Sejenak Gegedug dukuh Salam itu masih terhuyung huyung sambil memegangi tangkai tombak yang menembus tubuhnya. Terdengar mulutnya mengumpat-umpat dengan umpatan yang paling kotor sebelum akhirnya tubuhnya limbung dan terjerembab ke atas tanah, mati.

Tepat pada saat itu Ki Gede Matesih telah tiba di tempat kejadian. Beberapa bebahu yang lain pun telah tiba pula dan segera mengerumuni tubuh Gegedug dukuh Salam yang telah membeku menjadi mayat.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi?” bertanya Ki Gede kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke arah wajah-wajah yang menunduk di sekelilingnya.

Seorang pengawal yang bertugas menjaga tawanan segera maju selangkah. Jawabnya kemudian, “Ki Gede, tawanan ini telah meloloskan diri dengan cara merebut senjata salah satu kawan kami, bahkan telah melukainya pula.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Bertanya Ki Gede selanjutnya, “Bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah kalian telah mengikatnya dengan kuat pada tiang di dalam ruang tahanan itu?”

Sejenak pengawal itu termangu-mangu. Pandangan matanya mencari-cari kawan-kawannya yang ikut bertugas menjaga tawanan malam itu. Ketika pandangan matanya kemudian terbentur pada seraut wajah, dengan cepat tangannya pun menunjuk orang itu.

Kata pengawal itu kemudian, “Ki Gede, pengawal itulah yang bertugas mengantar makan tawanan bersama kawan kami yang terluka itu.”

Serentak semua orang yang hadir di tempat itu berpaling ke arahnya.

Bersambung ke jilid 05

Page 83: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Bukit Menoreh karya SH Mintardja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416. SEJENGKAL

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

79