sejarah peradaban islam ~ semester iii
TRANSCRIPT
“PERDABAN ISLAM PADA MASA ALI BIN ABI THOLIB”
Disusun Oleh : Choirussaib (1091109756)Semester / Kelas : III / BDosen Pembimbing : Ma’ruf, M. A
Jurusan TarbiyahProgram Studi Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)Pontianak
2010/1011
A. BIOGRAFI SINGKAT ALI BIN ABI THOLIB
Ali bin Abi Tholib adalah khalifah keempat setelah Usman bin Affan. Nama
lengkapnya adalah Ali bin Abi Tholib bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdi
Manaf. Ia dilahirkan 32 tahun setelah kelahiran Rasulullah saw. Sejak usia kecil
Ali bin Abi Tholib diasuh oleh Nabi Muhammad saw. Ia diasuh sebagaimana anak
kandung beliau sendiri. Hal ini dilakukan Rasulullah saw. Untuk meringankan
beban yang diderita keluarga pamannya setelah bencana besar yang melanda kota
Mekkah. Setelah bencana terjadi, Nabi Muhammad saw. memohon kepada
pamannya yang lain, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib agar membantu saudaranya
yang sedang terkena musibah. Akhirnya Abbas setuju dan mengambil Ja’far bin
Abi Tholib untuk diasuh, sementara NAbi saw. mengambil Ali bin Abi Tholib
untuk diasuhnya pula.
Dengan demikian pula, Ali bin Abi Tholib tumbuh menjadi anak baik dan
cerdas dibawah asuhan Rasulullah saw. beliau selalu memberikan kasih sayang
yangbesar kepadanya, sebagaimana yang ia berikan kepada anak-anaknya. Ketika
Muhammad saw. diangkat menjadi nabi dan rasul, Ali bin Abi Tholib adalah
orang pertama dari kalangan anak-anak yang menyatakan keislamannya, serta
terus berada di sisi Rasulullah saw. karena sejak kecil berada di bawah asuhan
Rasul, maka tak heran kalau kemudian ia memiliki sifat-sifat terpuji, saleh, sabar
dam bijaksana. Kesetiannya kepada Nabi saw. tidak diragukan lagi.
Keberaniannya telah teruji pada saat peristiwa menjelang hijrah Nabi saw. ke
Madinah. Ketika itu ia tidur ditempat tidur Rasulullah saw. pada saat para pemuda
Quraisy mengepung rumah dan akan membunuh beliau.
Perbuatannya yang mnegandung resiko ini merupakan bukti nyata dari
kesetiannya untuk tetap berada di samping Rasulullah saw. dalam membela dan
menperjuangkan agama Islam. Demikian uraian singkat mengenai peran yang
telah dimainkan Ali bin Abi Thalib pada periode Mekah. Sebagai anak kecil yang
baru berusia 9 tahun, Ali bin Abi Thalib percaya kepada misi Islam yang dibawa
Nabi Muhammad saw., sehingga ia memiliki sifat-sifat yang juga dimiliki Nabi
saw., seperti kecerdasan, keberanian, kesabaran, kejujuran, ketaqwaan dan
keshalehannya. Kerenanya wajar kalau kemudian ia disenangi oleh banyak orang.
Karena itulah diantara alasan mengapa Nabi saw. kemudian mengawinkan dengan
Fatimah, putri Nabi sendiri setahun setelah kepindahannya ke Madinah.
Ali bin Abi thalib adalah tangan kanan Nabi Muhammad saw., ketika di
Madinah, sebagaimana halnya ketika ia berada di Mekah. Ia selalu diberi
kepercayaan untuk menyelesaikan segala rencana yang memerlukan keberanian
dan semangat yang luar biasa.
Pada waktu Nabi Muhammad saw. wafat, terjadilah perselisihan antara kaum
Muhajirin dan Anshor tentang orang yang akan menggantikan kepemimpinan
Rasulullah sebagai kepala pemerintahan. Dalam situasi seperti itu, Ali bin Abi
Thalib tidak mengikuti perdebatan ini karena sedang sibuk mengurusi jenazah
Nabi Muhammad saw. karena itu, ketika Abu Bakar terpilih sebagai khalifah, ia
belum sempat menyatkan bai’at kepadanya. Hal itu baru dilakukannya setelah 6
bulan Abu Bakar terpilih sebagai khalifaf pertama.
Pada peroide Madinah, Ali bin Abi Thalib memainkan peranan yang berarti
bagi perkembangan Islam pada saat itu. Ia selalu ikut perang bersama Rasulullah
dan para sahabat lainnya. Selain itu, semasa pemerintahan khalifah Abu Bakar dan
‘Umar bin Khattab, ia dipercaya untuk menjadi penasehat pemerintah. Hal ini
terjadi karena Ali bin Thalib dikalangan masyarakat muslim sangat terkenal
karena keluasan ilmunya. Ia menjadi tempat bertanya dan berdiskusi.
B. PROSES PENGANGKATAN ALI BIN ABI THOLIB SEBAGAI
KHALIFAH
Setelah meninggalnya khalifah Usman bin Affan masyarakat muslim di
Madinah menjadi bingung, mereka seolah kehilangan tokoh yang akan
menggantikan kedudukan khalifah Usman. Dalam situasi seperti itu, Abdullah bin
Saba salah seorang peminpin di Mesir mengusulkan agar Ali bin Abi Thalib
diangkat sebagai khalifah. Usulan tersebut disetujui mayoritas masyarakat
muslim, kecuali mereka yang pro ke Muawiyah bin Abu Sufyan. Ali bin Abi
Thalib semula menolak usulan tersebut dan tak mau menerima jabatan khalifah.
Alasannya, situasinya kurang tepat, karena banyak terjadi kerusuhan dimana-
mana.Situasi ini harus diatasi terlebih dahulu baru membicarakan masalah
kepeminpinan. Namun ia terus mendpat desakan dari para pengikutnya, akhirnya
tawaran untuk menduduki jabatan khalifah diterima. Tepat pada tanggal 23 Juni
656 M semua orang yang menginginkan jabatan itu dipegang oleh Ali bin Abi
Thalib, melakukan sumpah setia kepada beliau. Sejak saat itulah beliau menjadi
penguasa Islam yang baru menggantikan kedudukan Usman bin Affan.
Sebagai seorang khalifah, Ali bin Abi Thalib ingin meneruskan cita-cita Abu
Bakar dan Umar bin Khattab dia mengikuti dengan tepat prinsip-prinsip Baitul
Mal. Untuk itu, khlifah Ali bin Abi Thalib memutuskan mengembalikan semua
kekayaan yang diperoleh para pejabat melalui cara-cara yang tidak baik kedalam
perbendaharaan Negara (Baitul Mal). Misalnya, mengembalikan semua tanah
yang diambil alih oleh bani Umayyah dan para pejabat lainnya menjadi milik
Negara dan akan dimanfaatkan sebasar-besarnya untuk kepentingan Negara dan
kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, khalifah Ali bin Abi Thalib juga bertekat mengganti semua
Gubernur yang dianggapnya tidak mampu memimpin dan tidak disenangi
masyarakat. Ia mencopot jabatan Gubrernur Basrah dari tangan Ibn Amir dan
diganti oleh Usman bin Hanif. Qays dikrim ke Mesir untuk menggantikan posisi
Abdullah. Para Gubernur yang dicopot menolak penonaktifan mereka, karena
menurut mereka pada prinsipnya mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali bin
Abi Thalib. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi Ali bin Abi Thalib mencopot
kedudukan mereka. Mereka justru mengakui Muawiyah daripada mengakui
kedudukan Ali. Penolakan ini merupakan salah satu tantangan yang dihadapi
Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam masa-masa kepemimpinannya pada masa-masa
selanjutnya. Mereka kemudian melakukan berbagai gerakan pemberontakan untuk
menantang kebijakan Ali bin Abi Thalib.
C. PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA ALI BIN ABI THOLIB
Meskipun banyak pergolakan pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, banyak
hal yang dilakukan dalam usaha pengembangan Islam, baik perkembangan dalam
bidang sosial, politik, militer, dan ilmu pengetahuan.
Situasi umat Islam pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib sudah
sangat jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Umta Islam pada masa
pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab masih bersatu, mereka memiliki
banyak tugas yang harus diselesaikannya, seperti tugas melakukan perluasan
wilayah Islam dan sebagainya. Selain itu, kehidapan masyarakat Islam masih
sangat sederhana karena belum banyak terpengaruh oleh kemewahan duniawi,
kekayaan dan kedudukan.
Namun pada masa pemerintahan pada masa Khalifah Usman bin Affan
keadaan mulai berubah. Perjuangan pun sudah mulai terpengaruh oleh hal-hal
yang bersifat duniawi.Oleh karena itu, beban yang harus dipikul oleh penguasa
berikutnya semakin berat.Usaha-usaha Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam
mengatasi persoalan tersebut tetap dilakukannya, meskipunia dapat tantangan
yang sangat luar biasa. Semua itu bertujauan agar masyarakat merasa aman,
tentram dan sejahtera. Usaha-usaha yang dilakuakan semasa kepemimpinannya
adalah sebagai berikut:
a. Mengganti Para Gubernur yang Diangkat Khalifah Usman bin Affan
Semua Gubernur yang diangkat oleh Khalifah Usman bin Affan terpaksa
diganti, karena banyak masyarakat yang tidak senang. Menurut pengamatan
Khalifah Ali bin Abi Thalib para gubernur inilah yang menyebabkan timbulnya
berbagai gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan Khlalifah Usman bin
Affan. Mereka melakukan hal itu karena Khalifah Usman pada paruh kedua masa
kepemimpinannya tidak mampu lagi melakukan kontrol terhadap para penguasa
yang berada dibawah kepemimpinannya. Hal itu disebabkan karena usianya yang
sudah lanjut usia, selain para Gubernur sudah tidak banyak lagi yang memiliki
idealisme untuk memperjuangkan dan mengembangkan Islam. Pemberontakan ini
pada akhirnya membuat sengsara rakyat banyak, sehingga rakyatpun tidak suka
terhadap mereka.Berdasarkan pengamatan inilah kemudian Khalifah Ali bi Abi
Thalib mencopot mereka.
Adapun para Gubernur baru yang diangkat Khalifah Ali bin Abi Thalib
sebagai pengganti Gubernur lama ialah:
1). Sahl bin Hanif sebagai Gubernur Syiria.
2). Usman bin Hanif sebagai Gubernur Basrah.
3). Qays bin Sa’ad sebagai Gubernur Mesir.
4). Umrah bin Syihab sebagai Gubernur Kufah.
5). Ubaidah bin Abbas sebagi Gubernur Yaman.
b. Menarik Kembali Tanah Milik Negara
Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan banyak para kerabatnya
yang diberikan fasilitas dan kemudahan dalam berbagai bidang hingga banyak
diantara mereka yang kemudian merongrong pemerintahan Khalifah Usman bin
Affan dan harta kekayaan Negara. Oleh karena itu, Ali bin ABi Thalib menjadi
Khalifah, ia memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikan
persoalan tersebut. Ia berusah menarik kembali semua tanah pemberian Usman
bin Affan kepada keluarganya untuk dijadikan milik Negara.
Usaha ini bukan tidak mendapat tantangan. Khalifah Ali bin Abi Thalib
banyak mendapat perlawanan dari para penguasa dan kerabat mantan Khalifah
Usman bin Affan. Salah seorang yang dengan tegas terus terang menantang
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Muawiyah bin Abi Sufyan.Muawiyah
menantang karena dia sendiri tengah terancam kedudukannya sebagai gubernur
Syiria. Untuk menghambat gerakan Khalifah Ali bin Abi Thalib, Muawiyah
melakukan hasutan kepada para sahabat lainnya supaya menentang rencana
Khalifah. Selain itu, ia melakukan kerja sama dengan para mantan Gubernur yang
dicopot Khalifah Ali bin ABi Thalib. Usaha ini berhasil, misalnya timbulnya
perang Jamal, Perang Shiffin dan sebagainya.
Semua tindakan Khalifah Ali bin Abi Thalib semata bertujuan untuk
membersihkan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme di dalam pemerintahannya.
Namun sayang, situasinya tidak tepat, sehingga Khalifah Ali bin Abi Thalib
menanggung segala resikonya. Ia tewas terbunuh dari tangan orang yang tidak
menyukainya.
c. Dalam Bidang Politik Militer
Khalifah Ali bin Abi Thalib memiliki banyak kelebihan, kecerdasan, ketelitian
ketegasan, keberanian dan sebagainya. Karena ketika ia terpilih sebagai Khalifah,
jiwa dan semangat itu masih membara di dalam dirinya. Banyak usaha yang
dilakukannyatermasuk bagaimana merumuskan sebuah kebijakan untuk
kepentingan Negara, agama dan umat Islam kemasa depan yang lebih cemerlang.
Selain itu, dia juga terkenal sebagai pahlawan yang gagah berani, penasehat yang
bijaksana, penasehat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang
sahabat sejati dan seorang kaean yang dermawan. Dia telah bekerja keras sampai
akhir hayatnya dan merupakan orang kedua yang berpengaruh setelah Nabi
Muhammad saw.
Khalifah Ali bin Abi Thalib sejak masa mudanya amat terkenal dengan sikap
dan sifat keberaniannya, baik dalam keadaan damai ataupun dalam situasi serius.
Beliau amat tahu medan dan tipu daya musuh. Ini kelihatan sekali pada saat
perang shiffin. Dalam perang ini, Khalifah Ali bin Abi Thalib mengetahui benar
bahwa siasat yang dibuat oleh Muawiyah bin Abi Sufyan hanya untuk
memperdaya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mislanya, ketika Muawiyah
menempatkan al-Qur’an diujung tombak sebagia isyarat perdamaiyan. Khalifah
Ali bin ABi Thalib menolak ajakan damai, karena dia sangat mengetahui bahwa
Muawiyah adalah orang sangat licik.
Namun para sahabatnya mendesak agar menerima tawaran perdamaian itu.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilahThkim (arbitraser) di Daumatul
Jandal pada tahun 34 H. peristiwa ini sebenarnya merupakan bukti kelemahan
dalam sistem dalam pertahanan pada masa Khalifah Ali. Khalifah Ali telah
berusaha meperbaiki sistem yang berada, namun selalu dikalahkan oleh
sekelompok orang yang tidak senang terhadap kepemimpinannya.
Akibat peristiwa tahkim ini, timbullah tiga golongan di kalangan umat Islam,
yaitu; kelompok Khawarij, kelompok Murji’ah, dan kelompok Syi’ah (pengikut
Ali).Ketiga kelompok ini pada masa berikutnya merupakan golongan yang sangat
kuat dan mewarnai perkembangan pemikiran dalam Islam.
d. Dalam Bidang Ilmu Bahasa
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, wilayah kekuasaan Islam telah
melampaui sungai Eufrat, Tigris dan Amu Dariyah, bahkan sampai Indus, akibat
luasnya wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat yang bukan berasal
dari kalangan masyarakat Arab memluk Islam, banyak ditemukan kesalahan
dalam membaca teks al-Qur’an atau hadis sebagai sumber hokum Islam, Khalifah
Ali bin Abi Thalib menganggap bahwa kesalahan ini sangat fatal, terutama bagi
orang-orang yang akan mempelajari ajaran Islam dari sumber aslinya yang
berbahasa Arab. Oleh karena itu, Khalifah memerintahkan Abu Al-Aswadal-Duali
mengarang pokok-pokok ilmu Nahwu Qawaid Nabahab).
Dengan adanya ilmu nahwu yang dijadikan sebagai pedoman dasar dalam
mempelajari bahasa al-Qur’an, maka orang-orang yang bukan berasal dari
masyarkat Arab akan mendapatkan kemudahan dalam membaca dan memahami
sumber ajaran Islam.
e. Dalam Bidang Pembangunan
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, mendapat usaha positif
yang dilaksanakannya, terutama dalam masalah tata kota. Salah satu kota yang
dibangun adalah kota Kufah. Semula pembangunan kota Kufah ini bertujuan
poliitis untuk dijadikan sebagai basis pertahanan kekuatan Ali bin Abi Thalib, dari
berbagai rongrongan para pembangkang, misalnya, Muawiyah bin Abi Sufyan.
Akan tetapi lama-kelamaan kota tersebut berkembang, menjadi kota yang sangat
ramai dikunjungi bahkan kemudian menjadi pusat perkembangan ilmu
pengetahuan keagamaan, seperti perkembangan ilmu nahwu, tafsir, hadis dan
sebagainya.
Pembangunan kota Kufah ini dimaksudkan sebagai salah satu cara Khalifah
Ali bin Abi Thalib mengontrol kekuatan Muawiyah yang sejak semula tidak mau
tunduk terhadap perintahnya. Karena letaknya yang tidak begitu jauh dengan
pusat pergerakan Muawiyah bin Abi Sufyan, maka boleh dibilang kota ini sangat
strategis bagi pertahan Khalifah.
D. PERMASALAHAN PADA MASA ALI BIN ABI THOLIB
a. Perang Jamal (36 H/656M)
1. Penyebab Terjadinya Perang Jamal
Perang jamal atau perang Unta adalah perang antara Khalifah Ali
melawan Aisyah. Perang Jamal ini trjadi pada tanggal 11 Jumadil Akhir, 36 H
atau Desember 657 M yang waktunya tidak sampai sehari. Perang ini berasal
dari perbedaan pendapat antara Saidina Ali, Muawwiyah, Thalhah, Zubair,
dan Aisyah dalam penyelesaian kasus pembunuhan terhadap Khalifah Utsman
ibn Affan.
Sebagian sahabat berpendapat pembunuhan Utsman harus di tuntaskan
segera, sedangkan Saidina Ali berpendapaat bahwa pembunuh Khalifah
Utsman berasal dari berbagai suku dan kabilah, bahkan menurut satu riwayat
jumlahnya mencapai sepuluh ribu orang yang berasal dari Kuffah, Basrah,
Mesir dan daerah lainnya. Dan mereka telah berbaur dengan kaum muslimin
lainnya, maka yang terlebih dahulu harus di lakukan adalah membentuk
pemerintah yang kuat setelah itu baru beliau akan menyelesaikan kasus
pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.
Muawwiyah bin Abu Sufyan, seorang Gubernur Syam yang tidak
membaiat Ali sebagai Khalifah. Dia menuntut darah Utsman kepada Ali,
sedangkan Ali tidak menjadikan masalah ini sebagai prioritas karena
kondisinya yang masih sangat labil. Oleh karenanya, orang-orang Syam tidak
taat lagi kepada Ali, dan Muawwiyah memisahkan diri dari kekhalifannya.
Maka Ali segera menetapkan untuk memeranginya, berangkatlah Ali beserta
pasukan ke Kuffah, beliau telah memindahkan pusat pemerintahan dari
Madinah ke Kuffah.
Ali keluar dari Madinah menuju Kuffah dengan membawa sekitar tujuh
ratus pasukan dan pasukan ini menjadi tujuh ribu orang. Sementara itu,
penduduk Basrah sedang menunggu mereka dating dan pasukan mereka
mencapai dua puluh ribu orang, sedangkan jumlah pasukan Aisyah sekitar tiga
puluh ribu orang.
Pada saat itu juga Aisyah yang disertai oleh Zubair dan Thalhah serta
kaum Muslimin dari Makkah juga menuju Basrah untuk menetap disana.
Mereka sampai di sana dan menguasai Basrah. Bahkan mereka berhasil
meringkus para pembunuh Utsman, mereka mengirimkan surat ke beberapa
wilayah untuk melakukan hal yang sama.
Ali pun mengubah rute perjalanannyadari Syam ke Basrah, kemudian
beliau mengirimkan beberapa utusan kepada Aisyah dan orang-orang yang
bersamanya lalu menerangkan dampak negative dari apa yang mereka
lakukan. Mereka puas dengan apa yang dikatakan oleh Ali dan mereka
kembali ke base untuk melakukan kesepakatan damai.
Keduanya hamper saja melakukan kesepakatan damai, namun Abdullah
bin Saba’ beserta pengikutnya yang menyimpang marasa ketakutan da mereka
berpikir pertempuran harus terjadi antara kedua pasukan. Kembali mereka
menyebarkan api perang di antara kedua pasukan terlibat pertempuran yang
sangat sengit. Ali tidak berhasil menghentikan peperangan ini.
Pertempuran terjadi demikian sengitnya di depan Unta yang membawa
tandu Aisyah, pasukan Basrah kalah dalam peperangan iini. Ali
memperlakukan Aisyah denagn baik dan mengembalikannya ke Makkah. Pada
perang Jamal ini banyak kaum muslimin yang terbunuh, sebagian sejarahwan
menyabutkan ada sekitar sepuluh ribu orang yang terbunuh.
Perang Jamal adalah perang yang pertama kali terjadi antara sesama kaum
muslimin. Peperangan ini merupakan salah satu tragedi yang palinag
menyedihkan dalam sejarah umat Islam yang sebelumnya tidak pernah terjadi
hari seburuk ini karena Ali bertempur melawan Aisyah yang tidak lain adalah
istri dari Rasulullah sekaligus ibu martuanya. Selain itu juga dua sahabat Nabi
yaitu Thalhah dan Zubair yang gugur dalal peperangan itu.
2. Gugurnya Zubair dan Thalhah
Dalam suasana perang yang berkecamuk dengan dahsyat, Ali sibuk
mencari Thalhah dan Zubair untuk mengajak keduanya berbicara, mereka pun
bertemu. Saat itu Ali mengingatkan Thalhan dan Zubair tentang apa yang
pernah diucapkan Rasulullah kepada mereka berdua, suatu hari Rasulullah
pernah berjalan melati Ali dan Zubair, lalu Nabi berkata : ‘apa yang dikatakan
oleh anak bibimu (Zubair) itu ? sungguh, suatu saat nanti, ia akan
memerangimu secara dholim’, sebagaimana di kutip dari tarikh at-thobari
karya Thobari.
Mendengar peringatan Ali tersebut, Zubair segera pergi sambil berkata
dengan penuh penyesalan “ya, seandainya aku ingat sabda Nabi itu, tentu aju
tidak akan melakukan semua ini dan demi Allah aku tentu tidak akan pernah
memerangimu”. Kemudian Zubair mundur dan keluar dari medan perang, ia
pergi menuju Madinah, kepergiannya dilihat oleh Amr ibn Juzmuz yang
segera menikutinya.
Ketika waktu shalat tiba Amr ibn Juzmuz mengajak Zubair melaksanakan
sholat, saat itu Amr membelakangi Zubair, kemudian Amr menikam Zubair
tepat di punggungnya, Zuairpun gugr. Setelah Amr mengambil kuda, cincin
dan senjata Zubair kemudian ia mengabarkan kepada Ali ia telah membunuh
Zubair, khalifah Ali sangat sedih mendengar hal tesebut. Sementara itu
Thalhah mundur dari medan perang, tetapi Marwan bin Hakam melihatnya,
maka Marwan memanah Thalhah tepat di lututnya. Thalhah pun jatuh dari
punggung kudanya dengan kaki yang bersimbah darah. Thalhah pun akhirnya
gugur dalal peperangan itu.
3. Kemenangan Ali ibn Thalib
Perang terus berlangsung hingga siang hari, khalifah Ali menyadari bahwa
perang tidak akan bias di hentikan sebelum Unta Aisyah dirobohkan, jika Unta
tersebut berhasil di robohkan maka pasukan Aisyah akan kehilangan pusat
komando dan akan tercerai berai. Kemudian khalifah Ali menyuruh
pasukannya untuk merobohkan unta Aisyah bani Dhabbah menjaga unta itu
dengan gigih dank arena semangat yang membara, mereka senantiasa
memegang tali unta Aisyah secara bergantian. Bani Dhabbah melindungi
Aisyah dan untanya denagn semangat pantang mundur. Pada saat yang genting
itu, seorang dari Bani Dhabbah sendiri. Jika unta Aisyah tidak di robohka
maka semua anggota kabilanya akan terbuuh dan Bani Dhabbah akan hilang
dari sejarah.
Dengan pikiran itu, laki-laki tersebut segera mengendap-endap ke
belakang dan menebas kaki unta Aisyah. Melihat unta yang di tunggangi
Aisyah roboh, Muhammad bin Abu Bakar dan Anwar ibn Yasir segera
mendapingi unta tersebut lalu memotong tali pengikat sekedup Aisyah,
mereka membawa Aisyah ke tempat yang aman. Ali menyuruh Muhammad
ibnu Abu Bakar untuk mendirikan tenda uat Aisyah.
Sebagai khalifah yang bijaksana, Ali memaafkan mereka yang sebelumnya
menghunus pedang untuk memeranginya. Aisyah juga dikirim kembali ke
Madinah dengan dikawal oleh pasukan wanita bersejata lengkap sebagai tanda
kehormatan kalifah Ali kepada Aisyah.
b. Perang Shiffin (37 H/657M)
Perang shiffin adalah peperangan yang terjadi pada tahun 37 H antara
saidina Ali muawwiyah disatu tempat di irak dan berbatasan dengan Syiria
yag bernama shiffin, perang ini di sebabkan komplain Muawwiyah atas
ketidakberesan penyelesaian kasus pembunuhan Utsman, dan di dukung oleh
sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan
kejayaannya.
Untuk mengatasi pertentangan antara dirinya dengan Muawiyah, Ali
berusaha mengedepankan perdamaian dengan Muawwiyah. Ali menulis surat
kepada Muawwiyah sebagai sarana untuk mencari solusi damai. Ali mengutus
orang-orangnya untuk mengrimkan surat tersebut kepada Muawwiyah, tetapi
apa yang diharapkan Ali dari Muawwiyah belum juga mendapatkan hasil
sebagaimana yang di harapkannya. Delegasi yang ditulis oleh Ali dan
Muawwiyah semuanya tidak menghasilkan apa-apa.
Awalnya pernyaaan perang dari khalifah Ali tidak ditanggapi oleh para
sahabat dan juga umat pada umumnya, karena itu Ali berusaha duduk
persoalan dan menjelaskan kelanjutan kedudukan kaum muslim. Kaum
muslim tersadar, mereka kemudian berkumpul dan membentuk barisan
pasukan yang telah lebih dulu siap dengan pasukannya tentu saja segera
berangkat ke shiffin untuk menghadapi pasukan Ali yang mendirikan tenda-
tendanya.
Ali masih tetap mengutamakan perdamaian sebelum npertumpahan darah
terjadi. Khalifah Ali mengirim utusannya yang terdiri dari tiga orang.
Muawiyah tetap masih pada pendiriannya, Muawiyah menuntut para
pembunuh sebelum kesepakatan damai yang diinginkan Ali dapat dicapai.
Bulan Muharram telah tiba, bulan ini mengharuskan mereka mengadakan
gencatan senjata sampai habisnya bulan Muharram. Ali memanfaatkan waktu
gencatan senjata ini untuk damai.
Kesempatan Muawiyah untuk mempertimbangkan usulan damai dari Ali
habis waktunya, sebab malam terakhir bulan Muharram telah tiba. Ali
memerintahkan pasukannya untuk bersiap-siap mengangkat senjata, hingga
paginya pertempuran itu terjadi. Sebelumnya, Ali telah memerintahkan pada
pasukannya, “wahai kalian semua, sebelum peperangangan kalian jalankan
aku peringatkan agar janganlah kalian mendahului peperangan sampai mereka
melakukannya, sebab segala puji bagi Allah, kalian berada diatas kebenaran
dan bila mereka kalian biarkan untuk mendahuluinya berearti bukti kebenaran
itu ada ditangan kalian. Bila kalian memerangi mereka dan mereka kalah,
maka janganlah kalian kejar mereka dan jangan kalian bunuh mereka yang
terluka”.
Peperangan sudah tidak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan
serunya, korban mulai berjatuhan dari pihak Ali maupun Muawiyah. Pihak Ali
mulai menguasai peperangan, melihat pasukannya hampir mengalami
kekalahan, Muawiyah meminta pendapat Amru untuk menyusun taktik
selanjutnya. Amru mengusulkan agar Muawiyah memegang Al-Qur’an
sebagai tanda menghentikan perang dan hukum Al-Qur’an yang akan
menentukan selanjutnya. Diperkirakan korban yang ditimbulkan cukup besar,
dari pihak Ali gugur dua puluh lima ribu orang, dan pihak Muawiyah empat
puluh ribu orang.
c. Perang Nahrawan
1. Penyebab Perang Nahrawan
Orang Khawarij adalh orang yang berada dipihak Ali yang melakukan
pemberontakan kepada Ali setelah terjadinya arbitrase dan mencopotnya dari
kekuasaannya dengan alas an bahwa dia menerima tahkim. Anehnya
kebanyakan dari mereka telah mendesak Ali untulk menerima tahkim tersebut.
Namun, setelah itu meminta Ali untuk memerangi Muawiyah kembali. Tentu
saja Ali menolak permintaan mereka dan merekapun menyingkir ke kawasan
Harura’ dan terus melancarkan perang.
Semakin lama semakin banyak dan berkumpul di Nahrawan. Mereka
mulai memebunuh kaum Muslimin dan menebarkan kerusakan di muka bumi.
Maka, berangkatlah Ali menemui mereka dan berdiskusi dengan mereka
dengan jangka yang lama. Beliau menjelaskan kesalahan jalan yang mereka
tempuh dengan segala cara. Akhirnya, sebagian dari mereka kembali sadar dan
bergabung dengan Ali. Namun, sebagian besar dari mereka terus saja
melancarkan perang.
Khalifah Ali dihadapkan pada dua lawan yaitu Muawiyah dan kaum
Khawarij. Kaum Ali disibukkan dengan melawan Khawarij yang jumlahnya
sekitar dua belas ribu orang. Pasukan Khawarij dikalahkan oleh pasukan Ali
bin Abi Thalib ketika bertempur di Nahrawan.
2. Wafatnya Ali bin Thalib
Akhirnya, menjelang Shubuh pada tanggal 17 Ramadhan 40 Hijriyah
ketika sedang shalat di masjid Kufah, beliau dipukul dengan pedang beracun
oleh Abdurrahman bin Muljam hingga beliau mengeram kesakitan. Orang-
orang yang mendengar teriakan khalifah Ali keluar untuk mengetahui apa
yang terjadi. Mereka kaget melihat khalifah tergeletak berlumur darah. Segera
orang-orang menolongnya san membawa ke rumahnya.
Sesampainya dirumah, khliafah dalam keadaa terluka ternyata masih
sempat menyuruh mereka bersegera ke masjid agar ridak ketinggalan shalat
shubuh. Usai shalat mereka kembali kerumah khalifah untuk menolongnya.
Sementara yang lainnya telah berhasil menangkan pelakunya, mereka
membawanya ke tempat khalifah. Walaupun keadaannya kritis, ia masih tetap
bertahan, dipandang satu persatu anak-anaknya dan para shahabatnya nampak
wajah-wajah penuh kemarahan dan dendam.
Lalu beliau berkata, bahwa beliau menginginkan agar masalah
pembunuhan terhadap dirinya, hanya diselesaikan antara orang yang terbunuh
dan pelakunya., khalifah tidak menginginkan masalah pembunuhan terhadap
dirinya diperpanjang yang berakibat akan timbul perselisihan dan jatuh korban
yang lebih banyak. Khalifah yang telah dijabatnya selam enam tahun enam
bulan, beliau mempunyai tiga puluh tiga orang anak, lima belas laki-laki dan
delapan belas perempuan. Beliau di makamkan di Kufah pada malam harinya.
d. Tahkim Shiffin dan Perpecahan Ummat (Syi’ah, Khawarij, dan
Pendukung Muawiyah).
1. Tahkim Shiffin
Setelah sekian ribu orang meninggal, akhirnya perang Shiffin ini berakhir
dengan proses negosiasi dan arbitrse, yang lebih dikenal dengan “tahkim”.
Masing-masing pihak mengutus juru damai, dari pihak khalifah Ali adalah
Abu Musa Al-Asyari sedang juru damai pihak Muawiyah Amru bin Ash. Ali
bin Abi Thalib kembali ke Kufah dan Muawiyah ke Syiria, keduanya
menunggu hasil perdamaian.
Bertemulah kedua utusan itu disatu tempat bernama Daumatul Jandal
untuk mencari upaya-upaya menghabiskan permusuhan dan mengembalikan
keamanan. Dlam perundingan ini, Amru bin Ash berhasil menjalankan siasat
sehingga menghasilkan keputusan:”Ali bin Abi Thalib turun dari
kedudukannya dan Muawiyah bin Abi Shafyan diperhentikan, Siapa yang
akan menjadi khalifah akan ditetapkan dalam satu pertemuan ummat Islam”.
Keputusan yang diambil oleh kedua utusan dalam perundingan itu
disampaikan di Adzran dihadapan rapat besar ummat Islam. Dalam pidatonya,
Abu Musa mengatakan bahwa: “Ali bin Abi Thalib tidak lagi menjadi khalifah
dan Muawiyah bin Abu Shafyan diperhentikan”. Setelah Abu Musa berpidato,
naik pulalah Amru Bin Ash keatas mimbar dan berkata: “Ali bin Abi Thalib
benar telah diturunkan dan Muawiyah betul telah diperhentikan dari
jabatannya sebagai pembesar Syiria. Akan tetapi, pada hari ini Muawiyah saya
angkat menjadi khalifah sebagai pengganti Ali”.
2. Perpecahan Ummat (Khawarij, Syi’ah, dan Pendukung Muawiyah)
Hasil tahkim yang dilakukan oleh Abu Musa dan Amr bin Ash sangat
mengecewakn bagi pasukan Ali. Oleh karena itu, pendukung Ali bin Abi
Thalib terpecah menjadi dua. Kelompok pertama, kelompok yang tetap
mendukung Ali bin Abi Thalib yang disebut kelompok Syi’ah. Kelompokm
yang kedua, kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib disebut
dengan kelompom Khawarij. Kelompok yang ketiga, kelompok yang tetap
mendukung Abu Shafyan.
Kelompok Alia yang kecewa pada hasil tahkim berkumpul di Makkah dan
melakukan kesepakatan dipimpin oleh Abdurrahman bin Muljam al-Maridi,
al-Bark ibn Abdullah al-Tamimi. Dan Amr bin Bakir al-Tamimi untuk
menentang kepemimipinan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah.
E. Pengangkatan Hasan ibn Ali bin Abi Thalib dan ‘Am al-Jama’ah.
Setelah meninggal, rakyat segera membaiat Hasan bin Ali sebagai
khalifah. Hasan berkuasa dalam jangka waktu enam bulan. Pada masa
pemerintahannya dia melihat banyak perselisihan diantara sahabat-sahabatnya
dan melihat pentingnya persatuan ummat.
Maka, dia pun melakukan kesepakatan damai dan menyerahkan
pemrintahannya kepada Muawiyah dengan memberikan syarat-syarat kepada
Muawiyah, yaitu:
1) Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seseorangpun dari
penduduk Iraq.
2) Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka.
3) Pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya (Hasan) dan diberikan
tiap-tiap tahun.
4) Muawiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husai dua juta Dirham.
5) Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian
Bani Abdi Syams.
Bagi Muawiyah syarat-syarat di atas tidak perlu diperimbangkan. Dia
bersedia menjanjikan apa saja asal Hasan bersedia mengundurkan diri. Serah
terima terima jabatan itu berlangsung di kota Kuffah, sebuah kota pelabuhan
yang makmur di Teluk Persia. Peristiwa yang terjadi pada bulan Rabbi’ul
Awwal 41 H/ 661 M. Dikenanglah dalam sejarah Islam dengan istilah
“Ammul Jama’ah” atau “Tahun Persatuan”, karena pada waktu itu hanya
pemimpin ummat Islam, yaitu Muawiyah bin Abu Shafyan.
Dengan terbunuhnya Ali, berakhir pula khilafah risyidah yang sesuai dengan
manhaj Allah secara sepenuhnya.
DAFTAR ISI
Dr. H. Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Toha Putra, Semarang. 2009
Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Kota kembang, Yogyakarta. 1999
Dr. Badri Yatim, M. A. Sejarah Peradabab Islam, Raja Wali Prees, Jakarta. 2008
Hamka, Sejarah Ummat Islam, Bulan Bintang, Jakarta. 1981
Dr. Ali Murodi, Islam dikawasan kebudayaan Arab, logo wacana ilmu, Ciputat. 1997