refrat demam tifoid kel 3

57
REFERAT DEMAM TIFOID Daftar Isi HALAMAN JUDUL …………………………………………………………. i DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. ii BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… 3 II. Demam Tifoid ……………………………………………………….7 2.1 Definisi ……………………………………………………...22 1

Upload: doublejayd

Post on 04-Dec-2015

48 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Refrat Demam Tifoid Kel 3

TRANSCRIPT

Page 1: Refrat Demam Tifoid Kel 3

REFERAT

DEMAM TIFOID

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………. i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. ii

BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… 3

II. Demam Tifoid ……………………………………………………….7

2.1 Definisi ……………………………………………………...22

2.2 Etiologi…………………………………… ………………....23

1

Page 2: Refrat Demam Tifoid Kel 3

2.3 Patofisiologi …………………………………………………25

2.4 Gejala Klinis…………………………………………………29

2.5 Diagnosis …………………………………………………...30

2.6 Penatalaksanaan ……………………………………………..31

2.7 Komplikasi………………………………………………….34

2.8 Prognosis ……………………………………………………35

III. DAFTAR PUSTAKA ……………………………….…………………………57

2

Page 3: Refrat Demam Tifoid Kel 3

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini

mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan

wabah. Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa.

Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembangunan yang baik, dan

ini belum dimilki sebagian besar Negara berkembang.

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella

enterica serovar typhi (S. typhi). Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C

juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan

paratiroid termasuk ke dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari

demam enterik adalah demam tifoid. Demam tifoid juga masih menjadi tropik yang

sering diperbicangkan.

Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa

dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat

ini belum dimiliki oleh sebagian besar Negara berkembang. Secara keseluruhan,

3

Page 4: Refrat Demam Tifoid Kel 3

demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian

pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per

tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika

Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di

Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia

Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di

bagian dunia lainnya.

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di

Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan

frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di

Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah

penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam

tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan, di

daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah

urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.

Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air

bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah

yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Case Fatality Rate ( CFR)

demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia.

Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen

4

Page 5: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10

penyakit dengan mortalitas tertinggi.

Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir

untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di

air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah

terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemic, infeksi paling

banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang

infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan

melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses. Di Indonesia, insidens

demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Selain itu,

demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tetangga, yaitu adanya

anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk

mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya

tempat buang air besar dalam rumah.

5

Page 6: Refrat Demam Tifoid Kel 3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan Salmonella enteric

serotype typhi atau paratyphi. Nama lain penyakit ini adalah enteric fever, tifus, dan

paratifus abdominalis. Tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau

urin) mengandung S.typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid tanpa gejala klinis.

2.2. Etiologi

Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi

bioserotipe A, B, atau C. Kedua spesies Salmonella ini berbentuk batang, berflagel,

aerobic, serta Gram negatif.

2.3. Patogenesis dan patofisiologi

Masuknya kuman saluman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi

(S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi.

Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus

6

Page 7: Refrat Demam Tifoid Kel 3

dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus

kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel lamina propia kuman

berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya

dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesenterika. Selanjutnya melalu ductus torasikus kuman yang terdapat didalam

makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bacteremia pertama

yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retokuloendotelial tubuh terutama

hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian

berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam

sirkulasi darah lagi mengakibatkan bacteremia yang kedua kalinya dengan disertai

tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.

Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam

sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena

makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagosit kuman Salmonella

terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan

gejala reaksi inflamasi sistemi seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit

perut, gangguan vascular, mental, dan koagulasi.

7

Page 8: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia

jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi rekasi hipersensitivitas tipe lambat,

hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi

akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan

hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis

jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat

mengakibatkan perfosa.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiateik, kardiovaskular, pernafasan,

dan gangguan organ lainnya.

2.4. Gejala Klinis

Demam tifoid memiliki masa inkubasi antara 10 sampai 14 hari, gejala yang

timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat. Pada minggu pertama, ditemukan

keluhan dan gejala yang serupa dengan penyakit infeksi akut yaitu demam, nyeri

kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan

tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.

8

Page 9: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan yang meningkat. Sifat demam

adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari. Pada

minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia

relative( peningkatan suhu 10 Celcius tidak diikuti peningkatan nadi 8 kali per

menit). Lidah yang berselaput ( kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor).

Hepatomegali, splenomegali, meteroismus gangguan mental berupa somnolen,

sopor, koma, delirium, atau psikosis.

2.5. Diagnosis

2.5.1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan

leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis

dapat terjadi walupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat ditemukan

anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat

terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat

meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi

normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan

khusus. Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur organisme.

Sampai sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam penegakkan diagnosis.

9

Page 10: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat

dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih

baik dari antara lain uji TUBEX, Typhidot dan dipstick.

Uji Widal

Dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi. pada uji widal

terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody yang

disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella

yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium, maksud uji widal adalah untuk

menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:

a) Aglutinin O (dari tubuh kuman)

b) Aglutinin H (Flagela kuman)

c) Aglutinin Vi (Simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan

terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama

demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-

empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul

aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh

aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap

10

Page 11: Refrat Demam Tifoid Kel 3

lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan

kesembuhan penyakit.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:

1) Pengobatan dini dengan antibiotic

2) Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid

3) Waktu pengambilan darah

4) Daerah endemik atau non-endemik

5) Riwayat vaksinasi

6) Reaksi anamnestic, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan

demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi

7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan

strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna

diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan

saja, hanya berlaku setemapt dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai

laboratorium setempat.

UJI TUBEX

Merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan

mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-S.typhi O9 pada serum

11

Page 12: Refrat Demam Tifoid Kel 3

pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada

pertikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada

partikel magnetic latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi

Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi

oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif.

Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat

merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis

sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap anti-gen

O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini,

yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder.

Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat

mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk

mendeteksi infeksi lampau.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen,

meliputi :

1) Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas

2) Reagen A, yang mengandung partikel magnetic yang diselubungi dengan

antigen S.typhi O9

12

Page 13: Refrat Demam Tifoid Kel 3

3) Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi

dengan antibodi monoclonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan

prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum dicampurkan ke dalam tabung

dengan satu tetes A.

Setelah itu, dua tetes reagen B ditambahkan kedalam tabung. Tabung-tabung

tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar

selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan

warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan.

Berdasarkan warnalah dapat ditentukan skor. Konsep pemeriksaan ini dapat

diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak mengandung antibody terhadap O9,

reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung

medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan

tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh

reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya

merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibody

terhadap O9, antibody pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen

B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan.

Berdasarkan dari beberapa penelitian, Uji ini memiliki sensitivitas dan spesivitas

yang baik

Uji Typhidot.

13

Page 14: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada

protein membrane luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-

3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan

IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.

Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar 76,7% dan efisiensi uji

sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk. Penelitian lain

didapatkan sensitifitas dan spesifitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79%

dan 89% dengan 78% dan 89%.

Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan

sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga

pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut

dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi

masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG

pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M,

memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum

pasien. Uji Typhidot-M memberikan hasil lebih sensitive (sensitivitas mencapai

100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur,

Uji IgM Dipstick

14

Page 15: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S.typhi pada specimen

serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen

lipopolisakarida (LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai control). Reagen deteksi yang

mengandung antibody anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan

membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji.

Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-250C

di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi

strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu

kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara

semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya

dengan reference strip. Garis control harus terwarna dengan baik. Pemeriksaan ini

mudan dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun

akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya

gejala.

Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil

negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa

hal sebagai berikut:

15

Page 16: Refrat Demam Tifoid Kel 3

1) Telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah

telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam biakan terhambat dan

hasil mungkin negatif

2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc). bila darah yang

dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya

secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall)

untuk pertumbuhan kuman

3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibody dalam

darah pasien. Antibody (aglutinin) ini dapat menekan bacteremia hingga

biakan darah dapat negative

4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin

meningkat

2.6. Penatalaksanaan

2.6.1. Penatalaksanaan Umum

Trilogi penatalaksanaan demam tiroid :

1. Istirahat dan perawatan

Tirah baring dan perawatan bertujuan untuk mencegah komplikasi dan

mempercepat penyembuhan. Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat

tidr, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk

16

Page 17: Refrat Demam Tifoid Kel 3

mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorang perlu

diperhatikan dan dijaga.

2. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)

Diet dan terapi penunjang bertujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan

pasien secara optimal. Penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian

ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, perubahan diet

disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring

bertujuan menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.

Beberapa peniliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi

dengan pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayur berserat) dapat

diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.

3. Pemberian antimikroba

Pemberian antimikroba bertujuan menghentikan dan mencegah penyebaran

kuman. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan, yaitu :

1. Kloramfenikol

Kloramfenikol masih menjadi obat pilihan dalam pengobatan demam tifoid.

Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari dapat diberikan secara

peroral atau intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas panas. Penyuntikan

17

Page 18: Refrat Demam Tifoid Kel 3

intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat

diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan

obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7.2 hari.

2. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol hamper sama dengan kloramfenikol dengan

komplikasi hematolgi seperti anemia aplastic lebih rendah dibandingkan

dengan pemberian kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg dan

demam turn pada hari ke 5 sampai 6.

3. Kotrimoksazol

Dosis dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400

mg dan 80 mg trimetroprim) diberikan selama 2 minggu.

4. Ampisilin dan amoksisilin

Kemampuan dalam menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan

menggunakan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan antara 50-150 mg/kgBB

dan digunakan selama 2 minggu.

5. Sefalosporin generasi III

18

Page 19: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Golongan sefalosporin generasi III yang efektif untuk demam tifoid adalah

seftriakson dengan dosis antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan

selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 sampai 5 hari.

6. Florokuinolon

Sediaan florokuinolon yang dapat digunakan :

- Norfloksasin 2 x 400 mg/ hari selama 14 hari

- Siprofloksasin 2 x 50 mg/hari selama 6 hari

- Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

- Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari

- Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari

- Levofloksasin 1 x 500 mg/hari selama 5 hari

7. Azitromisin

Azitromisin 2 x 500 mg. Jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin

secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap. Jika

dibandingkan dengan seftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi

angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan

19

Page 20: Refrat Demam Tifoid Kel 3

yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Azitromisin

tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena.

Kombinasi obat antibiotika

Kombinasi 2 antibiotika maupun lebih diindikasikan hanya pada keadaan

seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, serta syok septik.

Kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid

dengan syok septik dengan deksametason 3 x 5 mg.

Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karna dapat

terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome neonates.

Sedangkan tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester 1 karena bersifat teratogenik

terhadap fetus. Obat fluoorokuinolon dan kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk

mmengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan

seftriakson.

20

Page 21: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Indikasi demam tifoid dilakukan perawatan di rumah atau rawat jaan :

1. Pasien dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi serta

tidak ada komorbid yang membahayakan.

2. Pasien dengan kesadaran baik dan dapat makan minum dengan baik.

3. Pasien dengan keluarganya cukup mengerti tentang cara-cara merawat serta

cukup paham tentang petanda bahaya yang akan timbul dari tifoid.

4. Rumah tangga pasien memiliki atau dapat melaksanakan system pembuangan

ekskreta (feses, urin, muntahan) yang memenuhi syarat kesehatan

5. Dokter bertanggung jawab penuh terhadap pengobatan dan perawatan pasien.

6. Dokter dapat memprediksi pasien tidak akan menghadapi bahaya-bahaya yang

serius

7. Dokter dapat mengunjungi pasien setiap hari. Bila tidak bisa harus diwakili oleh

seorang perawat yang mampu merawat demam tifoid

8. Dokter mempunyai hubungan komunikasi yang lancer dengan keluarga pasien

Konseling dan Edukasi

Edukasi pasien tentang tata cara:

21

Page 22: Refrat Demam Tifoid Kel 3

1. Pengobatan dan perawatan serta aspek laindari demam tifoid yang harus diketahui

pasien dan keluarganya

2. Diet, pantahapan mobilisasi, dan konsumsi oat sebaiknya diperhatikan atau dilihat

langsungoleh dokter, dan keluarga pasien telah memahami serta mampi

melaksanakan

3. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu kepada pasien dan keluarga supaya bisa

segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk perawatan

Pendekatan Community Oriented

Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat tentang aspek pencegahan

pengendalian demam tifoid, melalui:

1. Perbaikan sanitasi lingkungan

2. Peningkatan hygiene makanan dan minuman

3. Peningkatan hygiene perorangan

4. Pencegahan dengan imunisasi

Kriteria rujukan :

22

Page 23: Refrat Demam Tifoid Kel 3

1. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan

2. Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan

3. Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak mencukupi.

2.6.2. Penatalaksanaan pada Demam Tifoid Karier

Definisi tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)

mengandung S. tyhpi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai gejala

klinis. Kasus tifoid dengan kuman S.typhi masih dapat ditemukan di feses atau urin

selama 2-3bulan disebut karier pasca-penyembuhan. Tifoid karier tidak menimbulkan

gejala klinis. (asimtomatik) dan 25% kasus menyangkal adanya riwayat sakit demam

tifoid akut. Pada beberapa penelitian dilaporkan pada tifoid karier sering disertai

infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat pemingkatan resiko terjadinya

karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal, karsinoma pancreas, karsinoma

paru, dan keganasan di bagian organ atau jaringan lain

Peningkatan faktor resiko tersebut berbeda dengan populasi pasca ledakan

kasus luar biasa demam tifoid, hal ini diduga faktor infeksi kronis sebagai faktor

resiko terjadinya karsinoma dan bukan akibat infeksi tifoid akut.

23

Page 24: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Imunitas seluler diduga punya peranan penting. Hal ini dibuktikan bahwa pada

penderita sickle cell disease and systemic lupus eritematosus (SLE) maupun penderita

AIDS bila terinfeksi Salmonella maka akan terjadi bacteremia yang berat. Pada

pemeriksaan inhibis migrasi leukosit (LMI) dilaporkan terdapat penurunan respon

reaktivitas seluler terhadap Salmonella typhi, meskipun tidak ditemukan penurunan

imun selular dan humoral. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan

bermakna pada sistemimunitas humoral dan selular serta respons limfosit terhadap

Salmonella typhi antara pengidap tifoid dengan kontrol . pemeriksaan respons imun

berdasarkan serologi antibodi IgG dan IgM terhadap Salmonella typi antara tifoid

karier disbanding tifoid akut tidak berbeda bermakna.

Diagnosis demam tifoid karier

Diagnosis demam tifoid karier ditegakkan atas dasar ditemukannya kuman

Salmonella typhi pada biakan feses ataupun urin pada seseorang tanpa tanda klinis

infeksi pada seseorang setelah 1 tahun pasca demam tifoid. Dinyatakan bukan

demam tifoid karier bila setelah dilakukan biakan secara acak serial minimal 6 kali

pemeriksaan tidak ditemukan kuman S. typhi.

Sarana lain untuk menegakkan diagonis adalah pemeriksaan serologi Vi,

dilaporkan 75% dan spesifitas 92% bila ditemukan kadar titer antibodi Vi sebesar

160.

24

Page 25: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Penatalaksanaan Tifoid Karier

Kesulitan eradikasi kasus karier dengan ada tidaknya batu empedu. Kasus

karier ini juga meningkat pada seseorang yang terkena infeksi kronis pada saluran

empedu. Kasus karier ini juga meningkat pada seorang yang terkena infeksi kronis

saluran kencing, batu, striktur, hidronefrosis, dan tuberculosis maupun tumor di

traktur urinarius. Oleh karena itulah inseidens tifoid karier meningkat pada wanita

maupun usia lanjut karena adanya faktor tersebut diatas

2.7 Komplikasi

2.7.1 Komplikasi Intestinal

2.7.1.1 Perdarahan Intestinal

Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk

lonjong dan memanjang terhadap usus. Bila luka menembus lumen usus dan

mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak

menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,

perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan

kedua faktor. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok.

Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan

25

Page 26: Refrat Demam Tifoid Kel 3

sebanyak 5ml/kg/bb dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan

terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%. Bila transfusi tidak dapat

mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

2.7.1.2 Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada

minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum

yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri

perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian ke

seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda bising usus melemah pada 50%

penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas

diabdomen. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan

bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran kekiri dapat menyokong adanya

perforasi.

Bila ada gambaran foto polos abdomen (BNO/3posisi) ditemukan udara pada

rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang

cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor

yang meningkatkan kejadian perforasi adalah umur, lama demam, modalitas

pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.

26

Page 27: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Antibiotic yang diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati S.typhi tetapi

juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobic. Umumnya

diberikan antibiotik spectrum luas dengan kombinasi kloramfenicol dan ampisilin

intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazole. Cairan

harus diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.

2.7.2. Komplikasi Ekstra Intestinal

2.7.2.1 Komplikasi Hematologi

Komplikasi hematologi berupa trombositopenia hipofibrinogenemia,

peningkatan prothrombine time, peningkatan partial thromboplastin time,

peningkatan fibrin degradation products sampai Koagulasi Intravascular Diseminata

(KID). Trombositopenia dapat terjadi karena menurunnya produksi trombosit

sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di

sistem retikuloendotelial.

Penyebab KID pada demam tifoid masih belum jelas. Hal-hal yang sering

dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan sistem koagulasi dan fibrinolisis.

Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamine menyebabkan vasokonstriksi dan

kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan

koagulasi KID kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi KID dekompensata

27

Page 28: Refrat Demam Tifoid Kel 3

dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan atau faktor-faktor koagulasi

bahkan heparin.

2.7.2.2. Hepatitis Tifosa

Pembengkakan hati ringan sampai sedang dapat dijumpai pada 50% kasus

dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai pada S.typhi daripada S.paratyphi.

Untuk membedakan apakah hepatitis ini karena tifoid, virus, malaria, atau amuba

maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan perlu

histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan

dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan hepatitis karena virus).

Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang

kurang. Meskipun sangat jarang, kompilasi hepatoensefalopati dapat terjadi.

2.7.2.3. Pankreatitis Tifosa

Pankreatitis tifosa merupakan komplikasi yang bisa dijumpai pada demam

tifoid. Pankreatitis dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi. Pankreatitis sendiri

disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat

farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-Scan

dapat membantu diagnosis ini dengan akurat.

28

Page 29: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis pada

umumnya, antibiotic yang diberikan adalah antibiotic intravena seperti seftriakson,

atau kuinolon.

2.7.2.4. Miokarditis

Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan

elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis

biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada., gagal

jantung kongestif, aritmia atau syok kardiogenik. Perubahan elektrokardiografi yang

menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan

kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis sebagai penyebab

kematian.. biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat pada infeksi keadaan akut.

2.7.2.5 Manifestasi Neuropsikiatrik/Toksik Tifoid

Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa gejala

kejang, semi koma atau koma, Parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindrom

otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut,

hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polioneuritis parifer, sindeom Guillain-Barre,

dan psikosis.

Gejala tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan

kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, spoor, atau koma)

29

Page 30: Refrat Demam Tifoid Kel 3

dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan

otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti

disebut sebagai toksik tifoid atau demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, ayau

demam tifoid dengan toksemia.

Semua kasus toksik tifoid, dianggap sebagai demam tifoid berat, langsung

diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x500mg ditambah ampisilin

4x1gram dan deksametason 3x5mg.

2.8 Pencegahan

Secara garis besar, terdapat 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi

tifoid, yaitu :

1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien demam tifoid

asimtomatik, karier, dan akut.

Tindakan ini cukup sulit serta memerlukan biaya yang cukup besar baik ditinjau

dari pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif

dengan mendatangi sasaran maupun secara pasif menunggu bila ada penerimaan

pegawai di suatu instasi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada

populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan-minman baik tingkat usaha

30

Page 31: Refrat Demam Tifoid Kel 3

rumah tangga, restoran, hotel, sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran

lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas

kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.

2. Pencegahan transmisi langdung dari pasien terinfeksi S.typhii akut maupun karier

Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan

sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman Salmonella typhi.

3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi

Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah

endemic maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahna endemis

atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan

peroragan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko yaitu

golongan imunokompromais maupun golongan rentan.

Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu :

1. Daerah non endemic. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic.

a. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

b. Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjualan makanan-minuman

c. Pencarian dan pengobatan kasus demam tifoid karier.

31

Page 32: Refrat Demam Tifoid Kel 3

2. Bila ada kejadian epidemic tifoid.

a. Pencarian dan eliminasi sumber penularan.

b. Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus

c. Penyulugan hygiene dan sanitasi pada sanitasi populasi umum daerah tersebut

3. Daerah endemic

a. Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi

standar prosedur kesehatan (perebusan >570 C, iodisasi, dan klorinisasi)

b. Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,

menjauhi makanan segar (sayur dan buah)

c. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.

Vaksinasi

Vaksinasi pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektivitas

vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO) dan sebesar

67% (Universitas Maryland) bila terpapar 107 bakteri.

Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah

lain. Indikasi vaksinasi adalah 1). Hendak mengunjungi daerah endemik, risiko

32

Page 33: Refrat Demam Tifoid Kel 3

terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin,

Asia, Afrika), 2). Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan 3). Petugas

laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

Jenis Vaksin

Vaksin oral: Ty21a (vivotif Berna). Belum beredar di Indonesia.

Vaksin parenteral: ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul

polisakarida.

Pemilihan Vaksin

Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna

menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia

sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, dilaporkan insidens turun 53% pada >10

tahun sedangkan anak usia 5-9 tahun insidens turun 17%.

Vaksin parenteral non-aktif relative lebih sering menyebabkan reaksi efek

samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis

vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS

(Typhim Vi).

33

Page 34: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Indikasi vaksinasi

Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko yang

berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya:

Populasi: anak usia sekolah di daerah endemic, personil militer, petugas

rumah sakit, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman.

Individual: pengunjung/wisatawan ke daerah endemik, orang yang kontak erat

dengan pengidap tifoid (karier).

anak usia 2-5 tahun toleransi dan respons imunologisnya sama dengan anak

usia lebih besar.

Kontraindikasi Vaksinasi

Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang

alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena

sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria (klorokuin,

meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan

vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat

sulfonamid atau antimikroba lainnya.

Efek Samping vaksinasi

34

Page 35: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%, sakit

kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil (demam 0,25%;

malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri local 17%). Efek samping

terbesar pada vaksin parenteral adalah heat-phenol inactivated, yaitu demam 6,7-

24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi local nyeri dan edema 3-35% bahkan reaksi

berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi meskipun

sporadic dan sangat jarang terjadi.

Efektivitas Vaksinasi

Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS

terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari-3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun.

Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemic (Nepal) dan sebesar 60%

untuk daerah hiperendemik.

2.9 Prognosis

Vitam : Bonam

Fungsionam : Bonam

Sanationam : Dubia ad bonam (penyakit dapat berulang)

Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada tidaknya

komplikasi, dan pengobatannya.

35

Page 36: Refrat Demam Tifoid Kel 3

Daftar Pustaka

Panduan praktik klinis bagi dokter pelayanan primer

1. Altıntepe, Gezginç, Tonbul. Etiology and prognosis in 36 acute renal failure

cases related to pregnancy in central anatolia. Eur J Gen Med 2005; 2(3): 110-

113.

36

Page 37: Refrat Demam Tifoid Kel 3

2. Aspelin P, Aubry P, Fransson sg. Efek nefrotoksik pada pasien risiko tinggi

yang menjalani angiografi. NEJM 2006; 348 (6): 491.

3. Boediwarsono.Gagal ginjal akut. segi praktis pengobatan penyakit

dalam.Surabaya : Penerbit PT Bina Indra Karya 1985.

4. Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci. Harrison's Principles

of Internal Medicine 16th Edition. USA : McGraw-Hill, 2004.

5. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit

Dalam UPH.

6. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentang

Pedoman Pengendalian Demam Tifoid

7. Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, editors.

Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI, 2006.

8. Nissenson. Epidemiology and pathogenesis of acute renal failure in the ICU.

Kidney International 1998; 53; 7-10.

9. Rahardjo, J.Pudji. Kegawatan pada Gagal Ginjal. Penatalaksanaan

Kedaruratan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat infomasi dan

Penerbitan FKUI 2000.

10. Sherwood, L. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Edisi 2.

Jakarta: EGC: 2001: Bab 14: 161-186.

37

Page 38: Refrat Demam Tifoid Kel 3

11. Stapleton FB, Jones DP, Green RS. Acute renal failure in neonates: Incidence,

etiology and outcome. Pediatr Nephrol 1987; 1; 314-320.

12. Stein,Jay H. Kelainan ginjal dan elektrolit. panduan klinik ilmu penyakit

dalam.edisi ke-3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001.

13. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku

ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2006

14. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jilid II. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 – 1040

15. Takaoka, Kuro, Matsumura. Role of endothelin in the pathogenesis of acute

renal failure. Drug News Perspect 2000, 13(3): 141.

38