pengelolaan kawasan sendang sono berwawasan masyarakat

21
1 Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat S. Singgih Hapsoro Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Kulonprogo Jl. Sanun No. 4 Wates, Kulon Progo Email :[email protected] Abstrak Kawasan Sendangsono menjadi salah satu tempat peziarahan favorit umat Katolik di Indonesia, yang berupa sebuah gua buatan didalamnya terdapat patung perwujudan Bunda Maria , Gereja Promasan dan lintasan Jalan Salib yang menghubungkan Gereja dengan Gua Maria. Pesatnya pembangunan serta daya tarik ekonomi menimbulkan permasalahan yang dapat membahayakan dan mengancam kelestarian sumberdaya budaya kawasan Sendangsono. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan pengelolaan Kawasan Sendangsono yang berwawasan masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan mengevaluasi pengelolaan Kawasan Sendangsono saat ini. Kajian yang dilakukan adalah kajian berwawasan masyarakat, yaitu kajian pengelolaan yang memperhatikan nilai dan makna budaya, baik yang berwujud benda maupun tak benda dan peran serta masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan Kawasan Sendangsono sudah sangat baik, terbukti dengan kepuasan para pengunjung yang datang ke Kawasan Sendangsono. Keterlibatan masyarakat hanya sebatas kegiatan insidentil, belum menyentuh sisi manajemen. Hal inilah yang perlu diperhatikan dalam rangka Pengelolaan Kawasan Sendangsono yang berwawasan masyarakat. Kata Kunci: Kawasan Sendangsono, berwawasan masyarakat, stakeholder, pemanfaatan. ABSTRACT: Sendangsono area, has become one of the favorite places of pilgrimage of the Catholics in Indonesia. The center of this pilgrimange place is an artificial grotto in which the statue of Mother Mary, Promasan Church and a path which connects the Church and the Grotto. Utilization activities, rapid development, and economic attractions have caused problems which may endanger and threaten the sustainability of cultural resources in the area of Sendangson. This research aims to identify and evaluate the management of Sendangsono Area at present. The research employs cultural conservation-based study, which is a management study which takes into account cultural values and meanings either tangibles or intangibles. By identifying the perspective of each stakeholder, it is expected that this research will be able to formulate a community-based management for Sendangsono area. The interview with stakeholder shows that Sendangsono area is well managed.The visitor satisfactory proves it. The society involvement is limited in certain activities, not in management. This needs more attention in running community based management for Sendangsono area. Keywords : Sendangsano area, community based, stakeholder,

Upload: others

Post on 05-Nov-2021

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

1

Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

S. Singgih Hapsoro

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Kulonprogo

Jl. Sanun No. 4 Wates, Kulon Progo

Email :[email protected]

Abstrak

Kawasan Sendangsono menjadi salah satu tempat peziarahan favorit umat Katolik di

Indonesia, yang berupa sebuah gua buatan didalamnya terdapat patung perwujudan Bunda

Maria , Gereja Promasan dan lintasan Jalan Salib yang menghubungkan Gereja dengan Gua

Maria. Pesatnya pembangunan serta daya tarik ekonomi menimbulkan permasalahan yang

dapat membahayakan dan mengancam kelestarian sumberdaya budaya kawasan Sendangsono.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan pengelolaan Kawasan Sendangsono yang

berwawasan masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan mengevaluasi

pengelolaan Kawasan Sendangsono saat ini. Kajian yang dilakukan adalah kajian berwawasan

masyarakat, yaitu kajian pengelolaan yang memperhatikan nilai dan makna budaya, baik

yang berwujud benda maupun tak benda dan peran serta masyarakat. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemeliharaan Kawasan Sendangsono sudah sangat baik, terbukti dengan

kepuasan para pengunjung yang datang ke Kawasan Sendangsono. Keterlibatan masyarakat

hanya sebatas kegiatan insidentil, belum menyentuh sisi manajemen. Hal inilah yang perlu

diperhatikan dalam rangka Pengelolaan Kawasan Sendangsono yang berwawasan masyarakat.

Kata Kunci: Kawasan Sendangsono, berwawasan masyarakat, stakeholder, pemanfaatan.

ABSTRACT: Sendangsono area, has become one of the favorite places of pilgrimage of the Catholics

in Indonesia. The center of this pilgrimange place is an artificial grotto in which the statue of Mother

Mary, Promasan Church and a path which connects the Church and the Grotto. Utilization activities,

rapid development, and economic attractions have caused problems which may endanger and threaten

the sustainability of cultural resources in the area of Sendangson. This research aims to identify and

evaluate the management of Sendangsono Area at present. The research employs cultural

conservation-based study, which is a management study which takes into account cultural values and

meanings either tangibles or intangibles. By identifying the perspective of each stakeholder, it is

expected that this research will be able to formulate a community-based management for Sendangsono

area. The interview with stakeholder shows that Sendangsono area is well managed.The visitor

satisfactory proves it. The society involvement is limited in certain activities, not in management. This

needs more attention in running community based management for Sendangsono area. Keywords : Sendangsano area, community based, stakeholder,

Page 2: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

2

A. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pelestarian sumberdaya budaya di Indonesia pada saat ini mengalami berbagai

kendala, terutama jika berbenturan dengan aspek yang lain, yaitu aspek pemanfaatan. Aspek

pemanfaatan yang tidak terkendali akan menimbulkan kerusakan sumberdaya budaya tersebut,

misalnya dalam kegiatan pembangunan dalam skala kecil, sebagai contoh adalah rumah-

rumah tradisional yang sudah tidak disukai, sehingga beberapa elemen diganti, tegel diganti

dengan keramik, genteng vlaam diganti dengan model plenthong, dan lain sebagainya. Contoh

kerusakan yang ditimbulkan oleh pembangunan dengan skala besar, misalnya situs-situs di

Pacitan dan Tuban yang terkena dampak penambangan batu dan pembuatn jalan lingkar, Situs

Awangbangkal di Kalimantan Selatan yang terkena proyek PLTA, dan lebih banyak lagi.

Biasanya semakin besar kegiatan yang dilakukan biasanya akan menimbulkan kerusakan yang

lebih besar pula.

Kondisi tersebut di atas telah memunculkan sebuah pandangan baru dalam

pengelolaan sumberdaya budaya, khususnya di bidang arkeologi, yaitu Cultural Resources

Management (CRM). Secara ringkas, Cultural Resource Management mencakup 3 (tiga)

tahapan, yaitu pelindungan, pelestarian dan pemanfaatan. Melalui tiga tahapan itu diupayakan

agar hakekat, sebab asal, dan hukum yang terkandung dalam benda cagar budaya dapat

dipahami tidak hanya di kalangan pengelola, tetapi juga di kalangan masyarakat luas

(Atmosudiro,2004). Melalui pemahaman terhadap tiga tahapan tersebut diharapkan pihak

pengelola dan masyarakat dapat memperlakukan cagar budaya yang mereka miliki dengan

benar, sehingga dapat memperoleh manfaat dari keberadaan cagar budaya tersebut. Oleh

sebab itu, sumberdaya arkeologi perlu dikelola secara bijak agar berkelanjutan (sustainable)

Page 3: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

3

sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan masyarakat luas (Tanudirjo,

dkk, 1994; Hardjasoemantri, 1977).

Pemanfaatan sumberdaya budaya yang paling sering dilakukan adalah sebagai objek

wisata. Pariwisata merupakan fenomena yang sangat kompleks dan unik, karena pariwisata

bersifat multi dimensi, fisik, sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pariwisata menawarkan

jenis produk yang beragam, mulai dari wisata alam, wisata buatan, wisata budaya, wisata

sejarah hingga beragam wisata dengan minat khusus (Parikesit, 1998).

Beberapa tahun terakhir tempat-tempat yang dianggap suci atau keramat menjadi

tujuan masyarakat. Wisata Ziarah, termasuk jenis wisata khusus yang mempunyai pasar

orang-orang tertentu (orang dewasa yang mempunyai tujuan tertentu). Mengingat tujuan

wisata bagi orang-orang tertentu tersebut, maka aktivitas ini tidak hanya sekali dilakukan

mengingat ikatan emosional dan spiritual. (Agustiati, 2004:25). Salah satu tempat suci yang

sering menjadi tempat ziarah bagi umat Katolik adalah Sendangsono, yang terletak di Dusun

Foto Gereja Promasan (dok. penulis).

Page 4: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

4

Semagung, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Sendangsono

berasal dari kata Sendang dan Sono. Sendang merupakan istilah Jawa untuk menyebut mata

air dan Sono merupakan nama jenis pohon yaitu pohon Angsana. Sebelum nama Sendangsono

dikenal, masyarakat sering menyebut sumber air itu dengan Sumber Semagung (Pengurus

Pesiarahan Sendangsono, 2009).

Sumber Semagung sebelum dijadikan tempat suci bagi umat Katolik telah

dimanfaatkan sebagai tempat pemberhentian para Bhiksu dalam perjalanan menuju atau

pulang dari Candi Mendut ke daerah Boro, mereka beristirahat melepas lelah dan

memanfaatkan sumber Semagung tersebut untuk menyegarkan badan setelah mengalami

perjalanan yang cukup jauh, meskipun sampai saat ini belum dijumpai tinggalan arkeologis

yang mendukung hal tersebut.

Sendangsono tidak dapat lepas dari sebuah nama, yaitu Barnabas Sarikrama. Barnabas

Sarikrama adalah seorang penduduk asli yang mempunyai nama kecil Soerawijaya dan

dibaptis pertama kali di tempat tersebut bersama dua orang temannya. Rama Van Lith SJ

kemudian memberi nama Barnabas Sarikrama berarti rakyat jelata yang mampu menerima

intisari ajaran Kristiani. (Tartono, 2005:2) Barnabas Sarikrama menyebarkan ajaran Katolik

di perbukitan Menoreh sampai akhir hayatnya. Karena perjuangan yang tidak mengenal lelah

dalam mewartakan ajaran Katolik, Barnabas Sarikrama dianugerahi Bintang jasa Pro Ecclesia

et Pontifice oleh Paus Pius XI.

Kompleks Gua Maria Sendangsono memiliki tanah 6000 m2, terletak di Perbukitan

Menoreh dengan kontur yang bervariasi. Di lokasi ini dibangun Gua Maria juga dibangun dua

buah kapel, yaitu Kapel Maria dan Kapel Dua Belas Rasul, pemakaman, tempat tokoh

Page 5: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

5

Barnabas Sarikromo dimakamkan, tempat beristirahat bagi para peziarah, lintasan jalan salib

kecil dan tempat untuk MCK.

Kompleks Sendangsono dinilai telah memenuhi persyaratan sebagai cagar budaya,

maka Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2010 menetapkan

kompleks Gua Maria Sendangsono dan Gereja Santa Maria Lourdes dinyatakan sebagai

Benda Cagar Budaya dengan Surat Keputusan Penetapan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta Nomor 210/KEP/2010, tentang Penetapan Benda Cagar Budaya. Dalam Surat

Keputusan yang dibuat Tim Penilai Klasifikasi Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta pada tanggal 23 Agustus 2010 tersebut, Kompleks Sendangsono dinyatakan

sebagai cagar budaya kelas C, yaitu kelas provinsi.

Meskipun belum memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai Kawasan Cagar Budaya,

untuk memudahkan dalam penyebutan, maka kondisi saling keterkaitan antara kompleks gua

Maria Sendangsono dan Gereja Santa Maria Lourdes tersebut dalam penulisan berikutnya

akan disatukan dan disebut Kawasan Sendangsono. Situasi dan kondisi di kawasan

Sendangsono saat ini sangat memprihatinkan, berkaitan dengan perkembangan pembangunan

oleh masyarakat setempat. Beberapa wawancara awal yang dilakukan mengatakan bahwa

suasana Kompleks Sendangsono sekarang sudah tidak senyaman dahulu, terkesan terlalu

ramai karena banyaknya bangunan, walaupun jika dibandingkan dengan tempat ziarah yang

lain masih relatif lebih nyaman. Selain hal tersebut, pemanfaatan berlebihan yang tidak

memperhatikan sumber daya budaya yang ada. (Sendangsono dan Gereja Santa Maria

Lourdes, Promasan) akan berakibat negatif, baik bagi sumber daya budaya maupun

masyarakat itu sendiri. Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, maka permasalahan yang dapat

Page 6: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

6

dirumuskan adalah bagaimana model pengelolaan yang dapat diterapkan di Kawasan

Sendangsono ?

Kerangka Teori dan Metodologi

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

deskriptif analitis, yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan apa yang ada,

dapat mengenai kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang berlangsung, akibat

atau efek yang terjadi, atau kecenderungan yang tengah berkembang (Sumanto 1995:77).

Tahap-tahap penelitian meliputi tahap persiapan, pengumpulan, pengolahan dan analisis data

serta sistesis. Persiapan dilakukan dengan studi pustaka digunakan untuk mencari data untuk

memperoleh dan melengkapi bahan-bahan yang digunakan untuk kajian sumberdaya materi

dan sumberdaya bukan materi.

Pengumpulan data akan dilakukan dengan cara : wawancara dan observasi.

Wawancaradilakukan dengan sistem in depth interview secara acak kepada pengurus Gereja

Papa Miskin, Pemda Kulon Progo, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY dan Dinas

Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, masyarakat dan peziarah. Observasi yang

dilakukan diharapkan mengetahui tentang kawasan, kegiatan masyarakat setempat, baik

masyarakat asli maupun pendatang, dan pengunjung. Tahap analisis dilakukan inventarisasi

komponen-komponen Kawasan Sendangsono, kemudian akan dilakukan kajian nilai penting

komponen Kawasan Sendangsono, baik yang sudah dinyatakan sebagai Cagar Budaya

ataupun komponenkomponen pendukungnya. Kajian-kajian tentang lingkungan dan aktivitas

masyarakat. Keterlibatan banyak pihak tentu saja akan mengakibatkan banyaknya

kepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya budaya. Banyaknya

kepentingan yang bersinggungan ini kemungkinan akan menimbulkan konflik kepentingan.

Page 7: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

7

Analisis konflik yang akan digunakan adalah model analisis Bawang Bombay.

Analisis ini berujuan untuk memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing

pihak serta mencari titik kesamaan di antara kelompok yang akan dijadikan pembahasan

berikutnya (Fisher dkk, 2011). Kesuksesan partisipasi dalam konservasi adalah memastikan

bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki kerangka kerja dan pengetahuan yang

cukup dalam bertindak, oleh sebab itu panduan penyusunan program untuk pengembangan

Kawasan Sendangsno akan mengunakan S.M.A.R.T (Specific. Measureable,

Achievable,Responsible Person, Time–Bound) , agar pengembangan yang dilakukan lebih

terarah dan jelas. Hasil analisis yang dilakukan digunakan sebagai dasar pijakan untuk

melakukan pengelolaan Kawasan Sendangsono berwawasan masyarakat, yang diharapkan

akan sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan yang tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010.

B. Pembahasan

Sejarah Kawasan Sendangsono

Perkembangan kawasan Sendangsono ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah

kekaryaan Ordo Serikat Jesuit di Indonesia, khususnya karya missioner di Jawa pada akhir

abad ke-19 oleh Pastor F. Van Lith, S.J. dan Pastor P. Hoevenaars, S.J. ( Haryono, 2009: 45).

Kedua Pastor tersebut, Pastor F van Lith S.J. dan Pastor P. Hoevenaars, S.J. berlabuh di

Semarang pada bulan Oktober 1896. Sejak awal, perkembangan Katolik di Jawa dianggap

sangat sulit dilakukan, selain karena faktor kepercayaan yang sangat kuat terhadap leluhur,

pengaruh Islam yang sangat kuat, juga karena keterbatasan tenaga bagi karya misi di seluruh

Indonesia sangat kurang dan juga karena tidak ada Jesuit yang mahir berbahasa jawa (G.P

Sindhunata, SJ. (Ed), 2004:19).

Page 8: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

8

Berkat kedatangan Romo Hoevenars, perkembangan karya misioner dari Ordo Serikat

Jesuit di Jawa sungguh luar biasa. Belum sampai setengah tahun tinggal di Jawa, Romo

Hoevenaars sudah mengajar, berkothbah dan membaptis orang di Semarang dan Yogyakarta,

sementara itu Romo van Lith masih berusaha keras mempelajari sejarah, bahasa, dan adat

istiadat Jawa (G.P Sindhunata, SJ. (Ed), 2004:20). Perkembangan Agama Katolik di Jawa

semakin pesat ketika Romo Van Lith S.J menggunakan adat istiadat dan bahasa Jawa dalam

memperkenalkan ajaran Agama Katolik.

Keberhasilan tersebut ternyata tidak berkembang lebih lanjut, karena banyak katekis

yang bertindak tidak terpuji, sampai akhirnya Romo Van Lith S.J memecat beberapa katekis,

setelah itu perkembangan Agama Katolik tidak menggembirakan. Keadaan tersebut

terselamatkan oleh Barnabas Sarikrama yang dengan gigih mengajar Agama Katolik hingga

dibaptisnya 171 orang di wilayah Kalibawang. Kondisi tersebut membuat Romo Superior

Misi tidak jadi menutup misi di Tanah Jawa.

Foto 1. Gua Maria Lourdes (dok. penulis)

Page 9: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

9

Usulan Pengelolaan Kawasan Sendangsono Berwawasan Masyarakat

Sebelum membuat racangan pengelolaan Kawasan Sendangsono berwawasan

masyarakat tersebut akan terlebih dahulu dikemukakan beberapa hal yang menjadi kelebihan

serta kekurangan kawasan Sendangsono. Kelebihan Kawasan Sendangsono antara lain:

(1) Nilai penting sejarah yang dimiliki oleh Kawasan Sendangsono.

(2) Gaya arsitektur bangunan-bangunan Kawasan Sendangsono yang merupakan

cerminan akulturasi bangunan tradisional jawa dengan bangunan indis.

(3) Sendangsono masih manjadi salah satu tujuan peziarahan umat Katolik.

(4) Penataan bangunan yang sangat baik dengan memperhatikan kondisi

lingkungan yang berbukit.

(5) Akulturasi budaya antara budaya yang dibawa oleh agama Katolik dengan

budaya Jawa.

(6) Mempunyai kepengurusan khusus dalam pengelolaan Kawasan Sendangsono.

Sedangkan kekurangannya adalah :

(1) Belum ada sistem zonasi.

(2) Penataan wilayah sakral dan wilayah profan belum jelas terlihat dan belum

tersosialisasi dengan baik.

(3) Rumah-rumah penduduk terlalu dekat dengan wilayah yang seharusnya

menjadi zona inti.

(4) Rumah-rumah yang dijadikan toko souvenir maupun warung yang berada di

kiri dan kanan jalur Jalan Salib secara tidak langsung mengganggu peziarah dalam

melaksanakan ritual Jalan Salib.

(5) Belum ditatanya kios souvenir di jalan masuk, sehingga terkesan seadanya dan

Page 10: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

10

asal-asalan.

(6) Belum ada aturan yang baku tentang keterlibatan penduduk pendatang untuk

ikut mempunyai usaha ekonomi di kawasan Sendangsono, sehingga menimbulkan

permasalahan baru.

(7) Rambu-rambu peringatan di kawasan Sendangsono terasa masih kurang, terlalu

sedikit.

(8) Masyarakat belum terlibat aktif dalam pengelolaan kawasan Sendangsono.

Usaha-usaha guna mengurangi sisi kekurangannya dapat dilakukan dengan lebih

mudah apabila masing-masing pihak dapat duduk bersama. Adapun usaha yang dibutuhkan

untuk mengurangi atau menghilangkan sisi keurangan dapat dilakukan dengan :

(1) Pembuatan Zonasi, dapat dilakukan dengan model sentral atau sel.

(2) Dibuat rambu-rambu yang lebih jelas agar wilayah profan dan wilayah sakral

dapat diketahui dengan pasti oleh masyarakat maupun para peziarah.

(3) Rumah-rumah penduduk yang terlanjur dibangun sangat dekat dengan zona

inti harus mempunyai aturan-aturan yang disepakati agar tetap mendukung dalam

melesatarikan sumberdaya budaya di Kawasan Sendangsono ini.

(4) Sebisa mungkin rumah-rumah yang berada di sisi kanan-kiri Jalan Salib tidak

dipergunakan sebagai tempat berjualan, tetap dipergunakan sebagai tempat tinggal.

Jika zonasi telah ditetapkan, rumah-rumah penduduk tersebut bersebelahan dengan

lintasan Jalan Salib yang merupakan salah satu zona inti dan rumah rumah tersebut

menjadi zona penyangga.

Page 11: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

11

(5) Penataan kios dengan lokasi menyatu, bentuk kios serta keluasan yang sama

sehingga menjamin kebersamaan dan kesetaraan antar pedagang, baik warung

maupun souvenir.

(6) Pembuatan aturan atau kesepakatan bagi warga pendatang yang ikut

berkegiatan ekonomi di wilayah tersebut.

(7) Rambu-rambu diperbanyak dengan memperhatikan estetika.

(8) Melibatkan secara aktif masyarakat setempat walaupun Kawasan Sendangsono

adalah milik sebuah paguyuban atau yayasan sejak perencanaan sampai dengan

evaluasi.

Setelah mengetahui kelebihan dan kelemahan, maka hal yang harus diperhatikan adalah nilai

penting. Nilai penting cagar budaya merupakan hal utama yang perlu dipahami oleh semua

pihak dalam pelestarian, perlindungan dan pemanfaatannya. Pemahaman tentang Nilai

Penting Warisan Budaya itu diperlukan dalam mengidentifikasikan suatu unsur budaya yang

dapat kita anggap sebagai warisan budaya atau bukan. Selain itu, nilai penting warisan budaya

akan ikut menentukan kebijakan, strategi, dan tata cara pengelolaan dan pelestarian warisan

budaya (Tanudirjo, tt: 6)

Pembobotan nilai penting pada tulisan ini mengacu pada Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, tentang Cagar Budaya, pasal 1 angka 1,

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar

Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan

Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan karena

Page 12: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

12

memilki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau

kebudayaan melalui proses penetapan.

Pembahasan tentang Pengelolaan Kawasan Sendangsono ini juga melibatkan

stakeholder yang ada di Kawasan Sendangsono, yaitu masyarakat, pemerintah dan akademisi.

Masin-masing pihak mempunyai perspektif atau pandangan yang berbeda tentang potensi dan

pengelolaan Kawasan Sendangsono ini. Pemetaan kepentingan para stakeholder dapat dilihat

pada gambar di bawah ini:

Tabel 1. Pemetaan kepentingan stakeholder

Para Pihak Posisi Kepentingan Kebutuhan

Pemerintah Daerah

Kabupaten Kulon

Progo.

Lembaga Formal

Pemerintahan.

Kewenangan

terhadap Kawasan

sendangsono

sebagai sumberdaya

budaya.

Ekonomi

(peningkatan PAD)

sebagai salah satu

ODTW

Masyarakat Kawasan

Sendangsono.

Masyarakat lokal. Pemilik Kawasan. Ideologi, ekonomi

Peziarah Masyarakat

pendatang.

Berdoa, berziarah Kenyamanan dan

pelayanan yang

baik dan memadai.

Balai Pelestarian

Cagar Budaya DIY.

Lembaga Formal

Pemerintahan.

Kewenangan

melindungi,

melestarikan dan

memanfaatkan

Kawasan

Sendangsono

sebagai sumberdaya

budaya.

Lestarinya

sumberdaya

budaya kawasan

Sendangsono.

Pengurus Gereja Papa

Miskin.

Lembaga Gereja. Pengelola dan

pemilik Kawasan

Sendangsono.

Lestarinya

KawasanSendangs

ono sebagai tempat

peziarahan

Akademisi (Peneliti

dan pemerhati budaya.

Lembaga

independen dan

netral.

Peneliti dan

penikmat

sumberdaya budaya

Bidang akademis

(pengembangan

keilmuan)

Page 13: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

13

Posisi masing masing stakeholder harus seimbang, tidak boleh ada yang lebih kuat, jika telah

terjadi keseimbangan maka dapat dipastikan tidak akan ada konflik di Kawasan Sendangsono,

seperti gambar di bawah ini,

Ket. = Fasilitasi

Gambar 1. Model pengelolaan Kawasan Sendangsono.

Kawasan Sendangsono

Pemerintah

Masyarakat Akademisi

Page 14: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

14

No Kegiatan Target Realisasi Penanggungjawab Waktu

1. Meningkatkan pengetahuan pengurus

dalam mengelola Kawasan

Sendangsono dengan melibatkan

seluruh pengurus dan masyarakat

sekitar dengan mengundang nara

sumber

3 kali pertemuan Dilakukan sekali

dalam setahun.

Manager, Kepala

Dukuh, Perwakilan

masyarakat.

Maksimal dimulai

3tahun kedepan.

2. Pembentukan Paguyuban Pedagang

yang melakukan aktivitasnya di

sekitar Kawasan Sendangson

1 paguyuban 1 Paguyuban Manager, Kepala

Dukuh, Perwakilan

pedagang.

Maksimal

terbentuk 2 tahun

mendatang.

(Dimulai dengan

musyawarah yang

difasilitasi oleh

perangkat desa atau

kepala dukuh.)

3. Penataan Kawasan Sendangsono

sebagai salah satu usaha mendukung

kelestarian sumberdaya budaya dan

aktivitas peziarahan yaitu:

(a) Pembuatan Zonasi 1. Zona inti

Gua Maria,

Jalan Salib.

Inti Gereaja

Promasan.

2. Zona

Penyangga

pada Gua

Maria. Jalan

Salib dan

Gereja

Zona Inti pada

Ga Maria, Jalan

Salib, Gereja

Promasan.

Manager, akademisi,

BPCB, Pemda Kab.

Kulon Progo,

Masyarakat

Maksimal 5 tahun

kedepan

Tabel 2. Contoh kegiatan strategi pengembangan SMART

Page 15: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

15

Promasan

(b) Penataan kios di jalan masuk

dibuatkan area khusus souvenir

dan warung makan, (dimulai

dengan sosilisasi, pengadaan

tanah, pembuatan kios,

pemindhan pedagang)

24 kios Tahun I,

Sosialisasi.

Tahun II dan III,

Pengadaan

tanah.

Tahun IV

Pembuatan Kios

dan pemindahan

pedagang.

Manager, Masyarakat

sekitar, Perwakilan

Pemerintah

Maksimal 5 tahun

kedepan

(c) Penataan rumah yang

dijadikan kios/warung makan

14 rumah /

warung

Tahun I,

Sosialisasi.

Tahun II dan III,

Pengadaan

tanah.

Tahun IV dan V

Pembuatan Kios

dan pemindahan

pedagang.

Manager, Masyarakat

sekitar, Perwakilan

Pemerintah

Maksimal 5 tahun

kedepan

(d) Penataan Parkir 4 lokasi Tahun I,

Kawasan Parkir

di Pedukuhan

Semagung.

Tahun II

Kawasan Parkir

di Promasan.

Tahun III di

Pedukuhan

Slanden.

Manager, Masyarakat

sekitar, Perwakilan

Pemerintah

Maksimal 5 tahun

Mulai tahun III

dimulai pembuatan

area parkir di

kawasan Ancol,

maks 10 th

kedepan.

(e) Penataan Rest Area 1 lokasi rest

area di

lingkungan

TahunI,

Pengadaan

tanah.

Manager, Masyarakat

sekitar

Maksimal 5 tahun

kedepan

Page 16: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

16

Gua Maria, 1

lokasi di

Ancol, Bligo.

Tahun II mulai

pembangunan

(f) Pembuatan alur pengunjung

(Visitor Management)

1 atau 2

alternatif

Tahun I, 1 jalur

untuk Alur

masuk dan

keluar.

Tahun II, 1 jalur

lagi untuk jalur

keluar-masuk.

Pengurus dipimpin

Manager

Maksimal 2 tahun

kedepan

Perumusan aturan-aturan yang

mendukung kelestarian sumberdaya

budaya dan aktivitas peziarahan.

(a) Peraturan tentang bentuk

bangunan sekitar Sumberdaya

budaya agar bangunan di

lingkungan gua Maria.

1 buah peraturan 1 buah draft

peraturan di

tahun pertama

Manager, Akademisi,

BPCB, Pemda Kab.

Kulon Progo, Tim

Ahli Cagar Budaya

Maksimal 5 tahun

kedepan

(b) Tata tertib peziarah, Aturan

tentang makan-minum, cara

berdoa di Sendangsono

1 buah aturan 1 buah draft

peraturan di

tahun pertama

Manager Maksimal 2 tahun

kedepan.

Page 17: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

17

Penutup

A. Kesimpulan

Kawasan Sendangsono yang terletak di Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang,

Kabupaten Kulon Progo pada saat ini merupakan Kawasan Cagar Budaya yang masih

digunakan oleh masyarakat pendukungnya, atau juga sering disebut sebuah tinggalan yang

bersifat living monument. Penataan dan pembangunan kelengkapan Kawasan Sendangsono

yang dimulai oleh Romo YB Mangun Wijaya, Pr dengan mengedepankan penggunaan bahan-

bahan setempat serta sangat memperhatikan masalah lingkungan menjadi ciri khas kawasan

ini. Penggunaan atap berbentuk Joglo di beberapa bangunan memperkuat akulturasi budaya

Kawasan Sendangsono.

Pengelolaan Kawasan Sendangsono relatif baik dan terjaga karena adanya pengurus

yang secara khusus mengelola kawasan tersebut. Dilihat dari Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, tentang Cagar Budaya menyebutkan bahwa aspek

pelestarian meliputi aspek pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Upaya pelindungan

secara fisik dapat dilakukan dengan penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharan dan

pemugaran, pada saat ini yang belum dilaksanakan di Kawasan Sendangsono adalah zonasi.

Hasil observasi saat ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah terlibat sebatas kegiatan-

kegiatan insidentil, belum menyentuh pada sisi-sisi manajemen.

Pelindungan secara non fisik adalah telah ditetapkanya gua Santa Maria Tak Bernoda

dan Gerja Santa Maria Lourdes, Promasan sebagai Cagar Budaya, diharapkan pada masa-

masa yang akan datang tidak hanya gua dan gereja saja yang ditetapkan, tetapi banguan

bangunan lain yang mendukung Kawasan Sendangsono ini.

Page 18: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

18

Kondisi Kawasan Sendangsono saat ini membuat banyak pihak merasa mempunyai

kepentingan, oleh sebab itu aspek pemanfatan Kawasan Sedangsono harus dapat mengampu

kepentingan-kepentingan para pihak tetapi jangan sampai merusak sumberdaya budaya yang

ada. Oleh sebab itu disajikan pengembangan Kawasan Sendangsono ini menggunakan strategi

pengembangan SMART . Analisis ini dengan jelas menjabarkan kegtiatan-kegiatan yang

dapat dilaksanakan di Kawasan Sendangsono.

Model pengelolaan yang ideal di Kawasan Sendangsono yang berwawasan masyarakat

adalah pelibatan masyarakat dalam pengelolaan Kawasan Sendangsono dengan tidak

mengesampingkan peranan para pihak yang berkepentingan, yaitu pemerintah, para akademisi

dan masyarakat itu sendiri. Peranan para pihak sangat dibutuhkan oleh pemilik / pengelola

guna menjaga kelestarian, pengembangan dan pemanfaatan Kawasan Sendangsono ini.

Keseimbangan peranan stakeholder diharapkan akan menuju pengelolaan Kawasan

Sendangsono berwawasan masyarakat. Sebagai contoh adalah pembuatan alur pengunjung,

kajian harus melibatkan 3 stakeholder, yaitu pemerintah, masyarakat dan akademisi, demikian

juga proses-proses selanjutnya sampai dengan evaluasi.

Kegiatan-kegiatan pengurus Kawasan Sendangsono sebagian besar berkaitan langsung

dengan Gua Maria dan lingkungannya, belum banyak menyentuh masalah pemberdayaan

masyarakat, misalnya pelatihan sadar pengunjung, pelatihan kerajinan tangan, pelatihan

pengolahan makanan khas setempat, pengembangan tanaman organik karena pengurus telah

memulai dengan mengumpulkan sampah-sampah daun untuk dijadikan pupuk. Contoh

kegiatan secara rinci kegiatan-kegiatan yang menggunakan strategi pengembangan SMART

telah dikemukakan pada bab terdahulu tetapi masih perlu mendiskusikan lebih lanjut dengan

masyarakat.

Page 19: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

19

B. SARAN

Guna mewujudkan Pengelolan Kawasan Sendangsono berbasis konservasi budaya terdapat

beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu:

1. Pembuatan zonasi, karena basis pengembangan sebuah Kawasan Cagar Budaya

didasarkan atas sistem zonasi ini. Zonasi di Kawasan Sendangsono ini tidak bisa secara

konsentris, tetapi harus dilakukan dengan bentuk sel, karena situasi dan kondisinya tidak

memungkinkan, sudah terlalu banyak rumah-rumah penduduk di sekeliling Kawasan

Sendangsono.

2. Diperlukan pengaturan pengunjung, termasuk tata cara beribadah bagi pengunjung

ataupun bagi pengunjung yang sekedar berwisata, agar tidak terlihat semrawut yang pada

akhirnya akan mengakibatkan kerusakan sumberdaya budaya di Kawasan Sendangsono

ini. Pengaturan pengunjung ini dilakukan dengan memisahkan jalan masuk dan jalan

keluar, sehingga tidak terjadi pertemuan antara pengunjung yang sedang melakukan ritual

dan pengunjung yang telah selesai melakukan ritual.

3. Pengelolan aktivitas masyarakat di sekitar Kawasan Sendangsono agar lebih

diperhatikan. kualitas sumberdaya Kawasan Sendangsono tetap terjaga dan semakin

menguatkan pandangan peziarah / pengunjung terhadap peran masyarakat dalam menjaga

sumberdaya budaya yang ada.

4. Keterlibatan masyarakat dapat dilakukan dengan membentuk forum-forum, misalnya

peduli Kawasan Sendangsono, dengan pembentukan forum-forum tersebut diharapkan

masyarakat dapat ikut berperan dalam pengelolaan Kawasan Sendangsono, mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai dengan evaluasi kegiatan pengelolaan

Kawasan Sendangsono.

Page 20: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

20

5. Para pihak terkait wajib membina dan memikirkan pemberdayaan masyarakat yang

tidak menyimpang terhadap kelestarian budaya dan lingkungan, misalnya dengan

memberikan kursus-kursus tentang kerajinan berbasis bahan lokal, menggiatkan tanama-

tanama organik mengingat salah satu potensi terbesar adalah buah-buahan.

Page 21: Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat

21

DAFTAR PUSTAKA

Agustiati, Rina.,2004.”Perubahan Ruang Permukiman di Sekitar Kawasan Wisata Ziarah

Makam Bung Karno, Blitar”, Tesis,Yogyakarta: Prodi Magister Perencanaan Kota dan

Daerah Kelompok Bidang Ilmu Teknik.

Atmosudiro, Sumijati, 2004,”Manajemen Benda Cagar Budaya dalam Era Otonomi Daerah”,

dalam Buletin Amoghapasa, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar.

Fisher, Simon dkk, 2001.”Mengelola Konflik:Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak”.

Terjemahan oleh S.N. Kartikasari. Jakarta : The British Council.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 1977. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Parikesit, D.1998., “ Pelatihan Metode Pariwisata”. Yogyakarta.

Pengurus Peziarahan Sendangsono, 2009., “Ziarah Ke Gua Maria Loudes Sendangsono”,

Sleman, Pitulast Production.

Sindhunata, GP (ed), “Mengasih Maria, 100 Tahun Sendangsono”, Penerbit Kanisius, 2004

Sumanto, 1995. “Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan”, Yogyakarta: Penerbit Andi

Offset.

Tanudirjo, Daud Aris., Tjahjono Prasodjo, Susetyo Edy Yuwono, D.S. Nugraheni, 1994.

Kualitas Penyajian Warisan Budaya Kepada Masyarakat: Studi Kasus Menejemen

Sumberdaya Budaya Candi Borobudur. Yogyakarta: PAU UGM