pertanian menikmati sisa bonus demografi print
DESCRIPTION
Artikel PertanianTRANSCRIPT
“PERTANIAN MENIKMATI SISA BONUS DEMOGRAFI”
Oleh :
Yogi Pramadani Linda Octaviani
Agribisnis’13 Agroekoteknologi’13
Fakultas Bioindustri Fakultas Bioindustri
Ketua Umum Himabiotri 2013-2015 Ketua Umum Himabiotri2015-2016
Memasuki tahun 2015, Indonesia kian dekat untuk menikmati bonus demografi.
Suatu bonus yang dinikmati sebuah negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk
produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya.
Indonesia diprediksi akan menikmati bonus ini pada tahun 2020-2030. Menurut Badan Pusat
Statistik (BPS), jumlah usia angkatan kerja produktif pada tahun itu akan mencapai 70
persen, sedangkan sisanya, 30 persen, adalah penduduk yang tidak produktif (di bawah 15
tahun dan diatas 65 tahun ). Bila dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai
sekitar 180 juta, sementara nonproduktif hanya 60 juta. Ini merupakan peluang bagi
Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan dan menjadi bangsa yang kuat, bila ini
dikelola dengan benar, tentu akan membawa manfaat yang besar. Bila penduduk yang
bekerja lebih banyak dan tanggungannya sedikit, ini akan meningkatkan tabungan nasional,
sehingga dapat meningkatkan GNP. Disisi lain, selain menawarkan manfaat, bonus
demografi ini juga dapat menjadi ancaman besar. Bagaimana tidak, faktanya bonus
demografi ini hanya akan dinikmati oleh sektor nonpertanian. Sedangkan sektor pertanian
hanya akan menelan sisa bonus demografi. Padahal pertanian merupakan sektor yang
sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal itu disebabkan karena Indonesia
merupakan negara agraris yang sebagian besar masyarakatnya bergerak dalam bidang
pertanian.
Pertanian dan bonus demografi
Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki potensi sumberdaya pertanian yang
melimpah. Hal inilah yang menyebabkan sebagian besar penduduk Indonesia terlibat dalam
dunia pertanian. Sekitar 46 persen penduduk Indonesia adalah petani. Namun ironisnya,
sebagai negara agraris, Indonesia bukan saja tidak mampu berswasembada pangan, tetapi
sebaliknya justru mengalami krisis pangan. Saat ini sebagian kebutuhan pangan Indonesia
telah bergantung pada impor, misalnya beras, kedelai, dan jagung. Kondisi ini kian
mengkhawatirkan, pasalnya Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dan tercatat
memiliki sarjana pertanian terbanyak didunia, justru bergantung pada impor. Banyak hal
yang menjadi penyebab Indonesia melakukan impor, salah satunya adalah penyusutan
tenaga kerja.
Jumlah tenaga kerja sektor pertanian turun 280.000 orang (0,68%) selama
periode Februari 2013-Februari 2014. Jumlahnya susut dari 41,11 juta menjadi 40,83
juta orang. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penurunan ini disebabkan oleh musim
panen yang bergeser dari awal tahun sehingga para petani kehilangan lapangan pekerjaan.
Padahal berdasarkan tahun-tahun sebelumnya, musim panen untuk lahan padi bisa
menampung banyak tenaga kerja. Badan Pusat Statistik juga menyebutkan menyusutnya
jumlah tenaga kerja sektor pertanian itu dikarenakan para petani mencari lapangan pekerja
sektor informal lainnya antara lain sektor industri atau jasa. BPS menilai dengan petani
sebagai kelas berpendapatan rendah, peralihan profesi menjadi sangat cepat.
Selain itu, penyusutan tenaga kerja di sektor pertanian juga disebabkan tidak
menariknya usaha di sektor pertanian. Misalnya saja keuntungan yang diperoleh dari
bercocok tanam padi, jagung atau kedelai tidak sepadan dengan jerih payah yang dilakukan
petani. Bila terus bergelut di sektor pertanian, petani akan sulit untuk bisa meningkatkan
kesejahteraannya. Saat ini saja, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih didominasi oleh
petani dan nelayan. Artinya walaupun pada tahun 2020-2030 mendatang Indonesia
memperoleh bonus demografi, hal ini tidak akan membawa banyak dampak positif pada
sektor pertanian. Mengapa ? Karena tenaga kerja yang berpendidikan tinggi akan lebih
memilih bekerja disektor nonpertanian ketimbang bekerja disektor pertanian. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya sarjana pertanian yang lebih memilih bekerja disektor
nonpertanian ketimbang bekerja disektor pertanian. Ironisnya, mereka yang seharusnya
mengaktualisasi kemampuannya dalam bidangnya, justru mengepakan sayapnya di sektor
perbankan, pertambangan, kesehatan, iptek dan masih banyak lagi. Faktanya, saat ini
sektor pertanian selalu dijadikan pilihan terakhir sebagai tempat mencari nafkah. Bila kita
cermati lebih jauh lagi, kondisi tenaga kerja di sektor pertanian saat ini masih didominasi
oleh tenaga kerja berpendidikan rendah. Ini menjawab pertanyaan, mengapa Indonesia
yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, justru impor. Penyebabnya jelas, karena
SDM yang bekerja disektor pertanian masih rendah. Melihat kondisi demikian, muncul
pertanyaan baru, apakah bonus demografi ini akan membawa peluang atau bahkan
ancaman terhadap sektor pertanian Indonesia?
Berkah atau bencana
Peluang atau ancaman hal itu bergantung pada pengelolaannya. Perlu adanya
pemerataan tenaga kerja di setiap sektor, agar bisa menjadikan ini sebagai peluang. Bila itu
dilakukan akan berdampak pada meningkatnya kinerja setiap sektor dan tidak akan ada
sektor yang dirugikan. Semua sektor akan berperan dalam meningkatkan GNP Negara. Dan
tentu akan berimbas pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, bila hal ini
tidak diperhatikan dan dibiarkan berjalan begitu saja, maka bonus demografi ini akan
menjadi bencana besar untuk Indonesia. Bila masyarakat lebih tertarik bekerja disektor
nonpertanian ketimbangan bekerja disektor pertanian. Artinya sektor pertanian hanya akan
mendapat tenaga kerja sisa bonus demografi, dimana tenaga kerja yang berada didalam
golongan sisa bonus demografi ini adalah tenaga kerja yang kualitas SDM-nya rendah. Dan
bila itu terjadi maka bonus demografi ini tidak akan membawa manfaat bagi sektor
pertanian.
Padahal pertanian merupakan sektor yang amat penting dalam sebuah Negara, bila
hal demikian terjadi. Imbasnya akan terjadi kerawanan pangan diindonesia. Bila masyarakat
lebih tertarik untuk bekerja di sektor nonpertanian, lalu, siapa yang akan bekerja disektor
pertanian ? padahal jumlah penduduk yang kian lama kian bertambah tentu akan membuat
kebutuhan produk pangan bertambah. Ini tentu sebuah ancaman besar, bila ini dibiarkan
akan berdampak pada meningkatnya impor produk pangan. Yang dilakukan untuk
mencukupi kebutuhan pangan domestik. Sehingga ketergantungan akan impor kian tinggi.
Hal ini akan memperburuk perekonomian bangsa serta meningkatkan perekonomian negara
pengimpor. Tentunya sebagai negara agraris, Indonesia wajib malu apabila nilai impor lebih
tinggi dari nilai ekspor. Optimalisasi manusia yang bersumberdaya dalam sektor agraris
masih sangat rendah. Bonus demografi ini bagaikan pedang bermata dua, bila dikelolah
dengan benar akan membawa berkah, dan sebaliknya bila tidak dikelolah dengan benar
akan justru akan mendatangkan bencana.
Bagi Negara yang mampu memanfaatkan kejadian langkah ini, hal ini tentu akan
menjadi berkah. Akan tetapi bagi Negara yang belum siap untuk menerima bonus demografi
ini, maka ini tidak akan membawa manfaat, justru akan menjadi bencana bila tidak dikelola
dengan benar. Entah apa yang akan terjadi, apakah ini akan membawa berkah ? atau
sebaliknya, justru akan kian menambah beban Negara.
Apa yang mesti dilakukan ?
Hemat penulis peran pemerintah amat dibutuhkan untuk mengelola bonus demografi
ini. Pemerintah mesti memiliki perencanaan yang matang untuk mengelola bonus ini. Hal ini
tentu tidak semudah membalikan telapak tangan, banyak permasalahan yang mesti
diselesaikan terlebih dahulu. Misalnya, masalah minimnya ketersedian lapangan pekerjaan,
peningkatan kualitas SDM, dan pemerataan tenaga kerja disetiap sektor. Karena bila
permasalahan ini tidak segera diselesaikan akan menjadi bencana dikemudian hari.
Meskipun Indonesia menerima bonus demografi, bila lapangan pekerjaan tidak tersedia
maka ini tidak akan membawa manfaat, justru akan menambah pengangguran. Faktanya,
saat ini Indonesia masih kekurangan lapangan pekerjaan. Ini merupkan tugas kita bersama
untuk membantu pemerintah menyiapkan lapangan pekerjaan. Pada dasarnya sektor
pertanian banyak menyerap tenaga kerja, akan tetapi karena kesejatraan tenaga kerja pada
sektor ini kurang, menjadikan sektor ini kurang diminati oleh masyarakat. Sesungguhnya ini
dapat menjadi modal dasar pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Tentunya
dengan meningkatkan kesejahteraan petani, agar sektor ini dapat diminati oleh masyarakat.
Kemudian bila hanya mengandalkan kualitas SDM saat ini, maka tenaga kerja
Indonesia hanya akan menjadi karyawan atau pekerja kasar. Karena itu, perlu adanya
upaya yang dilakukan untuk meningkatan kualitas SDM. Upaya disini bukan hanya
pendidikan sekolah tinggi, tapi pemerintah mesti banyak melakukan pelatihan-pelatihan
ketenaga kerjaan.
Selain dua permasalah itu, hal paling vital adalah apabila pemerataan tenaga kerja
tidak terjadi. Karena akan ada sektor-sektor yang dirugikan karena hanya menerima sisa
bonus demografi. Ini akan terjadi disektor pertanian, dimana masyarakat saat ini tidak
tertarik lagi untuk bekerja disektor itu. Karena selain Nilai tukar petani (NTP) yang rendah,
belakangan ini muncul persepsi bahwa pertanian identik dengan kemiskinan. Sehingga
masyarakat lebih memilih untuk bekerja disektor nonpertanian. Untuk itu perlu adanya
sinergi antara pemerintah dan semua elemen masyarakat untuk melakukan pemerataan
tenaga kerja ini. Pemerintah mesti melakukan berbagai upaya agar bisa mendorong
masyarakat untuk tetap tertarik berkerja di sektor pertanian.
Kelak bila Indonesia ingin menikmati bonus demografi, pemerintah mesti
mengonkretkan 3 hal itu. Menyiapkan lapangan pekerjaan, meningkatkan kualitas SDM, dan
pemerataan tenaga kerja. Selain itu, pemerintah mesti mencermati penyusutan tenaga kerja
disektor pertanian. Jangan sampai apa yang dikhawatirkan justru menjadi kenyataan. Sektor
pertanian hanya akan menikmati sisa-sisa bonus demografi.