pendahuluan 2

35
BAB I PENDAHULUAN Secara tradisinya, apabila sebuah negara menghadapi pertikian negara itu akan mengumumkan perang. Sebaliknya, pada hari ini, negara tersebut termasuklah negara – negara anggota ASEAN tidak memilih kekuatan senjata tetapi menggunakan bahasa sebagai satu mekanisme untuk menyelesaikan pertikaian diantaranya melalui perundingan diplomatik. Dalam Makalah ini akan mengupas konsep tentang Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengenai kedaulatan ke atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan. Pada umumnya, penyelesaian sengketa dogolongkan dalam dua kategori, yaitu : 1. Cara – cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam metode, menurut sifatnya dibagi dua, yaitu secara politik dan secara huku. Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan (negotiation), jasa – jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry), Penengahan (mediation) dan konsiliasi (concilition). Sedangkan penyelesaian damai yang bersifat hukum / prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan penyelesaian hukum (judical senlement). 1

Upload: adib-daelima

Post on 10-Jun-2015

2.142 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: pendahuluan 2

BAB I

PENDAHULUAN

Secara tradisinya, apabila sebuah negara menghadapi pertikian

negara itu akan mengumumkan perang. Sebaliknya, pada hari ini, negara

tersebut termasuklah negara – negara anggota ASEAN tidak memilih

kekuatan senjata tetapi menggunakan bahasa sebagai satu mekanisme

untuk menyelesaikan pertikaian diantaranya melalui perundingan

diplomatik. Dalam Makalah ini akan mengupas konsep tentang

Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan dan Ligitan antara Indonesia

dan Malaysia mengenai kedaulatan ke atas Pulau Ligitan dan Pulau

Sipadan.

Pada umumnya, penyelesaian sengketa dogolongkan dalam dua

kategori, yaitu :

1. Cara – cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat

menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam

metode, menurut sifatnya dibagi dua, yaitu secara politik dan secara

huku. Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan

(negotiation), jasa – jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry),

Penengahan (mediation) dan konsiliasi (concilition). Sedangkan

penyelesaian damai yang bersifat hukum / prosedur hukum meliputi

arbitrase (arbitration) dan penyelesaian hukum (judical senlement).

2. cara – cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu

apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.

Penyelesaian melalu kekerasan meliputi perang dan tindakan

bersenjata non perang, retorasi (retorsion), dikenakan tindakan –

tindakan pembalasan (reprisals), blokade secara damai (pasific

blockade) dan intervensi (interventation).

Dalam hal ini akan dibahas mengenai penyelesaian hukum (judical

settlement) yang berarti suatu penyelesaian dihasilkan melalui pengadilan

yudisial Intrenasional yang dibentuk sebagaimana mestinya, dengan

memberlakukan kaidah – kaidah huku. Dan merupakan salah satu organ

1

Page 2: pendahuluan 2

umum untuk penyelesaian yudisial yang ada pada saat ini tersedia dalam

masyarakat internasional adalah International Court of Justice atau

disebut Mahkamah internasional.

2

Page 3: pendahuluan 2

BAB II

PENYELESAIAN PERSELISIHAN KASUS SIPADAN LIGITAN MELALUI

MAHKAMAH INTERNASIONAL

2.1 SEJARAH BERDIRINYA MAHKAMAH INTERNASIONAL

Pembentukan Pengadilan menggambarkan puncak perkembangan

yang cukup lama dari metode atau cara – cara penyelesaian secara

damai terhadap sengketa – sengketa Internasional, dimanaasal mulanya

dapat dikatakan kembali ke masa yang lampau.

Pasal 33 dari Piagam PBB dibahas mengenai cara – cara

penyelesaian sengketa internasional secara damai dimana meliputi

negotiation, enquiry, mediation,arbitrarion, judical settlement, dan resort to

regional agencies or arraggement, serta dimasukan juga good-offices.

Pada prosedur arbitrase (arbitration) dan penyelesaian hukum (judical

settlement) mempunyai perbedaan yang terletak adalah prosedur untuk

penyelesaian sengketa atas hak – hak hukum para pihak, atas dasar

hukum yang berlaku (kecuali para pihak berpendapat lain) dan

menghasilkan keputusan yang mengikat para pihak.

Sejarah dari terbentuknya suatu Mahkamah Internasional dimulai

dengan suatu pembentukan lembaga Arbitrase yang merupakan lembaga

penyelesaian sengketa internasional secara damai. Arbitrase adalah :

suatu institusi yang sudah cukup tua, tetapi sejarah arbitrase modern yang

diakui adalah sejak Jay Treaty 1794 antara Amerika dan Inggris, yang

mengatur pengajuan sengketa – sengketa kepada arbtrase juga sering

dimasukan ke dalam tratat – traktat, khusunya konvensi ‘yang membuat

hukum’ (law-making) dan mengutip penyataan hakim Manly O. Hudson,

“arbtrase karenanya menjadi tangan utama legislasi Internasional “karena

sengketa – sengketa mengenai penafsiran konvensi – konvensi atau

penerapan ketentuan – ketentuan konvensi dapat diajukan kepadanya

untuk memperoleh jalan pemecahan.

3

Page 4: pendahuluan 2

a. Permanent Court of Arbbitration.

Suatu langkah maju bagi perkembangan arbitrase, yaitu konvensi

The Haque 1899 dan 1907 mendirikan Permanent Court of Abitration yang

dalam kenyataannya tidak permanen dan tidak berbentuk pengadilan.

Dimana setiap negara peserta / anggota dapat mengangkat empat orang

yang memenuhi syarat di bidang hukum Internasional dan semua orang

yang ditunjuk tersebut merupakan sebuah panel para ahli hukum yang

kompeten yang dari mereka itulah diangkat para arbitrator apabila di

perlukan.

Arbitrase pada hakikatnya adalah suatu prosedur konsensus. Negara

– negara tidak dapat dipaksa untuk di bawa ke muka arbtrase kecuali jika

mereka bersetuju untuk melakukan hal tersebut, baik secara umum dan

sebelumnya maupun advoc berkenaan dengan suatu sengketa tertentu

Proses arbtrase, di samping berkeinginan untuk adanya sebuah

pengadilan yang permanen, tetap akan menjadi suatu proses yang

bermanfaat guna mewujudkan kemajuan – kemajuan dan akan adanya

suatu kategori sengketa dimana menyerahkan ke mahkamah

internasional. Dengan demikian, pembentukan Permanent Court of Justice

pada tahun 1920 tidak meyebabkan dihapusnya lembaga Permanent

Court of Arbtration dan The General Act for the pasific settlement of

Internasional Disputes 1928.

b. Permanent Court of International Justice

Dalam pasal 14 Convenant Liga Bangsa – Bangsa diberikan tugas

kepada dewan liga untuk “ menyusun dan mengajukan rencana – rencana

bagi pembentukan sebuah Mahkamah Internasional Permanen kepada

anggota – anggota liga untuk disahkan…”. Dewan liga kemudian

mengangkat sebuah komite penasihat yang terdiri dari ahli – ahli hukum

dan di dalam komite itulah digunakan untuk memecakan persoalan

penting mengenai pemilihan para hakim.

Permanent Court of International Justice bukan merupakansuatu

organ dari Liga Bangsa – Bangsa meskipun dalam beberapa tindakannya

4

Page 5: pendahuluan 2

berhubungan dengan liga. Dan perbedaan pokok antara Mahkamah

dengan arbitrase merujuk kepada hal – hal berikut :

1. Mahkamah secara permanen merupakan sebuah pengadilan, yang

diatur dengan statuta dan serangkaian ketentuan prosedurnya yang

mengikat terhadap semua pihak yang berhubungan dengan

mahkamah.

2. Mahkamah memiliki panitera (register) tetap, yang menjalankan

semua fungsi yang diperlukan dalam menerima dokumen – dokumen

untuk diarsip, dilakukan pencatatan dan pengesahan, pelayanan

umum Mahkamah dan bertindak sebagai saluran komunikasi tetap

dengan pemerintah dan badan – badan lain.

3. Proses peradilan dilakukan secara terbuka, sementara pemelaan –

pembelaan dan catatan – catatan dengar pendapat serta keputusan

– keputusannya dipublikasikan.

4. Pada prinsipnya Mahkamah dapat dimasuki oleh semua negara

untuk proses penyelesaian yudisial segala kasus yang dapat

diserahkan oleh negara – negara itu kepadanya dan semua masalah

khususnya yang diatur dalam traktat dan konvensi yang berlaku.

5. Pasal 38 Statuta Mahkamah dalam perkara – perkara dan masalah –

masalah yang diajukan kehadapannya, tanpa menyampingkan

kewenangan mahkamah untuk memutuskan suatu perkara exaequo

et bono yang berarti demi keadilan dan kebaikan, apabila para pihak

setuju terhadap cara tersebut.

6. Keanggotaan Mahkamah adalah berupa wakil – wakil dari bagian

terbesar masyarakat internasional mewakili sistem hukum utama :

sejauh hal itu tidak bertentangan dengan pengadilan lain.

7. Yang terakhir, dimungkinkan bagi Mahkamah untuk mengembangkan

suatu praktek yang konsisten dalam proses – proses peradilannya

dan memelihara kesinambungan wawasan terhadap suatu hal yang

tidak sesuai jika dilakukan pengadilan – pengadilan ad hoc.

Antara tahun 1922 dan 1940, Permanent Court of International

Justice telah menyelesaikan 29 perkara di muka pengadilan (contentious

5

Page 6: pendahuluan 2

case) dan 27 nasehat hukum (advisory opinions). Dalam waktu yang

sama juga beberapa ratus perjanjian (treaty), konvensi (convention) dan

mengumumkan pertimbangan yuridiksi di atasnya terhadap jenis – jenis

sengketa tersebut.

Pecah perang yang di mulai pada September 1939 memberikan

sebuah konsekuensi yang tidak dapat diletakan bagi Permanent Court of

Onternational Justice, dimana beberapa tahun sebelumnya telah

mengalam pengurangan aktivitasnya. Pada tanggal 4 Desembe 1939,

Permanent Court of International Justice tidak lagi menangani masalah –

masalah peradilan dan tidak melakukan pemilihan hakim – hakimnya. Dan

pada tahun 1940 mahkamah pindah dari kedudukannya di Denhaag ke

Jenewa, hanya tinggal seorang hakim yang tersisa di Den Haag bersama

dengan beberapa petugas panitera yang berkebangsaan Belanda.

Walaupun dalam tekanan keadaan perang, suatu pemikiran harustetap

diberikan untuk masa depan pengadilan sebagaimana pembentukan dari

politik internasional yang baru.

Pada tahun 1942, Amerika dan Inggris mempunyai rencana untuk

mendirikan konsep badan Peradilan, yaitu :

1. Harus merupakan organ yuridis utama dari organisasi internasional

yang akan dibentuk.

2. Membuat suatu peradilan baru dirasakan lebih konsisten karena

Permanent Court of International Justice tidak sesuai dengan

perkembangan dalam Liga Bangsa-Bangsa.

3. Beberapa negara tidak terwakili dalam konferensi San Fransisco.

4. Pertemuan terakhir pada bulan Oktober 1945, membahasa

bagaimana untuk merubah kerangka dari Permanent Court of

Onternational Justice kepada International Court of Justice akhirnya

pada tanggal 31 Januari 1946, seluruh hakim dari Permanent Court

of International Justice mengundurkan diri dari pada tanggal 5

Februari 1946, dilakukan pemilihan anggota pertama dari

International Court of Justice. Pengukuhan kedudukan International

Court of Justice yang dilaksanakan pada tanggal 18 April 1946, dan

6

Page 7: pendahuluan 2

pada tanggal itu juga pedahulunya yaitu Permanent Court of

International Justice, dububarkan oleh Majelis Liga Bangsa – Bangsa

pada waktu sidang terakhirnya.

c. International Court of Justice

International Court of Justice berkedudukan di Peace Palace, The

Hague (Netherlands) yang bertindak sebagai pengadilan dunia dimana

memutus perkara – perkara dalam sengketa – sengketa hukum

International dari suatu negara dan juga memberikan pendapat dalam

bentuk nasehat hukum (Advisory Opinion).

International Court Of Justice dibentuk berdasarkan pasal 92-96

Piagam Perserikatan Bangsa – Bangsa yang dirumuskan di San

Fransisco pada tahun 1945, pasal 92 menyatakan bahwa Mahkamah

adalah organ utama PBB. Karena itu, maka negara – negara anggota

PBB otomatis terikat kepada Mahkamah (International Court of Justice)

sebagaimana halnya kepada organ – organ PBB lainnya. Dalam bidang

penyelesaian sengketa – sengketa secara damai, Mahkamah juga terikat

pada tujuan dan perinsip PBB yang dinyatakan pada pasal 1 dan 2

Piagam PBB dan karena statuta Mahkamah dilampirkan pada Piagam

PBB serta merupakan bagian itegral dari Piagam PBB, maka konteks

Piagam PBB Tersebut merupakan suatu faktor pengendali dalam

penafsiran ketentuan – ketentuan dari statua.

Statua International Court of Justice memuat kaidah dasar mengenai

konstitusi, yuridiksi dan prosedur Mahkamah serta ditambah dengan dua

perangkat kaidah yang dikeluarkan oleh mahkamah sesuai dengan

kewenangannya untuk perumusan peraturan yang dimilkinya menurut

pasal 30 statua ICJ, yaitu :

1. Rules of Court yang disahkan pada tanggal 14 April 1978 yang

merupakan suatu revisi atas peraturan sebelumnya yang disahkan

pada tanggal 6 Mei 1946, yang didasarkan pada aturan yang sama

dengan aturan yang diberlakukan pada PCIJ dan telah diubah pada

tahun 1972. ketentuan itu mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1978,

7

Page 8: pendahuluan 2

dimana aturan – aturan revisi yang baru bukan saja memuat ketentuan

– ketentuan acara, melainkan juga kaidah – kaidah yang mengatur

struktur dan tugas Mahkamah serta tugas – tugas dari panitera.

2. Resolusi tanggal 12 April 1978, mengenai praktek yuridisial Intern

Mahkamah, yang merupakan versi revisi dari resolusi yang dikeluarkan

tanggal 5 Juni 1968, Resolusi ini menentapkan praktek yang harus

diikuti oleh Mahkamah berkaitan dengan pertukaran pandangan antara

para hakim dalam kaitannya dengan masalah – masalah khusus,

setelah selesainya proses perkara tertulis dan sebelum

diselenggarakan dengan pendapat lain, serta berkenaan dengan

pertimbangan Mahkamah secara terpisah setelah penyimpulan dengan

pendapat lain, tentang suatu pendapat untuk mencapai keputusan,

pemungutan suara oleh para hakim, persiapan keputusan dan opini –

opini terpisah serta opini – opini yang menyanggah.

dalam peraturan dapat dijumpai dalam Statua dan dalam Rules of

Court. Perbedaan hakiki antara kedua instrumen adalah statua

terutama sangat penting bagi Mahkamah itu sendiri, sedangkan Rules

of Court sangat penting bagi para pihak yang berpekara dihadapan

Mahkamah. Lebih lanjut, Statua memiliki kedudukan yang lebih tinggi

dibanding dengan Rules of Court. Karena merupakan suatu bagian

integral dari Piagam PBB (charter), Statua tidak dapat diubah secara

langsung oleh tidak bertentangan dengan ketentuan statua.

2.2 KEANGGOTAAN MAHKAMAH INTERNASIONAL

Semua anggota PBB ipso facto yang berarti faktanya sendiri, adalah

peserta statua, akan tetapi negara yang bukan anggota PBB dapat juga

menjadi peserta, berdasarkan syarat – syarat yang ditetapka dalam setiap

perkara oleh Majelis Umum PBB atas rekomendasi dari dewan Keamanan

(pasal 93 Piagam PBB). Sayarat – syarat itu adalah penerimaan negara

yang bukan anggota atas Statuta, penerimaan kewajiban – kewajiban

(pasal 94 Piagam PBB) dan melaksanakan suatu pemberian sumbangan

8

Page 9: pendahuluan 2

anggaran Mahkamah seperti yang dimuat dalam resolusi Majelis Umum

tanggal 11 Desember 1946.

a. Pemilihan Hakim Mahkamah International

Mengenai pemilihan haki, sebagaimana diatur dalam statua meliputi

dua tahap, yaitu.

1. Pencalonan (nomination)

2. Pemilihan (election)

Untuk pencalonan, penyelenggaraannya dipercayakan kepada

kelompok – kelompok nasional dalam Permanent Court of Arbitratio dan

bagi negara yang ingin menjadi anggota dalam satatua, tetapi tidak

menjadi anggota Permanent Court of Arbitration, maka disyaratkan untuk

membentuk suatu kelompok rasional dengan syarat – syarat yang sama

seperti yang dinyatakan dalam pasal 44 konvensi 1907 atau pasal 4

dalam Statuta. Sebelum melakukan pencalonan atau pengajuan calon,

menurut pasal 6 Statua, setiap kelompok nasional diminta untuk

konsultasi dengan Mahkamah Agung Nasional, fakultas – fakultas hukum

dan akademi – akademi nasional yang memusatkan studi pada hukum

internasional.

Kelompok nasional ini diizinkan mengajukan calon tidak lebih dari

empat orang, yang mana tidak lebih dari dua orang yang

berkembangsaan yang sama dengan kelompok nasional itu atau untuk

pemilihan periodik tidak melebihi kelipatan jumlah lowongan yang ada

(pasal 5 (2) statua).

Dari daftar calon, Majelis Umum dan Dewan Keamanan secara

independen melakukan pemungutan suara untuk memilih anggota –

anggota mahkamah (pasal 8 statua), yang mana kemudian akan diambil

15 orang anggota dari calon yang diajukan. Setiap calon dipilih

berdasarkan suara terbanyak mutlak dari kedua organ itu dan jika jabatan

itu tetap kosong, maka sidang kedua atau ketiga dapat diselenggarakan

dalam usaha untuk mendapatkan suara terbanyak mutlak ini dalam kedua

organ. Apabila jabatan belum juga terisi, maka pertemuan bersama kedua

9

Page 10: pendahuluan 2

organ itu dengan mendelegasikan tiga anggotanya, akan berupaya akan

mengajukan nama – nama itu kepada kesua organ.

Apabila Konferensi atau pertemuan bersama itu tidak juga berhasil

mencapai suara terbanyak dalam hal persetujuan seorang calon,

selanjutnya anggota – anggota mahkamah yang terpilih dapat mulai

mengisis lowongan – lowongan kandidat – kandidat yang memperoleh

suara baik dalam Majlis Umum maupun Dewan Keamanan dan dalam hal

ini terjadi kesamaan suara, maka hakim tertua memiliki hak suara memilih.

Dalam Permanent Court of International Justice dan International

Courtof Justice sistem pencalonan dan pemilihan hakimnya tetap sama,

akan tetapi ada beberapa perubahan tertentu. Perubahan – perubahan ini

antara lain adalah penyerahan kepada Assemblt dan League Council

yang berubah menjadi General Assembly dan Security Council PBB, dan

pemungutan suara pemilihan dalam Dewan Keamanan PBB yaitu tentang

ketentuan khusus pasal 10 ayat 2 statua dengan maksud menghindari

veto. Selanjutnya pasal 13 Statua yang baru memuat suatu pola untuk

penggiliran (staggering) pemilihan – penilihan sehingga lima orang dipilih

setipa anggota untuk masa jabatan selama tiga tahun dan seorang hakim

dimungkinkan untuk dipilih kembali. Hal ini bertujuan untuk keseimbangan

pengalaman pada Mahkamah. Namun, ada pengadilan dalam pemilihan

berkala untuk mengisi lowongan yang disebabkan oleh meninggalnya atau

permintaan berhenti dari seorang hakim.

b. Hakim Ad Hoc

Dalam pengadilan ad hoc d mana karakter “yang mewakili” para

hakim sangat menonjol, PICJ dan ICJ mempunyai tujuan untuk menjamin

adanya sebuah badan dengan hakim – hakim yang independen. Maka,

pasal 2 Statua menyatakan pemilihan tanpa memandang kebangsaan

mereka, namun dalam prakteknya, anggota tetap dewa Keamanan selalu

menempatkan hakimnya dalam Mahkamah. Sejalan dengan penegasan

untuk meyelsaikan perkara diman negara asal hakim tersebut menjadi

salah satu pihak. Akan tetapi, pasal 31 Statua memberi pihak lain yang

10

Page 11: pendahuluan 2

tidak menempatkan hakim di dalam Mahkamah, dapat mengajukan calon

hakim ad hoc. Sedangkan apabila dalam suatu perkara, masing – masing

pihak tidak mempunyai hakim dalam Mahkamah yang berasal dari masing

– masing negara, maka kedua pihak berhak mencalonkan hakim – hakin

ad hoc.

Pengajuan hakim – hakim ad hoc mempunyai kepentingan politis,

yaitu sebagai alat pembujuk kepada negara – negara untuk menggunakan

Mahkamah sebagai upaya penyelesaian dari suatu sengketa. Hal ini

sejalan dengan gagasan Mahkamah sebagai lembaga independen dan

secara dapat dikatakan bahwa tidak ada hakim ad hoc yang memberi

suara yang bertentangan dengan negara asal hakim tersebut. Argumen ini

nampaknya dimaksudkan untuk meniadakan adanya agen – agen

penasehat – penasehatr negara tersebut.

c. Idependensi Hakim

Terdapat dua kriteria yang mengatur pemilihan hakim, yaitu : kriteria

pertama, menurut pasal 2 Statua, berdasarkan sifat pribadi pada hakim –

hakim harus orang - orang yang bermoral tinggi, yang memiliki kualifikasi

di negara asal hakim tersebut, atau penasehat – penasehat hukum yang

kompetensi diakui dibidang hukum internasional. Kriteria kedua, menurut

pasal 9 Statuta, menyatakan bahwa lembaga atau badan para hakim itu

secara keseluruhan harus mencerminkan bentuk – bentuk utama

peradaban dan prinsip – prinsi sistem hukum internasional harus

dilaksanakan. Di sini berkembang tendensi yang menuntut secara tegas

adanya pembagian imbang berdasarkan geografis yang telah menjadi

karakter dari komposisi sejumlah organ atau badan PBB berkomposisi

terbatas, yang memungkinkan diabaikannya kriteria pertama, yaitu

mengenai pribadi para hakim. Pasal 18 menyatakan bahwa tidak ada usia

pensiun bagi hakim dan pemberhentian mereka hanya dapat dilakukan

melalui keputusan suara bulat anggota – anggota Mahkamah lainnya.

Lebih lanjut pasal 16 terlarang hakim – hakim melakukan suatu tugas

politis atau administrasi atau terikat pada pekerjaan hakim yang bersifat

11

Page 12: pendahuluan 2

profesional dan pada pasal 17 melarang seorang hakim yang menangani

perkara tertentu di mana ia bertindak sebagai agen, penasehat dan

sebagainya dalam kasus tersebut. Upaya pembatasan ini dimaksudkan

untuk menjamin kebebasan dalam ari bahwa dengan tidak adanya

pekerjaan lain itu. Para hakim harus dibayar secara layak sebagai hakim.

Akan tetapi dalam pernyataannya hakim – hakim dibayar dengan

pembebasan dari pajak pendapatan serta ditambah jumlah tunjangan

pensiun, demikian juga para hakim ad hoc dibayar oleh dana Mahkamah

dan bukan oleh para pihak seperti dilakukan dalam pengadilan –

pengadilan ad hoc.

1.3 TINJAUAN MENGENAI KLAIM YANG DILAKUKAN ANTAR

NEGARA DALAM SENGKETA PERBATASAN

Paa sub bab ini akan dibahas mengenai kalim yang dilakukan oleh para

pihak, yaitu Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya perlu di ketahui

pengertian atau definisi dari klaim itu sendiri. Klaim adalah suatu tuntutan

atau suatu gugatan, dalam hal ini dilakukan oleh para pihak mengenai

kedaulatan atas batas – batas wilayah negaranya. Sidang International

Court and Justice (ICJ) pada tanggal 17 Desember 2002 telah

memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang sejak tahun 1970-an

menjadi sengketa antara Malaysia dan Indonesia, secara resmi menjadi

milik Malaysia. Sehubungan dengan keputusan yang cukup mengejutkan

Bangsa Indonesia tersebut, bersama ini kami menyampaikan masukan

dan tanggapan sebagai berikut :

1. Pulau Sipadan memiliki luas 10,4 ha dan terletak 15 mil dari Sabah

serta 40 mil dari daratan Pulau Sebatik, demikian juga dengan

Pulau Ligitan hanya 7,9 ha dengan j arak 21 mil dari Sabah dan

57,6 mil dari Sebatik.Masalah Sipadan dan Ligitan muncul menjadi

sengketa tentang kepemilikannya, apakah Indonesia atau Malaysia

bermula sejak tahun 1969, dimana sejak saat itu kedua negara

12

Page 13: pendahuluan 2

menyepakati tidak akan melakukan kegiatan apapun pada kedua

pulau tersebut sambil terus mengupayakan penyelesaiannya.

2. Dari sejarah “kepemilikan” Pulau Sipadan dan Ligitan ini dapat

ditelusuri jauh kebelakang, berdasarkan argumen masing-masing

negara, meliputi : a. Indonesia memiliki data-data sejarah yang

mendukung klaim kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Ligitan,

yaitu :

o Konvensi antara Belanda - Inggris pada tahun 1891

mengenai kesepakatan daerah di selatan garis paralel 4′ 10

menit Lintang Utara milik Belanda dimana Pulau Sipadan

dan Ligitan berada di sebelah selatan garis itu.

o Kesepakatan tersebut dikukuhkan dalam peta yang dibuat

Belanda dan diakui Inggris.

o Peta-peta yang dibuat Kartografi Stanford (Inggris) dan peta

yang dibuat Badan Pemetaan Nasional Malaysia hingga

1970-an, tidak mencantumkan Sipadan - Ligitan sebagai

milik Malaysia.

o Belanda telah melakukan kedaulatan dengan melakukan

survei serta patroli dikedua pulau itu pada 1903 serta

mendaratkan Kapal Lynx di Sipadan pada 1921.

o Izin penambangan minyak yang dikeluarkan Pemerintah

Indonesia dan Malaysia mengacu pada Konvensi 1891.

b. Demikian juga dengan Malaysia memiliki data-data sejarah,

yaitu:

o Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan secara estafet dari

Sultan Dent/Overback - Inggris - Malaysia serta Sultan Sulu -

Spanyol - AS Inggris - Malaysia ( Chain of Title ).

o Doktrin penguasaan efektif secara berkesinambungan

(effective occupation) atas kedua pulau tersebut.

o Malaysia lebih banyak memiliki bukti tindakan administratif di

kedua pulau itu. Antara lain penerbitan ordonansi

13

Page 14: pendahuluan 2

perlindungan satwa burung oleh Inggris pada 1917,

penarikan pajak bagi pengumpul telur penyu sejak tahun

1930 dan pengoperasian mercusuar sejak tahun 1960-an

serta melaksanakan aktivitas kepariwisataan sejak 1980.

o Fakta bahwa, kapal perang AS pada 1903 mengunjungi

Pulau Sipadan dan mengklaim menjadi miliknya.

o Tidak ada bukti tertulis bahwa kedua pulau itu pernah

berada di bawah administrasi Belanda yang diperoleh dari

Kesultanan Bulungan.

o Garis batas 40 10 menit Lintang Utara bukanlah allocation

line, karena Ingris tidak pemah mengindikasikan

keinginannya untuk menentukan batas laut territorial di

Bomeo Utara.

3. Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957 tentang Wawasan

Nusantara yaitu mengenai status Indonesia sebagai negara

kepulauan, dimana perairan territorial Indonesia sebelumnya hanya

sejauh 3 mil dari tiap-tiap pulau di kepulauan Indonesia. Konvensi

Hukum Laut I Jenewa 1958, Konvensi tentang Laut Teritorial

memungkinkan suatu negara menarik garis pangkal dengan

straight base line dan normal base line. Melalui Undang-Undang

No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dikenal sebagai negara

kepulauan dan dilakukan penarikan garis pangkal untuk mengukur

laut teritorial sejauh 12 mil dari titik terluar dari pulau-pulau terluar.

Titik dasar yang didapat dari hasil perhitungan diatas peta (tanpa

melalui survei lapangan) sebayak 200 titik dasar dengan metode

point to point theory.

Satu hal mendasar yang “terlupakan” dalam UU No. 4/Prpl1960

adalah Pulau Sipadan dan Ligitan tidak dimasukkan dalam wilayah

negara kepulauan Indonesia.

4. Sesuai dengan berjalannya waktu, sengketa Sipadan-Ligitan mulai

muncul pada tahun 1969 yaitu saat kedua negara mengadakan

14

Page 15: pendahuluan 2

perundingan penetapan batas landas kontinen di perairan Selat

Malaka dan Laut Sulawesi pada 22 September 1969 di Kuala

Lumpur. Dalam pembahasan tentang batas landas kontinen di laut

Sulawesi secara bersamaan baik delegasi Indonesia maupun

Malaysia mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan sebagai miliknya.

Akhirnya dalam perundingan ini disepakati kedua pihak menahan

diri dan tidak akan melakukan kegiatan apapun pada kedua pulau

tersebut, sambil menunggu penyelesaian masalahnya.

Kesepakatan kedua negara ini ditafsirkan oleh Indonesia sebagai

penetapan “status quo” atas kedua pulau dimaksud

Namun dilain pihak Malaysia sejak tahun 1980-an telah melakukan

berbagai pembangunan infrastruktur pariwisata bahari di kedua

pulau, Sipadan dan Ligitan meskipun masih dalam status sengketa.

Indonesia beberapa kali mengajukan protes kepada Malaysia,

namun pengembangan pariwisata di kedua pulau berjalan terus.

5. Konferensi PBB tentang hukum laut III kpada 30 April 1982 di New

York telah berhasil menyusun United Nations Convention on the

Law of the Sea (UNCLOS’ 82) yang kemudian ditandatangani 117

negara termasuk Indonesia pada tanggal 10 Desember 1982 di

Montego Bay, Jamaica. Melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun

1985 tanggal 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasi UNCLOS’

82 yang berarti bahwa seluruh perangkat hukum Indonesia yang

sudah ada atau akan ada harus mengacu kepada konvensi

tersebut.

Dengan telah berlakunya UN,CLOS ‘82 secara resmi diseluruh

dunia sejak 16 Nopember 1994, maka Indonesia secara yuridis

formal telah diakui sebagai negara kepulauan, termasuk hak-hak

dan kewajiban yang melekat pada wilayah negara kepulauan.

Salah satu kewajiban Indonesia adalah penyesuaian cara

penarikan garis pangkal sesuai dengan ketentuan dalam LJNCLOS

15

Page 16: pendahuluan 2

‘82, yang selanjutnya menjadi dasar untuk penetapan perbatasan

wilayah laut, meliputi lebar Laut Teritorial 12 mil (pasal 3 LTNCLOS

‘82), Lajur Tambahan (Contigous Zone) 24 mil (pasal 33), Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil (pasal 48 dan 57) serta

Landas Kontinen selebar 200 mil (pasal 76). Khusus untuk landas

kontinen dimana konfigurasi dasar lautnya sedemikian rupa

sehingga batas terluamya berada di continental margin yang

terletak di luar 200 mil ditetapkan maksimum selebar 350 mil dari

garis pangkal atau 100 mil dari kedalaman laut 2500 meter.

Tahun 1989 - 1995 Dishidros TNI-AL telah melaksanakan survei

lapangan guna penyesuaian titik dasar yang terdapat dalam

Undang-Undang 4/Prp/1960 (200 titik), dimana telah didapatkan

232 titik dasar. Hasil penyesuaian penarikan garis pangkal

berdasarkan UNCLOS ‘82, maka didapat 189 titik dasar.

Hasil survei inilah (189 titik dasar) yang digunakan sebagai

lampiran dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang

Perairan Indonesia berupa Peta Iktisar wilayah yuridiksi Negara

Kepulauan Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Nomor

4/Prpl1960, namun tanpa mencantumkan daftar koordinat titik-titik

dasar.

Penetapan UU (Undang-Undang) Nomor 6 tahun 1996 tentang

Perairan Indonesia ini antara lain dimaksud untuk memasukkan

(secara hukum) pulau Sipadan dan Ligitan yang tidak tercantum

dalam UU No. 4/Prpl1960, namun masih sangat lemah karena

batas wilayah negara Republik Indonesia hanya berupa Peta

Iktisar, tanpa daftar koordinat titik-titik dasar.

6. Batas wilayah yang ditetapkan Inggris (British North Borneo

Company) bersama Belanda di pulau Sebatik sepanjang garis

paralel 4 derajat, 10 menit LU, tidak tegas menunjukkan apakah

garis batas paralel tersebut ditarik ke laut sampai jauh kearah

16

Page 17: pendahuluan 2

Timur / pulau Sipadan dan Ligitan. Dengan kata lain apakah

konvensi 1891 hanya mengatur batas di darat (P. Sebatik) atau

termasuk juga batas dilaut (sampai arah Sipadan - Ligitan ). Hal ini

dapat dilihat dalam pasal 4, Konvensi 1891 sebagai berikut : From

4 degree 10 minutes latitude in the east coast the boundary line

shall be continued eastward along that parallel, across the island of

Sebatik,- that portion of the island situated to the north of that

parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo

Company, and the portion south of that parallel to the Netherlands.

Indonesia mengartikan, garis batas 4 dera at 10 menit LU tersebut

berlanjut terus ke laut. Karena itu, Indonesia berpendapat bahwa

Konvensi 1891 tidak hanya mengatur batas darat Borneo,

melainkan juga batas laut. Hal itu diperkuat dengan Mukadimah

Konvensi 1891 yang menyebutkan, Konvensi dibuat untuk

menetapkan batas antara wilayah milik Belanda di Pulau Borneo

dan negaranegara di pulau tersebut yang berada dalam kekuasaan

Inggris.

Penafsiran itu pun sesuai dengan Konvensi Wina 1969 Pasal 31

tentang Perjanjian Intemasional yang mengatakan, interpretasi

suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sesuai

dengan makna kontekstual dan memperhatikan tujuan

pembentukan.

7. Tujuh tahun kemudian, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor

38 tahun 2002 tertanggal 28 Juni 2002 tentang Daftar Koordinat

Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, batas

wilayah juridiksi negara Kepulauan Indonesia ditetapkan termasuk

pulau Sipadan (Titik Dasar No. 03 6 A) dan pulau Ligitan (Titik

Dasar No. 036 B dan 036 C). Namun penetapan PP Nomor 38

tahun 2002 ini sudah cukup terlambat untuk mendukung klaim

Indonesia bahwa pulau Sipadan-Ligitan masuk wilayah Indonesia,

17

Page 18: pendahuluan 2

dikaitkan dengan upaya penyelesaian sengketa pulau Sipadan-

Ligitan antara Indonesia dan Malaysia telah disepakati melalui

“Special Agreement for the Submission to the International Court of

Justice the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning

the Souverenity over pulau Sipadan and Ligitan” tanggal 31 Mei

1997, dimana kedua pihak memutuskan mengajukan sengketa

kedua pulau ke ICJ (Malikamah Intemasional) di Den Haag.

Kesepakatan tersebut langsung ditindaklanjuti pada 19 Nopember

1997 dan disusul Ratifikasi oleh Indonesia dengan Keppres Nomor

47 tahun 1997 tertanggal 29 Desember 1997. Special Agreement

ini disampaikan ke ICJ pada 2 Nopember 1998 melalui Notifikasi

bersama kedua negara. Hasil sidang ICJ tersebut nantinya bersifat

final dan mengikat (final and binding), selaras dengan Piagam PBB

Pasal 94 ayat 1.

8. Perkembangan terakhir dari sengketa pulau Sipadan dan Ligitan

yang ditangani oleh ICJ temyata tidak secara khusus menggunakan

argumen historis kedua negara. Para hakim ICJ yang berjumlah 17

orang (termasuk 2 orang hakin7 masing-masing mewakili Indonesia

dan Malaysia), justru menggunakan ordonansi pengeluaran izin

untukperlindungan margasatwa / burung pada tahun 1917 dan

penarikan pajak pemungut telur penyu tahun 1930 oleh pemerintah

Inggris. Hal ini merupakan pertimbangqn effectivities, dimana

penierintah Inggris yang menjajah Malaysia saat itu telah

nielaksanakan tindakan administratif di kedua pulau tersebut.

Dalam persidangan terakhir ICJ di Den Haag, Belanda pada

tanggal 17 Desember 2002, telah menjatuhkan putusan akhir

dimana dari 17 hakim, hanya I orang yang memenangkan

Indonesia, lainnya 16 orang hakim memenangkan Malaysia.

Keputusan final ICJ ini meneguhkan kedaulatan Malaysia atas

pulau Sipadan dan Ligitan, dilain pihak Indonesia tidak dapat

berbuat apa-apa dan harus menerimanya karena keputusan ICJ

bersifat final.

18

Page 19: pendahuluan 2

9. Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagis State) yang

terbesar di dunua dengan 15.708 pulau dan panjang garis pantai

81.000 km, memiliki wilayah perbatasan maritime laut dengan 10

negara yaitu : India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam,

Philipina, Republik Palau, Papua Nuigini, Timor Leste dan

Australia. Dari semua wilayah perbatasan dengan negara tetangga,

baru perbatasan maritime antara Indonesia dan Australia yang

sudah tuntas di tanda tangani pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth,

Australia oleh Menteri Luar Negeri RI Ali A latas dan Menteri Luar

Negeri Australia Alexander Downer.

Dalam perjanjian batas maritime kedua negara ini, yang cukup

menonjol dan perlu disqsialisasikan untuk Pemda di wilayah

perbatasan adalah pulau Christmas yang memiliki wilayah ZEE

selebar 38,75 mil (12 mil wilayah kedaulatan dan 26,75 mil wilayah

ZEE, kearah Utara) dan Pulau Ashmore (dulu bemama Ashmore

Reef) dengan ZEE selebar 24 mil (12 mil wilayah kedaulatan dan

12 mil ZEE).

Adalah suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas – batas ini,

sepertisemua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus

memiliki yuridiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas –

batas teoritisnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang

timbul di dalam batas – batas ini.

Hal ini merupakan dasar dari Republik Indonesia dan Malaysia

memperebutkan kedua pulau tersebut dan untuk itu diperlukan bukti –

bukti yang kuat dalam mengajukan klaim mengenai kedaulatan atas pulau

Sipadan dan Ligitan.

19

Page 20: pendahuluan 2

1.4 Penyelesaian Kasus Sipadan dan Ligitan  

PERSIDANGAN Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

di Den Haag untuk mendengarkan argumen masing-masing pihak,

Malaysia dan Indonesia mengenai status kepemilikan Pulau Sipadan dan

Ligitan, sudah berakhir hari Rabu. Namun keputusan akhir mengenai

sengketa tersebut baru akan dapat dilakukan akhir Desember 2002 atau

awal Januari 2003.

Salah satu hal yang mengganjal kemesraan hubungan Indonesia-

Malaysia selama ini adalah sengketa yang menyangkut klaim

teritorial/kedaulatan atas kedua pulau yang terletak di lepas pantai

Kalimantan Timur dekat perbatasan Sabah, Malaysia Timur.

Walaupun Menlu Hassan Wirayuda mengemukakan rasa optimisnya

bahwa Indonesia akan memenangkan perkara/sengketa itu, yang

notabene kita harapkan juga demikian, namun keputusan Mahkamah

yang terdiri atas 15 anggota, dan 5 orang hakim majelis yang memeriksa

perkara tersebut bukanlah suatu hal yang mudah untuk diprediksi.

Argumentasi yang diajukan oleh masing-masing pihak untuk

memenangkan perkara itu memang berbeda satu sama lain. Malaysia

telah mengemukakan dalil-dalil efektivitas peranan ataupun kekuasaan

negaranya atas kedua pulau itu selama puluhan tahun terakhir ini.

Sedangkan Indonesia telah mengajukan dalil-dalil hukum berdasarkan

konvensi/perjanjian antara Belanda dengan Inggris tahun 1891 yang

menetapkan wilayah yang berada di utara garis lintang 4 derajat 10 menit

dari Pulau Sebatik merupakan milik Inggris, sedangkan wilayah yang

berada di selatan garis lintang tersebut milik Belanda.

Argumentasi tersebut telah dilengkapi pula oleh sejumlah peta yang

terdapat selama ini, yang notabene ada juga yang diakui oleh Malaysia

kebenarannya.

Masalahnya — dan ini merupakan suatu titik kelemahan argumentasi

Indonesia — adalah pihak Indonesia yang merasa menjadi pemilik kedua

kepulauan tersebut selama ini belum/tidak pernah mengelola apalagi

menguasai kedua pulau tersebut. Malahan sejak tahun 1978, Malaysia

20

Page 21: pendahuluan 2

telah menggarap Pulau Sipadan sebagai tempat rekreasi/wisata dengan

mengerahkan ratusan warga negaranya ke pulau tersebut.

Dengan kata lain, pulau tersebut hingga saat ini telah digarap, dihuni,

serta dikelola sepenuhnya oleh orang-orang dari Malaysia tanpa seorang

pun dari Indonesia. Malahan, Menlu Hassan Wirajuda telah

menganalogikan perkara atas kedua pulau tersebut bagaikan sengketa

antara pemilik sertifikat (Indonesia) dengan penggarap (Malaysia).

Permasalahannya tentu tidaklah sesederhana sebagaimana dianalogikan

Menlu Wirajuda itu. Sengketa Sipadan dan Ligitan bukanlah suatu perkara

perdata semata, tapi menyangkut klaim teritorial dan kedaulatan suatu

negara terhadap suatu wilayah.

Apabila konvensi/perjanjian antara Belanda dan Inggris tahun 1891 itu

memang benar, maka perlu dipertanyakan kenapa keutuhan dan

kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari Sabang hingga Merauke yang

merupakan wilayah peninggalan/warisan pemerintah Hindia Belanda tidak

ditegakkan secara konsekuen oleh aparat keamanan kita selama ini?

Apakah prinsip-prinsip hukum internasional atau pun Mahkamah

Internasional tersebut akan tetap membenarkan hak si pemilik, yang

selama puluhan tahun tidak pernah menginjak, mengelola, bahkan

menguasai secara fisik wilayah yang menjadi miliknya itu? Sampai sejauh

mana, unsur kadaluwarsa dipertimbangkan dalam tuntutan tersebut?

Kita tentu tidak menginginkan terjadinya kembali konfrontasi antara kedua

negara dalam penyelesaian sengketa atas kedua pulau tersebut. Akan

tetapi internasionalisasi penyelesaian konflik tersebut melalui Mahkamah

Internasional di Den Haag sesungguhnya telah menunjukkan

ketidakmampuan kedua negara untuk menyelesaikan sengketa.

Bahkan hal itu juga memperlihatkan kegagalan regional organisasi

ASEAN, — yang sudah menyediakan metode penyelesaian konflik di

antara anggota dalam Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia

(Traktat Kesepakatan dan Kerja sama di Asia Tenggara) pada KTT I

ASEAN di Bali tahun 1986, untuk menyelesaikan sengketa yang berada di

wilayahnya.

21

Page 22: pendahuluan 2

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sejarha terbentuknya suatu Mahkamah Internasional dimulai dengan

suatu pembentukan Lembaga Arbtrase yang merupakan lembaga

penyelesaian sengketa internasional secara damai. Arbtrase adalah suatu

institusi yang sudah cukup tua, tetapi sejarah arbtrase modern yang diakui

adalah sejak Jay Treaty 1794 antara Amerika dan inggris, yang mengatur

pembentukan tiga ”joint mixed commissions” untuk menyelesaikan

beberapa perselisihan tertntu yang tidak dapat diselesaikan selama

perundingan trkatat tersebut. Suatu dorongan lainnya bagi arbtrase

diberikan oleh Alabama Claims Award 1872 antara Amerika Serikat dan

Inggris.

Semua anggota PBB ipso facto yang berarti oleh faktanya sendiri,

adalah peserta statuta, akan tetapi negara yang bukan anggota PBB

dapat juga menjadi peserta, berdasarkan syarat – syarat yang ditetapkan

dalam setiap perkara oleh Majelis umum PBB atas rekomendasi dari

dewan keamanan (pasal 93 Piagam PBB). Syarat – syarat itu adalah

penerimaan negara yang bukan anggota atas semua, penerimaan

anggaran Mahkamah seperti yang dimuat dalam resolusi Mejalis Umum

tanggak 11 Desember 1946.

Pada umumnya, penyelesaian sengketa dogolongkan dalam dua

kategori, yaitu :

1. Cara – vara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat

menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabt. Dalam

metode, menurut sifatnya dibagi dua, yaitu secara politik dan secara

hukum. Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan

(ngotation), jasa – jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry),

penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan

22

Page 23: pendahuluan 2

penyelesaian damai yang bersifat hukum / prosedur hukum meliputi

arbtrase (arbutration) dan penyelesaian hukum (judical settlement).

2. Cara – cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu

apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.

Penyelesaian melalui kekerasan meliputi perang dan tindakan

bersenajata non perang, retorasi (retorsion), tindakan – tindakan

pembalasan (reprisals), blokade secara damai (pasific blockade) dan

intervensi (intervention).

,

23

Page 24: pendahuluan 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Diktat Mata Kuliah Hukum Internasional Jurnal Hukum Internasional

2. D.W. Bowett Q.C.LL.D, Hukum Organisasi Internasional,

terjemaham Bambang Iriana

Djajaatmadja, S.H. (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hal. 326.

3. J.G. Starke, Pengantar Hukum internasional, terjemaham Bambang

Iriana Djajaatmadja, SH

(Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hal. 647

4. Kliping koran Pusat dokumentasi dan Perpustakaan Departemen

Luar Negeri, Kompas tanggal 10 September 1994.

5. Posted on Wed 14 Feb 2007 (586 reads)

6. www.google.com

7. http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_internasional

24