putusan eksaminasi ky
DESCRIPTION
putusan KYTRANSCRIPT
EksaminasiPutusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUUIV/2006
Pengujian Undangundang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial danUndangundang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
MAJELIS EKSAMINASI
1. Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs. S.H., M.H. Fakultas Hukum Unud2. Firmansyah Arifin, S.H. KRHN3. Iwan Satriawan, S.H., M.CL. Fakultas Hukum UMY4. Drs. Lukman Hakim Saifuddin Anggota DPR RI5. M. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., MSc. Fakultas Hukum UGM6. Sahlan Said, S.H. ICM/Mantan Hakim7. Saldi Isra, S.H., MPA Fakultas Hukum Unand
DISELENGGARAKAN OLEH:
Yogyakarta, 26 – 27 September 2006
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring
Halaman 1 dari 12 halaman
EksaminasiPutusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU/2006
Pengujian Undangundang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial danUndangundang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
MAJELIS EKSAMINASI:
1. Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs. S.H., M.H. Fakultas Hukum Unud2. Firmansyah Arifin, S.H. KRHN3. Iwan Satriawan, S.H., M.CL. Fakultas Hukum UMY4. Drs. Lukman Hakim Saifuddin Anggota DPR RI5. M. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., MSc. Fakultas Hukum UGM6. Sahlan Said, S.H. ICM/Mantan Hakim7. Saldi Isra, S.H., MPA Fakultas Hukum Unand
I. PENGANTAR
Pembahasan terhadap putusan hakim adalah hak warga negara,seperti melalui eksaminasi, tulisan dan pendapat media massa, jurnalilmiah dan lainlain. Eksaminasi publik misalnya, merupakan salah satulangkah positif yang seharusnya menjadi tradisi dalam kerangkamendorong peradilan yang akuntabel, jujur dan adil. Denganeksaminasi publik, ada prinsip publisitas dan transparansi putusanhakim yang dapat dinilai oleh publik. Dengan kata lain, eksaminasipublik sebenarnya dapat dikatakan sebagai bagian dari penilaianterbuka terhadap kinerja hakim dalam memutuskan sebuah perkara.Eksaminasi dapat juga menjadi pembanding terhadap putusan hakim,memperkaya khasanah ilmu hukum, sehingga untuk jangka panjang,putusanputusan hakim akan semakin berkualitas.
Putusan MK dalam kasus kewenangan KY perlu dan pentingdieksaminasi oleh para ahli hukum karena putusan ini dinilaikontroversial. Pertama, putusan MK ini diluar harapan masyarakatkarena menganulir pasalpasal strategis dalam upaya menciptakanperadilan yang bersih. Kedua, MK dinilai bertindak terlalu jauhmelampaui kewenangannya ketika menganulir beberapa pasal yangterkait dengan wewenang pengawasan KY. Ketiga, Putusan MK dalamkasus ini terkesan dipaksakan karena klausulaklausula yang dinilaioleh MK bertentangan dengan UUD 1945 sesungguhnya justrumenjelaskan lebih detail ketentuan yang belum diatur secara jelas olehpasal 24B UUD 1945. Keempat, dengan putusan yang demikian, MKpunya kecenderungan menjadi lembaga yang hegemonik danberpotensi mengancam keseimbangan konsep separation of powersdan prinsip checks and balances yang menjadi ide dasar munculnya MKdalam UUD 1945.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring
Halaman 2 dari 12 halaman
Eksaminasi di bawah ini menganalisis beberapa hal penting danmendasar terkait masalahmasalah di atas.
II. PEMBAHASAN
A. KEWENANGAN MK
Pada prinsipnya, MK berwenang dalam menguji konstitusionalitassebuah UndangUndang (UU) terhadap UUD 1945 sebagaimanadiamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, didalam perkara ini ada prinsip imparsialitas yang perlu dipersoalkan,terkait dengan permohonan yang menyangkut dengan kepentinganhakimhakim konstitusi.
Asas nemo judex idoneus in propria causa (niemand is geschikt om alsrechter in zijn eigen zaak op te treden, bahwa tidak seorang pun dapatmenjadi hakim dalam perkaranya sendiri), dalam perkara ini telahdisimpangi oleh MK. Dengan dalih bahwa MK memiliki tanggungjawab konstitusional untuk mengawal UUD sehingga dapatmengesampingkan prinsip imparsialitas.1 Pengesampingan asasini tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat karena kewajibantersebut tidak boleh dijalankan dengan melanggar prinsip universalitashukum acara (due process) yang mengharuskan hakim memegangteguh prinsip keadilan dan imparsialitas.
Asas tersebut berlaku universal, bahkan telah diatur dalam Pasal 29ayat (5) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yangmenyatakan:
Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila iamempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yangsedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihakyang berperkara.
Penyimpangan atas suatu asas hanya dapat dilakukan jika diatursecara eksplisit di dalam UU, misalnya peradilan harus dilakukansecara terbuka untuk umum, kecuali undangundang menentukan lain(Pasal 19 (1) UU No. 4 tahun 2004). Ternyata UU MK dan PeraturanMK Nomor 006/PMK/2005 tentang hukum acara pengujian undangundang tidak mengatur secara spesifik tentang penyimpangan atasasas dimaksud.
Karena itu MK tidak mempunyai alasan untuk menyimpang dari asastersebut, kecuali bersandar kepada kekuasaan yang dimilikinya. Tetapiperlu dicatat, argumen kekuasaan demikian berpotensi menimbulkanpenyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Akibat lebih lanjut,
1 Hal. 153
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring
Halaman 3 dari 12 halaman
pemeriksaan perkara ini sarat benturan kepentingan (conflict ofinterest). Padahal untuk menjaga prinsip imparsialitas hakim konstitusiharus terbebas dari benturan kepentingan dalam membuat putusan.Atas dasar demikian, karena mengenyampingkan asas nemo judexidoneus in propria causa, maka hakim konstitusi telah melakukanjudicial misconduct. Seharusnya hakim konstitusi tidak memutuspermohonan sepanjang yang menyangkut diri mereka sendiri. ApalagiPasal 29 ayat (6) UU No. 4 tahun 2004 menyatakan:
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusandinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutandikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundangundangan.
Artinya, adalah benar seandainya MK mengabulkan permohonan”deklarasi” KY yang meminta hakim konstitusi tidak memutuskanpermohonan yang berkait dengan hakim konstitusi. Upaya KY tersebutharus dimaknai positif sebagai cara untuk membantu hakim konstitusimenjaga prinsip imparsialitasnya.
B. LEGAL STANDING PEMOHON
Dengan membaca permohonan, maka terlihat dengan jelas bahwaPemohon mempunyai legal standing, kecuali sepanjang menyangkuthakim konstitusi. Pasal 51 ayat (1) UU No 24 tahun 2003 tentang MKmenyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ataukewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang.
Namun karena ada satu hakim konstitusi yang berpendapat bahwa“sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan dengan HakimKonstitusi, para Pemohon tidak mempunyai legal standing karena tidakada kerugian hak atau kewenangan konstitusional yang bersifatspesifik yang dialami oleh para Pemohon”,2 maka seharusnya putusanini mengandung dissenting opinion dari seorang hakim tersebut yangberkait dengan legal standing. Oleh karenanya komposisi putusanhakim dalam kasus ini adalah 8:1, bukan 9:0.
Berkait hal tersebut penting untuk diperhatikan Pasal 45 ayat (10) UUMK jo Pasal 19 ayat (5) UU KK, yang menyatakan:
2 Hal. 157.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring
Halaman 4 dari 12 halaman
Pasal 45 (10)Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat(7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalamputusan.
Pasal 19 ayat (5)Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapathakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Dengan tidak dimuatnya pendapat hakim yang berbeda tersebut,majelis hakim konstitusi telah melanggar ketentuan pasalpasal di atas.Namun demikian perlu diberi catatan khusus, semestinya hakim yangmenolak legal standing pemohon bersikap konsisten dalampembahasan pokok perkara. Misalnya, tetap menolak memutuskan halhal yang terkait dengan hakim konstitusi.
C. POKOK PERKARA
Tentang Pengawasan terhadap Hakim KonstitusiMenyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945,MK berpendapat bahwa, “sejauh mengenai ketentuan Pasal 1 angka 5dan pasalpasal lainnya dalam UUKY sepanjang mengenai HakimKonstitusi, cukup beralasan untuk dinyatakan bertentangan denganUUD 1945”. Argumentasi tersebut tidak tepat karena beberapa alasan:
Pertama, perlu disadari bahwa interpretasi konstitusi melaluipendekatan original intent tidak mudah dilakukan, dan seringmenimbulkan kontroversi karena multi interpretasinya original intentitu sendiri. Dalam hal demikian, harusnya pengertian hakim dilihatdari konsensus yang ada pada pembahasan UUD atau jika sulitditemukan, digunakan pengertian umum (genus) tentang arti hakim itusendiri. MK seharusnya tidak boleh mencuplik satu opini dalampembahasan UUD 1945 dan menjadikannya rujukan sebagai originalintent.
Berkait dengan masalah genus arti hakim tersebut, perlu dicatat bahwakonstitusi secara tegas mengatakan bahwa Kekuasaan Kehakimandilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dengandemikian, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, hakim konstitusitidak dapat dikeluarkan dari definisi hakim menurut Pasal 24B ayat (1)UUD 1945.
Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakimandilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yangberada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring
Halaman 5 dari 12 halaman
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilantata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Karena kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semualingkungan peradilan, maka tidak tepat mengatakan bahwa hakimkonstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim. Bahkan dalamrisalah perubahan UUD 1945, tidak pernah disebutkan bahwa hakimkonstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim, dan ketentuanperundangundangan tidak memisahkan pengertian hakim berdasarkanruang lingkup, sehingga semua hakim dalam ranah kekuasaan negara– termasuk hakim konstitusi – haruslah dimaksudkan sebagai hakim.
Kedua, berkait dengan sistematika susunan pasal 24A, 24B dan 24Cyang membahas MA, KY dan MK. Susunan demikian – yangmeletakkan KY di bawah MA, tetapi di atas MK – bukan berarti bahwayang diawasi KY hanyalah MA, dan bukan MK. Susunan demikiansemata karena salah satu kewenangan KY adalah melakukanrekrutmen calon hakim agung, dan karena keterkaitan masalahrekrutmen tersebut, maka pembahasan KY dilakukan setelah MA.
Masih berkaitan dengan sistematika dalam UUD 1945 tersebut, kalaumetode demikian yang digunakan, maka TNI dan Polri tidak bisadimasukkan dalam ranah eksekutif (pemerintahan) karena BAB XIItentang Pertahanan Keamanan terletak jauh dari BAB III tentangKekuasaan Pemerintahan Negara.
Ketiga, mengargumenkan bahwa hakim konstitusi tidak diawasi KYkarena masa jabatannya yang hanya lima tahun dan setelah itukembali ke profesi semula, tidak pula tepat. Argumentasi demikianadalah pendapat yang anti akuntabilitas. Padahal semua lembaganegara dan pejabat negara harus diminta akuntabilitasnya. Terlebihyang diawasi KY adalah perilaku seorang hakim, yang berarti kalaudia kembali ke profesi lainnya setelah menjadi hakim konstitusi makaperilaku yang bersangkutan tidak lagi menjadi obyek pengawasan KY.
Keempat, argumen MK bahwa hakim konstitusi tidak diawasi KYkarena, “Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatanpara Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapatketerlibatan peran KY sama sekali”3 juga merupakan argumen yangpatut dikritisi. Jika proses rekrutmen oleh KY saja yang menjadi acuanhakim diawasi oleh KY, mengapa hakim Pengadilan Negeri danPengadilan Tinggi diawasi oleh KY, padahal mereka tidak pula direkrutoleh KY?
3 Hal. 174.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring
Halaman 6 dari 12 halaman
Kelima, argumen bahwa hakim konstitusi tidak diawasi KY karena jikadiawasi berpotensi mengganggu imparsialitas hakim konstitusi, adalahargumen yang tidak konsisten dengan sikap MK sendiri yang selalumenegaskan bahwa mereka independen dan imparsial. Misalnya,dalam melaksanakan kewenangan pengujian undangundang MK selalumengatakan bahwa mereka tetap independen dan imparsial meskipunharus menguji produk Presiden dan DPR yang memilih enam darisembilan hakim konstitusi. Kekhawatiran bahwa hakim konstitusi tidakbisa imparsial jika diawasi KY justru menguatkan bahwa adabenturan kepentingan hakim konstitusi pada saat menjawab persoalankonstitusionalitas pengawasan KY atas hakim konstitusi.
Pengawasan KY terhadap Hakim AgungPutusan MK yang memasukkan Hakim Agung dalam ranahpengawasan KY sudah tepat. Menafikan pengawasan KY sama sajadengan membiarkan MA menjadi lembaga yang tidak tersentuh(untouchable). Berdasarkan hierarki pengadilan, karena MA merupakanpuncak dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya,maka hakim tingkat banding dan hakim tingkat pertama juga beradadalam pengawasan MA. Dengan demikian, ketika menolak pengawasanKY, pendapat pemohon tersebut menjadi tidak masuk akal. Logikanya,karena pengawasan terhadap hakim di lingkungan pengadilan yanglebih rendah dapat juga dilakukan oleh MA, maka pengawasanterhadap hakim agung dilakukan oleh KY.
Keberatan atas pengawasan KY semakin kehilangan pijakan yuridiskalau diletakkan dalam proses pengisian hakim agung. Hasil perubahanUUD 1945 menegaskan bahwa wewenang mengusulkan pengangkatanhakim agung adalah KY. Karena kewenangan tersebut, KY punyalandasan hukum yang amat kuat untuk mengawasi hakim agung.Dengan alasan itu, tindakan pemohon yang menolak diawasi KYmerupakan tindakan inkonstitusional.
Tentang Lembaga NegaraArgumen MK yang mengklasifikasikan lembaga negara menjadisupporting organ dan main organ justru tidak sesuai denganperubahan UUD 1945 yang menghapuskan klasifikasi LembagaTertinggi dan Tinggi Negara. Setelah perubahan UUD tidak ada lagihubungan antarlembaga negara yang bersifat hierarkis. Eksistensilembaga negara sangat bergantung pada fungsi dan wewenangmasingmasing tanpa membedakan lembaga yang satu adalah lebihutama (main), sedangkan lembaga lain hanyalah penunjang(supporting). Apalagi, kedudukan MA, MK dan KY adalah sama sebagailembaga negara karena memiliki wewenang atribusi menurut UUD1945.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring
Halaman 7 dari 12 halaman
Lebih jauh, pertimbangan hukum MK bahwa “hubungan antara KYsebagai supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidangpengawasan perilaku hakim seharusnya lebih tepat dipahami sebagaihubungan kemitraan (partnership)”, menggambarkan cara berpikiryang tidak konsisten. Karena MK berpendapat bahwa KY adalahsupporting organ terhadap MA. Padahal, relasi kemitraan seharusnyamenyaratkan posisi yang sejajar. Dengan mengatakan KY hanyalahsupporting organ sedangkan MA main organ makin nyatalah tidak adakesejajaran posisi antara KY dan MA, oleh karenanya sulit untukmembangun hubungan kemitraan (partnership) antara keduanya.
Hal penting lainnya yang harus dicatat, penentuan kedudukanlembagalembaga negara bukanlah menjadi kewenangan MK. Haltersebut lebih tepat menjadi kewenangan MPR sebagai lembagapembentuk konstitusi.
Kekuasaan Kehakiman Yang MerdekaBerkait dengan pertimbangan hukum MK tentang ”IndependensiPeradilan dan Independensi Hakim”(hal. 169 – 173) perlu dikutipkanpendapat lain untuk melakukan klarifikasi mengenai prinsipindependensi.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsippenting dalam negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam JudicialIndependence: New Conceptual Dimentions and ContemporaryChallenges membagi independence of the judiciary menjadi empat halyaitu substantive independence, yaitu independensi dalam memutusperkara; personal independence misalnya adanya jaminan masa kerjadan jabatan (term of office and tenure); internal independencemisalnya independensi dari atasan dan rekan kerja dan collectiveindependence misalnya adanya partisipasi pengadilan dalamadministrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budgetpengadilan.4
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakimterbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsungmaupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat,atasan, serta pihakpihak lain di luar peradilan. Sehingga hakim dalammemutus perkara hanya demi kadilan berdasarkan hukum dan hatinurani.5 Dalam pandangan Hakim Agung Artidjo Alkostar, tidak adabangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang merdeka dan
4 Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and ContemporaryChallenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus NijhoffPublishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), MahkamahAgung Republik Indonesia.5 Bandingkan dengan Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI, hal 7.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring
Halaman 8 dari 12 halaman
bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang tegaknyanegara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalahmenyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka.6
Erhard Blankenburg mengatakan bahwa independensi peradilan dapatdiuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan (impartiality) danketerputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity).7
Imparsialitas terlihat pada gagasan bahwa para hakim akanmendasarkan putusannya pada hukum dan faktafakta di persidangan,bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yangberperkara. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jikahakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktorsemangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara.Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidanganjika ia melihat ada potensi imparsialitas8 (ini juga menjadi argumentasilain bahwa hakim tidak boleh menyimpangi asas nemo judex idoneusin propria causa). Sementara itu, pemutusan relasi dengan duniapolitik penting bagi seorang hakim agar ia tidak menjadi alat untukmerealisasikan tujuantujuan politik.9
Berkait dengan pertimbangan MK mengenai independensi ini, perluditekankan bahwa semestinya ada keseimbangan antara prinsipindependensi dengan akuntabilitas. Karena kekuasaan kehakiman yangindependen tanpa diimbangi dengan akuntabilitas berpotensiterjadinya penyalahgunaan wewenang.
Checks and BalancesPendapat hukum MK bahwa “cabangcabang kekuasaan negaradipisahkan berdasarkan prinsip checks and balances, terutama dalamhubungan antara legislatif dengan eksekutif, maka pemisahankekuasaan yudikatif dari pengaruh cabangcabang kekuasaan lainnyasemakin dipertegas”, adalah argumen yang problematik karenamengatakan bahwa saling kontrol dan saling imbang lebih ada diantara legislatif dan eksekutif, sedangkan yudikatif lebih menerapkanseparation of powers. Argumen demikian cenderung makinmenciptakan tirani yudikatif.
Ketika merumuskan dimensi pengawasan KY yang seharusnya menjadisupporting element dengan menggunakan teori checks and balances,para hakim konstitusi serasa tibatiba lupa pada doktrin teori ini.Mereka merancukan konsepsi separation of powers dan checks and
6 Artidjo Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam MajalahHukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.7 A. Muhammad Asrun, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta.8 Ibid9 Ibid.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring
Halaman 9 dari 12 halaman
balances. Dalam separation of power, pembagian secara kaku atas tigacabang menjadi benar adanya, sedangkan dalam checks and balanceshal itu bukan menjadi hal yang mutlak. Peter L. Strauss (1984)menuliskan bahwa “Unlike the separation of powers, the checks andbalances idea does not suppose a radical division of government intothree parts, with particular functions neatly parceled out among them.Rather, the focus is on relationship and interconnections, onmaintaining the conditions in which the intended struggle at the apexmay continue”.10 Pertanyaannya kemudian adalah dari mana parahakim menyimpulkan bahwa konstitusi kita menganut checks andbalances? Bahkan, jikalaupun menggunakan checks and balances,maka kedudukan KY tidak serta merta menjadi salah, karena doktrinchecks and balances tidak berarti menegasikan kemungkinan adanyathe fourth branch.
Kewenangan Komplementer KYMengatakan bahwa kewenangan KY untuk mengawasi perilaku hakimadalah komplementer11 yang bukan kewenangan eksklusif dari KYadalah bertentangan dengan aturan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD1945 sendiri yang menegaskan bahwa KY berwenang menjaga danmenegakkan perilaku hakim.
Demikian pula dengan pendapat hukum MK bahwa “yang dimaksud,kewenangan lain dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait eratdengan kewenangan utama KY untuk mengusulkan pengangkatanhakim agung” tidaklah tepat. Dua kewenangan KY dalam halrekrutmen hakim agung dan kewenangan lain dalam rangka menjagadan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilakuhakim adalah dua kewenangan yang tidak hierarkis. Artinya, salah satukewenangan tidak lebih utama dari yang lain.
Kinerja KYBerkait dengan argumen MK bahwa “Penilaian terhadap putusan hakimyang dimaksudkan sebagai pengawasan di luar mekanisme hukumacara yang tersedia adalah bertentangan dengan prinsip res judicatapro veritate habetur yang berarti apa yang telah diputus oleh hakimharus dianggap sebagai benar (de inhoud van het vonnis geld alswaard)”12 sudah tepat. KY memang sebaiknya tidak menjatuhkansanksi kepada hakim berdasarkan penilaian pada putusan semata.Putusan memang dapat dianalisis hanya untuk entry point gunamenilai kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku hakim dalammemutus sebuah perkara.
10 Lihat: Peter L. Strauss, The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch,1984, Columbia Law Review. Lihat juga di dalam, John H. Garvey dan Alexander Aleinikov, ModernConstitutional Theory, West Publishing and Co, Minnesota, USA, 1994, halaman 296.11 Hal. 183.12 Hal. 188.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring
Halaman 10 dari 12 halaman
Kelengkapan UU KYArgumentasi MK yang menyebutkan UU KY mengatur pengawasantidak lengkap adalah keliru, karena UU KY justru melengkapi aturanpengawasan hakim yang dibahas dalam UU sebelumnya: UUKekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung dan UU MahkamahKonstitusi.
Karenanya menjadi sah untuk dipertanyakan, jikalau MK berpendapatada tumpang tindih dalam hal pengawasan hakim, mengapa aturanpengawasan dalam UU KY yang justru dipangkas? Mestinya, hakimkonstitusi mampu melihat bahwa semua undangundang yang ada diranah kekuasaan kehakiman adalah saling melengkapi.
Ketidakpastian vs Kekosongan HukumArgumen MK yang mengatakan bahwa ada ketidakjelasan fungsipengawasan KY sebagai sesuatu yang obscuur dan menimbulkanketidakpastian hukum adalah tidak tepat. Karena, ketidakpastianhukum adalah frasa yang sangat fleksibel. Lebih jauh, jikalaupun adaketidakjelasan fungsi pengawasan tersebut, UU KY menyatakan bahwaketentuan lebih lanjut dapat diatur dengan Peraturan KY (Pasal 22 ayat(8) UU KY). Padahal dengan dinyatakannya segala pasal pengawasandalam UU KY tidak punya kekuatan hukum mengikat, telahmenimbulkan kekosongan hukum dalam pelaksanaan fungsipengawasan KY. Tindakan MK memilih terjadinya kekosongan hukumtersebut adalah merupakan langkah mundur dalam agenda reformasihukum di Indonesia.
III. REKOMENDASI
Setelah membaca dan mengkaji putusan No. 005/PUUIV/2006 makaMajelis Eksaminasi merekomendasikan:
Pertama, hakim konstitusi agar tunduk pada asasasas hukum acarayang berlaku universal dalam proses peradilan. Penyimpangan hanyadapat dilakukan sepanjang diperkenankan oleh undangundang.
Kedua, agar kekosongan hukum tentang pengawasan tidak berlangsunglama maka DPR dan Presiden perlu segera melakukan perubahan UU KY;dengan menyinkronkan pembahasannya bersamaan dengan undangundang lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Ketiga, dalam melakukan perubahan UU KY, agar wewenangpengawasan yang akan dilakukan oleh KY direvitalisasi. Misalnya, KY bisa
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring
Halaman 11 dari 12 halaman
memberikan sanksi pemberhentian kepada hakim tanpa harus melaluiPimpinan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim.
Keempat, sementara DPR dan Presiden melakukan perubahan UU KY,agar KY dapat memakai ketentuan dalam Pasal 13 dengan membentukPeraturan KY tentang Pengawasan terhadap Hakim.
Kelima, agar semua lembaga negara dan pejabat negara termasukpelaku kekuasaan kehakiman menyadari bahwa tidak ada satu kekuasaanpun yang lepas dari prinsip akuntabilitas ataupun pengawasan oleh pihaklain di luar dirinya sendiri.
IV. PENUTUP
Demikian putusan eksaminasi dirumuskan dan diputuskan dalam RapatMajelis Eksaminasi yang dihadiri ketujuh eksaminator pada Selasa 26September 2006 dan 27 September 2006.
Yogyakarta, 27 September 2006
1. Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs., S.H., M.H. 1. ..............................
2. Firmansyah Arifin, S.H. 2. ..............................
3. Iwan Satriawan, S.H., M.CL. 3. ..............................
4. Drs. Lukman Hakim Saifuddin 4. ..............................
5. M. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.Sc. 5. ..............................
6. Sahlan Said, S.H. 6. ..............................
7. Saldi Isra, S.H., MPA 7. ..............................
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com