putusan eksaminasi ky

12
Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 Pengujian Undang-undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman MAJELIS EKSAMINASI 1. Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs. S.H., M.H. Fakultas Hukum Unud 2. Firmansyah Arifin, S.H. KRHN 3. Iwan Satriawan, S.H., M.CL. Fakultas Hukum UMY 4. Drs. Lukman Hakim Saifuddin Anggota DPR RI 5. M. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., MSc. Fakultas Hukum UGM 6. Sahlan Said, S.H. ICM/Mantan Hakim 7. Saldi Isra, S.H., MPA Fakultas Hukum Unand DISELENGGARAKAN OLEH: Yogyakarta, 26 – 27 September 2006 Click to buy NOW! P D F - X C H A N G E w w w . d o c u - t r a c k . c o m Click to buy NOW! P D F - X C H A N G E w w w . d o c u - t r a c k . c o m

Upload: christo-valentino

Post on 30-Dec-2014

27 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

putusan KY

TRANSCRIPT

Page 1: Putusan Eksaminasi KY

EksaminasiPutusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU­IV/2006

Pengujian Undang­undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial danUndang­undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

MAJELIS EKSAMINASI

1. Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs. S.H., M.H. Fakultas Hukum Unud2. Firmansyah Arifin, S.H. KRHN3. Iwan Satriawan, S.H., M.CL. Fakultas Hukum UMY4. Drs. Lukman Hakim Saifuddin Anggota DPR RI5. M. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., MSc. Fakultas Hukum UGM6. Sahlan Said, S.H. ICM/Mantan Hakim7. Saldi Isra, S.H., MPA Fakultas Hukum Unand

DISELENGGARAKAN OLEH:

Yogyakarta, 26 –  27 September 2006

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com

Page 2: Putusan Eksaminasi KY

Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring

­ Halaman 1 dari 12 halaman ­

 EksaminasiPutusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU/2006

Pengujian Undang­undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial danUndang­undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

MAJELIS EKSAMINASI:

1. Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs. S.H., M.H. Fakultas Hukum Unud2. Firmansyah Arifin, S.H. KRHN3. Iwan Satriawan, S.H., M.CL. Fakultas Hukum UMY4. Drs. Lukman Hakim Saifuddin Anggota DPR RI5. M. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., MSc. Fakultas Hukum UGM6. Sahlan Said, S.H. ICM/Mantan Hakim7. Saldi Isra, S.H., MPA Fakultas Hukum Unand

I.     PENGANTAR

Pembahasan  terhadap  putusan  hakim  adalah  hak  warga  negara,seperti melalui eksaminasi, tulisan dan pendapat media massa,  jurnalilmiah dan lain­lain. Eksaminasi publik misalnya, merupakan salah satulangkah  positif  yang  seharusnya  menjadi  tradisi  dalam  kerangkamendorong  peradilan  yang  akuntabel,  jujur  dan  adil.  Denganeksaminasi  publik,  ada  prinsip  publisitas  dan  transparansi  putusanhakim  yang  dapat  dinilai  oleh  publik.  Dengan  kata  lain,  eksaminasipublik  sebenarnya  dapat  dikatakan  sebagai  bagian  dari  penilaianterbuka  terhadap  kinerja  hakim  dalam  memutuskan  sebuah  perkara.Eksaminasi dapat  juga menjadi pembanding terhadap putusan hakim,memperkaya  khasanah  ilmu hukum,  sehingga untuk  jangka  panjang,putusan­putusan hakim akan semakin berkualitas.

Putusan  MK  dalam  kasus  kewenangan  KY  perlu  dan  pentingdieksaminasi  oleh  para  ahli  hukum  karena  putusan  ini  dinilaikontroversial. Pertama,  putusan  MK  ini  diluar  harapan  masyarakatkarena  menganulir  pasal­pasal  strategis  dalam  upaya  menciptakanperadilan  yang  bersih. Kedua,  MK  dinilai  bertindak  terlalu  jauhmelampaui  kewenangannya  ketika  menganulir  beberapa  pasal  yangterkait dengan wewenang pengawasan KY. Ketiga, Putusan MK dalamkasus  ini  terkesan  dipaksakan  karena  klausula­klausula  yang  dinilaioleh  MK  bertentangan  dengan  UUD  1945  sesungguhnya  justrumenjelaskan lebih detail ketentuan yang belum diatur secara jelas olehpasal  24B  UUD 1945. Keempat,  dengan  putusan  yang  demikian,  MKpunya  kecenderungan  menjadi  lembaga  yang  hegemonik  danberpotensi  mengancam  keseimbangan  konsep separation  of  powersdan prinsip checks and balances yang menjadi ide dasar munculnya MKdalam UUD 1945.

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com

Page 3: Putusan Eksaminasi KY

Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring

­ Halaman 2 dari 12 halaman ­

Eksaminasi  di  bawah  ini  menganalisis  beberapa  hal  penting  danmendasar terkait masalah­masalah di atas.

II.    PEMBAHASAN

A. KEWENANGAN MK

Pada  prinsipnya,  MK  berwenang  dalam  menguji  konstitusionalitassebuah  Undang­Undang  (UU)  terhadap  UUD  1945  sebagaimanadiamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, didalam  perkara  ini  ada  prinsip  imparsialitas  yang  perlu  dipersoalkan,terkait  dengan  permohonan  yang  menyangkut  dengan  kepentinganhakim­hakim konstitusi.

Asas nemo judex idoneus in propria causa (niemand is geschikt om alsrechter in zijn eigen zaak op te treden, bahwa tidak seorang pun dapatmenjadi  hakim  dalam  perkaranya  sendiri),  dalam  perkara  ini  telahdisimpangi  oleh  MK.  Dengan  dalih  bahwa  MK  memiliki tanggungjawab  konstitusional  untuk  mengawal  UUD  sehingga  dapatmengesampingkan  prinsip  imparsialitas.1 Pengesampingan  asasini  tidak  memiliki  argumentasi  hukum  yang  kuat  karena  kewajibantersebut tidak boleh dijalankan dengan melanggar prinsip universalitashukum  acara  (due  process)  yang  mengharuskan  hakim  memegangteguh prinsip keadilan dan imparsialitas.

Asas  tersebut  berlaku  universal,  bahkan  telah  diatur  dalam  Pasal  29ayat  (5)  UU No.  4  tahun 2004  tentang  Kekuasaan  Kehakiman,  yangmenyatakan:

Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila iamempunyai  kepentingan  langsung  atau  tidak  langsung  dengan  perkara  yangsedang diperiksa,  baik  atas  kehendaknya  sendiri maupun atas permintaan pihakyang berperkara.

Penyimpangan  atas  suatu  asas  hanya  dapat  dilakukan  jika  diatursecara  eksplisit  di  dalam  UU,  misalnya  peradilan  harus  dilakukansecara terbuka untuk umum, kecuali undang­undang menentukan lain(Pasal 19 (1) UU No. 4  tahun 2004). Ternyata UU MK dan PeraturanMK  Nomor  006/PMK/2005  tentang  hukum  acara  pengujian  undang­undang  tidak  mengatur  secara  spesifik  tentang  penyimpangan  atasasas dimaksud.

Karena  itu MK  tidak mempunyai  alasan  untuk menyimpang  dari asastersebut, kecuali bersandar kepada kekuasaan yang dimilikinya. Tetapiperlu  dicatat,  argumen  kekuasaan  demikian  berpotensi  menimbulkanpenyalahgunaan  kekuasaan  (abuse  of  power).  Akibat  lebih  lanjut,

1 Hal.  153

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com

Page 4: Putusan Eksaminasi KY

Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring

­ Halaman 3 dari 12 halaman ­

pemeriksaan  perkara  ini  sarat  benturan  kepentingan  (conflict  ofinterest). Padahal untuk menjaga prinsip imparsialitas hakim konstitusiharus  terbebas  dari  benturan  kepentingan  dalam  membuat  putusan.Atas  dasar  demikian,  karena  mengenyampingkan  asas nemo  judexidoneus  in  propria  causa,  maka  hakim  konstitusi  telah  melakukanjudicial  misconduct.  Seharusnya  hakim  konstitusi  tidak  memutuspermohonan sepanjang yang menyangkut diri mereka sendiri. ApalagiPasal 29 ayat (6) UU No. 4 tahun 2004 menyatakan:

Dalam  hal  terjadi  pelanggaran  terhadap  ketentuan  pada  ayat  (5),  putusandinyatakan  tidak  sah  dan  terhadap  hakim  atau  panitera  yang  bersangkutandikenakan  sanksi  administratif  atau  dipidana  berdasarkan  peraturan  perundang­undangan.

Artinya,  adalah  benar  seandainya  MK  mengabulkan  permohonan”deklarasi”  KY  yang  meminta  hakim  konstitusi  tidak  memutuskanpermohonan yang berkait dengan hakim konstitusi. Upaya KY tersebutharus dimaknai positif sebagai cara untuk membantu hakim konstitusimenjaga prinsip imparsialitasnya.

B. LEGAL STANDING PEMOHON

Dengan  membaca  permohonan,  maka  terlihat  dengan  jelas  bahwaPemohon  mempunyai legal  standing,  kecuali  sepanjang  menyangkuthakim konstitusi. Pasal 51 ayat (1) UU No 24 tahun 2003 tentang MKmenyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ataukewenangan  konstitusionalnya  dirugikan  oleh  berlakunya  undang­undang.

Namun  karena  ada  satu  hakim  konstitusi  yang  berpendapat  bahwa“sepanjang  menyangkut  ketentuan  yang  berkaitan  dengan  HakimKonstitusi, para Pemohon tidak mempunyai legal standing karena tidakada  kerugian  hak  atau  kewenangan  konstitusional  yang  bersifatspesifik yang dialami oleh para Pemohon”,2 maka seharusnya putusanini mengandung dissenting opinion dari  seorang hakim  tersebut  yangberkait  dengan legal  standing.  Oleh  karenanya  komposisi  putusanhakim dalam kasus ini adalah 8:1, bukan 9:0.

Berkait hal tersebut penting untuk diperhatikan Pasal 45 ayat (10) UUMK jo Pasal 19 ayat (5) UU KK, yang menyatakan:

2 Hal. 157.

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com

Page 5: Putusan Eksaminasi KY

Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring

­ Halaman 4 dari 12 halaman ­

Pasal 45 (10)Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat(7)  dan  ayat  (8),  pendapat  anggota  Majelis  Hakim  yang  berbeda  dimuat  dalamputusan.

Pasal 19 ayat (5)Dalam  hal sidang permusyawaratan  tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapathakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

Dengan  tidak  dimuatnya  pendapat  hakim  yang  berbeda  tersebut,majelis hakim konstitusi telah melanggar ketentuan pasal­pasal di atas.Namun demikian perlu diberi  catatan khusus, semestinya hakim yangmenolak legal  standing  pemohon  bersikap  konsisten  dalampembahasan pokok perkara. Misalnya, tetap menolak memutuskan hal­hal yang terkait dengan hakim konstitusi.

C. POKOK PERKARA

Tentang Pengawasan terhadap Hakim KonstitusiMenyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945,MK berpendapat bahwa, “sejauh mengenai ketentuan Pasal 1 angka 5dan  pasal­pasal  lainnya  dalam  UUKY  sepanjang  mengenai  HakimKonstitusi,  cukup  beralasan  untuk  dinyatakan  bertentangan  denganUUD 1945”. Argumentasi tersebut tidak tepat karena beberapa alasan:

Pertama,  perlu  disadari  bahwa  interpretasi  konstitusi  melaluipendekatan original  intent  tidak  mudah  dilakukan,  dan  seringmenimbulkan  kontroversi  karena  multi  interpretasinya original  intentitu  sendiri.  Dalam  hal  demikian,  harusnya  pengertian hakim  dilihatdari  konsensus  yang  ada  pada  pembahasan  UUD  atau  jika  sulitditemukan, digunakan pengertian umum (genus) tentang arti hakim itusendiri.  MK  seharusnya  tidak  boleh  mencuplik  satu  opini  dalampembahasan  UUD  1945  dan  menjadikannya  rujukan  sebagai originalintent.

Berkait dengan masalah genus arti hakim tersebut, perlu dicatat bahwakonstitusi  secara  tegas  mengatakan  bahwa  Kekuasaan  Kehakimandilakukan  oleh  Mahkamah  Agung  dan  Mahkamah  Konstitusi.  Dengandemikian,  sebagai  pelaksana  kekuasaan  kehakiman,  hakim  konstitusitidak dapat dikeluarkan dari definisi hakim menurut Pasal 24B ayat (1)UUD 1945.

Pasal  24  Ayat  (2)  UUD  1945  menyatakan,  kekuasaan  kehakimandilakukan  oleh  sebuah  Mahkamah  Agung  dan  badan  peradilan  yangberada  di  bawahnya  dalam  lingkungan  peradilan  umum,  lingkungan

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com

Page 6: Putusan Eksaminasi KY

Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring

­ Halaman 5 dari 12 halaman ­

peradilan  agama,  lingkungan  peradilan  militer,  lingkungan  peradilantata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Karena  kekuasaan  kehakiman dilaksanakan  oleh  hakim  dalam  semualingkungan  peradilan,  maka  tidak  tepat  mengatakan  bahwa  hakimkonstitusi  tidak  termasuk  dalam  pengertian  hakim.    Bahkan  dalamrisalah  perubahan  UUD  1945,  tidak  pernah  disebutkan  bahwa  hakimkonstitusi  tidak  termasuk  dalam  pengertian  hakim,  dan  ketentuanperundang­undangan tidak memisahkan pengertian hakim berdasarkanruang lingkup, sehingga semua hakim dalam ranah kekuasaan negara– termasuk hakim konstitusi – haruslah dimaksudkan sebagai hakim.

Kedua, berkait  dengan sistematika  susunan pasal 24A, 24B dan 24Cyang  membahas  MA,  KY  dan  MK.  Susunan  demikian  –  yangmeletakkan KY di bawah MA, tetapi di atas MK – bukan berarti bahwayang  diawasi  KY  hanyalah  MA,  dan  bukan  MK.  Susunan  demikiansemata  karena  salah  satu  kewenangan  KY  adalah  melakukanrekrutmen  calon  hakim  agung,  dan  karena  keterkaitan  masalahrekrutmen tersebut, maka pembahasan KY dilakukan setelah MA.

Masih  berkaitan dengan  sistematika dalam UUD 1945  tersebut,  kalaumetode  demikian  yang  digunakan,  maka  TNI  dan  Polri  tidak  bisadimasukkan  dalam  ranah  eksekutif  (pemerintahan)  karena  BAB  XIItentang  Pertahanan  Keamanan  terletak  jauh  dari  BAB  III  tentangKekuasaan Pemerintahan Negara.

Ketiga,  mengargumenkan  bahwa  hakim  konstitusi  tidak  diawasi  KYkarena  masa  jabatannya  yang  hanya  lima  tahun  dan  setelah  itukembali  ke  profesi  semula,  tidak  pula  tepat.  Argumentasi  demikianadalah  pendapat  yang anti  akuntabilitas.  Padahal  semua  lembaganegara  dan  pejabat  negara  harus  diminta  akuntabilitasnya.  Terlebihyang diawasi KY adalah perilaku seorang hakim, yang berarti kalaudia  kembali ke profesi  lainnya setelah menjadi hakim konstitusi makaperilaku yang bersangkutan tidak lagi menjadi obyek pengawasan KY.

Keempat,  argumen  MK  bahwa  hakim  konstitusi  tidak  diawasi  KYkarena, “Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatanpara Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapatketerlibatan  peran  KY  sama  sekali”3  juga  merupakan  argumen  yangpatut dikritisi. Jika proses rekrutmen oleh KY saja yang menjadi acuanhakim  diawasi  oleh  KY,  mengapa  hakim  Pengadilan  Negeri  danPengadilan Tinggi diawasi oleh KY, padahal mereka tidak pula direkrutoleh KY?

3 Hal. 174.

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com

Page 7: Putusan Eksaminasi KY

Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring

­ Halaman 6 dari 12 halaman ­

Kelima, argumen bahwa hakim konstitusi tidak diawasi KY karena jikadiawasi berpotensi mengganggu imparsialitas hakim konstitusi, adalahargumen  yang  tidak  konsisten  dengan  sikap  MK  sendiri  yang  selalumenegaskan  bahwa  mereka  independen  dan  imparsial.  Misalnya,dalam melaksanakan kewenangan pengujian undang­undang MK selalumengatakan bahwa mereka tetap independen dan imparsial meskipunharus  menguji  produk  Presiden  dan  DPR  yang  memilih  enam  darisembilan hakim konstitusi. Kekhawatiran bahwa hakim konstitusi tidakbisa  imparsial  jika  diawasi  KY justru  menguatkan  bahwa  adabenturan kepentingan hakim konstitusi pada saat menjawab persoalankonstitusionalitas pengawasan KY atas hakim konstitusi.

Pengawasan KY terhadap Hakim AgungPutusan  MK  yang  memasukkan  Hakim  Agung  dalam  ranahpengawasan  KY  sudah  tepat.  Menafikan  pengawasan  KY  sama  sajadengan  membiarkan  MA  menjadi  lembaga  yang  tidak  tersentuh(untouchable). Berdasarkan hierarki pengadilan, karena MA merupakanpuncak  dari  semua  lingkungan  peradilan  yang  berada  di  bawahnya,maka hakim tingkat banding dan hakim  tingkat pertama  juga  beradadalam pengawasan MA. Dengan demikian, ketika menolak pengawasanKY, pendapat pemohon tersebut menjadi tidak masuk akal. Logikanya,karena  pengawasan  terhadap  hakim  di  lingkungan  pengadilan  yanglebih  rendah  dapat  juga  dilakukan  oleh  MA,  maka  pengawasanterhadap hakim agung dilakukan oleh KY.

Keberatan  atas  pengawasan  KY  semakin  kehilangan  pijakan  yuridiskalau diletakkan dalam proses pengisian hakim agung. Hasil perubahanUUD 1945 menegaskan bahwa wewenang mengusulkan pengangkatanhakim  agung  adalah  KY.  Karena  kewenangan  tersebut,  KY  punyalandasan  hukum  yang  amat  kuat  untuk  mengawasi  hakim  agung.Dengan  alasan  itu,  tindakan  pemohon  yang  menolak  diawasi  KYmerupakan tindakan inkonstitusional.

Tentang Lembaga NegaraArgumen  MK  yang  mengklasifikasikan  lembaga  negara  menjadisupporting  organ  dan main  organ justru  tidak  sesuai  denganperubahan  UUD  1945  yang  menghapuskan  klasifikasi  LembagaTertinggi  dan  Tinggi  Negara.  Setelah  perubahan  UUD  tidak  ada  lagihubungan  antarlembaga  negara  yang  bersifat  hierarkis.  Eksistensilembaga  negara  sangat  bergantung  pada  fungsi  dan  wewenangmasing­masing  tanpa  membedakan  lembaga  yang  satu  adalah  lebihutama  (main),  sedangkan  lembaga  lain  hanyalah  penunjang(supporting). Apalagi, kedudukan MA, MK dan KY adalah sama sebagailembaga  negara  karena  memiliki  wewenang  atribusi  menurut  UUD1945.

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com

Page 8: Putusan Eksaminasi KY

Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring

­ Halaman 7 dari 12 halaman ­

Lebih  jauh,  pertimbangan  hukum  MK  bahwa  “hubungan  antara  KYsebagai supporting organ dan  MA  sebagai main  organ dalam bidangpengawasan perilaku hakim seharusnya  lebih  tepat  dipahami  sebagaihubungan  kemitraan  (partnership)”,  menggambarkan  cara  berpikiryang  tidak  konsisten.  Karena  MK  berpendapat  bahwa  KY  adalahsupporting  organ  terhadap MA. Padahal,  relasi  kemitraan seharusnyamenyaratkan  posisi  yang  sejajar.  Dengan  mengatakan  KY  hanyalahsupporting organ sedangkan MA main organ makin nyatalah tidak adakesejajaran  posisi  antara  KY  dan  MA,  oleh  karenanya  sulit  untukmembangun hubungan kemitraan (partnership) antara keduanya.

Hal  penting  lainnya  yang  harus  dicatat,  penentuan  kedudukanlembaga­lembaga  negara  bukanlah  menjadi  kewenangan  MK.  Haltersebut  lebih  tepat  menjadi  kewenangan  MPR  sebagai  lembagapembentuk konstitusi.

Kekuasaan Kehakiman Yang MerdekaBerkait  dengan  pertimbangan  hukum  MK  tentang  ”IndependensiPeradilan dan Independensi Hakim”(hal. 169 – 173) perlu dikutipkanpendapat  lain  untuk  melakukan  klarifikasi  mengenai  prinsipindependensi.

Kekuasaan  kehakiman  yang  merdeka  merupakan  salah  satu  prinsippenting  dalam  negara  demokrasi.  Shimon  Shetreet  dalam JudicialIndependence:  New  Conceptual  Dimentions  and  ContemporaryChallenges membagi independence of the judiciary menjadi empat halyaitu substantive  independence,  yaitu  independensi  dalam  memutusperkara; personal independence misalnya adanya  jaminan masa kerjadan  jabatan (term  of  office  and  tenure);  internal  independencemisalnya  independensi  dari  atasan  dan  rekan  kerja  dan collectiveindependence misalnya  adanya  partisipasi  pengadilan  dalamadministrasi  pengadilan,  termasuk  dalam  penentuan budgetpengadilan.4

Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakimterbebas  dari  campur  tangan,  tekanan  atau  paksaan,  baik  langsungmaupun  tidak  langsung dari kekuasaan  lembaga  lain, teman sejawat,atasan, serta pihak­pihak lain di luar peradilan. Sehingga hakim dalammemutus  perkara  hanya  demi  kadilan  berdasarkan  hukum  dan  hatinurani.5  Dalam  pandangan  Hakim  Agung  Artidjo  Alkostar,  tidak  adabangsa  yang  beradab  tanpa  adanya  pengadilan  yang  merdeka  dan

4  Shimon  Shetreet,  (1995), Judicial  Independence:  New  Conceptual  Dimentions  and  ContemporaryChallenges, dalam  Shimon  Shetreet  and  J.  Deschenes  (eds), Judicial Independence, Martinus  NijhoffPublishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), MahkamahAgung Republik Indonesia.5 Bandingkan dengan Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI, hal 7.

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com

Page 9: Putusan Eksaminasi KY

Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring

­ Halaman 8 dari 12 halaman ­

bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang tegaknyanegara  yang  berdaulat.  Salah  satu  elemen  pengadilan  adalahmenyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka.6

Erhard Blankenburg mengatakan bahwa independensi peradilan dapatdiuji  melalui  dua  hal,  yaitu  ketidakberpihakan  (impartiality)  danketerputusan  relasi  dengan  para  aktor  politik  (political  insularity).7

Imparsialitas  terlihat  pada  gagasan  bahwa  para  hakim  akanmendasarkan putusannya pada hukum dan fakta­fakta di persidangan,bukan  atas  dasar  keterkaitan  dengan  salah  satu  pihak  yangberperkara.  Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan  jikahakim  dapat  melepaskan  diri  dari  konflik  kepentingan  atau  faktorsemangat  pertemanan  (collegial)  dengan  pihak  yang  berperkara.Karenanya,  hakim  harus  mengundurkan  diri  dari  proses  persidanganjika ia melihat ada potensi imparsialitas8 (ini juga menjadi argumentasilain bahwa hakim tidak boleh menyimpangi asas nemo  judex  idoneusin  propria  causa).  Sementara  itu,  pemutusan  relasi  dengan  duniapolitik  penting  bagi  seorang  hakim  agar  ia  tidak  menjadi  alat  untukmerealisasikan tujuan­tujuan politik.9

Berkait  dengan  pertimbangan  MK  mengenai  independensi  ini,  perluditekankan  bahwa  semestinya  ada  keseimbangan  antara  prinsipindependensi dengan akuntabilitas. Karena kekuasaan kehakiman yangindependen  tanpa  diimbangi  dengan  akuntabilitas  berpotensiterjadinya penyalahgunaan wewenang.

Checks and BalancesPendapat  hukum  MK  bahwa  “cabang­cabang  kekuasaan  negaradipisahkan  berdasarkan prinsip checks  and  balances,  terutama dalamhubungan  antara  legislatif  dengan  eksekutif,  maka  pemisahankekuasaan  yudikatif  dari  pengaruh  cabang­cabang  kekuasaan  lainnyasemakin  dipertegas”,  adalah  argumen  yang  problematik  karenamengatakan  bahwa  saling  kontrol  dan  saling  imbang  lebih  ada  diantara  legislatif  dan eksekutif,  sedangkan  yudikatif  lebih menerapkanseparation  of  powers.  Argumen  demikian  cenderung  makinmenciptakan tirani yudikatif.

Ketika merumuskan dimensi pengawasan KY yang seharusnya menjadisupporting  element dengan menggunakan  teori checks and balances,para  hakim  konstitusi  serasa  tiba­tiba  lupa  pada  doktrin  teori  ini.Mereka  merancukan  konsepsi separation  of  powers  dan checks  and

6 Artidjo  Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam MajalahHukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.7 A. Muhammad Asrun, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta.8 Ibid9 Ibid.

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com

Page 10: Putusan Eksaminasi KY

Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring

­ Halaman 9 dari 12 halaman ­

balances. Dalam separation of power, pembagian secara kaku atas tigacabang menjadi benar adanya, sedangkan dalam checks and balanceshal  itu  bukan  menjadi  hal  yang  mutlak.  Peter  L.  Strauss  (1984)menuliskan bahwa “Unlike  the separation of powers,  the checks andbalances idea does not suppose a radical division of government  intothree parts, with particular functions neatly parceled out among them.Rather,  the  focus  is  on  relationship  and  interconnections,  onmaintaining the conditions in which the intended struggle at the apexmay  continue”.10  Pertanyaannya  kemudian  adalah  dari  mana  parahakim  menyimpulkan  bahwa  konstitusi  kita  menganut checks  andbalances?  Bahkan,  jikalaupun  menggunakan checks  and  balances,maka  kedudukan KY  tidak  serta merta menjadi  salah,  karena doktrinchecks  and  balances  tidak  berarti menegasikan  kemungkinan  adanyathe fourth branch.

Kewenangan Komplementer KYMengatakan bahwa kewenangan KY untuk mengawasi perilaku hakimadalah  komplementer11  yang  bukan  kewenangan  eksklusif  dari  KYadalah  bertentangan  dengan  aturan  dalam  Pasal  24B  ayat  (1)  UUD1945  sendiri  yang  menegaskan  bahwa  KY  berwenang  menjaga  danmenegakkan perilaku hakim.

Demikian  pula  dengan  pendapat  hukum  MK  bahwa  “yang  dimaksud,kewenangan  lain  dalam  Pasal  24B  ayat  (1)  UUD  1945  terkait  eratdengan kewenangan  utama KY  untuk  mengusulkan  pengangkatanhakim  agung”  tidaklah  tepat.  Dua  kewenangan  KY  dalam  halrekrutmen hakim agung dan kewenangan  lain dalam rangka menjagadan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilakuhakim adalah dua kewenangan yang tidak hierarkis. Artinya, salah satukewenangan tidak lebih utama dari yang lain.

Kinerja KYBerkait dengan argumen MK bahwa “Penilaian terhadap putusan hakimyang  dimaksudkan  sebagai  pengawasan  di  luar  mekanisme  hukumacara yang tersedia adalah bertentangan dengan prinsip res judicatapro veritate habetur yang berarti apa yang telah diputus oleh hakimharus dianggap sebagai benar (de inhoud van het vonnis geld alswaard)”12  sudah  tepat.  KY  memang  sebaiknya  tidak  menjatuhkansanksi  kepada  hakim  berdasarkan  penilaian  pada  putusan  semata.Putusan  memang  dapat  dianalisis  hanya  untuk entry  point  gunamenilai  kemungkinan  terjadinya  penyimpangan  perilaku  hakim  dalammemutus sebuah perkara.

10 Lihat: Peter L. Strauss, The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch,1984,  Columbia  Law  Review.  Lihat  juga  di  dalam,  John  H.  Garvey  dan  Alexander  Aleinikov, ModernConstitutional Theory, West Publishing and Co, Minnesota, USA, 1994, halaman 296.11 Hal. 183.12 Hal. 188.

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com

Page 11: Putusan Eksaminasi KY

Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring

­ Halaman 10 dari 12 halaman ­

Kelengkapan UU KYArgumentasi  MK  yang  menyebutkan  UU  KY  mengatur  pengawasantidak  lengkap  adalah  keliru,  karena UU  KY  justru  melengkapi  aturanpengawasan  hakim  yang  dibahas  dalam  UU  sebelumnya:  UUKekuasaan  Kehakiman,  UU  Mahkamah  Agung  dan  UU  MahkamahKonstitusi.

Karenanya menjadi  sah untuk dipertanyakan,  jikalau MK berpendapatada  tumpang  tindih  dalam  hal  pengawasan  hakim,  mengapa  aturanpengawasan  dalam  UU  KY  yang  justru  dipangkas?  Mestinya,  hakimkonstitusi mampu melihat bahwa semua undang­undang yang ada diranah kekuasaan kehakiman adalah saling melengkapi.

Ketidakpastian vs Kekosongan HukumArgumen  MK  yang  mengatakan  bahwa  ada  ketidakjelasan  fungsipengawasan  KY  sebagai  sesuatu  yang obscuur  dan  menimbulkanketidakpastian  hukum  adalah  tidak  tepat.  Karena,  ketidakpastianhukum adalah  frasa yang sangat fleksibel. Lebih  jauh,  jikalaupun adaketidakjelasan fungsi pengawasan tersebut, UU KY menyatakan bahwaketentuan lebih lanjut dapat diatur dengan Peraturan KY (Pasal 22 ayat(8) UU KY). Padahal dengan dinyatakannya segala pasal pengawasandalam  UU  KY  tidak  punya  kekuatan  hukum  mengikat,  telahmenimbulkan  kekosongan  hukum  dalam  pelaksanaan  fungsipengawasan KY. Tindakan MK memilih  terjadinya kekosongan hukumtersebut  adalah merupakan  langkah mundur dalam  agenda  reformasihukum di Indonesia.

III.   REKOMENDASI

Setelah  membaca  dan  mengkaji  putusan  No.  005/PUU­IV/2006  makaMajelis Eksaminasi merekomendasikan:

Pertama,    hakim  konstitusi  agar  tunduk  pada  asas­asas  hukum  acarayang  berlaku  universal  dalam  proses  peradilan.  Penyimpangan  hanyadapat dilakukan sepanjang diperkenankan oleh undang­undang.

Kedua, agar kekosongan hukum tentang pengawasan tidak berlangsunglama maka DPR dan Presiden perlu segera melakukan perubahan UU KY;dengan  menyinkronkan  pembahasannya  bersamaan  dengan  undang­undang lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

Ketiga,  dalam  melakukan  perubahan  UU  KY,  agar  wewenangpengawasan yang akan dilakukan oleh KY direvitalisasi. Misalnya, KY bisa

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com

Page 12: Putusan Eksaminasi KY

Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) FH UGMIndonesian Court Monitoring

­ Halaman 11 dari 12 halaman ­

memberikan  sanksi  pemberhentian  kepada  hakim  tanpa  harus  melaluiPimpinan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim.

Keempat,  sementara  DPR  dan  Presiden  melakukan  perubahan  UU  KY,agar  KY  dapat  memakai  ketentuan  dalam  Pasal  13  dengan  membentukPeraturan KY tentang Pengawasan terhadap Hakim.

Kelima,  agar  semua  lembaga  negara  dan  pejabat  negara  termasukpelaku kekuasaan kehakiman  menyadari bahwa tidak ada satu kekuasaanpun yang lepas dari prinsip akuntabilitas ataupun pengawasan oleh pihaklain di luar dirinya sendiri.

IV.  PENUTUP

Demikian  putusan  eksaminasi  dirumuskan  dan  diputuskan  dalam  RapatMajelis  Eksaminasi  yang  dihadiri  ketujuh  eksaminator  pada  Selasa  26September 2006 dan 27 September 2006.

Yogyakarta, 27 September 2006

1. Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs., S.H., M.H. 1. ..............................

2. Firmansyah Arifin, S.H. 2. ..............................

3. Iwan Satriawan, S.H., M.CL. 3. ..............................

4. Drs. Lukman Hakim Saifuddin 4. ..............................

5. M. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.Sc. 5. ..............................

6. Sahlan Said, S.H. 6. ..............................

7. Saldi Isra, S.H., MPA 7. ..............................

Click t

o buy NOW!

PDF­XCHANGE

www.docu­track.com Clic

k to buy N

OW!PDF­XCHANGE

www.docu­track.com