rubrik jendela keluarga majalah hidayatullah

6

Upload: lentera-jaya-abadi

Post on 21-May-2015

82 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rubrik Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah
Page 2: Rubrik Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

OKTOBER 2012/DZULQA’DAH 1433 67

FOTO

MU

H.

ABD

US

SYA

KU

R

OKTOBER 2012/DZULQA’DAH 1433

S eorang Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, ba-gai ma na cara membantu anakku sehingga ia dapat ber bakti kepadaku?” Nabi menjawab, “Me nerima usahanya walaupun kecil, me-

maaf kan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan be ban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.” (Riwayat Ahmad)

“Papi, apa bedanya papi dengan sapi?” tanya Zam-zam yang baru berusia tiga tahun pada ayahnya. “Ya, beda dong, Zam. Sapi itu kakinya empat, kalau papi kan kakinya hanya dua.” Mendengar penjelasan ayah-nya, Zamzam hanya terdiam. “Maksud Zamzam ba gai-mana?” tanya ayahnya lagi melihat anaknya diam.

“Iya kalau Papi kan Pa-pi, nah kalau sapi kan Sa-pi,” ujar Zamzam. Ayah Zamzam kini mengerti anak-nya yang sudah mulai senang memperhatikan huruf itu, menanyakan perbedaan kata papi dan sapi.

“Untung waktu itu aku tidak emosi sehingga ti-dak membentaknya, Masa Zamzam tidak tahu, Pa pi manusia, sedangkan sapi binatang! Ternyata aku sa-lah,” ujar Papi Zamzam pada sahabatnya.

Kisah di atas memberi pembelajaran tentang pentingnya bertanya pa da

anak. Saat terjadi dialog an-ta ra orangtua dan anak se -

ring terjadi perbedaan

per sepsi. Pikiran dan pengalaman hidup anak jelas berbeda dengan orang dewasa. Guna memastikan apa yang dimaksud anak, penting untuk mengajukan pertanyaan.

Bukan hanya dalam hal komunikasi, dalam hal perilaku pun kerap orangtua keliru menilai anaknya. Ada seorang anak berusia 3,5 tahun melempar kunci mobil ayahnya ke selokan. Tentu saja anak itu dimarahi oleh ayah juga ibunya.

  Ketika ditanya kemudian, anak itu berkata, “Kalau aku lempar daun atau kertas cepat sekali jalannya. Tapi kalau batu yang kulempar tidak bergerak. Nah, aku ingin tahu kalau kunci mobil bagaimana?” ujar si anak. Si ibu tentu saja tidak me ngira bahwa anak lelakinya sedang melakukan percobaan dan pe-nga matan. Ia menyesal telah memarahi anaknya.

Bertanya adalah hal sepele, namun sering terlupakan. Ba-nyak orangtua yang sibuk dengan asumsinya terhadap anak, se-hingga tidak sempat melakukan pengecekan melalui ber ta nya. Manfaat bertanya sangat banyak, di antaranya: mem bang kit kan minat dan rasa ingin tahu, meningkatkan keter libatan anak agar aktif dalam kegiatan belajar, menuntun pro ses ber pikir siswa, dan memusatkan perhatian anak pada satu objek atau hal.

Adakalanya orangtua bertanya hal-hal yang sama dan ber-ulang setiap hari, seperti: “Sudah makan?”, “Sudah minum susu?”, “Sudah mengerjakan pe er?”. Dengan bertanya seperti itu dianggapnya masalah anak sudah selesai. Padahal sesungguhnya pertanyaan yang sama dapat membuat anak bosan.

Ada empat jenis pertanyaan yang disarankan ahli pen di-dikan yaitu pertanyaan fakta, konvergen, divergen, dan eva-lua tif. Pertanyaan fakta membantu anak mengamati dan me ngomunikasikan hasil pengamatan, seperti apa, di mana, ka pan, dan siapa. Pertanyaan konvergen adalah pertanyaan yang hanya mempunyai satu jawaban benar, namun memer-lukan penjelasan, digunakan dalam memecahkan masalah. Per tanyaan divergen adalah pertanyaan yang mempunyai ja-wa ban lebih dari satu dan berguna untuk mendorong ke mam-puan berpikir dan kreativitas. Sedangkan pertanyaan evaluatif adalah pertanyaan yang meminta anak dalam mem buat dan me ngambil keputusan. 

Dengan bertanya, orangtua tak saja bisa membantu me-ning katkan kecerdaskan anak, namun juga menghindari ke sa-lah pahaman terhadap anak. Penulis buku Mendidik Karakter dengan Karakter

Bertanya pada Anak

JendelaKeluarga

celah

OLEH IDA S. WIDAYANTI

Page 3: Rubrik Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com68 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com68

usrah

Optimis Saat Suam mi Tak Bekerja LagiJalan keluarnya ada pada doa dan bertindak segera

S eorang tetangga pernah curhat tentang masalah yang terus merundung kehidupan rumah tangganya. Ia istri seorang penjahit yang

merasa kehidupannya semakin sulit. Pakaian jadi yang kini membanjiri pasar membuat mata pencaharian suaminya kian sulit. Orang-orang lebih banyak memilih untuk membeli pakaian jadi dibandingkan menjahitkan pakaian. Order menjahit pun semakin berkurang meski jelang lebaran. Sementara keterampilan menjahit itulah yang menjadi tumpuan perekonomian keluarganya. Suaminya lebih banyak di rumah dan tak bersemangat mengerjakan apa-apa.

Sementara itu, sebuah dialog yang sangat indah terjadi di antara dua orang suami-istri di depan rumah mereka. Di saat suaminya tengah berkeluh kesah akan sulitnya hidup

setelah kebangkrutan usaha mereka, sang istri kemudian bertanya, “Di mana letak gerakan shalat yang paling indah? Saat kita berdiri tegak atau saat kita tengah mencium tanah, bersujud memasrahkan diri kepada Allah?”

Si suami pun tercenung, maka sang istri pun melanjutkan, “Bila diibaratkan dengan shalat, maka inilah saat yang paling indah. Saat kita harus bersujud, memasrahkan diri kepada Allah setelah kita berikhtiar. Saat kita berada sangat dekat dengan-Nya dan bergantung hanya kepada-Nya.”

Dialog tersebut memang hanya terjadi dalam sebuah sinetron religi yang ditayangkan bulan Ramadhan lalu. Namun, maknanya begitu dalam dan menyentuh ruang logika untuk mempersepsikan kembali makna kesulitan dalam hidup.

UBAH DENGAN DOAMencari nafkah untuk keluarga

memang kewajiban seorang kepala keluarga. Namun, apakah harus dijadikan penderitaan, bila suatu ketika, cobaan Allah datang dan membuat mereka harus kehilangan mata pencaharian? Sebaiknya kepada Allah kita berbaik sangka. Para suami

pun tak pernah ingin kehilangan mata pencaharian mereka dan Allah pun tidak pernah menganiaya hamba-Nya. Layaknya ungkapan sang istri dalam dialog di atas, bahwa inilah saatnya kita mendekat kepada Allah, pasrah kepada-Nya, setelah sekian lama kita berdiri tegak menjalankan seluruh usaha yang mampu kita upayakan.

Perasaan gundah, takut, khawatir, dan gelisah mungkin secara manusiawi adalah perasaan yang kerap menghantui dalam kondisi ini. Namun, meredakan perasaan ini sesegera mungkin adalah tindakan yang sangat tepat dilakukan. Sebisa mungkin, kita harus menggantinya dengan perasaan bersyukur, tetap berbahagia dengan nikmat-nikmat yang ada dalam genggaman kita, dan berdoa tak pernah henti

Karena itu, Rasulullah mewasiatkan sebuah doa kepada kita untuk menenangkan hati yang gundah, “Ya Allah, sesungguhnya aku ini adalah hamba, anak dari hamba-Mu laki-laki, anak dari hamba-Mu perempuan; ubun-ubunku berada ditangan-Mu, mengikuti keputusan taqdir-Mu, dan berjalan sesuai dengan ketetapan-Mu. Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang menjadi milik-Mu, nama yang Engkau lekatkan sendiri untuk diri-Mu, atau Engkau sebutkan dalam kitab-

OLEH KARTIKA UMMU ARINA * | FOTO MUH. ABDUS SYAKUR

FOTO

MU

H.

ABD

US

SYA

KU

R

Page 4: Rubrik Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

OKTOBER 2012/DZULQA’DAH 1433 69

Optimis Saat Suam mi Tak Bekerja LagiJendela keluarga

Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu (Nabi-Mu), atau Engkau sembunyikan dialam keghaiban-Mu, maka jadikanlah al-Qur`an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dalam dadaku, penghilang kesedihanku, dan penolak kegundahanku.” (Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban)

Kita harus yakin bahwa kondisi yang ada di hadapan kini, bukanlah sesuatu yang selamanya. Yakinlah bahwa Allah sajalah yang berkuasa untuk mengubah segalanya. Maka, tetaplah berdoa, sebagaimana Rasulullah bersabda, “Tidak ada yang dapat mencegah takdir kecuali doa.” (Riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hasan, berderajat hasan)

Doa adalah bentuk keyakinan kita akan adanya harapan dan kekuatan Yang Mahaperkasa untuk mewujudkannya. Keyakinan ini penting dan jembatan untuk mewujudkannya adalah dengan doa. Yang tak kalah penting selanjutnya adalah tindakan kita. Apa yang terlihat dihadapan

kita belum tentu seburuk yang kita pikirkan.

UBAH DENGAN TINDAKANKisah tentang dua ekor katak

berikut mungkin bisa menjadi inspirasi bagi kita. Suatu hari, dua ekor katak terjatuh dalam sekaleng es krim. Sisi-sisi kaleng tersebut mengkilap dan licin, sedangkan es krim yang ada di dalamnya pun sangat dalam dan dingin.

Katak yang pertama terlihat kebingungan dengan situasi yang dihadapinya. Katak tersebut diam tak bergerak, meskipun kedua matanya masih berkedip. Hingga akhirnya ia mati tenggelam karena kedinginan. Sementara katak kedua terlihat sangat gigih menggerak-gerakkan kakinya semenjak menyentuh permukaan es krim yang dingin. Ia terus berjuang tak kenal lelah. Kakinya terus mengayuh dan berenang. Putaran yang ditimbulkan oleh gerakan kaki katak tersebut, lambat laun membuat es krim mengeras. Saat itulah es krim dapat dipijak oleh si katak dan membuatnya dapat melompat keluar dari kaleng.

Bila katak kedua bersikap sama dengan katak pertama yang “pasrah” dengan situasi yang dihadapi, mungkin ia juga akan mengalami nasib yang sama. Tersiksa dalam kedinginan hingga akhirnya tenggelam dan mati. Namun, ia justru tak berhenti berenang hingga mampu menghangatkan tubuhnya sendiri sehingga mampu bertahan dan membuat situasi membaik dengan mengerasnya es krim tersebut. Begitu pulalah sebaiknya kita dalam menghadapi cobaan yang datang.

Menyesali keadaan justru akan membuat kita “membeku” dalam kesedihan dan kemarahan. Namun,

menyikapinya dengan tetap berusaha berbahagia dan terus-menerus mencari jalan keluar, akan menghangatkan hati dan pikiran kita. Sehingga optimisme terus membuat kita bertahan dan mudah menemukan jalan keluar.

Karena itu, jika Anda adalah seorang suami yang tengah dirundung masalah karena urusan nafkah, berusahalah untuk tetap tersenyum. Bangkitkan semangat dan pikiran positif karena dengan sikap demikian, keluarga pun akan turut tersemangati.

Tetaplah berusaha untuk mencari peluang dan gunakan waktu luang yang dimiliki untuk membantu pekerjaan pasangan Anda, sehingga ia pun memiliki waktu luang untuk membantu masalah Anda. Bersilaturahimlah sehingga pikiran Anda tetap terbuka dan peluang pun semakin dekat untuk didapat. Semakin akrablah dengan al-Qur`an karena didalamnya terdapat penawar kesedihan dan kesulitan.

Seorang pengusaha yang pernah tertimpa masalah akibat ditinggalkan semua rekanan bisnisnya, mendapatkan manfaat yang luar biasa setelah “berteman” dengan al-Qur`an. Ia mendapatkan kekuatan kembali untuk bangkit melanjutkan proyeknya dan sanggup berhasil dengan al-Qur`an sebagai teman bisnisnya.

Untuk seorang istri, pupuklah terus komitmen, rasa cinta, dan penghargaan terhadap suami, meski Anda adalah tulang punggung keluarga sekalipun. Tetaplah bersikap qana’ah dan mensyukuri hidup, salah satunya dengan terus berinfaq. Insya Allah, rezeki kita akan lebih mudah datang dengan amalan ini. Penulis buku “Jadilah Suami Istri Bijak”

Jika Anda adalah seorang suami yang tengah dirundung masalah karena urusan nafkah, berusahalah untuk tetap tersenyum. Bangkitkan semangat dan pikiran positif karena dengan sikap demikian, keluarga pun akan turut tersemangati.

Page 5: Rubrik Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com70 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com

Hari ini, kita menanti lahirnya para pemberani. Tak keluh lidahnya bicara kebenaran. Tak kuyuh langkahnya

meli hat kesulitan yang menghadang. Mereka menjadi pemberani bukan karena kuat berkelahi. Tetapi anak-anak itu tumbuh menjadi sosok pem berani karena himmahnya (hasrat terbesarnya) akhirat, pegangan-nya sya riat, dan aqidahnya kuat melekat dalam diri. Mereka berani bukan ka re na dirinya kuat, tetapi karena adanya ken dali kuat atas syahwatnya terhadap du nia. Mereka menjadi pemberani ka rena dirinya ditempa untuk tidak ter biasa dengan tana’um (bernikmat-nik mat).

Tetapi bagaimana mungkin mereka akan mampu menjauh dari tana’um, jika mereka tak mampu men-tasharruf-kan harta dengan benar? Bagaimana mungkin kita dapat mendidik generasi yang tak sibuk berbangga dengan dunia jika mereka tidak dilatih menahan diri?

Hari ini, kita menunggu munculnya generasi yang kepala mereka tegak tat kala berhadapan dengan manusia. Kita menunggu lahirnya generasi yang tak merasa rendah karena berjumpa de ngan manusia yang bernampilan wah. Mereka tak menyibukkan diri me muji manusia berdasarkan benda-ben da yang dipunyai. Mereka tidak me muliakan, tidak pula merendahkan ma nu sia lain-nya karena rupawan tidaknya wajah. Te tapi mereka menilai manusia karena sikap, perjuangan, akhlak, dan ke sung-gu hannya berbenah.

Seseorang dapat memiliki kebera-nian karena merasa dirinya kuat.

Keberanian juga dapat tumbuh karena ke inginan untuk menjadi sosok yang membanggakan di hadapan manusia lainnya. Tetapi keberanian semacam ini, selain tak bernilai di hadapan Allah

juga mudah runtuh manakala me-re ka dihadapkan pada kesulitan serta tiadanya kenikmatan hidup.

Banyak hal yang memerlukan keberanian agar dapat menjalankan Islam dengan sempurna. Ada keberanian menghadapi ancaman, ada keberanian menghadapi kesulitan yang mungkin menghadang, dan ada pula keberanian yang terkait kesiapan untuk berpayah-payah demi meraih kemuliaan di sisi-Nya. Adapula keberanian menghadapi kesulitan yang mungkin terjadi terkait dengan hal-hal jauh di masa akan datang, dan ini memerlukan keyakinan tentang dekatnya pertolongan Allah .

Adapun keberanian untuk ber-payah-payah demi meraih ke mu lia an di sisi Allah memerlukan ke-mam puan menahan diri. Tidak akan mampu seseorang menempuh jalan sulit semata karena ingin meraih ridha Allah , kecuali jika ia memiliki harga diri (‘izzah) yang kuat sebagai seorang Muslim. Dan tidak akan tumbuh ‘izzah yang kokoh, kecuali ada penjagaan diri (‘iff ah) yang kuat. Dan ini memerlukan latihan panjang.

Tatkala anak dibesarkan di rumah, anak-anak memperoleh penguatan dari orangtua, saudara, dan anggota keluarga lainnya. Tetapi ketika anak tumbuh di sekolah berasrama, maka harus ada kebijakan pendidikan

yang sengaja mengawal anak-anak agar belajar mengendalikan diri dan menjauhi tana’um. Sekolah dapat membatasi jumlah uang saku anak setiap harinya, tetapi pembatasan saja tidak cukup. Harus ada pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyyah) dari pengasuh asrama dan pendidik di sekolah. Harus pula ditumbuhkan suasana penghormatan terhadap sikap terpuji, kegigihan berusaha, integritas, semangat membantu orang lain, kesabaran, dan

OLEH FAUZIL ADHIM | FOTO MUH. ABDUS SYAKUR

kolom parenting

Didik Mere ka Jadi Pemberani

Page 6: Rubrik Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

OKTOBER 2012/DZULQA’DAH 1433 71

keimanan. Tanpa itu semua, keberanian yang sesungguhnya serta kendali diri hanya menjadi pengetahuan yang dengan lancar dapat dituangkan penjelasannya saat ujian, tetapi amat jauh dari penghayatan.

Mari kita ingat sejenak nasehat ‘Umar bin Khaththab sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Abu ‘Awanah, Al-Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnul Ja’d, “Jauhilah orang yang hanyut dalam kemewahan dan senang berhias dengan mode orang asing, bersikaplah dewasa dan berpakaianlah secara sederhana (tidak mewah).”

Berpakaian sederhana merupakan hal yang biasa, jika anak hidup di lingkungan yang membiasakan mereka seperti itu. Kebiasaan ini sangat bermanfaat untuk menjaga orientasi belajar anak sehingga dapat menghadapkan dirinya secara lebih serius dalam menuntut ilmu. Tetapi jika kebiasaan ini hanya berhenti sebatas pembiasaan melalui pengendalian lingkungan (asrama), maka ia akan mudah memudar begitu anak berpindah ke lingkungan lain. Bahkan tak sekadar memudar, ia justru dapat berbalik total dari sederhana menjadi gemar bermewa-mewah. Maka, pembiasaan itu harus didahului dan sekaligus disertai penanaman nilai yang tak putus-putus sehingga anak melakukannya dengan perasaan positif. Anak melakukannya, menghayatinya dan menjadi bagian dari keyakinannya.

Sebaliknya, sangat berat bagi anak untuk hidup sederhana jika teman-

teman di sekelilingnya, baik di sekolah maupun asrama hidup dalam suasana memuliakan penampilan, kemewahan, dan kepemilikan. Hidup sederhana berarti menjadi orang asing di tengah-tengah sekumpulan orang yang sangat berbeda. Ini merupakan tantangan yang sangat berat, lebih-lebih jika anak sendiri belum memiliki keinginan untuk menyederhanakan makan dan pakaian. Padahal umumnya anak usia remaja memang belum memiliki keinginan untuk sederhana dalam makan dan pakaian. Jika suasana yang tumbuh di sekolah dan asrama adalah semangat menutup aurat, maka ringan bagi anak untuk mengenakan pakaian apa pun yang dapat menutup aurat secara sempurna. Tapi jika suasana yang tumbuh adalah penampilan, sangat mungkin terjadi anak merasa malu jika tidak menggunakan jilbab merek tertentu.

Mari kita renungkan sejenak atsar dari Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab , “Saya lebih senang melihat pembaca al-Qur’an itu berpakaian putih.”

Nah.Jika anak tidak tersibukkan hatinya

dari berbangga-bangga terhadap pakaian dan penampilan, maka akan lebih mudah bagi mereka memenuhi hatinya dengan hasrat terhadap ilmu dan akhirat. Lebih ringan langkahnya untuk menghadap hati kepada ilmu. Bukan sekedar berkonsentrasi memusatkan perhatian otak saat belajar.

Tentu saja, mereka harus tetap menjaga muru’ah (kehormatan) sehingga tidak merendahkan martabat mereka maupun kehormatan agama ini. Dan panduan untuk menjaga muru’ah itu adalah agama ini. Sedangkan guru dan pengasuh asrama merupakan penjaganya. Merekalah yang bertugas menegakkan nilai, termasuk peng-hormatan terhadap nilai-nilai tersebut.

Kelak, jika sekiranya Allah mudahkan rezeki mereka dan melimpahi mereka dengan perbenda-haraan dunia, semoga akan ringan hati mereka untuk menolong agama ini dengan harta dan jiwa mereka. Adapun jika mereka mengambil kenikmatan dunia dari harta yang telah Allah berikan kepada mereka, baik berupa makanan, pakaian, kendaraan atau pun selain itu yang halal, dan thayib, maka yang demikian ini semoga senantiasa tak bergeser dari kebaikan.

Kendali Diri Bekal Berani‘Alaa kulli haal, sederhana dalam

berpakaian hanyalah sebagian dari apa yang dapat kita lakukan untuk mendidik anak agar mampu menjauhkan diri dari tana’um. Awalnya melatih dan mendidik mereka untuk mampu membelanjakan harta secara bertanggung-jawab sesuai tuntunan syariat. Bersamaan dengan itu anak belajar mengendalikan diri. Bukan menuruti keinginan. Sungguh, cukuplah orangtua dianggap menyengsarakan anak apabila mereka membiasakan anak hidup mudah.

Didik Mere ka Jadi PemberaniJendela keluarga

FOTO

MU

H.

ABD

US

SYA

KU

R