pengelolaan kawasan sendang sono berwawasan masyarakat
TRANSCRIPT
1
Pengelolaan Kawasan Sendang Sono berwawasan Masyarakat
S. Singgih Hapsoro
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Kulonprogo
Jl. Sanun No. 4 Wates, Kulon Progo
Email :[email protected]
Abstrak
Kawasan Sendangsono menjadi salah satu tempat peziarahan favorit umat Katolik di
Indonesia, yang berupa sebuah gua buatan didalamnya terdapat patung perwujudan Bunda
Maria , Gereja Promasan dan lintasan Jalan Salib yang menghubungkan Gereja dengan Gua
Maria. Pesatnya pembangunan serta daya tarik ekonomi menimbulkan permasalahan yang
dapat membahayakan dan mengancam kelestarian sumberdaya budaya kawasan Sendangsono.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan pengelolaan Kawasan Sendangsono yang
berwawasan masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan mengevaluasi
pengelolaan Kawasan Sendangsono saat ini. Kajian yang dilakukan adalah kajian berwawasan
masyarakat, yaitu kajian pengelolaan yang memperhatikan nilai dan makna budaya, baik
yang berwujud benda maupun tak benda dan peran serta masyarakat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemeliharaan Kawasan Sendangsono sudah sangat baik, terbukti dengan
kepuasan para pengunjung yang datang ke Kawasan Sendangsono. Keterlibatan masyarakat
hanya sebatas kegiatan insidentil, belum menyentuh sisi manajemen. Hal inilah yang perlu
diperhatikan dalam rangka Pengelolaan Kawasan Sendangsono yang berwawasan masyarakat.
Kata Kunci: Kawasan Sendangsono, berwawasan masyarakat, stakeholder, pemanfaatan.
ABSTRACT: Sendangsono area, has become one of the favorite places of pilgrimage of the Catholics
in Indonesia. The center of this pilgrimange place is an artificial grotto in which the statue of Mother
Mary, Promasan Church and a path which connects the Church and the Grotto. Utilization activities,
rapid development, and economic attractions have caused problems which may endanger and threaten
the sustainability of cultural resources in the area of Sendangson. This research aims to identify and
evaluate the management of Sendangsono Area at present. The research employs cultural
conservation-based study, which is a management study which takes into account cultural values and
meanings either tangibles or intangibles. By identifying the perspective of each stakeholder, it is
expected that this research will be able to formulate a community-based management for Sendangsono
area. The interview with stakeholder shows that Sendangsono area is well managed.The visitor
satisfactory proves it. The society involvement is limited in certain activities, not in management. This
needs more attention in running community based management for Sendangsono area. Keywords : Sendangsano area, community based, stakeholder,
2
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pelestarian sumberdaya budaya di Indonesia pada saat ini mengalami berbagai
kendala, terutama jika berbenturan dengan aspek yang lain, yaitu aspek pemanfaatan. Aspek
pemanfaatan yang tidak terkendali akan menimbulkan kerusakan sumberdaya budaya tersebut,
misalnya dalam kegiatan pembangunan dalam skala kecil, sebagai contoh adalah rumah-
rumah tradisional yang sudah tidak disukai, sehingga beberapa elemen diganti, tegel diganti
dengan keramik, genteng vlaam diganti dengan model plenthong, dan lain sebagainya. Contoh
kerusakan yang ditimbulkan oleh pembangunan dengan skala besar, misalnya situs-situs di
Pacitan dan Tuban yang terkena dampak penambangan batu dan pembuatn jalan lingkar, Situs
Awangbangkal di Kalimantan Selatan yang terkena proyek PLTA, dan lebih banyak lagi.
Biasanya semakin besar kegiatan yang dilakukan biasanya akan menimbulkan kerusakan yang
lebih besar pula.
Kondisi tersebut di atas telah memunculkan sebuah pandangan baru dalam
pengelolaan sumberdaya budaya, khususnya di bidang arkeologi, yaitu Cultural Resources
Management (CRM). Secara ringkas, Cultural Resource Management mencakup 3 (tiga)
tahapan, yaitu pelindungan, pelestarian dan pemanfaatan. Melalui tiga tahapan itu diupayakan
agar hakekat, sebab asal, dan hukum yang terkandung dalam benda cagar budaya dapat
dipahami tidak hanya di kalangan pengelola, tetapi juga di kalangan masyarakat luas
(Atmosudiro,2004). Melalui pemahaman terhadap tiga tahapan tersebut diharapkan pihak
pengelola dan masyarakat dapat memperlakukan cagar budaya yang mereka miliki dengan
benar, sehingga dapat memperoleh manfaat dari keberadaan cagar budaya tersebut. Oleh
sebab itu, sumberdaya arkeologi perlu dikelola secara bijak agar berkelanjutan (sustainable)
3
sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan masyarakat luas (Tanudirjo,
dkk, 1994; Hardjasoemantri, 1977).
Pemanfaatan sumberdaya budaya yang paling sering dilakukan adalah sebagai objek
wisata. Pariwisata merupakan fenomena yang sangat kompleks dan unik, karena pariwisata
bersifat multi dimensi, fisik, sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pariwisata menawarkan
jenis produk yang beragam, mulai dari wisata alam, wisata buatan, wisata budaya, wisata
sejarah hingga beragam wisata dengan minat khusus (Parikesit, 1998).
Beberapa tahun terakhir tempat-tempat yang dianggap suci atau keramat menjadi
tujuan masyarakat. Wisata Ziarah, termasuk jenis wisata khusus yang mempunyai pasar
orang-orang tertentu (orang dewasa yang mempunyai tujuan tertentu). Mengingat tujuan
wisata bagi orang-orang tertentu tersebut, maka aktivitas ini tidak hanya sekali dilakukan
mengingat ikatan emosional dan spiritual. (Agustiati, 2004:25). Salah satu tempat suci yang
sering menjadi tempat ziarah bagi umat Katolik adalah Sendangsono, yang terletak di Dusun
Foto Gereja Promasan (dok. penulis).
4
Semagung, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Sendangsono
berasal dari kata Sendang dan Sono. Sendang merupakan istilah Jawa untuk menyebut mata
air dan Sono merupakan nama jenis pohon yaitu pohon Angsana. Sebelum nama Sendangsono
dikenal, masyarakat sering menyebut sumber air itu dengan Sumber Semagung (Pengurus
Pesiarahan Sendangsono, 2009).
Sumber Semagung sebelum dijadikan tempat suci bagi umat Katolik telah
dimanfaatkan sebagai tempat pemberhentian para Bhiksu dalam perjalanan menuju atau
pulang dari Candi Mendut ke daerah Boro, mereka beristirahat melepas lelah dan
memanfaatkan sumber Semagung tersebut untuk menyegarkan badan setelah mengalami
perjalanan yang cukup jauh, meskipun sampai saat ini belum dijumpai tinggalan arkeologis
yang mendukung hal tersebut.
Sendangsono tidak dapat lepas dari sebuah nama, yaitu Barnabas Sarikrama. Barnabas
Sarikrama adalah seorang penduduk asli yang mempunyai nama kecil Soerawijaya dan
dibaptis pertama kali di tempat tersebut bersama dua orang temannya. Rama Van Lith SJ
kemudian memberi nama Barnabas Sarikrama berarti rakyat jelata yang mampu menerima
intisari ajaran Kristiani. (Tartono, 2005:2) Barnabas Sarikrama menyebarkan ajaran Katolik
di perbukitan Menoreh sampai akhir hayatnya. Karena perjuangan yang tidak mengenal lelah
dalam mewartakan ajaran Katolik, Barnabas Sarikrama dianugerahi Bintang jasa Pro Ecclesia
et Pontifice oleh Paus Pius XI.
Kompleks Gua Maria Sendangsono memiliki tanah 6000 m2, terletak di Perbukitan
Menoreh dengan kontur yang bervariasi. Di lokasi ini dibangun Gua Maria juga dibangun dua
buah kapel, yaitu Kapel Maria dan Kapel Dua Belas Rasul, pemakaman, tempat tokoh
5
Barnabas Sarikromo dimakamkan, tempat beristirahat bagi para peziarah, lintasan jalan salib
kecil dan tempat untuk MCK.
Kompleks Sendangsono dinilai telah memenuhi persyaratan sebagai cagar budaya,
maka Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2010 menetapkan
kompleks Gua Maria Sendangsono dan Gereja Santa Maria Lourdes dinyatakan sebagai
Benda Cagar Budaya dengan Surat Keputusan Penetapan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 210/KEP/2010, tentang Penetapan Benda Cagar Budaya. Dalam Surat
Keputusan yang dibuat Tim Penilai Klasifikasi Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta pada tanggal 23 Agustus 2010 tersebut, Kompleks Sendangsono dinyatakan
sebagai cagar budaya kelas C, yaitu kelas provinsi.
Meskipun belum memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai Kawasan Cagar Budaya,
untuk memudahkan dalam penyebutan, maka kondisi saling keterkaitan antara kompleks gua
Maria Sendangsono dan Gereja Santa Maria Lourdes tersebut dalam penulisan berikutnya
akan disatukan dan disebut Kawasan Sendangsono. Situasi dan kondisi di kawasan
Sendangsono saat ini sangat memprihatinkan, berkaitan dengan perkembangan pembangunan
oleh masyarakat setempat. Beberapa wawancara awal yang dilakukan mengatakan bahwa
suasana Kompleks Sendangsono sekarang sudah tidak senyaman dahulu, terkesan terlalu
ramai karena banyaknya bangunan, walaupun jika dibandingkan dengan tempat ziarah yang
lain masih relatif lebih nyaman. Selain hal tersebut, pemanfaatan berlebihan yang tidak
memperhatikan sumber daya budaya yang ada. (Sendangsono dan Gereja Santa Maria
Lourdes, Promasan) akan berakibat negatif, baik bagi sumber daya budaya maupun
masyarakat itu sendiri. Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, maka permasalahan yang dapat
6
dirumuskan adalah bagaimana model pengelolaan yang dapat diterapkan di Kawasan
Sendangsono ?
Kerangka Teori dan Metodologi
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif analitis, yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan apa yang ada,
dapat mengenai kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang berlangsung, akibat
atau efek yang terjadi, atau kecenderungan yang tengah berkembang (Sumanto 1995:77).
Tahap-tahap penelitian meliputi tahap persiapan, pengumpulan, pengolahan dan analisis data
serta sistesis. Persiapan dilakukan dengan studi pustaka digunakan untuk mencari data untuk
memperoleh dan melengkapi bahan-bahan yang digunakan untuk kajian sumberdaya materi
dan sumberdaya bukan materi.
Pengumpulan data akan dilakukan dengan cara : wawancara dan observasi.
Wawancaradilakukan dengan sistem in depth interview secara acak kepada pengurus Gereja
Papa Miskin, Pemda Kulon Progo, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY dan Dinas
Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, masyarakat dan peziarah. Observasi yang
dilakukan diharapkan mengetahui tentang kawasan, kegiatan masyarakat setempat, baik
masyarakat asli maupun pendatang, dan pengunjung. Tahap analisis dilakukan inventarisasi
komponen-komponen Kawasan Sendangsono, kemudian akan dilakukan kajian nilai penting
komponen Kawasan Sendangsono, baik yang sudah dinyatakan sebagai Cagar Budaya
ataupun komponenkomponen pendukungnya. Kajian-kajian tentang lingkungan dan aktivitas
masyarakat. Keterlibatan banyak pihak tentu saja akan mengakibatkan banyaknya
kepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya budaya. Banyaknya
kepentingan yang bersinggungan ini kemungkinan akan menimbulkan konflik kepentingan.
7
Analisis konflik yang akan digunakan adalah model analisis Bawang Bombay.
Analisis ini berujuan untuk memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing
pihak serta mencari titik kesamaan di antara kelompok yang akan dijadikan pembahasan
berikutnya (Fisher dkk, 2011). Kesuksesan partisipasi dalam konservasi adalah memastikan
bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki kerangka kerja dan pengetahuan yang
cukup dalam bertindak, oleh sebab itu panduan penyusunan program untuk pengembangan
Kawasan Sendangsno akan mengunakan S.M.A.R.T (Specific. Measureable,
Achievable,Responsible Person, Time–Bound) , agar pengembangan yang dilakukan lebih
terarah dan jelas. Hasil analisis yang dilakukan digunakan sebagai dasar pijakan untuk
melakukan pengelolaan Kawasan Sendangsono berwawasan masyarakat, yang diharapkan
akan sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010.
B. Pembahasan
Sejarah Kawasan Sendangsono
Perkembangan kawasan Sendangsono ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah
kekaryaan Ordo Serikat Jesuit di Indonesia, khususnya karya missioner di Jawa pada akhir
abad ke-19 oleh Pastor F. Van Lith, S.J. dan Pastor P. Hoevenaars, S.J. ( Haryono, 2009: 45).
Kedua Pastor tersebut, Pastor F van Lith S.J. dan Pastor P. Hoevenaars, S.J. berlabuh di
Semarang pada bulan Oktober 1896. Sejak awal, perkembangan Katolik di Jawa dianggap
sangat sulit dilakukan, selain karena faktor kepercayaan yang sangat kuat terhadap leluhur,
pengaruh Islam yang sangat kuat, juga karena keterbatasan tenaga bagi karya misi di seluruh
Indonesia sangat kurang dan juga karena tidak ada Jesuit yang mahir berbahasa jawa (G.P
Sindhunata, SJ. (Ed), 2004:19).
8
Berkat kedatangan Romo Hoevenars, perkembangan karya misioner dari Ordo Serikat
Jesuit di Jawa sungguh luar biasa. Belum sampai setengah tahun tinggal di Jawa, Romo
Hoevenaars sudah mengajar, berkothbah dan membaptis orang di Semarang dan Yogyakarta,
sementara itu Romo van Lith masih berusaha keras mempelajari sejarah, bahasa, dan adat
istiadat Jawa (G.P Sindhunata, SJ. (Ed), 2004:20). Perkembangan Agama Katolik di Jawa
semakin pesat ketika Romo Van Lith S.J menggunakan adat istiadat dan bahasa Jawa dalam
memperkenalkan ajaran Agama Katolik.
Keberhasilan tersebut ternyata tidak berkembang lebih lanjut, karena banyak katekis
yang bertindak tidak terpuji, sampai akhirnya Romo Van Lith S.J memecat beberapa katekis,
setelah itu perkembangan Agama Katolik tidak menggembirakan. Keadaan tersebut
terselamatkan oleh Barnabas Sarikrama yang dengan gigih mengajar Agama Katolik hingga
dibaptisnya 171 orang di wilayah Kalibawang. Kondisi tersebut membuat Romo Superior
Misi tidak jadi menutup misi di Tanah Jawa.
Foto 1. Gua Maria Lourdes (dok. penulis)
9
Usulan Pengelolaan Kawasan Sendangsono Berwawasan Masyarakat
Sebelum membuat racangan pengelolaan Kawasan Sendangsono berwawasan
masyarakat tersebut akan terlebih dahulu dikemukakan beberapa hal yang menjadi kelebihan
serta kekurangan kawasan Sendangsono. Kelebihan Kawasan Sendangsono antara lain:
(1) Nilai penting sejarah yang dimiliki oleh Kawasan Sendangsono.
(2) Gaya arsitektur bangunan-bangunan Kawasan Sendangsono yang merupakan
cerminan akulturasi bangunan tradisional jawa dengan bangunan indis.
(3) Sendangsono masih manjadi salah satu tujuan peziarahan umat Katolik.
(4) Penataan bangunan yang sangat baik dengan memperhatikan kondisi
lingkungan yang berbukit.
(5) Akulturasi budaya antara budaya yang dibawa oleh agama Katolik dengan
budaya Jawa.
(6) Mempunyai kepengurusan khusus dalam pengelolaan Kawasan Sendangsono.
Sedangkan kekurangannya adalah :
(1) Belum ada sistem zonasi.
(2) Penataan wilayah sakral dan wilayah profan belum jelas terlihat dan belum
tersosialisasi dengan baik.
(3) Rumah-rumah penduduk terlalu dekat dengan wilayah yang seharusnya
menjadi zona inti.
(4) Rumah-rumah yang dijadikan toko souvenir maupun warung yang berada di
kiri dan kanan jalur Jalan Salib secara tidak langsung mengganggu peziarah dalam
melaksanakan ritual Jalan Salib.
(5) Belum ditatanya kios souvenir di jalan masuk, sehingga terkesan seadanya dan
10
asal-asalan.
(6) Belum ada aturan yang baku tentang keterlibatan penduduk pendatang untuk
ikut mempunyai usaha ekonomi di kawasan Sendangsono, sehingga menimbulkan
permasalahan baru.
(7) Rambu-rambu peringatan di kawasan Sendangsono terasa masih kurang, terlalu
sedikit.
(8) Masyarakat belum terlibat aktif dalam pengelolaan kawasan Sendangsono.
Usaha-usaha guna mengurangi sisi kekurangannya dapat dilakukan dengan lebih
mudah apabila masing-masing pihak dapat duduk bersama. Adapun usaha yang dibutuhkan
untuk mengurangi atau menghilangkan sisi keurangan dapat dilakukan dengan :
(1) Pembuatan Zonasi, dapat dilakukan dengan model sentral atau sel.
(2) Dibuat rambu-rambu yang lebih jelas agar wilayah profan dan wilayah sakral
dapat diketahui dengan pasti oleh masyarakat maupun para peziarah.
(3) Rumah-rumah penduduk yang terlanjur dibangun sangat dekat dengan zona
inti harus mempunyai aturan-aturan yang disepakati agar tetap mendukung dalam
melesatarikan sumberdaya budaya di Kawasan Sendangsono ini.
(4) Sebisa mungkin rumah-rumah yang berada di sisi kanan-kiri Jalan Salib tidak
dipergunakan sebagai tempat berjualan, tetap dipergunakan sebagai tempat tinggal.
Jika zonasi telah ditetapkan, rumah-rumah penduduk tersebut bersebelahan dengan
lintasan Jalan Salib yang merupakan salah satu zona inti dan rumah rumah tersebut
menjadi zona penyangga.
11
(5) Penataan kios dengan lokasi menyatu, bentuk kios serta keluasan yang sama
sehingga menjamin kebersamaan dan kesetaraan antar pedagang, baik warung
maupun souvenir.
(6) Pembuatan aturan atau kesepakatan bagi warga pendatang yang ikut
berkegiatan ekonomi di wilayah tersebut.
(7) Rambu-rambu diperbanyak dengan memperhatikan estetika.
(8) Melibatkan secara aktif masyarakat setempat walaupun Kawasan Sendangsono
adalah milik sebuah paguyuban atau yayasan sejak perencanaan sampai dengan
evaluasi.
Setelah mengetahui kelebihan dan kelemahan, maka hal yang harus diperhatikan adalah nilai
penting. Nilai penting cagar budaya merupakan hal utama yang perlu dipahami oleh semua
pihak dalam pelestarian, perlindungan dan pemanfaatannya. Pemahaman tentang Nilai
Penting Warisan Budaya itu diperlukan dalam mengidentifikasikan suatu unsur budaya yang
dapat kita anggap sebagai warisan budaya atau bukan. Selain itu, nilai penting warisan budaya
akan ikut menentukan kebijakan, strategi, dan tata cara pengelolaan dan pelestarian warisan
budaya (Tanudirjo, tt: 6)
Pembobotan nilai penting pada tulisan ini mengacu pada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, tentang Cagar Budaya, pasal 1 angka 1,
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan
Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan karena
12
memilki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan.
Pembahasan tentang Pengelolaan Kawasan Sendangsono ini juga melibatkan
stakeholder yang ada di Kawasan Sendangsono, yaitu masyarakat, pemerintah dan akademisi.
Masin-masing pihak mempunyai perspektif atau pandangan yang berbeda tentang potensi dan
pengelolaan Kawasan Sendangsono ini. Pemetaan kepentingan para stakeholder dapat dilihat
pada gambar di bawah ini:
Tabel 1. Pemetaan kepentingan stakeholder
Para Pihak Posisi Kepentingan Kebutuhan
Pemerintah Daerah
Kabupaten Kulon
Progo.
Lembaga Formal
Pemerintahan.
Kewenangan
terhadap Kawasan
sendangsono
sebagai sumberdaya
budaya.
Ekonomi
(peningkatan PAD)
sebagai salah satu
ODTW
Masyarakat Kawasan
Sendangsono.
Masyarakat lokal. Pemilik Kawasan. Ideologi, ekonomi
Peziarah Masyarakat
pendatang.
Berdoa, berziarah Kenyamanan dan
pelayanan yang
baik dan memadai.
Balai Pelestarian
Cagar Budaya DIY.
Lembaga Formal
Pemerintahan.
Kewenangan
melindungi,
melestarikan dan
memanfaatkan
Kawasan
Sendangsono
sebagai sumberdaya
budaya.
Lestarinya
sumberdaya
budaya kawasan
Sendangsono.
Pengurus Gereja Papa
Miskin.
Lembaga Gereja. Pengelola dan
pemilik Kawasan
Sendangsono.
Lestarinya
KawasanSendangs
ono sebagai tempat
peziarahan
Akademisi (Peneliti
dan pemerhati budaya.
Lembaga
independen dan
netral.
Peneliti dan
penikmat
sumberdaya budaya
Bidang akademis
(pengembangan
keilmuan)
13
Posisi masing masing stakeholder harus seimbang, tidak boleh ada yang lebih kuat, jika telah
terjadi keseimbangan maka dapat dipastikan tidak akan ada konflik di Kawasan Sendangsono,
seperti gambar di bawah ini,
Ket. = Fasilitasi
Gambar 1. Model pengelolaan Kawasan Sendangsono.
Kawasan Sendangsono
Pemerintah
Masyarakat Akademisi
14
No Kegiatan Target Realisasi Penanggungjawab Waktu
1. Meningkatkan pengetahuan pengurus
dalam mengelola Kawasan
Sendangsono dengan melibatkan
seluruh pengurus dan masyarakat
sekitar dengan mengundang nara
sumber
3 kali pertemuan Dilakukan sekali
dalam setahun.
Manager, Kepala
Dukuh, Perwakilan
masyarakat.
Maksimal dimulai
3tahun kedepan.
2. Pembentukan Paguyuban Pedagang
yang melakukan aktivitasnya di
sekitar Kawasan Sendangson
1 paguyuban 1 Paguyuban Manager, Kepala
Dukuh, Perwakilan
pedagang.
Maksimal
terbentuk 2 tahun
mendatang.
(Dimulai dengan
musyawarah yang
difasilitasi oleh
perangkat desa atau
kepala dukuh.)
3. Penataan Kawasan Sendangsono
sebagai salah satu usaha mendukung
kelestarian sumberdaya budaya dan
aktivitas peziarahan yaitu:
(a) Pembuatan Zonasi 1. Zona inti
Gua Maria,
Jalan Salib.
Inti Gereaja
Promasan.
2. Zona
Penyangga
pada Gua
Maria. Jalan
Salib dan
Gereja
Zona Inti pada
Ga Maria, Jalan
Salib, Gereja
Promasan.
Manager, akademisi,
BPCB, Pemda Kab.
Kulon Progo,
Masyarakat
Maksimal 5 tahun
kedepan
Tabel 2. Contoh kegiatan strategi pengembangan SMART
15
Promasan
(b) Penataan kios di jalan masuk
dibuatkan area khusus souvenir
dan warung makan, (dimulai
dengan sosilisasi, pengadaan
tanah, pembuatan kios,
pemindhan pedagang)
24 kios Tahun I,
Sosialisasi.
Tahun II dan III,
Pengadaan
tanah.
Tahun IV
Pembuatan Kios
dan pemindahan
pedagang.
Manager, Masyarakat
sekitar, Perwakilan
Pemerintah
Maksimal 5 tahun
kedepan
(c) Penataan rumah yang
dijadikan kios/warung makan
14 rumah /
warung
Tahun I,
Sosialisasi.
Tahun II dan III,
Pengadaan
tanah.
Tahun IV dan V
Pembuatan Kios
dan pemindahan
pedagang.
Manager, Masyarakat
sekitar, Perwakilan
Pemerintah
Maksimal 5 tahun
kedepan
(d) Penataan Parkir 4 lokasi Tahun I,
Kawasan Parkir
di Pedukuhan
Semagung.
Tahun II
Kawasan Parkir
di Promasan.
Tahun III di
Pedukuhan
Slanden.
Manager, Masyarakat
sekitar, Perwakilan
Pemerintah
Maksimal 5 tahun
Mulai tahun III
dimulai pembuatan
area parkir di
kawasan Ancol,
maks 10 th
kedepan.
(e) Penataan Rest Area 1 lokasi rest
area di
lingkungan
TahunI,
Pengadaan
tanah.
Manager, Masyarakat
sekitar
Maksimal 5 tahun
kedepan
16
Gua Maria, 1
lokasi di
Ancol, Bligo.
Tahun II mulai
pembangunan
(f) Pembuatan alur pengunjung
(Visitor Management)
1 atau 2
alternatif
Tahun I, 1 jalur
untuk Alur
masuk dan
keluar.
Tahun II, 1 jalur
lagi untuk jalur
keluar-masuk.
Pengurus dipimpin
Manager
Maksimal 2 tahun
kedepan
Perumusan aturan-aturan yang
mendukung kelestarian sumberdaya
budaya dan aktivitas peziarahan.
(a) Peraturan tentang bentuk
bangunan sekitar Sumberdaya
budaya agar bangunan di
lingkungan gua Maria.
1 buah peraturan 1 buah draft
peraturan di
tahun pertama
Manager, Akademisi,
BPCB, Pemda Kab.
Kulon Progo, Tim
Ahli Cagar Budaya
Maksimal 5 tahun
kedepan
(b) Tata tertib peziarah, Aturan
tentang makan-minum, cara
berdoa di Sendangsono
1 buah aturan 1 buah draft
peraturan di
tahun pertama
Manager Maksimal 2 tahun
kedepan.
17
Penutup
A. Kesimpulan
Kawasan Sendangsono yang terletak di Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang,
Kabupaten Kulon Progo pada saat ini merupakan Kawasan Cagar Budaya yang masih
digunakan oleh masyarakat pendukungnya, atau juga sering disebut sebuah tinggalan yang
bersifat living monument. Penataan dan pembangunan kelengkapan Kawasan Sendangsono
yang dimulai oleh Romo YB Mangun Wijaya, Pr dengan mengedepankan penggunaan bahan-
bahan setempat serta sangat memperhatikan masalah lingkungan menjadi ciri khas kawasan
ini. Penggunaan atap berbentuk Joglo di beberapa bangunan memperkuat akulturasi budaya
Kawasan Sendangsono.
Pengelolaan Kawasan Sendangsono relatif baik dan terjaga karena adanya pengurus
yang secara khusus mengelola kawasan tersebut. Dilihat dari Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, tentang Cagar Budaya menyebutkan bahwa aspek
pelestarian meliputi aspek pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Upaya pelindungan
secara fisik dapat dilakukan dengan penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharan dan
pemugaran, pada saat ini yang belum dilaksanakan di Kawasan Sendangsono adalah zonasi.
Hasil observasi saat ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah terlibat sebatas kegiatan-
kegiatan insidentil, belum menyentuh pada sisi-sisi manajemen.
Pelindungan secara non fisik adalah telah ditetapkanya gua Santa Maria Tak Bernoda
dan Gerja Santa Maria Lourdes, Promasan sebagai Cagar Budaya, diharapkan pada masa-
masa yang akan datang tidak hanya gua dan gereja saja yang ditetapkan, tetapi banguan
bangunan lain yang mendukung Kawasan Sendangsono ini.
18
Kondisi Kawasan Sendangsono saat ini membuat banyak pihak merasa mempunyai
kepentingan, oleh sebab itu aspek pemanfatan Kawasan Sedangsono harus dapat mengampu
kepentingan-kepentingan para pihak tetapi jangan sampai merusak sumberdaya budaya yang
ada. Oleh sebab itu disajikan pengembangan Kawasan Sendangsono ini menggunakan strategi
pengembangan SMART . Analisis ini dengan jelas menjabarkan kegtiatan-kegiatan yang
dapat dilaksanakan di Kawasan Sendangsono.
Model pengelolaan yang ideal di Kawasan Sendangsono yang berwawasan masyarakat
adalah pelibatan masyarakat dalam pengelolaan Kawasan Sendangsono dengan tidak
mengesampingkan peranan para pihak yang berkepentingan, yaitu pemerintah, para akademisi
dan masyarakat itu sendiri. Peranan para pihak sangat dibutuhkan oleh pemilik / pengelola
guna menjaga kelestarian, pengembangan dan pemanfaatan Kawasan Sendangsono ini.
Keseimbangan peranan stakeholder diharapkan akan menuju pengelolaan Kawasan
Sendangsono berwawasan masyarakat. Sebagai contoh adalah pembuatan alur pengunjung,
kajian harus melibatkan 3 stakeholder, yaitu pemerintah, masyarakat dan akademisi, demikian
juga proses-proses selanjutnya sampai dengan evaluasi.
Kegiatan-kegiatan pengurus Kawasan Sendangsono sebagian besar berkaitan langsung
dengan Gua Maria dan lingkungannya, belum banyak menyentuh masalah pemberdayaan
masyarakat, misalnya pelatihan sadar pengunjung, pelatihan kerajinan tangan, pelatihan
pengolahan makanan khas setempat, pengembangan tanaman organik karena pengurus telah
memulai dengan mengumpulkan sampah-sampah daun untuk dijadikan pupuk. Contoh
kegiatan secara rinci kegiatan-kegiatan yang menggunakan strategi pengembangan SMART
telah dikemukakan pada bab terdahulu tetapi masih perlu mendiskusikan lebih lanjut dengan
masyarakat.
19
B. SARAN
Guna mewujudkan Pengelolan Kawasan Sendangsono berbasis konservasi budaya terdapat
beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu:
1. Pembuatan zonasi, karena basis pengembangan sebuah Kawasan Cagar Budaya
didasarkan atas sistem zonasi ini. Zonasi di Kawasan Sendangsono ini tidak bisa secara
konsentris, tetapi harus dilakukan dengan bentuk sel, karena situasi dan kondisinya tidak
memungkinkan, sudah terlalu banyak rumah-rumah penduduk di sekeliling Kawasan
Sendangsono.
2. Diperlukan pengaturan pengunjung, termasuk tata cara beribadah bagi pengunjung
ataupun bagi pengunjung yang sekedar berwisata, agar tidak terlihat semrawut yang pada
akhirnya akan mengakibatkan kerusakan sumberdaya budaya di Kawasan Sendangsono
ini. Pengaturan pengunjung ini dilakukan dengan memisahkan jalan masuk dan jalan
keluar, sehingga tidak terjadi pertemuan antara pengunjung yang sedang melakukan ritual
dan pengunjung yang telah selesai melakukan ritual.
3. Pengelolan aktivitas masyarakat di sekitar Kawasan Sendangsono agar lebih
diperhatikan. kualitas sumberdaya Kawasan Sendangsono tetap terjaga dan semakin
menguatkan pandangan peziarah / pengunjung terhadap peran masyarakat dalam menjaga
sumberdaya budaya yang ada.
4. Keterlibatan masyarakat dapat dilakukan dengan membentuk forum-forum, misalnya
peduli Kawasan Sendangsono, dengan pembentukan forum-forum tersebut diharapkan
masyarakat dapat ikut berperan dalam pengelolaan Kawasan Sendangsono, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai dengan evaluasi kegiatan pengelolaan
Kawasan Sendangsono.
20
5. Para pihak terkait wajib membina dan memikirkan pemberdayaan masyarakat yang
tidak menyimpang terhadap kelestarian budaya dan lingkungan, misalnya dengan
memberikan kursus-kursus tentang kerajinan berbasis bahan lokal, menggiatkan tanama-
tanama organik mengingat salah satu potensi terbesar adalah buah-buahan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Agustiati, Rina.,2004.”Perubahan Ruang Permukiman di Sekitar Kawasan Wisata Ziarah
Makam Bung Karno, Blitar”, Tesis,Yogyakarta: Prodi Magister Perencanaan Kota dan
Daerah Kelompok Bidang Ilmu Teknik.
Atmosudiro, Sumijati, 2004,”Manajemen Benda Cagar Budaya dalam Era Otonomi Daerah”,
dalam Buletin Amoghapasa, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar.
Fisher, Simon dkk, 2001.”Mengelola Konflik:Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak”.
Terjemahan oleh S.N. Kartikasari. Jakarta : The British Council.
Hardjasoemantri, Koesnadi. 1977. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Parikesit, D.1998., “ Pelatihan Metode Pariwisata”. Yogyakarta.
Pengurus Peziarahan Sendangsono, 2009., “Ziarah Ke Gua Maria Loudes Sendangsono”,
Sleman, Pitulast Production.
Sindhunata, GP (ed), “Mengasih Maria, 100 Tahun Sendangsono”, Penerbit Kanisius, 2004
Sumanto, 1995. “Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan”, Yogyakarta: Penerbit Andi
Offset.
Tanudirjo, Daud Aris., Tjahjono Prasodjo, Susetyo Edy Yuwono, D.S. Nugraheni, 1994.
Kualitas Penyajian Warisan Budaya Kepada Masyarakat: Studi Kasus Menejemen
Sumberdaya Budaya Candi Borobudur. Yogyakarta: PAU UGM