persepsi masyarakat tentang slogan solo … persepsi masyarakat tent… · merupakan seperangkat...

15
1 PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG SLOGAN SOLO THE SPIRIT OF JAVA (Studi Deskriptif Kualitatif Persepsi Masyarakat Kota Surakarta Tentang Slogan Solo The Spirit of Java) Imelda Kemara Indah Sutopo JK Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract The enactment of Law No. 32 of 2004 about Local Autonomy provides each local area the opportunity of showing off their self-potency in managing any local asset and potency they have. One way of it is through City Branding issue. City branding manifested in Slogan Solo The Spirit of Java emerged as the marketing tools for Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Kartasura, Wonogiri, Sragen, and Klaten) area. This study aimed to find out what media used to promote the Slogan Solo The Spirit of Java are and how the Surakarta people’s perception on Slogan Solo The Spirit of Java is. This study was a descriptive qualitative research. The informants were selected using purposive sampling technique for key informant and accidental sampling for ordinary informant. Techniques of collecting data used in this study were interview, observation, and library study. From the research conducted, it could be found that the media used in the promotion of Slogan Solo The Spirit of Java were above the line and below the line media. The use of media stimulated the Surakarta people to perceive Slogan Solo The Spirit of Java. The Surakarta people’s perception on the City branding of Solo The Spirit of Java was affected by both internal and external factors. This perception tended to be positive. The tourism actors’ perception on City branding of Solo the Spirit of Java as the area’s marketing tool had been captured well by the tourism actor and event it had generated the participation in supporting this City branding realization. The people’s perception aware of this slogan’s willingness in offering the area peculiarity constituted the spirit based on Javanese culture and people’s friendliness and warmth made the branding of Solo The Spirit of Java increasingly reflected on Solo as the Spirit or Soul of Javanese Culture. The cultural observers and intellectuals still perceived the branding of slogan Solo The Spirit of Java as merely words that still required manifestation through real actions. Keywords: Communication, Perception, City Branding

Upload: buihuong

Post on 01-Sep-2018

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG SLOGAN SOLO THE

SPIRIT OF JAVA

(Studi Deskriptif Kualitatif Persepsi Masyarakat Kota Surakarta Tentang

Slogan Solo The Spirit of Java)

Imelda Kemara Indah

Sutopo JK

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

The enactment of Law No. 32 of 2004 about Local Autonomy provides

each local area the opportunity of showing off their self-potency in managing any

local asset and potency they have. One way of it is through City Branding issue.

City branding manifested in Slogan Solo The Spirit of Java emerged as the

marketing tools for Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Kartasura,

Wonogiri, Sragen, and Klaten) area. This study aimed to find out what media used

to promote the Slogan Solo The Spirit of Java are and how the Surakarta people’s

perception on Slogan Solo The Spirit of Java is. This study was a descriptive

qualitative research. The informants were selected using purposive sampling

technique for key informant and accidental sampling for ordinary informant.

Techniques of collecting data used in this study were interview, observation, and

library study.

From the research conducted, it could be found that the media used in the

promotion of Slogan Solo The Spirit of Java were above the line and below the

line media. The use of media stimulated the Surakarta people to perceive Slogan

Solo The Spirit of Java. The Surakarta people’s perception on the City branding

of Solo The Spirit of Java was affected by both internal and external factors. This

perception tended to be positive. The tourism actors’ perception on City branding

of Solo the Spirit of Java as the area’s marketing tool had been captured well by

the tourism actor and event it had generated the participation in supporting this

City branding realization. The people’s perception aware of this slogan’s

willingness in offering the area peculiarity constituted the spirit based on

Javanese culture and people’s friendliness and warmth made the branding of Solo

The Spirit of Java increasingly reflected on Solo as the Spirit or Soul of Javanese

Culture. The cultural observers and intellectuals still perceived the branding of

slogan Solo The Spirit of Java as merely words that still required manifestation

through real actions.

Keywords: Communication, Perception, City Branding

2

Pendahuluan

Dengan ditetapkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Otonomi

Daerah, membuka kesempatan bagi masing-masing daerah untuk menunjukan

potensi diri dalam melakukan pengelolaan segala aset yang dimiliki. Terobosan

baru sangat dibutuhkan dalam menghadapi dinamika persaingan global saat ini.

Dalam rangka peningkatan pembangunan wilayah, pemerintah Kota Surakarta

bekerjasama dengan pemerintah wilayah Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,

Wonogiri, Sragen dan Klaten membentuk Badan Kerjasama Antar Daerah

(BKAD) Subosukawonosraten.

Konsep pengembangan identitas wilayah Solo The Spirit of Java menjadi

salah satu cara yang ditempuh oleh Pemerintah Wilayah Subosukawonosraten

dalam menghadapi era otonomi dan globalisasi. Konsep pengembangan city

branding ini berawal dari adanya kerjasama antara Badan Kerjasama Antar

Daerah (BKAD) Subosukawonosraten dengan Deutsche Gesselschaft fur

Technische Zusammenarbeit (GTZ) dengan program Regional Economic

Development (RED).

Sinergi yang tercipta dari adanya city branding dengan program

pemerintah di Kota Surakarta menjadi perbedaan yang mendasar pada penerapan

city branding di Kota Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta secara

berkesinambungan melakukan revitalisasi dan secara rutin mengadakan cultural

event untuk menunjang pariwisata di Kota Surakarta.

Saat ini pariwisata menjadi komunitas unggulan di wilayah Solo Raya

(Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten).

Menurut Salah Wahab yang dikutip oleh Pendit mengatakan bahwa pariwisata

adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan

ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup

serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya.1

Berbagai macam kegiatan pemasaran budaya untuk menunjang identitas

wilayah Solo The Spirit of Java telah dilakukan diantaranya adalah

1 Nyoman S. Pendit, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, hlm.

32.

3

penyelenggaraan event Solo Batik Carnival (SBC), Solo International Etnic

Music (SIEM), dan digelarnya World Heritage Cities and Exhibition pada tanggal

23-30 Oktober 2008 lalu yang menjadi langkah awal kota menjadi kota MICE

(Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition). Berbagai event kebudayaaan

rutin diadakan di Surakarta untuk menarik wisatawan dan mempromosikan Solo

The Spirit of Java.

Dengan dibuatnya identitas wilayah Solo The Spirit of Java oleh

Pemerintah Subosukawonosraten diharapkan mampu menjadi pembeda dan

mampu menarik faktor-faktor mobile seperti modal, tenaga kerja dan investasi

bagi wilayah Solo Raya. Arah dari pengembangan identitas wilayah Solo The

Spirit of Java adalah sebagai alat pemasaran baik internal maupun eksternal.

Secara internal, dibuatnya slogan Solo The Spirit of Java bertujuan sebagai alat

pemersatu guna meningkatkan kebanggaan dengan etos bersama untuk

memajukan perekonomian wilayah. Secara eksternal, slogan ini dibuat untuk

membangun citra kawasan yang menarik, mendorong pertumbuhan ekonomi dan

mengenalkan Solo sebagai wilayah yang potensial bagi kegiatan investasi,

perdagangan dan pariwisata.2

Demi mencapai tujuan tersebut masyarakat perlu berperan aktif dalam

mewujudkan Slogan Solo, The Spirit of Java. Persepsi masyarakat terhadap city

branding Solo The Spirit of Java menjadi hal penting untuk mengevaluasi apakah

persepi masyarakat sudah sesuai dengan tujuan dan cita-cita dari dibentuknya

branding ini. Dari pemaparan di atas, peneliti sangat tertarik untuk mengetahui

media apa saja yang digunakan sebagai wadah informasi dan promosi slogan Solo

The Spirit of Java dan bagaimana persepsi masyarakat Kota Surakarta terhadap

slogan Solo The Spirit of Java. Penelitian ini juga menjadi evaluasi apakah

maksud dan tujuan dibuatnya city branding Solo The Spirit of Java sudah sampai

kepada sasaran dan target yang diinginkan.

2 Paduan Aplikasi Identitas Wilayah Subosukawonosraten

4

Rumusan Masalah

Rumusan permasalahan pada penelitian ini yaitu,

a. Media apa saja yang digunakan sebagai wadah informasi dan promosi slogan

Solo The Spirit of Java?

b. Bagaimana persepsi masyarakat di Kota Surakarta tentang slogan Solo The

Spirit of Java?

Telaah Pustaka

1. Komunikasi

Komunikasi merupakan kegiatan pokok dalam kehidupan. Harold Laswell

mengatakan bahwa ”untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab

pertanyaan-pertantyaan Who Says What In What Channel To Whom With What

Effect? Atau Siapa Mengatakan Apa dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan

Pengaruh Bagaimana?” 3 Onong Uchyana seperti yang dikutip Bungin

mengatakan ”komunikasi sebagai proses komunikasi pada hakikatnya adalah

proses penyampaian pikiran, atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada

orang lain (komunikan)”.4

Dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian

sebuah ide atau pesan dari komunikator kepada komunikan melalui saluran

komunikasi tertentu yang pada akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku.

Dalam prosesnya seringkali terjadi hambatan dalam melakukan komunikasi.

Berdasarkan definisi komunikasi menurut Harold Laswell terdapat lima unsur

dalam komunikasi yakni

(1) komunikator (source) merupakan sumber pesan, (2) pesan (message)

merupakan seperangkat simbol verbal dan nonverbal, (3) media (channel)

merupakan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan, (4)

komunikan (receiver) adalah penerima pesan, dan (5) efek (effect)

merupakan akibat yang terjadi setelah penerima menerima pesan dari

sumber pesan.5

3 Ibid.

4 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana,2008), h.31

5 Deddy Mulyana, Op.Cit. , h.69-71

5

Menurut Shirley Taylor kesuksesan komunikasi bukan berdasar pada

seberapa hebat seorang komunikator menyampaikan pesan. Namun seberapa baik

pesan tersebut mampu diterima oleh komunikan. Kemampuan komunikan dalam

memahai pesan menjadi hal yang penting. Oleh karena itu, sehebat apapun strategi

penyampaian pesan sesuai dengan maksud dan tujuan komunikator, proses

komuniasi tersebut belumlah berhasil dan efektif.6

2. Persepsi

Bimo Walgito menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses

pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh

organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan

aktivitas yang integrated dalam diri individu.7 Jalaludin Rakhmat menyatakan

persepsi adalah pengamatan tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan

yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.8

Sedangkan menurut Devito persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar akan

banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita.9

Dalam perspektif ilmu komunikasi persepsi dikatakan sebagai inti

komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik

dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi. Sedangkan

Suharman menyatakan : “persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan

atau menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia”.10

Menurutnya ada tiga aspek di dalam persepsi yang dianggap relevan dengan

kognisi manusia, yaitu pencatatan indera, pengenalan pola, dan perhatian.

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik suatu kesamaan bahwa

persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk

tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala

sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya.

6 Shirley Taylor, Communication for Business Third Edition, (Singapore: Pearson Education Asia

Pte. Ltd, 1999), h.8 7 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Andy,2004), h. 70

8 Jalaludin Rakhmat, Psikologi komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2007), h.51

9 Joseph Devito, Komunikasi Antar Manusia (Jakarta: Professional Book, 1997), h. 75

10 Suharman, Psikologi Kognitif (Surabaya: Srikandi, 2005), h.23

6

Jika dikaitkan antara persepsi dan masyarakat, maka persepsi masyarakat

dapat diartikan sebagai rangkaian proses kognisi atau pengenalan dan afeksi atau

aktifitas evaluasi emosional (ketertarikan) masyarakat terhadap suatu objek,

peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan cara menyimpulkan

informasi dan menafsirkan pesan tersebut dengan menggunakan media

pendengaran, penglihatan, peraba dan sebagainya.

Jalaludin Rahmat mengungkapkan ada dua faktor yang mempengaruhi

persepsi yaitu Faktor Fungsional dan Faktor Struktural. Faktor fungsional berasal

dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang

disebut sebagai faktor personal yang menentukan persepsi bukan bentuk atau

stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan pada stimuli itu. Sedangkan

faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf

yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu.11

Proses persepsi menurut Bimo Walgito terjadi melalui empat tahapan12

diantaranya. Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses

kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh

alat indra manusia. Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses

fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor

(alat indra) melalui saraf-saraf sensoris. Tahap ketiga, merupakan tahap yang

dikenal dengan nama proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran

individu tentang stimulus yang diterima reseptor. Tahap ke empat, merupakan

hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku.

Persepsi merupakan proses aktif, dimana masing-masing individu

menganggap, mengorganisasi, dan juga berupaya untuk mengintepretasikan yang

diamatinya secara selektif. Oleh karena itu, persepsi merupakan dinamika yang

terjadi dalam diri seseorang pada saat ia menerima stimulus dari lingkungan

dengan melibatkan indra, emosional, serta aspek kepribadian lainnya. Setiap

individu akan mengartikan atau menggambarkan suatu objek dengan cara yang

berbeda. Persepsi mempunyai sifat yang subyektif karena bergantung dari

11

Jalaludin Rakhmat, Op. Cit., h.51 12

Bimo Walgito, Op.Cit., h.104

7

kemampuan dan keadaan dari masing-masing individu sehingga sangat

dimungkinkan suatu objek atau peristiwa yang sama akan ditafsirkan berbeda

antara individu yang satu dengan individu yang lain.

3. City Branding

American Marketing Association (AMA), mendefinisikan brand sebagai

“a name, term, sign, symbol or design, or a combination of them intended to

identify the goods and services of one seller or group of sellers and to

differentiate them from those of competition”.13

Menurut definisi AMA tersebut,

Brand merupakan nama, istilah, tanda, simbol atau desain, atau kombinasi dari

mereka yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari satu

penjual atau kelompok penjual dan untuk membedakan mereka dari para pesaing.

Apabila pengelola daerah membuat nama, logo atau kombinasi dari hal-hal

terebut untuk mengidentifikasi potensi daerahnya berarti pengelola daerah telah

menciptakan sebuah merk atau melakukan branding terhadap daerahnya yang

kemudian diebut sebagai City Branding.14

City branding dapat diterpakan melalui

tiga langkah utama yaitu (i) manajemen produk, (ii) manajemen brand, (iii)

manajemen pelanggan. Langkah pertama yaitu manajemen produk dapat

dilakukan dengan cara menentukan desain pembangunan dan promosi kota yang

kemudian dijabarakan menjadi langkah-langkah strategis pengelolaan dan

pembangunan asset daerah. Untuk memenangkan kompetisi baik dalam ekonomi

maupun politik global, maka penting diciptakannya sebuah city branding seperti

yang dikutip dari artikel The Boston Globe berikut ini,

“The last few years have seen an explosion of “nation branding”

shorthand for coordinated government efforts to manage a country’s

image, wheather to improve tourism, investment, or even foreign relations.

Firms specializing in nation branding have sprouted up around the world

(Risen,2005)”15

13

Kevin Lane Keller, Strategic Brand Managemenet: Building, Measuring, and Managing Brand

Equity (New Jersey: Prentice Hall, 1998), h. 3 14

Riyadi (2009). Fenomena City Branding pada Otonomi Daerah. Jurnal Bisnis dan

Kewirausahaan, vo.5, no.1 Maret 2009,hlm.2 15

Zala Volcic & Mark Andrejevic, Nation Branding in Comercial Nationalism ,International

Journal of Communication 5 (2011), hlm. 1

8

Dikutip dari Riyadi, Proses merumuskan city brand meliputi identifikasi

citra melalui riset, interview, konsultasi, fokus grup dan workshop yang

melibatkan seluruh stakeholders seperti kalangan Perguruan Tinggi, budayawan,

seniman, kelompok media, organisasi masyarakat, organisasi profesi, birokrat,

pengusaha dan lain-lain.16

Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian dengan menggunakan metode

penelitian kualitatif. Menurut Pawito, penelitian kualitatif merupakan penelitian

yang berfokus pada gambaran dan atau pemahaman mengenai bagaimana dan

mengapa suatu gejala atau realitas sosial terjadi.17

Bogdan dan Taylor seperti yang

dikutip oleh Moleong mendefiniskan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang yang dan perilaku yang dapat diamati.18

Dalam penelitian ini nantinya akan menghasilkan gambaran sebuah

fenomena secara mendalam melalui metode penelitian deskriptif. Penelitian

deskriptif hanya memaparkan situasi suatu peristiwa, penelitian ini tidak mencari

atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat suatu

prediksi.19

Peneliti bertindak sebagai pengamat, ia hanya membuat kategori

pelaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasi.

Obyek dari penelitian ini adalah persepsi masyarakat di Kota Surakarta

tentang city branding Solo The Spirit of Java. Penelitian ini dilakukan di Kota

Surakarta, dimana penelitian berawal di Sekretariat Badan Kerjasama Antar

Daerah Subosukawonosraten dengan alasan Badan Kerjasama Antar Daerah

merupakaan lokus yang menjadi inovator kemunculan regional branding Solo

The Spirit of Java. Selain itu penelitian ini juga mengambil lokasi di seluruh Kota

Surakarta untuk mengetahui bagimana persepsi masyarakat dari berbagai

16

Riyadi, Loc.Cit, h.3 17

Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: Lkis, 2007), h.35 18

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2001),

h.3 19

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1999),

h. 24

9

kalangan baik dari masyarakat Umum, birokrasi pemerintah, pelaku bisnis, tokoh

masyarakat & agama, seniman & budayawan, intelektual dan mahasiswa.

Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan data

sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari keterangan

narasumber melalui wawancara dan observasi. Sumber data sekunder merupakan

data yang diperoleh melalui studi pustaka.

Dalam menentukan informan penelitian ini, peneliti menggunakan dua

teknik yaitu dengan menggunakan teknik purposive sampling dan accidental

sampling. Menurut Sugiyono menjelaskan yang dimaksud dengan Purposive

sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan

tertentu, sedangkan accidental sampling adalah teknik pengambilan sampel secara

tidak sengaja atau secara acak.20

Dalam menentukan informan kunci, peneliti

menggunakan teknik purposive sampling, sedangkan menentukan informan biasa

dengan teknik accidental sampling.

Miles dan Huberman dalam Sutopo menyatakan bahwa ada dua model

pokok dalam melaksanakan analisis di dalam penelitian kualitatif, yaitu Model

analisis Jalinan atau Mengalir (flow model of analysis) dan Model Analisis

Interaktif.21

Penelitian ini menggunakan Model analisis Interaktif, yaitu setelah

proses pengumpulan data dilakukan, selanjutnya dilakukan reduksi data, sajian

data serta penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Sajian dan Analisis Data

Penyebaran pesan melalui media massa berlangsung begitu cepat,

serempak dan luas serta mampu mengatasi jarak dan waktu.22

Oleh sebab itu,

penggunaan media massa dalam memperkenalkan city branding Solo The Spirit of

Java sangat tepat dilakukan. Komunikasi yang dilakukan melalui periklanan

merupakan komunikasi massa karena menggunakan media massa sebagai alat

penyampai pesan dari komunikator. Iklan memiliki banyak fungsi seperti

20

Ibid, h.53 21

Ibid, h.94 22

Ibid, h.37

10

pembentuk kesadaran, pembentuk pengertian, pengingat yang efisien, penghasil

petunjuk, legitimasi, dan meyakinkan kembali.23

Promosi yang dilakukan oleh BKAD Subosukawonosraten untuk

menyebarkan city branding Solo The Spirit of Java dilakukan melalui dua

aktivitas promosi yaitu melalui media lini atas atau above the line (ATL) dan

media lini bawah atau below the line (BTL). Media lini atas atau above the line

yang digunakan diantaranya adalah surat kabar, radio, televisi, media luar ruang

dan internet. Sedangkan media lini bawah atau below the line yang digunakan

leaflet, booklet, mobil atau alat peraga bergerak, stiker, souvenir dan

penyelenggaraan event-event budaya.

Publikasi branding Solo The Spirit of Java yang dilakukan melalui

media lini atas dan media lini bawah dapat membentuk sebuah persepsi di

masyarakat. Dalam perspektif ilmu komunikasi persepsi dikatakan sebagai inti

komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik

dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi. Sedangkan

Suharman menyatakan : “persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan

atau menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia”.24

Media promosi baik media lini atas maupun lini bawah menjadi stimulus bagi masyarakat

dalam mempersepsikan city branding Solo The Spirit of Java.

A. Persepsi Kalangan Birokrasi Pemerintah

Dari wawancara yang telah dilakukan kepada Kepala Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta terlihat adanya kebutuhan Kota

Surakarta akan merek dalam rangka menjual Kota Solo sebagai sebuah

produk atau destinasi wisata. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang

berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan pariwisata di Kota Surakarta

menganggap pentingnya kehadiran merek dalam pemasaran wilayah.

Kemunculan identitas wilayah Solo The Spirit of Java ini direspon

oleh masing-masing birokrasi pemerintah secara berbeda. Menurut Sri

Wahyuni, Kepala Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota

23

Philip Kotler, Op. Cit. hal. 802. 24

Suharman, Op.Cit. h.23

11

Surakarta kehadiran Solo The Spirit of Java menjadi semangat munculnya

industri-industri kreatif. Faktor yang mempengaruhi persepsi birokrasi

pemerintah terhadap munculnya branding Solo The Spirit of Java banyak

dipengaruhi oleh faktor fungsional. Dalam hal ini adalah adanya kebutuhan

akan merek dalam menjual Kota Solo sebagai sebuah produk.

B. Persepsi Masyarakat dari Kalangan Wiraswasta

Dari wawancara yang dilakukan kepada masyarakat dari kalangan

swasta dapat diketahui bahwa masyarakat sadar adanya kehadiran branding

Solo The Spirit of Java melalui baliho-baliho, spanduk, event-event

kebudayaan, surat kabar dan sebagainya. Media tersebut menjadi stimulus

atau rangsangan bagi masyarakat dalam mempersepsikan branding Solo The

Spirit of Java. Stimulus merupakan tahapan awal yang dialami seseorang

dalam mencapai sebuah persepsi terhadap objek. Masyarakat dari kalangan

wiraswasta sudah mampu menangkap maksud dan tujuan dari hadirnya

slogan Solo The Spirit of Java. Persepsi masyarakat sangat positif terlihat dari

tanggapan bahwa Solo merupakan pusat kebudayan Jawa yang menujunjung

tinggi adat istiadat.

C. Persepsi Masyarakat dari Kalangan Pelaku Pariwisata

Beberapa pertimbangan mendasari persepsi kalangan pelaku

pariwisata diantaranya adalah kebutuhan akan sebuah merk untuk menjual

Kota Solo sebagai sebuah „produk‟ ke khalayak luas. Perubahan perilaku

dalam penerimaan slogan Solo The Spirit of Java berbeda-beda untuk setiap

khlayak. Beberapa kalangan pebisnis terlihat lebih nyata dalam perubahan

perilaku dimana slogan ini dijadikan sebuah visi yang diimplementasikan

melalui program-program maupun produk yang mereka buat. Kehadiran

branding Solo The Spirit of Java cukup dirasakan positif oleh para pelaku

pariwisata khususnya terkait dengan bisnis yang mereka jalani. Salah satu

keuntungan yang dirasakan adalah kemudahan dalam memperkenalkan Solo

sebagai destinasi wisata melalui Solo The Spirit of Java.

12

D. Persepsi Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama

Harapan yang ada dalam diri seseorang menjadi faktor internal yang

berpengaruh dalam mempersepsikan sebuah objek. Hal tersebut juga tampak

dari harapan atau keinginan Sumartono Hadinoto selaku tokoh masyarakat

Solo terhadap kemunculan branding Solo The Spirit of Java. Sumartono

berharap dengan adanya slogan tersebut dapat masyarakat bisa sadar akan

spirit yang luar biasa dimiliki Kota Solo. Sebagai tokoh agama di Surakarta,

Secha Walafiah menerima dengan positif kehadiran slogan Solo The Spirit of

Java. Menurutnya dengan adanya slogan ini menggambarkan spirit

kedamaian beragama yang ada di Solo. Persepsi tokoh masyarakat dan tokoh

agama terhadap branding Solo The Spirit of Java sangat positif. Mereka

beranggapan bahwa slogan tersebut dapat menyadarkan masyarakat Kota

Surakarta akan semangat Jawa yang dimana bisa disinkronkan baik dalam

kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan beragama.

E. Persepsi Budayawan dan Seniman

Dalam hal ini Budayawan dan Seniman yang memang memiliki latar

belakang dimana sering bersentuhan langsung dengan budaya dan seni yang

ada di Kota Surakarta memiliki persepsi masing-masing terhadap branding

ini. Hanindiawan memaknai Solo The Spirit of Java sebagai suatu kekuatan di

Jawa ini. Jawa menjadi pusat budaya, menjadi suatu kekuatan budaya yang

ada di Jawa. Hanindiawan beranggapan bahwa slogan tersebut masih hanya

sekedar slogan saja yang perwujudannya belum tampak nyata. Menurutnya

karakter masyarakat Solo yang plural dan terbuka menjadikan slogan ini

mudah diterima oleh masyarakat di Kota Surakarta. Atik Sulistyaning salah

seorang seniman Kota Solo lebih memaknai hadirnya slogan ini menjadi

sebuah peringatan terhadap generasi muda untuk lebih mencintai, menjaga

dan melestarikan kebudayaan Jawa. Pengaruh kebudayaan asing yang datang

ke dalam negeri mau tidak mau memberikan efek terhadap generasi muda

saat ini. Kebudayaan tradisional mulai banyak ditinggalkan oleh generasi

muda. Dengan adanya branding Solo The Spirit of Java, Atik berharap

13

generasi muda bisa lebih mencintai kebudayaan Jawa dan ikut

melestarikannya.

F. Persepsi Intelektual dan Mahasiswa

Persepsi mahasiswa terhadap Solo The Spirit of Java masih terkait

dengan kebudayaan Jawa yang ada di Solo. Dhyanayu memaknai slogan ini

sebagai bentuk semangat Kota Solo sebagai kota budaya yang mampu

memberikan kontribusi dalam hal seni dan budaya. Senada dengan hal

tersebut Annisa memaknai Solo The Spirit of Java mencerminkan

kebudayaan Solo sebagai kebudayaan Jawa yang terkenal dengan kehalusan

tuturnya, sopan santun, tata karma, dan ritual-ritual yang beragam dalam

setiap aspek kehidupan masyarakatnya. Masih sejalan dengan pendapat

diatas, Stevie Putra memaknai Solo The Spirit of Java sebagai semangat bagi

masyarakat untuk melestarikan kebudayaan Jawa. Hal tersebut diwujudkan

dalam kehidupan sehari-hari.

Ulasan lebih dalam mengenai city branding dilakukan oleh salah

seorang tokoh intelektual dari kalangan akademisi yaitu Dra. Rara Sugiarti,

M.Tourism. menurutnya citra atau branding sebuah produk wisata

bergantung pada kualitas produk yang ditawarkan. Rara beranggapan kualitas

yang diberikan menjadi kunci utama suksesnya branding yang dibuat. Dalam

hal ini pemilik produk, pemerintah Solo mengangkat Solo sebagai rohnya

Jawa. Proses pembuatan slogan Solo The Spirit of Java yang merupakan hasil

dari sayembara yang diadakan oleh pemerinta Subosukawonosraten juga

dianggap menjadikan slogan ini hanya terkesan sebagai kata-kata terbaik hasil

lomba bukan dari pemikiran yang matang para pelaku pariwisata, budayawan

dan berbagai pihak yang terkait langsung.

Kesimpulan

Dibuatnya slogan atau branding Solo The Spirit of Java adalah sebagai

alat pemasaran (marketing tools) yang digunakan dalam segala upaya pemasaran

wilayah kepada masyarakat luas dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi

14

dan mengenalkan Solo sebagai wilayah yang potensial bagi kegiatan investasi,

perdagangan, dan pariwisata. BKAD Subosukawonosretn dan GTZ-Red selaku

pemrakarsa kemunculan branding Solo The Spirit of Java melakukan kegiatan

promosi city branding Solo The Spirit of Java melalui berbagai media, baik media

above the line (ATL) dan media below the line (BTL).

Penggunaan media menjadi stimulus bagi masyarakat Surakarta dalam

mempersepsikan maksud dari hadirnya slogan Solo The Spirit of Java. Persepsi

masyarakat Kota Surakarta tentang slogan Solo The Spirit of Java dipengaruhi

oleh berbagai faktor baik faktor internal maupun eksternal. Persepsi para pelaku

pariwisata terhadap city branding Solo The Spirit of Java sebagai marketing tools

dalam pemasaran wilayah telah mampu ditangkap dengan baik oleh para kalangan

pelaku pariwisata bahkan telah menimbulkan partisipasi yang dapat mendukung

terwujudnya Solo menjadi The Spirit of Java. Persepsi masyarakat yang sadar

akan keinginan slogan ini dalam menawarkan keunikan wilayah berupa semangat

berlandaskan kebudayaan Jawa serta keramah tamahan dan kehangatan para

masyarakat menjadikan branding Solo The Spirit of Java semakin dapat

mencerminkan Solo sebagai Jiwa dan Ruh dari Kebudayaan Jawa. Persepsi

terhadap branding Solo The Spirit of Java dikalangan Budayawan dan Intelektual

masih ada sedikit kesangsian terhadap terwujudnya slogan ini kedepannya.

Mereka beranggapan bahwa branding ini masih hanya sekedar slogan berupa

kata-kata yang masih perlu diwujudkan melalui langkah-langkah nyata.

Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan saran yaitu perlu

ditingkatkannya promosi dan pemberian informasi terkait city branding Solo The

Spirit of Java agar dapat menjangkau sasaran sehingga persepsi masyarakat sesuai

dengan apa yang diharapkan. Perlu ditingkatkannya kualitas produk dan

pelayanan di bidang pariwisata. Branding Solo The Spirit of Java tidak akan ada

artinya tanpa diikuti dengan peningkatan kualitas produk pariwisata. Penelitian

lebih lanjut mengenai efektivitas branding Solo The Spirit of Java terhadap

pariwisata Kota Surakarta.

15

Daftar Pustaka

Bungin, Burhan. (2008). Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana.

Devito, Joseph. (1997). Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Book.

Keller, Kevin Lane. (1998). Strategic Brand Management : Building, Measuring,

and Managing Brand Equity. New Jersey: Prentice Hall.

Moleong, Lexy J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Paduan Aplikasi Identitas Wilayah Subosukawonosraten

Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogayakarta: Lkis. s

Pendit, Nyoman S. (2002). Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar. Jakarta: PT

Pradnya Paramita.

Rakhmat, Jalaluddin. (1999). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Riyadi. (2009). Fenomena City Branding pada Otonomi Daerah. Jurnal Bisnis

dan Kewirausahaan, Vol.5, no.1 Maret 2009.

Suharman. (2005). Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.

Taylor, Shirley. (1999). Communication for Business Third Edition. Singapore:

Pearson Education Asia Pte. Ltd.

Walgito, Bimo. (2004). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andy.

Zala Volcic & Mark Andrejevic, Nation Branding in Comercial Nationalism

,International Journal of Communication 5, 2011.