radiasi telur nyam

Upload: tienzu

Post on 21-Feb-2018

244 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 Radiasi Telur Nyam

    1/5

    Siti Nurhayati, dkk.

    ISSN 0216 - 3128

    /85

    DALAM PENGENDALIAN

    VEKTOR PENY AKIT

    POTENSI TEKNIK NUKLIR

    NYAMUK Aedes aegypti SEBAGAI

    DEMAM BERDARAH DENGUE

    Siti Nurhayati

    Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi I1ATAN

    Ali Rahayu

    Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN

    ABSTRAK

    POTENSI TEKNIK NUKUR DALAM PENGENDALIAN NYAMUK Aedes aegypti SEBAGAI VEKTOR

    P/~NYAKIT DEMAM I1ERDARAII DENGUE (DI1D). Pengendalian nyamuk A. aegypti sehagai wktor

    penyakit DI1D dapat dilakukan dengan Teknik Serangga Mandul (TSM). Penelitian ini bertuJuan un/uk

    melakukan pengendalian vektor DBD menggunakan teknik nuklir dengan radiasi gamma. Irradiasi

    dilakukan dengan variasi dosis terhadap berbagai stadium perkembangan nyamuk. Sebanyak 200 telur

    umur sehari. 100Jentik instal tiga atau empat dan 100 pupa umur nol hari masing-masing diiradiasi sinal

    gamma 60Co dengan dosis O.

    65.

    70.

    75.

    80 dan

    85 Gy

    dengan laJu dosis 1.369.77 Gyljam. Semua stadium

    nyamuk tersebut kemudian dipelihara dan diamati perkembangannya di laboratorium. Dari hasil

    pengamatan diketahui bahwa pasca irradiasi stadium telur dan Jentik tidak dapat berkembang ke stadium

    berikutnya. sedangkan stadium pupa dapat diamati perkembangannya lebih lanjut. Dosis 65 Gy pada

    stadium pupa dapat memandulkan 98.53 populasi nyamuk dan dosis 70 Gy kemandulannya mencapai

    100 . Teknik penggunaan radiasi gamma sangat berpotensi untuk pengendalian nyamuk. namun demikian

    masih harus dilakukan peneli/ian lebih lanjut seperti daya saing kawin nyamuk pasca irradiasi dan

    bionomik vektor menggunakan senyawa bertanda.

    ABSTRACT

    POTENT/ON OF NUCLEAR TECHNIQUE FOR CONTROLLING Aedes aegypti MOSQUETO AS

    DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) VECTOR. Controlling Aedes aegypti as vector of Dengue

    hemorrhagic fever (DHF) can be carried out by sterile insect technique. This research aimed to control

    DI1D vector with nue/ear technique using gamma radiation. Irradiation was done with dose variations to

    several stadiums of mosquito development. Each of a number of 200 eggs with the age of I day. 100 larvas

    of third or fourth instal S and 100 of pupa with the age of 0 day was irradiated with gamma rays of60Co at

    doses ofO.

    65.

    70.

    75.

    80 and

    85

    Gy with the dose rate of 1.369.

    77

    Gylhour. The development cycles of all

    stadiums were maintained and observed in laboratory. It was known that the egg and larva stadiums were

    failed to develop to the next stadiulll. whereas the pupa could develop to the next stadium. The dose of65 Gy

    given to pupa could sterilize 98.0 of mosquito population and dose of 70 Gy could sterilize up to 100 .

    The utili=ation of nuclear technique with gamma radiation is very potential for controll ing mosquito. bill it

    needs aji/rther research such as mating competi tion o/post irradiated mosquito and the bionomic of vector

    using laheled compound.

    I PEND HULU N

    Penyakit

    Demam Berdarah Dengue COBOerupakan masalah kesehatan masyarakat di

    Indonesia yang belum dapat terpecahkan karena

    morbiditas yang tinggi dan penyebaran yang

    semakin luas. Pengobatan spesifik terhadap OBO

    sampai saat ini belum ada sehingga pemberantasan

    salah satunya dapat dilakukan dengan

    mengendalikan vektornya. Pemberantasan nyamuk

    vektor DBO dilakukan dengan menggunakan

    insektisida temefos 1 untuk stadium larva dan

    pengasapan

    (fogging)

    dengan malation 4 untuk

    nyamuk dewasa. Selain cara tersebut, telah

    dilakukan program Pemberantasan sarang Nyamuk

    secara lebih intensif dengan 3M Cmenguras, menutup

    dan mengubur . Upaya ini belum memberikan hasil

    yang baik karena jumlah kasus DBO tetap tinggi dan

    wilayah yang terjangkit semakin luas. Berdasarkan

    penelitian, jenis nyamuk yang paling berperan

    sebagai vektor dalam penularan penyakit ini adalah

    Aedes aegypti

    yang hidup di dalam dan sekitar

    rumah

    [I].

    Aedes aegypti

    adalah nyamuk dengan

    ukuran tubuh kecil, berwarna hitam dan berbintik

    bintik putih.Penyebaran nyamuk ini hampir di

    seluruh wilayah Indonesia, kecuali di daerah dengan

    Prosiding PPI PDIPTN2006

    Pustek Akselerator dan Proses Bahan BATAN

    Yogyakarta 10 JuJi 2006

    KE DAFTAR ISI

    http://daftar_%20isi.pdf/
  • 7/24/2019 Radiasi Telur Nyam

    2/5

    8 ISSN 0216 - 3128

    Siti Nurlrayati, t1kk.

    ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan

    laut. Nyamuk betina biasanya terinfeksi virus dengue

    pada saat menghisap darah orang yang sedang dalam

    fase demam akut. Setelah melalui periode inkubasi

    ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari, kelenjar ludah

    nyamuk tersebut akan terinfeksi virus dengue yang

    akan ditularkan lagi ketika nyamuk tersebut

    menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke

    dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa

    inkubasi dalam tubuh manusia selama 3-14 hari

    rerata 4-6 hari) akan timbul gejala awal penyakit

    DBD berupa demam, pusing, nyeri otot, hilang nafsu

    makan, dan berbagai tanda atau gejala non spesifik

    seperti mual, muntah dan ruam pada kulit

    2].

    Di Indonesia, jumlah penderita DBD

    cenderung meningkat dan menyebar luas. Penyakit

    ini pertama kali berjangkit di Jakarta dan Surabaya

    pada tahun 1968. Dua puluh tahun kemudian, DBD

    telah berjangkit di 201 Dati II di seluruh Indonesia.

    Data terakhir menyebutkan bahwa tinggal

    seperempat bagian wilayah Indonesia yang belum

    terkena DBD. Peningkatan jumlah penderita terjadi

    secara periodik tiap lima tahun, bahkan beberapa

    kali menyebabkan Kejadian Luar Biasa KLB)

    dimana jumlah pasien yang terkena sangat banyak,

    baik di perkotaan maupun pelosok pedesaan dengan

    angka kematian mencapai 2-4 . Meskipun saat ini

    angka kematian akibat DBD menunjukkan

    penurunan, namun angka kesakitan morbiditas) dan

    sebarannya masih tinggi

    [3-5].

    Pengendalian vektor dengan cara

    konvensional menggunakan insektisida diketahui

    kurang efektif karena dapat mengakibatkan matinya

    flora maupun fauna

    non target,

    serta timbulnya

    pencemaran lingkungan dan resistensi terhadap

    insektisida, bahkan sering terjadi resistensi silang

    cross resistance , yang mengurangi efektivitas

    pengendalian. Karena upaya pengendalian DBD

    belum memberikan hasil yang memadai, maka

    diperlukan cara lain untuk membantu pemberantasan

    vektor DBD, antara lain dengan Teknik Serangga

    Mandul TSM)

    6-8].

    Pelaksanaan TSM dapat dilakukan dengan 2

    metoda yaitu metoda yang meliputi pembiakan

    massal di laboratorium, pemandulan dan pelepasan

    serangga mandul ke lapangan dan metoda

    pemandulan langsung terhadap serangga di

    lapangan. Pada metoda pertama, jika ke dalam suatu

    populasi serangga di lapangan dilepaskan serangga

    mandul, maka kemampuan populasi tersebut untuk

    berkembang biak akan menurun. Apabila nilai

    kemandulan serangga radiasi mencapai 100 dan

    daya saing kawinnya mencapai nilai 1,0 sarna

    dengan jantan normal) dan jumlah serangga radiasi

    yang dilepas sarna dengan jumlah serangga normal

    erbandingan I: I), maka kemampuan berkembang

    biak populasi terse but akan turun sebesar 50 . J ika

    perbandingan tersebut dinaikkan menjadi 9: I

    Uumlah serangga radiasi yang dilepas 9 kali dari

    . jumlah serangga lapangan), maka kemampuan

    populasi tersebut untuk berkembang biak akan turun

    sebesar 90 . Metoda kedua, yaitu metoda tanpa

    pelepasan serangga yang dimandulkan. Metoda ini

    dilaksanakan dengan prinsip pemandulan langsung

    terhadap serangga lapangan yang dapat dilakukan

    dengan menggunakan senyawa kemosterilan, baik

    pada jantan maupun betina. Dengan metoda kedua

    ini akan diperoleh dua macam pengaruh terhadap

    kemampuan kembangbiak populasi serangga. Kedua

    pengaruh tersebut adalah mandulnya sebagian

    serangga lapangan sebagai akibat langsung dari

    kemosterilan dan pengaruh berikutnya dari serangga

    yang telah mandul terhadap serangga sisanya yang

    masih fertil. Kemosterilan merupakan senyawa

    kimia yang bersifat mutagenik dan karsinogenik

    pada hewan maupun manusia sehingga teknologi ini

    tidak direkomendasikan untuk pengendalian vektor

    [9.10]

    Prinsip dasar TSM adalah penggunaan radiasi

    ionisasi untuk pengendalian serangga, baik secara

    langsung maupun tidak langsung. Cara langsung

    biasa disebut Teknik Disinfestasi Radiasi TDR)

    yang sering digunakan untuk memberantas serangga

    gudang yang merusak komodite dalam penyimpanan

    di gudang, sedang cara tidak langsung yaitu radiasi

    digunakan untuk memandulkan baik serangga jantan

    maupun betina untuk kemudian dilepaskan ke

    lapangan agar kawin dengan serangga normal di

    lapangan, yang dikenal dengan TSM. Ini merupakan

    teknik pengendalian vektor yang potensial, ramah

    lingkungan, efektif, spesies spesifik dan kompartibel

    dengan teknik lain. Prinsip dasar TSM sangat

    sederhana, yaitu membunuh serangga dengan

    serangga itu sendiri

    alltocidal techniqlle .

    Tcknik

    ini meliputi iradiasi terhadap koloni nyamuk vcktor

    pada berbagai stadium dan kemudian secara periodik

    dilcpas ke lapangan schingga ~ingkat kcbolchjadian

    perkawinan antara serangga mandul dan serangga

    fertil menjadi makin besar dari generasi pertama kc

    generasi berikutnya. Hal ini bcrakibat makin

    menurunnya prosentase fertilitas populasi serangga

    di lapangan yang secara teoritis terjadi pada gencrasi

    ke-4 atau ke-5 yaitu titik terendah dimana populasi

    serangga menjadi nol. Gejala kemandulan akibat

    radiasi pada nyamuk jantan disebabkan karena

    terjadinya aspermia, inaktivasi sperma, mutasi letal

    dominan dan ketidakmampuan kawin

    111.

    Dalam makalah ini disajikan hasil penelitian

    mengenai pengaruh berbagai dosis iradiasi sinar

    gamma untuk memandulkan nyamuk

    Aedes aexypti

    sebagai vektor penyakit DBD, sehingga rantai

    perkembangan penyakit ini dapat diputus.

    Prosiding PPI PDIPTN 2005

    Pustek Akselerator dan Proses Bahan BATAN

    Yogyakarta 10 Juli 2006

  • 7/24/2019 Radiasi Telur Nyam

    3/5

    SUi Nurhayati dkk

    ISSN 0216-3128

    /87

    TATA KER.JA

    Rearing Pemeliharaan nyamuk)

    Rearing

    nyamuk dilakukan di laboratorium

    Bidang Biomedika, Pusat Teknologi Keselamatan

    dan Metrologi Radiasi - BA TAN Pasar Jum at.

    Nyamuk

    Aedes aegypti

    dalam perkembangbiakannya

    mengalami metamorfose sempuma, mulai dari

    stadium telur, jentik, pupa dan dewasa. Stadium

    telur, jentik dan pupa hidup di dalam air, sedangkan

    stadium dewasa hidup beterbangan. Sebelum

    dilakukan irradiasi, disiapkan setiap stadium

    perkembangan nyamuk dengan jumlah sesuai

    kcblltllhan lIntuk diiradiasi.

    Irradiasi

    Masing-masing sampel ditempatkan dalam

    wadah plastik berukuran tinggi 7 em dan diameter 4

    em yang berisi 20 inl air. Seeara terpisah, irradiasi

    dilakukan terhadap 200 butir telur berumur kurang

    lebih satu hari, 100 ekor jentik instar tiga atau

    empat, dan 100 ekor pupa umur nol hari

    menggunakan irradiator Gamma Cell-220 dosis 0,

    65, 70, 75, 80 dan 85 Gy dengan laju dosis

    1.369,77 Gy/jam.

    Pengamatan

    Pengamatan dilakukan terhadap setiap

    stadium nyamuk sampai 25 hari pasea iradiasi yakni

    perkembangan, persentase penetasan telur dan

    pemeriksaan embrio telur. Sebanyak 10 ekor

    nyamuk jantan dan betina yang terbentuk pada awal

    pasca irradiasi dikawinkan dengan nyamuk normal

    tidak diiradiasi) yang berasal dari stok untuk

    diamati jumlah telur yang dihasilkan, persentase

    penetasan telur menjadi jentik/tingkat sterilitas

    akibat radiasi dan pemeriksaan embrio terhadap telur

    yang tidak menetas.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Dalam penelitian ini telah dikembangkan

    metoda pemandulan vektor DBD menggunakan

    teknik nuklir. Pemandulan ini dapat dilakukan

    dengan sinar gamma, sinar X atau berkas neutron,

    namun dari ketiga sinar tersebut yang umum

    digunakan adalah sinar gamma seperti yang

    dilakukan dalam penelitian ini

    [6J

    Untuk

    mendapatkan vektor mandul, iradiasi dapat

    dilakukan pada stadium telur, larva, pupa atau

    dewasa. Namun demikian untuk lebih praktis dan

    efektif, harus dipilih stadium yang paling tepat untuk

    diiradiasi. Radiasi yang paling umum dilakukan

    adalah pada stadium pupa yang merupakan stadium

    pcrkcmbangan dimana terjadi transtormasi/

    ~erkembangan organ muda menjadi organ dewasa

    71. Pada stadium ini umumnya spermatogenesis dan

    oogenesis sedang berlangsung, sehingga dengan

    radiasi dosis rendah sudah dapat menimbulkan

    kemandulan. Umur pupa pad a saat diradiasi

    memiliki kepekaan terhadap radiasi yang berbeda

    bed a , semakin tua, kepekaannya terhadap radiasi

    semakin menurun

    Pada penelitian ini ternyata irradiasi pada

    stadium pupa juga diperoleh data yang paling baik.

    Dari hasil pengamatan diketahui bahwa paparan

    radiasi pada stadium telur dan jentik tidak

    memberikan data yang baik karena tidak ada yang

    berkcmbang kc stadium Icbih lanjut pasca irradiasi.

    Pada stadium pupa hasil yang diperoleh eukup baik,

    karena bisa diamati perkembangannya. Dilakukan

    juga pengamatan ada tidaknya em b rio dalam telur

    yang tidak men etas dengan eara membelah telur

    untuk mengetahui prosentase kemandulan. Jika

    didalam telur terdapat embrio maka telur dianggap

    fertil dan jika kosong telur dianggap steril

    Sepuluh ekor nyamuk yang terbentuk paling

    awal setelah irradiasi pada pupa dikawinkan dengan

    nyamuk stok yang tidak diiradiasi. Dilakukan

    pengamatan F I terhadap jumlah telur, jentik, pupa

    dan nyamuk dewasa yang terbentuk Tabcl I).

    Tabel I. Persentase jentik yang terbentuk dari

    hasil perkawinan antara nyamuk

    jantan yang berasal dari pupa

    diiradiasi dengan betina normal tidak

    diiradiasi)

    Dosis

    Jenisumlah

    entik

    Gy)

    Kelamin

    elur

    )

    0

    Jantan880

    9,71

    0

    Betina84

    7,94

    65

    Jantan067

    ,47

    65

    Betina

    0

    70

    Jantan32

    70

    Betina0

    75

    Jantan

    68

    75

    Betina0

    80

    Jantan

    03

    80

    Betina

    0

    85

    Jantan0

    85

    Betina0

    Pad a penelitian ini tidak dilakukan

    pengamatan terhadap perkembangan semua pupa

    yang diiradiasi menjadi nyamuk dewasa.

    Pengamatan hanya dilakukan terhadap 10 ekor

    nyamuk yang pertama kali terbentuk dari semua

    pupa yang diiradiasi dengan variasi dosis. Ternyata

    semua nyamuk yang muncul pertama hanya berjenis

    Prosiding PPI PDIPTN 2006

    Pustek Akselerator dan Proses Bahan BATAN

    Yogyakarta 10 Juri 2006

  • 7/24/2019 Radiasi Telur Nyam

    4/5

    188

    ISSN 0216- 3128

    Siti Nurhayati

    dkk

    kelamin jantan kecuali kontroJ, sedangkan nyamuk

    betina tidak muncul, sehingga perkawinan hanya

    dilakukan terhadap nyamuk jantan irradiasi dengan

    nyamuk betina kontrol. Data tersebut menunjukkan

    bahwa jantan dan betina dapat terseleksi akibat

    paparan radiasi. Sehingga bisa dianggap teknik

    pemandulan ini menjadi TekniJ Jantan Mandul.

    Pad a telur yang tidak menetas, diJakukan

    pengamatan ada tidakya embrio dengan cara

    membelah telur untuk mengetahui persentase

    kcmandulan. Jika di dalam telur terdapat embrio

    maka telur dianggap fertil dan jika kosong maka

    telur dianggap steriJ. Hasil pengamatan terhadap

    telur yang setelah 7 hari tidak menetas, diketahui

    bahwa jumlah embrio yang ditemukan berturut-turut

    adalah 7, 16, 6 dan 6 embrio masing-masing untuk

    dosis 65, 70, 75 dan 80 Gy. Hasil selengkapnya

    disajikan dalam Tabel 2. Namun demikian embrio

    ini belum tentu dapat berkembang ke stadium

    berikutnya.

    Tabel 2. Persentase embrio dalam telur telah 7

    hari tidak menetas

    Dosis Terdapatidak terdapat

    m brio

    mbrio

    ,15

    1,181,76 6,47

    ,41 7,50

    ,41

    4,56

    Pada awalnya TSM disebut Teknik Jantan

    Mandul TJM) yakni teknik pemberantasan serangga

    dengan jalan memandulkan serangga jantan. Namun

    untuk memisahkan nyamuk jantan dan betina yang

    akan diradiasi tidak mudah, sehingga serangga

    mandul yang diradiasi dan dilepas di lapangan tidak

    hanya jantan tetapi juga betina. Dengan pelepasan

    serangga betina mandul bersama-sama jantan

    mandul, maka diharapkan terjadinya perkawinan

    an tara jantan fertil dengan betina fertiJ juga

    berkurang. Bila serangga betina hanya kawin satu

    kali dengan serangga jantan yang mandul, maka

    keturunan tidak akan terbentuk

    [81.

    Serangga jantan

    mandul dilepas di lapangan dengan harapan bisa

    bersaing dengan jantan normal alam dalam

    berkopulasi dengan serangga betina. Serangga betina

    yang telah berkopulasi dengan jantan mandul masih

    dapat bertelur, tetapi telumya tidak dapat menetas.

    Apabila pelepasan serangga jantan mandul

    dilakukan secara terus menerus, maka populasi

    serangga diJokasi pelepasan menjadi sangat rendah.

    Kelebihan dari teknik TSM adalah selektif,

    artinya yang menjadi sasaran pengendalian hanya

    spesies target, tidak merusak lingkungan, tidak

    menimbulkan resistensi dan syarat-syarat yang biasa

    diperlukan pada pemberantasan secara biologi

    dengan menggunakan musuh alami tidak diperlukan

    lagi

    [101.

    Namun demikian radiasi ionisasi secara

    umum dapat menimbulkan berbagai efek pada

    vektor, baik kelainan morfologis maupun kerusakan

    genetis. Derajat kelainan atau kerusakan yang terjadi

    akibat radiasi ionisasi bergantung kepada berbagai

    faktor radiasi macam sinar, cara pemberian dosis

    dan laju dosis), faktor Iingkungan suhu, atmosfir)

    dan faktor biologi perbedaan spesies dan variasi

    seViaringan)

    [II].

    Gejala-gejala kemandulan akibat

    radiasi pada vektor jantan discbabkan karcna

    terjadinya aspermia, inaktivasi sperma, mutasi letal

    dominan dan ketidakmampuan kawin.

    KESIMPULAN

    Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan

    bahwa teknik nuklir sangat bermanfaat dalam proses

    pemandulan nyamuk Aedes aegyp i sebagai vektor

    penyakit DBD. Irradiasi yang dilakukan pada

    stadium telur dan jentik tidak menunjukkan hasil

    yang baik karena tidak terjadi perkembangan lebih

    lanjut pasca radiasi. Irradiasi gamma dosis 65 Gy

    pad a stadium pupa dapat memandulkan 98,0

    populasi dan dosis 70 Gy menyebabkan kemandulan

    100 . Teknik pengendalian vektor dengan TSM

    sangat spesifik, ramah lingkungan, tidak

    menimbulkan resistensi dan hanya berpengaruh pada

    spesies target saja. Hal ini sangat berlainan dengan

    pemberantasan vektor konvensional menggunakan

    pestisida yang dapat menimbulkan efek pencemaran

    lingkungan, timbulnya resistensi terhadap pestisida

    tertentu dan matinya hewan non target. TSM

    merupakan teknik pilihan yang sangat efektif dan

    efisien baik secara tersendiri maupun terintegrasi

    dengan teknik lain dan dalam pelaksanaannya akan

    lebih baik bila dikombinasikan dengan pengendalian

    vektor lain secara terpadu. Data yang diperoleh ini

    akan lebih lengkap dan informatif jika dilanjutkan

    dengan pemeriksaan bionomik. Uarak terbang, pola

    pen car, lama hidup di alam dll) dan daya saing

    kawin nyamuk

    Aedes aegyp i

    DAFT AR PUST AKA

    I. DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK

    INDONESIA. Petunjuk Pemberantasan Nyamuk

    Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue,

    Dirjen PPM dan PLP,1992.

    2. WHO, Prevention and Control of Dengue

    Haemorrhagic Fever, WHO Regional

    Publication. SEARO, No. 29,2003.

    3. SUB DIREKTORAT ARBOVIROSIS.

    Direktorat P3M, Depatemen Kesehatan Republik

    Indonesia, Jakarta, 1983.

    Prosiding PPI - PDIPTN 2005

    Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN

    Yogyakarta 10 Juli 2006

  • 7/24/2019 Radiasi Telur Nyam

    5/5

    Siti Nurhayati, dkk.

    ISSN 0216- 3128

    /89

    4. DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK

    INDONESIA. Petunjuk Teknis Penemuan

    Pertolongan dan Pelaporan Penderita Penyakit

    Demam Berdarah Dengue Dirjen PPM

    PLP

    1992.

    5. SUROSO T. Demam Berdarah Dengue: Situasi

    Masalah dan Program Pemberantasannya.

    Laporan Seminar Demam Berdarah Dengue

    Jakarta. 8 Juni 1991 hal 9. Sub. Din Pencegahan

    Penyakit Dinkes Prop Dati I Jateng 1995.

    6. WHITE R.D. KAMASKI H. RALSTON

    D.F. HUTT R.B and PETERSON H.D.V.

    Longevity and Reproduction of Codling Moth

    Irradiated with Cobalt-60 or Cesium 137. J.

    Econ. Entomol. 65 692 - 697 1972.

    7. HOPER G.H.S. Competitiveness of Gamma

    Sterilized Males of the Mediteranean Fruit Fly:

    Effect of Irradiating Pupae or Adult Stage and of

    Irradiating Pupae in Nitrogen. J.

    Econ. Entomol.,

    64 464 - 368 1976.

    8. La-CHANGE L.E. SCHMITH C.H. and

    BUSHLAND R.C. Radiation Induced

    Sterilization. Dalam: Kilgore W.W. and Dout

    R.L. Pest Control : Biological Physical and

    Selected Chemical Methods Academic Press

    New York

    London 1967 haI146-196.

    9. KNIPLlNG E.F. Possibilities of Insect Control

    or Eradication Through the Use of Sexuality

    Sterile

    J. Econ. Entomol.

    48 459 - 462 1955.

    10. WEIDHASS D.E. SCHMIDT C.H. and

    SEABROOK E.L. Field Studies on the Release

    of Sterile Males for Control of Cx. p. fatigans.

    Mosquito News. 22 283-291 1962.

    II. O BRIENT R.D. and WOLF L.S. Radiation

    radioactivity and Insect. Academic Press. New

    York - London 1976.

    TANYAJAWAB

    Sugili Putra

    - Lebih efektif manakah teknik pemandulan

    jantan/betina?

    Siti Nurhayati

    - .)011/0 .I {i.

    nail/un demikian lernyalo nyall/uk

    helinG /ehih sensilive lerhadap radiasi. sehingga

    wa/aupun radiasi dilakukan terhadap kedua jenis

    nyamukOantan dan belina) ternyata jan/an lebih

    survive. las yang telah ditetapkan berdasar

    produk/ manufaktur yang ada.

    H. Muryono

    - Bagaimana membedakan nyamuk jantan dan

    nyamuk betina?

    - Bagaimana mengetahui bahwa nyamuk itu

    mandul?

    - Bagaimana implementasi jaminan mutu pada

    penelitian ini?

    Siti Nurhayati

    - Secara anatomis sangat mudah dibedakan dari

    ukuran tubuh dan bent uk proboksisnya

    (moncongnya).

    - Dengan cara membedah tubuh nyamuk dan

    telurnya dibuka adaltidakada embrio

    didalamnya.

    - Belum di/akukan/diterapkan,karena masih

    memerlukan data pendukung seperti biotonik.

    pola pencar, jarak terbang, d//.

    Eddy Sumadi

    - Metode merubah betina jadi jantan dan

    sebaliknya dengan metode apa?

    - Ap abukan sifat nya saja yang berubah?

    Siti Nurhayati

    - Tidak bias merubahjenis nyamukjantan menjadi

    betina atau seba/iknay, tetapi yang dimak.md

    adalah dengan per/akuan temperature

    sensitivitas letha , maka stadium nyamuk

    dengan perlakuan tersebut akan

    mematikannyamuk betina, sehingga yang hidup

    terus adalah nyamukjantan.

    Nyamuk yang masih hidup benar-benar nyamuk

    jantan.

    Ir. Pudjianto

    - Apakah ada cara/metode bagaimana membuat

    nyamuk menjadi jenis kelamin jantan

    semua/betina semua?

    Siti Nurhayati

    - Ada, yaitu dengan teknik dengan per/akuan

    temperature sensitivitas lethal

    maka stadium

    nyamuk dengan per/akuan tersebut akan

    mematikannyamuk belina, sehingga yang hidup

    terus adalah nyamukjantan.

    Utaya

    Berapa kali nyamuk jantan membuahi nyamuk

    betina?

    Siti Nurhayati

    - Hanya satu kali seumur hidupnya. dan dia

    akanmati setelah membuahi nyamuk belina.

    Prosiding PPI - PDIPTN2006

    Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN

    Yogyakarta 10 Juli 2006 KE DAFTAR ISI

    http://daftar_%20isi.pdf/