pendidikan islam dan multikulturalisme
DESCRIPTION
jkhkjhkjhkjhkjhkTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, hanya dengan limpahan rahmat
dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan karya ilmiah dengan judul
“Pendidikan Islam dan Multikulturalisme” Tahun Pelajaran 2013/2014, penulisan karya ilmiah ini
kami susun dalam rangka memenuhi tugas yang telah diberikan kepada saya guna memenuhi
syarat kenaikan pangkat dan semoga nantinya, karya ini dapat dipakai dalam bacaan di
perpustakaan sekolah dan dapat dipakai sebagai perbandingan dalam pembuatan karya ilmiah
bagi teman sejawat juga anak didik pada latihan diskusi ilmiah dalam rangka pembinaan karya
ilmiah remaja.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu terima kasih ucapkan dengan tulus dan sedalam-dalamnya kepada:
1. Yth. Kepala Madrasah MTs Al-Khoiriyah Menanti
2. Yth. Kepala Perpustakaan MTs Al-Khoiriyah Menanti
3. Yth. Rekan-rekan Guru di MTs Al-Khoiriyah Menanti
Penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini jauh dari sempurna untuk itu segala kritik
dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak selalu penulis harapkan.
1
Daftar Isi
Halaman Pengesahan........................................................................................................... i
Halaman Publikasi............................................................................................................... ii
Kata Pengantar.................................................................................................................... 1
Daftar Isi............................................................................................................................... 2
BAB I Pendahuluan............................................................................................................. 3
A. Latar Belakang........................................................................................................... 3
B. Tujuan......................................................................................................................... 5
BAB II Pembahasan............................................................................................................ 6
A. Mulitikulturalisme..................................................................................................... 6
B. Pendidikan Islam....................................................................................................... 7
C. Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Filsafat...................................................... 10
D. Pendidikan Multikulturalisme.................................................................................. 11
BAB III Penutup.................................................................................................................. 13
A. Kesimpulan................................................................................................................. 13
Daftar Pustaka..................................................................................................................... 14
2
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki wilayah yang membahas suatu
bentuk pemikiran yang mendasar, sistematis, logis, dan universal tentang pendidikan yang tidak
hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan agama Islam, melainkan kita dituntut untuk mampu
mempelajari ilmu-ilmu yang relevan dengan ilmu tersebut. Melakukan pemikiran filosof pada
hakikatnya adalah usaha untuk menggerakkan semua potensi psikologis manusia, seperti ; pikiran,
kecerdasan, kemauan, perasaan, ingatan serta pengamatan panca indera tentang gejala kehidupan,
terutama manusia dan alam sekitarnya (lingkungan pendidikan).
Filsafat pendidikan pada umumnya dan filsafat pendidikan Islam pada khususnya, adalah
bagian dari ilmu filsafat. Maka dalam mempelajari filsafat, perlu memahami terlebih dahulu
tentang pengertian filsafat terutama dalam hubungannya dengan masalah pendidikan (pendidikan
Islam). Secara harfiah, filsafat berarti “cinta kepada ilmu” yang berasal dari kataphilo (cinta)
dan sophos (ilmu/hikmah). Secara historis, filsafat menjadi induk segala ilmu pengetahuan yang
berkembang sejak zaman Yunani kuno sampai zaman modern sekarang. Huzayyin Arifin (2010 :
3)
Bila dilihat dari fungsinya, filasafat pendidikan Islam merupakan pemikiran mendasar
yang melandasi dan mengarahkan proses pelaksanaan pendidikan Islam itu sendiri. Oleh karena
itu, filsafat juga memberikan gambaran tentang sampai dimana proses tersebut dapat
direncanakan dan dalam ruang lingkup serta dimensi bagaimana proses tersebut bisa
dilaksanakan.
Dalam era keberagaman (multicultural) seperti sekarang ini, sangat diperlukan sekali
adanya kebijakan re-orientasi (konsepsi masyarakat madani) dalam pembelajaran agama
(pendidikan Islam). Karena dengan konsepsi semacam itu, terutama melalui proses pembelajaran
yang berlangsung dalam institusi formal, apa yang dipandang mutlak dalam agama akan
dibakukan atau diobjektivitasikan yang akan mampu mempertahankan keaslian doktrin yang
berkaitan dengan kemutlakan, dan mampu untuk memperkaya khazanah epistemologi keagamaan,
yakni lahirnya ilmu-ilmu keagamaan yang secara sosiologisnya mempermudah dan memperkokoh
ikatan primordial komunitas beragama.
3
Sesuai dengan fungsinya tersebut, filsafat pendidikan Islam juga bertugas melakukan
kritik-kritik tentang medote-metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam serta
memberikan pengarahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus didayagunakan agar
tercipta lingkungan sekolah yang kondusif dan sadar akan keberagaman, serta mampu melahirkan
peserta didik yang betul-betul mempraktikkan nilai-nilai Islam.
Akhir-akhir ini, kekerasan antar kelompok yang terjadi secara sporadis diberbagai
kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun, betapa
kentalnya prasangka antar kelompok dan betapa rendahnya sikap saling pengertian
mengakibatkan bertambahnya kompleksitas persoalan keragaman dan hubungan antar kelompok
dan tidak menutup kemungkinan, persoalan-persoalan ini akan berimbas kepada peserta didik
(yang mengambil contoh) bisa memicu terjadinya konflik-konflik kecil seperti percekcokan
sampai pada perkelahian antar pelajar (homogen) yang bisa berimbas kepada masyarakat luas.
Dalam konteks itulah wacana multikulturalisme melalui pendekatan filsafat dijadikan
sebagai sarana untuk membangun toleransi atas keragaman yang ada. Karena telah diketahui
bersama, asas filsafat adalah membimbing dan memberi arah kesemua asas pendidikan lainnya
dan menyelaraskannya. Hal ini terjadi karena filsafat memiliki karakter ; (1) memiliki
sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara
kritis, (2) filsafat merupakan sebuah proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap
yang dijunjung tinggi, (3) filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran
keseluruhan, (4) filsafat ialah analisis logis dari bahasan dan penjelaan tentang arti
konsep, (5)filsafat berisi sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian
manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat. Abuddin Nata (2009 : 99).
Dalam hubungannya dengan pendidikan, filsafat bukan hanya memberikan sumbangan
berupa prinsip-prinsip berpikir filosofis dalam memecahkan berbagai masalah pendidikan,
melainkan juga terdapat aspek-aspek filsafat lainnya yang dapat digunakan dalam membantu
merumuskan masalah pendidikan, terutama pada aspek yang menjadi pokok bahasan filsafat itu
sendiri, yakni logika, estetika, etika, politik, metafisika, realitas, pengetahuan, nilai, Tuhan,
manusia, alam, dan sebagainya. Hasil pemikiran filsafat tentang berbagai masalah, dengan
karakteristiknya sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan (pendidikan Islam).
4
B. Tujuan
Melalui multikulturalisme dengan pendekatan filsafat dijadikan sebagai sarana untuk
membangun toleransi atas keragaman yang ada. Karena telah diketahui bersama, asas filsafat
adalah membimbing dan memberi arah kesemua asas pendidikan lainnya dan menyelaraskannya.
5
BAB II
Pembahasan
A. Multikulturalisme
Istilah multikulturalisme diambil dari kata “multicultural” menjadi “multiculturalisme”,
sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat Kanada pada sektar tahun 1950-an. Kata
“multicultural” juga menurut Kymlicka yang dikutip Fahri Hamzah (2011 : 117), seringkali
digunakan dalam arti yang lebih luas. Namun istilah tersebut tetap menekankan pada konsep
tentang sejumlah kelompok sosial nonetnis, yang karena berbagai alasan, dikucilkan atau
dikesampingkan dalam aliran utama masyarakat. Kymlicka menekankan pengucilan dan
pengesampingan itu sebagai fenomena yang tampak dalam masyarakat modern, dimana
multikulturlisme yang direpresentasikan dengan adanya kelompok budaya minoritas yang
menuntut pengakuan atas identitas mereka serta diterima perbedaan budaya mereka, hadir sebagai
tantangan bagi masyarakat modern.
Multikulturalisme menurut Donny Gahral Adian yang dikutip Fahri, pada dasarnya dapat
dipahami ke dalam pelbagai pemahaman. Antara lainnya ; pertama, pemahaman politis. Kalangan
politisi memahami multikulturaisme sebagai majemuknya masyarakat secara cultural yang
menimbulkan pelbagai persoalan sosial yang menuntut kebijakan-kebijakan tertentu (pengetatan
imigrasi, pendataan, sampai program asimilasi). Kedua, pemahaman akademis. Pemahaman
akademis multikulturalisme mendasarkan diri pada filsafat postmodernisme dancultural
studies yang menekankan prinsip paralogisme di atas monologisme, kemajuan diatas kesatuan.
Selain itu, isu-isu multikulturalisme yang menjadi perbincangan akademis antara lain : konsep
budaya, relasi budaya dan politik, hak minoritas, kritik liberalisme, toleransi, dan solidaritas.
Berdasarkan pada pemahaman tersebut sangat jelas sekali, bahwa masyarakat
multikultural adalah masyarakat yang mampu mengedepankan adanya berbagai keragaman
budaya dalam lingkungan masyarakat luas dan meyakini bahwa keragaman tersebut merupakan
suatu keniscayaan yang telah menjadi sunatullah yang tidak bisa diingkari dan perlu adanya
sebuah konsensus untuk bisa melayani aspirasi dan hak-hak dari masing-masing anggota
masyarakat. Karena justru dalam keragaman itulah tekandung nilai-nilai yang penting bagi
pembangunan eksistensi manusia, sesuai dengan apa yang telah disuratkan oleh Allah SWT.
Dalam Q.S. Al-Nisa’ : 1 dan Q.S. Al-Rum : 22.
6
Senada dengan hal tersebut, Yasraf Amir Pialang menafikkan adanya masyarakat yang
multicultural pluralis, karena menurutnya masyarakat yang demikian dapat menjerumuskan
kepada sifat balkanisasi kebudayaan. Dan menawarkan paradigma baru yaitu multicultural
transformatif. Karena menurutnya, dengan multikultural transformatif sebuah masyarakat
diarahkan untuk menemukan ruang hidupnya lewat pekembangan berbagai subkultur, sehingga
tidak lagi berlandaskan pada sebuah sentiment kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan
(primordialisme) secara kaku. (Fahri Hamzah : 2011 : 120).
Dalam konteks keragaman , keberagamaan seorang multikulturalis dalam keragaman
menjadi sangat penting. Karena apapun organisasi keberagamaannya maupun afiliasi organisasi
manapun yang menjadi pendiriannya, cenderung tidak melihat dan mengedepankan masalah
keagamaan dan nonkeagamaan secara hitam putih, benar atau salah, murni atau tidak murni,
melainkan memandang dan memaknai suatu masyarakat sebagai bentuk adanya relativisme
budaya. Hal ini, memakai istilah Fahri Hamzah, bahwa seorang multikulturalis tidak beragama
secara mutlak-mutlakan, atau paling tidak seorang multikulturalis tidak mengklaim kebenaran
yang dianutnya sebagai relatively absolute.
Senada dengan hal itu, Marc Howard Ross yang dikutip Fahri Hamzah menyatakan
masyarakat multikulturalime sering kali juga dimaknai sebagai bentuk masyarakat yang meyakini
adanya relativisme budaya, yang pada titik radikalnya (radical status) akan bermakna sebagai
paham atas absolutisme budaya. Keanekaan budaya yang masing-masing duduk sama rendah
berdiri sama tinggi ini merupakan konsistensi yang disodorkan oleh multikulturalisme. Pada
tingkat praktis, masyarakat multikultural juga menunjuk kemungkinan “penyesuaian budaya” atau
“dialog budaya” dalam pengalaman individual maupun kelompok.
B. Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah studi tentang proses kependidikan yang bertujuan untuk
membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik berbentuk
jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi
manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta.
Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1
ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkanpotensi
7
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.
Dalam perspektif Islam, potensi diri manusia tersebut diistilahkan dengan fitrah manusia.
Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi
dirinya.
Bertolak dari pandangan Islam tentang manusia tersebut, menurut Muhammad Tolchah
Hasan yang dikutip Muhaimin, upaya pendidikan disamping berusaha untuk mengembangkan
potensi-potensi fithrah manusia, juga berusaha menyelamatkan dan melindungi fitrah manusia,
serta menyelaraskan fitrah mukhalafah dan fitrah munazzalah dalam semua aspek kehidupannya.
Pada umumnya, Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi
manusia tersebut, juga harus dilakukan secara langsung dan bertahap, karena kematangan dan
optimalnya perkembangan dan pertumbuhan peserta didik berlangsung melalui proses demi
proses kearah tujuan secara bertahap dan terus menerus (kontiunitas). Suatu proses yang
diinginkan dalam usaha kependidikan sebagaimana dimaksud adalah proses yang terarah dan
bertujuan, yakni usaha untuk mengarahkan peserta didik kepada arah yang optimal sesuai dengan
kemampuannya, dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu terbentuknya kepribadian peserta didik
yang utuh dan mantap sebagai manusia yang taat.
Dari kalangan pemikir Islam sebagai pemerhati pendidkan terutama pendidikan Islam,
memberikan definisi pendidikan Islam secara bervariasi. Antara lain:
1. Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Tauny al-Syaebani memberikan definisi, bahwa pendidikan
Islam diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya
atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses
kependidikan… perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam. (Muzayyin Arifin, 2010 :
15). Jadi, kalau kita bawa ke lingkungan institusi formal seperti sekolah, dari devinisi tersebut
dapat dirumuskan, bagaimana kiat dan usaha para pendidik itu sendiri bisa memoles peserta
didik agar mampu mengenal siapa dirinya, dan bagaimana dia mampu mengaplikasikan
pengetahuan yang didapatnya untuk menyeimbangkan tingkah lakunya dengan lingkungan
masyarakat dan alam sekitarnya dengan nilai-nilai yang baik (Islam).
8
2. Lebih terperinci, Zarkowi Soejoeti yang dikutip Ngainun Naim & Achmad Sauqi (2010 :
32), memberikan beberapa pengertian pendidikan Islam, antara lain; Pertama, jenis
pendidikan dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk
mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun
dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan
perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi
yang diselenggarakannya. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di
atas. Dalam hal ini, Islam ditempatkan sebagai sumber nilai dan sebagai bidang studi yang
ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakan. Dari ketiga pengertian pada poin dua
di atas, dapat dipahami bahwa persoalan pendidikan Islam bukan saja mengenai ciri khas
suatu lembaga maupun memasukan pelajaran agama sebagai bidang studi “baku” dalam
kurikulum, melainkan bagaimana pendidikan Islam yang menyangkut hal fundamental dan
urgensi bagi peserta didik bisa mengarah ketujuan yang diinginkan dan diyakini sebagai
paling ideal. Atau dalam pembahasan filsafatnya dapat diistilahkan sebagai peserta didik yang
“insan kamil”.
Jadi, pendidikan memiliki kaitan erat dengan setiap perubahan peseta didik, baik
menyangkut kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Untuk itu, dalam kerangka fungsional seperti
itu, pendidikan Islam harus diletakkan dalam posisi yang tepat, yakni diposisikan dalam kerangka
pengembangan akal sehat secara kritis dan kreatif. Karena hal ini merupakan bentuk pemahaman
dan pengamalan ajaran Islam itu sendiri. Disinilah nantinya diharapkan muncul seperangkat nilai
dan norma yang terlembagakan dalam hukum obyektif maupun tradisi yang menjadi control
social kearah perkembangan masyarakat yang utuh.
Lebih lanjut, pendidikan Islam di sekolah pada dasarnya berusaha untuk bagaimana
membina sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik itu sendiri, yang tidak hanya difokuskan
pada aspek pemahaman (tentang agama) semata, tetapi bagaimana usaha pendidikan agama
(Islam) mampu menanamkan perilaku khalq dan khuluqnya, dengan mengetahui ajaran agama
(knowing), kemudian mempraktekkan tentang apa yang diketahuinya (doing), dan mampu
beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama (being). Muhaimin (2009 :
306)
C. Pendidikan Islam dengan pendekatan filsafat
9
Pendidikan merupakan salah satu bentuk ilmu terapan (appliet), tempat bertemunya hasil-
hasil berbagai asas filsafat membimbing dan memberi arah kepada semua asas pendidikan lainnya
dan menyelaraskannya. Hal ini karena filsafat merupakan bidang garapan ilmu yang memiliki
berbagai karakter, seperti menurut Jalaluddin dan Said dalam Abudin Nata (2009), antara
lain ; (1) filsafat memiliki sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara kritis, (2) filsafat merupakan sebuah proses kritik atau pemikiran
terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi, (3) filsafat adalah usaha untuk
mendapatkan gambaran keseluruhan, (4) filsafat ialah analisis logis dari bahasan dan penjelaan
tentang arti konsep, (5) filsafat berisi sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat
perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat.
Lebih lanjut, Imam Barnadib dalam Abuddin Nata (2009) menyatakan bahwa filsafat juga
memiliki karakter-karakter sebagai ciri khasnya. Antara lain ;
(1) bahwa filsafat memiliki pandangan yang menyeluruh dan sistematis. (2) filsafat juga
mengedepankan berpikir secara sadar, teliti, dan teratur sesuai dengan hukum-hukum yang ada.
Dari karakter-karakter filsafat sebagaimana tersebut di atas, maka pendekatan dengan
filsafat sangat tepat kiranya untuk menjawab semua isu-isu keragaman akhir-akhir ini. Sebab,
dengan hal seperti itu manusia (peserta didik) bukan hanya meyakini wahyu yang diturunkan
dengan mendalaminya secara tekstual saja tanpa membarenginya dengan kajian yang kritis dan
pantas berdasarkan fakta-fakta yang ada di lingkungan sekelilingnya.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, filsafat bukan hanya sekedar memberikan
sumbangan berupa prinsip berpikir filosofis dalam memecahkan berbagai masalah, melainkan
juga terdapat aspek-aspek filsafat lainnya yang dapat digunakan dalam membantu merumuskan
masalah pendidikan, terutama pada aspek yang menjadi pokok bahasan filsafat itu sendiri, yaitu;
logika, estetika, etika, politik, metafisika, realitas, pengetahuan, nilai, Tuhan, manusia,
masyarakat, alam, dan sebagainya.
Jadi sangatlah jelas, bahwa dengan memahami serta menerapkan aspek-aspek tersebut,
peserta didik akan mampu mengenal lebih jauh lagi tentang eksistensi dan tujuannya diciptakan,
dan secara sekaligus akan cakap dalam kognitif, afektif serta psikomotor.
Jalaluddin & Abdullah memberikan penjelasan bahwa hasil pemikiran filsafat tentang
berbagai masalah dengan karakteristiknya sangat dibutuhkan oleh pendidikan, mengingat apa
yang menjadi obyek filsafat juga menjadi obyek pendidikan.
10
Dengan demikian, hubungan antara filsafat dan pendidikan sangat erat. Kuatnya hubungan
tersebut disebabkan karena kedua disiplin ilmu tersebut meghadapi problema-problema filsafat
secara bersama-sama. Imam Barnadib sebagaimana dikutip, lebih lanjut mengatakan, bahwa hasil
pemikiran filsafat tentang berbagai hal tersebut dapat digunakan dengan baik. Hal yang penting
lainnya adalah bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan perlu diketahui tentang pandangan
dunia (world vieuw) terhadap pendidikan yang diperlukan masyarakat pada masanya.
Pengetahuan tentang pandangan dunia ini termasuk kajian metafisika dalam filsafat. Demikian
pula dengan keberadaan kajian tentang epistemologi, aksiologi, dan logika yang terdapat dalam
filsafat amat diperlukan bagi pengembangan ilmu pendidikan (Abuddin Nata, 2009 : 101).
D. Pendidikan Multikultural
Pendidikan Islam memang merupakan suatu upaya pendidikan dan ajaran nilai-nilai Islam
menjadi way of life seseorang. Namun demikian. Sebagai pandangan dan sikap hidup, nilai-nilai
tersebut akan bisa berimplikasi positif maupun negatif, sebab penanaman konsep nilai semacam
itu berpotensi mewujudkan pada sikap integrasi atau disintrgrasi, berpotensi mengarah pada sikap
toleran atau intoleran. Fenomena-fenomena tersebut tidak menutup kemungkinan akan banyak
ditentukan setidaknya oleh pandangan teologi agama dan doktrin ajarannya; sikap dan perilaku
pemeluknya dalam memahami dan menghayatai agama tersebut; lingkungan sosio-kultural yang
mengelilinginya; dan peranan dan pengaruh pemuka agama, termasuk guru agama, dalam
mengarahkan pengikutnya (Muhaimin, 2009 : 46)
Fenomena-fenomena tersebut akan muncul apabila pandangan teologi agama dan ajaran
yang dipegangi bersifat ekstrim, dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama
yang simbolik, tekstual dan scriptural,karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para guru
agama yang bersifat doktriner, rigid dan mengembangkan sikap fanatisme buta serta dukungan
oleh lingkungan sosio-kultural yang eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap-sikap
intoleran dan agama diposisikan sebagai faktor diintegratif atau intoleransi.
Dalam rangka merespons tantangan dunia pendidikan tersebut, maka pengembangan
pendidikan sangatlah tepat apabila bisa diterapkan dalam dunia pendidikan (lembaga sekolah).
Karena pendidikan multicultural sebagaimana disebutkan Ainurrafik Dawam, yakni proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghadapi pluralitas dan heterogenitanya sebagai
11
konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama) (Ngainun Naim & Achmad
Sauqi, : 2010 : 50).
Dengan demikian, pendidikan seperti itu, peserta didik diharapkan memiliki rasa hormat
dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia tanpa memandang latar
belakang kehidupannya.
Secara terperinci, ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan
Islam pluralis-multikultural tersebut, antara lain : pertama, pendidikan Islam pluralis-
multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk
keragaman. Kedua, pendidikan pluralis-multikultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk
membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realita pluralis-
multikultural yang ada. Ketiga, pendidikan pluralis-multikultural memberikan kesempatan untuk
tumbuh dan berkembangnya sense of self kepada setiap anak didik (Ngainun Naim & Achmad
Sauqi, : 2010 : 54).
Dengan demikian, pendidikan Islam pluralis-multikultural akan mampu menumbuhkan
kearifan berpikir anak didik dalam melihat segala bentuk perbedaan, dan anak didik dengan
leluasa memposisikan dirinya untuk mengapresiasikan potensi dan karakter yang dimilikinya.
Lebih lanjut, selain ketiga aspek tersebut menurut A. Malik Fadjar pendidikan Islam perlu
untuk dikembangkan lagi ke arah : (1) pendidikan Islam Multikulturalis, yakni pendidikan Islam
dikemas dalam watak multicultural, ramah menyapa pebedaan budaya, social dan agama; (2)
mempertegas misi penyempurnaan akhlak (liutammima makarimalakhlak); dan (3) spiritual watak
kebangsaan, termasuk spiritualisasi berbagai aturan hidup untuk membangun bangsa yang
beradab (Muhaimin, 2009 : 47).
Untuk mewujudkan upaya-upaya tersebut, diharapkan kepada guru selaku pendidik untuk
mau berusaha meningkatkan, memperkuat serta memperluas wawasan keislaman peserta didik,
karena dengan keluasan wawasan keislaman tentang keberagaman, akan berimplikasi pada
sikap husnudzan serta akan memiliki akhlakul karimah, baik terhadap sesama agama maupun
kepada orang lain.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
12
1. masyarakat multikulturalisme merupakan masyarakat yang mampu mengedepankan adanya
berbagai keragaman budaya dalam lingkungan masyarakat luas dan meyakini bahwa
keragaman tersebut merupakan suatu keniscayaan yang telah menjadi sunatullah yang tidak
bisa diingkari.
2. Paradigma multikultural transformatif merupakan pandangan atau usaha yang bisa
mengarahkan masyarakat untuk menemukan ruang hidupnya lewat pekembangan berbagai
subkultur, sehingga tidak lagi berlandaskan pada sebuah sentiment kesukuan, kedaerahan,
atau keagamaan (primordialisme) secara kaku.
3. Pada umumnya, Pendidikan merupakan bentuk usaha yang dilakukan untuk membina dan
mengembangkan pribadi manusia (peserta didik) secara langsung dan bertahap, karena
kematangan dan optimalnya perkembangan dan pertumbuhan peserta didik berlangsung
melalui proses pendidikan.
4. antara filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat, karena apapun persoalan
yang dihadapi ilmu pendidikan yang menyangkut kajian epistemologi, aksiologi, dan logika
terdapat dalam filsafat.
5. Pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul
segala bentuk keragaman, dan sebuah bentuk usaha sistematis untuk membangun pengertian,
pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realita pluralis-multikultural yang ada.
6. Pendidikan Islam pluralis-multikultural merupakan bentuk pendidikan yang bisa
menumbuhkan kearifan berpikir anak didik dalam melihat segala bentuk perbedaan, dan anak
didik dengan leluasa memposisikan dirinya untuk mengapresiasikan potensi dan karakter yang
dimilikinya.
7. Pendidikan Islam Multikulturalis, merupakan bentuk pendidikan yang mempertegas adanya
misi penyempurnaan akhlak dalam Islam (liutammima makarimalakhlak) yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Wallahu ‘alam bi shawwab.
13
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi), Jakarta : Bumi Aksara, Cetakan
Kelima, 2010.
Hamzah, Fahri, Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan, __ :
Yayasan Faham Indonesia, Cetakan Kedua, 2011.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
Naim, Ngainun & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural : Konsep dan Aplikasi, Jogjakarta :
Ar-Ruzz Media, Cetakan II, 2010.
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan : Pendekatan Multidisipliner Normatif Perenialis,
Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan,
Politik, Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
14