analisis putusan hakim mahkamah konstitusi

102
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Disusun Oleh: BASKORO ADI PRABOWO E 0005009 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: phamdat

Post on 13-Jan-2017

249 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP

SENGKETA PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA

PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam

Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun Oleh:

BASKORO ADI PRABOWO E 0005009

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 2: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Dan Penyayang

Page 3: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 4: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 5: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

MOTTO

Orang yang paling sukses adalah orang yang paling sering gagal, dan ia mau terus berusaha

hingga ia dapatkan kesuksesan yang sesungguhnya, , ,

Hal yang paling harus kita takuti di dunia ini adalah ketakutan itu sendiri, , ,

Apabila kita mencoba mungkin kita akan gagal, namun apabila kita tidak mencoba maka kita

pasti gagal. . .

Tidak ada orang sukses yang tidak pernah gagal. . .

Hal yang besar selalu diawali dari hal yang kecil, dan dilakukan mulai sekarang. . .

(History Of A Writer)

Page 6: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Didalam ketidaksempurnaan, kupersembahkan skripsiku ini:

v Untuk Tuhan-ku “ALLAH SWT”,

v Untuk Rasul-ku “Muhammad SAW”,

v Untuk mereka yang selalu mendidikku, membimbingku, menuntunku dan mendoakanku

yang tak bisa kubalas jasanya, “Ibu dan Bapak” yang tercinta, kakak-kakak terbaikku

Indra Kusumawardhani, Early Kusumaningtyas, Agung Nugroho Oktavianto,

v Untuk Dwi Wulan Maimunah yang selalu setia dalam suka dan duka serta selalu setia

menanti skripsi ini tercipta

v Untuk Keluarga besar penulis yang telah menjadi motivator dan inspirasi bagi penulis

untuk selalu optimis,,

v Untuk teman-teman FH UNS Angkatan 2005.

Page 7: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

ABSTRAK

Baskoro Adi Prabowo, E0005009, 2010. “ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)”. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penulisan Hukum ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai Bagaimana Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Terhadap Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap Pada Pemilihan Presiden Tahun 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009).

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dengan teknik analisis isi (content analysis).

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada dasarnya, Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bukan merupakan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) karena sengketa Penggelembungan DPT tersebut lebih cenderung terhadap pelanggaran administrasi karena pelanggaran tersebut dilakukan akibat warga negara yang belum memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih tetapi sudah diberikan hak pilih dan merupakan bagian dari proses persiapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan dalam pasal 248 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu.

Dasar Hukum yang digunakan dalam Penggelembungan DPT yaitu Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 UU No. 42 Tahun 2008, Pasal 258 UU No. 10 Tahun 2008. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa penggelembungan DPT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut: Masalah Kualitatif yang terdiri dari Bantuan pihak asing dalam Pemilu, Pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS), Pemutakhiran DPT dan pelanggaran-pelanggaran lainnya, masalah Kuantitatif yang terkait dengan penggelembungan suara dan pengurangan suara.

Kata Kunci: Sengketa Penggelembungan DPT, Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden

Page 8: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRACT

Baskoro Adi Prabowo, E0005009, 2010. "ANALYSIS OF THE CONSTITUTIONAL COURT OF JUSTICE DECISION ON THE DISPUTE distension LIST OF VOTERS REMAIN ON PRESIDENTIAL ELECTION OF 2009 (A Case Study of the Constitutional Court Decision Against Number 108-109/PHPU.B-VII/2009). Faculty of Law, Sebelas Maret University. Legal writing this review and answer the problem of how the Constitutional Court Decision Analysis Dispute Against distension Voters List On Presidential Election of 2009 (Case Study Towards the Constitutional Court Decision No. 108-109/PHPU.B-VII/2009). This research study is a descriptive normative law. Type of data used are secondary data covering primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary. Data collection techniques used is the study of documents with the technique of content analysis. Based on this study showed that basically, Dispute inflate the Voters List is not a Dispute Election Results because the dispute is more likely to inflate the DPT against administrative violations because the offense was committed due to citizens who do not meet the requirements for become voters but has been granted the right to vote and are part of the preparation process of Presidential and Vice-President. This is in accordance with those described in article 248 of Law No. 10 of 2008 About Elections. Legal Basis used in mark-DPT namely Article 29 through Article 32 of Law No. 42 of 2008, Article 258 of Law No. 10 of 2008. Basic Considerations Justice of the Constitutional Court in deciding disputes on Election DPT inflate the President and Vice President as follows: Qualitative Problems of foreign aid in the election, polling Reduction (TPS), DPT Updates and other violations, Quantitative problems associated with inflation of sound and sound reduction.

Keywords: Dispute inflate the DPT, the President and Vice Presidential Election.

Page 9: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Bismilahirrahmaanirrahiim

Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah AWT karena hanya dengan

berkah, rahmat, karunia, dan ridho-Nya, sehingga akhirnya Penulis dapat

menyelesaikan penulisan hukum dengan judul “ANALISIS PUTUSAN HAKIM

MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA

PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN

PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)” dengan baik dan lancar.

Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta

memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain itu penulisan hukum ini

diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan informasi bagi penulisan

maupun pembaca.

Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis tidak dapat

menyelesaikannya tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena

itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Moh. Jamin, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas HukumUniversitas

Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk penulisan hukum

ini;

2. Ibu Rofikah, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah

memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

3. Ibu Aminah, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus selaku pembimbing

utama skripsi penulis yang telah berjasa memberikan arahan, bantuan,

meluangkan waktu tanpa mengenal lelah dan dengan penuh kesabaran yang

tiada batas demi keberhasilan penyusunan skripsi ini yang tidak akan

terlupakan oleh penulis;

Page 10: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

4. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.Hum. selaku co. pembimbing skripsi

penulis yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan, bantuan, semangat,

senyuman dan telah meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan keluh

kesah penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan beliau merupakan inspirator

penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang

jasanya tidak akan pernah penulis lupakan;

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum

pada khususnya kepada penulis sehingga pengetahuan tersebut dapat dijadikan

bekal dalam penulisan hukum ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam

kehidupan masa depan penulis;

6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang selama ini telah banyak sekali membantu Penulis dalam hal

akademis dan hal-hal lain yang berkenaan dengan perkuliahan;

7. Ibunda dan Ayahanda tercinta, Ibunda yang selama ini telah mengorbankan

jiwa dan raganya dan senantiasa mencurahkan seluruh kasih sayangnya,

Ayahanda yang senantiasa memberikan dukungan dan doa bagi penulis

sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan hukum ini;

8. Kakak-Kakakku, Mbak Iin, Mbak Lily dan Mas Nunuk, terima kasih atas

nasehat dan dukungan kalian selama ini,

9. Dwi Wulan Maimunah, orang yang selalu ada di hati penulis yang telah

memberikan doa dan banyak inspirasi dan selalu setia menanti penulisan

hukum ini.

10. Bapak dan Ibu Orang tua Wulan, Mbak Anti dan Nana yang selalu memberi

dukungan dan motivasi serta doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan hukum ini dengan lancer,

11. Seluruh teman-teman Angkatan 2005: FM, Komeng, Trek, Galih, Endrika,

Bajay, Rusdi, Dony dsb yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

12. Seluruh teman-teman diecaster; Om Poing, Om Her, Mas Adi dan semua

diecaster di seluruh Indonesia yang telah memberikan dukungan dan motivasi

kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini;

Page 11: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun penulisan hukum

ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan karya yang sempurna, untuk itu

kritik dan saran dari pembaca budiman sangat penulis perlukan. Akhirnya,

semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat bagi kita semua.

Surakarta, 25 Oktober 2010

Baskoro Adi Prabowo E0005009

Page 12: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv

HALAMAN MOTTO .................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi

ABSTRAK .................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ................................................................................. viii

DAFTAR ISI ................................................................................................ xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................. 6

C. Tujuan Penelitian ................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ................................................................... 7

E. Metode Penelitian ................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis ..................................................................... 18

1. Tinjauan mengenai Negara Hukum ................................... 18

2. Tinjauan mengenai Demokrasi .......................................... 23

3. Tinjauan mengenai Konstitusi ........................................... 30

4. Tinjauan mengenai Mahkamah Konstitusi ........................ 40

5. Tinjauan mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi 47

B. Kerangka Pemikiran ................................................................. 61

Page 13: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor yang Menjadi Dasar Hukum dan Dasar

Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Memutus

Sengketa Penggelembungan DPT .............................................. 63

1. Faktor-faktor yang menjadi Dasar Hukum Hakim

Mahkamah Konstitusi .......................................................... 63

2. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi ............ 65

3. Dasar Hukum Pengaturan DPT berdasarkan Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 2008 ........................................... 74

B. Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap

Perkara Sengketa Penggelembungan DPT (Putusan Perselisihan

Hasil Pemilihan Umum (PHPU)) ............................................... 76

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ................................... 76

2. Kedudukan Hukum .............................................................. 77

3. Pokok Perkara Permohonan ................................................. 79

4. Amar Putusan....................................................................... 80

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan .......................................................................... 87

2. Saran .................................................................................... 87

DAFTAR PUSTAKA

Page 14: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Kerangka Pemikiran .................................................................. 61

Page 15: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jenuhnya masyarakat terhadap status quo yang telah berjalan beberapa

dekadelah yang mendasari amukan gelombang massa pada tahun 1997 yang

menuntut Orde Baru segera turun dan diganti dengan semangat pembaharuan

yaitu reformasi. Berbagai keputusan politik dan produk hukum yang lahir pada

era reformasi merupakan bentuk tuangan suara rakyat yang menuntut adanya

perubahan yang nyata setelah sistem demokrasi bangsa Indonesia selama 32

tahun hanya terjadi pada tingkat elit sedangkan sebagian besar masyarakat

tidak pernah dilibatkan dalam praktek demokrasi semu tersebut. Oleh karena

itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 juga

merupakan daftar teratas tuntutan yang menjadi latar belakang runtuhnya

rezim Orde Baru pada tahun 1998. Persoalannya bukan lagi siapa yang

menjadi tokoh penguasa pada masa tersebut yang menyebabkan otoriter,

namun juga sistem hukum dan ketatanegaraannya. Kelemahan dan

ketidaksempurnaan sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti

(Moris, dalam Jimly Asshiddiqie, www.mahkamahkonstitusi.go.id).

Ketidaksempurnaan tersebut terlihat jelas bahwa tidak adanya

mekanisme check and balances sehingga kekuasaan eksekutif begitu kuat

tanpa ada yang membatasi kewenangannya. Pasal-pasal dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan pasal yang

multitafsir oleh karena itu dapat dijadikan landasan hukum saat terjadi sebuah

penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah penguasa. Terlebih MPR

sebagai badan tertinggi negara pada masa tersebut hanya berfungsi sebagai

“boneka kekuasaan” dari eksekutif sehingga praktek demokrasi hanya menjadi

retorika saja. Sehingga, kesepakatan pemerintahan Habibie dengan menggelar

pelaksanaaan pemilu pertama pasca Orde Baru pada tahun 1999 merupakan

1

Page 16: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

langkah awal tegaknya demokrasi Indonesia. Bahwa pemilu tersebut jauh

lebih demokratis daripada pemilu-pemilu sebelumnya.

Sistem pemerintahan otoriter yang bergerak ke arah sistem

pemerintahan yang lebih demokratis jika diibaratkan seperti halnya arah dari

gerakan pendulum. Pilihan kebijakan yang diambil tergantung kepada situasi

dan kondisi politik pada zamannya masing-masing. Model pengaturan yang

demikian memungkinkan untuk terjadi karena hukum adalah sebuah produk

politik (Moh. Mahfud M.D., 1998: 7).

Terkait dengan proses demokrasi di Indonesia, atas dasar semangat

reformasi perubahan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari “Kedaulatan ditangan rakyat

dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat

dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa

kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang

dasar yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar oleh lembaga-

lembaga negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya

dalam Undang-Undang Dasar.

Konsep pemikiran tersebut kembali diperjelas dengan sikap yang nyata

oleh pemerintah, ketika menawarkan terobosan politik (political

breakthrough) ketika bersama-sama dengan DPR merombak secara total

mekanisme sistem sistem Pemilihan Presiden (Pilpres) dari Pilpres yang

ditetapkan oleh MPR menjadi Pilpres secara langsung. Landasan dasar hukum

adanya pilpres secara langsung ini termuat pada Pasal 6A ayat (4)

amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang

menegaskan bahwa Berdasarkan Pasal 6A Ayat (1) menyatakan bahwa

“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung

oleh rakyat”.

Page 17: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

Mekanisme Pilpres secara langsung ini mengisyaratkan bahwa proses

demokrasi dan arah kebijakan dari pemerintah tidak lagi ditentukan oleh

segelintir kaum elit saja. Terlibatnya suara rakyat yang merupakan

pendelegasian dari arus demokrasi yang menggumpal yang tak dapat

dibendung oleh siapa pun. Jika dibendung dan tidak diagregasi dengan baik,

maka demokrasi akan membuat jalannya sendiri, sebab suara rakyat adalah

suara Tuhan (vox populi vox dei). Adagium ini tak dapat diartikan, suara

rakyat (vox populi) itu identik dengan suara Tuhan, melainkan vox populi yang

bersumber dari sanubari rakyat itu akan selalu dimenangkan oleh Tuhan.

(Mahfud MD, dalam http://www.mohmahfudmd.com/ index.php?

page=web.Opini Lengkap&id =15)

Perubahan paradigma dalam amandemen Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 apabila dikaitkan dengan pendapat dari K.C.

Wheare merupakan sebuah keputusan yang tepat, dalam bukunya, Modern

Constitutions, menegaskan bahwa konstitusi adalah resultante atau produk

kesepakatan politik yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan situasi tertentu.

Ini berarti, isi konstitusi harus selalu sesuai dengan situasi dan kebutuhan

masyarakat, karena itu dapat diubah melalui resultante baru jika situasi dan

kebutuhan masyarakat yang dilayaninya berubah. (K.C Wheare, dalam

Mahfud M.D) http://www.mohmahfudmd.com/ index.php?page=web.

OpiniLengkap&id=15.

Terlebih ketika terdapat sengketa pemilu telah diatur secara rigid

kewenangan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 tentang mekanisme penyelesaian sengketa dan badan negara

yang independen dalam memutus sengketa pemilu tersebut. Kewenangan

tersebut berada pada tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah

Konstitusi berperan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of

the constitution). Inilah salah satu ciri dari sistem penyelenggaraan kekuasaan

negara yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembaga-lembaga negara

yang melaksanakan kekuasaan negara harus dilandasi dan berdasarkan

Page 18: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diuji dan

diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui proses peradilan yang

diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi diberikan

wewenang oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final. Final dalam artian bahwa tidak dapat diupayakan terjadinya upaya

hukum lagi setelah putusan ditetapkan.

Terkait dengan Pilpres pada 8 Juli 2009 yang diselenggarakan oleh

Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang terdapat drama-drama politik ketika

rakyat dilibatkan dalam pesta demokrasi dan telah menggunakan hak pilih

masing-masing untuk mendukung salah satu dari ketiga kandidat Capres dan

Cawapres yang disahkan oleh KPU. Ketiga pasangan Capres dan Cawapres

yang bersaing memperebutkan kursi nomor satu di negeri ini adalah Megawati

Soekarnoputri-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Yusuf

Kalla-Wiranto. Berdasarkan hasil rekapitulasi yang diumumkan Mahkamah

Konstitusi KPU pada Sabtu, 25 Juli 2009 pasangan nomor urut dua, Susilo

Bambang Yudhoyono-Boediono menempati urutan teratas dan berpeluang

menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014.

Pesta demokrasi yang hampir selesai kembali menuai konflik, banyak

pengangkatan isu-isu miring mengenai kinerja KPU dalam hal masalah Daftar

Pemilih Tetap (DPT) oleh partai-partai politik setelah pengumuman pasangan

pemenang Pilpres. Banyak yang meragukan akuntabilitas dari daftar pemilih

yang dimiliki oleh KPU, apakah benar sudah semua rakyat yang telah

mempunyai hak untuk memilih telah terdaftar. Hal ini dikarenakan banyak

terdapat temuan-temuan di lapangan bahwa terdapat warga yang seharusnya

tidak mempunyai hak memilih masuk di DPT sedangkan warga yang

seharusnya memilih malah tidak terdaftar. Polemik inilah yang menjadi topik

hangat yang menjadi headline news di beberapa media beberapa bulan

terakhir.

Page 19: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

Adanya dugaan terjadinya praktik penggelembungan DPT yang

diangkat beberapa perwakilan politik memperkeruh dan mempersempit ruang

demokrasi rakyat. Jika pengangkatan dugaan pengglembungan DPT tersebut

terbukti secara meyakinkan di pembuktian Mahkamah Konstitusi selaku badan

yang berwenang memutus sengketa pemilu. Maka ada kekhawatiran di

berbagai kalangan bahwa akan terjadi Pilpres ulang sebagaimana yang diputus

di Pilkada Jatim. Kekhawatiran ini bukanlah tanpa dasar selain menghabiskan

dana rakyat yang tidak sedikit untuk melakukan Pilpres ulang. Pertanyaan

yang membayangi kemudian adalah kredibilitas dari KPU dan pemerintah

patut dipertanyakan. Menurut Yudi, selaku saksi ahli atas permintaan Tim JK-

Wiranto itu mengatakan “permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di

Indonesia hanya satu-satunya di Indonesia.

Salah satu pelanggaran yang paling berat, kata Yudi, adalah persoalan

DPT. Carut marut DPT yang selama ini menyertai pemilu menyebabkan cacat

besar dalam pemilu. Sebab basis demokrasi adalah diakuinya hak

konstitusional setiap warga negara. Persoalan DPT telah membuat sekian

banyak warga negara kehilangan hak pilihnya. "DPT yang baik adalah basis

pemilu yang baik. Itulah yang jadi basis legalitas. Tanpa legalitas, pemilu

cacat," kata Yudi. (http://genenetto.blogspot.com/2009/08/saksi-ahli-kasus-

dpt-tak-ada.html).

Pengajuan sengketa Pilpres atas nama rakyat ataukah pengajuan

segelintir kalangan yang mengatasnamakan rakyatlah yang menjadi tanda

tanya di benak masyarakat. Dan bagaimanakah kebijakan Mahkamah

Konstitusi dalam proses pengambilan putusan dalam menyikapi sengketa

pemilu inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk mengangkat masalah ini

dengan judul : ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH

KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA PENGGELEMBUNGAN

DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN

2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-

109/PHPU.B-VII/2009).

Page 20: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah langkah untuk mengidentifikasi persoalan

yang diteliti secara jelas, biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan kritis,

sistematis dan representatife untuk mencari jawaban dari persoalan yang ingin

dipecahkan. Arti penting perumusan masalah adalah sebagai pedoman bagi

tujuan dan manfaat penelitian dalam rangka mencapai kualitas penelitian yang

optimal.

Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan permasalahan yang akan

diteliti adalah meliputi:

a. Faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan dasar pertimbangan

hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Penggelembungan

Daftar Pemilih Tetap;

b. Analisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa

penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan Hasil

Pemilihan Umum (PHPU)).

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya

maka untuk mengarahkan suatu penelitian maka diperlukan adanya tujuan dari

suatu penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif, dan

merupakan pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian

tersebut (Soerjono Soekanto, 2006:118).

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut:

1. Tujuan obyektif:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum

dan dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus

sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap.

Page 21: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

b. Untuk menganalisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap

perkara sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU))

2. Tujuan subyektif:

a. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan, dan

pemahaman Penulis khususnya di bidang Hukum Tata Negara;

b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana

dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian yang berhasil adalah penelitian yang dapat

memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun

manfaat yang diharapkan sehubungan dengan penelitian adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada

umumnya dan hukum tata negara pada khususnya;

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi di

bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di

masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memperoleh data guna dianalisa agar dapat menjawab rumusan

masalah yang Penulis kemukakan;

b. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarkat luas

mengenai Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap

Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap Pada Pemilihan

Presiden Tahun 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 108-

109/PHPU.B-VII/2009);

Page 22: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

c. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis

serta mengaplikasikan ilmu yang diperoleh Penulis selama studi di

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

E. Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,

sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu

atau beberapa gejala hukum dan masyarakat, dengan jalan menganalisanya.

Yang diadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum tersebut

permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik maka perlu

menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metodologi

merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan

pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1986 : 7).

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum

normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder

yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis,

dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah

yang diteliti.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, langkah-langkah dalam melakukan

penelitian hukum adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak

relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.

1) Penelitian untuk keperluan praktik hukum.

Page 23: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

Sebagai langkah pertama dalam penelitian hukum untuk

keperluan praktis adalah mengidentifikasi fakta hukum dan

mengeliminir hal-hal yang tidak relevan. Sering kali kasus yang

dikemukakan oleh klien bercampur antara fakta dan pendapat serta

keinginan klien. Dalam hal ini ahli hukum harus dapat

membedakan mana fakta dan mana pendapat klien. Lebih jauh ahli

hukum harus dapat membedakan mana yang fakta hukum dan yang

bukan fakta hukum. Dengan membedakan fakta dan fakta non-

hukum peneliti akan dapat menetapkan isu hukum yang hendak

dipecahkan.

2) Penelitian untuk keperluan akademis.

Untuk mengidentifikasi fakta hukum, mengeliminir hal-hal

yang tidak relevan dan menetapkan isu hukum bagi keperluan

akademis, langkah pertama adalah peneliti harus dapat

memisahkan dirinya dari kepentingan-kepentingan yang terlibat di

dalam kegiatan penelitian itu. Ia harus menjadi dirinya sendiri yang

mempunyai sikap disinterestedness terhadap isu atau masalah

hukum yang hendak dipecahkan. Selanjutnya peneliti harus mampu

mengeliminir faktor-faktor yang tidak relevan dengan isu tersebut.

Penelitian yang dilakukan peneliti disini adalah penelitian

untuk keperluan akademis. Dalam penelitian ini diambil dua isu

yang menjadi permasalahan yang perlu dijawab atau dipecahkan

yaitu; (1) Faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan

dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus

sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap? (2) Analisis

putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa

penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (putusan Perselisihan

Hasil Pemilihan Umum (PHPU)). Kedua isu hukum itulah yang

akan dipecahkan dalam penelitian ini untuk keperluan akademis.

Page 24: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

b. Pengumpulan bahan-bahan hukum.

Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran

untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang

dihadapi. Karena dalam hal ini, salah satu pendekatan yang digunakan

peneliti adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach),

maka sesuai dengan isu yang diangkat, penulis harus mengumpulkan

bahan-bahan yang diantaranya yaitu Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 baik sebelum maupun sesudah

perubahan serta bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan isu

hukum yang diangkat tersebut.

c. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan.

Dalam rangka menjawab isu hukum yang diangkat, peneliti harus

menelaah isu hukum itu dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan

hukum yang relevan dengan isu tersebut. Selain menelaah isu tersebut

berdasarkan ketentuan-ketentuan yang relevan, isu itu juga ditelaah

dari berbagai bahan-bahan hukum yang relevan dengan isu itu, yang

telah berhasil dikumpulkan oleh peneliti. Dari telaah yang dilakukan

oleh peneliti berdasarkan bahan-bahan hukum maupun bahan non-

hukum itu, peneliti berusaha untuk menjawab isu yang diangkatnya.

Kemudian dari telaah-telaah itu diambil sebuah kesimpulan sebagai

jawaban atas isu hukum yang diangkat tersebut.

d. Menarik kesimpulan yang menjawab isu hukum.

Penelitian hukum itu bukan untuk menguji hipotesis, maka

konsekuensinya kesimpulan yang ditarik dari penelitian hukum bukan

menghasilkan diterima atau ditolaknya hipotesis. Dengan

menggunakan bahan-bahan hukum dan bilamana perlu juga non-

hukum sebagai penunjang, peneliti akan dapat menarik kesimpulan

yang menjawab isu yang diajukan.

Page 25: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

e. Memberikan Preskripsi.

Memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya

merupakan hal yang esensial dari penelitian hukum. Baik untuk

keperluan praktek maupun untuk penulisan akademis, preskripsi yang

diberikan menentukan nilai penelitian tersebut, maka langkah terakhir

dari suatu penelitian yaitu memberikan preskripsi berupa rekomendasi

yang didasarkan pada kesimpulan yang telah diambil. Berpegang pada

karekteristik Ilmu Hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang

diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat atau

setidaknya mungkin untuk diterapkan.

Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan, baik terhadap

penelitian untuk keperluan praktis maupun untuk kajian akademis.

Itulah ringkasan mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan di

dalam penelitian hukum yang dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki

di dalam bukunya yang berjudul “Penelitian Hukum” (Peter Mahmud

Marzuki, 2008 : 171-209).

2. Sifat Penelitian

Dalam penelitian hukum ini, Penulis menggunakan penelitian hukum

yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia atau gejala,

keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif

adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dan

memperkuat teori-teori lama di dalam kerangka menyusun teori-teori baru

(Soerjono Soekanto:2006:10).

3. Pendekatan Penelitian

Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal

issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach)

yang digunakan. Jika cara pendekatan tidak tepat, maka bobot penelitian

Page 26: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

tidak akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Johnny Ibrahim,

2007 : 299).

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum

terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan

(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach)

dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud

Marzuki, 2005: 93). Sedangkan menurut Johny Ibrahim dari kelima

pendekatan tersebut ditambah dengan pendekatan analitis (analytical

approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach) berikut

(Johnny Ibrahim, 2007: 246). Dari beberapa pendekatan tersebut,

pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan

undang-undang (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical

approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan mendekati

masalah yang diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif,

karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma

tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Oleh

karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas pada peraturan

perundang-undangan (tertulis) yang terkait dengan masalah yang diteliti.

Selanjutnya penelitian ini akan diuraikan secara deskriptif dengan

menelaah, menjelaskan, memaparkan, menggambarkan, serta menganalisis

permasalahan atau isu hukum yang diangkat, seperti apa yang telah

dikemukakan dalam perumusan masalah.

4. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa

keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi

kepustakaan, peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945, peraturan perundangan lainnya

yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah

Page 27: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

yang diteliti seperti putusan dan tulisan-tulisan ilmiah, sumber-sumber

tertulis lainnya serta makalah-makalah yang berkaitan dengan penelitian

ini.

5. Sumber Data

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (normatif), sehingga

bahan dari penelitian ini adalah data-data hukum sekunder. Data-data

hukum sekunder oleh Soerjono Soekanto dikelompokkan menjadi

(Soerjono Soekanto dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 14-

15).

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.

Antara lain sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

hasil amandemen;

2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi;

3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden.

4) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108-109/PHPU.B-VII/2009

tentang Penggelembungan DPT Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden

5) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang

Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan

Suara di Tempat Pemungutan Suara.

6) Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

7) Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki,

bahan penelitian hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua

publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen

Page 28: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal

hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter

Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan penelitian hukum sekunder yang

digunakan penulis adalah penjelasan dari tiap-tiap peraturan

perundang-undangan sebagaimana telah disebutkan di atas sebagai

bahan hukum sekunder yang menjadi pertimbangan penting bagi

penulis, dikarenakan penjelasan dari tiap-tiap peraturan perundang-

undangan menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan peraturan

perundang-undangan oleh subyek-subyek pembentuknya, buku-buku

yang terkait dengan materi/bahasan, hasil-hasil penelitian, artikel

majalah dan koran, pendapat pakar hukum maupun makalah-makalah

yang berhubungan dengan topik penulisan ini;

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan

petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

6. Teknik Pengumpulan Data

Suatu penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap dalam hal ini

dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai

validitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya dikenal tiga

jenis pengumpulan data yaitu studi kepustakaan atau bahan pustaka,

pengamatan atau observasi dan wawancara.

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian

hukum ini adalah studi kepustakaan yaitu berupa pengumpulan data

sekunder. Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan data

sekunder yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan

digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh

kemudian dipelajari, diklarifikasikan serta dianalisis lebih lanjut sesuai

dengan tujuan dan permasalahan penelitian.

Page 29: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian

hukum ini adalah studi kepustakaan yaitu berupa pengumpulan data

sekunder. Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan data

sekunder yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan

digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh

kemudian dipelajari, diklarifikasikan serta dianalisis lebih lanjut sesuai

dengan tujuan dan permasalahan penelitian.

7. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika

deduktif. Menurut Johny Ibrahim yang mengutip pendapatnya Bernard

Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik

kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat

individual (Johny Ibrahim, 2007: 249). Sedangkan Prof. Peter Mahmud

Marzuki yang mengutip pendapatnya Philiphus M. Hadjon menjelaskan

metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles,

penggunaan metode deduksi berpangkal dari pegajuan premis major

(pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat

khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau

conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 47). Jadi yang dimaksud

dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah

menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik

kesimpulan dari hal itu yang sifatnya lebih khusus.

F. Sistematika Penulisan

Dalam bagian ini, Penulis mensistematiskan bagian-bagian yang akan

dibahas menjadi beberapa bab yang diusahakan dapat berkaitan dan lebih

tersistematis, terarah dan mudah dimengerti, sehingga saling mendukung dan

menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh.

Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

Page 30: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini mencakup latar belakang permasalahan yang akan ditulis,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan mencakup kajian pustaka berkaitan dengan judul

dan masalah yang diteliti yang memberikan landasan teori serta

diuraikan mengenai kerangka pemikiran yaitu berupa Tinjauan

Pertama mengenai Negara Hukum yang meliputi : Pendapat

para ahli tentang Negara Hukum dan Prinsip-prinsip Negara

Hukum. Tinjauan Kedua mengenai Demokrasi yang meliputi

Pengertian dan hakikat demokrasi; asas-asas demokrasi; faktor-

faktor penegak demokrasi; model-model demokrasi. Tinjauan

Ketiga mengenai Konstitusi meliputi : sejarah konstitusi;

pengertian konstitusi; tujuan, fungsi dan ruang lingkup

konstitusi; klasifikasi konstitusi; nilai-nilai konstitusi; serta

prinsip-prinsip umum perubahan konstitusi. Tinjauan Keempat

mengenai Mahkamah Konstitusi yang meliputi : Latar

belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi RI; Tugas dan

wewenang Mahkamah Konstitusi. Tinjauan Kelima mengenai

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi :

Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi; sumber hukum

acara Mahkamah Konstitusi; asas-asas hukum Mahkamah

Konstitusi; permohonan dalam hukum acara Mahkamah

Konstitusi; alat bukti dan sistem pembuktian; serta putusan

Mahkamah Konstitusi.

BAB III : PEMBAHASAN

Bab ini mencakup hasil penjelasan dari penelitian yang

membahas tentang 2 hal yaitu:

Page 31: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

1. Faktor-faktor yang menjadi dasar hukum dan dasar

pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus

sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap serta,

2. Analisis hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara

sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)).

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab akhir ini mencakup tentang uraian kesimpulan dari hasil

pembahasan serta memuat saran-saran mengenai permasalahan

yang ada.

Page 32: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Tinjauan Mengenai Negara Hukum

Negara Hukum merupakan terjemahan dari rechtstaat (ahli-ahli

hukum Eropa Kontinental) atau rule of law (ahli-ahli hukum Anglosaxon).

Ide Negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan the rule of

law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy sebagai faktor penentu

dalam penyelenggaraan kekuasaan. Karena itu, istilah nomokrasi itu

berkaita erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai

kekuasaan tertinggi.

Menurut Komisi Internasional Ahli Hukum, Konferensi di

Bangkok tahun 1965 (The International Commission of Jurists),

pemerintah yang demokratis di bawah rule of law harus memenuhi syarat

sebagai berikut:

a. Adanya perlindungan konstitusional;

b. Adanya pemilihan umum yang bebas;

c. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

d. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat;

e. Adanya kebebasan untuk berserikat /berorganisasidan beroposisi

f. Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum formil dan

Negara Hukum materiil. Negara Hukum formil menyangkut pengertian

hukum yang bersifat formil dan sempit yaitu dalam arti perundang-

undangan tertulis, sedangkan negara hukum materiil yang lebih mutakhir,

mencakup pula pengertian keadilan didalamnya. Pembedaan ini, menurut

Jimly Asshiddiqie, memang dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam

konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud

18

Page 33: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu

sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat

pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum utama.

Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti

perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang

dikembangkan bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin

keadilan substantif. Karena itu, disamping istilah the rule of law oleh

Friedman juga dikembangkan istilah rule of just law untuk memastikan

bahwa dalam pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian

keadilan yang lebih essensial daripada sekedar memfungsikan peraturan

perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan

tetap the rule of law, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan

dicakup dalam istilah the rule of law yang digunakan untuk menyebut

konsepsi tentang Negara Hukum di zaman sekarang (Majalah

Konstitusi.2009. Edisi 26:16).

Dari uraian-uraian diatas, dapat dirumuskan kembali adanya dua

belas pokok prinsip Negara Hukum (Rechtstaat) yang merupakan pilar-

pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern

sehingga dapat disebut Negara Hukum yaitu (Jimly

Asshiddiqie.2005:151):

a. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi

hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum

sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum

(supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang

sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan

hukum yang tertinggi. Dalam republik yang menganut sistem

presidensiil yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya

Page 34: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

lebih tepat untuk disebut sebagai kepala negara dan kepala

pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

b. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan

pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara

empirik. Dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap diskriminatif

dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan

tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat

khusus dan sementara guna mendorong dan mempercepat kelompok

masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk

mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang

sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang jauh lebih maju.

c. Asas Legalitas (Due Process of Law)

Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas

legalitas dalam segala bentuknya (Due Process of Law) yaitu bahwa

segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan

perundang-undangan yang sah dan tertulis.

d. Pembatasan Kekuasaan

Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara

dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal

atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum

besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk

berkembang menjadi sewenang-wenang.

Karena itu, kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara

memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat

checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling

mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan

kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam

Page 35: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan begitu,

kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ

atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-

wenangan.

e. Organ-organ Eksekutif Independen

Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang

berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang

bersifat independent, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi

kepolisian dan kejaksaan. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi

ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan

eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga

tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif

untuk menentukan pengangkatan atau pemberhentian pimpinannya.

f. Peradilan yang bebas dan tidak memihak

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak

harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas

yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik

karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang. Untuk

menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya

intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim,

baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif

ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa.

g. Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan

bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai

pilar utama Negara Hukum. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka

kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan

pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting

karena yang menjamin agar warga negara tidak dizalimi oleh

Page 36: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak

yang berkuasa.

h. Peradilan Tata Negara (Constitusional Court)

Dalam negara hukum modern diharapkan adanya jaminan

tegaknya keadilan tiap-tiap warga negara dengan mengadopsikan

gagasan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.

Pentingnya Mahkamah Konstitusi adalah upaya memperkuat sistem

check and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja

dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.

i. Perlindungan Hak Asasi Manusia

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia

dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses

yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut

dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan

penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai

ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis.

j. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat)

Dalam prinsip demokrasi yang menjamin peran serta masyarakat

dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap

peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan

mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.

Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh

ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk

kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip

demokrasi.

k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare

Rechtstaat).

Page 37: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan

bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui

gagasan negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan

negara hukum yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan

umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional yang dirumuskan dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

l. Transparansi dan Kontrol Sosial.

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap

setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan

dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi

dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat

secara langsung dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran.

Adanya partispasi langsung ini penting karena sistem perwakilan

rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-

satunya saluran aspirasi rakyat.

2. Tinjauan mengenai Demokrasi

a. Pengertian dan Hakikat Demokrasi

Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa

(etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis, "demokrasi"

berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu

demos yang berarti rakyat, dan cratos atau cratein yang berarti

pemerintahan, sehingga dapat disimpulkan sebagai pemerintahan

rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan

suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan

warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara

Page 38: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

tersebut. Demokrasi bila ditinjau dari terminologis (Azyumardi Azra,

2000 : 110), sebagaimana dikemukakan beberapa para ahli, misalnya:

1) Joseph A. Schmeter, bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.

2) Sidney Hook, bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

3) Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl yang menyatakan bahwa demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.

4) Henry B. Mayo, bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

5) Affan Gaffar, bahwa demokrasi terbagi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif, ialah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh suatu negara, dan pemaknaan secara empirik, yaitu demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu

pengertian dasar bahwa demokrasi merupakan suatu sistem

pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan rakyat, yang

mengandung tiga unsur, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,

dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian

bahwa pemerintah yang berdaulat adalah pemerintah yang mendapat

pengakuan dan didukung oleh rakyat. Legitimasi suatu pemerintahan

sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan yang

berdaulat dapat menjalankan pemerintahannya serta program-program

sebagai wujud dari amanat dari rakyat yang diberikan kepadanya.

Page 39: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa pemerintah yang

mendapat legitimasi amanat dari rakyat sudah seharusnya untuk

tunduk pada pengawasan rakyat (social control). Dengan adanya

control tersebut, maka dapat sebagai tindakan preventif mengantisipasi

ambisi keotoriteran para pejabat pemerintah.

Pemerintahan untuk rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan

yang diberikan dari dan oleh rakyat kepada pemerintah harus

dijalankan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, perlu adanya

kepekaan pemerintah terhadap kebutuhan rakyat dan terhadap aspirasi

rakyat yang perlu diakomodir yang kemudian di follow-up melalui

pengeluaran kebijakan maupun melalui pelaksanaan program kerja

pemerintah.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang

membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan

legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang

saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu

sama lain. Independensi dan kesejajaran dari ketiga jenis lembaga

negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling

mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and

balances.

Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya

kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara

langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden

atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara

tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih

sendiri secara langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak makna

kedaulatan rakyat. Peranannya dalam sistem demokrasi tidak besar,

suatu pemilu sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara

berpikir (paradigma) lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu

Page 40: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus,

sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang

pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada

masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara.

b. Asas-asas Demokrasi

Dalam menentukan berlakunya suatu sistem demokrasi di suatu

negara ialah ada tidaknya asas-asas demokrasi dalam sistem

pemerintahan suatu negara. Adapun asas-asas demokrasi yaitu

(http://pendkewarganegaraansmpnasima.blogspot.com/2009/01/blogsp

ot.html diakses tgl kamis 4 februari 2010 jam 15.15):

1) Adanya pengakuan hak – hak asasi manusia sebagai penghargaan

terhadap martabat manusia

Negara berperan aktif dalam memberikan perlindungan dan

menjamin hak asasi manusia dengan diatur dalam peraturan

perundanga-undangan yang mempunyai payung hukum yang jelas

terhadap hak asasi manusia. Seperti di Indonesia, sudah ada

pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dicantumkan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia.

2) Adanya partisipasi dan dukungan rakyat kepada pemerintah

Rakyat ikut serta menentukan kebijakan pemerintah yang

bersifat asasi dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga

pemerintah tidak dapat semena-mena dalam menentukan

kebijakan, perlu adanya kontrol dari rakyat. Di sisi lain, pemerintah

membutuhkan dukungan langsung dari rakyat dalam hal pemilihan

wakil rakyat maupun pemilihan presiden.

Page 41: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

c. Faktor-faktor Penegak Demokrasi

Mengingat sangat pentingnya demokrasi, maka perlu adanya

faktor-faktor untuk menegakan demokrasi itu sendiri (Azyumardi

Azra, 2000 : 117 – 121). Ada empat faktor utama yaitu :

1) Negara hukum (rechtstaat dan rule of law)

Konsep rechtsstaat adalah adanya perlindungan terhadap

Hak Asasi Manusia (HAM), adanya pemisahan dan pembagian

kekuasaan pada lembaga negara, pemerintahan berdasarkan

peraturan, serta adanya peradilan administrasi. Konsep dari rule of

law yaitu adanya supremasi aturan-aturan hukum, adanya

kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law),

serta adanya jaminan perlindungan HAM.

Berdasarkan dua pandangan di atas, maka dapat ditarik

suatu konsep pokok dari negara hukum adalah adanya jaminan

perlindungan terhadap HAM, adanya supremasi hukum dalam

penyelenggaraan pemerintahan, adanya pemisahan dan pembagian

kekuasaan negara, dan adanya lembaga peradilan yang bebas dan

mandiri.

2) Masyarakat madani

Masyarakat madani dicirikan dengan masyarakat yang

terbuka, yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara,

masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif, serta masyarakat

yang egaliter. Masyarakat yang seperti ini merupakan elemen yang

sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Demokrasi yang

terbentuk kemudian dapat dianggap sebagai hasil dinamika

masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Selain itu,

demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat dalam

kaitan dengan pengungkapan kehendak, adanya perbedaan

pandangan, adanya keragaman dan konsensus.

Page 42: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

3) Infrastruktur

Infrastruktur politik yang dimaksud terdiri dari partai

politik (parpol), kelompok gerakan, serta kelompok kepentingan

atau kelompok penekan.

Partai politik merupakan suatu wadah struktur kelembagaan

politik yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai, dan

cita-cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan

merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakan-

kebijakannya. Kelompok gerakan lebih dikenal dengan organisasi

masyarakat, yang merupakan sekelompok orang yang berhimpun

dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan

warganya. Kelompok kepentingan atau penekan adalah

sekumpulan orang dalam suatu wadah organisasi yang didasarkan

pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu.

Dikaitkan dengan demokrasi, menurut Miriam Budiardjo,

parpol memiliki empat fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi

politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai recruitment kader

dan anggota politik, serta sebagai sarana pengatur konflik.

Keempat fungsi tersebut merupakan pengejawantahan dari nilai-

nilai demokrasi, yaitu adanya partisipasi serta kontrol rakyat

melaui parpol. Sedangkan kelompok gerakan dan kelompok

kepentingan merupakan perwujudan adanya kebebasan

berorganisasi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan melakukan

oposisi terhadap negara dan pemerintah.

4) Pers yang bebas dan bertanggung jawab

Pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar

informasi yang obyektif melakukan kontrol sosial yang konstruktif

menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan

partisipasi masyarakat. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi

Page 43: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

positif antara pers, pemerintah, dan masyarakat (Sukarno, 1986 :

30).

d. Model-model demokrasi (Azyumardi Azra, 2000 : 134).

1) Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi undang-

undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam

waktu yang tetap secara berkala.

2) Demokrasi terpimpin, yaitu dimana para pemimpin percaya bahwa

segala tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan

umum yang bersaing sebagai “kendaraan” untuk menduduki

kekuasaaan.

3) Demokrasi Pancasila, adalah dimana kedaulatan rakyat sebagai

inti dari demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang sama

untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik

yang sama semua rakyat. Untuk itu, Pemerintah patut memberikan

perlindungan dan jaminan bagi warga negara dalam menjalankan

hak politik.

4) Demokrasi sosial, adalah demokrasi yang menaruh kepedulian

pada keadilan sosial dan egaliterianisme bagi persyaratan untuk

memperoleh kepercayaan publik.

5) Demokrasi partisipasi, yang merupakan hubungan timbal balik

antara penguasa dengan yang dikuasai.

6) Demokrasi consociational, yang menekankan proteksi khusus bagi

kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang

erat di antara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.

7) Demokrasi langsung, yang mana lembaga legislatif hanya

berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan,

sedangkan pemilihan pejabat eksekutif dan legislatif melalui

pemilihan umum (pemilu) oleh rakyat secara langsung.

8) Demokrasi tidak langsung, yang mana lembaga parlemen (sebagai

wakil rakyat) dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang

Page 44: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

berkaian dengan kehidupan masyarakat dalam hubungannya

dengan pemerintah dan negara. Hal ini berarti rakyat tidak secara

langsung berhadapan dengan pemerintah.

3. Tinjauan Mengenai Konstitusi

a. Sejarah Konstitusi

1) Terminologi klasik ( Constitutio dan Politeia )

Dari sejarah klasik terdapat 2 perkataan yang berkaitan erat

dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi , yaitu dalam

perkataan Yunani kuno Politeia dan perkataan bahasa latin

Constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua

perkataan politeia dan costitutio itulah awal mula gagasan

konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta

hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah.

Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, maka dapat

dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah Politeia yang

berasal dari kebudayaan Yunani.

Namun, dalam bahasa Yunani kuno tidak dikenal adanya

istilah yang mencerminkan kata jus ataupun constituio seperti

dalam tradisi romawi yang datang kemudian. Dalam keseluruhan

sistem berfikir para filosof Yunani kuno, perkataan constitution

seperti yang kita maksudkan sekarang, tidak dikenal.

2) Warisan Yunani kuno (Aristoteles)

Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada :

a) The ends pursued by states, and

b) The kind of authority exercised by their government

Tujuan tertinggi dari Negara adalah a good life, dan hal ini

merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Oleh

karena itu, Aristoteles membedakan antara right Constitution dan

Page 45: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

wrong constution dengan ukuran kepentingan bersama. Jika

konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan

bersama, maka konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi

jika sebaliknya konstitusi itu adalah kostitusi yang salah (Jimly

Asshiddiqie.2010:6).

3) Warisan Romawi Kuno

Salah satu sumbangan penting filsof romawi, terutama

setelah Cicero mengembangkan karyanya adalah pemikiran tentang

hukum yang berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah

dikembangkan sebelumnya oleh para filosof kuno sebelumnya.

Pada masa ini adalah awal mula dipakainya istilah lex yang

kemudian menjadi kata kunci untuk memahami konsepsi politik

dan hukun di zaman Romawi kuno. Penggunaan perkataan lex

tampaknya dianggap lebih luas cakupan maknanya.

Konstitusi mulai dipahami sebagai sasuatu yang berada di

luar dan bahkan diatas negara. Tidak seperti masa sebelumnya,

konstitusi mulai dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana

bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai prinsip the

higher law. Prinsip hierarki hukum juga makin dipahami secara

tegas kegunaannya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan.

4) Warisan Islam (Konstitusionalisme dan Piagam Madinah)

Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang

dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti

modern dalam Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan

bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil

penduduk kota Madinah tidak lama setelah beliau hijrah dari

Mekkah ke Madinah.

Page 46: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada

abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling penting selama

abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya

perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat

untuk bernegara dengan naskah perjanjian yang dituangkan dalam

bentuk yang tertulis.

5) Terminologi konstitusi modern

Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak

ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan

yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma

hukum yang terkandung di dalamnya bertentangan dengan norma

hukum yang terdapat dalam undang-undang, maka ketentuan

undang-undang dasar itulah yang berlaku, sedangkan undang-

undang harus memberikan jalan untuk itu.

Oleh karena itu, dikembangkannya pengertian constituent

power berkaitan dengan pengertian hierarki hukum (hierarchy of

law). Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling

fundamental sifatnya karena konstitusi merupakan sumber

legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau

peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Pengertian Konstitusi

Menurut istilah, konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-

peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur

secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan

diselenggarakan dalam suatu masyarakat.

Pengertian konstitusi menurut Carl Schmitt, membagi konstitusi

dalam empat pengertian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006:48-51):

Page 47: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

1) Konstitusi dalam arti absolut yang diperinci menjadi empat bagian

yaitu:

a) Konstitusi dianggap sebagai satuan organisasi yang nyata,

mencakup semua bangunan hukum dari semua organisasi yang

ada dalam negara.

b) Konstitusi sebagai bentuk negara. Yang dimaksud dengan

bentuk negara adalah negara dalam arti keseluruhannya.

Bentuk negara itu bisa demokrasi atau monarki. Demokrasi

baik langsung maupun memerintah dirinya sendiri sehingga

antara yang memerintah dan yang diperintah identik dengan

rakyat.

c) Konstitusi sebagai faktor integrasi. Faktor ini bisa abstrak dan

fungsional. Abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan

negara dengan lagu kebangsaannya. Dikatakan fungsional

karena tugas konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilu,

pembentukan kabinet, referendum dan sebagainya.

d) Konstitusi sebagai suatu sistem tertutup dari norma-norma

hukum yang tertinggi di dalam negara, jadi konstitusi itu

merupakan norma dasar sebagai sumber bagi norma-norma lain

yang berlaku di dalam negara.

2) Konstitusi dalam arti relative

Konstitusi dalam arti relatif dimaksudkan sebagai konstitusi

yang dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu di

dalam masyarakat. Golongan utama adalah golongan borjuis liberal

yang menghendaki adanya jaminan dari penguasa agar hak-haknya

tidak dilanggar.

3) Konstitusi dalam arti positif

Carl Schmitt menjelaskan pengertian konstitusi dalam arti

positif dihubungkan dengan ajaran dezisionisme, yaitu ajaran

Page 48: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

tentang keputusan. Menurutnya, konstitusi dalam arti positif itu

mengandung pengertian sebagai keputusan politik yang tertinggi.

4) Konstitusi dalam arti ideal

Disebut konstitusi ideal karena konstitusi itu idaman dari

kaum borjuis sebagai jaminan bagi rakyat agar hak-hak asasinya

dilindungi.

Menurut F. Lasele konstitusi dibagi menjadi 2 pengertian, yakni

(Dahlan Thaib; Jasim Hamidi; Ni’matul Huda, 2001:10):

1) Sosiologis dan politis.

Secara sosiologis dan politis, konstitusi adalah sintesa

faktor- faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat. Jadi

konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan

yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara.

2) Yuridis.

Secara yuridis konstitusi adalah suatu naskah yang memuat

semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan

c. Tujuan, Fungsi dan Ruang Lingkup Konstitusi

1) Tujuan Konstitusi (Taufiqurrohman Syahuri,2004:28-29)

Secara garis besar, tujuan konstitusi adalah membatasi

tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat

yang diperintah dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang

berdaulat. Sedangkan fungsi konstitusi adalah sebagai dokumen

nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem

hukum negara.

2) Fungsi Konstitusi

Menurut Jimly Asshidiqie dalam buku hukum konstitusi,

konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang diperinci sebagai berikut:

a) Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.

Page 49: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

b) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.

c) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara

dengan warga negara.

d) Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan

negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.

e) Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber

kekuasaan yang asli kepada organ negara.

f) Fungsi simbolik sebagai pemersatu, sebagai rujukan identitas

dan keagungan kebangsaan serta sebagai center of ceremony.

g) Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat, baik dalam

arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti yang

luas mencakup bidang sosial dan ekonomi.

h) Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat.

3) Ruang Lingkup Konstitusi

Menurut A. A. H. Struycken ruang lingkup konstitusi meliputi:

a) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau

b) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa

c) Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwajibkan, baik waktu

sekarang maupun untuk masa yang akan datang.

d) Suatu keinginan dengan perkembangan kehidupan

ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.

d. Klasifikasi Konstitusi

K. C. Weare mengklasifikasikan konstitusi menjadi 5, yaitu:

1) Konstitusi tertulis dan tidak tertulis

Konstitusi tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang

memiliki “kesakralan khusus” dalam proses perumusannya.

Konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang lebih berkembang

atas dasar adat-istiadat dari pada hukum tertulis dan tidak

dituangkan dalam suatu dokumen.

2) Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid

Page 50: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Konstitusi fleksibel adalah Konstitusi yang dapat diubah atau

diamandemen tanpa adanya prosedur khusus. Dalam konstitusi

fleksibel mempunyai ciri pokok yaitu:

a) Elastis, dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya.

b) Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti

undang-undang.

Konstitusi kaku adalah konstitusi yang mempersyaratkan

prosedur khusus untuk perubahan atau amandemennya. Dalam

konstitusi rigid mempunyai ciri pokok yaitu

a) Mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi daripada

peraturan perundang-undangan yang lain.

b) Hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa.

3) Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi

Konstitusi derajat tinggi ialah konstitusi yang mempunyai

kedudukan tertinggi dalam negara.

Konstitusi tidak derajat tinggi ialah konstitusi yang tidak

mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat

tinggi.

4) Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan

Bentuk ini berkaitan dengan bentuk negara, jika negara itu serikat

maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara

pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian.

5) Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem

pemerintahan parlementer

Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial :

a) Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih

b) Presiden bukan pemegang kekuasaan legislatif

Page 51: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

c) Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan

legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.

d) Disamping sebagai kepala negara, Presiden juga sebagai

kepala pemerintahan.

Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer:

a) Kabinet yang dipilih Perdana Menteri dibentuk atau

berdasarkan ketentuan yang menguasai parlemen

b) Para anggota kabinet sebagian atau seluruhnya adalah anggota

parlemen

c) Kepala negara dengan saran Perdana Menteri dapat

membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya

pemilu.

d) Perdana Menteri bertanggung jawab kepada parlemen.

e. Nilai-nilai konstitusi

Dalam praktek ketatanegaraan sering terjadi suatu konstitusi

yang tertulis (Undang-Undang Dasar) tidak berlaku secara sempurna

karena salah satu atau beberapa pasalnya tidak berlaku secara efektif.

Ketidakefektifan ini dipengaruhi olehtidak mempunyai konstitusi

menyesuaikan dengan perkembangan praktek ketatanegaraan, selain

itu juga dipengaruhi oleh pihak pemerintah yang melaksanakan

undang-undang dasar itu.

Sehubungan dengan hal tersebut Karl Lowenstein membuat tiga

jenis penilaian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006:55-57):

1) Nilai Normatif

Apabila suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan

bagi mereka konstitusi bukan saja berlaku di dalam arti hukum,

tetapi juga merupakan suatu kenyataan dalam arti sepenuhnya dan

efektif. Dengan begitu, konstitusi dapat dilaksanakan secara mutlak

dan konsekuen.

Page 52: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

2) Nilai Nominal

Konstitusi menurut hukum memang berlaku tetapi kenyataannya

tidak sempurna. Ketidaksempurnaan berlakunya konstitusi tertulis

sering kali berbeda dengan yang dipraktekkan sebab sebagaimana

telah diketahui konstitusi dapat berubah baik karena perubahan

formil seperti yang tercantum dalam konstitusi itu maupun karena

konvensi ketatanegaraan.

3) Nilai Semantik

Konstitusi secara hukum berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya

sekedar untuk membentuk dari tempat yang ada dan untuk

melaksanakan kekuasaan politik. Jadi konstitusi hanya sekadar

istilah saja, sedangkan pelaksanaannya sering dikaitkan dengan

kepentingan penguasa. Contoh: Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 pada waktu orde Lama.

f. Prinsip-prinsip Umum Perubahan Konstitusi

1) Sistem Amandemen (Taufiqurrohman Syahuri,2004:43-46)

Pengertian perubahan konstitusi dapat juga mencakup dua

pengertian, yaitu:

a) Amandemen Konstitusi (Constitutional Amandment)

b) Pembaruan Konstitusi (Constitutional Reform)

Namun demikian, secara khusus, apabila dilihat dari segi sistem

atau bentuk perubahan konstitusi secara teori, istilah amandemen

konstitusi memiliki makna tersendiri untuk membedakan dengan

sistem perubahan konstitusi lain. Secara umum, sistem yang dianut

oleh negara-negara dalam mengubah konstitusinya dapat

digolongkan ke dalam dua sistem perubahan.

Pertama, apabila suatu konstitusi diubah maka yang akan berlaku

adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan, sehingga tidak ada

Page 53: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

kaitannya lagi dengan konstitusi lama. Sistem ini masuk kedalam

kategori pembaruan konstitusi.

Kedua, sistem perubahan konstitusi, dimana konstitusi yang asli

tetap belaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut

merupakan adendum atau sisipan dari konstitusi yang asli. Dengan

kata lain, bagian yang diamandemen merupakan atau menjadi

bagian dari konstitusinya. Jadi, antara bagian perubahan dan bagian

konstitusi aslinya masih terkait. Keberlakuan konstitusi dengan

sistem perubahan inipun masih didasarkan kepada saat berlakunya

konstitusinya yang lama, sehingga nilai-nilai lama dalam konstitusi

asli yang belum diubah masih tetap eksis.

2) Jalur Yuridis dan Nonyuridis

Secara garis besar, perubahan konstitusi dapat dilaksanakan

melalui dua jalan yaitu:

a) Jalan Yuridis Formal

Perubahan konstitusi yang dilakukan sesuai dengan ketentuan

formal mengenai perubahan konstitusi yang terdapat di dalam

konstitusi sendiri dan mungkin diatur dalam peraturan

perundangan lain.

b) Jalan Nonyuridis formal atau jalan politis

Perubahan konstitusi tersebut biasanya terjadi karena sebab

tertentu atau keadaan khusus yang mendorong terjadinya

perubahan konstitusi. Perubahan demikian dapat berupa

perubahan konstitusi secara total atau sebagian saja sesuai

dengan kebutuhannya. Perubahan konstitusi secara politis atau

sebagai suatu kenyataan ini kalau berjalan dan dapat diterima

oleh segala lapisan masyarakat, maka perubahan demikian

secara yuridis adalah sah sehingga memiliki kekuatan yuridis

Page 54: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

4. Tinjauan Mengenai Mahkamah Konstitusi

Menurut Taufiqurrohman Syahuri dalam Berita Mahkamah

Konstitusi (2005:6), Mahkamah konstitusi merupakan salah satu lembaga

tinggi negara yang masuk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang

mempunyai posisi sejajar dengan lembaga lain, seperti: Presiden, DPR,

MPR dan BPK, seperti: Presiden, DPR, MPR dan BPK.

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan

konstitusi dan prinsip Negara hukum sesuai dengan tugas dan

wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah

Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya

dalam menegakkan keadilan.

a. Latar Belakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi RI

Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi

telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebelum

Indonesia Merdeka (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 11). Pada saat

pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar Negara dalam rapat di

Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI), Prof. Muhammad Yamin mengusulkan agar dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dicantumkan ketentuan Mahkamah Agung (MA) berhak menetapkan

bahwa suatu Undang- Undang bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar (Ni’matul Huda, 2003 : 203-204)

Akan tetapi usul tersebut ditolak oleh Soepomo. Alasan

penolakan yang diajukan oleh Soepomo antara lain:

1) Tidak ada kebulatan pendapat antara ahli tata negara dalam soal

itu;

Page 55: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

2) Perselisihan tentang apakah suatu Undang-Undang bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, pada umumnya bukan

soal yuridis, tetapi soal politis;

3) Adanya kewenangan judicial review pada Mahkamah Agung

merupakan konsekuensi dari sistem Trias Politica yang tidak

dianut dalam Undang-Undang Dasar yang dipersiapkan BPUPKI,

karena itu tidaklah tepat bila kekuasaan kehakiman mengontrol

legislatif (pembentuk Undang-Undang);

4) Para ahli hukum sama sekali belum mempunyai pengalaman dalam

soal tersebut dan tenaga-tenaganya belum begitu banyak, jadi

belum waktunya bagi negara yang muda untuk melakukan

pekerjaan itu (Ni’matul Huda, 2003 : 204).

Pada saat pemabahasan perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam era reformasi muncul

kembali pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi

berkedudukan sebagai lembaga tertinggi Negara dan supremasi

konstitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan

sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya

lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antar lembaga

negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan

saling mengendalikan (checks and balance), yaitu Mahkamah

Konstitusi. Seiring dengan hali itu muncul desakan agar tradisi

pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak

hanya terbatas pada peraturan dibawah Undang-Undang melainkan

juga atas Undang-Undang Dasar. Kewenangan melakukan pengujian

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar itu diberikan kepada

sebuah mahkamah tersendiri diluar Mahkamah Agung. Atas dasar

pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi yang terdiri sendiri

Page 56: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

disamping Mahkamah Agung menjadi sebuah keniscayaan (Jimly,

2005: 12-13).

Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat dan

demokratis, akhirnya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi

kenyataan dengan disahkannya:

a. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menyatakan:

“Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ”

b. Pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menyatakan:

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,

memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum;

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

pelanggaran oleh Presiden san atau Wakil Presiden menurut

Undang-Undang Dasar:

3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota

hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, diajukan

masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang

oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden;

Page 57: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

4) Ketua dan Wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan

oleh hakim konstitusi;

5) Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian

yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi

dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat

Negara;

6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum

acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi

diatur dengan Undang-Undang.

Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi

Negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi.

b. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan Pasal 24C ayat(1) dan (2) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang

Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan

memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat

Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden

dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur

lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan

merinci sebagai berikut:

1) Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

Page 58: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar merupakan tugas yang mendominasi kewenangan

Mahkamah Konstitusi sebagaimana tampak dari permohonan yang

masuk dan terdaftar di kepaniteraan MK.

a) Pengujian Formal

Pengujian secara formal secara singkat disebut dalam Pasal

51 ayat (3) huruf a, yang menyatakan pemohon wajib

menguraikan dengan jelas bahwa “pembentukan undang-

undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.

Pengujian secara formal akan melakukan pengujian atas dasar

kewenangan dalam pembentukan Undang-Undang dan

prosedur yang harus ditempuh dari tahap drafting sampai

dengan pengumuman dalam lembaran negara yang harus sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

b) Pengujian Materiil

Berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf b Dalam permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib

menguraikan dengan jelas bahwa “materi muatan dalam ayat,

pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945” mengatur tentang uji materiil dengan mana materi

muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang

dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dapat diminta untuk

dinyatakan sebagai tidak mempunyai kekuatan mengikat secara

hukum. Yang boleh diuji juga hanya ayat, pasal tertentu atau

bagian Undang-Undang saja dengan konsekuensi hanya bagian,

ayat, dan pasal tertentu saja yang dianggap bertentangan

dengan konstitusi dan karenanya dimohon tidak mempunyai

Page 59: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

kekuatan mengikat secara hukum hanya sepanjang mengenai

ayat, pasal dan bagian tertentu dari undang-undang yang

bersangkutan. Akan tetapi dengan membuang kata yang

merupakan bagian kalimat dalam pasal tersebut makna pasal

tersebut dapat berubah sama sekali dan dipandang dengan

demikian tidak lagi bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Sengketa kewenangan antar lembaga negara secara jelas

memperoleh batasan bahwa lembaga negara tersebut hanyalah

lembaga negara yang memperoleh kewenangannya menurut

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sehingga jelas meskipun dapat terjadi multitafsir dapat dilihat

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 lembaga negara mana yang memperoleh kewenangannya

secara langsung dari Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Oleh karena Undang-Undang Dasar adalah

juga mengatur organisasi negara dan wewenangnya. Bahwa

lembaga negara tersebut harus merupakan organ konstitusi yaitu

baik yang dibentuk berdasarkan konstitusi maupun yang secar

langsung wewenangnya diatur dan diturunkan dari Undang-

Undang Dasar.

3) Memutus pembubaran partai politik

Berbeda dengan permohonan pengujian Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar dimana akses terhadap Mahkamah

Konstitusi tampaknya agak luas yang memiliki standing untuk

mengajukan permohonan pembubaran partai politik sebagaimana

Page 60: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

diatur dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi hanya pemerintah.

Berdasarkan Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi mewajibkan

pemerintah sebagai pemohon untuk menguraikan dengan jelas

tentang ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik.

Yang semuanya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

merupakan alasan partai politik tersebut untuk dibubarkan.

Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran

Partai Politik, dilakukan dengan pembatalan pendaftaran partai

pada pemerintah.

4) Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum.

Perselisihan ini terkait dengan penetapan hasil pemilihan

umum secara nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan

Umum (KPU) yang mengakibatkan seorang yang harusnya terpilih

baik seorang anggota DPD, DPR maupun DPRD atau

mempengaruhi langkah calon Presiden/Wakil Presiden melangkah

keputaran kedua pemilihan Presiden/Wakil Presiden atau

mempengaruhi calon terpilih menjadi Presiden/Wakil Presiden.

Hal itu terjadi karena adanya kekeliruan dalam penghitungan suara

hasil pemilu.

Yang dapat menjadi pemohon dalam perselisihan hasil

pemilu yaitu:

a) Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta

pemilu.

b) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilu;

c) Partai politik peserta pemilu.

Yang dapat menjadi termohon adalah Komisi Pemilihan

Umum dan meskipun asal perselisihan adalah di daerah pemilihan

Page 61: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

tertentu yang hasil perhitungan awal dilakukan oleh Panitia

Pemungutan Suara (PPS) yang kemudian direkapitulasi ke Panitia

Pemilihan Kecamatan (PPK) dan dilanjutkan ke KPU Kabupaten,

KPU tingkat provinsi dan penetapan hasil pemilihan umum secara

nasional dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat di

Jakarta.

Pada intinya permohonan perselisihan hasil pemilu

mengajukan dua hal pokok yaitu adanya kesalahan perhitungan

yang dilakukan oleh KPU dan hasil perhitungan yang benar

menurut pemohon. Dasar perhitungan pemohon harus didasarkan

pada alat-alat bukti yang dapat menunjukkan ketidakbenaran

perhitungan KPU. Dan berdasarkan hal tersebut pemohon meminta

agar Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil perhitungan suara

yang dumumkan KPU dan agar Mahkamah Konstitusi menetapkan

hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon (Pasal 75

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi).

5) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,

korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan

tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Maruara

Siahaan.2005:15).

5. Tinjauan mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

a. Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2

Undang-undang Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga

Page 62: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang

menjalankan fungsi peradilan, maka tata cara dan prosedur

pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam ketentuan hukum acara, yaitu

hukum acara Mahkamah Konstitusi.

Eksistensi hukum acara sebagai hukum formil mempunyai

kedudukan penting dan strategis dalam upaya menegakkan hukum

materiel di lembaga peradilan. Sebagai hukum formil Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi berfungsi menegakkan, mempertahankan dan

menjamin ditaatinya hukum materiel Mahkamah Konstitusi dalam

lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, baik hukum materiel maupun hukum formil

Mahkamah Konstitusi, keduanya mempunyai hubungan yang erat satu

sama lain. Hukum materiel tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya

hukum formil, karena untuk tegaknya hukum materiel diperlukan

adanya hukum formil dan begitu pula sebaliknya. Peradilan tanpa

hukum materiel akan lumpuh, karena tidak tahu apa yang hendak

dijelmakan. Sebaliknya, peradilan tanpa hukum formil juga akan liar

karena tidak ada batas yang jelas dalam melakukan wewenang.

Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara, yaitu

“contentious procesrecht” dan “noncontentious procesrecht”.

Contentious procesrecht adalah hukum acara yang bersifat mengadili

dan menyelesaikan suatu sengketa, di mana sekurang-kurangnya

melibatkan dua pihak yang saling berlawanan. Sedangkan

noncontentious procesrecht atau disebut juga volluntaire procesrecht

adalah hukum acara yang di dalamnya tidak mengandung penyelesaian

suatu sengketa, oleh karena itu hanya melibatkan satu pihak saja yang

disebut pemohon. Untuk proses beracara di Mahkamah Konstitusi

Page 63: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

selain digunakan hukum acara yang mengandung sengketa, juga

digunakan acara non sengketa yang bersifat volunteer (Bambang

Sutiyoso, 2006: 33).

b. Sumber hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Sumber hukum merupakan tempat dari mana materi hukum

tersebut diambil, yang merupakan faktor-faktor yang membantu

pembentukan hukum. Sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi

yang utama adalah:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

khususnya pasal 24 C yang mengatur tentang kewenangan

Mahkamah Konstitusi.

2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.

3) Peraturan mahkamah konstitusi Nomor 02/PMK/2003 tentang Tata

tertib persidangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

4) Peraturan mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang

pedoman beracara dalam perselisihan Hasil Pemilihan Umum.

5) Peraturan Mahkamah konstitusi Nomor 05/PMK/2004 tentang

Prosedur Pengajuan keberatan atas Penetapan Hasil Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004

6) Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi

7) Doktrin para ahli hukum.

c. Asas-Asas hukum Mahkamah Konstitusi

Asas hukum merupakan pokok pikiran umum yang menjadi

latar belakang dari pengaturan hukum yang konkret (hukum positif).

Mengingat hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah aturan

hukum yang hendak menegakkan dan mempertahankan berlakunya

hukum materiel Mahkamah Konstitusi yang bersifat publik, maka pada

Page 64: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

hakikatnya Hukum Acara Mahkamah Konstitusi juga tunduk pada

asas-asas hukum publik di samping asas-asas umum lainnya yang

berlaku dalam peradilan.

Beberapa asas-asas hukum acara Mahkamah Konstitusi yang

penting diantaranya adalah:

1) Asas independensi / Noninterfentif

Asas ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 2 Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa:

“Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang

melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan”.

2) Asas Praduga Rechmatige

Sebelum ada keputusan Mahkamah Konstitusi, objek yang menjadi

perkara misalnya permohonan untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang tersebut

harus selalu dianggap sah atau telah sesuai dengan hukum sebelum

putusan hakim konstitusi menyatakan sebaliknya. Konsekuensinya,

akibat putusan hakim konstitusi tersebut adalah “ex nunc”, yaitu

dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat

ketidaksahan undang-undang karena bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar, misalnya tidaklah berlaku surut namun sejak

pernyataan bertentangan oleh Mahkamah Konstitusi ke depan

(Bambang Sutiyoso, 2006 : 40).

3) Asas Sidang Terbuka untuk Umum

Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa :

“Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat

permusyawaratan hakim”.

Page 65: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

Dengan demikian persidangan yang dilakukan Mahkamah

Konstitusi dapat diakses oleh publik, dalam arti setiap orang boleh

hadir untuk mendengar dan menyaksikan jalannya persidangan.

Asas ini membuka “social control” dari masyarakat agar jalannya

persidangan berlangsung secara fair dan obyektif.

4) Asas Hakim Majelis

Asas ini ditegaskan dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa:

(1) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus

dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan)

orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah

Konstitusi.

(2) Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan

memimpin sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.

(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi

berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno

dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh

Anggota Mahkamah Konstitusi.

5) Asas Objektivitas

Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera

wajib mengundurkan diri apabila terkait hubungan keluarga

sedarah atau semenda sampai sederajat ketiga atau hubungan suami

atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat, atau

penasihat hukum atau antara hakim dan salah seorang hakim atau

panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan di

atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan

langsung atau tidak langsung.

Page 66: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

6) Asas keaktifan hakim konstitusi (dominus litis)

Hakim konstitusi cukup berperan dalam melakukan penelusuran

dan eksplorasi untuk mendapatkan kebenaran melalui alat bukti

yang ada. Asas ini tercermin salah satunya dari asas pembuktian

yang menunjukkan bahwa hakim konstitusi dapat mencari

kebenaran material yang tidak terikat dalam menentukan atau

memberi penilaian terhadap kekuatan alat buktinya.

7) Asas pembuktian bebas

Asas ini diadopsi sepenuhnya dalam lembaga Mahkamah

Konstitusi untuk memberikan peluang kepada hakim konstitusi

untuk mencari kebenaran materiel melalui pembuktian bebas.

Dengan demikian, hakim konstitusi dapat leluasa untuk

menentukan alat bukti, termasuk alat bukti yang tergolong baru,

tidak dikenal dalam kelaziman hukum acara.

8) Asas Putusan berkekuatan hukum tetap dan bersifat final

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak

dimungkinkan untuk diajukan upaya hukum lebih lanjut, seperti

banding, kasasi dan seterusnya.

9) Asas putusan mengikat secara “Erga Omnes”

Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan

terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan Mahkamah

Konstitusi merupakan putusan yang tidak hanya mengikat para

pihak, tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes). Asas

ini tercermin dari ketentuan yang menyatakan bahwa putusan

Mahkamah Konstitusi langsung dapat dilaksanakan dengan tidak

memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali

peraturan perundang-undangan mengatur lain.

Page 67: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

10) Asas sosialisasi

Hasil keputusan wajib diumumkan dan dilaporkan secara berkala

kepada masyarakat terbuka.

11) Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan

Untuk memenuhi harapan para pencari keadilan, maka

pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara

yang efisien dan efektif serta dengan biaya perkara yang dapat

terpikul oleh rakyat. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan

penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari

kebenaran dan keadilan.

d. Permohonan dalam hukum acara mahkamah konstitusi.

1) Persyaratan Pengajuan Permohonan

Bagi pihak-pihak yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar

dapat mengajukan perkaranya kepada Mahkamah Konstitusi untuk

memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya, yaitu dengan

mengajukan permohonan sesuai lingkup permasalahannya. Dengan

demikian, diharapkan nantinya hak-hak konstitusional yang

bersangkutan dapat dipulihkan dan mendapatkan perlindungan

konstitusional secara memadai. Permohonan ini harus diajukan

secara tertulis sesuai aturan yang berlaku dalam Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi.

Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,

yang dimaksud dengan:

“Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis

kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:

a. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Page 68: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

b. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

c. Pembubaran partai politik;

d. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau

e. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga

telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat

lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi

syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

2) Pihak-pihak yang berperkara dan legal standing

Pihak-pihak yang menganggap hak dan kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang dapat

mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar dapat

diselesaikan sebagaimana mestinya. Pihak yang mengajukan

permohonan ini disebut dengan istilah pihak pemohon, sedangkan

pihak lawannya disebut pihak termohon.

Berdasarkan ketentuan pasal 51 ayat (1) Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi, pihak-pihak yang memenuhi kapasitas

sebagai pemohon dalam hal ini adalah:

a) Perorangan warga Negara Indonesia;

b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Repulik Indonesia yang diatur dalam Undang-

Undang;

c) Badan hukum publik atau privat; atau

d) Lembaga Negara

Page 69: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Permohonan dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi diajukan

secara “legal standing”, yaitu apabila menganggap hak dan

kewenangan konstitusinya dirugikan oleh berlakunya Undang-

Undang. Pemohon memperoleh legal standing atau kedudukan/hak

gugat secara otomatis juga mewakili kepentingan orang lain yang

juga menganggap hak dan atau kewenangan konstitusinya

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.

e. Alat bukti dan sistem pembuktian

1) Pengertian pembuktian

Pada hakikatnya yang diamksud dengan pembuktian adalah

penyajian alat-alat bukti kepada pihak lain untuk memberikan

kepastian atau keyakinan tentang kebenaran suatu peristiwa.

2) Alat-alat bukti

Ketentuan mengenai pembuktian yang berlaku di lingkungan

Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 36 sampai dengan pasal

38 undang-undang mahkamah konstitusi. Dilihat dari jenis alat-alat

buktinya, hukum acara mahkamah konstitusi sudah berupaya

mengakomodir kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat,

khususnya berkaitan dengan bukti-bukti elektronik.

Dalam pasal 36 ayat 1 disebutkan ada 6 macam alat bukti yang

dapat dipergunakan, yaitu:

a) Surat atau tulisan;

b) Keterangan saksi;

c) Keterangan ahli;

d) Keterangan para pihak;

e) Petunjuk; dan alat bukti lain berupa informasi yang

diucapkan, dkirimkan, diterima, atau disimpan secara

elektronik dengan alat pptik atau yang serupa dengan itu.

Page 70: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

3) Sistem pembuktian

Sistem pembuktian dalam persidangan di lingkungan Mahkamah

Konstitusi dalam rangka memperoleh kebenaran materiel.

Kebenaran materiel tidak semata-mata mendasarkan pada alat-alat

bukti semata tetapi juga mendasarkan pada keyakinan hakim.

f. Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan dalam satu peradilan adalah merupakan perbuatan hakim

sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang

terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri

sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya (Maruarar Siahaan,

2005:193).

Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang

dihadapkan kepadanya maka putusan hakim itu merupakan tindakan

negara dimana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik

berdasar Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang.

1) Jenis-jenis Putusan

Jenis-jenis putusan yang dapat disimpulkan dari amarnya dapat

dibedakan antara lain:

a) Putusan yang bersifat declaratoir

Putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim

menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang

menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu

putusan yang bersifat declaratoir. Hakim dalam ini menyatakan

tuntutan atau permohonan tidak mempunyai dasar hukum

berdasar fakta-fakta yang ada.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian

Undang-Undang, sifat declaratoir ini sangat jelas dalam

Page 71: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

amarnya. Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi dikatakan bahwa:

“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud

ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas

materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang

yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945”.

b) Putusan constitutief

Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan satu

keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum atau

menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Dengan

sendirinya, putusan itu menciptakan satu keadaan hukum yang

baru. Putusan tentang pembubaran partai politik dan putusan

tentang sengketa hasil pemilu yang menyatakan perhitungan

KPU salah dan menetapkan perhitungan suara yang benar,

tentu meniadakan satu keadaan hukum yang baru dan

mengakibatkan lahirnya keadaan hukum yang baru.

c) Putusan condemnatoir

Satu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut

berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk

melakukan satu prestasi. Hal ini timbul karena adanya

perikatan yang didasarkan pada perjanjian atau Undang-

Undang, misalnya untuk membayar sejumlah uang atau

melakukan atau tidak melakukan satu perbuatan tertentu.

Akibat dari satu putusan condemnatoir ialah diberikannya hak

pada penggugat/ pemohon untuk meminta tindakan

eksekutorial terhadap tergugat/termohon.

Page 72: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

2) Rapat Permusyawaratan Hakim

Setelah pemeriksaan persidangan selesai, hakim Mahkamah

Konstitusi akan melakukan musyawarah untuk mengambil sikap

apakah akan mengabulkan permohonan, menolak atau menyatakan

tidak dapat diterima.

Rapat permusyawaratan hakim untuk pengambilan putusan akhir

dalam sengketa yang dihadapkan kepadanya harus memenuhi

kuorum sekurang-kurangnya 7(tujuh) orang hakim.

3) Susunan dan isi putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi sama dengan putusan

pengadilan pada umumnya. Pertama-tama harus membuat irah-irah

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Putusan harus didasarkan atas minimal 2 alat bukti (Maruarar

Siahaan, 2005:202).

Keyakinan hakim didasarkan atas minimal 2 alat bukti sebagai

dasar pengambilan putusan yang mengingatkan kembali pada sifat

hukum publik dari perkara konstitusi.

Tugas hakim adalah mencari kebenaran materiel yang harus

diyakini telah dapat dibuktikan berdasar bukti yang diajukan

kehadapannya.

Syarat bentuk dan isi putusan Mahkamah Konstitusi diatur dalam

pasal 48 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang kemudian

diperjelas dalam pasal 30 PMK Nomor 01 tahun 2005. syarat

putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat antara lain:

a) Identitas pihak;

b) Ringkasan permohonan;

c) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam

persidangan;

Page 73: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

d) Amar putusan; dan

e) Hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim

konstitusi serta panitera;

f) Pendapat berbeda dari hakim.

Syarat tentang bentuk dan isi putusan yang disebut ini apabila

dilanggar mempunyai akibat hukum tertentu. Akibat hukumnya

tidak selalu sama. Ada beberapa syarat yang apabila dilanggar akan

menimbulkan kebatalan (nietigheid) sedang pelanggaran atas

syarat lain yang ditentukan tidak menyebabkan putusan null and

void.

4) Kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang

terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan yaitu:

a) Kekuatan Mengikat

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara

konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final. Itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi

langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan

tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

b) Kekuatan Pembuktian

Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

menentukan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian

dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan

untuk diuji kembali. Dengan demikian adanya putusan Mahkamah

Konstitusi yang telah menguji satu undang-undang, merupakan alat

alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh satu

kekuatan pasti.

Page 74: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

c) Kekuatan Eksekutorial

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka

harus segera dilaksanakan dalam hal ini eksekusi putusan harus

dilaksanakan dan tidak dikenal adany peninjauan kembali (PK)

dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi.

5) Akibat Hukum Putusan

Mahkamah konstitusi sebagai negative legislator, boleh

jadi mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya. Tetapi

juga ada kemungkinan bahwa permohonan dinyatakan tidak

diterima karena tidak memenuhi syarat formal yang diharuskan.

Putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan satu keadaan hukum

atau menciptakaan hak atau kewenangan tertentu.

Page 75: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran diatas mencoba memberikan gambaran

selengkapnya mengenai alur berfikir dalam menemukan jawaban dari

permasalahan yang menjadi bahan penelitian mengenai analisis putusan

hakim mahkamah konstitusi terhadap sengketa penggelembungan daftar

pemilih tetap pada pemilihan presiden tahun 2009 (studi kasus terhadap

Putusan Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009).

Pasal 6A ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 24C ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

Dugaan Penggelembungan

Daftar Pemilih Tetap

Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009

Page 76: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

Seperti yang diamanatkan dalam pasal Pasal 6A ayat 1 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa

“Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat”. Hal

tersebut diwujudkan dalam pemilu Presiden tahun 2009.

Pemilihan umum secara langsung merupakan sarana pelaksanaan

kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Dalam pemilu presiden tahun 2009 yang telah dilaksanakan diduga

terjadi masalah berupa penggelembungan daftar pemilih tetap oleh KPU yang

akhirnya memenangkan salah satu calon presiden dan calon wakil presiden.

Hal tersebut tidak bisa diterima oleh dua pasangan presiden dan wakil

presiden yang lain sehingga kedua calon yang merasa dirugikan mengajukan

gugatan melalui Mahkamah Konstitusi.

Apabila ditelusuri lebih jauh bahwasannya persoalan penggelembungan

DPT bukan merupakan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU). Sesuai dengan

Pasal 258 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang

menyebutkan PHPU merupakan penetapan suara hasil pemilu secara nasional

sehingga menurut penulis sengketa Penggelembungan DPT lebih condong

terhadap pelanggaran administratif. Untuk itu, Mahkamah Konstitusi tidak

mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa tersebut.

Sengketa pemilu yang terjadi telah dianggap selesai dengan keluarnya

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108-109/PHPU.B-VII/2009 yang

memenangkan SBY – Boediono sebagai Presiden dan wakil Presiden yang

sah.

Page 77: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

BAB III

PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor yang Menjadi Dasar Hukum dan Dasar Pertimbangan

Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Sengketa

Penggelembungan DPT.

1. Faktor-faktor yang menjadi Dasar Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi

Penggolongan Pelanggaran Pemilu yang termasuk dalam PHPU

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu secara garis besar

mengkategorikan bentuk pelanggaran yang dapat terjadi di dalam

penyelenggaraan pemilu menjadi (http://www.reformasihukum.

org/.file/kajian/PelanggaranPemilu diakses tanggal 17 Juli 2010 jam

21.25):

a. Pelanggaran Administrasi

Pasal 248 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang

Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran

administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu yang tidak termasuk dalam

ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam

Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran,

kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam

kategori pelanggaran administrasi.

Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya: tidak

memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan

fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk

berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye,

pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.

63

Page 78: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

b. Tindak Pidana Pemilu

Pasal 252 Undang-Undang tentang Pemilu mengatur tentang

tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung

unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam

Undang-Undang tentang Pemilu diancam dengan sanksi pidana

Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja

menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain

memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana

pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu

dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian,

kejaksaan, dan pengadilan.

c. Perselisihan Hasil Pemilu

Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut

pasal 258 Undang-Undang tentang Pemilu adalah perselisihan antara

KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara

hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara

sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan

perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta

pemilu.

Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara

diselesaikan melalui peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi.

Menurut Pasal 258 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum telah disebutkan bahwa:

1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan

Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu

secara nasional.

Page 79: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara

nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan

penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan

kursi Peserta Pemilu.

Dengan adanya penjelasan dari Pasal 258 tersebut telah jelas

bahwa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bukan

merupakan sengketa PHPU sehingga Mahkamah Konstitusi tidak

berwenang untuk menangani sengketa Penggelembungan DPT

tersebut.

2. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi

Suatu Putusan Mahkamah Konstitusi banyak faktor yang

melatarbelakangi dasar pertimbangan Hakim Konstitusi karena Putusan

Mahkamah Konstitusi tidak hanya melihat faktor teknis yang terjadi di

lapangan tetapi Hakim Pleno dalam memutus juga mempertimbangkan

faktor keadilan. Hal tersebut terkait dengan Hak konstitusional warga

Negara. Untuk itu, penulis akan menganalisa permasalahan yang terjadi

dalam pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Sesuai dengan yang tercantum dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009 dibagi 2 yaitu Masalah yang

bersifat kualitatif dan masalah yang bersifat kuantitatif.

Masalah yang Bersifat Kualitatif yaitu masalah yang berkaitan

dengan masalah teknis tetapi tidak berpengaruh terhadap perolehan suara

pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi :

a. Bantuan International Foundation for Electoral Systems (IFES)

yang dinilai sebagai campur tangan pihak asing

Bantuan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilu di

Indonesia sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, setidak-tidaknya

sejak berlangsungnya Pemilu di era reformasi (Pemilu 1999 dan

Page 80: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

Pemilu 2004), misalnya terdapat bantuan untuk pendidikan

pemilih, bantuan teknologi, dan sebagainya. Memang belum

terdapat bukti-bukti bahwa bantuan pihak asing tersebut

merupakan manifestasi adanya campur tangan pihak asing dalam

penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, namun seyogyanya di masa

depan bantuan pihak asing tersebut dihindari agar tidak

menimbulkan kecurigaan dan mengganggu netralitas penyelenggara

Pemilu.

b. Penghapusan atau pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS)

Pengurangan atau penghilangan jumlah TPS yang dilakukan

oleh Termohon adalah untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2008 yang dalam Pasal 150 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2008 ditentukan bahwa pemilih untuk

setiap TPS paling banyak 500 orang, sedangkan dalam Pasal 113

ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 ditentukan pemilih

untuk setiap TPS paling banyak 800 orang.

Mengenai penambahan data pemilih yang tentu saja

memengaruhi jumlah TPS adalah suatu kenyataan karena berdasarkan

ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,

Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan data kependudukan

dan sudah harus diserahkan kepada Termohon paling lambat 12

bulan sebelum hari dan tanggal pemungutan suara. Selanjutnya, sesuai

dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008,

DPT dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dijadikan Daftar Pemilih Sementara (DPS) dalam Pemilu Presiden

dan Wakil Presiden.

Pengurangan jumlah TPS yang dilakukan oleh Termohon tidak

dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, oleh karena

Page 81: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang tersebut di atas,

yang kemudian ditindaklanjuti oleh Termohon melalui Peraturan

Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman

Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat

Pemungutan Suara dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden Tahun 2009, yang dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat

(3) menentukan:

1) Jumlah Pemilih untuk tiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus)

orang.

2) Dalam menentukan jumlah pemilih untuk setiap TPS sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), agar pelaksanaan pemungutan suara dan

penghitungan suara di TPS dapat diselesaikan pada hari dan

tanggal yang sama, KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS harus

memperhatikan prinsip partisipasi masyarakat, yaitu:

a) tidak menggabungkan desa/kelurahan;

b) memudahkan pemilih;

c) memperhatikan aspek geografis;

d) batas waktu yang disediakan untuk pemungutan suara; dan

e) jarak tempuh menuju TPS;

3) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditentukan

lokasinya tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh

penyandang cacat dan menjamin setiap pemilih dapat memberikan

suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.

Jumlah riil seluruh TPS sesungguhnya secara nyata sudah

diketahui oleh para Pemohon dengan bukti adanya saksi-saksi

Pemohon di setiap TPS yang menandatangani formulir yang telah

ditentukan.

Seandainya pun benar terjadi “penghilangan jumlah TPS”

sebanyak 69.000 TPS menurut Pemohon I atau 68.918 TPS menurut

Page 82: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

Pemohon II, quod non, hal demikian tidak akan secara serta merta

menguntungkan salah satu pasangan calon, sehingga tidak dapat

diklaim sebagai merugikan pasangan calon lainnya. Mahkamah

menilai, sangat tidak rasional jika 69.000 TPS dikalikan dengan 500

orang jumlah pemilih yang kemudian 70% suara pemilihnya diakui

sebagai perolehan suara Pemohon I. Adapun terkait istilah “pemilih

pemohon” yang didalilkan Pemohon II dianggap sebagai kader

partai Pemohon II yang hanya karena memiliki Kartu Tanda Anggota

(KTA) partai atau menjadi anggota tim sukses atau simpatisan partai,

hal tersebut hanya bersifat hipotetis atau asumtif belaka, sebab pada

saat pencontrengan setiap pemilih tetap memilih secara bebas dan

rahasia. Selain itu, Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat

membuktikan bahwa dengan dikuranginya jumlah TPS menyebabkan

hilangnya suara pemilih. Apalagi Termohon dapat membuktikan

bahwa semua pemilih sudah disalurkan ke TPS-TPS baru melalui

regrouping yang sah.

c. Daftar Pemilih Tetap (DPT)

Penyusunan daftar pemilih adalah suatu tahapan Pemilu yang

merupakan administrasi Pemilu yang kompleks dan seringkali

kontroversial, padahal merupakan tahapan Pemilu yang sangat

menentukan tahapan-tahapan Pemilu selanjutnya. Kehendak agar

semua pemilih harus didaftar dalam daftar pemilih adalah tujuan yang

ideal.

Namun, adanya perpindahan alami para pemilih, luasnya

sebaran daerah pemilihan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi

geografis, dan penyebaran tempat pemungutan suara yang tidak

merata di suatu daerah, juga menjadi sebab dibutuhkannya pembaruan

data kependudukan dalam daftar pemilih secara terus-menerus. Oleh

karenanya, hal tersebut dipandang memberi akses bagi kerumitan

dalam penyusunan administrasi daftar pemilih, proses yang memakan

Page 83: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

waktu lama, dan biaya mahal, sehingga Penyelenggara Pemilu

diharapkan memiliki kemampuan memadai untuk mengakomodasi

secara adil tuntutan para peserta Pemilu.

d. Pelanggaran Pemilu lainnya.

Secara kualitatif Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009

memang masih banyak kelemahan, kekurangan, dan

ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:

1) Kelemahan dalam Undang-Undang yang mengatur Pemilu

Presiden dan Wakil Presiden (Undang-Undang Nomor 42 Tahun

2008)

2) Kelemahan KPU sebagai penyelenggara Pemilu Presiden dan

Wakil Presiden yang mudah dipengaruhi oleh berbagai tekanan

publik, termasuk oleh para peserta Pemilu, sehingga terkesan

kurang kompeten dan kurang profesional, serta kurang menjaga

citra independensi dan netralitasnya.

3) Masalah kesadaran hukum warga negara untuk menggunakan hak

pilihnya, termasuk mengurus terdaftar tidaknya dalam DPS dan

DPT, sehingga jumlah warga negara yang mempunyai hak pilih

dan bahkan terdaftar dalam DPT namun tidak menggunakan hak

pilihnya masih cukup banyak.

4) Budaya “siap menang dan siap kalah” dalam Pemilu secara

elegan belum dihayati oleh Peserta Pemilu beserta para

pendukungnya.

Masalah yang Bersifat Kuantitatif yaitu masalah yang berkaitan

dengan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang

meliputi :

a. Penggelembungan suara.

b. Pengurangan suara.

Page 84: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

Tidak hanya faktor teknis yang tersebut tetapi dasar pertimbangan

hakim yang didasarkan pada faktor prosedur yang dilaksanakan oleh KPU.

Faktor prosedur tersebut tertuang dalam keberatan yang didalilkan

pemohon. Keberatan para Pemohon tentang Daftar Pemilih Tetap

(DPT) dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, pada

dasarnya didalilkan oleh masing-masing Pemohon dengan data yang

berbeda-beda antara Pemohon I dan Pemohon II yang meliputi,

antara lain, tidak dipatuhinya tenggat waktu penetapan DPT; pemilih

dengan NIK ganda; nama dan NIK yang ganda; serta nama, alamat,

tanggal lahir dan NIK ganda. Selain itu, Pemohon juga mendalilkan

adanya perbedaan soft copy DPT yang diberikan kepada peserta

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan yang dimiliki oleh

Termohon sehingga para Pemohon menyimpulkan bahwa Pemilu telah

dilaksanakan tanpa DPT atau setidak-tidaknya menggunakan DPT yang

tidak sah menurut hukum. Mahkamah berpendapat, sebelum keberatan ini

dipertimbangkan secara komprehensif, terlebih dahulu Mahkamah akan

mempertimbangkan hal-hal berikut:

a. Keberadaan DPT yang akurat memang merupakan prasyarat

berlangsungnya pemilihan umum secara transparan dan adil yang

dapat digunakan sebagai alat kontrol terhadap kemungkinan

penambahan atau pengurangan perolehan suara secara tidak sah untuk

peserta pemilihan umum oleh pihak penyelenggara. Hal tersebut

dapat merugikan salah satu peserta, sehingga tujuan pemilihan umum

yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat tidak

tercapai dan proses prosedur demokrasi untuk memperoleh

pemimpin yang sesungguhnya diberi mandat oleh rakyat tidak

mengalami distorsi dan pembelokan kehendak rakyat.

b. DPT untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) oleh

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, justru didasarkan pada

Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Legislatif yang dijadikan

sebagai Daftar Pemilih Sementara Pilpres dengan kewajiban bagi

Page 85: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan PPS untuk

memutakhirkan DPS tersebut setelah mendapat masukan dan

tanggapan dari masyarakat, setelah itu KPU Kabupaten/Kota, KPU

Provinsi, dan KPU melakukan rekapitulasi DPT tersebut (vide Pasal

29 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008), yang

kemudian ditetapkan sebagai DPT 30 hari sebelum pelaksanaan

pemungutan suara Presiden dan Wakil Presiden.

c. Pencantuman nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir,

jenis kelamin, dan alamat warga negara Indonesia sebagai syarat

minimum dimasukkannya pemilih dalam daftar pemilih, didasarkan

pada data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih

yang disediakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, paling

lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari atau tanggal pemungutan

suara (vide Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008). Data tersebut kemudian dimutakhirkan oleh KPU

Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh PPS, dan PPS dibantu pula oleh

petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri dari perangkat

desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga dan warga

masyarakat. Atas dasar pemutakhiran tersebut, kemudian ditetapkan

daftar pemilih sementara yang disusun PPS atas dasar data berbasis

rukun tetangga yang diumumkan selama tujuh hari untuk

mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat dan peserta

Pemilu. Setelah mendapat masukan dan tanggapan melalui proses

pengumuman, DPS hasil perbaikan tersebut kemudian disampaikan

oleh PPS kepada KPU Kabupaten/Kota melalui PPK untuk

melakukan penyusunan DPT (vide Pasal 34 sampai dengan Pasal

37 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 juncto Pasal 29 dan

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008).

d. Proses panjang penetapan DPT Pilpres yang menggunakan DPT

Pemilu legislatif sebagai daftar pemilihan sementara untuk

diproses menjadi DPT Pilpres, ternyata mengalami banyak

Page 86: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

kekurangan. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor

Urut 1 dan Nomor Urut 3 menyatakan keberatan dan telah

mempermasalahkan adanya nama-nama dan NIK ganda serta NIK

fiktif; bahkan menyatakan bahwa Termohon tidak melakukan

pemutakhiran data yang dipandang merupakan pelanggaran hukum

yang sistemik dan masif, sehingga menghilangkan hak pilih warga

negara dan menyebabkan Pilpres telah berlangsung tanpa DPT. Semua

hal ini tidak dapat dinilai hanya pada proses penetapan DPT Pilpres,

karena DPT dalam Pilpres tersebut sangat berkaitan erat dengan

syarat dan proses yang terjadi dalam penetapan DPT Pemilu

Legislatif yang oleh Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2008 disyaratkan bahwa data daftar pemilih dimaksud sekurang-

kurangnya atau minimal harus memuat 5 (lima) unsur, dan salah satu

di antaranya adalah nomor induk kependudukan.

e. Sistem manajemen kependudukan di Indonesia sampai sekarang belum

tertib. Untuk memperbaikinya maka pada tahun 1996 dibentuk Sistem

Manajemen Kependudukan di Departemen Dalam Negeri yang

selanjutnya ditangani oleh berbagai lembaga yang silih berganti

dan berupaya mengharuskan penggunaan data kependudukan. Sesuai

dengan keterangan Ahli Abdul Rasyid Sholeh (Dirjen Administrasi

Kependudukan, Departemen Dalam Negeri), manajemen

kependudukan tersebut kemudian ditangani oleh Direktorat Jenderal

Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri. Dalam

rangka menata manajemen kependudukan tersebut, Pemerintah telah

mengupayakan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4674) yang diundangkan pada tanggal 29

Desember 2006, selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006, yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan penataan dan

penertiban dokumen dan data kependudukan yang mengharuskan

Page 87: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

adanya Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai nomor identitas

kependudukan bagi setiap warga negara Indonesia yang bersifat

unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar

sebagai penduduk Indonesia. Pasal 101 huruf a Undang-Undang a

quo memberi tenggat lima tahun kepada Pemerintah untuk

memberikan NIK kepada setiap penduduk, dengan kewajiban bagi

semua instansi menjadikannya sebagai dasar dalam penerbitan

dokumen-dokumen kependudukan, surat izin mengemudi, paspor,

sertifikat hak atas tanah, dan dokumen-dokumen lain, serta kemudian

juga dijadikan sebagai dasar untuk menyusun data daftar pemilih dalam

Pemilu yang harus memuat NIK tersebut.

f. Dengan jarak waktu yang sedemikian singkat antara

diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan

penetapan DPS yang dimutakhirkan menjadi DPT, maka menurut

Dirjen Administrasi Kependudukan, dengan kondisi wilayah seperti

Indonesia, menjadi sangat beresiko untuk mensyaratkannya sebagai

salah satu data daftar pemilih dalam Pemilu 2009. Alasannya, data

kependudukan yang dimiliki Pemerintah Daerah di tingkat

Kabupaten/Kota untuk diberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK)

secara tunggal dan nasional tidak dapat dengan mudah diselesaikan

dalam jangka waktu tersebut. Bahkan Ahli telah mengingatkan

adalah berbahaya jika hanya dengan tenggang waktu lima bulan DPT

ditetapkan pada bulan Oktober dan Hari H Pemilu pada bulan April

2009, karena masih banyak celah yang ditemukan dalam Undang-

Undang. Hal tersebut telah disampaikan kepada Pansus Rancangan

Undang-Undang Pemilu legislatif, akan tetapi Pansus tersebut

mengabaikannya. Dalam masa yang singkat, pada kenyataannya

penduduk yang memiliki NIK belum merata, meskipun data jumlah

penduduk, nama dan alamat, serta tanggal lahir disediakan oleh

Pemerintah Daerah, sehingga ditentukannya daftar pemilih dalam

Pemilu harus memuat NIK sebagai salah satu dari lima data yang

Page 88: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

dipersyaratkan, sudah diperkirakan akan membawa masalah. Oleh

karena itu, dengan sistem manajemen kependudukan yang masih belum

tertib, sejak awal sudah seharusnya dipertimbangkan tentang sulitnya

untuk mencapai tingkat akurasi DPT secara nasional yang tinggi tanpa

menimbulkan kecurigaan dari peserta pemilihan umum terhadap

penyelenggara dan pihak lainnya, dan mempertimbangkan jangka

waktu yang lebih panjang dengan menggunakan metode yang

pernah ditempuh pada Pemilu tahun 2004.

3. Dasar Hukum Pengaturan DPT berdasarkan Undang-Undang Nomor 42

Tahun 2008

Pengaturan DPT untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diatur

dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 42 Tahun

2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 29

1) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS menggunakan

Daftar Pemilih Tetap pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD

Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai Daftar Pemilih Sementara

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

2) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS memutakhirkan

Daftar Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

paling lama 30 (tiga puluh) hari.

3) Daftar Pemilih Sementara hasil pemutakhiran sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, KPU

kabupaten/kota, dan PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan

dari masyarakat selama 7 (tujuh) hari.

4) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS memperbaiki

Daftar Pemilih Sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan selanjutnya

menetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap paling lama 7 (tujuh) hari.

Page 89: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

5) Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus

sudah ditetapkan 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan

pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemutakhiran, pengumuman,

perbaikan Daftar Pemilih Sementara dan penetapan Daftar Pemilih

Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)

diatur dalam peraturan KPU.

Pasal 30

1) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap di

kabupaten/kota.

2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap di

provinsi.

3) KPU melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Pemilih luar negeri

dan Pemilih secara nasional.

Pasal 31

1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu

kecamatan melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyusunan

Daftar Pemilih Sementara, pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara,

penyusunan Daftar Pemilih Tetap, Daftar Pemilih Tambahan, dan

rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap yang dilaksanakan oleh KPU,

KPU provinsi, KPU kabupaten/kota.

2) Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas

pelaksanaan penyusunan Daftar Pemilih Sementara, pemutakhiran

Daftar Pemilih Sementara, penyusunan Daftar Pemilih Tetap,

Daftar Pemilih Tambahan, dan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap

luar negeri yang dilaksanakan oleh PPLN.

Pasal 32

1) Dalam hal pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31

menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU

Page 90: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPLN yang merugikan Warga

Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, Bawaslu, Panwaslu

provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, dan Pengawas Pemilu Luar

Negeri menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU provinsi,

dan KPU kabupaten/kota.

2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN

wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu

kabupaten/kota, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

B. Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara

Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan

Hasil Pemilihan Umum (PHPU))

Sebelum masuk kedalam substansi pokok, yaitu analisis terhadap

putusan Mahkamah Konstitusi, penulis akan sedikit menguraikan kembali

tentang wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, latar belakang

dalam permohonan Penggelembungan DPT dalam Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden serta dictum Mahkamah Konstitusi.

Dibawah ini akan disajikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

NOMOR 108-109/PHPU.B-VII/2009 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan

Umum Calon Presiden dan Wakil Presiden:

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Bahwa Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan :

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

Page 91: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum”

Bahwa ketentuan Pasal di atas, dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal

10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

2. Kedudukan Hukum (Legal Standing)

Menurut Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi :

”Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi

mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan meteri

permohonan”.

Dalam pemeriksaan pendahuluan sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi tersebut, majelis Hakim harus melakukan

pertimbangan hukum mengenai:

a. Apakah Mahkamah konstitusi berwenang memeriksa, mengadili dan

memutus permohonan perkara Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009?

b. Apakah pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing)

untuk mengajukan permohonan perkara Nomor 108-109/PHPU.B-

VII/2009?

Page 92: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, menyebutkan:

”Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :

a. Perorangan warga negara indonesia

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. Badan hukum publik atau privat; atau

d. Lembaga Negara”.

Berdasar Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi tersebut, terdapat 2 kriteria yang harus

dipenuhi oleh pemohon agar memiliki kedudukan hukum (legal standing),

yaitu:

a. Kualifikasi pemohon apakah sebagai perorangan warga negara

indonesi (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan-

kepentingan yang sama), kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-

undang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara.

b. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian, terdapat hak dan/atau

kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan.

Jika merujuk pada Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dengan

demikian pemohon yang terdiri dari H.M. Jusuf Kalla dan H. Wiranto SH.

selaku pemohon I dan Hj. Diah Permata Megawati Setiawati

Soekarnoputri dan H. Prabowo Subianto selaku pemohon II sudah

memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon. Hal

tersebut dikarenakan masing-masing pemohon adalah pasangan calon

Page 93: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum presiden dan wakil

presiden.

3. Pokok Perkara Permohonan

Pada dasarnya, permasalahan yang begitu menonjol dalam

pelaksanaan Pemilu Presiden sangat kompleks tetapi dalam gugatan

pemohon lebih cenderung terhadap hasil penghitungan suara yang

mendasari permasalahan tersebut yaitu jumlah daftar pemilih tetap yang

ditentukan oleh KPU. “Dalam gugatan, pemohon mendalilkan bahwa KPU

telah menghilangkan 69.000 TPS yang menurut pemohon akan

menguntungkan salah satu calon capres dan menghilangkan suara yang

seharusnya jadi suara pemohon padahal dari 69.000 TPS dikalikan dengan

500 orang jumlah pemilih yang kemudian 70% suara pemilih diakui

sebagai perolehan suara pemohon I” (http://mampus.wordpress.com

diakses tgl 1 Oktober 2010 jam 19.35).

Berdasarkan uraian pelanggaran yang dilakukan Termohon (KPU)

yang telah merugikan Pemohon sehingga seharusnya suara yang diperoleh

pemohon adalah sebagai berikut:

a. Suara Pemohon versi Termohon yaitu sebesar 15.081.814 suara

b. Kehilangan suara Pemohon akibat pengurangan TPS adalah sebesar

24.150.000 suara.

Total Perolehan suara Pemohon adalah sebesar 15.081.814

ditambah 24.150.000 sama dengan 39.231.814

Data perolehan hasil rekapitulasi penghitungan suara masing-

masing Calon adalah (http://www.kpud-diyprov.go.id diakses tanggal 1

Oktober 2010 jam 05.30):

a. Pasangan Capres/Cawapres Megawati-Prabowo 32.548.105 suara sah

secara nasional atau (26,79 %)

Page 94: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

b. Pasangan Capres/Cawapres SBY-Budiono : 73.874.562 suara sah

secara nasional atau (60,80%)

c. Pasangan Capres/Cawapres JK-Wiranto : 15.081.814 suara atau

(12,41%) suara sah secara nasional.

4. Amar Putusan

Dengan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4316);

Mengadili,

Dalam Eksepsi:

Menyatakan Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak dapat

diterima.

Dalam Pokok Perkara:

Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk

seluruhnya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang

dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Selasa tanggal sebelas

bulan Agustus tahun dua ribu sembilan, dan diucapkan dalam Sidang

Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal

dua belas bulan Agustus tahun dua ribu sembilan, oleh kami Moh. Mahfud

MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Abdul Mukthie Fadjar, M.

Arsyad Sanusi, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Maruarar

Siahaan, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai

Anggota, dengan dibantu oleh Makhfud, Cholidin Nasir, Luthfi Widagdo

Page 95: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

Eddyono, Yunita Ramadhani, Mardian Wibowo, dan Pan Mohamad Faiz

sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya,

Termohon/kuasanya, dan Pihak Terkait/kuasanya

Dalam jurnal internasional dibawah ini telah dijelaskan bahwa

pentingnya Daftar Pemilih Tetap dalam suatu pelaksanaan pemilihan

umum baik pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan

Umum Anggota Legislatif maupum Pemilu Kepala Daerah karena dengan

DPT menunjukkan adanya keabsahan pemilihan umum dan apabila terjadi

kesalahan dapat terjadi pengulangan Pemilu.

“Jurisdiction in electoral matters (Wahlgerichtsbarkeit) @austria (Art. 141

B-VG)

In a democratic state it must be possible to examine the legitimacy of

elections. Therefore, all important elections, referenda, consultative

referenda or people's initiatives can be challenged at the Constitutional

Court. An illegality in the electoral process can result in the annulment and

repetition of the entire election or part of the election. However, this is

only the case if the illegality could have influenced the results of the

election. The Constitutional Court also determines whether or not a person

should lose a seat he has already acquired (such as a seat in the National

Council)” (http://www.vfgh.gv.at/cms/vfgh-site/english/index.html diakses

tanggal 1 Oktober 2010 Jam 10.05).

Kewenangan Mahkamah Konstitusi di beberapa Negara di Eropa

seperti Perancis dan Spanyol yang terkait dengan sengketa Pemilu yang

telah dijelaskan dalam jurnal internasional beikut :

“Both France in 1958 and Spain in 1978 empowered the Constitutional

Council and the Constitutional Court to solve all the disputes derived from

parliamentary elections in a definitive way. Besides, France empowered

the Constitutional Council to solve appeals derived from presidential

Page 96: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

elections in a combined system which authorizes administrative courts to

solve electoral disputes in a preliminary way. It must be said that Spain

does not recognize any jurisdiction as independent from the judiciary

power to solve electoral disputes” (http://aceproject.org/ace-

en/topics/lf/lfb/lfb12/lfb12a/lfb12a04 diakses tanggal 22 Agustus 2010

Jam 23.00 ).

ANALISIS

Pada dasarnya, Mahkamah Konstitusi dalam memutus suatu perkara

yang diajukan pemohon begitu banyak pertimbangan yang dilakukan oleh

Hakim Konstitusi sehingga tidak ada pihak yang dirugikan hak konstitusional

seperti dalam sengketa Penggelembungan DPT Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden. Dalam memutus sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU)

Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi mendasarkan putusan

kepada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 tersebut, antara lain Putusan Nomor 49/PHPU.D-VI/2008

tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten

Tapanuli Utara juncto Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/ 2008 tentang

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur yang

dalam pertimbangan hukumnya halaman 129 berbunyi:

“Menimbang bahwa dalam memutus perselisihan hasil pemilukada,

Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang

sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan

dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan,

sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis-matematis sebenarnya

bisa dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah

pengawasan Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh

pengadilan biasa, Oleh sebab itu, Mahkamah memahami bahwa meskipun

menurut undang-undang, yang dapat diadili oleh Mahkamah adalah hasil

penghitungan suara, namun pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan

Page 97: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

terjadinya hasil penghitungan suara yang kemudian dipersengketakan itu harus

pula dinilai untuk menegakkan keadilan”

Dengan demikian meskipun pertimbangan hukum di atas merupakan

pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Hasil

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), maka di samping Pemilukada

sama-sama rezim Pemilu dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,

Mahkamah harus konsisten terhadap pertimbangan hukum tersebut dalam

memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Hal tersebut guna merujuk pada asas kepastian hukum. Disamping itu,

Mahkamah juga harus memberikan rasa keadilan bagi para calon pasangan

sehingga tidak ada pihak yang dirugikan setelah adanya putusan tersebut.

Dengan begitu, Mahkamah juga melindungi hak konstitusional para pasangan

calon dengan kata lain sesuai dengan asas perlindungan Hak Asasi Manusia.

Apabila melihat Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-

109/PHPU.B-VII/2009 maka segala aspek yang harus diterapkan dalam

sebuah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi telah dilaksanakan dengan baik.

Misalnya, Pemohon telah mempunyai kedudukan hukum (legal standing), dan

hakim Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan dengan berpedoman

pada Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

Menurut penulis bahwa KPU yang dalam hal ini sebagai termohon

telah melaksanakan tugas dan wewenangnya. KPU juga telah menjalankan

tugas dan wewenangnya sesuai dengan prosedur yang telah diamanatkan

Undang-Undang sehingga dalil gugatan pemohon memang sepantasnya untuk

ditolak secara keseluruhan (Amar Putusan Nomor 108-109/PHPU.B-

VII/2009) karena gugatan pemohon tidak disertai dengan alat bukti dan saksi-

saksi yang kuat.

Selain itu, alasan Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pemohon

karena pemohon tidak mengajukan permohonan mengenai penetapan hasil

Page 98: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

suara tetapi pemohon mendalilkan tentang pelanggaran-pelanggaran pidana

dan administrasi yang seharusnya bukan menjadi kewenangan dari mahkamah

konstitusi.

Di sisi lain, dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden Tahun 2009 termohon telah malaksanakan prosedur yang berlaku

yang termasuk dalam asas Pemilu sebagaimana yang telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu

yaitu:

a. Asas Kepastian Hukum

Keberatannya terlebih dahulu menjelaskan mengenai kronologis

peristiwa hukum terjadinya perselisihan dan/atau sengketa hasil

penghitungan suara dan ilustrasi mengenai indikasi terjadinya kesalahan

dan/atau kecurangan hasil penghitungan suara pada tahapan, sejak dari

tahapan pendataan daftar pemilih, pemungutan suara dan penghitungan

suara di setiap tingkatan penghitungan suara yang dipenuhi hal-hal yang

kontroversial, tidak netral dan bertentangan dengan prinsip due process

of law dan merupakan pengingkaran terhadap fair proceeding yang jelas

melawan hukum.

b. Asas Keterbukaan

Termohon telah memberikan data yang konkrit dalam pencetakan

DPT sehingga pemilih maupun calon presiden dan wakil presiden dapat

mengetahui langsung pemutakhiran DPT.

c. Asas Profesionalitas

Termohon telah bertindak secara profesional karena bekerja secara

independen tanpa ada pihak lain yang mempengaruhinya. Apabila dalam

pelaksanaan teknis masih terjadi penggelembungan suara dan

kekurangsesuaian dalam pemutakhiran DPT bukan sepenuhnya kesalahan

dari KPU.

Page 99: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

Penggelembungan Suara

Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-

VII/2009 telah disebutkan bahwa termohon tidak melakukan

penggelembungan suara terhadap calon nomor urut 2 yaitu Susilo Bambang

Yudhoyono-Budiono sebesar 25.303.054 sehingga dari suara fiktif tersebut

dinilai merugikan pasangan calon lain.

Menurut penulis, sesuai data yang tersirat dalam Putusan maka apabila

ada penggelembungan suara (terdapat selisih dalam penghitungan suara)

dalam Pilpres seharusnya saksi tidak akan menandatangani berita acara

penghitungan suara dan pemungutan suara (Pasal 47 ayat (3) Peraturan KPU

Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan

Suara dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009).

Dalam hal ini, penulis juga ingin menjelaskan kenapa sengketa DPT

pemilu Presiden dan Wakil Presiden dimasukkan dalam ruang lingkup PHPU?

Padahal, secara garis ruang lingkup PHPU sendiri haruslah berkaitan dengan

hasil penghitungan suara. Hal tersebut dikarenakan sengketa DPT

berpengaruh pada hasil pemungutan suara di tingkat TPS. Sebagai

gambarannya, apabila seorang pemilih tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih

Tetap (DPT) dalam TPS maka calon presiden akan kehilangan satu suara.

Tetapi hal itu tidak serta merta dijadikan alasan yang kuat karena masih

banyak data pendukung (contoh: terdapat suara fiktif seperti yang dijelaskan

dalam gugatan pemohon, banyaknya daftar pemilih ganda dan bukti-bukti lain

yang dapat mempengaruhi hasil penghitungan suara masing-masing calon).

Untuk itu, penulis mencoba memberikan strategi untuk mengetahui ada

atau tidaknya penggelembungan suara dalam Pemilu Presiden

(www.kompasiana.com diakses tanggal 9 Oktober 2010 jam 17.10):

a. Hasil rekapitulasi nasional harus bisa di breakdown sampai ke level TPS.

Page 100: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

b. Setiap tim pemenang pasangan capres & cawapres memiliki bukti

Rekapitulasi Suara setiap TPS serta Daftar Hadir yang sudah

ditandantangani oleh para saksi dari tim pemenang pasangan capres &

cawapres lainnya.

c. Usaha untuk mencocokkan rekapitulasi perhitungan suara setiap TPS versi

breakdown dengan versi bukti otentik yang dimiliki.

Page 101: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis

paparkan pada bab sebelumnya yang mengacu pada rumusan masalah, maka

penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pada dasarnya, Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT)

bukan merupakan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) karena

sengketa Penggelembungan DPT tersebut lebih cenderung terhadap

pelanggaran administrasi karena pelanggaran tersebut dilakukan akibat

warga negara yang belum memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih

tetapi sudah diberikan hak pilih dan merupakan bagian dari proses

persiapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Hal tersebut sesuai dengan

yang dijelaskan dalam pasal 248 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu.

2. Dasar Hukum yang digunakan dalam Penggelembungan DPT yaitu Pasal

29 sampai dengan Pasal 32 UU No. 42 Tahun 2008, Pasal 258 UU No. 10

Tahun 2008.

Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus

sengketa penggelembungan DPT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

sebagai berikut:

1. Masalah Kualitatif yang terdiri dari Bantuan pihak asing dalam Pemilu,

Pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS), Pemutakhiran DPT dan

pelanggaran-pelanggaran lainnya.

2. Masalah Kuantitatif yang terkait dengan penggelembungan suara dan

pengurangan suara.

B. Saran

1. Seharusnya pemerintah melakukan perbaikan sistem kependudukan

sehingga KPU sebagai pelaksana Pemilu tidak akan kesulitan untuk

87

Page 102: ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

mendapatkan data akurat terkait dengan DPS yang nantinya dijadikan DPT

guna menimalisir penggelembungan DPT pada pemilu-pemilu berikutnya.

2. Supaya pemilu-pemilu yang akan datang dapat berjalan lebih baik

diperlukan langkah-langkah yang profesional baik dalam pembentukan

Undang-Undang maupun pelaksanaan tugas-tugas KPU. Sejalan

dengan itu, pelanggaran pidana Pemilu dan pelanggaran Pemilu

lainnya yang belum ditindaklanjuti, meskipun tidak berpengaruh

secara signifikan terhadap komposisi perolehan suara, dapat diproses lebih

lanjut.