pengaruh locus of control job insecurity dan faktor
TRANSCRIPT
i
PENGARUH LOCUS OF CONTROL, JOB INSECURITY DAN
FAKTOR DEMOGRAFIS TERHADAP WORK-FAMILY
CONFLICT
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Fakultas Psikologi
(S.Psi) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
Edwin Indrawardhana
NIM: 1114070000131
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
ii
iii
iv
v
Motto dan Persembahan
Rasulullah Shallallahu a’laihi wasallam bersabda,
ة جن
ى ال
ل يقا إ ر
ط ه ب
ه ل
ل الل ما سه
ل ع يه ف س تم
يقا يل ر
ك ط
ومن سل
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan
baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
Jazakumullohu Khayron
vi
ABSTRAK
A. Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
B. Juni 2018
C. Edwin Indrawardhana
D. PENGARUH LOCUS OF CONTROL, JOB INSECURITY, DAN
FAKTOR DEMOGRAFIS TERHADAP WORK-FAMILY CONFLICT
E. xiv+ 112 halaman + lampiran
F. Meningkatnya jumlah dual-earner couples dan single-parent families,
beserta perubahan sikap di dalam keluarga dan tempat kerja telah mengubah
hubungan antara domain pekerjaan dan keluarga. Perubahan sikap itu,
memungkinkan dapat mengakibatkan seseorang lebih memprioritaskan
karir dibandingkan keluarga, ataupun sebaliknya, hal ini akan berdampak,
individu lebih sulit untuk menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dan
keluarga dan pada akhirnya akan menciptakan work-family conflict (Dolcos
& Daley, 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh masing-
masing independent variable (locus of control, job insecurity dan faktor
demografis) terhadap dependent variable (work-family conflict). Sampel
berjumlah 240 perawat RSUD Jakarta Barat yang diambil dengan teknik
non-probability sampling, yakni convenient sampling. Instrument
pengumpulan data menggunakan Work-family scale yang dikembangkan
oleh Carlson et al. (2003), Internality, powerfull others, dan chance (IPC)
dikembangkan oleh Lavenson (1981), dan skala job insecurity yang
dikembangkan oleh Ashford, Lee, dan Bobko (1989).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
dari variabel locus of control dan job insecurity terhadap dv dengan nilai
signifikansi sebesar 0,000 atau p < 0,05 dan proporsi varians seluruh
variabel sebesar 0.418 atau 41.8%, sedangkan 58.2% sisanya dipengaruhi
oleh variabel lain. Jadi hipotesis nihil (H0) yang ada pada hipotesis mayor
dalam penelitian ini ditolak. Subjek pada penelitian ini yaitu perawat,
sehingga disarankan pada penelitian selanjutnya menggunakan sampel lain,
seperti dokter seperti penelitian yang dilakukan Razak et al. (2011), guru
seperti penelitian Richter et al. (2015), atau Pegawai pemerintahan seperti
yang dilakukan Abdulqadeer (2005), sehingga memiliki kemungkinan akan
memperoleh hasil yang lebih bervariasi. Untuk menurunkan work-family
conflict pada perusahaan yaitu dengan meningkatkan locus of control
internal, dengan cara melakukan program untuk membangkitkan locus of
control internal berupa kegiatan konseling (El-Sayeed & Abdel-Aleem,
2014) yang salah satunya meninjau permasalahan locus of control. Serta
menurunkan job insecurity dengan cara mengadakan Sosialisasi tentang
pekerjaan yang dimiliki, agar informasi terkait pekerjaan, tanggung jawab,
dan peraturan dengan informasi yang lebih jelas dan mencegah kurangnya
informasi yang diterima oleh pekerja, dengan sosialisasi ini diharapkan agar
terjadinya kesepakatan pekerjaan yang diterima.
G. Bahan Bacaan: 51; buku: 3 + jurnal: 39 + skripsi 3 + disertasi 2 + thesis 4
vii
ABSTRACT
A. Faculty of Psychology Jakarta Islamic State University
B. January 2018
C. Edwin Indrawardhana
D. Influence of Locus of Control, Job Insecurity and Demographic Factors to
Work-family conflicts.
E. xiv + 112 pages + appendix
F. The Ingrease of amount dual-earner couples and single-parent families,
include the changes of attitude inside work and family has change the
relationship between that contain. That Attitude change, probably can make
person priority career than family, or otherwise, it could make someone hard
to balancing between work and family activity, int the end creat work-family
conflict (Dolcos & Daley, 2009).
This study aims to find how far each independent variable influencing (locus
of Control, job insecurity and demographic factors) dependent variable
(work-family conflicts). The sample is 240 nurses of RSUD Jakarta Barat
taken with non-probability sampling technique, that is accidental sampling.
The data collection instrument uses Work-family Scale developed by
Carlson (2003), Internality, powerfull others, and chance (IPC) developed
by Lavenson (1981) and Job Insecurity Scale developed by Ashford, Lee,
and Bobko (1989).
The results of this study indicate that there is a significant influence of locus
of control and job insecurity with a significance value of 0.000 or p <0.05
and varians proportion 0.418 or 41.8% to work-family conflict, 58.2% from
another variables. So the null hypothesis (H0) in the major hypothesis in this
study is rejected. The result of the test of the minor hypothesis examining
the influence of eight independent variables, there are only three variables
that have significant influence dependent variable, namely the internal,
importance of possible changes in total job, and importance of job features.
Respondents in this study is a nurse, so it is recommended for further
research can be expanded, such as physician according Razak et.al (2011),
a teachers according to Richter et. al (2015), and Government Employees
according to Abdulqadeer (2005), so it will be possible to obtain more
varied results.
To Decrease work-family conflict at company, firstly, they should increase
internal locus of control, according El-Sayeed and Abdul-Aleem (2014)
they should create program counseling, that have a focus to awakening
internal locus of control. Second, to decrease work-family conflict, the
company should decrease job insecurity, with socialization about that
contain about employee’s responsibility, company rule’s and their job’s, it
could prevent the questionable information in employees, the expectation
about this socialization to make sure about an agreement of task between
empolyees and company.
G. Reading material: 51: books: 3; journals: 39; minithesis: 3; dissertation: 2;
thesis: 4
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohiim.
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah Subhannahu
wata’ala yang telah memberikan penulis berbagai macam nikmat di antaranya
nikmat iman islam, serta sehat dan afiah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dengan lancar dan tepat pada waktunya.
Pada penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang
telah membantu penulis baik secara materi, tenaga ataupun moril, maka dari itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si., Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Bapak Dr. Abdul Rahman
Shaleh, M.Si, selaku Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya
yang telah memfasilitasi mahasiswa dalam rangka menciptakan lulusan
yang berkualitas.
2. Miftahuddin, M.Si., dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis, memberikan motivasi dan
memberikan penulis banyak masukkan dengan penuh kesabaran.
3. Siti Evangeline Imelda Suaidy, M.Psi., dosen pembimbing akademik serta
seluruh dosen dan staf Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menasehati dan memberi dukungan dalam
proses penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Luki Widiastuti selaku pimpinan DIKLAT RSUD Jakarta Barat, serta
para pegawai RSUD Jakarta Barat, dan perawat RSUD Jakarta Barat
sebagai Responden yang membantu jalannya proses perizinan,penyebaran,
dan pengisian kuesioner.
ix
5. Kepada kedua orangtua penulis, serta kakak, dan sanak family, Papa
Tuheldy, Mama Yelly, dan Bang Andrie yang telah memberikan doa serta
dukungannya baik melalui motivasi dan kasih sayangnya.
6. Untuk Sahabat-sahabat Dont Sweat it Brother’s, Ammar, Ari, Dani, Faisal,
Hasan, Iko, dan Wildan yang telah bersama-sama berjuang, yang selalu
saling mengingatkan dan serta memberikan dukungan maupun motivasi.
7. Untuk Kawan-kawan perjuangan sedari KKL hingga Fase Skripsi Inay, Nia
dan Shafira yang telah bersama-sama berjuang, yang selalu saling
mengingatkan dan serta memberikan dukungan.
8. Untuk Kawan-Kawan Kelas E Psikologi 2014, yang mana saya menjadi
bagian di dalamnya, yang bersama-sama berjuang, dan memberikan
dukungan.
9. Seluruh mahasiswa/i Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta angkatan 2014.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini terdapat banyak
sekali kekurangan dan kesalahan, oleh karenanya penulis mengharapkan dapat
disampaikan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan penelitian
ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri ataupun orang lain,
dan pihak yang berkepentingan.
Jakarta, 10 Juni 2018
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN..............................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iii
PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………………...…iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN.........................................................................v
ABSTRAK.............................................................................................................vi
KATA PENGANTAR.........................................................................................viii
DAFTAR ISI...........................................................................................................x
DAFTAR TABEL................................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................xiv
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................11
1.2.1 Pembatasan Masalah..........................................................11
1.2.2 Perumusan Masalah...........................................................12
1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................13
1.4 Manfaat Penelitian.........................................................................14
1.4.1 Manfaat Teoritis.................................................................14
1.4.2 Manfaat Praktis..................................................................14
BAB 2 LANDASAN TEORI.............................................................................15
2.1 Work-family Conflict......................................................................15
2.1.1 Definisi Work-family Conflict............................................15
2.1.2 Dimensi Work-family Conflict...........................................16
2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Work-family Conflict...........18
2.1.4 Alat Ukur Work-family Conflict ........................................25
2.2 Locus of Control.............................................................................26
2.2.1 Definisi Locus of Control...................................................26
2.2.2 Dimensi Locus of Control..................................................27
2.2.3 Alat Ukur Locus of Control................................................28
2.3 Job Insecurity.................................................................................29
2.3.1 Definisi Job Insecurity.......................................................29
2.3.2 Dimensi Job Insecurity......................................................30
2.3.3 Alat Ukur Job Insecurity....................................................31
2.4 Faktor Demografi ..........................................................................31
2.5 Kerangka Berpikir .........................................................................33
2.6 Hipotesis Penelitian .......................................................................39
BAB 3 METODE PENELITIAN.....................................................................40
3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel.....................40
3.2 Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional...............................40
3.3 Instrumen Pengumpulan Data........................................................44
xi
3.3.1 Instrumen Work-family Conflict.........................................44
3.3.2 Instrumen Locus of Control...............................................45
3.3.3 Instrumen Job Insecurity....................................................45
3.3.4 Pengukuran Faktor Demografis.........................................45
3.4 Uji Validitas Konstruk...................................................................45
3.4.1 Uji Validitas Skala Work-family conflict...........................48
3.4.2 Uji Validitas Skala Locus of control..................................51
3.4.2.1 Uji Validitas Konstruk Dimensi Internal...............51
3.4.2.2 Uji Validitas Konstruk Dimensi Powerful Others.53
3.4.2.3 Uji Validitas Konstruk Dimensi Chance...............55
3.4.3 Uji Validitas Skala Job Insecurity......................................57
3.4.3.1 Uji Validitas Konstruk Dimensi Perasaan Terancam
Pada total Pekerjaan...............................................57
3.4.3.2 Uji Validitas Konstruk Dimensi Perasaan
Terancam Pada Tampilan Pekerjaan......................59
3.4.3.3 Uji Validitas Konstruk Dimensi Powerlessness.....61
3.5 Teknik Analisis Data......................................................................63
BAB 4 HASIL PENELITIAN.............................................................................66
4.1 Gambaran Subjek Penelitian..........................................................66
4.2 Hasil Analisis Deskriptif................................................................67
4.2.1 Kategorisasi Skor Variabel................................................68
4.3 Uji Hipotesis Hasil Penelitian........................................................70
4.3.1 Analisis Regresi Variabel Penelitian..................................70
4.3.2 Pengujian proporsi varian masing-masing independent
variabel...............................................................................75
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN.............................................77
5.1 Kesimpulan.....................................................................................77
5.2 Diskusi............................................................................................78
5.3 Saran...............................................................................................82
5.3.1 Saran Teoritis.....................................................................82
5.3.2 Saran Praktis.......................................................................84
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................87
LAMPIRAN..........................................................................................................92
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blueprint Work-family conflict...............................................................42
Tabel 3.2 Blueprint Locus of control.....................................................................43
Tabel 3.3 Blueprint Job Insecurity.........................................................................44
Tabel 3.4 Muatan Faktor Item Skala Work-family conflict....................................50
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Dimensi Internal...................................................53
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Dimensi Powerfull Others....................................55
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Dimensi Chance....................................................57
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Dimensi Perasaan Terancam Pada total
Pekerjaan................................................................................................................59
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Dimensi Perasaan Terancam Pada Tampilan
Pekerjaan................................................................................................................61
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Dimensi Powerlessness.......................................63
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian..................................................................66
Tabel 4.2 Tabel Analisis Deskriptif.......................................................................67
Tabel 4.3 Tabel Pedoman Intepretasi Skor............................................................69
Tabel 4.4 Tabel Kategorisasi Skor Variabel..........................................................69
Tabel 4.5 Tabel R Square Model Summary...........................................................70
Tabel 4.6 Tabel Anova...........................................................................................71
Tabel 4.7 Tabel Koefisien Regressi.......................................................................72
Tabel 4.8 Tabel Proporsi varians...........................................................................75
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Surat………………………………………………………………...……..92
Lampiran Kuesioner ....................................................................................................95
Lampiran Syntax .......................................................................................................106
Lampiran tabel SPSS ................................................................................................109
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Penelitian..............................................38
Gambar 3.1 Analisis Faktor Konfirmatorik Variabel Work-family conflict......49
Gambar 3.2 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Internal...........................52
Gambar 3.3 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Powerful Others.............54
Gambar 3.4 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Chance...........................56
Gambar 3.5 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Perasaan Terancam Pada
total Pekerjaan................................................................................58
Gambar 3.6 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Perasaan Terancam Pada
Tampilan Pekerjaan........................................................................60
Gambar 3.7 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Powerlessness................62
Gambar 5.1 Surat Izin Penelitian dari Kampus ke RSUD Jakarta Barat…..….92
Gambar 5.2 Surat Izin Penelitian dari Kampus ke PTSP……………………...93
Gambar 5.3 Surat Izin Penelitian dari PTSP ke RSUD Jakarta Barat……..….94
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bekerja merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan manusia saat
ini untuk memenuhi kebutuhan. Perubahan dalam susunan angkatan kerja, seperti
meningkatnya jumlah dual-earner couples dan single-parent families, beserta
perubahan sikap di dalam keluarga dan tempat kerja telah mengubah hubungan
antara domain pekerjaan dan keluarga.
Perubahan sikap itu, memungkinkan dapat mengakibatkan seseorang lebih
memprioritaskan karir dibandingkan keluarga, ataupun sebaliknya, yaitu lebih
mementingkan keluarga dibandingkan tanggungjawab yang diemban di tempat
kerjanya. Hal ini akan berdampak, individu lebih sulit untuk menyeimbangkan
antara tuntutan pekerjaan dan keluarga dan pada akhirnya akan menciptakan work-
family conflict (Dolcos & Daley, 2009).
Ketidakseimbangan tersebut kerap terjadi pada seseorang yang tidak dapat
menghadapi konflik yang terjadi pada pekerjaan maupun keluarganya, seseorang
yang mengalami work-family conflict yang besar cenderung memiliki permasalahan
dalam salah satu ataupun kedua komponen keluarga dan pekerjaan.
Menyingkapi kedua tuntutan tersebut, ketidaksinkronan dapat terjadi di
akibatkan oleh faktor-faktor tertentu, dan tuntutan tersebut menghasilkan
terjalinnya peran hidup lebih dari satu, sesuai dengan pernyataan Frone (dalam
2
Ahmad, 2008) yang mengatakan bahwa kehadiran salah satu peran dapat
menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain.
Menurut Stepanski (2003), banyak fenomena work-family conflict yang
terjadi di dalam beberapa negara, dan menjadikan topik ini menarik untuk diteliti,
mengingat dampak negatif bagi perusahaan yaitu; meningkatnya absensi,
menurunnya produktifitas dan lain-lain. Begitu pula dengan dampak negatif yang
dirasakan karyawan itu sendiri, meliputi menurunnya kepuasan hidup, kesehatan
mental hingga munculnya stress yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan.
Menurut Greenhaus dan Beutell (dalam Dolcos & Daley, 2009) Work-
family conflict merupakan konflik antar peran yang terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara tuntutan peran di pekerjaan dan tuntutan peran di
keluarga.
Tuntutan peran di tempat kerja yaitu pekerjaan yang harus segera
diselesaikan dan berbagai tekanan dunia kerja, sedangkan menurut Nicole (dalam
Aslam et.al., 2011) tuntutan keluarga yang berhubungan dengan tugas-tugas rumah
tangga, mengurus anak, menjaga komunikasi dengan pasangan dan juga mengatur
keuangan rumah tangga.
Tuntutan-tuntutan tersebut dapat memberikan kontribusi terjadinya work-
family conflict. Dengan demikian dibutuhkan upaya yang lebih dari individu dalam
mengatur tuntutan perannya agar work-family conflict dapat terminimalisir.
Work-family conflict dapat dialami oleh pria maupun wanita. Meskipun
demikian, berdasarkan hasil penelitian Apperson et.al. (2002) pada sampel
3
manager menyatakan bahwa work-family conflict pada wanita cenderung lebih
besar terjadi dibandingkan pria.
Menjalani dua peran sekaligus, sebagai seorang pekerja sekaligus sebagai
ibu rumah tangga, pekerja wanita yang telah menikah dan memiliki anak,
mempunyai peran dan tanggung jawab yang lebih berat, daripada wanita yang
belum menikah, hal ini dikarenakan, wanita yang menikah memiliki tanggung
jawab dan kewajiban berbeda dengan wanita yang belum menikah.
Greenhaus dan Beutell (1985) mengidentifikasikan tiga dimensi work-
family conflict, (1) Time-based conflict, yaitu konflik yang disebabkan durasi waktu
yang tidak seimbang untuk salah satu peran, sehingga tugas dalam peran yang
lainnya tidak mampu disanggupi oleh individu. (2) Strain-based conflict merupakan
hadirnya tekanan dalam salah satu peran yang menyebabkan penurunan performa
pada peran yang lainnya. (3) Behavior-based conflict yaitu, konflik yang
disebabkan ketidakmampuan dalam menyesuaikan perilaku yang diharapkan dari
salah satu peran ketika berganti ke peran yang lainnya.
Work-family conflict banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang secara
umum faktor tersebut dibagi menjadi tiga antara lain; individu, keluarga dan
pekerjaan. Faktor yang berasal dari individu seperti status keluarga, usia pekerja,
karakteristik kepribadian dan jenis pekerjaan.
Sedangkan, faktor keluarga yaitu, adanya tekanan dalam pernikahan, usia
dan jumlah anak, dan faktor pekerjaan seperti, jam kerja yang panjang, tuntutan
dan beban pekerjaan yang berat. Semua faktor tersebut, diketahui memiliki korelasi
yang positif terhadap work-family conflict (Bellavia & Frone, 2005).
4
Menurut Ahmad (2008) terdapat faktor yang dapat mempengaruhi
kecenderungan work-family conflict pada pekerja, yaitu faktor pekerjaan, faktor
keluarga, dan faktor individual.
Faktor pekerjaan terdiri dari tipe pekerjaan, komitmen waktu pekerjaan,
keterlibatan dalam pekerjaan, peran kerja yang berlebihan, dan fleksibilitas jadwal
kerja. Faktor keluarga meliputi jumlah anak, tahapan siklus hidup, keterlibatan
dalam keluarga, dan pola pengasuhan anak, sedangkan faktor individual meliputi
value tentang peran, orientasi peran gender, kepribadian, dan evaluasi diri.
Pada faktor pekerjaan, menurut penelitian Duxbury dan Higgins (2003)
yang mengungkapkan bahwa karyawan yang berada di posisi manajerial dan
professional melaporkan lebih banyak mengalami work-family conflict daripada
karyawan yang bekerja di posisi non-manajerial dan non-profesional, sedangkan
yang berhubungan dengan faktor keluarga, didapatkan dari penelitian Lu (2006)
yang mengungkapkan bahwa umur anak berhubungan negatif dengan work-family
conflict, pegawai wanita yang memiliki anak kecil memiliki work-family conflict
lebih besar dibanding pegawai wanita yang memiliki anak yang sudah besar.
Pada faktor individual, masih membutuhkan penggalian informasi
dikarenakan sedikit penelitian yang telah dilakukan terkait dengan work-family
conflict, khususnya pada kepribadian (Priyadharshini & Wesley, 2014).
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, bahwa terdapat
beberapa faktor yang menjadi penyebab work-family conflict, namun dalam
penelitian ini hanya akan membahas tiga faktor yang mempengaruhi work-family
5
conflict yaitu faktor pekerjaan (job insecurity) dan individu (locus of control, usia,
dan masa kerja).
Terdapat beberapa karakteristik kepribadian yang dapat mempengaruhi
kecenderungan karyawan untuk mengalami work-family conflict, seperti
neuroticism, workaholics, dan locus of control (Ahmad, 2008).
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, salah satu performa sebuah
rumah sakit diukur dari performa perawatnya sehingga seorang perawat harus
memiliki kemampuan interpersonal yang tinggi, terutama rasa empati.
Hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh faktor individual, antara lain,
berupa karakter psikologis yaitu locus of control yang merupakan faktor
kepribadian yang menunjang work-family conflict.
Rotter (dalam Schultz & Schultz, 2008) menjelaskan bahwa locus of control
merupakan keyakinan individu tentang sumber penguatan (reinforcers) seseorang
yang berasal dari tindakan mereka sendiri atau bergantung pada tindakan orang lain
dan pengaruh lain di luar kendali diri mereka.
Konsep locus of control sendiri terbagi dua, yaitu locus of control internal
dan locus of control eksternal.
Locus of control internal adalah keyakinan bahwa suatu kejadian
merupakan hasil dari tindakan dan perilakunya sendiri (Rotter, 1966), individu
dengan locus of control internal meyakini bahwa kerja keras dan kemampuan diri
mereka akan menghasilkan hal yang positif (Carrim, Basson, & Coetzee, 2006).
Lalu, locus of control external memiliki definisi yaitu keyakinan dimana
suatu kejadian yang terjadi pada dirinya bukan karena tindakannya melainkan
6
karena hal lain seperti keberuntungan, kesempatan, nasib, dan pengaruh luar
lainnya yang berada di sekelilingnya (Rotter,1966).
Menurut Schulz dan Sindrey (dalam Jaya & Rahmat, 2005) seseorang yang
memiliki locus of control eksternal menganggap bahwa peristiwa yang dialaminya
berada di luar control dirinya, sehingga ia meyakini bahwa hasil yang diperolehnya
tergantung dari luar dirinya.
Locus of Control internal dan eksternal bukan merupakan suatu konsep
tipologi, melainkan merupakan pengaruh atau sumbangan berbagai faktor
lingkungan, artinya locus of control bukan berasal sejak lahir melainkan timbul
dalam proses pembentukannya yang berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan,
sehingga tidak ada orang yang hanya memiliki kontrol internal saja ataupun kontrol
eksternal saja.
Individu yang memiliki locus of control internal memiliki kemampuan yang
lebih baik dalam menghadapi situasi yang penuh dengan tekanan daripada individu
dengan locus of control eksternal.
Individu yang memiliki locus of control eksternal cenderung lebih tinggi
dalam merasakan suasana hati yang negatif ketika mengalami situasi yang penuh
dengan tekanan (Arsenault, Dolan, & Ameringen, 1991).
Apabila kita melihat dalam konteks organisasi, karyawan dengan locus of
control internal memiliki kontrol dari dirinya sendiri dalam mengatasi tekanan
berupa konflik yang muncul akibat ketidakseimbangan peran antara peran di
pekerjaan dan keluarga.
7
Individu dengan locus of control internal menganggap konflik antara peran
di pekerjaan dan keluarga yang dialaminya berasal dari dalam dirinya dan ia
memiliki kontrol dari dirinya sendiri ketika mengalami work-family conflict.
Sedangkan locus of control eksternal, cenderung lebih sulit dalam menghadapi
tekanan berupa konflik yang muncul akibat ketidakseimbangan peran antara peran
di pekerjaan dan keluarga.
Karyawan dengan locus of control eksternal menganggap konflik antara
peran di pekerjaan dan keluarga yang dialaminya berasal dari luar dirinya dan ia
tidak memiliki kontrol dari dirinya sendiri ketika mengalami work-family conflict
(Habibie, 2016). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Andreassi dan
Thompson (2007) mengungkapkan bahwa locus of control internal memiliki
hubungan negatif dengan work-family conflict.
Kemudian hasil penelitian Noor (2002) yang mengungkapkan bahwa
karyawan dengan locus of control internal cenderung mengalami work-family
conflict dengan intensitas yang rendah.
Faktor kepribadian tentunya bukan satu-satunya faktor yang dapat
mempengaruhi work-family conflict seseorang, perspektif diluar itu harus
diperhatikan agar menguatkan variabel apa yang dapat mempengaruhi terciptanya
work-family conflict itu bisa menjadi rendah ataupun tinggi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi work-family conflict adalah job
insecurity (Bellavia & Frone, 2005). Penelitian membuktikan bahwa job insecurity
merupakan sebuah fenomena global dan kemungkinan akan tetap menjadi
karakteristik kehidupan kerja masa kini (De Witte 2005). Ashford, Lee, dan Bobko
8
(1989) menjelaskan bahwa job insecurity merupakan suatu tingkat di mana para
karyawan merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk
melakukan apapun terhadap situasi tersebut.
Job insecurity tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan
pekerjaan, tetapi kehilangan bagian pekerjaan yang menimbulkan adanya
kekhawatiran mengenai masa depan pekerjaannya (Rosenblatt & Ruvio, 1996).
Adanya kemungkinan ancaman yang diperoleh dari hilangnya kemampuan
bekerja dapat berpengaruh ke domain di luar pekerjaan, seperti domain keluarga.
Karena itu adanya pembagian dimensi pada job insecurity oleh Greenhalgh dan
Rosenblatt (1984) yang terdiri dari (1) penerimaan ancaman pada berbagai kejadian
kerja, (2) derajat kepentingan tiap kejadian kerja, (3) penerimaan ancaman pada
berbagai fitur kerja, (4) derajat kepentingan tiap fitur kerja bagi individu, dan (5)
powerlessness.
Selanjutnya Ashford, Lee dan Bobko (1989) menggabungkan aspek
pertama dan kedua, lalu menggabungkan aspek ketiga dengan keempat sehingga
menjadi tiga dimensi, yang terdiri dari, (1) Perasaan terancam pada total pekerjaan
seseorang, (2) perasaan terancam terhadap tampilan kerja (Job Features), dan (3)
Powerlessness.
Hasil studi menunjukkan bahwa job insecurity yang dirasakan karyawan
dapat membawa stress yang berhubungan dengan pekerjaan ke dalam peran
keluarga dan memiliki sedikit waktu untuk melakukan tanggung jawab keluarga
(Richter, Näswall, & Sverke, 2010).
9
Ruang lingkup kerja yang beragam menjadi alasan bahwa, tidak mungkin
seseorang tidak mengalami job insecurity, pada ranah kesehatanpun sangat
berpotensi besar, salah satunya yaitu pada perawat dituntut untuk melakukan
pekerjaan yang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan ketika berhadapan dengan
pasien, lalu memiliki jam kerja yang panjang dan harus siap siaga setiap saat untuk
keselamatan pasien.
Tingginya tingkat job insecurity yang dialami oleh sebagian besar tenaga
perawat menjadi alasan munculnya konflik kerja, karena mempengaruhi kinerja dan
tanggung jawabnya yang pada akhirnya berpotensi menjadi ancaman, hal ini akan
memberikan dampak penurunan terhadap kualitas pelayanan yang akan
menyebabkan kekhawatiran dan ketidakberdayaan.
Perawat yang tidak dapat menangani stress dengan segera, maka akan
berlarut dan mengakibatkan dampak jangka panjang, tidak menutup kemungkinan
hal ini akan terbawa kedalam kehidupan berkeluarga, hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Sverke, bahwa job insecurity dianggap sebagai fenomena
yang tidak hanya dapat mempengaruhi individu di tempat kerja, tetapi juga individu
di luar tempat kerja.
Selain kedua variabel yang telah disebutkan diatas, terdapat variabel lain
yang diduga menjadi penyebab terjadinya work-family conflict, yaitu variabel
demografis (Adam, 2008).
Terdapat tiga variabel demografis yang memiliki pengaruh terhadap work-
family conflict yaitu; usia, pendidikan dan masa kerja karyawan (Cohen & Liani,
2009).
10
Usia individu yang bekerja dapat mempengaruhi persepsi nya terhadap
work-family conflict (Malone, 2011), hal ini diperkuat oleh penelitian Mjoli et al.
(2013), penelitian tersebut menunjukan bahwa usia berpengaruh negative terhadap
work-family conflict. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Abdulqader (2005) yang melaporkan bahwa usia tidak memiliki pengaruh terhadap
work- family conflict.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi work-family conflict adalah
pendidikan.
Dalam penelitian Razak, Yunus dan Nasurdin (2011) dijelaskan bahwa
pendidikan memiliki pengaruh terhadap work-family conflict, dalam penelitian
tersebut menggunakan sampel dokter.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin rentan
mengalami work-family conflict. Hanya saja pada penulis tidak menggunakan
faktor ini dikarenakan, perawat cenderung memiliki pendidikan yang setara.
Terakhir, variabel demografis masa kerja karyawan, menurut Adalikwu
(2014) masa kerja karyawan memiliki dampak pada work-family conflict. Diperkuat
oleh penelitian yang dilakukan oleh La Brooy (2013) bahwa masa kerja karyawan
memiliki pengaruh positif terhadap work-family conflict, karena, dengan adanya
pengalaman dan kompetensi yang diperoleh selama menjadi karyawan, diharapkan
dapat mengembangkan strategi formal dan informal untuk mengatasi masalah yang
diciptakan oleh work-family conflict (WFC) dan family-work conflict (FWC)
11
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Locus of control, Job Insecurity
dan Faktor demografis terhadap Work-family Conflict.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah terfokus terhadap seseorang yang mengalami work-family
conflict di Rumah Sakit. Masalah pokok yang dibatasi dalam konteks permasalah
yang terdiri dari:
1) Work-family conflict
Work-family conflict didefinisikan sebagai suatu bentuk konflik antar peran
dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga saling bertentangan dalam
beberapa hal sehingga partisipasi dalam satu peran (pekerjaan atau keluarga)
lebih sulit karena partisipasi dalam peran lainnya (keluarga atau pekerjaan).
Dilihat dari tiga aspek: time-based conflict, strain-based conflict dan behaviour-
based conflict (Greenhaus & Beutell,1985).
2) Locus of control
Locus of control didefinisikan oleh Levenson (1981) berdasarkan konsep Rotter
(dalam Schultz & Schultz, 2008) yaitu keyakinan individu tentang sumber
penguatan (reinforcers) seseorang yang berasal dari tindakan mereka sendiri
atau bergantung pada tindakan orang lain dan pengaruh lain di luar kendali diri
mereka. Menurut Levenson (1981) locus of control memiliki dengan tiga
dimensi yaitu internal, powerful others, dan chance.
12
3) Job Insecurity
Job insecurity merupakan suatu tingkat di mana para karyawan merasa
pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun
terhadap situasi tersebut (Ashford, Lee & Bobko, 1989). Konstruk job
insecurity terdiri dari 3 aspek; (1) Perasaan terancam pada total pekerjaan , (2)
Perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features), (3) powerlessness
(Ashford, Lee & Bobko, 1989).
4) Faktor demografi
Faktor demografi yang diteliti terdiri dari usia yang dibagi menjadi 3 bagian
yaitu umur 21-30 tahun, 31-40 tahun dan 41-50 tahun. Faktor selanjutnya yaitu
masa kerja yang dibagi menjadi 4 bagian yaitu umur 1-4 tahun, 5-8 tahun, 9-12
tahun dan 13-16 tahun.
1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan locus of control, job insecurity
dan demografi terhadap work-family conflict?
2) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi internal dari variabel
locus of control terhadap work-family conflict?
3) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi powerful others dari
variabel locus of control terhadap work-family conflict?
4) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi chance dari variabel
locus of control terhadap work-family conflict?
13
5) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi perasaan terancam
pada total pekerjaan dari variabel job insecurity terhadap work-family
conflict?
6) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi perasaan terancam
terhadap tampilan kerja (job features) dari variabel job insecurity terhadap
work-family conflict ?
7) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi powerlessness dari
variabel job insecurity terhadap work-family conflict?
8) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan usia terhadap work-family
conflict?
9) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan masa kerja terhadap work-
family conflict ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan locus of control, job
insecurity dan faktor demografi terhadap work-family conflict.
2. Mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dimensi internal
dari variabel locus of control terhadap work-family conflict.
3. Mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dimensi powerful
others dari variabel locus of control terhadap work-family conflict.
4. Mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dimensi chance
dari variabel locus of control terhadap work-family conflict.
5. Mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dimensi perasaan
14
terancam pada total pekerjaan dari variabel job insecurity terhadap
work-family conflict.
6. Mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dimensi Perasaan
terancam terhadap tampilan kerja dari variabel job insecurity terhadap
work-family conflict.
7. Mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dimensi
powerlessness dari variabel job insecurity terhadap work-family
conflict.
8. Mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan usia terhadap work-
family conflict.
9. Mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan masa kerja
terhadap work-family conflict.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis.
Adapun manfaat yang diharapkan tersebut adalah sebagai berikut:
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya wawasan dan
khazanah kajian psikologi, terutama yang berkaitan dengan psikologi industri
dan organisasi yang berkaitan dengan work-family conflict.
1.4.2. Manfaat Praktis
Dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan membantu Rumah Sakit untuk
meningkatkan kualitas dalam mengambil kebijakan yang dapat meminimalisir
terjadinya work-family conflict pada sumber daya manusia.
15
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Work-family Conflict
2.1.1 Definisi Work-family Conflict
Work-family conflict didefinisikan oleh Kahn, et.al. (1964) (dalam Ahmad, 2008)
sebagai suatu bentuk konflik antar peran tekanan dari peran di pekerjaan dan peran
di keluarga saling bertentangan satu sama lain.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan Greenhaus dan Beutell (dalam
Dolcos & Daley, 2009) work-family conflict merupakan konflik antar peran yang
terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara tuntutan peran di pekerjaan dan
tuntutan peran di keluarga.
Frone (2000) mendefinisikan work family conflict sebagai bentuk konflik
peran dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara bersamaan tidak
dapat disejajarkan dalam beberapa hal.
Konflik ini tentu akan terjadi dari berbagai perspektif dalam ruang lingkup
kerja ataupun keluarga, jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat
merupakan pertanda akan terjadinya work-family conflict, dikarenakan waktu dan
upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan
energi yang bias digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga.
Menurut Netemeyer Boles, dan McMurrian (1996) work-family conflict
adalah konflik antar peran yang terjadi akibat dari suatu tuntutan umum dan
ketegangan yang dihasilkan oleh pekerjaan mengganggu kemampuan seseorang
untuk melakukan tanggung jawab yang berkaitan dengan keluarga (Esson, 2004).
16
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Howard (2008) mendefinisikan work-
family conflict sebagai konflik antar peran yang dihasilkan oleh tekanan dari
tuntutan di pekerjaan dan tuntutan di keluarga.
Dari penjelasan diatas, skripsi ini memakai definisi work-family conflict
menurut Greenhaus dan Beutell (1985) yang menjelaskan bahwa work-family
conflict merupakan bentuk konflik interrole dimana tuntutan peran pekerjaan dan
keluarga yang saling bertentangan dalam beberapa hal sehingga partisipasi dalam
satu peran membuatnya lebih sulit untuk berpartisipasi dalam peran lainnya.
2.1.2 Dimensi Work-family Conflict
Menurut Greenhaus dan Beutell (1985), work-family conflict dibagi menjadi 3
dimensi, yaitu:
1) Time-based conflict
Time-based conflict merupakan konflik yang terjadi ketika waktu yang
digunakan untuk menjalankan salah satu peran di pekerjaan (keluarga) tidak
dapat digunakan untuk menjalankan peran di keluarga (pekerjaan).
Seorang yang mengalami work-family conflict tidak akan bisa melakukan
dua atau lebih peran sekaligus.
Konflik yang disebabkan waktu ini dapat terdiri dari dua bentuk yaitu: (1)
tuntutan waktu yang diasosiasikan dengan keanggotaan individu pada suatu
peran sehingga tidak mungkin secara fisik memenuhi tuntutan yang muncul dari
peran lain; (2) tuntutan juga menimbulkan keterkungkungan dalam suatu peran,
meskipun individu telah berusaha untuk memenuhi tuntutan dari peran yang
lain.
17
2) Strain-based conflict
Strain-based conflict merupakan konflik yang terjadi karena ketegangan atau
keadaan emosional yang dihasilkan oleh satu peran membuat seseorang sulit
untuk memenuhi tuntutan peran yang lain.
Ketegangan peran bisa termasuk stress, tekanan darah meningkat,
kecemasan, dan sakit kepala. Misalnya, gejolak dalam perkawinan kadang-
kadang berhubungan dengan menurunnya produktivitas di tempat kerja
(Forthofer, et.al., 1996).
Sebaliknya, ketegangan di tempat kerja dapat mengganggu kehidupan
keluarga. Pada strain-based conflict, simtom-simtom ketegangan (seperti
kelelahan dan mudah marah) yang dialami dalam suatu peran mengganggu
peran lainnya (Greenhaus, et al., 1989).
Adanya pertentangan antara dua peran dalam artian bahwa ketegangan yang
dihasilkan oleh sebuah peran menyulitkan dalam pemenuhan tuntutan dari
peran lain (Greenhaus & Beutell, 1985).
3) Behavior-based conflict
Behavior-based conflict merupakan konflik yang muncul ketika perilaku
tertentu yang diwajibkan oleh salah satu peran bertentangan dengan norma-
norma perilaku peran lain. Sebagai contoh, seorang ayah atau ibu yang
berprofesi sebagai manager diharapkan untuk menunjukkan perilaku agresif
dan logis di tempat kerja, tetapi saat bersama keluarga diharapkan untuk
menunjukkan kasih sayang (Carlson et.al. 2003 dalam Saragih, 2016).
18
2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Work-family Conflict
Menurut Ahmad (2008) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi work-
family conflict, yaitu:
1) Faktor yang berasal dari pekerjaan
Faktor ini merupakan faktor penyebab terjadinya work-family conflict yang
berasal dari ruang lingkup pekerjaan. Terdapat beberapa hal yang masuk ke
dalam job-related factors, yaitu :
1. Tipe pekerjaan
Tipe pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang dapat mempengaruhinya untuk
mengalami work-family conflict. Karyawan yang berada di posisi manajerial
dan profesional melaporkan lebih banyak mengalami work-family conflict
daripada karyawan yang bekerja di posisi non-manajerial dan non-profesional
(Duxbury & Higgins, 2003).
2. Komitmen waktu kerja
Menurut Beauregard (dalam Ahmad, 2008) komitmen terhadap waktu kerja
berkontribusi terhadap munculnya konflik antara peran pekerjaan dan non-
pekerjaan bagi karyawan. Jam kerja yang terlalu lama dapat membuat karyawan
mengalami kesulitan untuk menyeimbangkan tuntutan peran di keluarga dan
pekerjaan.
3. Keterlibatan kerja
Menurut Hammer (dalam Ahmad, 2008) individu dengan tingkat keterlibatan
psikologis yang tinggi dalam peran pekerjaan mereka mungkin lebih sibuk
dengan pekerjaan mereka dan membuat mereka dapat mencurahkan energi
19
dalam jumlah yang berlebihan untuk peran pekerjaan mereka dengan
mengorbankan peran keluarga mereka, sehingga mereka mengalami work-
family conflict.
4. Ketidakamanan pekerjaan
Hasil studi menunjukkan bahwa job insecurity yang dirasakan pekerja dapat
membawa stress yang berhubungan dengan pekerjaan ke dalam peran keluarga
dan memiliki sedikit waktu untuk melakukan tanggung jawab keluarga
(Richter, Näswall, & Sverke, 2010). Menurut Larson, Wilson, dan Beley (1994)
dalam Saragih (2016) job insecurity yang dirasakan dapat memberi pengaruh
pada kehidupan berkeluarga karena individu yang mengalami kecemasan dan
depresi di tempat kerja cenderung memiliki kesulitan yang besar dalam
memenuhi peran mereka sebagai pasangan atau orang tua di dalam keluarga.
5. Beban kerja berlebih
Menurut Deery (dalam Habibie, 2016) adanya beban kerja yang berlebihan
dapat membuat individu mengalami konflik dengan peran mereka dalam
keluarga. Individu yang merasa bahwa beban kerja mereka lebih dari yang dapat
mereka tangani, akan mengalami emosi negatif, kelelahan dan ketegangan,
sehingga mereka dapat mengalami work-family conflict.
6. Fleksibilitas pekerjaan
Menurut Salam (dalam Habibie, 2016) sistem kerja yang tidak fleksibel dapat
membuat karyawan mengalami work-family conflict. Saat ini banyak dari para
pemimpin perusahaan yang menerapkan program pengaturan kerja yang
20
fleksibel bagi karyawan yang kesulitan untuk menyeimbangkan perannya di
pekerjaan dan keluarga (Masuda, et.al., 2012; Salam, 2014).
2) Faktor yang berasal dari keluarga
Faktor ini merupakan faktor penyebab terjadinya work-family conflict yang
berasal dari ruang lingkup keluarga. Terdapat beberapa hal yang masuk ke
dalam family-related factors, yaitu :
1. Banyaknya anak
Menurut Carnicer (dalam Ahmad, 2008) kehadiran anak dalam rumah tangga
bisa menyebabkan individu mengalami work-family conflict. Karyawan yang
sudah mempunyai anak dan bertanggung jawab sebagai orang tua lebih
mungkin untuk memiliki komitmen yang tidak fleksibel di rumah, sehingga hal
ini dapat bertentangan dengan harapan atau tuntutan di pekerjaan.
2. Tahap siklus kehidupan
Menurut Ahmad (2008) tuntutan peran kerja dan keluarga yang ditemui selama
masa dewasa bervariasi dengan tahap siklus hidup orang dewasa. Ibu yang
bekerja dengan anak-anak yang lebih muda akan mengalami lebih banyak work-
family conflict dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua.
Hal ini disebabkan karena ibu yang bekerja dengan anak-anak yang lebih
muda sering memiliki tuntutan yang tak terduga, seperti pengaturan perawatan
anak dan perawatan anak yang sakit, akan menghasilkan tingkat kontrol yang
lebih rendah atas pekerjaan mereka dan membuat mereka lebih sering
berhadapan dengan keluarga sehingga meningkatkan potensi munculnya work-
family conflict.
21
3. Keterlibatan keluarga
Menurut Carlson dan Kacmar (dalam Ahmad, 2008) Karyawan yang memiliki
keterlibatan yang lebih dalam domain keluarga dapat mengalami konflik dalam
pekerjaan mereka.
Hal ini disebabkan karena keterlibatan seseorang dalam keluarga
menjadikan mereka untuk mengidentifikasi diri mereka dengan keluarga yang
berdampak terhadap citra diri dan konsep diri mereka, sehingga dapat
mengganggu peran mereka dalam pekerjaan dan mengalami work-family
conflict.
4. Pengaturan perawatan anak
Menurut Greenberger dan O’Neal (dalam Habibie, 2016) pengaturan tentang
perawatan anak pada orang tua yang sama-sama bekerja dapat mempengaruhi
kondisi dalam pekerjaannya.
Pada pasangan dual-earner, wanita yang bekerja lebih cenderung untuk
mengambil cuti dari pekerjaan untuk merawat anak yang sakit daripada
pasangan mereka yang juga bekerja.
3) Faktor yang berhubungan dengan diri sendiri
Faktor ini merupakan faktor penyebab terjadinya work-family conflict yang
berasal dari ruang lingkup indvidu.
Terdapat beberapa hal yang masuk ke dalam individual-related factors, yaitu :
1. Nilai-nilai peran hidup
Menurut Carlson dan Kacmar (dalam Ahmad, 2008) nilai-nilai peran hidup
yang dimiliki seseorang berkaitan dengan work-family conflict yang
22
dialaminya, hal ini disebabkan karena nilai-nilai peran hidup merupakan pusat
untuk mengorganisir makna dan tindakan untuk orang yang bekerja, lalu
terdapat tiga perspektif yang dapat digunakan untuk menggabungkan nilai-nilai
peran hidup ke dalam penelitian konflik pekerjaan-keluarga, yaitu sentralitas,
prioritas dan kepentingan.
Sentralitas mengacu pada ekspresi nilai individu yang berkaitan dengan
bagaimana pentingnya pekerjaan atau keluarga dalam kehidupan mereka jika
dibandingkan dengan peran kehidupan lainnya, prioritas mengacu pada ekspresi
nilai individu yang berkaitan dengan bagaimana individu memprioritaskan
peran hidup mereka, sedangkan kepentingan mengacu pada pentingnya ekspresi
nilai diwujudkan dalam suatu peran yang diberikan kepada individu.
2. Orientasi peran gender
Menurut Harris dan Firestone (dalam Ahmad, 2008) orientasi peran gender
mengacu pada keyakinan individu mengenai peran normal pria dan wanita
dalam memenuhi tanggung jawab keluarga dan pekerjaan.
Pria cenderung lebih banyak mengalami work-family conflict jika terjadi
pertukaran peran dengan istri mereka yang membuat mereka menerima
tanggung jawab lebih untuk tugas-tugas yang berhubungan dengan perawatan
anak, menyiapkan makanan dan bersih-bersih.
3. Kepribadian
Menurut George (dalam Dharsani, 2014) kepribadian individu dapat
mempengaruhi individu dalam menghadapi konflik antara peran di pekerjaan
dan keluarga.
23
Terdapat beberapa karakteristik kepribadian yang dapat mempengaruhi
kecenderungan karyawan untuk mengalami work-family conflict, seperti
neuroticism, workaholics, dan locus of control (Ahmad, 2008).
Kepribadian yang dimiliki oleh individu merupakan determinan yang
mengarahkan individu untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku terhadap
pekerjaannya.
Sejalan dengan hal itu, pada penelitian Ratanen, Pulinnenm dan Kinnunen
(dalam Ahmad, 2008) Individu yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi
cenderung lebih banyak mengalami work-family conflict.
Selain itu, pada penelitian Bonebright, Clay dan Ankenmann (dalam
Ahmad, 2008) individu yang memiliki kepribadian workaholics cenderung
lebih tinggi mengalami work-family conflict daripada individu yang tidak
memiliki kepribadian workaholics.
Selanjutnya Noor (2002) mengungkapkan bahwa locus of control memiliki
pengaruh terhadap work-family conflict, dengan hasil, seorang yang memiliki
locus of control internal cenderung lebih rendah untuk mengalami work-family
conflict. Individu dengan locus of control internal menganggap konflik antara
peran di pekerjaan dan keluarga yang dialaminya berasal dari dalam dirinya dan
ia memiliki kontrol dari dirinya sendiri ketika mengalami work-family conflict.
Sedangkan locus of control eksternal, cenderung lebih sulit dalam
menghadapi tekanan berupa konflik yang muncul akibat ketidakseimbangan
peran antara peran di pekerjaan dan keluarga.
Karyawan dengan locus of control eksternal menganggap konflik antara
24
peran di pekerjaan dan keluarga yang dialaminya berasal dari luar dirinya dan
ia tidak memiliki kontrol dari dirinya sendiri ketika mengalami work-family
conflict (Habibie, 2016).
Selanjutnya pada penelitian Andreassi dan Thompson (2007)
mengungkapkan bahwa locus of control internal memiliki hubungan negatif
dengan work-family conflict.
4. Evaluasi diri
Menurut Fride dan Ryan (dalam Ahmad, 2008) evaluasi diri dapat
mempengaruhi persepsi individu tentang pekerjaan dan keluarga mereka.
Individu dengan evaluasi diri yang positif, seperti harga diri yang tinggi dan
perfeksionisme, akan memilih situasi yang dapat menjadikan diri mereka
berharga dan menghindari situasi yang menjadikan diri mereka tidak berharga.
Sedangkan individu dengan evaluasi diri yang negatif mengalami lebih
banyak situasi yang penuh dengan tekanan baik di pekerjaan maupun di rumah.
4) Faktor Demografis
Variabel demografi yang terdiri dari usia dan masa kerja menjadi faktor yang
mempengaruhi work-family conflict. Karyawan yang memiliki usia lebih muda
cenderung mengalami work-family conflict dibandingkan dengan karyawan
yang berusia lebih tua (Mjoli et al., 2013 dalam Wardhani, 2015).
Variabel demografi yang lain adalah masa kerja karyawan, beberapa
penelitian menyebutkan bahwa karyawan yang memiliki masa kerja sebentar
cenderung mengalami work-family conflict jika dibandingkan karyawan yang
bekerja sudah lama bekerja (La Brooy, 2013 dalam Wardhani, 2015).
25
Hal ini dikarenakan, karyawan dengan masa kerja yang lama sudah
memiliki strategi untuk mengatasi dan meminimalisir work-family conflict yang
terjadi padanya (Anafarta & Kuruuzum, 2012).
2.1.4 Alat Ukur Work-family Conflict
Konsep alat ukur Work-family conflict, pertama kali berdasarkan konsep
Greenhaus dan beutell (1985) yang terdiri dari 3 dimensi yaitu, (1) time-
based conflict, (2) strain-based conflict, dan (3) behavior-based conflict.
Konsep ini kerap berkembang sehingga banyak peneliti yang merancang
alat ukur WFC ini, salah satunya adalah Carlson et al. (2003).
Skala ini mengukur tiga dimensi work-family conflict yang
dikonstruk oleh Greenhaus dan Beutell (1985), yakni; konflik berdasarkan
waktu (time based conflict), konflik berdasarkan ketegangan (strain based
conflict), dan konflik berdasarkan tingkah laku (behavior-based conflict).
Alat ukur work-family conflict yang akan penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah alat ukur yang dikembangkan oleh Carlson (2003).
Alat ukur ini terdiri dari 39 item yang terdiri dari tiga dimensi yaitu.
(1) konflik berdasarkan waktu (time based conflict), (2) konflik berdasarkan
ketegangan (strain based conflict), dan (3) konflik berdasarkan tingkah laku
(behavior-based conflict).
Alasan penulis menggunakan alat ukur ini karena mudahnya
mengidentifikasi jenis item yang digunakan, model penilaian yang juga
menggunakan skala likert, serta kemudahan penulis dalam
mendapatkannya.
26
2.2 Locus of Control
2.2.1 Definisi Locus of Control
Locus of control menurut Rotter (dalam Schultz & Schultz, 2008) adalah keyakinan
individu tentang sumber penguatan (reinforcers) seseorang yang berasal dari
tindakan mereka sendiri atau bergantung pada tindakan orang lain dan pengaruh
lain di luar kendali diri mereka.
Konsep selanjutnya menurut Larsen dan Buss (2002) yang mendefinisikan
locus of control sebagai suatu konsep yang menunjukan pada keyakinan individu
mengenai sumber kendali akan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.
Locus of control menggambarkan seberapa jauh seseorang memandang hubungan
antara perbuatan yang dilakukannya (action) dengan akibat/hasilnya (outcome).
Grimes, Millea, dan Woodruff (2004) mengemukakan bahwa locus of
control adalah konstruk psikologis yang mengidentifikasi kepercayaan individu
tentang kendali pribadinya dalam mengendalikan lingkungannya.
Karimi dan Alipour (2011), menjelaskan definisi locus of control sebagai
tingkat kepercayaan yang individu yakini bahwa keberhasilan atau kegagalan
berasal dari sumber internal ataupun eksternal, baik dari kendali diri mereka atau
karena keberuntungan, kesempatan, atau nasib.
Dari penjelasan diatas, pada skripsi ini memakai konsep locus of control
menurut Rotter (1966) yang menjadi dasar alat ukur oleh Levenson (1981) yaitu
keyakinan individu tentang sumber penguatan (reinforcers) seseorang yang berasal
dari tindakan mereka sendiri atau bergantung pada tindakan orang lain dan
pengaruh lain di luar kendali diri mereka.
27
2.2.2 Dimensi Locus of Control
Konsep locus of control sendiri terbagi dua, yaitu locus of control internal dan locus
of control eksternal (Rotter, 1966).
1) Locus of control internal
Individu dengan orientasi locus of control internal menganggap bahwa kejadian
yang mereka alami dan apa yang mereka peroleh dalam hidup lebih ditentukan oleh
keterampilan, kemampuan, dan usaha dari diri mereka sendiri.
Individu dengan locus of control internal memiliki kemampuan yang lebih
baik dalam mengatasi situasi tersebut (Arsenault, Dolan, & Ameringen, 1991).
Individu dengan locus of control internal dapat mengelola emosi dan stres secara
efektif dengan menggunakan strategi pemecahan masalah (Breet, Myburgh, &
Poggenpoel, 2010).
Selain itu, individu dengan locus of control internal cenderung lebih mampu
menunda pemuasan, tidak mudah terpengaruh, dan lebih mampu menghadapi
kegagalan (Lina, Haryanto, & Rosyid, 1997).
2) Locus of control external
Seseorang yang memiliki dominasi Locus of control external melihat dan
mengatribusi keadaan yang terjadi secara independent dari perilakunya. Seperti
seseorang yang meyakinkan sesuatu yang terjadi dikarenakan takdir, peluang, atau
faktor luar (Breet, Myburgh, & Poggenpoel, 2010).
Locus of control external, mengindikasikan kepercayaan seseorang bahwa
dirinya tidak memiliki kontrol atas setiap kejadian yang dialami. Menurut Jaffe
28
(dalam Breet et.al., 2010) hal ini diartikan bahwa keadaan negative yang dialami
terjadi diluar pengendalian diri dan hal ini biasanya mengarah kepada pandangan
hidup yang depresif. Selain itu, individu dengan locus of control eksternal
cenderung memiliki sikap patuh, lebih conform terhadap otoritas atau pengaruh-
pengaruh yang ada, lebih mudah dipengaruhi dan tergantung pada petunjuk orang
lain (Lina, Haryanto, & Rosyid, 1997).
Penelitian ini menggunakan dimensi yang dijelaskan oleh Levenson (1981)
yang merupakan versi modifikasi dari konsep locus of control milik Rotter (1966),
Levenson (1981) membagi locus of control ke dalam tiga aspek, yaitu dengan
membagi dimensi locus of control eksternal kedalam dua bagian yaitu powerful
others dan chance dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Internal (I): merupakan keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian dalam
hidupnya ditentukan oleh kemampuan dirinya sendiri
2. Powerful Others (P): merupakan keyakinan seseorang bahwa kejadian dalam
hidupnya ditentukan terutama berdasarkan oleh orang lain yang lebih berkuasa
3. Chance (C): merupakan keyakinan seseorang bahwa kejadian dalam hidupnya
ditentukan oleh nasib, keberuntungan dan kesempatan.
2.2.3 Alat Ukur Locus of Control
Ada banyak jenis alat ukur locus of control yang sejauh ini penulis ketahui, seperti
alat ukur locus of control milik Rotter (1996), yang di paparkan pada artikel
berjudul Generalized expectancies for internal versus external control of
reinforcement yang berjumlah 13 item yang saling berpasangan, namun penulis
tidak menggunakan alat ukur locus of control milik Rotter dikarenakan tidak adanya
29
keterangan mengenai jenis setiap item tersebut.
Alat ukur locus of control yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah alat ukur milik Levenson (1981) bernama IPC Scale yang merupakan
modifikasi dari alat ukur yang dimiliki Rotter (1966). Alat ukur ini terdiri dari 24
item yang terdiri dari tiga dimensi locus of control , yaitu internal, powerful others,
dan chance.
Alasan penulis menggunakan alat ukur ini karena mudahnya
mengidentifikasi jenis item yang digunakan, versi terbaru dari alat ukur sebelumnya
yang dimiliki Rotter (1966), model penilaian yang juga menggunakan skala likert,
serta kemudahan dalam mendapatkannya.
2.3 Job Insecurity
2.3.1 Definisi Job Insecurity
Definisi job insecurity menurut menurut Ashford, Lee, dan Bobko (1989) job
insecurity merupakan suatu tingkat dimana para karyawan merasa pekerjaannya
terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi
tersebut, job insecurity yang dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman
terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan bagian pekerjaan.
Sverke dan Hellgren (2002) menjelaskan bahwa job insecurity adalah reaksi
negatif terhadap perubahan dalam permasalahan pekerjaannya. Lain halnya Heaney
et.al. (1994) mengatakan bahwa job insecurity adalah persepsi seseorang akan
potensi ancaman yang dirasakan terhadap kelanjutan pekerjaannya (dalam Sverke
dan Hellgren, 2002)
Dari penjelasan diatas, pada skripsi ini memakai definisi job insecurity
30
menurut Ashford et.al. (1989) merupakan suatu tingkat dimana para karyawan
merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun
terhadap situasi tersebut.
2.3.2 Dimensi Job Insecurity
Menurut Greenhalg, (dalam Ashford et.al., 1989) konstruk job insecurity terdiri
dari lima aspek, yaitu penerimaan ancaman pada berbagai kejadian kerja, derajat
kepentingan tiap kejadian kerja, penerimaan ancaman pada berbagai fitur kerja,
derajat kepentingan tiap fitur kerja bagi individu, dan powerlessness.
Selanjutnya Ashford, Lee dan Bobko (1989) menggabungkan aspek
pertama dan kedua, lalu menggabungkan aspek ketiga dengan keempat sehingga
menjadi tiga aspek, yaitu:
1) Perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang
Yaitu kehilangan keseluruhan atau banyaknya pekerjaan yang dimiliki.
Kehilangan pekerjaan mungkin dapat terjadi secara permanen atau seseorang
mungkin dipecat atau dipaksa pensiun terlalu awal.
2) Perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features)
Yaitu kehilangan bagian-bagian dari pekerjaan. Misalnya: perubahan
organisasional mungkin menyebabkan seseorang kesulitan mengalami
kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji ataupun meningkatkan
pendapatan.
3) Powerlessness
Yaitu perasaan tidak berdaya yang mungkin berperan dalam perasaan seseorang
31
terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan
kejadian-kejadian di lingkungan kerjanya.
2.3.3 Alat Ukur Job Insecurity
Alat ukur job insecurity yang paling banyak dikenal adalah alat ukur milik Ashford,
Lee, dan Bobko (1989) yang bernama JIS (Job insecurity scale) yang mengacu pada
dimensi dari Greenhalg dan Rosenblatt (1984). job insecurity scale merupakan alat
ukur yang multidimensional.
Alat ukur ini terdiri dari 61 item yang mencerminkan 5 dimensi job
insecurity, yaitu (1) tingkat pentingnya aspek-aspek pekerjaan, (2) kemungkinan
hilangnya aspek-aspek pekerjaan, (3) tingkat kepentingan kehilangan pekerjaan, (4)
kemungkinan kehilangan pekerjaan dan (5) ketidakberdayaan terhadap ancaman.
Alat ukur Job insecurity yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
adaptasi alat ukur dikembangkan oleh Ashford, Lee, dan Bobko (1989). Alat ukur
ini memiliki 39 item yang terdiri dari tiga dimensi gabungan dari konsep Greenhalg
dan Rosenblatt (1984), antara lain (1) perasaan terancam pada total pekerjaan, (2)
perasaan terancam terhadap tampilan kerja dan (3) powerlessness.
Alasan penulis menggunakan alat ukur ini karena mudahnya
mengidentifikasi jenis item yang digunakan, model penilaian yang juga
menggunakan skala likert, serta kemudahan dalam mendapatkannya.
2.4 Faktor Demografi
Faktor demografi atau faktor kependudukan yang menunjukan keadaan dan
karakter penduduk, diantaranya adalah usia, jenis kelamin, status pernikahan,
tingkat pendidikan dan masa kerja.
32
Faktor demografi ini diyakini dapat mempengaruhi work-family conflict,
salah satunya penelitian yang dilakukan Foley et.al (2005) melaporkan bahwa
gender dan usia memiliki pengaruh terhadap work-family conflict.
Penelitian yang dilakukan Abdulqadeer (2005) faktor demografi terdiri dari
usia, pendidikan, masa kerja dan status pernikahan. Faktor demografi yang akan
digunakan dalam penelitian ini ialah, usia dan masa kerja karyawan dikarenakan
dari pendidikan sebagian perawat memiliki jenjang pendidikan yang sama, lalu
untuk status pernikahan dan jenis kelamin tidak di cantumkan dikarenakan penulis
membatasi dua variabel tersebut.
Faktor Usia, kerap menjadi pertanyaan, seputar tentang dampaknya
terhadap work-family conflict, beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa, usia
memiliki pengaruh yang positif terhadap work-family conflict (Mjoli et.al., 2013),
hal ini dikarenakan semakin bertambah usia seseorang, maka perhatian terhadap
keluarga akan bertambah, sehingga kepuasan terhadap karir akan lebih menurun.
Dengan bertambahnya pengalaman terkait usia memang bukan hal yang
tidak mungkin jika tidak memberikan sumbangsih apa-apa dalam work-family
conflict, dengan bertambahnya umur, tingkat pendidikan pun dapat mempengaruhi,
dimana pendidikan merupakan hal yang kompleks dan sangat penting untuk
diperhitungkan, mengingat tingkat pendidikan seseorang mampu mengukur
kemampuan seseorang dalam mengelola tuntutan pekerjaan dan urusan keluarga
(Beek & Bloemberg, 2011), karena semakin rendah pendidikan seseorang maka
akan semakin tinggi work-family conflict (Razak et.al., 2011).
Faktor selanjutnya yaitu masa kerja, menurut penelitian dari La Brooy
33
(2013) masa kerja karyawan mempengaruhi work-family conflict. kondisi ini terjadi
karena, dengan adanya pengalaman dan kompetensi yang diperoleh selama menjadi
karyawan. Oleh karena itu, semakin lamanya individu bekerja pada sebuah
perusahaan, maka individu semakin mampu dalam mengatasi atau meminimalisir
terjadinya work- family conflict pada dirinya (Anafarta & Kuruuzum, 2012).
2.5 Kerangka Berpikir
Work-family conflict merupakan kondisi yang dirasakan seseorang disaat salah satu
peran (pekerjaan atau kelarga) mengganggu peran yang lainnya yaitu keluarga atau
pekerjaan (Greenhaus & Beutell, 1985). Individu mengalami work-family conflict
ketika kesulitan untuk memenuhi tuntutan di salah satu peran (pekerjaan atau
keluarga) karena adanya tuntutan yang tidak seimbang antara peran di pekerjaan
dan peran di keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985).
Ketika menyelesaikan tugas-tugas dalam pekerjaan terdapat gangguan atau
masalah-masalah yang berhubungan dengan faktor psikologis, misalnya adanya
perasaan bersalah karena telah meninggalkan keluarganya untuk bekerja, tertekan
karena terbatasnya waktu dan beban pekerjaan terlalu banyak serta situasi kerja
yang kurang menyenangkan.
Untuk menghadapi situasi tersebut, tentunya individu memiliki keyakinan
atau persepsi sendiri terhadap apa yang menjadi penyebab dari situasi yang terjadi
padanya, hal ini dikenal dengan istilah locus of control.
Menurut Rotter (1966) locus of control adalah suatu konsep yang mengacu
pada keyakinan seseorang tentang apa yang menyebabkan hasil yang baik atau
buruk dalam hidupnya, apakah itu berasal dari dirinya sendiri (internal) yang
34
berupa kemampuan dan usahanya sendiri atau berasal dari luar dirinya (eksternal)
yang berupa faktor keberuntungan, nasib ataupun orang lain yang berkuasa.
Karakteristik kepribadian locus of control mempengaruhi kecenderungan
seseorang mengalami work-family conflict, hubungan yang negatif antara locus of
control internal dengan work-family conflict pada karyawan ini kerap menjadi
sesuatu hal yang terjadi, dikarenakan seseorang yang memiliki locus of control
internal cenderung memiliki karakteristik yaitu memiliki usaha yang lebih besar
untuk mengontrol lingkungannya (Phares, 1976).
Apabila seseorang memiliki kemampuan untuk mengontrol, maka konflik
pada keluarga pun cenderung bisa diatasi dan membantu menjaga keseimbangan
individu bila dihadapi permasalahan yang berada di tempat kerja, sehingga ketika
dirumah tidak terlampiaskan.
Selanjutnya, internal locus of control juga dapat membantu individu dapat
mengelola emosi dan stress secara efektif. Internal locus of control dapat membantu
seseorang membantu mengontrol diri dalam pemuasan, dan lebih mampu
menghadapi kegagalan (Lina, Hariyanto & Rosyid, 1997), seseorang yang memiliki
internal locus of control menurut memiliki kemampuan yang lebih baik dalam
mengontrol situasi yang penuh tekanan (Arsenault et.al., 1991).
Selanjutnya dimensi locus of control yang lain yaitu powerful others,
memiliki keyakinan bahwa kejadian dalam hidupnya ditentukan terutama
berdasarkan oleh orang lain. Selanjutnya dimensi chance, memiliki keyakinan
bahwa kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh nasib, keberuntungan dan
kesempatan.
35
Menurut Phares (dalam Habibie, 2016) karakteristik yang terkait pada
external locus of control ini yaitu, seseorang cenderung pasif dalam upaya
mengontrol lingkungan.
Lalu seseorang yang memiliki kecenderungan pada eksternal locus of
control merasakan adanya tekanan dan suasana hati yang negatif (Dharsani, 2014).
Berdasarkan keterangan yang telah diungkapkan, bahwa locus of control dapat
mempengaruhi work-family conflict yang dialami seseorang.
Faktor lain yang mempengaruhi variabel work-family conflict adalah job
insecurity.
Job insecurity menurut Ashford, Lee, dan Bobko (1989) job insecurity
merupakan suatu tingkat dimana para karyawan merasa pekerjaannya terancam dan
merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Job
insecurity merupakan prediktor pengancam kesejahteraan ekonomi dan stabilitas
keluarga yang dapat mengakibatkan stres yang berhubungan dengan pekerjaan dan
keluarga (Richter, Näswall, & Sverke, 2010).
Menurut Larson et.al. (dalam Saragih, 2006) job insecurity dapat memberi
pengaruh pada kehidupan berkeluarga karena individu yang mengalami kecemasan
dan depresi di tempat kerja cenderung memiliki kesulitan yang besar dalam
memenuhi peran mereka sebagai pasangan atau orang tua di dalam keluarga.
Dimensi job insecurity ada tiga, yaitu (1) Perasaan terancam pada total pekerjaan
seseorang, (2) Perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features), dan (3)
Powerlessness.
Dimensi pertama yaitu, perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang,
36
yaitu kehilangan keseluruhan atau banyaknya pekerjaan yang dimiliki, kehilangan
pekerjaan yang terjadi secara permanen atau seseorang mungkin dipecat atau
dipaksa pensiun terlalu awal, merupakan hal yang pasti terjadi pada seseorang yang
memiliki jabatan atau profesi tertentu.
Timbulnya kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan, apabila semakin
meningkat dapat menambah permasalahan seseorang terhadap kehidupan mencari
nafkah untuk keluarganya, dan dapat menurunkan kinerja seseorang dalam bekerja,
terutama yang lebih di khawatirkan lagi akan timbul tekanan dalam dirinya,
sehingga mengganggu aktifitas pada peran lain di dalam kehidupannya, yaitu dalam
berkeluarga, seperti definisi dimensi konflik peran yaitu strain-based conflict yang
merupakan konflik yang terjadi karena ketegangan atau keadaan emosional yang
dihasilkan oleh satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran
yang lain.
Lalu dimensi selanjutnya yaitu perasaan terancam terhadap tampilan kerja
(job features), yaitu kehilangan bagian-bagian dari pekerjaan, yang sama halnya
dengan total pekerjaan, hanya saja ini tidak semua pekerjaan yang dimiliki oleh
individu menghilang, seperti perubahan struktural atau jabatan mungkin
menyebabkan seseorang kesulitan mengalami kemajuan dalam organisasi,
mempertahankan gaji ataupun meningkatkan pendapatan.
Perubahan struktural tidak menutup kemungkinan dapat mempengaruhi
work-family conflict, dalam pekerjaan pastinya ada zona nyaman dalam posisi
tertentu, apabila posisi tersebut tergeser maka timbul ketidaknyamanan seseorang
dalam keadaan tersebut pun tidak bisa ditutupi, seseorang berpikir bahwa dirinya
37
harus adaptasi, dan income dalam posisi baru tersebut apa sesuai dengan harapan,
lebih baik atau lebih buruk yang menjadi masalah baru bagi seseorang yang
mengalami kehilang bagian-bagian dari pekerjaan, hal ini dapat menjadikan
seseorang merasakan konflik peran.
Dimensi terakhir yaitu powerlessness. yaitu perasaan tidak berdaya yang
mungkin berperan dalam perasaan seseorang terhadap kurangnya kontrol atau
ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian-kejadian di lingkungan kerjanya.
Ketidak berdayaan seseorang dikhwatirkan menimbulkan masalah baru
ketika seseorang musti memperjuangkan pekerjaan yang dimiliki, apabila ketidak
berdayaan itu timbul, kewajiban seseorang pun dapat terhambat karena
berkurangnya kemampuan seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas yang ada,
padahal dalam kesehariannya, tidak hanya masalah kerja saja yang dimiliki, tetapi
masalah keluarga pun tetap harus diperhatikan.
Dengan ketidakberdayaan yang terjadi pada seseorang dapat menimbulkan
work-family conflict, salah satunya time-based conflict, ketika seseorang tidak
berdaya, lemah dan sebagainya, membuat kewajiban yang dihadapi menjadi
semakin lama terselesaikan sehingga waktu pun habis untuk menyelesaikan urusan
kerja, dan waktu untuk urusan keluarga pun bisa berkurang, dan khawatirnya bisa
tidak memiliki waktu untuk keluarga.
Variabel demografi yang terdiri dari usia dan masa kerja yang menjadi
faktor yang mempengaruhi work-family conflict, karyawan yang memiliki usia
lebih muda cenderung mengalami work-family conflict dibandingkan dengan
karyawan yang berusia lebih tua (Mjoli et al., 2013 dalam Wardhani, 2015).
38
Variabel demografi yang lain adalah masa kerja karyawan, beberapa
penelitian menyebutkan bahwa karyawan yang memiliki masa kerja sebentar
cenderung mengalami work-family conflict jika dibandingkan karyawan yang
bekerja sudah lama bekerja (La Brooy, 2013 dalam Wardhani, 2015).
Hal ini dikarenakan, karyawan dengan masa kerja yang lama sudah
memiliki strategi untuk mengatasi dan meminimalisir work-family conflict yang
terjadi padanya (Anafarta & Kuruuzum, 2012).
Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka penelitian dapat dirumuskan dalam
bentuk skema sebagai berikut:
39
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Penelitian
2.6 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir yang sudah dijelaskan diatas, maka dirumuskan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1 : Ada pengaruh signifikan locus of control, job insecurity, dan faktor
demografis terhadap work-family conflict.
H2 : Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi internal dari variabel locus
of control terhadap work-family conflict.
40
H3 : Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi powerful others dari variabel
locus of control terhadap work-family conflict.
H4 : Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi chance dari variabel locus of
control terhadap work-family conflict.
H5 : Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi perasaan terancam pada total
pekerjaan dari variabel job insecurity terhadap work-family conflict.
H6 :Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi perasaan terancam terhadap
tampilan kerja dari variabel job insecurity terhadap work-family conflict.
H7 :Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi powerlessness dari variabel job
insecurity terhadap work-family conflict.
H8 :Terdapat pengaruh yang signifikan usia dari variabel faktor demografis
terhadap work-family conflict.
H9 : Terdapat pengaruh yang signifikan masa kerja dari variabel faktor
demografis pekerja terhadap work-family conflict.
40
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di RSUD Cengkareng, Jakarta
Barat. Menurut data dari bidang DIKLAT pada instansi rumah sakit ini tercatat
memiliki 450 orang perawat yang bertugas di RSUD Cengkareng. Dengan
Kriteria antara lain, perawat yang bekerja lebih dari satu tahun serta merupakan
perawat tetap, sehingga disebarkan 300 kuesioner berdasarkan populasi yang
ada, dalam tahap pengumpulan data diperoleh sebanyak 240 kuesioner yang
dikembalikan dan terpilih menjadi sampel untuk penelitian.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik non-probability sampling. Yaitu, teknik pengambilan
sampel dimana kemungkinan setiap responden penelitian untuk terpilih tidak
dapat diketahui atau tidak dapat dihitung.
Convenience sampling, merupakan bagian dari Teknik Non-probability
sampling yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan
saja, dan anggota populasi yang ditemui bersedia menjadi responden untuk
dijadikan sampel atau memilih orang-orang yang terdekat saja (Syofian, 2014).
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Dalam penelitian ini, dependent variable (DV) adalah work-family conflict (WFC).
Sedangkan independent variable (IV) adalah locus of control (internal, powerful
others, dan chance), Job insecurity (Perasaan terancam pada total pekerjaan
41
seseorang, perasaan terancam terhadap tampilan kerja dan powerlessness) dan
faktor demografis (usia dan masa kerja).
Adapun definisi operasional dari variabel-variabel tersebut sebagai berikut:
1) Work-Family Conflict
Work-family conflict merupakan bentuk konflik interrole di mana tuntutan peran
pekerjaan dan keluarga secara mutual saling bertentangan dalam beberapa hal,
sehingga partisipasi dalam satu peran membuatnya lebih sulit untuk berpartisipasi
dalam peran lainnya.
Skor work-family conflict didapatkan dari alat ukur yang dimiliki Carlson
(2003), dengan melakukan modifikasi, yaitu meminjam kerangka teoritis dan
beberapa item yang relevan, untuk kemudian dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
penelitian.
Alat ukur ini mengukur 3 dimensi yaitu,
1. Time based conflict, terjadi disaat permintaan waktu dari satu peran yang
mengganggu peran lainnya
2. Strain based conflict merupakan adanya ketegangan dalam satu peran yang
mempengaruhi kinerja seseorang dalam peran lainnya
3. Behavior based conflict, adanya ketidakcocokan antara pola perilaku yang
diinginkan oleh kedua peran (pekerjaan atau keluarga).
42
Tabel 3.1 Blueprint Work-family conflict
No Dimensi Indikator Nomor Item Jumlah
1
2
3
Time-Based
Conflict
Strain-
Based
Conflict
Behavior-
Based
Conflict
Sedikitnya waktu dalam
menjalankan peran
keluarga/kerja
Salah satu peran mengganggu
peran yang lainnya
Kelelahan Fisik dalam
menjalankan satu peran
karena peran lainnya
Ketidakstabilan emosi yang
dirasakan pada satu peran
karena peran lainnya.
Membawa masalah pada satu
peran ke peran lainnya
Pemecahan masalah yang
tidak sesuai
Ketidakcocokan antara pola
perilaku pada masing-masing
peran
1, 8, 16*, 35*, 38*
2*, 9, 17, 25* 29, 36*
3, 10, 26*, 28*, 30, 37*
4*, 11, 18, 31
5*, 12, 19, 27*, 32*
6, 13, 14*, 20, 24*, 33*
7, 15*, 21, 22, 23*, 34*
5
6
6
4
5
6
6
38
Keterangan: tanda * = item unfavorable
2) Locus of Control
Locus of control adalah keyakinan individu tentang penyebab utama dari kejadian-
kejadian yang terjadi pada dirinya, yang bisa berasal dari kemampuan dirinya
sendiri, orang lain yang berkuasa, nasib, keberuntungan, dan peluang. Skor Locus
of control didapatkan dari alat ukur yang bernama IPC Scale dikembangkan oleh
Levenson (1981) dengan melakukan modifikasi, yaitu dengan meminjam kerangka
teoritis dan beberapa item yang relevan, untuk kemudian dimodifikasi sesuai
dengan kebutuhan. Adapun pada pengukuran ini ditekankan pada aspek-aspek
Locus of control yang terdiri dari 3 dimensi yaitu,
43
1. Internal, terjadi disaat seseorang menganggap bahwa segala sesuatu terjadi
diakibatkan diri sendiri.
2. Powerful Others, terjadi disaat seseorang menganggap kejadian dalam
hidupnya ditentukan oleh orang lain atau yang lebih berkuasa.
3. Chance, terjadi disaat seseorang memiliki keyakinan bahwa kejadian dalam
hidupnya ditentukan oleh nasib, keberuntungan dan kesempatan.
Tabel 3.2 Blueprint Locus of control
No Dimensi Indikator No Item Jumlah
1
2
3
Internal
(i)
Powerfull
Other (p)
Chance
(c)
Keyakinan seseorang bahwa kejadian
yang di alami ditentukan oleh
kemampuan dari diri sendiri.
Keyakinan seseorang bahwa kejadian
yang dialami dalam kehidupannya
dikarenakan orang lain.
Keyakinan seseorang bahwa kejadian
yang dialami dalam kehidupannya
ditentukan oleh nasib, kesempatan dan
keberuntungan
1, 2, 3, 8, 10,
13, 17, 20, 23
4, 5, 7, 9, 11,
14, 18, 22
6, 12, 15, 16,
19, 21, 24
9
8
7
24
3) Job Insecurity
Job insecurity didefinisikan sebagai perasaan tidak aman, terancam dan tidak
berdaya yang dirasakan pekerja terhadap pekerjaannya. Job insecurity dapat diukur
dengan menggunakan skala yang terdiri dari tiga aspek yang disusun berdasarkan
teori dari Ashford, Lee, dan Bobko (1989) yaitu:
1. Perasaan terancam pada total pekerjaan
2. Perasaan terancam terhadap tampilan kerja (Job Features)
3. Powerlessness.
44
Tabel 3.3 Blueprint Job Insecurity
No Dimensi Indikator No Item Jumlah
1
2
3
Perasaan
terancam pada
total pekerjaan
Perasaan
terancam
terhadap
tampilan kerja
Powerlessness
Perasaan takut akan kehilangan
pekerjaan yang dimiliki.
Perasaan tidak nyaman pada
ancaman kehilangan pekerjaan.
Perasaan takut terhadap ancaman
kehilangan bagian-bagian dari
pekerjaan.
Perasaan tidak nyaman terhadap
ancaman kehilangan bagian-bagian
dari pekerjaan.
Perasaan tidak berdaya dalam
perasaan seseorang.
Kurangnya kontrol atau
ketidakmampuan untuk
mengendalikan kejadian di
lingkungan.
1, 6*, 11, 12*,
16, 18*, 21,
26, 32, 38
2, 7, 13,14*,
24*
3, 8, 15, 23,
25, 27*, 35*
4, 5, 9, 10*,
17*, 19*
20, 22, 30*,
33*, 36*, 37
28*, 29, 31,
34, 39*
10
5
7
6
6
5
39
Keterangan: tanda * = item unfavorable
3.3 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk
kuesioner dengan menggunakan skala likert yang memiliki empat rentangan dari
(SS) sangat sesuai, (TS) tidak sesuai, (S) sesuai dan (SS) sangat sesuai. Instrumen
pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari 3 alat ukur.
3.3.1 Instrumen Work-family Conflict
Instrumen yang digunakan pada variabel work-family conflict merupakan alat ukur
yang digunakan pada penelitian Carlson et al. (2003) yaitu work-family scale, alat
ukur ini mengukur tiga dimensi yaitu time based conflict, strain based conflict dan
45
behavior based conflict. Instrumen ini terdiri dari 39 item dengan 4 respon skala
likert dimulai dari sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju dan sangat setuju.
3.3.2 Instrumen Locus of Control
Instrumen yang digunakan pada variabel locus of control merupakan alat ukur yang
dikembangkan oleh Levenson (1981) yaitu skala IPC yang terdiri dari 3 dimensi
yaitu, internal, powerful others dan chance, instrumen ini terdiri dari 24 item
dengan 4 respon skala likert dimulai dari sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju
dan sangat setuju.
3.3.3 Instrumen Job Insecurity
Instrumen yang digunakan pada variabel Job insecurity merupakan alat ukur yang
menggunakan skala yang terdiri dari tiga aspek yang disusun oleh Ashford, Lee,
dan Bobko (1989) berdasarkan teori Greenhalg dan Rosenblatt (1984) yaitu
perasaan terancam pada pekerjaan, perasaan terancam terhadap tampilan kerja dan
powerlessness, instrumen ini terdiri dari 39 item dengan 4 respon skala likert
dimulai dari sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju dan sangat setuju.
3.3.4 Pengukuran Faktor Demografi
Untuk mendata usia dan masa kerja responden pada instrumen ini, terdapat
pertanyaan mengenai usia dan masa kerja yang harus dijawab oleh responden.
3.4 Uji Validitas Konstruk
Setelah mendapatkan data dari prosedur pengumpulan data, penulis kemudian
menguji validitas konstruk pada masing-masing instrument penelitian. Uji
validitas memberitahukan mengenai apa yang bisa disimpulkan dari skor tes,
sehubungan dengan hal tersebut, digunakan Confirmatory Factor Analysis
46
(CFA) dengan software Lisrel 8.70 sebagai metode uji validitasnya sehingga
dapat diketahui apakah masing-masing item pada instrumen penelitian
signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur.
Menurut Umar (dalam Budhiarti, 2017) terdapat beberapa langkah
dalam menguji validitas dari setiap alat ukur atau instrument dalam penelitian
ini yakni sebagai berikut;
1. Lakukan uji CFA dengan model satu faktor, lihat nilai p-value yang
dihasilkan. Jika p-value tidak signifikan (P>0,05), maka item hanya
mengukur satu faktor saja, tetapi jika p-value yang dihasilkan signifikan
(P<0,05) maka perlu dilakukan uji sesuai langkah kedua berikutnya.
2. Jika p-value signifikan (P<0,05), maka dilakukan modifikasi model
pengukuran dengan cara membebaskan parameter berupa korelasi
kesalahan pengukuran.
Hal ini terjadi saat suatu item selain mengukur konstruk yang ingin
diukur, tetapi item ini juga mengukur hal lain (mengukur lebih dari satu
konstruk atau multidimensional).
Setelah beberapa kesalahan pengukuran dibebaskan untuk saling
berkorelasi maka akan diperoleh model yang fit, maka model yang terakhir
inilah yang digunakan pada selanjutnya.
3. Jika telah diperoleh model yang fit, maka analisi item dilanjutkan dengan
melihat apakah muatan faktor item tersebut signifikan dan mempunyai
koefisien positif.
Untuk melihat signifikan atau tidaknya item tersebut dalam pengukuran
47
faktor ini, yaitu dengan cara melihat nilai dari T-value dan koefisien
muatan faktor item tersebut. Jika T-value >1,96 maka item tersebut
signifikan atau tidak akan di drop dan begitu juga sebaliknya.
4. Selain itu, juga perlu dilihat apakah ada item yang muatan faktornya
negatif. Dalam hal ini, jika ada item pernyataan yang negatif, maka saat
scoring terhadap item tersebut, arah skornya diubah menjadi positif.
Jika setelah diubah arah skornya masih terdapat item dengan muatan
faktor negatif maka item tersebut akan di- drop.
5. Selanjutnya, yaitu melihat kesalahan pengukuran yang berkorelasi.
Apabila menemukan item dengan banyak kesalahan pengukuran yang
berkorelasi dengan banyak item lain, maka hal ini berarti bahwa item
tersebut selain mengukur satu hal, juga mengukur hal lain, sehingga item
seperti ini juga dapat di-drop karena bersifat multidimensional yang sangat
kompleks.
6. Setelah melakukan modifikasi terhadap model, maka dilakukanlah olah
data untuk mendapatkan faktor skornya.
Olah data dilakukan dengan menggunakan SPSS 20 dengan ketentuan
tidak mengikut sertakan skor mentah dari item yang sudah di-drop.
7. Setelah proses mendapatkan faktor skor dilakukan, kemudian di transform
dalam skala T-score (true score) dengan menggunakan formula berikut:
T-score = 50 + (10*F-score)
Faktor skor yang masih mengandung angka negatif harus di transform
48
menjadi true score dengan mean =50 dan standard deviation (SD) = 10
8. Setelah diperoleh true score (T-score) dari masing-masing variabel, maka
dilakukan analisis regresi. Dalam penelitian ini menggunaakan analisis
regresi berganda (multiple regression analysis).
3.4.1 Uji Validitas Skala Work-family conflict
Selanjutnya menguji 38 item dari skala work-family conflict yang bersifat
unidimensional, yang artinya benar-benar hanya mengukur work-family conflict.
Berdasarkan hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor,
ternyata tidak fit, dengan Chi-Square=892,73 df=665, P-value=0.00000,
RMSEA=0.038
Oleh karena itu, dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan
pengukuran pada item dibebaskan berkorelasi satu sama lain. Setelah dilakukan
modifikasi sebanyak 17 kali, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square=637,34,
df=650, P-value=0.63117, RMSEA=0.000. Nilai Chi- Square menghasilkan P-
value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional)
dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu work-family
conflict.
49
Gambar 3.1 Analisis Faktor Konfirmatorik Variabel Work-family conflict
Selanjutnya pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari
item. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran work-family conflict
disajikan pada tabel 3.4 berikut:
50
Tabel 3.4 Muatan Faktor Item Skala Work-family conflict
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
Item 1
Item 2
Item 3
Item 4
Item 5
Item 6
Item 7
Item 8
Item 9
Item 10
Item 11
Item 12
Item 13
Item 14
Item 15
Item 16
Item 17
Item 18
Item 19
Item 20
Item 21
Item 22
Item 23
Item 24
Item 25
Item 26
Item 27
Item 28
Item 29
Item 30
Item 31
Item 32
Item 33
Item 34
Item 35
Item 36
Item 37
Item 38
0.45
0.61
0.36
0.35
0.36
-0.04
0.20
0.20
-0.02
0.57
0.44
0.45
0.06
0.22
0.39
0.53
0.46
0.46
0.33
0.22
0.21
0.11
0.74
0.55
0.66
0.65
0.53
0.84
-0.03
0.66
0.60
0.57
-0.02
0.79
0.82
0.86
0.79
0.80
0.10
0.09
0.10
0.10
0.10
0.10
0.10
0.10
0.10
0.09
0.10
0.10
0.10
0.10
0.10
0.09
0.10
0.10
0.10
0.10
0.10
0.10
0.09
0.09
0.09
0.09
0.10
0.09
0.10
0.09
0.09
0.09
0.10
0.09
0.09
0.09
0.09
0.09
4.65
6.54
3.76
3.60
3.71
-0.37
2.03
2.09
-0.16
6.05
4.54
4.71
0.57
2.22
3.99
5.64
4.78
4.84
3.37
2.21
2.14
1.07
8.19
5.77
7.17
6.99
5.54
9.45
-0.27
7.19
6.35
6.06
-0.20
8.74
9.22
9.72
8.78
8.98
√
√
√
√
√
X
√
√
X
√
√
√
X
√
√
√
√
√
√
√
√
X
√
√
√
√
√
√
X
√
√
√
X
√
√
√
√
√
Keterangan: tanda √ = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
51
Berdasarkan tabel 3.4, pada kolom koefisien terlihat bahwa item yang memiliki
muatan negatif dan item yang memiliki t-value di bawah 1,96 (t < 1,96) adalah item
6, 9, 13, 22, 29, dan 33. Item-item tersebut harus dieliminasi atau di-drop dan tidak
disertakan dalam pengolahan selanjutnya.
3.4.2 Uji Validitas Skala Locus of control
Penulis menguji apakah 24 item yang terdiri 3 aspek locus of control yaitu
internal, power of others dan chance bersifat unidimensional yang artinya
benar- benar hanya mengukur locus of control.
3.4.2.1 Uji Validitas Konstruk Dimensi Internal
Penulis menguji apakah 9 item dari dimensi internal bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur internal. Berdasarkan hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit dengan Chi- Square
= 259.64 , df= 27, p-value= 0.00000, dan RMSEA= 0.190.
Setelah melakukan 20 kali modifikasi terhadap model, kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya,
maka diperoleh model fit dengan Chi- Square= 5.60, df= 7, p-value= 0.58688,
dan RMSEA= 0.000.
Nilai Chi- Square menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang
artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana
seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu internal.
52
Gambar 3.2 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Internal
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukkan apakah item
tertentu perlu untuk di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah
hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya
53
dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai
t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan sebaliknya. Adapun koefisien
muatan faktor untuk item pengukuran internal, seperti pada tabel 3.5
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Dimensi Internal
No Koefisien Standar
Error
Nilai t Signifikan
Item 1
Item 2
Item 3
Item 8
Item 10
Item 13
Item 17
Item 20
Item 23
0.25
0.73
0.29
0.70
0.27
0.29
0.50
0.76
0.37
0.08
0.07
0.07
0.07
0.07
0.07
0.07
0.07
0.08
3.04
9.97
3.87
10.63
3.64
4.25
7.49
10.65
4.59
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Keterangan: tanda √ = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Pada tabel 3.5, penulis melihat tidak ada muatan faktor negatif pada salah satu
item dan t-value diatas 1,96 (t > 1,96), maka seluruh item tersebut dapat
digunakan dalam mengestimasi skor faktor untuk dimensi internal.
3.4.2.2 Uji Validitas Konstruk Dimensi Powerful Others
Penulis menguji apakah 8 item dari dimensi powerful others bersifat
unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur powerful others.
Berdasarkan hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor
ternyata tidak fit dengan Chi-Square = 145.52, df= 20, p-value= 0.00000, dan
RMSEA= 0.162. Setelah melakukan 12 kali modifikasi terhadap model,
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi- Square= 6.30, df= 8, p-value=
0.61405, dan RMSEA= 0.000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05
54
(signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu powerful others.
Gambar 3.3 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Powerful Others
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukkan apakah item
tertentu perlu untuk di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah
hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya
dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai
55
t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan sebaliknya. Adapun koefisien
muatan faktor untuk item pengukuran powerfull others, seperti pada tabel 3.6
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Dimensi Powerfull Others
No Koefisien Standar
Error
Nilai t Signifikan
Item 4
Item 5
Item 7
Item 9
Item 11
Item 14
Item 18
Item 22
0.64
0.46
0.23
0.84
-0.07
0.45
0.74
0.62
0.06
0.07
0.07
0.06
0.08
0.07
0.06
0.06
9.89
6.71
3.2
13.87
-0.96
6.64
11.95
9.65
√
√
√
√
X
√
√
√
Keterangan: tanda √ = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Pada tabel di atas, penulis melihat item-item yang memiliki muatan faktor
negatif. Berdasarkan tabel 3.6, pada kolom koefisien terlihat bahwa item yang
memiliki muatan negatif dan item yang memiliki t-value di bawah 1,96 (t <
1,96) adalah item nomor 11, yang harus dieliminasi atau di-drop dan tidak
disertakan dalam pengolahan selanjutnya.
3.4.2.3 Uji Validitas Konstruk Dimensi Chance
Penulis menguji apakah 7 item dari dimensi chance bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur chance. Berdasarkan hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata fit dengan Chi- Square =
19.72, df= 14, p-value= 0.13931, dan RMSEA= 0.0041. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu
faktor saja yaitu chance.
56
Gambar 3.4 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Chance
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukkan apakah item
tertentu perlu untuk di-drop atau tidak, dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis
nihil tentang koefisien muatan faktor dari item.
Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien
muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan
sebaliknya. Adapun koefisien muatan faktor untuk item pengukuran chance,
seperti pada tabel 3.7
57
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Dimensi Chance
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
Item 6
Item 12
Item 15
Item 16
Item 19
Item 21
Item 24
0.63
0.72
0.63
0.57
0.62
0.12
0.37
0.07
0.06
0.07
0.07
0.07
0.07
0.07
9.62
11.31
9.59
8.45
9.33
1.61
5.31
√
√
√
√
√
X
√
Keterangan: tanda √ = signifikan (t > 1,96); X = tidak signifikan
Pada tabel 3.7 penulis melihat item-item yang memiliki muatan faktor negatif.
Berdasarkan tabel 3.7, pada kolom koefisien terlihat bahwa item yang memiliki
muatan negatif dan item yang memiliki t-value di bawah 1,96 (t < 1,96) adalah
item nomor 21 yang harus dieliminasi atau di-drop dan tidak disertakan dalam
pengolahan selanjutnya.
3.4.3 Uji Validitas Skala Job Insecurity
3.4.3.1 Uji Validitas Konstruk Dimensi Perasaan Terancam Pada total
Pekerjaan.
Penulis menguji apakah 15 item dari dimensi perasaan terancam pada total
pekerjaan bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur
perasaan terancam pada total pekerjaan.
Berdasarkan hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu
faktor ternyata tidak fit dengan Chi- Square = 629.29, df= 90, p-value=
0.00000, dan RMSEA= 0.158. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05
(signifikan).
Setelah melakukan 39 kali modifikasi terhadap model, kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya,
58
maka diperoleh model fit dengan Chi- Square= 48.51, df= 51, p-value=
0.57315, dan RMSEA= 0.000.
Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang
artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana
seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu dimensi perasaan terancam pada
total pekerjaan.
Gambar 3.5 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Perasaan Terancam
Pada Total Pekerjaan.
59
Selanjutnya pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor
dari item. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran perasaan terancam
pada total pekerjaan, seperti pada tabel 3.8
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Dimensi Perasaan Terancam Pada total
Pekerjaan
No Koefisien Standar
Error
Nilai t Signifikan
Item 1
Item 2
Item 6
Item 7
Item 11
Item 12
Item 13
Item 14
Item 16
Item 18
Item 21
Item 24
Item 26
Item 32
Item 38
0.55
0.35
0.55
0.21
0.51
0.48
0.59
0.34
0.19
-0.24
0.10
-0.78
0.82
0.72
0.58
0.07
0.07
0.07
0.07
0.07
0.07
0.06
0.07
0.07
0.07
0.07
0.06
0.06
0.06
0.06
8.29
5.30
7.94
3.14
7.34
7.31
9.54
5.03
2.89
-3.50
1.49
-13.34
13.8
12.6
9.66
√
√
√
√
√
√
√
√
√
X
X
X
√
√
√
Keterangan: tanda √ = signifikan (t > 1,96); X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.8, pada kolom koefisien terlihat bahwa item yang memiliki
muatan negatif dan item yang memiliki t-value di bawah 1,96 (t < 1,96) adalah
item nomor 18, 21, dan 24 yang harus dieliminasi atau di-drop dan tidak
disertakan dalam pengolahan selanjutnya.
3.4.3.2 Uji Validitas Konstruk Dimensi Perasaan Terancam Pada
Tampilan Pekerjaan
Penulis menguji apakah 13 item dari dimensi perasaan terancam pada tampilan
pekerjaan bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur
perasaan terancam pada tampilan pekerjaan. Berdasarkan hasil analisis CFA
60
yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit dengan Chi- Square
= 443.99, df= 65, p-value= 0.00000, dan RMSEA= 0.156.
Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), Setelah
melakukan 32 kali modifikasi terhadap model, kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh
model fit dengan Chi- Square= 33.02, df= 35, p-value= 0.56399, dan RMSEA=
0.000.
Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang
artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana
seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu dimensi dimensi perasaan
terancam pada tampilan pekerjaan.
Gambar 3.6 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Perasaan Terancam
Pada Tampilan Pekerjaan
61
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur. Adapun koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran perasaan terancam pada tampilan pekerjaan, seperti pada tabel 3.9
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Dimensi Perasaan Terancam Pada
Tampilan Pekerjaan
Keterangan: tanda √ = signifikan (t > 1,96); X = tidak signifikan
Pada tabel 3.9, penulis melihat tidak ada muatan faktor negatif pada salah satu
item dan t-value diatas 1,96 (t > 1,96), maka seluruh item tersebut dapat
digunakan dalam mengestimasi skor faktor untuk dimensi perasaan terancam
pada tampilan pekerjaan.
3.4.3.3 Uji Validitas Konstruk Dimensi Powerlessness
Penulis menguji apakah 11 item dari dimensi perasaan terancam pada tampilan
pekerjaan bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur
perasaan terancam pada tampilan pekerjaan.
Berdasarkan hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu
faktor ternyata tidak fit dengan Chi- Square = 740.31, df= 44, p-value=
0.00000, dan RMSEA= 0.257. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
Item 3
Item 4
Item 5
Item 8
Item 9
Item 10
Item 15
Item 17
Item 19
Item 23
Item 25
Item 27
Item 35
0.22
0.29
0.53
0.61
0.74
0.32
0.67
0.20
0.68
0.64
0.70
0.27
0.37
0.07
0.07
0.07
0.06
0.06
0.07
0.06
0.07
0.07
0.06
0.06
0.07
0.07
3.11
4.49
7.73
9.69
11.83
4.64
10.36
2.71
10.24
10.36
11.46
4.04
5.30
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
62
(signifikan), Setelah melakukan 33 kali modifikasi terhadap model, kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya,
maka diperoleh model fit dengan Chi- Square= 9.84, df= 11, p-value= 0.54450,
dan RMSEA= 0.000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05
(signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu dimensi dimensi
powerlessness.
Gambar 3.7 Analisis Faktor Konfirmatorik Dimensi Powerlessness
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukkan apakah item
tertentu perlu untuk di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah
63
hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya
dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai
t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan sebaliknya. Adapun koefisien
muatan faktor untuk item powerlessness, seperti pada tabel 3.10
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Dimensi Powerlessness
Keterangan: tanda √ = signifikan (t > 1,96); X = tidak signifikan
Pada tabel 3.10, penulis melihat tidak ada muatan faktor negatif pada salah satu
item dan t-value diatas 1,96 (t > 1,96), maka seluruh item tersebut dapat
digunakan dalam mengestimasi skor faktor untuk dimensi perasaan terancam
pada tampilan powerlessness.
3.5 Teknik Analisis Data
Pengujian hipotesis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah regresi
berganda. Metode analisis regresi berganda ini digunakan untuk mengetahui
besarnya pengaruh lebih dari satu variabel bebas (IV) dalam penelitian ini
Locus of control (Internal dan Eksternal), Job insecurity (Perasaan terancam
pada total pekerjaan seseorang, perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job
features), dan powerlessness) dan faktor demografi (usia dan masa kerja)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
Item 20
Item 22
Item 28
Item 29
Item 30
Item 31
Item 33
Item 34
Item 36
Item 37
Item 39
0.56
0.90
0.67
0.78
0.50
0.77
0.84
0.56
0.61
0.77
0.36
0.06
0.06
0.06
0.06
0.07
0.06
0.07
0.06
0.06
0.07
0.09
8.98
16.29
10.61
13.61
7.59
13.17
11.52
8.86
9.95
11.48
3.93
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
64
terhadap variabel terikat (DV) yaitu work-family conflict (time-based conflict,
strain-based conflict & behavior-based conflict).
Pada penelitian ini, analisis statistik regresi berganda dihitung dengan
menggunakan SPSS 20.
Persamaan Regresi pada penelitian ini adalah:
Y= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8x8 + e
Keterangan:
Y = Work-family conflict
a = konstanta
b = koefisien regresi untuk masing-masing X
X1 = Internal
X2 = Powerful Others
X3 = Chance
X4 = Perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang
X5 = Perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features)
X6 = Powerlessness
X7 = Usia
X8 = Pendidikan
e = Residual (hal yang mempengaruhi DV diluar dari IV)
Untuk menilai apakah model regresi yang dihasilkan merupakan model yang
paling sesuai (memiliki residual terkecil), dibutuhkan beberapa pengujian dan
analisis.
Besarnya proporsi varian dari work-family conflict yang dipengaruhi
oleh seluruh independen variabel secara bersama-sama, ditunjukkan oleh
koefisien determinasi (R2). Untuk mendapatkan nilai R2, digunakan rumus
sebagai berikut:
R2
= 𝑆𝑆𝑟𝑒𝑔
𝑆𝑆𝑦
Keterangan :
Ssreg : Jumlah kuadrat dari regresi
65
Ssy : Jumlah kuadrat dari variabel y, yang dimaksud variabel y
dalam penelitian ini adalah work-family conflict.
Untuk menyimpulkan R2 signifikan atau tidak, dilakukan uji F dengan
hipotesis H0 : R2 = 0. Yang rumusnya adalah sebagai berikut:
𝐹 =𝑅2/𝑘
(1−𝑅2)/(𝑁−𝐾−1), dengan df = k dan (N-k-1),
Keterangan:
k : Jumlah independen variabel
N : Jumlah sampel
Dari hasil uji F yang dilakukan, dapat dilihat apakah seluruh
independent vaiable secara bersama-sama memiliki pengaruh signifikan
terhadap dependent variable. Kemudian untuk menguji apakah pengaruh yang
diberikan masing- masing independent variable signifikan terhadap dependent
variable, maka penulis melakukan uji t terhadap koefisien regresi.
Uji T digunakan untuk melihat apakah pengaruh yang diberikan
masing- masing variabel bebas (X) signifikan terhadap variabel terikat (Y). Uji
ini digunakan untuk menguji apakah sebuah variabel bebas (X) benar-benar
memberikan kontribusi terhadap variabel terikat (Y). Uji T yang akan
dilakukan menggunakan rumuas sebagai berikut:
t=𝑏
𝑠𝑏
Keterangan:
b = Koefisien regresi
Sb = Standart error estimate
66
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah Perawat yang bertugas di RSUD Jakarta Barat.
Untuk mempermudah perhitungan, maka penulis mengkategorikan usia responden
menjadi 3 kategori, yaitu (22 – 30 Tahun) sebagai kategori pertama dan (31 – 39
Tahun) sebagai kategori kedua dan (40 –48 Tahun) sebagai kategori ketiga. Lalu
untuk masa kerja penulis mengkategorikan masa kerja menjadi 4 kategori, yaitu (1-
4 Tahun) sebagai kategori pertama, (5 – 8 Tahun) sebagai kategori kedua, (9–12
Tahun) sebagai kategori ketiga dan (13-16 Tahun) sebagai kategori keeempat.
Gambaran subjek dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian
Kategori Jumlah Persentase
Usia
Masa
Kerja
21-30 Tahun
31-40 Tahun
41-50 Tahun
1-4 Tahun
5-8 Tahun
9-12 Tahun
13-16 Tahun
145
77
18
100
52
43
45
60.42 %
32.08 %
7.50 %
41,67 %
21,67 %
17,92 %
18,75 %
Berdasarkan pada tabel 4.1 dilihat bahwa untuk mengetahui gambaran subjek
penelitian, penulis mengkategorisasikan usia ke dalam 3 bagian yaitu responden
yang berusia 22 hingga 30 tahun, 31 hingga 39 tahun dan 40 hingga 48 tahun.
Sehingga dapat diketahui bahwa responden dalam penelitian ini didominasi oleh
perawat dengan rentang usia 22 – 30 tahun (60.42 %) diikuti oleh perawat dengan
67
rentang usia 31 – 39 tahun (32.08 %) kemudian paling sedikit dengan rentang usia
40 – 48 tahun (7.50 %) .
Berdasarkan tabel diatas juga dapat diketahui bahwa kategorisasi masa kerja
dibagi menjadi 4 bagian yaitu responden yang bekerja selama 1 hingga 4 tahun, 5
hingga 8 tahun, 9 hingga 12 tahun, dan 13 hingga 16 tahun. Sehingga dapat
diketahui bahwa responden dalam penelitian ini didominasi oleh perawat dengan
masa kerja 1-4 tahun (41.67 %) diikuti dengan masa kerja 5-8 tahun ( 21.67 %),
masa kerja 13-16 tahun (18.75 %), kemudian paling sedikit dengan rentan masa
kerja 9-12 tahun (17.92 %).
4.2 Hasil Analisis Deskriptif
Hasil analisis deskriptif adalah hasil yang memberikan gambaran data penelitian.
Dalam hasil analisis deskriptif ini akan disajikan nilai minimum, maksimum, mean
dan standar deviasi variabel serta kategorisasi tinggi dan rendahnya skor variabel
penelitian. Gambaran hasil analisis deskriptif ini dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4.2 Tabel Analisis Deskriptif
Variabel N Min Max Mean Std. Deviasi
Work-family conflict
Internal
Powerful Others
Chance
Perasaan terancam
terhadap total
pekerjaan
Perasaan terancam
terhadap tampilan
pekerjaan
Powerlessness
Valid N (listwise)
240
240
240
240
240
240
240
240
19,29
24.25
24.30
21.72
14.73
13.25
16.73
87.16
77.22
70.83
72.48
69.55
70.29
76.69
50.0000
50.0000
50.0000
50.0000
50.0000
50.0000
50.0000
9.586554
8.336285
8.839286
8.388946
8.781542
8.807218
9.259787
68
Berdasarkan data pada tabel 4.2 di atas dapat diketahui, Pertama, bahwa nilai
minimum dari variabel work-family conflict adalah 19.29, nilai maksimum 87.16,
mean = 50.000 dan SD = 9.586554.
Kedua, internal dengan nilai minimum 24.25, nilai maksimum = 77.22,
mean = 50.000 dan SD = 8.336285.
Ketiga, powerful others memiliki nilai minimum = 24.30, nilai maksimum
= 70.83, mean = 50.000, dan SD = 8.839286.
Keempat, chance dengan nilai minimum = 21.72, nilai maksimum= 72.48,
mean = 50.000, SD = 8.388946.
Kelima, Perasaan terancam terhadap total pekerjaan dengan nilai minimum
= 14.73, nilai maksimum = 69.55, mean = 50.000, SD =8.781542.
Keenam, perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan dengan nilai
minimum = 13.25, nilai maksimum = 70.29, mean = 50.000, SD = 8.807218.
Ketujuh, powerlessness dengan nilai minimum = 16.73, nilai maksimum = 76.69,
mean = 50.000 , SD = 9.259787.
4.2.1 Kategorisasi skor variabel
Kategorisasi variabel bertujuan untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-
kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan
atribut yang diukur. Kontinum jenjang ini contohnya adalah dari rendah ke tinggi
yang akan penulis gunakan dalam kategorisasi variabel penelitian.
Sebelum mengkategorisasikan skor masing-masing variabel berdasarkan
tingkat rendah, sedang, dan tinggi, penulis terlebih dahulu menetapkan norma
seperti tertera pada tabel 4.3
69
Tabel 4.3 Tabel Pedoman Intepretasi Skor
Kategori Rumus
Rendah
Sedang
Tinggi
X< Mean – SD
Mean – 1 SD ≤ X ≤ Mean + 1 SD
Mean + SD > X
Uraian gambaran kategori skor variabel berdasarkan tinggi dan rendahnya setiap
variabel yang telah disesuaikan dengan norma disajikan pada tabel 4.4
Tabel 4.4 Tabel Kategorisasi Skor Variabel
Variabel Frekuensi
Rendah Sedang Tinggi
Work-family conflict
Internal
Powerful Others
Chance
Perasaan terancam terhadap
total pekerjaan
Perasaan terancam terhadap
tampilan pekerjaan
Powerlessness
31 orang
(12.92 %)
20 orang
(8.33 %)
33 orang
(13.75 %)
26 orang
(10.83 %)
22 orang
(9.17 %)
16 orang
(6.67 %)
21 orang
(8.75 %)
190 orang
(79.17 %)
184 orang
(76.67 %)
172 orang
(71.67 %)
175 orang
(72.92 %)
190 orang
(79.17 %)
184 orang
(76.67 %)
180 orang
(75 %)
19 orang
(7.92 %)
36 orang
(15 %)
35 orang
(14.58 %)
39 orang
(16.25 %)
28 orang
(11.67 %)
40 orang
(16.67 %)
39 orang
(16.25 %)
Berdasarkan tabel 4.4, dapat dilihat tingkat work-family conflict yang dimiliki
cenderung tinggi, dengan nilai 7.92% dan cenderung rendah dengan nilai 12.92%.
Tingkat Internal locus of control responden dengan kategori cenderung
tinggi adalah 15%, dan cenderung rendah 8.33%. Tingkat powerful others dengan
kategori cenderung tinggi adalah 14.58% dan cenderung rendah 13.75%.
Tingkat chance dengan kategori cenderung tinggi adalah 16.25%, dan
cenderung rendah 10.83%. Tingkat perasaan terancam terhadap total pekerjaan
70
dengan kategori cenderung tinggi adalah 11.67%, dan cenderung rendah 9.17%.
Tingkat perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan dengan kategori cenderung
tinggi adalah 16.67% dan cenderung rendah 6.67%.
Tingkat powerlessness dengan kategori cenderung tinggi dengan nilai
16.25% dan cenderung rendah 8.75%.
4.3 Uji Hipotesis Penelitian
4.3.1 Analisis regresi variabel penelitian
Pada tahapan uji hipotesis penelitian, penulis menggunakan teknik analisis regresi
dengan software SPSS 20 seperti yang sudah dijelaskan pada bab 3.
Dalam melakukan analisis regresi ada tiga hal yang dilihat, yaitu pertama
melihat R Square untuk mengetahui berapa persen (%) varians dependent variable
yang dijelaskan oleh independent variable, yang kedua apakah keseluruhan
independent variable berpengaruh secara signifikan terhadap dependent variable,
kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-
masing independent variable.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan beberapa tahapan. Langkah pertama
penulis melihat besaran R2 untuk mengetahui berapa persen varians dependent
variable yang dijelaskan oleh independent variable.
Selanjutnya untuk tabel yang berisi R2, dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut:
Tabel 4.5 Tabel R Square Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .647a .418 0.398 7.438740
a. Predictors: (Constant), Masa kerja, internal, chance, perasaan terancam pada
tampilan pekerjaan, powerful others, powerlessness, perasaan terancam pada total
kerja,Usia
71
b. Dependent Variable: Work-family conflict
Berdasarkan data pada tabel 4.5 dapat dilihat bahwa perolehan R2 sebesar
0.418 atau 41.8%. Artinya proporsi varians dari work-family conflict yang
dijelaskan oleh semua independent variable dalam penelitian ini (internal,
powerfull others, chance, perasaan terancam terhadap total pekerjaan, perasaan
terancam terhadap tampilan pekerjaan, powerlessness, usia, dan masa kerja) adalah
sebesar 41.8 %, sedangkan 58,2 % lainnya dipengaruhi oleh variabel lain di luar
penelitian ini. Langkah kedua yang dilakukan yaitu penulis menganalisis dampak
dari seluruh independent variable terhadap work-family conflict. Adapun hasil uji F
dapat dilihat pada tabel 4.6
Tabel 4.6 Tabel Anova
Model Sum of Squares df Mean
Squares
F Sig.
1 Regression
Residual
Total
9182.234
12782.350
21964.583
8
231
239
1147.779
55.335
20.742 .000b
a. Dependent Variable: Work-family conflict
b. Predictors: (Constant), Masa kerja, Internal, Chance, Perasaan terancam terhadap
tampilan pekerjaan, Powerful Others, Powerlessness, Perasaan terancam terhadap total
pekerjaan, Usia
Berdasarkan uji F pada tabel 4.6 dapat dilihat bahwa nilai p (Sig.) pada kolom
paling kanan adalah p=0.000 dengan nilai p<0.05, berdasarkan hal tersebut, dengan
demikian hipotesis nihil yang menyatakan tidak adanya pengaruh yang signifikan
dari variabel locus of control (internal, powerfull other dan chance), job insecurity
(perasaan terancam terhadap total pekerjaan, perasaan terancam terhadap tampilan
pekerjaan, dan powerlessness), usia dan masa kerja terhadap perilaku work-family
72
conflict ditolak, artinya ada pengaruh yang signifikan locus of control (internal,
powerfull other dan chance), job insecurity (perasaan terancam terhadap total
pekerjaan, perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan, dan powerlessness),
usia dan masa kerja pada sampel perawat.
Langkah selanjutnya, melihat koefisien regresi dari masing-masing IV. Jika
sig <0,05 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti variabel
independen tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap work-family
conflict. Adapun besarnya koefisien regresi dari masing-masing variabel
independen terhadap perilaku work-family conflict dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7 Tabel Koefisien Regressi
Model
Unstandardized
coefficients
B
Std. Error
Standardized
coefficients
Beta
t
Sig.
(Constant)
Internal
Powerful Others
Chance
Perasaan terancam
total pekerjaan
Perasaan terancam
tampilan pekerjaan
Powerlessness
Usia
Masa kerja
38.328
-.338
.118
-.069
.199
.172
.145
-.497
.541
5.819
.062
.074
.068
.095
.084
.083
1.630
.891
-.294
.108
-.061
.182
.158
.140
-.033
.065
6.587
-5.439
1.599
-1.012
2.089
2.038
1.752
-.305
.607
.000
.000*
.111
.312
.038*
.043*
.081
.761
.544
a. Dependent Variable: Work-family conflict
Berdasarkan tabel 4.7 dapat dipaparkan persamaan regresi sebagai berikut: Work-
family conflict = 38.328 - 0.338 internal* + 0.118 powerful others - 0.069 chance
+ 0.199 perasaan terancam total pekerjaan* + 0.172 perasaan terancam terhadap
tampilan pekerjaan* + 0.145 powerlessness - 0.497 usia + 0.541 masa kerja.
73
Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh masing-masing independen
variabel adalah sebagai berikut:
1. Internal
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.338 dengan nilai signifikansi 0.000
(sig < 0.05). Hal ini mengandung arti bahwa variabel internal memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap work-family conflict. Arah negatif dalam
besaran koefisien menunjukan bahwa, semakin tinggi internal maka semakin
rendah work-family conflict, dan sebaliknya. Dalam hal ini H2 diterima.
2. Powerful others
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.118 dengan nilai signifikansi 0.111
(sig > 0.05). Hal ini mengandung arti bahwa variabel powerful others tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap work-family conflict. Dalam hal ini
H3 ditolak.
3. Chance
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.069 dengan nilai signifikansi 0.312
(sig > 0.05). Hal ini mengandung arti bahwa variabel chance tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap work-family conflict. Dalam hal ini H4
ditolak.
4. Perasaan terancam terhadap total pekerjaan
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.199 dengan nilai signifikansi 0.038
(sig < 0.05). Hal ini mengandung arti bahwa variabel Perasaan terancam
terhadap total pekerjaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap work-
family conflict. Arah positif dalam besaran koefisien menunjukan bahwa,
74
semakin tinggi Perasaan terancam terhadap total pekerjaan semakin tinggi
work-family conflict, dan sebaliknya. Dalam hal ini H4 diterima.
5. Perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.172 dengan nilai signifikansi 0.043
(sig < 0.05). Hal ini mengandung arti bahwa variabel Perasaan terancam
terhadap tampilan pekerjaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap work-
family conflict. Arah positif dalam besaran koefisien menunjukan bahwa,
semakin tinggi Perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan semakin tinggi
work-family conflict, dan sebaliknya. Dalam hal ini H5 diterima.
6. Powerlessness
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.145 dengan nilai signifikansi 0.081
(sig > 0.05). Hal ini mengandung arti bahwa variabel powerlessness tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap work-family conflict. Dalam hal ini
H6 ditolak.
7. Usia
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.497 dengan nilai signifikansi 0.761
(sig > 0.05). Hal ini mengandung arti bahwa usia tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap work-family conflict. Dalam hal ini H7 ditolak.
8. Masa Kerja
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.541 dengan nilai signifikansi 0.544
(sig > 0.05). Hal ini mengandung arti bahwa masa kerja tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap work-family conflict. Dalam hal ini H8
ditolak.
75
4.3.2 Pengujian proporsi varian masing-masing independent variabel
Pada bagian ini penulis ingin mengetahui bagaimana proporsi varian dari masing-
masing independent variabel (IV) terhadap work-family conflict. Besarnya proporsi
varian pada work-family conflict dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8 Tabel Proporsi varians
Model R R
Square
Adj R
Square
Std
error
est
R
square
change
Change
Statistic
F
change
df1 df2 Sig
F
Chg
1
2
3
4
5
6
7
8
.466a
.548b
.548c
.625d
.639e
.645f
.646g
.647h
.217
.300
.300
.391
.408
.417
.417
.418
.214
.294
.291
.381
.395
.401
.400
.398
8.49865
8.05548
8.07240
7.54330
7.45473
7.41647
7.42861
7.43874
.217
.082
.000
.091
.017
.009
.001
.001
66.105
27.908
.007
35.628
6.617
3.421
.239
.369
1
1
1
1
1
1
1
1
238
237
236
235
234
233
232
231
.000
.000
.932
.000
.011
.066
.625
.544
a. Predictors: (Constant), Internal, Powerful Others, Chance, Perasaan Terancam Terhadap Total
Pekerjaan, Perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan, Powerlessness, Usia, Masa Kerjah
b. Dependent Variable: Work-family conflict.
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Variabel internal memberikan sumbangan sebesar 21.7 % terhadap varians
work-family conflict. Sumbangan tersebut signifikan dengan nilai sig F change
= 0.000 (p<0.05).
2. Variabel powerful others memberikan sumbangan sebesar 8.2 % terhadap
varians work-family conflict. Sumbangan tersebut signifikan dengan nilai sig F.
change = 0.000 (p<0.05).
3. Variabel chance memberikan sumbangan sebesar 0 % terhadap varians work-
family conflict. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan nilai sig F. change
= 0.932 (p>0.05).
76
4. Variabel perasaan terancam terhadap total pekerjaan memberikan sumbangan
sebesar 9.1 % terhadap varians work-family conflict. Sumbangan tersebut
signifikan dengan nilai sig F. change = 0.000 (p<0.05).
5. Variabel Perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan memberikan
sumbangan sebesar 1.7 % terhadap varians work-family conflict. Sumbangan
tersebut signifikan dengan nilai sig F. change = 0.011 (p<0.05).
6. Variabel powerlessness memberikan sumbangan sebesar 0.9 % terhadap
varians work-family conflict. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan nilai
sig F. change = 0.066 (p>0.05).
7. Variabel usia memberikan sumbangan sebesar 0.1 % terhadap varians work-
family conflict. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan nilai sig F. change
= 0.625 (p>0.05).
8. Variabel masa kerja memberikan sumbangan sebesar 0.1 % dalam varians
work-family conflict. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan nilai sig F.
change = 0.544 (p>0.05).
Urutan independent variable yang signifikan memberikan sumbangan dari
terbesar hingga yang terkecil adalah variabel internal dengan R2 Change 21.7%,
variabel perasaan terancam terhadap total pekerjaan dengan R2 Change 9.1 %,
variabel powerful others dengan R2 Change 8.2 %, dan variabel perasaan terancam
terhadap tampilan pekerjaan dengan R2 Change 1.7 %.
77
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang penulis jelaskan pada bab 4, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara locus of control
(internal, powerful others, chance), job insecurity (perasaan terancam terhadap
total pekerjaan, perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan, dan
powerlessness) dan faktor demografis terhadap perilaku work-family conflict pada
sampel perawat RSUD Jakarta Barat. Kemudian dari seluruh variabel yang di uji
diperoleh tiga yang dinyatakan signifikan yang mempengaruhi perilaku work-
family conflict, yaitu internal, perasaan terancam terhadap total pekerjaan dan
perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan. Sedangkan untuk variabel
powerful others, chance, powerlessness, usia dan masa kerja tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap perilaku work-family conflict. Sehingga
hipotesis minor yang menyatakan kelima variabel tersebut memberikan pengaruh
terhadap perilaku work-family conflict ditolak.
Berdasarkan tabel 4.8 sumbangan kontribusi pada masing-masing
independent variabel (IV) terdapat empat variabel yang signifikan dalam penelitian
ini urutan yang memberikan sumbangan dengan nilai terbesar hingga terkecil
adalah variabel internal, variabel perasaan terancam terhadap total pekerjaan,
variabel powerful others, dan variabel perasaan terancam terhadap tampilan
pekerjaan.
78
5.2 Diskusi
Terdapat pengaruh yang signifikan antara locus of control (internal, powerful
others, chance), job insecurity (perasaan terancam terhadap total pekerjaan,
perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan, dan powerlessness) dan faktor
demografis terhadap perilaku work-family conflict.
Hasil penelitian berdasarkan koefisien regresi pada masing-masing
independent variabel (IV) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
pada variabel internal, perasaan terancam terhadap total pekerjaan, powerful others
dan perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan terhadap perilaku work-family
conflict. Sedangkan variabel chance, powerlessness, usia, dan masa kerja tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku work-family conflict.
Dalam penelitian ini, variabel locus of control yang di teliti mengacu pada
kecenderungan seseorang dalam mengadapi suatu kejadian dalam hidupnya. Locus
of control berperan dalam memunculkan suatu respon yaitu sikap dan perilaku yang
akan ditampilkan dari cara pandang seseorang terhadap situasi yang terjadi pada
dirinya. Bagaimana individu memberikan respon tergantung bagaimana cara
pandang terhadap suatu kejadian atau masalah.
Dalam penelitian ini variabel locus of control memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap work-family conflict. Hasil dalam penelitian ini didapati hanya
satu dimensi yang berpengaruh secara signifikan terhadap work-family conflict,
yaitu dimensi internal. Sedangkan dimensi powerful others dan chance tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap work-family conflict.
79
Dimensi internal pada penelitian ini menunjukkan bahwa variabel internal
berpengaruh secara signifikan dan mengarah negatif terhadap work-family conflict,
artinya perawat yang memiliki locus of control internal yang tinggi, maka memiliki
tingkat work-family conflict yang rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Phares (1976), yaitu seseorang yang memiliki locus of control internal
cenderung memiliki karakteristik yaitu memiliki usaha yang lebih besar untuk
mengontrol lingkungannya, maka konflik pada keluarga pun cenderung bisa diatasi
dan membantu menjaga keseimbangan individu bila dihadapi permasalahan yang
berada di tempat kerja. Sebaliknya semakin rendah locus of control internal, maka
work-family conflict akan meningkat. Lalu pendapat lain, yaitu teori yang
dikemukakan oleh Ahmad (2008) locus of control mempengaruhi work-family
confllict yang dialami oleh individu. Hasil ini juga mendukung hasil penelitian yang
dilakukan oleh Noor (2002) yang mengungkapkan bahwa individu yang memiliki
locus of control internal cenderung lebih rendah untuk mengalami work-family
conflict.
Lalu dimensi variabel locus of control lainnya yaitu powerful others, tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku work-family conflict. Dimensi
chance dalam penelitian ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perilaku work-family conflict.
Variabel selanjutnya, yaitu job insecurity, ada dua dimensi yang signifikan
mempengaruhi work-family conflict, yaitu perasaan terancam terhadap total
pekerjaan dan perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan, satu variabel tidak
signifikan yaitu powerlessness. Pada dimensi perasaan terancam terhadap total
80
pekerjaan secara positif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku work-
family conflict. Sama halnya dengan dimensi perasaan terancam terhadap tampilan
pekerjaan, secara positif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku
work-family conflict. Pengaruh yang positif menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat job insecurity yang dialami maka semakin tinggi work-family conflict,
demikian sebaliknya, semakin rendah tingkat job insecurity yang dialami maka
semakin rendah work-family conflict.
Alasan dibalik pengaruh positif job insecurity terhadap work-family conflict
pada karyawan. Pertama, individu yang mengalami job insecurity akan merasa
kelelahan dikarenakan sumber daya seperti energi dan waktu telah banyak terkuras.
Ketika energi dan waktu telah banyak terkuras, individu yang mengalami job
insecurity akan mengalami penurunan konsentrasi sehingga tidak mampu untuk
fokus pada kegiatan keluarga dan pekerjaan pada akhirnya akan menyebabkan
work-family conflict, pada penelitian ini menggunakan guru sebagai sampel
(Richter, Lindfors, Näswal, & Sverke, 2015).
Kemudian pada penelitian ini terdapat dua variabel demografi yang diteliti
yaitu usia dan masa kerja. Hal ini didukung oleh Cohen dan Liani (2009) yang
menyebutkan terdapat tiga variabel demografis yang memiliki pengaruh terhadap
work-family conflict yaitu; usia, pendidikan dan masa kerja.
Pada penelitian ini hanya usia dan masa kerja yang digunakan sebagai
variabel demografis, dikarenakan pada perawat, cenderung memiliki pendidikan
yang sama, dalam artian tidak memiliki variasi yang banyak dalam mengelompokan
pendidikan mereka. Namun keduanya tidak memiliki pengaruh signifikan dengan
81
work-family conflict. Variabel usia tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perilaku work-family conflict. hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Abdulqadeer (2005) pada sampel pegawai pemerintahan bahwa usia
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap work-family conflict. Sedangkan
hasil penelitian Foley et al. (2005) dan Mjoli et al. (2013) menyebutkan bahwa usia
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap work-family conflict. Karena, pada
umumnya individu yang berusia lebih muda rela mengorbankan kehidupan
pribadinya demi mengerjar karir dan menomer dua kan urusan keluarga, sehingga
rentan mengalami work-family conflict. Tetapi alasan ini tidak berlaku bagi
penelitian ini.
Pada variabel demografis lain, masa kerja secara positif tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap perilaku work-family conflict. Hal ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan La Brooy (2013) dan Adalikwu (2014) yang
menemukan bahwa masa kerja karyawan memiliki hubungan yang positif terhadap
work-family conflict, hal ini terjadi karena individu yang baru bekerja dengan
hitungan bulan atau tahun, belum memiliki banyak pengalaman, kompetensi dan
strategi dalam mengatasi work- family conflict yang terjadi pada dirinya sehingga
kemungkinan untuk mengalami work-family conflict pun sangat tinggi.
Dari hasil diskusi yang telah penulis jelaskan, penulis menemukan adanya
perbedaan hasil penelitian ini dengan peneltian terdahulu dikarenakan adanya
beberapa keterbatasan dalam penelitian, antara lain responden yang kurang teliti
dan serius saat mengisi kuesioner atau kondisi dan situasi pada saat responden
mengisi kuesioner.
82
Selanjutnya, penelitian ini sebenarnya tidak bermaksud menarik kesimpulan
yang menutup kemungkinan pada teori lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan
analisis terhadap sumber error yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian
antara hasil penelitian dengan teori. Sampling error menjadi salah satu sumber yang
dapat menimbulkan bias dalam penarikan kesimpulan penelitian. Hal ini bisa
disebabkan karena peneliti tidak turun langsung untuk membagi kuesioner
dikarenakan akan mengganggu proses bekerja perawat. Sehingga angket atau
kuesioner diserahkah kepada pihak diklat untuk disebarkan. Hal tersebut bisa
membuat responden tidak optimal dalam mengisi kuesioner yang menyebabkan
sebaran data atau jawaban tidak merata, sehingga mempengaruhi hasil penelitian.
Selanjutnya perbedaan sampel baik jumlah, latar belakang, budaya ataupun
tempat penelitian yang digunakan sehingga menjadi hal utama penyebab dari
perbedaan hasil penelitian. Adanya keterbatasan penelitian ini diharapkan untuk
penelitian selanjutnya akan lebih baik.
5.3 Saran
5.3.1 Saran teoritis
1. Pada penelitian ini ditemukan bahwa proporsi varians dari perilaku work-family
conflict pada perawat RSUD Jakarta Barat yang dijelaskan oleh semua
independent variable independent variable dalam penelitian ini (internal,
powerful others, chance, perasaan terancam terhadap total pekerjaan, perasaan
terancam terhadap tampilan pekerjaan, powerlessness, usia dan masa kerja
adalah sebesar sebesar 0.418 atau 41.8% sedangkan 58.2% lainnya dipengaruhi
oleh variabel lain diluar penelitian ini.
83
Penelitian selanjutnya disarankan agar meneliti serta menganalisis pengaruh
variabel lain, untuk mendapatkan proporsi varians yang lebih besar disarankan
untuk meneliti dan menganalisis variabel lain, seperti yang diungkapkan
Beauregard (dalam Ahmad, 2008) yaitu work-time commitment, lalu variable
role overload menurut Deery (dalam Habibie, 2016), job involvement menurut
Hammer (dalam Ahmad, 2008) dan self-evaluations menurut Fride dan Ryan
(dalam Ahmad, 2008).
2. Dalam penelitian ini ditemukan terdapat tiga variabel yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap work-family conflict yaitu variabel internal, perasaan
terancam terhadap total pekerjaan dan perasaan terancam terhadap tampilan
pekerjaan, sehingga penulis menyarankan agar variabel tersebut dapat dijadikan
referensi dalam penelitian selanjutnya.
3. Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan hanya perawat, oleh karena itu,
pada penelitian selanjutnya disarankan agar menggunakan sampel selain ini,
misalnya seperti Manager seperti yang dilakukan Apperson dkk (2002),
Pegawai pemerintahan seperti yang dilakukan Abdulqadeer (2005), Dokter
seperti penelitian yang dilakukan Razak dkk (2011), lalu Guru seperti penelitian
Richter dkk (2015), sehingga didapatkan hasil yang lebih bervariasi dan dapat
dijadikan perbandingan penelitian ini.
4. Berdasarkan penelitian ini penulis tidak mengolah faktor demografis secara
luas, dikarenakan hanya menggunakan dua faktor demografis, yaitu usia dan
masa kerja sebagai faktor demografis, penulis menyarankan untuk mengolah
faktor demografis lain sampel lain misalnya jenis kelamin, status pernikahan
84
(Abdulqadeer, 2005) sehingga memberikan kemungkinan hasil yang bervariasi
dan dapat dijadikan pembanding dengan penelitian ini.
5. Berdasarkan penelitian ini terdapat item-item yang memilki kalimat ambigu
sehingga sebagian responden sulit memahami kuesioner. Untuk penelitian
selanjutnya, diharapkan lebih memperhatikan tiap-tiap item yang akan
digunakan dalam penelitian.
Hal ini penting karena memudahkan responden dalam memahami isi
pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner penelitian yang jika terdapat ada kata-
kata yang ambigu, agar pengisian yang dilakukan responden dapat memahami
dan efektif dalam pengisiannya.
5.3.2 Saran praktis
1. Disarankan agar perawat yang mengalami work-family conflict lebih
meningkatkan locus of control internal dengan meyakini bahwa apa yang terjadi
dalam hidupnya terjadi karena kehendak dirinya sendiri sehingga mendorong
individu tersebut tergerak memunculkan suatu usaha dalam menghadapi situasi.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan suatu pelatihan dengan
mengambil tema tentang locus of control internal terutama yang berkaitan
dengan situasi konflik yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga, selain itu
pihak rumah sakit sebaiknya memiliki program untuk membangkitkan locus of
control internal perawat berupa kegiatan konseling (El-Sayeed & Abdel-
Aleem, 2014) yang salah satunya meninjau permasalahan locus of control, agar
dapat meningkatkan locus of control internal.
85
Karena berdasarkan penelitian ini, variabel locus of control pada dimensi
internal memiliki pengaruh yang signifikan dan arah negatif terhadap work-
family conflict pada perawat RSUD Jakarta Barat, maka semakin tinggi internal
locus of control, work-family conflict akan menurun.
Sehingga dengan demikian diharapkan work-family conflict yang dialami
oleh perawat dapat berkurang, sehingga pelayanan rumah sakit tidak terganggu
dengan adanya work-family conflict.
2. Penulis menyarankan kepada pihak rumah sakit agar meminimalisir
kemungkinan terjadinya job insecurity salah satunya dengan mengadakan
Sosialisasi tentang pekerjaan yang dimiliki perawat, agar informasi terkait
pekerjaan, tanggung jawab, dan peraturan dengan informasi yang lebih jelas dan
mencegah kurangnya informasi yang diterima oleh perawat, dengan sosialisasi
ini diharapkan agar terjadinya kesepakatan pekerjaan yang diterima oleh
perawat dan pihak rumah sakit.
Selain itu, pihak rumah sakit sebaiknya melakukan deteksi dini terhadap
kondisi setiap perawat terkait dengan job insecurity, sebagai upaya dalam
mencegahnya. sehingga job insecurity akan terminimalisir, sehingga terjadi
penurunan work-family conflict.
Perawat yang mengalami job insecurity akan merasa tidak aman dengan
kondisi pekerjaan yang dimiliki sehingga khawatir akan kehilangan pekerjaan
beserta merasa tidak berdaya terhadap pekerjaannya. Ketika hal itu terjadi pada
pekerjaan maka akan menyebabkan work-family conflict.
86
Berdasarkan penelitian ini, variabel job insecurity pada dimensi perasaan
terancam terhadap total pekerjaan dan perasaan terancam terhadap tampilan
pekerjaan memiliki pengaruh yang signifikan dan berarah positif terhadap
work-family conflict pada perawat RSUD Jakarta Barat, maka semakin tinggi
dimensi perasaan terancam terhadap total pekerjaan dan perasaan terancam
terhadap tampilan pekerjaan pada variable job insecurity, maka work-family
conflict juga meningkat, hal ini dikhawatirkan akan memberikan dampak
penurunan terhadap kualitas pelayanan Rumah Sakit.
87
DAFTAR PUSTAKA
Abdulqader.A (2005). The factor affecting work-family conflict among employees
in yement goverment organization. Dissertation. The degree of master of
business administration in Al-Abyat University.
Adalikwu. C (2014). Demographic predictors of work-family conflict for men and
women: the case of Nigeria. Research in business and management 1(1), 1-
22.
Adam.S. (2008). Work-family conflict among female and male physicians ini
hungary: prevalence, stressor predictors and potential consequences on
physicians’well-being. Thesis. The degree of mental health sciences
doctoral school in the Semmelwies University.
Ahmad, A. (2008). Direct and indirect effects of work-family conflict on job
performance. The Journal of International Management Studies, 3(2), 176-
180.
Anafarta, N., & Kuruüzüm, A. (2012). Demographic Predictors of Work-Family
Conflict for Men and Women: Turkish Case [Electronic version].
International Journal of Business and Management, 7(13), 145-158.
Andreassi, J. K. & Thompson, C. A, (2007). Dispositional and situational sources
of control: Relative impact on work-family conflict and positive spillover.
Journal of Managerial Psychology, 22(8) , 722-740.
Apperson, M., Schmidt, H., Moore, S., & Grunberg, L. (2002). Women managers
and the experience of work-family conflict. American Journal of
Undergraduate Research, 1(3), 9–15.
Arsenault, A., Dolan, S., &Ameringen, M. (1991). Stress and mental strain in
hospital work. Journal of Organizational Behavior, 12, 483-493.
Ashford, S. J., Lee, C., & Bobko, P. (1989). Content, causes and consequences of
job insecurity: a theory-based measure and substantive test. Academy of
Management Journal, 32, 803-829.
Aslam, R., Shumaila, S., Azhar, M. & Sadaqat, S. (2011). Work family conflicts:
Relationship between work-life conflict and employee retention–a
comparative study of public and private sector employees. Journal of Re-
search in Business, 1, 18-29.
Beek, V.G & Bloemberg, M (2011). Gender differences in work-family conflict
fact or fable?. Thesis. Department of Sociology of Utrecht University.
88
Bellavia, G., & Frone, M. (2005). Work-family conflict. In J. Barling, E. K.
Kelloway, & M. Frone (Eds.), Handbook of Work Stress, (pp. 113-147).
Sage Publications: Thousand Oaks.
Breet, L., Myburgh, C., & Poggenpoel, M. (2010). The relationship between the
perception of own locus of control and aggression of adolescent boys.
South African Journal of Education, 30, 511-526.
Budhiarti, A. A. (2017). Pengaruh Religiusitas, Gaya Kepemimpinan
Transformasional Dan Demografi Terhadap Organizational Citizenship
Behavior (OCB). Skripsi. Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Carlson, D. S., Derr, C. B., & Wadsworth, L. L. (2003). The effects of internal
career orientation on multiple dimensions of work-family conflict. Journal
of Family and Economic Issues, 24(1), 99–116.
Carrim, N., Basson, J., & Coetzee, M. (2006). The relationship between job
satisfaction and locus of control in a South African call centre environment.
South African Journal of Labour Relations, 30(2),66-81.
Cohen, A., & Liani, E. (2009). Work-family conflict among female employees in
Israeli hospitals. Personnel review 38(2), 124-141.
De Witte, H. (2005). Job insecurity: Review of the international literature on
definitions, prevalence, antecedents and consequences. South African
Journal of Industrial Psychology, 31(4), 1–6.
Dharsani, R.K.N.D. (2014). A review of personality types and locus of control as
moderators of stress and conflict management. International Journal of
Scientific and Research Publications, 4(2), 1-8.
Dolcos, S. M., & Daley, D. (2009). Work pressure, workplace social resources, and
work-family conflict: The tale of two sectors. International Journal of
Stress Management, 16(4), 291-311.
Duxbury, L & Higgins, C. (2003). Work-life conflict in Canada in the new
millenium: A status report. Ottawa : Health Canada.
El-Sayeed, R. I., & Abdul-Aleem, M. M. (2014). Relationship between Head
Nurses’ Locus of Control and Staff Nurses’ Job Empowerment. Medical
Journal of Cairo University, 82(1), 331-339.
Esson, P.L. (2004). Consequences of work-family conflict: Testing a new model of
work-related, non-work related and stress-related outcomes. Thesis.
Blacksburg, VA: Virginia Polytechnique Institute and State University.
89
Frone, M. R. (2000). Work-Family Conflict and Employee Psychiatric Disorders:
The National Comorbidity Study. Journal of Applied Psychology, 85, 888-
895
Foley. S., Hang-Yue. N & Lui. S. (2005). The effects of work stressors,perceived
organizational support, and gender on work-family conflict in hong kong.
Asia Pacific Journal of Management, 22, 237–256.
Forthofer, M. S., Markman, H. J., Cox, M., Stanley, S., & Kessler, R. C. (1996).
Associations between marital distress and work loss in a national sample.
Journal of Marriage and the Family, 58, 597–605.
Greenhaus, J. H., & Beutell, N. J. (1985). Sources of conflict between work and
family roles. Academy of Management Review, 10, 76–88.
Grimes, P. W., Millea, M. J., & Woodruff, T. W. (2004). Grades-who's to blame?
student evaluation of teaching and locus of control. Journal of Economic
Education, 35(2), 129-147.
Habibie, W. (2016). Perbedaan Work-Family Conflict Ditinjau Dari Locus Of
Control Internal Dan Locus Of Control Eksternal Pada Karyawan. Skripsi.
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Howard, J.L. (2008). Balancing conflicts of interest when employing spouses.
Employee Responsibility Rights Journal, 20, 29-43.
Jaya, E.D., & Rahmat, I. (2005). Burnout ditinjau dari locus of control internal dan
eksternal. Majalah Kedokteran Nusantara, 38(3), 213-218.
Karimi, R., Alipour, F. (2011). Reduce Job stress in Organizations: Role of Locus
of Control. International Journal of Business and Social Science, 2(18),
232-236.
Knofczynski, G., & Mundfrom, D. (2007). Sample sizes when using multiple linear
regression for prediction. Educational and Psychological Measurement,
68(3), 431–442.
La Brooy B.A (2013). A study on perceived work family conflict and intention to
leave among malaysian service sector staff with mediating factors
(indirect effects). Dissertation. The degree of master of business
administration in University Tunku Abdul Rahman.
Larsen, R. J., Buss, D. M. (2002). Personality Psychology: Domains of knowledge
about human nature (International Edition). New York: The McGraw-Hill.
90
Levenson, H. (1981). Differentiating among internality, powerful others, and
chance. In H. M. Lefcourt (Ed.), Research with the locus of control
construct: Vol. 1. Assessment methods (pp. 15-63). New York: Academic
Press.
Lina., Haryanto, Rosyid, F. (1997). Perilaku konsumtif berdasarkan locus of control
pada remaja putri. Jurnal Psikologika, 4, 7-8.
Malone. A. K (2011). Mother’s perceptions of work–family conflict and the
relationship to positive parenting, and parental satisfaction. Dissertation.
The degree of doctor of philosophy in Lowa State University.
Mjoli.T., Dywili.M., & Dodd.N (2013). Demografic determinants of work-family
conflict among female factory workers in south africa. Jurnal of economics,
business and management 1(1), 1-3.
Noor, N. M. (2002). Work-family conflict, locus of control, and women’s well-
being: test of alternative pathways. The Journal of Social Psychology, 142,
645-662.
Razak, Y & Nasurdin, M (2011). The impact of work overload and job involvement
on work-family conflict among malaysian doctors. Labuan e- journal of
muamalat and society (5), 1-10.
Richter A, Naswall K and Sverke M (2010) Job insecurity and its relation to work–
family conflict:Mediation with a longitudinal data set. Economic and
Industrial Democracy 31(2): 265–280.
Richter A, Naswall K, Lindfors P et al. (2015) Job insecurity and work–family
conflict in teachers in Sweden: Examining their relations with longitudinal
cross-lagged modeling. PsychJournal 4(2): 98–111.
Ruvio, A., & Rosenblatt, Z. (1999). Job insecurity among Israeli school teachers
sectoral profiles amd organizational implications. Journal of Educational
Administration, 37(2), 139-158.
Rotter, J.B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of
reinforcement. Psychological Monograph : General and Applied, 80(1), 1-
28.
Saragih, W.M., (2016). Pengaruh Job Insecurity Terhadap Work-Family Conflict
Pada Karyawan. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Schultz, D., Schultz S. Y. (2008). Theories of personality (9th ed). Belmount,
California: Brooks/Cole Publishing Company.
91
Stepanski, K. M. (2003). Work-family conflict theories: Integration and model
development (Doctoral dissertation, Wayne State University, 2002).
Dissertation Abstracts International, 63, 5559.
Sverke, M., De Witte, H., Näswall, K. & Hellgren, J. (2010). European perspectives
on job insecurity: Editorial introduction. Economic and Industrial
Democracy, 31(2), 175–178.
Sverke, M., Hellgren, J., & Näswall, K. (2002). No security: A meta-analysis and
review of job insecurity and its consequences. Journal of Occupational
Health Psychology, 7, 242-264.
Syofian, Siregar. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana
92
Gambar 5.1 Surat Izin Penelitian dari Kampus ke RSUD Jakarta Barat
93
Gamba 5.2 Sirat izin penelitian dari kampus ke Pelayanan terpadu satu pintu Jakarta Barat
94
Gambar 5.4 Surat Izin Penelitian dari Pelayanan terpadu satu pintu ke RSUD Jakarta Barat
95
INFORMED CONSENT
Lembar Persetujuan Keikutsertaan Penelitian
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya setuju untuk secara sukarela
menjadi responden penelitian yang dilakukan oleh Edwin Indrawardhana mengenai pekerjaan dan
aktivitas sehari-hari perawat. Data yang saya berikan adalah data yang sebenar-benarnya dan saya
menyetujui bahwa data saya akan digunakan dalam keperluan penelitian.
Peneliti
Edwin Indrawardhana
Biodata responden
Nama :____________________________
Usia :____________________________
Jenis Kelamin : Perempuan / Laki-laki
Sudah berapa lama bekerja : ___________________________
Status pernikahan : Sudah menikah/ Belum menikah
No Hp :____________________________
(Hadiah Pulsa Rp. 10.000 secara acak)
* Tanda tangan dan nama jelas
( ……………………. )
96
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Dengan Hormat,
Saya Mahasiswa Fakultas Psikologi Universtitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang sedang mengadakan penelitian dalam rangka menyelesaikan Skripsi
untuk memperoleh gelar Sarjana Strata-1 (S1) Psikologi. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi Responden dalam penelitian
ini. Dalam hal ini tidak ada jawaban yang benar ataupun salah. Jawablah dengan
sejujur-jujurnya dan sesuai dengan kondisi Bapak/Ibu. Identitas responden dan
jawaban yang diberikan akan dijamin kerahasiannya.
Bacalah pentunjuk pengisisan terlebih dahulu, kemudian setelah selesai
mohon diteliti kembali jawaban anda agar tidak ada pernyataan yang tidak terjawab
atau terlewati.
Atas perhatian dan bantuannya saya mengucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Peneliti
Edwin Indrawardhana
97
PETUNJUK PENGISIAN:
1. Baca dan pahamilah setiap pernyataan dibawah ini dengan teliti. Setiap
pernyataan diikuti 5 pilihan jawaban. Bapak/Ibu cukup memilih salah
satu dari 5 pilihan jawaban yang tersedia.
2. Berilah jawaban dengan memberi tanda (X) pada kolom disebelah
kanan pada setiap pernyataan sesuai dengan diri anda
3. Dalam hal ini tidak ada jawaban benar atau salah.
STS = Sangat tidak setuju
TS = Tidak setuju
S = Setuju
SS = Sangat Setuju
4. Sebelum anda menyerhkan lembaran ini, harap periksa kembali dan
pastikan semua nomer terisi dengan baik
5. Contoh :
No. Pernyataan STS TS S SS
1 Saya senang bermain badminton X
SKALA 1
No Pernyataan STS TS S SS
1. Waktu yang saya habiskan untuk bekerja
membuat saya tidak dapat memenuhi tanggung
jawab dalam keluarga.
2. Saya mampu mengikuti perkembangan
keluarga meskipun sibuk bekerja.
3. Apabila kelelahan sepulang dari tempat kerja,
membuat saya tidak dapat beraktivitas bersama
keluarga.
4. Saya dapat menyesuaikan perilaku antara di
rumah dan di tempat kerja.
5. Saya dapat berkonsentrasi pada pekerjaan
meskipun memiliki masalah keluarga.
98
6. Cara penyelesaian masalah yang diterapkan di
tempat kerja tidak efektif jika diterapkan
dirumah.
7. Perilaku yang saya terapkan ditempat kerja,
tidak efektif jika diterapkan dirumah.
8. Saya kehilangan momen berkumpul dengan
keluarga karena pekerjaan saya.
9. Tuntutan pekerjaan di tempat kerja
mengharuskan saya memperkerjakan pembantu
rumah tangga.
10. Kelelahan bekerja membuat saya tidak dapat
menaruh perhatian pada keluarga saya.
11. Apabila Perasaan gagal dan emosi
menghampiri setiap kali saya pulang kerumah,
kondisi ini dapat mengganggu aktivitas saya
bersama keluarga.
12. Saya sering mencampur adukan permasalahan
yang ada dirumah dengan pekerjaan.
13. Cara saya menyelesaikan masalah dirumah
tidak efektif jika saya gunakan ditempat kerja.
14. Cara saya dalam memecahkan masalah di
tempat kerja cukup efektif dan bisa digunakan
untuk menyelesaikan permasalahan di rumah.
15. Saya dapat membedakan perilaku yang harus
saya tampilkan ketika saya berada di
lingkungan keluarga atau tempat kerja.
16. Pekerjaan menuntut waktu yang terlalu banyak,
namun, saya masih memiliki waktu untuk
berkumpul dengan keluarga.
17. Tuntutan pekerjaan membuat saya tidak bisa
secara seimbang mengurus keperluan rumah
tangga.
99
18. Saya sering merasa menjadi emosional ketika
pulang kerja dan hal itu mengurangi niat saya
untuk berkumpul dengan keluarga.
19. Pertengkaran dalam keluarga mempengaruhi
pikiran saya selama saya berada di tempat
kerja.
20. Tindakan yang saya lakukan untuk
menyelesaikan pekerjaan dikantor tidak efektif
untuk diterapkan dirumah.
21. Perilaku yang saya terapkan di tempat kerja
tidak membuat saya menjadi orang tua atau
pasangan yang lebih baik dirumah.
22. Perilaku yang biasa saya tunjukan dirumah
tidak efektif jika saya tunjukan ditempat kerja.
23. Saya dapat menyesuaikan perilaku sesuai
dengan tanggung jawab peran saya.
24. Mudah bagi saya menyesuaikan diri dalam
memperlakukan seseorang pada saat bekerja
dengan perlakuan terhadap keluarga dirumah.
25. Jadwal pekerjaan yang padat tidak
mengganggu saya untuk tetap memperhatikan
keluarga.
26. Rasa lelah sehabis pulang dari tempat kerja
dapat hilang ketika saya berkumpul dengan
keluarga.
27. Meskipun ada urusan keluarga saya tetap
bekerja sesuai dengan tuntutan kerja yang telah
ditentukan.
28. Tanggung jawab pekerjaan di tempat kerja,
dapat saya selesaikan, meskipun letih
mengurus keluarga
29. Pekerjaan mengharuskan saya untuk
menitipkan anak saya kepada pengasuh anak
atau orangtua.
100
30. Beban kerja yang terlalu berat membuat saya
sangat lelah ketika berada dirumah sehingga
membatasi interaksi saya dengan keluarga.
31. Ketegangan dan kecemasan dalam kehidupan
keluarga sering melemahkan kemampuan saya
dalam menjalankan pekerjaan.
32. Urusan keluarga dirumah selalu saya
perhatikan walaaupun masih banyak pekerjaan
dikantor.
33. Tindakan yang saya lakukan untuk
menyelesaikan masalah keluarga sangat cocok
untuk masalah pekerjaan.
34. Saya berperilaku sesuai dengan tanggung
jawab peran saya.
35. Waktu yang saya habiskan antara keluarga dan
pekerjaan dapat saya jalani dengan seimbang.
36. Meskipun jadwal pekerjaan yang padat, saya
tetap dapat menyelesaikan permasalahan
keluarga dengan baik.
37. Walaupun lelah setelah bekerja seharian, tetapi
hal tersebut bisa hilang ketika saya bisa
memenuhi kewajiban sebagai anggota
keluarga.
38. Saya berkonsentrasi dengan baik dalam
menyelesaikan pekerjaan saya di tempat kerja
maupun dirumah.
101
SKALA 2
No Pernyataan STS TS S SS
1. Saya bisa menentukan apa yang akan terjadi di
dalam hidup saya.
2. Prestasi yang saya peroleh berdasarkan atas
kemampuan yang saya miliki.
3. Hidup saya ditentukan oleh perilaku-perilaku
saya sendiri.
4. Walaupun saya memiliki kemampuan yang
baik, saya tidak akan diberikan tanggung jawab
sebagai seorang pemimpin jika saya tidak
mampu mengambil hati orang-orang yang
berkuasa.
5. Saya ragu untuk melindungi diri, saat terjadi
konflik dengan seseorang.
6. Sebagian besar hidup saya ditentukan oleh
kejadian-kejadian yang tak disengaja.
7. Agar rencana saya dapat berjalan, saya
memastikan bahwa rencana itu sesuai dengan
keinginan orang-orang sekitar saya.
8. Saat saya mendapatkan apa yang saya
inginkan, karena kerja keras.
9. Hidup saya dikontrol oleh orang-orang lain
disekitar saya.
10. Kegagalan yang saya alami tidak ada
hubungannya dengan nasib buruk.
11. Jika orang tidak menyukai saya, mungkin saya
tidak akan memiliki banyak teman.
12. Karena keberuntungan, apa yang saya inginkan
di dapatkan.
13. Seberapa banyak teman yang saya miliki
tergantung seberapa baiknya sifat saya.
102
14. Kemungkinan saya untuk tertimpa kecelakaan
di kendaraan, diakibatkan kesalahan
pengendara lainnya.
15. Banyaknya teman yang saya miliki sangat
ditentukan oleh takdir.
16. Kemungkinan saya untuk mengalami
kecelakaan berkendara, tergantung pada
keberuntungan.
17. Saat saya membuat rencana, saya hampir selalu
yakin bahwa rencana itu dapat berjalan.
18. Saya merasa, apa yang terjadi di kehidupan
saya sebagian besar ditentukan oleh orang lain.
19. Kemampuan saya menjadi seorang pemimpin
tergantung pada keberuntungan saya.
20. Saya akan terus mencari informasi mengenai
masalah yang sedang saya hadapi.
21. Saya seringkali mengalami kejadian yang
sebelumnya telah saya prediksi akan terjadi.
22. Saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan
jika saya mampu menyenangkan hati atasan
saya.
23. Mampu atau tidaknya saya untuk menjadi
seorang perawat sebagian besar tergantung
pada kemampuan saya.
24. Seringkali saya tidak dapat menghindar dari
kesialan.
103
SKALA 3
No Pernyataan STS TS S SS
1. Saya khawatir tidak maksimal dalam
bertanggung jawab pada pekerjaan yang saya
emban
2. Saya merasa tidak nyaman dengan rotasi kerja
pada pekerjaan yang dimiliki.
3. Saya khawatir apabila gaji saya tidak naik.
4 Saya merasa tidak nyaman apabila
diperintahkan mengerjakan tugas teman saya.
5 Saya kurang berkenan apabila ditempatkan di
lokasi kerja jauh dari tempat tinggal saya.
6 Saya tidak khawatir dengan adanya orang baru
yang dapat menggantikan posisi saya.
7 Saya merasa tidak nyaman apabila diatur
sepenuhnya oleh tempat kerja.
8 Saya takut tidak mendapatkan kesempatan
promosi dengan perubahan sistem pada tempat
kerja.
9 Saya merasa tidak nyaman dengan perubahan
cara penilaian kinerja di tempat kerja
10. Bagi saya mendapat jam kerja lembur adalah
hal wajar dalam pekerjaan
11. Saya khawatir dengan situasi tempat kerja yang
sukar memberikan kenaikan gaji.
12. Saya tidak takut akan perubahan kebijakan,
demi kemajuan tempat kerja.
13. Menurut saya pekerjaan saat ini tidak sesuai
dengan kemampuan saya
14. Adanya rotasi kerja dalam suatu pekerjaan
adalah hal yang wajar
15. Saya khawatir apabila tempat kerja melakukan
perubahan jadwal shift kerja
16. Saya khawatir dengan adanya sanksi
pemberhentian apabila melanggar peraturan.
17. Saya bersedia membantu rekan kerja dalam
mengerjakan tugasnya.
104
18. Saya tidak khawatir apabila wewenang
penentuan cara kerja dikontrol sepenuhnya
oleh tempat kerja.
19. Perubahan cara penilaian kinerja adalah hal
wajar.
20. Situasi saat ini tidak dapat diprediksi sehingga
saya kesulitan dalam mengatasi keadaan
21. Saya merasa khawatir apabila harus pensiun
terlalu dini dengan adanya peraturan baru di
tempat kerja.
22. Saya kesulitan untuk mengatasi permasalahan
pada pekerjaan saya
23. Saya khawatir pekerjaan yang saya lakukan
tidak dihargai.
24. Kemampuan yang saya miliki tidak bisa
memenuhi pekerjaan yang saya emban.
25. Saya merasa cemas apabila tempat kerja akan
menetapkan jam lembur.
26. Saya khawatir dengan perubahan jadwal shift
kerja pada tempat kerja.
27. Tidak masalah bagi saya apabila tempat kerja
jauh dari rumah.
28. Saya mampu mengontrol emosi terhadap hal-
hal yang dapat mempengaruhi pekerjaan saya.
29. Saya kurang berkenan untuk menerima bila ada
peraturan baru pada tempat kerja.
30. Saya tidak merasa kesulitan apabila diminta
untuk bekerja kelompok.
31. Ketika hal yang tidak disangka-sangka terjadi,
saya merasa tidak mampu mengontrol emosi.
32. Perubahan kebijakan di tempat kerja, membuat
saya takut dipecat
33. Apabila terjadi hal negatif pada pekerjaan,
Saya merasa mampu dalam mengatasi keadaan.
105
34. Saya kesulitan mengontrol kecemasan saya
apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dalam
bekerja.
35. Saya tidak khawatir terhadap perubahan
peraturan promosi yang berlaku pada tempat
kerja.
36. Saya tetap semangat bekerja, walaupun
tertimpa masalah.
37. Saya tidak berdaya apabila terjadi hal negatif
pada pekerjaan yang dimiliki.
38. Saya takut ada seseorang yang menggantikan
posisi pekerjaan saya.
39. Saya mampu mengontrol rasa cemas ketika
terjadi hal yang tidak diinginkan dalam
pekerjaan.
106
106
LAMPIRAN SYNTAX LISREL
1. Syntax Work-family conflict
UJI VALIDITAS WORK-FAMILY CONFLICT
DA NI=38 NO=240 MA=PM
LA
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21
X22 X23 X24 X25 X26 X27 X28 X29 X30 X31 X32 X33 X34 X35 X36 X37 X38
PM SY FI=WFC.COR
MO NX=38 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
WFC
FR TD 11 1 TD 5 4 TD 20 6 TD 33 7 TD 29 9 TD 11 10 TD 13 7 TD 20 13 TD 24 21 TD 28
27 TD 7 6 TD 10 1 TD 29 9 TD 33 7 TD 33 22 TD 19 18 TD 21 19
PD
OU TV SS MI
2. Syntax Internal
UJI VALIDITAS INTERNAL
DA NI=9 NO=240 MA=PM
LA
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9
PM SY FI=INTERNAL.COR
MO NX=9 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
INTERNAL
FR TD 9 6 TD 8 2 TD 9 8 TD 5 3 TD 5 1 TD 3 2 TD 2 1 TD 9 5 TD 6 5 TD 9 7 TD 7 6 TD 6
3 TD 9 3 TD 9 2 TD 9 1 TD 4 1 TD 7 1 TD 6 1 TD 7 5 TD 5 2
PD
OU TV SS MI
3. Syntax Powerful Others
UJI VALIDITAS POWERFULL OTHERS
DA NI=8 NO=240 MA=PM
LA
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8
PM SY FI=POWERFULLOTHERS.COR
MO NX=8 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
107
107
POWERFULL OTHERS
FR TD 3 2 TD 2 1 TD 8 1 TD 5 2 TD 5 1 TD 5 3 TD 7 5 TD 8 5 TD 8 3 TD 3 1 TD 6 3 TD 8
2
PD
OU TV SS MI
4. Syntax Chance
UJI VALIDITAS CHANCE
DA NI=7 NO=240 MA=PM
LA
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
PM SY FI=CHANCE.COR
MO NX=7 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
CHANCE
FR TD 7 1
PD
OU TV SS MI
5. Syntax Perasaan terancam terhadap total pekerjaan
UJI VALIDITAS PERASAAN TERANCAM PADA TOTAL PEKERJAAN
DA NI=15 NO=240 MA=PM
LA
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15
PM SY FI=TERANCAMTOTAL.COR
MO NX=15 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
TOTAL
FR TD 11 9 TD 15 14 TD 7 6 TD 8 3 TD 9 4 TD 13 6 TD 12 10 TD 4 2 TD 15 2 TD 10 1 TD
8 1 TD 13 2 TD 13 1 TD 8 2 TD 12 3 TD 14 4 TD 12 5 TD 10 6 TD 10 2 TD 7 5 TD 12 9 TD
15 4 TD 10 4 TD 6 4 TD 12 8 TD 7 3 TD 14 8 TD 5 4 TD 11 8 TD 9 8 TD 13 5 TD 12 1 TD
14 9 TD 14 2 TD 8 7 TD 12 7 TD 14 10 TD 11 4 TD 13 3
PD
OU TV SS MI
6. Syntax Perasaan terancam terhadap tampilan pekerjaan
UJI VALIDITAS PERASAAN TERANCAM PADA TAMPILAN PEKERJAAN
DA NI=13 NO=240 MA=PM
LA
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13
108
108
PM SY FI=TAMPILANKERJA.COR
MO NX=13 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
TAMPILAN KERJA
FR TD 13 9 TD 12 1 TD 12 3 TD 11 6 TD 10 6 TD 13 9 TD 9 8 TD 13 8 TD 8 5 TD 7 5 TD
11 6 TD 9 5 TD 4 1 TD 13 2 TD 2 1 TD 9 1 TD 4 3 TD 11 8 TD 11 3 TD 9 3 TD 12 10 TD 6
2 TD 13 3 TD 12 6 TD 9 6 TD 8 6 TD 11 10 TD 9 7 TD 13 4 TD 13 6 TD 13 12 TD 12 2
PD
OU TV SS MI
7. Syntax Powerlessness
UJI VALIDITAS POWERLESSNESS
DA NI=11 NO=240 MA=PM
LA
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11
PM SY FI=POWERLESSNESS.COR
MO NX=11 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
POWERLESSNESS
FR TD 11 10 TD 11 9 TD 11 8 TD 11 7 TD 11 6 TD 11 5 TD 11 4 TD 11 3 TD 10 9 TD 10 7
TD 10 6 TD 10 5 TD 10 8 TD 10 3 TD 10 2 TD 10 1 TD 9 7 TD 9 6 TD 9 5 TD 8 2 TD 7 4
TD 7 1 TD 6 4 TD 7 6 TD 7 2 TD 5 3 TD 5 2 TD 7 3 TD 4 3 TD 4 1 TD 3 2 TD 9 1 TD 11 2
PD
OU TV SS MI
109
109
LAMPIRAN TABEL SPSS
Tabel Analisis Deskriptif
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
WFC 240 19.29 87.16 50.0000 9.58655
INTERNAL 240 24.25 77.22 50.0000 8.33629
POWERFULOTH 240 24.30 70.83 50.0000 8.83929
CHANCE 240 21.72 72.48 50.0000 8.38895
TOTALPEKERJAA
N 240 14.73 69.55 50.0000 8.78154
TAMPILANPEKER
J 240 13.25 70.29 50.0000 8.80722
POWERLESSNES
S 240 16.73 76.69 50.0000 9.25979
Valid N (listwise) 240
Tabel Kategorisasi Skor Variabel
Statistics
OUW
FC
INTER
NAL
POWER
FULOT
HERS
CHANC
E
TOTPE
K
TAMPILP
EK
POWER
LES
N
Vali
d 240 240 240 240 240 240 240
Miss
ing 0 0 0 0 0 0 0
Percent
iles 100
3.000
0 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000
WORK-FAMILY CONFLICT
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
1.00 31 12.9 12.9 12.9
2.00 190 79.2 79.2 92.1
3.00 19 7.9 7.9 100.0
Total 240 100.0 100.0
110
110
INTERNAL
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
1.00 20 8.3 8.3 8.3
2.00 184 76.7 76.7 85.0
3.00 36 15.0 15.0 100.0
Total 240 100.0 100.0
POWERFUL OTHERS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
1.00 33 13.8 13.8 13.8
2.00 172 71.7 71.7 85.4
3.00 35 14.6 14.6 100.0
Total 240 100.0 100.0
CHANCE
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
1.00 26 10.8 10.8 10.8
2.00 175 72.9 72.9 83.8
3.00 39 16.3 16.3 100.0
Total 240 100.0 100.0
PERASAAN TERANCAM TERHADAP TOTAL PEKERJAAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
1.00 23 9.6 9.6 9.6
2.00 190 79.2 79.2 88.8
3.00 27 11.3 11.3 100.0
Total 240 100.0 100.0
111
111
PERASAAN TERANCAM TERHADAP TAMPILAN PEKERJAAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
1.00 16 6.7 6.7 6.7
2.00 184 76.7 76.7 83.3
3.00 40 16.7 16.7 100.0
Total 240 100.0 100.0
POWERLESSNESS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
1.00 21 8.8 8.8 8.8
2.00 180 75.0 75.0 83.8
3.00 39 16.3 16.3 100.0
Total 240 100.0 100.0
Tabel R-Square
Model Summaryb
Mod
el
R R
Squar
e
Adjusted
R Square
Std. Error
of the
Estimate
Change Statistics
R Square
Change
F
Chang
e
df1 df2 Sig. F
Change
1 .647a .418 .398 7.43874 .418 20.742 8 231 .000
a. Predictors: (Constant), MASAKERJA, INTERNAL, CHANCE, TAMPILPEK, POWERFUL,
POWERLESS, TOTALPEK, USIA
b. Dependent Variable: WORKFAMILYCONFLICT
ANOVAa
Model Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
1
Regression 9182.234 8 1147.779 20.742 .000b
Residual 12782.350 231 55.335
Total 21964.583 239
112
112
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 38.328 5.819 6.587 .000
INTERNAL -.338 .062 -.294 -5.439 .000
POWERFUL .118 .074 .108 1.599 .111
CHANCE -.069 .068 -.061 -1.012 .312
TOTALPEK .199 .095 .182 2.089 .038
TAMPILPEK .172 .084 .158 2.038 .043
POWERLESS .145 .083 .140 1.752 .081
USIA -.497 1.630 -.033 -.305 .761
MASAKERJA .541 .891 .065 .607 .544
a. Dependent Variable: WORKFAMILYCONFLICT
Model Summaryi
Mod
el
R R
Squar
e
Adjusted
R Square
Std. Error
of the
Estimate
Change Statistics
R Square
Change
F
Chang
e
df1 df2 Sig. F
Change
1 .466a .217 .214 8.49865 .217 66.105 1 238 .000
2 .548b .300 .294 8.05548 .082 27.908 1 237 .000
3 .548c .300 .291 8.07240 .000 .007 1 236 .932
4 .625d .391 .381 7.54330 .091 35.268 1 235 .000
5 .639e .408 .395 7.45473 .017 6.617 1 234 .011
6 .645f .417 .401 7.41647 .009 3.421 1 233 .066
7 .646g .417 .400 7.42861 .001 .239 1 232 .625
8 .647h .418 .398 7.43874 .001 .369 1 231 .544
a. Predictors: (Constant), INTERNAL, POWERFUL, CHANCE, TOTALPEK, TAMPILPEK, POWERLESS, USIA,
MASAKERJA
b. Dependent Variable: WORKFAMILYCONFLICT