ringkasan penelitian · ringkasan penelitian oktober 2016 2 reality check approach: persepsi...

4
Reality Check Approach: Persepsi Pejabat Desa dan Masyarakat tentang Pengalaman Pelaksanaan Awal Undang-Undang Desa Ringkasan Penelitian Latar Belakang Studi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) memberi mandat untuk mentransfer secara langsung sumber daya keuangan dari pemerintah pusat dan kabupaten ke tingkat desa, untuk pembelanjaan barang dan jasa publik lokal dengan tujuan pendelegasian proses pembuatan keputusan ke tingkat desa. Pada 2015, jumlah transfer rata-rata ke satu desamenggabungkan transfer dari tingkat nasional dan kabupaten– adalah sekitar Rp800 juta (atau 80.000 AUD). Ini sekitar empat kali jumlah dana yang desa kelola sebelum adanya UU Desa. Studi ini dirancang untuk mendapatan pemahaman langsung dari pejabat desa dan masyarakat atas pengalaman-pengalaman awal mereka melaksanakan UU Desa pada tahun pertama, ketika dana desa ditransfer secara langsung ke desa-desa. Di semua lokasi, pejabat desa menceritakan antisipasi yang bercampur dengan kekhawatiran dan kegelisahan. UU Desa baru ini dilihat oleh pejabat desa sebagai tantangan lain dalam serangkaian tantangan baru bagi pemerintahan desa, yang pada umumnya lebih kompleks dari sebelumnya. Pejabat desa menceritakan kepuasaan mereka secara keseluruhan atas pelatihan yang telah mereka terima, walaupun menurut mereka bahasa yang digunakan terlalu teknis dan beberapa merasa akan lebih mendapatkan manfaat dari pembinaan di lapangan dari pada pelatihan di hotel. Rangkuman singkat ini menyimpulkan beberapa implikasi di masa depan berdasarkan perspektif para pejabat desa (selama studi dilakukan pada Desember 2015). Persepsi Masyarakat Terhadap... Undang-Undang Desa Kebanyakan penduduk desa tidak memiliki pengetahuan atau pemahaman apa pun atas UU Desa dan implikasinya, seperti yang tercermin dalam komentar “kami tidak mau berpikir rumit karena hidup kami sudah susah”. Beberapa anggota masyarakat, terutama yang lebih muda dan berpendidikan, mengetahui UU Desa dari TV dan/atau surat kabar karena slogan pemilu 2014 Satu Desa, Satu Milyar’. Banyak pejabat desa yang mengatakan pada kami bahwa walaupun mereka mengetahui pelaksanaan UU Desa, mereka melihatnya sebagai suatu sistem pelaporan kompleks yang mensyaratkan laporan akuntabilitas kuat untuk pemerintahan di tingkat atas, dan tidak melihatnya sebagai suatu peluang untuk pembuatan keputusan yang lebih responsif pada tingkat lokal. “Yang paling penting adalah mengisi formulir-formulir baru” merupakan reaksi dari seorang pejabat desa yang baru saja menerima pelatihan UU Desa. Para pejabat desa mengatakan bahwa mereka sulit memahami pengaturan pendanaan baru dari dana desa. Mereka juga mengatakan bahwa ‘Undang-undang Desa memperlakukan semua desa sama, tapi tidak konteks spesifik’. Desa-desa di studi ini bervariasi jumlah penduduknya dari 30 rumah tangga hingga 3.300 rumah tangga per-desa, dan berada dalam keadaan yang terus menerus berubah dengan penambahan dusun, perubahan populasi dan batas wilayah. Tetapi, terlepas dari konteks dinamis yang bervariasi, mereka memiliki perangkat desa yang sama, dan secara umum, alokasi dana yang sama. November 2016

Upload: others

Post on 31-Oct-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ringkasan Penelitian · Ringkasan Penelitian Oktober 2016 2 Reality Check Approach: Persepsi Pejabat Desa dan Masyarakat tentang Pengalaman Pelaksanaan Awal Undang-Undang Desa “Cukup

Reality Check Approach: Persepsi Pejabat Desa dan Masyarakat tentang Pengalaman Pelaksanaan Awal Undang-Undang Desa

Ringkasan Penelitian

Latar Belakang Studi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) memberi mandat untuk mentransfer secara langsung sumber daya keuangan dari pemerintah pusat dan kabupaten ke tingkat desa, untuk pembelanjaan barang dan jasa publik lokal dengan tujuan pendelegasian proses pembuatan keputusan ke tingkat desa. Pada 2015, jumlah transfer rata-rata ke satu desa–menggabungkan transfer dari tingkat nasional dan kabupaten– adalah sekitar Rp800 juta (atau 80.000 AUD). Ini sekitar empat kali jumlah dana yang desa kelola sebelum adanya UU Desa.

Studi ini dirancang untuk mendapatan pemahaman langsung dari pejabat desa dan masyarakat atas pengalaman-pengalaman awal mereka melaksanakan UU Desa pada tahun pertama, ketika dana desa ditransfer secara langsung ke desa-desa. Di semua lokasi, pejabat desa menceritakan antisipasi yang bercampur dengan kekhawatiran dan kegelisahan. UU Desa baru ini dilihat oleh pejabat desa sebagai tantangan lain dalam serangkaian tantangan baru bagi pemerintahan desa, yang pada umumnya lebih kompleks dari sebelumnya. Pejabat desa menceritakan kepuasaan mereka secara keseluruhan atas pelatihan yang telah mereka terima, walaupun menurut mereka bahasa yang digunakan terlalu teknis dan beberapa merasa akan lebih mendapatkan manfaat dari pembinaan di lapangan dari pada pelatihan di hotel. Rangkuman singkat ini menyimpulkan beberapa implikasi di masa depan berdasarkan perspektif para pejabat desa (selama studi dilakukan pada Desember 2015).

Persepsi Masyarakat Terhadap...Undang-Undang DesaKebanyakan penduduk desa tidak memiliki pengetahuan atau pemahaman apa pun atas UU Desa dan implikasinya, seperti yang tercermin dalam komentar “kami tidak mau berpikir rumit karena hidup kami sudah susah”. Beberapa anggota masyarakat, terutama yang lebih muda dan berpendidikan, mengetahui UU Desa dari TV dan/atau surat kabar karena slogan pemilu 2014 ‘Satu Desa, Satu Milyar’. Banyak pejabat desa yang mengatakan pada kami bahwa walaupun mereka mengetahui pelaksanaan UU Desa, mereka melihatnya sebagai suatu sistem pelaporan kompleks yang mensyaratkan laporan akuntabilitas kuat untuk pemerintahan di tingkat atas, dan tidak melihatnya sebagai suatu peluang untuk pembuatan keputusan yang lebih responsif pada tingkat lokal. “Yang paling penting adalah mengisi formulir-formulir baru” merupakan reaksi dari seorang pejabat desa yang baru saja menerima pelatihan UU Desa. Para pejabat desa mengatakan bahwa mereka sulit memahami pengaturan pendanaan baru dari dana desa. Mereka juga mengatakan bahwa ‘Undang-undang Desa memperlakukan semua desa sama, tapi tidak konteks spesifik’. Desa-desa di studi ini bervariasi jumlah penduduknya dari 30 rumah tangga hingga 3.300 rumah tangga per-desa, dan berada dalam keadaan yang terus menerus berubah dengan penambahan dusun, perubahan populasi dan batas wilayah. Tetapi, terlepas dari konteks dinamis yang bervariasi, mereka memiliki perangkat desa yang sama, dan secara umum, alokasi dana yang sama.

November 2016

Page 2: Ringkasan Penelitian · Ringkasan Penelitian Oktober 2016 2 Reality Check Approach: Persepsi Pejabat Desa dan Masyarakat tentang Pengalaman Pelaksanaan Awal Undang-Undang Desa “Cukup

Ringkasan Penelitian Oktober 2016

Reality Check Approach: Persepsi Pejabat Desa dan Masyarakat tentang Pengalaman Pelaksanaan Awal Undang-Undang Desa2

“Cukup ya Cukup” (Suami seorang Kepala Desa yang tidak setuju atas keinginan istrinya untuk mengikut pemilihan kades lagi)

Kutipan-kutipan dibawah ini menggambarkan akumulasi beban yang dirasakan oleh pejabat desa yang telah berdampak buruk pada kehidupan pribadi dan keluarga mereka.

Kurangnya ruang pribadi: “Saya dapat dihubungi kapan pun dan secara pribadi di rumah saya sendiri”.

Tekanan sosial untuk menerima penunjukkan: “Orang-orang tua di desa mengatakan, ‘Kamu tidak bisa menolak ini [posisi sebagai kepala dusun]. Nanti, keturunan kamu akan dikecualikan dari peluang-peluang tersebut di masa depan’.”

Ekstra hati-hati dalam pengeluaran anggaran:“jika kamu bermain-main dengan dananya, bahkan untuk membeli sebungkus rokok kamu akan masuk penjara, karena pemerintahan Jokowi ingin menghapus korupsi’.

Tekanan untuk melakukan semuanya dengan benar:“ketika kamu menjadi Kepala Desa, kamu punya potensi yang lebih besar untuk melakukan hal yang salah, dari pada melakukan sesuatu yang benar”.

Tekanan pada pekerjaan telah berdampak pada kehidupan keluarga: “Jika kamu ikut pemilihan, saya akan meninggalkan kamu” ujar seorang istri kepala desa. Dua dari delapan kepala desa sedang dapat proses perpisahan dengan istri mereka.

Kompensasi materi tidak setimpal dengan stress: Sebagai jawaban kepala desa terhadap pertanyaan apakah kakak laki-laki kepala desa menginginkan pekerjaannya, “Tidak! Saya mendapatkan uang yang sama atau lebih dari kakak saya dengan bekerja di bidang konstruksi di Bali, dan stressnya jauh lebih sedikit”.

Kesehatan dan kesejahteraan: “Dia selalu sibuk dan orang-orang selalu menemuinya setiap saat” .

Kekhawatiran dan Stres

Gambar 1: Perubahan Peran, Tanggung Jawab dan Keterlibatan Perangkat Desa dalam Komunitas

Perubahan Peran

Gambar di bawah menunjukkan persepsi masyarakat terhadap perubahan peran, tanggung jawab dan keterlibatan dalam komunitas. Beberapa aspek utama yang adalah:

• Peran kepala desa menjadi lebih penting dan menjaga koneksi dengan orang-orang di tingkat kabupaten dan kecamatan sangat diutamakan. Ini berarti lebih sedikit waktu dan keinginan untuk terlibat langsung dengan masyarakat sehingga kegiatan ini telah diturunkan ke kepala dusun. Banyak kepala desa menceritakan tekanan dari beban kerja yang bertambah dan berdampak pada kesehatan serta keluarga mereka

• Kepala dusun merasa mereka mendapat beban lebih untuk menyelesaikan masalah lokal dan memperjuangkan keluhan lokal, selain peran tradisional mereka sebagai penyalur informasi pada masyarakatnya.

• Beban kerja Sekretaris Desa (Sekdes) telah meningkat karena mereka merupakan penghubung utama dengan kabupaten dan digambarkan sebagai “kunci utama

Sebelum UU Desa

Sekdes

KDKDSekdes

KAURKadus

TPK

Sesudah UU Desa

KadusKAUR

BPDBPD

TPK

Peran dan tanggung jawab

Kedekatan dengan komunitas

Segitiga berwarna kabur menunjukkan perbedaan peran dan tanggung jawab yang diperdebatkan

Ukuran lingkaran menunjukkan perubahan yang penting(KD = Kepala Desa, Kadus = Kepala Dusun, KAUR = Kepala Urusan)

Page 3: Ringkasan Penelitian · Ringkasan Penelitian Oktober 2016 2 Reality Check Approach: Persepsi Pejabat Desa dan Masyarakat tentang Pengalaman Pelaksanaan Awal Undang-Undang Desa “Cukup

Ringkasan Penelitian Oktober 2016

desa”. Mereka tidak hanya mengatur beban administrasi yang bertambah karena UU Desa tetapi, karena khawatir atas akuntabilitas, sering kali menjadi satu-satunya yang menandatangani proposal, anggaran dan bukti pembayaran dana.

• Karena khawatir akan membuat kesalahan dan persepsi atas meningkatnya kewaspadaan terhadap Komisi Anti Korupsi “kami khawatir atas KPK”, semua staf terutama staf Kaur takut mengambil keputusan dan telah meninggalkan tanggung jawab mereka sebelumnya.

• Peran, fungsi, dan keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan hal yang paling diperdebatkan dan merupakan sumber kebingungan di semua desa. Di dalam semua lokasi studi, anggota BPD menyatakan bahwa mereka merasa hampir atau tidak memiliki kekuasaan sama sekali, walaupun mereka ingin memenuhi peran mereka dalam pengawasan dan akuntabilitas.

• Tim Pengelola Kegiatan (TPK) (ditemukan di sebagian desa) memiliki peran yang bervariasi dan sering digambarkan sebagai yang cukup berpengaruh dalam menentukan proyek desa dan keuangan.

Prosedur Undang-Undang Desa

Prosedur agar suatu desa dapat menerima dana desa dari kabupaten (atau kecamatan) bervariasi dan umumnya dianggap “lebih kompleks dari sebelumnya”. Walaupun rencananya dilakukan pada awal tahun, tahapan pertama tidak datang hingga bulan Juli 2015 dan beberapa desa masih menunggu di bulan Desember untuk pembayaran tahapan kedua. Pejabat desa berbagi:

• Mereka menyukai dana desa yang langsung ditransfer ke rekening desa, tetapi karena kecamatan harus ‘menyetujui otorisasi pencarian dana’. Mereka mengatakan hal tersebut seperti “memberikan kami kepala, tapi badan dan ekornya masih di Camat”.

• Kriteria pemilihan pendanaan pembangunan desa tidak dipahami dan kebanyakan desa memilih opsi aman, yaitu mendanai jalan desa, terlepas dari apakah hal tersebut merupakan prioritas desa atau bukan. Pejabat desa mengatakan bahwa pembangunan jalan mudah dikelola dan didanai serta memberikan manfaat bagi masyarakat umum sehingga “semuanya senang”. Tetapi ini berarti bahwa prioritas yang lebih penting yang telah diidentifikasi oleh penduduk desa seperti proyek air atau penyediaan ambulans atau bahan bakar telah diabaikan.

• Proses persetujuan pencairan dana tidak jelas dan menghabiskan waktu sekitar dua bulan, membutuhkan banyak sekali tanda tangan dan umumnya dianggap sukses “hanya ketika uang suapnya ok”.

Pejabat desa menceritakan tentang apa yang membingungkan dan membutuhkan informasi lebih lanjut:

• pengumpulan dana Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) dan apa yang boleh dan tidak boleh digunakan untuk dana tersebut;

3

• formula alokasi dana terutama alasan pembagian dana yang berbeda ke desa yang berbeda, karena variasi ukuran dan kebutuhan desa;

• apa tujuan penggunaan atau alokasi dana nasional, kabupaten dan lokal;

• proses resmi dalam mengakses tahapan pembagian dana desa;

• apa mekanisme keluhan untuk layanan kabupaten dan kecamatan;

• peran fasilitator desa dan apa yang dapat mereka harapkan dalam hal bantuan dan frekuensi kunjungan; dan

• status sekretaris desa kedepannya, sebagai karyawan desa atau pegawai negeri sipil.

Pengumpulan Data

Beberapa pejabat desa merasa permintaan yang datang terus menerus untuk memperbarui data desa sangat membebani. Tugas itu datang dari “atas” serta tugas tersebut diharapkan untuk selesai tanpa “tunjangan” yang tepat waktu dari kabupaten. Pejabat desa merasa frustasi bahwa walaupun mereka mengirimkan data terbaru setiap bulan dan setiap tahun seperti yang diminta, “tidak ada program yang menggunakan data yang kami kirimkan”. Penggunaan data lama yang tidak mewakili kondisi sebenarnya menciptakan ketegangan antara penduduk desa dan pejabat desa. Sebagai contoh, seorang pejabat desa mengatakan bahwa dia “tidak dapat menjelaskan data” kepada warga yang kesal yang tidak dimasukkan ke dalam daftar untuk bantuan sosial.

Pelatihan yang Mereka Terima dari Pemerintah Pusat

Berjalan dengan Baik:• Bahwa pelatihan memuaskan dalam hal memberikan

pemahaman mendasar mengenai kepatuhan pada prosedur pelaporan yang baru.

• Pejabat desa menyatakan kelegaan mereka ketika para pelatih menjamin bahwa “apapun kemajuan yang kami capai tahun ini akan diterima karena ini merupakan tahun pertama – pelatih mengatakan kepada kami bahwa masih banyak masalah dari Jakarta”.

• Bahwa mereka mendapatkan salinan buku panduan dan formulir pelaporan.

• Bahwa mereka telah mendapatkan uang transportasi dan uang tunjangan (per diem) yang cukup banyak untuk menghadiri pelatihan UU Desa

• Bahwa jaringan informal pejabat desa mampu menggantikan sistem pasca pelatihan formal yang tidak berjalan dengan baik. Melalui jaringan informasi tersebut mereka berbagi dokumen dan format pelaporan, terutama antara mereka yang telah berhasil menjalani proses persetujuan dan audit dengan mereka yang masih kesulitan menghadapi proses tersebut.

Reality Check Approach: Persepsi Pejabat Desa dan Masyarakat tentang Pengalaman Pelaksanaan Awal Undang-Undang Desa

Page 4: Ringkasan Penelitian · Ringkasan Penelitian Oktober 2016 2 Reality Check Approach: Persepsi Pejabat Desa dan Masyarakat tentang Pengalaman Pelaksanaan Awal Undang-Undang Desa “Cukup

Ringkasan Penelitian Oktober 2016

Institusi Penelitian: The Reality Check Approach

The Reality Check Approach (RCA) adalah sebuah pendekatan kuali-tatif yang diakui secara internasional dan telah digunakan di beberapa Negara sejak tahun 2007. Pendekatan ini melibatkan peneliti untuk tinggal langsung di rumah masyarakat yang hidup dengan kemiski-nan dan orang-orang yang menyediakan pelayanan kepada mereka (seperti kepala desa dan pamong desa dalam studi ini) di mana tim peneliti mengikuti kehidupan sehari-hari mereka. Lingkungan yang santai mendukung percakapan informal antara kami dengan keluarga, tetangga dan masyarakat lainnya. Pendekatan ini juga memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mengalami dan mengamati realitas kehidupan keluarga secara langsung serta menghasilkan informasi yang dalam bagi refleksi kita bersama-sama.

Laporan lengkap studi ini dapat diakses di situs KOMPAK dan RCA.

Kedepannya

• Suara yang lebih muda untuk perubahan: Generasi muda sering kali cukup terlibat dalam isu-isu pemerintahan desa (lebih dari generasi yang lebih tua) dan ingin memilih jenis pemimpin yang berbeda yang mereka pikir “adil, terbuka dan jujur” dan bukan dari dinasti elit yang telah mendominasi kepemimpinan desa di masa lalu. Lebih jauh lagi, Pejabat desa sering kali mempekerjakan staf muda untuk mengelola entri data berbasis komputer dan kebanyakan formulir baru yang disyaratkan oleh UU Desa, dan berkata bahwa mereka sendiri tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan.

• Klarifikasi dan pemberdayaan peran BPD: Terdapat pendapat yang berbeda atas peran BPD dengan sebagian orang merasa bertentangan dengan BPD, sementara yang lain menyadari bahwa mereka dapat memberikan dukungan dan mengawasi masyarakat. Beberapa yang memiliki pendapat terakhir tersebut termasuk anggota BPD. Mereka merasa bahwa BPD harus diberdayakan serta peran serta tanggung jawabnya harus diperjelas.

• Pertemuan/diskusi informal dari pada formal: Penduduk tidak membaca informasi yang ada di papan pengumuman desa. Penduduk juga tidak menyukai pertemuan formal dan lebih menyukai peluang-peluang informal untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di desa, terutama di sore hari di teras terbuka yang ada di mana-mana. Secara khusus, ini adalah tempat kepala dusun berbincang-bincang dengan masyarakat desa.

• Meninjau peran dan tanggung jawab pemerintah desa: Pejabat desa masih bingung atas peran baru mereka dan bagaimana pembagian tugas seharusnya dilakukan. Mereka merasa perlu untuk meninjau peran dari berbagai anggota pemerintahan desa dan memastikan bahwa kerja dan tanggung jawab (dan khususnya akuntabilitas) dibagikan secara merata.

Berjalan dengan Kurang Baik:• Pelatihan diberikan terlambat pada tahun itu (“dana telah

didistribusi pada bulan Juli dan kami hanya mendapat pelatihan pada bulan November”).

• Pelatihan dianggap terlalu teknis dengan terlalu banyak istilah dan pemerintah desa mengatakan mereka membutuhkan panduan yang sederhana dan informasi dasar untuk membantu mereka dalam tugas sehari-harinya.

• Pejabat desa frustasi karena peraturan dan proses terus berubah seperti yang ditandai dengan salah seorang bendahara yang memohon “tolong jangan ganti lagi tahun depan”.

• Banyak yang tidak menghadiri seluruh jadwal pelatihan, meninggalkan pelatihan lebih cepat pada sore hari untuk pulang sebelum terlalu gelap atau, dalam beberapa kasus tidak mengikuti pelatihan hari terakhir, walaupun mereka telah disediakan kamar hotel untuk menginap.

• Beberapa menceritakan bahwa mereka menginginkan pelatihan tidak dilakukan di hotel tetapi lebih menyukai pelatihan diberikan di lapangan melalui pembinaan atau mentoring. Seperti yang dijelaskan oleh salah satu bendahara, “apa yang kami inginkan adalah mentor administratif di kantor desa, dukungan yang bersahabat dan seseorang yang dapat memberikan arahan jika kami tidak mengerti”.

4

KOMPAKJalan Diponegoro No. 72, Jakarta 10320 Indonesia

T: +62 21 8067 5000 F: +62 21 3190 3090

E: [email protected]

www.kompak.or.id

5 provinsi

8 desa (tertinggal dan tidak tertinggal)

Tinggal bersama:

• 7 keluarga Kepala Desa (termasuk Kepala Desa perempuan);

• 10 keluarga pejabat desa;

• 12 keluarga lainnya, terutama yang hidup dalam kemiskinan.

Berinteraksi dengan:

• 162 pejabat desa;

• 2.600 masyarakat desa.

Siapa Saja yang Terlibat di dalam Studi Ini?

Reality Check Approach: Persepsi Pejabat Desa dan Masyarakat tentang Pengalaman Pelaksanaan Awal Undang-Undang Desa