radikaslisme agama

Upload: agus-widiyono

Post on 05-Jul-2015

1.348 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Radikalisme Agama dan Problem KebangsaanPosted by Mh. Nurul Huda on 26 November 2006 1 Votes Bangkitnya gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern. Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespons nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini. Tidak seperti di negara-negara Eropa Barat di mana kesadaran nasional berakar, tumbuh, dan berkembang dari perlawanan terhadap kekuasaan feodal dan negara absolut, gelombang nasionalisme di Asia, Afrika, dan negara-negara Muslim di Semenanjung Arab, Timur Tengah, lahir justru dari perlawanan terhadap kolonialisme Eropa. Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis sehingga hadirnya ideologi nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami ketegangan yang tajam, bahkan perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya. Di samping realitas masyarakatnya yang sangat plural, dipertentangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler modern dengan universalisme tatanan berdasar agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan. Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern di negara-negara Muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus. Dan, kondisi ini diperparah oleh krisis yang dialami negara-bangsa sendiri berikut kelemahan-kelemahannya yang mendasar, serta kenyataan akan minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat. Krisis negara-bangsa umumnya dipicu oleh fakta bahwa ia lebih berperan sebagai Republic of Fear, meminjam istilah Samir al-Khalil, yang melakukan pemaksaan dan penyeragaman seluruh entitas etnis dan budaya lokal dalam entitas lain yang bernama identitas nasional, hal mana telah mengakibatkan legitimasi negara-bangsa begitu lemah. Demikian juga kenyataan sosial yang sangat plural dan tanpa kesadaran berdemokrasi telah menciptakan persaingan antar-etnis, dan sektarianisme yang tak terelakkan untuk memperebutkan akses politik dan ekonomi. Celakanya, civil society sebagai komunitas politik di mana masyarakat membagi norma-norma dan nilai-nilai guna membangun konsensus bersama atas dasar kemajemukan, kebebasan, dan kesetaraan, ternyata demikian rapuh.

Konsekuensinya, ketidakmampuan negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratis dan menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakan fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untuk mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai demokrasi sekuler, yang dianggap sebagai biang berbagai krisis tersebut, dengan tatanan Islam. (Bassam Tibi, 1998) *** Radikalisme agama sebagai fenomena yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah laskar atau organisasi berlabel agama yang diduga menciptakan kekacauan dan teror, eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor-faktor tersebut di atas: krisis kebangsaan dan minimnya basis kultural demokrasi. Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kesadaran nasional mengenai Indonesia lebih dominan dibangun oleh perekat politik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom identias nasional tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya. Pola penyeragaman demikian itu, khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, telah mengebiri dan memandulkan proses kreativitas dan emansipasi kesadaran masyarakat. Lalu, ketika keran kebebasan dan demokratisasi terbuka lebar, tuntutan akan pemberdayaan dan partisipasi politik rakyat makin membesar, dan seiring dengan itu muncul pula gerakan penegasan identitas komunal masyarakat, seperti etnisitas, budaya lokal, dan terutama gerakan fundamentalisme agama. Meski demikian, ketidakadilan sosial dan krisis negara-bangsa ini bukanlah faktor tunggal suburnya gerakan-gerakan radikalisme agama. Ada faktor terpenting yang tidak bisa diabaikan, sebagaimana diutarakan Ketua PBNU, Hasyim Muzadi, beberapa hari lalu (Kompas, 3/11/2002), yaitu penerapan ajaran-ajaran agama yang mengabaikan aspek sosio-kultural masyarakat setempat. Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas dengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam beragama. *** Dalam perspektif historis, radikalisme agama di Tanah Air adalah warisan dari ketidakmampuan sebagian kelompok Islam menegosiasikan dogma dan doktrin keagamaannya dengan realitas sosial dan kebutuhan masyarakat tentang pentingnya wawasan kebangsaan sebagai entitas yang menjamin pluralisme. Antagonisme politik dan

ideologis antara Islam dan negara ini, dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elite politik terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. (Bahtiar Effendy, 2001) Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi intelektualisme baru Islam dewasa ini, proses reproduksi Islam radikal pun terlihat tidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema ideologis yang diusung kalangan Islam radikal yang lebih vulgar, yang memfokuskan gerakannya pada empat agenda utama: mendirikan negara Islam dan menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan. Hebatnya, gerakan para aktivis Islam radikal ini telah memasuki ruang beberapa partai-partai politik Islam di Tanah Air.(Lihat penelitian Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, 2002) Di sini tampak jelas bahwa sebagian kalangan Islam masih memosisikan secara dikotomis dan antagonistik antara Islam dan kebangsaan, dan menolak sintesis yang memungkinkan antara agama dan negara dalam kehidupan politik. Selain itu, akibat dari pemahaman keagamaan yang simbolistik ini, nilai-nilai universal demokrasi, seperti: kebebasan, kesetaraan, pluralisme, dan hak asasi manusia belum dipahami sebagai bagian inheren dari pesan-pesan profetis agama. Sebagaimana hal ini ditunjukkan secara tegas dari upaya mereka menuntut formalisasi syariah dalam hukum dan perundang-undangan negara. *** Demikianlah, sesungguhnya banyak faktor dan penyebab yang memungkinkan suburnya gerakan radikalisme agama di Tanah Air. Pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis, dan miskinnya kesadaran sejarah dalam penafsiran teks-teks kitab suci, telah mewariskan sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam menyikapi perkembangan global. Di sisi lain, ketidakpuasan terhadap kebijakan politik negara-bangsa modern yang dominatif dan manipulatif, berikut krisis yang diakibatkannya, telah menjadi tempat persemaian paling strategis bagi gerakan ini. Akhirnya, dengan memahami kompleksitas masalah yang melatarbelakanginya, kita sangat berharap gerakan radikalisme agama dapat diatasi secara tegas dan komprehensif tanpa mengorbankan proses demokratisasi yang kini tengah berlangsung di depan mata.[] *Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, 18 November 2002

nurulhuda.wordpress.com/.../radikalisme-agama-kebangsaan/ - Tembolok - Mirip

Ini Dia Cara Menag Tangkal Gerakan Radikal Berbau AgamaRabu, 18 Mei 2011 12:27 WIB REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Institusi pendidikan terbukti menjadi sasaran empuk bagi penyebaran paham dan gerakan radikalisme seperti yang dilakukan NII. Menteri Agama Suryadharma Ali pun melihat sejumlah pencegahan dan penanggulangan harus dilakukan demi menekan penyebaran paham radikalisme di masyarakat. Suryadharma menjelaskan, Kementerian Agama saat ini tengah melakukan langkah preventif terkait penangkalan ajaran radikalisme. Langkah preventif tersebut diantaranya dilakukan di berbagai institusi pendidikan seperti perguruan tinggi agama, pendidikan agama pada PT umum, madrasah pesantren dan pendidikan agama di sekolah-sekolah. "Kami lakukan pemetaan radikalisme di seluruh perguruan tinggi agama," tutur Menteri Agama saat melakukan Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi Agama DPR RI di Gedug Dewan, Rabu (18/5). Kepala Nasional Penanggulang Terorisme, Ansyaad Mbai turut diundang Komisi VIII. Selain institusi pendidikan, rumah ibadah, khususnya masjid dan mushalla juga dijadikan sasaran Kementerian Agama. Ini karena masjid dan mushalla juga dinilai menjadi sasaran gerakan radikal. "Sifat rumah ibadah yang terbuka untuk umum dan manajemen yang lemah," tambah Suryadharma. Untuk itu, Kementerian Agama bersama Kementerian Dalam Negeri akan berupaya menghidupkan organisasi remaja masjid, penguatan majelis taklim, serta dialog antartokoh agama. "Diperlukan komitmen dan langkah bersama secara sinergis dan berkelanjutan," ujar Suryadharma sebelum menutup penjelasannya. www.republika.co.id Nasional Umum - Tembolok

Pengalaman Indonesia Mengurangi Ketakutan Munculnya Negara Agama Radikal di Tunisia/MesirRabu, 6 Apr 2011 08:59 WIB

Oleh : Testriono Jakarta Banyak sarjana pesimis kalau Revolusi Melati Tunisia dan transisi politik di Mesir akan bisa melahirkan demokrasi di kedua negara ini, dan mereka khawatir akan bahaya munculnya kelompok-kelompok politik Islam, yang sebagiannya punya tafsiran radikal terhadap syariat, yang akan banyak berperan dalam masa transisi politik. Apakah pendapat bahwa Islam tak selaras dengan demokrasi ada benarnya? Yang terjadi di Indonesia menunjukkan sebaliknya. Indonesia mengalami transisi politik besar yang bermula dengan dilengserkannya rezim otoriter yang berkuasa 32 tahun lewat gerakan reformasi 1998, yang mirip dengan situasi di Tunisia dan Mesir saat ini. Transisi menuju demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa Islam, sebagai agama dan budaya, sebenarnya selaras dengan demokrasi. Dukungan besar bagi konsep demokrasi dan negara-bangsa oleh kaum Muslim di Indonesia, bertentangan dengan pemikiran para sarjana yang berpendapat bahwa Islam dan demokrasi tidaklah selaras dan karenanya negara-negara mayoritas Muslim memang ditakdirkan punya pemerintahan otokratis. Meskipun beberapa negara mayoritas Muslim punya masalah dengan kelompokkelompok politik Islam radikal, Indonesia mengalami konsolidasi politik yang damai, yang melibatkan berbagai kelompok dengan pandangan politik yang berbeda-beda. Di parlemen, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang dianggap sebagai partai politik Islam pasca reformasi terbesar, mengusung berbagai agenda nasional bersama-sama dengan partai-partai sekuler. Indonesia memang menghadapi tuntutan beberapa kelompok untuk menerapkan tafsiran ketat atas hukum Islam di sejumlah daerah, terutama di Aceh, di mana perempuan diwajibkan mengenakan jilbab berdasarkan hukum setempat tentang busana Islami.

Tindakan-tindakan semacam itu telah menjadi dalih bagi kelompok-kelompok politik Islam lainnya untuk mencoba melakukan hal yang sama di tempat lain. Namun, mayoritas Muslim Indonesia menjunjung tinggi hak keagamaan bagi semua kelompok seperti dijamin oleh konstitusi dan tidak mendukung penerapan formal hukum Islam yang konservatif. Meski ini membuktikan bahwa Islam dan demokrasi bisa berdampingan di Indonesia, apakah ini mesti membawa kesimpulan serupa untuk Timur Tengah dan Afrika Utara? Robert W. Hefner, antropolog dari Boston University, memandang bahwa Indonesia berbeda karena adanya organisasi-organisasi Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (yang masing-masing punya sekitar empat puluh puluh juta dan tiga puluh sembilan juta pengikut). Kegiatan-kegiatan sosial mereka, seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga-lembaga sosial lainnya, telah memberikan contoh bagaimana menyeimbangkan ajaran-ajaran Islam, demokrasi dan pembangunan-bangsa. Para aktivis NU dan Muhammadiyah juga telah terlibat dalam berbagai aktivitas seperti gerakan anti-korupsi, penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik, dan membantu mengembangkan kebijakan publik dan pendanaan di pemerintahpemerintah daerah. Sebagian peneliti memandang perbedaan itu karena kecenderungan kultural masyarakat Indonesia untuk menghindari konflik. Cendekiawan Indonesia, Taufik Abdullah, misalnya, mengatakan bahwa besarnya organisasi-organisasi Islam di Indonesia, yang tidak terpecah menjadi organisasi-organisasi kecil, telah membuat Muslim Indonesia tampak lebih bersatu, dan menerima penafsiran keagamaan inklusif yang populer karena mereka menjauhi kontroversi atau konflik keagamaan. Cendekiawan Islam dari Indonesia, Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Muslim di Indonesia menekankan watak akomodatif Islam. Itulah mengapa mereka dengan mudah menerima demokrasi, HAM dan gagasan-gagasan lain yang relatif baru. Pengalaman Indonesia memberi dua wawasan bagi demokrasi yang tengah tumbuh di Timur Tengah dan Afrika Utara: pertama, organisasi masyarakat sipil Islam bisa memainkan peran aktif dalam memperkuat negara demokrasi; dan kedua, keragaman dalam Islam bisa menjadi kekuatan yang bisa mendorong diterimanya perubahan dan perbedaan dalam masyarakat, dan menginspirasi tidak saja kesalehan individual dan citacita politik, tetapi juga bermacam prakarsa kemanusiaan yang diperlukan bagi pembangunan-bangsa. ###www.rimanews.com/.../pengalaman-indonesia-mengurangi-ketakutan-munculnyanegara-agama-radikal-di - Tembolok

Diskusi di UNNES, Semarang Membendung Gerakan Radikalisme AgamaOleh Tedi KholiludinKita harus mengakui secara jujur bahwa inilah sejarah Islam. Bahwa ada dinamika dan kekerasan Khawarij misalnya, ya itulah yang menjadi kenyataan sejarah dalam agama kita. Kita harus jantan melihat sejarah Islam secara objektif. Munculnya kekerasan yang berkedok agama lebih disebabkan oleh adanya otoritarianisme terhadap teks. Ada beberapa teks atau nash al-Quran yang seolah memerintahkan kekerasan. Teks semacam itu sangat tergantung dengan pembacanya. Apabila dibaca dengan semangat kekerasan, maka teks itu pun bisa menjadi legitimasi aksi kekerasan. Begitu pula sebaliknya. Oleh karenanya kita harus berhati-hati dalam membaca teks-teks hukum, terutama yang terkait dengan kekerasan. Dibutuhkan pengetahuan tentang sejarah, asbab nuzul, serta kaedah-kaedah pembacaan teks yang baik. Sehingga bunyi teks itu tidak keluar dari konteksnya. Demikian ungkap Dr. Arja Imrani, pakar tafsir dari IAIN Walisongo, Semarang dalam diskusi publik bertajuk Membendung Gerakan Radikalisme Agama di Indonesia 22/6 lalu. Lebih lanjut dosen IAIN Walisongo, Semarang ini juga menegaskan bahwa kekerasan yang berkedok agama sesungguhnya bersumber dari manusia, bukan agama. Karena secara normatif agama-agama di dunia ini menebarkan kasih sayang dan rahmat, bukan kekerasan, apalagi laknat. Aksi kekerasan lebih merupakan reaksi atas ketidakpuasan dan frustasi atas modernitas dan perubahan yang tengah terjadi. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh pembicara ke dua, Ibnu Shodiq. Tokoh Islam kanan di Universitas Negeri Semarang (UNNES) ini mengemukakan bahwa radikalisme tidak pernah ada di dalam agama Islam. Karena baginya, radikalisme itu muncul karena adanya sistem ketidakadilan yang sengaja dilancarkan oleh Barat, khususnya Amerika, pada umat Islam. Ia menegaskan bahwa Indonesia juga akan menjadi negara ke delapan target Amerika dan Barat paska Irak untuk menjadi sasaran tembak isu terorisme. Oleh karena itu umat Islam harus mempersiapkan segalanya, termasuk pendidikan militer untuk menghadapi sekutu Amerika, tandas sarjana jebolan UNDIP ini. Di akhir paparan singkatnya, tokoh yang banyak menyebut organisasi garis keras (FPI) ini menyatakan bahwa tatkala hukum tidak ditegakkan di negeri ini, maka biarkanlah kelompok yang ingin menegakkan Islam secara kaffah yang menjalankannya. Acara yang digelar di Auditorium utama Universitas Negeri Semarang ini juga menghadirkan kordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Hamid Basyaib. Tokoh jebolan UII (Universitas Islam Indonesia) ini, lebih menyoroti wacana radikalisme dari kacamata politik-sosiologis. Berbeda dengan statement Ibnu Shadiq, Hamid mengemukakan bahwa tradisi kekerasan dan radikalisme agama telah muncul sejak Islam lahir. Ingat, dari empat khalifah kita yang menjadi tauladan umat Islam, tiga diantaranya mati terbunuh, ungkap Hamid.

Hal tersebut menjadi bukti bahwa kekerasan dan fenomena radikalisme Islam telah muncul dan lahir sejak awal Islam. Namun demikian Hamid melihat fenomena itu sebagai bentuk dinamika sejarah saja. Kita harus mengakui secara jujur bahwa inilah sejarah Islam. Bahwa ada dinamika dan kekerasan Khawarij misalnya, ya itulah yang menjadi kenyataan sejarah dalam agama kita. Kita harus jantan melihat sejarah Islam secara objektif, tandasnya. Namun demikia ia merasa sedih dan mengelus dada ketika melihat di beberapa daerah di Indonesia, banyak orang yang memaksakan keyakinan yang dipercayainya untuk dijalankan oleh semua kalangan. Saya malu sebagai orang Islam melihat realitas ini. Bagaimana mungkin seseorang yang dianggap sudah menjalankan syariat sesuai dengan tuntutan Islam, tapi masih ingin saja memaksakan ajarannya untuk dijalankan oleh kaum non muslim, Masya Allah!, tukasnya. Di akhir penjelasannya, Hamid banyak mengutip tokoh pemikir muslim kontemporer, seperti Fazlurrahman yang menawarkan pemikiran hermeneutika ala double movement. Menurut Hamid, meskipun seperlima ayat Alquran adalah ayat-ayat tentang hukum, tetapi hokum-hukum tersebut tidak kemudian menjadi satu-satunya patokan. Yang terpenting adalah menjunjung nilai-nilai etika yang ada dalam al-Quran, ucapnya mengingatkan. Menguatkan beberapa statemen yang dilontarkan oleh Arja, tentang upaya praktis dalam membendung gerakan radikalisme Islam di Indonesia, tokoh JIL ini semakin percaya diri untuk menyerukan komunikasi dan dialog. Dengan cara-cara seperti itulah Islam akan mungkin diharapkan sebagai tonggak dalam menggapai perdamaian dunia, bukan dengan cara-cara kekerasan yang ahumanis, tukasnya. Akhirnya, Hamid mengakhiri dengan penjelasan bahwa biarlah polemik itu tetap ada, karena dengan polemik suatu bangsa akan menjadi dewasa. Namun kita tetap mengutamakan tema dialog dalam menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi. Kekerasan dan radikalisme bukanlah tema yang patut untuk dikedepankan. Sudah saatnya kita membendung radikalisme yang terjadi dalam agama-agama dengan mengusung dialog.[]14/07/2006 | Diskusi, | #

Komentar Masuk (2)(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending) Banyak tanggapan selama ini radikalisme jelek. Sebenarnya seorang umat suatu agama itu harus fanatik dan radikal dalam membela agamanya. Tapi kenyataan yang timbul dipolitisirnya ajaran agama tersebut untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu dengan mengumpulkan banyak pengangguran/preman pasar untuk melaksanakan tujuannya, ini

sangat memprihatinkan karena hukum di Indonesia ini juga belum menjamin keadilan yang masih jauh dari harapan kita semua. Posted by Yahudi on 01/22 at 06:01 PM Saya sangat prihatin dengan yang namanya tindakan radikalisme, karena bukannya mengundang perhatian POSITIF malahan mengundang perhatian dan pandangan NEGATIF dari dunia. Malu saya kalau masih saja terjadi tindakan radikal yang dilakukan oleh umat kita. jadi STOP RADIKALISME !!! Posted by tavor on 02/07 at 10:02 PM islamlib.com/id/artikel/membendung-gerakan-radikalisme-agama - Tembolok

Separuh Pelajar Setuju Aksi Radikal Berlabel AgamaSelasa, 26 April 2011 | 08:15 WIB

Berita terkaitTEMPO Interaktif, Jakarta - Mayoritas pelajar di Jakarta dan sekitarnya ternyata cenderung setuju menempuh aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah agama dan moral. Fenomena ini terungkap dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang digelar Oktober-Januari 2011. Yang mencengangkan, sikap radikal dan tidak toleran itu tak hanya dimiliki para siswa, tapi juga guru agama, kata Bambang Pranowo, Direktur Lembaga Kajian ini kepada Tempo di Jakarta, kemarin. Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta ini mengaku tertarik meneliti radikalisasi di kalangan pelajar karena melihat banyaknya anak muda usia belasan tahun yang jadi pengebom bunuh diri. Kami ingin tahu seperti apa persepsi dan sikap para remaja itu terhadap keberagaman. Survei dilakukan di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri. Tak satu pun madrasah diambil jadi sampel. Hasilnya? Saat ditanya apakah mereka bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral, sebanyak 48,9 persen siswa menyatakan bersedia. Yang paling mengagetkan: belasan siswa menyetujui aksi ekstrem bom bunuh diri, katanya. Sebanyak 63,8 persen siswa dan 41,8 persen juga bersedia terlibat dalam penyegelan rumah ibadat penganut agama lain. Bambang pun mengungkapkan, para pelajar itu

menganggap Pancasila sudah tidak relevan lagi menjadi dasar negara. Mereka juga mengenal Abdullah Yusuf Azzam (pendiri Al Qaidah) dan Usamah bin Ladin, ujarnya. Bambang berpendapat, tumbuh suburnya sikap radikal di kalangan pelajar atau guru agama di sekolah umum karena pelajaran agama Islam di sekolah itu sering diajarkan secara eksklusif. Hanya 2 jam satu minggu, itu pun tanpa melibatkan sisi kecintaan terhadap tanah air ujarnya. Porsi minim dan eksklusif membuat mereka mencari jawaban moral dari luar sekolah Bambang berharap, penelitian lembaganya yang juga sudah dirilis beberapa media itu bisa menjadi sinyal bahaya' bagi kehidupan pluralisme bagi masa depan republik. Terhadap kecenderungan ini, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal memastikan akan melakukan pengawasan berjenjang terhadap para siswa dan guru. Termasuk mengubah pola pengajaran agama di sekolah. Kami akan bekerjasama dengan pemerintah daerah, dan kementerian agama karena merekalah yang akan membina para guru agama ujarnya. KARTIKA C | MAHARDIKA | MARTHA RT| AMANDRA | WIDIARSI AGUSTINA

Berita Terkait: Remaja dan Calon Mahasiswa Jadi Target NII Pancasila Penting untuk Menangkal Radikalisasi

Paham Radikalisme Agama Bukan Lahir dari Pendidikan FormalSabtu, 21 Mei 2011

Hidayatullah.com--Munculnya tindakan radikal akhir-akhir ini yang ditengarai dilakukan sekelompok orang, tidak selamanya bersumber pada ajaran agama. Mencuatnya istilah radikalisme agama yang sering diarahkan pada Islam dinilai hanya bermaksud memojokkan umat Islam dari orang-orang yang tidak memahami ajaran agama. "Adalah kesalahan besar jika ada pendapat bahwa radikalisme lahir dari sebuah institusi pendidikan, baik formal maupun nonformal. Karena faktanya tidak satu pun institusi pendididikan, terutama lembaga pendidikan Islam yang memasukan paham radikalisme dalam kurikulumnya," demikian disampaikan Kasubdit Pengembangan Akademik Dirjen Pendidikan Tinggi Islam pada Kementerian Agama DR Muhammad Zain dalam diskusi pendidikan Membangun Insan Kamil dan Penanggulangan Paham Radikalisme di kampus Universitas Islam Bandung, Sabtu (21/5).

Zain menambahkan, penelitian yang dilakukan Kementerian Agama sendiri belum menemukan keterkaitan paham radikalisme agama dengan kurikulum di Perguruan Tinggi Islam (PTA). Kalaupun ada mahasiswa yang berpaham radikal, maka itu bisa karena interaksi dengan dunia luar kampus. Untuk itu Zain berharap, PTI harus memiliki daya tarik dan magnet bagi mahasiswa dalam rangka pengembangan keilmuan Islam, sehingga PTI bisa menjadi baitul hikmah, sebagai tempat tumbuh kembangnya kearifan-kearifan luhur yang bersumber pada ajaran Islam. PTI juga harus mampu melahirkan generasi yang berkarakter, bermartabat, dan berwawasan luas, namun berjiwa ulama. Istilahnya intektual yang ulama dan ulama yang intelektual, sambung Zain. Namun demikian Zain berharap, jika disinyalir adanya kecenderungan ke arah radikalisasai, maka PTI harus merespon dengan melakukan tindakan persuasif, semisal penambahan porsi pelajaran agama atau re-desain kurikulum dan perbaikan metode pengajaran. Menanggapi adanya rencana sebagian rektor yang akan memasukan kembali pelajaran Pedoman Pendidikan dan Pengamalan Pancasila (P4) guna meminimalisasi tindakan terorisme dan radikalisme di kampus, Muhammad Zain berpendapat lebih baik diterapkan Pendidikan Berkarakter saja. P4 itu mempunyai sejarah tersendiri dan kalau dibuat proyek malah hasilnya kurang bagus juga, ujar Zain kepada hidayatullah.com. Pendidikan berkarakter sendiri adalah dengan menampilkan figur teladan tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia, sehingga mahasiswa atau peserta didik mempunyai inspirasi watak mulia sang tokoh. Rektor Unisba, Prof. DR.Thaufiq Boesori,MS, mengatakan, PTI yang dipimpinnya telah menerapkan pendidikan agama di atas rata-rata. Di Unisba sendiri memberi porsi sampai tujuh semester. Bahkan kami masih ada pesantren mahasiswa bagi mahasiswa baru dan pesantren sarjana bagi yang akan lulus, sambung Thaufiq. Namun demikian Thaufiq tidak menampik sinyalemen akan adanya paham radikalisme yang masuk dunia kampus, mengingat tidak ada alat untuk mendeteksi paham atau ideologi seseorang. Untuk itu dirinya mengajak kepada semua pihak menjalin kerja sama dalam menanggulangi paham radikalisme dalam dunia pendidikan.* Rep: Ngadiman Djojonegoro Red: Syaiful Irwan www.hidayatullah.com/.../paham-radikalisme-agama-bukan-lahir-dari-pendidikanformal.html

KEMBALI KE PENJARA - Pemuka agama radikal Indonesia ditangkap karena rencana aksi teror2011-01-01 Ali Kotarumalos/The Associated Press

[Associated Press] Seorang pemuka agama Islam radikal kembali dimasukkan ke penjara pada bulan Agustus 2010 setelah polisi mempunyai bukti bahwa ia tidak hanya mengilhami milisi terkait Al Qaida dengan khotbahnya yang berapi-api, tetapi juga telah membantu mendirikan sebuah kelompok teroris yang merencanakan serangan terhadap hotel-hotel dan kedutaan- kedutaan besar di ibukota negara Indonesia. Polisi menyatakan bahwa mereka telah menemukan pusat tempat perakitan bom dan bukti lain berupa sedikitnya dua percobaan ledakan berdaya tinggi di daerah pegunungan terdekat. Abu Bakar Bashir, yang pernah dua kali ditangkap sebelumnya dan ditahan di penjara bertahun-tahun, sedang dalam perjalanan pulang setelah memberi khotbah di kota Ciamis, Jawa Barat, ketika pasukan anti teroris menyambar, lalu memecahkan kaca belakang mobil minibusnya setelah para pengawalnya mencoba menghalangi mereka, demikian dikatakan oleh para pejabat dan anggota keluarganya. Pihak berwenang mengawal pemuka agama berjanggut putih, yang mengenakan kopiah tradisional dan jubah panjang berwarna putih itu, menuju ke markas besar kepolisian di Jakarta. Amerika Serikat mendalangi semua ini! teriaknya sebelum memasuki gedung. Lalu ia tersenyum dan berkata: Penahanan ini merupakan karunia. Saya akan diberkahi oleh Allah! Pria yang berusia 71 tahun tersebut dikenal sebagai salah seorang pendiri dan ketua keagamaan Jemaah Islamiyah, jaringan yang terkait dengan Al Qaida yang bertanggung

jawab atas serangkaian pemboman bunuh diri di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia itu, termasuk serangan bom di pulau Bali di tahun 2002 yang membunuh 202 orang, yang sebagian besar di antara mereka adalah para wisatawan Barat. Bashir, yang selalu menyangkal kaitannya dengan teroris, adalah juga salah seorang pendiri pesantren al-Mukmin di kota Solo, Jawa Tengah, yang menghasilkan beberapa pembom bunuh diri yang paling mematikan di negara itu. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim moderat yang menolak kekerasan, tetapi ada kecemasan pada bulan Agustus lalu bahwa penahanan kembali Bashir dapat membangkitkan lagi semangat sejumlah kecil kelompok radikal yang bersuara keras di negara itu. Para pendukung pemuka agama tersebut meneriakkan semboyan-semboyan mereka dalam suatu protes menentang penahanannya. Kedutaan Besar A.S. memperingatkan para warganya untuk menghindari demonstrasi-demonstrasi, yang dapat dengan mudah menjadi bergejolak. Meskipun pernah ditahan sebelumnya, juru bicara kepolisian Irjen Pol. Edward Aritonang mengatakan bahwa saat ini adalah pertama kalinya bukti yang telah diajukan menghubungkan Bashir kepada pelaksanaan, persiapan atau memerintahkan seranganserangan teroris. Aparat berwenang menuduh Bashir menyediakan dana untuk sebuah kelompok teroris baru di daerah paling barat Propinsi Aceh dan memainkan suatu peran aktif dalam menyiapkan rencana awal perjuangan militer mereka, demikian katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Pemuka agama itu juga diduga telah membantu mengangkat para pemimpinnya, termasuk Dulmatin, yang diduga sebagai dalang peristiwa Bom Bali yang terbunuh dalam sebuah penggerebekan di bulan Maret 2010 lalu, dan secara teratur menerima laporan dari pemimpin lapangan mereka. Lebih dari 100 orang tersangka telah ditangkap sejak aparat berwenang menemukan Al Qaida di kamp pelatihan jihad di Aceh di bulan Februari 2010 yang lalu. Beberapa tempat persembunyian senjata penyerang, peluru dan bahan-bahan peledak berjumlah besar juga telah disita. Bashir telah ditahan hampir segera setelah bom Bali 2002, tetapi para pendakwa tidak berhasil membuktikan sejumlah tuduhan yang berhubungan dengan teroris dan mengurangi putusan penjara empat tahunnya menjadi 18 bulan untuk pelanggaran keimigrasian. Segera setelah pembebasannya, ia ditahan kembali dan dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara, kali ini karena menyebabkan peledakan-peledakan tempat hiburan malam.

Setelah dibebaskan di tahun 2006, ia memulai perjalanan keliling negara, memberikan ceramah berapi-api di dakwah-dakwah dan mesjid-mesjid, menghimbau pendirian sebuah negara Islam dan memicu kebencian terhadap orang-orang asing. Baru-baru ini, Bashir membentuk gerakan radikal baru, Jemaah Ansharut Tauhid atau JAT, yang digambarkan oleh International Crisis Group (Lembaga Krisis Internasional) yang berkedudukan di Brussel sebagai sebuah kelompok yang bersifat terbuka yang merangkul mereka yang diketahui terlibat dengan ekstremis buronan. Bashir kembali menjadi perhatian penyidik polisi di bulan Mei 2010 setelah tiga orang anggota JAT ditangkap dan dituduh mengumpulkan dana untuk Al Qaida di Aceh. Kelompok tersebut dituduh merencanakan serangan bersenjata terhadap hotel-hotel mewah di ibukota dengan meniru serangan yang dilakukan terhadap pusat keuangan India di Mumbai, di mana 10 orang bersenjata api mengamuk di kota tersebut di tahun 2008 dan membunuh 166 orang. Kelompok itu merencanakan pembunuhan atas sejumlah pejabat tinggi, termasuk terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang mengatakan di bulan Agustus 2010 bahwa pihak berwenang telah menemukan suatu rencana pembunuhan lagi terhadap dirinya. Aritonang, juru bicara kepolisian, mengatakan bahwa penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa kelompok Aceh itu juga telah merencanakan pemboman terhadap kekuatan keamanan negara dan beberapa kedutaan besar di ibukota. Ken Conboy, seorang pakar di bidang kelompok teroris Asia Tenggara, mengatakan bahwa penangkapan Bashir adalah penting. Polisi telah membuat kemajuan besar dalam menghancurkan apa yang dulu adalah JI dan sisa-sisa susunannya, katanya, sambil menambahkan bahwa hal ini sudah jelas adalah suatu dorongan besar lainnya ke arah tersebut. Usaha-usaha berikutnya adalah memperhatikan dengan lebih teliti lagi langkah pemulihan mereka, di mana mereka telah jatuh bangun selama tahun-tahun terakhir ini. Lebih dari selusin orang-orang yang dicurigai sebagai anggota Al Qaida di Aceh yang ditangkap oleh polisi adalah mantan narapidana. Bom bunuh diri yang terakhir di Indonesia, yaitu di hotel-hotel J.W. Marriott dan Ritz Carlton di Jakarta, telah mengakhiri masa tenang empat tahun dari serangan-serangan yang dituduhkan terhadap Jemaah Islamiyah dan kelompoknya. Sejak tahun 2002, lebih dari 260 orang telah tewas dalam serangan-serangan teroris, banyak dari mereka adalah wisatawan asing. pdforum.com/id/article/rmiap/articles/print/.../feature-01

Radikalisme Agama di Lembaga Pendidikan Perlu Ditangani Serius25 Apr 2011

Pelita Ragam

Tangerang, Pelita Kementerian Agama menanggapi serius isu radikalisme dan intoleransi agama di lembaga pendidikan. Baik di perguruan tinggi ataupun sekolah. Hal ini terutama menyikapi temuan penelitian yang menyimpulkan kecenderungan intoleransi guru pendidikan agama mencemaskan. Penegasan ini disampaikan oleh Menteri Agama Suryadharma Ali. "Kita akan dalami metodologi penelitian, urgensi, dan tujuan penelitian,"kata dia. Survei tersebut adalah hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) yang dilansir di sebuah media nasional beberapa waktu lalu. Penelitian yang melibatkan 590 dari total 2.639 guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan 993 siswa Muslim dari total 611.678 murid SMA seJabodetabek. Terkait toleransi misalnya, penelitian itu berkesimpulan sebanyak 62.7 persen responden guru PAI keberatan rumah ibadah non Muslim di dirikan di lingkungan mereka. Sedangkan 40.7 persen siswa menolak hal yang sama. Di temui di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Ahad (24/4), usai menghadiri Haul Tuan Guru Haji Moch Shaleh Hambali, dan Harlah Pondok Pesantren Qoma-rul Huda, Bagu Lombok Tengah, Suryadharma Ali mengatakan apabila indikasi intoleransi dansikap radikal tersebut didasari atas penolakan pendirian rumah ibadah, geraja misalnya, maka kesimpulan itu terbantahkan dengan sendirinya. Sebab, jelas Suryadharma, berdasarkan data statistik fakta di lapangan justru tingkat pertumbuhan gereja jauh lebih besar dibanding masjid atau tempat ibadah umat lain. Dalam kurun waktu 1997 hingga 2004, pertumbuhan rumah ibadah Kristen sebesar 150 persen, Budha 360 persen, dan Hindu 400 persen. Sedangkan tingkat pertumbuhan rumah ibadah umat Islam hanya sebesar 64 persen. Oleh karena itu, menurut Suryadharma, perlu penegasan dan pembedaan yang jelas antara rekrutmen dan pendidikan agama radikal. Jika yang dimaksud adalah fakta adanya rekrutmen oleh kelompok radikal di lembaga pendidikan maka hal tersebut lepas dari institusi yang bersangkutan. Pasalnya, rekrutmen kelompok radikal bisa me-nyasar dan menarget siapapun. Tanpa melihat latar belakang.

Tetapi, lanjut Suryadharma, apabila memang ada temuan guru pendidikan agama mengajarkan radikal maka harus ditanggapi serius. Dalam waktu dekat, pihaknya akan mendalami dan mengkaji isu ini berdasarkan masukan dari lembaga penelitian itu. Utamanya, untuk mengetahui sekolah mana sajakah yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Jika guru tersebut berada di bawah lingkungan Kementerian Agama lalu terbukti terlibat dan menyebarkan faham radikal maka dikenakan sanksi tegas. "Mulai dari peringatan hingga pemecatan,"kata dia. Kendati demikian, ujar Suryadharma, pihaknya belum melihat urgensi mereformulasi kurikulum pendidikan agama. Sebab,kurikulum agama yang diajarkan di sekolah cukup proporsional dan tak mengajarkan radikalisme agama. Hanya saja diakui, terutama di sekolah-sekolah umum, jam pelajaran agama dinilai masih sangat minim. Hanya dua jam tiap minggunya. Hal ini berakibat pada pengetahuan agama yang kurang memadai. Ini rawan kesusupan faham radikal karenanya perlu dipikirkan, kata dia Sementara terkait maraknya paham Nil, Menag menegaskan tak ada tempat bagi paham negara Islam di Tanah Air. Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai ideologi Bangsa sudah final. Apalagi jika faham NU dipaksakan dengan menggunakan cara kekerasan. "Mereka yang membawa ideologi NU pasti tidak ada tempat, "katanya. Suryadharma mengatakan para peletak dasar negara baik dari ulama dan negarawan serta organisasi Islam khususnya sepakat Indonesia bukan negara Islam. Bahkan tak ada satu partai politik pun termasuk parpol Islam yang hendak menggeser ideologi negara. Pancasila. Termasuk mengubahnya ke dalam ideologi Islam. "Mereka sudah tetapkan itu, tandas dia Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Prof Zainuddin Maliki menilai praktik perekrutan dengan memberikan pengaruh berdasarkan fanatisme keagamaan atau doktrinisasi ala ND itu hanya mencari keuntungan dengan cara pemerasan. "Khawatimya itu hanya mencari uang saja. Korban dimintai uang, bahkan ada yang hingga Rp80 juta," katanya di sela-sela menghadiri acara dua tahun kepemimpinan Wali Kota Kediri Samsul Ashar di Kota Kediri, Sabtu. Ia mengaku prihatin dengan praktik-praktik yang mengatasnamakan agama untuk keuntungan pribadi. Tidak diajarkan dalam agama, menipu orang lain demi kepentingan sendiri, (ds) bataviase.co.id/node/652020

Terorisme dan Radikalisme Agama Khamami Zada Dosen STAINU dan Peneliti Lakpesdam NU Jakarta TUDINGAN terhadap pelaku pengeboman di Legian, Bali, sudah dialamatkan kepada Al-Qaeda, organisasi Islam yang juga dituduh menjadi dalang Tragedi 11 September Kelabu setahun yang lalu. Beberapa komentar sudah mengarah pada Jamaah Islamiyah, yang dianggap menjadi agen penghubung jaringan Al-Qaeda di Asia Tenggara. Tak pelak lagi, kelompok-kelompok yang tersudut dengan tudingan itu melakukan counter attack (serangan balik) bahwa pelaku peledakan adalah Amerika Serikat (AS), terutama untuk membenarkan tudingannya beberapa waktu lalu yang menyebutkan Indonesia sebagai sarang teroris. Apakah benar kelompok Islam radikal, seperti Al-Qaeda melalui Jamaah Islamiyah telah masuk ke dalam wilayah Indonesia dan menjadi dalang pengeboman di Bali? Apakah cukup bukti dengan sekadar menunjuk para korban peledakan, kebanyakan adalah warga asing (Barat), yang selama ini dianggap menjadi target utamanya? Atau menunjuk upaya peledakan tidak saja mengarah pada Legian, Bali, tetapi juga di depan Konjen Filiphina di Manado? Jawabannya bisa ya atau tidak, tergantung pada bukti yang akan diperoleh di lapangan. Itu sebabnya, pro-kontra dalang peledakan bom Bali masih belum ditemukan secara pasti. Radikalisme agama Kendati demikian, ada hubungan yang paralel antara radikalisme agama Dan aksi kekerasan. Karena secara teoretis, radikalisme muncul dalam bentuk aksi penolakan, perlawanan, dan keinginan untuk mengubah sesuai dengan doktrin agamanya. Menurut Horace M Kallen, radikalisasi ditandai oleh tiga kecenderungan umum. Pertama, radikalisasi merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan terhadap kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan Terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisasi terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Dan ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti. Dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti kerakyatan atau kemanusiaan. Akan tetapi, kuatnya keyakinan ini dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional yang menjurus pada kekerasan. Teoretisasi ini mendapatkan pembenarannya ketika terjadi konflik atas Nama agama dan aksi terorisme di mana-mana. Bukankah secara empirik, Radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya yang paling konkret, yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia misalnya, kaum

Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim, umat Yahudi, Kristen, dan Islam, saling menggunakan bahasa kekerasan (Alwi Shihab, 1998: 40). Begitu juga di Tanah Air terjadi konflik antaragama di Poso dan Ambon. Kesemuanya ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering Kali menjadi pendorong terjadinya konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian. Karena itulah, bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktikkan oleh sebagian umat diharapkan tidak sampai menghadirkan ancaman bagi masa depan bangsa. Pluralisme tetap menjadi komitmen kita semua untuk membangun bangsa yang modern (modern nation-state), yang di dalamnya terdapat banyak agama dan etnis secara damai. Pluralisme adalah simbol bagi suksesnya kehidupan masyarakat majemuk. Karena itu, agama yang dimiliki oleh masing-masing umat tetap terjaga sebagai sosok keyakinan yang tidak melampaui batas. Bagaimanapun agama sangat diperlukan untuk mengisi kehampaan spiritual umat, tetapi segala bentuk ekspresinya tidak boleh menghadirkan ancaman bagi masa depan dunia yang damai. Tantangan dunia sebenarnya terletak pada sejauh mana radikalisme agama melakukan siklusnya sendiri di dalam kehidupan plural. Sehingga sikap keberagamaan umat tidak lagi diwarnai oleh radikalisasi, yang justru mengarah pada sikap permusuhan, persengketaan, dan perang. Radikalisasi mesti dibuang jauh-jauh dalam dakwah agama, sehingga umat tidak mengalami proses pengaburan dalam beragama. Gagasan moderasi Berkembangnya radikalisme agama di Indonesia adalah suatu kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi masa depan bangsa yang mendambakan keamanan dan kedamaian. Alihalih dengan semakin meningkatnya teror bom yang terjadi akhir-akhir ini. Maka sudah sepatutnya, sekarang ini, kita mengambil hikmah dari peristiwa peledakan bom di Bali guna memperluas kembali gerakan umat yang moderat, inklusif, dan pluralis di tengah-tengah masyarakat beragama. Gagasan moderasi ini didasarkan pada dua hal. Pertama, secara diskursif, gerakan moderasi umat diyakini sebagai penopang bagi terciptanya harmonisasi sosial masyarakat di era multikultural. Karena bagaimanapun, multikulturalisme adalah suatu kenyataan historis di dalam masyarakat yang mesti disikapi secara baik. Di sinilah, eksklusivitas beragama yang diyakini secara total sebagai kebenaran agama (religious truth) bisa menjadi batu sandungan ideologis untuk menyampaikan pesan perdamaian. Itu sebabnya, pendidikan pluralis tetap menjadi prioritas utama dalam menjembatani doktrin eksklusif yang selama ini diyakini umat. Kedua, secara praksis, praktik kehidupan beragama yang masih mendikotomikan klaim kebenaran dan keselamatan di dalam masing-masing umat agama mesti dikikis habis agar tidak terjadi sikap saling menyalahkan antara satu agama dan agama lainnya. Bukankah, problem pluralisme kerap kali disebabkan oleh fanatisme kebenaran agama yang menimbulkan sikap-sikap radikal. Karena itulah, upaya-upaya konkret untuk membangun toleransi antarumat beragama mesti terus dilakukan sebagai bagian dari proses sosial yang berkelanjutan.

Dengan demikian, secara wacana dan praksis gerakan, sikap umat beragama tidak sampai pada kesadaran dan gerakan radikal. Pembongkaran (dekonstruksi)kesadaran eksklusif, militan, dan radikal adalah langkah awal untuk menjamin masa depan pluralisme. Pada gilirannya, pembangunan kembali (rekonstruksi)kesadaran beragama yang toleran, inklusif, dan pluralis adalah langkah terakhir untuk menyampaikan pesan perdamaian agama-agama di tengah-tengah masyarakat multikultural. Inilah kondisi yang kita inginkan dalam menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik di tengah-tengah ancaman terorisme dan kekerasan.***

Agama, Radikalisme dan Terorisme Article Index Page 1 of 2 Agama bukanlah untuk memisahkan Agama, Radikalisme dan Terorisme Page 2 seseorang dengan orang lain, agama bertujuan untuk menyatukan mereka. Adalah suatu malapetaka bahwa saat ini agama telah sedemikian terdistorsi sehingga menjadi penyebab perselisihan dan pembantaian Mahatma Gandhi, 2004:170 Pendahuluan Tanggal 1 Oktober 2005 ketika bangsa Indonesia memperingati hari Kesaktian Pancasila dan dunia memperingati hari lahirnya Mahatma Gandhi sebagai bapak anti kekerasan, pada hari yang sama dunia dikejutkan lagi dengan meledaknya bom bunuh diri di Kuta dan Jimbaran, Bali. Peristiwa ini menjadi keperihatinan semua orang, karena terjadinya pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan dan kekerasan di bumi Nusantara yang terkenal masyarakatnya taat beragama, dan cinta dengan perdamaian. Peledakan bom tersebut mengakibatkan citra bangsa Indonesia di mata dunia semakin terpuruk. Syukur, tidak begitu lama setelah peristiwa bom Bali 2, gembong teroris internasional, Dr. Azahari dapat dibunuh di Batu, Malang, Jawa Timur dan anak buahnya sebagian sudah ditangkap dan kini dalam proses pemeriksaan. Namun demikian, satu pentolan teroris lagi yakni Nurdin M.Top masih dalam perburuan dan semoga tidak terlalu lama, yang bersangkutan dapat diringkus dan kekuatannya dapat dimusnahkan. Bila terorisme tidak dapat diatasi di Indonesia, bangsa ini akan terjerembab lebih dalam ke dalam krisis multidimensional. Pembangunan di bidang ekonomi akan semakin sulit dilaksanakan dan penderitaan rakyat akan semakin berat. Hal ini disebabkan para investor maupun wisatawan asing tidak akan datang ke Indonesia. Indonesia disebut sebagai sarang teroris akan menjadi stigma yang sulit untuk dihapuskan. Semua umat beragama yang memiliki pikiran yang jernih tidak akan menerima bila agama yang dianutnya itu dikaitkan dengan teroris, walaupun teroris sendiri menganggap perbuatannya sebagai salah satu bentuk ibadah untuk menegakkan ajaran agama yang dianutnya. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana tokoh-tokoh agama membina umat beragama untuk tidak sampai memahami agama yang dianutnya itu dijadikan motivasi untuk melakukan perbuatan anarkis dan bertindak sebagai teroris. Tulisan singkat ini mencoba menganalisa agama, radikalisme dan terorisme dari perspektif agama Hindu. Agama Universal dan Usaha Mencari Titik Temu Agama-Agama Semua agama mengklaim atau diklaim oleh umatnya sebagai agama universal, dan memang ajaran yang sifatnya universal terdapat pada semua agama. Walaupun agama itu

universal, tetapi ada pula ajaran yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama K. H. A. Hasyim Muzadi dalam Temu Nasional Pemuka Umat Beragama Indonesia, tanggal 13-14 Januari 2003 bertempat di Hotel Sahid, Makassar, Sulawesi Selatan menyatakan, apa-apa yang sama dalam masingmasing agama jangan dibeda-bedakan dan apa yang berbeda-beda dalam agama masingmasing jangan disama-samakan. Pendapat ini logis, karena memandang sesuatu dari sudut yang berbeda tentu tidak akan menemukan titik persamaan. Perbedaan agama akan semakin mendalam bila dilihat dari ajaran atau akidah masing-masing, tetapi bila dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan (human values) akan ditemukan banyak persamaannya. Bila semua orang memiliki pandangan yang sama bahwa semua agama adalah ciptaan-Nya dan penganut masing-masing agama itu dituntut untuk mengamalkannya dengan sebaik-baiknya maka kerukunan umat beragama, kedamaian, dan kesejahtraan hidup bersama akan dapat diwujudkan. Untuk dapat memahami bahwa semua agama adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa diperlukan studi yang mendalam terhadap masing-masing agama, dan studi semacam itu telah dilakukan oleh Mahatma Gandhi (Ellsberg, 2004:166) yang menyatakan: Aku tidak ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela serta pintu yang terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke dalam rumahku sebebas mungkin. Yang ada padaku bukanlah suatu agama yang seperti penjara Dengan adanya pandangan yang terbuka terhadap agama-agama, maka kesadaran bahwa agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa akan menumbuhkembangkan saling pengertian dan kerukunan umat beragama. Tentang hal ini Sarvepali Radhakrishnan (2002:35) menyatakan. Dengan mengingat kebenaran yang agung memakai baju dengan berbagai warna dan berbicara dengan lidah-lidah yang lain-lain, Hinduisme mengembangkan sikap kedermawanan yang menyeluruh dan sama sekali bukan keimanan fanatik terhadap ajaran yang kaku. Pandangan Gandhi ataupun Radhakrishnan tersebut kiranya mendapat inspirasi dari kitab suci Veda dan Bhagavadgita yang menyatakan, Hendaknya mereka yang memeluk agama yang berbeda-beda dan dengan mengucapkan bahasa yang berbeda-beda pula, tinggal bersama di bumi pertiwi ini, hendaknya rukun bagaikan satu keluarga, seperti halnya induk sapi yang selalu memberikan susu kepada manusia, demikian bumi pertiwi memberikan kebahagiaan kepada umat manusia (Atharvaveda XII.1.45). Dengan jalan atau cara apa pun orang memuja Aku, melalui jalan itu Aku memenuhi keinginannya, Wahai Arjuna, karena semua jalan yang ditempuh mereka adalah jalan-Ku (Bhagavadgita IV.11). Agama-agama merupakan berbagai jalan yang bertemu pada satu titik yang sama. Apa yang menjadi masalah bila kita mengambil jalan yang berbeda sepanjang kita mencapai tujuan yang sama? Dalam kenyataan jumlah agama adalah sebanyak jumlah manusia yang ada di dunia ini. Demikian Mahatma Gandhi dalam Hind Swaraj menyatakan di tahun 1946 (Prabhu: 1996: 33). Pandangan Mahatma Gandhi sejalan dengan pandangan seorang Sufi kontemporer Frithjof Schuon (2003:11) dalam bukunya Transcendent Unity of Religions, dengan kata pengantar oleh Huston Smith dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Mencari Titik Temu Agama-Agama menggambarkan semua agama menuju Tuhan Yang Maha Esa baik dalam tataran esoteric maupun exoteric, seperti

berbagai jalan menuju ke satu puncak gunung. Lebih jauh tentang agama sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa dan tafsir terhadap agama tersebut dilakukan oleh manusia dengan berbagai keterbatasannya, dinyatakan oleh Mahatma Gandhi (Prabhu, 1996:35) sebagai berikut. Semua agama adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa tetapi bercampur dengan sifat manusia yang tidak sempurna karena agama itu memakai sarana manusia. Agama sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa di luar jangkauan bahasa manusia. Manusia yang tidak sempurna menyampaikan agama itu menurut kemampuan bahasa mereka, dan kata-kata mereka ditafsirkan lagi oleh manusia yang tidak sempurna juga. Tafsiran siapa yang harus dipegang sebagai tafsiran yang tepat. Setiap orang adalah benar dari sudut pandangannya sendiri, namun bukanlah mustahil juga bahwa setiap orang adalah salah. Maka dari itu dibutuhkan toleransi yang bukan berarti acuh terhadap kepercayaannya sendiri, melainkan dibutuhkan toleransi yang lebih mengandalkan akal sehat dan kasih sayang yang lebih murni. Toleransi akan memberikan kita pandangan rohani yang jauh dari sikap fanatisme seperti jauhnya jarak antar Kutub Utara dengan Kutub Selatan. Pengetahuan yang benar tentang agama meruntuhkan dinding-dinding pemisah antar agama yang satu dengan agama yang lain dan sekaligus memupuk toleransi. Pemupukan toleransi terhadap agama lain akan memberikan kepada kita pemahaman yang lebih mendalam tentang agama kita sendiri Dalam kenyataannya, tidak semua memiliki kemampuan untuk memahami agama lain, yang mengakibatkan sikap tidak toleran terhadap agama lain. Demikian pula halnya dengan fanatisme buta yang hanya didasarkan kepada solidaritas dari suatu komunitas atas sesuatu yang sangat diyakini tanpa pembuktian yang memadai, baik melalui bidang fisika maupun metafisika, apalagi ditunjang oleh dogma-dogma kaku yang sengaja diciptakan untuk kepentingan golongan tertentu sehingga akhirnya akan membatasi setiap gerak dan penalaran yang cenderung mudah sekali memicu terjadinya gesekan dan benturan kepentingan kecil di satu pihak dengan kepentingan universal di pihak lainnya. Dalam kejamakan kepentingan dalam satu dunia yang sedang dilanda kebingungan, mudah sekali setiap pribadi yang tidak memiliki cukup pertahanan diri untuk terseret dalam arus provokasi yang justru tidak akan pernah memberikan keuntungan bagi siapapun, hanya kehancuran yang akan menimpanya. Seperti telah disebutkan di atas, dalam hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan, nilai-nilai manusia (human values) atau dalam rangka mewujudkan kemakmuran bersama, banyak hal yang merupakan titik temu dari agama-agama. Titik temu tersebut antara lain: untuk hidup harmonis dengan sesama umat manusia, untuk menghormati ciptaan-Nya, saling tolong menolong, mewujudkan kerukunan hidup, toleransi dan sebagainya. Dalam usaha meningkatkan kerukunan intra, antar, dan antara umat beragama ini, dikutipkan pernyataan Svami Vivekananda pada penutupan sidang Parlemen Agama-Agama sedunia, seratus dua belas tahun yang lalu tepatnya tanggal 27 September 1893 di Chicago, karena pernyataan yang disampaikan oleh pemikir Hindu terkenal akhir abad yang lalu itu senantiasa relevan dengan situasi saat ini. Pidato yang mengemparkan dunia, dan memperoleh penghargaan yang tinggi seperti ditulis oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: An orator by divine right and undoubted greatest in the Parliament of Religion (Walker,1983:580). Kutipan yang amat berharga itu diulas pula oleh Jai Singh Yadav (1993), dan diungkapkan kembali oleh I Gusti Ngurah Bagus (1993), sebagai berikut. Telah banyak dibicarakan tentang dasar-dasar umum kerukunan agama. Kini saya tidak

sekedar mempertaruhkan teori saya. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa kerukunan ini akan tercapai melalui kemenangan dari suatu ajaran agama terhadap penghancuran agama lainnya, maka kepadanya saya akan katakan: Saudara harapan anda itu hanyalah impian yang mustahil. Jika seseorang secara eksklusif memimpikan kelangsungan agamanya dan kehancuran agama lainnya, saya menaruh kasihan padanya dari lubuk hati yang paling dalam, dan menunjukkan bahwa melalui spanduk setiap agama akan ditulis, walaupun sedikit ditentang, Saling menolong dan tidak bermusuhan, berbaur tidak akan menghancurkan, harmonis dan damai serta tidak saling berselisih (Mumukshananda, 1992:24). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pernyataan Mahatma Gandhi pada bagian awal dari tulisan ini kiranya dapat diterima dan bila terjadi distorsi, bahkan pembantaian serta terorisme, bukanlah kesalahan ajaran agama itu melainkan adalah pemahaman yang keliru terhadap agama yang dianutnya. Lebih jauh tentang pengembangan agama (misionaris) (Radhakrishnan, 2002:36) menyatakan bahwa Hinduisme dapat disebut sebagai contoh pertama di dunia dari agama misionaris. Hanya saja sifat misionaris-nya berbeda dengan yang diasosiasikan dengan kepercayaan-kepercayaan yang menarik orang-orang untuk masuk dan menjadi pemeluk. Hinduisme tidak menganggap sebagai panggilan untuk membawa manusia kepada suatu kepercayaan. Sebab yang diperhitungkan adalah perbuatan dan bukan kepercayaan. Tentang misionaris yang mengarahkan seseorang untuk konversi agama, Mahatma Gandhi seperti dinyatakan oleh Robert Ellsberg (2004:168) berikut. Pandangan Gandhi terhadap konversi dan perubahan agama harus dipahami dalam konteks politisasi yang berkaitan dengan perubahan-perubahan agama di India Tidak mungkin bagiku untuk berdamai dengan diriku sendiri terhadap gagasan perubahan keyakinan apa pun bentuknya yang terjadi di India dan di mana pun saat ini, tulisnya. Misi-misi Kristen di India datang bersamaan dengan kekuasaan eksploitatif dari kerajaan. Sebelum orang-orang Inggris, serangkaian kerajaan Muslim India membawa misi-misi Islamnya. Di tahun 1920-an ada usaha-usaha Hindu, dipelopori oleh Pendeta Arya Samaj untuk mengubah kembali agama, atau dengan kata lain memurnikan (suddhi) yang sebelumnya telah berubah agamanya menjadi Islam, bahkan pada beberapa abad sebelumnya. Maka diskusi-diskusi Gandhi tentang konversi ditujukan untuk menentang semua bentuk perubahanan agama. Aku menentang pengubahan agama, sekali pun dikenal sebagai suddhi oleh umat Hindu, Tabligh oleh umat Islam atau Konversi oleh umat Kristen. Perubahan keyakinan adalah proses hati yang hanya diketahui oleh Tuhan. Bagi Gandhi, perubahan agama juga dilandasi pada apa yang disebutnya sebagai pandangan yang rapuh tentang superioritas satu agama terhadap agama lain. Tidaklah masuk di akal, bahwa seseorang akan menjadi baik atau memperoleh keselamatan cukup hanya dengan memeluk suatu agama Hindu, Kristen, atau Islam. Kemurnian karakter dan keselamatan tergantung pada kemurnian hati. Dan katanya lagi, Akan menjadi puncak intoleransi, dan intoleransi adalah sejenis kekerasan, jika Anda percaya bahwa agama Anda superior terhadap agama lain dan bahwa Anda akan dibenarkan ketika Anda menginginkan orang lain berpindah mengikuti keyakinan Anda. Berdasarkan uraian tersebut di atas, agama Hindu sangat menekankan kemurnian atau kesucian hati sebagai wujud transformasi diri, karena sesungguhnya akhir dari pendidikan agama adalah perubahan karakter, dari karakter manusia biasa menuju karakter manusia devata, yakni manusia berkeperibadian mulia (dari manava menuju madhava). Usaha

untuk menyucikan diri merupakan langkah menuju kesatuan dengan-Nya, yang berarti juga menumbuhkan kesadaran persaudaraan sejati terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, karena dalam pandangan kesatuan ini (advaita) semua makhluk adalah bersaudara (vasudhaivakutumbhakam). Radikalisme dan Terorisme Radikalisme agama menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan, Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran. Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme /fundamentalisme. Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi radikalisme memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilainilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran. Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain. Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.

Agama, Radikalisme dan Terorisme Article Index Page 2 of 2 Radikalisme agama terjadi pada semua agama yang Agama, Radikalisme dan Terorisme ada. Di dalam Hindu munculnya radikalisme tampak Page 2 sebagai respon ketika Mogul Emperor menaklukkan India, di samping juga ketika penjajahan Inggris menguasai India yang diikuti oleh konversi dari Hindu ke Kristen yang dilakukan oleh para misionaris saat itu. Respon itu antara lain dalam gerakan radikal adalah munculnya Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak (RSS) dan sebagainya. Di samping gerakan yang bersifat radikal, sesuai dengan karakter pemimpinnya muncul usaha untuk mengantisipasi gerakan konversi dengan lahirnya organisasi keagamaan yang satu di antaranya populer sampai saat ini adalah Arya Samaj (himpunan masyarakat mulia) yang didirikan oleh Svami Dayananda Sarasvati (1875) dengan pengikutnya yang tersebar di seluruh pelosok India. Svami Dayananda Sarasvati di kalangan umat Hindu dipahami juga sebagai seorang yang radikal, karena mentasbihkan mereka yang termarginalisasi (kaum Paria yang menurut Mahatma Gandhi disebut Harijan/pengikut atau putra-putra Tuhan) dan sudah pernah beralih agama kembali menjadi Hindu dan bagi mereka yang mau mempelajari kitab suci Veda dan melaksanakan ritual Veda (seperti Agnihotra) diinisiasi menjadi Brahmana (dengan memberi kalungan benang Upavita). Svami Dayananda Sarasvati melakukan terobosan dengan mengembalikan kepada ajaran suci Veda tentang penggolongan masyarakat atas tugas dan kewajibannya yang disebut varna (pilihan profesi) dan bukan istilah kasta sebagai bentuk penyimpangan varna tersebut. Pembagian masyarakat profesional (anatomi masyarakat) ini sifatnya abadi dan tidak berdasarkan kelahiran atau diwariskan secara turun temurun, melainkan atas dasar bakat (guna) dan pekerjaannya (karma). Tindakan Svami Dayananda Sarasvati ini ditentang oleh kelompok ortodok yang hanya berpegangan kepada tradisi dan bertentangan dengan kitab suci. Radikalismenya Svami Dayananda Sarasvati tidak sampai berbentuk anarkis, apalagi sampai mengarah kepada perbuatan teroris. Tokoh radikal lainnya adalah Mahatma Gandhi, yakni seorang yang sangat radikal dalam tata pikir, namun santun dalam tindakan yang pemahamannya terhadap agama Hindu sangat mendalam dan mampu merealisasikannya. Bahkan R.C. Zaehner (1993:206) mempersamakan Gandhi dengan Yudhisthira. Dilema Gandhi sama dengan dilema Yudhisthira. Mahatma Gandhi sangat menekankan Ahimsa (nir kekerasan). Tokoh-tokoh lainnya sebagai pembaharu Hindu adalah Aurobindo, Vivekananda dan lain-lain yang memberi pencerahan tidak hanya kepada umat Hindu, tetapi juga umat manusia di seluruh dunia. Seperti telah disebutkan di atas, beberapa pembaharu Hindu dipandang juga sebagai seorang radikal dalam arti radikal dalam tata pikir dan lembut dalam tata laku. Walaupun demikian, radikalisme yang berujung pada anarkisme dan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu di India, yakni terbunuhnya Mahatma Gandhi yang ditembak oleh orang dari kelompok Rashtriya Sevayam Sevak (RSS), demikian pula ditembaknya Indira Gandhi oleh pasukan pengawalnya dari pengikut Sikh, dan terakhir terbunuhnya Rajiv Gandhi melalui bom bunuh diri yang diduga dari kelompok Tamil Eelam menunjukkan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu, walaupun motivasinya tidak murni dan bahkan tidak terkait dengan ajaran agama Hindu.

Pengertian atau batasan tentang teror dan teroris diuraikan di dalam surat kabar Kompas 15 Oktober 2002, tiga hari setelah bom Bali 1 (Wahid, et.al.,2004:22) sebagai berikut.Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari bahasa Latin terrere yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga berarti bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja kengerian di hati dan dalam pikiran korbannya. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Lebih jauh di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan bahwa, Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda, dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional. Terorisme di Indonesia sering dan selalu mengatas namakan agama seperti pengakuan pelaku bom Bali 1 dan 2 yang sudah sangat banyak memakan korban yang memilukan semua orang. Pandit Vamadeva Shastri (ketika belum diinisiasi bernama Dr. David Frawley) seorang intelektual Hindu yang bermukim di Amerika Serikat, dalam tulisannya Bagaimana Hindu Menjawab Terorisme? Yoga, Ahimsa dan Serangan Teroris (2005: 52) menyatakan, Jalan Ksatriya sebagaimana diamanatkan di dalam kitab suci Bhagavagita yang mengajarkan aspek spiritual dari Yoga secara sangat rinci, diajarkan di medan pertempuran, selama perang saudara. Sementara beberapa orang akan mengatakan bahwa peperangan luar ini (peperangan jasmani, outer battle) adalah sebuah metaphora bagi satu perjuangan di dalam (pergulatan batin), yang benar bahwa peperangan luar juga sungguhsungguh terjadi adalah jelas dan banyak catatan bukti-bukti sejarah India Kuno. Krishna, sang mahaguru Yoga mendorong muridnya Arjuna, seorang pejuang besar untuk bertempur, sekali pun Arjuna enggan dan ingin mengikuti jalan non kekerasan. Mengapa Krishna mendorong Arjuna untuk bertempur? Ada dua hal yang utama dari Ahimsa di dalam tradisi Yoga.Yang pertama adalah Ahimsa sebagai satu prinsip spiritual, yang diikuti oleh para yogi, bikhu, sadhu, dan sannyasi yang meliputi non kekerasan pada semua level. Yang kedua adalah Ahimsa sebagai salah satu prinsip politik, Ahimsa dari para pejuang atau Ksatriya, yang diikuti oleh mereka yang memerintah dan melindungi masyarakat, yang diijinkan untuk melawan kekuatan-kekuatan jahat di dunia ini, termasuk melindungi orang-orang spiritual yang sering tidak dapat membela diri mereka sendiri dan menjadi target manusia keduniawian. Krishna menganjurkan Ksatriya Ahimsa ini kepada Arjuna bagi kepentingan generasi yang akan datang, seperti Rishi Visvamitra yang mengajar Rama dan Laksamana untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan jahat yang mengganggu dan membunuh orang-orang spiritual. Hal ini merupakan tradisi India yang sangat tua. Lebih jauh Pandit Vamadeva Shastri (2005:54) menambahkan, sementara sebuah jawaban keras kepada terorisme mungkin perlu dalam jangka pendek, satu reorientasi dharma yang lebih besar dari masyarakat kita adalah satu-satunya solusi jangka panjang. Ini

mensyaratkan tidak hanya mengalahkan teroris, tetapi mengadopsi satu cara hidup yang lebih bertanggung jawab dan kembali kepada kepada satu keselarasan yang lebih besar dengan alam maupun kemanusiaan. Itu berarti menyelesaikan masalah-masalah global yang lebih besar yang meliputi tidak hanya terorisme dan fundamentalisme agama, tetapi kemiskinan, kekurangan pendidikan, kelebihan penduduk, penghancuran lingkungan alam. Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional Menanggulangi radikalisme dan teriorisme mengatas namakan agama memerlukan perhatian semua komponen nasional. Dengan disahkan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen tanggal 6 Desember 2005 lalu diharapkan mutu pendidikan benar-benar dapat ditingkatkan, setidaknya mengejar ketertinggalan dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, yang baru saja melepaskan diri dari pergolakan perang yang berkepanjangan. Belum lagi ketinggalan kita dengan negara tetangga terdekat Malaysia dan Singapura. Memang timbul pertanyaan, kenapa di Malaysia terorisme dapat dicegah dengan baik, sementara di Indonesia hal itu sangat sulit dilakukan dan otak terorisme di Indonesia adalah warga negara Malaysia. Gembong terorisme ini telah mengobok-obok negara, mengapa hal ini sulit diatasi? Pertanyaan ini menjadi bahan renungan lebih jauh, dan menurut hemat kami, jawabannya yang mendasar adalah meningkatkan kualitas pendidikan nasional dalam arti yang sesungguhnya. Pendidikan agama yang merupakan bagian yang integral dengan pendidikan nasional hendaknya dapat mengembangkan pendidikan agama yang inklusif, yang menghargai perbedaan, yang menjunjung tinggi kebenaran dari masing-masing agama, mengukuhkan toleransi dan kerukunan hidup antar sesama umat beragama dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam hubungan ini, dari perspektif Hindu diketengahkan model pendidikan agama yang inklusif yang diajarkan oleh Sri Sathya Narayana (23-11-2003), seorang yogi besar dewasa ini, seorang guru spiritual yang menekankan kembali betapa pentingnya 5 (lima) dasar nilai-nilai kemanusiaan, yang terdiri dari: 1)Satya: kebenaran (truth), seseorang hendaknya berpegang teguh kepada ajaran agama yang dianutnya. 2)Dharma: tindakan yang benar (right conduct), seseorang hendaknya senantiasa berbuat baik dan benar. 3)Prema: cinta kasih (love), seseorang hendaknya senantiasa mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk dan alam semesta ciptaan-Nya. 4)Shanti: kedamaian (peace), seseorang hendaknya dapat mewujudkan kedamaian hati dan membuat suasana sejuk terhadap lingkungannya. 5)Ahimsa: tanpa kekerasan (non violence), seseorang hendaknya tidak melakukan tindakan kekerasan, tidak menyiksa apalagi sampai membunuh seseorang. Lebih jauh dalam pergaulan hidup bermasyarakat, seseorang hendaknya dapat merealisasikan/mengaktualisasikan 10 (sepuluh) prinsip hidup) yaitu. 1)Cinta dan bhakti kepada tanah air, tumpah darah tempat kita dilahirkan, jangan membenci atau merugikan tanah air sendiri dan tanah air orang lain. 2)Hormati semua agama dengan rasa hormat yang sama, setiap agama adalah jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa. 3)Cintai semua orang tanpa membeda-bedakan, karena semua manusia adalah satu komunitas yang tunggal.

4)Pelihara kebersihan dan ketentraman rumah tangga dan lingkungan, maka kesehatan dan kebahagiaan masyarakat akan dapat diwujudnyatakan. 5)Jadilah dermawan, jangan buat sesuatu yang menjadikan seseorang menjadi pengemis. Bantulah orang yang memerlukan sesuai kebutuhan dan menjadikan mereka mandiri. 6)Jangan menggoda seseorang dengan menawarkan/memberi hadiah atau merendahkan diri dengan menerima suap. 7)Jangan membenci, dengki, irihati dengan alasan apapun. 8)Jangan bergantung pada siapapun, usahakan untuk melaksanakan sendiri sebanyak mungkin, walaupun seseorang kaya raya dan memiliki banyak pembantu, tetapi pelayanan masyarakat (seva) agar dilaksanakan langsung sendiri. Jadilah pelayan bagi diri sendiri dan orang lain. 9)Jangan sekali-kali melanggar hukum yang berlaku di negara kita. Patuhilah peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadilah warga negara teladan. 10)Cintailah Tuhan Yang Maha Esa, dan segenap ciptaan-Nya dan jauhilah dosa dan perbuatan buruk. Harapan Semoga bangsa Indonesia yang dipuji-puji karena kehidupan beragamanya di masa yang silam seperti dinyatakan oleh Lee Khoon Choy (Muhammad, 2004:6) Nowhere in the world do we find the country in which religion plays such an important role in the lives of people............... Wether they are Christians, Buddhists, Hindus, Muslims, Confucianists or Taoists, they have to believe in One God. There is no place for atheists, dapat segera menuntaskan masalah radikalisme dan terorisme yang mengataskan agama ini. Daftar Pustaka Bagus, I Gusti Ngurah.1993. Kehadiran Agama Hindu di Indonesia, dan Peranannya Dalam Pembangunan Nasional, Makalah pada 100 Tahun Parlemen Agama-Agama sedunia, dan Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia, Yogyakarta, 11-12 Oktober 1993. Ellsberg, Robert. 2004. Gandhi on Christianity. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Ermaya Suradinata, 2004. Radikalisme dan Masa Depan Bangsa, Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004. Muhammad, Afif. 2004. Radikalisme Agama Abad 21. Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004. Mumukshananda, Svami. 1992. The Complete Works of Svami Vivekananda,I, Calcuta: Advaita Ashram. Prabhu, R.K. & U.R.Rao. 1967. The Mind of Mahatma Gandhi. Ahmedabad, India: The Navajivan Trust.

Radhakrishan, S. 2002. Hindu Dharma, Pandangan Hidup Hindu, Terjemahan Agus Mantik, Jakarta: Manikgeni. -------, 1949: The Bhagavadgita, George Allen and Unwin Ltd. London. Sutapa, Pendeta Djaka. 2004. Radikalisme dan Masa Depan Bangsa. Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004. Schuon, Frithjof. 2003.Mencari Titi Temu Agama-Agama. Jakarta: Pustaka Firdaus. Suseno, Frans Magnis.2002. Harian Jawa Pos, hal.1, tanggal 30 Desember 2002. Titib, I Made. 1996. Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita. Vamadeva Shastri, Pandit. 2005. Bagaimana Hindu Menjawab Terorisme? Yoga, Ahimsa dan Serangan Teroris. Jakarta: Media Hindu, Majalah Bulanan, Desember 2005. Visvananda, Svami.1937. Unity of Religions, dalam The Religions of the World, Sri Ramakrishna Centenary Parliament of Religions, Calcuta: Sri Ramakrishna Mission Publications. Wahid, Abdul, Sunardi, Muhammad Imam Sidik.2004. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum. Kata Pengantar K. H. A. Hasyim Muzadi, Bandung: PT. Refika Aditama. Walker, Benyamin. 1983. Hindu World, Vol.II. New Delhi: Munshiram Manoharlal. Zaehner, Robert C. 1993. Kebijaksanaan dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Islam Bukan Agama Radikal dan Liberal 16-July-2007 Islam merupakan agama yang moderat dan toleran serta sama sekali tidak mengenal radikalisme dan liberalisme. Oleh karena itu, meski kelompok kelompok radikal dan liberal mencoba berkembang, kelompok ini diprediksi akan binasa karena tidak sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri. Imam Besar Masjid Nabawi Madinah (Arab Saudi), Sheikh Dr Ali bin Abdurrahman Al Hudzaifi, dalam khotbah Jumat di Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana Kepresidenan,

pekan lalu menyatakan Islam mengajarkan untuk menghargai manusia tanpa pandang bulu, agama, ras, golongan, dan sebagainya, tanpa meninggalkan ajaran Islam. Keistimewaan inilah yang membuat raja-raja pada masa silam banyak yang kemudian memeluk Islam. Kepada para jamaah dan umat Islam, Sheikh Dr Ali bin Abdurrahman Al Hudzaifi berpesan agar untuk terus meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Al Hudzaifi menjelaskan, ajaran Islam memiliki sejumlah keistimewaan. Salah satunya adalah Al Quran yang tidak pernah mengalami distorsi atau penambahan dan pengurangan. Karena Allah SWT telah menjamin dan menjaganya, tegasnya. Ketua Pelaksana Harian Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), H Ahmad Sumargono, mengingatkan agar negara dan media melindungi simbol-simbol agama dari pencemaran skenario perang melawan terorisme yang hendak merusak citra Islam sehingga Islam selalu dikesankan sebagai agama radikal. Sumargono menyayangkan pada era reformasi ini berbagai pemberitaan mengenai aksi terorisme cenderung menjelek-jelekkan agama, terutama Islam. Di era Orde Baru, kata Sumargono, Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Soedomo, pun pernah membuat stigma bahwa teroris itu terkait dengan Islam. Misalnya, dengan penggunaan nama Komando Jihad pada kelompok teroris. Tapi setelah banyak diprotes ulama, diganti sebutannya menjadi Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Selama zaman Orde Baru tak pernah lagi keluar stigma itu, tapi sekarang di era reformasi kok muncul lagi, keluhnya. Oleh karena itu, Sumargono menyarankan agar pemerintah tak lagi memakai nama atau simbol agama dalam pemberantasan terorisme, tapi justru negara harus melindunginya. Sebutan nama Jamaah Islamiyah pun menurutnya masih perlu diluruskan, karena dulu intelijen di bawah Ali Murtopo pun pernah memakai sebutan kelompok Islam untuk teroris. Kalau memakai sebutan teroris saja silakan, ujarnya. Apalagi Sumargono melihat banyak keanehan yang terjadi pada tersangka terorisme karena di lingkungan tempat tinggalnya tersangka dikenal baik. Namun tiba-tiba setelah ditangkap polisi menjadi tersangka tindak terorisme. Para tersangka terorisme juga mudah sekali membuat pengakuan di televisi dengan menggunakan atribut yang menonjolkan kemuslimannya. PKI saja sampai akhir kebangkrutannya tak mau mengaku karena mereka punya keyakinan kuat. Ini kok pelaku terorisme mengaku penganut Islam taat yang punya akidah, ada skenario apa sesungguhnya? ungkapnya. Namun saat ini Sumargono melihat kalangan Muslim sudah apatis dengan berbagai penggunaan simbol-simbol Islam dalam aksi terorisme. Sebab, sebagian besar juga tidak setuju dengan aksi-aksi atas nama agama itu. Tapi kalau terjadi pelanggaran HAM seperti kasus penangkapan Abu Dujana, ya tetap harus kita protes, ingatnya. Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa yang juga putri mantan Presiden Gus Dur, Yenni Wahid, mengungkapkan, kehidupan beragama di Indonesia sekarang ini memang ditandai dengan fenomena yang agak merisaukan. Di satu pihak, kata Yenni, terjadi revitalisasi semangat keagamaan dengan menonjolkan simbol-simbol keagamaan di ruang publik secara sangat menonjol. Namun di pihak lain berbagai kasus yang menciderai kehidupan beragama terjadi terus menerus. Gelombang penyesatan satu kelompok atas kelompok yang lain dalam komunitas agama belum ada tanda-tanda berhenti, ujarnya.

Wakil Presiden M Jusuf Kalla mendorong perlu diperluasnya gerakan-gerakan Islam yang inklusif yang terbuka dan ramah serta penuh perdamaian yang terkait dengan ke Indonesian. Jusuf Kalla mendorong perlu diperluasnya gerakan-gerakan Islam yang inklusif, terbuka, moderat dan penuh damai," kata Ketua Pelaksana Yayasan Wakaf Paramadina Didiek J Rachbini, usai bertemu Wapres Jusuf Kalla, pekan lalu. Menurut Ketua Harian Yayasan Paramidna, Ahmad Ganis, Wapres Jusuf Kalla juga meminta para pengurus ihwal pentingnya meneruskan visi misi yang telah dikembangkan oleh Almarhum Nurcholish Madjid yang intinya adalah gerakan pendidikan Islam yang modern, moderat, dan penuh kedamaian. Inilah citra ke-Islaman di Indonesia yang modern, moderat, dan penuh kedamaian," kata Ganis. Ketua Umum PBNU KH A Hasyim Muzadi menilai hingga saat ini masih ada upaya menyudutkan Islam by design" sehingga Islam dianggap agama radikal. Saya tidak bisa menunjukkan siapa di balik itu, tapi hal itu tampaknya merupakan konspirasi yang sengaja ingin menampilkan citra Islam yang buruk," ujarnya. By design itu, kata Muzadi, terlihat dari pelecehan terhadap Islam, Nabi Muhammad SAW, Al-Quran, masjid/mushola, dan sasaran lain yang memang menggugah emosi mulai dari Indonesia hingga ke luar negeri. Namun, kata Muzadi, umat Islam tidak perlu menanggapinya dengan emosional, karena mereka yang membenci Islam akan justru bersorak dan masalahnya tidak akan selesai. Kita harus melawan serangan dalam bentuk opini itu dengan opini pula, bukan dengan kekerasan, tegasnya. Oleh karena itu, kata Muzadi menyarankan, umat Islam harus menampilkan opini tentang Islam yang moderat, ramah, demokratis, damai, dan tidak sejelek seperti yang gambarkan secara by design tersebut. (CMM www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4527_0_3_0_M JAKARTA, HALUAN organisasi Negara Islam Indonesia(NII) yang disebut-sebut melakukan "cuci otak" diduga menargetkan kaum muda terutama mahasiswa baru. Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar menyatakan, hal ini bisa dilakukan dengan dengan menanamkan ideologi-ideologi mereka saat perekrutan mahasiswa baru. Bahkan, mereka bisa menyalurkan ideologi tersebut melalui pengajaran di perguruan tinggi. "Modus dari kegiatan cuci otak ini bisa terjadi saat mahasiswa baru mengikuti orientasi kegiatan tertentu. Banyak yang ke kawasan pengajar juga, jadi diharapkan kampus memiliki daya cegah," ujar Boy Rafli , Senin (25/4). Selain itu, Polri menduga, mengenai kasus hilangnya sejumlah mahasiswa karena menjadi korban cuci otak seperti terjadi di Malang, Yogyakarta dan Bogor dilakukan oleh para mantan narapidana kasus makar, penipuan, dan penculikan dari gerakan Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah VII pada 2008. Beberapa mantan narapidana tersebut, sebelumnya mendapatkan vonis hukuman 2,5 tahun. Mereka dikenakan pasal berlapis. Sebagian dikenakan pasal 106 dan 107 KUHP, sebagian lainnya dijerat pasal 55/56, 170, 154a, 156a dan 378 KUHP. "Patut diselidiki

lebih lanjut apakah benar mereka ini (mantan napi) terkait dengan NII yang disebut-sebut sekarang ini. Kita akan lihat perkembangannya. Orang-orang ini kan saat ini sudah selesai menjalani masa hukumannya," imbuhnya. Namun, Boy mengatakan, Polri juga akan menyelidiki kemungkinan kasus beberapa orang hilang ini benar-benar dilakukan oleh NII atau oleh kelompok lain yang mengatasnamakan NII. "Kita melihat ini perlu dibuktikan secara hukum. Apa mereka berkaitan, atau mengatasnamakan NII. Semua tergantung proses pe meriksaan. Bisa saja dengan menggunakan nama kelompok ini untuk melakukan penipuan, penculikan, yang tujuannya bermotif ekonomi, yakni diculik lalu minta tebusan. Itu bisa terjadi," kata Boy. Pengakuan Korban Sementara itu seorang mahaiswa cuci otak gerakan NII, Agung Arief Perdana Putra menyatakan, dia ingin menyepi untuk menenangkan diri setelah merasa bersalah dan malu menjadi korban cuci otak gerakan NII. Agung merasa dirinya sempat bimbang untuk memutuskan apakah kembali ke rumah atau meneruskan kuliah. "Saya mau balik ke rumah saya malu karena sudah berdosa sama orangtua karena membohongi mereka. Saya tidak mau bertemu teman-teman kuliah saya lagi," katanya. Dirinya sempat memberanikan diri kembali kuliah namun sempat dicaci maki dan dihakimi teman-temannya yang marah karena dirinya ikut mengajak delapan orang lainnya. "Bahkan saya sempat dipukul karena dianggap perekrut," tuturnya. Bahkan saat pulang 19 Maret lalu, Agung sering mendapat telepon teror dari seseorang yang mengaku pembinanya. Akhirnya saat kembali ke Malang paa 20 Maret lalu, dia membuang nomor kartu telepon selulernya dan mengganti dengan nomor baru. Agung sempat meng hubungi keluarga dengan nomor baru pada 15 April menyatakan bahwa dirinya di Malang dan baik-baik saja. Dia menyatakan tinggal di rumah teman yang kerja di ekspedisi. Kondisi mental Agung juga masih labil. Dia berencana cuti kuliah atau berhenti sementara dari jurusan Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang. Saat ini mahasiswa yang duduk di semester II mengaku masih trauma. "Selama cuti kuliah saya ingin belajar di rumah untuk persiapan mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Saya mau bongkar lagi kumpulan soal masuk SNMPTN," ujarnya di rumahnya. Agung khawatir meskipun kampusnya menerima dia kembali, tetapi dia khawatir temantemannya mengasingkannya. Menurutnya bila bisa diterima UMPTN di tempat baru dia berharap bisa lebih fresh dengan suasana baru yang lebih menyenangkan.

Agung merasa lebih tenang berkumpul bersama keluarga. Ayahnya Rasyidi Syamsul Arifin dan ibunya Rahayu Kunti Andari sangat mendukung dan berharap Agung bisa kembali kuliah di Unmuh Malang. Sebab biaya yang sudah dikeluarkan tidak sedikit dan sayang bila tidak diteruskan. Tetapi semua bergantung Agung, dan kenyamanannya dalam menempuh pendidikan. Orangtua dan kerabat Agung bahagia Agung kembali dan bersyukur kepada Tuhan. Mereka juga berterimakasih kepada pihak kampus dan kepolisian serta semua pihak yang membantu menyadarkan Agung hingga mau kembali ke rumah. (d/ant/kcm) Apakah Anda mahasiswa Indonesia ? Sedang menyelesaikan kuliah di Jakarta, Bogor, Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya atau Malang ? Pernahkah Anda didekati oleh seseorang atau mahasiswa lain untuk diajak berkenalan dan berdiskusi tentang negeri ini ? Apakah materi yang dibahas tentang agama Islam, kekafiran, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Negara Islam, atau Negara Karunia ? Adakah pernyataan dari teman mahasiswa Anda bahwa kalau menjadi warga NKRI itu kafir sedang bila menjadi warga Negara Islam dan beragama Islam maka akan masuk surga ? Benarkah bila sudah menjadi anggota kelompok tersebut harus membayar infak rata-rata Rp 2 juta sampai Rp 30 juta untuk mensucikan dosa dan setiap bulan membayar iuran sebesar Rp 120.000,- ? Bila Anda menemui hal ini, hendaklah kita berhati-hati dalam menerima ajakannya. Metode cuci otak terhadap mahasiswa Indonesia mungkin saja dapat menghampiri kita. Tentunya sebagai kaum intelektual, para mahasiswa Indonesia utamanya yang beragama Islam tidak begitu saja menerima konsep atau dakwah yang disampaikan oleh orang tersebut. Mengapa negara Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 diganti dengan ideologi lain ? Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri diatas kesucian. Bangsa Indonesia merdeka itu atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Negara (Republik Indonesia) berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Mengapa harus mendirikan negara dengan ideologi lain dan merobohkan NKRI yang kita cintai ini ? 'Kebebasan' apa lagi yang kurang dari negeri ini ? Indonesia terdiri atas berbagai suku dan agama. Apabila mendirikan negara Islam di Nusantara ini, apakah tidak akan terpecah belah negeri ini ? Apabila ada dan terjadi kedholiman, ketidakadilan, kemaksiatan, dan kemungkaran di negeri ini, hendaknya dicarikan solusi yang bijak, damai, tegas, dan konsisten. Cita-cita yang luhur seperti adil, makmur dan sejahtera itu tidak serta merta akan tercapai semudah membalik telapak tangan, namun tentunya membutuhkan waktu dan tahapan. Semua hendaknya saling mengingatkan menuju kebaikan, adanya keteladanan dari para pemimpin, penegakan hukum, terwujudnya pemerataan pembangunan, dan keadilan. Semoga upaya cuci otak terhadap mahasiswa Indonesia ini ditanggapi dengan pikiran yang jernih, hati yang lapang dan bijaksana. Magetan, 16 Jumadil Awal 1432 H.

VIVAnews - Merebaknya modus cuci otak dengan sasaran para mahasiswa terus menjadi berita hangat. Polres Malang, Jawa Timur pun bertindak. Polisi menurunkan tim khusus untuk investigasi dan mengumpulkan data menelusuri benang merahnya. "Kami sudah turunkan dua tim. Dan, besok kami kumpulkan anggota jajaran Polsek dan Polres di Malang untuk menyingkap tabir masalah ini," kata Kapolresta Malang AKBP Agus Salim dihubungi VIVAnews.com Rabu, 20 April 2011. Agus Salim menambahkan, untuk sementara polisi fokus terkait kabar hilangnya mahasiswa dan modus penipuannya.Saat ini, polisi tengah memeriksa dua mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). "Untuk nama-namanya konfirmasi ke Kasat Reskrim saja. Dan, saat ini kita dengan pihak kampus tengah membicarakan adanya mahasiswa yang dikabarkan hilang," lanjut dia. Soal dugaan keterlibatan organisasi Negara Islam Indonesia (NII), Agus mengatakan bahwa bisa jadi agama hanya sebagai kedok untuk melakukan modus kejahatan penipuan dengan sasaran para mahasiswa. "Kami akan telusuri itu, termasuk memanggil sejumlah saksi mahasiswa," lanjut dia. Kabar terbaru yang beredar, ada 15 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jawa Timur yang dikabarkan hilang. Ada yang mengaku setelah direkrut orang tak dikenal, para korban didoktrin untuk tidak percaya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebaliknya digiring untuk meyakini dan percaya NII. "Istilah yang mereka pakai bukan hanya Negara Islam, melainkan juga menyebutnya dengan "Negara Karunia". Disebutkan, menjadi warga NKRI katanya kafir. Bisa Islam dan langsung masuk surga kalau jadi warga Negara Islam dan mengikuti baiat," kata Humas