analisis putusan hakim mahkamah konstitusi
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP
SENGKETA PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA
PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun Oleh:
BASKORO ADI PRABOWO E 0005009
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Dan Penyayang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
Orang yang paling sukses adalah orang yang paling sering gagal, dan ia mau terus berusaha
hingga ia dapatkan kesuksesan yang sesungguhnya, , ,
Hal yang paling harus kita takuti di dunia ini adalah ketakutan itu sendiri, , ,
Apabila kita mencoba mungkin kita akan gagal, namun apabila kita tidak mencoba maka kita
pasti gagal. . .
Tidak ada orang sukses yang tidak pernah gagal. . .
Hal yang besar selalu diawali dari hal yang kecil, dan dilakukan mulai sekarang. . .
(History Of A Writer)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Didalam ketidaksempurnaan, kupersembahkan skripsiku ini:
v Untuk Tuhan-ku “ALLAH SWT”,
v Untuk Rasul-ku “Muhammad SAW”,
v Untuk mereka yang selalu mendidikku, membimbingku, menuntunku dan mendoakanku
yang tak bisa kubalas jasanya, “Ibu dan Bapak” yang tercinta, kakak-kakak terbaikku
Indra Kusumawardhani, Early Kusumaningtyas, Agung Nugroho Oktavianto,
v Untuk Dwi Wulan Maimunah yang selalu setia dalam suka dan duka serta selalu setia
menanti skripsi ini tercipta
v Untuk Keluarga besar penulis yang telah menjadi motivator dan inspirasi bagi penulis
untuk selalu optimis,,
v Untuk teman-teman FH UNS Angkatan 2005.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAK
Baskoro Adi Prabowo, E0005009, 2010. “ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)”. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penulisan Hukum ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai Bagaimana Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Terhadap Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap Pada Pemilihan Presiden Tahun 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009).
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dengan teknik analisis isi (content analysis).
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada dasarnya, Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bukan merupakan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) karena sengketa Penggelembungan DPT tersebut lebih cenderung terhadap pelanggaran administrasi karena pelanggaran tersebut dilakukan akibat warga negara yang belum memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih tetapi sudah diberikan hak pilih dan merupakan bagian dari proses persiapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan dalam pasal 248 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu.
Dasar Hukum yang digunakan dalam Penggelembungan DPT yaitu Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 UU No. 42 Tahun 2008, Pasal 258 UU No. 10 Tahun 2008. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa penggelembungan DPT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut: Masalah Kualitatif yang terdiri dari Bantuan pihak asing dalam Pemilu, Pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS), Pemutakhiran DPT dan pelanggaran-pelanggaran lainnya, masalah Kuantitatif yang terkait dengan penggelembungan suara dan pengurangan suara.
Kata Kunci: Sengketa Penggelembungan DPT, Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
Baskoro Adi Prabowo, E0005009, 2010. "ANALYSIS OF THE CONSTITUTIONAL COURT OF JUSTICE DECISION ON THE DISPUTE distension LIST OF VOTERS REMAIN ON PRESIDENTIAL ELECTION OF 2009 (A Case Study of the Constitutional Court Decision Against Number 108-109/PHPU.B-VII/2009). Faculty of Law, Sebelas Maret University. Legal writing this review and answer the problem of how the Constitutional Court Decision Analysis Dispute Against distension Voters List On Presidential Election of 2009 (Case Study Towards the Constitutional Court Decision No. 108-109/PHPU.B-VII/2009). This research study is a descriptive normative law. Type of data used are secondary data covering primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary. Data collection techniques used is the study of documents with the technique of content analysis. Based on this study showed that basically, Dispute inflate the Voters List is not a Dispute Election Results because the dispute is more likely to inflate the DPT against administrative violations because the offense was committed due to citizens who do not meet the requirements for become voters but has been granted the right to vote and are part of the preparation process of Presidential and Vice-President. This is in accordance with those described in article 248 of Law No. 10 of 2008 About Elections. Legal Basis used in mark-DPT namely Article 29 through Article 32 of Law No. 42 of 2008, Article 258 of Law No. 10 of 2008. Basic Considerations Justice of the Constitutional Court in deciding disputes on Election DPT inflate the President and Vice President as follows: Qualitative Problems of foreign aid in the election, polling Reduction (TPS), DPT Updates and other violations, Quantitative problems associated with inflation of sound and sound reduction.
Keywords: Dispute inflate the DPT, the President and Vice Presidential Election.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Bismilahirrahmaanirrahiim
Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah AWT karena hanya dengan
berkah, rahmat, karunia, dan ridho-Nya, sehingga akhirnya Penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum dengan judul “ANALISIS PUTUSAN HAKIM
MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA
PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN
PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)” dengan baik dan lancar.
Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta
memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain itu penulisan hukum ini
diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan informasi bagi penulisan
maupun pembaca.
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis tidak dapat
menyelesaikannya tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Moh. Jamin, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas HukumUniversitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk penulisan hukum
ini;
2. Ibu Rofikah, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah
memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
3. Ibu Aminah, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus selaku pembimbing
utama skripsi penulis yang telah berjasa memberikan arahan, bantuan,
meluangkan waktu tanpa mengenal lelah dan dengan penuh kesabaran yang
tiada batas demi keberhasilan penyusunan skripsi ini yang tidak akan
terlupakan oleh penulis;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
4. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.Hum. selaku co. pembimbing skripsi
penulis yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan, bantuan, semangat,
senyuman dan telah meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan keluh
kesah penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan beliau merupakan inspirator
penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang
jasanya tidak akan pernah penulis lupakan;
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum
pada khususnya kepada penulis sehingga pengetahuan tersebut dapat dijadikan
bekal dalam penulisan hukum ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam
kehidupan masa depan penulis;
6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang selama ini telah banyak sekali membantu Penulis dalam hal
akademis dan hal-hal lain yang berkenaan dengan perkuliahan;
7. Ibunda dan Ayahanda tercinta, Ibunda yang selama ini telah mengorbankan
jiwa dan raganya dan senantiasa mencurahkan seluruh kasih sayangnya,
Ayahanda yang senantiasa memberikan dukungan dan doa bagi penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan hukum ini;
8. Kakak-Kakakku, Mbak Iin, Mbak Lily dan Mas Nunuk, terima kasih atas
nasehat dan dukungan kalian selama ini,
9. Dwi Wulan Maimunah, orang yang selalu ada di hati penulis yang telah
memberikan doa dan banyak inspirasi dan selalu setia menanti penulisan
hukum ini.
10. Bapak dan Ibu Orang tua Wulan, Mbak Anti dan Nana yang selalu memberi
dukungan dan motivasi serta doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan hukum ini dengan lancer,
11. Seluruh teman-teman Angkatan 2005: FM, Komeng, Trek, Galih, Endrika,
Bajay, Rusdi, Dony dsb yang tidak dapat disebutkan satu persatu;
12. Seluruh teman-teman diecaster; Om Poing, Om Her, Mas Adi dan semua
diecaster di seluruh Indonesia yang telah memberikan dukungan dan motivasi
kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun penulisan hukum
ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan karya yang sempurna, untuk itu
kritik dan saran dari pembaca budiman sangat penulis perlukan. Akhirnya,
semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat bagi kita semua.
Surakarta, 25 Oktober 2010
Baskoro Adi Prabowo E0005009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv
HALAMAN MOTTO .................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 7
E. Metode Penelitian ................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis ..................................................................... 18
1. Tinjauan mengenai Negara Hukum ................................... 18
2. Tinjauan mengenai Demokrasi .......................................... 23
3. Tinjauan mengenai Konstitusi ........................................... 30
4. Tinjauan mengenai Mahkamah Konstitusi ........................ 40
5. Tinjauan mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi 47
B. Kerangka Pemikiran ................................................................. 61
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang Menjadi Dasar Hukum dan Dasar
Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Memutus
Sengketa Penggelembungan DPT .............................................. 63
1. Faktor-faktor yang menjadi Dasar Hukum Hakim
Mahkamah Konstitusi .......................................................... 63
2. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi ............ 65
3. Dasar Hukum Pengaturan DPT berdasarkan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 ........................................... 74
B. Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap
Perkara Sengketa Penggelembungan DPT (Putusan Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum (PHPU)) ............................................... 76
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ................................... 76
2. Kedudukan Hukum .............................................................. 77
3. Pokok Perkara Permohonan ................................................. 79
4. Amar Putusan....................................................................... 80
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan .......................................................................... 87
2. Saran .................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran .................................................................. 61
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jenuhnya masyarakat terhadap status quo yang telah berjalan beberapa
dekadelah yang mendasari amukan gelombang massa pada tahun 1997 yang
menuntut Orde Baru segera turun dan diganti dengan semangat pembaharuan
yaitu reformasi. Berbagai keputusan politik dan produk hukum yang lahir pada
era reformasi merupakan bentuk tuangan suara rakyat yang menuntut adanya
perubahan yang nyata setelah sistem demokrasi bangsa Indonesia selama 32
tahun hanya terjadi pada tingkat elit sedangkan sebagian besar masyarakat
tidak pernah dilibatkan dalam praktek demokrasi semu tersebut. Oleh karena
itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 juga
merupakan daftar teratas tuntutan yang menjadi latar belakang runtuhnya
rezim Orde Baru pada tahun 1998. Persoalannya bukan lagi siapa yang
menjadi tokoh penguasa pada masa tersebut yang menyebabkan otoriter,
namun juga sistem hukum dan ketatanegaraannya. Kelemahan dan
ketidaksempurnaan sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti
(Moris, dalam Jimly Asshiddiqie, www.mahkamahkonstitusi.go.id).
Ketidaksempurnaan tersebut terlihat jelas bahwa tidak adanya
mekanisme check and balances sehingga kekuasaan eksekutif begitu kuat
tanpa ada yang membatasi kewenangannya. Pasal-pasal dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan pasal yang
multitafsir oleh karena itu dapat dijadikan landasan hukum saat terjadi sebuah
penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah penguasa. Terlebih MPR
sebagai badan tertinggi negara pada masa tersebut hanya berfungsi sebagai
“boneka kekuasaan” dari eksekutif sehingga praktek demokrasi hanya menjadi
retorika saja. Sehingga, kesepakatan pemerintahan Habibie dengan menggelar
pelaksanaaan pemilu pertama pasca Orde Baru pada tahun 1999 merupakan
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
langkah awal tegaknya demokrasi Indonesia. Bahwa pemilu tersebut jauh
lebih demokratis daripada pemilu-pemilu sebelumnya.
Sistem pemerintahan otoriter yang bergerak ke arah sistem
pemerintahan yang lebih demokratis jika diibaratkan seperti halnya arah dari
gerakan pendulum. Pilihan kebijakan yang diambil tergantung kepada situasi
dan kondisi politik pada zamannya masing-masing. Model pengaturan yang
demikian memungkinkan untuk terjadi karena hukum adalah sebuah produk
politik (Moh. Mahfud M.D., 1998: 7).
Terkait dengan proses demokrasi di Indonesia, atas dasar semangat
reformasi perubahan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari “Kedaulatan ditangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa
kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang
dasar yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar oleh lembaga-
lembaga negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya
dalam Undang-Undang Dasar.
Konsep pemikiran tersebut kembali diperjelas dengan sikap yang nyata
oleh pemerintah, ketika menawarkan terobosan politik (political
breakthrough) ketika bersama-sama dengan DPR merombak secara total
mekanisme sistem sistem Pemilihan Presiden (Pilpres) dari Pilpres yang
ditetapkan oleh MPR menjadi Pilpres secara langsung. Landasan dasar hukum
adanya pilpres secara langsung ini termuat pada Pasal 6A ayat (4)
amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
menegaskan bahwa Berdasarkan Pasal 6A Ayat (1) menyatakan bahwa
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Mekanisme Pilpres secara langsung ini mengisyaratkan bahwa proses
demokrasi dan arah kebijakan dari pemerintah tidak lagi ditentukan oleh
segelintir kaum elit saja. Terlibatnya suara rakyat yang merupakan
pendelegasian dari arus demokrasi yang menggumpal yang tak dapat
dibendung oleh siapa pun. Jika dibendung dan tidak diagregasi dengan baik,
maka demokrasi akan membuat jalannya sendiri, sebab suara rakyat adalah
suara Tuhan (vox populi vox dei). Adagium ini tak dapat diartikan, suara
rakyat (vox populi) itu identik dengan suara Tuhan, melainkan vox populi yang
bersumber dari sanubari rakyat itu akan selalu dimenangkan oleh Tuhan.
(Mahfud MD, dalam http://www.mohmahfudmd.com/ index.php?
page=web.Opini Lengkap&id =15)
Perubahan paradigma dalam amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 apabila dikaitkan dengan pendapat dari K.C.
Wheare merupakan sebuah keputusan yang tepat, dalam bukunya, Modern
Constitutions, menegaskan bahwa konstitusi adalah resultante atau produk
kesepakatan politik yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan situasi tertentu.
Ini berarti, isi konstitusi harus selalu sesuai dengan situasi dan kebutuhan
masyarakat, karena itu dapat diubah melalui resultante baru jika situasi dan
kebutuhan masyarakat yang dilayaninya berubah. (K.C Wheare, dalam
Mahfud M.D) http://www.mohmahfudmd.com/ index.php?page=web.
OpiniLengkap&id=15.
Terlebih ketika terdapat sengketa pemilu telah diatur secara rigid
kewenangan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 tentang mekanisme penyelesaian sengketa dan badan negara
yang independen dalam memutus sengketa pemilu tersebut. Kewenangan
tersebut berada pada tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah
Konstitusi berperan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of
the constitution). Inilah salah satu ciri dari sistem penyelenggaraan kekuasaan
negara yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembaga-lembaga negara
yang melaksanakan kekuasaan negara harus dilandasi dan berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diuji dan
diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui proses peradilan yang
diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi diberikan
wewenang oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final. Final dalam artian bahwa tidak dapat diupayakan terjadinya upaya
hukum lagi setelah putusan ditetapkan.
Terkait dengan Pilpres pada 8 Juli 2009 yang diselenggarakan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang terdapat drama-drama politik ketika
rakyat dilibatkan dalam pesta demokrasi dan telah menggunakan hak pilih
masing-masing untuk mendukung salah satu dari ketiga kandidat Capres dan
Cawapres yang disahkan oleh KPU. Ketiga pasangan Capres dan Cawapres
yang bersaing memperebutkan kursi nomor satu di negeri ini adalah Megawati
Soekarnoputri-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Yusuf
Kalla-Wiranto. Berdasarkan hasil rekapitulasi yang diumumkan Mahkamah
Konstitusi KPU pada Sabtu, 25 Juli 2009 pasangan nomor urut dua, Susilo
Bambang Yudhoyono-Boediono menempati urutan teratas dan berpeluang
menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014.
Pesta demokrasi yang hampir selesai kembali menuai konflik, banyak
pengangkatan isu-isu miring mengenai kinerja KPU dalam hal masalah Daftar
Pemilih Tetap (DPT) oleh partai-partai politik setelah pengumuman pasangan
pemenang Pilpres. Banyak yang meragukan akuntabilitas dari daftar pemilih
yang dimiliki oleh KPU, apakah benar sudah semua rakyat yang telah
mempunyai hak untuk memilih telah terdaftar. Hal ini dikarenakan banyak
terdapat temuan-temuan di lapangan bahwa terdapat warga yang seharusnya
tidak mempunyai hak memilih masuk di DPT sedangkan warga yang
seharusnya memilih malah tidak terdaftar. Polemik inilah yang menjadi topik
hangat yang menjadi headline news di beberapa media beberapa bulan
terakhir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Adanya dugaan terjadinya praktik penggelembungan DPT yang
diangkat beberapa perwakilan politik memperkeruh dan mempersempit ruang
demokrasi rakyat. Jika pengangkatan dugaan pengglembungan DPT tersebut
terbukti secara meyakinkan di pembuktian Mahkamah Konstitusi selaku badan
yang berwenang memutus sengketa pemilu. Maka ada kekhawatiran di
berbagai kalangan bahwa akan terjadi Pilpres ulang sebagaimana yang diputus
di Pilkada Jatim. Kekhawatiran ini bukanlah tanpa dasar selain menghabiskan
dana rakyat yang tidak sedikit untuk melakukan Pilpres ulang. Pertanyaan
yang membayangi kemudian adalah kredibilitas dari KPU dan pemerintah
patut dipertanyakan. Menurut Yudi, selaku saksi ahli atas permintaan Tim JK-
Wiranto itu mengatakan “permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di
Indonesia hanya satu-satunya di Indonesia.
Salah satu pelanggaran yang paling berat, kata Yudi, adalah persoalan
DPT. Carut marut DPT yang selama ini menyertai pemilu menyebabkan cacat
besar dalam pemilu. Sebab basis demokrasi adalah diakuinya hak
konstitusional setiap warga negara. Persoalan DPT telah membuat sekian
banyak warga negara kehilangan hak pilihnya. "DPT yang baik adalah basis
pemilu yang baik. Itulah yang jadi basis legalitas. Tanpa legalitas, pemilu
cacat," kata Yudi. (http://genenetto.blogspot.com/2009/08/saksi-ahli-kasus-
dpt-tak-ada.html).
Pengajuan sengketa Pilpres atas nama rakyat ataukah pengajuan
segelintir kalangan yang mengatasnamakan rakyatlah yang menjadi tanda
tanya di benak masyarakat. Dan bagaimanakah kebijakan Mahkamah
Konstitusi dalam proses pengambilan putusan dalam menyikapi sengketa
pemilu inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk mengangkat masalah ini
dengan judul : ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH
KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA PENGGELEMBUNGAN
DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN
2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-
109/PHPU.B-VII/2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah langkah untuk mengidentifikasi persoalan
yang diteliti secara jelas, biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan kritis,
sistematis dan representatife untuk mencari jawaban dari persoalan yang ingin
dipecahkan. Arti penting perumusan masalah adalah sebagai pedoman bagi
tujuan dan manfaat penelitian dalam rangka mencapai kualitas penelitian yang
optimal.
Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan permasalahan yang akan
diteliti adalah meliputi:
a. Faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan dasar pertimbangan
hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Penggelembungan
Daftar Pemilih Tetap;
b. Analisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa
penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum (PHPU)).
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya
maka untuk mengarahkan suatu penelitian maka diperlukan adanya tujuan dari
suatu penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif, dan
merupakan pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian
tersebut (Soerjono Soekanto, 2006:118).
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut:
1. Tujuan obyektif:
a. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum
dan dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus
sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
b. Untuk menganalisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap
perkara sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU))
2. Tujuan subyektif:
a. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan, dan
pemahaman Penulis khususnya di bidang Hukum Tata Negara;
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana
dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian yang berhasil adalah penelitian yang dapat
memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun
manfaat yang diharapkan sehubungan dengan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada
umumnya dan hukum tata negara pada khususnya;
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi di
bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di
masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memperoleh data guna dianalisa agar dapat menjawab rumusan
masalah yang Penulis kemukakan;
b. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarkat luas
mengenai Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap
Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap Pada Pemilihan
Presiden Tahun 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 108-
109/PHPU.B-VII/2009);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
c. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis
serta mengaplikasikan ilmu yang diperoleh Penulis selama studi di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum dan masyarakat, dengan jalan menganalisanya.
Yang diadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum tersebut
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik maka perlu
menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metodologi
merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1986 : 7).
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis,
dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah
yang diteliti.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, langkah-langkah dalam melakukan
penelitian hukum adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak
relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.
1) Penelitian untuk keperluan praktik hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Sebagai langkah pertama dalam penelitian hukum untuk
keperluan praktis adalah mengidentifikasi fakta hukum dan
mengeliminir hal-hal yang tidak relevan. Sering kali kasus yang
dikemukakan oleh klien bercampur antara fakta dan pendapat serta
keinginan klien. Dalam hal ini ahli hukum harus dapat
membedakan mana fakta dan mana pendapat klien. Lebih jauh ahli
hukum harus dapat membedakan mana yang fakta hukum dan yang
bukan fakta hukum. Dengan membedakan fakta dan fakta non-
hukum peneliti akan dapat menetapkan isu hukum yang hendak
dipecahkan.
2) Penelitian untuk keperluan akademis.
Untuk mengidentifikasi fakta hukum, mengeliminir hal-hal
yang tidak relevan dan menetapkan isu hukum bagi keperluan
akademis, langkah pertama adalah peneliti harus dapat
memisahkan dirinya dari kepentingan-kepentingan yang terlibat di
dalam kegiatan penelitian itu. Ia harus menjadi dirinya sendiri yang
mempunyai sikap disinterestedness terhadap isu atau masalah
hukum yang hendak dipecahkan. Selanjutnya peneliti harus mampu
mengeliminir faktor-faktor yang tidak relevan dengan isu tersebut.
Penelitian yang dilakukan peneliti disini adalah penelitian
untuk keperluan akademis. Dalam penelitian ini diambil dua isu
yang menjadi permasalahan yang perlu dijawab atau dipecahkan
yaitu; (1) Faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan
dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus
sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap? (2) Analisis
putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa
penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (putusan Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum (PHPU)). Kedua isu hukum itulah yang
akan dipecahkan dalam penelitian ini untuk keperluan akademis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
b. Pengumpulan bahan-bahan hukum.
Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran
untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang
dihadapi. Karena dalam hal ini, salah satu pendekatan yang digunakan
peneliti adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach),
maka sesuai dengan isu yang diangkat, penulis harus mengumpulkan
bahan-bahan yang diantaranya yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 baik sebelum maupun sesudah
perubahan serta bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan isu
hukum yang diangkat tersebut.
c. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan.
Dalam rangka menjawab isu hukum yang diangkat, peneliti harus
menelaah isu hukum itu dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan
hukum yang relevan dengan isu tersebut. Selain menelaah isu tersebut
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang relevan, isu itu juga ditelaah
dari berbagai bahan-bahan hukum yang relevan dengan isu itu, yang
telah berhasil dikumpulkan oleh peneliti. Dari telaah yang dilakukan
oleh peneliti berdasarkan bahan-bahan hukum maupun bahan non-
hukum itu, peneliti berusaha untuk menjawab isu yang diangkatnya.
Kemudian dari telaah-telaah itu diambil sebuah kesimpulan sebagai
jawaban atas isu hukum yang diangkat tersebut.
d. Menarik kesimpulan yang menjawab isu hukum.
Penelitian hukum itu bukan untuk menguji hipotesis, maka
konsekuensinya kesimpulan yang ditarik dari penelitian hukum bukan
menghasilkan diterima atau ditolaknya hipotesis. Dengan
menggunakan bahan-bahan hukum dan bilamana perlu juga non-
hukum sebagai penunjang, peneliti akan dapat menarik kesimpulan
yang menjawab isu yang diajukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
e. Memberikan Preskripsi.
Memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya
merupakan hal yang esensial dari penelitian hukum. Baik untuk
keperluan praktek maupun untuk penulisan akademis, preskripsi yang
diberikan menentukan nilai penelitian tersebut, maka langkah terakhir
dari suatu penelitian yaitu memberikan preskripsi berupa rekomendasi
yang didasarkan pada kesimpulan yang telah diambil. Berpegang pada
karekteristik Ilmu Hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang
diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat atau
setidaknya mungkin untuk diterapkan.
Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan, baik terhadap
penelitian untuk keperluan praktis maupun untuk kajian akademis.
Itulah ringkasan mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan di
dalam penelitian hukum yang dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki
di dalam bukunya yang berjudul “Penelitian Hukum” (Peter Mahmud
Marzuki, 2008 : 171-209).
2. Sifat Penelitian
Dalam penelitian hukum ini, Penulis menggunakan penelitian hukum
yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia atau gejala,
keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif
adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dan
memperkuat teori-teori lama di dalam kerangka menyusun teori-teori baru
(Soerjono Soekanto:2006:10).
3. Pendekatan Penelitian
Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal
issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach)
yang digunakan. Jika cara pendekatan tidak tepat, maka bobot penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
tidak akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Johnny Ibrahim,
2007 : 299).
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum
terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach)
dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud
Marzuki, 2005: 93). Sedangkan menurut Johny Ibrahim dari kelima
pendekatan tersebut ditambah dengan pendekatan analitis (analytical
approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach) berikut
(Johnny Ibrahim, 2007: 246). Dari beberapa pendekatan tersebut,
pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan
undang-undang (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical
approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan mendekati
masalah yang diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif,
karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma
tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Oleh
karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas pada peraturan
perundang-undangan (tertulis) yang terkait dengan masalah yang diteliti.
Selanjutnya penelitian ini akan diuraikan secara deskriptif dengan
menelaah, menjelaskan, memaparkan, menggambarkan, serta menganalisis
permasalahan atau isu hukum yang diangkat, seperti apa yang telah
dikemukakan dalam perumusan masalah.
4. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa
keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi
kepustakaan, peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, peraturan perundangan lainnya
yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
yang diteliti seperti putusan dan tulisan-tulisan ilmiah, sumber-sumber
tertulis lainnya serta makalah-makalah yang berkaitan dengan penelitian
ini.
5. Sumber Data
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (normatif), sehingga
bahan dari penelitian ini adalah data-data hukum sekunder. Data-data
hukum sekunder oleh Soerjono Soekanto dikelompokkan menjadi
(Soerjono Soekanto dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 14-
15).
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Antara lain sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
hasil amandemen;
2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi;
3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
4) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108-109/PHPU.B-VII/2009
tentang Penggelembungan DPT Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden
5) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang
Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan
Suara di Tempat Pemungutan Suara.
6) Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
7) Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki,
bahan penelitian hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter
Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan penelitian hukum sekunder yang
digunakan penulis adalah penjelasan dari tiap-tiap peraturan
perundang-undangan sebagaimana telah disebutkan di atas sebagai
bahan hukum sekunder yang menjadi pertimbangan penting bagi
penulis, dikarenakan penjelasan dari tiap-tiap peraturan perundang-
undangan menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan peraturan
perundang-undangan oleh subyek-subyek pembentuknya, buku-buku
yang terkait dengan materi/bahasan, hasil-hasil penelitian, artikel
majalah dan koran, pendapat pakar hukum maupun makalah-makalah
yang berhubungan dengan topik penulisan ini;
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
6. Teknik Pengumpulan Data
Suatu penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap dalam hal ini
dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai
validitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya dikenal tiga
jenis pengumpulan data yaitu studi kepustakaan atau bahan pustaka,
pengamatan atau observasi dan wawancara.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian
hukum ini adalah studi kepustakaan yaitu berupa pengumpulan data
sekunder. Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan data
sekunder yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan
digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh
kemudian dipelajari, diklarifikasikan serta dianalisis lebih lanjut sesuai
dengan tujuan dan permasalahan penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian
hukum ini adalah studi kepustakaan yaitu berupa pengumpulan data
sekunder. Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan data
sekunder yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan
digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh
kemudian dipelajari, diklarifikasikan serta dianalisis lebih lanjut sesuai
dengan tujuan dan permasalahan penelitian.
7. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika
deduktif. Menurut Johny Ibrahim yang mengutip pendapatnya Bernard
Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat
individual (Johny Ibrahim, 2007: 249). Sedangkan Prof. Peter Mahmud
Marzuki yang mengutip pendapatnya Philiphus M. Hadjon menjelaskan
metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles,
penggunaan metode deduksi berpangkal dari pegajuan premis major
(pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat
khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau
conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 47). Jadi yang dimaksud
dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah
menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik
kesimpulan dari hal itu yang sifatnya lebih khusus.
F. Sistematika Penulisan
Dalam bagian ini, Penulis mensistematiskan bagian-bagian yang akan
dibahas menjadi beberapa bab yang diusahakan dapat berkaitan dan lebih
tersistematis, terarah dan mudah dimengerti, sehingga saling mendukung dan
menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini mencakup latar belakang permasalahan yang akan ditulis,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan mencakup kajian pustaka berkaitan dengan judul
dan masalah yang diteliti yang memberikan landasan teori serta
diuraikan mengenai kerangka pemikiran yaitu berupa Tinjauan
Pertama mengenai Negara Hukum yang meliputi : Pendapat
para ahli tentang Negara Hukum dan Prinsip-prinsip Negara
Hukum. Tinjauan Kedua mengenai Demokrasi yang meliputi
Pengertian dan hakikat demokrasi; asas-asas demokrasi; faktor-
faktor penegak demokrasi; model-model demokrasi. Tinjauan
Ketiga mengenai Konstitusi meliputi : sejarah konstitusi;
pengertian konstitusi; tujuan, fungsi dan ruang lingkup
konstitusi; klasifikasi konstitusi; nilai-nilai konstitusi; serta
prinsip-prinsip umum perubahan konstitusi. Tinjauan Keempat
mengenai Mahkamah Konstitusi yang meliputi : Latar
belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi RI; Tugas dan
wewenang Mahkamah Konstitusi. Tinjauan Kelima mengenai
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi :
Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi; sumber hukum
acara Mahkamah Konstitusi; asas-asas hukum Mahkamah
Konstitusi; permohonan dalam hukum acara Mahkamah
Konstitusi; alat bukti dan sistem pembuktian; serta putusan
Mahkamah Konstitusi.
BAB III : PEMBAHASAN
Bab ini mencakup hasil penjelasan dari penelitian yang
membahas tentang 2 hal yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
1. Faktor-faktor yang menjadi dasar hukum dan dasar
pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus
sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap serta,
2. Analisis hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara
sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)).
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab akhir ini mencakup tentang uraian kesimpulan dari hasil
pembahasan serta memuat saran-saran mengenai permasalahan
yang ada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Tinjauan Mengenai Negara Hukum
Negara Hukum merupakan terjemahan dari rechtstaat (ahli-ahli
hukum Eropa Kontinental) atau rule of law (ahli-ahli hukum Anglosaxon).
Ide Negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan the rule of
law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy sebagai faktor penentu
dalam penyelenggaraan kekuasaan. Karena itu, istilah nomokrasi itu
berkaita erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai
kekuasaan tertinggi.
Menurut Komisi Internasional Ahli Hukum, Konferensi di
Bangkok tahun 1965 (The International Commission of Jurists),
pemerintah yang demokratis di bawah rule of law harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Adanya perlindungan konstitusional;
b. Adanya pemilihan umum yang bebas;
c. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
d. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat;
e. Adanya kebebasan untuk berserikat /berorganisasidan beroposisi
f. Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum formil dan
Negara Hukum materiil. Negara Hukum formil menyangkut pengertian
hukum yang bersifat formil dan sempit yaitu dalam arti perundang-
undangan tertulis, sedangkan negara hukum materiil yang lebih mutakhir,
mencakup pula pengertian keadilan didalamnya. Pembedaan ini, menurut
Jimly Asshiddiqie, memang dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam
konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud
18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu
sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat
pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum utama.
Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti
perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang
dikembangkan bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin
keadilan substantif. Karena itu, disamping istilah the rule of law oleh
Friedman juga dikembangkan istilah rule of just law untuk memastikan
bahwa dalam pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian
keadilan yang lebih essensial daripada sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan
tetap the rule of law, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan
dicakup dalam istilah the rule of law yang digunakan untuk menyebut
konsepsi tentang Negara Hukum di zaman sekarang (Majalah
Konstitusi.2009. Edisi 26:16).
Dari uraian-uraian diatas, dapat dirumuskan kembali adanya dua
belas pokok prinsip Negara Hukum (Rechtstaat) yang merupakan pilar-
pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern
sehingga dapat disebut Negara Hukum yaitu (Jimly
Asshiddiqie.2005:151):
a. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi
hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum
sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum
(supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang
sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan
hukum yang tertinggi. Dalam republik yang menganut sistem
presidensiil yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
lebih tepat untuk disebut sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
b. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan
pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara
empirik. Dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap diskriminatif
dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan
tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat
khusus dan sementara guna mendorong dan mempercepat kelompok
masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk
mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang
sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang jauh lebih maju.
c. Asas Legalitas (Due Process of Law)
Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas
legalitas dalam segala bentuknya (Due Process of Law) yaitu bahwa
segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis.
d. Pembatasan Kekuasaan
Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara
dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal
atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum
besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk
berkembang menjadi sewenang-wenang.
Karena itu, kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara
memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat
checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling
mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan
kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan begitu,
kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ
atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-
wenangan.
e. Organ-organ Eksekutif Independen
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang
berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang
bersifat independent, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi
kepolisian dan kejaksaan. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi
ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan
eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga
tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif
untuk menentukan pengangkatan atau pemberhentian pimpinannya.
f. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak
harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas
yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik
karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang. Untuk
menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya
intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim,
baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif
ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa.
g. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan
bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai
pilar utama Negara Hukum. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka
kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan
pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting
karena yang menjamin agar warga negara tidak dizalimi oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak
yang berkuasa.
h. Peradilan Tata Negara (Constitusional Court)
Dalam negara hukum modern diharapkan adanya jaminan
tegaknya keadilan tiap-tiap warga negara dengan mengadopsikan
gagasan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.
Pentingnya Mahkamah Konstitusi adalah upaya memperkuat sistem
check and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja
dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.
i. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia
dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses
yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut
dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan
penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai
ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis.
j. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat)
Dalam prinsip demokrasi yang menjamin peran serta masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan
mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh
ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk
kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi.
k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtstaat).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan
bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui
gagasan negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan
negara hukum yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional yang dirumuskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
l. Transparansi dan Kontrol Sosial.
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap
setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan
dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi
dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat
secara langsung dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran.
Adanya partispasi langsung ini penting karena sistem perwakilan
rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-
satunya saluran aspirasi rakyat.
2. Tinjauan mengenai Demokrasi
a. Pengertian dan Hakikat Demokrasi
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa
(etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis, "demokrasi"
berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu
demos yang berarti rakyat, dan cratos atau cratein yang berarti
pemerintahan, sehingga dapat disimpulkan sebagai pemerintahan
rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan
suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
tersebut. Demokrasi bila ditinjau dari terminologis (Azyumardi Azra,
2000 : 110), sebagaimana dikemukakan beberapa para ahli, misalnya:
1) Joseph A. Schmeter, bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2) Sidney Hook, bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
3) Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl yang menyatakan bahwa demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
4) Henry B. Mayo, bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
5) Affan Gaffar, bahwa demokrasi terbagi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif, ialah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh suatu negara, dan pemaknaan secara empirik, yaitu demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu
pengertian dasar bahwa demokrasi merupakan suatu sistem
pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan rakyat, yang
mengandung tiga unsur, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian
bahwa pemerintah yang berdaulat adalah pemerintah yang mendapat
pengakuan dan didukung oleh rakyat. Legitimasi suatu pemerintahan
sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan yang
berdaulat dapat menjalankan pemerintahannya serta program-program
sebagai wujud dari amanat dari rakyat yang diberikan kepadanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa pemerintah yang
mendapat legitimasi amanat dari rakyat sudah seharusnya untuk
tunduk pada pengawasan rakyat (social control). Dengan adanya
control tersebut, maka dapat sebagai tindakan preventif mengantisipasi
ambisi keotoriteran para pejabat pemerintah.
Pemerintahan untuk rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan
yang diberikan dari dan oleh rakyat kepada pemerintah harus
dijalankan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, perlu adanya
kepekaan pemerintah terhadap kebutuhan rakyat dan terhadap aspirasi
rakyat yang perlu diakomodir yang kemudian di follow-up melalui
pengeluaran kebijakan maupun melalui pelaksanaan program kerja
pemerintah.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan
legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang
saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu
sama lain. Independensi dan kesejajaran dari ketiga jenis lembaga
negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and
balances.
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya
kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara
langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden
atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara
tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih
sendiri secara langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak makna
kedaulatan rakyat. Peranannya dalam sistem demokrasi tidak besar,
suatu pemilu sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara
berpikir (paradigma) lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus,
sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang
pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada
masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara.
b. Asas-asas Demokrasi
Dalam menentukan berlakunya suatu sistem demokrasi di suatu
negara ialah ada tidaknya asas-asas demokrasi dalam sistem
pemerintahan suatu negara. Adapun asas-asas demokrasi yaitu
(http://pendkewarganegaraansmpnasima.blogspot.com/2009/01/blogsp
ot.html diakses tgl kamis 4 februari 2010 jam 15.15):
1) Adanya pengakuan hak – hak asasi manusia sebagai penghargaan
terhadap martabat manusia
Negara berperan aktif dalam memberikan perlindungan dan
menjamin hak asasi manusia dengan diatur dalam peraturan
perundanga-undangan yang mempunyai payung hukum yang jelas
terhadap hak asasi manusia. Seperti di Indonesia, sudah ada
pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dicantumkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
2) Adanya partisipasi dan dukungan rakyat kepada pemerintah
Rakyat ikut serta menentukan kebijakan pemerintah yang
bersifat asasi dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga
pemerintah tidak dapat semena-mena dalam menentukan
kebijakan, perlu adanya kontrol dari rakyat. Di sisi lain, pemerintah
membutuhkan dukungan langsung dari rakyat dalam hal pemilihan
wakil rakyat maupun pemilihan presiden.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
c. Faktor-faktor Penegak Demokrasi
Mengingat sangat pentingnya demokrasi, maka perlu adanya
faktor-faktor untuk menegakan demokrasi itu sendiri (Azyumardi
Azra, 2000 : 117 – 121). Ada empat faktor utama yaitu :
1) Negara hukum (rechtstaat dan rule of law)
Konsep rechtsstaat adalah adanya perlindungan terhadap
Hak Asasi Manusia (HAM), adanya pemisahan dan pembagian
kekuasaan pada lembaga negara, pemerintahan berdasarkan
peraturan, serta adanya peradilan administrasi. Konsep dari rule of
law yaitu adanya supremasi aturan-aturan hukum, adanya
kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law),
serta adanya jaminan perlindungan HAM.
Berdasarkan dua pandangan di atas, maka dapat ditarik
suatu konsep pokok dari negara hukum adalah adanya jaminan
perlindungan terhadap HAM, adanya supremasi hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan, adanya pemisahan dan pembagian
kekuasaan negara, dan adanya lembaga peradilan yang bebas dan
mandiri.
2) Masyarakat madani
Masyarakat madani dicirikan dengan masyarakat yang
terbuka, yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara,
masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif, serta masyarakat
yang egaliter. Masyarakat yang seperti ini merupakan elemen yang
sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Demokrasi yang
terbentuk kemudian dapat dianggap sebagai hasil dinamika
masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Selain itu,
demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat dalam
kaitan dengan pengungkapan kehendak, adanya perbedaan
pandangan, adanya keragaman dan konsensus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
3) Infrastruktur
Infrastruktur politik yang dimaksud terdiri dari partai
politik (parpol), kelompok gerakan, serta kelompok kepentingan
atau kelompok penekan.
Partai politik merupakan suatu wadah struktur kelembagaan
politik yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai, dan
cita-cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakan-
kebijakannya. Kelompok gerakan lebih dikenal dengan organisasi
masyarakat, yang merupakan sekelompok orang yang berhimpun
dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan
warganya. Kelompok kepentingan atau penekan adalah
sekumpulan orang dalam suatu wadah organisasi yang didasarkan
pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu.
Dikaitkan dengan demokrasi, menurut Miriam Budiardjo,
parpol memiliki empat fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi
politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai recruitment kader
dan anggota politik, serta sebagai sarana pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut merupakan pengejawantahan dari nilai-
nilai demokrasi, yaitu adanya partisipasi serta kontrol rakyat
melaui parpol. Sedangkan kelompok gerakan dan kelompok
kepentingan merupakan perwujudan adanya kebebasan
berorganisasi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan melakukan
oposisi terhadap negara dan pemerintah.
4) Pers yang bebas dan bertanggung jawab
Pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar
informasi yang obyektif melakukan kontrol sosial yang konstruktif
menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan
partisipasi masyarakat. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
positif antara pers, pemerintah, dan masyarakat (Sukarno, 1986 :
30).
d. Model-model demokrasi (Azyumardi Azra, 2000 : 134).
1) Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi undang-
undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam
waktu yang tetap secara berkala.
2) Demokrasi terpimpin, yaitu dimana para pemimpin percaya bahwa
segala tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan
umum yang bersaing sebagai “kendaraan” untuk menduduki
kekuasaaan.
3) Demokrasi Pancasila, adalah dimana kedaulatan rakyat sebagai
inti dari demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang sama
untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik
yang sama semua rakyat. Untuk itu, Pemerintah patut memberikan
perlindungan dan jaminan bagi warga negara dalam menjalankan
hak politik.
4) Demokrasi sosial, adalah demokrasi yang menaruh kepedulian
pada keadilan sosial dan egaliterianisme bagi persyaratan untuk
memperoleh kepercayaan publik.
5) Demokrasi partisipasi, yang merupakan hubungan timbal balik
antara penguasa dengan yang dikuasai.
6) Demokrasi consociational, yang menekankan proteksi khusus bagi
kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang
erat di antara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.
7) Demokrasi langsung, yang mana lembaga legislatif hanya
berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan,
sedangkan pemilihan pejabat eksekutif dan legislatif melalui
pemilihan umum (pemilu) oleh rakyat secara langsung.
8) Demokrasi tidak langsung, yang mana lembaga parlemen (sebagai
wakil rakyat) dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
berkaian dengan kehidupan masyarakat dalam hubungannya
dengan pemerintah dan negara. Hal ini berarti rakyat tidak secara
langsung berhadapan dengan pemerintah.
3. Tinjauan Mengenai Konstitusi
a. Sejarah Konstitusi
1) Terminologi klasik ( Constitutio dan Politeia )
Dari sejarah klasik terdapat 2 perkataan yang berkaitan erat
dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi , yaitu dalam
perkataan Yunani kuno Politeia dan perkataan bahasa latin
Constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua
perkataan politeia dan costitutio itulah awal mula gagasan
konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta
hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah.
Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, maka dapat
dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah Politeia yang
berasal dari kebudayaan Yunani.
Namun, dalam bahasa Yunani kuno tidak dikenal adanya
istilah yang mencerminkan kata jus ataupun constituio seperti
dalam tradisi romawi yang datang kemudian. Dalam keseluruhan
sistem berfikir para filosof Yunani kuno, perkataan constitution
seperti yang kita maksudkan sekarang, tidak dikenal.
2) Warisan Yunani kuno (Aristoteles)
Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada :
a) The ends pursued by states, and
b) The kind of authority exercised by their government
Tujuan tertinggi dari Negara adalah a good life, dan hal ini
merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Oleh
karena itu, Aristoteles membedakan antara right Constitution dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
wrong constution dengan ukuran kepentingan bersama. Jika
konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan
bersama, maka konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi
jika sebaliknya konstitusi itu adalah kostitusi yang salah (Jimly
Asshiddiqie.2010:6).
3) Warisan Romawi Kuno
Salah satu sumbangan penting filsof romawi, terutama
setelah Cicero mengembangkan karyanya adalah pemikiran tentang
hukum yang berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah
dikembangkan sebelumnya oleh para filosof kuno sebelumnya.
Pada masa ini adalah awal mula dipakainya istilah lex yang
kemudian menjadi kata kunci untuk memahami konsepsi politik
dan hukun di zaman Romawi kuno. Penggunaan perkataan lex
tampaknya dianggap lebih luas cakupan maknanya.
Konstitusi mulai dipahami sebagai sasuatu yang berada di
luar dan bahkan diatas negara. Tidak seperti masa sebelumnya,
konstitusi mulai dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana
bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai prinsip the
higher law. Prinsip hierarki hukum juga makin dipahami secara
tegas kegunaannya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan.
4) Warisan Islam (Konstitusionalisme dan Piagam Madinah)
Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang
dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti
modern dalam Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan
bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil
penduduk kota Madinah tidak lama setelah beliau hijrah dari
Mekkah ke Madinah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada
abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling penting selama
abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya
perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat
untuk bernegara dengan naskah perjanjian yang dituangkan dalam
bentuk yang tertulis.
5) Terminologi konstitusi modern
Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak
ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan
yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma
hukum yang terkandung di dalamnya bertentangan dengan norma
hukum yang terdapat dalam undang-undang, maka ketentuan
undang-undang dasar itulah yang berlaku, sedangkan undang-
undang harus memberikan jalan untuk itu.
Oleh karena itu, dikembangkannya pengertian constituent
power berkaitan dengan pengertian hierarki hukum (hierarchy of
law). Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling
fundamental sifatnya karena konstitusi merupakan sumber
legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau
peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Pengertian Konstitusi
Menurut istilah, konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-
peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Pengertian konstitusi menurut Carl Schmitt, membagi konstitusi
dalam empat pengertian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006:48-51):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
1) Konstitusi dalam arti absolut yang diperinci menjadi empat bagian
yaitu:
a) Konstitusi dianggap sebagai satuan organisasi yang nyata,
mencakup semua bangunan hukum dari semua organisasi yang
ada dalam negara.
b) Konstitusi sebagai bentuk negara. Yang dimaksud dengan
bentuk negara adalah negara dalam arti keseluruhannya.
Bentuk negara itu bisa demokrasi atau monarki. Demokrasi
baik langsung maupun memerintah dirinya sendiri sehingga
antara yang memerintah dan yang diperintah identik dengan
rakyat.
c) Konstitusi sebagai faktor integrasi. Faktor ini bisa abstrak dan
fungsional. Abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan
negara dengan lagu kebangsaannya. Dikatakan fungsional
karena tugas konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilu,
pembentukan kabinet, referendum dan sebagainya.
d) Konstitusi sebagai suatu sistem tertutup dari norma-norma
hukum yang tertinggi di dalam negara, jadi konstitusi itu
merupakan norma dasar sebagai sumber bagi norma-norma lain
yang berlaku di dalam negara.
2) Konstitusi dalam arti relative
Konstitusi dalam arti relatif dimaksudkan sebagai konstitusi
yang dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu di
dalam masyarakat. Golongan utama adalah golongan borjuis liberal
yang menghendaki adanya jaminan dari penguasa agar hak-haknya
tidak dilanggar.
3) Konstitusi dalam arti positif
Carl Schmitt menjelaskan pengertian konstitusi dalam arti
positif dihubungkan dengan ajaran dezisionisme, yaitu ajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
tentang keputusan. Menurutnya, konstitusi dalam arti positif itu
mengandung pengertian sebagai keputusan politik yang tertinggi.
4) Konstitusi dalam arti ideal
Disebut konstitusi ideal karena konstitusi itu idaman dari
kaum borjuis sebagai jaminan bagi rakyat agar hak-hak asasinya
dilindungi.
Menurut F. Lasele konstitusi dibagi menjadi 2 pengertian, yakni
(Dahlan Thaib; Jasim Hamidi; Ni’matul Huda, 2001:10):
1) Sosiologis dan politis.
Secara sosiologis dan politis, konstitusi adalah sintesa
faktor- faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat. Jadi
konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan
yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara.
2) Yuridis.
Secara yuridis konstitusi adalah suatu naskah yang memuat
semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan
c. Tujuan, Fungsi dan Ruang Lingkup Konstitusi
1) Tujuan Konstitusi (Taufiqurrohman Syahuri,2004:28-29)
Secara garis besar, tujuan konstitusi adalah membatasi
tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat
yang diperintah dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang
berdaulat. Sedangkan fungsi konstitusi adalah sebagai dokumen
nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem
hukum negara.
2) Fungsi Konstitusi
Menurut Jimly Asshidiqie dalam buku hukum konstitusi,
konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang diperinci sebagai berikut:
a) Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
b) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.
c) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara
dengan warga negara.
d) Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan
negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
e) Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber
kekuasaan yang asli kepada organ negara.
f) Fungsi simbolik sebagai pemersatu, sebagai rujukan identitas
dan keagungan kebangsaan serta sebagai center of ceremony.
g) Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat, baik dalam
arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti yang
luas mencakup bidang sosial dan ekonomi.
h) Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat.
3) Ruang Lingkup Konstitusi
Menurut A. A. H. Struycken ruang lingkup konstitusi meliputi:
a) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau
b) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
c) Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwajibkan, baik waktu
sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
d) Suatu keinginan dengan perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
d. Klasifikasi Konstitusi
K. C. Weare mengklasifikasikan konstitusi menjadi 5, yaitu:
1) Konstitusi tertulis dan tidak tertulis
Konstitusi tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang
memiliki “kesakralan khusus” dalam proses perumusannya.
Konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang lebih berkembang
atas dasar adat-istiadat dari pada hukum tertulis dan tidak
dituangkan dalam suatu dokumen.
2) Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Konstitusi fleksibel adalah Konstitusi yang dapat diubah atau
diamandemen tanpa adanya prosedur khusus. Dalam konstitusi
fleksibel mempunyai ciri pokok yaitu:
a) Elastis, dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya.
b) Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti
undang-undang.
Konstitusi kaku adalah konstitusi yang mempersyaratkan
prosedur khusus untuk perubahan atau amandemennya. Dalam
konstitusi rigid mempunyai ciri pokok yaitu
a) Mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi daripada
peraturan perundang-undangan yang lain.
b) Hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa.
3) Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi
Konstitusi derajat tinggi ialah konstitusi yang mempunyai
kedudukan tertinggi dalam negara.
Konstitusi tidak derajat tinggi ialah konstitusi yang tidak
mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat
tinggi.
4) Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan
Bentuk ini berkaitan dengan bentuk negara, jika negara itu serikat
maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara
pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian.
5) Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem
pemerintahan parlementer
Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial :
a) Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih
b) Presiden bukan pemegang kekuasaan legislatif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
c) Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan
legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.
d) Disamping sebagai kepala negara, Presiden juga sebagai
kepala pemerintahan.
Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer:
a) Kabinet yang dipilih Perdana Menteri dibentuk atau
berdasarkan ketentuan yang menguasai parlemen
b) Para anggota kabinet sebagian atau seluruhnya adalah anggota
parlemen
c) Kepala negara dengan saran Perdana Menteri dapat
membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya
pemilu.
d) Perdana Menteri bertanggung jawab kepada parlemen.
e. Nilai-nilai konstitusi
Dalam praktek ketatanegaraan sering terjadi suatu konstitusi
yang tertulis (Undang-Undang Dasar) tidak berlaku secara sempurna
karena salah satu atau beberapa pasalnya tidak berlaku secara efektif.
Ketidakefektifan ini dipengaruhi olehtidak mempunyai konstitusi
menyesuaikan dengan perkembangan praktek ketatanegaraan, selain
itu juga dipengaruhi oleh pihak pemerintah yang melaksanakan
undang-undang dasar itu.
Sehubungan dengan hal tersebut Karl Lowenstein membuat tiga
jenis penilaian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006:55-57):
1) Nilai Normatif
Apabila suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan
bagi mereka konstitusi bukan saja berlaku di dalam arti hukum,
tetapi juga merupakan suatu kenyataan dalam arti sepenuhnya dan
efektif. Dengan begitu, konstitusi dapat dilaksanakan secara mutlak
dan konsekuen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
2) Nilai Nominal
Konstitusi menurut hukum memang berlaku tetapi kenyataannya
tidak sempurna. Ketidaksempurnaan berlakunya konstitusi tertulis
sering kali berbeda dengan yang dipraktekkan sebab sebagaimana
telah diketahui konstitusi dapat berubah baik karena perubahan
formil seperti yang tercantum dalam konstitusi itu maupun karena
konvensi ketatanegaraan.
3) Nilai Semantik
Konstitusi secara hukum berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya
sekedar untuk membentuk dari tempat yang ada dan untuk
melaksanakan kekuasaan politik. Jadi konstitusi hanya sekadar
istilah saja, sedangkan pelaksanaannya sering dikaitkan dengan
kepentingan penguasa. Contoh: Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada waktu orde Lama.
f. Prinsip-prinsip Umum Perubahan Konstitusi
1) Sistem Amandemen (Taufiqurrohman Syahuri,2004:43-46)
Pengertian perubahan konstitusi dapat juga mencakup dua
pengertian, yaitu:
a) Amandemen Konstitusi (Constitutional Amandment)
b) Pembaruan Konstitusi (Constitutional Reform)
Namun demikian, secara khusus, apabila dilihat dari segi sistem
atau bentuk perubahan konstitusi secara teori, istilah amandemen
konstitusi memiliki makna tersendiri untuk membedakan dengan
sistem perubahan konstitusi lain. Secara umum, sistem yang dianut
oleh negara-negara dalam mengubah konstitusinya dapat
digolongkan ke dalam dua sistem perubahan.
Pertama, apabila suatu konstitusi diubah maka yang akan berlaku
adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan, sehingga tidak ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
kaitannya lagi dengan konstitusi lama. Sistem ini masuk kedalam
kategori pembaruan konstitusi.
Kedua, sistem perubahan konstitusi, dimana konstitusi yang asli
tetap belaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut
merupakan adendum atau sisipan dari konstitusi yang asli. Dengan
kata lain, bagian yang diamandemen merupakan atau menjadi
bagian dari konstitusinya. Jadi, antara bagian perubahan dan bagian
konstitusi aslinya masih terkait. Keberlakuan konstitusi dengan
sistem perubahan inipun masih didasarkan kepada saat berlakunya
konstitusinya yang lama, sehingga nilai-nilai lama dalam konstitusi
asli yang belum diubah masih tetap eksis.
2) Jalur Yuridis dan Nonyuridis
Secara garis besar, perubahan konstitusi dapat dilaksanakan
melalui dua jalan yaitu:
a) Jalan Yuridis Formal
Perubahan konstitusi yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
formal mengenai perubahan konstitusi yang terdapat di dalam
konstitusi sendiri dan mungkin diatur dalam peraturan
perundangan lain.
b) Jalan Nonyuridis formal atau jalan politis
Perubahan konstitusi tersebut biasanya terjadi karena sebab
tertentu atau keadaan khusus yang mendorong terjadinya
perubahan konstitusi. Perubahan demikian dapat berupa
perubahan konstitusi secara total atau sebagian saja sesuai
dengan kebutuhannya. Perubahan konstitusi secara politis atau
sebagai suatu kenyataan ini kalau berjalan dan dapat diterima
oleh segala lapisan masyarakat, maka perubahan demikian
secara yuridis adalah sah sehingga memiliki kekuatan yuridis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
4. Tinjauan Mengenai Mahkamah Konstitusi
Menurut Taufiqurrohman Syahuri dalam Berita Mahkamah
Konstitusi (2005:6), Mahkamah konstitusi merupakan salah satu lembaga
tinggi negara yang masuk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
mempunyai posisi sejajar dengan lembaga lain, seperti: Presiden, DPR,
MPR dan BPK, seperti: Presiden, DPR, MPR dan BPK.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan
konstitusi dan prinsip Negara hukum sesuai dengan tugas dan
wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah
Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya
dalam menegakkan keadilan.
a. Latar Belakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi RI
Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi
telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebelum
Indonesia Merdeka (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 11). Pada saat
pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar Negara dalam rapat di
Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Prof. Muhammad Yamin mengusulkan agar dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dicantumkan ketentuan Mahkamah Agung (MA) berhak menetapkan
bahwa suatu Undang- Undang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar (Ni’matul Huda, 2003 : 203-204)
Akan tetapi usul tersebut ditolak oleh Soepomo. Alasan
penolakan yang diajukan oleh Soepomo antara lain:
1) Tidak ada kebulatan pendapat antara ahli tata negara dalam soal
itu;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
2) Perselisihan tentang apakah suatu Undang-Undang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, pada umumnya bukan
soal yuridis, tetapi soal politis;
3) Adanya kewenangan judicial review pada Mahkamah Agung
merupakan konsekuensi dari sistem Trias Politica yang tidak
dianut dalam Undang-Undang Dasar yang dipersiapkan BPUPKI,
karena itu tidaklah tepat bila kekuasaan kehakiman mengontrol
legislatif (pembentuk Undang-Undang);
4) Para ahli hukum sama sekali belum mempunyai pengalaman dalam
soal tersebut dan tenaga-tenaganya belum begitu banyak, jadi
belum waktunya bagi negara yang muda untuk melakukan
pekerjaan itu (Ni’matul Huda, 2003 : 204).
Pada saat pemabahasan perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam era reformasi muncul
kembali pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi Negara dan supremasi
konstitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan
sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya
lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antar lembaga
negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan
saling mengendalikan (checks and balance), yaitu Mahkamah
Konstitusi. Seiring dengan hali itu muncul desakan agar tradisi
pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak
hanya terbatas pada peraturan dibawah Undang-Undang melainkan
juga atas Undang-Undang Dasar. Kewenangan melakukan pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar itu diberikan kepada
sebuah mahkamah tersendiri diluar Mahkamah Agung. Atas dasar
pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi yang terdiri sendiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
disamping Mahkamah Agung menjadi sebuah keniscayaan (Jimly,
2005: 12-13).
Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat dan
demokratis, akhirnya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi
kenyataan dengan disahkannya:
a. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan:
“Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ”
b. Pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum;
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden san atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar:
3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
4) Ketua dan Wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan
oleh hakim konstitusi;
5) Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi
dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat
Negara;
6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum
acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi
diatur dengan Undang-Undang.
Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi
Negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi.
b. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan Pasal 24C ayat(1) dan (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang
Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur
lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan
merinci sebagai berikut:
1) Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar merupakan tugas yang mendominasi kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana tampak dari permohonan yang
masuk dan terdaftar di kepaniteraan MK.
a) Pengujian Formal
Pengujian secara formal secara singkat disebut dalam Pasal
51 ayat (3) huruf a, yang menyatakan pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa “pembentukan undang-
undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.
Pengujian secara formal akan melakukan pengujian atas dasar
kewenangan dalam pembentukan Undang-Undang dan
prosedur yang harus ditempuh dari tahap drafting sampai
dengan pengumuman dalam lembaran negara yang harus sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
b) Pengujian Materiil
Berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf b Dalam permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa “materi muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945” mengatur tentang uji materiil dengan mana materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dapat diminta untuk
dinyatakan sebagai tidak mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum. Yang boleh diuji juga hanya ayat, pasal tertentu atau
bagian Undang-Undang saja dengan konsekuensi hanya bagian,
ayat, dan pasal tertentu saja yang dianggap bertentangan
dengan konstitusi dan karenanya dimohon tidak mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
kekuatan mengikat secara hukum hanya sepanjang mengenai
ayat, pasal dan bagian tertentu dari undang-undang yang
bersangkutan. Akan tetapi dengan membuang kata yang
merupakan bagian kalimat dalam pasal tersebut makna pasal
tersebut dapat berubah sama sekali dan dipandang dengan
demikian tidak lagi bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Sengketa kewenangan antar lembaga negara secara jelas
memperoleh batasan bahwa lembaga negara tersebut hanyalah
lembaga negara yang memperoleh kewenangannya menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sehingga jelas meskipun dapat terjadi multitafsir dapat dilihat
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 lembaga negara mana yang memperoleh kewenangannya
secara langsung dari Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Oleh karena Undang-Undang Dasar adalah
juga mengatur organisasi negara dan wewenangnya. Bahwa
lembaga negara tersebut harus merupakan organ konstitusi yaitu
baik yang dibentuk berdasarkan konstitusi maupun yang secar
langsung wewenangnya diatur dan diturunkan dari Undang-
Undang Dasar.
3) Memutus pembubaran partai politik
Berbeda dengan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar dimana akses terhadap Mahkamah
Konstitusi tampaknya agak luas yang memiliki standing untuk
mengajukan permohonan pembubaran partai politik sebagaimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
diatur dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi hanya pemerintah.
Berdasarkan Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi mewajibkan
pemerintah sebagai pemohon untuk menguraikan dengan jelas
tentang ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik.
Yang semuanya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
merupakan alasan partai politik tersebut untuk dibubarkan.
Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran
Partai Politik, dilakukan dengan pembatalan pendaftaran partai
pada pemerintah.
4) Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum.
Perselisihan ini terkait dengan penetapan hasil pemilihan
umum secara nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yang mengakibatkan seorang yang harusnya terpilih
baik seorang anggota DPD, DPR maupun DPRD atau
mempengaruhi langkah calon Presiden/Wakil Presiden melangkah
keputaran kedua pemilihan Presiden/Wakil Presiden atau
mempengaruhi calon terpilih menjadi Presiden/Wakil Presiden.
Hal itu terjadi karena adanya kekeliruan dalam penghitungan suara
hasil pemilu.
Yang dapat menjadi pemohon dalam perselisihan hasil
pemilu yaitu:
a) Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta
pemilu.
b) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilu;
c) Partai politik peserta pemilu.
Yang dapat menjadi termohon adalah Komisi Pemilihan
Umum dan meskipun asal perselisihan adalah di daerah pemilihan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
tertentu yang hasil perhitungan awal dilakukan oleh Panitia
Pemungutan Suara (PPS) yang kemudian direkapitulasi ke Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK) dan dilanjutkan ke KPU Kabupaten,
KPU tingkat provinsi dan penetapan hasil pemilihan umum secara
nasional dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat di
Jakarta.
Pada intinya permohonan perselisihan hasil pemilu
mengajukan dua hal pokok yaitu adanya kesalahan perhitungan
yang dilakukan oleh KPU dan hasil perhitungan yang benar
menurut pemohon. Dasar perhitungan pemohon harus didasarkan
pada alat-alat bukti yang dapat menunjukkan ketidakbenaran
perhitungan KPU. Dan berdasarkan hal tersebut pemohon meminta
agar Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil perhitungan suara
yang dumumkan KPU dan agar Mahkamah Konstitusi menetapkan
hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon (Pasal 75
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi).
5) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Maruara
Siahaan.2005:15).
5. Tinjauan mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
a. Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2
Undang-undang Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang
menjalankan fungsi peradilan, maka tata cara dan prosedur
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam ketentuan hukum acara, yaitu
hukum acara Mahkamah Konstitusi.
Eksistensi hukum acara sebagai hukum formil mempunyai
kedudukan penting dan strategis dalam upaya menegakkan hukum
materiel di lembaga peradilan. Sebagai hukum formil Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi berfungsi menegakkan, mempertahankan dan
menjamin ditaatinya hukum materiel Mahkamah Konstitusi dalam
lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, baik hukum materiel maupun hukum formil
Mahkamah Konstitusi, keduanya mempunyai hubungan yang erat satu
sama lain. Hukum materiel tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya
hukum formil, karena untuk tegaknya hukum materiel diperlukan
adanya hukum formil dan begitu pula sebaliknya. Peradilan tanpa
hukum materiel akan lumpuh, karena tidak tahu apa yang hendak
dijelmakan. Sebaliknya, peradilan tanpa hukum formil juga akan liar
karena tidak ada batas yang jelas dalam melakukan wewenang.
Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara, yaitu
“contentious procesrecht” dan “noncontentious procesrecht”.
Contentious procesrecht adalah hukum acara yang bersifat mengadili
dan menyelesaikan suatu sengketa, di mana sekurang-kurangnya
melibatkan dua pihak yang saling berlawanan. Sedangkan
noncontentious procesrecht atau disebut juga volluntaire procesrecht
adalah hukum acara yang di dalamnya tidak mengandung penyelesaian
suatu sengketa, oleh karena itu hanya melibatkan satu pihak saja yang
disebut pemohon. Untuk proses beracara di Mahkamah Konstitusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
selain digunakan hukum acara yang mengandung sengketa, juga
digunakan acara non sengketa yang bersifat volunteer (Bambang
Sutiyoso, 2006: 33).
b. Sumber hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Sumber hukum merupakan tempat dari mana materi hukum
tersebut diambil, yang merupakan faktor-faktor yang membantu
pembentukan hukum. Sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi
yang utama adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
khususnya pasal 24 C yang mengatur tentang kewenangan
Mahkamah Konstitusi.
2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
3) Peraturan mahkamah konstitusi Nomor 02/PMK/2003 tentang Tata
tertib persidangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
4) Peraturan mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang
pedoman beracara dalam perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
5) Peraturan Mahkamah konstitusi Nomor 05/PMK/2004 tentang
Prosedur Pengajuan keberatan atas Penetapan Hasil Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004
6) Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi
7) Doktrin para ahli hukum.
c. Asas-Asas hukum Mahkamah Konstitusi
Asas hukum merupakan pokok pikiran umum yang menjadi
latar belakang dari pengaturan hukum yang konkret (hukum positif).
Mengingat hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah aturan
hukum yang hendak menegakkan dan mempertahankan berlakunya
hukum materiel Mahkamah Konstitusi yang bersifat publik, maka pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
hakikatnya Hukum Acara Mahkamah Konstitusi juga tunduk pada
asas-asas hukum publik di samping asas-asas umum lainnya yang
berlaku dalam peradilan.
Beberapa asas-asas hukum acara Mahkamah Konstitusi yang
penting diantaranya adalah:
1) Asas independensi / Noninterfentif
Asas ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 2 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”.
2) Asas Praduga Rechmatige
Sebelum ada keputusan Mahkamah Konstitusi, objek yang menjadi
perkara misalnya permohonan untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang tersebut
harus selalu dianggap sah atau telah sesuai dengan hukum sebelum
putusan hakim konstitusi menyatakan sebaliknya. Konsekuensinya,
akibat putusan hakim konstitusi tersebut adalah “ex nunc”, yaitu
dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat
ketidaksahan undang-undang karena bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar, misalnya tidaklah berlaku surut namun sejak
pernyataan bertentangan oleh Mahkamah Konstitusi ke depan
(Bambang Sutiyoso, 2006 : 40).
3) Asas Sidang Terbuka untuk Umum
Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa :
“Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat
permusyawaratan hakim”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Dengan demikian persidangan yang dilakukan Mahkamah
Konstitusi dapat diakses oleh publik, dalam arti setiap orang boleh
hadir untuk mendengar dan menyaksikan jalannya persidangan.
Asas ini membuka “social control” dari masyarakat agar jalannya
persidangan berlangsung secara fair dan obyektif.
4) Asas Hakim Majelis
Asas ini ditegaskan dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa:
(1) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus
dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan)
orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah
Konstitusi.
(2) Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan
memimpin sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno
dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh
Anggota Mahkamah Konstitusi.
5) Asas Objektivitas
Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera
wajib mengundurkan diri apabila terkait hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai sederajat ketiga atau hubungan suami
atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat, atau
penasihat hukum atau antara hakim dan salah seorang hakim atau
panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan di
atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan
langsung atau tidak langsung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
6) Asas keaktifan hakim konstitusi (dominus litis)
Hakim konstitusi cukup berperan dalam melakukan penelusuran
dan eksplorasi untuk mendapatkan kebenaran melalui alat bukti
yang ada. Asas ini tercermin salah satunya dari asas pembuktian
yang menunjukkan bahwa hakim konstitusi dapat mencari
kebenaran material yang tidak terikat dalam menentukan atau
memberi penilaian terhadap kekuatan alat buktinya.
7) Asas pembuktian bebas
Asas ini diadopsi sepenuhnya dalam lembaga Mahkamah
Konstitusi untuk memberikan peluang kepada hakim konstitusi
untuk mencari kebenaran materiel melalui pembuktian bebas.
Dengan demikian, hakim konstitusi dapat leluasa untuk
menentukan alat bukti, termasuk alat bukti yang tergolong baru,
tidak dikenal dalam kelaziman hukum acara.
8) Asas Putusan berkekuatan hukum tetap dan bersifat final
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak
dimungkinkan untuk diajukan upaya hukum lebih lanjut, seperti
banding, kasasi dan seterusnya.
9) Asas putusan mengikat secara “Erga Omnes”
Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan
terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan Mahkamah
Konstitusi merupakan putusan yang tidak hanya mengikat para
pihak, tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes). Asas
ini tercermin dari ketentuan yang menyatakan bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi langsung dapat dilaksanakan dengan tidak
memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali
peraturan perundang-undangan mengatur lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
10) Asas sosialisasi
Hasil keputusan wajib diumumkan dan dilaporkan secara berkala
kepada masyarakat terbuka.
11) Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan
Untuk memenuhi harapan para pencari keadilan, maka
pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara
yang efisien dan efektif serta dengan biaya perkara yang dapat
terpikul oleh rakyat. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan
penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari
kebenaran dan keadilan.
d. Permohonan dalam hukum acara mahkamah konstitusi.
1) Persyaratan Pengajuan Permohonan
Bagi pihak-pihak yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar
dapat mengajukan perkaranya kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya, yaitu dengan
mengajukan permohonan sesuai lingkup permasalahannya. Dengan
demikian, diharapkan nantinya hak-hak konstitusional yang
bersangkutan dapat dipulihkan dan mendapatkan perlindungan
konstitusional secara memadai. Permohonan ini harus diajukan
secara tertulis sesuai aturan yang berlaku dalam Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi.
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
yang dimaksud dengan:
“Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis
kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:
a. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
b. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c. Pembubaran partai politik;
d. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2) Pihak-pihak yang berperkara dan legal standing
Pihak-pihak yang menganggap hak dan kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang dapat
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar dapat
diselesaikan sebagaimana mestinya. Pihak yang mengajukan
permohonan ini disebut dengan istilah pihak pemohon, sedangkan
pihak lawannya disebut pihak termohon.
Berdasarkan ketentuan pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, pihak-pihak yang memenuhi kapasitas
sebagai pemohon dalam hal ini adalah:
a) Perorangan warga Negara Indonesia;
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Repulik Indonesia yang diatur dalam Undang-
Undang;
c) Badan hukum publik atau privat; atau
d) Lembaga Negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Permohonan dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi diajukan
secara “legal standing”, yaitu apabila menganggap hak dan
kewenangan konstitusinya dirugikan oleh berlakunya Undang-
Undang. Pemohon memperoleh legal standing atau kedudukan/hak
gugat secara otomatis juga mewakili kepentingan orang lain yang
juga menganggap hak dan atau kewenangan konstitusinya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.
e. Alat bukti dan sistem pembuktian
1) Pengertian pembuktian
Pada hakikatnya yang diamksud dengan pembuktian adalah
penyajian alat-alat bukti kepada pihak lain untuk memberikan
kepastian atau keyakinan tentang kebenaran suatu peristiwa.
2) Alat-alat bukti
Ketentuan mengenai pembuktian yang berlaku di lingkungan
Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 36 sampai dengan pasal
38 undang-undang mahkamah konstitusi. Dilihat dari jenis alat-alat
buktinya, hukum acara mahkamah konstitusi sudah berupaya
mengakomodir kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat,
khususnya berkaitan dengan bukti-bukti elektronik.
Dalam pasal 36 ayat 1 disebutkan ada 6 macam alat bukti yang
dapat dipergunakan, yaitu:
a) Surat atau tulisan;
b) Keterangan saksi;
c) Keterangan ahli;
d) Keterangan para pihak;
e) Petunjuk; dan alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dkirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat pptik atau yang serupa dengan itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
3) Sistem pembuktian
Sistem pembuktian dalam persidangan di lingkungan Mahkamah
Konstitusi dalam rangka memperoleh kebenaran materiel.
Kebenaran materiel tidak semata-mata mendasarkan pada alat-alat
bukti semata tetapi juga mendasarkan pada keyakinan hakim.
f. Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam satu peradilan adalah merupakan perbuatan hakim
sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri
sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya (Maruarar Siahaan,
2005:193).
Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang
dihadapkan kepadanya maka putusan hakim itu merupakan tindakan
negara dimana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik
berdasar Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang.
1) Jenis-jenis Putusan
Jenis-jenis putusan yang dapat disimpulkan dari amarnya dapat
dibedakan antara lain:
a) Putusan yang bersifat declaratoir
Putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim
menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang
menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu
putusan yang bersifat declaratoir. Hakim dalam ini menyatakan
tuntutan atau permohonan tidak mempunyai dasar hukum
berdasar fakta-fakta yang ada.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian
Undang-Undang, sifat declaratoir ini sangat jelas dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
amarnya. Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi dikatakan bahwa:
“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud
ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang
yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945”.
b) Putusan constitutief
Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan satu
keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum atau
menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Dengan
sendirinya, putusan itu menciptakan satu keadaan hukum yang
baru. Putusan tentang pembubaran partai politik dan putusan
tentang sengketa hasil pemilu yang menyatakan perhitungan
KPU salah dan menetapkan perhitungan suara yang benar,
tentu meniadakan satu keadaan hukum yang baru dan
mengakibatkan lahirnya keadaan hukum yang baru.
c) Putusan condemnatoir
Satu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut
berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk
melakukan satu prestasi. Hal ini timbul karena adanya
perikatan yang didasarkan pada perjanjian atau Undang-
Undang, misalnya untuk membayar sejumlah uang atau
melakukan atau tidak melakukan satu perbuatan tertentu.
Akibat dari satu putusan condemnatoir ialah diberikannya hak
pada penggugat/ pemohon untuk meminta tindakan
eksekutorial terhadap tergugat/termohon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
2) Rapat Permusyawaratan Hakim
Setelah pemeriksaan persidangan selesai, hakim Mahkamah
Konstitusi akan melakukan musyawarah untuk mengambil sikap
apakah akan mengabulkan permohonan, menolak atau menyatakan
tidak dapat diterima.
Rapat permusyawaratan hakim untuk pengambilan putusan akhir
dalam sengketa yang dihadapkan kepadanya harus memenuhi
kuorum sekurang-kurangnya 7(tujuh) orang hakim.
3) Susunan dan isi putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi sama dengan putusan
pengadilan pada umumnya. Pertama-tama harus membuat irah-irah
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Putusan harus didasarkan atas minimal 2 alat bukti (Maruarar
Siahaan, 2005:202).
Keyakinan hakim didasarkan atas minimal 2 alat bukti sebagai
dasar pengambilan putusan yang mengingatkan kembali pada sifat
hukum publik dari perkara konstitusi.
Tugas hakim adalah mencari kebenaran materiel yang harus
diyakini telah dapat dibuktikan berdasar bukti yang diajukan
kehadapannya.
Syarat bentuk dan isi putusan Mahkamah Konstitusi diatur dalam
pasal 48 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang kemudian
diperjelas dalam pasal 30 PMK Nomor 01 tahun 2005. syarat
putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat antara lain:
a) Identitas pihak;
b) Ringkasan permohonan;
c) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam
persidangan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
d) Amar putusan; dan
e) Hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim
konstitusi serta panitera;
f) Pendapat berbeda dari hakim.
Syarat tentang bentuk dan isi putusan yang disebut ini apabila
dilanggar mempunyai akibat hukum tertentu. Akibat hukumnya
tidak selalu sama. Ada beberapa syarat yang apabila dilanggar akan
menimbulkan kebatalan (nietigheid) sedang pelanggaran atas
syarat lain yang ditentukan tidak menyebabkan putusan null and
void.
4) Kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang
terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan yaitu:
a) Kekuatan Mengikat
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara
konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final. Itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan
tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
b) Kekuatan Pembuktian
Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
menentukan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian
dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan
untuk diuji kembali. Dengan demikian adanya putusan Mahkamah
Konstitusi yang telah menguji satu undang-undang, merupakan alat
alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh satu
kekuatan pasti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
c) Kekuatan Eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka
harus segera dilaksanakan dalam hal ini eksekusi putusan harus
dilaksanakan dan tidak dikenal adany peninjauan kembali (PK)
dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi.
5) Akibat Hukum Putusan
Mahkamah konstitusi sebagai negative legislator, boleh
jadi mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya. Tetapi
juga ada kemungkinan bahwa permohonan dinyatakan tidak
diterima karena tidak memenuhi syarat formal yang diharuskan.
Putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan satu keadaan hukum
atau menciptakaan hak atau kewenangan tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran diatas mencoba memberikan gambaran
selengkapnya mengenai alur berfikir dalam menemukan jawaban dari
permasalahan yang menjadi bahan penelitian mengenai analisis putusan
hakim mahkamah konstitusi terhadap sengketa penggelembungan daftar
pemilih tetap pada pemilihan presiden tahun 2009 (studi kasus terhadap
Putusan Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009).
Pasal 6A ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Dugaan Penggelembungan
Daftar Pemilih Tetap
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Seperti yang diamanatkan dalam pasal Pasal 6A ayat 1 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat”. Hal
tersebut diwujudkan dalam pemilu Presiden tahun 2009.
Pemilihan umum secara langsung merupakan sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dalam pemilu presiden tahun 2009 yang telah dilaksanakan diduga
terjadi masalah berupa penggelembungan daftar pemilih tetap oleh KPU yang
akhirnya memenangkan salah satu calon presiden dan calon wakil presiden.
Hal tersebut tidak bisa diterima oleh dua pasangan presiden dan wakil
presiden yang lain sehingga kedua calon yang merasa dirugikan mengajukan
gugatan melalui Mahkamah Konstitusi.
Apabila ditelusuri lebih jauh bahwasannya persoalan penggelembungan
DPT bukan merupakan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU). Sesuai dengan
Pasal 258 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang
menyebutkan PHPU merupakan penetapan suara hasil pemilu secara nasional
sehingga menurut penulis sengketa Penggelembungan DPT lebih condong
terhadap pelanggaran administratif. Untuk itu, Mahkamah Konstitusi tidak
mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa tersebut.
Sengketa pemilu yang terjadi telah dianggap selesai dengan keluarnya
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108-109/PHPU.B-VII/2009 yang
memenangkan SBY – Boediono sebagai Presiden dan wakil Presiden yang
sah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
BAB III
PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor yang Menjadi Dasar Hukum dan Dasar Pertimbangan
Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Sengketa
Penggelembungan DPT.
1. Faktor-faktor yang menjadi Dasar Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi
Penggolongan Pelanggaran Pemilu yang termasuk dalam PHPU
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu secara garis besar
mengkategorikan bentuk pelanggaran yang dapat terjadi di dalam
penyelenggaraan pemilu menjadi (http://www.reformasihukum.
org/.file/kajian/PelanggaranPemilu diakses tanggal 17 Juli 2010 jam
21.25):
a. Pelanggaran Administrasi
Pasal 248 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang
Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran
administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu yang tidak termasuk dalam
ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam
Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran,
kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam
kategori pelanggaran administrasi.
Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya: tidak
memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan
fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk
berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye,
pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
b. Tindak Pidana Pemilu
Pasal 252 Undang-Undang tentang Pemilu mengatur tentang
tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung
unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam
Undang-Undang tentang Pemilu diancam dengan sanksi pidana
Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja
menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain
memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana
pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu
dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan.
c. Perselisihan Hasil Pemilu
Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut
pasal 258 Undang-Undang tentang Pemilu adalah perselisihan antara
KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara
hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara
sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan
perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta
pemilu.
Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara
diselesaikan melalui peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Pasal 258 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum telah disebutkan bahwa:
1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan
Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu
secara nasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan
penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan
kursi Peserta Pemilu.
Dengan adanya penjelasan dari Pasal 258 tersebut telah jelas
bahwa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bukan
merupakan sengketa PHPU sehingga Mahkamah Konstitusi tidak
berwenang untuk menangani sengketa Penggelembungan DPT
tersebut.
2. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi
Suatu Putusan Mahkamah Konstitusi banyak faktor yang
melatarbelakangi dasar pertimbangan Hakim Konstitusi karena Putusan
Mahkamah Konstitusi tidak hanya melihat faktor teknis yang terjadi di
lapangan tetapi Hakim Pleno dalam memutus juga mempertimbangkan
faktor keadilan. Hal tersebut terkait dengan Hak konstitusional warga
Negara. Untuk itu, penulis akan menganalisa permasalahan yang terjadi
dalam pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Sesuai dengan yang tercantum dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009 dibagi 2 yaitu Masalah yang
bersifat kualitatif dan masalah yang bersifat kuantitatif.
Masalah yang Bersifat Kualitatif yaitu masalah yang berkaitan
dengan masalah teknis tetapi tidak berpengaruh terhadap perolehan suara
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi :
a. Bantuan International Foundation for Electoral Systems (IFES)
yang dinilai sebagai campur tangan pihak asing
Bantuan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, setidak-tidaknya
sejak berlangsungnya Pemilu di era reformasi (Pemilu 1999 dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Pemilu 2004), misalnya terdapat bantuan untuk pendidikan
pemilih, bantuan teknologi, dan sebagainya. Memang belum
terdapat bukti-bukti bahwa bantuan pihak asing tersebut
merupakan manifestasi adanya campur tangan pihak asing dalam
penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, namun seyogyanya di masa
depan bantuan pihak asing tersebut dihindari agar tidak
menimbulkan kecurigaan dan mengganggu netralitas penyelenggara
Pemilu.
b. Penghapusan atau pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS)
Pengurangan atau penghilangan jumlah TPS yang dilakukan
oleh Termohon adalah untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 yang dalam Pasal 150 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 ditentukan bahwa pemilih untuk
setiap TPS paling banyak 500 orang, sedangkan dalam Pasal 113
ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 ditentukan pemilih
untuk setiap TPS paling banyak 800 orang.
Mengenai penambahan data pemilih yang tentu saja
memengaruhi jumlah TPS adalah suatu kenyataan karena berdasarkan
ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan data kependudukan
dan sudah harus diserahkan kepada Termohon paling lambat 12
bulan sebelum hari dan tanggal pemungutan suara. Selanjutnya, sesuai
dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008,
DPT dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dijadikan Daftar Pemilih Sementara (DPS) dalam Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden.
Pengurangan jumlah TPS yang dilakukan oleh Termohon tidak
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, oleh karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang tersebut di atas,
yang kemudian ditindaklanjuti oleh Termohon melalui Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman
Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat
Pemungutan Suara dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009, yang dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) menentukan:
1) Jumlah Pemilih untuk tiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus)
orang.
2) Dalam menentukan jumlah pemilih untuk setiap TPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), agar pelaksanaan pemungutan suara dan
penghitungan suara di TPS dapat diselesaikan pada hari dan
tanggal yang sama, KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS harus
memperhatikan prinsip partisipasi masyarakat, yaitu:
a) tidak menggabungkan desa/kelurahan;
b) memudahkan pemilih;
c) memperhatikan aspek geografis;
d) batas waktu yang disediakan untuk pemungutan suara; dan
e) jarak tempuh menuju TPS;
3) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditentukan
lokasinya tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh
penyandang cacat dan menjamin setiap pemilih dapat memberikan
suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.
Jumlah riil seluruh TPS sesungguhnya secara nyata sudah
diketahui oleh para Pemohon dengan bukti adanya saksi-saksi
Pemohon di setiap TPS yang menandatangani formulir yang telah
ditentukan.
Seandainya pun benar terjadi “penghilangan jumlah TPS”
sebanyak 69.000 TPS menurut Pemohon I atau 68.918 TPS menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Pemohon II, quod non, hal demikian tidak akan secara serta merta
menguntungkan salah satu pasangan calon, sehingga tidak dapat
diklaim sebagai merugikan pasangan calon lainnya. Mahkamah
menilai, sangat tidak rasional jika 69.000 TPS dikalikan dengan 500
orang jumlah pemilih yang kemudian 70% suara pemilihnya diakui
sebagai perolehan suara Pemohon I. Adapun terkait istilah “pemilih
pemohon” yang didalilkan Pemohon II dianggap sebagai kader
partai Pemohon II yang hanya karena memiliki Kartu Tanda Anggota
(KTA) partai atau menjadi anggota tim sukses atau simpatisan partai,
hal tersebut hanya bersifat hipotetis atau asumtif belaka, sebab pada
saat pencontrengan setiap pemilih tetap memilih secara bebas dan
rahasia. Selain itu, Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat
membuktikan bahwa dengan dikuranginya jumlah TPS menyebabkan
hilangnya suara pemilih. Apalagi Termohon dapat membuktikan
bahwa semua pemilih sudah disalurkan ke TPS-TPS baru melalui
regrouping yang sah.
c. Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Penyusunan daftar pemilih adalah suatu tahapan Pemilu yang
merupakan administrasi Pemilu yang kompleks dan seringkali
kontroversial, padahal merupakan tahapan Pemilu yang sangat
menentukan tahapan-tahapan Pemilu selanjutnya. Kehendak agar
semua pemilih harus didaftar dalam daftar pemilih adalah tujuan yang
ideal.
Namun, adanya perpindahan alami para pemilih, luasnya
sebaran daerah pemilihan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi
geografis, dan penyebaran tempat pemungutan suara yang tidak
merata di suatu daerah, juga menjadi sebab dibutuhkannya pembaruan
data kependudukan dalam daftar pemilih secara terus-menerus. Oleh
karenanya, hal tersebut dipandang memberi akses bagi kerumitan
dalam penyusunan administrasi daftar pemilih, proses yang memakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
waktu lama, dan biaya mahal, sehingga Penyelenggara Pemilu
diharapkan memiliki kemampuan memadai untuk mengakomodasi
secara adil tuntutan para peserta Pemilu.
d. Pelanggaran Pemilu lainnya.
Secara kualitatif Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009
memang masih banyak kelemahan, kekurangan, dan
ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:
1) Kelemahan dalam Undang-Undang yang mengatur Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden (Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008)
2) Kelemahan KPU sebagai penyelenggara Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden yang mudah dipengaruhi oleh berbagai tekanan
publik, termasuk oleh para peserta Pemilu, sehingga terkesan
kurang kompeten dan kurang profesional, serta kurang menjaga
citra independensi dan netralitasnya.
3) Masalah kesadaran hukum warga negara untuk menggunakan hak
pilihnya, termasuk mengurus terdaftar tidaknya dalam DPS dan
DPT, sehingga jumlah warga negara yang mempunyai hak pilih
dan bahkan terdaftar dalam DPT namun tidak menggunakan hak
pilihnya masih cukup banyak.
4) Budaya “siap menang dan siap kalah” dalam Pemilu secara
elegan belum dihayati oleh Peserta Pemilu beserta para
pendukungnya.
Masalah yang Bersifat Kuantitatif yaitu masalah yang berkaitan
dengan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
meliputi :
a. Penggelembungan suara.
b. Pengurangan suara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Tidak hanya faktor teknis yang tersebut tetapi dasar pertimbangan
hakim yang didasarkan pada faktor prosedur yang dilaksanakan oleh KPU.
Faktor prosedur tersebut tertuang dalam keberatan yang didalilkan
pemohon. Keberatan para Pemohon tentang Daftar Pemilih Tetap
(DPT) dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, pada
dasarnya didalilkan oleh masing-masing Pemohon dengan data yang
berbeda-beda antara Pemohon I dan Pemohon II yang meliputi,
antara lain, tidak dipatuhinya tenggat waktu penetapan DPT; pemilih
dengan NIK ganda; nama dan NIK yang ganda; serta nama, alamat,
tanggal lahir dan NIK ganda. Selain itu, Pemohon juga mendalilkan
adanya perbedaan soft copy DPT yang diberikan kepada peserta
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan yang dimiliki oleh
Termohon sehingga para Pemohon menyimpulkan bahwa Pemilu telah
dilaksanakan tanpa DPT atau setidak-tidaknya menggunakan DPT yang
tidak sah menurut hukum. Mahkamah berpendapat, sebelum keberatan ini
dipertimbangkan secara komprehensif, terlebih dahulu Mahkamah akan
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. Keberadaan DPT yang akurat memang merupakan prasyarat
berlangsungnya pemilihan umum secara transparan dan adil yang
dapat digunakan sebagai alat kontrol terhadap kemungkinan
penambahan atau pengurangan perolehan suara secara tidak sah untuk
peserta pemilihan umum oleh pihak penyelenggara. Hal tersebut
dapat merugikan salah satu peserta, sehingga tujuan pemilihan umum
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat tidak
tercapai dan proses prosedur demokrasi untuk memperoleh
pemimpin yang sesungguhnya diberi mandat oleh rakyat tidak
mengalami distorsi dan pembelokan kehendak rakyat.
b. DPT untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) oleh
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, justru didasarkan pada
Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Legislatif yang dijadikan
sebagai Daftar Pemilih Sementara Pilpres dengan kewajiban bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan PPS untuk
memutakhirkan DPS tersebut setelah mendapat masukan dan
tanggapan dari masyarakat, setelah itu KPU Kabupaten/Kota, KPU
Provinsi, dan KPU melakukan rekapitulasi DPT tersebut (vide Pasal
29 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008), yang
kemudian ditetapkan sebagai DPT 30 hari sebelum pelaksanaan
pemungutan suara Presiden dan Wakil Presiden.
c. Pencantuman nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir,
jenis kelamin, dan alamat warga negara Indonesia sebagai syarat
minimum dimasukkannya pemilih dalam daftar pemilih, didasarkan
pada data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih
yang disediakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, paling
lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari atau tanggal pemungutan
suara (vide Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008). Data tersebut kemudian dimutakhirkan oleh KPU
Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh PPS, dan PPS dibantu pula oleh
petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri dari perangkat
desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga dan warga
masyarakat. Atas dasar pemutakhiran tersebut, kemudian ditetapkan
daftar pemilih sementara yang disusun PPS atas dasar data berbasis
rukun tetangga yang diumumkan selama tujuh hari untuk
mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat dan peserta
Pemilu. Setelah mendapat masukan dan tanggapan melalui proses
pengumuman, DPS hasil perbaikan tersebut kemudian disampaikan
oleh PPS kepada KPU Kabupaten/Kota melalui PPK untuk
melakukan penyusunan DPT (vide Pasal 34 sampai dengan Pasal
37 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 juncto Pasal 29 dan
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008).
d. Proses panjang penetapan DPT Pilpres yang menggunakan DPT
Pemilu legislatif sebagai daftar pemilihan sementara untuk
diproses menjadi DPT Pilpres, ternyata mengalami banyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
kekurangan. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor
Urut 1 dan Nomor Urut 3 menyatakan keberatan dan telah
mempermasalahkan adanya nama-nama dan NIK ganda serta NIK
fiktif; bahkan menyatakan bahwa Termohon tidak melakukan
pemutakhiran data yang dipandang merupakan pelanggaran hukum
yang sistemik dan masif, sehingga menghilangkan hak pilih warga
negara dan menyebabkan Pilpres telah berlangsung tanpa DPT. Semua
hal ini tidak dapat dinilai hanya pada proses penetapan DPT Pilpres,
karena DPT dalam Pilpres tersebut sangat berkaitan erat dengan
syarat dan proses yang terjadi dalam penetapan DPT Pemilu
Legislatif yang oleh Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 disyaratkan bahwa data daftar pemilih dimaksud sekurang-
kurangnya atau minimal harus memuat 5 (lima) unsur, dan salah satu
di antaranya adalah nomor induk kependudukan.
e. Sistem manajemen kependudukan di Indonesia sampai sekarang belum
tertib. Untuk memperbaikinya maka pada tahun 1996 dibentuk Sistem
Manajemen Kependudukan di Departemen Dalam Negeri yang
selanjutnya ditangani oleh berbagai lembaga yang silih berganti
dan berupaya mengharuskan penggunaan data kependudukan. Sesuai
dengan keterangan Ahli Abdul Rasyid Sholeh (Dirjen Administrasi
Kependudukan, Departemen Dalam Negeri), manajemen
kependudukan tersebut kemudian ditangani oleh Direktorat Jenderal
Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri. Dalam
rangka menata manajemen kependudukan tersebut, Pemerintah telah
mengupayakan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4674) yang diundangkan pada tanggal 29
Desember 2006, selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006, yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan penataan dan
penertiban dokumen dan data kependudukan yang mengharuskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
adanya Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai nomor identitas
kependudukan bagi setiap warga negara Indonesia yang bersifat
unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar
sebagai penduduk Indonesia. Pasal 101 huruf a Undang-Undang a
quo memberi tenggat lima tahun kepada Pemerintah untuk
memberikan NIK kepada setiap penduduk, dengan kewajiban bagi
semua instansi menjadikannya sebagai dasar dalam penerbitan
dokumen-dokumen kependudukan, surat izin mengemudi, paspor,
sertifikat hak atas tanah, dan dokumen-dokumen lain, serta kemudian
juga dijadikan sebagai dasar untuk menyusun data daftar pemilih dalam
Pemilu yang harus memuat NIK tersebut.
f. Dengan jarak waktu yang sedemikian singkat antara
diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan
penetapan DPS yang dimutakhirkan menjadi DPT, maka menurut
Dirjen Administrasi Kependudukan, dengan kondisi wilayah seperti
Indonesia, menjadi sangat beresiko untuk mensyaratkannya sebagai
salah satu data daftar pemilih dalam Pemilu 2009. Alasannya, data
kependudukan yang dimiliki Pemerintah Daerah di tingkat
Kabupaten/Kota untuk diberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
secara tunggal dan nasional tidak dapat dengan mudah diselesaikan
dalam jangka waktu tersebut. Bahkan Ahli telah mengingatkan
adalah berbahaya jika hanya dengan tenggang waktu lima bulan DPT
ditetapkan pada bulan Oktober dan Hari H Pemilu pada bulan April
2009, karena masih banyak celah yang ditemukan dalam Undang-
Undang. Hal tersebut telah disampaikan kepada Pansus Rancangan
Undang-Undang Pemilu legislatif, akan tetapi Pansus tersebut
mengabaikannya. Dalam masa yang singkat, pada kenyataannya
penduduk yang memiliki NIK belum merata, meskipun data jumlah
penduduk, nama dan alamat, serta tanggal lahir disediakan oleh
Pemerintah Daerah, sehingga ditentukannya daftar pemilih dalam
Pemilu harus memuat NIK sebagai salah satu dari lima data yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
dipersyaratkan, sudah diperkirakan akan membawa masalah. Oleh
karena itu, dengan sistem manajemen kependudukan yang masih belum
tertib, sejak awal sudah seharusnya dipertimbangkan tentang sulitnya
untuk mencapai tingkat akurasi DPT secara nasional yang tinggi tanpa
menimbulkan kecurigaan dari peserta pemilihan umum terhadap
penyelenggara dan pihak lainnya, dan mempertimbangkan jangka
waktu yang lebih panjang dengan menggunakan metode yang
pernah ditempuh pada Pemilu tahun 2004.
3. Dasar Hukum Pengaturan DPT berdasarkan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008
Pengaturan DPT untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diatur
dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 29
1) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS menggunakan
Daftar Pemilih Tetap pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai Daftar Pemilih Sementara
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
2) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS memutakhirkan
Daftar Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
3) Daftar Pemilih Sementara hasil pemutakhiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, KPU
kabupaten/kota, dan PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan
dari masyarakat selama 7 (tujuh) hari.
4) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS memperbaiki
Daftar Pemilih Sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan selanjutnya
menetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap paling lama 7 (tujuh) hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
5) Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus
sudah ditetapkan 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan
pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemutakhiran, pengumuman,
perbaikan Daftar Pemilih Sementara dan penetapan Daftar Pemilih
Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diatur dalam peraturan KPU.
Pasal 30
1) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap di
kabupaten/kota.
2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap di
provinsi.
3) KPU melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Pemilih luar negeri
dan Pemilih secara nasional.
Pasal 31
1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyusunan
Daftar Pemilih Sementara, pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara,
penyusunan Daftar Pemilih Tetap, Daftar Pemilih Tambahan, dan
rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap yang dilaksanakan oleh KPU,
KPU provinsi, KPU kabupaten/kota.
2) Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas
pelaksanaan penyusunan Daftar Pemilih Sementara, pemutakhiran
Daftar Pemilih Sementara, penyusunan Daftar Pemilih Tetap,
Daftar Pemilih Tambahan, dan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap
luar negeri yang dilaksanakan oleh PPLN.
Pasal 32
1) Dalam hal pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPLN yang merugikan Warga
Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, Bawaslu, Panwaslu
provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, dan Pengawas Pemilu Luar
Negeri menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota.
2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN
wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu
kabupaten/kota, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
B. Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara
Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum (PHPU))
Sebelum masuk kedalam substansi pokok, yaitu analisis terhadap
putusan Mahkamah Konstitusi, penulis akan sedikit menguraikan kembali
tentang wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, latar belakang
dalam permohonan Penggelembungan DPT dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden serta dictum Mahkamah Konstitusi.
Dibawah ini akan disajikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
NOMOR 108-109/PHPU.B-VII/2009 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Calon Presiden dan Wakil Presiden:
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Bahwa Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum”
Bahwa ketentuan Pasal di atas, dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal
10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Menurut Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi :
”Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi
mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan meteri
permohonan”.
Dalam pemeriksaan pendahuluan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi tersebut, majelis Hakim harus melakukan
pertimbangan hukum mengenai:
a. Apakah Mahkamah konstitusi berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus permohonan perkara Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009?
b. Apakah pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan perkara Nomor 108-109/PHPU.B-
VII/2009?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, menyebutkan:
”Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a. Perorangan warga negara indonesia
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga Negara”.
Berdasar Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi tersebut, terdapat 2 kriteria yang harus
dipenuhi oleh pemohon agar memiliki kedudukan hukum (legal standing),
yaitu:
a. Kualifikasi pemohon apakah sebagai perorangan warga negara
indonesi (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan-
kepentingan yang sama), kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara.
b. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian, terdapat hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan.
Jika merujuk pada Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dengan
demikian pemohon yang terdiri dari H.M. Jusuf Kalla dan H. Wiranto SH.
selaku pemohon I dan Hj. Diah Permata Megawati Setiawati
Soekarnoputri dan H. Prabowo Subianto selaku pemohon II sudah
memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon. Hal
tersebut dikarenakan masing-masing pemohon adalah pasangan calon
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum presiden dan wakil
presiden.
3. Pokok Perkara Permohonan
Pada dasarnya, permasalahan yang begitu menonjol dalam
pelaksanaan Pemilu Presiden sangat kompleks tetapi dalam gugatan
pemohon lebih cenderung terhadap hasil penghitungan suara yang
mendasari permasalahan tersebut yaitu jumlah daftar pemilih tetap yang
ditentukan oleh KPU. “Dalam gugatan, pemohon mendalilkan bahwa KPU
telah menghilangkan 69.000 TPS yang menurut pemohon akan
menguntungkan salah satu calon capres dan menghilangkan suara yang
seharusnya jadi suara pemohon padahal dari 69.000 TPS dikalikan dengan
500 orang jumlah pemilih yang kemudian 70% suara pemilih diakui
sebagai perolehan suara pemohon I” (http://mampus.wordpress.com
diakses tgl 1 Oktober 2010 jam 19.35).
Berdasarkan uraian pelanggaran yang dilakukan Termohon (KPU)
yang telah merugikan Pemohon sehingga seharusnya suara yang diperoleh
pemohon adalah sebagai berikut:
a. Suara Pemohon versi Termohon yaitu sebesar 15.081.814 suara
b. Kehilangan suara Pemohon akibat pengurangan TPS adalah sebesar
24.150.000 suara.
Total Perolehan suara Pemohon adalah sebesar 15.081.814
ditambah 24.150.000 sama dengan 39.231.814
Data perolehan hasil rekapitulasi penghitungan suara masing-
masing Calon adalah (http://www.kpud-diyprov.go.id diakses tanggal 1
Oktober 2010 jam 05.30):
a. Pasangan Capres/Cawapres Megawati-Prabowo 32.548.105 suara sah
secara nasional atau (26,79 %)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
b. Pasangan Capres/Cawapres SBY-Budiono : 73.874.562 suara sah
secara nasional atau (60,80%)
c. Pasangan Capres/Cawapres JK-Wiranto : 15.081.814 suara atau
(12,41%) suara sah secara nasional.
4. Amar Putusan
Dengan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4316);
Mengadili,
Dalam Eksepsi:
Menyatakan Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak dapat
diterima.
Dalam Pokok Perkara:
Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk
seluruhnya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang
dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Selasa tanggal sebelas
bulan Agustus tahun dua ribu sembilan, dan diucapkan dalam Sidang
Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal
dua belas bulan Agustus tahun dua ribu sembilan, oleh kami Moh. Mahfud
MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Abdul Mukthie Fadjar, M.
Arsyad Sanusi, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Maruarar
Siahaan, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai
Anggota, dengan dibantu oleh Makhfud, Cholidin Nasir, Luthfi Widagdo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Eddyono, Yunita Ramadhani, Mardian Wibowo, dan Pan Mohamad Faiz
sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya,
Termohon/kuasanya, dan Pihak Terkait/kuasanya
Dalam jurnal internasional dibawah ini telah dijelaskan bahwa
pentingnya Daftar Pemilih Tetap dalam suatu pelaksanaan pemilihan
umum baik pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan
Umum Anggota Legislatif maupum Pemilu Kepala Daerah karena dengan
DPT menunjukkan adanya keabsahan pemilihan umum dan apabila terjadi
kesalahan dapat terjadi pengulangan Pemilu.
“Jurisdiction in electoral matters (Wahlgerichtsbarkeit) @austria (Art. 141
B-VG)
In a democratic state it must be possible to examine the legitimacy of
elections. Therefore, all important elections, referenda, consultative
referenda or people's initiatives can be challenged at the Constitutional
Court. An illegality in the electoral process can result in the annulment and
repetition of the entire election or part of the election. However, this is
only the case if the illegality could have influenced the results of the
election. The Constitutional Court also determines whether or not a person
should lose a seat he has already acquired (such as a seat in the National
Council)” (http://www.vfgh.gv.at/cms/vfgh-site/english/index.html diakses
tanggal 1 Oktober 2010 Jam 10.05).
Kewenangan Mahkamah Konstitusi di beberapa Negara di Eropa
seperti Perancis dan Spanyol yang terkait dengan sengketa Pemilu yang
telah dijelaskan dalam jurnal internasional beikut :
“Both France in 1958 and Spain in 1978 empowered the Constitutional
Council and the Constitutional Court to solve all the disputes derived from
parliamentary elections in a definitive way. Besides, France empowered
the Constitutional Council to solve appeals derived from presidential
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
elections in a combined system which authorizes administrative courts to
solve electoral disputes in a preliminary way. It must be said that Spain
does not recognize any jurisdiction as independent from the judiciary
power to solve electoral disputes” (http://aceproject.org/ace-
en/topics/lf/lfb/lfb12/lfb12a/lfb12a04 diakses tanggal 22 Agustus 2010
Jam 23.00 ).
ANALISIS
Pada dasarnya, Mahkamah Konstitusi dalam memutus suatu perkara
yang diajukan pemohon begitu banyak pertimbangan yang dilakukan oleh
Hakim Konstitusi sehingga tidak ada pihak yang dirugikan hak konstitusional
seperti dalam sengketa Penggelembungan DPT Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden. Dalam memutus sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU)
Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi mendasarkan putusan
kepada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tersebut, antara lain Putusan Nomor 49/PHPU.D-VI/2008
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten
Tapanuli Utara juncto Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/ 2008 tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur yang
dalam pertimbangan hukumnya halaman 129 berbunyi:
“Menimbang bahwa dalam memutus perselisihan hasil pemilukada,
Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang
sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan
dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan,
sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis-matematis sebenarnya
bisa dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah
pengawasan Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh
pengadilan biasa, Oleh sebab itu, Mahkamah memahami bahwa meskipun
menurut undang-undang, yang dapat diadili oleh Mahkamah adalah hasil
penghitungan suara, namun pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
terjadinya hasil penghitungan suara yang kemudian dipersengketakan itu harus
pula dinilai untuk menegakkan keadilan”
Dengan demikian meskipun pertimbangan hukum di atas merupakan
pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), maka di samping Pemilukada
sama-sama rezim Pemilu dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
Mahkamah harus konsisten terhadap pertimbangan hukum tersebut dalam
memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Hal tersebut guna merujuk pada asas kepastian hukum. Disamping itu,
Mahkamah juga harus memberikan rasa keadilan bagi para calon pasangan
sehingga tidak ada pihak yang dirugikan setelah adanya putusan tersebut.
Dengan begitu, Mahkamah juga melindungi hak konstitusional para pasangan
calon dengan kata lain sesuai dengan asas perlindungan Hak Asasi Manusia.
Apabila melihat Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-
109/PHPU.B-VII/2009 maka segala aspek yang harus diterapkan dalam
sebuah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi telah dilaksanakan dengan baik.
Misalnya, Pemohon telah mempunyai kedudukan hukum (legal standing), dan
hakim Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan dengan berpedoman
pada Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Menurut penulis bahwa KPU yang dalam hal ini sebagai termohon
telah melaksanakan tugas dan wewenangnya. KPU juga telah menjalankan
tugas dan wewenangnya sesuai dengan prosedur yang telah diamanatkan
Undang-Undang sehingga dalil gugatan pemohon memang sepantasnya untuk
ditolak secara keseluruhan (Amar Putusan Nomor 108-109/PHPU.B-
VII/2009) karena gugatan pemohon tidak disertai dengan alat bukti dan saksi-
saksi yang kuat.
Selain itu, alasan Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pemohon
karena pemohon tidak mengajukan permohonan mengenai penetapan hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
suara tetapi pemohon mendalilkan tentang pelanggaran-pelanggaran pidana
dan administrasi yang seharusnya bukan menjadi kewenangan dari mahkamah
konstitusi.
Di sisi lain, dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009 termohon telah malaksanakan prosedur yang berlaku
yang termasuk dalam asas Pemilu sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu
yaitu:
a. Asas Kepastian Hukum
Keberatannya terlebih dahulu menjelaskan mengenai kronologis
peristiwa hukum terjadinya perselisihan dan/atau sengketa hasil
penghitungan suara dan ilustrasi mengenai indikasi terjadinya kesalahan
dan/atau kecurangan hasil penghitungan suara pada tahapan, sejak dari
tahapan pendataan daftar pemilih, pemungutan suara dan penghitungan
suara di setiap tingkatan penghitungan suara yang dipenuhi hal-hal yang
kontroversial, tidak netral dan bertentangan dengan prinsip due process
of law dan merupakan pengingkaran terhadap fair proceeding yang jelas
melawan hukum.
b. Asas Keterbukaan
Termohon telah memberikan data yang konkrit dalam pencetakan
DPT sehingga pemilih maupun calon presiden dan wakil presiden dapat
mengetahui langsung pemutakhiran DPT.
c. Asas Profesionalitas
Termohon telah bertindak secara profesional karena bekerja secara
independen tanpa ada pihak lain yang mempengaruhinya. Apabila dalam
pelaksanaan teknis masih terjadi penggelembungan suara dan
kekurangsesuaian dalam pemutakhiran DPT bukan sepenuhnya kesalahan
dari KPU.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Penggelembungan Suara
Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-
VII/2009 telah disebutkan bahwa termohon tidak melakukan
penggelembungan suara terhadap calon nomor urut 2 yaitu Susilo Bambang
Yudhoyono-Budiono sebesar 25.303.054 sehingga dari suara fiktif tersebut
dinilai merugikan pasangan calon lain.
Menurut penulis, sesuai data yang tersirat dalam Putusan maka apabila
ada penggelembungan suara (terdapat selisih dalam penghitungan suara)
dalam Pilpres seharusnya saksi tidak akan menandatangani berita acara
penghitungan suara dan pemungutan suara (Pasal 47 ayat (3) Peraturan KPU
Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan
Suara dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009).
Dalam hal ini, penulis juga ingin menjelaskan kenapa sengketa DPT
pemilu Presiden dan Wakil Presiden dimasukkan dalam ruang lingkup PHPU?
Padahal, secara garis ruang lingkup PHPU sendiri haruslah berkaitan dengan
hasil penghitungan suara. Hal tersebut dikarenakan sengketa DPT
berpengaruh pada hasil pemungutan suara di tingkat TPS. Sebagai
gambarannya, apabila seorang pemilih tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih
Tetap (DPT) dalam TPS maka calon presiden akan kehilangan satu suara.
Tetapi hal itu tidak serta merta dijadikan alasan yang kuat karena masih
banyak data pendukung (contoh: terdapat suara fiktif seperti yang dijelaskan
dalam gugatan pemohon, banyaknya daftar pemilih ganda dan bukti-bukti lain
yang dapat mempengaruhi hasil penghitungan suara masing-masing calon).
Untuk itu, penulis mencoba memberikan strategi untuk mengetahui ada
atau tidaknya penggelembungan suara dalam Pemilu Presiden
(www.kompasiana.com diakses tanggal 9 Oktober 2010 jam 17.10):
a. Hasil rekapitulasi nasional harus bisa di breakdown sampai ke level TPS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
b. Setiap tim pemenang pasangan capres & cawapres memiliki bukti
Rekapitulasi Suara setiap TPS serta Daftar Hadir yang sudah
ditandantangani oleh para saksi dari tim pemenang pasangan capres &
cawapres lainnya.
c. Usaha untuk mencocokkan rekapitulasi perhitungan suara setiap TPS versi
breakdown dengan versi bukti otentik yang dimiliki.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis
paparkan pada bab sebelumnya yang mengacu pada rumusan masalah, maka
penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya, Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT)
bukan merupakan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) karena
sengketa Penggelembungan DPT tersebut lebih cenderung terhadap
pelanggaran administrasi karena pelanggaran tersebut dilakukan akibat
warga negara yang belum memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih
tetapi sudah diberikan hak pilih dan merupakan bagian dari proses
persiapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Hal tersebut sesuai dengan
yang dijelaskan dalam pasal 248 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu.
2. Dasar Hukum yang digunakan dalam Penggelembungan DPT yaitu Pasal
29 sampai dengan Pasal 32 UU No. 42 Tahun 2008, Pasal 258 UU No. 10
Tahun 2008.
Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus
sengketa penggelembungan DPT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
sebagai berikut:
1. Masalah Kualitatif yang terdiri dari Bantuan pihak asing dalam Pemilu,
Pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS), Pemutakhiran DPT dan
pelanggaran-pelanggaran lainnya.
2. Masalah Kuantitatif yang terkait dengan penggelembungan suara dan
pengurangan suara.
B. Saran
1. Seharusnya pemerintah melakukan perbaikan sistem kependudukan
sehingga KPU sebagai pelaksana Pemilu tidak akan kesulitan untuk
87
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
mendapatkan data akurat terkait dengan DPS yang nantinya dijadikan DPT
guna menimalisir penggelembungan DPT pada pemilu-pemilu berikutnya.
2. Supaya pemilu-pemilu yang akan datang dapat berjalan lebih baik
diperlukan langkah-langkah yang profesional baik dalam pembentukan
Undang-Undang maupun pelaksanaan tugas-tugas KPU. Sejalan
dengan itu, pelanggaran pidana Pemilu dan pelanggaran Pemilu
lainnya yang belum ditindaklanjuti, meskipun tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap komposisi perolehan suara, dapat diproses lebih
lanjut.