agama budha
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji serta rasa syukur penyusun panjatkan kehadirat Illahi Rabby yang
senantiasa dan tanpa henti-hentinya mengalirkan kasih sayang serta segala ni'mat-
Nya kepada kita semua, terkhusus kepada penyusun, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan penyusunan makalah kuliah ..........
Penyusun menyadari bahwa makalah ini sangat jauh sekali untuk
dikatakan sempurna, oleh karena itu penyusun sangat terbuka akan kritik serta
saran yang membangun, sehingga penyusun dapat mengerjakan makalah yang
lebih baik dikemudian hari.
Akhirnya, penyusun hanya bisa berharap, mudah-mudahan makalah ini
dapat bermanfaat serta berguna bagi siapa saja, khususnya bagi penyusun dan
umumnya bagi yang membacanya.
Bandung, Januari 2008
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Beragama merupakan sebuah insting (fitrah, red) yang dimilki oleh setiap
manusia, ketika zaman dahulu kala, ketika peradaban manusia belum ada,
manusia menyakini akan adanya suatu dzat yang melebihi manusia, mereka
menyadari bahwa mereka lahir, hidup lalu meninggal dunia.
Manusia pada waktu itu (dahulu kala) menyakini akan adanya sesuatu
yang diluar daya nalar mereka, namun akal tidak dapat membantu lebih manusia
untuk mencari sesuatu tersebut, akhirnya daya nalar mulai bermain-main untuk
mencari sesuatu yang berada diatas daya serta kekuatan manusia tersebut.
Inilah yang menjadi landasan manusia beragama. Manusia pada zaman
dahulu begitu mudahnya menyakini bahwa benda-benda (keramat) adalah tuhan
mereka (dinamisme) dan sebagian lain meyakini akan adanya suatu makhluk kasat
mata (roh) yang menjadi tuhan mereka (animisme)
Manusia pada zaman dulu begitu di nina bobokan dengan ajaran yang
mereka temukan, bahkan sangat sulit untuk mengembalikan ajaran mereka pada
fitrah yang sebenarnya, ini dapat kita lihat dari kehidupan sekarang, meskipun
jalan kebenaran yang tampak sudah benar, namun masih ada orang yang meyakini
akan ajaran nenek moyang mereka (animisme dan dinamisme)
BAB II
PEMBAHASAN
Agama Buddha
Agama Buddha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal
sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Pencetusnya ialah
Siddhartha Gautama yang dikenal sebagai Gautama Buddha oleh pengikut-
pengikutnya. Ajaran Buddha sampai ke negara Tiongkok pada tahun 399 Masehi,
dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat
pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.
Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena
dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-
pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku
yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau
tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan
psikologi).
Sejarah Agama Buddha
Gautama Buddha dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama
(Sansekerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya
tercapai"), dia kemudian menjadi sang Buddha (secara harafiah: orang yang telah
mencapai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni atau
Sakyamuni ('orang bijak dari kaum Sakya') dan sebagai sang Tathagata.
Ayah dari Pangeran Siddharta adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari
Suku Sakya dan ibunya adalah Sri Ratu Maha Maya Dewi. Ibunda Ratu
meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Sejak saat itu maka
yang merawat Pangeran Siddharta adalah Maha Pajapati, yaitu bibinya yang juga
menjadi isteri Raja Suddhodana.
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman
Lumbini. Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan
bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi
Seorang Buddha. Hanya pertapa Kondanna yang dengan pasti meramalkan bahwa
Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri
Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada
yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Para pertapa itu menjelaskan agar Sang
Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi
pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah: 1. Orang tua, 2.
Orang sakit, 3. Orang mati, dan 4. Seorang pertapa.
Kata-kata pertapa Asita membuat Baginda tidak tenang siang dan malam,
karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi
pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak
pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati
hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari
kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian. Sehingga
Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi. Dalam Usia 7 tahun Pangeran
Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi Pangeran
Siddharta kurang berminat dengan pelajaran tersebut. Pangeran Siddharta
mendiami tiga istana, yaitu istana musim semi, musim hujan dan pancaroba.
Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi.
Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang
cerdas dan sangat pandai, ia selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-
dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah.
Pada usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang
dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Pada akhirnya Sang
Pangeran melihat empat peristiwa yang selalu diusahakan agar tidak berada di
dalam penglihatannya, setelah kejadian itu Pangeran Siddharta tampak murung
dan kecewa melihat kenyataan hidup yang penuh dengan derita ini.
Suatu hari Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana
bermaksud untuk berburu dengan kusirnya Canna. Pada perjalanan tersebut,
beliau melihat seseorang yang terbaring di tanah dengan badan yang sangat kurus
dan menderita, beliaupun bertanya kepada kusirnya “kenapakah orang itu,
kusirnya menjawab bahwa dia adalah orang yang sedang sakit dan setiap orang
pasti akan mengalaminya,” setelah mendengar jawaban kusirnya tersebut
pangeran sidharta pun merenung. Pada kesempatannya berburu yang kedua sang
pangeran menemukan seorang yang sudah bungkuk, kepalanya tertunduk ke tanah
sambil memegang tongkat dalam keadaan tangannya bergetar, beliaupun bertanya
kembali ke pada kusirnya kenapakah orang ini, kusirnya menjawab dia adalah
orang yang telah tua dan Tuanpun akan mengalaminya di dalam kehidupan Tuan,
setelah mendengar keterangan kusirnya pangeranpun kembali merenung. Pada
kesempatannya berburu yang ketiga pangeran melewati kerumunan orang yang
sedang mengusung jenazah, beliaupun kembali bertanya kepada kusirnya
kenapakah orang ini, kusirnyapun menjawab dia adalah orang yang telah
meninggal, dan setiap orang akan mengalaminya. Setelah mendengar pernyataan
kusirnya pangeran Sidhartapun menjadi sedih dan kembali merenung. Pada
ksempatannya yang keempat pangeran melihat seorang wanita menggendong
anaknya yang masih kecil, sedang anaknya yang agak besar mengirinya dari
belakang, dari wajah wanita tersebut terlihat kepedihan akan hidup yang
dialaminya, dia berjalan kesana-kemari sambil menjulurkan tangannya meminta-
minta kepada setiap orang yang ditemuinya untuk memberinya makanan. Pada
kesempatan inipun pangeran kembali bertanya, kenapakah dengan orang ini,
kusirnyapun kembali menjawab bahwa wanita tersebut adalah orang yang miskin
dan sengsara, sedangkan dia adalah termasuk kasta sudra, yaitu kasta yang amat
rendah kedudukannya. Mendengar penjelasan tersebut dan merenungkan
pengalaman-pengalaman yang dialaminya dalam perjalanan bersama kusirnya
tersebut pangeran Sidharta menjadi sedih yang sangat mendalam, dan terus
merenungkannya di istananya. Walaupun keadaan di istana sangat menyenangkan
dan kebutuhan pangeran sangat mencukupi, hal-hal tersebut tidak dapat
mengobati kesedihan dan kebimbangan yang dialami sang pangeran, dan keadaan
tersebutpun semakin berlarut-larut. Sehingga Pangeran Siddharta dalam
kesedihannya menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau
semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang
minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu
dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini ! ".
Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan
memberikan semua jawaban tersebut. Ketika pangeran Sidharta berjalan keluar
istana untuk pergi bersama kusirnya ke pasar, beliau melihat seorang muni
(pendeta), berpakaian lusuh dan sedang meminta-minta, walaupun kehidupan
muni tersebut menurut pangeran sangat menderita beliau melihat bahwa dari
pancaran wajahnya, bahwa dia dalam menjalani kehidupannya sangat tabah dan
tenang. Pangeran berkata dalam hatinya, ”mungkinkah ini contoh yang harus
kuikuti dalam mencapai kebenaran dan menyelami sebab penderitaan manusia.”
Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29
tahun, pada saat itu pangeran telah bulat tekadnya untuk meninggalkan istana dan
hidup sebagai pengembara dan menjadi seorang pertapa, sedangkan pada saat
tersebut istrinya sedang mengandung. Sang raja merasa bahwa dengan kecintaan
sang pangeran kepada anaknya, raja berdoa agar sang pangeran dapat
mengundurkan niatnya untuk mengembara. Tetapi, sang pangeranpun
memutuskan sebelum tumbuh kecintaan terhadap istri dan anaknya semakin kuat
ia harus segera pergi secepatnya. Tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir.
Pada suatu malam, Pangeran Siddharta meninggalkan istananya dengan ditemani
oleh kusirnya Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung
dengan menjalani hidup sebagai pertapa.
Setelah pangeran merasa cukup jauh dengan kerajaan kapilawastu,
pangeran dengan dibantu kusirnya Cannah segera memotong rambut dan
janggutnya. Setelah itu pangeran mengganti pakaian yang dibawanya dengan
pakaian seorang pengembara yang ditemuinya. Setelah hal tersebut tampaklah
tampang pangeran yang seorang bangsawan telah berubah, dan jelas seperti
seorang biksu.
Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan
pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari
dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramaputra.
Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum
ditemukan jawaban yang diinginkannya. Pendeta Alara Kalama dan Udraka
Ramaputra mengatakan kepada pertapa Gautama untuk mencapai pencerahan
sempurna, beliau harus mempelajari kitab Weda dengan penuh hikmah. Setelah
berlangsung cukup lama, pertapa Gautama masih tidak dapat menemukan
jawaban mengapa sang Brahma membuat manusia menderita, sakit, tua dan mati.
Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu, ia
tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna.
Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya, dalam
perjalanan tersebut beliau bertemu lima orang pertapa. Para pendeta tersebut
mengatakan untuk mendapat pencerahan sempurna manusia harus menyucikan
rohnya, yaitu dengan cara menyiksa tubuh. Setelah mendengar pernyataan
tersebut pertapa Gautamapun pergi ke Magada untuk melaksanakan bertapa
menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi sungai Nairanjana yang mengalir dekat
hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun
di hutan Uruwela, Pertapa Gautama masih belum juga dapat memahami hakekat
dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang
tua sedang menasehati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana
dengan mengatakan, " Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin
tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara
kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah.
Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu."
Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan
untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang
telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa
Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk
susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut
jiwanya. Ketika kekuatan tubuhnya kembali, ia berjalan menemui teman-temanya
yang masih bertapa, dan mengatakan kepada mereka bahwa ia akan meninggalkan
mereka, karena pertapaan yang dilakukannya tersebut tidak akan pernah berhasil
dalam pencapaian menuju pencerahan sempurna. Hal tersebut malah akan
memadamkan cahaya pikiran, dan tujuan yang didambakannya tidak akan
mungkin didapatkan dengan cara seperti itu.
Setelah cukup lama setelah pertapaaan menyiksa dirinya, pertapa Gautama
namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan
samadhinya di bawah pohon Bodhi (Asetta) di hutan Gaya, sambil berprasetya,
"Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh
berserakan , tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai
Pencerahan Sempurna." Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa
Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda
yang dahsyat itu. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang
teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini
terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.
Sekarang pertapa Gautama menjadi terang dan jernih, secerah sinar fajar
yang menyingsing di ufuk timur. Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan
Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada
saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika Beliau berusia 35 tahun
(menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12,
menurut kalender Lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat
mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Beliau memancarkan enam sinar
Buddha (Buddharasmi) dengan warna-warni Biru yang berarti bhakti; Kuning
mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; Merah yang berarti kasih
sayang dan welas-asih; Putih mengandung arti suci; Jingga berarti giat; dan
campuran ke-lima sinar tersebut.
Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar
kesempurnaan yang antara lain : Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni,
Tathagata ('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha
Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang
mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha
yang mendengarkan khotbah pertama (Dharmacakra Pravartana/Dhammacakka
Pavattana), dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang
ditemukanNya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya
yang menjelaskan Empat Kebenaran Mulia.
Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh
lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih
sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, dimana Beliau mengetahui
bahwa tiga bulan lagi Beliau akan Parinibbana.
Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon Sala di
Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswanya, lalu
Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2
kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM). Khotbah Buddha Gautama
terakhir mengandung arti yang sangat dalam bagi siswa-siswaNya, yang antara
lain :
• Percaya pada diri sendiri dalam mengembangkan Ajaran Sang Buddha.
• Jadikanlah Ajaran Sang Buddha (Dharma) sebagai pencerahan hidup.
• Segala sesuatu tidak ada yang kekal abadi.
Tujuan dari Ajaran Sang Buddha (Dharma) ialah untuk mengendalikan pikiran.
Pikiran dapat menjadikan seseorang menjadi Buddha, namun pikiran dapat
pula menjadikan seseorang menjadi binatang.
Hendaknya saling menghormati satu dengan yang lain dan dapat
menghindarkan diri dari segala macam perselisihan.
Bilamana melalaikan Ajaran Sang Buddha, dapat berarti belum pernah
berjumpa dengan Sang Buddha.
Mara (setan) dan keinginan nafsu duniawi senantiasa mencari kesempatan
untuk menipu umat manusia.
Kematian hanyalah musnahnya badan jasmani.
Buddha yang sejati bukan badan jasmani manusia, tetapi Pencerahan
Sempurna.
Kebijaksanaan Sempurna yang lahir dari Pencerahan Sempurna akan
hidup selamanya di dalam Kebenaran.
Hanya mereka yang mengerti, yang menghayati dan mengamalkan
Dharma yang akan melihat Sang Buddha.
Ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha tidak ada yang dirahasiakan,
ditutup-tutupi ataupun diselubungi.
Sang Buddha bersabda, "Dengarkan baik baik, wahai para bhikkhu, Aku
sampaikan padamu: Akan membusuklah semua benda benda yang terbentuk,
berjuanglah dengan penuh kesadaran!" (Digha Nikaya II, 156)
Sejarah Perkembangan Agama Buddha
Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari
lahirnya sang Buddha Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama
tertua yang masih dianut di dunia. Selama masa ini, agama ini sementara
berkembang, unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan
Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses
perkembangannya ini, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua
Asia. Sejarah agama Buddha juga ditandai dengan perkembangan banyak aliran
dan mazhab, serta perpecahan-perpecahan. Yang utama di antaranya adalah aliran
tradisi Theravada , Mahayana, dan Vajrayana (Bajrayana), yang sejarahnya
ditandai dengan masa pasang dan surut.
Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari
klan Sakya pada awal masa Magadha (546–324 SM), di sebuah kota, selatan
pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal
sebelah selatan. Beliau juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang
bijak dari kaum Sakya").
Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan
ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha),
Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan
bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat
dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada
artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa
juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (majhima patipada ?). Jalan
tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang
terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.
Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan
posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai
Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya
"Buddha" saja, sebuah kata Sansekerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata
budh+ta).
Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah
mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan
ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.
Keengganan Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan
ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun
selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab Buddha Nikaya, yang sekarang
hanya masih tersisa Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab Mahayana,
sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.
Tahap awal agama Buddha
Sebelum disebarkan di bawah perlindungan maharaja Asoka pada abad ke-3 SM,
agama Buddha kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah
peristiwa-peristiwa yang membentuk agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua
konsili (sidang umum) pembentukan dikatakan pernah terjadi, meski pengetahuan
kita akan ini berdasarkan catatan-catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga
disebut pasamuhan agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin
Buddhis, dan beberapa perpecahan dalam gerakan Buddha.
Konsili Buddha Pertama (abad ke-5 SM)
Konsili pertama Buddha diadakan tidak lama setelah Buddha wafat di bawah
perlindungan raja Ajatasattu dari Kekaisaran Magadha, dan dikepalai oleh seorang
rahib bernama Mahakassapa, di Rajagaha(sekarang disebut Rajgir). Tujuan konsili
ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan Buddha (sutta (Buddha)) dan
mengkodifikasikan hukum-hukum monastik (vinaya): Ananda, salah seorang
murid utama Buddha dan saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan
ajaran-ajaran Buddha, dan Upali, seorang murid lainnya, meresitasikan hukum-
hukum vinaya. Ini kemudian menjadi dasar kanon Pali, yang telah menjadi teks
rujukan dasar pada seluruh masa sejarah agama Buddha.
Konsili Kedua Buddha (383 SM)
Konsili kedua Buddha diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-
konflik antara mazhab tradisionalis dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan
menyebut diri mereka sendiri kaum Mahasanghika.
Mazhab-mazhab tradisional menganggap Buddha adalah seorang manusia biasa
yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati
peraturan monastik dan mempraktekkan ajaran Buddha demi mengatasi samsara
dan mencapai arhat. Namun kaum Mahasanghika yang ingin memisahkan diri,
menganggap ini terlalu individualistis dan egois. Mereka menganggap bahwa
tujuan untuk menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati
adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti membuka jalan paham
Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan monastik
yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum rohaniawan dan
kaum awam (itulah makanya nama mereka berarti kumpulan "besar" atau
"mayoritas").
Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran kaum Mahasanghika. Mereka
meninggalkan sidang dan bertahan selama beberapa abad di Indian barat laut dan
Asia Tengah menurut prasasti-prasasti Kharoshti yang ditemukan dekat Oxus dan
bertarikh abad pertama.
Dakwah Asoka (+/- 260 SM)
Maharaja Asoka dari Kekaisaran Maurya (273–232 SM) masuk agama Buddha
setelah menaklukkan wilayah Kalingga (sekarang Orissa) di India timur secara
berdarah. Karena menyesali perbuatannya yang keji, sang maharaja ini lalu
memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan menyebarkan ajaran Buddha
dengan membangun stupa-stupa dan pilar-pilar di mana ia menghimbau untuk
menghormati segala makhluk hidup dan mengajak orang-orang untuk mentaati
Dharma. Asoka juga membangun jalan-jalan dan rumah sakit-rumah sakit di
seluruh negeri.
Periode ini menandai penyebaran agama Buddha di luar India. Menurut prasasti
dan pilar yang ditinggalkan Asoka (piagam-piagam Asoka), utusan dikirimkan ke
pelbagai negara untuk menyebarkan agama Buddha, sampai sejauh kerajaan-
kerajaan Yunani di barat dan terutama di kerajaan Baktria-Yunani yang
merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan besar mereka juga sampai di daerah
Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.
Konsili Buddha Ketiga (+/- 250 SM)
Maharaja Asoka memprakarsai Konsili Buddha ketiga sekitar tahun 250 SM di
Pataliputra (sekarang Patna). Konsili ini dipimpin oleh rahib Moggaliputta.
Tujuan konsili adalah rekonsiliasi mazhab-mazhab Buddha yang berbeda-beda,
memurnikan gerakan Buddha, terutama dari faksi-faksi oportunistik yang tertarik
dengan perlindungan kerajaan dan organisasi pengiriman misionaris-misionaris
Buddha ke dunia yang dikenal.
Kanon Pali (Tipitaka, atau Tripitaka dalam bahasa Sansekerta, dan secara harafiah
berarti "Tiga Keranjang"), yang memuat teks-teks rujukan tradisional Buddha dan
dianggap diturunkan langsung dari sang Buddha, diresmikan penggunaannya saat
itu. Tipitaka terdiri dari doktrin (Sutra Pitaka), peraturan monastik (Vinaya Pitaka)
dan ditambah dengan kumpulan filsafat (Abhidharma Pitaka).
Usaha-usaha Asoka untuk memurnikan agama Buddha juga mengakibatkan
pengucilan gerakan-gerakan lain yang muncul. Terutama, setelah tahun 250 SM,
kaum Sarvastidin (yang telah ditolak konsili ketiga, menurut tradisi Theravada)
dan kaum Dharmaguptaka menjadi berpengaruh di India barat laut dan Asia
Tengah, sampai masa Kekaisaran Kushan pada abad-abad pertama Masehi. Para
pengikut Dharmaguptaka memiliki ciri khas kepercayaan mereka bahwa sang
Buddha berada di atas dan terpisah dari anggota komunitas Buddha lainnya.
Sedangkan kaum Sarvastivadin percaya bahwa masa lampau, masa kini dan masa
depan terjadi pada saat yang sama.
Dunia Helenistik
Beberapa prasati Piagam Asoka menulis tentang usaha-usaha yang telah
dilaksanakan oleh Asoka untuk mempromosikan agama Buddha di dunia
Helenistik (Yunani), yang kala itu berkesinambungan tanpa putus dari India
sampai Yunani. Piagam-piagam Asoka menunjukkan pengertian yang mendalam
mengenai sistem politik di wilayah-wilayah Helenistik: tempat dan lokasi raja-raja
Yunani penting disebutkan, dan mereka disebut sebagai penerima dakwah agama
Buddha: Antiokhus II Theos dari Kerajaan Seleukus (261–246 SM), Ptolemeus II
Filadelfos dari Mesir (285–247 SM), Antigonus Gonatas dari Makedonia (276–
239 SM), Magas dari Kirene (288–258 SM), dan Alexander dari Epirus (272–255
SM).
Penyebaran agama Buddha semasa pemerintahan maharaja Asoka (260–218 SM).
"Penaklukan Dharma telah dilaksanakan dengan berhasil, pada perbatasan
dan bahkan enam ratus yojana (6.400 kilometer) jauhnya, di mana sang
raja Yunani Antiochos memerintah, di sana di mana empat raja bernama
Ptolemeus, Antigonos, Magas dan Alexander bertakhta, dan juga di
sebelah selatan di antara kaum Chola, Pandya, dan sejauh Tamraparni."
(Piagam Asoka, Piagam Batu ke-13, S. Dhammika)
Kemudian, menurut beberapa sumber dalam bahasa Pali, beberapa utusan Asoka
adalah bhiksu-bhiksu Yunani, yang menunjukkan eratnya pertukaran agama
antara kedua budaya ini:
"Ketika sang thera (sesepuh) Moggaliputta, sang pencerah agama sang
Penakluk (Asoka) telah menyelesaikan Konsili (ke-3) […], beliau
mengirimkan thera-thera, yang satu kemari yang lain ke sana: […] dan ke
Aparantaka (negeri-negeri barat yang biasanya merujuk Gujarat dan
Sindhu), beliau mengirimkan seorang Yunani (Yona) bernama
Dhammarakkhita". (Mahavamsa XII).
Tidaklah jelas seberapa jauh interaksi ini berpengaruh, tetapi beberapa pakar
mengatakan bahwa sampai tingkat tertentu ada sinkretisme antara falsafah Yunani
dan ajaran Buddha di tanah-tanah Helenik kala itu. Mereka terutama menunjukkan
keberadaan komunitas Buddha di Dunia Helenistik kala itu, terutama di
Alexandria (disebut oleh Clemens dari Alexandria), dan keberadaan sebuah ordo-
monastik pra-Kristen bernama Therapeutae (kemungkinan diambil dari kata Pali
"Theraputta"), yang kemungkinan "mengambil ilham dari ajaran-ajaran dan
penerapan ilmu tapa-samadi Buddha" (Robert Lissen).
Koin raja Yahudi, Raja Alexander Yaneus (103-76 SM), dengan sebuah cakra berisikan delapan ruji.
Mulai dari tahun 100 SM, simbol "bintang di tengah mahkota", juga secara
alternatif disebut "cakra berruji delapan" dan kemungkinan dipengaruhi desain
Dharmacakra Buddha, mulai muncul di koin-koin raja Yahudi, Raja Alexander
Yaneus (103-76 SM). Alexander Yaneus dihubungkan dengan sekte falsafi
Yunani, kaum Saduki dan dengan ordo monastik Essenes, yang merupakan cikal-
bakal agama Kristen. Penggambaran cakra atau roda berruji delapan ini
dilanjutkan oleh jandanya, Ratu Alexandra, sampai orang Romawi menginvasi
Yudea pada 63 SM.
Batu-batu nisan Buddha dari era Ptolemeus juga ditemukan di kota Alexandria,
dengan hiasan Dharmacakra (Tarn, "The Greeks in Bactria and India"). Dalam
mengkomentari keberadaan orang-orang Buddha di Alexandria, beberapa pakar
menyatakan bahwa “Kelak pada tempat ini juga beberapa pusat agama Kristen
yang paling aktif didirikan” (Robert Linssen "Zen living").
Ekspansi ke Asia
Di daerah-daerah sebelah timur anak benua Hindia (sekarang Myanmar), Budaya
India banyak mempengaruhi sukubangsa Mon. Dikatakan suku Mon mulai masuk
agama Buddha sekitar tahun 200 SM berkat dakwah maharaja Asoka dari India,
sebelum perpecahan antara aliran Mahayana dan Hinayana. Candi-candi Buddha
Mon awal, seperti Peikthano di Myanmar tengah, ditarikh berasal dari abad
pertama sampai abad ke-5 Masehi.
Penggambaran suku Mon mengenai (Dharmacakra), seni dari Dvaravati, +/-abad ke-8.
Seni Buddha suku Mon terutama dipengaruhi seni India kaum Gupta dan periode
pasca Gupta. Gaya manneris mereka menyebar di Asia Tenggara mengikuti
ekspansi kerajaan Mon antara abad ke-5 dan abad ke-8. Aliran Theravada meluas
di bagian utara Asia Tenggara di bawah pengaruh Mon, sampai diganti secara
bertahap dengan aliran Mahayana sejak abad ke-6.
Agama Buddha konon dibawa ke Sri Lanka oleh putra Asoka Mahinda dan enam
kawannya semasa abad ke-2 SM. Mereka berhasil menarik Raja Devanampiva
Tissa dan banyak anggota bangsawan masuk agama Buddha. Inilah waktunya
kapan wihara Mahavihara, pusat aliran Ortodoks Singhala, dibangunt. Kanon Pali
dimulai ditulis di Sri Lanka semasa kekuasaan Raja Vittagamani (memerintah 29–
17 SM), dan tradisi Theravada berkembang di sana. Beberapa komentator agama
Buddha juga bermukim di sana seperti Buddhaghosa (abad ke-4 sampai ke-5).
Meski aliran Mahayana kemudian mendapatkan pengaruh kala itu, akhirnya aliran
Theravada yang berjaya dan Sri Lanka akhirnya menjadi benteng terakhir aliran
Theravada, dari mana aliran ini akan disebarkan lagi ke Asia Tenggara mulai abad
ke-11.
Ada pula sebuah legenda, yang tidak didukung langsung oleh bukti-bukti piagam,
bahwa Asoka pernah mengirim seorang misionaris ke utara, melalui pegunungan
Himalaya, menuju ke Khotan di dataran rendah Tarim, kala itu tanah sebuah
bangsa Indo-Eropa, bangsa Tokharia.
Penindasan oleh dinasti Sungga (abad ke-2 sampai abad ke-1 SM)
Dinasti Sungga (185–73 SM) didirikan pada tahun 185 SM, kurang lebih 50 tahun
setelah mangkatnya maharaja Asoka. Setelah membunuh Raja Brhadrata (raja
terakhir dinasti Maurya), hulubalang tentara Pusyamitra Sunga naik takhta. Ia
adalah seorang Brahmana ortodoks, dan Sunga dikenal karena kebencian dan
penindasannya terhadap kaum-kaum Buddha. Dicatat ia telah "merusak wihara
dan membunuh para bhiksu" (Divyavadana, pp. 429–434): 84.000 stupa Buddha
yang telah dibangun Asoka dirusak (R. Thaper), dan 100 keping koin emas
ditawarkan untuk setiap kepala bhiksu Buddha (Indian Historical Quarterly Vol.
XXII, halaman 81 dst. dikutip di Hars.407). Sejumlah besar wihara Buddha
diubah menjadi kuil Hindu, seperti di Nalanda, Bodhgaya, Sarnath, dan Mathura.
Interaksi Buddha-Yunani (abad ke-2 sampai abad pertama Masehi)
Drakhma perak Menander I (berkuasa +/- 160–135 SM).
Obv: huruf Yunani, BASILEOS SOTHROS MENANDROY secara harafiah "Raja Penyelamat Menander".
Di wilayah-wilayah barat Anak benua India, kerajaan-kerajaan Yunani yang
bertetangga sudah ada di Baktria (sekarang di Afghanistan utara) semenjak
penaklukan oleh Alexander yang Agung pada sekitar 326 SM: pertama-tama
kaum Seleukus dari kurang lebih tahun 323 SM, lalu Kerajaan Baktria-Yunani
dari kurang lebih tahun 250 SM.
Arca Buddha-Yunani, salah satu penggambaran Buddha, abad pertama sampai abad ke-2 Masehi, Gandhara.
Raja Baktria-Yunani Demetrius I dari Baktria, menginvasi India pada tahun 180
SM dan sampai sejauh Pataliputra. Kemudian sebuah Kerajaan Yunani-India
didirikan yang akan lestari di India bagian utara sampai akhir abad pertama SM.
Agama Buddha berkembang di bawah naungan raja-raja Yunani-India, dan pernah
diutarakan bahwa maksud mereka menginvasi India adalah untuk menunjukkan
dukungan mereka terhadap Kekaisaran Maurya dan melindungi para penganut
Buddha dari penindasan kaum Sungga (185–73 SM).
Salah seorang raja Yunani-India yang termasyhur adalah Raja Menander I (yang
berkuasa dari +/- 160–135 SM). Kelihatannya beliau masuk agama Buddha dan
digambarkan dalam tradisi Mahayana sebagai salah satu sponsor agama ini, sama
dengan maharaja Asoka atau seorang raja Kushan dari masa yang akan datang,
raja Kaniska. Koin-koin Menander memuat tulisan "Raja Penyelamat" dalam
bahasa Yunani, dan "Maharaja Dharma" dalam aksara Kharosti. Pertukaran
budaya secara langsung ditunjukkan dalam dialog Milinda Panha antara raja
Yunani Menander I dan sang bhiksu Nagasena pada sekitar tahun 160 SM.
Setelah mangkatnya, maka demi menghormatinya, abu pembakarannya diklaim
oleh kota-kota yang dikuasainya dan ditaruh di stupa-stupa tempat pemujaannya,
mirip dengan sang Buddha Gautama (Plutarkhus, Praec. reip. ger. 28, 6).
Interaksi antara budaya Yunani dan Buddha kemungkinan memiliki pengaruh
dalam perkembangan aliran Mahayana, sementara kepercayaan ini
mengembangkan pendekatan falsafinya yang canggih dan perlakuan Buddha yang
mirip dengan Dewa-Dewa Yunani. Kira-kira juga kala seperti ini pelukisan
Buddha secara antropomorfis dilakukan, seringkali dalam bentuk gaya seni
Buddha-Yunani
Berkembangnya aliran Mahayana (Abad Pertama SM-Abad ke-2)
Koin emas Kekaisaran Kushan memperlihatkan maharaja Kanishka I (~100–126 Masehi) dengan sebuah
lukisan Helenistik Buddha, dan kata "Boddo" dalam huruf Yunani.
Berkembangnya agama Buddha Mahayana dari abad ke-1 SM diiringi dengan
perubahan kompleks politik di India barat laut. Kerajaan-kerajaan Yunani-India
ini secara bertahap dikalahkan dan diasimilasi oleh kaum nomad Indo-Eropa yang
berasal dari Asia Tengah, yaitu kaum Schytia India, dan lalu kaum Yuezhi, yang
mendirikan Kekaisaran Kushan dari kira-kira tahun 12 SM.
Kaum Kushan menunjang agama Buddha dan konsili keempat Buddha kemudian
dibuka oleh maharaja Kanishka, pada kira-kira tahun 100 Masehi di Jalandhar
atau di Kashmir. Peristiwa ini seringkali diasosiasikan dengan munculnya aliran
Mahayana secara resmi dan pecahnya aliran ini dengan aliran Theravada. Mazhab
Theravada tidak mengakui keabsahan konsili ini dan seringkali menyebutnya
"konsili rahib bidaah".
Konon Kanishka mengumpulkan 500 bhiksu di Kashmir, yang dikepalai oleh
Vasumitra, untuk menyunting Tripitaka dan memberikan komentar. Maka konon
pada konsili ini telah dihasilkan 300.000 bait dan lebih dari 9 juta dalil-dalil.
Karya ini memerlukan waktu 12 tahun untuk diselesaikan.
Konsili ini tidak berdasarkan kanon Pali yang asli (Tipitaka). Sebaliknya,
sekelompok teks-teks suci diabsahkan dan juga prinsip-prinsip dasar doktrin
Mahayana disusun. Teks-teks suci yang baru ini, biasanya dalam bahasa Gandhari
dan aksara Kharosthi kemudian ditulis ulang dalam bahasa Sansekerta yang sudah
menjadi bahasa klasik. Bagi banyak pakar hal ini merupakan titik balik penting
dalam penyebaran pemikiran Buddha.
Wujud baru Buddhisme ini ditandai dengan pelakuan Buddha yang mirip
dilakukan bagaikan Dewa atau bahkan Tuhan. Gagasan yang berada di
belakangnya ialah bahwa semua makhluk hidup memiliki alam dasar Buddha dan
seyogyanya bercita-cita meraih "Kebuddhaan". Ada pula sinkretisme keagamaan
terjadi karena pengaruh banyak kebudayaan yang berada di India bagian barat laut
dan Kekaisaran Kushan.
Penyebaran Mahayana (Abad pertama sampai abad ke-10 Masehi)
Penyebaran aliran Mahayana antara abad pertama - abad ke-10 Masehi.
Dari saat itu dan dalam kurun waktu beberapa abad, Mahayana berkembang dan
menyebar ke arah timur. Dari India ke Asia Tenggara, lalu juga ke utara ke Asia
Tengah, Tiongkok, Korea, dan akhirnya Jepang pada tahun 538.
Kelahiran kembali Theravada (abad ke-11 sampai sekarang)
Penyebaran aliran Buddha Theravada dari abad ke-11.
Mulai abad ke-11, hancurnya agama Buddha di anak benua India oleh serbuan
Islam menyebabkan kemunduran aliran Mahayana di Asia Tenggara. Rute daratan
lewat anak benua India menjadi bahaya, maka arah perjalanan laut langsung di
antara Timur Tengah lewat Sri Lanka dan ke China terjadi, menyebabkan
dipeluknya aliran Theravada Pali kanon, lalu diperkenalkan ke daerah sekitarnya
sekitar abad ke-11 dari Sri Lanka.
Raja Anawrahta (1044–1077), pendiri sejarah kekaisaran Birma, mempersatukan
negara dan memeluk aliran Theravada. Ini memulai membangun ribuan candi
Budha Pagan, ibu kota, di antara abad ke-11 dan abad ke-13. Sekitar 2.000 di
antaranya masih berdiri. Kekuasaan orang Birma surut dengan kenaikan orang
Thai, dan dengan ditaklukannya ibu kota Pagan oleh orang Mongolia pada 1287,
tetapi aliran Buddha Theravada masih merupakan kepercayaan utama rakyat
Myanmar sampai hari ini.
Kepercayaan Theravada juga dipeluk oleh kerajaan etnik Thai Sukhothai sekitar
1260. Theravada lebih jauh menjadi kuat selama masa Ayutthaya (abad ke-14
sampai abad ke-18), menjadi bagian integral masyarakat Thai. Di daratan Asia
Tenggara, Theravada terus menyebar ke Laos dan Kamboja pada abad ke-13.
Tetapi, mulai abad ke-14, di daerah-daerah ujung pesisir dan kepulauan Asia
Tenggara, pengaruh Islam ternyata lebih kuat, mengembang ke dalam Malaysia,
Indonesia, dan kebanyakan pulau hingga ke selatan Filipina.
Konsep Ketuhanan
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama
Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta
diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke
sorga ciptaan Tuhan yang kekal.
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang
Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu,
apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang
Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat
bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab
yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang
Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada
kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu.
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta
Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam
agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah "Atthi
Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang" yang artinya "Suatu Yang Tidak
Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal
ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak
dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa
pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka
manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran
kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa
konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep
Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang
Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang
mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep
Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang
menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan
konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci
Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep
Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula.
Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama
lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi
dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau
Kebebasan.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai
kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana roh
manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu
pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi
yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai.
Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu
melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran
& realitas sebenar-benarnya.
Aliran Dalam Agama Buddha
Buddha Mahayana
Lotus Sutra merupakan rujukan sampingan penganut Buddha aliran Mahayana.
Tokoh Kuan Yin yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya
"Avalokiteśvara" merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis
beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan
kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut.
Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan
tetapi setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan
berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di
Tiongkok sebagai seorang dewi.
Penyembahan kepada Amitabha Buddha (Amitayus) merupakan salah satu aliran
utama Buddha Mahayana. Sorga Barat merupakan tempat tujuan umat Buddha
aliran Sukhavati selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka
terhadap Buddha Amitabha dimana mereka tidak perlu lagi mengalami proses
reinkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita
di bumi.
Mereka mempercayai mereka akan lahir semula di Sorga Barat untuk menunggu
saat Buddha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Buddha Amitabha
akan memimpin mereka ke tahap mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan dimana
kejahilan, kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman
Buddha yang paling disukai oleh orang Tionghoa.
Seorang Buddha bukannya dewa atau makhluk suci yang memberikan
kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah
mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Buddha inilah
yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.
Menurut Buddha Gautama , kenikmatan Kesadaran Nirwana yang dicapainya di
bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan
sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana khususnya
merujuk kepada banyak Buddha dan juga bodhisattva (makhluk yang tekad
"committed" pada Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat
membantu orang lain pada jalan itu). Dalam Tipitaka suci - intipati teks suci
Buddha - tidak terbilang Buddha yang lalu dan hidup mereka telah disebut
"spoken of", termasuk Buddha yang akan datang, Buddha Maitreya .
Buddha Theravada
Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Buddha tertua yang tinggal
sampai saat ini, dan untuk berapa abad mendominasi Sri Langka dan wilayah Asia
Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar,
Malaysia, Indonesia dan Thailand) dan juga sebagian Vietnam. Selain itu populer
pula di Singapura dan Australia.
Theravada berasal dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada.
Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu , dan vada berarti perkataan
atau ajaran. Jadi Theravada berarti Ajaran Para Sesepuh.
Istilah Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha dalam
Dipavamsa, catatan awal sejarah Sri Lanka pada abad ke-4 Masehi. Istilah ini juga
tercatat dalam Mahavamsa, sebuah catatan sejarah penting yang berasal dari abad
ke-5 Di yakini Theravada merupakan wujud lain dari salah satu aliran agama
Buddha terdahulu yaitu Sthaviravada (Bahasa Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh) ,
sebuah aliran agama Buddha awal yang terbentuk pada Sidang Agung Sangha ke-
2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti
Ajaran Analisis (Doctrine of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion of
Reason).
Sejarah Aliran Buddha Theravada
Sejarah Theravada tidak lepas dari sejarah Buddha Gotama sebagai pendiri agama
Buddha. Setelah Sang Buddha parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian
diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya).
Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2
bulan Dipimpin oleh Y.A. Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu
yang semuanya Arahat. Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha.
Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu. Tujuan Sidang adalah
menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan,
di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Mengulang Dhamma
dan Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran
lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Sidang Agung Sangha ke-2, pada tahun 443 SM , dimana awal Buddhisme mulai
terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan beberapa peraturan
minor dalam Vinaya, disisi lain kelompok yang mempertahankan Vinaya apa
adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal
dengan Mahasanghika yang merupakan cikal bakal Mahayana. Sedangkan yang
mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravada.
Sidang Agung Sangha ke-3 (313 SM), Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok
Sthaviravada. Sidang ini memutuskan untuk tidak merubah Vinaya, dan
Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyelesaikan buku Kathavatthu
yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula
Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan oleh
sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa Tipitaka ini ke
Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Buddha
Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravada.
Kitab Suci
Kitab Suci yang dipergunakan dalam agama Buddha Theravada adalah Kitab Suci
Tipitaka yang dikenal sebagai Kanon Pali (Pali Canon). Kitab suci Agama
Buddha yang paling tua, yang diketahui hingga sekarang, tertulis dalam Bahasa
Pali, yang terbagi dalam tiga kelompok besar (yang disebut sebagai "pitaka" atau
"keranjang") yaitu: Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Karena
terdiri dari tiga kelompok tersebut, maka Kitab Suci Agama Buddha dinamakan
Tipitaka (Pali).
Ajaran Buddha Theravada
Ajaran dasar dikenal sebagai Empat Kebenaran Arya, meliputi:
Dukkha Ariya Sacca (Kebenaran Arya tentang Dukkha),
Dukkha Samudaya Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Asal Mula
Dukkha),
Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Terhentinya
Dukkha),
Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Jalan yang
Menuju Terhentinya Dukkha).
Secara umum sama dengan aliran agama Buddha lainnya, Theravada mengajarkan
mengenai pembebasan akan dukkha (penderitaan) yang ditempuh dengan
menjalankan sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi) dan panna (kebijaksanaan).
Agama Buddha Theravada hanya mengakui Buddha Gotama sebagai Buddha
sejarah yang hidup pada masa sekarang. Meskipun demikian Theravada mengakui
pernah ada dan akan muncul Buddha-Buddha lainnya.
Dalam Theravada terdapat 2 jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai
Pencerahan Sempurna yaitu Jalan Arahat (Arahatship) dan Jalan Kebuddhaan
(Buddhahood).
Hari Raya Agama Buddha Dan Tempat Ibadah
Tempat ibadah agama Buddha disebut vihara, Penganut Buddha merayakan Hari
Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa. Yaitu, hari kelahiran Pangeran
Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Pencerahan
Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha mangkat mencapai
Nibbana/Nirwana.
.
BAB III
KESIMPULAN
Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri/metta) dan Kasih Sayang
(karuna) yang diwujudkan oleh sabda Buddha Gautama, " Penderitaanmu adalah
penderitaanku, dan kegembiraanmu adalah kegembiraanku." Manusia adalah
pancaran dari semangat Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang dapat menuntunnya
kepada Pencerahan Sempurna.
Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan
selalu abadi, dimana telah ada dan memancar sejak manusia pertama kalinya
terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan
atau kebodohan-batinnya. Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan
melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia.
Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, Beliau telah
mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang
yang tidak terbatas, yaitu :
Berusaha menolong semua makhluk.
Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan
kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang
diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu
Tubuh (kaya) : pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
Ucapan (vak] : penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar,
percakapan tiada manfaat.
Pikiran (citta) : kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.
Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk
kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan
mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Bagaikan hujan yang
jatuh tanpa membeda-bedakan, demikianlah Cinta Kasih seorang Buddha. Akan
tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin
gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih
Sayangnya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan
yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai
Pencerahan Sempurna. Sang Buddha adalah ayah dalam kasih sayang dan ibu
dalam cinta kasih.
Sebagai Buddha yang abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan
menggunakan berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan
semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun
Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, baik atau
buruk. Beliau hanya menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya.
Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan
sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Beliau tidak
saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Meskipun
bentuk fisik tubuhNya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia
yang mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari
kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka. Seorang Buddha
memiliki sifat luhur antara lain :
Bertingkah laku baik
Berpandangan hidup luhur
Memiliki kebijaksanaan sempurna
Memiliki kepandaian mengajar yang tiada bandingnya
Memiliki cara menuntun dan membimbing manusia dalam mengamalkan
Dharma.
Buddha Gautama memelihara semangatnya yang selalu tenang dan damai dengan
melaksanakan meditasi. Sang Buddha membersihkan pikiran mereka dari
kekotoran bathin dan menganugerahkan mereka kegembiraan dengan semangat
tunggal yang sempurna. Jangkauan pikiran Sang Buddha melampaui jangkauan
pikiran manusia biasa. Dengan kebijaksanaan yang sempurna, Buddha Gautama
dapat menghindarkan diri dari sikap-sikap ekstrim dan prasangka, serta memiliki
kesederhanaan. Oleh karena itu Beliau dapat mengetahui dan mengerti pikiran dan
perasaan semua orang dan dapat melihat yang ada dan yang terjadi di dunia dalam
sekejap, sehingga mendapatkan julukan seorang yang telah Mencapai Pencerahan
Sempurna (Sammasam-Buddha) dan Yang Maha Tahu (Sugata).
Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diriNya mampu mengatasi berbagai
masalah didalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-
kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang
Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua
yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang agung. Beliau
dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendakiNya. Sang Buddha
mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh
karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan
mendengarkan khotbahnya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbahnya, yang
dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha
akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya
karena mengandalkan kepintarannya sendiri.
Buddha Gautama berkata, " Hanya dengan jalan melalui kepercayaan,
keyakinanlah, mereka akan dapat mengikuti ajaranKu. Karena itu setiap orang
hendaknya mau mendengarkan ajaranKu, kemudian menghayati dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari."
DAFTAR PUSTAKA
Agus Hakim, Perbandingan Agama, CV. Diponegoro, Bandung, 2004
"http://id.wikipedia.org/wiki/Siddhartha_Gautama" 2006
Damien Keown, Kamus Buddhisme, Oxford University Press, 2003
Richard Foltz, Ajaran jalan sutra, St. Martin’s Griffin, New York, 1999
Sir Charles Eliot, Ajaran Buddha Jepang, ISBN 0710309678
Sir Charles Eliot, Sketsa Sejarah Hindu dan Buddha, ISBN 8121510937
Peta Sejarah Peradaban, Times Books Limited, London, 1991
John Boardman, Penyebaran benda-benda purbakala, Princeton University
Press, 1994
http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_dalam_agama_Buddha
TUGAS MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Perbandingan Agama
Dosen : Drs Yadi
Ketua : Engkos Kosasih
NIM.80650054
Anggota : Aisyah
NIM. 80650053
Nina Marlina
NIM. 80650052
Mulyaningsih
NIM. 80650051
Yuyun Wahyuningsih
NIM. 80660144
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARAUNINUS
2008